Top Banner
Assessment (Penalaran klinik) A. Definisi Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI, 2010) B. Faktor Resiko Genetik Paparan lingkungan Asap rokok Polusi udara Polusi lingkungan kerja Infeksi saluran nafas Hiperreaktivitas asthma/bronkial Status sosioekonomi C. Diagnosis Spirometri diperlukan untuk menegakkan diagnosis pada konteks klinis, munculnya post‐bronkodilator Volume Ekspirasi Paksa1 (VEP1)/ Kapasitas Vital Paksa (KVP) < 0,70 mengkonfirmasi bahwa terdapat pembatasan aliran udara yang persisten, atau PPOK (GOLD, 2011). Pertimbangkan PPOK dan lakukan spirometri, bila ada indicator di bawah ini yang muncul pada pasien berusia >40 tahun. Indikator ini bukan sebagai alat diagnosis, namun munculnya beberapa dari indicator kunci di bawah ini menaikkan probabilitas diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk menegakkan diagnosis PPOK. Dyspneu Progresif Memberat Persisten Batuk kronis Bisa intermitten dan bisa tidak produktif Produksi sputum Semua pola produksi sputum yg
17

portofolio ppok

Dec 27, 2015

Download

Documents

kasus + penalaran klinis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: portofolio ppok

Assessment (Penalaran klinik)

A. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI, 2010)

B. Faktor Resiko

Genetik Paparan lingkungan Asap rokok Polusi udara Polusi lingkungan kerja

Infeksi saluran nafas Hiperreaktivitas

asthma/bronkial Status sosioekonomi

C. Diagnosis

Spirometri diperlukan untuk menegakkan diagnosis pada konteks klinis, munculnya post‐bronkodilator Volume Ekspirasi Paksa1 (VEP1)/ Kapasitas Vital Paksa (KVP) < 0,70 mengkonfirmasi bahwa terdapat pembatasan aliran udara yang persisten, atau PPOK (GOLD, 2011).

Pertimbangkan PPOK dan lakukan spirometri, bila ada indicator di bawah ini yang muncul pada pasien berusia >40 tahun. Indikator ini bukan sebagai alat diagnosis, namun munculnya beberapa dari indicator kunci di bawah ini menaikkan probabilitas diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk menegakkan diagnosis PPOK.

Dyspneu ProgresifMemberatPersisten

Batuk kronis Bisa intermitten dan bisa tidak produktifProduksi sputum kronis

Semua pola produksi sputum yg kronis mengindikasikan dgn PPOK

Riwayat paparan faktor resiko

Rokok tembakauAsap dari rumah tangga atau kendaraanDebu dan zat kimia di lingkungan kerja

Riwayat keluarga PPOK

Page 2: portofolio ppok

D. Algoritma

E. Pemeriksaan Fisik

Bentuk dada : Barrel chest Penggunaan otot bantu nafas Pelebaran sela iga Hipertrofi otot bantu nafas Fremitus melemah, sela iga

melebar

Hipersonor Suara nafas vesikuler

melemah atau normal Ekspirasi memanjang Wheezing

F. Pemeriksaan Penunjang

Faktor risiko :

-usia > 40 th

-riwayat paparan : asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja

-Sesak nafas dan yang bertambah saat aktivitas

-Batuk kronik-Produksi sputum kronik-Keterbatasan aktivitas

Pemeriksaan FisikCuriga PPOK

Pemeriksaan Foto ThoraksFasilitas

spirometri (-)

Fasilitas spirometri

(+)PPOK secara klinis

VEP1/KVP <70

%

Post bronkod

ilator

Normal Bukan

PPOKPPOK

derajat I/II/III/IV

Page 3: portofolio ppok

G. Klasifikasi

Derajat Klinis VEP1/KVP VEP1Derajat I :PPOK ringan

Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada namun tidak sering.Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari kalau fungsi paru mulaimenurun

< 70% ≥ 80 %

Derajat II :PPOK sedang

Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum.Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya

< 70% 50 –80%

Derajat III :PPOK Berat

Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi makin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien

< 70% 30–50%

Derajat IV :PPOK sangat berat

Gejala di atas ditambah tanda-tandagagal nafas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen.Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi bisa mengancam jiwa

< 70% <30% atau <50%disertai dengangagal nafas

H. Penatalaksanaan 1. Farmakologi

Di dalam GOLD (2011), dijelaskan bahwa terapi farmakologi untuk PPOK digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan keparahan eksaserbasi, dan menaikkan status kesehatan dan toleransi latihan. Pilihan setiap kelas obat tergantung pada ketersediaan dan biaya pengobatan serta respon pasien. Setiap regimen terapi harus spesifik untuk pada tiap pasien dimana hubungan antara keparahan gejala, keterbatasan aliran udara, dan keparahan eksaserbasi akan berbeda pada setiap pasien. Ketika terapi akan diberikan melalui rute inhalasi, perhatian terhadap efektivitas pemakaian obat dan latihan pada pasien untuk teknik memakai inhaler sangat diperlukan.

Ro- thorax Hiperinflasi Hiperlusen Diafragma mendatar Corakan bronkovaskuler

meningkat Bulla Jantung pendulum

Page 4: portofolio ppok

Pilihan alat inhaler akan tergantung pada ketersediaan, harga, dokter yang meresepkan, serta keterampilan dan kemampuan pasien. Pasien PPOK mungkin akan mengalami kesulitan dengan inhalasi dosis terukur (IDT), sehingga penting memastikan teknik inhaler benar dan selalu mengecek ulang bila pasien dating kontrol. Inhalasi serbuk kering (ISK) bisa juga digunakan, namun biasanya pasien akan lebih kesulitan memakai ISK. Banyak obat tersedia pula pada sediaan larutan nebulizer, untuk pasien yang overinflasi sangat parah dan mungkin mempunyai tingkat aliran inspirasi sangat rendah, maka nebulizer berguna secara teoritis.Terapi nebulizer hanya boleh diberikan pada pasien yang jelas mendapatkan perbaikan gejala yang tidak bisa dicapai dengan alternative yang lebih sederhana, lebih murah, dan lebih mudah dibawa-bawa.

BronkodilatorPengobatan yang menaikkan VEP1 atau mengubah variable spirometri yang lain dengan jalan mengubah tonus otot polos jalan nafas, disebut dengan bronkodilator, karena perbaikan aliran ekspirasi terjadi pada melebarnya jalan nafas, bukan pada perubahan pada recoil elastic paru.Pengobatan yang memperbaiki pengosongan paru, mempunyai kecenderungan untuk mengurangi hiperinflasi dinamis saat istirahat maupun saat berolahraga dan memperbaiki performa olahraga. Hubungan antara dosis dan respon menggunakan VEP1 sebagai outcome relative sama pada semua kelas bronkodilator. Toksisitas juga berkorelasi dengan dosis. Menaikkan dosis baik agonis beta maupun antikolinergik, terutama bila diberikan dengan nebulizer, lebih bermanfaat pada episode akut, tapi tidak membantu pada PPOK stabil.Pengobatan bronkodilator diberikan berdasarkan basis kebutuhan atau basis regular untuk mencegah atau mengurangi gejala (bukti A).

Agonis Beta2Prinsip kerja agonis beta2 adalah untuk merelaksasi otot polos jalan nafas dengan menstimulasi reseptor beta adrenergik, yang menaikkan AMP siklik dan memproduksi antagonis fungsional terhadap bronkokonstriksi. Efek bronkodilator dari agonis beta2 kerja singkat akan hilang dalam 4-6 jam.Penggunaan agonis beta2 yang teratur dan sesuai kebutuhan memperbaiki VEP1 dan gejala (bukti B). Penggunaan agonis beta2 kerja singkat dosis tinggi pada saat dibutuhkan pada pasien yang sudah diterapi dengan bronkodilator kerja lama tidak direkomendasikan. Agonis beta2 kerja lama mempunyai durasi kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmeterol secara signifikan memperbaiki VEP1 dan volume paru, dispneu, kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan dan tingkat eksaserbasi (bukti A), namun tidak memiliki efek terhadap mortalitas dan tingkat penurunan fungsi paru. Salmeterol mengurangi tingkat mondok (bukti B).

Page 5: portofolio ppok

Indacaterol adalah agonis beta2 kerja lama baru yang memiliki durasi kerja 24 jam, secara signifikan memperbaiki VEP1, dispneu, dan kualitas hidup yang terkait kesehatan (bukti A).Efek samping : stimulasi reseptor beta2 adrenergik dapat menyebabkan sinus takikardi saat istirahat dan mempunyai potensi untuk memicu gangguan ritme jantung pada pasien yang rentan namun secara klinis tidak ada implikasinya. Tremor somatic yang berlebihan merupakan masalah pada pasien usia tua yang diterapi dengan agonis beta2 dengan dosis tinggi dengan rute administrasi apapun dan batas dosis yang bisa ditoleransi. Walaupun bisa terjadi hipokalemia, terutama bila dikombinasi dengan diuretic thiazid dan konsumsi oksigen bisa dinaikkan pada kondisi istirahat, efek metabolic ini menyebabkan kerja bronkodilator menjadi tidak optimal. PO2 bisa turun sedikit setelah administrasi agonis beta2 namun tidak signifikan secara klinis. Tidak ada hubungan antara penggunaan agonis beta2 dengan percepatan berkurangnya fungsi paru atau naiknya mortalitas pada PPOK.

Antikolinergik Efek antikolinergik (ipratropium, oksitropium, dan tiotropium bromide) yang paling penting pada pasien PPOK adalah blockade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Obat kerja singkat memblok reseptor M2 dan Mr dan memodifikasi transmisi pada pre ganglionic junction, walaupun efek ini kurang penting pada PPOK.Antikolinergik kerja lama tiotropium mempunyai farmakokinetik yang selektif untuk reseptor M1 dan M3.Efek bronkodilasi dari antikolinergik kerja singkat yang diinhalasi bertahan lebih lama dari agonis beta2, dengan beberapa efek bronkodilator secara umum bekerjasampai 8 jam setelah administrasi. Tiotropium mempunyai durasi kerja > 24 jam. Tiotropium mengurangi eksaserbasi dan kebutuhan mondok, memperbaiki gejala dan status kesehatan (bukti A) dan memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmoner (bukti B).Efek samping : obat antikolinergik sulit diabsorbsi sehingga efek sistemiknya terbatas. Penggunaan agen inhalasi yang banyak pada rentang dosis yang lebar terbukti sangat aman. Efek samping utama adalah keringnya mulut. 21 hari setelah menginhalasi tiotropium, 18 mcg/hari dalam bubuk kering, tidak menunda pembersihan mucus dari paru.Beberapa pasien yang menggunakan ipratropium merasakan pahit dan seperti metal.Penggunaan larutan dengan facemask dilaporkan memicu glaucoma akut, mungkin karena efek langsung larutan ke mata.

MetilxantinTeofilin, metilxantin yang paling banyak digunakan, dimetabolisme oleh oksidase fungsi campuran sitokrom P450.

Page 6: portofolio ppok

Klirens obat menurun sesuai usia. Banyak variable fisiologis lain dan obat-obatan yang mengubah metabolism dari teofilin. Semua penelitian menunjukkan efikasi teofilin pada PPOK didapatka dari preparat yang lepas lambat. Teofilin kurang efektif dan kurang bisa ditoleransi bila dibandingkan dengan bronkodilator kerja lama yang diinhalasi dan tidak direkomendasi bila bronkodilator lain tersedia dan terjangkau. Bagaimanapun juga, ada bukti untuk efek bronkodilator yang terbatas dibandingkan dengan placebo pada PPOK stabil (bukti A). Penambahan teofilin pada salmeterol membuat perbaikan yang lebih besar pada VEP1 dan sesak nafas dibandingkan dengan salmeterol saja (bukti B). Teofilin dosis rendah mengurangi eksaserbasi namun tidak memperbaiki fungsi paru post bronkodilator (bukti B). Efek samping : Toksisitas bergantung pada dosis, masalah yang khusus terjadi pada derivate xanthin karena rentang terapinya kecil dan kebanyakaan efek terapi muncul hanya jika diberikan pada dosis yang mendekati toksik. Insomnia, mual, dan heartburn dapat terjadi pada rentang terapi teofiin serum.Pengobatan ini juga memiliki interaksi yang signifikandengan digitalis, coumadin, dll. Tidak seperti bronkodilator yang lain, derivate xanthin memiliki risiko overdosis (baik disengaja maupun tidak).

Kombinasi terapi bronkodilatorMengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme dan durasi kerja yang berbeda bisa menaikkan derajat dilatasi bronkus dengan efek samping yang sama atau lebih sedikit.Sebagai contoh, kombinasi dari agonis beta2 kerja singkat dan antikolinergik menghasilkan perbaikan yang lebih banyak pada VEP1 daripada masing-masing obat sendiri dan tidak menimbulkan takifilaksis (berkurangnya efek obat) selama lebih dari 90 hari terapi.Kombinasi agonis beta2, antikolinergik, dan/atau teofilin menunjukkan perbaikan tambahan pada fungsi paru dan status kesehatan. Terapi singkat menggunakan kombinasi formoterol dan tiotropium menunjukkan dampak yang lebih besar pada VEP1 daripada komponen tunggal (bukti B).Kombinasi dari agonis beta2 kerja singkat dan antikolinergik juga lebih baik dibandingkan dengan pengobatan tunggal yang lain dalam memperbaiki VEP1 dan gejala (bukti B).

Kortikosteroid o Kortikosteroid inhalasi

Hubungan dosis dengan respon dan keamanan penggunaan jangka panjang dari kortikosteroid inhalasi tidak diketahui. Efikasi dan efek samping dari kortikosteroid inhalasi pada asthma tergantung pada dosis dan tipe kortikosteroid, namun pada PPOK hal ini masih belum jelas.Efek kortikosteroid pada inflamasi pulmoner dan sistemik pada pasien PPOK masih kontroversial, dan peran kortikosteroid pada penanganan PPOK stabil masih terbatas pada indikasi yang spesifik. Terapi teratur

Page 7: portofolio ppok

dengan kortikosteroid inhalasimemperbaiki gejala, fungsi paru, dan kualitas hidup, dan mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK dengan VEP1 prediksi <60% (bukti A).Penghentian kortikosteroid inhalasi bisa menyebabkan eksaserbasi pada beberapa pasien. Terapi regular dengan kortikosteroid inhalasi tidak mengubah penurunan VEP1 atau mortalitas pada pasien dengan PPOK (bukti A). Efek samping : penggunaan kortikosteroid inhalasi dihubungkan prevalensi tinggi terjadinya kandidiasis oral, suara serak, dan kulit lebam. Terapi dengan kortikosteroid inhalasi juga dihubungkan dengan naiknya risiko pneumonia. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada efek budesonid pada densitas tulang dan tingkat fraktur.

o Kombinasi kortikosteroid inhalasi dengan bronkodilator Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan agonis beta2 kerja lama lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan serta mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang (bukti B) sampai PPOK sangat berat (bukti A).Terapi kombinasi ini dihubungkan dengan naiknya risiko pneumonia namun tidak ada efek samping lain yang signifikan (bukti A).Penambahan kombinasi agonis beta2 kerja lama/kortikosteroid inhalasi pada tiotropium memperbaiki fungsi paru dan kualitas hidup dan selanjutnya bisa mengurangi eksaserbasi (bukti B).

o Kortikosteroid sistemikKortikosteroid oral mempunyai beberapa efek samping. Efek samping yang penting selama terapi jangka panjang PPOK dengan kortikosteroid oral adalah miopati steroid yang menyebabkan kelemahan otot, fungsional menurun, dan gagal nafas pada subyek dengan PPOK sangat berat

MukolitikPenggunaan mukolitik pada PPOK sebenarnya masih kontroversial. Pada beberapa pasien dengan sputum kental, penggunaan mukolitik mungkin bermanfaat. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa pada pasien PPOK yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi, terapi dengan mukolitik bisa mengurangi eksaserbasi (bukti B).

Obat obatan untuk PPOK

Obat Inhalasi(ugr)

Nebulizer (mg)

Oral (mg)

Vialinjeksi

LamaKerja (jam)

AntikolinergikShort-acting Ipatropium 40-80 0,25-

0,50- - 6-8

Long-acting Tiotropium 18 24Agonis B2Short-acting

Page 8: portofolio ppok

Fenoterol Salbutamol Terbutaline Procaterol

100-200100-200250-500

10

0,5-2,02,5- 5,0

5-10-

-2-4

2,5-50,25- 0,5

4-64-64-66-8

Long- acting Formoterol Salmeterol

4,5 – 1250- 100

--

--

1212

Terapi kombinasi Fenoterol+ Ipatropium Salbutamol+

Ipatropium Fluticasone+ Salmeterol Budesonide+Formoterol

200+2075+15

50/125+2580/160+4,5

2,5+ 0,5--

4-84-81212

Metilxanthin Aminophylline Theophylline LL

--

--

200100-400

240 4-6Bervariasi,bs

smp 24Kortikosteroid Beclomethasone Budesonide Fluticasone

100, 200100,200,400 0,5

0,5Kortikosterid sistemik Prednisone Methylprednisolone 10-1000

5, 304,8,18 125

2. Non farmakologi Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi paru adalah untuk mengurangi gejala, memperbaiki kualitas hidup, dan menaikkan partisipasi fisik dan emosi pada aktivitas sehari-hari. Termasuk didalamnya adalah latihan fisik, konseling gizi, motivasi, edukasi, dll.

Terapi Oksigen Administrasi oksigen jangka panjang (>15 jam/hari) pada pasien dengan gagal nafas kronis menunjukkan kenaikkan survival pasien dengan hipoksemia istirahat yang parah (bukti B). Terapi oksigen jangka panjang diindikasikan pada pasien yang :

o PaO2 pada atau di bawah 55 mmHg atau SaO2 pada atau di bawah 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia yang dikonfirmasi 2 kali dalam waktu 3 minggu (bukti B) atau

o PaO2 antara 55-60 mmHg atau SaO2 88%, bila ada tanda hipertensi pulmoner, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif atau polisitemia (Hct >55%) (bukti D) Keputusan untuk menggunakan oksigen jangka panjang harus didasarkan pada PaO2 istirahat atau nilai saturasi yang diulangi 2 kali dalam 3 minggu pada pasien stabil. Harus hati-hati pada

Page 9: portofolio ppok

pasien yang memiliki komorbiditas yang mungkin mengganggu penghantaran oksigen ke jaringan, misalnya gangguan jantung atau anemia).

VentilatorVentilasi yang tidak invasive mulai meningkat penggunaannya pada pasien PPOK stabil yang sangat berat. Kombinasi ventilasi tidak invasive dengan terapi oksigen jangka panjang bisa menaikkan tingkat survival tapi tidak memperbaiki kualitas hidup.

Lung Volume Reduction SurgeryLVRS adalah prosedur bedah dimana bagian paru direseksi untuk mengurangi hiperinflasi, sehingga otot pernafasan lebih efektif dengan memperbaiki efisiensi mekanis. LVRS juga menaikkan tekanan recoil elastic paru yang memperbaiki aliran ekspirasi dan mengurangi eksaserbasi.

Transplantasi Paru Pada pasien PPOK sangat berat, transplantasi paru terbukti memperbaiki kualitas hidup dan kapasitas fungsional. Namun harus diingat bahwa transplantasi paru mempunyai banyak risiko.

PPOK EKSASERBASI AKUT kejadian akut yang dicirikan dengan memburuknya gejala respirasi pasien yang melebihi

variasi normal dari hari ke hari. Penyebab yang paling sering adalah infeksi saluran nafas (virus atau bakteri). Polusi

udara juga bisa memicu eksaserbasi.Gejala eksaserbasi :

1. Batuk makin sering /hebat2. Produksi sputum bertambah banyak3. Sputum berubah warna4. Sesak napas bertambah5. Keterbatasan aktivitas bertambah6. Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik7. Kesadaran menurun

Prinsip penatalaksanaan :

1. Optimalisasi penggunaaan obat :a. Bronkodilator

Agonis B2 short-acting kombinasi dengan antikolinergik per inhalasi (nebuliser) Xanthin intravena (bolus dan drip)

b. Kortikosteroid sistemikc. Antibiotik

Gol. Macrolide baru (Azithromycin, Roxythromycin, Clarthromycin) Gol. Kuinolon Cephalosporin generasi III/ IV

d. Mukolitik

Page 10: portofolio ppok

e. Ekspektoran 2. Terapi oksigen3. Terapi nutrisi4. Rehabilitasi fisik dan respirasi5. Evaluasi progresivitas penyakit6. Edukasi

Indikasi rawat :

1. Eksaserbasi sedang dan berat2. Terdapat kompilkasi3. Infeksi saluran napas berat4. Gagal napas akut pada gagal napas kronik5. Gagal jantung kanan

Indikasi rawat ICU :

1. Sesak berat setelah penanganan adekuat di IGD/ bangsal2. Kesadaran menurun/letargi, atau kelemahan otot respirasi3. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 <50 atau PaCO2 > 50

mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasif/ non invasif)

Page 11: portofolio ppok

DAFTAR PUSTAKA

Donohue, J.F., Sheth, K. 2006. Ashtma and COPD : Management Strategies for Primary Care Provider. Medical Communication Media : US

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2009. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (Revised). National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2011. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (Revised). National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute

McPhee, S.J., Papadakis, M.A, Tierney Jr, L.M. 2008. Chronic Obstructive Pulmonary Disease, In : Current Medical Diagnosis and Treatment 47th Ed. Lange : San Fransisco

National Institute of Health (NIH). 1995. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute

PDPI. 2010. PPOK : Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI : Jakarta

Scanlon, P.D. 2004. The Pathogenesis and Pathology of COPD : Identifying Risk Factors And Improving Morbidity and Mortality. Adv Stud Med. ;4(10A):S744-S749

Universitas Sumatera Utara. 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronis. USU : Medan

WHO. 2005. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. World Health Organization : Switzerland