Top Banner
Rekayasa Jalan Raya BAB VI PERENCANAAN RIGID PAVEMENT DENGAN METODE AASHTO 1993 6.1. UMUM Perencanaan mengacu pada AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials) guide for design of pavement structures 1993 (selanjutnya disebut AASHTO 1993) . Langkah-langkah / tahapan, prosedur dan parameter-parameter perencanaan secara praktis diberikan sebagai berikut dibawah ini. Parameter perencanaan terdiri : Analisis lalu-lintas : mencakup umur rencana, lalu- lintas harian rata-rata, pertumbuhan lalu-lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent single axle load Terminal serviceability index Initial serviceability Serviceability loss Reliability Standar normal deviasi Standar deviasi CBR dan Modulus reaksi tanah dasar Modulus elastisitas beton, fungsi dari kuat tekan beton Flexural strength Drainage coefficient Load transfer coefficient Bagan alir prosedur perencanaan diperlihatkan seperti pada Gambar 6.1. 6.2. ANALISIS LALU-LINTAS (TRAFFIC DESIGN) 6.2.1. Umur rencana Umur rencana rigid pavement umumnya diambil 20 tahun untuk konstruksi baru. VI - 1
65

Perkerasan Kaku

Dec 21, 2015

Download

Documents

Dicky Dharmawan

perkerasan kaku
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

BAB VI

PERENCANAAN RIGID PAVEMENTDENGAN METODE AASHTO 1993

6.1. UMUM

Perencanaan mengacu pada AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials) guide for design of pavement structures 1993 (selanjutnya disebut AASHTO 1993). Langkah-langkah / tahapan, prosedur dan parameter-parameter perencanaan secara praktis diberikan sebagai berikut dibawah ini.

Parameter perencanaan terdiri :

Analisis lalu-lintas : mencakup umur rencana, lalu-lintas harian rata-rata, pertumbuhan lalu-lintas tahunan, vehicle damage factor, equivalent single axle load

Terminal serviceability index Initial serviceability Serviceability loss Reliability Standar normal deviasi Standar deviasi CBR dan Modulus reaksi tanah dasar Modulus elastisitas beton, fungsi dari kuat tekan beton Flexural strength Drainage coefficient Load transfer coefficient

Bagan alir prosedur perencanaan diperlihatkan seperti pada Gambar 6.1.

6.2. ANALISIS LALU-LINTAS (TRAFFIC DESIGN)

6.2.1. Umur rencana

Umur rencana rigid pavement umumnya diambil 20 tahun untuk konstruksi baru.

6.2.2. Lalu-lintas harian rata-rata (LHR) dan pertumbuhan lalu-lintas tahunan

Ciri pengenalan penggolongan kendaraan seperti dibawah ini, penggolongan lalu-lintas terdapat paling tidak 3 versi yaitu berdasar Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997(Tabel 6.1.), berdasar Pedoman Teknis No. Pd.T-19-2004-B Survai pencacahan lalu lintas dengan cara manual (Tabel 6.2.), dan berdasar PT. Jasa Marga (Persero) lihat Tabel 6.3.

VI - 1

Page 2: Perkerasan Kaku

Umur rencana Faktor distribusi arah

Traffic Faktor distribusi lajur LHR pada tahun dibuka Pertumbuhan lalu-lintas tahunan Vehicle damage factor

Reliability Standard normal deviation Standard deviation

Tidak

Serviceability Terminal serviceability Check Ya Tebal pelat Initial serviceability Equation

Kuat tekan beton Modulus elastisitas beton

Drainage coefficient

Load transfer coefficient

CBR

rencana

Flexural strength

Serviceability loss CobaTebal pelat

Desain ESAL

Modulus reaksi tanah dasar

Rekayasa Jalan Raya

BAGAN ALIR PROSEDUR PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN KAKU – CARA AASHTO 1993

Gambar 6.1.

VI - 2

Page 3: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Pengenalan ciri kendaraan :

Kecuali Combi, umumnya sebagai kendaraan penumpang umum maximal 12 tempat duduk seperti mikrolet, angkot, minibus, pick-up yang diberi penaung kanvas / pelat dengan rute dalam kota dan sekitarnya atau angkutan pedesaan.

Umumnya sebagai kendaraan barang, maximal beban sumbu belakang 3,5 ton dengan bagian belakang sumbu tunggal roda tunggal (STRT).

Bus kecil adalah sebagai kendaraan penumpang umum dengan tempat duduk antara 16 s/d 26 kursi, seperti Kopaja, Metromini, Elf dengan bagian belakang sumbu tunggal roda ganda (STRG) dan panjang kendaraan maximal 9 m dengan sebutan bus ¾. : Golongan 5a.

Bus besar adalah sebagai kendaraan penumpang umum dengan tempat duduk antara 30 s/d 50 kursi, seperti bus malam, bus kota, bus antar kota yang berukuran 12 m dan STRG : Golongan 5b.

Truk 2 sumbu adalah sebagai kendaraan barang dengan beban sumbu belakang antara 5 - 10 ton (MST 5, 8, 10 dan STRG) : Golongan 6.

Truk 3 sumbu adalah sebagai kendaraan barang dengan 3 sumbu yang letaknya STRT dan SGRG (sumbu ganda roda ganda) : Golongan 7a.

Truk gandengan adalah sebagai kendaraan no. 6 dan 7 yang diberi gandengan bak truk dan dihubungkan dengan batang segitiga. Disebut juga Full Trailer Truck : Golongan 7b.

Truk semi trailer atau truk tempelan adalah sebagai kendaraan yang terdiri dari kepala truk dengan 2 - 3 sumbu yang dihubungkan secara sendi dengan pelat dan rangka bak yang beroda belakang yang mempunyai 2 atau 3 sumbu pula : Golongan 7c.

Tabel 6.1. : Penggolongan kendaraan berdasar MKJI.

No. Type kendaraan Golongan

1. Sedan, jeep, st. wagon 22. Pick-up, combi 33. Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 44. Bus kecil 5a5. Bus besar 5b6. Truck 2 as (H) 67. Truck 3 as 7a8. Trailer 4 as, truck gandengan 7b9. Truck s. trailer 7c

Tabel 6.2. : Penggolongan kendaraan berdasar Pedoman Teknis No. Pd.T-19-2004-B.

No. Jenis kendaraan yang masuk kelompok ini adalah Golongan

VI - 3

Page 4: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

1. Sedan, jeep, dan Station Wagon 22. Opelet, Pick-up opelet, Sub-urban, Combi, Minibus 33. Pick-up, Micro Truck dan Mobil hantaran atau Pick-up Box 44. Bus Kecil 5a5. Bus Besar 5b6. Truk ringan 2 sumbu 6a7. Truk sedang 2 sumbu 6b8. Truk 3 sumbu 7a9. Truk Gandengan 7b

10. Truk Semi Trailer 7c

Tabel 6.3. : Penggolongan kendaraan berdasar PT. Jasa Marga (Persero).

No. Golongan kendaraan

1 Golongan 12 Golongan 1 au3 Golongan 2 a4 Golongan 2 a au5 Golongan 2 b

Data yang dibutuhkan untuk perencanaan dari parameter lalu-lintas harian rata-rata dan pertumbuhan lalu-lintas tahunan, untuk memudahkan dalam analisis, disajikan dalam suatu tabel (lihat Tabel 6.4.), dalam tabel ini digabungkan sekalian data / parameter vehicle damage factor (VDF).

Tabel 6.4. : Data / parameter Golongan kendaraan, LHR, Pertumbuhan lalu-lintas ( i ) & VDF.

No. Jenis kendaraan Gol. LHR i (%) VDF

1. Sedan, jeep, dan Station Wagon 22. Opelet, Pick-up opelet, Sub-urban, Combi, Minibus 33. Pick-up, Micro Truck dan Mobil hantaran atau Pick-up Box 44. Bus Kecil 5a5. Bus Besar 5b6. Truk ringan 2 sumbu 6a7. Truk sedang 2 sumbu 6b8. Truk 3 sumbu 7a9. Truk Gandengan 7b

10. Truk Semi Trailer 7c

Keterangan :

Contoh diatas, penggolongan kendaraan mengacu pada Pedoman Teknis No. Pd.T-19-2004-B.

LHR : Jumlah lalu-lintas harian rata-rata (kendaraan) pada tahun survai / pada tahun terakhir.i : Pertumbuhan lalu-lintas per tahun (%)VDF : Nilai damage factor

6.2.3. Vehicle Damage Factor (VDF)

VI - 4

Page 5: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Diberikan kajian dan nilai-nilai VDF dari berbagai sumber berikut ini, yang semuanya tidak ada kesamaan nilainya, dan bahkan ada nilai yang berbeda sangat signifikan untuk jenis kendaraan yang mewakili sama.

VDF diambil berdasar :

Bina Marga MST-10 NAASRA MST-10 PUSTRANS 2002 (over loaded) CIPULARANG 2002 PANTURA 2003 MST-10 Semarang – Demak 2004 Yogyakarta – Tempel 2004

1. Bina Marga MST-10

Mengacu pada buku Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen No. SNI 1732-1989-F dan Manual Perkerasan Jalan dengan alat Benkelman beam No. 01/MN/BM/83.

Bina Marga MST 10, dimaksudkan damage factor didasarkan pada muatan sumbu terberat sebesar 10 ton.

Angka ekivalen beban sumbu kendaraan adalah angka yang menyatakan perbandingan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh suatu lintasan beban sumbu tunggal / ganda kendaraan terhadap tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh satu lintasan beban standar sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18.000 lb).

Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap kendaraan) ditentukan menurut rumus dibawah ini :

Sumbu tunggal =

Sumbu ganda = 0,086

Konfigurasi beban sumbu pada berbagai jenis kendaraan beserta angka ekivalen kendaraan dalam keadaan kosong (min) dan dalam keadaan bermuatan (max), dapat dilihat pada Tabel 5.5..

Vehicle Damage Factor (VDF) jika dihitung berdasarkan formula diatas dengan konfigurasi sumbu pada Tabel 5.5. serta untuk muatan sumbu terberat 10 ton hasilnya diberikan pada Tabel 6.5.

Tabel 6.5. : Vehicle damage factor berdasar Bina Marga MST-10.

No. Type kendaraan & golongan Nilai VDF

1 Sedan, jeep, st. wagon 2 Gol-1 1.1 0,00052 Pick-up, combi 3 Gol-2 1.2 0,21743 Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 4 Gol-2 1.2L 0,21744 Bus kecil 5a Gol-2 1.2 0,21745 Bus besar 5b Gol-9 1.2 0,30066 Truck 2 as (H) 6 Gol-3 1.2H 2,41597. Truck 3 as 7a Gol-4 1.2.2 2,7416

VI - 5

Page 6: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

8. Trailer 4 as, truck gandengan 7b Gol-6 1.2+2.2 3,90839. Truck s. trailer 7c Gol-8 1.2.2+2.2 4,1718

Nilai VDF pada Tabel 6.5. tersebut perhitungannya diberikan pada Lampiran 6.1. pada akhir Bab VI ini.

2. NAASRA MST-10

Nilai Angka Ekivalen Beban Sumbu (E) yang digunakan oleh NAASRA, Australia, dengan formula berikut ini :

a. Sumbu tunggal, roda tunggal

E = [ Beban sumbu tunggal, kg / 5400 ]4

b. Sumbu tunggal, roda ganda

E = [ Beban sumbu tunggal, kg / 8200 ]4

c. Sumbu ganda, roda ganda

E = [ Beban sumbu ganda, kg / 13600 ]4

Vehicle Damage Factor (VDF) jika dihitung berdasarkan formula diatas dengan konfigurasi beban mengacu pada Bina Marga MST-10 (muatan sumbu terberat 10 ton) hasilnya diberikan pada Tabel 6.6.

Tabel 6.6. : Vehicle damage factor berdasar NAASRA MST-10.

No. Type kendaraan & golongan Nilai VDF

1 Sedan, jeep, st. wagon 2 1.1 0,00242 Pick-up, combi 3 1.2 0,27383 Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 4 1.2L 0,27384 Bus kecil 5a 1.2 0,27385 Bus besar 5b 1.2 0,37856 Truck 2 as (H) 6 1.2H 3,04217. Truck 3 as 7a 1.2.2 5,40748. Trailer 4 as, truck gandengan 7b 1.2+2.2 4,80719. Truck s. trailer 7c 1.2.2+2.2 7,2881

Perhitungan VDF tersebut pada Tabel 6.6, diberikan pada Lampiran 6.1. pada akhir Bab VI ini.

3. PUSTRANS 2002

Survai beban dilakukan oleh PUSTRANS JALAN pada Januari 2002, pada ruas jalan Pantura (Paket BP-07).

Penggolongan kendaraan survey PUSTRANS JALAN :

No. Type kendaraan & golongan

1 MP (1.1) Mobil penumpang (minibus, sedan)

VI - 6

Page 7: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

2 T (1.2) Truck medium roda belakang 13 T (1.2) Truck besar roda belakang 24 BUS (1.2) Bus besar5 T (1.2.2) Truck tandem 3 as6 T (1.1.2.2) Truck tandem 4 as7 T (1.2-2.2) Truck gandeng8 T (1.2-2) Truck roda belakang 2, belakang dapat dibuka 29 T (1.2-22) Truck roda belakang 2, belakang dapat dibuka 2,2

10 T (1.22+222) Truck roda belakang 2,2, belakang dapat dibuka 2,2,2

Konfigurasi beban masing-masing kendaraan tersebut diperlihatkan seperti pada Gambar 6.2.a. dan 6.2.b, nilai Vehicle Damage Factor diberikan seperti pada Tabel 6.7

Tabel 6.7. : Vehicle damage factor berdasar PUSTRANS 2002 (over loaded)

No. Type kendaraan & golongan Nilai VDF

1 Sedan, jeep, st. wagon 2 Gol-1 1.1 0,00012 Pick-up, combi 3 Gol-2 1.2 0,15803 Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 4 Gol-2 1.2L 0,15804 Bus kecil 5a Gol-2 1.2 0,15805 Bus besar 5b Gol-9 1.2 0,69846 Truck 2 as (H) 6 Gol-3 1.2H 2,68837. Truck 3 as 7a Gol-4 1.2.2 5,38478. Trailer 4 as, truck gandengan 7b Gol-6 1.2+2.2 5,79629. Truck s. trailer 7c Gol-8 1.2.2+2.2 4,2155

Perhitungan VDF tersebut pada Tabel 2.8, diberikan pada Lampiran 6.1. pada akhir Bab VI ini.

VI - 7

Page 8: Perkerasan Kaku

Golongan 1 Golongan 2

Golongan 3 Golongan 4

Golongan 5 Golongan 6

Diwakili Oleh (T 1.2 M)

Diwakili Oleh MP (T 1.1)

0.7 T 0.8 T

2.66 T 5.05 T

Diwakili Oleh (T 1.2 H) Diwakili Oleh (T 1.2.2)

4.47 T 10.36 T 7.01 T 11.20 T 11.15 T

Diwakili Oleh (T 1.2.2.2) Diwakili Oleh (T 1.2+2.2)

4.05 T 11.25 T 10.00 T10.00 T 4.91 T 11.26 T 8.47 T 7.90 T

Rekayasa Jalan Raya

Gambar 6.2.a.

VI - 8

Page 9: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Gambar 6.2.b.

VI - 9

Golongan 7

Golongan 8

Golongan 9

Diwakili Oleh (T 1.2 + 2)

3.00 T 4.10 T 7.50 T

Diwakili Oleh (T 1.2.2 + 2.2)

5.88 T 10.07 T 7.00 T 7.25 T10.00 T

5.29 T 8.39 T 7.97 T 7.71 T 7.89 T 7.74 T

Diwakili Oleh (T 1.2.2 - 2.2.2)

Page 10: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

4. CIPULARANG 2002

Survai primer lalu-lintas untuk Jalan Tol Cikampek – Padalarang dilaksanakan bulan Januari 2002 – Februari 2002 oleh PT. Cipta Strada & Ass.

Faktor pengrusakan kendaraan terhadap permukaan perkerasan (damage factor) diambil dari survai penimbangan secara bergerak (weight in motion survey), penimbangan menggunakan peralatan PAD / Weight-Mat dari Golden River (Inggris).

Survai dilaksanakan di ruas jalan :

Ruas Subang – Sadang ( SBG – SDG ), Januari 2002. Ruas Purwakarta – Padalarang ( PWK – PDL ), Februari 2002.

Rekomendasi hasil survai untuk damage factor seperti pada Tabel 6.8.

Tabel 6.8. : Rekomendasi hasil WIM survey berdasar CIPULARANG 2002

Jenis kendaraan Rata-rata perataan

SBG - SDG PWK - PDL Dua ruas

Kendaraan kecil / pribadi 0,0010 0,0010 0,0010Truk / bis kecil 0,2016 0,2090 0,2060Truk / bis sedang 0,3591 1,3394 1,0931Truk / bis besar 3,7013 4,8181 4,4526Truk 3 atau 4 sumbu 4,9282 3,2521 3,4214Truk + trailer 1,2260 10,7354 8,9003Trailer - 3,6115 3,6115Kendaraan truk + trailer 1,9206 3,0920 2,7886Semua kendaraan 0,6835 1,6442 1,3097

Damage factor yang dipakai adalah rata-rata perataan dua ruas tersebut.

Konfigurasi kendaraan diperlihatkan seperti pada Gambar 6.3.

Gambar 6.3. : Penggolongan kendaraan pada jalan tol.

5. PROYEK PANTURA 2003 MST-10

Dari Laporan Teknik September 2003 Proyek Induk Pembangunan Jalan Jalur Pantura Jawa, perhitungan penyesuaian VDF dirangkum seperti pada Tabel 6.9.

VI - 10

GOLONGANGOLONGAN

I I AU II A II A AU II B

Page 11: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Tabel 6.9. : Penyesuaian Vehicle Damage Factor PANTURA 2003 MST-10.

No. Type kendaraan & golongan Nilai VDF

1 Sedan, jeep, st. wagon 2 Gol-1 1.1 0,00052 Pick-up, combi 3 Gol-2 1.2 0,31063 Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 4 Gol-2 1.2L 0,31064 Bus kecil 5a Gol-2 1.2 0,31065 Bus besar 5b Gol-9 1.2 0,15926 Truck 2 as (H) 6 Gol-3 1.2H 2,32867. Truck 3 as 7a Gol-4 1.2.2 2,62098. Trailer 4 as, truck gandengan 7b Gol-6 1.2+2.2 7,05889. Truck s. trailer 7c Gol-8 1.2.2+2.2 4,3648

6. Semarang – Demak, PUSTRANS 2004

Axle load survey dilakukan pada bulan April 2004 pada ruas jalan Semarang – Demak, hasil / nilai Vehicle Damage Factor (VDF) dirangkum seperti pada Tabel 6.10.

7. Yogyakarta – Sleman / Tempel, PUSTRANS 2004

Axle load survey dilakukan pada bulan April 2004 pada ruas jalan Yogyakarta – Sleman / Tempel, hasil / nilai Vehicle Damage Factor (VDF) dirangkum seperti pada Tabel 6.11.

Tabel 6.10. : Vehicle Damage Factor berdasar PUSTRANS 2004 Semarang – Demak.

Golongan kendaraan Type kendaraan Nilai VDF

1. Mobil penumpang 1-1 0,0020

2.Mini bus 1-2

0,1960Truk kecil 1-2Mobil box kecil 1-2Mobil tanki kecil 1-2

Truk besar 1-23. Mobil tanki besar 1-2 1,5690

Mobil box besar 1-2

4.Truk besar 1-2.2

8,0290Mobil tanki besar 1-2.2Mobil box besar 1-2.2Mobil beton molen 1-2.2

5. Truk peti kemas 1-2-2.2 2,3770Truk peti kemas 1-2-2.2.2

Tabel 6.10. : Vehicle Damage Factor berdasar PUSTRANS 2004 Semarang – Demak.

Golongan kendaraan Type kendaraan Nilai VDF

Truk gandeng 1-2+2-26. Tanki gandeng 1-2+2-2 8,1950

Truk gandeng 1-2-2+2-2

Truk peti kemas 1-2+2

VI - 11

Page 12: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

7. 1,1860 *Truk peti kemas 1-2.2+2

8. Truk peti kemas 1-2+2.2 0,0670 *Truk peti kemas 1-2.2+2.2

9. Truk peti kemas 1-2+2.2.2 1,0290Truk peti kemas 1-2.2+2.2.2

10. Bus 1-2 0,9290

Catatan :

* Total jumlah kendaraan yang lewat selama 3 hari survey kurang dari 30.

Tabel 6.11. : Vehicle Damage Factor berdasar PUSTRANS 2004 Yogyakarta – Tempel.

Golongan kendaraan Type kendaraan Nilai VDF

1. Mobil penumpang 1-1 0,0020

Mini bus 1-22. Truk kecil 1-2 0,3590

Mobil box kecil 1-2Mobil tanki kecil 1-2

Truk besar 1-23. Mobil tanki besar 1-2 4,4460

Mobil box besar 1-2

Truk besar 1-2.24. Mobil tanki besar 1-2.2 9,8050

Mobil box besar 1-2.2Mobil beton molen 1-2.2

5. Truk peti kemas 1-2-2.2 0,4040 *Truk peti kemas 1-2-2.2.2

Truk gandeng 1-2+2-26. Tanki gandeng 1-2+2-2 0,1040 *

Truk gandeng 1-2-2+2-2

7. Truk peti kemas 1-2+2 **Truk peti kemas 1-2.2+2

8. Truk peti kemas 1-2+2.2 0,5200 *Truk peti kemas 1-2.2+2.2

9. Truk peti kemas 1-2+2.2.2 **Truk peti kemas 1-2.2+2.2.2

10. Bus 1-2 0,3710

Catatan :

* Total jumlah kendaraan yang lewat selama 3 hari survey kurang dari 30.** Tidak didapat data berat kendaraan selama 3 survey penimbangan.

8. Vehicle Damage Factor (VDF) rata-rata dan VDF desain

Dari data nilai-nilai Vehicle Damage Factor (VDF) tersebut diatas (butir nomer 6.2.3.1. s/d 6.2.3.7 atau 7 versi) akan dirangkum pada Tabel 6.12, dan jika nilai dari 7 versi VDF tersebut dirata-rata maka hasilnya seperti pada kolom paling kanan (kolom H) dari Tabel 6.12.

VI - 12

Page 13: Perkerasan Kaku

Vehicle Damage Factor (VDF)

A B C D E F G H

1 Sedan, jeep, st. wagon 0.0005 0.0024 0.0001 0.0010 0.0005 0.0020 0.0020 0.0012

2 Pick-up, combi 0.2174 0.2738 0.1580 0.0010 0.3106 0.1960 0.3590 0.2165

3 Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 0.2174 0.2738 0.1580 0.2060 0.3106 0.1960 0.3590 0.2458

4 Bus kecil 0.2174 0.2738 0.1580 0.2060 0.3106 0.1960 0.3590 0.2458

5 Bus besar 0.3006 0.3785 0.6984 4.4526 0.1592 0.9290 0.3710 1.0413

6 Truck 2 as (H) 2.4159 3.0421 2.6883 4.4526 2.3286 1.5690 4.4460 2.9918

7 Truck 3 as 2.7416 5.4074 5.3847 3.4214 2.6209 8.0290 9.8050 5.3443

8 Trailer 4 as, truck gandengan 3.9083 4.8071 5.7962 8.9003 7.0588 8.1950 0.4040 5.5814

9 Truck S. Trailer 4.1718 7.2881 4.2155 3.6923 4.3648 1.0290 0.5200 3.6116

Keterangan :

No. Type kendaraan

Vehicle Damage Factor (VDF)

A B C D E F G H

1 Sedan, jeep, st. wagon 0.0005 0.0024 0.0001 0.0010 0.0005 0.0020 0.0020 0.0012

2 Pick-up, combi 0.2174 0.2738 0.1580 0.0010 0.3106 0.1960 0.3590 0.2165

3 Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran 0.2174 0.2738 0.1580 0.2060 0.3106 0.1960 0.3590 0.2458

4 Bus kecil 0.2174 0.2738 0.1580 0.2060 0.3106 0.1960 0.3590 0.2458

5 Bus besar 0.3006 0.3785 0.6984 4.4526 0.1592 0.9290 0.3710 1.0413

6 Truck 2 as (H) 2.4159 3.0421 2.6883 4.4526 2.3286 1.5690 4.4460 2.9918

7 Truck 3 as 2.7416 5.4074 5.3847 3.4214 2.6209 8.0290 9.8050 5.3443

8 Trailer 4 as, truck gandengan 3.9083 4.8071 5.7962 8.9003 7.0588 8.1950 6.4443 6.4443

9 Truck S. Trailer 4.1718 7.2881 4.2155 3.6923 4.3648 1.0290 4.1269 4.1269

No. Type kendaraan

Rekayasa Jalan Raya

Vehicle Damage Factor desain

Jika dilakukan survai primer beban gandar kendaraan, maka digunakan nilai VDF dari hasil survai tersebut.

Jika tidak dilaksanakan survai primer beban gandar kendaraan (untuk kondisi dan proyek-proyek tertentu tidak dilaksanakan survai primer ini), maka perlu dilakukan kajian VDF dengan mengambil data sekunder / referensi / literaratur berbagai sumber yang bisa mewakili untuk analisis ruas jalan yang akan direncanakan.

Tabel 6.12. : Vehicle Damage Factor (VDF) desain.

Keterangan :

A : Bina Marga MST 10 TonB : NAASRA MST 10 TonC : PUSTRAN 2002 (overloaded)D : CIPULARANG 2002E : PANTURA 2003 MST 10 TonF : PUSTRANS 2004 Semarang – DemakG : PUSTRANS 2004 Yogyakarta – Sleman / TempelH : VDF rata-rata

Lihat data PUSTRANS 2004 Yogyakarta – Sleman / Tempel pada Tabel 6.12. kolom G :

VDF trailer 4 as, truck gandengan = 0,4040 VDF truck semi trailer = 0,5200

Nilai tersebut sangat siginifikan beda besarannya, sehinga untuk mengambil suatu besaran VDF design perlu di-analisis terhadap nilai VDF dari referensi lain yang baku, jika tidak ada ketentuan lain yang pasti dapat diambil dari rata-rata data. Sehingga Vehicle Damage Factor (VDF) design dapat mengambil nilai-nilai dari Tabel 6.13.

Tabel 6.13. : Koreksi Vehicle Damage Factor (VDF) desain.

VI - 13

Page 14: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

6.2.4. Traffic design

Data dan parameter lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan meliputi :

Jenis kendaraan. Volume lalu-lintas harian rata-rata. Pertumbuhan lalu-lintas tahunan. Damage factor. Umur rencana. Faktor distribusi arah. Faktor distribusi lajur. Equivalent Single Axle Load, ESAL selama umur rencana (traffic design).

Faktor distribusi arah : DD = 0,3 – 0,7 dan umumnya diambil 0,5 (AASHTO 1993 hal. II-9).Faktor distribusi lajur (DL), mengacu pada Tabel 6.14.(AASHTO 1993 halaman II-9).

Tabel 6.14. : Faktor distribusi lajur (DL).

Jumlah lajur setiap arah DL (%)

1 1002 80 – 1003 60 – 804 50 – 75

Rumus umum desain traffic (ESAL = Equivalent Single Axle Load) :

dimana :

W18 = Traffic design pada lajur lalu-lintas, Equivalent Single Axle Load.LHRj = Jumlah lalu-lintas harian rata-rata 2 arah untuk jenis kendaraan j.VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j.DD = Faktor distribusi arah.DL = Faktor distribusi lajur.N1 = Lalu-lintas pada tahun pertama jalan dibuka.Nn = Lalu-lintas pada akhir umur rencana.

Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan adalah lalu-lintas kumulatif selama umur rencana. Besaran ini didapatkan dengan mengalikan beban gandar standar kumulatif pada jalur rencana selama setahun dengan besaran kenaikan lalu-lintas (traffic growth). Secara numerik rumusan lalu-lintas kumulatif ini sebagai berikut :

VI - 14

Page 15: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

dimana :

Wt = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatifW18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun.n = Umur pelayanan, atau umur rencana UR (tahun).g = perkembangan lalu-lintas (%)

6.3. CBR

California Bearing Ratio (CBR), dalam perencanaan perkerasan kaku digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus reaksi tanah dasar (modulus of subgrade reaction : k).

CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6 % untuk lapis tanah dasar, mengacu pada spesifikasi (versi Kimpraswil / Departemen Pekerjaan Umum edisi 2004 dan versi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta edisi 2004). Akan tetapi tanah dasar dengan nilai CBR 5 % dan atau 4 % pun dapat digunakan setelah melalui kajian geoteknik, dengan CBR kurang dari 6 % ini jika digunakan sebagai dasar perencanaan tebal perkerasan, masalah yang terpengaruh adalah fungsi tebal perkerasan yang akan bertambah, atau masalah penanganan khusus lapis tanah dasar tersebut.

6.4. MATERIAL KONSTRUKSI PERKERASAN

Material perkerasan yang digunakan dengan parameter yang terkait dalam perencanaan tebal perkerasan sebagai berikut :

1. Pelat beton

Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2

Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : fc’ = 350 kg/cm2 (disarankan)

2. Wet lean concrete

Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : fc’ = 105 kg/cm2

Sc’ digunakan untuk penentuan paramater flexural strength, dan fc’ digunakan untuk penentuan parameter modulus elastisitas beton (Ec).

6.5. RELIABILITY

Reliability : Probabilitas bahwa perkerasan yang direncanakan akan tetap memuaskan selama masa layannya.

Penetapan angka Reliability dari 50 % sampai 99,99 % menurut AASHTO merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi, mengakomodasi kemungkinan melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai. Semakin tinggi reliability yang dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi kemungkinan terjadinya selisih (deviasi) desain. Besaran-besaran desain yang terkait dengan ini antara lain :

Peramalan kinerja perkerasan. Peramalan lalu-lintas. Perkiraan tekanan gandar. Pelaksanaan konstruksi.

VI - 15

Page 16: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

1. Kinerja perkerasan diramalkan pada angka desain Terminal Serviceability pt = 2,5 (untuk jalan raya utama), pt = 2,0 (untuk jalan lalu-lintas rendah), dan Initial Serviceability po = 4,5 (angka ini bergerak dari 0 – 5).

2. Peramalan lalu-lintas dilakukan dengan studi tersendiri, bukan hanya didasarkan rumus empirik. Tingkat kehandalan jauh lebih baik dibandingkan bila dilakukan secara empiris, linear, atau data sekunder.

3. Perkiraan tekanan gandar yang diperoleh secara primer dari WIM survey, tingkat kehandalannya jauh lebih baik dibanding menggunakan data sekunder.

4. Dalam pelaksanaan konstruksi, spesifikasi sudah membatasi tingkat / syarat agar perkerasan sesuai (atau lebih) dari apa yang diminta desain. Bahkan desain merupakan syarat minimum dalam spesifikasi.

Mengkaji keempat faktor diatas, penetapan besaran dalam desain sebetulnya sudah menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan terjadi. Tetapi tidak ada satu jaminan-pun berapa besar dari keempat faktor tersebut menyimpang.

Reliability (R) mengacu pada Tabel 6.15. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-9).

Standard normal deviate (ZR) mengacu pada Tabel 2.17. (diambil dari AASHTO 1993 halaman I-62).

Standard deviation untuk rigid pavement : So = 0,30 – 0,40 (diambil dari AASHTO 1993 halaman I-62).

Penetapan konsep Reliability dan Standar Deviasi :

Parameter reliability dapat ditentukan sebagai berikut :

Berdasar parameter klasifikasi fungsi jalan Berdasar status lokasi jalan urban / rural Penetapan tingkat Reliability (R) Penetapan standard normal deviation (ZR) Penetapan standar deviasi (So) Kehandalan data lalu-lintas dan beban kendaraan

Tabel 6.15. : Reliability (R) disarankan.

Klasifikasi Reliability : R (%)jalan Urban Rural

Jalan tol 85 – 99,9 80 – 99,9Arteri 80 – 99 75 – 95Kolektor 80 – 95 75 – 95Lokal 50 – 80 50 – 80

Catatan : Untuk menggunakan besaran-besaran dalam standar AASHTO ini sebenarnya dibutuhkan suatu rekaman data, evaluasi desain / kenyataan beserta biaya konstruksi dan pemeliharaan dalam kurun waktu yang cukup. Dengan demikian besaran parameter yang dipakai tidak selalu menggunakan “angka tengah” sebagai kompromi besaran yang diterapkan.

Tabel 6.16. : Standard normal deviation (ZR).

R (%) ZR R (%) ZR

50 - 0,000 93 - 1,47660 - 0,253 94 - 1,55570 - 0,524 95 - 1,64575 - 0,674 96 - 1,751

VI - 16

Page 17: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

80 - 0,841 97 - 1,88185 - 1,037 98 - 2,05490 - 1,282 99 - 2,32791 - 1,340 99,9 - 3,09092 - 1,405 99,99 - 3,750

6.6. SERVICEABILITY

Terminal serviceability index (pt) mengacu pada Tabel 6.17. (diambil dari AASHTO 1993 hal II-10).

Initial serviceability untuk rigid pavement : po = 4,5 (diambil dari AASHTO 1993 hal. II-10).

Total loss of serviceability :

Tabel 6.17. : Terminal serviceability index (pt).

Percent of people ptstating unacceptable

12 3,055 2,585 2,0

Penetapan parameter serviceability :

Initial serviceability : po = 4,5 Terminal serviceability index Jalur utama (major highways) : pt = 2,5 Terminal serviceability index Jalan lalu-lintas rendah : pt = 2,0 Total loss of serviceability :

6.7. MODULUS REAKSI TANAH DASAR

Modulus of subgrade reaction (k) menggunakan gabungan formula dan grafik penentuan modulus reaksi tanah dasar berdasar ketentuan CBR tanah dasar.

MR = 1.500 x CBR

MR = Resilient modulus.

Koreksi Effective Modulus of Subgrade Reaction, menggunakan Grafik pada Gambar 6.4. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-42).

Faktor Loss of Support (LS) mengacu pada Tabel 6.18. (AASHTO 1993 halaman II-27).

VI - 17

Page 18: Perkerasan Kaku

Effective Modulus of Subgrade Reaction, k (pci)

Correction of Effective modulus of Subgrade Reaction for Potensial Loss Subbase Support (6)Gambar6.4.

California Bearing Ratio (CBR)

60 70 80 10025 30 40 50

700 800

2 3 4 5 6 10 15 20

Modulus reaksi tanah dasar : k (psi/in)

100 150 200 250 300 400 500 600

Rekayasa Jalan Raya

Tabel 6.18. : Loss of Support Factors (LS).

No. Tipe material LS

1. Cement Treated Granular Base ( E = 1.000.000 – 2.000.000 psi ) 0 – 12. Cement Aggregate Mixtures ( E = 500.000 – 1.000.000 psi ) 0 – 13. Asphalt Treated Base ( E = 350.000 – 1.000.000 psi ) 0 – 14. Bituminous Stabilized Mixtures ( E = 40.000 – 300.000 psi ) 0 – 15. Lime Stabilized ( E = 20.000 – 70.000 psi ) 1 – 36. Unbound Granular Materials ( E = 15.000 – 45.000 psi ) 1 – 37. Fine grained / Natural subgrade materials ( E = 3.000 – 40.000 psi ) 2 – 3

Pendekatan nilai modulus reaksi tanah dasar dari referensi / literatur :

Pendekatan nilai Modulus Reaksi Tanah Dasar (k) dapat menggunakan hubungan nilai CBR dengan k seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.5. Diambil dari literatur Highway Engineering (Teknik Jalan Raya), Clarkson H Oglesby, R Gary Hicks, Stanford University & Oregon State University, 1996.

Gambar 6.5. : Hubungan antara (k) dan (CBR).

6.8. MODULUS ELASTISITAS BETON

dimana :

VI - 18

Page 19: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Ec = Modulus elastisitas beton (psi).fc’ = Kuat tekan beton, silinder (psi).

Kuat tekan beton fc’ ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan (jika ada dalam spesifikasi).

Di Indonesia saat ini umumnya digunakan : fc’ = 350 kg/cm2

6.9. FLEXURAL STRENGTH

Flexural strength (modulus of rupture) ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan.

Flexural strength saat ini umumnya digunakan : Sc’ = 45 kg/cm2 = 640 psi.

6.10. DRAINAGE COEFFICIENT

6.10.1. Variabel faktor drainase

AASHTO memberikan 2 variabel untuk menentukan nilai koefisien drainase.

Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi excellent, good, fair, poor, very poor. Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air dapat dibebaskan dari pondasi perkerasan.

Variabel kedua : persentasi struktur perkerasan dalam satu tahun terkena air sampai tingkat mendekati jenuh air (saturated), dengan variasi < 1 %, 1 – 5 %, 5 – 25 %, > 25 %

6.10.2. Penetapan variable mutu drainase

Penetapan variable pertama mengacu pada Tabel 6.19. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-22), dan dengan pendekatan sebagai berikut :

a. Air hujan atau air dari atas permukaan jalan yang akan masuk kedalam pondasi jalan, relatif kecil berdasar hidrologi yaitu berkisar 70 – 95 % air yang jatuh di atas jalan aspal / beton akan masuk ke sistem drainase (sumber : BINKOT Bina Marga & Hidrologi Imam Subarkah). Kondisi ini dapat dilihat acuan koefisien pengaliran pada Tabel 6.20. & 6.21.

b. Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi jalan, inipun relatif kecil terjadi, karena adanya road side ditch, cross drain, juga muka air tertinggi di-desain terletak di bawah subgrade.

c. Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata-rata terjadi hujan selama 3 jam per hari dan jarang sekali terjadi hujan terus menerus selama 1 minggu.

Maka waktu pematusan 3 jam (bahkan kurang bila memperhatikan butir b.) dapat diambil sebagai pendekatan dalam penentuan kualitas drainase, sehingga pemilihan mutu drainase adalah berkisar Good, dengan pertimbangan air yang mungkin masih akan masuk, quality of drainage diambil kategori Fair.

Untuk kondisi khusus, misalnya sistem drainase sangat buruk, muka air tanah terletak cukup tinggi mencapai lapisan tanah dasar, dan sebagainya, dapat dilakukan kajian tersendiri.

Tabel 6.19. : Quality of drainage.

Quality of drainage Water removed within

VI - 19

Page 20: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Excellent 2 jamGood 1 hariFair 1 mingguPoor 1 bulanVery poor Air tidak terbebaskan

Tabel 6.20. : Koefisien pengaliran C (Binkot)

No. Kondisi permukaan tanah Koefisien pengaliran (C)

1. Jalan beton dan jalan aspal 0,70 – 0,952. Bahu jalan :

- Tanah berbutir halus 0,40 – 0,65- Tanah berbutir kasar 0,10 – 0,20- Batuan masif keras 0,70 – 0,85- Batuan masif lunak 0,60 – 0,75

Sumber : Petunjuk desain drainase permukaan jalan No. 008/T/BNKT/1990, Binkot, Bina Marga, Dep. PU, 1990.

Tabel 6.21. : Koefisien pengaliran C (Hidrologi, Imam Subarkah)

Type daerah aliran C

Jalan Beraspal 0,70 - 0,95Beton 0,80 - 0,95Batu 0,70 - 0,85

Sumber : Hidrologi, Imam Subarkah.

6.10.3. Penetapan variable prosen perkerasan terkena air

Penetapan variable kedua yaitu persentasi struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air sampai tingkat saturated, relatif sulit, belum ada data rekaman pembanding dari jalan lain, namun dengan pendekatan-pendekatan, pengamatan dan perkiraan berikut ini, nilai dari faktor variabel kedua tersebut dapat didekati.

Prosen struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air dapat dilakukan pendekatan dengan asumsi sebagai berikut :

dimana :

Pheff = Prosen hari effective hujan dalam setahun yang akan berpengaruh terkenanya perkerasan (dalam %).

Tjam = Rata-rata hujan per hari (jam).Thari = Rata-rata jumlah hari hujan per tahun (hari)WL = Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%)

VI - 20

Page 21: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Selanjutnya drainage coefficient (Cd) mengacu pada Tabel 6.22.(AASHTO 1993 halaman II–26).

Tabel 6.22. : Drainage coefficient (Cd).

Percent of time pavement structure is exposedto moisture levels approaching saturation

Quality of drainage < 1 % 1 – 5 % 5 – 25 % > 25 %

Excellent 1.25 – 1.20 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10Good 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00Fair 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90Poor 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80Very poor 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80 – 0.70 0.70

Penetapan parameter drainage coefficient :

Berdasar kualitas drainase Kondisi Time pavement structure is exposed to moisture levels approaching saturation

dalam setahun

6.11. LOAD TRANSFER

Load transfer coefficient (J) mengacu pada Tabel 6.23. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-26), dan AASHTO halaman III-132.

Tabel 6.23. : Load transfer coefficient.

Shoulder Asphalt Tied PCC

Load transfer devices Yes No Yes No

Pavement type

1. Plain jointed & jointed reinforced 3.2 3.8 – 4.4 2.5 – 3.1 3.6 – 4.22. CRCP 2.9 – 3.2 N/A 2.3 – 2.9 N/A

Pendekatan penetapan parameter load transfer :

Joint dengan dowel : J = 2,5 – 3,1 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-26). Untuk overlay design : J = 2,2 – 2,6 (diambil dari AASHTO 1993 halaman III-132).

6.12. PERSAMAAN PENENTUAN TEBAL PELAT (D)

dimana :

VI - 21

Page 22: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

W18 = Traffic design, Equivalent Single Axle Load (ESAL).ZR = Standar normal deviasi.So = Standar deviasi.D = Tebal pelat beton (inches).PSI = Serviceability loss = po – pt

po = Initial serviceability.pt = Terminal serviceability index.Sc’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi).Cd = Drainage coefficient.J = Load transfer coefficient.Ec = Modulus elastisitas (psi).k = Modulus reaksi tanah dasar (pci).

6.13. PAREMETER DESAIN DAN DATA PERENCANAAN RIGID PAVEMENT

Parameter desain dan data perencanaan untuk kemudahan bagi perencana dalam menentukan tebal pelat beton rigid pavement, disajikan seperti pada Tabel 6.24.

Tabel 6.24. : Parameter dan data yang digunakan dalam perencanaan.

No. Parameter AASHTO Desain

1. Umur Rencana -2. Lalu-lintas, ESA -3. Terminal serviceability (pt) 2,0 – 3,04. Initial serviceability (po) 4,55. Serviceability loss (PSI) po – pt

6. Reliability (R) 75 – 99,97. Standard normal deviation (ZR) - 0,674 s/d - 1,6458. Standard deviation (So) 0,30 – 0,409. Modulus reaksi tanah dasar (k) Berdasar CBR = 6 *)

10. Modulus elastisitas beton (Ec) Berdasar : f’c = 350 kg/cm2

11. Flexural strength (S’c) Berdasar : S’c = 45 kg/cm2

12. Drainage coefficient (Cd) 1,10 – 1,2013. Load transfer coefficient (J) 2,50 – 2,60

Keterangan : Parameter dan data diatas, sebagai contoh.*) Dapat dikaji secara khusus terhadap nilai CBR rencana.

6.14. DESAIN GABUNGAN RIGID & FLEXIBLE PAVEMENT (COMPOSITE PAVEMENT)

Perencanaan gabungan rigid & flexible pavement (composite) yang digunakan adalah pendekatan desain overlay hotmix diatas rigid pavement yang mengacu pada AASHTO guide for design of pavement structures 1993.

Prosedur, parameter-parameter perencanaan mengikuti metode perencanaan Rigid Pavement diatas dengan gabungan formula overlay diatas rigid pavement tersebut, sebagai berikut ini.

Dol = A ( Df – Deff )

A = 2,2233 + 0,0099 ( Df – Deff )2 – 0,1534 ( Df – Deff )

dimana :

Dol = Tebal flexible pavement (inches).

VI - 22

Page 23: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Df = Tebal total perkerasan rencana (inches).Deff = Tebal lapis pelat beton effective (inches).A = Faktor konversi lapis perkerasan beton ke hotmix.

6.15. ADDITIONAL OVERLAY

Jika gabungan rigid & flexible pavement tersebut di-desain dengan konstruksi awal pelat beton dan kemudian di-overlay, maka perencanaan menjadi sebagai berikut :

1). Konstruksi awal

Konstruksi awal digunakan rigid pavement tebal D cm, di-analisis equivalent standard axle load dan nilai umur rencana terhadap struktur perkerasan kaku setebal D cm tersebut.

2). Remaining life (RL) dan pavement condition factor (CF)

dimana :

RL = Remaining life (%)Np = Total traffic saat overlay, ESALN1,5 = Total traffic pada kondisi perkerasan berakhir (failure), ESAL

Condition factor (CF), menggunakan Gambar 6.6. (diambil dari Figure 5.2. AASHTO 1993

halaman III-90). Atau formula :

Gambar 6.6. : Hubungan Condition Factor dan Remaining Life.

3). Desain additional overlay

Lihat sub-bab 6.14. diatas.

4). Tinjauan kemampu-layanan

VI - 23

Page 24: Perkerasan Kaku

Serviceability Rigid pavement Overlay( Initial construction )

Po = 4,5

4.0

3.5

3.0

Pt = 2,5

2.0

1.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Tahun

Tebal pelat Umur Rencana Failure ESAL design Pt 2,5

Tebal pelat Umur Rencana ESAL design Pt 1,5

Tebal AC Tebal pelat Umur Rencana 20 tahun ESAL design Pt 2,5

Rekayasa Jalan Raya

a. Kondisi pada akhir tahun ke Np

Pada akhir tahun ke-Np diperkirakan kondisi kemampu-layanan perkerasan sebagai berikut :

Tebal pelat rencana Tebal pelat effective Umur rencana ESAL design Terminal serviceability index = 2,5

b. Kondisi pada akhir tahun ke N1,5

Pada akhir tahun ke-N1,5 diperkirakan kondisi kemampu-layanan perkerasan sebagai berikut :

Tebal pelat rencana Umur rencana ESAL design Serviceability index (failure) = 1,5

c. Kondisi pada akhir tahun umur rencana

Pada akhir tahun umur rencana diperkirakan kondisi kemampu-layanan perkerasan sebagai berikut :

Tebal overlay Tebal pelat Umur rencana = 20 tahun ESAL design Terminal serviceability index = 2,5

d. Overlay

Diperkirakan diperlukan overlay agar kondisi perkerasan tetap diatas nilai batas terminal serviceability index 2,5 sebelum menurun kemampu-layanannya menjadi 1,5 dan selanjutnya dapat mencapai umur rencana 20 tahun.

Kondisi kemampu-layanan perkerasan sebelum dan sesudah di-overlay digambarkan seperti pada Gambar 6.7.

VI - 24

Page 25: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Gambar 6.7.Kemampu-layanan rigid pavement dan additional overlay

6.16. REINFORCEMENT DESIGN

6.16.1. Steel working stress

Allowable working stress fs untuk grade 40 = 30.000 psi.

6.16.2. Friction factor

Tabel 6.25. : Recommended friction factor.

Type material dibawah slab Friction factor (F)

Surface treatment 2,2Lime stabilization 1,8Asphalt stabilization 1,8Cement stabilization 1,8River gravel 1,5Crushed stone 1,5Sandstone 1,2Natural subgrade 0,9

Sumber : AASHTO 1993 halaman II-28.

6.16.3. Longitudinal & transverse steel reinforcing

Prosen longitudinal & transverse steel diperlukan :

dimana :

Ps = Longitudinal & transverse steel diperlukan (%).L = Panjang slab (feet).fs = Steel working stress (psi).F = Friction factor.

VI - 25

Page 26: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

6.16.4. Tie bar

Tie Bar dirancang untuk memegang plat sehingga teguh, dan dirancang untuk menahan gaya-gaya tarik maksimum. Tie bar tidak dirancang untuk memindah beban.

Jarak tie bar dapat mengacu pada Tabel 6.26.

Tabel 6.26. : Tie bar.

Diameter batang ½ in Diameter batang 5/8 inJenis dan Tegangan Tebal Jarak maximum (in) Jarak maximum (in)mutu baja kerja perkerasan Panjang Lebar Lebar Lebar Panjang Lebar Lebar Lebar

(psi) (in) (in) lajur lajur lajur (in) lajur lajur lajur10 ft 11 ft 12 ft 10 ft 11 ft 12 ft

Grade 40 30.000 6 25 48 48 48 30 48 48 487 25 48 48 48 30 48 48 488 25 48 44 40 30 48 48 489 25 48 40 38 30 48 48 48

10 25 48 38 32 30 48 48 4811 25 35 32 29 30 48 48 4812 25 32 29 26 30 48 48 48

Sumber : Literartur / Makalah UI.

6.16.5. Dowel

Alat pemindah beban yang biasa dipakai adalah dowel baja bulat polos. Syarat perancangan minimum dapat mengacu pada Tabel 6.27, atau penentuan diameter dowel dapat menggunakan pendekatan formula :

dimana :

d = Diamater dowel (inches).D = Tebal pelat beton (inches)

Tabel 6.27. : Rekomendasi dowel.

Tebal Dowel Panjang Jarakperkerasan diameter dowel dowel

(in) (in) (in) (in)

6 3/4 18 127 1 18 128 1 18 129 1 1/4 18 12

10 1 1/4 18 1211 1 1/4 18 1212 1 1/4 18 12

Sumber : Literartur / Makalah UI.

6.16.6. Parameter desain dan data reinforcement design

VI - 26

Page 27: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Parameter desain dan data untuk reinforcement design disajikan seperti pada Tabel 6.28.

Tabel 6.28. : Parameter dan data yang digunakan dalam perencanaan.

No. Parameter AASHTO Desain

1. Steel working stress ( fs ) : grade 40 Grade 40 30.000 psi2. Friction factor ( F ) 1,8 1,83. Tebal pelat Lihat desain tebal pelat4. Panjang pelat arah longitudinal 15,00 feet5. Traffic lane & shoulder wide 24,00 feet6. Jarak dari tepi bebas 11,00 feet7. Lebar lajur 11,00 feet

Keterangan : Parameter dan data diatas, sebagai contoh.

6.17. TINJAUAN KHUSUS PERENCANAAN PENULANGAN DAN SAMBUNGAN

Untuk perencanaan penulangan dan sambungan pada perkerasan jalan kaku, berikut ini diambilkan referensi dari beberapa standard dan literatur, yaitu dari sumber :

Principles of pavement design by Yoder & Witczak 1975 SNI 1991. SKBI 2.3.28.1988.

6.17.1. Tata cara perencanaan penulangan

Tujuan dasar distribusi penulangan baja adalah bukan untuk mencegah terjadinya retak pada pelat beton tetapi untuk membatasi lebar retakan yang timbul pada daerah dimana beban terkonsentrasi agar tidak terjadi pembelahan pelat beton pada daerah retak tersebut, sehingga kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan.

Banyaknya tulangan baja yang didistribusikan sesuai dengan kebutuhan untuk keperluan ini yang ditentukan oleh jarak sambungan susut, dalam hal ini dimungkinkan penggunaan pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan.

1. Kebutuhan penulangan pada perkerasan bersambung tanpa tulangan

Pada perkerasan bersambung tanpa tulangan, penulangan tetap dibutuhkan untuk mengantisipasi atau meminimalkan retak pada tempat-tempat dimana dimungkinkan terjadi konsentrasi tegangan yang tidak dapat dihindari.

Tipikal penggunaan penulangan khusus ini antara lain :

Tambahan pelat tipis. Sambungan yang tidak tepat.

2. Penulangan pada perkerasan bersambung dengan tulangan

Luas tulangan pada perkerasan ini dihitung dari persamaan sebagai berikut :

VI - 27

Page 28: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

dimana :

As = luas tulangan yang diperlukan (mm2/m lebar)F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya (Tabel 6.29.)L = jarak antara sambungan (m)h = tebal pelat (mm)fs = tegangan tarik baja ijin (MPa)

As min. menurut SNI 1991 untuk segala keadaan = 0,14 % dari luas penampang beton.

Tabel 6.29. : Koefisien gesekan antara pelat dengan lapisan pondasi dibawahnya.

Type material dibawah slab Friction factor (F)

Burtu, Lapen dan konstruksi sejenis 2,2Aspal beton, Lataston 1,8Stabilisasi kapur 1,8Stabilisasi aspal 1,8Stabilisasi semen 1,8Koral sungai 1,5Batu pecah 1,5Sirtu 1,2Tanah 0,9

Sumber : SKBI 2.3.28.1988

3). Penulangan pada perkerasan menerus dengan tulangan

a. Penulangan memanjang

dimana :

Ps = persentase tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap penampang beton (%).

ft = kuat tarik lentur beton yang digunakan = 0,4 – 0,5 fr

fy = tegangan leleh rencana baja (SNI 1991. fy < 400 MPa – BJTD40)

n = angka ekivalen antara baja dan beton = (Tabel 6.30.)

F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya (Tabel 6.29.)

Es = modulus elastisitas baja (berdasarkan SNI 1991 digunakan 200.000 MPa)Ec = modulus elastisitas beton (SNI 1991 digunakan 4700 MPa)

Tabel 6.30. : Hubungan antara kuat tekan beton dan angka ekivalen baja & beton (n) serta fr.

fc’ fc’ n fr

(kg/cm2) (MPa) (MPa)

VI - 28

Page 29: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

115 11,3 13 2,1120 – 135 11,8 – 13,2 12 2,2140 – 165 13,7 – 16,2 11 2,4170 – 200 16,7 – 19,6 10 2,6205 – 250 20,1 – 24,5 9 2,9260 – 320 25,5 – 31,4 8 3,3330 – 425 32,4 – 41,7 7 3,7

450 44,1 6 4,1

Sumber : SNI 1991

Persentase minimum tulangan memanjang pada perkerasan beton menerus adalah 0,6 % dari luas penampang beton.

Jarak antara retakan pada perkerasan beton menerus dengan tulangan dapat dihitung dengan persamaan :

dimana :

Lcr = jarak teoritis antara retakan (m), jarak optimum antara 1 – 2 m.p = luas tulangan memanjang per satuan luas.fb = tegangan lekat antara tulangan dengan beton yang dikenal sebagai lekat

lentur (MPa). Besaran lekat lentur yang dipakai dalam praktek menurut ACI 1963 untuk tulangan dengan diameter 35,7 mm (# 11) :

tegangan lekat dasar = 800 psi

atau dalam SI unit :

tegangan lekat dasar = 5,5 MPa

d = diameter tulangan (cm).S = koefisien susut beton, umumnya dipakai antara 0,0005 – 0,0006 untuk

pelat perkerasan jalan.ft = kuat tarik lentur beton yang digunakan = 0,4 – 0,5 fr (MPa).

n = angka ekivalen antara baja dan beton = (Tabel 6.30.)

u = keliling penampang tulangan per satuan luas tulangan = 4/d (dalam m-1)Ec = modulus elastisitas beton = 4700 (MPa)

b. Penulangan melintang

Luas tulangan melintang yang diperlukan pada perkerasan beton menerus, dihitung dengan persamaan yang sama seperti pada perhitungan penulangan perkerasan beton bersambung dengan tulangan.

6.17.2. Sambungan

Perencanaan sambungan pada perkerasan kaku, merupakan bagian yang harus dilakukan, baik jenis perkerasan beton bersambung tanpa atau dengan tulangan, maupun pada jenis perkerasan beton menerus dengan tulangan.

VI - 29

Page 30: Perkerasan Kaku

1 - 1,5 m

Jarak sambungan melintang

Bahu

Lajur 1

Lajur 2

Lajur 3

Tie bar

Dowel

Dowel Tiebar

Tepi dalam

Tepi luar

Sambungan memanjang

Tie bar

Sambungan melintang serong

Sambungan memanjang

Tie bar

Dowel

Rekayasa Jalan Raya

1. Jenis sambungan

Sambungan dibuat atau ditempatkan pada perkerasan beton dimaksudkan untuk menyiapkan tempat muai dan susut beton akibat terjadinya tegangan yang disebabkan : perubahan lingkungan (suhu dan kelembaban), gesekan dan keperluan konstruksi (pelaksanaan).

Sambungan pada perkerasan beton umumnya terdiri dari 3 jenis, yang fungsinya sebagai berikut :

a. Sambungan susut

Atau sambungan pada bidang yang diperlemah (dummy) dibuat untuk mengalihkan tegangan tarik akibat : suhu, kelembaban, gesekan sehingga akan mencegah retak. Jika sambungan susut tidak dipasang, maka akan terjadi retak acak pada permukaan beton.

b. Sambungan muai

Fungsi utamanya untuk menyiapkan ruang muai pada perkerasan, sehingga mencegah terjadinya tegangan tekan yang akan menyebabkan perkerasan tertekuk.

c. Sambungan konstruksi (pelaksanaan)

Diperlukan untuk kebutuhan konstruksi (berhenti dan mulai pengecoran). Jarak antara sambungan memanjang disesuaikan dengan lebar alat atau mesin penghampar (paving machine) dan oleh tebal perkerasan.

Selain 3 jenis sambungan tersebut, jika pelat perkerasan cukup lebar (> 7 m) maka diperlukan sambungan ke arah memanjang yang berfungsi sebagai penahan gaya lenting (warping) yang berupa sambungan engsel, dengan diperkuat batang pengikat (tie bar).

2. Geometrik sambungan

Geometrik sambungan adalah tata letak secara umum dan jarak antara sambungan.

VI - 30

Page 31: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Gambar 6.8. : Tata letak sambungan pada perkerasan kaku.

a. Jarak sambungan

Pada umumnya jarak sambungan konstruksi memanjang dan melintang tergantung keadaan bahan dan lingkungan setempat, dimana sambungan muai dan susut sangat tergantung pada kemampuan konstruksi dan tata letaknya.

Untuk sambungan muai, jarak untuk mencegah retak sedang akan mengecil jika koefisien panas, perubahan suhu atau gaya gesek tanah dasar bertambah bila tegangan tarik beton bertambah. Jarak berhubungan dengan tebal pelat dan kemampuan daya ikat sambungan.

Untuk menentukan jarak sambungan yang akan mencegah retak, yang terbaik dilakukan dengan mengacu petunjuk dari catatan kemampuan pelayanan setempat. Pengalaman setempat penting diketahui karena perubahan jenis agregat kasar akan memberi dampak yang nyata pada koefisien panas beton dengan konsekuensi jarak sambungan yang dapat diterima.

Sebagai petunjuk awal, jarak sambungan untuk beton biasa 2 h (dua kali tebal pelat beton dalam satuan berbeda, misalkan tebal pelat h = 8 inci, maka jarak sambungan = 16 feet, jadi kalau dengan SI unit jarak sambungan = 24 – 25 kali tebal pelat, misalkan tebal pelat 200 mm, maka jarak sambungan = 4.800 mm) dan secara umum perbandingan antara lebar pelat dibagi panjang pelat 1,25

Penggunaan sambungan muai biasanya diminimalkan pada proyek dengan pertimbangan masalah biaya, kompleksitas dan penampilannya. Sambungan digunakan pada struktur dimana jenis perkerasan berubah (misalnya : dari jenis menerus ke jenis bersambung) pada persimpangan.

Jarak antara sambungan konstruksi, biasanya diatur pada penempatan di lapangan dan kemampuan peralatan. Sambungan konstruksi memanjang harus ditempatkan pada tepi lajur untuk memaksimalkan kerataan perkerasan dan meminimalkan persoalan pengalihan beban. Sambungan konstruksi melintang terjadi pada akhir pekerjaan atau pada saat penghentian pengecoran.

b. Tata letak sambungan

Sambungan menyerong atau acak (random), akan meminimalkan dampak kekasaran sambungan, sehingga dapat memperbaiki mutu pengendalian.

Sambungan melintang serong akan meningkatkan penampilan dan menambah usia perkerasan kaku, yaitu biasa atau bertulang, dengan atau tanpa ruji. Sambungan harus serong sedemikian agar beban roda dari masing-masing sumbu dapat melalui sambungan pada saat yang tidak bersamaan.

Sudut tumpul pada sisi luar perkerasan harus dibagian depan sambungan pada arah lalu-lintas, karena sudut akan menerima dampak beban roda terbesar secara tiba-tiba.

Keuntungan dari sambungan serong sebagai berikut :

Mengurangi lendutan dan tegangan pada sambungan, sehingga menambah daya dukung beban pelat dan memperpanjang usia pelat.

Mengurangi dampak reaksi kendaraan pada saat melintasi sambungan dan memberikan kenyamanan yang lebih.

VI - 31

Page 32: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Untuk lebih meningkatkan penampilan perkerasan biasa adalah dengan menggunakan sambungan serong pada jarak acak atau tidak teratur. Pola jarak acak mencegah irama atau resonansi pada kendaraan yang bergerak dalam kecepatan normal. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pola jarak pelat 2,50 m harus dihindarkan.

c. Dimensi sambungan

Lebar sambungan, ditentukan oleh alur yang akan diuraikan pada bagian bawah. Kedalaman takikan sambungan susut harus cukup memadai untuk memastikan akan terjadi retak pada tempat yang dikehendaki dan tidak pada sembarang tempat. Biasanya kedalaman takikan sambungan susut melintang ¼ tebal pelat dan sambungan memanjang 1/3 ketebalan.

Sambungan tersebut dibuat dengan pemotongan, penyelipan atau pembentukan. Waktu pemotongan sangat kritis untuk mencegah retak acak sehingga sambungan harus dipotong dengan hati-hati untuk memastikan semuanya bekerja bersamaan. Jarak waktu untuk pengecoran dengan pemotongan akan berubah dengan perubahan suhu pelat, keadaan pengeringan dan proporsi campuran.

3. Dimensi bahan penutup sambungan

a. Sambungan susut

Pergerakan sambungan dan kemampuan bahan penutup alur harus dioptimalkan. Pada umumnya mutu bahan penutup sambungan harus ditingkatkan jika pergerakan sambungan diperkirakan akan bertambah. Bertambahnya pergerakan sambungan dapat diakibatkan oleh perpanjangan pelat, perubahan suhu yang besar dan atau koefisien panas beton yang tinggi.

Pergerakan sambungan pada perkerasan dipengaruhi faktor-faktor seperti perubahan sifat volume panjang beton dan gesekan antara pelat dan pondasi bawah (tanah dasar).

Dalam hal untuk menjaga bentuk penutup-lapangan yang efektif, lubang alur (takikan) yang akan diisi bahan penutup harus mempunyai faktor bentuk (lebar dan dalam) yang benar. Dalam batasan praktis, kedalaman sambungan minimum lubang harus mendekati segiempat dan berada dibawah permukaan minimum 3 mm (1/8 inci). Dengan demikian berarti takikan biasanya dibentuk dengan menambah lebar dan mengurangi kedalaman bagian atas sambungan untuk mengikat bahan penutup. Untuk sambungan yang sempit dengan jarak sambungan yang dekat, lubang dapat dibentuk dengan menyisipkan tali atau bahan lain sampai kedalaman yang telah ditentukan. Metoda ini mengurangi kebutuhan bahan penutup. Pada umumnya dalam berbanding lebar berkisar 1 – 1,5 dengan kedalaman minimum 9,5 mm (3/8 inci) untuk sambungan memanjang dan 12,5 mm (1/2 inci) untuk sambungan melintang.

Lebar sambungan didefinisikan sebagai nilai maximum yang terjadi pada suhu minimum. Jadi nilai maximum meliputi pergerakan horisontal yang diantisipasi ditambah dengan lebar sisa disebabkan sifat bahan penutup. Pergerakan horisontal dapat dihitung dengan memperkirakan bukaan sambungan yang disebabkan siklus temperatur ditambah dengan penyusutan beton. Besarnya bukaan dan sebaliknya tergantung pada :

VI - 32

Page 33: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

perubahan temperatur dan kelembaban jarak antara sambungan kerja (pelaksanaan) atau retak gesekan antara lapis pondasi dan pelat kondisi dari rencana pemberian beban sambungan, dan sebagainya.

Untuk keperluan perencanaan bukaan sambungan melintang rata-rata pada selang waktu dapat dihitung dengan pendekatan. Lebar sambungan harus memperhitungkan pergerakan ditambah dengan tegangan sisa yang diijinkan pada penutup sambungan.

Menurut AASHTO : disyaratkan lebar bukaan 0,04 inci untuk sambungan tanpa ruji (dowel).

Menurut Yoder & Witczak : lebar bukaan 0,04 inci untuk sambungan tanpa dowel, lebar bukaan 0,25 inci untuk sambungan dengan dowel.

Menurut SKBI 1988 : lebar bukaan retakan minimum (mm) = 0,45 x Panjang Pelat (m), umumnya lebar retakan yang diijinkan berkisar antara 1 – 3 mm, tetapi untuk kemudahan pengisian bahan penutup, lebar bukaan pada bagian atas diperlebar maximum 6 – 10 mm dengan kedalaman tidak lebih dari 20 mm dan semua sambungan susut melintang harus dipasang ruji.

b. Sambungan muai

Pergerakan pada sambungan muai didasarkan pada pengalaman agen pembuat. Dimensi alur takikan akan optimal didasarkan pada pergerakan dan kemampuan bahan pengisi. Pada umumnya, dimensi akan lebih besar dari pada untuk sambungan susut.

c. Sambungan pelaksanaan

Menurut AASHTO, tipikal sambungan susut melintang juga dapat digunakan untuk sambungan pelaksanaan dan sambungan memanjang lainnya.

4. Dowel (ruji)

Dowel berupa batang baja tulangan polos (maupun profil), yang digunakan sebagai sarana penyambung / pengikat pada beberapa jenis sambungan pelat beton perkerasan jalan.

Dowel berfungsi sebagai penyalur beban pada sambungan, yang dipasang dengan separuh panjang terikat dan separuh panjang dilumasi atau dicat untuk memberikan kebebasan bergeser.

Tabel 6.31. : Ukuran dan jarak batang dowel (ruji) yang disarankan.

Tebal pelat Diameter Panjang Jarak

inci mm inci mm inci mm inci mm6 150 ¾ 19 18 450 12 3007 175 1 25 18 450 12 3008 200 1 25 18 450 12 3009 225 1¼ 32 18 450 12 300

10 250 1¼ 32 18 450 12 30011 275 1¼ 32 18 450 12 30012 300 1½ 38 18 450 12 30013 325 1½ 38 18 450 12 30014 350 1½ 38 18 450 12 300

Sumber : Principles of pavement design by Yoder & Witczak, 1975

VI - 33

d

Ld = panjang batang dowel

D = tebal pelat beton

0,5 Ld 0,5 Ld

6 - 10 mm

0,25 D

d

0,5 D

0,5 D

D

Bahan penutupBatang polosdiminyaki / dicat

max. 20 mm

Page 34: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

d = diameter batang dowelLd = panjang batang dowelD = tebal pelat beton perkerasan

Gambar 6.9. : Sambungan susut melintang dengan dowel.

d = diameter batang dowelLd = panjang batang dowelD = tebal pelat beton perkerasan

Gambar 6.10. : Sambungan muai dengan dowel.

5. Batang pengikat (Tie bar)

Tie bar adalah potongan baja yang diprofilkan yang dipasang pada sambungan lidah-alur dengan maksud untuk mengikat pelat agar tidak bergerak horisontal. Batang pengikat dipasang pada sambungan memanjang, lihat Gambar 6.11.

Cara menentukan dimensi batang pengikat :

Jarak sambungan dari tepi terdekat, lihat sketsa Gambar 6.11.

Tabel perhitungan :

Nomor Jarak (X) Jarak maximum Tie bar (cm)Sambungan meter 12 mm 16 mm

2 3,50 Tergantung tebal pelat Tergantung tebal pelat

VI - 34

X1X3

X2

1 2

1, 2, 3, = Sambungan pelaksanaan memanjang

Bahu Lajur 1 Lajur 2

0,5 m 3,5 m 3,5 m

25 mm0,5 D

0,5 Ld0,5 Ld

50 mm

19 mm

0,25 D

0,5 D

D d

Bahan penutup

Batang polos diminyaki / dicatTerikat / fixed

Bahan pengisi / filler

Page 35: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Gambar 6.11. : Jarak sambungan dari tepi terdekat.

Sketsa sambungan pelaksanaan memanjang seperti pada Gambar 6.12.

Gambar 6.12. : Sambungan pelaksanaan memanjang dengan lidah alur dan Tie bar.

6.18. TINJAUAN KHUSUS KAPASITAS JALAN UNTUK PARAMETER DISTRIBUSI LAJUR

Dalam perencanaan tebal pelat suatu rigid pavement, diperlukan penentuan faktor distribusi lajur (DL), lihat Sub-bab 6.2.4. Traffic design dan Tabel 6.14, dalam tabel tersebut terlihat bahwa makin banyak jumlah lajur setiap arah nilai faktor distribusi lajur makin kecil, yaitu dari 100 50 %, dan jika diperhitungkan dengan distribusi arah nilai tersebut menjadi 0,50 0,25

Penentuan jumlah lajur dapat di-analisis dengan kapasitas jalan. Dalam buku ini akan menggunakan rujukan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997.

Ruas jalan (non tol) merupakan bagian segmen jalan dalam suatu jaringan jalan. Segmen jalan, rural dan khususnya urban memiliki perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang seluruh / hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, berupa perkembangan lahan atau bukan. Biasanya terdapat pada daerah dengan penduduk lebih dari 100.000 jiwa. Segmen jalan ini merupakan panjang jalan di antara dan tidak dipengaruhi oleh simpang bersinyal atau simpang tak bersinyal utama dan memiliki karakteristik yang hampir sama di sepanjang jalan.

Tipe jalan (perkotaan) yang terdapat dalam MKJI 1997 adalah :

Jalan dua-lajur dua-arah (2/2 UD)

VI - 35

Lt = panjang batang pengikat (tie bar) dari baja tulangan yang diprofilkan, dapat dibengkokkan dan diluruskan kembali tanpa rusakd = diameter tie barD = tebal pelat perkerasan

6 - 10 mm

0,25 D

D d

12 mm

12 mm

50 mm

0,5 Lt0,5 Lt

D/3

Bahan penutupBatang pengikat baja profil

Page 36: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Jalan empat-lajur dua-arah

Tak terbagi (tanpa median) (4/2 UD) Terbagi (dengan median) (4/2 D)

Jalan enam-lajur dua-arah terbagi (6/2 D) Jalan satu-arah (1-3/1)

6.18.1. Kapasitas ruas jalan

Kapasitas ruas jalan adalah arus lalu-lintas maksimum yang melintasi suatu penampang ruas jalan yang dapat dipertahankan per satuan waktu (jam) dalam kondisi tertentu (geometri, komposisi dan distribusi arus lalulintas, serta faktor lingkungan). Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp).

Untuk jalan 2 lajur 2 arah, kapasitas ditentukan untuk arus 2 arah (kombinasi 2 arah), akan tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur.

Jenis kapasitas jalan dibedakan menurut keperluan penggunaannya sebagai berikut :

Kapasitas dasar adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melintasi suatu penampang ruas jalan selama 1 (satu) jam dalam keadaan jalan dan lalu-lintas mendekati ideal yang dapat dicapai.

Kapasitas praktis adalah jumlah maksimum kendaraan yang dapat melintasi suatu penampang jalan selama 1 (satu) jam dalam keadaan jalan dan lalu-lintas yang berlaku sedemikian rupa sehingga kepadatan lalu-lintas yang bersangkutan mengakibatkan kelambatan, bahaya dan gangguan-gangguan kelancaran lalu-lintas yang masih dalam batas yang ditetapkan.

Kapasitas yang mungkin adalah jumlah maksimum kendaraan yang melintasi suatu penampang jalan selama 1 (satu) jam, dalam keadaan jalan dan lalu-lintas yang sedang berlaku pada jalan tersebut.

Untuk menentukan kapasitas jalan (perkotaan) dipergunakan perhitungan :

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs

dengan :

C = kapasitas sesungguhnya (smp/jam)Co = kapasitas dasar untuk kondisi tertentu/ideal (smp/jam)FCw = faktor penyesuaian lebar jalanFCsp = faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi)FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kerbFCcs = faktor penyesuaian ukuran kota, ukuran jumlah penduduk kota tersebut

Tabel-tabel berikut ini diambil dari sumber / referensi : Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997, Departemen Pekerjaan Umum.

Tabel 6.32. : Kapasitas Dasar (Co) untuk Jalan Perkotaan

Tipe jalan Kapasitas dasar (smp/jam) Keterangan

4 lajur terbagi/jalan 1 arah 1.650 Per lajur

4 lajur tak terbagi 1.500 Per lajur

2 lajur tak terbagi 2.900 Total 2 arah

VI - 36

Page 37: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Tabel 6.33. : Faktor penyesuaian untuk pemisahan arah (FCsp) untuk jalan tak terbagi

Pemisahan arah % - % 50 - 50 60 - 40 70 - 30 80 - 20 90 - 10

100 - 0

Dua lajur 2/2 1.00 0.94 0.88 0.82 0.76 0.70

Empat lajur 4/2 1.00 0.97 0.94 0.91 0.88 0.85

Jalan terbagi dan jalan satu arah 1.00

Tabel 6.34. : Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCw)

Tipe jalan Lebar jalur lalu-lintas efektif / Wc (m) FCw

4 lajur terbagi /jalan 1 arah

Per lajur 3.00

3.253.503.754.00

0.920.961.001.041.08

4 lajur tak terbagi Per lajur 3.00

3.253.503.754.00

0.910.951.001.051.09

2 lajur tak terbagi Per lajur 5.00

6.007.008.009.00

10.0011.00

0.560.871.001.141.251.291.24

Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dibagi dua, yaitu :

Berdasarkan lebar bahu efektif untuk jalan yang mempunyai bahu jalan Berdasarkan jarak antara kerb dan penghalang pada trotoar untuk jalan yang memiliki

trotoar.

Tabel 6.35. : Faktor penyesuaian pengaruh hambatan samping dan lebar bahu (FCsf)

Tipe jalan Kelas hambatan samping

FCsf

Lebar bahu Ws (meter)

0.5 1.0 1.5 2.0

4/2 D sangat rendah (VL)rendah (L)sedang (M)tinggi (H)sangat tinggi (VH)

0.960.940.920.880.84

0.980.970.950.920.88

1.011.000.980.950.92

1.031.021.000.980.96

VI - 37

Page 38: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

4/2 UD sangat rendah (VL)rendah (L)sedang (M)tinggi (H)sangat tinggi (VH)

0.960.940.920.870.80

0.990.970.950.910.86

1.011.000.980.940.90

1.031.021.000.980.95

2/2 atau jalan 1 arah

sangat rendah (VL)rendah (L)sedang (M)tinggi (H)sangat tinggi (VH)

0.940.920.890.820.73

0.960.940.920.860.79

0.990.970.950.900.85

1.011.000.980.950.91

Tabel 6.36. : Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan jarak kerb-penghalang (FCsf)

Tipe jalan Kelas hambatan samping

FCsf

Jarak kerb penghalang Wk (meter)

0.5 1.0 1.5 2.0

4/2 D sangat rendah (VL)rendah (L)sedang (M)tinggi (H)sangat tinggi (VH)

0.950.940.910.860.81

0.970.960.930.890.85

0.990.980.950.920.88

1.011.000.980.950.92

4/2 UD sangat rendah (VL)rendah (L)sedang (M)tinggi (H)sangat tinggi (VH)

0.950.930.900.840.77

0.970.950.920.870.81

0.990.970.950.900.85

1.011.000.970.930.90

2/2 atau jalan 1 arah

sangat rendah (VL)rendah (L)sedang (M)tinggi (H)sangat tinggi (VH)

0.930.900.860.780.68

0.950.920.880.810.72

0.970.950.910.840.77

0.990.970.940.880.82

Tabel 6.37. : Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota (FCcs)

Ukuran kota (juta jiwa) FCcs

< 0.1– 0.5

0.5 – 1.01.0 – 3.0

> 3.0

0.860.900.941.001.04

6.18.2. Kinerja ruas jalan

Guna mengetahui kinerja ruas jalan, perlu diketahui besarannya arus lalu-lintas di ruas serta pengukuran geometri ruas.

VI - 38

Page 39: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

6.18.3. Penilaian kualitas ruas jalan

Kualitas suatu ruas jalan dapat dinilai dari :

a. Perbandingan antara volume lalu-lintas yang lewat pada ruas jalan tersebut dibandingkan dengan kapasitasnya (V/C ratio),

b. Kecepatan perjalanan pada ruas jalan tersebut (travel speed).

Semakin tinggi perbandingan V/C, semakin rendah kualitas jalan tersebut. Sebaliknya semakin tinggi kecepatan perjalanannya, semakin tinggi kualitas ruas jalan tersebut.

Jika akan diadakan penilaian suatu jaringan jalan, sebaiknya dinilai dulu perbandingan V/C ruas-ruas jalan utama, dan penilaiannya dimasukkan dalam suatu gambar atau tabel.

6.18.4. V/C ratio

V/C ratio dapat dihitung dengan menghitung dulu komponen-komponennya, yaitu :

a. Volume lalu-lintas ruas jalan tersebut,b. Kapasitas jalan tersebut.

Hitungan volume lalu-lintas dilakukan dengan melakukan pencacahan arus lalu-lintas (traffic counting) pada ruas-ruas jalan tertentu. Caranya yaitu :

a. Melakukan pencacahan arus lalu-lintas, pada setiap interval 10 menit pada jam sibuk pagi, siang, dan sore masing-masing selama 2 jam.

b. Dari hasil tersebut, dicari 1 jam tersibuk untuk dipergunakan dalam analisis kapasitas.

Arus lalu-lintas dibagi atas 4 jenis, yaitu :

a. Mobil penumpang (LV)b. Kendaraan berat (HV)c. Sepeda bermotor (MC)d. Kendaraan lambat (UM)

Hasil hitungan dikonversikan ke satuan mobil penumpang (smp), dengan konversi sesuai dengan Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 untuk ruas jalan, yaitu :

a. Mobil penumpang = 1,00b. Kendaraan berat = 1,20c. Sepeda motor = 0,25d. Kendaraan lambat = 0,80

Sedangkan kapasitas jalan dihitung sesuai dengan prosedur perhitungan menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997. Cara hitungan adalah sebagai berikut :

a. Dihitung kapasitas dasar yang tergantung pada jumlah lajur dan apakah jalan tersebut jalan satu arah atau jalan dua arah. 2/2 artinya 2 lajur - 2 arah, 4/2 artinya 4 lajur - 2 arah sedangkan 3/1 artinya 3 lajur - 1 arah.

b. Kapasitas dasar tersebut dikoreksi dengan koreksi-koreksi Fw (lebar jalan), Fks (lebar kerb), Fsp (perbandingan jumlah arus masing-masing arah), Fsf (faktor gesekan) dan Fcs (besar kota).

Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997, ada suatu hubungan antara perbandingan V/C dengan kecepatan perjalanan. Hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.38. di bawah ini.

VI - 39

Page 40: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Tabel 6.38. : Hubungan V/C dengan kecepatan perjalanan

V/C ratio Kecepatan perjalanan (km/jam)

0.240,540,760,911.00

3935312721

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997

Kriteria Highway Capacity Manual Amerika 1994 juga digunakan sebagai referensi. Menurut kriteria kecepatan, kinerja ruas dapat dibagi atas 6 kategori seperti di bawah ini :

Tabel 6.39. : Tingkat pelayanan pada jalan arteri perkotaan dengan kecepatan perjalanan antara 40 – 54 km/jam

Tingkat pelayanan Kecepatan (km/jam)

ABCDEF

4031211411

<11

Sumber: HCM Amerika 1994

Dari tabel di atas, kriteria kinerja ruas didefinisikan sebagai berikut :

Table 6.40. : Kriteria ruas

Kriteria Perbandingan V/C

Sangat baikBaikDapat diterimaBuruk

< 0.700.70 – 0.800.80 – 1.00

> 1.0

Perbandingan volume / kapasitas dihitung dengan program KAJI dari hasil survai lalu-lintas dan geometri, dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti hambatan samping dan klasifikasi jalan. Klasifikasi arus lalu-lintas dan perbandingan V/C kemudian disusun, V/C maksimum yang dapat diterima adalah 0,8 karena angka ini diharapkan tidak akan melampaui 1,0 dalam jangka waktu 5 tahun jika pertumbuhan arus lalu-lintas tidak lebih dari 5 %. Periode jam puncak pagi umumnya merupakan arus lalu-lintas tertinggi di kota, kecuali di daerah pertokoan.

Untuk evaluasi maka dilakukan tes untuk evaluasi perbaikan jaringan jalan. Intisari hasil tes model transportasi tersebut merekomendasikan alternatif terbaik perbaikan jaringan jalan.

6.18.5. Model pendekatan berdasar geometrik jalan

VI - 40

Page 41: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Model pendekatan dalam mengkaji jaringan jalan didasarkan pada geometrik jalan yang menyangkut jumlah dan lebar lajur jalan yang diperlukan akibat V/C ratio yang terjadi, dapat disajikan seperti pada Gambar 6.13.

VI - 41

Page 42: Perkerasan Kaku

Rekayasa Jalan Raya

Tidak

Ya

Gambar 6.13. : Diagram alir pengelolaan dan penentuan jumlah lajur jalan.

VI - 42

Jaringan JalanJaringan Jalan

Kondisi Penampang Melintang JalanKondisi Penampang Melintang Jalan Klasifikasi Fungsi JalanKlasifikasi Fungsi Jalan Pola Tata Guna LahanPola Tata Guna Lahan

Analisa Kapasitas Jalan (Ruas + Simpang)Analisa Kapasitas Jalan (Ruas + Simpang)

PenangananPenanganan

Manajemen Lalu-lintasManajemen Lalu-lintas Pelebaran JalanPelebaran Jalan

Model TransportasiModel Transportasi

Volume LalulintasVolume Lalulintas

Pembuatan Jalan BaruPembuatan Jalan Baru

V/C ratio 0,8

V/C ratio 0,8

Jumlah lajurJumlah lajur