Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah penyalahgunaan obat pada zaman sekarang di masyarakat kita bukanlah hal yang baru. Banyak obat- obatan yang disalahgunakan oleh para remaja dan orang dewasa sehingga penggunanya merajalela ke seluruh penduduk dunia termasuk Indonesia. Kota-kota besar di Indonesia dulu dikenal hanya merupakan daerah transit peredaran obat-obat terlarang (Narkotik dan Psikotropika). Namun seiring perkembangan globalisasi dunia, kota-kota terbesar tersebut sudah menjadi pasar peredaran narkotik sehingga merebak ke penduduk pedesaan. Narkotika dan psikotropika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan lainnya, namun di sisi lain dapat pula menimbulkan 1
86

PR0POSAL ERNA II.doc

Nov 17, 2015

Download

Documents

dani
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I

PAGE 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masalah penyalahgunaan obat pada zaman sekarang di masyarakat kita bukanlah hal yang baru. Banyak obat-obatan yang disalahgunakan oleh para remaja dan orang dewasa sehingga penggunanya merajalela ke seluruh penduduk dunia termasuk Indonesia. Kota-kota besar di Indonesia dulu dikenal hanya merupakan daerah transit peredaran obat-obat terlarang (Narkotik dan Psikotropika). Namun seiring perkembangan globalisasi dunia, kota-kota terbesar tersebut sudah menjadi pasar peredaran narkotik sehingga merebak ke penduduk pedesaan.

Narkotika dan psikotropika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan lainnya, namun di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan tanpa pembatasan, pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.

Sasaran pasar peredaran narkotika dan psikotropika sekarang ini tidak terbatas pada orang-orang Broken Home dan frustasi saja, namun telah merambah berkembang diedarkan ke berbagai kalangan termasuk mahasiswa, pelajar dan kalangan eksekutif telah terjangkit penyalahgunaan Napza

Penyalahgunaan Napza adalah suatu penyimpangan perilaku yang disebabkan oleh penggunaan yang terus menerus sampai terjadi masalah. Napza tersebut bekerja di dalam tubuh yang mempengaruhi terjadinya perubahan: perilaku, alam perasaan, memori, proses pikir, kondisi fisik individu yang menggunakannya (Depkes RI,2000: 207).

Penyalahgunaan Napza ini dapat mengalami kondisi lanjut yaitu: ketergantungan Napza, yang dimaksud dengan ketergantungan Napza adalah suatu kondisi yang cukup berat dan parah, sehingga mengalami sakit yang cukup berat. Kondisi ini juga ditandai dengan adanya ketergantungan fisik yaitu: sindroma putus Zat dan toleransi (Depkes RI, 2000: 207). Menurut WHO ketergantungan obat merupakan suatu keadaan keracunan yang periodik atau menahun yang merugikan individu itu sendiri atau masyarakat yang disebabkan oleh penggunaan suatu obat (asli atau sintetik) yang berulang-ulang (Maramis,1998: 324)

Menurut WHO obat (drug) didefinisikan sebagai semua zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh suatu makhluk akan mengubah atau mempengaruhi satu atau lebih fungsi faaliah makhluk tersebut. Dalam masalah ketergantungan obat ialah suatu obat dengan efek yang besar terhadap susunan saraf pusat atau fungsi mental, seperti obat psikotropik, psikotomimetik dan stimulansia, morfin dan derifatnya serta obat tidur (Maramis 1998:329)

Kasus Napza di Indonesia terus meningkat penyebarannya, berdasarkan data hingga september 2005 ini kasus narkoba di Indonesia mencapai 12.256 kasus yang terdiri atas narkotika 6.179 kasus, psikotropika 5.143 kasus dan bahan adiktif 934 kasus. Berbeda dengan pada tahun 2004 lalu tercatat hanya 8.409 kasus yang terdiri atas narkotika 3.874 kasus, psikotropika 3.887 kasus dan bahan adiktif 648 kasus (Depkes, 2006).

Di Jawa Barat kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) mengalami kenaikan sekitar 27%. Demikian laporan tahunan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung tahun 2005, jumlah perkara pidana narkoba tahun 2005 tercatat 213, sedangkan tahun sebelumnya 168 perkara. Data ini menguatkan pernyataan Badan Narkotika Provinsi (BNP) Jawa Barat yang menyebutkan, hingga November 2005, di Jabar terdapat 885 kasus narkoba. Di Jabar, jumlah kasus penyalahgunaan narkoba yang terungkap meningkat 30% per tahun, ujar anggota represif Badan Narkotika Provinsi (BNP) Jawa Barat (Asep Jaenal, 2006).

Tabel 1.1 jumlah kasus Napza yang ditangani oleh Polres Cianjur

Tahun Jenis ZatKelompok Umur

NarkotikaPsikotropika56 thn

20042014215125--

2005916-78811

Berdasarkan hasil studi pendahuluan jumlah klien yang dirawat di tempat Rehabilitasi Pesantern Bina Akhlak Cianjur sebanyak 70 orang yang terdiri dari empat klien perempuan dan 66 klien laki-laki.

Dalam banyak hal orang yang menyalahgunakan obat mencoba menggunakan obat-obat yang disalahgunakan sampai dia tertarik dan kecanduan. Kebanyakan orang tua akan memberitahu tentang bahayanya saja tetapi orangtua tidak memberi contoh kepada anak-anaknya misalnya orang tua membiarkan anaknya merokok di dalam rumah. Hal itu dianggap sebagai izin baginya untuk melakukan hal yang sama. Dengan begitu sangat mudah baginya untuk menerima ajakan teman-temannya untuk merokok atau menyalahgunakan obat. Dengan menggunakannya, anak-anak itu menjadi pecandu dan akan mencoba obat-obat yang lebih keras (Toleransi).Berdasarkan hasil penelitian Rutter (1980) mengemukakan bahwa kondisi keluarga yang tidak baik (disfungsi keluarga) merupakan salah satu faktor bagi tetrjadinya penyalahgunaan napza diantaranya : kematian orang tua (Broken Home By Death), kedua orang tua bercerai atau pisah (Broken Home By Divorce / Separation), hubungan orang tua tidak harmonis (Poor Marriage), hubungan orang tua dengan anak tidak baik (Poor Parent-Child Relationship), suasana rumah tangga yang tegang (High Tension), suasana rumah tangga tanpa kehangatan (Low Warmth), orang tua yang sibuk dan jarang di rumah (Absence), orang tua mempunyai kelainan kepribadian (Personality Disorder) (Hawari, 1996 : 134).

Sistem keluarga merupakan konteks belajar yang utama bagi suatu perilaku, pikiran dan perasaan seseorang individu. Fungsi keluarga juga melindungi individu-individu dari kontak langsung dengan masyarakat. Keluarga telah lama dilihat sebagai konteks yang paling vital bagi pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Keluarga memiliki pengaruh yang penting sekali terhadap pembentukan identitas seseorang individu dan perasaan harga diri (Friedman,1998 : 5)

Menurut Friedman (1998 : 100), terdapat lima fungsi dasar keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota individu, keluarga dan masyarakat, yaitu: (1) fungsi Afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian) ; (2) fungsi sosialisasi (pemenuhan anggota keluarga menjadi anggota masyarakat yang produktif ) ; (3) fungsi repoduktif (untuk menjaga kelangsungan generasi) ; (4) fungsi ekonomis (mengadakan sumbersumber ekonomi yang memadai) ; (5) fungsi perawatan kesehatan (mengadakan kebutuhankebutuhan fisik, pangan, sandang, papan, dan perawatan kesehatan).

Dari kelima fungsi keluarga tersebut di atas, yang erat hubungannya dengan penyalahgunaan napza adalah fungsi afektif. Karena menurut Satir (1972) dikutip Friedman (1998 : 350) mengungkapkan bahwa pemenuhan fungsi afektif merupakan basis sentral bagi pembentukan dan kelanjutan dari unit keluarga. Dimana keluarga sebagai sumber utama dalam memenuhi kebutuhan psikologis, kebutuhan untuk memahami, kasih sayang dan kebahagiaan. Menurut Loveland-Cherry (1989) dikutip Friedman (1998 : 350) mengutarakan bahwa kasih sayang di kalangan anggota keluarga menghasilkan suasana emosional pengasuhan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara positif, dan perasaan memiliki kompetisi pribadi.

Pentingnya fungsi afektif keluarga merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri karena fungsi afektif ini begitu vital bagi kelangsungan hidup keluarga dan berfungsinya keluarga secara keseluruhan dan anggota keluarga secara individual (friedman, 1998 : 350).

Penelitian (Hawari, 1990) membuktikan bahwa penyalahgunaan Napza menimbulkan dampak antara lain, merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk, perubahan perilaku menjadi anti sosial, merosotnya produktivitas kerja, gangguan kesehatan; mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan lainnya baik kuantitatif maupun kualitatif (Hawari, 1996 : 125). Dampak yang merugikan dalam penggunaan obat yang disalahgunakan yaitu adanya gangguan fisik (hepatitis, insufisiensi ginjal) dan adanya gangguan psikotik seperti gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku, demensia atau gannguan fungsi dan psikologis lainnya (Maslim, 2003 : 37).

Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan minuman keras pada umumnya disebabkan karena obat-obatan tersebut menjanjikan sesuatu yang dapat memberikan rasa kenikmatan, kenyamanan, kesenangan dan ketenangan, walaupun hal itu sebenarnya hanya dirasakan secara semu.

Orang orang yang mengalami penyalahgunaan Napza biasanya tidak dapat dan tidak mampu berfungsi secara wajar dalam aktifitas kehidupan sehari-harinya. Individu tersebut memerlukan bantuan yang profesional untuk memenuhi dan mengembalikan mental serta hidupnya secara optimal agar dapat diterima oleh masyarakat kembali. Oleh karena itu untuk dapat membantu mengidentifikasi kebutuhan klien yang mengalami penyalahgunaan Napza diperlukan adanya koordinasi dalam penanggulangan narkoba antar lembaga pemerintah terkait. Selain itu, proses pencegahan dan penanggulangan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Napza termasuk rehabilitasinya tidak mungkin hanya ditangani oleh pemerintah saja, namun diperlukan peran serta masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Massa (Ormas) untuk peduli akan bahaya penyalahgunaan Napza.

Tempat rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur dipandang sebagai suatu tempat yang memberikan bantuan dan pelayanan rehabilitasi kepada masyarakat dan klien yang mengalami penyalahgunaan Napza. Bantuan dan pelayanan rehabilitasi tersebut diberikan berupa ramuan trasdisional, totokan atau pijatan, kedisiplinan, dan meningkatkan pemahaman keagamaan (spiritual).

Tempat rehabilitasi tersebut mendapat dukungan baik moral maupun material dari masyarakat khususnya pemerintah Kabupaten Cianjur. Karena, tempat rehabilitasi tersebut merupakan suatu bentuk upaya dari masyarakat Cianjur untuk merealisasikan semboyan dari kota Cianjur sebagai kota santri dalam bentuk Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat yang berakhlakul karimah).

Permasalahan yang ditemui pada klien penyalahgunaan Napza di tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur adalah adanya ketidak harmonisan klien penyalahgunaan Napza dengan keluarga khususnya orang tua dan jarangnya keluarga menjenguk klien yang sedang dirawat di tempat rehabilitasi tersebut.

Berdasarkan wawancara dengan pengurus yayasan Pesantren Bina Akhlak Cianjur mengatakan bahwa klien yang datang ke tempat Rehabilitasi sebagian besar karena faktor hubungan keluarga yang tidak harmonis dan karena ketidakmampuan keluarga dalam menaggulangi klien penyalahgunaan Napza.

Selain itu, hasil wawancara dengan empat keluarga klien yang sedang berkunjung didapatkan data bahwa satu keluarga mengatakan anaknya dulu kurang perhatian dari keluarga, karena pada saat duduk di bangku SLTP anaknya tersebut tinggal di luar kota dan tinggal sendiri, satu keluarga mengatakan anaknya menyalahgunakan napza semenjak ditinggal wafat ayahnya, dan dua keluarga mengatakan anaknya tidak akrab dengan kakak dan adik-adiknya.

Berdasarkan wawancara dengan empat klien penyalahgunaan Napza di dapatkan data bahwa dua dari klien penyalahgunaan Napza mengatakan dirinya dan keluarga tidak akrab, satu orang mengatakan bahwa dirinya tidak terbuka pada keluarga dan cenderung tertutup karena sering di pukul, dan satu orang lagi mengatakan bahwa dirinya merasa di acuhkan karena kesibukan dari kedua orang tuanya.

Masalah-masalah tersebut merupakan gambaran adanya masalah dalam fungsi afektif pada keluarga yang merusak hubungan kekeluargaan dan hal ini di anggap penting untuk diteliti lebih lanjut

Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk meneliti Bagaimana gambaran fungsi afektif keluarga berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza di tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur.

1.2 Perumusan Masalah

Sesuai dengan uraian pada latar belakang, peneliti merumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana gambaran fungsi afektif keluarga berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza di tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

.

Untuk mendapat gambaran fungsi afektif keluarga bardasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza di tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mendapatkan gambaran fungsi memelihara saling asuh dari fungsi afektif. (Maintaining Mutual Nurturance)

1.3.2.2 Mendapatkan gambaran fungsi memelihara hubungan yang akrab dari fungsi afektif (Good Human Relationship)1.3.2.3 Mendapatkan gambaran fungsi saling menghormati dari fungsi afektif. (Mutual Respect Balance)1.3.2.4 Mendapatkan gambaran fungsi pertalian atau kasih sayang dari fungsi afektif. (Bonding And Attachment)

1.3.2.5 Mendapatkan gambaran fungsi keterpisahan dan keterpaduan dari fungsi afektif. (Separatness And Connectedness)

1.4 Kegunaan Penelitian

Melalui penelitian tentang gambaran pelaksanaan fungsi afektif keluarga berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza di tempat rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, diharapkan berguna bagi:

1.4.1 Bagi Institusi

Hasil penelitian ini dapat memperluas khasanah pengetahuan ilmu keperawatan, khususnya kajian mengenai gambaran pelaksanaan fungsi afektif berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza.

1.4.2 Bagi Tempat Rehabilitasi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang fungsi afektif keluarga berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza kepada petugas Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur dengan cara melibatkan keluarga klien.1.4.3 Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan kajian dan data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap permasalahan klien penyalahgunaan napza.

1.5 Definisi Konseptual Dan Definisi Operasional

1.5.1 Definisi Konseptual

1.5.1.1 Keluarga

Keluarga adalah orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan ikatan adopsi dimana para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga atau jika mereka hidup terpisah, mereka tetap menjaga rumah tangga tersebut sebagai rumah tangga meraka (Friedmen, 1998 : 11).

1.5.1.2 Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga adalah keluarga sumber utama dalam memenuhi kebutuhan psikologis, kebutuhan untuk memahami, kasih sayang dan kebahagiaan. (Adam, 1971, dikutip oleh Friedmen, 1998: 350).

1.5.1.3Fungsi Afektif

Keluarga menjalankan tujuan-tujuan psikososial yang utama yaitu membentuk sifat-sifat kemanusiaan dalam diri mereka, stabilitas kepribadian dan tingkah laku, kemampuan menjalin berhubungan secara lebih akrab, dan harga diri (Adam, 1971, dikutip oleh friedman, 1998: 351).1.5.1.4 penyalahgunaan napza

Penyalahgunaan Napza adalah suatu penyimpangan perilaku yang disebabkan oleh penggunaan yang terus menerus sampai terjadi masalah. Napza tersebut bekerja di dalam tubuh yang mempengaruhi terjadinya perubahan: perilaku, alam perasaan, memori, proses pikir, kondisi fisik individu yang menggunakannya (Depkes RI, 2000 : 207).

1.5.2Definisi Operasional

VariabelDefinisi operasionalSkala ukurAlat ukurHasil pengukuran

Fungsi afektif keluarga

Sub

variabel :

Memelihara saling asuh

Memelihara hubungan yang akrab

Saling menghormati

Pertalian atau kasih sayang

Keterpisahan dan keterpaduanKeluarga merupakan tempat untuk saling menerima dan memberikan kasih sayang dan perhatian

Keluarga memelihara dan menjaga hubungan yang intim dengan anggota keluarga

Keluarga menghormati dan menjunjung tinggi kewajiban dan hak-hak yang dimiliki oleh anggota keluarga

Keluarga membina hubungan yang baik dengan anggota keluarga yang lain

Keluarga memberikan kebebasan kepada individu dan menyiapkan kebutuhan di dalam kegiatan di luar lingkungan rumah

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

Ordinal

angket

angket

angket

angket

angket>Mean = baik

< Mean = Tidak Baik

>Mean = baik

< Mean = Tidak Baik

>Mean = baik

< Mean = Tidak Baik

>Mean = baik

< Mean = Tidak Baik

>Mean= baik

< Mean = Tidak Baik

1.6 Kerangka Pemikiran

Penyalahgunaan Napza adalah suatu penyimpangan perilaku yang disebabkan oleh penggunaan yang terus menerus sampai terjadi masalah. Napza tersebut bekerja di dalam tubuh yang mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku, alam perasaan, memori, proses pikir, kondisi fisik individu yang menggunakannya (Depkes RI, 2000 : 207) Ketergantungan Napza merupakan adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk menggunakan Zat psikoaktif. Kesulitan untuk mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk sejak mulainya usaha penghentian, atatu pada tingkat sedang menggunakan (Maslim, 2003 : 38).

Menurut hasil penelitian Hawari (1990) mengemukakan bahwa mekanisme terjadinya penyalahgunaan Napza sebagai berikut : penyalahgunaan Napza terjadi oleh interaksi antar faktor-faktor predisposisi (kepribadian, kecemasan, depresi), faktor kontribusi (kondisi keluarga), dan faktor pencetus (pengaruh teman kelompok sebaya dan Zatnya itu sendiri) (Hawari, 1996 : 129).

Salah satu aspek psikososial yang merupakan faktor kontribusi pada terjadinya faktor penyalahgunaan Napza, adalah faktor keluarga yaitu berupa keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, dan hubungan antar pribadi, antar anggota keluarga (Hawari, 1997 :134). Rutter (1996 : 134) mengemukakan kondisi keluarga yang kurang baik (Disfungsi Keluarga) merupakan faktor kontribusi bagi terjadinya penyalahgunaan Napza seperti: kematian orang tua, orang tua bercerai, hubungan kedua orang tua tidak harmonis, hubungan orang tua dengan anak tidak baik, suasana rumah tangga yang tegang, orang tua sibuk dan orang tua yang mempunyai kelainan kepribadian.

Adam (1971) menguraikan fungsi keluarga adalah sumber utama dalam memenuhi kebutuhan psikologis, kebutuhan untuk memahami, kasih sayang, dan kebahagiaan (Fridman, 1998 : 350).

Salah satu fungsi keluarga yaitu fungsi afektif dimana keluarga merupakan tempat untuk memelihara saling asuh, memelihara hubungan yang akrab, saling menghormati, pertalian atau kasih sayang, dan keterpisahan dan keterpaduan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Napza

Napza adalah akronim dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif (Joewana, 2004 : 20). Namun secara umum Napza adalah obat-obat yang dapat memberikan perubahan-perubahan pada fungsi mental (pikiran dan perasaan), tingkah laku, persepsi dan fungsi motorik serta dapat menimbulkan ketergantungan baik fisik maupun psikis (Badan Narkotika Kabupaten Cianjur, 2005 : 2).

2.2 Penyalahgunaan Napza

Penyalahgunaan Napza adalah merujuk pada penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah (Stuart & Sundeen, 1998 : 389). Penyalahgunaan Napza dapat mengakibatkan gangguan mental organik, disebut organik karena napza ini bila masuk ke dalam tubuh langsung bereaksi dengan sel-sel saraf (otak) dan menimbulkan gangguan pada alam pikir, perasaan dan perilaku (Masruhi Sudiro, 1999 : 41). Sedangkan menurut Undang-undang tentang narkotika bab I pasal I ayat 14 penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.

Kesimpulan dari pendapat di atas bahwa penyalahgunaan napza adalah penggunaan obat yang secara terus menerus atau sekali kali (kadang-kadang) dan berlebihan tidak menurut petunjuk dokter atau praktek kedokteran. Penyalahgunaan napza juga dapat menimbulkan gangguan tertentu pada badan dan jiwa seseorang. Berbagai kerugian akibat napza lebih banyak daripada manfaatnya.

2.3 Penggolongan Napza

2.3.1 Narkotika

Narkotika secara umum adalah suatu zat / substansi yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan penglihatan, karena zat atau substansi tersebut mempengaruhi susunan saraf pusat serta dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakan dan memasukan ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan (Badan Narkotika Kabupaten Cianjur, 2005 : 3).

Menurut Undang-undang RI no. 22 pasal 1 ayat 1 tahun 1997, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Joewana, 2004 : 80).

Narkotika digolongkan menjadi :

2.3.1.1 Narkotika golongan I

a. Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan

b. Tidak digunakan dalam pengobatan

c. Memiliki potensi amat kuat mengakibatkan ketergantungan, misalnya : heroin, daun koka, kokain, ganja

2.3.1.2 Narkotika golongan II

a. Berkhasiat dalam pengobatan

b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan

c. Potensi kuat dapat mengakibatkan ketergantungan, misalnya : morfin

2.3.1.3 Narkotika golongan III

a. Berkhasiat dalm pengobatan

b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan

c. Potensi sedang mengakibatkan ketergantungan, misalnya : kodein

2.3.2 Psikotropika

Menurut Undang-undang RI no. 5 pasal 1ayat 1 Tahun 1997, yang dimaksud dengan psikotropika adalah zat atau obat alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental atau perilaku (Joewana, 2004 : 83).

Psikotropika digolongkan menjadi :

2.3.2.1 Psikotropika golongan I

a. Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan

b. Tidak digunakan dalam pengobatan

c. Memiliki potensi amat kuat mengakibatkan ketergantungan, misalnya : extacy, met-amfetamin (sabu)2.3.2.2 Psikotropika golongan II

a. Berkhasiat dalam pengobatan

b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan

c. Potensi kuat dapat mengakibatkan ketergantungan, misalnya : metakualon (mandrax)

2.3.2.3 Psikotropika golongan III

a. Berkhasiat dalam pengobatan

b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan

c. Potensi sedang mengakibatkan ketergantungan, misalnya : flunitrazepam2.3.2.4 Psikotropika golongan IV

a. Berkhasiat dalam pengobatan

b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan

c. Sangat luas digunakan dalam terapi

d. Potensi ringan mengakibatkan ketergantungan, misalnya : nitrazepam

2.3.3 Zat Adiktif

Zat adiktif adalah zat yang apabila dipakai secara teratur, sering dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) (Joewana, 2004 : 22). Menurut Undang-undang RI No. 22 tahun 1997 tentang narkotika adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan berbahaya tersebut bukan Narkotika dan Psikotropika atau Zat-zat baru hasil olahan manusia yang menyebabkan kecanduan.

2.4 Proses Orang Menjadi Penyalahgunaan Napza

Penggunaan zat psikoaktif pada seseorang terjadi karena interaksi antara tiga faktor, ketiga faktor tersebut adalah :

2.4.1 Faktor Individu

Faktor kepribadian seseorang akan mempengaruhi apakah ia akan tergantung pada suatu obat atau tidak. Orang yang merasa tidak mantap serta mempunyai sifat tergantung dan pasif akan lebih cenderung menjadi tergantung pada obat.

2.4.2 Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan meliputi lingkungan rumah, sekolah, tempat kerja, tempat bermain dan sebagainya. Faktor lingkungan rumah yang kondusif pada gangguan mental dan perilaku akibat penggunaaan zat psikoaktif antara lain orang tua yang terlalu mengatur anak, orang tua yang terlalu banyak menuntut anak berprestasi di luar kemampuan atau keinginan anak, orang tua yang terlalu sibuk sehingga kurang memberi cukup perhatian kepada anak, hubungan ayah dan ibu yang tidak harmonis, orang tua yang tidak menanamkan nilai yang baik dalam keluarga, atau adanya salah satu anggota keluarga yang sudah lebih dulu menggunakan zat psikoaktif.

2.4.3 Faktor Zat

Tidak semua zat dapat menimbulkan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif. Hanya zat dengan khasiat farmakologis tertentu sering menimbulkan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif. Khasiat farmakologis tertentu itu antara lain dapat menimbulkan rasa nyaman, rasa santai, menidurkan, menghilangkan rasa nyeri, atau membangkitkan keberanian diri. 2.5 Tanda Dan Gejala Penyalahgunaan Napza

2.5.1 Tanda-Tanda Penyalahgunaaan Napza

Tanda-tanda penyalahgunaan napza antara lain :

2.5.1.1 Perubahan dalam sikap, peringai dan kepribadian

2.5.1.2 Menurunnya kedisiplinan

2.5.1.3 Mudah tersinggung dan suka marah

2.5.1.4 Suka mencuri

2.5.1.5 Suka memakai baju lengan panjang

2.5.1.6 Suka memakai kaca mata hitam

2.5.2 Gajala-Gejala Dari Penyalahgunaan Napza

Gejala-gejala dari penyalahgunaan napza, antara lain :

2.5.2.1 Meningkatkan keberanian dan gairah

2.5.2.2 Gembira yang berlebihan, perasaan yang sangat nikmat, dan merasa sehat yang berlebihan

2.5.2.3 Meningkatnya energi tubuh secara sensasional

2.5.2.4 Sensitif dalam interaksi sosial

2.5.2.5 Tidak dapat mengendalikan diri

2.5.2.6 Halusinasi (rasa melayang)

2.6 Dampak Penyalahgunaan Napza

Dampak penyalahgunaan napza bisa dilihat dari tiga sisi yakni dampak fisik, dampak mental dan dampak sosial.2.6.1 Dampak Fisik

2.6.1.1 Terlihat kurus, loyo, kusam, jorok, kulit rusak, dan juga dapat menimbulkan stroke.

2.6.1.2 Over dosis yang menimbulkan sakit yang luar biasa lalu tidak sadarkan diri bahkan bisa sampai menyebabkan kematian

2.6.1.3 Sakaw yang menimbulkan rasa sakit yang menyiksa

2.6.1.4 Berpotensi mudah tertular penyakit HIV/AIDS, hepatitis B dan sipilis yang ditularkan melalui jarum suntik yang berkali-kali digunakan, serta menimbulkan gangguan fungsi jantung, otak, hati, paru dan ginjal

2.6.2 Dampak mental

Terjadinya perubahan sifat dan watak antara lain menjadi malas dan egois, yang dapat berkembang menjadi individu yang bodoh, tidak berguna dan tidak produktif. Perubahan-perubahan ini dapat mendorong pemakai napza terjebak pada tindak kriminal seperti menipu, mencuri dan membunuh.

2.6.3 Dampak Sosial

Pengguna napza selalu berupaya mempengaruhi masyarakat di lingkungannya untuk menjadi pengguna napza sehingga berakibat meningkatnya peredaran napza di lingkungan tersebut. Dengan meningkatnya penggunaan dan peredaran napza menyebabkan timbulnya kerawanan sosial seperti keamanan dan tindak kriminal.

2.7 Tinjauan tentang keluarga

2.7.1 Definisi Keluarga

Keluarga adalah orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi dimana para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama

dalam satu rumah tangga atau jika mereka hidup terpisah, mereka tetap menjaga rumah tangga tersebut sebagai rumah tangga mereka (Friedman terjemahan Ina Debora, 1998 : 11).

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang peranannya sangat besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal perkembangan kepribadian selanjutnya (Hilgard, 1999). Sedangkan menurut peraturan pemerintah no. 21 Tahun 1994 keluarga adalah suatu unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami isteri, isteri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya.

Kesimpulan dari pendapat di atas bahwa keluarga merupakan kesatuan dari masyarakat kecil yang mempunyai motivasi dan tujuan hidup tertentu dimana dalam suatu keluarga yang terdiri ayah, ibu dan anak-anaknya mempunyai fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Keluarga merupakan pendidikan yang informal yaitu sebagai fundamen yang pertama dan utama dalam pembentukan jiwa serta kepribadian anak dan anggota keluarga yang lain.

2.7.2 Fungsi-fungsi Keluarga

Keluarga berfungsi sebagai variabel intervensi kritis atau sebagai buffer antara masyarakat dan individu. Menurut Friedman (1998) terdapat lima fungsi keluarga sebagai dasar keluarga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota individu keluarga dan masyarakat yang lebih luas, yaitu :

2.7.2.1 Fungsi Afektif

Satir (1972) dikutip Frieman (1998) mengungkapkan bahwa fungsi afektif merupakan suatu basis sentral bagi pembentukan dan keberlangsungan unit keluarga. Fungsi ini berkaitan dengan persepsi keluarga dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan sosioemosional para anggota keluarga yang meliputi pengurangan tekanan dan penjagaan terhadap moral.

2.7.2.2 Fungsi Sosialisasi

Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup dimana individu secara kontinu mengubah perilaku mereka sebagai respon terhadap situasi yang terpola secara sosial yang mereka alami. Istilah sosialisasi lebih sering merujuk pada berbagai pengalaman yang ada dalam keluarga. Pengalaman-pengalaman ini bertujuan untuk mengajarkan anak bagaimana berfungsi dan menerima peran-peran dewasa dalam masyarakat

2.7.2.3 Fungsi perawatan kesehatan

Fungsi ini menyediakan kebutuhan-kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan. Keluarga merupakan sistem dasar dimana perilaku sehat dan perawatan kesehatan diatur, dilaksanakan dan diamankan. Keluarga memberikan perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan secara bersama-sama merawat anggota keluarga yang sakit.

2.7.2.4 Fungsi Reproduksi

Salah satu fungsi dasar dari keluarga adalah untuk menjamin kontinuitas keluarga antar generasi dan masyarakat,dimana perkawinan dan keluarga dirancang untuk mengatur dan mengontrol perilaku seksual dan juga reproduksi.

2.7.2.5 Fungsi Ekonomi

Fungsi ekonomi meliputi tersedianya sumber-sumber dari keluarga secara cukup dalam hal finansial, ruang gerak dan materi, dan pengalokasian sumber-sumber tersebut yang sesuai melalui proses pengambilan keputusan. Pengalokasian sumber-sumber tersebut yaitu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, papan dan perawatan kesehatan yang memadai.

2.8 Gambaran Fungsi Afektif Keluarga

Fungsi afektif meliputi persepsi keluarga tentang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan psikososial anggota keluarga. Melalui pemenuhan fungsi ini, maka keluarga menjalankan tujuan-tujuan psikososial yang utama, yaitu membentuk sifat-sifat kemanusiaan dalam diri anggota keluarga, membentuk kepribadian dan tingkah laku, kemampuan menjalin hubungan secara lebih akrab dan harga diri.

Komponen fungsi afektif keluarga yang utama, yaitu :

2.8.1 Memelihara Saling AsuhFungsi afektif yang pertama dan paling penting adalah termasuk menciptakan dan memelihaara sebuah sistem saling asuh (mutual nurturance) dalam keluarga. Dimana keluarga dianggap sebagai tempat untuk memperoleh kehangatan, dukungan, cinta, dan penerimaan. Aspek ini dapat dikatakan baik apabila keluarga memenuhi dan menjalankan hal tersebut di atas dan sebaliknya aspek ini dikatakan tidak baik apabila keluarga tidak dianggap sebagai tempat untuk memperoleh kehangatan, dukungan, cinta dan penerimaan.2.8.2 Memelihara Hubungan Yang Akrab

Lewat pemenuhan fungsi afektif keluarga, individu sebagai anggota keluarga mengembangkan kemampuan untuk berhubungan secara akrab dan intim satu dengan yang lainnya. Menurut Andrews (1974) Keintiman merupakan hal penting dalam hubungan manusia karena keintiman dapat memenuhi kebutuhan psikologis terhadap keakraban emosional dengan orang lain dan memungkinkan individu dalam hubungan tersebut untuk mengetahui seluruh keunikan satu sama lain (Friedman, 1998 : 351). Aspek ini dikatakan baik apabila keluarga mampu untuk membina dan mengembangkan hubungan yang akrab satu sam lain, dan sebaliknya pada aspek ini dikatakan tidak baik apabila keluarga tidak mampu mengembangkan anggota keluarganya untuk berhubungan secara lebih akrab dengan anggota keluarga maupun dengan orang lain.2.8.3 Saling Menghormati

Tujuan utama dari saling menghormati ini adalah keluarga harus memelihara suasana dimana harga diri dan hak-hak dari kedua orang tua dan anak sangat dijunjung tinggi. Menurut colley (1978) di kutip dari Friedman (1998) keseimbangan saling menghormati dapat dicapai apabila setiap anggota keluarga menghormati hak, kebutuhan dan tanggung jawab anggota keluarga yang lain. Aspek tersebut dikatakn baik apabila keluarga dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarganya seperti hal tersebut di atas, sedangkan aspek ini dikatakan tidak baik apabila keluarga tidak memperdulikan hal tersebut sebagai bagian dari hak yang harus dimiliki oleh anggota keluarganya. Memelihara keseimbangan antara hak-hak individu dalam keluarga berarti menciptakan suasana dimana baik orang tua maupun anak-anak tidak diharapkan untuk memenuhi tingkah laku dari yang lain.2.8.4 Pertalian dan Kasih Sayang

Kasih sayang menurut Wright dan Leahey (1984) adalah ikatan emosional yang relatif unik dan abadi antara dua orang tertentu. Bowlby (1977) menanamkan perkembangan ikatan emosional ini sebagai jatuh cinta (Friedman terjemahan Ina debora, 1998 : 352). Pertalian atau kasih sayang berkembang antara orang tua dan anak-anak dan antara kakak adik karena mereka saling berhubungan satu sam lain secara terus menerus dan secara positif melalui proses yang disebut identifikasi. Turner (1970) menjelaskan bahwa identifikasi adalah suatu sikap dimana seseorang mengalami apa yang terjadi dengan orang lain seolah-olah itu terjadi pada dirinya sendiri (Friedman terjemahan ina debora, 1998 : 353).

Agar pertalian atau kasih sayang bisa terjadi dalam hubungan keluarga,pertama harus ada identifikasi positif. Karena kebanyakan aspek kasih sayang bersifat pervasif, kasih sayang dapat didasarkan atas mekanisme simpati atau mekanisme libidal atau semata-mata berasal dari internalisasi sikap orang yang diberi perhatian dan tempat bergantung. Lewat identifikasi, anak-anak belajar meniru tingkah laku orang tua. Karena, identitas anak dipertinggi dengan belajar tingkah laku, sikap, nilai-nilai dari orang tua, maka terbentuklah suatu pertalian. Aspek ini dikatakan baik apabila setiap anggota keluarga mampu memenuhi hal tersebut di atas, sebaliknya dikatakan tidak baik apabila keluarga tidak menanamkan ikatan emosional (jatuh cinta) antar anggota keluarganya.2.8.5 Keterpisahan dan Keterpaduan

Perkembangan dari rasa pisah dan individualisasi terjadi karena anak-anak berpartisipasi dalam peran di keluarga dan dalam situasi dan kejadian keluarga yang berbeda, dan melalui keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan di luar keluarga. Menurut Munichin (1974) mengatakan bahwa ketika anak-anak sudah besar, orang tua secara perlahan-lahan memberikan lebih banyak otonomi agar mereka berkembang dan memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan dan minat mereka yang unik (Friedman terjemahan Ina Debora, 1998 : 354).Untuk merasakan dan memenuhi kebutuhan psikologis anggota keluarga, maka keluarga harus mencapai pola keterpisahan (separatness) dan keterpaduan (connectedness) yang memuaskan. Setiap keluarga menghadapi isu-isu keterpisahan dan keterpaduan dengan cara yang unik. Aspek ini dikatakan baik apabila keluarga mampu memberikan otonomikepada anggota keluarganya dalam mengembangkan minat dan bakat, dan sebaliknya dikatakan tidak baik apabila keluarga tidak mampu mengembangkan minat dan bakat dari setiap anggota keluarganya.

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1 Jenis Metode Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2002 : 138). Dalam hal ini penulis ingin mendapatkan gambaran fungsi afektif keluarga pada klien penyalahgunaan Napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur.

3.2 Variabel dan Subvariabel Penelitian

3.2.1 Variabel

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002 : 96). Variabel dalam penelitian ini adalah fungsi afektif keluarga berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza di tempat Rehabilitasi pesantren Bina Akhlak Cianjur

3.2.2 Subvariabel

Subvariabel adalah variabel-variabel yang lebih kecil yang dapat diartikan sebagai indikator variabel (Arikunto, 2002). Subvariabel dalam penelitian ini meliputi beberapa aspek dari fungsi afektif keluarga pada klien penyalahgunaan Napza tersebut, diantaranya adalah memelihara saling asuh, memelihara hunbungan yang akrab, saling menghormati, pertalian atau kasih sayang, keterpisahan dan keterpaduan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002 : 96). Populasi dalam penelitian ini adalah semua klien penyalahgunaan Napza yang di rawat di tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur yang berjumlah 70 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002 : 99). Sampel yang di gunakan adalah teknik total sampling yaitu semua populasi di ikut sertakan dengan syarat:

bisa baca dan tulis

pendidikan minimal lulusan SD

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah teknik angket. Angket adalah suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian mengenai suatu masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum atau orang banyak (Notoatmodjo, 2002). Angket ini dilakukan dengan mengedarkan suatu daftar pertanyaan berupa formulir-formulir, diajukan secara tertulis kepada sejumlah objek untuk mendapatkan tanggapan, informasi, jawaban, dan sebagainya. Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup, yaitu angket dengan pertanyaan yang telah disediakan jawabannya dan responden hanya diminta memilih jawaban sesuai dengan pengetahuan dan pendapat responden (Arikunto, 2002). Responden menjawab pertanyaan yang disajikan dengan cara memberi tanda check list () pada jawaban yang dianggap paling sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam angket ini terdapat lima alternatif jawaban yang disediakan, yaitu : selalu (SL), sering (SR), kadang-kadang (KD), jarang sekali (JS), dan tidak pernah (TP).

3.5 Validitas dan Reliabilitas Instrumen

3.5.1 Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkannya dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2002 : 144). Suatu pertanyaan dikatakan valid dan dapat mengukur variable penelitian yang dimaksud jika nilai koefisien validitasnya dan besarnya lebih dari atau sama dengan 0,30 (Sugiyono, 2004 : 115).

Uji validitas ini dilakukan untuk setiap aitem pertanyaan pada instrumen penelitian. Untuk menguji validitas variabel fungsi afektif keluarga yang berupa skor dalam skala ordinal (tingkatan) digunakan teknik korelasi product moment yang rumusnya sebagai berikut :

Keterangan :

n = Jumlah responden

= Jumlah dari perkalian skor aitem dengan skor total

= Jumlah dari skor aitem pertanyaan

= Jumlah dari skor total

(Notoatmojdo, 2005 : 131)

Pada penelitian ini peneliti melakukan uji coba instrumen terhadap 10 orang responden sehingga menghasilkan perhitungan uji validitas seperti yang tertera dalam lampiran.3.5.2 Reliabilitas

Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2005). Sekumpulan pertanyaan untuk mengukur suatu variable dikatakan reliable jika koefisien reliabilitasnya lebih dari atau sama dengan 0,700. Uji reliabilitas yang digunakan untuk variabel fungsi afektif keluarga yang berupa skor dalam skala ordinal (tingkatan) adalah teknik koefisien reliabilitas alpha cronbach dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

k= Banyaknya aitem dalam tes

= Jumlah varians dari skor tiap aitem

= Varians dari skor total aitem

(Azwar, 2002 : 156)

Dari hasil perhitungan uji coba instrumen penelitian (terlampir) diperoleh nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach sebesar 0,822. sehingga, koefisien reliabilitas tersebut termasuk reliabel. Ini berarti bahwa hasil pengukuran dari instrumen penelitian telah dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Dengan demikian, seluruh item pertanyaan dalam instrumen penelitian ini dapat digunakan untuk analisis selanjutnya.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskripsi kuantitatif untuk menggambarkan responden berdasarkan fungsi afektif keluarga dalam bentuk persentase dari data hasil angket yang telah diolah. Proses pengolahan dan analisis data penelitian ini melalui tahapan sebagai berikut :

3.6.1 Editing

Pada tahap editing ini, peneliti melakukan pengecekan terhadap data-data yang telah diisi responden pada angket, baik data demografi responden maupun jawaban dari setiap aitem pertanyaan.

3.6.2 Koding

Koding merupakan suatu metode untuk mengkonversikan data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis. Untuk menilai komponen fungsi afektif keluarga digunakan teknik Likertrs Summated Rating, dimana untuk pernyataan yang bersifat positif, jawaban selalu (SL) diberi skor 5, sering (SR) diberi skor 4, kadang-kadang (KD) diberi skor 3, jarang sekali (JS) diberi skor 2, dan tidak pernah (TP) diberi skor 1, sedangkan untuk pernyataan yang bersifat negatif, jawaban tidak pernah (TP) diberi skor 5, jarang sekali (JS) diberi skor 4, kadang-kadang (KD) diberi skor 3, sering (SR) diberi skor 2, dan selalu (SL) diberi skor 1.

3.6.3 Data EntryData yang sudah dikoding kemudian dientry ke dalam computer untuk selanjutnya siap diolah dan dianalisis dengan menggunakan software Microsoft excel 2000

3.6.4 Analisis Data

Untuk mengetahui apakah fungsi afektif keluarga tersebut termasuk baik atau tidak baik, maka dari skor total tiap responden dihitung dengan rumus :

T = 50 + 10 X - X Keterangan :

X = Skor responden pada skala sikap yang hendak diubah menjadi skor T

X = Mean skor kelompok

S = Deviasi standar skor kelompok

(Azwar, 2005 : 156)

Kriteria : Baik jika T > rata-rata skor T

Tidak Baik jika T < rata-rata skor T

Penentuan skor tersebut dilakukan pada setiap subvariabel dan secara keseluruhan dari variable dengan kategori sebagai berikut :

Jika skor > Mean, maka fungsi afektif keluarga dikatakan baik

Jika skor < Mean, maka fungsi afektif keluarga dikatakan tidak baik

Selanjutnya, analisis deskriptif dari fungsi afektif keluarga yang dinyatakan baik atau tidak baik dilakukan dengan menggunakan rumusan persentase sebagai berikut :

Keterangan :

P = Persentase kategori baik atau tidak baik

= Jumlah responden yang termasuk baik atau tidak baik

n = Jumlah responden keseluruhan

3.6.5 Interpretasi Hasil Analisis

Hasil persentase kategori baik atau tidak baik menurut Arikunto (1998) kemudian diinterpretasikan ke dalam kata-kata dengan menggunakan kriteria :

0 %

= Tak seorangpun dari responden

1 26 %= Sebagian kecil dari responden

27 49 % = Hampir setengahnya dari responden

50 %

= Setengahnya dari responden

51 75 % = Sebagian besar dari responden

76 99 % = Hampir sseluruh dari responden

100 %

= Seluruh responden

3.7 Etika penelitian

Peneliti menjamin hak-hak responden dengan menjamin kerahasiaan identitas responden, sebelum responden diberi lembar angket untuk diisi, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti serta membuat surat persetujuan menjadi responden yang ditandatangani responden dan memberikan hak kepada responden untuk menolak dijadikan responden.

3.8 Prosedur penelitian

3.8.1 Tahap persiapan

Pada tahap ini peneliti melakukan penelitian dengan cara :

1). Memilih lahan penelitian

2). Melakukan pendekatan pada instansi penelitian untuk studi

pendahuluan.

3). Mendapatkan ijin studi pendahuluan.

4). Melakukan studi pendahuluan dan penjajakan awal untuk menentukan masalah

5). Mengidentifikasi masalah penelitian.

6). Menyusun proposal penelitian

7). Seminar proposal

8). Perbaikan proposal

3.8.2 Tahap pelaksanaan

Pada tahap ini peneliti melaksanakan penelitian dengan cara :

1). Mendapatkan ijin penelitian.

2). Persetujuan responden.

3). Penyebaran angket.

4). Pengumpulan angket.

5). Pengolahan data dan analisa data.

3.8.3 Tahap akhir

Pada tahap ini peneliti melaksanakan :

1). Penyususnan laporan penelitian

2). Sidang atau menyampikan hasil penelitian.

3). Perbaikan hasil sidang.

3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Tempat Rehabilitasi Pesantern Bina Akhlak Cianjur. Penelitian dilakukan pada bulan maret sampai bulan agustus 2006.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data penelitian yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Pengolahan dan analisis data penelitian dilakukan dengan menggunakan bantuan software Microsoft Excel 2000.

Dari hasil penelitian terhadap fungsi afektif keluarga pada klien penyalahgunaan napza di tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, selanjutnya dilakukan pengkategorian terhadap fungsi afektif keluarga yang termasuk baik atau tidak baik berdasarkan rumusan yang tercantum dalam bab sebelumnya. Dalam penelitian ini penentuan kategori dilakukan pada tiap-tiap subvariabel maupun secara keseluruhan subvariabel yang akan diperlihatkan pada bagian lampiran skripsi ini.

Namun, untuk memperoleh gambaran mengenai fungsi afektif keluarga tersebut penulis akan menyajikan diagram pie yang kemudian dibahas pada bagian selanjutnya.

4.1 Hasil Penelitian fungsi Afektif Keluarga Pada Klien Penyalahgunaan Napza di tempat rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur

Untuk mengetahui bagaimana gambaran fungsi afektif keluarga yang terdiri dari beberapa komponen, yaitu : memelihara saling asuh, membina hubungan yang akrab, saling menghormati, pertalian atau kasih saying, keterpisahan dan keterpaduan, berikut ini disajikan diagram pie yang menunjukkan gambaran fungsi afektif yang termasuk baik atau tidak baik.

Diagram 4.1.1

Fungsi Afektif Keluarga pada Aspek Memelihara Saling Asuh

Diagram 4.1.1 di atas menunjukkan gambaran aspek memelihara saling asuh pada klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantern Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir setengahnya dari responden yaitu dengan jumlah 30 orang atau sebanyak 43% dinyatakan baik, sedangkan sebagian besar dari responden yaitu dengan jumlah 40 orang atau sebanyak 57% dinyatakan tidak baik.Diagram 4.1.2 Fungsi Afektif Keluarga pada AspekMemelihara Hubungan yang Akrab

Diagram 4.1.2 di atas menunjukkan gambaran aspek memelihara hubungan yang akrab pada klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, dimana sebagian besar dari responden yaitu dengan jumlah 36 orang atau sebanyak 51% dinyatakan baik, sedangkan hampir setengahnya yaitu dengan jumlah 34 orang sebanyak 49% dinyatakan tidak baik.Diagram 4.1.3

Fungsi Afektif Keluarga pada Aspek

Memelihara Saling Menghormati

Diagram 4.1.3 di atas menunjukkan aspek memelihara saling menghormati pada klien penyalahgunaan napza di tempat Rehabilitasi Pesantern Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir setengahnya dari responden yaitu dengan jumlah 30 orang atau sebanyak 43% dinyatakan baik, sedangkan sebagian besar dari responden yaitu dengan jumlah40 orang atau sebanyak 57% dinyatakan tidak baik.

Diagram 4.1.4

Fungsi Afektif Keluarga pada Aspek

Pertalian dan Kasih Sayang

Diagram 4.1.4 di atas menunjukkan gambaran pada aspek pertalian dan kasih sayang pada klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitaasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir setengahnya dari responden yaitu dengan jumlah 30 orang atau sebanyak 43% dinyatakan baik, sedangkan sebagian besar dari responden yaitu dengan jumlah 40 orang atau sebanyak 57% dinyatakan tidak baik.

Diagram 4.1.5

Fungsi Afektif Keluargapada Aspek

Keterpisahan dan Keterpaduan

Diagram 4.1.5 di atas menunjukkan gambaran pada aspek keterpisahan dan keterpaduan pada klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir setengahnya dari responden yaitu dengan jumlah 31 orang atau sebanyak 44 % dinyatakan baik, sedangkan sebagian besar dari responden yaitu dengan jumlah 39 orang atau sebanyak 56% dinyatakaan tidak baik.

Diagram 4.1.6

Untuk Keseluruhan Aspek

Fungsi Afektif Keluarga

Diagram 4.1.6 di atas menunjukkan gambaran fungsi afektif untuk keseluruhan aspek pada klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir setengahnya dari responden yaitu dengan jumlah 34 orang atau sebanyak 49% dinyatakan baik, sedangkan sebagian besar dari responden yaitu dengan jumlah 36 orang atau sebanyak 51% dinyatakan tidak baik.

4.2 Pembahasan

Pembahasan penelitian gambaran tentang fungsi afektif berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur ini, terdapat satu variabel yaitu fungsi afektif keluarga dan lima sub variabel yaitu memelihara saling asuh, memelihara hubungan yang akrab, memelihara saling menghormati, pertalian dan kasih sayang, keterpisahan dan keterpaduan yang nantinya masing-masing akan dibahas secara rinci. Friedman menyebutkan ada lima aspek fungsi afektif dalam keluarga yaitu memelihara saling asuh, memelihara hubungan yang akrab, memelihara saling menghormati, pertalian dan kasih sayang, keterpisahan dan keterpaduan.

Fungsi afektif keluarga menurut friedman adalah fungsi yang paling penting bagi keluarga. Hal ini dikarenakan fungsi afektif berhubungan dengan fungsi internal dalam keluarga yaitu memberikan dukungan psikososial bagi para anggota keluarga. Dalam rangka memenuhi fungsi afektif, keluarga melakukan tugas-tugas yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi anggota keluarga dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosio ekonomi anggota keluarga.

4.2.1 Gambaran Fungsi Afektif Memelihara Saling Asuh (Maintaining Mutual Nurturance)

Dari diagram 4.1.1 didapatkan bahwa gambaran fungsi afektif keluarga pada aspek memelihara saling asuh sebagian dari responden dinyatakan tidak baik dengan data responden yang berjumlah 40 orang atau sebanyak 57% sedangkan hampir setengahnya dinyatakan baik dengan data responden yang berjumlah 30 orang atau sebanyak 43%, hal ini karena setiap anggota keluarga tidak memperhatikan aspek kasih sayang dan perhatian dari anggota keluarga yang lain. Dengan adanya hasil tidak saling mendukung dan tidak memberikan kehangatan emosional, sehingga aspek saling asuh tidak terjalin antar anggota keluarga yang lain dan akhirnya berdampak tidak adanya rasa timbal balik dalam memberi dan menerima dukungan serta kehangatan antar anggota keluarga. Karena hal tersebut diharapkan keluarga dapat dijadikan tempat untuk mendapat dukuingan yang baik dengan cara saling mencintai antar anggota keluarganya. Padahal menurut Friedman sistem saling asuh dalam keluarga adalah sebuah prasyarat untuk mencapai saling asuh adalah komitmen dasar dari masing-masing pasangan hubungan perkawinan yang secara emosional memuaskan dan terpelihara.

4.2.2 Gambaran Fungsi Afektif Memelihara Hubungan Yang Akrab (Good Human Relationship)

Dari diagram 4.1.2 didapatkan bahwa gambaran fungsi afektif keluarga pada aspek memelihara hubungan yang akrab sebagian besar dikatakan baik dengan data responden yang berjumlah 36 oang atau sebanyak 51%, sedangkan hampir setengahnya dari responden dikatakan tidak baik dengan data responden yang berjumlah 34 orang atau sebanyak 49%. Hal ini terjadi karena setiap anggota keluarga mengembangkan kemampuan untuk berhubungan secara akrab dan intim satu dengan yang lainnya di dalam keluarga. Keintiman merupakan hal yang penting dalam hubungan manusia karena keintiman dapat memenuhi kebutuhan psikologis terhadap keakraban emosional dengan orang lain dan memungkinkan individu dalam hubungan tersebut untuk mengetahui seluruh keunikan yang dimiliki satu sama lainnya. Dengan memelihara lingkungan ini keluarga memberikan kesempatan kepada individu untuk membentuk dan memelihara hubungan yang berarti tidak hanya dengan anggota keluarga, melainkan juga denagn individu-individu yang lain.4.2.3 Gambaran Fungsi Afektif Memlihara Saling Menghormati (Mutual Respect Balance)

Dari diagram 4.1.3 didapatkan bahwa gambaran fungsi saling menghormati dikatakan tidak baik dengan data responden yang berjumlah 40 orang atau sebanyak 57%, sedangkan hamper setengahnya dari responden dinyatakan baik dengan jumlah 30 orang atau sebanyak 43%. Hal ini berarti menunjukkan suasana keluarga dimana setiap hak-hak dalam setiap anggota keluarga tidak terpenuhi dengan baik. Menurut Friedman bahwa setiap orang dalam keluarga memiliki hak-haknya sendiri sebagai individu, dan juga kebutuhan-kebutuhan perkembangan yang spesifik bagi kelompok usianya. Keseimbangan saling menghormati dapat dicapai apabila setiap anggota keluarga menghormati hak, kebutuhan, dan tanggung jawab anggota keluarga yang lain. Dengan tidak adanya keseimbangan saling menghormati akhirnya akan berdampak anggota keluarga akan membentuk dan meniru tingkah laku dari orang lain karena merasa tidak dihargai dalam keluarga.

Memelihara keseimbangan antara hak-hak individu dalam keluarga berarti menciptakan suasana dimana baik orang tua atupun anak-anak tidak diharapkan untuk memenuhi tingkah laku dari orang lain. Maka dari itu orangtua perlu menyediakan struktur yang memadai dan panduan yang konsisten sehingga batas-batas bisa dibuat dan dipahami sebagai kontrol dalam menciptakan perilaku yang normatif bagi setiap anggota keluarga. Namun demikian, perlu dibentuk fleksibilitas dalam sistem keluarga agar memberikan ruang gerak bagi kebebasan untuk berkembang.

4.2.4. Gambaran Fungsi Afektif Pertalian dan Kasih Sayang (Bonding and Attachment)

Pada diagram 4.1.4 didapatkan bahwa gambaran fungsi afektif pertalian dan kasih sayang dengan data sebagian besar dari responden yang berjumlah 40 orang atau sebanyak 57% dinyatakan tidak baik, sedangkan hamper setengahnya dari responden dinyatakan baik dengan jumlah 30 orang atau sebanyak 43%. Dimana pertalian dan kasih sayang bisa terjadi dalam hubungan keluarga, pertama harus ada identifikasi positif. Karena kebanyakan aspek kasih sayang dapat didasarkan atas mekanisme simpati atau mekanisme libidal atau semata-mata berasal dari internalisasi sikap orang yang ia beri perhatian dan orang tempat ia bergantung. Sekali terbentuk, maka konsekuensi jangka panjang dari identifikasi dan pertalian adalah perubahan citra diri individu terhadap karakteristik orang lain yang telah ia identifikasi. Lewat identifikasi, anak-anak belajar meniru tingkah laku orangtua mereka (orangtua mereka kenal menjadi model peran bagi mereka). Karena identitas anak dipertinggi dengan belajar tingkah laku, sikap, nilai-nilai dari orang tua maka terbentuk suatu pertalian. Lewat identifikasi dan pertalian, orang tua memperoleh kekuatan acuan atas anak-anak mereka.4.2.5 Gambaran Fungsi Afektif Keterpisahan dan Keterpaduan (Separateness and Connectedness)

Pada diagram 4.1.5 menunjukkan gambaran pada aspek keterpisahan dan keterpaduan yaitu sebanyak 39 orang atau 56% dinyatakan tidak baik. Hal ini berarti menunjukkan bahwa keluarga tidak memberikan otonomi untuk mengembangkan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta minat dari anggota keluarganya, sehingga berdampak anggota keluarga lebih tergantung kepada keluarga dan tidak mandiri, dimana pada aspek ini seharusnya keluarga membantu anggotanya agar mereka dapat bersama-sama mengembangkan serta mempertahankan keterpaduan dalam hal keterlibatan keluarga dalan melakukan kegiatan-kegiatan yang ada di luar keluarga. Di lain pihak, secara perlahan-lahan keluarga harus memberikan kebebasan dan saluran ekspresi bagi anggota keluarga untuk menyendiri dan menjadi individu terpisah.4.2.6 Gambaran Fungsi Afektif Keluarga pada Klien Penyalahgunaan Napza

pada diagram 4.1.6 menunjukkan gambaran fungsi afektif keluarga secara keseluruhan sebagian besar termasuk tidak baik dengan jumlah responden yaitu 36 orang atau sebanyak 51%, sedangkan hampir setengahnya dari responden dinyatakan baik dengan jumlah responden 34 orang atau sebanyak 49%. Hal ini dapat terjadi, Rutter (1980) dikutip Hawari (1996) mengemukakan bahwa kondisi keluarga yang tidak baik (Disfungsi Keluarga) merupakan faktor kontribusi bagi terjadinya penyalahgunaan napza.

Kemampuan untuk memenuhi fungsi afektif ini merupakan sebuah determinan kunci apakah sebuah keluarga akan bertahan atau bubar. Sebagaimana Duvall (1977) katakan dalam Friedman terjemahan Ina Debora (1998) bahwa kebahagiaan keluarga diukur dengan kekuatan cinta keluarga dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk memahami, kasih sayang dan kebahagiaan. Melalui Fungsi afektif ini seharusnya keluarga dapat membantu dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan psikososial anggota keluarganya. Melalui pemenuhan fungsi ini, maka keluarga menjalankan tujuan-tujuan psikososial yang utama, yaitu membentuk sifat-sifat kemanusiaan dalam diri anggota keluarga, membentuk kepribadian dan tingkah laku, kemampuan menjalin hubungan secara lebih akrab dan harga diri.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran fungsi afektif keluarga berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur adalah sebagai berikut :5.1.1 Gambaran fungsi afektif keluarga secara keseluruhan berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi pesantren Bina Akhlak Cianjur, didapatkan hasil sebagian besar dari responden dinyatakan tidak baik, hal ini dapat terjadi karena keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikososial anggota keluarganya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk memahami, kasih sayang dan kebahagiaan.5.1.2 Gambaran fungsi afektif keluarga dengan aspek saling asuh berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur didapatkan hasil sebagian besar dari responden dinyatakan tidak baik, dengan ciri-ciri : setiap anggota keluarga tidak menerima kasih sayang dan perhatian dari anggota keluarga yang lain, kapasitasnya untuk memberi kepada anggota keluarga yang lain tidak ada dan hasilnya tidak adanya saling mendukung dan memberikan kehangatan emosional satu sama lainnya.

5.1.3 Gambaran fungsi keluarga dengan aspek memelihara hubungan yang akrab berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur didapatkan sebagian besar dari responden dinyatakan baik, dengan ciri-ciri : keluarga memberikan kepada setiap anggota keluarganya untuk membentuk dan memelihara hubungan yang akrab dengan anggota keluarga yang lain.

5.1.4 Gambaran fungsi keluarga dengan aspek memelihara saling menghormati berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur didapatkan sebagian besar dari responden dinyatakan tidak baik, dimana kemampuan keluarga dalam menghormati setiap hak-hak, kebutuhan dan tanggung jawab dalam setiap anggota keluarganya tidak dipenuhi dengan baik.

5.1.5 Gambaran fungsi afektif keluarga dengan aspek pertalian dan kasih sayang berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur didapatkan sebagian besar dari responden dinyatakan tidak baik, dimana pertalian dan kasih sayang bisa terjadi dalam hubungan keluarga, pertama harus ada identifikasi positif.

5.1.6 Gambaran fungsi afektif keluarga dengan aspek keterpisahan dan keterpaduan berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur didapatkan sebagian besar dari responden dinyatakan tidak baik, seharusnya keluarga membantu anggotanya agar mereka dapat bersama-sama mengembangkan serta mempertahankan keterpaduan. Dilain pihak secara perlahan-lahan keluarga harus memberikan kebebasan dan saluran ekspresi bagi anggota keluarganya untuk menyendiri dan menjadi individu yang terpisah.

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Aklak Cianjur5.2.1.1 Diharapkan pihak rehabilitasi dapat melibatkan keluarga klien dengan memberikan penyuluhan tentang gambaran fungsi afektif kepada keluarga klien yang sedang dirawat khususnya mengenai gambaran saling memberikan perhatian, memberikan dukungan yang baik, saling mencintai, saling menghormati, dan memlihara hubungan akrab.

5.2.1.2 Diaharapkan pihak rehabilitasi dapat melakukan Home Visit kepada keluarga klien yang tidak bisa secara rutin datang menjenguk klien yang sedang dirawat sebagaimana yang telah dijadualkan oleh pihak Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak cianjur. DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian ; Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Rineka Cipta

Azwar, S. 2005. Sikap Manusia Teori dan Pengkururannya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Bidang Telematika Badan Narkotika Kabupaten Cianjur, 2005. Peran Serta Masayarakat Dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Napza Serta Penularan HIV/AIDS

Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Depkes RI. 2000. Keperawatan Jiwa : Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta

Friedman, MM. 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktis, edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Hawari, D. 1996. Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Jaenal, A. 2005. Kasus Narkoba Naik 27%. http://www.pikiran-rakyat.comJoewana, Satya. 2004. Gangguan Mental Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif, Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Kepolisian Negara Republic Indonesia, POLRES Cianjur. 2005

Maramis, W.F. 1995. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Universitas Airlangga

Maslim, R. 2001. Buku Saku PPDGJ III. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta

Pengertian Narkoba, http://www.bnn.go.idRatta, N. 2005. Kasus Narkoba Di Indonesia Terus Meningkat. http://www.depkes.go.idRiduan. 2002. Skala Pengukuran Variable-Variabel Penelitian. Bandung : ALFABETA Bandung

Stuart & Sundeen. 1998. Keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

STIKes. 2005. Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah/Skripsi. Bandung

Sudijono, A. 2003. Pengantar Statistic Pendidikan. Jakarta : PT Rajagrapindo Persada

Sudirman. 2000. Panduan Orang Tua Dalam Menangani Masalah Napza. Jakarta : PT Gramedia

Sugiyono, 2004. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : CV Alfabeta Bandung

s

PAGE

_1190654932.unknown

_1190654933.unknown

_1190668040.unknown

_1181871769.unknown

_1190654931.unknown

_1181871786.unknown

_1172938251.unknown

_1137965753.unknown