Top Banner
PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK PERSEROAN TERBATAS YANG DINYATAKAN PAILIT KARYA ILMIAH Oleh: KETUT OCTANIA FINETA DIARSA 13300011 UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA FAKULTAS HUKUM 2017
35

PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

Jun 15, 2018

Download

Documents

trinhliem
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK

PERSEROAN TERBATAS YANG

DINYATAKAN PAILIT

KARYA ILMIAH

Oleh:

KETUT OCTANIA FINETA DIARSA

13300011

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

FAKULTAS HUKUM

2017

Page 2: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

1

PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK

PERSEROAN TERBATAS YANG

DINYATAKAN PAILIT

Ketut Octania Fineta Diarsa

Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Jl. Dukuh Kupang XXV No.54, Surabaya 60225

Email : [email protected]

ABSTRAK

Perseroan Terbatas (PT) yang bertanggung jawab menyelesaikan kewajiban membayar

utang pajak. PT diwakili oleh direksi sesuai Undang-Undang Perseroan Terbatas maka

pertanggungjawabannya ada pada direksi sebagai penanggung pajak. Sesuai Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan

Penetapan Besarnya Penghapusan, putusan pailit Pengadilan Niaga hanya menghentikan roda

perusahaan namun tidak menghentikan utang pajak. Penerapan putusan pailit Pengadilan

Niaga terjadi karena ketidak harmonisan antara Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan.

Kata kunci: kreditor, kepailitan, utang pajak, penghapusan piutang pajak.

ABSTRACT

Company Limited (PT) is responsible for completing the obligation to pay the tax debt.

PT represented by the directors in accordance Limited Liability Company Act, the

responsibility is on the board of directors as a guarantor taxes. In accordance Finance

Minister Decree Number 68 Year 2012 on Procedures for Removal of Tax Receivables and

Determination of magnitude Removal, Commercial Court bankruptcy decision only stop the

wheels of the company but do not stop the tax debt. Implementation of the Commercial Court

bankruptcy decision occurs because of disharmony between the Law on Bankruptcy and

Suspension of Payment by Law General Provisions and Tax Procedures.

Keywords: creditor, bankruptcy, tax payable, tax receivables write-off.

Page 3: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

2

PENDAHULUAN

Naamlooze Vennootschap yang

disingkat NV, adalah awal penyebutan

Perusahaan Terbatas di masa Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya

lebih sering disebut sebagai Perseroan

Terbatas (PT), merupakan sebuah badan

hukum dan dalam menjalankan usahanya

dapat melakukan perjanjian utang piutang.

Perbuatan hukum ini menjadi sebuah

permasalahan ketika pihak peminjam yang

kemudian disebut Debitor tidak dapat

mengembalikan utangnya kepada Kreditor

sesuai waktu yang tertera dalam perjanjian,

sehingga jatuh tempo dan tidak

terbayarkan.

Ketidakmampuan Debitor dalam

memenuhi kewajibannya untuk melunasi

utangnya membuat Kreditor tidak

mendapatkan kembali haknya sesuai

perjanjian, sehingga pihak Kreditor dapat

mengajukan permohonan pailit atas

Debitornya, berdasarkan pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya

disebut UU KPKPU, adalah Debitor yang

mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor dan

tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh tempo dapat ditagih.

Keharusan adanya dua Kreditor yang

disyaratkan dalam UU KPKPU merupakan

pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132

Burgerlijk Wetboek (BW)1. Pasal 1132

BW menyatakan:

Kebendaan tersebut menjadi jaminan

bersama-sama bagi semua orang

yang mengutangkan padanya,

pendapatan penjualan benda-benda

itu dibagi-bagi menurut

keseimbanganya itu menurut besar

kecilnya piutang masing-masing,

kecuali apabila di antara para

berpiutang itu ada alasan-alasan yang

sah untuk didahulukan.

Utang adalah titik permulaan dari

serangkaian prosedur acara kepailitan.

Permohonan pailit beranjak dari sengketa

yang timbul akibat Debitor yang tidak

membayar utangnya. Sebagaimana

pendapat Hadi Shubban, Utang merupakan

raison d'etre dari kepailitan2. Hal ini

dialami oleh PT. Putra Mapan Sentosa (PT.

PMS), utang yang tidak dapat dilunasi oleh

PT. PMS terjadi karena beberapa hal, yaitu

perseroan ini terkena kasus penipuan Surat

Setoran Pajak (SSP) fiktif oleh oknum

pegawai konsultan pajak yang digunakan

oleh perseroan tersebut, kerugian usaha

karena adanya kasus SSP fiktif membuat

kredibilitas PT. PMS menjadi buruk,

sehingga banyak rekan bisnis PT. PMS

yang tidak mau berbisnis lagi bahkan

1 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,

Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, 2003,

Jakarta, Rja Grafindo Persada, h. 141. 2 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip,

Norma dan Praktik di Pengadilan, 2008, Jakarta,

Kencana, h. 34.

Page 4: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

3

supplier tidak bersedia mensuplai barang

dan beberapa alasan lainnya.

Keadaan tersebut membuat PT. PMS

kesulitan mengembangkan usahanya dan

tidak mampu lagi membayar utang-utang

perusahaan kepada para Kreditor.

Berdasarkan hal tersebut salah satu

Kreditor mengajukan permohonan pailit

terhadap PT. PMS (Debitor) ke Pengadilan

Niaga Surabaya dan permohonan

dikabulkan dengan keluarnya Putusan No.

39/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby, bahwa PT.

PMS dinyatakan pailit karena insolvency.

PT. PMS, dalam proses permohonan

kepailitan tidak ditawarkan rencana

perdamaian berdasarkan Pasal 178 ayat (1)

UU KPKPU menyatakan:

Jika dalam rapat pencocokan piutang

tidak ditawarkan rencana

perdamaian, rencana perdamaian

yang ditawarkan tidak diterima, atau

pengesahan perdamaian ditolak

berdasarkan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap,

demi hukum harta pailit berada

dalam keadaan insolvensi.

Direksi dalam hal ini Debitor PT.

PMS dapat melakukan permohonan pailit

atas perusahaannya sendiri, hal ini sesuai

Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU menyatakan,

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih

Kreditor dan tidak membayar lunas

sedikitnya satu utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit

dengan Putusan Pengadilan, baik atas

permohonannya sendiri maupun atas

permohonan satu atau lebih Kreditornya.”

Hal ini juga sesuai dengan Pasal 4 UU

KPKPU, bahwa:

(1) Dalam hal permohonan

pernyataan pailit diajukan oleh

Debitor yang masih terikat

dalam pernikahan yang sah,

permohonan hanya dapat

diajukan atas persetujuan suami

atau istrinya.

(2) Ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku apabila tidak ada

persatuan harta.

Pengajuan permohonan pailit

tersebut, Direksi PT. PMS tentu telah

memperkirakan hal-hal yang akan akan

terjadi apabila permohonan pailit atas PT.

PMS tersebut dikabulkan. Selain

mempunyai utang kepada beberapa

Kreditor PT. PMS juga masih mempunyai

utang pajak yang belum terbayarkan.

Direksi PT. PMS telah tidak

memiliki kemampuan untuk melakukan

pembayaran atas utang-utangnya kepada

para Kreditor termasuk utang pajak yang

belum terbayarkan. Berdasarkan alasan

itulah Kreditor mengajukan permohonan

pailit ke pengadilan niaga. Direksi PT.

PMS berharap agar dengan telah

dinyatakan pailitnya PT. PMS yang

dikarenakan terkena kasus penipuan Surat

Setoran Pajak (SSP) fiktif oleh oknum

pegawai konsultan pajak yang digunakan

Page 5: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

4

oleh perseroan, maka sudah tertutup

kemungkinan penagihan atas utang kepada

Kreditor dan utang pajak tetapi dalam

praktiknya tidak demikian.

Putusan pailit atas PT. PMS dengan

alasan insolvency, tidak menghapus

kedudukan negara untuk menagih

tertanggungnya utang pajak. Negara

mempunyai hak mendahulu yang meliputi

pokok pajak, bunga, denda, kenaikan dan

biaya penagihan pajak, hal ini sesuai

dengan yang disebutkan dalam Pasal 21

ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-undang

Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang

menyatakan: “Negara mempunyai hak

mendahulu untuk utang pajak atas barang-

barang milik Penanggung Pajak”.

PT. PMS setelah dinyatakan pailit,

Direksi PT. PMS secara pribadi juga harus

membayar utang pajak yang masih belum

terbayarkan dan terus berlangsung sampai

ada pelunasan utang pajak tersebut.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas (UU PT), menyatakan:

“Pemegang saham Perseroan tidak

bertanggung jawab secara pribadi atas

perikatan yang dibuat atas nama Perseroan

dan tidak bertanggung jawab atas kerugian

Perseroan melebihi saham yang dimiliki.”

Namun dalam kasus ini, secara

pribadi direksi yang juga sebagai

pemegang saham PT. PMS harus

menanggung segala akibat hukum dari

dikabulkannya permohonan pailit tersebut.

Setelah adanya putusan pailit, direksi

menanggung segala kerugian sampai ke

harta pribadinya yang merupakan tagihan

atas utang pajak yang belum terbayarkan,

bahkan rekening banknya telah di blokir

oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP),

selain itu juga telah dilakukan pencekalan

untuk keluar negeri dan terancam ditahan.

Tindakan ini diambil oleh Direktorat

Jenderal Pajak terhadap Direksi PT. PMS,

dikarenakan utang pajak yang terus

berjalan nilainya berdasarkan utang pajak

yang belum dibayar. Menurut Arjaya,

B.G.M. Widyapradnyana, “baik secara

langsung maupun yang akan timbul

dikemudian hari atau kontijen (utang pajak

terjadi secara terus menerus, (kontijen)

setiap tahun dengan ketentuan bahwa

tahun pajak mengikuti tahun kalender

kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan

tahun buku yang tidak sama dengan tahun

kalender).

Setelah adanya Putusan No.

39/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby, atas PT.

PMS, Direksi tetap menanggung utang

pajak perusahaan yang telah dipailitkan

tersebut. Berdasarkan hal tersebut akan

Page 6: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

5

menimbulkan masalah (konflik hukum)

sejauh manakah batasan tanggung jawab

Direksi Perseroan Terbatas atas utang

pajak dalam hal ini suatu badan hukum

yang dinyatakan pailit dan telah

mempunyai daya ikat putusan Pengadilan

Niaga terhadap utang pajak ditinjau UU

KUP, UU KPKPU, UU PT dan BW, maka

dari itu timbullah suatu masalah hukum

dalam kasus ini yang menarik untuk

menjadi pembatasan dalam penelitian ini.

Penelitian ini meneliti tentang

dampak hukum bagi Debitor yang telah

dipailitkan namun mempunyai utang pajak.

Tanggung jawab Direksi atas utang pajak

Perseroan Terbatas yang pailit adalah

sejauh saham yang dimiliki sesuai UU PT

ataukah hingga ke harta pribadi. Alasan

inilah yang membuat penelitian ini

dilakukan untuk mendapatkan keadilan

bagi Debitor.

Pada penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh alumni mahasiswa program

sarjana Universitas Wijaya Kusuma

Surabaya, yakni “Akibat Hukum

Penghapusan Piutang Pajak Atas

Kepailitan Perseroan Terbatas Bagi Para

Kreditor”, ditulis oleh Stefanus Kurniawan

Dharmadji. Rumusan masalah yang

dikemukakan adalah 1) Bagaimana suatu

Perseroan Terbatas dapat di putus pailit

serta hak-hak kreditor pasca putusan pailit

sesuai dengan ketentuan Undang-undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2) Apa akibat hukum penghapusan piutang

pajak atas kepailitan suatu Perseroan

Terbatas bagi para Kreditor. Pada

penelitian yang dilakukan oleh peneliti

pada penelitian ini berbeda dengan

penelitian terdahulu. Pada penelitian

terdahulu subjek penelitian difokuskan

pada sisi Kreditor sedangkan pada

penelitian ini subjek penelitian lebih

difokuskan kepada Debitor yaitu direksi

suatu Perseroan Terbatas.

Isu kepailitan menarik untuk dibahas

karena beban pembuktian dalam

permohonan pailit di pengadilan niaga

menurut UU KPKPU menggunakan

pembuktian sederhana. Secara materil

perbedaan pendapat yang mencolok

terletak pada unsur-unsur kepailitan dalam

Pasal 2 dan secara formil pada pembuktian

sederhana dalam Pasal 8 ayat (4) UU

KPKPU3.

RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang diatas,

maka perumusan masalah adalah sebagai

berikut :

3 Bambang Pratama, “Kepailitan dalam Putusan

Hakim ditinjau dari Perspektif Hukum Formil dan

Materil”, Jurnal Disparitas Yudisial Vol 7 No. 2,

2012, Komisi Yudisial, h. 158.

Page 7: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

6

1. Apakah Direksi Perseroan Terbatas

yang telah dinyatakan pailit

bertanggung jawab atas utang pajak

yang belum terbayarkan?

2. Apakah putusan pailit Pengadilan

Niaga mempunyai daya ikat terhadap

tanggung jawab membayar utang

pajak?

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian yang digunakan

adalah Penelitian Hukum Normatif yang

mengkaji hukum tertulis dari berbagai

aspek. Metode pendekatan yang

dipergunakan adalah Pendekatan

Perudang-undangan (Statute Approach)

dan Pendekatan Kasus (Case Approach).

Sumber-sumber penelitian hukum dapat

dibedakan menjadi sumber hukum primer

dan sekunder. Sumber primer merupakan

sumber hukum yang bersifat autoritatif

artinya otoritas. Sumber primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim. Sumber sekunder berupa semua

publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-

buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-

jurnal hukum dan komentar-komentar atas

putusan pengadilan.

Bahan hukum dikumpulkan melalui

prosedur inventarisasi dan identifikasi

peraturan perundang-undangan, serta

klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum

sesuai permasalahan penelitian4. Teknik

pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah Teknik Kepustakaan. Data yang

telah diperoleh dari hasil penelitian ini

disusun dan dianalisis secara interpretasi

hukum.

PEMBAHASAN

Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas atau dulu yang

lebih sering dikenal dengan sebutan N.V

(naamlooze vennootschap) ialah suatu

bentuk usaha yang banyak dipakai

pedagang-pedagang, pengusaha-pengusaha

dan sebagainya, untuk mencapai maksud

dan tujuannya dalam lapangan industri,

perdagangan dan sebagainya dan berstatus

badan hukum.

Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (Wetboek van Koophandel voor

Indonesie) yang selanjutnya disebut

KUHD sendiri tidak memberikan definisi

tentang Perseroan Terbatas dan hanyalah

mengatur perseroan ini secara terbatas dan

sederhana. Kata “perseroan” menunjuk

kepada modalnya yang terdiri atas sero

4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian HUkum, J,

2005, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, h.

41.

Page 8: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

7

(saham). Sedangkan kata “terbatas”

menunjuk kepada tanggung jawab

pemegang saham yang tidak melebihi nilai

nominal saham yang diambil bagian dan

dimilikinya5. Namun sebutan PT

(Perseroan Terbatas) itu telah menjadi

baku dalam masyarakat.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas, "Perseroan Terbatas, yang

selanjutnya disebut Perseroan, adalah

badan hukum yang merupakan persekutuan

modal, didirikan berdasarkan perjanjian,

melakukan kegiatan usaha dengan modal

dasar yang seluruhnya terbagi dalam

saham dan memenuhi persyaratan yang

ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta

peraturan pelaksanaannya".

Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas

menyatakan bahwa: “Direksi

bertanggungjawab atas pengurusan

Perseroan.” Ayat (2) menyatakan bahwa:

“Pengurusan Perseroan wajib dilaksanakan

setiap anggota direksi dengan itikad baik

dan penuh tanggung jawab. Pada ayat (3)

menyatakan bahwa”. Setiap anggota

direksi bertanggung jawab penuh secara

pribadi atas kerugian Perseroan apabila

yang bersangkutan bersalah atau lalai

5 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri

Hukum Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, 2000,

Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, h. 1.

menjalankan tugasnya sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (2).

Penafsiran pada ayat (3) diatas

menimbulkan ketidakjelasan, tentang

kalimat apabila yang bersangkutan

bersalah atau lalai menjalankan tugasnya

sesuai dengan ketentuan sebagaimana

dimaksud ayat (2). Apa kriteria yang

dipakai untuk menentukan bersalah dan

lalai dalam menjalankan tugasnya. Seperti

kasus PT. Putera Mapan Sentosa (PT.

PMS), penyebab utama terjadinya

insolvensi dalam perseroan tersebut adalah

kasus penipuan Surat Setoran Pajak (SSP)

fiktif, karena tersebar secara luas lewat

media, membuat perseroan ini menjadi

rusak kredibilitasnya, sehingga proses

usahanya terganggu. Berdasarkan hal itu

apakah akibat penipuan seperti itu

merupakan tanggung jawab direksi hingga

ke harta pribadinya.

Hukum Perseroan Indonesia

menganut system separate entity dan

limited liability. Perseroan merupakan

wujud atau entitas (entity) yang terpisah

dan berbeda dari pemiliknya dalam hal ini

pemegang saham (separate and distinct

from its owner)6. Limited Lialibity tidak

hanya berlaku bagi pemegang saham,

6 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan,

Cetakan Ketiga, Edisi Ketujuh, 2011, Jakarta, Sinar

Grafika, h. 57.

Page 9: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

8

tetapi juga berlaku bagi organ Perseroan

yang lainnya yaitu Direksi dan Komisaris.

Pada prinsipnya, segala tindakan

direksi yang dilakukan secara sah, dalam

arti sesuai dengan kewenangannya, untuk

dan atas nama perseroan, bukan untuk

kepentingan pribadi, maka tindakan yang

demikian itu merupakan tindakan

perseroan. Oleh karena itu, segala

konsekuensi yuridis atas tindakan

perseroan itu, baik atau buruk, untung atau

rugi, akan dipikul sendiri oleh perseroan.

Dengan demikian, segala

pertanggungjawaban yang timbul dari

perbuatan tersebut hanya dapat dibebankan

kepada badan hukum (PT) itu sendiri,

terlepas dari (harta kekayaan) pribadi

orang yang melakukan perbuatan itu. Hal

ini sesuai dengan karakteristik PT yang

kedudukannya mandiri dan pertanggung-

jawabannya terbatas. Namun demikian,

ada yang mengatakan bahwa tidak selalu

tindakan direksi itu mengikat PT yang

bersangkutan. Dalam arti, sungguhpun hal

itu merupakan tindakan perseroan, dalam

beberapa hal (kasus) masih terbuka

kemungkinan bagi perseroan untuk

melepaskan tanggungjawabnya, dalam arti

yang harus bertanggungjawab atas

tindakan tersebut adalah pihak direksi

secara pribadi, bukan perseroan7.

Utang Pajak

Pajak termasuk perikatan yang lahir

demi undang-undang (timbul dari undang-

undang saja). Cerminan dari aspek ini,

misalnya, adalah Wajib Pajak mempunyai

kewajiban membayar pajak (schuld) dan

apabila Wajib Pajak tidak mau membayar

pajak tersebut, maka Wajib Pajak dianggap

membiarkan harta bendanya diambil oleh

negara sebanyak hutang pajak tersebut

(haftung)8.

Secara sederhana hak dan kewajiban

ini dapat diklasifikasikan dalam dua bagian

yaitu dalam lingkup hukum (umum) yang

diistilahkan dengan legal rights dan dalam

lingkup administratif yang diistilahkan

dengan administrative rights. Dalam

pelaksanaannya utang pajak “Dapat

dipaksakan” mempunyai arti, apabila utang

pajak tidak dibayar, utang tersebut dapat

7 Abdul Rokhim, “Wewenang Direksi Dan

Akibat Hukumnya Bagi Perseroan Terbatas”,

Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Seri B, Vol.

6 No. 1, September 2001, Lembaga Penelitian

Universitas Islam Malang, h. 10-16. 8 Badrulzaman et all, Kompilasi Hukum

Perikatan: Dalam Rangka Memperingati Memasuki

Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun. Bandung: Citra

Aditya Bakti. Dalam Wan Juli, Joko Nur Sariono,

“Hak Dan Kewajiban Wajib Pajak Dalam

Penyelesaian Sengketa Perpajakan Di Pengadilan

Pajak”, Jurnal Perspektif Volume XIX No.3 Edisi

September Tahun 2014.

Page 10: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

9

ditagih dengan kekerasan, seperti surat

paksa, sita, lelang, dan sandera9.

Pengertian Penanggung pajak dalam

UU PPSP Pasal 1 angka 3 adalah orang

pribadi atau badan yang bertanggung

jawab atas pembayaran pajak, termasuk

wakil yang menjalankan hak dan

memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan.

Kegiatan penagihan tidak berhenti

meskipun Wajib Pajak/Penanggung Pajak

mengalami pailit. Pihak yang ditugasi

untuk melakukan pemberesan terhadap

Wajib Pajak/Penanggung Pajak harus

menggunakan harta Wajib

Pajak/Penanggung Pajak tersebut untuk

membayar utang pajak karena negara

memiliki hak mendahulu atas barang-

barang milik Penanggung Pajak. Dalam hal

ini negara mempunyai kedudukan sebagai

Kreditor preferen yang dinyatakan

mempunyai hak mendahulu atas barang-

barang milik Penanggung Pajak yang akan

dilelang di muka umum. Sedangkan

pembayaran kepada Kreditor lain

diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.

Ketentuan tentang hak mendahulu tersebut

meliputi: pokok pajak, sanksi administrasi

berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya

9 Toni Marshayrul, Penelitian Haryo

Sulistiriyanto 2011.

penagihan pajak. Hal ini sesuai Pasal 1137

BW yang menyatakan:

Hak didahulukan milik negara,

kantor lelang dan badan umum lain

yang diadakan oleh penguasa, tata

tertib pelaksanaannya, dan lama

jangka waktunya, diatur dalam

berbagai undang-undang khusus

yang berhubungan dengan hal-hal

itu. Hak didahulukan milik

persekutuan atau badan

kemasyarakatan yang berhak atau

yang kemudian mendapat hak untuk

memungut bea-bea, diatur dalam

undang-undang yang telah ada

mengenai hal itu atau yang akan

diadakan.

Selain itu, berdasarkan Pasal 21 ayat

(3) huruf a UU KUP menyatakan:

Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan

pailit, bubar atau likuidasi maka

kurator, likuidator atau orang atau

badan yang ditugasi untuk

melakukan pemberesan dilarang

membagikan harta Wajib Pajak

dalam pailit, pembubaran atau

likuidasi kepada pemegang saham

atau kreditor lainnya sebelum

menggunakan harta tersebut untuk

membayar utang pajak Wajib Pajak

tersebut.

Pasal 21 Ayat (4) UU KUP

menyatakan:

Hak mendahulu hilang setelah

melampaui waktu 5 (lima) tahun

sejak tanggal diterbitkan Surat

Tagihan Pajak, Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar Tambahan,

Surat Keputusan Pembetulan, Surat

Keputusan Keberatan, Putusan

Banding, atau Putusan Peninjauan

Page 11: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

10

Kembali yang menyebabkan jumlah

pajak yang harus dibayar bertambah.

Berdasarkan Pasal 32 UU KUP Ayat

(2) Wakil sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi

dan atau secara renteng atas pembayaran

pajak yang terutang, kecuali apabila dapat

membuktikan dan meyakinkan Direktorat

Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam

kedudukannya benar-benar tidak mungkin

untuk dibebani tanggung jawab atas pajak

yang terutang tersebut.

Pasal 97 ayat (4) UU PT: dalam hal

Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi

atau lebih, tanggung jawab sebagaimana

dimaksud pada Pasal 97 ayat (3) berlaku

secara tanggung renteng bagi setiap

anggota Direksi. Pasal 104 ayat (2) UU

PT, dalam hal kepailitan sebagaimana

dimaksud Pasal 104 ayat (1) terjadi karena

kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta

pailit tidak cukup untuk membayar seluruh

kewajiban Perseroan dalam kepailitan

tersebut, setiap anggota direksi secara

tanggung renteng bertanggung jawab atas

seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari

harta pailit tersebut.

Hapusnya utang pajak dapat

disebabkan beberapa hal yaitu: Pertama,

Pembayaran, Kedua, Kompensasi, Ketiga,

Daluwarsa, Keempat, Pembebasan dan

penghapusan10. Penyitaan harta

Penanggung Pajak telah diatur dalam

Undang-undang Penagihan Pajak dengan

Surat Paksa. Namun pembukaan rekening

dalam penyitaan harta Penanggung Pajak

di Bank diatur khusus dalam Peraturan

Pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh

Menteri Keuangan dalam Keputusan

Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 563/KMK.04/2000 tentang

Pemblokiran dan Penyitaan Harta

Kekayaan Penanggung Pajak yang

Tersimpan pada Bank dalam Rangka

Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Kepailitan Perseroan Terbatas

Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU

PT Nomor 40 Tahun 2007, Perseroan

Terbatas, yang selanjutnya disebut

Perseroan, adalah badan hukum yang

merupakan persekutuan modal, didirikan

berdasarkan perjanjian, melakukan

kegiatan usaha dengan modal dasar yang

seluruhnya terbagi dalam saham dan

memenuhi persyaratan yang ditetapkan

dalam Undang-Undang ini serta peraturan

pelaksanaannya.

Pada dasamya suatu Perseroan

memiliki beberapa legal rights (hak dalam

hukum) diantaranya: a) hak untuk

memiliki atau menguasai properti (right to

10 Mardiasmo, Perpajakan, 2008, Yogyakarta,

CV Andi Offiset, h. 8.

Page 12: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

11

own property), b) hak untuk mengadakan

atau membuat suatu perjanjian (right to a

corporate seal), c) hak untuk menuntut dan

dituntut di muka pengadilan (right to sue

or to be sue).

Menurut Agus Budiarto, yang

mengutip dari bukunya Sutantya dan

Sumatoro, dari Pasal 36, 40, 42 dan 45

KUHD disimpulkan bahwa suatu

Perseroan Terbatas mempunyai unsur-

unsur sebagai berikut:11

1. Adanya kekayaan yang terpisah dari

kekayaan pribadi masing-masing

persero (pemegang saham) dengan

tujuan untuk membentuk sejumlah

dana sebagai jaminan bagi semua

perikatan perseroan.

2. Adanya persero atau pemegang

saham yang tanggung jawabnya

terbatas pada jumlah nominal saham

yang dimilikinya. Sedangkan mereka

semua di dalam Rapat Umum

Pemegang Saham (RUPS),

merupakan kekuasaan tertinggi

dalam organisasi perseroan, yang

berwenang mengangkat dan

memberhentikan direksi dan

komisaris, berhak menetapkan garis-

garis besar kebijaksanaan

menjalankan perusahaan,

11 Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum dan

Tanggung Jawab Pendiri Pereseroan Terbatas,

2000, Jakarta: Ghalia Indonesia, h. 24.

menetapkan hal-hal yang belum

ditetapkan dalam anggaran dasar dan

lain-lain.

Adanya pengurus (direksi) dan

pengawas (komisaris) yang merupakan

satu kesatuan pengurus dan pengawas

terhadap perseroan dan tanggung

jawabannya terbatas pada tugasnya, yang

harus sesuai dengan anggaran dasar atau

keputusan RUPS.

Perseroan Terbatas (PT) yang

dinyatakan pailit tentu membawa akibat

hukum terhadap usaha dan hubungan

antara Debitor dan Kreditor. Menurut

Munir Fuady yang dikutip Tyassari, akibat

yuridis tersebut berlaku kepada Debitor

dengan 2 (dua) model pemberlakuan, yaitu

sebagai berikut:12

a. Berlaku demi hukum

Akibat yang paling besar dari

berlakunya demi hukum adalah berlaku

sitaan umum atas seluruh harta debitor

(Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 21 Undang-

undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang) dan debitor kehilangan

hak mengurus (Pasal 24 Undang-undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

12 Yudaning Tyassari, Akibat Hukum Putusan

Pailit Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

PT. Dirgantara Indonesia (Persero), 2008,

Semarang, Tesis, Program Pascasarjana, Program

Studi Magister Kenotariatan Universitas

Diponegoro, h. 110-111.

Page 13: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

12

Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang). Adanya akibat hukum yang besar

tersebut, selayaknya hakim benar-benar

cermat dalam mengambil keputusan.

b. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari

kepailitan berlaku rule of reason

Akibat-akibat hukum yang lain yang

merupakan dampak kepailitan tersebut

adalah menyangkut pembayaran

kompensasi pada pegawai/pekerja.

Pembayaran kompensasi akan dilakukan

dengan mengacu pada Undang-undang

Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 95 ayat (4)

yang berbunyi: “Dalam hal perusahaan

dinyatakan pailit atau dilikuidasi

berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, maka upah dan

hak-hak lainnya dari pekerja/buruh

merupakan utang yang didahulukan

pembayarannya”. Selanjutnya menurut

Fred Tumbuan yang dikutip oleh Ardytia,

pernyataan pailit berakibat bagi debitor

yaitu: kepailitan meliputi seluruh kekayaan

debitor pada saat putusan pernyataan pailit

diucapkan serta segala sesuatu yang

diperoleh selama kepailitan (Pasal 21 UU

KPKPU)13. Namun ketentuan tersebut

13 Wisnu Ardytia, Perlindungan Hukum

Kreditor Dalam Kepailita (Studi Kasus Terhadap

Peninjauan Kembali GEG. NO. 07 PK/N/2004),

2009, Semarang, Tesis, Program Pascasarjana,

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas

Diponegoro, h. 62-64.

tidak berlaku terhadap (Pasal 22 UU

KPKPU):

1) Benda, termasuk hewan yang benar-

benar dibutuhkan oleh debitor

sehubungan dengan pekerjaannya,

perlengkapannya, alat-alat medis

yang dipergunakan untuk kesehatan,

tempat tidur dan perlengkapannya

yang dipergunakan oleh debitor dan

keluarganya, dan bahan makanan

untuk 30 (tiga puluh) hari bagi

debitor dan keluarganya, yang

terdapat di tempat itu;

2) Segala sesuatu yang diperoleh

debitor dari pekerjaannya sendiri

sebagai penggajian dari suatu jabatan

atau jasa, sebagai upah, pensiun,

uang tunggu atau uang tunjangan,

sejauh yang ditentukan oleh hakim

pengawas; atau

3) Uang yang diberikan kepada debitor

untuk memenuhi suatu kewajiban

memberi nafkah menurut undang-

undang.

Menurut Jack P. Friedman yang

dikutip Kurniawan, secara prosedural

hukum positif, maka dalam suatu proses

kepailitan, harta debitor pailit dianggap

berada dalam keadaan tidak mampu

membayar jika14:

14 Kurniawan, Pemberesan Harta Pailit Pada

Perusahaan Perorangan (Studi Kasus Pada PT.

Sierad Produce Tbk), 2007, Semarang, Tesis,

Page 14: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

13

1. Dalam rapat pencocokan piutang

tidak ditawarkan perdamaian, atau

2. Rencana perdamaian yang

ditawarkan telah ditolak, atau

3. pengesahan perdamaian ditolak

berdasarkan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Fiduciary Duty dan Tanggung Jawab

Direksi

Prinsip Fiduciary Duty berlaku bagi

direksi dalam menjalankan tugasnya baik

dalam menjalankan fungsinya sebagai

manajemen maupun sebagai representasi

dari perseroan. Istilah fiduciary duty

berasal dari 2 kata, yaitu: Fiduciary dan

Duty.

Tentang istilah “duty” banyak

dipakai di mana-mana, yang berarti

“tugas”, sedangkan untuk istilah

“fiduciary” berasal dari bahasa latin

“Fiduciarus” dengan akar kata “fiducia”

yang berarti “kepercayaan” (“trust”) atau

dengan kata kerja “fidere” yang berarti

“mempercayai (“to trust”). Sehingga

dengan istilah “fiduciary” diartikan sebagai

“memegang sesuatu dalam kepercayaan”

atau “seseorang yang memegang sesuatu

dalam kepercayaan untuk kepentingan

orang lain tersebut disebut dengan istilah

“trustee” sementara pihak yang dipegang

Program Pascasarjana, Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Diponegoro, h. 68.

untuk kepentingannya tersebut disebut

dengan istilah “beneficiary”15. Seseorang

mempunyai tugas fiduciary (fiduciary

duty) manakala dia mempunyai kapasitas

fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang

dikatakan memiliki fiduciary capacity jika

bisnis yang ditransaksikannya atau

uang/property yang ditangani bukan

miliknya atau bukan untuk

kepentingannya. Melainkan milik orang

lain dan untuk kepentingan orang lain

tersebut, dimana orang lain tersebut

mempunyai kepercayaan yang besar (great

trust) kepadanya. Sementara itu, di lain

pihak dia wajib mempunyai itikad baik

yang lebih tinggi (high degree of good

faith) dalam menjalankan tugasnya. Istilah

“fiduciary” ini dipergunakan, baik untuk

perjanjian trustee dalam arti “technical

trust” maupun untuk jabatan atau

hubungan hukum dengan direksi dari suatu

perusahaan (antara direksi dengan

perseroannya). Antara pihak yang

mempunyai kapasitas fiduciary (fiduciary

capacity) dengan pihak yang diasuhnya

atau yang harta bendanya diasuh, terdapat

suatu hubungan khusus yang disebut

dengan hubungan fidusia (fiduciary

relation). Yang dimaksud dengan fiduciary

relation adalah suatu hubungan yang

15 Munir Fuady, Doktrin Doktrin Modern

Dalam Corporate Law, 2002, Bandung, PT. Citra

Aditya Bakti, h. 33.

Page 15: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

14

timbul baik dari hubungan fiduciary secara

teknikal maupun dari hubungan informal

yang timbul manakala seorang percaya

(trust) atau bergantung (rely) kepada orang

lain. Dalam hal ini, seorang percaya

kepada orang lain, dimana orang lain

tersebut bertindak dengan itikad baik

(good faith) dan dengan penghormatan

yang baik (due regard) dan fair kepada

kepentingan orang lain tersebut.

Berdasarkan hal tersebut dapat

dijelaskan, fiduciary duty adalah suatu

tugas dari seseorang yang disebut dengan

“trustee” yang terbit dari suatu hubungan

hukum antara trustee tersebut dengan

pihak lain yang disebut dengan

beneficiary, dimana pihak beneficiary

memiliki kepercayaan yang tinggi kepada

pihak trustee, dan sebaliknya pihak trustee

juga mempunyai kewajiban yang tinggi

untuk melaksanakan tugasnya dengan

sebaik-baiknya dengan itikad baik yang

tinggi, fair dan penuh tanggung jawab,

dalam menjalankan tugasnya dan untuk

kepentingan beneficiary.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat

dilihat bahwa Fiduciary Duty didasarkan

pada kepercayaan, dimana pihak yang

diberi kepercayaan tidak boleh berbuat

dalam cara-cara yang merugikan atau

bertentangan dengan kepentingan pemberi

kepercayaan. Sepanjang sejarah penerapan

teori fiduciary duty ini, muncul beberapa

“pedoman dasar” bagi direksi dalam

menjalankan fiduciary duty terhadap

perseroan yang dipimpinnya. Pedoman

dasar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fiduciary duty merupakan unsur wajib

(mandatory element) dalam hukum

perseroan.

2. Dalam menjalankan tugasnya, seorang

direksi bukan hanya harus memenuhi

unsur itikad baik, tetapi juga harus

memenuhi unsur “tujuan yang layak”

(proper purpose).

3. Pada prinsipnya direksi dibebani prinsip

fiduciary duty terhadap perseroan,

bukan terhadap pemegang saham.

Karena itu, hanya perusahaanlah yang

dapat memaksakan direksi untuk

melaksanakan tugas fiduciary tersebut.

4. Akan tetapi, dalam menjalankan

fungsinya sebagai direksi, secara umum

direksi juga harus memperhatikan

kepentingan stakeholders, seperti pihak

pemegang saham dan buruh perseroan.

5. Sungguhpun menyandang tugas sebagai

direksi, direksi tetap bebas dalam

memberikan suara dan pendapat sesuai

dengan keyakinan dan kepentingannya

dalam setiap rapat yang dihadirinya.

6. Direksi tetap bebas dalam mengambil

keputusan sesuai pertimbangan bisnis

dan “sense of business” yang

Page 16: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

15

dimilikinya. Bahkan, pihak pengadilan

tidak boleh ikut campur

mempertimbangkan sense of business

dari direksi

7. Dalam hal-hal dimana terdapat conflict

of interest, seorang direksi dilarang atau

setidak-tidaknya diawasi dan dibatasi

dalam menjalankan tugasnya

memberlakukan prinsip keterbukaan

informasi (disclosure) terhadap setiap

transaksi yang ada conflict of interest.

Prinsip fiduciary duty ini terdapat

pada Pasal 97 UU PT, yang menyatakan:

Ayat (1): Direksi bertanggung jawab atas

pengurusan Perseroan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Ayat

(2): Pengurusan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap

anggota Direksi dengan itikad baik dan

penuh tanggung jawab. Ayat (3): setiap

anggota Direksi bertanggung jawab penuh

secara pribadi atas kerugian Perseroan

apabila yang bersangkutan bersalah atau

lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2). Ayat (5): anggota Direksi tidak

dapat dipertanggungjawabkan atas

kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) apabila dapat membuktikan:

a. kerugian tersebut bukan karena

kesalahan atau kelalaiannya;

b. telah melakukan pengurusan dengan

itikad baik dan kehati-hatian untuk

kepentingan dan sesuai dengan maksud

dan tujuan Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan kepentingan

baik langsung maupun tidak langsung

atas tindakan pengurusan yang

mengakibatkan kerugian, dan;

d. telah mengambil tindakan untuk

mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut.

Berdasarkan Pasal 97 UU PT

tersebut, secara tegas mensyaratkan bahwa

direksi dapat dimintai pertanggungjawaban

atas kerugian dan kepailitan suatu

Perseroan Terbatas apabila direksi telah

terbukti melakukan kesalahan dalam

pengurusan perseroan. Namun apabila

direksi dengan itikad baik mengurus

perseroan terbatas dan terdapat kerugian

dan telah dipailitkan maka direksi tidak

bertanggungjawab atas segala kerugian dan

utang-utang yang timbul atas kepailitan

perseroan berdasarkan prinsip fiduciary

duty dan prinsip debt forgiveness.

Debt forgiveness adalah pranata

hukum yang dapat digunakan sebagai alat

untuk meringankan beban yang harus

ditanggung oleh Debitor karena sebagai

akibat kesulitan keuangan sehingga tidak

mampu melakukan pembayaran terhadap

utang-utangnya sesuai dengan kesepakatan

Page 17: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

16

semula dan bahkan sampai pada

pengampunan (discharge) atas utang-

utangnya sehingga utang-utangnya tersebut

menjadi hapus sama sekali.

Ada tiga macam tanggung jawab

hukum yaitu tanggung jawab hukum dalam

arti accountability, responsibility dan

liability. Tanggung jawab dalam arti

accountability adalah tanggung jawab

hukum dalam kaitan dengan keuangan,

misalnya akuntan harus bertanggung jawab

atas hasil pembukuan, sedangkan

responsibility adalah tanggung jawab

dalam arti yang harus memikul beban.

Tanggung jawab dalam arti liability adalah

kewajiban menanggung atas kerugian yang

diderita. Pemberlakuan prinsip fiduciary

duty akan banyak bersentuhan dengan

prinsip pranata-pranata hukum lain,

sehingga berbagai pranata hukum tersebut

akan berlaku secara bersamaan. Di

samping itu, fungsi direksi sebenarnya

unik, dalam arti bahwa hubungan hukum

antara direksi dengan perseroannya dapat

dilihat dari berbagai segi dalam struktur

teori hukum. Misalnya dari segi aturan

hukum yang mengatur tanggung jawab

direksi terhadap pailitnya suatu perseroan

terbatas atas utang pajak yang masih belum

terbayarkan sesuai UU KUP dan PMK No.

68 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan

Besarnya Penghapusan.

Tanggung Jawab Direksi Atas

Kepailitan Perseroan Terbatas

a. Direksi Yang Telah Dipailitkan Yang

Bisa Dimintai Pertanggungjawaban

Atas Utang Pajak

Sebuah Perseroan memiliki organ

sesuai dengan Pasal 1 angka 2 UU PT,

Organ Perseroan adalah Rapat Umum

Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan

Komisaris. Wewenang ketiga Organ

Perseroan tersebut adalah berbeda, Rapat

Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai

dengan Pasal 1 angka 4 UU PT, Rapat

Umum Pemegang Saham, yang

selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ

Perseroan yang mempunyai wewenang

yang tidak diberikan kepada Direksi atau

Dewan Komisaris dalam batas yang

ditentukan dalam Undang-Undang ini

dan/atau anggaran dasar. Wewenang

Direksi adalah sesuai dengan Pasal 1 angka

5 UU PT, Direksi adalah Organ Perseroan

yang berwenang dan bertanggung jawab

penuh atas pengurusan Perseroan untuk

kepentingan Perseroan, sesuai dengan

maksud dan tujuan Perseroan serta

mewakili Perseroan, baik di dalam maupun

di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan

anggaran dasar. Yang terakhir adalah

Page 18: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

17

wewenang Dewan Komisaris sesuai

dengan Pasal 1 angka 6 UU PT, Dewan

Komisaris adalah Organ Perseroan yang

bertugas melakukan pengawasan secara

umum dan/atau khusus sesuai dengan

anggaran dasar serta memberi nasihat

kepada Direksi.

Sesuai dengan wewenangnya maka

Direksi menjalankan pengurusan Persero

untuk kepentingan Perseroan dan sesuai

dengan maksud dan tujuan Perseroan.

Susunan Direksi Perseroan bisa terdiri dari

satu orang atau lebih, sehingga muncullah

Direksi. Sebagai pengurus Perseroan,

Direksi dapat mewakili Perseroan baik di

dalam maupun di luar pengadilan.

Kewenangan itu dimiliki Direksi secara tak

terbatas dan tak bersyarat, selama tidak

bertentangan dengan undang-undang dan

Anggaran Dasarnya serta Keputusan

RUPS. Jika anggota Direksi terdiri lebih

dari satu orang, yang berwenang mewakili

Perseroan adalah setiap anggota Direksi,

kecuali Anggaran Dasarnya menentukan

lain misalnya Anggaran Dasar menentukan

bahwa hanya Direksi yang berwenang.

Sesuai Pasal 97 UU PT:

(1) Direksi bertanggung jawab atas

pengurusan Perseroan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).

(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), wajib dilaksanakan

setiap anggota Direksi dengan itikad

baik dan penuh tanggung jawab.

(3) Setiap anggota Direksi bertanggung

jawab penuh secara pribadi atas

kerugian Perseroan apabila yang

bersangkutan bersalah atau lalai

menjalankan tugasnya sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2).

(4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua)

anggota Direksi atau lebih, tanggung

jawab sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) berlaku secara tanggung

renteng bagi setiap anggota Direksi.

(5) Anggota Direksi tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas

kerugian sebagaimana dimaksud

pada ayat (3) apabila dapat

membuktikan:

a. kerugian tersebut bukan karena

kesalahan atau kelalaiannya;

b.telah melakukan pengurusan

dengan itikad baik dan kehati-

hatian untuk kepentingandan

sesuai dengan maksud dan tujuan

Perseroan;

c. tidak mempunyai benturan

kepentingan baik langsung

maupun tidak langsung atas

tindakan pengurusan yang

mengakibatkan kerugian; dan

Page 19: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

18

d. telah mengambil tindakan untuk

mencegah timbul atau

berlanjutnya kerugian tersebut.

(6) Atas nama Perseroan, pemegang

saham yang mewakili paling sedikit

1/10 (satu persepuluh) bagian dari

jumlah seluruh saham dengan hak

suara dapat mengajukan gugatan

melalui pengadilan negeri terhadap

anggota Direksi yang karena

kesalahan atau kelalaiannya

menimbulkan kerugian pada

Perseroan.

(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) tidak mengurangi hak

anggota Direksi lain dan/atau

anggota Dewan Komisaris untuk

mengajukan gugatan atas nama

Perseroan.

Dari pemaparan di atas jelaslah

bahwa UU PT menganut prinsip

distribution of power artinya kewenangan

organ Perseroan itu didistribusikan kepada

direksi, komisaris, dan RUPS. Dengan

demikian, apabila suatu kewenangan telah

dialokasikan kepada direksi atau

komisaris, maka RUPS menjadi tidak

berwenang terhadap hal itu. Namun

demikian, sebagai pemegang kekuasaan

tertinggi menurut visi UU PT, kekuasaan

RUPS juga merupakan kekuasaan residu

(sisa), dalam arti apabila ada kekuasaan

yang tidak termasuk ke dalam kewenangan

direksi atau komisaris, dan tidak tegas pula

disebut kewenangan RUPS, maka

kekuasaan tersebut menjadi kewenangan

RUPS. Dengan demikian, terhadap

kekuasaan direksi dan komisaris, UU PT

menganut doktrin limitative power

(pembatasan kekuasaan), yang berarti pada

prinsipnya mereka hanya mempunyai

kewenangan sejauh yang diberikan oleh

undang-undang dan atau anggaran dasar,

sedang sisanya merupakan kewenangan

RUPS.

Pengertian pengurusan (manajemen)

perseroan pada prinsipnya berarti: (1)

mengerjakan segala sesuatu yang harus

dikerjakan demi tercapainya maksud dan

tujuan perseroan; (2) mengerjakan segala

sesuatu yang ditentukan dalam akta

pendirian atau anggaran dasar perseroan;

(3) mengerjakan segala sesuatu yang

diharuskan oleh hukum; dan (4)

melaksanakan kebijaksanaan perseroan

yang ditentukan oleh RUPS. Sedangkan,

menjalankan perwakilan berarti “mewakili

perseroan dalam segala tindakan”, baik di

dalam maupun di luar pengadilan.

Berdasrkan Pasal 92 UU PT

menjelaslakan bahwa UU PT menganut

prinsip distribution of power artinya

kewenangan organ Perseroan itu

didistribusikan kepada direksi, komisaris,

Page 20: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

19

dan RUPS. Dengan demikian, apabila

suatu kewenangan telah dialokasikan

kepada direksi atau komisaris, maka RUPS

menjadi tidak berwenang terhadap hal itu.

Namun demikian, sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi menurut visi UU PT,

kekuasaan RUPS juga merupakan

kekuasaan residu (sisa), dalam arti apabila

ada kekuasaan yang tidak termasuk ke

dalam kewenangan direksi atau komisaris,

dan tidak tegas pula disebut kewenangan

RUPS, maka kekuasaan tersebut menjadi

kewenangan RUPS. Dengan demikian,

terhadap kekuasaan direksi dan komisaris,

UU PT menganut doktrin limitative power

(pembatasan kekuasaan), yang berarti pada

prinsipnya mereka hanya mempunyai

kewenangan sejauh yang diberikan oleh

undang-undang dan atau anggaran dasar,

sedang sisanya merupakan kewenangan

RUPS.

Pengertian pengurusan (manajemen)

perseroan pada prinsipnya berarti: (1)

mengerjakan segala sesuatu yang harus

dikerjakan demi tercapainya maksud dan

tujuan perseroan; (2) mengerjakan segala

sesuatu yang ditentukan dalam akta

pendirian atau anggaran dasar perseroan;

(3) mengerjakan segala sesuatu yang

diharuskan oleh hukum; dan (4)

melaksanakan kebijaksanaan perseroan

yang ditentukan oleh RUPS. Sedangkan,

menjalankan perwakilan berarti “mewakili

perseroan dalam segala tindakan”, baik di

dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 92

UU PT menegaskan bahwa direksi

bertanggungjawab penuh atas pengurusan

perseroan untuk kepentingan dan tujuan

perseroan.

b. Direksi Perseroan Terbatas Yang Telah

Dipailitkan Yang Bisa Tidak Dimintai

Pertanggungjawaban Atas Utang Pajak

Pengurusan Perseroan biasanya

antara wewenang dan tanggung jawab

seorang Direksi harus mempunyai

tingkatan yang sama. Dengan demikian,

wewenang seorang Direksi memberikan

kepadanya kekuasaan untuk membuat serta

menjalankan keputusan-keputusan yang

berhubungan dengan bidang tugasnya yang

telah ditetapkan dan tanggung jawab dalam

bidang tugasnya tersebut menimbulkan

kewajiban baginya untuk melaksanakan

tugas–tugas tersebut dengan jalan

menggunakan wewenang yang ada untuk

mencapai tujuan Perseroan16.

Sesuai Pasal 97 ayat (1) UU PT

menentukan bahwa Direksi bertanggung

jawab atas pengurusan Perseroan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92

ayat (1). Pengurusan sebagaimana

16 Ridel S. Tumbel, Kajian Hukum Tanggung

Jawab Direksi Terhadap Kerugian Perusahaan

Perseroan (Persero), Jurnal Vol. II No. 1, 2014, h.

21.

Page 21: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

20

dimaksud pada ayat (1), wajib

dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh

tanggung jawab (ayat (2)). Setiap anggota

Direksi bertanggung jawab penuh secara

pribadi atas kerugian Perseroan bila yang

bersangkutan bersalah atau lalai

menjalankan tugasnya sesuai dengan

ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2)17. Kemudian ayat (4) mengatakan

bahwa dalam hal Direksi terdiri atas 2

(dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung

jawab sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) berlaku secara tanggung renteng bagi

setiap anggota Direksi. Ayat (5)

menyatakan bahwa anggota Direksi tidak

dapat dipertangungjawabkan atas kerugian

sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

apabila dapat membuktikan :

1. Kerugian tersebut bukan karena

kesalahan atau kelalaiannya;

2. Telah melakukan pengurusan dengan

itikad baik dan kehati-hatian untuk

kepentingan dan sesuai dengan maksud

dan tujuan Perseroan;

3. Tidak mempunyai benturan kepentingan

baik langsung maupun tidak langsung

atas tindakan pengurusan yang

mengakibatkan kerugian;

4. Telah mengambil tindakan untuk

mencegah timbul atau berlanjutnya

kerugian tersebut.

17 Ibid.

Ketentuan Pasal 97 ayat (5) tersebut

di atas, tidak mengurangi hak anggota

Direksi lain dan/atau anggota Dewan

Komisaris untuk mengajukan gugatan atas

nama Perseroan. Selanjutnya menurut

Pasal 97 ayat (6), atas nama Perseroan,

Pemegang Saham yang mewakili paling

sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh

saham dengan hak suara dapat mengajukan

gugatan melalui Pengadilan Negeri

terhadap anggota Direksi yang karena

kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan

kerugian Perseroan. Pasal 98 ayat (1) UU

PT mengatur bahwa Direksi mewakili PT

baik di dalam maupun di luar Pengadilan.

Ayat (2) mengatakan bahwa dalam hal

anggota Direksi terdiri lebih dari satu

orang, yang berwenang mewakili PT

adalah setiap anggota Direksi, kecuali

ditentukan lain dalam anggaran dasar. Ayat

(3) menyatakan bahwa kewenangan

Direksi mewakili PT adalah tidak terbatas

dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain

dalam UU, AD atau Keputusan RUPS.

Tanggung Jawab Direksi Atas Utang

Pajak Terhadap Kepailitan Perseroan

Terbatas

Pada prinsipnya, segala tindakan

direksi yang dilakukan secara sah, dalam

arti sesuai dengan kewenangannya, untuk

dan atas nama perseroan, bukan untuk

Page 22: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

21

kepentingan pribadi, maka tindakan yang

demikian itu merupakan tindakan

perseroan. Oleh karena itu, segala

konsekuensi yuridis atas tindakan

perseroan itu, baik atau buruk, untung atau

rugi, akan dipikul sendiri oleh perseroan.

Dengan demikian, segala

pertanggungjawaban yang timbul dari

perbuatan tersebut hanya dapat dibebankan

kepada badan hukum (PT) itu sendiri,

terlepas dari (harta kekayaan) pribadi

orang yang melakukan perbuatan itu. Hal

ini sesuai dengan karakteristik PT yang

kedudukannya mandiri dan pertanggung-

jawabannya terbatas. Namun demikian,

ada yang mengatakan bahwa tidak selalu

tindakan direksi itu mengikat PT yang

bersangkutan. Dalam arti, sungguhpun hal

itu merupakan tindakan perseroan, dalam

beberapa hal (kasus) masih terbuka

kemungkinan bagi perseroan untuk

melepaskan tanggungjawabnya, dalam arti

yang harus bertanggungjawab atas

tindakan tersebut adalah pihak direksi

secara pribadi, bukan perseroan.

Studi ilmu hukum administrasi

Negara dikenal pula adanya pembagian

kekuasaan yang dibagi dalam dua fungsi

yaitu fungsi pembuatan kebijakan (policy

making function) dan fungsi pelaksanaan

kebijakan (policy executing function).

Semua pembagian kekuasaan ini tidak lain

bertujuan sebagai telah dikemukakan

dalam awal tulisan ini yaitu untuk

menghindari terjadinya kesewenang-

wenangan oleh penguasa. Maka dalam

istilah hukum itu pula sehingga kata

kekuasaan kemudian direduksi menjadi

kewenangan. Sebagaimana dikenalnya asas

dalam hukum tata Negara: tidak ada

kekuasaan tanpa kewenangan, dan tidak

ada kewenangan tanpa undang-undang

yang memberikannya.

Pasal 92 UU No 40 Tahun 2007.

1) Direksi menjalankan pengurusan

Perseroan untuk kepentingan

Perseroan dan sesuai dengan maksud

dan tujuan Perseroan.

2) Direksi berwenang menjalankan

pengurusan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) sesuai dengan

kebijakan yang dipandang tepat,

dalam batas yang ditentukan dalam

Undang-Undang ini dan/atau

anggaran dasar.

3) Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu)

orang anggota Direksi atau lebih.

4) Perseroan yang kegiatan usahanya

berkaitan dengan menghimpun

dan/atau mengelola dana masyarakat,

Perseroan yang menerbitkan surat

pengakuan utang kepada masyarakat,

atau Perseroan Terbuka wajib

Page 23: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

22

mempunyai paling sedikit 2 (dua)

orang anggota Direksi.

5) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua)

anggota Direksi atau lebih,

pembagian tugas dan wewenang

pengurusan di antara anggota Direksi

ditetapkan berdasarkan keputusan

RUPS.

6) Dalam hal RUPS sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) tidak

menetapkan, pembagian tugas dan

wewenang anggota Direksi

ditetapkan berdasarkan keputusan

Direksi.

Perseroan Terbatas dalam memenuhi

kebutuhan modal berupa dana segar dapat

melakukan perjanjian utang piutang

kepada pihak ketiga baik Bank, Lembaga

Pembiayaan, ataupun personal. Dalam

dunia usaha adalah lumrah seorang

supplier mengirim produknya dengan

pembayaran di belakang. Kegiatan

ekonomi seperti ini adalah umum dan biasa

dilakukan oleh Direksi dalam rangka

menjalankan tugas dan kewajibannya.

Kegiatan usaha yang dilakukan

Perseroan menjadi terganggu ketika utang

kepada mitra bisnis tidak dapat dibayarkan

pada saat jatuh tempo sehingga dipailitkan

oleh minim dua Kreditor. Perseroan yang

dipailitkan karena kondisi insolvensi tidak

mampu membayar utang, tidak

menyelesaikan masalah karena utang pajak

kepada negara adalah kontijen. Utang

pajak sesuai BW mempunyai hak

mendahulu atas pemenuhannya melampaui

hak Kreditor lainnya. Bagaimana Kurator

menyelesaikan kewajiban atas perseroan

yang dinyatakan pailit dengan kondisi

insolvensi, karena assetnya cukup untuk

menyelesaikan kewajiban terhadap utang

pajak kepada Negara.

Direktorat Jenderal Pajak, tidak

mengejar Kurator untuk penyelesaian

kewajiban pemenuhan utang pajak

Perseroan yang telah dipailitkan namun

mencari pertanggungjawaban dari Direksi.

Sesuai dengan UU KPKPU setelah putusan

pailit diputus maka Debitor tidak lagi

mempunyai hak atas assetnya, sebaliknya

menjadi tanggung jawab Kurator dalam

pengelolaannya. Direktorat Jenderal Pajak

mengikuti aturan perundang-undangan

perpajakan, bahwa orang yang

bertanggung jawab adalah yang

menandatangani SSP dan SPT Perseroan,

dalam hal ini adalah Direksi.

Pasal UU PT tidak tegas

menyebutkan tentang tanggung jawab atas

utang pajak bila Perseroan dipailitkan

dengan kondisi insolvensi, demikian pula

dalam KUP, tidak menyebutkan klausul

penanggungjawab utang pajak sebuah

Perseroan yang dipailitkan. Sesuai UU

Page 24: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

23

KPKPU bahwa Peseroan yang dipailitkan

dalam kondisi insolvensi artinya sudah

tidak mempunyai lagi aset untuk

membayar kewajibannya. Dimana Direksi

dalam menjalankan tugasnya adalah atas

nama dan untuk Perseroan, namun dalam

hal utang pajak, hanya Direksi yang

menjadi subyek penagihan dari Direktorat

Jenderal Pajak. Artinya Direktorat Jenderal

Pajak menuntut pertanggungjawaban atas

persona seorang Direksi, dimana

seharusnya perseroanlah yang bertanggung

jawab.

Meskipun dapat memberi peluang

untuk terhindar dari tanggung jawab untuk

menghindar membayar pajak, tetapi sulit

direalisasikan karena penanggung pajak

ditemukan sesuai Pasal 1 ayat (3) PMK

No. 68 Tahun 2012. Direksi atas Perseroan

Terbatas yang dinyatakan pailit tetap

diminta pertanggungjawaban dalam

pembayaran utang pajak, karena direksi

mewakili PT. Ketentuan Pasal 21 UU KUP

dan PMK No. 68 Tahun 2012

membentengi terhindarnya penanggung

pajak atas tanggung jawab melakukan

pembayaran utang pajak. UU KUP

melengkapi pengaturan pada UU KPKPU

atas direksi suatu Perseroan Terbatas yang

dinyatakan pailit.

PT. PMS yang telah diputus pailit

dalam pelaksanaan pengurusan harta pailit

dilakukan oleh kurator. Kurator dalam

menjalankan tugasnya telah menyelesaikan

pembagian harta pailit milik PT. PMS

termasuk pembayaran atas utang pajak,

tetapi harta pailit yang dimiliki PT. PMS

ternyata tidak cukup karena Pengadilan

Niaga telah menetapkan keadaan

insolvensi terhadap PT. PMS sebagaimana

diatur dalam Pasal 57 ayat (1) UU

KPKPU, yang menyatakan: “jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56

ayat (1) berakhir demi hukum pada saat

kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada

saat dimulainya keadaan insolvensi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178

ayat (1). Sehingga Debitor tidak dapat lagi

melunasi segala kekurangan pembayaran

atas utang pajak tersebut.

Pengertian Putusan Pailit Pengadilan

Niaga

Ketentuan tentang pengadilan niaga

diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU KPKPU,

yaitu: “Pengadilan adalah Pengadilan

Niaga dalam lingkungan peradilan umum’.

Dalam UU KPKPU terdapat suatu asas

yaitu asas integrasi yang mengandung

pengertian bahwa sistem hukum formil dan

hukum materiilnya merupakan satu

kesatuan yang utuh dari sistem hukum

perdata dan hukum acara perdata nasional.

UU KPKPU yang baru ini mempunyai

Page 25: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

24

cakupan yang lebih luas baik dari segi

norma, ruang lingkup materi, maupun

proses penyelesaian utang-piutangnya.

Pada asasnya, putusan kepailitan

adalah serta merta dan dapat dijalankan

terlebih dahulu meskipun terhadap putusan

tersebut masih dilakukan suatu upaya

hukum lebih lanjut18. Akibat-akibat

putusan pailit berlaku mutatis mutandis

yaitu tetap berlaku walaupun sedang

ditempuh upaya hukum lebih

lanjut..Berdasarkani perspektif ketentuan

Pasal 8 ayat (7) UU KPKPU yang

menyatakan:

Putusan atas permohonan pernyataan

pailit sebagaimana dimaksud pada

ayat (6) yang memuat secara lengkap

pertimbangan hukum yang

mendasari putusan tersebut harus

diucapkan dalam sidang terbuka

untuk umum dan dapat dilaksanakan

terlebih dahulu, meskipun terhadap

putusan tersebut diajukan suatu

upaya hukum.

Selain itu, ketentuan Pasal 16 ayat

(1) UU KPKPU yang menyatakan:

“Kurator berwenang melaksanakan tugas

pengurusan dan/atau pemberesan atas harta

pailit sejak tanggal putusan pailit

diucapkan meskipun terhadap putusan

tersebut diajukan kasasi atau peninjauan

kembali”.

Konklusi dasar ketentuan tersebut

diatas menunjukkan bahwa putusan

18 M. Hadi Shubhan, op.cit., h. 162.

Majelis Hakim Pengadilan Niaga

mempunyai kekuataan dapat dilaksanakan

terlebih dahulu. Pengaturan dapat

dilaksanakan terlebih dahulu ini

hakikatnya berorientasi kepada lembaga

uitvoerbaar bij voorraad atau putusan

serta merta sebagaimana dikenal dalam

hukum acara perdata.

Putusan dalam kepailitan pada

prinsipnya dapat dijalankan terlebih dahulu

(uit voerbaar bij vooraad) meskipun

terhadap putusan tersebut diajukan suatu

upaya hukum. Filosofi yuridis ketentuan

ini adalah bahwa oleh karena perkara

kepailitan menggunakan proses

pembuktian sumir, maka putusan yang ada

juga dianggap mudah kemana arahnya di

samping bahwa asas beracara kepailitan

adalah cepat prosesnya19.

Berdasarkan putusan hakim tentang

kepailitan ada 3 hal yang esensial yaitu:20

1. Pernyataan bahwa si debitor pailit.

2. Pengangkatan seorang Hakim

Pengawas yang ditunjuk dari

Hakim Pengadilan

3. Kurator

Kurator yang didampingi oleh hakim

pengawas dapat langsung menjalankan

fungsinya untuk melakukan pengurusan

19 Ibid., hal. 162-163. 20 Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa

Kepailitan di Indonesia Dualisme Kewenangan

Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, 2009,

Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, h. 103.

Page 26: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

25

dan pemberesan pailit21. Sedangkan

apabila putusan pailit dibatalkan sebagai

akibat adanya upaya hukum tersebut,

segala perbuatan yang telah dilakukan oleh

kurator sebelum atau pada tanggal kurator

menerima pemberitahuan tentang putusan

pembatalan maka tetap sah dan mengikat

debitor22.

Hakekat Kekuatan Putusan Pengadilan

Kekuasaan kehakiman adalah

kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, demi terselenggaranya

Negara Hukum Republik Indonesia,

sebagaimana bunyi Pasal 1 angka 1

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK).

Pada dasarnya kamus bahasa

Indonesia dan kamus hukum memberikan

batasan pengertian tentang putusan adalah

hal yang didasarkan pada pengadilan. Atau

dengan kata lain putusan dapat berarti

pernyataan hakim di sidang pengadilan

yang bersifat pertimbangan menurut

kenyataan, pertimbangan hukum. Putusan

hakim ini biasa di sebut vonnis yakni

21 M. Hadi Shubhan, op.cit., h. 163. 22 Ibid.

kesimpulan-kesimpuan terakhir mengenai

hukum dan akibat-akibatnya. Mewujudkan

putusan hakim yang di dasarkan pada

kepastian hukum, keadilan dan

kemanfaatan memang tidak mudah,

apalagi ketentuan keadilan, sebab konsep

keadilan dalam putusan hakim tidak

mudah mencari tolak ukurnya.

Adil bagi suatu pihak, belum tentu

dirasakan oleh pihak lain. Hal ini di

dasarkan pada hakekat keadilan sendiri.

Keinginan para pencari keadilan supaya

perkara yang di ajukan ke pengadilan dapat

diputus oleh hakim yang profesional dan

memiliki integritas moral yang tinggi

merupakan suatu yang harus diusahakan.

Dengan adanya sifat profesional dan moral

yang baik dapat melahirkan putusan-

putusan yang mengandung kepastian

hukum, keadilan dan kemanfaatan.

Kekuatan Putusan Pailit Pengadilan

Niaga Terhadap Tanggung Jawab

Membayar Utang Pajak

Pengadilan Niaga adalah lembaga

peradilan yang mengeluarkan putusan

pailit. Putusan sebuah peradilan adalah

berkekuatan hukum tetap. Putusan pailit

yang dikeluarkan oleh pengadilan Niaga

dalam penerapannya tidak harmonis

dengan peraturan perundan-undangan yang

lainnya. Sebagai contoh adalah atas

Page 27: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

26

Putusan Pailit Pengadilan Niaga terhadap

utang pajak yang dalam penerapannya

tidak sesuai dengan BW, UU KUP dan

PMK No. 68 Tahun 2012 tentang Tata

Cara Penghapusan Piutang Pajak dan

Penetapan Besarnya Penghapusan.

Berdasarkan Putusan Pailit, telah

memutuskan bahwa Debitor dalam hal ini

Perseroan Terbatas telah dinyatakan pailit.

Debitor telah membayar biaya perkara dan

fee kurator dalam mengurus kepailitan

Debitor termasuk membayar sebagian

utang pajak. Namun, masih terdapat

kekurangan pembayaran utang pajak yang

tidak dapat dibayar oleh Debitor

dikarenakan boedel pailit Debitor

(Perseroan Terbatas) tidak cukup untuk

melunasi utang pajak seluruhnya termasuk

utang para Kreditor lainnya. Akan tetapi,

dengan adanya Putusan Pailit Pengadilan

Niaga tersebut pada penerapannya Debitor

masih ditagih atas utang pajak oleh

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hingga ke

harta pribadi Debitor dalam hal ini direksi

Perseroan Terbatas tersebut. DJP

menggunakan aturan pada BW, UU KUP

dan PMK No. 68 Tahun 2012 tentang Tata

Cara Penghapusan Piutang Pajak dan

Penetapan Besarnya Penghapusan untuk

menagih utang pajak kepada Debitor.

Pasal 1137 BW, menyatakan:

Hak didahulukan milik negara,

kantor lelang dan badan umum lain

yang diadakan oleh penguasa, tata

tertib pelaksanaannya, dan lama

jangka waktunya, diatur dalam

berbagai undang-undang khusus

yang berhubungan dengan hal-hal

itu. Hak didahulukan milik

persekutuan atau badan

kemasyarakatan yang berhak atau

yang kemudian mendapat hak untuk

memungut bea-bea, diatur dalam

undang-undang yang telah ada

mengenai hal itu atau yang akan

diadakan.

Pasal 21 UU KUP, menyatakan:

(1) Negara mempunyai hak

mendahulu untuk utang pajak

atas barang-barang milik

Penanggung Pajak.

(2) Ketentuan tentang hak

mendahulu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi

pokok pajak, sanksi administrasi

berupa bunga, denda, kenaikan,

dan biaya penagihan pajak.

(3) Hak mendahulu untuk utang

pajak melebihi segala hak

mendahulu lainnya, kecuali

terhadap:

a. biaya perkara yang hanya

disebabkan oleh suatu

penghukuman untuk

melelang suatu barang

bergerak dan/atau barang

tidak bergerak;

b. biaya yang telah

dikeluarkan untuk

menyelamatkan barang

dimaksud; dan/atau

c. biaya perkara, yang hanya

disebabkan oleh pelelangan

dan penyelesaian suatu

warisan.

(3a) Dalam hal Wajib Pajak

dinyatakan pailit, bubar, atau

dilikuidasi maka kurator,

likuidator, atau orang atau badan

yang ditugasi untuk melakukan

Page 28: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

27

pemberesan dilarang

membagikan harta Wajib Pajak

dalam pailit, pembubaran atau

likuidasi kepada pemegang

saham atau kreditur lainnya

sebelum menggunakan harta

tersebut untuk membayar utang

pajak Wajib Pajak tersebut.

Pasal 1 ayat (3) PMK No. 68 Tahun

2012 tentang Tata Cara Penghapusan

Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya

Penghapusan, menyatakan:

Piutang pajak yang dapat dihapuskan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

untuk Wajib Pajak badan adalah

piutang pajak yang tidak dapat

ditagih lagi karena:

a. Wajib Pajak bubar, likuidasi,

atau pailit dan Penanggung

Pajak tidak dapat ditemukan;

b. hak untuk melakukan penagihan

pajak sudah daluwarsa;

c. dokumen sebagai dasar

penagihan pajak tidak ditemukan

dan telah dilakukan penelusuran

secara optimal sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan

di bidang perpajakan; atau

d. hak negara untuk melakukan

penagihan pajak tidak dapat

dilaksanakan karena kondisi

tertentu sehubungan dengan

adanya perubahan kebijakan

dan/atau berdasarkan

pertimbangan yang ditetapkan

oleh Menteri Keuangan.

Berdasarkan beberapa peraturan

tersebut perlakuan utang pajak Debitor

yang telah dinyatakan pailit tetap

berlangsung sampai utang pajak tersebut

dapat dilunasi oleh Debitor. Hal inilah

yang menyebabkan ketidakharmonisan

penerapan Putusan Pailit Pengadilan Niaga

dengan peraturan perundang-undangan

dengan yaitu BW, UU KUP, dan PMK No.

68 Tahun 2012 tentang Tata Cara

Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan

Besarnya Penghapusan.

Dampak hukum putusan pailit

terhadap Debitor dan Kreditor adalah

sebagai berikut, Debitor kehilangan

haknya dalam mengelola asetnya, karena

dikelola oleh Kurator, bagi Kreditor urutan

pembagian pro rata parte sesuai dengan

kedudukannya baik sebagai Kreditor

Konkuren, Kreditor Preference atau

Kreditor Privilidge. Ada pengecualian atas

semua Kreditor yaitu utang pajak,

walaupun telah dinyatakan pailit oleh

Pengadilan Niaga, putusan ini tidak

mempunyai daya ikat. Direktorat Jenderal

Pajak tetap menuntut tanggung jawab dari

Direksi yang menandatangani SSP dan

SPT Perseroan.

Perlu diingat bahwa dalam Pasal 23

UU KPKPU bahwa Debitor pailit

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan

22 UU KPKPU juga meliputi istri atau

suami dari Debitor pailit yang menikah

dalam persatuan harta. Sejak tanggal

putusan pernyataan pailit diucapkan maka

debitor demi hukum kehilangan haknya

untuk menguasai dan mengurus

kekayaannya yang termasuk dalam harta

Page 29: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

28

pailit sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UU

KPKPU sedangkan tanggal putusan

sebagaimana dimaksud tersebut dihitung

sejak pukul 00.00 waktu setempat sesuai

dengan Pasal 24 ayat (2) UU KPKPU,

apabila sebelum putusan pernyataan pailit

diucapkan telah dilaksanakan transfer dana

melalui bank atau lembaga selain bank

pada tanggal putusan sebagaimana

dimaksud transfer tersebut wajib

diteruskan dan dalam hal sebelum putusan

pernyataan pailit diucapkan telah

dilaksanakan transaksi efek di Bursa Efek

maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.

Sebuah perusahaan dinyatakan pailit

atau bangkrut harus melalui putusan

pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan

itu, berarti perusahaan menghentikan

segala aktivitasnya dan dengan demikian

tidak lagi dapat mengadakan transaksi

dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi.

Satu-satunya kegiatan perusahaan adalah

melakukan likuidasi atau pemberesan yaitu

menagih piutang, menghitung seluruh asset

perusahaan, kemudian menjualnya untuk

seterusnya dijadikan pembayaran utang-

utang perusahaan23.

Setelah adanya putusan pernyataan

pailit maka semua perikatan debitor yang

23 Ardy Billy Lumowa, Tanggung Jawab

Perusahaan Yang Dinyataklan Pailit Terhadap

pihak ketiga, Jurnal Lex Privatum,

Vol.1/No.3/Juli/2013, h. 19.

terbit sesudahnya tidak dapat lagi dibayar

dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut

menguntungkan harta pailit. Tuntutan

mengenai hak atau kewajiban yang

menyangkut harta pailit harus diajukan

oleh atau terhadap kurator, dalam hal

tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan

oleh atau terhadap Debitor pailit maka

apabila tuntutan tersebut mengakibatkan

suatu penghukuman terhadap Debitor

pailit, penghukuman tersebut tidak

mempunyai akibat hukum terhadap harta

pailit.

Berdasarkan sistem perseroan di

negara Indonesia menganut sistem

separate legal entity dan limited liability.

Hal ini akan berakibat ketika terjadi

kerugian terhadap perseroan, baik

pengurus maupun pendiri tidak dapat

dimintai pertanggungjawaban.

Pertanggungjawaban hanya dapat

dimintakan dari harta pribadi Perseroan

bukan harta pribadi pengurus atau pendiri.

Kekayaan Perseroan terpisah dari para

pendirinya dan para pengurusnya, yaitu

para pemegang saham, Direksi dan

Komisaris. Oleh karena itu, pemegang

saham, Direksi maupun Komisaris tidak

dapat dimintai pertanggungjawaban

apabila tidak terbukti pailitnya perseroan

tersebut bukan karena kesalahan atau

kelalaian pemegang saham, Direksi dan

Page 30: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

29

Komisaris, sehingga harta perseroan tidak

cukup untuk membayar segala utang-

utangnya kepada negara dan Kreditor.

Selanjutnya Pasal 1132 BW

menambahkan mengenai barang-barang

Debitor menjadi jaminan bersama bagi

semua Kreditor terhadapnya hasil

penjualan barang-barang itu dibagi

menurut perbandingan piutang masing-

masing kecuali bila di antara para Kreditor

itu ada alasan-alasan sah untuk

didahulukan dalam hal ini utang pajak.

Setelah Debitor dinyatakan pailit, Pasal

1132 BW kekayaan Debitor menjadi

jaminan bersama para Kreditornya dan

kekayaan Debitor harus dibagikan kepada

para Kreditornya secara proporsional

kecuali ada alasan dari Kreditor untuk

didahulukan (asas pari passu prorata

parte). Maksud dari alasan yang

didahulukan adalah apabila ada Kreditor

yang memegang hak istimewa harus

didahulukan pelunasannya. Apabila

terdapat sisa dari penjualan barang yang

dibebani hak istimewa tersebut, akan

dikembalikan kepada kurator untuk

kemudian dibagi-bagikan kepada Kreditor

yang lainnya.

Pelunasan atas semua utang

perseroan diambil dari hasil penjualan aset

perseroan. Harta pribadi pemegang saham,

Direksi maupun Komisaris tidak dapat

dimintakan untuk melunasi utang

perseroan apabila hasil penjualan harta

perseroan tidak cukup untuk melunasi

utang perseroan. Hal ini terjadi karena

penerapan prinsip limited liability dan

separate entity pada sistem perseroan di

Indonesia seperti yang telah dijelaskan di

atas dan Pasal 1131 BW yang telah

menjelaskan bahwa kekayaan Debitor

(perseroan) menjadi jaminan atas perikatan

yang dilakukannya. Namun, berdasarkan

Pasal 3 ayat (2) UU PT menyebutkan

bahwa ketentuan separate legal entity dan

limited liability tidak berlaku apabila

terdapat kesalahan dan kelalaian yang

dilakukan oleh pemegang saham, Direksi

dan/atau Komisaris (piercing the corporate

viel). Piercing the corporate viel akan

menghapus tanggung jawab terbatas dari

pengurus dan pendiri Perseroan.

Piercing the corporate viel

merupakan suatu doktrin atau teori yang

diartikan sebagai suatu proses untuk

membebani tanggung jawab ke pundak

orang atau perusahaan lain, atas perbuatan

hukum yang dilakukan oleh suatu

perusahaan pelaku (badan hukum), tanpa

melihat kepada fakta bahwa perbuatan

tersebut sebenarnya dilakukan oleh

perseroan pelaku tersebut24.

24 Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam

Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum

Page 31: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

30

Piercing the corporate viel tidak dengan

mudah diterapkan oleh pengadilan karena

limited liability yang dimiliki perseroan

amat kuat dan tidak dapat begitu saja

dikesampingkan. Penerapan percing the

corporate viel oleh pengadilan dilakukan

dengan memperhatikan substansi atau

kenyataan praktis pada bentuk formal dari

perseroan tersebut seperti pada PT. PMS,

dimana pailitnya perseroan tersebut

bukanlah kesalahan dari Direksi melainkan

karena penipuan Surat Setoran Pajak (SSP)

fiktif oleh oknum pegawai konsultan pajak

yang digunakan oleh perseroan.

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan pada bab sebelumnya, maka

dapat disimpulkan bahwa :

1. Direksi PT sesuai dengan Pasal 1 angka

5 UU PT adalah wakil dari PT, apabila

PT dipailitkan maka direksi yang

mewakili. UU KUP mengenal istilah

penanggung pajak; karena direksi

adalah wakil PT otomatis direksi adalah

yang bertanggung jawab atas utang

pajak. Penghapusan utang pajak badan

yang dipailitkan dapat dihapuskan

dengan memenuhi syarat Wajib Pajak

bubar, likuidasi, atau pailit dan

Indonesia, Cetakan Kedua, 2010, Bandung, Citra

Aditya Bakti, h. 7.

Penanggung Pajak tidak dapat

ditemukan. Direksi (penanggung pajak)

PT yang telah dipailitkan dan diketahui

keberadaannya bertanggung jawab atas

utang pajak. Ketentuan Pasal 21 UU

KUP dan PMK No. 68 Tahun 2012

membentengi terhindarnya penanggung

pajak atas tanggung jawab melakukan

pembayaran utang pajak. UU KUP

melengkapi pengaturan pada UU

KPKPU atas direksi Perseroan Terbatas

yang dinyatakan pailit.

2. Putusan pailit Pengadilan Niaga tidak

mempunyai kekuatan terhadap

tanggung jawab pembayaran utang

pajak dari Perseroan Tebatas yang

dinyatakan pailit. Putusan pailit

Pengadilan Niaga menghentikan roda

kegiatan usaha perusahaan tetapi tidak

termasuk penghentian penagihan atas

utang pajak yang belum terbayar. DJP

tetap mengejar tanggung jawab diireksi

PT yang dinyatakan pailit dengan

berlandaskan pada Pasal 1137 BW;

Pasal 21 UU No. 28 Tahun 2007; Pasal

1 ayat (3) PMK No. 68 Tahun 2012.

yang berbunyi Wajib Pajak bubar,

likuidasi, atau pailit dan Penanggung

Pajak tidak dapat ditemukan.

Page 32: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

31

Saran

Berdasarkan pembahasan dan

kesimpulan yang telah diuraikan di atas,

maka penulis memiliki beberapa saran

sebagai berikut :

1. Hakim Pengadilan Niaga dalam

memutus perkara kepailitan dapat

lebih mempertimbangkan dan

melihat keadaan Debitor yang

dinyatakan pailit berdasarkan kasus

per kasusnya dalam hal terdapat

utang pajak yang tidak terbayar

sehingga dapat memberikan rasa

keadilan bagi Debitor karena pada

dasarnya tidak semua Debitor

melakukan kesalahan yang

menyebabkan Perseroan Terbatas

menjadi pailit.

2. Pemerintah dalam hal ini Direktorat

Jenderal Pajak, serta pihak-pihak

yang terkait lebih bijaksana dalam

menyusun peraturan perundang-

undangan perpajakan khususnya

penerapan hak penagihan atas utang

pajak pada Debitor suatu Perseroan

Terbatas yang telah dinyatakan pailit

yang masih memiliki utang pajak.

Pemerintah secara bijaksana dan

detail membedakan Debitor

insolvensi dan yang tidak dalam

penerapan penagihan utang pajak

demi rasa keadilan bagi Debitor.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan perundang-undangan

Undang–Undang Dasar Republik

Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek).

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

(Wetboek van Koophandel voor

Indonesie S.1847-23).

Republik Indonesia, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1995 tentang

Perseroan Terbatas.

───────, Undang-undang Nomor 19

tahun 2000 tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 19 Tahun

1997 tentang Penagihan Pajak

dengan Surat Paksa.

───────, Undang-undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang.

───────, Undang-undang Nomor 28

tahun 2007 tentang Perubahan

Ketiga Atas Undang-undang Nomor

6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan.

───────, Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

───────, Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Page 33: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

32

───────, Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 68 Tahun 2012 tentang Tata

Cara Penghapusan Piutang Pajak dan

Penetapan Besarnya Penghapusan.

Buku

Abdul, R.Saliman, Hermansyah, Ahmad

Jalis, 2007, Hukum Bisnis untuk

Perusahaan : Teori dan Contoh

Kasus, Jakarta : Prenada Media.

Arikunto, Suharsini, 2002, Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek. Jakarta : Rieneka Cipta.

Black, Henry Campbell, Black’s Law

Dictionary, Centennial Sixth Edition,

St. Paul, 1990, Minn: West

Publishing co.

Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum dan

Tanggung Jawab Pendiri Perseroan

Terbatas, 2002, Jakarta : Ghalia

Indonesia.

Fuady, Munir, Doktrin Doktrin Modern

Dalam Corporate Law, 2002,

Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara

Perdata, 2010, Jakarta : Sinar

Grafila.

───────, Hukum Perseroan, Cetakan

Ketiga, Edisi Ketujuh, 2011, Jakarta

: Sinar Grafika.

Hartini, Rahayu, Penyelesaian Sengketa

Kepailitan di Indonesia Dualisme

Kewenangan Pengadilan Niaga dan

Lembaga Arbitrase, 2009, Jakarta :

Kencana Prenada Media Grup.

Jono, Hukum Kepailitan, 2008, Jakarta :

Sinar Grafika.

Mardiasmo, Perpajakan, 2008,Yogyakarta

: CV Andi Offiset.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian

Hukum. 2005, Jakarta : Kencana

Prenada Media Group.

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggung-

jawaban Pidana Korporasi, 2010,

Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja,

Pedoman Menangani Perkara

Kepailitan, 2003, Jakarta :

RajaGrafindo Persada.

Sastrawidjaja, H. Man S., Hukum

Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, 2006,

Bandung : Alumni.

Simatupang, R.B, Aspek Hukum Dalam

Bisnis, Edisi Revisi, 2003, Jakarta :

Rineka Cipta.

Subhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan,

Prinsip, Norma dan Praktik di

Pengadilan, 2008, Jakarta : Kencana.

Syamsudin, M, Operasional Penelitian

Hukum, 2007, Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada.

Page 34: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

33

Utomo.Ibrahim, Johnny, Teori dan

Metodologi Penelitian Hukum

Normatif, 2006, Malang : Bayumedia

Publishing.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri

Hukum Hukum Bisnis: Perseroan

Terbatas, 2000, Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada.

Jurnal

Anisah, Siti, “Studi Komparasi Terhadap

Perlindungan Kepentingan Kreditor

dan Debitor dalam Hukum

Kepailitan”,2009, Jurnal Hukum No.

Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009.

Badrulzaman, et all, Kompilasi Hukum

Perikatan: Dalam Rangka

Memperingati Memasuki Masa

Purna Bakti Usia 70 Tahun.

Bandung: Citra Aditya Bakti. Dalam

Wan Juli, Joko Nur Sariono, “Hak

Dan Kewajiban Wajib Pajak Dalam

Penyelesaian Sengketa Perpajakan

Di Pengadilan Pajak”, Jurnal

Perspektif Volume XIX No.3 Tahun

2014 Edisi September.

Halim, Reynold Martinus, Badriyah Rifai,

Anwar Borahima, 2012,

“Pelaksanaan Pembayaran Utang

Kreditur Preferen Dalam Kasus

Kepailitan”.

Isfardiyana, Siti Hapsah, “Tanggung Jawab

Organ Perseroan Terbatas Dalam

Kasus Kepailitan”, 2014, Jurnal

Arena Hukum Volume 7, Nomor 2,

agustus 2014.

Lumowa, Ardy Billy, 2013, Tanggung

Jawab Perusahaan Yang

Dinyataklan Pailit Terhadap pihak

ketiga, Jurnal Lex Privatum,

Vol.1/No.3/Juli/2013.

Marshayrul, Toni, Penelitian Haryo

Sulistiriyanto, 2001.

Pratama, Bambang, “Kepailitan dalam

Putusan Hakim ditinjau dari

Perspektif Hukum Formil dan

Materil”, 2014.

Rokhim, Abdul, “Wewenang Direksi Dan

Akibat Hukumnya Bagi Perseroan

Terbatas”, Jurnal Al-Buhuts, ISSN:

1410-184 X, Seri B, Vol. 6 No. 1,

September 2001, Lembaga Penelitian

Universitas Islam Malang.

Tumbel, Ridel S, Kajian Hukum Tanggung

Jawab Direksi Terhadap Kerugian

Perusahaan Perseroan (Persero),

Jurnal Vol. II No. 1, 2014.

Tumbuan, Fred BG, “Pokok-Pokok

Undang-Undang Tentang Kepailitan

Sebagaimana Diubah Oleh Pepru No.

1 Tahun 1998”, Makalah

disampaikan dalam lokakarya UU

Page 35: PERTANGGUNGJAWABAN UTANG PAJAK …weloje.id/wp-content/uploads/2016/11/KARYA-TULIS-ILMIAH...5 menimbulkan masalah (konflik hukum) sejauh manakah batasan tanggung jawab Direksi Perseroan

34

Kepailitan, Jakarta 3-14 Agustus

1998.

Widipradnyana Arjaya, B.G.M,

“Wewenang Kejaksaan Sebagai

Pemohon Pailit Untuk Kepentingan

Negara Terhadap Utang Pajak

Subyek Hukum Dari Negara

Anggota ASEAN Non-Indonesia

Pasca Berlakunya AEC”, Jurnal

Rechts Vinding, ISSN 2089-9009,

Volume 3 Nomor2, Agustus 2014.

Makalah/Paper/Orasi

Ardytia, Wisnu, 2009, Perlindungan

Hukum Kreditor Dalam Kepailita

(Studi Kasus Terhadap Peninjauan

Kembali GEG. NO. 07 PK/N/2004),

Tesis, Program Pascasarjana,

Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Diponegoro, Semarang.

Aruan, Albert Richi, 2010, Kedudukan

Negara Atas Utang Pajak PT. Artika

Optima Inti Dalam Kasus Kepailitan.

Kurniawan, 2007, Pemberesan Harta

Pailit Pada Perusahaan Perorangan

(Studi Kasus Pada PT. Sierad

Produce Tbk), Tesis, Program

Pascasarjana, Program Studi

Magister Kenotariatan Universitas

Diponegoro, Semarang.

Nurdin, Andriani, 2012, Kepailitan BUMN

Persero Berdasarkan Asas Kepastian

Hukum, PT. Alumni, Bandung.

Setiarso, Adi Nugroho, 2013, "Analisis

Yuridis Terhadap Keadaan

Insolvensi Dalam Kepailitan (Studi

Normatif Pasal 2 ayat 1 Undang-

undang No 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang)".

Tyassari, Yudaning, 2008, Akibat Hukum

Putusan Pailit Pada Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) PT.

Dirgantara Indonesia (Persero),

Tesis, Program Pascasarjana,

Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Diponegoro, Semarang.