Top Banner
0 PRODUK SURIMI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN LAUT Disusun oleh: Nama : Lusia Dewinta MP NIM : 13.70.0133 Kelompok : D1 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
29

Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

Jan 05, 2016

Download

Documents

Praktikum teknologi hasil laut dengan produk akhir surimi.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

0

PRODUK SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI PENGOLAHAN LAUT

Disusun oleh:

Nama : Lusia Dewinta MP

NIM : 13.70.0133

Kelompok : D1

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

Fillet ikan ditimbang dan diambil 100 gr

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pisau, telenan, kain saring, penggiling

daging, plastic, freezer, texture analyzer dan pengepres.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan, garam, gula pasir,

polifosfat dan es batu.

1.2. Metode

1

Pencucian ikan

Pembuangan kepala, sirip, ekor dan isi perut

(Fillet daging ikan)

Page 3: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

2

Penggilingan fillet menggunakan alat penggiling daging dengan ditambah es batu

Pencucian daging giling dengan es batu sebanyak 3 kali

Penyaringan daging giling hingga kering (tidak menggumpal)

Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok 1,2); 5% (kelompok 3, 4, 5), garam sebanyak 2,5% dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok 1); 0,3%

(kelompok 2, 3); 0,5% (kelompok 4, 5)

Pembekuan selama 1 malam di dalam freezer

Page 4: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

3

Thawing

Pengujian sensori meliputi kekenyalan dan aroma

Uji hardness menggunakan texture analyzer

Surimi dipress menggunakan presser untuk mengetahui WHC

Page 5: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

4

Hasil press digambar di milimeter blok

Penghitungan WHC :

Luas atas=13

a(h0+4 h1+2h2+4 h3+…+hn)

Luas bawah=13

a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)

Luas area basah=Luasatas−Luas bawah

mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948

Page 6: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan surimi berdasarkan uji hardness, WHC dan uji sensori dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengamatan Surimi

Kel. PerlakuanHardness (gf)

WHC (mg H2O)

Sensori

Kekenyalan Aroma

1Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1%

108,24 188832,63 + + +

2Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%

121,52 216793,25 + + + +

3Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%

188,05 130435,97 + + + + +

4Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%

103,44 271751,05 + + + +

5Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%

91,87 273975,32 + + + + +

Keterangan :Kekenyalan Aroma + : tidak kenyal + : tidak amis + + : kenyal + + : amis+ + + : sangat kenyal + + + : sangat amis

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pembuatan surimi pada tiap kelompok diberi

perlakuan yang berbeda. Penambahan larutan polifosfat pada kelompok D1 sebanyak

0,1%; kelompok D2 dan D3 sebanyak 0,3%; kelompok D4 dan D5 sebanyak 0,5%.

Sedangkan untuk sukrosa, kelompok D1 dan D2 menambahkan 2,5%; kelompok D3

sampai D5 menambahkan 5%. Nilai hardness tertinggi dihasilkan oleh kelompok D3,

yaitu 188,05 gf dengan perlakuan sukrosa 5%; garam 2,5% dan polifosfat 0,3%.

Sedangkan yang terendah adalah kelompok D5 yaitu 91,87 gf dengan perlakuan sukrosa

5%; garam 2,5% dan polifosfat 0,5%. Nilai WHC (Water Holding Capacity) tertinggi

dihasilkan oleh kelompok D5 yaitu, 273875,32 dan yang terendah yaitu kelompok D3

dengan nilai 130435,97. Pada tingkat kekenyalan tertinggi adalah kelompok D5 yaitu

sangat kenyal dan tingkat kekenyalan terendah pada kelompok D1 dan D2 yaitu tidak

kenyal. Sedangkan untuk tingkat aroma tertinggi adalah kelompok D2 dan D3 yaitu

sangat amis, serta tingkat aroma terendah pada kelompok D1, D4 dan D3 yaitu amis.

5

Page 7: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

3. PEMBAHASAN

Ikan merupakan bahan pangan bermutu tinggi serta sering dikonsumsi karena

mengandung protein yang baik dan sangat dibutuhkan oleh tubuh (Kaba, 2006). Namun,

ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak atau busuk (high perishable food)

sehingga perlu dilakukan pengolahan (Atmaja, 2009) salah satunya adalah dengan

pembuatan surimi. Pada praktikum kali ini, dilakukan pembuatan surimi menggunakan

daging ikan bawal yang sudah dipisahkan bersih dari tulangnya. menurut Stine et,al

(2011) dalam jurnalnya yang berjudul Recovery and Utilization of Protein Derived from

Surimi Wash-Water, Surimi adalah bahan makanan mentah yang digunakan sebagai

bahan utama berbagai macam produk yang telah menjadi populer karena sifat tekstural

yang unik dan tinggi nilai gizi. Dalam proses pembuatan surimi skala industri, daging

fillet berulang kali dicuci dengan air dingin untuk menghilangkan protein sarkoplasma,

lipid dan air. Surimi juga sering disebut sebagai intermediate product/produk olahan

setengah jadi yang nantinya akan diolah kembali sebagai bahan campuran untuk produk

pangan seperti nugget, bakso, sosis, dan berbagai produk olahan ikan lainnya (Agustiani

et,al,2006). Oleh karena itu, praktikum ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

proses pembuatan surimi sebagai salah satu alternatif produk “perantara” dalam industri

pengolahan ikan.

Surimi merupakan daging lumat yang dibersihkan dan dicuci berulang-ulang sehingga

sebagian besar komponen bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Menurut Peranginangin

et al (1999) Surimi disimpan dalam bentuk beku dengan menambahkan bahan

antidenaturasi (cryoprotectant). Surimi merupakan produk antara yang sering digunakan

untuk produk makanan laut seperti daging kepiting tiruan, bakso ikan, sosis ikan dan

produk makanan laut lainnya (Nurkhoeriyati et al, 2008). Sedangkan menurut Sanchez

et al., (2009) dalam jurnal ‘Alternatives for Efficient and Sustainable Production of

Surimi: A Review’ Surimi adalah istilah Jepang untuk menghilangkan tulang ikan ,

mencincang ikan , dan pencucian daging ikan , yang kemudian digunakan untuk

pembuatan produk tiruan makanan laut seperti kepiting kaki. Hal ini dianggap memiliki

atribut yang sehat dan bergizi. Menurut kandungan garamnya, surimi dibagi menjadi 2

jenis, yaitu mu-en surimi dan ka-en surimi. Mu-en surimi adalah surimi yang tanpa

6

Page 8: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

7

penambahan garam dalam proses pembuatannya. Sedangkan ka-en surimi merupakan

surimi dengan penambahan garam. Selain itu dikenal pula na-na surimi yaitu surimi

mentah yang tidak mengalami proses pembekuan (Suzuki, 1981). Menurut Mitchell

(1985) faktor-faktor biologis seperti fase bertelur, musim dan ukuran juga

mempengaruhi kualitas dari surimi yang dihasilkan. Ikan yang ditangkap pada fase tidak

bertelur, pada musim semi dan berukuran besar akan lebih lama mengalami denaturasi

dibandingkan dengan ikan yang ditangkap pada fase bertelur, pada musim panas dan

berukuran kecil (Suzuki, 1981).

Pembuatan surimi memiliki 2 cara, yaitu secara manual dan secara mekanis. Pengolahan

surimi secara manual meliputi filleting, mixing, leaching, dewatering, dan straining,

sedangkan pembuatan surimi secara mekanis dilakukan menggunakan mesin. Mesin yang

digunakan antara lain fish washer, leaching tank, rotary screen, meat separator, refiner, dan

screw press. Proses pembuatan surimi secara mekanis atau dengan menggunakan mesin

dilakukan secara kontinyu. Sedangkan proses pembuatan surimi secara mekanis

menurut F.Ducept (2013) dalam jurnalnya yang berjudul “Influence of the mixing

process on surimi seafood paste properties and structure” menyatakan formulasi terdiri

surimi daging ikan yang dicuci, komponen enzim ( 35-45%), air (40%), pati (5-10%),

lainnya protein (putih telur, susu atau kedelai protein: 1%, dalam bentuk kering bubuk),

minyak (5%), garam (2%), perasa dan pewarna. Proses dimulai dengan pencampuran

yang dikombinasikan dengan grinding, tangki pencampuran dilengkapi dengan pisau

memotong potongan surimi, setelah surimi dicampur dan dihancurkan kemudian

memastikan campuran homogen dari semua bahan. Tujuannya adalah untuk

mendapatkan produk dengan tekstur yang sangat spesifik, yang dihasilkan oleh

pembentuk gel dari protein dan gelatinisasi yang pati. Struktur ini akhirnya dibuat oleh

pencampuran dan grinding, bersama-sama dengan membentuk dan memasak

Ciri-ciri surimi dengan mutu yang baik adalah memiliki elastisitas yang tinggi, berwarna

putih, serta flavor yang baik. Ikan yang digunakan untuk membuat surimi sebaiknya

memiliki lemak yang rendah namun ikan yang memiliki kandungan lemak tinggi juga dapat

digunakan, tetapi harus mengalami proses pengekstrakan lemak terlebih dahulu. Menurut

Koswara et al.(2001). lemak pada ikan akan mempengaruhi daya gelatinasi dan

menyebabkan produk surimi cepat mengalami ketengikan.

Page 9: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

8

Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) merupakan spesies ikan yang potensial

untuk dibudidayakan baik di kolam maupun di keramba. Ikan bawal sebenarnya masih

cukup baru diperkenalkan di industri perikanan tanah air, namun karena hasil

penyebarannya mendapat respon dari para petani ikan, jumlah konsumsi ikan bawal

semakin hari semakin meningkat. Ikan bawal memiliki rasa daging yang gurih dan enak,

meski cukup banyak duri pada dagingnya. Sebagai ikan konsumsi ikan ini sekarang

menjadi alternatif baru. Ikan bawal air tawar dijadikan sebagai pilihan karena memiliki

harga yang relatif murah dan lebih terjangkau oleh masyarakat, mudah dalam

pembudidayaan dan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi (Anggraini, 2002).

Pada umumnya semua jenis ikan dapat dibuat menjadi surimi. Menurut Peranginangin

(1999) ikan berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta

mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan menghasilkan surimi yang

lebih baik. Dan pada praktikum ini, dilakukan proses pembuatan surimi secara manual

dengan bahan ikan bawal segar. Dalam praktikum kali ini, digunakan bahan ikan bawal

segar karena menurut Shahidi & Richard (1991) bahan baku yang segar memiliki

protein yang tidak terdenaturasi. Bahkan menurut William Renzo (2013) dalam

jurnalnya yang berjudul “Comparisons of the Properties of Whitemouth Croaker

(Micropogonias furnieri) Surimi and Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi-Like

Material” Penerapan teknologi surimi dapat dilaukan menggunakan bahan dasar daging

seperti dari daging ayam hal ini memberikan dampak baru terhadap semakin

meningkatnya nilai dan pemanfaatan dalam bidang pangan , misalnya untuk

pengembangan produk dan pengganti daging berdasarkan , sebagai sumber protein

alternatif. Hal ini dapat diterapkan dalam produk daging olahan panas seperti sosis dan

daging asap.

3.1. Cara kerja

Mula-mula, ikan bawal yang ada dicuci bersih menggunakan air mengalir lalu berat

ikan ditimbang. Selanjutnya, daging ikan dipisahkan dari bagian kepala, sirip, ekor,

sisik, isi perut dan kulit dengan cara di-fillet. Setelah itu, ambil dan timbang daging ikan

yang sudah dipisahkan sebanyak 100 gram. Daging ikan tersebut kemudian dihaluskan

Page 10: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

9

dengan cara diblender dengan memasukkan beberapa potong es batu kecil. Kemudian

hasil gilingan dilakukan pencucian dan penyaringan menggunakan kain saring. Ikan

dicuci menggunakan air es sebanyak 3 kali dengan cara menuangkan air es di atas kain

saring yang sudah terdapat hancuran ikan. Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam

proses pembuatan surimi adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Suhu

air pencuci dapat mempengaruhi jumlah protein larut air yang hilang selama proses

pencucian karena akan berpengaruh terhadap kekuatan gel yang terbentuk. Kekuatan gel

yang terbaik adalah jika hancuran daging ikan dicuci dengan suhu air 10oC – 15oC.

Suhu yang lebih tinggi dari 15oC akan lebih banyak melarutkan protein sehingga protein

yang hilang semakin banyak dan gel yang terbentuk kurang baik (Schwarz dan Lee,

1988). Pencucian dilakukan menggunakan air es untuk mencegah hilangnya protein

karena menurut Shahidi & Richard (1991) apabila suhu air yang digunakan untuk

mencuci >150C (air biasa) dapat menyebabkan lebih banyak protein yang terlarut dalam

air sehingga kekuatan gel akan berkurang.

Pencucian ini hanya dilakukan menggunakan air es saja dan tidak perlu menggunakan

NaHCO3 karena menurut Atmaja (2009) ikan bawal merupakan ikan rendah lemak yaitu

hanya mengandung 1,3% lemak. Namun apabila ikan memiliki kandungan lemak tinggi,

ikan harus melalui tahapan pengekstrakan lemak terlebih dahulu untuk mencegah

terjadinya ketengikan dan kegagalan pembentukan gel (Koswara et, al, 2001) salah

satunya dengan cara mencuci ikan menggunakan NaHCO3 dan dicuci menggunakan air

es. Sedangkan menurut Lertwittayanon et,al (2013) dalam jurnalnya yang berjudul

“Effect of different salts on dewatering and properties of yellowtail barracuda surimi”

pencucian dilakukan agar senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dapat hilang

sehingga protein miofibrilar pada surimi terkonsentrat sepenuhnya. Oleh karena itu

salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengkombinasikan pembuatan

surimi dengan penambahan garam dimana garam mampu meningkatkan kekuatan gel

surimi.

Setelah melalui tahap pencucian dan penyaringan, hancuran ikan tersebut ditambahkan

sukrosa dengan konsentrasi berbeda 2,5% (untuk kelompok 1 dan 2), dan 5% (untuk

kelompok 3,4,5), garam 2,5% untuk semua kelompok, dan polifosfat dengan berbagai

Page 11: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

10

konsentrasi yaitu 0,1% (kelompok 1), 0,3% (kelompok 2 dan 3), dan 0,5% (kelompok 4

dan 5) dan aduk hingga tercampur merata. Menurut Winarno et al. (1980), selama

proses pembuatan surimi akan dilakukan penambahan beberapa jenis bahan tambahan

untuk meningkatkan nilai gizi, cita rasa, dan untuk mengendalikan keasaman dan

kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa. Sedangkan menurut Gopakumar (1997), tujuan

penambahan sukrosa adalah sebagai bahan anti denaturasi (Cryoprotectans) yang

berfungsi untuk meningkatkan kemampuan pengikatan air (water holding capacity) dari

protein myofibrillar karena gula dapat meningkatkan tegangan permukaan molekul

protein sehingga air dapat mempertahankan jaringan serta melindungi produk dari

kehilangan menetes (drip loss) sehingga molekul protein akan lebih stabil.

Cryoprotectans sangat penting dalam hal menstabilkan produk surimi dan melindungi

produk surimi dari denaturasi selama proses pembekuan dan penyimpanan beku.

Cryoprotectans digunakan untuk menahan sifat fungsional surimi. kombinasi antara

sukrosa 4% dan sorbitol 4% sebagai cryoprotectans telah terbukti dapat melindungi

protein miofibril selama periode yang panjang dalam penyimpanan beku. Namun,

konsentrasi sukrosa 4% dan sorbitol 4% ini memberikan rasa yang terlalu manis

sehingga biasanya kurang disukai oleh konsumen (Nopianti, R. et al., 2012).

Menurut Ismail et al. (2004), fungsi utama penambahan garam dalam praktikum ini

adalah untuk membantu melarutkan protein miofibril sehingga proses pembentukan gel

lebih sempurna. Berdasarkan teorinya baik miosin maupun aktimiosin berperan penting

dalam pembentukan gelasi surimi. Menurut Okada et al. (1973), secara sederhana

penambahan garam bertujuan untuk membantu proses penurunan kadar air dalam

bahan. Roussel and Cheftel (1988), menjelaskan bahwa ketika surimi dicampurkan

dengan garam disertai dengan tahap pelumatan akan mengakibatkan terbentuknya sol

dan ketika diberi tambahan perlakuan pemanasan maka gel akan terbentuk. Dalam

aplikasinya, konsentrasi garam yang digunakan adalah sebesar 2,5%, hal ini didukung

oleh teori Shimizu et al. (1994). Teori tersebut menjelaskan bahwa penambahan garam

yang tepat adalah dengan konsentrasi garam sebesar 2-3%, karena ketika konsentrasi

garam yang ditambahkan kurang dari 2% maka protein miofibril tidak akan bisa larut,

sebaliknya ketika konsentrasi terlalu besar maka akan memberikan efek surimi yang

terlalu asin. Sedangkan menurut Nowsad et al (2000) penambahan polifosfat juga

Page 12: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

11

merupakan krioprotektan yang dapat meningkatkan kekuatan tekstur dan retensi

kelembaban selama proses pengolahan surimi oleh peningkatan pH, kekuatan ion, dan

kelarutan protein. Fungsi penambahannya adalah untuk menambah nilai kelembutan dan

memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Dalam aplikasinya

terjadi pemisahan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Dalam praktikum ini

polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral maupun vitamin. Haryati

(2001) menambahkan bahwa pada proses pemasakan, miosin akan membantu menahan

air dengan cara menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Kaba (2006) juga

menuliskan bahwa penambahan polifosfat mampu meningkatkan kualias surimi. Dalam

praktikum surimi kloter D, kami melakukan penambahan sukrosa, garam dan polifosfat

berbeda-beda konsentrasinya tiap kelompok.

Dari praktikum ini berdasarkan hasil pengamatan pada tabel 1 maka diketahui bahwa

nilai WHC paling besar dihasilkan oleh kelompok D5 yaitu, 273875,32 dan yang

terendah yaitu kelompok D3 dengan nilai 130435,97.. Menurut teori oleh Wiguna

(2005) penambahan sukrosa sebagai zat cryoprotectant (anti denaturasi protein) dapat

meningkatkan kemampuan pengikatan air oleh bahan (WHC), sehingga seharusnya

dengan semakin tinggi konsentrasi sukrosa maka semakin besar pula nilai WHC yang

terukur dari bahan. Fennema (1985) juga menjelaskan secara spesifik bahwa keberadaan

sukrosa dapat mencegah terjadinya kondensasi dengan cara mengikat molekul air

melalui ikatan hidrogen. Hal ini terjadi karena gugus polihidroksi gula dapat bereaksi

dengan molekul air sehingga tegangan permukaan meningkat dan mencegah keluarnya

molekul air dari protein dan stabilitas protein terjaga. Maka dari itu dapat diketahui

bahwa semakin banyak jumlah cryoprotectant yang ditambahkan pada surimi maka

water holding capacity atau daya ikat air pada surimi juga akan meningkat. Hal ini

sesuai dengan hasil praktikum, karena nilai WHC yang paling besar terdapat pada

sampel kelompok D5 dengan perlakuan sukrosa dalam konsentrasi yang tinggi yaitu

5%.

Berdasarkan uji sensoris, hasil pengamatan sensori, tingkat kekenyalan tertinggi

dimiliki kelompok D5 yaitu sangat kenyal dan tingkat kekenyalan terendah pada

kelompok D1 dan D2 yaitu tidak kenyal. Sedangkan untuk tingkat aroma tertinggi

Page 13: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

12

adalah kelompok D2 dan D3 yaitu sangat amis, serta tingkat aroma terendah pada

kelompok D1, D4 dan D3 yaitu amis. Hasil pengujian yang berbeda-beda dari masing-

masing sampel, menurut Toyoda et al. (1992) dapat saja terjadi karena jumlah polifosfat

(STTP) yang ditambahkan mempengaruhi tekstur dari surimi. Menurutnya, keberadaan

polifosfat akan menyebabkan surimi memiliki tekstur yang lebih lembut dan tidak keras

sehingga kekerasan yang didapat juga akan semakin rendah (kekenyalan akan semakin

tinggi). Lee (1984), menambahkan bahwa penambahan polifosfat dapat memperpanjang

umur simpan surimi hingga mencapai lebih dari satu tahun. Dari teori tersebut, maka

diketahui bahwa sampel dengan tingkat kekenyalan paling tinggi seharusnya terdapat

pada sampel dengan penambahan polifosfat dengan konsentrasi tinggi, yaitu milik

kelompok D3 – D5. Maka ketika dibandingkan dengan teori yang ada hasil sudah

sesuai, yaitu kekenyalannya sangat tinggi.

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas dari surimi menurut

Nurkhoeriyati et al. (2008), seperti :

Faktor yang berpengaruh dalam pembentukan gel surimi : denaturasi yang

berkelanjutan dari protein miofibril sebelum proses pembuatan, jenis dan habitat

bahan baku yang menentukan stabilitas protein miofibril terhadap panas, aktivitas

enzim – enzim proteolitik yang akan membuka struktur protein dan merusak gel,

aktivitas oksidan protein, enzim baik indigenous maupun yang ditambahkan

seperti enzim ikatan silang yang berkontribusi terhadap struktur ikatan silang

protein, serta konsentrasi relatif protein miofibril terhadap protein sarkoplasma

dan stroma.

Faktor yang berpengaruh terhadap daya ikat air pada surimi : konsentrasi protein,

pH, kekuatan ionik, suhu, keberadaan komponen pangan lainnya, lemak dan

garam, laju dan lama perlakuan panas serta kondisi penyimpanan. Mekanisme

daya ikat air surimi adalah air yang diikat oleh protein melalui interaksi antara

molekul air dan gugus hidrofilik dari gugus samping protein terjadi melalui ikatan

hidrogen, sedangkan untuk emlusifikasi yaitu film protein terdiri dari protein

miofibril yang terlarut dan terekstrak selama emulsifikasi. Protein tersebut

berdifusi ke permukaan droplet minyak kemudian menyerap ke permukaan

droplet tersebut.

Page 14: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

13

Faktor yang berpengaruh untuk sifat emulsifikasi dari produk surimi : suhu, input

energi yang cukup, protein tersebut terdenaturasi atau tidak terdenturasi,

konsentrasi protein yang cukup, jumlah protein terekstrak yang cukup dan luas

permukaan droplet. Mekanisme pembentukan gel surimi adalah selama

pemanasan, pada pasta surimi yang telah digarami, lipatan protein menjadi

terbuka dan permukaan reaktif molekul protein yang berdekatan akan bereaksi

membentuk ikatan intermolekular. Pada saat ikatan intermolekular mencukupi

maka akan terbentuk struktur tiga dimensi yang menghasilkan gel.

Page 15: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan susunan protein miofibrillar stabil yang diperoleh dari daging

ikan yang telah dipisahkan dari tulangnya, dicuci dengan air, dicampur dengan zat

cryoprotectant kemudian dibekukan.

Faktor yang mempengaruhi kualitas surimi adalah kesegaran ikan, temperatur

penyimpanan, pencucian ikan, dan cara pengolahan.

Surimi digunakan sebagai intermediate product/produk olahan setengah jadi yang

nantinya akan diolah kembali sebagai bahan campuran untuk produk pangan seperti

nugget, bakso, sosis, dan berbagai produk olahan ikan lainnya.

Pencucian hancuran ikan harus dijaga pada suhu rendah untuk meminimalkan

hilangnya protein.

Penambahan garam berfungsi untuk melepaskan miosin dari serat ikan dimana

miosin sangat penting dalam pembentukan gel yang kuat.

Sukrosa merupakan zat cryoprotectant yang berfungsi sebagai bahan antidenaturasi

protein dan meningkatkan WHC (Water Holding Capacity).

PenambahaN polifosfat bertujuan untuk membuat tekstur surimi semakin lunak dan

kenyal.

Semakin banyak konsentrasi sukrosa yang ditambahkan maka nilai WHC akan

semakin meningkat.

Semakin tinggi polifosfat yang ditambahkan maka tekstur akan semakin kenyal.

Pencucian akan mempengaruhi aroma pada produk surimi.

Semarang, 27 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

Lusia Dewinta MP Yusdhika Bayu S

13.70.0133

14

Page 16: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

5. DAFTAR PUSTAKA

A.M. Mart´ın-S´anchez, C. Navarro, J.A. P´erez-´Alvarez, and V. Kuri. (2009). Alternatives for Alternatives for Efficient and Sustainable Production of Surimi: A Review. Vol 8, 2009. Comprehensive Review in Food Science and Food Safety.

Agustiani, T. W., Akhmad S.F, dan Ulfah, A. (2006). Modul Diversifikasi Produk Perikanan Universitas Diponegoro Press. Semarang.

alaska pollack surimi during processing. Journal of Food Science. Vol. 53

Anggraini, E. (2000). Menyelamatkan Generasi Nelayan. [online]. www.SuaraKaryaOnline.com.

Atmaja, Adi Kusuma. (2009). Aplikasi Asap Cair Redestilasi Pada Karakterisasi Kamaboko Ikan Tongkol (Euthynus Affinis) Ditinjau Dari Tingkat Keawetan Dan Kesukaan Konsumen. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret.

Ducept, F., T. De Broucker., J.M. Soulie., G. Trystram., G. Cuvelier. (2012). Influence of Mixing the Process on Surimi Seafood Paste Properties and Structure. Journal of Food Engineering 108: 557-562.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry-Second Edition, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc.

Gopakumar, K. (1997). Tropical Fishery Product. Science Publishes Inc. United Kingdom.

Haryati S. (2001). Pengaruh lama penyimpanan beku surimi ikan jangilus (Istiophorus sp) terhadap kemampuan pembentukan gel ikan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Ismail, Mohammed Hossain; Muhammad Mostafa Kamal; Fatema Hoque Shika; and Shahidul Hoque. (2004). International Journal of Agriculture & Biology : Effect of Washing and Salt Concentration on the Gel Forming Ability of Two Tropical Fish Species.

J. J. Stine., L. Pedersen., S. Smiley., P.J Bechtel. (2012). Recovery and Utilization of Protein Derived From Surimi Wash Water. Journal of Food Quality 35 (2012) ISSN 1754-4557. Wiley Periodicals, Inc.

Kaba, Nilgun. 2006. The Determination of Technology & Storage Period of Surimi Production from Anchovy (Engraulis encrasicholus L., 1758). Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 6: 29-35.

Koswara S, Hariyadi P, dan Purnomo EH. (2001). Tekno Pangan dan Agroindustri. Jakarta: UI Press.

Lee C.M. (1984). Surimi Process Technology. Journal Food Technology 38 (11) : 69-80.

Lertwittayanon, K., Soottawat Benjakul., Sajid Maqsood., Angel B. E. (2013). Effect of Different Salts on Dewatering and Properties of Yellowtail Barracuda Surimi. International Aquatic Research.

15

Page 17: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

16

Lertwittayanon, Kosol., Soottawat Benjakul., Sajid Maqsood & Angel B Encarnacion. 2013. Effect of Different Salts on Dewatering and Properties of Yellowtail Barracuda Surimi. International Aquatic Research 5 (10) : 1-12.

Mitchell C. 1985. Surimi: The America Experience. Infofish. No. 5: 17 – 20

Nopianti, R., Huda, N., Fazilah, A., Ismail, N., & Easa, A. M. 2012. Effect of Different Types of Low Sweetness Sugar on Physicochemical Properties of Threadfin Bream Surimi (Nemipterus Spp.) During Frozen Storage. International Food Research Journal 19 (3) : 1011-1021.

Nowsad, A. A.; W. F. Huang; S. Kanoh; and E. Niwa. (2000). Washing and

Cryoprotectant Effects on Frozen Storage of Spent Hen Surimi. Poultry Science

79:913–920.

Nurkhoeriyati, T., Nurul Huda, dan Ruzita A. (2008). Perkembangan Terbaru Teknologi Surimi. Malaysia.

Okada, M, M. David, and G. Kudo. (1973). Kamaboko The Giant Among Japanese Processed Fishery Products. MFR Paper 1019.Marine Fisheries Review Vol 35 (12).

Peranginangin, R., Wibowo S., dan N. Y. Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi.

Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.

Roussel, H and Cheftel J.C. (1988).Characteristics of Surmi and Kamaboko from Sardines. International Journal of Food Science and Technology 23:607-623.

Schwarz MD, Lee CM. 1988. Comparison of the thermostability of red hake and

Science Publishers Ltd

Shahidi, Fereidoon and J. Richard Botta. (1991).Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. Blackie Academic and Professional. Glasgow.

Shimizu Y, Toyohara H, Lanier TC. (1994). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel dekker. Page.425-442.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied

Toyoda, K., Shiraishi, T., Yoshioka, H., Yamada, T., Ichinose, Y. and Oku, H. (1992) Regulation of Polyphosphoinositide Metabolism in Peaplasma Membrane by Elicitor and Suppressor from a Pea Pathogen, Mycosphaerellapinodes. Plant Cell Physiol. 33: 445-452.

Wiguna, A. N. (2005). Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) Terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

William Renzo C.V., Gustavo C.F., Carlos Prentice. (2012). Comparisons of the Properties of Whitemouth Croaker (Micropogonias furnieri) Surimi and

Page 18: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

17

Mechanically Deboned Chicken Meat Surimi-Like Material*. Food and Nutrition Sciences, 2012,3, 1480-1483.

Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.

Page 19: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

Luas atas=13

a(h0+4 h1+2h2+4 h3+…+hn)

Luas bawah=13

a(h0+4 h1+2 h2+4 h3+…+hn)

Luas area basah=Luasatas−Luas bawah

mg H 2O=Luas areabasah−8,00,0948

Kelompok D1

Luas atas=13

36,5 (89+4 (186 )+2 (197 )+4 (180 )+99 )=24893 mm2

Luas bawah=13

36,5 ( 89+4 (38 )+2 (23 )+4 ( 47 )+99 )=6983,667 mm2

Luas area basah=24893−6983,667=17909,33 mm2

mg H 2O=17909,33−8,00,0948

=188832,63 mg

Kelompok D2

Luas atas=13

40 (124+4 (213 )+2 (227 )+4 (210 )+133 )=32040 mm2

Luas bawah=13

40 (124+4 (67 )+2 (54 )+4 (57 )+133 )=11480 mm2

Luas area basah=32040−11480=20560 mm2

mg H 2O=20560−8,00,0948

=216793,25 mg

18

Page 20: Prak Lusia Dewinta 13.70.0133 d1 Unika Soegijapranata

19

Kelompok D3

Luas atas=13

32 ( 105+4 (129 )+2 (148 )+4 (146 )+88 )=16949,33 mm2

Luas bawah=13

32 (105+4 (25 )+2 (14 )+4 (27 )+88 )=4576 mm2

Luas area basah=16949,33−4576=12373,33 mm2

mg H 2O=12373,33−8,00,0948

=130435,97 mg

Kelompok D4

Luas atas=13

45 (121+4 (201 )+2 (211)+4 (204 )+90 )=33795 mm2

Luas bawah=13

45 (121+4 (34 )+2 (30 )+4 (32 )+90 )=8025 mm2

Luas area basah=33795−8025=25770 mm2

mg H 2O=25770−8,00,0948

=271751,05 mg

Kelompok D5

Luas atas=13

47 ( 95+4 (182 )+2 (201 )+4 (195 )+107 )=33095,04 mm2

Luas bawah=13

47 (95+4 (24 )+2 (20 )+4 (29 )+107 )=7114,18 mm2

Luas area basah=33095,04−7114,18=25980,86 mm2

mg H 2O=25980,86−8,00,0948

=273975,32 mg

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal