BAB I
PAGE 51
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah penyalahgunaan obat pada zaman sekarang di masyarakat
kita bukanlah hal yang baru. Banyak obat-obatan yang disalahgunakan
oleh para remaja dan orang dewasa sehingga penggunanya merajalela
ke seluruh penduduk dunia termasuk Indonesia. Kota-kota besar di
Indonesia dulu dikenal hanya merupakan daerah transit peredaran
obat-obat terlarang (Narkotik dan Psikotropika). Namun seiring
perkembangan globalisasi dunia, kota-kota terbesar tersebut sudah
menjadi pasar peredaran narkotik sehingga merebak ke penduduk
pedesaan.
Narkotika dan psikotropika di satu sisi merupakan obat atau
bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan lainnya, namun di sisi lain dapat
pula menimbulkan ketergantungan tanpa pembatasan, pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan seksama.
Sasaran pasar peredaran narkotika dan psikotropika sekarang ini
tidak terbatas pada orang-orang Broken Home dan frustasi saja,
namun telah merambah berkembang diedarkan ke berbagai kalangan
termasuk mahasiswa, pelajar dan kalangan eksekutif telah terjangkit
penyalahgunaan Napza
Penyalahgunaan Napza adalah suatu penyimpangan perilaku yang
disebabkan oleh penggunaan yang terus menerus sampai terjadi
masalah. Napza tersebut bekerja di dalam tubuh yang mempengaruhi
terjadinya perubahan: perilaku, alam perasaan, memori, proses
pikir, kondisi fisik individu yang menggunakannya (Depkes RI,2000:
207).
Penyalahgunaan Napza ini dapat mengalami kondisi lanjut yaitu:
ketergantungan Napza, yang dimaksud dengan ketergantungan Napza
adalah suatu kondisi yang cukup berat dan parah, sehingga mengalami
sakit yang cukup berat. Kondisi ini juga ditandai dengan adanya
ketergantungan fisik yaitu: sindroma putus Zat dan toleransi
(Depkes RI, 2000: 207). Menurut WHO ketergantungan obat merupakan
suatu keadaan keracunan yang periodik atau menahun yang merugikan
individu itu sendiri atau masyarakat yang disebabkan oleh
penggunaan suatu obat (asli atau sintetik) yang berulang-ulang
(Maramis,1998: 324)
Menurut WHO obat (drug) didefinisikan sebagai semua zat yang
apabila dimasukkan ke dalam tubuh suatu makhluk akan mengubah atau
mempengaruhi satu atau lebih fungsi faaliah makhluk tersebut. Dalam
masalah ketergantungan obat ialah suatu obat dengan efek yang besar
terhadap susunan saraf pusat atau fungsi mental, seperti obat
psikotropik, psikotomimetik dan stimulansia, morfin dan derifatnya
serta obat tidur (Maramis 1998:329)
Kasus Napza di Indonesia terus meningkat penyebarannya,
berdasarkan data hingga september 2005 ini kasus narkoba di
Indonesia mencapai 12.256 kasus yang terdiri atas narkotika 6.179
kasus, psikotropika 5.143 kasus dan bahan adiktif 934 kasus.
Berbeda dengan pada tahun 2004 lalu tercatat hanya 8.409 kasus yang
terdiri atas narkotika 3.874 kasus, psikotropika 3.887 kasus dan
bahan adiktif 648 kasus (Depkes, 2006).
Di Jawa Barat kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan
terlarang (narkoba) mengalami kenaikan sekitar 27%. Demikian
laporan tahunan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung tahun 2005,
jumlah perkara pidana narkoba tahun 2005 tercatat 213, sedangkan
tahun sebelumnya 168 perkara. Data ini menguatkan pernyataan Badan
Narkotika Provinsi (BNP) Jawa Barat yang menyebutkan, hingga
November 2005, di Jabar terdapat 885 kasus narkoba. Di Jabar,
jumlah kasus penyalahgunaan narkoba yang terungkap meningkat 30%
per tahun, ujar anggota represif Badan Narkotika Provinsi (BNP)
Jawa Barat (Asep Jaenal, 2006).
Tabel 1.1 jumlah kasus Napza yang ditangani oleh Polres
Cianjur
Tahun Jenis ZatKelompok Umur
NarkotikaPsikotropika56 thn
20042014215125--
2005916-78811
Berdasarkan hasil studi pendahuluan jumlah klien yang dirawat di
tempat Rehabilitasi Pesantern Bina Akhlak Cianjur sebanyak 70 orang
yang terdiri dari empat klien perempuan dan 66 klien laki-laki.
Dalam banyak hal orang yang menyalahgunakan obat mencoba
menggunakan obat-obat yang disalahgunakan sampai dia tertarik dan
kecanduan. Kebanyakan orang tua akan memberitahu tentang bahayanya
saja tetapi orangtua tidak memberi contoh kepada anak-anaknya
misalnya orang tua membiarkan anaknya merokok di dalam rumah. Hal
itu dianggap sebagai izin baginya untuk melakukan hal yang sama.
Dengan begitu sangat mudah baginya untuk menerima ajakan
teman-temannya untuk merokok atau menyalahgunakan obat. Dengan
menggunakannya, anak-anak itu menjadi pecandu dan akan mencoba
obat-obat yang lebih keras (Toleransi).Berdasarkan hasil penelitian
Rutter (1980) mengemukakan bahwa kondisi keluarga yang tidak baik
(disfungsi keluarga) merupakan salah satu faktor bagi tetrjadinya
penyalahgunaan napza diantaranya : kematian orang tua (Broken Home
By Death), kedua orang tua bercerai atau pisah (Broken Home By
Divorce / Separation), hubungan orang tua tidak harmonis (Poor
Marriage), hubungan orang tua dengan anak tidak baik (Poor
Parent-Child Relationship), suasana rumah tangga yang tegang (High
Tension), suasana rumah tangga tanpa kehangatan (Low Warmth), orang
tua yang sibuk dan jarang di rumah (Absence), orang tua mempunyai
kelainan kepribadian (Personality Disorder) (Hawari, 1996 :
134).
Sistem keluarga merupakan konteks belajar yang utama bagi suatu
perilaku, pikiran dan perasaan seseorang individu. Fungsi keluarga
juga melindungi individu-individu dari kontak langsung dengan
masyarakat. Keluarga telah lama dilihat sebagai konteks yang paling
vital bagi pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Keluarga
memiliki pengaruh yang penting sekali terhadap pembentukan
identitas seseorang individu dan perasaan harga diri (Friedman,1998
: 5)
Menurut Friedman (1998 : 100), terdapat lima fungsi dasar
keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota individu,
keluarga dan masyarakat, yaitu: (1) fungsi Afektif (fungsi
pemeliharaan kepribadian) ; (2) fungsi sosialisasi (pemenuhan
anggota keluarga menjadi anggota masyarakat yang produktif ) ; (3)
fungsi repoduktif (untuk menjaga kelangsungan generasi) ; (4)
fungsi ekonomis (mengadakan sumbersumber ekonomi yang memadai) ;
(5) fungsi perawatan kesehatan (mengadakan kebutuhankebutuhan
fisik, pangan, sandang, papan, dan perawatan kesehatan).
Dari kelima fungsi keluarga tersebut di atas, yang erat
hubungannya dengan penyalahgunaan napza adalah fungsi afektif.
Karena menurut Satir (1972) dikutip Friedman (1998 : 350)
mengungkapkan bahwa pemenuhan fungsi afektif merupakan basis
sentral bagi pembentukan dan kelanjutan dari unit keluarga. Dimana
keluarga sebagai sumber utama dalam memenuhi kebutuhan psikologis,
kebutuhan untuk memahami, kasih sayang dan kebahagiaan. Menurut
Loveland-Cherry (1989) dikutip Friedman (1998 : 350) mengutarakan
bahwa kasih sayang di kalangan anggota keluarga menghasilkan
suasana emosional pengasuhan yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan secara positif, dan perasaan memiliki kompetisi
pribadi.
Pentingnya fungsi afektif keluarga merupakan hal yang tidak bisa
dipungkiri karena fungsi afektif ini begitu vital bagi kelangsungan
hidup keluarga dan berfungsinya keluarga secara keseluruhan dan
anggota keluarga secara individual (friedman, 1998 : 350).
Penelitian (Hawari, 1990) membuktikan bahwa penyalahgunaan Napza
menimbulkan dampak antara lain, merusak hubungan kekeluargaan,
menurunkan kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana
yang baik dan buruk, perubahan perilaku menjadi anti sosial,
merosotnya produktivitas kerja, gangguan kesehatan; mempertinggi
kecelakaan lalu lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan lainnya
baik kuantitatif maupun kualitatif (Hawari, 1996 : 125). Dampak
yang merugikan dalam penggunaan obat yang disalahgunakan yaitu
adanya gangguan fisik (hepatitis, insufisiensi ginjal) dan adanya
gangguan psikotik seperti gangguan kesadaran, fungsi kognitif,
persepsi, afek atau perilaku, demensia atau gannguan fungsi dan
psikologis lainnya (Maslim, 2003 : 37).
Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan minuman keras pada
umumnya disebabkan karena obat-obatan tersebut menjanjikan sesuatu
yang dapat memberikan rasa kenikmatan, kenyamanan, kesenangan dan
ketenangan, walaupun hal itu sebenarnya hanya dirasakan secara
semu.
Orang orang yang mengalami penyalahgunaan Napza biasanya tidak
dapat dan tidak mampu berfungsi secara wajar dalam aktifitas
kehidupan sehari-harinya. Individu tersebut memerlukan bantuan yang
profesional untuk memenuhi dan mengembalikan mental serta hidupnya
secara optimal agar dapat diterima oleh masyarakat kembali. Oleh
karena itu untuk dapat membantu mengidentifikasi kebutuhan klien
yang mengalami penyalahgunaan Napza diperlukan adanya koordinasi
dalam penanggulangan narkoba antar lembaga pemerintah terkait.
Selain itu, proses pencegahan dan penanggulangan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Napza termasuk rehabilitasinya
tidak mungkin hanya ditangani oleh pemerintah saja, namun
diperlukan peran serta masyarakat melalui Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan Organisasi Massa (Ormas) untuk peduli akan
bahaya penyalahgunaan Napza.
Tempat rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur dipandang
sebagai suatu tempat yang memberikan bantuan dan pelayanan
rehabilitasi kepada masyarakat dan klien yang mengalami
penyalahgunaan Napza. Bantuan dan pelayanan rehabilitasi tersebut
diberikan berupa ramuan trasdisional, totokan atau pijatan,
kedisiplinan, dan meningkatkan pemahaman keagamaan (spiritual).
Tempat rehabilitasi tersebut mendapat dukungan baik moral maupun
material dari masyarakat khususnya pemerintah Kabupaten Cianjur.
Karena, tempat rehabilitasi tersebut merupakan suatu bentuk upaya
dari masyarakat Cianjur untuk merealisasikan semboyan dari kota
Cianjur sebagai kota santri dalam bentuk Gerbang Marhamah (Gerakan
Pembangunan Masyarakat yang berakhlakul karimah).
Permasalahan yang ditemui pada klien penyalahgunaan Napza di
tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur adalah adanya
ketidak harmonisan klien penyalahgunaan Napza dengan keluarga
khususnya orang tua dan jarangnya keluarga menjenguk klien yang
sedang dirawat di tempat rehabilitasi tersebut.
Berdasarkan wawancara dengan pengurus yayasan Pesantren Bina
Akhlak Cianjur mengatakan bahwa klien yang datang ke tempat
Rehabilitasi sebagian besar karena faktor hubungan keluarga yang
tidak harmonis dan karena ketidakmampuan keluarga dalam
menaggulangi klien penyalahgunaan Napza.
Selain itu, hasil wawancara dengan empat keluarga klien yang
sedang berkunjung didapatkan data bahwa satu keluarga mengatakan
anaknya dulu kurang perhatian dari keluarga, karena pada saat duduk
di bangku SLTP anaknya tersebut tinggal di luar kota dan tinggal
sendiri, satu keluarga mengatakan anaknya menyalahgunakan napza
semenjak ditinggal wafat ayahnya, dan dua keluarga mengatakan
anaknya tidak akrab dengan kakak dan adik-adiknya.
Berdasarkan wawancara dengan empat klien penyalahgunaan Napza di
dapatkan data bahwa dua dari klien penyalahgunaan Napza mengatakan
dirinya dan keluarga tidak akrab, satu orang mengatakan bahwa
dirinya tidak terbuka pada keluarga dan cenderung tertutup karena
sering di pukul, dan satu orang lagi mengatakan bahwa dirinya
merasa di acuhkan karena kesibukan dari kedua orang tuanya.
Masalah-masalah tersebut merupakan gambaran adanya masalah dalam
fungsi afektif pada keluarga yang merusak hubungan kekeluargaan dan
hal ini di anggap penting untuk diteliti lebih lanjut
Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk meneliti
Bagaimana gambaran fungsi afektif keluarga berdasarkan persepsi
klien penyalahgunaan Napza di tempat Rehabilitasi Pesantren Bina
Akhlak Cianjur.
1.2 Perumusan Masalah
Sesuai dengan uraian pada latar belakang, peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut: Bagaimana gambaran fungsi afektif
keluarga berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza di tempat
Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
.
Untuk mendapat gambaran fungsi afektif keluarga bardasarkan
persepsi klien penyalahgunaan Napza di tempat Rehabilitasi
Pesantren Bina Akhlak Cianjur.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mendapatkan gambaran fungsi memelihara saling asuh dari
fungsi afektif. (Maintaining Mutual Nurturance)
1.3.2.2 Mendapatkan gambaran fungsi memelihara hubungan yang
akrab dari fungsi afektif (Good Human Relationship)1.3.2.3
Mendapatkan gambaran fungsi saling menghormati dari fungsi afektif.
(Mutual Respect Balance)1.3.2.4 Mendapatkan gambaran fungsi
pertalian atau kasih sayang dari fungsi afektif. (Bonding And
Attachment)
1.3.2.5 Mendapatkan gambaran fungsi keterpisahan dan keterpaduan
dari fungsi afektif. (Separatness And Connectedness)
1.4 Kegunaan Penelitian
Melalui penelitian tentang gambaran pelaksanaan fungsi afektif
keluarga berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza di tempat
rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, diharapkan berguna
bagi:
1.4.1 Bagi Institusi
Hasil penelitian ini dapat memperluas khasanah pengetahuan ilmu
keperawatan, khususnya kajian mengenai gambaran pelaksanaan fungsi
afektif berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan Napza.
1.4.2 Bagi Tempat Rehabilitasi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
tentang fungsi afektif keluarga berdasarkan persepsi klien
penyalahgunaan Napza kepada petugas Rehabilitasi Pesantren Bina
Akhlak Cianjur dengan cara melibatkan keluarga klien.1.4.3 Bagi
Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan
kajian dan data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut
terhadap permasalahan klien penyalahgunaan napza.
1.5 Definisi Konseptual Dan Definisi Operasional
1.5.1 Definisi Konseptual
1.5.1.1 Keluarga
Keluarga adalah orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan,
darah, dan ikatan adopsi dimana para anggota sebuah keluarga
biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga atau jika
mereka hidup terpisah, mereka tetap menjaga rumah tangga tersebut
sebagai rumah tangga meraka (Friedmen, 1998 : 11).
1.5.1.2 Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga adalah keluarga sumber utama dalam memenuhi
kebutuhan psikologis, kebutuhan untuk memahami, kasih sayang dan
kebahagiaan. (Adam, 1971, dikutip oleh Friedmen, 1998: 350).
1.5.1.3Fungsi Afektif
Keluarga menjalankan tujuan-tujuan psikososial yang utama yaitu
membentuk sifat-sifat kemanusiaan dalam diri mereka, stabilitas
kepribadian dan tingkah laku, kemampuan menjalin berhubungan secara
lebih akrab, dan harga diri (Adam, 1971, dikutip oleh friedman,
1998: 351).1.5.1.4 penyalahgunaan napza
Penyalahgunaan Napza adalah suatu penyimpangan perilaku yang
disebabkan oleh penggunaan yang terus menerus sampai terjadi
masalah. Napza tersebut bekerja di dalam tubuh yang mempengaruhi
terjadinya perubahan: perilaku, alam perasaan, memori, proses
pikir, kondisi fisik individu yang menggunakannya (Depkes RI, 2000
: 207).
1.5.2Definisi Operasional
VariabelDefinisi operasionalSkala ukurAlat ukurHasil
pengukuran
Fungsi afektif keluarga
Sub
variabel :
Memelihara saling asuh
Memelihara hubungan yang akrab
Saling menghormati
Pertalian atau kasih sayang
Keterpisahan dan keterpaduanKeluarga merupakan tempat untuk
saling menerima dan memberikan kasih sayang dan perhatian
Keluarga memelihara dan menjaga hubungan yang intim dengan
anggota keluarga
Keluarga menghormati dan menjunjung tinggi kewajiban dan hak-hak
yang dimiliki oleh anggota keluarga
Keluarga membina hubungan yang baik dengan anggota keluarga yang
lain
Keluarga memberikan kebebasan kepada individu dan menyiapkan
kebutuhan di dalam kegiatan di luar lingkungan rumah
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
angket
angket
angket
angket
angket>Mean = baik
< Mean = Tidak Baik
>Mean = baik
< Mean = Tidak Baik
>Mean = baik
< Mean = Tidak Baik
>Mean = baik
< Mean = Tidak Baik
>Mean= baik
< Mean = Tidak Baik
1.6 Kerangka Pemikiran
Penyalahgunaan Napza adalah suatu penyimpangan perilaku yang
disebabkan oleh penggunaan yang terus menerus sampai terjadi
masalah. Napza tersebut bekerja di dalam tubuh yang mempengaruhi
terjadinya perubahan perilaku, alam perasaan, memori, proses pikir,
kondisi fisik individu yang menggunakannya (Depkes RI, 2000 : 207)
Ketergantungan Napza merupakan adanya keinginan yang kuat atau
dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk menggunakan Zat psikoaktif.
Kesulitan untuk mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk
sejak mulainya usaha penghentian, atatu pada tingkat sedang
menggunakan (Maslim, 2003 : 38).
Menurut hasil penelitian Hawari (1990) mengemukakan bahwa
mekanisme terjadinya penyalahgunaan Napza sebagai berikut :
penyalahgunaan Napza terjadi oleh interaksi antar faktor-faktor
predisposisi (kepribadian, kecemasan, depresi), faktor kontribusi
(kondisi keluarga), dan faktor pencetus (pengaruh teman kelompok
sebaya dan Zatnya itu sendiri) (Hawari, 1996 : 129).
Salah satu aspek psikososial yang merupakan faktor kontribusi
pada terjadinya faktor penyalahgunaan Napza, adalah faktor keluarga
yaitu berupa keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, dan hubungan
antar pribadi, antar anggota keluarga (Hawari, 1997 :134). Rutter
(1996 : 134) mengemukakan kondisi keluarga yang kurang baik
(Disfungsi Keluarga) merupakan faktor kontribusi bagi terjadinya
penyalahgunaan Napza seperti: kematian orang tua, orang tua
bercerai, hubungan kedua orang tua tidak harmonis, hubungan orang
tua dengan anak tidak baik, suasana rumah tangga yang tegang, orang
tua sibuk dan orang tua yang mempunyai kelainan kepribadian.
Adam (1971) menguraikan fungsi keluarga adalah sumber utama
dalam memenuhi kebutuhan psikologis, kebutuhan untuk memahami,
kasih sayang, dan kebahagiaan (Fridman, 1998 : 350).
Salah satu fungsi keluarga yaitu fungsi afektif dimana keluarga
merupakan tempat untuk memelihara saling asuh, memelihara hubungan
yang akrab, saling menghormati, pertalian atau kasih sayang, dan
keterpisahan dan keterpaduan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Napza
Napza adalah akronim dari narkotika, psikotropika dan zat
adiktif (Joewana, 2004 : 20). Namun secara umum Napza adalah
obat-obat yang dapat memberikan perubahan-perubahan pada fungsi
mental (pikiran dan perasaan), tingkah laku, persepsi dan fungsi
motorik serta dapat menimbulkan ketergantungan baik fisik maupun
psikis (Badan Narkotika Kabupaten Cianjur, 2005 : 2).
2.2 Penyalahgunaan Napza
Penyalahgunaan Napza adalah merujuk pada penggunaan zat secara
terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah (Stuart &
Sundeen, 1998 : 389). Penyalahgunaan Napza dapat mengakibatkan
gangguan mental organik, disebut organik karena napza ini bila
masuk ke dalam tubuh langsung bereaksi dengan sel-sel saraf (otak)
dan menimbulkan gangguan pada alam pikir, perasaan dan perilaku
(Masruhi Sudiro, 1999 : 41). Sedangkan menurut Undang-undang
tentang narkotika bab I pasal I ayat 14 penyalahgunaan adalah orang
yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan
dokter.
Kesimpulan dari pendapat di atas bahwa penyalahgunaan napza
adalah penggunaan obat yang secara terus menerus atau sekali kali
(kadang-kadang) dan berlebihan tidak menurut petunjuk dokter atau
praktek kedokteran. Penyalahgunaan napza juga dapat menimbulkan
gangguan tertentu pada badan dan jiwa seseorang. Berbagai kerugian
akibat napza lebih banyak daripada manfaatnya.
2.3 Penggolongan Napza
2.3.1 Narkotika
Narkotika secara umum adalah suatu zat / substansi yang dapat
menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan penglihatan,
karena zat atau substansi tersebut mempengaruhi susunan saraf pusat
serta dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi mereka yang
menggunakan dan memasukan ke dalam tubuh. Pengaruh tersebut berupa
pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi
atau timbulnya khayalan-khayalan (Badan Narkotika Kabupaten
Cianjur, 2005 : 3).
Menurut Undang-undang RI no. 22 pasal 1 ayat 1 tahun 1997, yang
dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Joewana, 2004 :
80).
Narkotika digolongkan menjadi :
2.3.1.1 Narkotika golongan I
a. Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
b. Tidak digunakan dalam pengobatan
c. Memiliki potensi amat kuat mengakibatkan ketergantungan,
misalnya : heroin, daun koka, kokain, ganja
2.3.1.2 Narkotika golongan II
a. Berkhasiat dalam pengobatan
b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan
c. Potensi kuat dapat mengakibatkan ketergantungan, misalnya :
morfin
2.3.1.3 Narkotika golongan III
a. Berkhasiat dalm pengobatan
b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan
c. Potensi sedang mengakibatkan ketergantungan, misalnya :
kodein
2.3.2 Psikotropika
Menurut Undang-undang RI no. 5 pasal 1ayat 1 Tahun 1997, yang
dimaksud dengan psikotropika adalah zat atau obat alamiah maupun
sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktifitas mental atau perilaku (Joewana, 2004 :
83).
Psikotropika digolongkan menjadi :
2.3.2.1 Psikotropika golongan I
a. Digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
b. Tidak digunakan dalam pengobatan
c. Memiliki potensi amat kuat mengakibatkan ketergantungan,
misalnya : extacy, met-amfetamin (sabu)2.3.2.2 Psikotropika
golongan II
a. Berkhasiat dalam pengobatan
b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan
c. Potensi kuat dapat mengakibatkan ketergantungan, misalnya :
metakualon (mandrax)
2.3.2.3 Psikotropika golongan III
a. Berkhasiat dalam pengobatan
b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan
c. Potensi sedang mengakibatkan ketergantungan, misalnya :
flunitrazepam2.3.2.4 Psikotropika golongan IV
a. Berkhasiat dalam pengobatan
b. Untuk tujuan ilmu pengetahuan
c. Sangat luas digunakan dalam terapi
d. Potensi ringan mengakibatkan ketergantungan, misalnya :
nitrazepam
2.3.3 Zat Adiktif
Zat adiktif adalah zat yang apabila dipakai secara teratur,
sering dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan
ketergantungan (adiksi) (Joewana, 2004 : 22). Menurut Undang-undang
RI No. 22 tahun 1997 tentang narkotika adalah zat, bahan kimia dan
biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat
membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau
tidak langsung yang mempunyai sifat, karsinogenik, teratogenik,
mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan berbahaya tersebut bukan
Narkotika dan Psikotropika atau Zat-zat baru hasil olahan manusia
yang menyebabkan kecanduan.
2.4 Proses Orang Menjadi Penyalahgunaan Napza
Penggunaan zat psikoaktif pada seseorang terjadi karena
interaksi antara tiga faktor, ketiga faktor tersebut adalah :
2.4.1 Faktor Individu
Faktor kepribadian seseorang akan mempengaruhi apakah ia akan
tergantung pada suatu obat atau tidak. Orang yang merasa tidak
mantap serta mempunyai sifat tergantung dan pasif akan lebih
cenderung menjadi tergantung pada obat.
2.4.2 Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi lingkungan rumah, sekolah, tempat
kerja, tempat bermain dan sebagainya. Faktor lingkungan rumah yang
kondusif pada gangguan mental dan perilaku akibat penggunaaan zat
psikoaktif antara lain orang tua yang terlalu mengatur anak, orang
tua yang terlalu banyak menuntut anak berprestasi di luar kemampuan
atau keinginan anak, orang tua yang terlalu sibuk sehingga kurang
memberi cukup perhatian kepada anak, hubungan ayah dan ibu yang
tidak harmonis, orang tua yang tidak menanamkan nilai yang baik
dalam keluarga, atau adanya salah satu anggota keluarga yang sudah
lebih dulu menggunakan zat psikoaktif.
2.4.3 Faktor Zat
Tidak semua zat dapat menimbulkan gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan zat psikoaktif. Hanya zat dengan khasiat
farmakologis tertentu sering menimbulkan gangguan mental dan
perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif. Khasiat farmakologis
tertentu itu antara lain dapat menimbulkan rasa nyaman, rasa
santai, menidurkan, menghilangkan rasa nyeri, atau membangkitkan
keberanian diri. 2.5 Tanda Dan Gejala Penyalahgunaan Napza
2.5.1 Tanda-Tanda Penyalahgunaaan Napza
Tanda-tanda penyalahgunaan napza antara lain :
2.5.1.1 Perubahan dalam sikap, peringai dan kepribadian
2.5.1.2 Menurunnya kedisiplinan
2.5.1.3 Mudah tersinggung dan suka marah
2.5.1.4 Suka mencuri
2.5.1.5 Suka memakai baju lengan panjang
2.5.1.6 Suka memakai kaca mata hitam
2.5.2 Gajala-Gejala Dari Penyalahgunaan Napza
Gejala-gejala dari penyalahgunaan napza, antara lain :
2.5.2.1 Meningkatkan keberanian dan gairah
2.5.2.2 Gembira yang berlebihan, perasaan yang sangat nikmat,
dan merasa sehat yang berlebihan
2.5.2.3 Meningkatnya energi tubuh secara sensasional
2.5.2.4 Sensitif dalam interaksi sosial
2.5.2.5 Tidak dapat mengendalikan diri
2.5.2.6 Halusinasi (rasa melayang)
2.6 Dampak Penyalahgunaan Napza
Dampak penyalahgunaan napza bisa dilihat dari tiga sisi yakni
dampak fisik, dampak mental dan dampak sosial.2.6.1 Dampak
Fisik
2.6.1.1 Terlihat kurus, loyo, kusam, jorok, kulit rusak, dan
juga dapat menimbulkan stroke.
2.6.1.2 Over dosis yang menimbulkan sakit yang luar biasa lalu
tidak sadarkan diri bahkan bisa sampai menyebabkan kematian
2.6.1.3 Sakaw yang menimbulkan rasa sakit yang menyiksa
2.6.1.4 Berpotensi mudah tertular penyakit HIV/AIDS, hepatitis B
dan sipilis yang ditularkan melalui jarum suntik yang berkali-kali
digunakan, serta menimbulkan gangguan fungsi jantung, otak, hati,
paru dan ginjal
2.6.2 Dampak mental
Terjadinya perubahan sifat dan watak antara lain menjadi malas
dan egois, yang dapat berkembang menjadi individu yang bodoh, tidak
berguna dan tidak produktif. Perubahan-perubahan ini dapat
mendorong pemakai napza terjebak pada tindak kriminal seperti
menipu, mencuri dan membunuh.
2.6.3 Dampak Sosial
Pengguna napza selalu berupaya mempengaruhi masyarakat di
lingkungannya untuk menjadi pengguna napza sehingga berakibat
meningkatnya peredaran napza di lingkungan tersebut. Dengan
meningkatnya penggunaan dan peredaran napza menyebabkan timbulnya
kerawanan sosial seperti keamanan dan tindak kriminal.
2.7 Tinjauan tentang keluarga
2.7.1 Definisi Keluarga
Keluarga adalah orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan,
darah dan ikatan adopsi dimana para anggota sebuah keluarga
biasanya hidup bersama-sama
dalam satu rumah tangga atau jika mereka hidup terpisah, mereka
tetap menjaga rumah tangga tersebut sebagai rumah tangga mereka
(Friedman terjemahan Ina Debora, 1998 : 11).
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
peranannya sangat besar sekali terhadap perkembangan sosial,
terlebih pada awal-awal perkembangan kepribadian selanjutnya
(Hilgard, 1999). Sedangkan menurut peraturan pemerintah no. 21
Tahun 1994 keluarga adalah suatu unit terkecil dalam masyarakat
yang terdiri dari suami isteri, isteri dan anaknya, atau ayah
dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya.
Kesimpulan dari pendapat di atas bahwa keluarga merupakan
kesatuan dari masyarakat kecil yang mempunyai motivasi dan tujuan
hidup tertentu dimana dalam suatu keluarga yang terdiri ayah, ibu
dan anak-anaknya mempunyai fungsi dan tanggung jawab masing-masing.
Keluarga merupakan pendidikan yang informal yaitu sebagai fundamen
yang pertama dan utama dalam pembentukan jiwa serta kepribadian
anak dan anggota keluarga yang lain.
2.7.2 Fungsi-fungsi Keluarga
Keluarga berfungsi sebagai variabel intervensi kritis atau
sebagai buffer antara masyarakat dan individu. Menurut Friedman
(1998) terdapat lima fungsi keluarga sebagai dasar keluarga untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota individu keluarga dan
masyarakat yang lebih luas, yaitu :
2.7.2.1 Fungsi Afektif
Satir (1972) dikutip Frieman (1998) mengungkapkan bahwa fungsi
afektif merupakan suatu basis sentral bagi pembentukan dan
keberlangsungan unit keluarga. Fungsi ini berkaitan dengan persepsi
keluarga dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan sosioemosional
para anggota keluarga yang meliputi pengurangan tekanan dan
penjagaan terhadap moral.
2.7.2.2 Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung seumur hidup
dimana individu secara kontinu mengubah perilaku mereka sebagai
respon terhadap situasi yang terpola secara sosial yang mereka
alami. Istilah sosialisasi lebih sering merujuk pada berbagai
pengalaman yang ada dalam keluarga. Pengalaman-pengalaman ini
bertujuan untuk mengajarkan anak bagaimana berfungsi dan menerima
peran-peran dewasa dalam masyarakat
2.7.2.3 Fungsi perawatan kesehatan
Fungsi ini menyediakan kebutuhan-kebutuhan fisik seperti
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan. Keluarga
merupakan sistem dasar dimana perilaku sehat dan perawatan
kesehatan diatur, dilaksanakan dan diamankan. Keluarga memberikan
perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan secara bersama-sama
merawat anggota keluarga yang sakit.
2.7.2.4 Fungsi Reproduksi
Salah satu fungsi dasar dari keluarga adalah untuk menjamin
kontinuitas keluarga antar generasi dan masyarakat,dimana
perkawinan dan keluarga dirancang untuk mengatur dan mengontrol
perilaku seksual dan juga reproduksi.
2.7.2.5 Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi meliputi tersedianya sumber-sumber dari keluarga
secara cukup dalam hal finansial, ruang gerak dan materi, dan
pengalokasian sumber-sumber tersebut yang sesuai melalui proses
pengambilan keputusan. Pengalokasian sumber-sumber tersebut yaitu
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga seperti sandang,
pangan, papan dan perawatan kesehatan yang memadai.
2.8 Gambaran Fungsi Afektif Keluarga
Fungsi afektif meliputi persepsi keluarga tentang pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan psikososial anggota keluarga. Melalui pemenuhan
fungsi ini, maka keluarga menjalankan tujuan-tujuan psikososial
yang utama, yaitu membentuk sifat-sifat kemanusiaan dalam diri
anggota keluarga, membentuk kepribadian dan tingkah laku, kemampuan
menjalin hubungan secara lebih akrab dan harga diri.
Komponen fungsi afektif keluarga yang utama, yaitu :
2.8.1 Memelihara Saling AsuhFungsi afektif yang pertama dan
paling penting adalah termasuk menciptakan dan memelihaara sebuah
sistem saling asuh (mutual nurturance) dalam keluarga. Dimana
keluarga dianggap sebagai tempat untuk memperoleh kehangatan,
dukungan, cinta, dan penerimaan. Aspek ini dapat dikatakan baik
apabila keluarga memenuhi dan menjalankan hal tersebut di atas dan
sebaliknya aspek ini dikatakan tidak baik apabila keluarga tidak
dianggap sebagai tempat untuk memperoleh kehangatan, dukungan,
cinta dan penerimaan.2.8.2 Memelihara Hubungan Yang Akrab
Lewat pemenuhan fungsi afektif keluarga, individu sebagai
anggota keluarga mengembangkan kemampuan untuk berhubungan secara
akrab dan intim satu dengan yang lainnya. Menurut Andrews (1974)
Keintiman merupakan hal penting dalam hubungan manusia karena
keintiman dapat memenuhi kebutuhan psikologis terhadap keakraban
emosional dengan orang lain dan memungkinkan individu dalam
hubungan tersebut untuk mengetahui seluruh keunikan satu sama lain
(Friedman, 1998 : 351). Aspek ini dikatakan baik apabila keluarga
mampu untuk membina dan mengembangkan hubungan yang akrab satu sam
lain, dan sebaliknya pada aspek ini dikatakan tidak baik apabila
keluarga tidak mampu mengembangkan anggota keluarganya untuk
berhubungan secara lebih akrab dengan anggota keluarga maupun
dengan orang lain.2.8.3 Saling Menghormati
Tujuan utama dari saling menghormati ini adalah keluarga harus
memelihara suasana dimana harga diri dan hak-hak dari kedua orang
tua dan anak sangat dijunjung tinggi. Menurut colley (1978) di
kutip dari Friedman (1998) keseimbangan saling menghormati dapat
dicapai apabila setiap anggota keluarga menghormati hak, kebutuhan
dan tanggung jawab anggota keluarga yang lain. Aspek tersebut
dikatakn baik apabila keluarga dapat memenuhi kebutuhan anggota
keluarganya seperti hal tersebut di atas, sedangkan aspek ini
dikatakan tidak baik apabila keluarga tidak memperdulikan hal
tersebut sebagai bagian dari hak yang harus dimiliki oleh anggota
keluarganya. Memelihara keseimbangan antara hak-hak individu dalam
keluarga berarti menciptakan suasana dimana baik orang tua maupun
anak-anak tidak diharapkan untuk memenuhi tingkah laku dari yang
lain.2.8.4 Pertalian dan Kasih Sayang
Kasih sayang menurut Wright dan Leahey (1984) adalah ikatan
emosional yang relatif unik dan abadi antara dua orang tertentu.
Bowlby (1977) menanamkan perkembangan ikatan emosional ini sebagai
jatuh cinta (Friedman terjemahan Ina debora, 1998 : 352). Pertalian
atau kasih sayang berkembang antara orang tua dan anak-anak dan
antara kakak adik karena mereka saling berhubungan satu sam lain
secara terus menerus dan secara positif melalui proses yang disebut
identifikasi. Turner (1970) menjelaskan bahwa identifikasi adalah
suatu sikap dimana seseorang mengalami apa yang terjadi dengan
orang lain seolah-olah itu terjadi pada dirinya sendiri (Friedman
terjemahan ina debora, 1998 : 353).
Agar pertalian atau kasih sayang bisa terjadi dalam hubungan
keluarga,pertama harus ada identifikasi positif. Karena kebanyakan
aspek kasih sayang bersifat pervasif, kasih sayang dapat didasarkan
atas mekanisme simpati atau mekanisme libidal atau semata-mata
berasal dari internalisasi sikap orang yang diberi perhatian dan
tempat bergantung. Lewat identifikasi, anak-anak belajar meniru
tingkah laku orang tua. Karena, identitas anak dipertinggi dengan
belajar tingkah laku, sikap, nilai-nilai dari orang tua, maka
terbentuklah suatu pertalian. Aspek ini dikatakan baik apabila
setiap anggota keluarga mampu memenuhi hal tersebut di atas,
sebaliknya dikatakan tidak baik apabila keluarga tidak menanamkan
ikatan emosional (jatuh cinta) antar anggota keluarganya.2.8.5
Keterpisahan dan Keterpaduan
Perkembangan dari rasa pisah dan individualisasi terjadi karena
anak-anak berpartisipasi dalam peran di keluarga dan dalam situasi
dan kejadian keluarga yang berbeda, dan melalui keterlibatan mereka
dalam kegiatan-kegiatan di luar keluarga. Menurut Munichin (1974)
mengatakan bahwa ketika anak-anak sudah besar, orang tua secara
perlahan-lahan memberikan lebih banyak otonomi agar mereka
berkembang dan memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan dan minat
mereka yang unik (Friedman terjemahan Ina Debora, 1998 : 354).Untuk
merasakan dan memenuhi kebutuhan psikologis anggota keluarga, maka
keluarga harus mencapai pola keterpisahan (separatness) dan
keterpaduan (connectedness) yang memuaskan. Setiap keluarga
menghadapi isu-isu keterpisahan dan keterpaduan dengan cara yang
unik. Aspek ini dikatakan baik apabila keluarga mampu memberikan
otonomikepada anggota keluarganya dalam mengembangkan minat dan
bakat, dan sebaliknya dikatakan tidak baik apabila keluarga tidak
mampu mengembangkan minat dan bakat dari setiap anggota
keluarganya.
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Jenis Metode Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
metode penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi
tentang suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2002 : 138).
Dalam hal ini penulis ingin mendapatkan gambaran fungsi afektif
keluarga pada klien penyalahgunaan Napza di Tempat Rehabilitasi
Pesantren Bina Akhlak Cianjur.
3.2 Variabel dan Subvariabel Penelitian
3.2.1 Variabel
Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik
perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002 : 96). Variabel dalam
penelitian ini adalah fungsi afektif keluarga berdasarkan persepsi
klien penyalahgunaan Napza di tempat Rehabilitasi pesantren Bina
Akhlak Cianjur
3.2.2 Subvariabel
Subvariabel adalah variabel-variabel yang lebih kecil yang dapat
diartikan sebagai indikator variabel (Arikunto, 2002). Subvariabel
dalam penelitian ini meliputi beberapa aspek dari fungsi afektif
keluarga pada klien penyalahgunaan Napza tersebut, diantaranya
adalah memelihara saling asuh, memelihara hunbungan yang akrab,
saling menghormati, pertalian atau kasih sayang, keterpisahan dan
keterpaduan.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002 :
96). Populasi dalam penelitian ini adalah semua klien
penyalahgunaan Napza yang di rawat di tempat Rehabilitasi Pesantren
Bina Akhlak Cianjur yang berjumlah 70 orang.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti
(Arikunto, 2002 : 99). Sampel yang di gunakan adalah teknik total
sampling yaitu semua populasi di ikut sertakan dengan syarat:
bisa baca dan tulis
pendidikan minimal lulusan SD
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendapatkan data
dalam penelitian ini adalah teknik angket. Angket adalah suatu cara
pengumpulan data atau suatu penelitian mengenai suatu masalah yang
umumnya banyak menyangkut kepentingan umum atau orang banyak
(Notoatmodjo, 2002). Angket ini dilakukan dengan mengedarkan suatu
daftar pertanyaan berupa formulir-formulir, diajukan secara
tertulis kepada sejumlah objek untuk mendapatkan tanggapan,
informasi, jawaban, dan sebagainya. Angket yang digunakan dalam
penelitian ini adalah angket tertutup, yaitu angket dengan
pertanyaan yang telah disediakan jawabannya dan responden hanya
diminta memilih jawaban sesuai dengan pengetahuan dan pendapat
responden (Arikunto, 2002). Responden menjawab pertanyaan yang
disajikan dengan cara memberi tanda check list () pada jawaban yang
dianggap paling sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam angket ini
terdapat lima alternatif jawaban yang disediakan, yaitu : selalu
(SL), sering (SR), kadang-kadang (KD), jarang sekali (JS), dan
tidak pernah (TP).
3.5 Validitas dan Reliabilitas Instrumen
3.5.1 Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat-tingkat
kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan
valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkannya dan dapat
mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto,
2002 : 144). Suatu pertanyaan dikatakan valid dan dapat mengukur
variable penelitian yang dimaksud jika nilai koefisien validitasnya
dan besarnya lebih dari atau sama dengan 0,30 (Sugiyono, 2004 :
115).
Uji validitas ini dilakukan untuk setiap aitem pertanyaan pada
instrumen penelitian. Untuk menguji validitas variabel fungsi
afektif keluarga yang berupa skor dalam skala ordinal (tingkatan)
digunakan teknik korelasi product moment yang rumusnya sebagai
berikut :
Keterangan :
n = Jumlah responden
= Jumlah dari perkalian skor aitem dengan skor total
= Jumlah dari skor aitem pertanyaan
= Jumlah dari skor total
(Notoatmojdo, 2005 : 131)
Pada penelitian ini peneliti melakukan uji coba instrumen
terhadap 10 orang responden sehingga menghasilkan perhitungan uji
validitas seperti yang tertera dalam lampiran.3.5.2
Reliabilitas
Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu
alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini
berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap
konsisten atau tetap asas bila dilakukan pengukuran dua kali atau
lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang
sama (Notoatmodjo, 2005). Sekumpulan pertanyaan untuk mengukur
suatu variable dikatakan reliable jika koefisien reliabilitasnya
lebih dari atau sama dengan 0,700. Uji reliabilitas yang digunakan
untuk variabel fungsi afektif keluarga yang berupa skor dalam skala
ordinal (tingkatan) adalah teknik koefisien reliabilitas alpha
cronbach dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
k= Banyaknya aitem dalam tes
= Jumlah varians dari skor tiap aitem
= Varians dari skor total aitem
(Azwar, 2002 : 156)
Dari hasil perhitungan uji coba instrumen penelitian (terlampir)
diperoleh nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach sebesar
0,822. sehingga, koefisien reliabilitas tersebut termasuk reliabel.
Ini berarti bahwa hasil pengukuran dari instrumen penelitian telah
dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Dengan demikian, seluruh item
pertanyaan dalam instrumen penelitian ini dapat digunakan untuk
analisis selanjutnya.
3.6 Pengolahan dan Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskripsi kuantitatif untuk menggambarkan responden
berdasarkan fungsi afektif keluarga dalam bentuk persentase dari
data hasil angket yang telah diolah. Proses pengolahan dan analisis
data penelitian ini melalui tahapan sebagai berikut :
3.6.1 Editing
Pada tahap editing ini, peneliti melakukan pengecekan terhadap
data-data yang telah diisi responden pada angket, baik data
demografi responden maupun jawaban dari setiap aitem
pertanyaan.
3.6.2 Koding
Koding merupakan suatu metode untuk mengkonversikan data yang
dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk
keperluan analisis. Untuk menilai komponen fungsi afektif keluarga
digunakan teknik Likertrs Summated Rating, dimana untuk pernyataan
yang bersifat positif, jawaban selalu (SL) diberi skor 5, sering
(SR) diberi skor 4, kadang-kadang (KD) diberi skor 3, jarang sekali
(JS) diberi skor 2, dan tidak pernah (TP) diberi skor 1, sedangkan
untuk pernyataan yang bersifat negatif, jawaban tidak pernah (TP)
diberi skor 5, jarang sekali (JS) diberi skor 4, kadang-kadang (KD)
diberi skor 3, sering (SR) diberi skor 2, dan selalu (SL) diberi
skor 1.
3.6.3 Data EntryData yang sudah dikoding kemudian dientry ke
dalam computer untuk selanjutnya siap diolah dan dianalisis dengan
menggunakan software Microsoft excel 2000
3.6.4 Analisis Data
Untuk mengetahui apakah fungsi afektif keluarga tersebut
termasuk baik atau tidak baik, maka dari skor total tiap responden
dihitung dengan rumus :
T = 50 + 10 X - X Keterangan :
X = Skor responden pada skala sikap yang hendak diubah menjadi
skor T
X = Mean skor kelompok
S = Deviasi standar skor kelompok
(Azwar, 2005 : 156)
Kriteria : Baik jika T > rata-rata skor T
Tidak Baik jika T < rata-rata skor T
Penentuan skor tersebut dilakukan pada setiap subvariabel dan
secara keseluruhan dari variable dengan kategori sebagai berikut
:
Jika skor > Mean, maka fungsi afektif keluarga dikatakan
baik
Jika skor < Mean, maka fungsi afektif keluarga dikatakan
tidak baik
Selanjutnya, analisis deskriptif dari fungsi afektif keluarga
yang dinyatakan baik atau tidak baik dilakukan dengan menggunakan
rumusan persentase sebagai berikut :
Keterangan :
P = Persentase kategori baik atau tidak baik
= Jumlah responden yang termasuk baik atau tidak baik
n = Jumlah responden keseluruhan
3.6.5 Interpretasi Hasil Analisis
Hasil persentase kategori baik atau tidak baik menurut Arikunto
(1998) kemudian diinterpretasikan ke dalam kata-kata dengan
menggunakan kriteria :
0 %
= Tak seorangpun dari responden
1 26 %= Sebagian kecil dari responden
27 49 % = Hampir setengahnya dari responden
50 %
= Setengahnya dari responden
51 75 % = Sebagian besar dari responden
76 99 % = Hampir sseluruh dari responden
100 %
= Seluruh responden
3.7 Etika penelitian
Peneliti menjamin hak-hak responden dengan menjamin kerahasiaan
identitas responden, sebelum responden diberi lembar angket untuk
diisi, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan peneliti serta
membuat surat persetujuan menjadi responden yang ditandatangani
responden dan memberikan hak kepada responden untuk menolak
dijadikan responden.
3.8 Prosedur penelitian
3.8.1 Tahap persiapan
Pada tahap ini peneliti melakukan penelitian dengan cara :
1). Memilih lahan penelitian
2). Melakukan pendekatan pada instansi penelitian untuk
studi
pendahuluan.
3). Mendapatkan ijin studi pendahuluan.
4). Melakukan studi pendahuluan dan penjajakan awal untuk
menentukan masalah
5). Mengidentifikasi masalah penelitian.
6). Menyusun proposal penelitian
7). Seminar proposal
8). Perbaikan proposal
3.8.2 Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini peneliti melaksanakan penelitian dengan cara
:
1). Mendapatkan ijin penelitian.
2). Persetujuan responden.
3). Penyebaran angket.
4). Pengumpulan angket.
5). Pengolahan data dan analisa data.
3.8.3 Tahap akhir
Pada tahap ini peneliti melaksanakan :
1). Penyususnan laporan penelitian
2). Sidang atau menyampikan hasil penelitian.
3). Perbaikan hasil sidang.
3.9 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Tempat Rehabilitasi Pesantern Bina
Akhlak Cianjur. Penelitian dilakukan pada bulan maret sampai bulan
agustus 2006.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data penelitian yang telah terkumpul kemudian diolah dan
dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Pengolahan dan analisis
data penelitian dilakukan dengan menggunakan bantuan software
Microsoft Excel 2000.
Dari hasil penelitian terhadap fungsi afektif keluarga pada
klien penyalahgunaan napza di tempat Rehabilitasi Pesantren Bina
Akhlak Cianjur, selanjutnya dilakukan pengkategorian terhadap
fungsi afektif keluarga yang termasuk baik atau tidak baik
berdasarkan rumusan yang tercantum dalam bab sebelumnya. Dalam
penelitian ini penentuan kategori dilakukan pada tiap-tiap
subvariabel maupun secara keseluruhan subvariabel yang akan
diperlihatkan pada bagian lampiran skripsi ini.
Namun, untuk memperoleh gambaran mengenai fungsi afektif
keluarga tersebut penulis akan menyajikan diagram pie yang kemudian
dibahas pada bagian selanjutnya.
4.1 Hasil Penelitian fungsi Afektif Keluarga Pada Klien
Penyalahgunaan Napza di tempat rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak
Cianjur
Untuk mengetahui bagaimana gambaran fungsi afektif keluarga yang
terdiri dari beberapa komponen, yaitu : memelihara saling asuh,
membina hubungan yang akrab, saling menghormati, pertalian atau
kasih saying, keterpisahan dan keterpaduan, berikut ini disajikan
diagram pie yang menunjukkan gambaran fungsi afektif yang termasuk
baik atau tidak baik.
Diagram 4.1.1
Fungsi Afektif Keluarga pada Aspek Memelihara Saling Asuh
Diagram 4.1.1 di atas menunjukkan gambaran aspek memelihara
saling asuh pada klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi
Pesantern Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir setengahnya dari
responden yaitu dengan jumlah 30 orang atau sebanyak 43% dinyatakan
baik, sedangkan sebagian besar dari responden yaitu dengan jumlah
40 orang atau sebanyak 57% dinyatakan tidak baik.Diagram 4.1.2
Fungsi Afektif Keluarga pada AspekMemelihara Hubungan yang
Akrab
Diagram 4.1.2 di atas menunjukkan gambaran aspek memelihara
hubungan yang akrab pada klien penyalahgunaan napza di Tempat
Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, dimana sebagian besar
dari responden yaitu dengan jumlah 36 orang atau sebanyak 51%
dinyatakan baik, sedangkan hampir setengahnya yaitu dengan jumlah
34 orang sebanyak 49% dinyatakan tidak baik.Diagram 4.1.3
Fungsi Afektif Keluarga pada Aspek
Memelihara Saling Menghormati
Diagram 4.1.3 di atas menunjukkan aspek memelihara saling
menghormati pada klien penyalahgunaan napza di tempat Rehabilitasi
Pesantern Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir setengahnya dari
responden yaitu dengan jumlah 30 orang atau sebanyak 43% dinyatakan
baik, sedangkan sebagian besar dari responden yaitu dengan jumlah40
orang atau sebanyak 57% dinyatakan tidak baik.
Diagram 4.1.4
Fungsi Afektif Keluarga pada Aspek
Pertalian dan Kasih Sayang
Diagram 4.1.4 di atas menunjukkan gambaran pada aspek pertalian
dan kasih sayang pada klien penyalahgunaan napza di Tempat
Rehabilitaasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir
setengahnya dari responden yaitu dengan jumlah 30 orang atau
sebanyak 43% dinyatakan baik, sedangkan sebagian besar dari
responden yaitu dengan jumlah 40 orang atau sebanyak 57% dinyatakan
tidak baik.
Diagram 4.1.5
Fungsi Afektif Keluargapada Aspek
Keterpisahan dan Keterpaduan
Diagram 4.1.5 di atas menunjukkan gambaran pada aspek
keterpisahan dan keterpaduan pada klien penyalahgunaan napza di
Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir
setengahnya dari responden yaitu dengan jumlah 31 orang atau
sebanyak 44 % dinyatakan baik, sedangkan sebagian besar dari
responden yaitu dengan jumlah 39 orang atau sebanyak 56%
dinyatakaan tidak baik.
Diagram 4.1.6
Untuk Keseluruhan Aspek
Fungsi Afektif Keluarga
Diagram 4.1.6 di atas menunjukkan gambaran fungsi afektif untuk
keseluruhan aspek pada klien penyalahgunaan napza di Tempat
Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur, dimana hampir
setengahnya dari responden yaitu dengan jumlah 34 orang atau
sebanyak 49% dinyatakan baik, sedangkan sebagian besar dari
responden yaitu dengan jumlah 36 orang atau sebanyak 51% dinyatakan
tidak baik.
4.2 Pembahasan
Pembahasan penelitian gambaran tentang fungsi afektif
berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di Tempat
Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur ini, terdapat satu
variabel yaitu fungsi afektif keluarga dan lima sub variabel yaitu
memelihara saling asuh, memelihara hubungan yang akrab, memelihara
saling menghormati, pertalian dan kasih sayang, keterpisahan dan
keterpaduan yang nantinya masing-masing akan dibahas secara rinci.
Friedman menyebutkan ada lima aspek fungsi afektif dalam keluarga
yaitu memelihara saling asuh, memelihara hubungan yang akrab,
memelihara saling menghormati, pertalian dan kasih sayang,
keterpisahan dan keterpaduan.
Fungsi afektif keluarga menurut friedman adalah fungsi yang
paling penting bagi keluarga. Hal ini dikarenakan fungsi afektif
berhubungan dengan fungsi internal dalam keluarga yaitu memberikan
dukungan psikososial bagi para anggota keluarga. Dalam rangka
memenuhi fungsi afektif, keluarga melakukan tugas-tugas yang
menunjang pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi anggota
keluarga dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosio ekonomi anggota
keluarga.
4.2.1 Gambaran Fungsi Afektif Memelihara Saling Asuh
(Maintaining Mutual Nurturance)
Dari diagram 4.1.1 didapatkan bahwa gambaran fungsi afektif
keluarga pada aspek memelihara saling asuh sebagian dari responden
dinyatakan tidak baik dengan data responden yang berjumlah 40 orang
atau sebanyak 57% sedangkan hampir setengahnya dinyatakan baik
dengan data responden yang berjumlah 30 orang atau sebanyak 43%,
hal ini karena setiap anggota keluarga tidak memperhatikan aspek
kasih sayang dan perhatian dari anggota keluarga yang lain. Dengan
adanya hasil tidak saling mendukung dan tidak memberikan kehangatan
emosional, sehingga aspek saling asuh tidak terjalin antar anggota
keluarga yang lain dan akhirnya berdampak tidak adanya rasa timbal
balik dalam memberi dan menerima dukungan serta kehangatan antar
anggota keluarga. Karena hal tersebut diharapkan keluarga dapat
dijadikan tempat untuk mendapat dukuingan yang baik dengan cara
saling mencintai antar anggota keluarganya. Padahal menurut
Friedman sistem saling asuh dalam keluarga adalah sebuah prasyarat
untuk mencapai saling asuh adalah komitmen dasar dari masing-masing
pasangan hubungan perkawinan yang secara emosional memuaskan dan
terpelihara.
4.2.2 Gambaran Fungsi Afektif Memelihara Hubungan Yang Akrab
(Good Human Relationship)
Dari diagram 4.1.2 didapatkan bahwa gambaran fungsi afektif
keluarga pada aspek memelihara hubungan yang akrab sebagian besar
dikatakan baik dengan data responden yang berjumlah 36 oang atau
sebanyak 51%, sedangkan hampir setengahnya dari responden dikatakan
tidak baik dengan data responden yang berjumlah 34 orang atau
sebanyak 49%. Hal ini terjadi karena setiap anggota keluarga
mengembangkan kemampuan untuk berhubungan secara akrab dan intim
satu dengan yang lainnya di dalam keluarga. Keintiman merupakan hal
yang penting dalam hubungan manusia karena keintiman dapat memenuhi
kebutuhan psikologis terhadap keakraban emosional dengan orang lain
dan memungkinkan individu dalam hubungan tersebut untuk mengetahui
seluruh keunikan yang dimiliki satu sama lainnya. Dengan memelihara
lingkungan ini keluarga memberikan kesempatan kepada individu untuk
membentuk dan memelihara hubungan yang berarti tidak hanya dengan
anggota keluarga, melainkan juga denagn individu-individu yang
lain.4.2.3 Gambaran Fungsi Afektif Memlihara Saling Menghormati
(Mutual Respect Balance)
Dari diagram 4.1.3 didapatkan bahwa gambaran fungsi saling
menghormati dikatakan tidak baik dengan data responden yang
berjumlah 40 orang atau sebanyak 57%, sedangkan hamper setengahnya
dari responden dinyatakan baik dengan jumlah 30 orang atau sebanyak
43%. Hal ini berarti menunjukkan suasana keluarga dimana setiap
hak-hak dalam setiap anggota keluarga tidak terpenuhi dengan baik.
Menurut Friedman bahwa setiap orang dalam keluarga memiliki
hak-haknya sendiri sebagai individu, dan juga kebutuhan-kebutuhan
perkembangan yang spesifik bagi kelompok usianya. Keseimbangan
saling menghormati dapat dicapai apabila setiap anggota keluarga
menghormati hak, kebutuhan, dan tanggung jawab anggota keluarga
yang lain. Dengan tidak adanya keseimbangan saling menghormati
akhirnya akan berdampak anggota keluarga akan membentuk dan meniru
tingkah laku dari orang lain karena merasa tidak dihargai dalam
keluarga.
Memelihara keseimbangan antara hak-hak individu dalam keluarga
berarti menciptakan suasana dimana baik orang tua atupun anak-anak
tidak diharapkan untuk memenuhi tingkah laku dari orang lain. Maka
dari itu orangtua perlu menyediakan struktur yang memadai dan
panduan yang konsisten sehingga batas-batas bisa dibuat dan
dipahami sebagai kontrol dalam menciptakan perilaku yang normatif
bagi setiap anggota keluarga. Namun demikian, perlu dibentuk
fleksibilitas dalam sistem keluarga agar memberikan ruang gerak
bagi kebebasan untuk berkembang.
4.2.4. Gambaran Fungsi Afektif Pertalian dan Kasih Sayang
(Bonding and Attachment)
Pada diagram 4.1.4 didapatkan bahwa gambaran fungsi afektif
pertalian dan kasih sayang dengan data sebagian besar dari
responden yang berjumlah 40 orang atau sebanyak 57% dinyatakan
tidak baik, sedangkan hamper setengahnya dari responden dinyatakan
baik dengan jumlah 30 orang atau sebanyak 43%. Dimana pertalian dan
kasih sayang bisa terjadi dalam hubungan keluarga, pertama harus
ada identifikasi positif. Karena kebanyakan aspek kasih sayang
dapat didasarkan atas mekanisme simpati atau mekanisme libidal atau
semata-mata berasal dari internalisasi sikap orang yang ia beri
perhatian dan orang tempat ia bergantung. Sekali terbentuk, maka
konsekuensi jangka panjang dari identifikasi dan pertalian adalah
perubahan citra diri individu terhadap karakteristik orang lain
yang telah ia identifikasi. Lewat identifikasi, anak-anak belajar
meniru tingkah laku orangtua mereka (orangtua mereka kenal menjadi
model peran bagi mereka). Karena identitas anak dipertinggi dengan
belajar tingkah laku, sikap, nilai-nilai dari orang tua maka
terbentuk suatu pertalian. Lewat identifikasi dan pertalian, orang
tua memperoleh kekuatan acuan atas anak-anak mereka.4.2.5 Gambaran
Fungsi Afektif Keterpisahan dan Keterpaduan (Separateness and
Connectedness)
Pada diagram 4.1.5 menunjukkan gambaran pada aspek keterpisahan
dan keterpaduan yaitu sebanyak 39 orang atau 56% dinyatakan tidak
baik. Hal ini berarti menunjukkan bahwa keluarga tidak memberikan
otonomi untuk mengembangkan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan serta
minat dari anggota keluarganya, sehingga berdampak anggota keluarga
lebih tergantung kepada keluarga dan tidak mandiri, dimana pada
aspek ini seharusnya keluarga membantu anggotanya agar mereka dapat
bersama-sama mengembangkan serta mempertahankan keterpaduan dalam
hal keterlibatan keluarga dalan melakukan kegiatan-kegiatan yang
ada di luar keluarga. Di lain pihak, secara perlahan-lahan keluarga
harus memberikan kebebasan dan saluran ekspresi bagi anggota
keluarga untuk menyendiri dan menjadi individu terpisah.4.2.6
Gambaran Fungsi Afektif Keluarga pada Klien Penyalahgunaan
Napza
pada diagram 4.1.6 menunjukkan gambaran fungsi afektif keluarga
secara keseluruhan sebagian besar termasuk tidak baik dengan jumlah
responden yaitu 36 orang atau sebanyak 51%, sedangkan hampir
setengahnya dari responden dinyatakan baik dengan jumlah responden
34 orang atau sebanyak 49%. Hal ini dapat terjadi, Rutter (1980)
dikutip Hawari (1996) mengemukakan bahwa kondisi keluarga yang
tidak baik (Disfungsi Keluarga) merupakan faktor kontribusi bagi
terjadinya penyalahgunaan napza.
Kemampuan untuk memenuhi fungsi afektif ini merupakan sebuah
determinan kunci apakah sebuah keluarga akan bertahan atau bubar.
Sebagaimana Duvall (1977) katakan dalam Friedman terjemahan Ina
Debora (1998) bahwa kebahagiaan keluarga diukur dengan kekuatan
cinta keluarga dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk
memahami, kasih sayang dan kebahagiaan. Melalui Fungsi afektif ini
seharusnya keluarga dapat membantu dalam pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan psikososial anggota keluarganya. Melalui
pemenuhan fungsi ini, maka keluarga menjalankan tujuan-tujuan
psikososial yang utama, yaitu membentuk sifat-sifat kemanusiaan
dalam diri anggota keluarga, membentuk kepribadian dan tingkah
laku, kemampuan menjalin hubungan secara lebih akrab dan harga
diri.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran fungsi
afektif keluarga berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di
Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur adalah sebagai
berikut :5.1.1 Gambaran fungsi afektif keluarga secara keseluruhan
berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di Tempat
Rehabilitasi pesantren Bina Akhlak Cianjur, didapatkan hasil
sebagian besar dari responden dinyatakan tidak baik, hal ini dapat
terjadi karena keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
psikososial anggota keluarganya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
untuk memahami, kasih sayang dan kebahagiaan.5.1.2 Gambaran fungsi
afektif keluarga dengan aspek saling asuh berdasarkan persepsi
klien penyalahgunaan napza di Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina
Akhlak Cianjur didapatkan hasil sebagian besar dari responden
dinyatakan tidak baik, dengan ciri-ciri : setiap anggota keluarga
tidak menerima kasih sayang dan perhatian dari anggota keluarga
yang lain, kapasitasnya untuk memberi kepada anggota keluarga yang
lain tidak ada dan hasilnya tidak adanya saling mendukung dan
memberikan kehangatan emosional satu sama lainnya.
5.1.3 Gambaran fungsi keluarga dengan aspek memelihara hubungan
yang akrab berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di
Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur didapatkan
sebagian besar dari responden dinyatakan baik, dengan ciri-ciri :
keluarga memberikan kepada setiap anggota keluarganya untuk
membentuk dan memelihara hubungan yang akrab dengan anggota
keluarga yang lain.
5.1.4 Gambaran fungsi keluarga dengan aspek memelihara saling
menghormati berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di
Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur didapatkan
sebagian besar dari responden dinyatakan tidak baik, dimana
kemampuan keluarga dalam menghormati setiap hak-hak, kebutuhan dan
tanggung jawab dalam setiap anggota keluarganya tidak dipenuhi
dengan baik.
5.1.5 Gambaran fungsi afektif keluarga dengan aspek pertalian
dan kasih sayang berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di
Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur didapatkan
sebagian besar dari responden dinyatakan tidak baik, dimana
pertalian dan kasih sayang bisa terjadi dalam hubungan keluarga,
pertama harus ada identifikasi positif.
5.1.6 Gambaran fungsi afektif keluarga dengan aspek keterpisahan
dan keterpaduan berdasarkan persepsi klien penyalahgunaan napza di
tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak Cianjur didapatkan
sebagian besar dari responden dinyatakan tidak baik, seharusnya
keluarga membantu anggotanya agar mereka dapat bersama-sama
mengembangkan serta mempertahankan keterpaduan. Dilain pihak secara
perlahan-lahan keluarga harus memberikan kebebasan dan saluran
ekspresi bagi anggota keluarganya untuk menyendiri dan menjadi
individu yang terpisah.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Tempat Rehabilitasi Pesantren Bina Aklak
Cianjur5.2.1.1 Diharapkan pihak rehabilitasi dapat melibatkan
keluarga klien dengan memberikan penyuluhan tentang gambaran fungsi
afektif kepada keluarga klien yang sedang dirawat khususnya
mengenai gambaran saling memberikan perhatian, memberikan dukungan
yang baik, saling mencintai, saling menghormati, dan memlihara
hubungan akrab.
5.2.1.2 Diaharapkan pihak rehabilitasi dapat melakukan Home
Visit kepada keluarga klien yang tidak bisa secara rutin datang
menjenguk klien yang sedang dirawat sebagaimana yang telah
dijadualkan oleh pihak Rehabilitasi Pesantren Bina Akhlak cianjur.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian ; Suatu Pendekatan
Praktik, Jakarta : Rineka Cipta
Azwar, S. 2005. Sikap Manusia Teori dan Pengkururannya.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Bidang Telematika Badan Narkotika Kabupaten Cianjur, 2005. Peran
Serta Masayarakat Dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Penyalahgunaan Napza Serta Penularan HIV/AIDS
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Depkes RI. 2000.
Keperawatan Jiwa : Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta
Friedman, MM. 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktis,
edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hawari, D. 1996. Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jaenal, A. 2005. Kasus Narkoba Naik 27%.
http://www.pikiran-rakyat.comJoewana, Satya. 2004. Gangguan Mental
Dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif, Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Kepolisian Negara Republic Indonesia, POLRES Cianjur. 2005
Maramis, W.F. 1995. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya :
Universitas Airlangga
Maslim, R. 2001. Buku Saku PPDGJ III. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta :
Rineka Cipta
Pengertian Narkoba, http://www.bnn.go.idRatta, N. 2005. Kasus
Narkoba Di Indonesia Terus Meningkat.
http://www.depkes.go.idRiduan. 2002. Skala Pengukuran
Variable-Variabel Penelitian. Bandung : ALFABETA Bandung
Stuart & Sundeen. 1998. Keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
STIKes. 2005. Panduan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah/Skripsi.
Bandung
Sudijono, A. 2003. Pengantar Statistic Pendidikan. Jakarta : PT
Rajagrapindo Persada
Sudirman. 2000. Panduan Orang Tua Dalam Menangani Masalah Napza.
Jakarta : PT Gramedia
Sugiyono, 2004. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : CV Alfabeta
Bandung
s
PAGE
_1190654932.unknown
_1190654933.unknown
_1190668040.unknown
_1181871769.unknown
_1190654931.unknown
_1181871786.unknown
_1172938251.unknown
_1137965753.unknown