BORANG PORTOFOLIO BEDAH
Topik : Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Tanggal (kasus) :Presenter :
Tanggal Presentasi : Pendamping :
Tempat Presentasi :
Objektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Seorang laki-laki berusia 76 tahun datan gdengan
keluhan tidak bisa BAK sejak 18 jam SMRS
Tujuan :Menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan awal Benign
Prostate Hyperplasia (BPH)
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas : Diskusi Presentasi dan Diskusi E-mail Pos
Data Pasien :Nama : Tn. D, ,76 tahunNo. Registrasi :
00693020
Nama Klinik : Telp : Terdaftar sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis : Sejak 2 tahun SMRS pasien
mengeluh sulit buang air kecil. pasien merasakan BAK yang terasa
tidak lampias walaupun pasien sudah mengedan. Pancaran melemah,
jumlah BAK sedikit-sedikit namun sering. Frekuensi BAK meningkat.
Pasien kesulitan menahan BAK sehingga bila ditahan terlalu lama BAK
menetes. Pasien juga sering terbangun tidur karena ingin BAK. BAK
darah (-), nyeri saat BAK (-), nyeri pinggang atau perut bawah (-),
demam (-), riwayat trauma (-). Pasien tidak berobat. Sejak 18 jam
SMRS penderita mengeluh tidak bisa BAK. Keluhan BAK darah (-),
nyeri saat BAK (+), BAK berpasir (-), demam (-). Pasien sulit BAB
sejak 1 minggu yang lalu. Pasien kemudian berobat ke RSUD Siti
Aisyah.
2. Riwayat Pengobatan : Pasien belum pernah berobat
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Riwayat penyakit dengan keluhan
yang sama disangkal.
Riwayat trauma pada genital, pinggul, selakangan (straddle)
disangkal Riwayat pemasangan kateter uretra sebelumnya ada Riwayat
keluar batu saat BAK disangkal Riwayat infeksi saluran kemih
disangkal Riwayat operasi prostat sebelumnya disangkal Riwayat DM
disangkal
4. Riwayat Pekerjaan : (-)
5. Lain lain : (-)
Daftar Pustaka : 1. JEF, GWK. Buku Saku Urologi. 2003. p.
59-66.2. Macfarlane, M.T. Urology. 4th Edition. Kentucky:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 116-1223. Purnomo BB.
Dasar-dasar urologi. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2007. p.
69854. NN. Benign Prostatic Hyperplasia. Available from:
www.urologychannel.com.5. McAninch, J.; Tanagho E. Smith's General
Urology. 16th Edition. San Fransisco: McGraw-Hill/Appleton &
Lange; 2007.6. Roehrborn, C.; McConnell, J. Etiology,
Pathophysiology, Epidemiology, and Natural History of Benign
Prostatic Hyperplasia. In: Campbell's Urology. 8th edition.
Philadelphia: Elsevier; 2002.7. Reynard, J.; Brewster, S.; Biers,
S. Oxford Handbook of Urology. 1st Edition. Oxford: Oxford
University Press; 2006. p. 70-1118. Gerber, G. Benign Prostatic
Hyperplasia. Available from: www.medicinet.com.9. Dawson C.,
Whitfield H. Bladder outflow obstruction. In: ABC of Urology. UK:
British Medical Journal. p. 26-3310. Gaillard, F. Benign prostatic
hypertrophy. Available from: www.radiopaedia.org. Updated May 2,
2008.11. NN. Hiperplasia prostat. Available from:
www.pathologyanatomy1.blogspot.com. Updated Mei 22, 2009.12. Zeman,
Peter A.; Siroky, Mike B.; Babayan, Richard K. Lower Urinary Tract
Symptoms. In: Siroky, MB, Oates RD, Babayan RK, editors. Handbook
of Urology: Diagnosis and Therapy. 3rd edition. Boston: Lippincott
Williams & Wilkins; 2004. p. 9911913. Resnick, M. Benign
Prostatic Hyperplasia. In: Resnick M., Elder J., Spirnak J.,
editors. Critical Decision in Urology. London: BC Decker; 2004. p.
190-19114. Brant, William E. Genital Tract: Radiographic Imaging
and MR. In: Brant, William E.; Helms, Clyde A., editors.
Fundamentals of Diagnostic Radiology. 3rd Edition. Virginia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 911-92015. NN. Prostat
screening. Available from: www.phototakeusa.com.16. Radiological
Society of North America, Inc. Available from:
www.radiologyinfo.com. Updated June 20, 200917. Antony, J.
Prostate, A free gallery of high-resolution, ultrasound, color
doppler and 3D images. Available from: www.ultrasound-images.com.
Updated September 18, 200918. Howlett, D.; Ayers, B. The Hands-on
Guide to Imaging. UK: Blackwell Publishing; 2004. p. 189-19219.
Radiological Society of North America, Inc. Available from:
Inflammatory and Nonneoplastic Bladder Masses:
Radiologic-Pathologic Correlatio. www.radiographics.rsna.org.
Updated November 200620. Bernie, J.; Schmidt, J. Bladder Cancer.
In: Nachtsheim, D., editor. Urological Oncology. Texas: Landes
Bioscience; 2005. p. 53-65
Hasil Pembelajaran :
1. Menegakkan diagnosis Benign Prostate Hyperplasia (BPH)2.
Penatalaksanaan awal Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Rangkuman Hasil Pembelajaran PortofolioSubjektif : Keluhan
Utama: Tidak bisa buang air kecil sejak 18 jam SMRSSejak 2 tahun
SMRS pasien mengeluh sulit buang air kecil. pasien merasakan BAK
yang terasa tidak lampias walaupun pasien sudah mengedan. Pancaran
melemah, jumlah BAK sedikit-sedikit namun sering. Frekuensi BAK
meningkat. Pasien kesulitan menahan BAK sehingga bila ditahan
terlalu lama BAK menetes. Pasien juga sering terbangun tidur karena
ingin BAK. BAK darah (-), nyeri saat BAK (-), nyeri pinggang atau
perut bawah (-), demam (-), riwayat trauma (-). Pasien tidak
berobat.Sejak 18 jam SMRS penderita mengeluh tidak bisa BAK.
Keluhan BAK darah (-), nyeri saat BAK (+), BAK berpasir (-), demam
(-). Pasien sulit BAB sejak 1 minggu yang lalu. Pasien kemudian
berobat ke RSUD Siti Aisyah.
1. Objektif :Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : tampak sakit
sedang Kesadaran : kompos mentis. GCS: E4M6V5 (15) Tekanan Darah :
130/90 mmHg Nadi : 88 x/menit Frekuensi Nafas : 22 x/ menit Suhu :
36.5 0 CStatus Internus Kepala : Normocepali Mata : Konjungtiva
tidak anemis. sklera tidak ikterik Kulit : Turgor kulit baik
Thoraks Paru Inspeksi : simetris statis dan dinamisPalpasi : stem
fremitus kiri sama dengan kananPerkusi : sonor pada kedua lapangan
paru Auskultasi : lapang paru kiri dan kanan vesikuler, rhonki dan
wheezing (-)
Jantung Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat Palpasi : iktus
kordis teraba di 1 jari medial sela iga 5 LMCS Perkusi :
batas-batas jantung dalam batas normal Auskultasi : S1-S2 reguler,
murmur tidak ada, gallop tidak ada Abdomen Inspeksi : datar Palpasi
: lemas, nyeri tekan tidak ada, defans muskular tidak ada, hepar
dan limpa tidak teraba Perkusi : shifting dullness tidak ada
Auskultasi : bising usus 3 kali/menit Ekstremitas : Refilling
capiller baik. edema pretibial (-/-). Status Lokalis Regio
CVAdextrasinistraInspeksi : bulging (-) (-)Palpasi : pain (-) (-)
ballottement (-) (-)
Regio SuprapubikInspeksi : bulging (+)Palpasi : pain (-)
Regio Genitalia EksternaInspeksi : terpasang kateter uretra no.
16 F, urine jernih, sirkumsisi (+)
Rectal toucherTSA baik, bulbous cavernous reflex (+), mukosa
licin, ampula recti tidak kolaps, teraba prostat membesar, pole
atas prostat tidak teraba, konsistensi kenyal, permukaan rata,
nyeri (-), nodul (-), feses (+) dan darah (-)
International Prostate Symptom Score (IPSS) = 25
Pemeriksaan PenunjangLaboratorium : dalam batas normalRontgen
toraks PA : tidak ada kelainanEKG tidak ada kelainanUSG TUG :
ditemukan kesan Hiperplasia prostat
2. Assesment (penalaran klinis) : Pasien pria, 83 tahun, datang
dengan keluhan tidak bisa buang air kecil sejak 18 jam SMRS Sejak 2
tahun SMRS pasien mengeluh sulit buang air kecil. pasien merasakan
BAK yang terasa tidak lampias walaupun pasien sudah mengedan.
Pancaran melemah, jumlah BAK sedikit-sedikit namun sering.
Frekuensi BAK meningkat. Pasien kesulitan menahan BAK sehingga bila
ditahan terlalu lama BAK menetes. Pasien juga sering terbangun
tidur karena ingin BAK. BAK darah (-), nyeri saat BAK (-), nyeri
pinggang atau perut bawah (-), demam (-), riwayat trauma (-).
Pasien tidak berobat.Sejak 18 jam SMRS penderita mengeluh tidak
bisa BAK. Keluhan BAK darah (-), nyeri saat BAK (+), BAK berpasir
(-), demam (-). Pasien sulit BAB sejak 1 minggu yang lalu. Pasien
kemudian berobat ke RSUD Siti Aisyah.Berdasarkan anamnesis didapat,
keluhan retensio urin ditemukan pada pasien, melalui anamnesislah
diagnosis banding retensio urin dapat disingkirkan seperti fimosis,
parafimosis, striktur uretra, ISK, Batu buli-buli. Adapun beberapa
diagnosis yang belum dapat disingkirkan adalah Hiperplasia prostat,
karsinoma prostat, Tumor buli-buli.Berdasarkan pemeriksaan fisik
ditemukan pembesaran prostat yang teraba kenyal, permukaan rata dan
tidak berdungkul-dungkul dan tiak nyeri yang merupakan klinis
hyperplasia prostat benigna. Oleh karena itu pasien dilakukan
penatalaksanaan awal berupa pemasangan kateter urin, pemeriksaan
darah rutin, USG TUG dan foto polos abdomen. Pasien lalu
direncanakan untuk prostatektomi terbuka.
3. Plan : DIAGNOSIS KERJA Retensi urine e.c. Benign Prostate
Hyperplasia (BPH)
TERAPI IVFD RL gtt 20 x/m makro Pasang kateter urin Inj.
Ceftriaxon2x1 gr (skin test) Pro Prostatektomi terbuka RENCANA :
Konsul Spesialis Bedah
TINJAUAN PUSTAKAI. PENDAHULUANBenign prostatic hyperplasia
(BPH), atau yang biasa juga disebut benign prostatic hypertrophy,
adalah suatu neoplasma jinak (hiperplasia) yang mengenai kelenjar
prostat. Prostat adalah suatu organ yang terdiri dari komponen
kelenjar, stroma dan muskuler. Penyakit ini ditandai dengan
pembesaran yang progresif dari kelenjar prostat yang berakibat pada
obstruksi pengeluaran kandung kemih dan peningkatan kesulitan
berkemih. Pertumbuhan prostat yang sangat tergantung pada hormon
testosteron ini berlangsung di dalam jaringan yang berbeda-beda,
dan menimbulkan dampak pada pria secara beragam. Sebagai akibat
dari perbedaan ini, pengobatan yang diberikan pun berbeda untuk
tiap kasus. Tidak ada penyembuhan untuk BPH dan sekali kelenjar
prostat bertumbuh, maka sering berlanjut terus-menerus, kecuali
terapi medikasi di berikan.
II. INSIDENSulit untuk menentukan insidens dan prevalensi BPH
karena dari berbagai penelitian digunakan kriteria yang berbeda
untuk menjelaskan kondisi penyakit. Berdasarkan data National
Institutes of Health (NIH), BPH terjadi pada lebih dari 50% pria
berumur lebih dari 60 tahun dan sebanyak 90% pada pria berumur 70
tahun.
III. EPIDEMIOLOGI Faktor resiko perkembangan BPH masih belum
diketahui secara jelas. Beberapa studi menjelaskan adanya hubungan
dengan faktor predisposisi genetik, dan yang lainnya mengatakan
adanya kaitan dengan perbedaan ras. Hampir 50% pria berumur kurang
dari 60 tahun yang menjalani operasi untuk BPH memeiliki bentuk
penyakit yang diwariskan. Bentuk ini merupakan bentuk autosomal
dominant, dan keturunan pertama dari pasien BPH membawa resiko
relatif yang meningkat hampir 4 kali lipat.
IV. ETIOLOGIHingga sekarang masih belum diketahui secara pasti
penyebab terjadinya BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging. Secara histopatologis,
BPH ditandai dengan peningkatan jumlah sel epitel dan sel stroma di
area periuretra dari prostat. Berdasarkan pengamatan dari
pembentukan formasi glandula epitel baru, yang dimana secara normal
hanya terdapat pada janin dan mencetuskan konsep embryonic
reawakening dari sel stroma potensial. Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya BPH, baik secara tunggal atau
kombinasi, yaitu: (1) teori dihidrotestosteron, (2) adanya
ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, (3) interaksi antara
sel stroma dan sel epitel prostate, (4) berkurangnya kematian sel
(apoptosis), dan (5) teori stem sel.
Teori dihidrotestosteron Dihidrotestosteron atau DHT adalah
metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat
oleh enzim 5-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA
pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth
factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.Pada berbagai
penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas
enzim 5-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada
BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
Ketidaseimbangan antara estrogen-testosteron Pada usia yang
semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangakn kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron
relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen didalam prostat
berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel prostat dangan cara
meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir
dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya
sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga
massa prostat jadi lebih besar.
Interaksi stroma-epitel Cunha (1973) membuktikan bahwa
diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor) teetentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan
stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu
growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu
sendiri secara intrakrin atau autokrin, serta mempengaruhi sel-sel
epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyababkan terjadinya
proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
Berkurangnya kematian sel prostat Program kematian sel
(apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang
mengalami apoptosis akan difagositosisoleh sel-sel disekitarnya
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal,
terdapat kesimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian
sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkar sehingga menyebabkan pertambahan
massa prostat. Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti
faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis. Diduga hormon
androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena
setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian
sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia
sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGF berperan dalam
proses apoptosis.
Teori sel stem Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalmi
apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat
dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon
ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi,
menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel
pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel
epitel.
VI. PATOFISIOLOGI Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan
lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikel. Untuk dapat
mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinar
tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus. Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke
seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter.
Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkn aliran balik
urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal.Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna
tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat
uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang
ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher
buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut ssimpatis yang
berasal dari nervus pudendus. Pada BPH terjadi rasio peningkatan
komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada orang normal rasio
stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH, rasionya
meningkat menjadi 4:1. Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi
peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat
normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi
komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen
dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.
VII. DIAGNOSISGAMBARAN KLINIS Obstruksi prostat dapat
menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawahKeluhan pada saluran
kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi dan gejala
iritatif.Obstruksi Iritasi Hesitansi FrekuensiPancaran miksi lemah
NokturiIntermitensi UrgensiMiksi tidak puas DisuriMenetes setelah
miksi Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah, beberapa ahli/organisasi urologi membuat
sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung
sendiri oleh pasien. sistem skoring yang duanjurkan oleh WHO adalah
Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International
Prostatic Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri dari tujuh
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu
pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai dari
0-5, sedangkan keluhan menyangkut kualitas hidup diberi nilai 1-7.
Dari skor I-PSS dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat,
yaitu (1) ringan: skor 0-7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat:
skor 20-35.
SKOR INTERNASIONAL GEJALA PROSTAT (I-PSS)Untuk pertanyaan 1-6,
jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut:0=Tidak pernah3=Kurang
lebih separuh dari kejaidan1=Kurang dari sekali dari 5
kejadian4=Lebih dari separuh dari kejadian2=Kurang dari separuh
kejadian5=Hampir selaluTimbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi
kompensasi otot buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu
saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh
ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya di dahului oleh
beberapa faktor pencetus, antara lain: (1) volume buli-buli
tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing
terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung
diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan,
(2) massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah aktivitas
seksual atau mengalami infeksi prostat akut, dan (3) setelah
mengkonsumsi obat-obatn yang dapat menurunkan kontraksi otot
detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain:
golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atasKeluhan akibat penyulit
BPH pada saluran kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara
lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi
atau urosepsis.
3. Gejala di luar saluran kemihTidak jarang pasien berobat ke
dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.Pada
pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh
dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi
urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa
disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari inkontinensia
paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan: (1) tonus sfingter
ani/refleks bulbo-kevernosusuntuk menyingkirkan adanya kelainan
buli-buli neurogenik, (2) mukosa rektum, (3) keadaan prostat,
antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi
prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.
GAMBARAN RADIOLOGIa. KonvensionalGambaran radiologi pada IVP/IVU
pada BPH adalah adanya indentasi buli-buli (pendesakan buli-buli
oleh kelenjar prostat) dan ureter di sebelah distal berbentuk
seperti mata kail atau fish hooked appearance (Gambar 4).Selain
IVP/IVU, pencitraan konvensional yang lain adalah sistouretrogram,
yaitu suatu tipe urogram yang memberikan gambaran radiologi pada
buli-buli dan uretra. Gambaran radiologi pada sistouretrogram retr
ograde posisi frontal (Gambar 5) dan posisi oblique (Gambar 6)
ditunjukkan dengan adanya stenosis (penyempitan) uretra yang
disebabkan oleh adanya tekanan dari benign prostatic hyperplasia
(middle lobe hyperplasia).
USGPemeriksaan USG dapat memberikan gambaran kelenjar prostat
pada pria dan jaringan disekitarnya. Gambaran USG normal
ditunjukkan pada gambar 7. Pemeriksaan USG prostat dilakukan dengan
2 cara, yaitu transabdominal ultrasound (TAUS) dan transrectal
ultrasound (TRUS). TAUS dilakukan dengan melekatkan transducer di
permukaan abdomen di atas buli-buli dan prostat. TAUS dapat
memperlihatkan adanya pembesaran intravesika akibat pembesaran
lobus medial prostat. TRUS dilakukan dengan memasukkan transducer
kedalam rectum pasien. transducer tersebut mengirim dan menerima
gelombang suara melalui dinding rectum sampai ke prostat yang
terletak tepat di depan rectum. TRUS setelah berkemih dapat
menggambarkan: 1) besar volume residul urine (303 cc) (lebih dari
40 cc adalah abnormal), 2) pembesaran prostat yang terutama
melibatkan zona transisional, 3) pembesaran intravesika yang
melibatkan lobus median, 4) kista kecil pada inner gland, 5) zona
perifer yang terdesak oleh pembesaran zona transisional.
CT SCANCT SCAN digunakan dalam staging dan follow up dari tumor
traktus urogenital. Pada gambar 12 (pot. axial) dan gambar 13 (pot.
coronal) tampak pambesaran dari prostat yang mengakibatkan
penekanan pada buli-buli.
MRI MRI merupakan pemeriksaan medis noninvasif yang dapat
membantu diagnosis dan perawatan. MRI memberikan detail dari
anatomi lokal yang lebih baik dan oleh karena itu lebih baik pula
dalam menentukan local staging. PATOLOGI ANATOMIPerubahan paling
awal pada BPH adalah di kelenjar periuretra sekitar verumontanum.
Perubahan hiperplasia pada stroma berupa nodul fibromuskuler, nodul
asinar atau nodul campuran fibroadenomatosa.Hiperplasia glandular
terjadi berupa nodul asinar atau campuran dengan hiperplasia
stroma. Kelenjar-kelenjar biasanya besar dan terdiri atas tall
columnar cells. Inti sel-sel kelenjar tidak menunjukkan proses
keganasan
VIII. DIAGNOSIS BANDINGKARSINOMA PROSTAT Karsinoma prostat dapat
dibedakan dengan BPH berdasarkan gambaran patologisnya dan
screening untuk karsinoma prostat. Screening karsinoma prostat
dilakukan dengan pemeriksaan Prostat Spesific Antigen (PSA) dan
Rectal Touche (RT).Pada pemeriksaan IVU ditemukan gambaran filling
defect dengan tepi yang ireguler (Gambar 19) dan terbentuknya
kurvatura pada buli-buli akibat penekanan dari massa (Gambar 20).
(15) Pada pemeriksaan USG diketahui adanya area hipo-ekoik (60%)
yang merupakan salah satu tanda adanya kanker prostat dan sekaligus
mengetahui kemungkinan adanya ekstensi tumor ke ekstrakapsuler
(Gambar 21 & 22). Selain itu dengan bimbingan USG dapat diambil
contoh jaringan pada area yang dicurigai keanasan melalui biopsi
aspirasi dengan jarum halus (BAJAH). (3)IVUKARSINOMA BULI-BULI
Karsinoma buli-buli dapat dibedakan dengan BPH berdasarkan gejala
klinis dan gambaran patologisnya. Gejala klinis yang khas pada
karsinoma buli-buli adalah gross hematuria tanpa rasa nyeri
(>80%). Gejala ini bisa atau tanpa disertai gejala iritatif
seperti frekuensi, urgensi, dan disuria.Cara pemeriksaan radilogik
untuk diagnosis adalah: tiap pasien dengan hematuria di sarankan
pemeriksaan sistoskopi. Sebelum sistoskopi , urin yang baru
dikeluarkan diperiksa secara sitologik untuk melihat sel tumor.
Kemudian dilakukan pemeriksaan IVU. Pemeriksaan IVU dapat
mendeteksi adanya tumor buli-buli berupa filling defect dengan
permukaan yang ireguler dan mendeteksi adanya tumor sel
transisional yang berada di ureter atau pielum. Didapatkannya
hidroureter atau hidtronefrosis merupakan salah satu tanda adanya
infiltrasi tumor ke ureter atau muara ureter. CT scan atau MRI
berguna untuk menetukan ekstensi tumor ke organ sekitarnya.
IX. PENGOBATANTidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan
medik. Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh
sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat
dan konsultasi saja. Namun di antara mereka akhirnya ada yang
membutuhkan terapi medika mentosa atau tindakan medik yang lain
karena keluhannya semakin parah.Tujuan terapi pada pasien BPH
adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas
hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4) mengembalikan
fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi, dan (6) mengurangi progesifitas
penyakit. Hal ini dapat dicapaidengan cara medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif. (3)
Watchfull waiting Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk
pasien BPH dengan skor IPSS dibawah7, yaitu keluhan ringan yang
tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan
terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau
coklat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yangmengandung
fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5)
jangan menahan kencing terlalu lama. Secara periodik pasien diminta
untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya apakah menjadi lebih
baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan
pemeriksaan laboratorium, residu urine, atau uroflometri. Jika
keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu
dipikirkan untuk memilih terapi lain.
Medikamentosa Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk:
(1) mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen
dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergik alfa (adrenergik alfa bloker) dan (2)
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara
menurunkan kadar hormon terstosteron/dihidrotestosteron (DHT)
melalui penghambat 5-reduktase. Selain kedua cara di atas, sekarang
banyak dipakai terapi menggunakan fitofarmaka yang mekanisme
kerjanya masih belum jelas.
Penghambat reseptor adrenergik-Prostat terdiri atas otot polos
yang di kontrol oleh -adrenoreseptor, dan blokade dari reseptor ini
dapat mengurangi keluhan oleh penghambat adrenergik-1. ditemukannya
obat penghambat adrenergik-1 dapat mengurangi penyulit sistemik
yang ditimbulkan oleh obat generasi seblumnya seperti
fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat penghambat adrenergik-1
adalah: prazosin yang diberikan dua kali sehari, terazosin,
afluzosin, doksazosin yang diberikan sekali sehari. Obat-obatan
golongan ini dilaporkan dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju
pancuran urine.
Penghambat 5-reduktaseObat ini bekerja dengan cara menghambat
pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron yang
dikatalis oleh enzim 5-reduktase di dalam sel-sel prostat.
Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi
sel-sel prostat menurun.Dilaporkan bahwa pemberian obat ini
(finasteride) 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan
mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%; hal ini memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi.
FitofarmakaBeberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat
dipakai untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi
data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung
mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai :
anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan kadar sex hormone binding
globulin (shbg), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan
epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme
prostalglandin, efek antiinflamasi, menurunkan outflow resistance,
dan memperkecil volume prostat. Diantara fitoterapi yang banyak
dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lagi.
Pembedahan Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang
paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian
obat-obatan atau terapi non invasif lainnya mambutuhkan jangka
waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapinya. Desobstruksi
kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi yang
tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi
terbuka, reseksi prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat
transuretra (TUIP).Indikasi operasi BPH : (1) Retensio urine, (2)
BPH dgn penulit : ISK, batu , hernia, hidronefrosis, uremia,
hematuria berulang, (3) Residual urine > 100 cc, (4) Flow metri
: pola obstruktif ( < 10 cc/ det, kurva datar/multifasik, waktu
miksi memanjang), (5) Sindroma prostatism yg progresif, mengganggu
& iritatif, dan (6) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
Tindakan invasif minimal Selain tindakan invasif seperti yang
telah disebutkan diatas, saat ini sedang dikembangkan tindakan
invasif minimal yang terutama ditujukan untuk pasien yang mempunyai
risiko tinggi terhadap pembedahan. Tindakan invasif minimal itu
diantaranya adalah: (1) thermoterapi, (2) TUNA (Transurethral
Needle Ablation of the Prostat), (3) pemasangan stent (prostacath),
(4) HIFU (High Intensity Focused Ultrasound), (5) dilatasi dengan
balon (transurethral balloon dilatation).
X. PROGNOSISPrognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat
diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung
meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis
yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut
penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada
pria setelah kanker paru-paru. BPH yang telah diterapi juga
menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi
penderita.
DAFTAR PUSTAKA 1. JEF, GWK. Buku Saku Urologi. 2003. p. 59-66.2.
Macfarlane, M.T. Urology. 4th Edition. Kentucky: Lippincott
Williams & Wilkins; 2006. p. 116-1223. Purnomo BB. Dasar-dasar
urologi. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2007. p. 69854. NN.
Benign Prostatic Hyperplasia. Available from:
www.urologychannel.com.5. McAninch, J.; Tanagho E. Smith's General
Urology. 16th Edition. San Fransisco: McGraw-Hill/Appleton &
Lange; 2007.6. Roehrborn, C.; McConnell, J. Etiology,
Pathophysiology, Epidemiology, and Natural History of Benign
Prostatic Hyperplasia. In: Campbell's Urology. 8th edition.
Philadelphia: Elsevier; 2002.7. Reynard, J.; Brewster, S.; Biers,
S. Oxford Handbook of Urology. 1st Edition. Oxford: Oxford
University Press; 2006. p. 70-1118. Gerber, G. Benign Prostatic
Hyperplasia. Available from: www.medicinet.com.9. Dawson C.,
Whitfield H. Bladder outflow obstruction. In: ABC of Urology. UK:
British Medical Journal. p. 26-3310. Gaillard, F. Benign prostatic
hypertrophy. Available from: www.radiopaedia.org. Updated May 2,
2008.11. NN. Hiperplasia prostat. Available from:
www.pathologyanatomy1.blogspot.com. Updated Mei 22, 2009.12. Zeman,
Peter A.; Siroky, Mike B.; Babayan, Richard K. Lower Urinary Tract
Symptoms. In: Siroky, MB, Oates RD, Babayan RK, editors. Handbook
of Urology: Diagnosis and Therapy. 3rd edition. Boston: Lippincott
Williams & Wilkins; 2004. p. 9911913. Resnick, M. Benign
Prostatic Hyperplasia. In: Resnick M., Elder J., Spirnak J.,
editors. Critical Decision in Urology. London: BC Decker; 2004. p.
190-19114. Brant, William E. Genital Tract: Radiographic Imaging
and MR. In: Brant, William E.; Helms, Clyde A., editors.
Fundamentals of Diagnostic Radiology. 3rd Edition. Virginia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007. p. 911-92015. NN. Prostat
screening. Available from: www.phototakeusa.com.16. Radiological
Society of North America, Inc. Available from:
www.radiologyinfo.com. Updated June 20, 200917. Antony, J.
Prostate, A free gallery of high-resolution, ultrasound, color
doppler and 3D images. Available from: www.ultrasound-images.com.
Updated September 18, 200918. Howlett, D.; Ayers, B. The Hands-on
Guide to Imaging. UK: Blackwell Publishing; 2004. p. 189-19219.
Radiological Society of North America, Inc. Available from:
Inflammatory and Nonneoplastic Bladder Masses:
Radiologic-Pathologic Correlatio. www.radiographics.rsna.org.
Updated November 200620. Bernie, J.; Schmidt, J. Bladder Cancer.
In: Nachtsheim, D., editor. Urological Oncology. Texas: Landes
Bioscience; 2005. p. 53-65
6