Mengenal Sindroma Metabolik beserta Tatalaksananya
Mengenal Sindroma Metabolik beserta Tatalaksananya
kelompok E1Ida Bagus Indrayana 102009119
Rio Ramadhona 102011446
Jennifer 102012023
Mekar Yulia Putri 102012139
Nisrina Nindriya 102012196
Robbiq firly 102012223
Regina Caecillia 102012280
Rendy Reinaldo 102012385
Natalia Permata 102012455Mahasiswi Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara Nomor 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Reaven pada tahun 1988 menunujukkan konstelasi faktor risiko
pada pasien-pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan
dengan peningkatan penyakit kardiovaskular yang disebut Sindrom X.
Selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom resistensi
insulin dan akhirnya sindrom metabolik.
Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana terjadi
penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga
terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel
beta pankreas. Resinstensi insulin terjadi beberapa dekade sebelum
timbulnya penyakit diabetes mellitus dan kardiovasular lainnya.
Sedangkan sindrom resistensi insulin atau sindrom metolik adalah
kumpulan gejala yang menunjukkan risiko kejadian kardiovaskular
lebih tinggi ada individu tersebut. Resistensi insulin juga
berhubungan dengan beberapa keadaan seperti hiperurikosemia, sindom
ovarium polikistik dan perlemakan hati non alkoholik.
Berdasarkan pengamatan di banyak negara, baik di negara maju
maupun berkembang, jumlah orang dengan kelainan sindrom metabolik
semakin banyak. Oleh karena itu telah banyak peringatan dan anjuran
untuk segera melakukan upaya untuk mencegah timbulnya sindrom
metabolik. Upaya pertama adalah dengan mengenal terlebih dahulu
kelainan, faktor-faktor yang berperan, patofisiologinya kemudian
diikuti dengan upaya pencegahan dan penatalaksanaannya Maka untuk
tujuan itulah makalah ini dibuat, dengan harapan penderita yang
menderita sindroma metaolik dapat berkurang di dunia.
Pembahasan
Anamnesis
Merupakan suatu wawancara antara pasien dengan dokter untuk
mengetahui riwayat kondisi pasien, riwayat penyakit pasien dahulu,
riwayat penyakit keluarga, gejala-gejala yang dialami pasien. Jenis
anamnesis yang dapat dilakukan adalah autoanamnesis dan
alloanamnesis. Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih
berada dalam keadaan sadar. Sedangkan bila pasien tidak sadar, maka
dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat terdekatnya
yang mengikuti perjalanan penyakitnya.2Identitas Pasien
Menanyakan kepada pasien seperti nama lengkap pasien, umur
pasien ,tanggal lahir, jenis kelamin, agama, alamat, umur,
pendidikan dan pekerjaan, suku bangsa.2Dalam skenario didapatkan
seorang laki-laki berusia 55 tahun. Bekerja sebagai karyawan suatu
kantor swasta.
Keluhan utama :
Pada skenario 10, keluhan utama pasien adalah merasa terlalu
gemuk, agak sering lelah dan mudah haus sejak 1 tahun belakangan
ini.Riwayat Penyakit Dahulu, Obat dan AlergiRPD penting untuk
mencatat secara rinci semua masalah medis yang pernah timbul
sebelumnya dan terapi yang pernah diberikan, seperti adakah
tindakan operasi dan anastesi sebelumnya, kejadian penyakit umum
tertentu. Secara umum menanyakan bagaimana kondisi sosial, ekonomi
dan kebiasaan-kebiasaan pasien seperti merokok, mengkonsumsi
alkohol, dan hal yang berkaitan. Asupan gizi pasien juga perlu
ditanyakan, meliputi jenis makanannya, kuantitas dan kualitasnya.
Begitu pula juga harus menanyakan vaksinasi, pengobatan, tes
skrining, kehamilan, riwayat obat yang pernah dikonsumsi, atau
mungkin reaksi alregi yang dimiliki pasien. Selain itu, harus
ditanyakan juga bagaimana lingkungan tempat tinggal pasien.3Riwayat
Penyakit KeluargaRiwayat keluarga berguna untuk mencari penyakit
yang pernah diderita oleh kerabat pasien karena terdapat kontribusi
genetik yang kuat pada berbagai penyakit. Sedangkan riwayat sosial
penting untuk memahami latar belakang pasien, pengaruh penyakit
yang diderita terhadap hidup dan keluarga mereka. Selain itu yang
juga perlu diperhatikan adalah riwayat berpergian (penyakit
endemik).4
Dalam skenario didapatkan bahwa ayah pasien menderita hipertensi
dan ibunya sudah 10 tahun mengidap penyakit kencing
manis.Pemeriksaan Fisik Pengukuran Tekanan Darah
Cara melakukan pengukuran tekanan darah yang baik dan
benar:5
Mintalah pasien duduk di tempat yang tenang dan sunyi dengan
tangan disandarkan pada penyangga sehingga titik tengah lengan atas
setinggi jantung.Pastikan ukuran manset cukup besar: panjangnya
harus mengelilingi >80% lengan atas,Letakkan manset sehingga
garis tengahnya terletak di atas denyut nadi arteri brakiais,
dengan tepi bawah manset 2 cm di atas fossa antekubiti dimana
kepala stetoskop diletakkan,Kembangkan manset dan tentukan tingkat
tekanan dimana denyut brakialis menghilang dengan palpasi.Lakukan
auskultasi di atas arteri brakialis dan kembangkan manset sampai 30
mmHg di atas tingkat tekanan yang sebelumnya ditentukan dengan
palpasi.Kempiskan manset perlahan sambil mendengarkan munculnya
bunyi Korotkoff, mulai mengaburnya dan menghilangUlangi beberapa
kali, catat tekanan sistolik dan diastolic.Cari perbedaan postural
dalam pengukuran tekanan darah.
Tabel 1. Pengelompokkan Tekanan Darah dan Hipertensi Berdasarkan
JNC VII.6
Dalam skenario didapatkan tekanan darah pasien adalah 150/90
mmHg dimana pasien sudah masuk dalam Hipertensi tahap 1.Pengukuran
Tinggi dan Berat Badan
Tinggi Badan
Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan mengukur jarak antara
tumit dengan puncak kepala dengan posisi badan berdiri tegak.7
Dalam skenario didapatkan tinggi badan pasien adalah 169 cm.7
Berat Badan
Penimbangan berat badan dilakukan dengan menara terlebih dahulu
timbangan kemudian pasien diminta untuk berpakaian seminim mungkin
dan berdiri tegak di atas timbangan. Banyak kriteria berat badan
normal, tetapi biasanya yang diapakai adalah: tinggi badan (dalam
cm) dikurangi 100, hasilnya dalam Kg. Pada skenario kita dapatkan
bahwa berat badannya adalah 88 kg sehingga pasien ini termasuk
dalam kategori overweight dengan perhitungan:7
169 100 = 69 kg
Berat badanKategori
> 110%Overweight
90-110%Normal
70-90%Mild underweight
< 70%Severe underweight
Tabel 2. Penilaian berdasarkan berat badan normal/standar.7
Perhitungan Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index)Penilaian
berdasarkan BMI :Berat badan normal bila hasilnya antara 20-25.
Berat badan kurang bila hasilnya < 20.
Berat badan disebut berlebih bila hasilnya 25-30.
Kegemukan atau obese bila hasilnya > 30.Dalam skenario kita
dapatkan bahwa berat badan pasien adalah 88 kg dan tinggi badannya
adalah 169 cm. Maka kita dapat menghitung BMI menggunakan rumus
dibawah ini dan diperoleh hasilnya adalah 30,81 dimana sudah masuk
dalam kategori kegemukan atau obese.Pengukuran Ratio
Pinggang/Panggul
Mula-mula pinggang diukur untuk mendapatkan lingkaran pinggang,
cara pengukurannya adalah dengan melingkarkan mitlin pada pinggang
sehingga mendapatkan lingkat terkecil di atas pusat. Kemudian
mengukur lingkaran pinggul dengan cara melingkarkan mitlin pada
panggul melewati tonjolan bokong yang paling maksimal. Kedua hasil
pengukuran tadi dengan melalui nomogram dihubungkan sehingga
membentuk garis yang menghubungkan nilai tersebut. Garis ini akan
memotong AGR (abdominal-gluteal ratio) pada suatu nilai. Rasio
pinggang/panggul yang sebesar 1,0 atau kurang bagi laki-laki dan
0,8 atau kurang bagi wanita merupakan nilai yang normal.7
Gambar 1. Nomogram Untuk Menentukan Rasio Pinggang-Panggul.8
Dalam skenario didapatkan bahwa waist hip ratio pasien adalah
1,1 hal ini sudah berlebih dari normal.
Pengukuran Lingkar Perut
Lingkar perut diukur dari bagian diameter terbesar perut Anda.
Batas lingkar perut untuk orang Indonesia yang dinyatakan memiliki
risiko kesehatan yang tinggi adalah di atas 90 cm untuk pria dewasa
dan 80 cm untuk wanita dewasa.9
Dalam skenario didapatkan bahwa lingkar perut pasien adalah 135
cm hal ini menunjukkan pasien memiliki risiko kesehatan yang
tinggi.
Pemeriksaan Penunjang
1. Trigliserida, HDL Kolesterol, Glukosa PuasaManfaat:
Mendeteksi adanya sindrom metabolik berdasarkan kriteria IDF
2005.2. Apo B dan LDL Kolesterol DirekManfaat: Melihat adanya small
dense LDL. Small dense LDL merupakan faktor risiko penting untuk
Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan lebih aterogenik bila
dibandingkan dengan LDL biasa. Dengan menentukan konsentrasi apo B
plasma, kita dapat menentukan jumlah partikel small dense LDL, di
mana dengan menggunakan rasio kolesterol LDL/ApoB (konsentrasi
kolesterol LDL diukur dengan metode direk) dapat ditentukan adanya
small dense LDL. Pada rasio kolesterol LDL direk/ApoB < 1,2,
terdapat small dense LDL dalam sirkulasi tubuh .3.
AdiponektinManfaat: Melihat apakah terjadi penurunan konsentrasi
adiponektin (hipoadiponektinemia). Adiponektin adalah sitokin anti
inflamasi yang diproduksi hanya oleh adiposity. Adiponektin
memperkuat kepekaan insulin, juga menghambat banyak langkah dalam
proses inflamasi, misalnya di hati menghambat ekspresi enzim-enzim
glukoneogenesis hati dan laju produksi glukosa endogen, di otot
meningkatkan angkutan glukosa, dan memperkuat oksidasi asam lemak.
Atau dapat juga memeriksa HOMA (Homeostasis Model Assesment) untuk
menilai resistensi insulin secara akurat, namun biasanya ini hanya
dilakukan pada penelitian karena tidak praktik diterapkan dalam
penilaian klinis.
4. Glukosa Puasa, Glukosa 2 jam pp dan HbA1cManfaat:
Mendiagnosis dan memantau pengendalian hiperglikemia (glukosa darah
puasa terganggu, toleransi glukosa terganggu dan DM tipe 2).5.
hsCRPManfaat: Menilai kondisi inflamasi kronis pada individu
sindrom metabolik. Penanda untuk memprediksi penyakit pembuluh
darah koroner pada sindrom metabolik, dan baru-baru ini digunakan
prediktor untuk penyakit lemak hati non-alkohol dalam hubungan
dengan penanda serum yang menunjukkan lipid dan metabolisme
glukosa.7
6. NT-proBNPManfaat: Melihat risiko gagal jantung pada individu
obes. Peningkatan indeks massa tubuh merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi, DM tipe 2 dan dislipidemia, sehingga
meningkatkan risiko infark miokardial yang mendahului terjadinya
gagal jantung. Selain itu, hipertensi dan DM tipe 2 secara
independen akan meningkatkan risiko gagal jantung.7. Albumin Urin
Kuantitatif (Sewaktu)Manfaat : Membantu menentukan pengobatan yang
dapat mencegah atau memperlambat onset penyakit ginjal kronik (PGK)
dan penyakit kardiovaskular (PKV). Albumin Urin Kuantitatif
merupakan penanda prognosis untuk risiko PKV pada individu dengan
diabetes maupun tanpa diabetes, sebagai penanda risiko mortalitas
pada individu infark miokardial, dan merupakan prediktor PKV pada
individu dengan hipertensi tidak terkontrol.8.Tes faal hati (SGPT)
dan Collagen Type IVManfaat : Melihat risiko NASH pada individu
dengan sindrom metabolik. NASH merupakan bagian dari spektrum luas
nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan ditandai dengan
hepatomegali, peningkatan serum aminotransferase dan gambaran
histologi yang menyerupai hepatitis alkoholik tanpa adanya
penggunaan alkohol berlebihan. Terjadinya fatty liver (yang
dideteksi melalui ultrasonografi) yang disertai dengan adanya
inflamasi (ditandai dengan peningkatan hsCRP dan
hipoadiponektinemia), proses fibrosis (ditandai dengan peningkatan
collagen type IV) serta adanya kematian sel (ditandai dengan
peningkatan enzim SGPT) merupakan kondisi yang terjadi pada NASH.
Differential Diagnosis
Hiperlipidemia
Hyperlipidemia ialah kelainan metabolism lipid yang ditandai
dengan kelainan (peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam
plasma. Hiperlipidemia merupakan kelainan metabolic yang paling
sering ditemukan. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kadar
kolesterol total yang tinggi, kadar trigliserida yang tinggi, dan
kadar kolesterol HDL yang rendah. Dalam proses terjadinya
aterosklerosis, ketiganya memiliki peran yang penting dan sangat
erat kaitannya satu sama lain.13
Hipertensi Grade 1
Tahap awal seseorang sudah dikatakan memiliki darah tinggi atau
hipertensi adalah jika tekanan sistoliknya adalah sama atau lebih
dari 140 mmHg, dan atau tekanan diastoliknya sama atau lebih dari
90 mmHg. Untuk memastikan bukan darah tinggi palsu pengukuran
sebaiknya dilakukan tiga kali berturut-turut selang waktu
sedikitnya 2 mingguan.14
Diabetes Tipe 1
Diabetes tipe 1 adalah diabetes yang sakit pankreasnya
menyeluruh. Begitu payahnya sehingga dia tidak bisa menghasilkan
insulin sama sekali. Diabetes tipe 1 biasanya mengenai anak-anak
dan remaja. Dahulu, pernah disebut sebagai juvenile diabetes
(diabetes usia muda). Namun, diabetes ini ternyata juga dapat
terjadi pada orang dewasa. Oleh karena itu, orang lebih suka
memakai istilah diabetes tipe 1. Pada penderita diabetes tipe ini
untuk dapat bertahan hidup, bergantung pada pemberian insulin dari
luar. Oleh karena itu, pada waktu yang lalu, istilah yang dipakai
adalah Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Jumlah
kejadiannya hanya 1-10% dari semua penderita diabetes di dunia.
Faktor penyebab diabetes ini adalah infeksi virus atau reaksi
autoimun yang merusak sel-sel penghasil insulin, yaitu sel beta
pada pancreas, secara menyeluruh. Biasanya gejala dan
tanda-tandanya muncul mendadak. Tiba-tiba cepat merasa haus, sering
kencing, badan mengurus, dan lemah. Apabila insulin tidak segera
diberikan, penderita dapat cepat tidak sadarkan diri, disebut juga
koma ketoasidosis atau koma diabetic.15
Diabetes Tipe 2
Diabetes tipe 2 bisa juga disebut diabetes life style karena
penyebabnya selain factor keturunan, yang terutama adalah karena
gaya hidup yang tidak sehat. Biasanya, tipe ini mengenai orang
dewasa. Dahulu, diabetes ini pernah disebut adult onset atau
maturityonset diabetes. Namun, karena diabetes ini ternyata juga
dapat mengenai mereka yang lebih muda, maka istilah diabetes tipe 2
dianggap lebih cocok. Diabetes ini berkembang sangat lambat, bisa
sampai bertahun-tahun. Oleh karena itu, gejala dan tanda-tandanya
sering kali tidak jelas. Biasanya memiliki riwayat keturunan
diabetes. Apabila tidak ada gejala klasik, yang biasa dikeluhkan
adalah cepat lelah, berat badan turun walau banyak makan, rasa
kesemutan di tungkai. Kadang-kadang, bahkan ada diabetisi yang sama
sekali tidak merasakan perubahan. Diabetes tipe ini tidak mutlak
memerlukan suntikan insulin karena pankreasnya masih menghasilkan
insulin namun jumlahnya tidak mencukupi dan yang terpenting kerja
insulin tidak efektif karena adanya hambatan pada kerja insulin
seperti telah disebutkan, istilah medisnya adalah resistensi
insulin. Oleh karena itu obat yang diberikan untuk diabetes tipe
ini bukan hanya untuk memperbaiki resistensi insulin tetapi juga
untuk membantu pancreas meningkatkan kembali produksi
insulin.15
Working Diagnosis
Diagnosa kerja bagi kasus ini adalah Sindrom metabolik. Sindroma
metabolik merupakan kumpulan dari faktor risiko metabolik yang
berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler dan
diabetes mellitus (DM) tipe 2. Faktor risiko tersebut antara lain
terdiri dari dislipidemia atherogenik, peningkatan tekanan darah,
peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan protrombotik dan
proinflamasi. Hal ini menyebabkan sindroma metabolik menjadi
permasalahan kesehatan masyarakat yang utama pada saat ini (Bona
Adhista, 2007). WHO sendiri menyebutnya sebagai sindroma metabolik
yang ditandai dengan minimal 3 diantara 5 kriteria dalam NCEP-ATP
III (The National Cholesterol Education Program-Adult Treatment
Panel III) yaitu obesitas abdominal (kegemukan dengan lingkar perut
>90cm untuk pria dan >80cm untuk wanita, kenaikan kadar
trigliserida, penurunan HDL-kolesterol, kenaikan kadar gula puasa
hingga 110-126mg/mL (akibat peningkatan resistensi insulin), dan
kenaikan tekanan darah.1 Kriteria menurut NCEP-ATP III lebih banyak
digunakan, karena lebih memudahkan seorang klinisi untuk
mengidentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik.
Dua patogenesis utama yang mendasari terjadinya sindroma
metabolik adalah obesitas dan resistensi insulin. Pada kebanyakan
pasien, sindroma metabolik berujung pada terjadinya penyakit DM
tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler (Bona Adhista, 2007).
Etiologi
Selain karena bersifat genetic, banyak yang memperkirakan
penyakit metabolik itu bisa juga dikarenakan pola hidup yang
berubah, misalnya kurang aktivitas, konsumsi makanan yang tidak
benar, dsb.5 Sebab yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu
reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologi
menjadi:
a. Sindrom nefrotik bawaanDiturunkan sebagai resesif autosomal
atau karena reaksi maternofetal. Resistensi terhadap semua
pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa neonatal.b. Sindrom
nefrotik sekunder. Disebabkan oleh:- Malaria kuartana atau parasit
lain. Penyakit kolagen seperti lupus eritematous desiminata,
purpura anafilaktoid.- Glomerulonefritis akut atau
glomerulonefritis kronis, trombosis vena renalis. Bahan kimia
seperti trimetadion, paradion, penisalimin, garam emas, sengatan
lebah, air raksa.- Amilodosis, penyakit sel sabit ,
hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik.c. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui
sebabnya)d. Glomerulosklerosis fokal segmental Pada kelainan ini
yang menyolok skelerosis glomerulus. sering disertai dengan atrofi
tubulus.
Epidemiologi
Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan
prevalensi sindrom metabolik. Prevalensi sindrom metabolik pada
populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50 tahun
sebesar 45%. Pandemi sindrom metabolik juga berkembang seiring
dengan peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi
Asia, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan di Depok (2001)
menunjukkan prevalensi sindrom metabolik menggunakan kriteria
National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III
(NCEP-ATP III) dengan modifikasi Asia Pasifik, terdapat pada 25.7%
pria dan 25% wanita. Penelitian Soegondo (2004) melaporkan
prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13% dan menunjukkan bahwa
kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25 kg/m2 lebih cocok
untuk diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian di DKI Jakarta
pada tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak
jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral
merupakan komponen terbanyak (59,4%). Laporan prevalensi sindrom
metabolik di beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel
7.1
Tabel 7. Prevalensi Sindrom Metabolik di Indonesia.1
Dibandingkan dengan komponen-komponen pada sindrom metabolik,
obesitas sentral paling dekat untuk memprediksi ada tidaknya
sindrom metabolik. Beberapa studi di wilayah Indonesia termasuk
Jakarta menunjukkan obesitas sentral merupakan komponen yang paling
banyak ditemukan pada individu dengan sindrom
metabolik.1Patofisiologi
1. Obesitas sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu
sensitive dalam mengambarkan risiko kardovaskular dan gangguan
metabolic yang terjadi. Studi menujukkan bahawa obesitas sentral
yang digambarkan oleh lingkar perut(dengan cut off berbeda antra
jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik
dan risiko kardiovaskuler. Lingkar perut mengambarkan baik jaringan
adipose subkutan dan visceral. Meski dikatakan bahawa lemak
visceral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolic dan
kardovaskuler hal ini masih kontroversia. Peningkatan obesitas
risiko ada peningkatan kejadian kardiovaskuler. Variasi faktor
genetik membuat perbedaan dengan metabolik maupun kardiovaskuler
dari sutau obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang
menjadi resistensi insulin dan sebaliknya resisten insulin dapat
ditemukan pada individu tanpa obes. Interaksi factor genetic dan
lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dan suatu
resistensi maupun obesitas.
Jaringan adipose meruakan sebuah organ endokrin yang aktif
mensekresi berbagai factor pro dan antiinflamasi seperti leptin,
adinopektin, Tumor nekrosis factor alpha dan resistin. Konsentrasi
asonipekrtin plasma menurun ada kondisi DM tipe 2 dan obesitas.
Senyawa ini dipercaya memiliki efek antiaterogenik pada hewan coba
dan manusia. Sebaliknya resistensi leptin meningkat pada kondisi
resistensi insulin dan obesitas berhubungan dengan risiko kejadian
kardiovaskuler tidak bergantung dari factor risiko tradisional
kardovaskuler. IMT dan konsentrasi CRP. Sejauh ini belum dikethaui
apakah pengukuran-engukuran marker hormonal dari jaringan adipose
lebih baik daripada pengukuran secara anatomi dalammemprediksi
risiko kejadian kardiovaskuler dan kelainan metabolic yang
terkait.
2.Resistensi Insulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom
metaolik. Sejauh ini belum sepakati engukuran yang ideal dan raktis
untuk resistensi insulin. Teknik clamp merupakan teknik ideal namun
tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plasma
puasa juga tidak ideal meningat gangguan tolenrasi glukosa puasa
hanya dijumai pada 10% sindrom metabolic. Pengukuran Hemostatis
Model Assesment (HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitivity Check
Index( QUICKI) dibuktikan berkolerasi erat dengan pemeriksaan
standard, sehingga data disarankan untuk mengukur resistensi
insulin.BIla melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang
melibatkan jaringan adipose dan system kekebalan tubuh, maka
opengukuran resistensi insulian( seperti tumus HOMA dan QUICKI)
erlu ditinjau ulang. Oleh kerananya engunaan rumus ini secara ruitn
di klini belum disarankan mauun disepakati.3. Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolic ditandai dengan
peningkatan trigliserdia dan penutunan kolestrol HDL. Kolestrol LDL
biasanya normal, namun mengalami perubahan struktur berupa
eningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi trigliserida
dipikirkan akbibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati
sehingga tejadi eningkatan produksi trigliserida. Namun studi pada
manusia dan hewan menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida
tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh
eningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.
Penurunan kolestrol HDL, disebabkan peningkatan HDL disebabkan
peningkatan trigliserida sehingga terjadi transfer trigliserida ke
HDL. Namun pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi
trigliserida normal data ditemukan penurunan kolestrol HDL.
Sehingga diikirkan terdapat mekanisme lain yang menyebabkan
penurunan kolestrol HDL disampin peningkatan trigliserida.
Mekanisme yang prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga
terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-I oleh hati yang
selanjutnya mengakibatkan enurunan kolestrol HDL.Pada system
imunitas pada resistensi insulin juga berengaruh pda perbuahan
profil lipid pada subjek resistensi insulin.
4. Peran Sistem Imunitas pada Resistensi Insulin
Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom
metabolic. Marker inflamasi berperan pada progresitivitas DM dan
komlikasi kardiovaskuler. C reactive protein (CRP) dilaporkan
menjadi data prognosis tambahan tentangkeprahan inflamasi pada
subyek wanita sehat dengan sindrom metabolic. Namun belum
didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang mampu mengabungkan
peningkatan CRP, koagulasi dan gangguan fibriolosis dalam
memprdiksi risiko kardiovaskuler.5. Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hiertensi.
Insulin merangsang system saraf impatis meningkatkan reabsorpsi
natrium ginjal, mempengaruhi transport action kation dan
mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian
infuse insulin akut dapat menyebabkan hipotensi akibat
vasodialatasi. Sehiangga disimpulkan bahawa hipertensi akibat
resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek
pressor dan depressor. The Insulin Resistence Atherosclerosis Study
melaporkan hubungan hubungan anatra insulin dengan hipertensi pada
subyek normal namun tidak pada subyek DM tipe 2.
Manifestasi Klinis
Secara klinis obesitas dapat dikenali karena memiliki tanda yang
khas seperti wajah membulat, pipi yang tembam, dagu rangkap, leher
relatif terlihat pendek, perut membuncit dan berlipat-lipat, serta
kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan.
Jika pada anak-anak, penis tampak kecil karena tersembunyi dalam
jaringan lemak suprapubik. Bentuk fisik obesitas dibedakan menurut
distribusi lemak yaitu bila lebih banyak lemak dibagian atas tubuh
(dada dan pinggang) maka disebut apple shape body (android),
sedangkan bila lebih banyak lemak di again bawah tubuh (pinggul dan
paha), disebut sebagai pear shape body (ginekoid). Apple shape
cenderung lebih beresiko besar mengalami sindroma metabolik
disbanding pear shape.3,4Karena sindrom metabolik merupakan
kumpulan dari beberapa kriteria, manifestasi klinis yang lain
tergantung dari kriteria yang termasuk diderita oleh pasien.
Penatalaksanaan
Medikamentosa
Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu yang
telah memiliki sindrom metabolik, diperlukan pemantauan yang terus
menerus dengan modifikasi komponen sindrom metabolik yang ada.
Penatalaksanaan sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan
dari masing-masing komponennya (Tabel 8).1
Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan untuk
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko
diabetes melitus tipe 2 pada pasien yang belum diabetes.
Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu
tatalaksana penyebab (berat badan lebih/obesitas dan inaktifitas
fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.1
Obesitas dan Obesitas Sentral
Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindrom metabolik
serta peranan otak dalam pengaturan energi, merupakan titik tolak
yang penting dalam penatalaksanaan klinik. Pengaturan berat badan
merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga sindrom
metabolik. Mempertahankan berat badan yang lebih rendah dikombinasi
dengan pengurangan asupan kalori dan peningkatan aktifitas fisik
merupakan prioritas utama pada penyandang sindrom metabolik. Target
penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 bulan, dapat dicapai
dengan mengurangi asupan kalori sebesar 500-1000 kalori per hari
ditunjang dengan aktifitas fisik yang sesuai. Aktifitas fisik yang
disarankan adalah selama 30 menit atau lebih setiap hari. Untuk
subyek dengan komorbid penyakit jantung koroner, perlu dilakukan
evaluasi kebugaran sebelum diberikan anjuran jenis-jenis olah raga
yang sesuai.1
Pemakaian obat-obatan dapat berguna sehingga dipertimbangkan
pada beberapa pasien. Dua obat yang dapat digunakan dalam
menurunkan berat badan adalah sibutramin dan orlistat. Dengan
mempertimbangkan peranan otak sebagai regulator berat badan,
sibutramin dapat menjadi pertimbangan walaupun tanpa
mengesampingkan kemungkinan efek samping yang mungkin timbul. Cara
kerjanya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energi
melalui efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan
pengeluaran energi setelah berat badan turun dapat memberikan efek
tidak hanya untuk penurunan berat badan namun juga mempertahankan
berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik,
sebagai efek dari penurunan berat badan pemberian sibutramin
setelah 24 minggu yang disertai dengan diet dan aktifitas fisik,
memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolesterol HDL.Terapi
pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang berisiko
serius akibat obesitasnya.1
Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular.
Hipertensi juga mengakibatkan mikroalbuminuria yangdipakai sebagai
indikator independen morbiditas kardiovaskular pida pasien tanpa
diabetes atau hipertensi. Target tekanan darah berbeda antara
subyek dengan DM dan tanpa DM. Pada subyek dengan DM dan penyakit
ginjal, target tekanan darah adalah < 130/80 mmHg, sedangkan
pada bukan, targetnya < 140/90 mmHg. Untuk mencapai target
tekanan darah, penatalaksanaan tetap diawali dengan pengaturan diet
dan aktifitas fisik. Peningkatan tekanan darah ringan dapat diatasi
dulu dengan upaya penurunan berat badan, berolah raga, menghentikan
rokok dan konsumsi alkohol serta banyak mengkonsumsi serat. Namun
apabila modifikasi gaya hidup sendiri tidak mampu mengendalikan
tekanan darah maka dibutuhken pendekatan medikamentosa untuk
mencegah komplikasi seperti infark miokard, gagal ginjal kronik dan
stroke.1
Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa enzim
pengkonversi angiotensin dan penghambat reseptor angiotensin
mempunyai manfaat yang bermakna dalam meregresi hipertrofi
ventrikel kiri dibandingkan dengan penghambat beta adrenergik,
diuretik dan antagonis kalsium. Valsartan, suatu penghambat
reseptor angiotensin, dapat mengurangi mikroalbuminuria yang
diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Beberapa
studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor sebagai linipertama pada
penyandang hipertensi dengan sindrom metabolik terutama bila ada DM
Angiotensin receptor blocker (ARB) dapat digunakan apabila tidak
toleran terhadap ACE inhibitor. Meski pemakaian diuretik tidak
dianjurkan pada subyek dengan gangguan toleransi glukosa, namun
pemakaian diuretik dosis rendah yang dikombinasi dengan regimen
lain dapat lebih bermanfaat dibandingkan efek sampingnya.1
Gangguan Toleransi Glukosa
Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom
metabolik yang dapat menjadi awal suatu diabetes melitus.
Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan adanya hubungan yang
kuat antara toleransi glukosa terganggu (TGT) dan risiko
kardiovaskular padasindrom metabolik dan diabetes. Perubahan gaya
hidup dan aktifitas fisik yang teratur terbukti efektif dapat
menurunkan berat badan dan TGT. Modifikasi diet secara bermakna
memperbaiki glukosa 2 jam pasca prandial dan konsentrasi
insulin.1
Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten
dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik.
Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan konsentrasi asam
lemak bebas. Pada Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin
dapat mengurangi progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada
pasien muda dengan obesitas.1
Dislipidemia
Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup
yang diikuti dengan medikamentosa. Namun demikian, perubahan diet
dan latihan jasmani saja tidak cukup berhasil mencapai target. Oleh
karena itu disarankan untuk memberikan obat berbarengan dengan
perubahan gaya hidup. Menurut ATP III, setelah kolesterol LDL sudah
mencapai target, sasaran berikutnya adalah dislipidemia aterogenik.
Pada konsentrasi trigliserida + 200 mg/di, maka target terapi
adalah non kolesterol HDL setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapi
dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga
secara bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular. Fenofibrat
secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan
meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil
lipid yang sangat efektif dan mengurangi risiko kardiovaskular.
Fenofibrat juga dapat menurunkan konsentrasi fibrinogen. Kombinasi
fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida,
kolesterol HDL dan LDL.1
Target terapi berikutnya adalah peningkatan apoB. Beberapa studi
menunjukkan apoB lebih baik dalam menggambarkan dislipidemia
aterogenik yang terjadi dibandingkan dengan konlesterol non HDL
sehingga menyarankan apoB sebagai target terapi. Meskipun demikian,
ATP III tetap menyarankan pemakaian kolesterol non HDL sebagai
target terapi mengingat di beberapa tempat, sarana pemeriksaan apoB
belum tersedia.1
Apabila konsentrasi trigliserida + 500 mg/dL, maka target terapi
pertama adalah penurunan trigliserida untuk mencegah timbulnya
pancreatitis akut. Pada konsentrasi trigliserida < 500 mg/dL,
terapi kombinasi untuk menurunkan trigliserida dan kolesterol LDL
dapat digunakan. Berbeda dengan trigliserida dan kolesterol LDL,
untuk kolesterol HDL tidak ada target terapi tertentu, hanya
dinaikkan saja. Panduan terapi untuk dislipidemia dapat dilihat
pada Tabel 8.1
Tabel 8. Penatalaksaan Sindrom Metabolik.1
Non-MedikamentosaLatihan FisikOtot rangka merupakan jaringan
yang paling sensitif terhadap insulin didalam tubuh, dan merupakan
target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti
dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin didalam otot
rangka. Pengaruh latihan fisik terhadap sensitivitas insulin
terjadi dalam 24 48 jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari. Jadi
aktivitas fisik teratur hendaklah merupakan bagian dari usaha untuk
memperbaiki resistensi insulin. Pasien hendaklah diarahkan untuk
memperbaiki dan meningkatkan derajat aktifitas fisiknya. Manfaat
paling besar dapat diperoleh bila pasien menjalani latihan fisik
sedang secara teratur dalam jangka panjang. Kombinasi latihan fisik
aerobik dan latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan
terbaik. Dengan menggunakan dumbbell ringan dan elastic exercise
band merupakan pilihan terbaik untuk latihan dengan menggunakan
beban. Jalan kaki dan jogging selama 1 jam perhari juga terbukti
dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki2 tanpa
mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan.18Diet
Sasaran utama dari diet terhadap Sindrom Metabolik adalah
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus.
Review dari Cochrane Database mendukung peranan intervensi diet
dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Bukti-bukti dari
suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat
membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil2 dari studi
klinis diet rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan
penurunan bermakna dari kejadian komplikasi kardiovaskular dan
menurunkan angka kematian total.18The Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) merekomendasikan tekanan
darah sistolik antara 120 139 mmHg atau diastolik 80 89 mmHg
sebagai stadium pre hipertensi, sehingga modifikasi gaya hidup
sudah mulai ditekankan pada stadium ini untuk mencegah penyakit
kardiovaskular. Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to
Stop Hypertension (DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah
lemak jenuh dan tinggi karbohidrat terbukti mengalami penurunan
tekanan darah yang berarti walaupun tanpa disertai penurunan berat
badan.18
Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih
lanjut atau mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses
menua. Studi dari the Coronary Artery Risk Development in Young
Adults mendapatkan bahwa konsumsi produk-produk rendah lemak dan
garam disertai dengan penurunan risiko sindrom metabolik yang
bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat meningkatkan
kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol, sehingga
memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia
atau meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet
rendah lemak, asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti
dengan makanan yang mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated
fatty acid = MUFA) atau asupan karbohidrat yang mempunyai indeks
glikemik rendah. Diet ini merupakan pola diet Mediterrania yang
terbukti dapat menurunkan mortalitas penyakit kardiovaskular. Suatu
studi menunjukkan adanya korelasi antara penyakit kardiovaskular
dan asupan biji-bijian dan kentang. Para peneliti merekomendasikan
diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan dan sayuran untuk
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka panjang dari
diet rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam
jangka pendek, terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida,
meningkatkan kadar HDL-cholesterol dan menurunkan berat
badan.18
Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan
mengganti makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan
indeks glikemik rendah yang banyak mengandung serat. Makanan dengan
indeks glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa post prandial
dan insulin.18PencegahanThe US Preventive Services Task Force
merekomendasi konsultasi diet intensif terhadap pasien-pasien
dewasa yang mempunyai factor-faktor risiko untuk terjadinya
penyulit kardiovaskular. Para dokter keluarga lebih efektif dalam
membantu pasien menerapkan kebiasaan hidup sehat. The Diabetes
Prevention Program telah membuktikan bahwa intervensi gaya hidup
yang ketat pada pasien prediabetes dapat menghambat progresivitas
terjadinya diabetes lebih dari 50% ( dari 11% menjadi 4,8%).18Tips
untuk pencegahan sindrom metabolik, antara lain: Mengamalkan gaya
hidup sehat dengan berolahraga supaya dapat mencapat Indeks Massa
Tubuh yang sesuai dan mengelakkan obesitasKonsumsi lebih banyak
buah-buahan, sayuran, padi-padian dan serealPilih makanan yang
rendah lemak, kurangi asupan garam dan makanan yang terlalu
manis.Kurangi camilan tinggi lemak dan makanan cepat sajiJangan
makan terburu-buru, dan biasakan makan teratur pada waktunyaBaca
label makanan untuk memilih makanan yang kurang lemak tetapi kaya
dengan seratMemeriksa profil lipid dan darah sekali sekala untuk
memastikan kondisi kesehatanPrognosis
Prognosis dapat membaik ataupun memburuk, tergantung dari
kepatuhan pasien menjalani terapi. Semakin banyak factor resiko,
semakin tinggi resiko timbulnya penyakit jantung dan
serebrovaskular. Penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi
tidak dapat sembuh total, tetapi hanya dapat di control.19
Kesimpulan
Pasien pada skenario 10 menderita sindroma metabolik karena
memenuhi kriteria NCEP-ATP III. Sindrom metabolik merupakan
kumpulan gejala yang keberadaanya meninjukkan peningkatan factor
risko kejadian penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus.
Obesitas sentral memiliki kolerasi paling erat dengan sindrom
metabolik dibandingkan dengan komponen lain. Perlu tata laksana
yang baik dan tepat agar komplikasi dapat dicegah.
Daftar Pustaka
Soegondo S, Purnamasari D. Sindrom metabolik. Dalam: Sudoyo
AW,Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009.h. 1865.Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK,
Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006.h. 529-40.Anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta; Interna Publishing; 2011.
Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC;
2010.
Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta:
EMS; 2005.h. 79.Kowalski RE. Terapi hipertensi. Bandung: Qanita;
2010.h. 43.
Djojodibroto RD. Seluk beluk pemeriksaan kesehatan: bagaimana
menyikapi hasilnya. Jakarta: Obor; 2003. h. 33-9.
Hartono A. Terapi gizi & diet rumah sakit. Jakarta: EGC;
2006.h. 95-6.
Santoso DL. Rahasia diet 2. Jakarta: Libri; 2010.h. 38.
Tandra H. Segala hal yang harus anda ketahui mengenai diabetes.
Jakarta: Gramedia; 2007.h. 23-4.
Bastiansyah E. Panduan lengkap membaca hasil tes kesehatan.
Depok: Penebar Plus; 2008.h. 60-1.
Marks DB, Marks AD, Smith CM. Biokimia kedokteran dasar: sebuah
pendekatan klinis. Jakarta: EGC; 2000.h. 515.
Staf pengajar departemen farmakologi fakultas kedokteran
universitas sriwijaya. Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi 2.
Jakarta: EGC; 2009.h. 404.
Nadesul H. Resep mudah tetap sehat. Jakarta: Kompas; 2009.h.
65.
Kariadi SHKS. Diabetes? siapa takut!!: panduan lengkap untuk
diabetisi keluarganya dan professional medis. Bandung: Qanita;
2009.h. 42-5.Atabek ME, Akyuz E, Eklioglu BS, Cimen D. The
relationship between metabolic syndrome and left ventricular mass
index in obese children. J Clin Res Ped Endo
2011;3(3):132-8.Reinehr T, Sousa G, Toschke AM, Andler W. Long-term
follow-up of cardiovascular disease risk factors in children after
an obesitiy intervention. Am J Clin Nutr 2006;84:490-6.McPhee SJ,
Papadakis MA. Current Medical Diagnosis & Threatment. USA:
McGraw-Hill Companies; 2008 p. 1035.Greenspan FS, Baxter JD.
Endokrinologi dasar & klinik. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2000.
h.430-45