Top Banner
Acara I SURIMI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Maria Windayani (13.70.0043) Kelompok : D3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015
17

Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Jan 05, 2016

Download

Documents

Praktikum surimi ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan surimi yang merupakan alternatif produk "perantara" dalam industri pengolahan ikan. Selain itu dalam praktikum ini ingin mengatahui kualitas surimi yang bagus dan pengaruh dari bahan tambahan serta proses pengolahan terhadap kualitas surimi yang dihasilkan.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara I

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Maria Windayani (13.70.0043)

Kelompok : D3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

Page 2: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1

Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat dan Bahan

1.1.1.Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, talenan, timbangan

analitik, kain saring, plastik, penggiling daging, freezer,texture analyzer, alat pengepres

daging.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula

pasir, polifosfat, dan es batu.

1.2. Metode

Pencucian ikan

Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut (Fillet daging ikan)

Page 3: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Penggilingan fillet menggunakan alat penggiling daging

dengan ditambah es batu

Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali

Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)

Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4, 5),

garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3%

(kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5)

Pembekuan selama 1 malam di dalam freezer

Page 4: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Thawing

Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma

Uji hardness menggunakan texture analyzer

Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC

Page 5: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Hasil press digambar di milimeter blok

Penghitungan WHC :

Page 6: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengamatan Surimi

Kel. Perlakuan Hardness

(gf)

WHC

(mg H2O)

Sensori

Kekenyalan Aroma

1 Sukrosa 2,5% + garam

2,5% + polifosfat 0,1% 108,24 188832,63 + + +

2 Sukrosa 2,5% + garam

2,5% + polifosfat 0,3% 121,52 216793,25 + + + +

3 Sukrosa 5% + garam

2,5% + polifosfat 0,3% 188,05 130435,97 + + + + +

4 Sukrosa 5% + garam

2,5% + polifosfat 0,5% 103,44 271751,05 + + + +

5 Sukrosa 5% + garam

2,5% + polifosfat 0,5% 91,87 273975,32 + + + + +

Keterangan :

Kekenyalan Aroma

+ : tidak kenyal + : tidak amis

+ + : kenyal + + : amis

+ + +: sanagat kenyal + + + : sanagat amis

Pada tabel 1 dapat dilihat hasil pengamatan dari surimi dengan pemberian perlakuan

yang berbeda-beda tiap kelompoknya. Untuk kelompok D1 diberi perlakuan sukrosa

2,5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,1%, kelompok D2 sukrosa 2,5%, garam 2,5% dan

polifosfat 0,3%, kelompok D3 diberi sukrosa 5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,3% dan

kelompok D4 serta D5 diberi perlakuan yang sama yaitu ditambahkan sukrosa 5%,

garam 2,5% dan polifosfat 0,5%. Nilai dari pengukuran hardness didapatkan hasil

kelompok D3 memiliki nilai paling besar yaitu 188,05 gf dan paling kecil pada

kelompok D5 sebesar 91,873 gf. Hasil dari pengukuran WHC didapatkan hasil niilai

tertinggi pada kelompok D5 yaitu 273975,32 mg H20 dan nilai paling kecil pada

kelompok D3 yaitu sebesar 130435,97 mg H20. Hasil uji sensori tingkat kekenyalan

didapatkan hasil kelompok D1 dan D2 yaitu tidak kenyal, D3 dan D4 kenyal dan

kelompok D5 sangat keyal. Dari segi aroma didapatkan hasil kelompok D1,D4 dan D5

yaitu aroma amis dan kelompok D2 dan D3 didapatkan aroma surimi yang sangat amis.

Page 7: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

3. PEMBAHASAN

Surimi merupakan konsentrat protein miofibrial yang terkandung dalam daging ikan

yang mengalami pencucian dengan menggunakan air panas (Stein, 2012). Menurut

Lanier,(1986) dalam jurnal “Comparisons of the Properties of Whitemouth Croaker

(Micropogonias furnieri) Surimi and Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi-Like

Material”, surimi dikenal sebagai bahan perantara bagi produk ikan yang digunakan

dalam pembuatan sosis serta produk daging lainnya. Pada proses pembuatan surimi

menggunakan bahan baku fillet daging ikan yang diberi senyawa krioprotektan lalu

dibekukan sehingga akan terjadi pengikatan air dan membentuk gel (Okada 1992).

Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan surimi dengan bahan baku ikan bawal.

Metode yang dilakukan yaitu ikan bawal dicuci dengan air mengalir sampai bersih.

Tujuan dari proses pencucian yaitu untuk menghilangkan kotoran yang ada dibagian

kulit dari ikan. Proses selanjutnya ikan difillet dengan cara membuang sisik, kepala,

sirip, ekor, isi perut dan kulit. Menurut Mart´ın-S´anchez, (2009) dalam jurnalnya

“Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi: A Review” proses

pemfilletan ikan yaitu pemisahan daging dari kulit, kepala, isi perut, dan tulang yang

bertujuan untuk menghilangkan sumber kontaminasi seperti enzim edogenous dan

protease yang terdapat di bagian isi perut dan kulit. Selanjutnya daging ditimbang

sebanyak 100 gram, kemudian daging digiling dengan ditambahkan es batu yang

berguna untuk menjaga suhu agar tetap rendah. Proses pengilingan ini memiliki tujuan

untuk membuat daging ikan menjadi lebih lunak. Penambahan es batu menurut Buckle

et al., (1978) bertujuan untuk menjaga daging ikan dari denaturasi protein. Hasil

penggilingan diletakkan dalam kain saring, kemudian dicuci dengan menggunakan air

es sebanyak 3 kali. Stine, et al., (2012) dalam jurnalnya “Recovery And Utilization Of

Protein Derived From Surimi Wash-Water” menyatakan bahwa proses pencucian

daging ikan menggunakan air es ini bertujuan untuk menghilangkan protein

sakroplasma, lemak, menghilangkan bau dan rasa dari produk protein miofibril dan

komponen larut air.

Langkah berikutnya daging ikan disaring menggunakan kain saring sampai kering.

Proses selanjutnya ditambahkan sukrosa 2,5% untuk kelompok D1 dan D2, 5% untuk

Page 8: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

kelompok D3,D4, dan D5, lalu ditambah polifosfat sebanyak 0,1% untuk D1, 0,3%

untuk D2 dan D3 serta 0,5% untuk D4 dan D5. Menurut Reynolds, et al ( 2002) dalam

jurnal “Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi: A Review”

penggunaan bahan tambahan makanan dalam pembuatan surimi ini bertujuan untuk

menjaga kualitas dari surimi yang dihasilkan. Penambahan polifosfat dan sukrosa

berguna untuk menjaga kualitas pembentukan gel setelah surimi dithawing. Selain itu,

polifosfat memiliki kemampuan untuk meningkatkan kapasitas pengikatan air (WHC).

Buckle et al., (1978) menambahkan bahwa penambahan sukrosa berguna untuk

mencegah denaturasi protein dan menjaga kualitas surimi selama proses penyimpanan

pada suhu rendah.

Proses selanjutnya ditambahkan juga garam sebanyak 2,5% untuk semua kelompok.

Tujuan penambahan garam ini menurut Winarno et al.,(1980) yaitu sebagai bumbu

penyedap rasa dan dapat membantu melepaskan miosin dari serat-serat daging ikan

sehingga dapat mempermudah pembentukan gel. Adanya penambahan garam akan

menentukan jenis dari surimi yang dibuat. Jenis surimi dibagi menjadi 3 yaitu dengan

penambahan garam dan pembekuan (nu-en surimi), dengan penambahan garam dan

pembekuan (ka-en surimi) dan tanpa pembekuan (na-na en surimi) seperti teori Suzuki

(1981). Berdasarkan teori tersebut dalam praktikum ini dilakukan pembuatan jenis ka-

en surimi karena adanya penambahan garam dan proses pembekuan. Kemudian daging

ikan yang telah diberi bahan tambahan dimasukkan dalam kantong plastik bening, lalu

dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Tujuan dari penyimpanan dingin yaitu untuk

menjaga kekuatan gel dari produk surimi (Moreno, et al., 2008).

Surimi yang telah dibekukan kemudian dithawing lalu diuji sensorinya dari kekenyalan

dan aroma. Surimi diukur juga hardnessnya dengan alat texture analyzer. Caranya yaitu

sampel surimi yang sudah di uji sensori disiapkan kemudian diletakkan diatas bulatan

kemudian tungkas diturunkan, selanjutnya data nilai hardness akan keluar dimonitor

komputer. Metode pengujian ini sudah sesuai dengan teori Bourne (2002) yaitu untuk

menguji tekstur bahan makanan menggunakan texture analyzer yang memiliki satuan

gf. Diukur juga nilai WHC dengan cara sampel surimi dibuat menjadi lepengan tipis

Page 9: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

menggunakan alat lalu dijiplak diatas milimeter blok lalu diukur luasnya untuk

mendapatkan nilai WHC.

Pada hasil pengamatan diperoleh nilai WHC yang berbeda-beda tiap kelompok. Untuk

kelompok D1 yaitu 188832,63 mg H20, D2 sebesar 216793,25 mg H20, D3 sebesar

130435,97 mg H20, D4 yaitu 271751,05 mg H20 dan kelompok D5 sebesar 273975,32

mg H20 Nilai tertinggi terdapat pada kelompok D5 yaitu 273975,32 mg H20 dengan

perlakuan sukrosa 5%, garam 2,5% dan polifosfat 0,5%. Untuk nilai yang paling kecil

terdapat pada kelompok D3 dengan perlakuan sukrosa 5%, garam 2,5% dan polifosfat

0,3%. yaitu sebesar 130435,97 mg H20. Nilai WHC dihitung dengan menggunakan

formula Simpson yaitu dengan cara membagi panjang dari bahan pangan yang telah

diletakkan diatas kertas milimeter menjadi beberapa bagian yang sama panjang

sehingga didapatkan luas area dari surimi (Zayas, 1997).

Ada beberapa bahan tambahan yang mempengaruhi hasil dari WHC yaitu polifosfat,

sukrosa dan garam. Reynolds, et al (2002) dalam jurnal “Alternatives for Efficient and

Sustainable Production of Surimi: A Review” menjelaskan bahwa penambahan

polifosfat dapat meningkatkan kapasitas pengikatan air (WHC). Sukrosa juga memiliki

peran dalam meningkatan kemampuan pengikatan air dari surimi (Shaviklo et al.,

2010). Sementara penambahan garam menurut Lertwittayanon, et al. (2013) dalam

jurnalnya “Effect of Different Salts on Dewatering and Properties of Yellowtail

Barracuda Surimi” memiliki fungsi untuk membantu pembentukan gel. Hal ini

dikarenakan molekul Na+ dan Cl− penyusun garam dapat mengikat muatan dari asam

amino yang ada didalam daging, sehingga gaya-gaya antar proteinnya lemah dan

jaringannya menjadi terbuka. Keadaan ini akan menyebabkan banyak air yang

terperangkap didalamnya sehingga terjadi peningkatan nilai WHC. Semakin banyak

konsentrasi polifosfat, sukrosa dan garam yang ditambahkan dapat meningkatkan nilai

WHC. Pemberian garam pada semua kelompok sama yaitu 2,5% sehingga yang

mempengauhi nilai WHC adalah konsentrasi polifosfat dan sukrosa yang berbeda. Hasil

pengamatan yang diperoleh tidak sesuai dengan teori yang ada. Seharusnya nilai WHC

terkecil didapatkan oleh kelompok D1 dengan kandungan polifosfat 0,1% dan sukrosa

2,5% namun hasil yang didapatkan nilai terkecil ada pada kelompok D3 dengan

Page 10: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

kandungan polifosfat 0,3% dan sukrosa 5%. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan

berat yang diperoleh setelah melalui proses penyaringan sehingga proses pengikatan air

menjadi berbeda-beda jumlahnya. Hal ini didukung oleh teori Hultin, et al., (2005)

dalam jurnal “Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi: A

Review” yang menyatakan bahwa jumlah protein ikan akan banyak hilang pada saat

proses pencucian. Oleh karena itu setelah proses pencucian selesai berat daging ikan

yang didapatkan menjadi lebih sedikit sehingga mempengaruhi nilai WHC yang

didapatkan.

Berdasarkan uji sensori kekenyalan didapatkan hasil untuk kelompok D1 dan D2 tidak

kenyal, D3 dan D4 kenyal serta untuk kelompok D5 didapatkan hasil sangat kenyal.

Menurut Djazuli, (2009) tingkat kekenyalan dipengaruhi oleh niai WHC yang diperoleh

karena semakin banyak air yang diserap maka tekstur dari surimi akan semakin kenyal.

Oleh sebab itu faktor yang mempengaruhi tingkat kekenyalan sama dengan WHC yaitu

konsentrasi pemberian sukrosa, polifosfat, garam, dan proses pencucian. Hasil yang

diperoleh sudah sesuai dengan teori, namun terdapat hasil menyimpangan yaitu pada

kelompok D3 dan D4 yang memiliki tingkat kekenyalan yang sama yaitu kenyal,

padahal penambahan polifosfatnya berbeda yaitu masing-masing 0,3% dan 0,5%

sehingga tidak sesuai dengan teori yang ada. Hasil menyimpang ini dapat terjadi karena

tingkat kekenyalan juga dipengaruhi oleh proses fillet ikan. Hal ini didukung oleh

Mart´ın-S´anchez, (2009) dalam jurnalnya “Alternatives for Efficient and Sustainable

Production of Surimi: A Review” menyatakan bahwa proses pemisahan daging dari

bagian perut, kulit, daging dan tulang ini memiliki efek terhadap pembentukan gel dan

kualitas dari surimi. Hal ini dikarenakan proses pemisahan bertujuan untuk

menghilangkan mikroorganisme kontaminan yang berada diisi perut dan pengotor

lainnya yang akan mempengaruhi pembentukan gel.

Pada sensori aroma didapatkan hasil untuk kelompok D1, D2 dan D5 mendapatkan hasil

yang sama yaitu beraroma amis dan untuk kelompok D2 dan D3 memiliki aroma yang

sangat amis. Surimi yang memiliki kualitas yang baik menurut Peranginangin, dkk.,

(1999) yaitu tidak memiliki bau amis. Namun hasil yang diperoleh pada semua

kelompok memiliki bau yang amis, hasil ini dikarenakan pada saat proses pencucian

Page 11: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

tidak bersih menyeluruh. Hal ini didukung oleh pernyataan Stine, et al., (2012) dalam

jurnalnya “Recovery And Utilization Of Protein Derived From Surimi Wash-Water”

yaitu proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan bau amis dari ikan.

Hasil yang didapatkan pada pengujian hardness dengan menggunakan texture analyzer

yaitu kelompok D1 sebesar 108,24 gf, kelompok D2 sebesar 121,52 gf, kelompok D3

188,05 gf, kelompok D4 yaitu 103,44 dan kelompok D5 sebesar 91,873 gf. Berdasarkan

hasil diatas dapat disimpulkan bahwa surimi kelompok D3 memiliki tingkat kekerasan

yang paling besar yaitu 188,05 gf dan tingkat kekerasan yang paling kecil yaitu

kelompok D5 sebesar 91,873 gf. Hasil ini sesuai dengan teori dari Lawless & Heymann,

(1999) yang menjelaskan prinsip texture analyzer yaitu berdasarkan resistensi sampel

terhadap tekanan yang diberikan, sehingga semakin keras produk maka semakin tinggi

pula hasil yang didapatkan. Nilai hardness yang diperoleh juga dipengaruhi oleh nilai

WHC yang didapatkan. Pada saat nilai WHC rendah berarti kemampuan pengikatan

airnya juga rendah maka gel yang terbentuk sedikit dan mempengaruhi tingkat

kekerasan dari surimi (Zayas, 1997) Sehingga saat nilai WHCnya menurun maka surimi

yang dihasilkan akan lebih keras. Hal ini yang menyebabkan nilai hardness pada

kelompok D3 nilainya paling tinggi karena nilai WHCnya paling kecil.

Surimi yang memiliki kualitas yang baik yaitu memiliki warna putih, dapat membentuk

gel yang baik sehingga didapatkan surimi yang kenyal dan elastis seperti teori dari

Winarno, (1993). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas surimi, yang

utama adalah kualitas ikan yang digunakan. Menurut Tan et al., (1988) ikan yang

memiliki kualitas yang baik, daging ikan masih segar dan memiki kandungan lemak

yang rendah merupakan syarat yang utama untuk mendapatkan produk surimi yang

berkualitas tinggi. Penambahan senyawa krioproktetan juga mempengaruhi kualitas dari

surimi yang dihasilkan. Menurut Mallett, (1993) senyawa krioproktetan memiliki fungsi

yaitu untuk melindungi produk surimi dari kehilangan air dari struktur proteinnya

sehingga menghindari denaturasi protein. Contoh senyawa krioproktektan yang

digunakan dalam praktikum ini adalah polifosfat, garam dan sukrosa.

Page 12: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

Proses yang dilakukan pada saat pembuatan surimi juga sangat mempengaruhi hasil

akhir dari produk surimi. Pada jurnal “Alternatives for Efficient and Sustainable

Production of Surimi: A Review” dibahas bahwa proses penyiangan ikan untuk

mengambil dagingnya dan proses pencucian akan mempengaruhi kualitas daging dari

segi kekenyalan ,elastisitas, berat produk yang didapatkan serta kebersihan dari daging

teresebut. Selain itu Lee, (1984) menambahkan besar pertikel dari surimi, kualitas air

yang digunakan, temperatur pada saat pembekuan dan peralatan yang digunakan dapat

mempengaruhi kualitas dari surimi itu sendiri. Berdasarkan Ducept et al., (2012) dari

jurnal “Influence of the mixing process on surimi seafood paste properties and

structure” menjelaskan bahwa proses pencampuran bahan-bahan tambahan dapat

mempengaruhi kualitas dari surimi. Proses pencampuran betujuan untuk membuat serat

dari daging menjadi larut bersama protein tanpa mengalami denaturasi. Saat jaringan-

jaringan protein membuka lebar akibat proses pencampuran akan membuat air masuk

kedalamnya sehingga membentuk gel yang sempurna Namun proses pencampuran yang

terlalu lama akan menyebabkan gel protein menjadi kehilangan kekuatannya dan

viskositasnya menjadi turun. Hal ini akan menyebabkan surimi yang dihasilkan

kualitasnya jelek.

Page 13: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan bahan perantara yang terbuat dari daging ikan halus yang ducicu

dengan air dingin lalu diberi bahan tambahan dan dibekukan.

Biasanya surimi digunakan untuk industri pembuatan sosis.

Ikan yang digunakan dalam pembuatan surimi harus memiliki tingkat kesegaran

yang tinggi dan kandungan lemaknya rendah.

Proses pencucian dengan air dingin berguna untuk menghilangkan protein

sakroplasma, lemak, bau dan rasa dari produk protein myofibril.

Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dalam pembuatan surimi dapat menjaga

kualitas surimi yang dihasilkan.

Garam berguna untuk menambah rasa dan membantu pembentukan gel.

Polifosfat berguna untuk meningkatkan kapasitas pengikatan air (WHC).

Penambahan sukrosa bertujuan untuk meningkatkan nilai WHC dan meningkatkan

kekenyalan pada surimi.

Faktor yang mempengaruhi nilai WHC konsentrasi sukrosa,garam dan polifosfat.

Proses pemfillettan akan mempengaruhi nilai WHC dan pembentukan gel.

Nilai WHC akan mempengaruhi tingkat kekenyalan dan hardness.

Surimi yang berkualitas baik tidak memilki aroma yang amis.

Kualitas surimi dipengaruhi oleh bahan baku, bahan tambahan dan cara dalam

pembuatan surimi.

Praktikan: Asisten Dosen

Maria Windayani (13.70.0043) Yusdhika Bayu S.

Page 14: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

5. DAFTAR PUSTAKA

Bourne, M.C. (2002). Food Texture and Viscosity Concept and Measurement Second

Edition. Academic Press. London.

Buckle KA, Edwards RA, Eleet GH, Wootton. (1978). Ilmu Pangan. Purnomo Hdan

adiono, penerjemah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Cortez-Vega, William Renzo, Gustavo Graciano Fonseca, Carlos Prentice. (2012).

Comparisons of the Properties of Whitemouth Croaker (Micropogonias furnieri)

Surimi and Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi-Like Material. Food and

Nutrition Sciences, 2012, 3, 1480-1483

Djazuli, N. (2009). Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan “By-

Catch” Pukat Udang di Laut Arafura.Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan

Indonesia. Institut Pertanian Bogor.

F.Ducept, T de Broucker, J.M. Souliè, G. Trystram, G. Cuvelier. (2012). Influence of

the mixing process on surimi seafood paste properties and structure. Journal of

Food Engineering 108 (2012) 557–562

Hultin HO, Kristinsson HG, Lanier TC, Park JW. (2005). Process for recovery of

functional proteins by pH shifts. In: Park JW, editor. Surimi and surimi seafood.

2nd ed. Boca Raton, Fla.: Taylor & Francis Group. p 107–39.

Lawless., H. T. & H. Heymann (1999). Sensory Evaluation of Food Principle and

Practies. Kluer Academic Publishers. New York.

Lee CM. 1984. Surimi process technology. Journal Food Techonology 38 (11) :69-80.

Lertwittayanon, K., S. Benjakul, S. Maqsood, A. B. Encarnacion. (2013). Effect of

Different Salts on Dewatering and Properties of Yellowtail Barracuda Surimi.

International Aquatic Research, 5:10.

Mallet, C.P. (1993). Frozen Food Technology, Birds Eye Wall’s Ltd. Surrey.

Mart´ın-S´anchez, A.M., C. Navarro, J.A. P´erez-´Alvarez, and V. Kuri. (2009).

Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi: A Review.

Institute of Food Technologists.Vol. 8, 2009-Comprehensive Reviews In Food

Science And Food Safet.

Page 15: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

Moreno HM, Carballo J, Border´ıas AJ. 2008. Influence of alginate and microbial

transglutaminase as binding ingredients on restructured fish muscle processed at

low temperature. J Sci Food Agric 88(9):1529–36.

Okada, M. 1992. History of surimi technology in Japan. Di dalam Lanier TC, Lee CM

(eds). Surimi Technology. Marcel Dekker Inc., New York. p 3-21

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi.

Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.

Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of Pacific whiting

surimi as affected by various freezing and storage conditions. J Food Sci

67(6):2072–8.

Stine, et all. (2012). Recovery And Utilization Of Protein Derived From Surimi Wash-

Water. Wiley Periodicals, Inc.Journal of Food Quality 35 (2012) 43–50.

T. C. Lanier, “Functional Properties of Surimi,” Food Technology, Vol. 40, No. 3, 1986,

pp. 107-114.

Tan, S.M.Ng.M.C., T. Fujiwara , H. Kok Kuang and H. Hasegawa. 1988. Handbook on

the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in South East Asia.

Marine Fisheries Research Department-South East Asia Fisheries Development

Centre, Singapore.

Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT.

Gramedia.

Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Zayas, J.F. (1997). Functionality of Proteins in Food. Springer-Verlag, Berlin. 358 pp.

Page 16: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

Luas atas =1

3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)

Luas bawah =1

3a (h0 + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ⋯ + hn)

Luas area basah = Luas atas − Luas bawah

mg H2O =Luas area basah − 8,0

0,0948

Kelompok D1

Luas atas =1

336,5 (89 + 4(186) + 2(197) + 4(180) + 99) = 24893 mm2

Luas bawah =1

336,5 (89 + 4(38) + 2(23) + 4(47) + 99) = 6983,667 mm2

Luas area basah = 24893 − 6983,667 = 17909,33 mm2

mg H2O =17909,33 − 8,0

0,0948= 188832,63 mg

Kelompok D2

Luas atas =1

340 (124 + 4(213) + 2(227) + 4(210) + 133) = 32040 mm2

Luas bawah =1

340 (124 + 4(67) + 2(54) + 4(57) + 133) = 11480 mm2

Luas area basah = 32040 − 11480 = 20560 mm2

mg H2O =20560 − 8,0

0,0948= 216793,25 mg

Kelompok D3

Luas atas =1

332 (105 + 4(129) + 2(148) + 4(146) + 88) = 16949,33 mm2

Luas bawah =1

332 (105 + 4(25) + 2(14) + 4(27) + 88) = 4576 mm2

Luas area basah = 16949,33 − 4576 = 12373,33 mm2

Page 17: Prak_Maria Windayani_13.70.0043_D3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

mg H2O =12373,33 − 8,0

0,0948= 130435,97 mg

Kelompok D4

Luas atas =1

345 (121 + 4(201) + 2(211) + 4(204) + 90) = 33795 mm2

Luas bawah =1

345 (121 + 4(34) + 2(30) + 4(32) + 90) = 8025 mm2

Luas area basah = 33795 − 8025 = 25770 mm2

mg H2O =25770 − 8,0

0,0948= 271751,05 mg

Kelompok D5

Luas atas =1

347 (95 + 4(182) + 2(201) + 4(195) + 107) = 33095,04 mm2

Luas bawah =1

347 (95 + 4(24) + 2(20) + 4(29) + 107) = 7114,18 mm2

Luas area basah = 33095,04 − 7114,18 = 25980,86 mm2

mg H2O =25980,86 − 8,0

0,0948= 273975,32 mg

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal