Top Banner
REFERAT IV PERUBAHAN IMUNOLOGIS PADA ENDOMETRIOSIS PERITONEAL Penyaji : Dr. Januar Simatupang Pembimbing : Dr. Rizani Amran, SpOG, K-FER Pemandu : Dr. K. Yusuf. Effendi, SpOG BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSU. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG Dipresentasikan, Sabtu 22 Februari 2003 Pukul 12.30 WIB
29

Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Dec 31, 2015

Download

Documents

Helmi Haron

sasa
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

REFERAT IV

PERUBAHAN IMUNOLOGIS PADA ENDOMETRIOSIS PERITONEAL

Penyaji : Dr. Januar Simatupang

Pembimbing : Dr. Rizani Amran, SpOG, K-FER

Pemandu : Dr. K. Yusuf. Effendi, SpOG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RSU. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG Dipresentasikan, Sabtu 22 Februari 2003 Pukul 12.30 WIB

Page 2: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................. i

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL...................................................................................................... iii

I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

II.POLA UMUM PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS ................................... 2

A. ANGKA KEJADIAN .......................................................................................... 2 B. PATOGENESIS................................................................................................... 3

1. Teori transplatasi dan regurgitas .................................................................... 3 2. Teori metaplasia ............................................................................................. 4 3. Teori induksi .................................................................................................. 4 4. Teori hormonal............................................................................................... 5 5. Teori lingkungan (racun)................................................................................ 5 6. Teori genetik .................................................................................................. 5 7. Teori imunologi.............................................................................................. 5

III. PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS PERTONEAL DAN GAMBARAN LESI

ENDOSKOPIK ..................................................................................................... 7 1. Lesi mikroskopik............................................................................................ 9 2. Lesi dini aktif ................................................................................................. 10 3. Lesi aktif lanjut............................................................................................... 13 4. Lesi penyembuhan.......................................................................................... 14

IV. PERUBAHAN IMUNOLOGIS PADA ENDOMETRIOSIS PERITONEAL ...................................................................................................... 14

1. Makrofag........................................................................................................ 16 2. Sel B peritoneal dan imunoglobulin............................................................... 17 3. Sel Natural Killer (NK).................................................................................. 18 4. Sel T ............................................................................................................... 18 5. Sitokin ............................................................................................................ 19

V. RINGKASAN ...................................................................................................... 23 VI. RUJUKAN.......................................................................................................... 24

Page 3: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skema teori transplantasi.................................................................... 3

Gambar 2. Skema teori metaplasia....................................................................... 4

Gambar 3. Skema teori induksi ............................................................................ 4

Gambar 4. Patogenesis endometriosis peritoneal................................................. 8

Gambar 5. Tipe lesi-lesi endometriosis................................................................ 9

Gambar 6. Reaksi peritoneum terhadap susukan endometriosis.......................... 9

Gambar 7. Skema interaksi sel-sel imun dan jaringan

endometriosis pada rongga tubuh....................................................... 23

Page 4: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Macam-macam lesi endometriosis menurut umur................................ 13

Tabel 2. Perubahan makrofag, sel B dan sel T pada

wanita dengan Endometriosis ............................................................... 19

Tabel 3. Sitokinin dan fungsinya ........................................................................ 20

Tabel 4. Kadar sitokinin pada wanita dengan endometriosis ............................. 20

Page 5: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

PERUBAHAN IMUNOLOGIS PADA ENDOMETRIOSIS PERITONEAL

PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan satu masalah penting di bidang Ginekologi, berkenaan

dengan timbulnya dampak dan progresifitasnya yang berjalan terus sepanjang

kehidupan seorang wanita.Endometriosis adalah susunan mirip endometrium yang

menampilkan perubahan klinis seperti endometrium normal kavum uteri yang dapat

tumbuh di hampir semua organ tubuh1. Jika endometrium tumbuh dii peritoneum

disebut endometriosis peritoneal1,2,3.

Secara epidemiologis dari semua kasus operasi pelvik pada wanita

ditemukan hampir 15% kasus endometriosis4. Kajian epidemiologik tentang

endometriosis secara luas di Indonesia belum banyak dilakukan. Pada pasangan

infertil dijumpai 25% diakibatkan oleh endometriosis, sedangkan pada kasus

infertilitas idiopatik penyakit ini dijumpai 80%5. Di bagian Obstetri dan Ginekologi

FK-UI RSCM selama tahun 1990 tercatat 15,7% kasus endometriosis di Poliklinik

Imunoendokrinologi4.

Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis

endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang dapat menjelaskan

secara keseluruhan kejadian endometriosis.

Walaupun etiologinya belum diketahui secara pasti, tetapi perjalanan dan

patogenesis penyakit ini telah banyak diteliti secara mendalam dan diungkapkan

dalam beragam teori. Mulai dari teori klinik hingga biomolekuler. Secara klinik

endometrosis tampil dengan keadaan gejala yang berat5.

Hingga kini pengobatan yang digunakan adalah sama meskipun dengan

perbedaan patogenesis yaitu pengobatan medik dengan hormon atau gabungan

tindakan pembedahan dan hormonal. Tujuan pembedahan baik konvensional

maupun pembedahan laparoskopik adalah menghilangkan lesi endometrosis

peritoneal sebanyak mungkin dengan melakukan dekstruksi lesi-lesi yang ada,

dilanjutkan dengan pengobatan hormonal.

Page 6: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Permasalahan yang timbul kemudian adalah masih tingginya angka

kekambuhan endometriosis pasca pengobatan pembedahan dan hormonal yaitu:

33%6, James M Wheller7 menemukan kekambuhan 40,3%. Menurut penelitian

yang dilakukan Alex dkk8 di RSCM pada tahun 1991-1995 kekambuhan ditemukan

sebesar 9,09%. Hal ini terjadi antara lain karena proses autoinum pada penyakit ini

dan karena kurang adekuatnya pengenalan ragam tampilan endometriosis peritoneal

pada saat pembedahan atau laparoskopi.

Penggunaan laparoskopi untuk diagnostik endometriosis peritoneal

mempunyai akurasi mencapai 93%9, jika pemeriksa dilakukan secara benar dan

sistematik dan mampu mengenali jenis lokasi, luas dan derajat dari lesi

endometriosis.

Pemahaman dan pengenalan patogenesis endometriosis dan tampilan lesi

endometriosis secara baik akan mempengaruhi diagnosis dan pengobatan yang

adekuat, karena tertingginya lesi endometriosis saat dilakukan destruksi pada

laparotomi operatif atau pembedahan akan memudahkan terjadinya kekambuhan.

Pada sari pustaka ini akan diuraikan perubahan imunologis endometriosis

peritoneal. Diharapkan dari pustaka ini dapat meningkatkan pemahaman perubahan

imunologi yang terjadi pada endometriosis peritoneal dan pengenalan ragam

gambaran lesi endometriosis.

I. POLA UMUM PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS

A. ANGKA KEJADIAN

Kejadian endometriosis ditemukan pada 15 % dari semua operasi pelvik4,

bahkan Berger10 menemukan angka yang lebih tinggi yaitu 53%, Evers5

menemukan 85% wanita dengan infertilitas idiopatik ternyata menderita

endometriosis. Sedangkan wanita infertilitas pada pemeriksaan laparoskopiknya

dijumpai 80%. Di klinik kelainan ini tampil dengan beragam gejalanya :

dismenorea (80%) nyeri pelvis (50%), infertilitas (40%), gangguan haid (20%)

dan keluhan-keluhan lainnya5.

Kekambuhan penyakit ini setelah dilakukan pengobatan pembedahan

dan medikasi ditemukan oleh Candiani sebesar 33%, James M Wheller sebesar

Page 7: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

40,3%, sedangkan di Indonesia Alex dkk di RSCM tahun 1991-1995

menemukan kekambuhan sebesar 9,09%.

B. PATOGENESIS

Sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menjelaskan terjadinya

endometriosis yang dapat diterima oleh semua pihak.

Beberapa teori yang menerangkan hal ini yaitu: teori transplantasi dan

regurgitasi, teori metaplasia, teori induksi, teori hormonal, teori lingkungan

(racun), teori genetik, teori imunologi.

1. Teori transplantasi dan regurgitasi

Teori ini dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927, dijelaskan bahwa

endometriosis terjadi karena darah haid mengalir balik melalui tuba ke

dalam rongga pelvik (retrograde). Sel-sel endometriosis yang masih hidup

(viable) ini kemudian mengadakan implantasi di peritonium11,12,13,14,15.

Tetapi teori ini tidak dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis,

terjadi endometriosis di mata dan endometriosis yang terjadi pada tuba

yang non paten.

Page 8: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

2. Teori metaplasia

Teori metaplasia ini dikemukakan oleh Robert Meyer yang menyatakan bahwa

endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari sel

epitel selomik pluripoten dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvik,

sehingga terbentuk jaringan endometriosis. Teori ini didukung oleh penelitian-

penelitian yang mutakhir11,13. Teori ini dapat menerangkan terjadinya

pertumbuhan endometriosis di toraks, umbilikus dan vulva.

Dikutip dari Baziad11

3. Teori induksi

Merupakan perluasan dari teori metaplasia. Terdapat faktor biokimia endogen

yang dapat menginduksi sel yang tak terbedakan (undifferentiated) di

peritoneum dan berkembang menjadi jaringan endometrium12,13. Studi

eksperimental juga membuktikan endometriosis dapat diinduksi dengan

pemaparan pelvik terhadap peningkatan jumlah regurgitasi dari darah haid.

Implantasi dari jaringan endometrium secara eksperimental juga menginduksi

terjadinya endometriosis pada kelinci1.

Dikutip dari Patrono C1

Page 9: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

4. Teori hormonal

Disamping itu terdapat faktor-faktor lain yang juga berperan dalam patogenesis

terjadinya endometriosis, yaitu faktor endokrin. Teori ini menyatakan bahwa

kehamilan telah lama diketahui dapat meredam endometriosis, hal ini

disebabkan rendahnya kadar FSH, LH dan E2 juga dapat menghentikan

endometriosis. Disamping itu pemberian hormon steroid seks dapat menekan

sekresi FSH, dan LH. Diperkirakan aktivitas endometriosis sebagian besar

dipengaruhi oleh hormon steroid seks. Diketahui bahwa estrogen, khususnya

estradiol (E2) merangsang dan progesteron (P) menghambat sekresi lgG dan

IgA. Tetapi menurut Jacoeb pengaruh imunosupresif itu tidak diperlihatkan

oleh P, sedangkan E2 masih memperlihatkan khasiat perangsang imun ringan

terhadap lgG. Menurut Jacoeb, memberatnya endometriosis bukanlah mumi

bergantung estrogen saja. Dengan demikian dalam perkembangan

endometriosis tidak hanya terbatas pada peran steroid seks saja melainkan

juga karena faktor imunologis16.

5. Teori lingkungan (racun)

Penelitian Rier dkk menyebutkan faktor lingkungan juga memberikan pengaruh

pada perkembangan endometriosis17, khususnya berhubungan dengan racun

yang mempunyai efek pada hormon reproduksi dan respon pada sistem imun.

Pada percobaan ini 79% dari kera-kera yang terpapar dioksin didapatkan

endometriosis pada tubuhnya.

6. Teori genetik

Penelitian lain menyebutkan bahwa endometriosis merupakan penyakit turunan.

Hal ini didapatkan dari laporan bahwa wanita dengan endometriosis seringkali

berasal dari keluarga dengan insiden endometriosis yang tinggi.

7. Teori imunologi

J.A. Hill, mendapatkan adanya gangguan pada imunitas pada wanita

endometriosis18. Dmowski dkk mendapatkan adanya kegagalan dalam sistem

pengumpulan dan pembuangan sampah haid oleh makrofag dan fungsi sel NK

yang menurun pada endometriosis.

Page 10: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Sementara penelitian lain seperti Weed & Arquembourg15. Bartosik19 dan

Mathur20 dan Jacoeb berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit

autoimun, karena memenuhi kriteria :cenderung lebih bayak wanita,bersifat

familial,menimbulkan gejala klinik,melibatkan multi organ,menunjukkan

aktivitas sel B-poliklonal.

Disamping itu Gleicher mengemukakan bahwa danazol yang semula

dipakai untuk pengobatan endometriosis, sekarang dipakai juga untuk

mengobati penyakit autoinum. Danazol menurunkan tempat ikatan reseptor IgG

(reseptor Fc) pada monosit sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik dari sel-

sel ini.

Beberapa penelitian telah menemukan peningkatan IgA, IgG dan IgM dalam

serum dan zalir peritoneal. Kadar C3 juga berfluktuasi, tetapi meningkat di

dalam serum pada endometriosis yang lebih berat.

Meskipun dalam batas normal, pada endometriosis berat kadarnya dalam

zalir peritoneal meningkat. C3 merupakan komplemen yang memegang kunci

penting yang berawalnya kaskade (riam) proses imunologis tubuh. Komplemen

ini dipakai oleh antibodi (imunoglobulin) untuk proses penghancuran dinding

sel sehingga merusak sel16.

Bila kadar C3 ditemukan tinggi di dalam serum, maka ini berarti

komplemen tersebut tidak dikonsumsi dalam proses imunologi tersebut dan

proses sitolisis pun tidak berlangsung, tetapi keadaan ini tidak terlihat pada

penelitian Jacoeb18. Proses autoimun biasanya dapat dihambat oleh

kortikosteroid, sehingga diperlukan kadar kortisol yang tinggi dalam serum dan

zalir peritoneal tetapi pada penelitian Jacoeb dijumpai keadaan sebaliknya.

Kadar kortisol serum yang tinggi terdapat pada endometriosis sedang dan berat,

tetapi rendah pada endometriosis minimal dan ringan. Hal ini memperlihatkan

endometriosis bukan merupakan proses yang akut.

Dari ke 7 teori tersebut ternyata yang paling mendekati patogenesis

endometriosis dan dapat menjelaskan semua penyebaran adalah teori

metaplasia, tetapi teori tersebut harus didukung oleh faktor-faktor imunologik

sehingga banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis merupakan suatu

Page 11: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

penyakit imunologik1,13. Sementara untuk penyebaran endometriosis ada yang

berpendapat melalui pembuluh limpa.

Shaw berpendapat bahwa pemicuan metaplasia mengubah sel-sel selomik

pluripoten menjadi endometriosis21. Pengubahan ini berlangsung akibat iritasi

yang berulang pada epitel selomik yang menjadi faktor pencetus proses

metaplasia. Belum diketahui secara pasti apakah susukan endometriosis

merupakan turunan dari sel-sel pluripoten insitu atau dihasilkan oleh bibit

metastasis. Selain itu juga faktor genetik, endokrin, racun dan imunologi

merangsang pertumbuhan dan penyebaran pada pelvis dan organ-organ

didekatnya. Patogenesis ini juga terjadi pada endometriosis peritoneal.

III. PERKEMBANGAN ENDOMETRIOSIS PERITONEAL

Dalam ragam tampilan morfologi dari endometriosis peritoneal tidak dapat kita pisahkan dari patogenesisnya. Hal ini disebabkan karena masing-masing tampilan berhubungan dengan tahap-tahap perkembangan dari endometriosis peritoneal.

Sesuai dengan kesepakatan Brosens, lesi merah terjadi pada awal endometriosis dan lesi hitam pada endometriosis lanjut, sedangkan lesi putih merupakan endometriosis yang mulai sembuh atau tidak bergerak atau lesi laten. Hipotesis yang diajukan oleh Redwine dan Golstein dkk, menyatakan bahwa lesi merah mendahului lesi yang lain dan kemudian kehadirannya digantikan dengan lesi hitam dan lesi putih.

Berdasarkan perkembangannya endometriosis peritoneal dapat kita bagi

menjadi 4 stadium, yaitu :

1. Lesi mikroskopik

2. Lesi dini yang aktif

3. Lesi aktif lanjut (klasik)

4. Lesi penyembuhan

Page 12: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Dikutip dari Jacob TZ16

Page 13: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Gambaran potongan penampang secara histologik dapat dilihat dibawah ini:

1. Lesi mikroskopi :

- Intra mesotelial

- Sub-mesotelial

2. Lesi dini aktif :

- Papula vaskularisasi

- Vesikel merah

3. Lesi aktif lanjut :

- Kerutan hitam

4. Lesi Penyembuhan

Gambar 5. Tipe lesi-lesi endometriosisDikutip dari Brosens et al22

1. Lesi mikroskopik

Dari adanya pertumbuhan jaringan endometriosis maka terdapat reaksi dari

peritoneal yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 6. Reaksi peritonium terhadap adanya susukan endometriosis Dikutip dari Evers23

Page 14: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Pertumbuhan endometriosis banyak dipengaruhi oleh hormon streroid seks dan

faktor-faktor dari luar lainnya. Pada jaringan, hormon steroid seks mempengaruhi

terjadinya proliferasi sel-sel, pergerakan/motilitas sel, pembelahan dan

mempertahankan hidup.

Pemeriksaan mikroskop elektron dan studi histologik peritoneum diketahui

mempunyai 2 tipe lesi mikroskopik yaitu daerah epitel torak tinggi dan bersilia yang

diganti oleh mesotel. Hal ini ditemukan pada pasien dengan endometriosis baik

yang terlihat atau tidak terlihat. Dan lesi ini mengandung kelenjar atau stroma yang

ditutupi mesotel. Lesi ini merupakan perkembangan dari proses metaplasia2

2. Lesi dini aktif

Setelah tumbuhnya jaringan endometriosis tersebut, maka sel-sel makrofag

akan memberikan reaksi perlekatan. Sejumlah besar dari protein pelekat dan

proteoglikan telah dapat ditentukan secara biokimia selama dekade terakhir ini.

Laminin dan fibronektin adalah dua glikoprotein pelekat yang utama yang

memainkan peranan sebagai kunci pengaturan penempatan sel-sel epitel pada

membrana basalis dan sel-sel stroma pada matriks interstitial. Penelitian lain

terjadinya perkembangan dan progresivitas dari endometriosis pada baboon

yang mendapatkan imunosupresi24.

Integrin adalah sel glikoprotein permukaan yang bekerja sebagai reseptor

dari protein matriks ekstra sellular (ECM). Ekspresi dari beberapa integrin telah

dapat didiskripsikan pada endometrium yang normal. Hal ini penting dalam

interaksi antara kelenjar dan elemen-elemen dari stroma. Deskripsi pertama dari

glikoprotein-glikoprotein ini pada jaringan endometriosis diberikan oleh

Beliarg dkk pada tahun 1992. Penyerbuan fragmen-fragmen jaringan

endometrium ke dalam peritoneum dapat diterangkan dengan mendeteksi sel-

sel molekul perlekatan2.

Bridges dkk menerangkan perubahan yang siklik, ekspresi intergrin, tidak

terdapat perbedaan antara jaringan endometrium dan endometriosis. Beliard

dkk tidak menemukan perbedaan ekspresi dari laminin dan fibronektin pada

kedua jaringan, tetapi pada studi mereka, ekspresi integrin ditemukan disekitar

Page 15: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

jaringan endometriosis ketika dibandingkan dengan jaringan endometrium.

Banyak perbedaan pada ekspresi dari reseptor-reseptor fibronektin antara

jaringan endometriosis dan endometrium tidak ditemukan pada studi Bridges

dkk dan Van der Linden dkk2.

Perlekatan dari sel-sel endometrium yang viabel kemungkinan difasilitasi

oleh produk sekresi dan makrofag antara lain fibronektin epidermal growth

factor (EGF), transforming growth factor (TGF)α, TGFβ dan insulin like

growth factor (IGF)-125.

Setelah terjadi pelekatan dan penyelamatan jaringan endometriosis

tersebut maka reaksi dari makrofag tersebut ada melakukan perusakan jaringan

untuk memulai terjadinya invasi jaringan dengan mengadakan proses

proteolitik. Pada proses ini dibutuhkan degerasi lokal dariECM.

Akhir-akhir ini, Marbaik dkk dan Kokorine dkk mengamati bahwa

penurunan konsentrasi P pada akhir dari siklus menstruasi akan mengawali

sintesis dan aktivasi dari matriks metalloproteinase (MMPs) yang menyebabkan

kerusakan ECM, jaringan menjadi kolaps dan menstruasi. Kehadiran

kolagenase dapat dibuktikan selama periode menstruasi dan kemungkinan

terdapat pada cairan peritoneum, bersama dengan regurgitasi dari sel-sel

endometrium, dapat menjadi salah satu elemen pada degenerasi lokal dari ECM

peritoneum. Adapula yang menyatakan adanya estrogen atau progresteron

dibutuhkan untuk implantasi atau pertumbuhan dini dari sel endometrium2.

Baru-baru ini, Kokorine dkk mendeteksi keberadaan dari MMPs pada lesi

merah di peritoneum dan pada endometrioma pada ovarium yang tidak

tergantung pada siklus menstruasi, diperkirakan banyaknya lesi dapat mewakili

MMPs tersebut tidak tergantung pada penurunan konsentrasi P. Hipotesis ini

didasari dengan mentasah propeptid aminoterminal tipe III prokolagen pada

cairan peritoneal yang merupakan tanda dari peningkatan metabolisme dari

ECM.

Setelah terjadinya kerusakan pada membrana basalis maka terjadilah

proses migrasi pada organ pejamunya. Studi secara in vitro menunjukkan

Page 16: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

kemampuan invasi dari sel endometriosis mempunyai bagian dalam patogenesis

pada endometriosis pada rongga pelvik yang didiskripsikan oleh Jenkin dkk dan

berkorelasi dengan prinsip transplantasi dari sel-sel eksfoliatif. Data-data ini

memberi kesan bahwa pemaparan peritoneum pelvik dengan refluks dari darah

haid dan menghasilkan peningkatan resiko terjadinya endometriosis. Sebab

regurgitasi darah haid dipertimbangkan merupakan fisiologik yang muncul

pada wanita dengan tuba yang paten, tetapi tidak semua wanita mengalami

endometriosis.

Pada tahap ini didapatkan jaringan kelenjar muncul dibawah mesotel

sebagai kista (papul yang berekskresi) atau sebagai polip (vesikel). Kelenjar

berupa papul ini menonjol dari permukaan mesotel dengan lesi yang dapat

dengan vaskularisasi yang halus. Vesikel endometriosis tampak sebagai

lepuhan atau sekelompok lepuhan pada mesotelium. Pada lesi ini pada

gambaran endoskopik mulai tampak pengisian cairan-cairan serosa, Cairan

hemoragik atau merah mudah yang dikelilingi oleh vaskularisasi yang

berbentuk sentripetal.

Pada lesi-lesi ini jaringan endometriosis polipoid muncul dari kelenjar

yang robek dan pada tahap awal lesi papul dan vesikel ini banyak mengandung

pembuluh darah dan belum terdapat jaringan fibrotik. Lesi merah seperti api

dan lesi kelenjar berekskresi merupakan stadium awal dari implantasi dini

kelenjar dan stroma endometrium.

Pada studi ini vivo diperlihatkan lesi merah hemoragik sangat aktif

memproduksi prostoglandin. Pada tampilan 3 dimensi tampak bentuk kelenjar

tersebut merupakan struktur yang bercabang di bawah mesotel dan dapat

terlihat karena adanya sekresi, perdarahan atau terjadi diskuamasi.

Akhir-akhir ini lesi papul atau vesikel merah ini ditemukan hilang timbul

seperti jamur pada permukaan peritoneal. Sehingga hilangnya tampilan pada

saat dilakukan laparoskopi setelah pengobatan hormonal tidak menjadi lesi

hilang dan pemberian terapi hormonal dalam waktu lama dapat memberikan

kedok pada lesi tersebut.

Page 17: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

3. Lesi aktif lanjut (klasik)

Pada tahap ini terjadi proses angiogenesis. Vaskularisasi susukan endometriosis

kemungkinan adalah salah satu dari faktor yang terpenting pada pertumbuhan

dan invasi ke jaringan lain oleh kelenjar endometriosis.

Tampilan 3 dimensi dari lokasi jaringan vaskuler yang berada antara lesi

merah dan peritoneum menunjukkan adanya peran angiogenesis di dalamnya.

Vaskularisasi yang tinggi pada stroma memberi kesan adanya induksi

angiogenesis oleh implantasi melalui growth factor atau sitokin.

Salah satu dari growth factor angiogenesis ini adalah growth factor endotelial,

yang akhir-akhir ini dideteksi terdapat pada cairan peritoneum pada pasien

endometriosis. Studi imunohistokimia telah memperlihatkan adanya faktor-faktor

angiogenesis pada endometrium eutopik dan ektopik. Pada tahun 1993, Ferriani

dkk mendeteksi imunoreaktifitas dari growth factor fibroblas normal dan jaringan

endometrium dan endometrium ektopik. Pada penelitian lain ditemukan kadar

antigen CA 125 meningkat pada endometriosis22,26.

Pada lesi ini terdapat proses inflamasi, fibrosis, perdarahan dan pigmentasi

sehingga sering disebut sebagai lesi klasik. Lesi-lesi ini sangat mudah dikenali

sebagai endometriosis. Dengan terjadi fibrosis maka respon hormonal pada lesi-

lesi ini menjadi berkurang. Redwine mendapatkan lesi-lesi papul dan vesikel

merah muncul lebih dahulu dari lesi gelap atau lesi hitam.

Bermacam-macam gambaran lesi tampak pada semua sebaran usia reproduksi

seperti dibawah ini (tabel 1).

Tabel 1. Gambaran macam-macam lesi endometriosis menurut umur Dikutip dari Evers23

Page 18: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

4. Lesi penyembuhan

Selama kehidupan reproduksi lesi tanpa fibrosis dan dengan fibrosis terdapat

bersama-sama, tetapi lesi fibrotik timbul setelah lesi kelenjar atau lesi merah

menghilang dari peritoneum. Lesi-lesi aktif awal akan menghilang secara

spontan atau menjadi lesi fibrotik. Dengan meningkatnya jaringan fibrotik respon

terhadap hormonpun menjadi berkurang.

IV. PERUBAHAN IMUNOLOGIS PADA ENDOMETRIOSIS PERITONEAL

Untuk mempertahankan kehidupannya manusia memerlukan sistem kekebalan yang

digunakan untuk melindungi tubuhnya dari bahaya yang akan ditimbulkan oleh

berbagai bahan disekitarnya.

Sistem pertahanan tubuh tersebut terdiri dari :

a. Sistem imun non spesifik (alamiah)

b. Sistem imun spesifik (didapat)

Pertahanan non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi

serangan berbagai mikroorganisme. Komponen-komponen sistem imun non spesifik

itu terdiri dari pertahanan fisik dan mekanik, petahanan biokimiawi, pertahanan

humoral dan pertahanan selular.

Sedangkan pertahanan spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal

benda yang dianggap asing bagi dirinya. Sistem pertahanan spesifik ini dibagi atas :

a. Sistem imun spesifik humoral yang berupa limfosit B dan sel B

b. Sistem imun spesifik selular berupa limfosit T.

Pada endometriosis didapatkan adanya perubahan dari sistem imun tersebut berupa

defisiensi dari sistem imun. Dari studi penderita endometriosis didapatkan

perubahan beberapa komponen imunologi pada zalir peritoneal antara lain makrofag

fagosit, monosit sel NK, limsosit Tc, sel B, mediator inflamasi seperti komplemen

dan sitokin, dan sel-sel perusak sel endometriosis yang memungkinkan terjadinya

perlekatan, migrasi dan angiogenesis. Sesuai dengan teori Meyer yang disebutkan

bahwa endometriosis terjadi akibat rangsangan pada sel-sel epitel selom yang

terjadi masih bersifat pluripoten yang berdiferensiasi tinggi sehingga terbentuk

jaringan endometriosis. Adapun bentuk rangsangan yang terjadi pada endometriosis

Page 19: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

peritoneal adalah terjadinya reaksi inflamasi yang terus menerus terjadi akibat

adanya regurgitasi darah haid yang terjadi pada 80-90 % wanita normal dengan

tuba paten. Kejadian ini akan berulang secara siklik setiap bulannya. Darah haid

tersebut terdiri dari cairan ekstraselular, darah, jaringan endometrium yang lepas

yang mengandung sel-sel endometrium baik yang mati maupun yang masih hidup

(viable). Regurgitasi ini terjadi akibat kontraksi uterus yang ritmik atas pengaruh

prostaglandin F2 pada saat haid dan terjadi pula hipotoni relatif dari sambungan

uterotuba (uterotubal junction).

Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel endometrium dalam cairan

peritoneal mencapai 90 % pada wanita normal 25,26. Jumlah darah haid yang

terkumpul berbeda-beda dari satu individu dengan individu lain, demikian pula

dengan lamanya paparan regurgitasi yang terjadi 12. Crainer menghubungkan

periode siklik yang cepat dan jumlah darah yang banyak merupakan salah satu

risiko yang memperberat keadaan tersebut27.

Dari analisis biokimiawi sel-sel endometrium yang berada pada debris darah

haid ternyata mengandung PGF2α dan pengaruh hormon seks steroid terhadap sel ini

menunjukkan kemampuan mitosis yang lebih tinggi di banding sel endometrium27.

Setelah terjadinya regurgitasi tersebut, debris haid yang masuk ke rongga

peritoneum mengandung sel darah, jaringan-jaringan yang mati dan sel-sel

endometrium yang mati maupun yang masih hidup. Ini semua dibersihkan oleh satu

sistem pembersih dan penghancuran sebagai respon dari rongga peritoneum. Sistem

ini disebut sebagai sistem pengumpulan dan pembuangan sampah haid (Garbage

Collection and Disposal System)28.

Sistem pembersih ini mempunyai kemampuan terbatas baik kuantitas maupun

kualitas dari sampah haid yang ada atau biasanya disebut sebagai buang yang tidak

mencukupi (disposal insufficien)28.

Sistem ini berlangsung berulang-ulang sesuai siklik haid yang terjadi, oleh

sebab itu faktor imunitas berperan sangat penting29. SPPSH atau GCDS ini

diperankan oleh sistem imun humoral atau selular.

Page 20: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Pada sistem SPPSH yang dimediakan oleh imunitas selular dilakukan oleh sel

limfosit T baik itu T cytoxic, T helper, T suppresor, monosit dan makrofag pada sel

NK dan sel K.

Makrofag

Makrofag merupakan tipe sel yang paling banyak ditemukan pada zalir peritoneal

dan memegang peranan dalam patogenesis endometriosis. Pada pasien

endometriosis dengan infertilitas didapatkan makrofag aktif dan sekresi produksi

makrofag seperti enzim proteolitik, sitokin dan faktor pertumbuhan (growth factor)

lebih banyak dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis30.

Adapun makrofag penghuni (resident) peritoneum ini mempunyai aktivitas31 :

1. Memproses antigen dan mempresentasikan kepada limfosit.

2. Memproduksi IL-1 dan mengaktivasi limfosit.

3. Memproduksi sitokin dan mengaktivasi respon makrofag-makrofag.

4. Menstimulasi produksi promonosit dan monosit dan mengaktivasi makrofag

pada rongga peritoneum.

5. Memproduksi TNF, prostaglandin dan faktor-faktor komplemen.

6. Memfagositosis sel Target dan mengaktifasi sitotoksik.

7. Perusakan jaringan.

8. Pembentukan perlekatan dan penyelamatan jaringan.

9. Perbaikan jaringan (fibroblast stimulating factor, fibronectin, elastase,

kolagenase).

Pada cairan peritoneal penderita endometriosis didapatkan banyak mengandung

makrofag. Makrofag ini kemudian memproduksi hormon pertumbuhan (growth

hormon). Growth hormon tersebut berhubungan dengan proses susukan pada

endometriosis dan memelihara pertumbuhan endometriosis tersebut.

Adapun growth hormon tersebut antara lain :

1. Platelet derived growth factor.

Hormon ini bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi dan proses mitogen

untuk fibroblas dan sel angiogenik.

Page 21: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

2. Transforming growth factor.

Faktor pertumbuhan ini mempunyai aktivitas sebagai mitogen pada sel

endometriosis yang berperan dalam inflamasi dan memelihara kehidupan

endometriosis.

3. Transforming growth factor α (TGF -α)

Hormon ini mengikat reseptor EGF, menstimulasi proliferasi pada sel-sel

stroma. Hormon ini juga menginduksi terjadinya endometriosis, bersifat

menginduksi terjadinya fibrosis, proses angiogenesis, juga dapat menghambat

fungsi limfosit T, limfosit B dan NK.

4. Epidermal growth factor (EGF)

EGF ini menginduksi proliferasi dari sel endometrium.

5. Sel U 937

Sel dengan aktifitas mitogen untuk fibroblas dan sel otot-otot polos.

6. Vaskular endothelial growth factor.

Merupakan glikoprotein yang mempromosikan sel endometrium tumbuh pada

invivo dan menginduksi terjadinya angiogenesis.

Faktor-faktor tersebut juga besifat kemotatik dan mengumpulkan sel-sel

inflamasi. Salah satu yang diproduksi oleh makrofag peritoneal adalah fibronektin

yang mempunyai kemampuan sebagai pelekat, fibronektin ini berupa protein

molekul besar.

Setelah terjadi migrasi dari jaringan endometriosis ini kemudian makrofag tersebut

memberikan reaksi perbaikan jaringan dengan terbentuknya jaringan parut dengan

bantuan proses kolagenase, tetapi lesi-lesi dalam keadaan ini dapat aktif kembali

bila terdapat penurunan imunitas dari pejamunya.

Sel B peritoneal dan imunoglobulin

Sejak 10 tahun yang lalu telah diperkirakan pasien-pasien dengan endometriosis

mempunyai autoantibodi dan IgG yang utama. Kosentrasi autoantibodi ini

berbanding terbalik dengan luasnya penyakit. Pada pasien endometirosis dapat kita

Page 22: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

dapatkan antibodi antiendometrial yang titernya berkolerasi dengan derajat beratnya

penyakit.

Gleicher dkk menyatakan bahwa sindroma autoimun ini disebabkan oleh sel B

poliklonal teraktifkan. Pada analisis immunophenityping didapatkan sel

mononuklear di zalir peritoneal tetapi tidak memperhatikan perubahan kuantitatif

pada populasi sel B. Proporsi sel B pada zalir peritoneal tidak berhubungan dengan

beratnya endometriosis 31.

Sel Natural Killer (NK)

Oosterlynck dkk melaporkan tidak efektifnya aktivitas sel NK pada pasien

endometriosis menyebabkan gangguan pembersihan debris darah haid dan jaringan

endometriosis32.

Hirata dkk berpendapat terdapat faktor imunosupresi yang dihasilkan oleh jaringan

endometriosis yang menyebabkan penurunan aktifitas sel NK. Weed dkk,

menemukan tidak terdapat cacat secara kuantitatif dari penurunan aktifitas NK pada

zalir peritoneal atau pada darah tepi. Bahkan Hill dkk19 melaporkan populasi sel

NK peritoneal meningkat pada endometriosis. Fungsi sel NK kemungkinan diatur

oleh sekret dari makrofag dan limfosit T.

Sel T

Karena sel T terlibat dalam sistem imun untuk menolak transplantasi homologous,

terdapat beberapa perubahan fungsi sel T terjadi pada wanita dengan endometriosis.

Perubahan tersebut bukan karena jumlah yang menurun melainkan fungsinya

berkurang. Beberapa studi menyatakan rasio Th/Ts (CD4/CD8) meningkat pada

darah perifer dan zalir peritoneal pada penderita endometriosis.

Sel T dapat mempengaruhi sel B, makrofag-makrofag, sel NK dan sel T sendiri.

Pada endometriosis terjadi penurunan CD 25 pada zalir peritoneal dan darah perifer

dan penuruanan CD 69. Penurunan aktivitas sel T ini berhubungan dengan

penurunan produksi IL-2. Di bawah pengaruh makrofag melalui sitokin, bagian dari

sel T (Th 1 dan Th 2) dapat berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel yang aktif,

tetapi adanya pengaruh dari IL-10 yang banyak terjadi penekanan pada Th 1.

Page 23: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

SEL PERITONEAL PERUBAHAN RUJUKAN

Makrofag teraktifkan

Sel B

Sel B rosettes

Sel B (CD22/CD19)

Ig G, Ig A, Ig M

Sel T

Sel T rosettes

Sel T (CD3)

CD 25 CD3

Sel T proliferasi

CTL

CD4/CD8

Meningkat

Tidak berubah

Meningkat

Tidak berubah

Meningkat

Tidak berubah

Menurun

Meningkat

Meningkat

Tidak berubah

Menurun

Menurun

Menurun

Meningkat

Menurun

Tidak berubah

Halme38

Oosterlynck39

Badawy40

Wu MY41

Badawy40

Olive42

Cofino E43

Badawy40

Khorram44

Oosterlynck39

Wy MY41

Ho HN45

Stelle RW46

Badawy40

Oqsterlynck39

Wu MY41

Tabel 2. Perubahan makrofag, sel B dan sel T pada wanita dengan endometriosis Dikutip dari Ho Hong33

Sitokin

Pada para penderita endometriosis didapatkan pula perubahan sitokin pada zalir

peritonealnya32. Seperti diketahui sitokin tersebut disekresi oleh makrofag. Adapun

macam-macam sitokin tersebut antara lain dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Page 24: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Sitokin Fungsinya

Interleukin-1

(IL-1)

Interleukin-2

(IL-2)

Interleukin-6

(IL-6)

Interleukin-10

(IL-10)

tumor

Necrosis

Factor-α

(TNF-α)

Interferony

(INFy)

TGFβ

Mengaktivasi sel T, menginduksi demam, meningkatkan

pertumbuhan, merangsang produksi limfokin diantaranya IL-2,

B cell growth factor, IFNy dan faktor kemotaktik

T cell growth factro (TCGF), mengaktivasi sel NK

sitotoksik dan sel Ts

Merangsang produksi IgM dalam sel B

Menghambat produksi sitokin dan pertumbuhan

mastosit

meningkatkan ekspresi reseptor terhadap IL-2, IFNy dari

sel T. menjadi sitotoksin langsung pada sel tumor

tertentu, merangsang tidur, demam

Meningkatkan MHC kelas II dari makrofag, meningkatkan

produksi IL-1 atas pengaruh endotoksin

Kemoreakton makrofag, menghambat sel T, sel B dan sel NK

Tabel 3. Sitokin dan fungsinya.

Dikutip dari Petrono1

Macam-macam sitokin yang mengalami perubahan pada penderita endometriosis

dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Sitokin Kadar

IL-1 IL-5 IL-6

IL-10 TGF β

IL-2 INFy

TNF α

Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat

Menurun Menurun

Meningkat Tabel 4. Kadar sitokin pada wanita dengan endometriosis Dikutip-dari-Bartosik19

Page 25: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Dari fungsi makrofag penghuni (resident) sebagai pengumpulan dan penyaluran

kotoran debris dari darah haid, makrofag tersebut memproses antigen dan

mempresentasikan kepada limfosit. Selain itu makrofag memproduksi sitokin

berupa IL-1 yang mengaktivasi dan meningkatkan proliferasi limfosit.

IL-1 secara umum terjadi akibat adanya inflasi, IL-1 juga terlibat dalam sintesa

prostaglandin sintesa protein dan memainkan peranan dalam fungsi imunitas. IL-1

aktif pada makrofag. IL-1 juga mengaktivasi sel T dalam memproduksi IL-2 dan

ekspresi dari IL-2 reseptor. Pada studi lain subpopulasi limfosit CD25CD3 ditekan

pada pasien endometriosis, sehingga diduga bahwa peningkatan IL-1, IL-6 dan

TNF-α menghasilkan reaksi inflasi pada jaringan endometrium ektopik pada rongga

peritoneum dan mengkontribusi progresivitas dari lesi endometrium.31

Makrofag terlibat pada fagositosis dan produksi sekresi pada reaksi inflasi.

Makrofag terlibat pada inisiasi dari respon inflamasi sebagai antigen keberadaan sel

dan pada fase aktif sebagai tumorisida dan mikrobisida sel. Dibawah stimulasi,

residen makrofag peritoneal memproduksi faktor-faktor yang menstimulasi

proliferasi dari monosit pada susunan darah.

Halme dkk menemukan peningkatan aktivitas makrofag peritoneum pada wanita

infertil dengan endometriosis ringan. Enzim proteolik, lisosim, Y interferon,

interleukin 1dan 2, tumor necrosis factor (TNF) dan growth factor adalah produk

dari aktifitas makrofag.2,31,33

Menurut Dunselman dkk memperlihatkan makrofag yang aktif meningkat

secara in vivo, akan memfagositosis sel darah merah tetapi kerjanya tidak efektif.

Steel dkk menemukan penurunan sel T sitotoksik sedangkan Oosterlynck dkk

melaporkan aktifitas sel Nk yang tidak efektif pada pasien edometriosis dan

didapatkan penurunan imunitas sellular.34. Kadar kemotaktik makrofag teraktifkan

yang tinggi dan faktor-faktor yang berperan dalam pengambilan dan pengaktifan

makrofag, ditemukan pada cairan peritoneum dikontribusi oleh patogenesis

endometrium melalui sekresi sitokin dan growth factor. Akoum, dkk

mendemontrasikan fibrinoid dan sel epitel dari endometrium ektopik dapat

mensekresi kemotaktik spesifik dan faktor aktifitas yaitu monosit MPC-1

Page 26: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

(Monocyte Chemotactic Protein-1)34, setelah menstimulasi dengan IL-1β dan

TNFα. Peningkatan IL-1β dan TNFα pada cairan peritoneum pasien dengan

endometriosis kemungkinan dihasilkan dari sekresi jaringan endometrium yang

mampu memproduksi aktifitas atau faktor kemotaktik untuk marofag peritoneum.

IL-6 dan INFy yang dikenal mengatur respon imun. IL-6 mempermudah

proliferasi dari sel dan INFY menghambat proliferasi pada epitel. Pada penderita

endometriosis didapatkan IL6 yang meningkat dan IFNY yang rendah.

Pada tahun 1991, Oosterlynck dkk32 melaporkan kerusakan aktifitas sel NK, pada

pasien-pasien dengan endometriosis, juga terjadi penurunan imunitas selular.

Temuan ini dapat memberi kesan bahwa pada pasien dengan endometriosis,

makrofag tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk membersihkan rongga

pelvik dari debris regurgitasi. Rana dkk melaporkan stimulasi pada in vitro

meningkatkan secara bermakna produksi makrofag seperti :tumor Necrosis factro-α

(TNF-α), IL-8 dan IL-10 pada cairan peritoneum pasien dengan endometriosis29

TNF-α dan IL-8 adalah proinflamator sitokin dan terlibat pada proses angiogenesis.

Lebih lanjut TNF-α dapat memfasilitasi proses perlekatan dari sel-sel stroma pada

mesotel secara in vitro. Penurunan konsentrasi IFNY merupakan sebab atau hasil

dari supresi sel NK.

Pada studi terakhir diperlihatkan bahwa terdapat peningkatan ekspresi

aktivitas dari sel T pada endometriosis dan menunjukkan bahwa sitokin

mengaktivasi sel T dan terlibat dalam pengaturan proses selular dari jaringan

endometriosis. Sitokin ini memodulasi jaringan endometrium dan faktor

imunosupresi juga terlibat pada perkembangan dari endometriosis ini. Pada cairan

peritoneal pasien endometriosis terdapat peningkatan sitokin dan sitokin tersebut

mempengaruhi imunitas selular dan mengatur regulasi proliferasi sel endomentriosis

pada rongga tubuh dapat digambarkan sebagai berikut :

Page 27: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

Gambar 7. Skema interaksi sel-sel imun dan jaringan endometriosis pada rongga tubuh31

Dikutip dari Ho Hong31

Sesuai aturan pada trauma atau inflamasi Van der Linder dkk melakukan kultur dari

sel-sel endometriosis pada membran amnion. Perlekatan pada sel-sel endometrium

pada permukaan epitel belum pernah didapatkan ketika epitel masih utuh. Pada

penelitian ini didapatkan bahwa pada epitel yang utuh mekanisme pertahanan

merupakan hal yang penting dalam mencegah perlekatan dari fragmen endometrium

pada peritoneum31.

V. RINGKASAN

1. Patogenesis endometriosis dapat diterangkan dengan teori metaplasia.

2. Adanya gangguan sistem imun merupakan salah satu dasar terjadinya

endometriosis.

3. Pada penderita endometriosis terjadi penekanan aktivitas sel NK dan limfosit T.

4. Endometriosis peritoneal dengan ragam tampilannya berbeda-beda sesuai tahap

evolusinya.

5. Lesi merah merupakan lesi yang teraktif dan paling banyak mengandung

pembuluh darah.

6. Penggunaan istilah kekambuhan pada penyakit ini kurang tepat mengingat

penyakit ini didasari oleh penyakit autoimun.

Page 28: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

VI. RUJUKAN 1. Patrono C. Arachdoic acid metabolin in the ovary: biochemistry, metology and physiologi. In

Serra B. (ed). Comprehensive Endocronology: The ovary. New York: Raven Press, 1983:45-56. 2. Nisolle M, Donnez J. Peritoneal endometriosis, ovarian endometriosis and adenomyotic nodules

of rectovaginal septum are three different entities. Fertil Steril 1997; 68: 585-96 3. Nisolle. M. et.al. Histogenesis of peritoneal endometriosis; in: Endometriosis advanced

management and surgical techniques. New York. Springer-Verlag. 1995: 19-25 4. Baziad A, dkk. Endometriosis. Dalam endokrinologi. KSERI. Jakarta . 1993. 107-24 5. Evers J. L. H. Do all women have endometriosis? Reflection on pathogenesis. In: Endometriosis

today advances in reseach and practice. England. The Parthenon Publishing Group : 1997; 14-20 6. Candiani G, et. Al. Recurent endometriosis. In : Endometriosis advanced management and

surgical techniques. New York. Springer-Verlag. 1994: 159-71 7. Wheeler James M, Malinak L.R. Recurrent endometriosis: incidence, management and prognosis.

Am. J. Obset. Gynecol 1983; 146-52 8. Chandra A, K Yanto, Jacoeb T.Z. Rekurensi endometriosis pasca terapi operatif dan hormonal.

Bagian Obstetri dan Ginekologi KFUI/RSCM. 1995 9. Martin DC, et.al. Laparoscopic appearances of peritoneal endometriosis. Fertil Steril. 1989; 51;63 10. Berger G. S. Epidemiology of endometriosis. In: Endometriosis advanced management and

surgical techniques. New York. Springer-Verlag. 1994. 3-7 11. Baziad A, Affandi B. Paduan penanganan endometriosis. BP FKUI. Jakarta 1997 12. Hooghe T M, Hill Joseph A. Endometriosis. In; Novak’s Gynecology. 12 th ed. Williams &

Wilkins. Baltimore, Maryland. 1996. 887-914 13. Kitchin IH. J.D, Nunley W.C. Endometriosis. Clinical Gynecology. 1998; 20; 1-28 14. Harada T, et al. Inscreased interleukin-6 levels in pertoneal fluid of infertile patients with active

endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1997; 176; 593-7 15. Weed JC, Arquemborg PC. Endometriosis: Can it produce an autoimmune response resulting in

infertility? Clin Obstet Gynecol 1980;23; 885-93 16. Jacoeb T.Z, Faktor imunneondokrinologis dan seluler lingkungan mikro zalir pertioneal yang

berperan pada infertilitas idiopatik wanita. Disertai. FKUI. Jakarta 1990 17. Rier S E, et al. Endometriosis in rhesus monkeys following chronic exposure to 2,3,7,8-

tetrachlorodibenzo-dioxin. Fundamental and Applied Toxicology 21. 1993: 433-41 18. Hill. J.A, et al. Characterization of leukocyte subpopulations in the peritoneal fluid of women

with endometriosis. Fertil Steril 1988; 50:216-222 19. Bartosik D. Immunologic aspects of endometriosis. Seminars in reproductive Endocrinology

1985: 299-337 20. Mathur, et al. Target antigen(s) in endometrial autoimmunity of endometriosis. Autoimmunity

1995; 20; 211-22 21. Shaw R.W. Endometriosis: London. Blackwell Science Ltd. 1995. 18 22. Brosens Ivo, et al. Pathogenesis of endometriosis. In: Endometriosis advanced management and

surgical techniques. New York. Springer Verlag. 1995; 9-25 23. Evers J.L.H. The immune system in endometriosis. Introduction. In: endometriosis today

advances in research and practice. England. The Parthenon Publising Group. 1993; 223-33 24. D’Hooge T M, et al. The effects of immunosuppression on development and progression

endometriosis in baboons (Papio anubis). Fertil Steril. 1995; 64: 1972-8 25. Harada T, et al. Increased interleukin-6 levels in peritoneal fluid of infertile patients with active

endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1997;176;593-7 26. Ho Hong N, et al. Decrease in interferon gamma production and impairment of T lymphocyte

proliferation in peritoneal fluid of women with endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1996; 175: 126-41

27. Crainer D A. Incedence and causes of pelvic adhesions. In: infertility and reproductive medicine. Clinic of North America. 1994; 5: 391-404

28. Vernon M.W. Biochemical activity: Differential responsivencess of endometriotic implants. In: The current status of endometriosis research and management. New York. Pathenon Publising Group. 1993; 185-206

Page 29: Perubahan Imunologis Pada Endometriosis

29. Metzger D.A. Cyclic changes in endometriosis implant. In: The current status of endometriosis reasearch and management. New York. Parthenon Publising Group. 1993; 89-108

30. Punnonen J, et al. Increased level of interleukin-6 and interleukin-10 in the peritoneal fluid of patients with endometriosis. Am J Obstet Gynecol 1996; 174: 152-6

31. Ho Hong N, et al. Peritoneal cellular immunity and endometriosis. AJRI. 1997; 38; 400-12 32. Rana N, et al. Basal and stimulated secretion of cytokines by peritoneal macrofages in women

with endometriosis. Fertil Steril. 1996: 925-30 33. Ho Hong N, et al. Decrease in interferon gamma production and impairment of T lymphocyte

proliferation in peritoneal fluid of woment with endometriosis. Am J Obstet Gynecol. 1996; 175: 126-41