Top Banner
1 ABSTRAK KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA DI KOTA DENPASAR Perkawinan bagi suku Batak Toba merupakan ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan beserta kaum kerabat pihak laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat perempuan (parboru). Melalui upacara perkawinan, komunitas Batak Toba boleh memasuki dalihan na tolu. Selain sebagai jembatan untuk memasuki dalihan na tolu, upacara perkawinan juga merupakan syarat untuk dapat melakukan siklus hidup. Untuk mencapai tujuan itu, komunitas Batak Toba di Kota Denpasar tetap melangsungkan upacara perkawinan secara adat Batak Toba. Meskipun demikian praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sudah dipenuhi dengan konsumerisme. Fenomena ini sudah menjadi kebiasaan dan mereka lakukan secara sadar seakan-akan suatu keharusan. Berdasarkan fenomena ini perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui: bentuk konsumerisme, faktor terjadinya konsumerisme, dan implikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sehingga komunitas Batak Toba tidak larut dalam konsumerisme yang berkepanjangan. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dan pengumpulan data dilakukan secara observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Untuk menjaga nama baik dan kerahasiaan informan, beberapa informan dalam penelitian ini memakai nama samaran. Sedangkan informan yang tidak perlu dirahasiakan, namanya ditulis seperti penulisan biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar tampak kompleks dan mahal karena harus menghabiskan waktu yang panjang dan juga biaya yang banyak. Bentuk konsumerisme yang mereka lakukan dalam upacara perkawinan yaitu, upacara dilangsungkan di tempat yang mewah, mengundang banyak orang, mengonsumsi objek yang tidak perlu, jumlah mahar yang besar, dan menghabiskan durasi yang panjang. Perilaku ini terjadi karena faktor globalisasi, gaya hidup, budaya populer, media massa, dan pemahaman yang kurang akan upacara perkawinan itu sendiri. Implikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar menguatnya sifat individualis, menguatnya sifat materialis, dan menguatnya sifat globalis. Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa, terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar karena terjadinya pergeseran nilai guna dan nilai tukar menjadi nilai tanda dan nilai simbolik. Pergeseran ini terjadi karena gaya hidup, citra, gengsi sebagai gaya hidup modern. Budaya konsumerisme menjadi hal yang biasa dan dianggap menjadi suatu keharusan. Melalui tulisan ini disarankan kepada tokoh adat, tokoh agama, Pemerintah Daerah di Sumatera Utara dan juga masyarakat Batak Toba umumnya melakukan suatu kerjasama untuk mengurangi praktik upacara perkawinan yang semakin konsumerisme. Kata kunci: konsumerisme, upacara perkawinan Batak Toba, globalisasi.
197

perkawinan batak toba

Dec 15, 2016

Download

Documents

dinhdang
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: perkawinan batak toba

1

ABSTRAK

KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA

DI KOTA DENPASAR

Perkawinan bagi suku Batak Toba merupakan ikatan seorang laki-laki

dengan seorang perempuan beserta kaum kerabat pihak laki-laki (paranak)

dengan kaum kerabat perempuan (parboru). Melalui upacara perkawinan,

komunitas Batak Toba boleh memasuki dalihan na tolu. Selain sebagai jembatan

untuk memasuki dalihan na tolu, upacara perkawinan juga merupakan syarat

untuk dapat melakukan siklus hidup. Untuk mencapai tujuan itu, komunitas Batak

Toba di Kota Denpasar tetap melangsungkan upacara perkawinan secara adat

Batak Toba. Meskipun demikian praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota

Denpasar sudah dipenuhi dengan konsumerisme. Fenomena ini sudah menjadi

kebiasaan dan mereka lakukan secara sadar seakan-akan suatu keharusan.

Berdasarkan fenomena ini perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui: bentuk

konsumerisme, faktor terjadinya konsumerisme, dan implikasi konsumerisme

dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sehingga komunitas

Batak Toba tidak larut dalam konsumerisme yang berkepanjangan.

Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif, dan pengumpulan data dilakukan secara observasi, wawancara

mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif

kualitatif dan interpretatif. Untuk menjaga nama baik dan kerahasiaan informan,

beberapa informan dalam penelitian ini memakai nama samaran. Sedangkan

informan yang tidak perlu dirahasiakan, namanya ditulis seperti penulisan biasa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumerisme dalam upacara

perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar tampak kompleks dan mahal karena

harus menghabiskan waktu yang panjang dan juga biaya yang banyak. Bentuk

konsumerisme yang mereka lakukan dalam upacara perkawinan yaitu, upacara

dilangsungkan di tempat yang mewah, mengundang banyak orang, mengonsumsi

objek yang tidak perlu, jumlah mahar yang besar, dan menghabiskan durasi yang

panjang. Perilaku ini terjadi karena faktor globalisasi, gaya hidup, budaya populer,

media massa, dan pemahaman yang kurang akan upacara perkawinan itu sendiri.

Implikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar

menguatnya sifat individualis, menguatnya sifat materialis, dan menguatnya sifat

globalis.

Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa, terjadinya

konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar karena

terjadinya pergeseran nilai guna dan nilai tukar menjadi nilai tanda dan nilai

simbolik. Pergeseran ini terjadi karena gaya hidup, citra, gengsi sebagai gaya

hidup modern. Budaya konsumerisme menjadi hal yang biasa dan dianggap

menjadi suatu keharusan. Melalui tulisan ini disarankan kepada tokoh adat, tokoh

agama, Pemerintah Daerah di Sumatera Utara dan juga masyarakat Batak Toba

umumnya melakukan suatu kerjasama untuk mengurangi praktik upacara

perkawinan yang semakin konsumerisme.

Kata kunci: konsumerisme, upacara perkawinan Batak Toba, globalisasi.

Page 2: perkawinan batak toba

2

ABSTRACT

CONSUMERISM IN BATAK TOBA WEDDING CEREMONY

IN THE CITY OF DENPASAR

Marriage for the ethnic of Batak Toba is a bond between a man and a

woman as well as to tie together the relatives of the man (paranak) with the

relatives of the woman (parboru). Through the marriage ceremony, Batak Toba

community are able to enter into dalihan na tolu. Besides as a bridge to enter

dalihan na tolu, marriage ceremony is also a requirement to be able to commit life

cycle. In order to achieve the purpose, Batak Toba communities in the city of

Denpasar still solemnize the marriage according to Batak Toba tradition. The

practice of Batak Toba traditional wedding ceremony in the city of Denpasar has

been filled with consumerism. This phenomenon has become a habit and the

Batak Toba people do it consciously as if a must. Based on the phenomena, it is

urgent to conduct a research to note the form of consumerism, the factors of

being consumerism and the implications of consumerism in a marriage ceremony

of Batak Toba community in Denpasar so that through this research, the

community of Batak Toba in Denpasar do not lose themselves into a prolonged

consumerism.

Research method performed in this study is qualitative methods and data

collection was done by doing observation, in-depth interviews and documentation.

Data analysis was conducted through qualitative and interpretative. To keep the

confidentiality and the name of informants secret, some informants use a pen

name (pseudonym), while informants who do not need to be kept secret, their

names were written as usual writing in this study.

This study found that the form of consumerism in Batak Toba traditional

wedding ceremony in Denpasar seem complex and expensive because the people

have to spend a long time and also cost a lot. The form of consumerism shows

from the habit of the Batak people who solemnize marriage in a luxurious place,

inviting a lot of people, consume unnecessary object and high brideprice. This

behavior occurs because of globalization, lifestyle, popular culture, mass media

and the lack of understanding about the marriage itself. The implications of

consumerism in Batak Toba traditional wedding ceremony in Denpasar leads to

individualist, materialist and globalist.

This research concluded that Batak Toba communities solemnize

consumerism in wedding ceremony. Consumerism in Batak Toba Wedding

ceremony in the city of Denpasar use to happen because the value of use and

change shift and serve as simbolic value. The shifting in change and use caused

by the lifestyle, image, prestige as modern lifestyle. Culture of consumerism

become commonplace and considered to be a necessity. This paper sugest the

leading figure in religion, culture and custom holder, the local stakeholder in

Sumatera and the all the Batak people to make a good cooperation in improving

consumerism in Batak Toba wedding ceremony, so the people do not getting lost

in the culture of consumerism.

Keywords: consumerism, Batak Toba traditional wedding ceremony,

globalization

Page 3: perkawinan batak toba

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan pada suku Batak Toba merupakan suatu pranata yang mengikat

seorang laki-laki dan seorang perempuan. Selain itu, perkawinan juga mengikat

hubungan kaum kerabat pihak laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat dari

perempuan (parboru).Karena itu menurut adat kuno seorang laki-laki tidak bebas

memilih jodohnya (Bangun, 1982: 102).Perkawinan yang dianggap ideal yaitu

seorang anak laki-laki dengan anak perempuan saudara pria ibunya (matrilateral

cross cousin) dalam bahasa daerah disebut marpariban.Namun dalam kenyataan

akhir-akhir ini kawin marpariban sudah semakin berkurang kuantitasnya (Bruner,

1986: 164).

Untuk melaksanakan perkawinan, suku Batak Toba mempunyai cara atau

proses perkawinan yang dimulai dengan meminang dalam bahasa daerahmarhusip

hingga upacara puncak “memberi dan menerima adat”. Sepintas diperhatikan

seluruh proses ini merupakan hal yang lumrah, dan sudah sering dilaksanakan

tetapi jika diamati lebih jauh sebenarnya pelaksanaan upacara tersebut tidak ada

yang baku, bermacam-macam model tergantung dari tokoh adat setempat dan

kedua “hasuhuton” (kedua belah pihak) yaitu pihak pengantin laki-laki dan pihak

pengantin perempuan.

Bagi suku Batak Toba, adat perkawinan merupakan hal yang sangat

penting, sebab melalui upacara ini keluarga bersangkutan berhak

Page 4: perkawinan batak toba

4

mengadakansiklus hidup seperti menyambutanak yang baru lahir,perkawinan,

kematian, dan lain-lain. Keluarga yang belum melangsungkan upacara adat

perkawinan dalam bahasa Batak Toba mangadati tidak berhak memberi adat

kepada orang lain dan juga tidak berhak menerima adat dari orang lain. Upacara

perkawinan merupakan jembatan yang mempertemukan tungku yang tiga dalam

bahasa daerahdalihan na tolu pihak pengantin laki-laki dengan dalihan na tolu

pihakpengantin perempuan (Siahaan, 1982: 58).

Dalihan na tolu secara harafiah ialah tungku yang tiga yang merupakan

lambang sistem sosial masyarakat Batak. Tungku adalah tempat memasak yang

terdiri atas tiga buah batu yang dijadikan penopang alat masak dan di atas tungku

ini diletakkan alat memasak makanan. Ketiga batu itu sama tinggi dan sama besar

supaya ada keseimbangan, menunjukkan bahwa ketiga unsur dalihan na

tolu(dongan tubu, hula-hula, dan boru) sama penting dan harus seimbang yang

membedakannya adalah peran. Dalihan na tolu adalahDongan tubu atau dongan

sabutuha yaitu pihak yang semarga, boru yaitu pihak yang menerima isteri, dan

hula-hula yaitu pihak yang memberi isteri. Ketiga unsur ini tidak ada yang lebih

penting, dengan kata lain hula-hula, dongan tubu, dan boru ketiganya

samaperlunya (Sinaga, 2012: 20).

Secara adat seluruh masyarakat Batak harus masuk ke dalam dalihan na

tolu. Sesuai dengan prinsipnya segala upacara adat harus berdasarkan adat dalihan

na tolu. Jika ada salah satu unsur dalihan na tolu tidak lengkap, maka upacara

adat yang dilaksanakan adalah cacat atau bercela. Merupakan suatu hal yang

sangat perlu dijaga hubungan baik antara boru, dongan tubu dan hula-

Page 5: perkawinan batak toba

5

hulasehingga segala upacara adat dapat berlangsung dengan sempurna.

Kesempurnaan suatu adat Batak diukur dari kelengkapan dan hubungan baik

antara dalihan na tolu (Siahaan, 1982: 52).

Di era globalisasi upacara perkawinan Batak Toba mengalami banyak

pergeseran.Sebelum globalisasi upacara perkawinan merupakan hal yang sakral,

tetapi akibat globalisasi kesakralan itu semakin memudar.Pada kehidupan

tradisional masyarakat membuat tahapan-tahapan yang harus dilewati setiap

orang. Upacara tersebut sebagai legitimasi untuk memasuki tahap baru. Tahapan-

tahapan itu harus secara berurutan dan diperankan orang tertentu, namun di era

globalisasi tahapan itu sudah bisa diubah dan pemerannya dapat dipertukarkan

bahkan diperankan oleh orang lain yang mendapat bayaran. Menurut

Piliang(2011: 13) akibat globalisasi segala macam citraan dapat dilihat setiap

orang, rahasia pribadi menjadi milik umum, segala perbuatan dapat dilakukan

semua orang sehingga upacara-upacara menjadi kehilangan makna sosiologisnya.

Upacara yang dilakukan menuju pernikahan sampai ke hari pernikahan

dipenuhi dengan makna. Makna-makna yang terdapat dalam proses ini mengalami

perubahan akibat globalisasi. Salah satu contoh dapat dilihat dari proses awal

pernikahan yaitu marhusip. Marhusip merupakan acara yang dilakukan oleh

keluarga pihak laki-laki dengan keluarga pihak perempuan yang sangat rahasia

sekali tentang rencana anak mereka untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini

sangat rahasia karena dimungkinkan rencana perkawinan tersebut batal untuk

dilangsungkan, untuk itu sangat dirahasiakan.Tetapi pada saat sekarang marhusip

Page 6: perkawinan batak toba

6

bukan lagi rahasia empat mata antara pihak keluarga laki-laki dengan keluarga

perempuan tetapi sudah transparan kepada khalayak umum.

Ketika segala sesuatunya transparan dan berputar dalam sirkuit global,

maka hukum yang mengatur masyarakat global bukan lagi hukum kemajuan,

melainkan hukum orbit seperti yang dikatakan Jean Baudrillard (dalam Piliang,

2011: 132). Menurut hukum orbit, segala sesuatu berputar secara orbital dan

global, berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, dari satu komunitas ke

komunitas lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain.

Pada upacara adat perkawinan Batak, makna-makna yang terkandung

dalam seluruh proses upacara perkawinan sudah tidak jelas. Kebanyakan proses

itu dilakukan berdasarkan kebiasaan bahkan pencitraan bukan berdasarkan makna

sebenarnya. Budaya lain yang bukan miliknya dikonsumsi seakan-akan

identitasnya akibat globalisasi.Misalnya pola makanprasmanan yang disajikan

pada pelaksanaan upacara perkawinan. Dengan sistem prasmanan peran dalihan

na tolu sudah memudar, dan hormat menghormati menjadi hilang. Seperti

pendapat Robertson (dalam Barker, 2004: 115), globalisasi sebagai proses yang

menghasilkan dunia tunggal. Masyarakat di seluruh dunia menjadi saling

tergantung di semua aspek kehidupan: politik, ekonomi, dan kultural. Semua

aspek kehidupan ini berkembang melampaui batas tradisional dan mengikat

satuan masyarakat yang sebelumnya terpisah dan sekarang menjadi satu sistem

global.

Globalisasi bukan hanya soal ekonomi saja namun juga makna kebudayaan

yang terkandung dalam masing-masing budaya lokal.Nilai dan makna yang

Page 7: perkawinan batak toba

7

terdapat dalam kebudayaan semakin terjerat dalam jaringan yang luas. Budaya

lokal mengidentifikasikan dirinya dengan proses global sehingga sulit dibedakan

budaya lokal dan budaya global (Barker, 2004:116).

Globalisasi sudah mempengaruhi pelaksanaan upacara perkawinan Batak

Toba sehingga mengakibatkan pergeseran makna.Namun demikian, upacara ini

masih tetap berlangsung sampai saat ini dengan alasan jika satu keluarga belum

melaksanakan adat perkawinan, maka seluruh keturunannya di kemudian hari

tidak boleh melakukan adat perkawinan.Merupakan suatu hal yang memalukan

bagi suatu keluarga yang sudah lama menikah tetapi belum melaksanakan adat

perkawinan.Dengan demikian bagaimanapuncaranya setiap keluarga selalu

berusaha untuk melaksanakan adat perkawinannya.

Komunitas Batak Toba yang berdomisili di Kota Denpasar pada tahun 2014

menurut data dari gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan gereja HKI

(Huria Kristen Indonesia)ada sejumlah1.204 jiwa (lihat tabel 4.5). Dari kuantitas

pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasaryaitu, tahun 2012

sebanyak tujuh pasangan, 2013 sebanyak enam pasangan, dan tahun 2014

sebanyak delapan pasangan (lihat tabel 5.1). Biaya yang digunakan dalam satu

upacara perkawinan minimal Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) bahkan

sampai miliaran Rupiah. Selain menghabiskan biaya yang tidak sedikit, juga

menghabiskan waktu yang sangat panjang. Tokoh adat dan juga keluarga yang

melangsungkan pernikahan menginginkan pelaksanaannya secara ringkas, namun

dalam kenyataannya malah menjadi bertele-tele. Sangat sedikit upacara

Page 8: perkawinan batak toba

8

perkawinan Batak yang sederhana. Atas dasar alasan tersebut perlu dilakukan

penelitian.

Yang menarik tentang adat ini, kemana orang Batak Toba pergi merantau,

ke kota atau ke luar negeri adatnya selalu dibawa, bahkan sering terjadi adat lebih

kuat dari agama (Castles, 1940: xviii-xix).Bagi suku Batak Toba tidak beragama

bukan soal, namun kalau tidak “ber-adat” merupakan masalah yang sangat besar.

Adat merupakan suatu kebanggaan bagisuku Batak Toba untuk menunjukkan

identitas yang sebenarnya.

Pada perkembangan akhir-akhir ini hubungan antara adat dan agama sangat

erat sekali ibarat dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan namun selalu

beriringan. Pelaksanaan adat selalu diikuti oleh agama dalam hal ini agamakristen,

dan pelaksanaan agama selalu diwarnai oleh adat.Yang menjadi masalah

pelaksanaannya yang konsumerisme menghabiskan biaya ratusan juta bahkan ada

sampai milyaran rupiah.

Untuk menanggung biaya yang tidak sedikit ini usaha yang dilakukan yaitu,

(1).Meminta bantuan dari keluarga dalam bahasa daerah disebut papungu

tumpak.Jumlah yang terkumpul biasanya sangat kecil tidak mencukupi untuk

menutupi biaya pesta perkawinan;(2). Meminjam ke pihak yang lain. Untuk

mendapatkan pinjaman tentu mempunyai syarat misalnya punya jaminan sehingga

tidak semua boleh mendapatkannya;(3). Menjual harta berharga yang dimiliki.Hal

ini yang sering dilakukan para orang tua untuk melaksanakan upacara perkawinan

anaknya.Menjual harta berharga misalnya perhiasan, kenderaan, tanah, dll.

Perilaku yang menjual harta berharga seperti ini merupakan hal yang biasa bagi

Page 9: perkawinan batak toba

9

komunitas Batak Toba. Upacara perkawinan menjadi hal yang sangat utama bagi

kehidupan mereka.

Pelaksanaan upacara perkawinan yang menggunakan biaya besar tetap

dilakukan di daerah rantau untuk menunjukkan identitas.Kebanggaan untuk

menunjukkan identitas di daerah rantau bagi suku Batak sangat berbeda dengan

suku lain. Suku Batak mempunyai misi budaya (cultural mission) untuk

membangun kerajaan-kerajaan pribadi didaerah rantau sehingga mereka

memerlukan tanah, rumah, dan anak.Misi budaya adalah seperangkat tujuan yang

didasarkan pada nilai-nilai yang dominan dari pandangan dunia (cosmology) dari

suatu masyarakat tertentu, dimana anggota masyarakat itu diharapkan untuk

mencapainya (Pelly, 1994: 293).

Dalam buku Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya Minangkabau

dan Mandailing (1994), Pelly menjelaskan bahwa suku Minangkabau mempunyai

misi budaya dalam hal merantau untuk memperkaya dan memperkuat alam

Minangkabau.Oleh karena itu dalam kosmologi Minangkabau mengenal dua alam

yaitu alam Minangkabau (Minangkabau world) dan alam rantau (migration

world).Suku Minangkabau mempunyai misi budaya merantau dan hasil misi

merantau dibawa ke alam Minangkabau disebut dengan istilah migrasi yang

berputar (Pelly, 1994: 294). Berbeda dengan misi budaya Minangkabau, suku

Batak mempunyai misi budaya merantau untuk memperluas kampung

halamandan mendirikan kerajaan pribadi (sahala harajaon). Kosmologi mereka

tentang alam rantau (bona ni ranto) yang dikuasai merupakan bagian integral dari

alam kampung halaman (Pelly, 1994: 295). Misi budaya yang memandang daerah

Page 10: perkawinan batak toba

10

rantau merupakan perluasan kampung halaman untuk mendirikan kerajaan-

kerajaan pribadi (sahala harajaon), berimplikasi dalam pelaksanaan segala

upacara adat yang dilaksanakan di daerah rantau.Upacara-upacara adat diusahakan

seperti pelaksanaan upacara yang dilakukan seorang raja dengan penuh

kemewahan sehingga upacara perkawinan menggunakan biaya yang tinggi.

Pelaksanaan upacara perkawinan memerlukan biaya yang tinggi disebabkan

sifat konsumerisme yang ada.Konsumerisme dapat terjadi dari segi kuantitas

(jumlah yang dikonsumsi melebihi yang dibutuhkan) dan juga segi kualitas

(kualitas tertentu). Sifat konsumerisme tersebut dapat diamati dari objek yang

dikonsumsi bukan hanya berdasarkan nilai guna dan nilai utilitas tetapi lebih

didominasi nilai tanda dan nilai simbol. Nilai tanda dan nilai simbol sangat perlu

untuk menunjukkan identitasnya di daerah rantau.

Seperti yang diutarakan Piliang (2012: 142), manusia mengonsumsi objek-

objek bukan sekedar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya, tetapi juga

untuk mengkomunikasikan makna-makna tertentu.Demikian juga dalam upacara

perkawinan Batak Toba banyak objek yang dikonsumsi di luar nilai guna budaya

adat Batak. Contoh-contoh ini dapat dilihat dari: cenderamata yang dalam adat

perkawinan Batak tidak mengenal hal itu. Contoh yang lain mendatangkan artis

dengan bayaran mahal. Contoh-contoh ini tidak ada kaitannya dalam upacara

perkawinan namun dalam pelaksanaannya cenderamata dan mengundang artis

seakan kebutuhan primer.Padahal jika diperhatikan lebih jauh hal itu hanya

merupakan pencitraan semata.

Page 11: perkawinan batak toba

11

1.2 Rumusan Masalah

Proses yang panjang dan juga biaya yang tinggi selalu menjadi masalah di

setiap acara perkawinan Batak Toba namun belum ada jalan keluarnya. Sebagian

tetap mempertahankan, sebagian tidak setuju akan proses yang panjang dan biaya

yang tinggi namun belum berhasil memperbaikinya. Penelitian ini bersifat

emansipatoris sebagai ciri kajian budaya dengan mencari bentuk, penyebab

konsumerisme dan juga mencari makna-makna yang terkandung dalam upacara

perkawinan tersebut. Untuk memfokuskan penelitian, masalah yang akan diteliti

adalah

a. Bagaimana bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak

Toba di KotaDenpasar?

b. Mengapa terjadi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba

di Kota Denpasar?

c. Apaimplikasikonsumerismedalam upacara perkawinan Batak Toba di

Kota Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan

pemahaman yang lengkap tentang konsumerisme dalam upacara perkawinan

Batak Toba di KotaDenpasar.Dengan demikian, penelitian ini bertujuan agar

komunitas Batak Toba di Kota Denpasar tidak semakin hanyut dalam budaya

konsumerisme dalam melaksanakan upacara perkawinannya.

Page 12: perkawinan batak toba

12

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Mengetahui bentuk konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak

Toba di Kota Denpasar.

2. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhikonsumerisme dalam

upacara perkawinan Batak Toba di KotaDenpasar.

3. Mengetahuiimplikasi konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak

Toba diKota Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Diharapkan dari penelitian ini memberikan sumbangan:

1) Pengetahuan teoretis tentang proses upacara perkawinan pada

masyarakat Batak Toba.

2) Referensi ilmiah bagi peneliti selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan:

1) Menumbuhkan kesadaran yang benar tentang perkawinan Batak Toba.

2) Menyadarkan esensi sebuah perkawinan khususnya Batak Toba.

3) Dapat diambil solusi terhadap perbedaan pandangan antara kelompok

yang ingin mempertahankan bentuk yang sekarang dan kelompok yang

mau mengubah dengan model baru atau kembali seperti model awal.

Page 13: perkawinan batak toba

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian yang membahas tentang konsumerisme terkait upacara

perkawinan di Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana

sepengetahuan penulis belum ada.Hanya ada relatif sedikit karya menyangkut

konsumerisme tetapi tidak terkait upacara perkawinan. Dari judul yang sedikit itu,

di antaranya sebagai berikut:“Upacara Ngaben Massal Masyarakat Desa

Pakraman Sudaji, Kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng: Sebuah Kajian

Budaya” oleh Nyoman Sukraaliawan (2007).Tesis tersebut bukan secara spesifik

membahas tentang konsumerisme tetapi ada kaitannya dengan konsumerisme.

Dalam tesis tersebut dijelaskan bahwa upacara ngaben yang dilakukan

masyarakat di desa pakraman Sudaji, secara massal untuk menekan biaya.Ngaben

massal digagas oleh prajuru desa pakraman Sudaji yang pertama kali dilakukan

tahun 2004.Upacara ngaben massal ini diikuti 360 sawa dan 12 clan (soroh) dan

mendapat penerimaan baik dari masyarakat bersangkutan. Upacara ini dapat

diterima karena prosesi dari upacara ngaben massal pada prinsipnya sama dengan

upacara ngaben pada umumnya. Faktor yang menarik pada masyarakat yaitu

faktor efisiensi biaya, kepraktisan dalam penggunaan sarana prasarana upacara

ngaben.

Page 14: perkawinan batak toba

14

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Sukraaliawan dengan

penulis yaitu sama-sama menginginkan efisiensi biaya dan kepraktisan upacara

perkawinan Batak Toba. Namun perlu dijelaskan bahwa untuk melaksanakan

perkawinan massal bagi masyarakat Batak sangat tidak mungkin disebabkan

peranan dalinan na tolu akan menjadi hilang. Perbedaan yang lain adalah dalam

upacara ngaben massal lebih terfokus secara keagamaan sedangkan upacara

perkawinan Batak Toba terfokus kepada adat istiadat bukan dari sudut

keagamaan.

Penelitian lain yang ada kaitannya denganupacara perkawinan Batak Toba

yaitu tesis Situmorang (2006) yang berjudul “Simbolisme dalam Budaya Batak

Toba: Studi Kasus Upacara Perkawinan di Kota Denpasar”. Dalam penelitiannya

Situmorang menyimpulkan bahwa upacara perkawinan masyarakat Batak

merupakan peristiwa simbolik. Bentuk simbol dalam upacara perkawinan Batak

Toba diproduksi oleh sistem kepercayaan melalui mekanisme bahasa dan mitos,

pola transformasi simbol melalui mekanisme logika analogi, asosiasi dan kias.

Tipologi simbol dalam upacara perkawinan Batak Toba yaitu simbol

metafisis, simbol material, dan simbol lingual.Beberapa simbol dalam upacara

perkawinan masih tetap dalam bentuk aslinya tetapi banyak juga sudah

mengalami pergeseran. Simbol-simbol dalam budaya Batak senantiasa mengalami

proses rekonstruksi, dekonstruksi, sesuai dengan dinamika kekuatan dan

kekuasaan sosial turut memberi bobot pemaknaan sebuah simbol. Melalui

penelitian tersebut terbukti bahwa melalui upacara perkawinan terjadi “pasar

Page 15: perkawinan batak toba

15

makna” merupakan medium bagi proses pertukaran atau transaksi makna melalui

interpretasi simbol.

Persamaan tesis Situmorang dengan tesis penulis yaitu sama-sama

melakukan penelitian upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.

Perbedaanya, Situmorang meneliti dari sudut simbol sedangkan penulis meneliti

dari sudut konsumerisme.Namun demikian tesis tersebut sangat membantu

penulis untuk melakukan penelitian terlebih untuk menganalisis simbol-simbol

yang digunakan dalam upacara perkawinan Batak Toba.

Pada Januari 2014, Sibarani melakukan penelitian penyebab pergeseran

pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Pekanbaru

(http://sibaranimelin.blogspot.com/2014/01/pergeseran-perspektif-dan-budaya-

pada.html, diakses tanggal, 18 Agustus 2014). Dari hasil penelitiannya

disimpulkan bahwa pergeseran upacara perkawinan terjadi disebabkan: faktor

agama, kemajemukan asal dan etnis dalam suatu daerah, difusi adat yaitu

percampuran adat antar etnis misalnya perkawinan antar etnis, pengaruh

globalisasi, dll. Pada kenyataannya pelaksanaan upacara perkawinan dijadikan

sebagai ajang penunjuk prestise dan penentu taraf kehidupan sosial dan ekonomi

setiap keluarga.

Para keluarga yang melangsungkan upacara perkawinan, mereka

berlomba-lomba untuk memprioritaskan penanda (gedung pernikahan) sebagai

penentu taraf kehidupan keluarga. Selain itu, dekorasi pada pelaminan tidak lagi

berciri khas adat Batak, serta penjemputan pengantin menggunakan mobil mewah

yang menjadi cermin westernisasi, penyajian makanan yang mulai menghilangkan

Page 16: perkawinan batak toba

16

ciri khas Batak, dll. Penelitian ini sangat membantu penulis untuk melihat

konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.

Pada tanggal 20 Agustus 2011 para ketua marga Batak di Palembang

melakukan lokakarya adat Batak tentang pelaksanaan upacara perkawinan yang

difasilitasi oleh panitia jubileum 150 tahun HKBP di Distrik XV Sumatera Bagian

Selatan (Sinaga, 2012: 269). Lokakarya ini diselenggarakan dalam rangka

mengefektifkan dan mengefisienkan pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba

dengan tidak menghilangkan dan meniadakan esensi nilai adat Batak.Lokakarya

tersebut menghasilkan suatu deklarasi yaitu, (1).Jumlah ulos herbang (ulos yang

harus diberikan pihak pengantin perempuan kepada pihak pengantin laki-laki)

maksimal 25 buah, dan ulos taripar (ulos yang dititipkan pihak pengantin laki-laki

untuk diberikan pihak pengantin perempuan kembali kepada pihak pengantin laki-

laki di hari pelaksanaan upacara) ditiadakan. (2). Panandaion (perkenalan) yang

diberikan pihak laki-laki maksimal 25 keluarga, yang berhak menerima hanya

yang hadir dalam upacara perkawinan tersebut, dan panandaion disampaikan

langsung oleh pengantin di dampingi orang tua pengantin laki-laki.

Deklarasi yang dilakukan di Palembang ini sangat berguna untuk

membandingkan pelaksanaan upacara perkawinan di Kota Denpasar. Timbulnya

deklarasi tersebut diakibatkan konsumerisme yang sudah menggejala pada

upacara perkawinan Batak Toba di Kota Palembang. Model lokakarya menjadi

salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsumerisme.

Pada tahun 2008 Siska Purkasih melakukan penelitian tentang “Masalah

Konsumerisme di Kalangan Remaja”.Siska melakukan penelitian di Mall Taman

Page 17: perkawinan batak toba

17

Anggrek dan plaza Indonesia.Dalam penelitiannya remaja menghabiskan waktu 3

sampai 4 kali dalam satu minggu ke mall.Biasanya pada malam Minggu, mall elit

pasti ramai dan didominasi para remaja. Mereka menghabiskan uang Rp.

100.000,- ke atas. Mereka sering mampir dan berbelanja walaupun tidak sangat

berkepentingan, mereka suka melihat-lihat model yang baru keluar.Merek suatu

barang merupakan hal yang sangat penting demi gengsi.

Dari penelitian yang dilakukan, Siska Purkasih membuat beberapa

kesimpulan diantaranya, pertama, perilaku konsumsi manusia tidak lepas dari

kondisi sosial dan budaya manusia tinggal.Kedua, semakin banyak konsumsi,

semakin banyak pula produksi.Ketiga, adanya penyeragaman budaya, ada rambut

ideal, kulit ideal, ras ideal, singkatnya ada batasan tentang idealitas; dan keempat,

masyarakat hampir tidak bisa lepas dari peran objek sebagai perumus eksistensi

(status, prestise, kelas).(http://siskapurkasih. blogspot.com/2008/10/ masalah-

konsumerisme-di-kalangan-remaja.html, diakses tanggal, 10 Agustus, 2014).

Penelitian yang hampir sama dengan yang dilakukan Siska Purkasih di atas

yaitu penelitian yang dilakukan Fajar Riski (2012) yang berjudul, “Konsumerisme

di Kalangan Remaja”. Penelitiannya dilakukan di Tunjungan Plaza atau sering

disingkat dengan T.P. Plaza ini merupakan pusat perbelanjaan terbesar di

Surabaya yang berdiri pada tahun 1986.Tunjungan Plaza terletak di jalan Basuki

Rachmat Surabaya dan mempunyai 4 bangunan utama yaitu Tunjungan Plaza I –

IV.Plaza ini berada di bawah naungan PT. Pakuwan Jati Tbk.

Dalam penelitian itu dijelaskan, semakin berkembangnya plaza, maka

manusia terjebak pada kompleksitas ragam komoditi yang hendak dikonsumsi

Page 18: perkawinan batak toba

18

baik secara sadar maupun tidak sadar.Hal ini terjadi tidak terlepas dari konstruksi

sosial yang dibangun dalam lingkungan manusia itu sendiri.Salah satunya yaitu

peradaban modern yang tumbuh dari perkembangan umat manusia telah

menunjukkan kemajuan.Selain dari kemajuan yang berdampak positif, ada juga

yang berdampak kurang baik bagi kehidupan manusia berupa perubahan budaya,

salah satunya adalah budaya konsumtif. Budaya konsumtif lebih mudah

menjangkit kalangan remaja karena secara psikologi remaja masih berada dalam

proses mencari jati diri dan sangat sensitif terhadap pengaruh luar. Hal ini sesuai

dengan penelitian Reynold yang menyimpulkan remaja usia 16 tahun sampai

dengan 18 tahun membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan

menunjang penampilan diri.

Adanya fasilitas-fasilitas dan tempat perbelanjaan menambah akses remaja

untuk berperilaku konsumtif. Supaya diakui keberadaannya dalam lingkungannya

maka ia harus menjadi lingkungannya dengan cara mengkonsumsi dan menikmati

semua fasilitas yang telah tersedia. Hal ini dilakukan para remaja semata-mata

ingin diperhatikan dan ingin menunjukkan bahwa remaja sudah bisa menjadi

dewasa, bisa hidup dan bergaul layaknya orang dewasa. Perilaku konsumtif ini

akan terus menjadi kebiasaan gaya hidup remaja di Indonesia. (http://fajar_

riski_s-fib11.web.unair.ac.id/artikel, diakses tanggal, 12 agustus 2014).

Persamaan penelitian yang dilakukan Siska Purkasih dan Fajar Riski

tentang konsumerisme di kalangan remaja dengan penelitian yang dilakukan

penulis adalah sama-sama mengambil tema konsumerisme. Perbedaannya yaitu

objek kajian yang berbeda, Siska Purkasih dan Fajar Riski mengambil objek

Page 19: perkawinan batak toba

19

remaja sedangkan penulis mengkaji satu suku bangsa yaitu Batak Toba. Selain

objek yang berbeda, cara menganalisisnya juga berbeda, Siska Purkasih dan Fajar

Riski menganalisis secara positivistik sedangkan penulis menganalisisnya secara

kajian budaya.

Alfitri dalam artikelnya “Budaya Konsumerisme Masyarakat

Perkotaan”dalam majalah Empirika, volume XI, No. 01, 2007 membahas tentang

konsumerisme masyarakat di perkotaan. Dalam artikel tersebut,Alfitri membuat

kesimpulan sebagai berikut, pertama, munculnya pusat-pusat perbelanjaan di

perkotaan mempengaruhi perilaku keluarga dan masyarakat yang mengarah

kepada perilaku konsumtif. Kedua, perubahan perilaku ini dipengaruhi oleh

perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan yang dibentuk secara sistematis oleh

media massa dan juga penampilan dan gaya pajangan pusat-pusat perbelanjaan

yang mengadopsi dari berbagai hasil penelitian yang mendalam dan panjang.

Ketiga, masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat memicu penurunan mutu

dan kualitas hidup dan sering melahirkan tindakan kriminal dan kehancuran

rumah tangga.

Persamaan artikel ini dengan penelitian penulis yaitu sama-sama mengkaji

pola hidup masyarakat yang konsumerisme.Perbedaannya, Alfitri membahas

konsumerisme dari kehidupan masyarakat perkotaan secara umum, sedangkan

penulis meneliti secara spesifik upacara perkawinan Batak Toba. Selain itu, artikel

yang dihasilkan Alfitri memandang konsumerisme itu dari sudut

positivistiksedangkan penulis menelitinya dari pandangan kajian budaya.

Page 20: perkawinan batak toba

20

Dalam buku Perkawinan Adat Dalihan Natolu(2012) Richard Sinaga

mendeskripsikan tahap-tahap yang akan dilakukan dalam proses perkawinan

Batak Toba. Selain proses perkawinan, dalam buku tersebut dibahas tentang

penyederhanaan pesta perkawinan adat dalihan na tolu dan kriteria efektivitas dan

efisiensi untuk upacara pesta perkawinan adat dalihan na tolu. Menurut Richard,

upacara perkawinan di daerah perantauan sudah bergeser apalagi dalam hal

penggunaan waktu. Sepintas kelihatan sangat efisien tetapi jika diamati upacara

yang dilakukan tidak bermakna kultural dan terkesan sebagai “sandiwara” yang

perlu dicermati untuk diakhiri.

Persamaan kajian Richard Sinaga dengan penelitian yang dilakukan yaitu

sama-sama mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi pelaksanaan

upacara perkawinan Batak Toba. Inefisiensi yang terjadi mengakibatkan

konsumerisme dalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Perbedaannya,

Richard mengkaji secara umum sedangkan penulis fokus di Kota Denpasar.

Perbedaan yang sangat nyata yaitu sudut pandang positivistik yang dilakukan

Richard, sedangkan penulis meneliti dari sudut kajian budaya.

Haryanto Soedjatmiko dalam bukunya Saya Berbelanja Maka Saya Ada

Ketika Konsumsi dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme (2008)

menyatakan, seturut perkembangan revolusi industri, orientasi produksi adalah

menghasilkan barang secara kuantitas sehingga ada istilah produksi massal.

Produksi massal ditentukan oleh produsen.Pada masa sekarang, memproduksi

ditentukan oleh konsumen.Apa yang diproduksi lebih ditentukan oleh apa yang

ingin dikonsumsi. Manusia merupakan makhluk yang bebas untuk mengkonsumsi

Page 21: perkawinan batak toba

21

apapun. Melalui iklan manusia ditawari apa yang dibutuhkan dan apa yang

diharapkan sehingga terjadi perubahan “wants” berubah menjadi “needs”, yang

awalnya berbentuk keinginan berubah menjadi kebutuhan.

Kebebasan manusia untuk mengonsumsi apa saja mengakibatkan

konsumsi sebagai bentuk identitas diri. Istilah yang disebut Haryanto Soedjatmiko

“semakin aku mengonsumsi, semakin nyatalah jati diriku”. Konsumerisme

menjadi makna baru yaitu sebagai gaya hidup. Keunggulan konsumerisme sebagai

gaya hidup yaitu tidak memutlakkan kemampuan membeli seseorang pada masa

sekarang, manusia dapat mengonsumsi melalui bentuk kredit.

Kelebihan dari konsumerisme yaitu menawarkan kepada konsumen

berbagai kesempatan dan pengalaman.Sebelumnya konsumen belum menikmati

bahkan belum mengenal sesuatu objek tetapi dengan konsumerisme, manusia

berkesempatan untuk memilikinya. Di pihak lain konsumen digiring ke arah

tujuan yang telah ditentukan yaitu kepentingan kapitalis. Kondisi ini oleh

Haryanto Soedjatmiko disebut paradoks konsumsi.

Kesamaan pembahasan Haryanto Soedjatmiko dengan penelitian yang

dilakukan penulis yaitu sama-sama membahas tentang pola hidup konsumerisme.

Buku ini sangat membantu untuk menambah wawasan penulis mendalami pola

hidup konsumerisme. Perbedaanya, dalam buku tersebut dijelaskan gaya hidup

konsumerisme dengan berbelanja secara fokus, sedangkan penulis meneliti objek

dan juga makna yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba.

Page 22: perkawinan batak toba

22

2.2 Konsep

2.2.1 Konsumerisme

Konsumerisme berbeda dengan konsumsi walau kedua istilah itu

berhubungan.Konsumsi berkaitan dengan pemakaian barang dan jasa untuk

kehidupan yang layak pada suatu masyarakat.Konsumsi merupakan keharusan

bagi manusia untuk bertahan hidup sedangkan konsumerisme bukan keharusan

tetapi suatu konstruksi sosial.

Menurut Piliang, (2011: 415), konsumerisme adalah manipulasi tingkah

laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran.

Konsumerisme merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ideologi ekonomi

kapitalisme, di dalamnya kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar

dan komoditi.Konsumen terperangkap dalam berbagai konstruksi tanda, citra dan

simbol dengan irama produksi, pergantian dan keusangan terencana, serta dengan

berbagai pesona, daya tarik yang ditawarkan.Konstruksi tersebut mengakibatkan

terancamnya nilai-nilai dan ideologi masyarakat tradisional.

Konsumerisme yang menjadikan suatu ideologi membuat seseorang atau

sekelompok orang melakukan proses konsumsi secara berlebihan atau tidak

sepantasnya secara sadar atau tidak sadar dan berkelanjutan. Manusia

mengonsumsi objek-objek bukan hanya berdasarkan nilai guna dan nilai

utilitasnya, tetapi juga mempertontonkan makna-makna tertentu (Piliang, 2012:

142).Demikian halnya dalam upacara perkawinan Batak Toba, objek-objek yang

dikonsumsi tidak selamanya berdasarkan nilai guna tetapi lebih didominasi nilai

simbol.

Page 23: perkawinan batak toba

23

Terkait dengan konsumerisme, Baudrillard berpandangan skeptis dan

fatalis terhadap pengontrolan objek.Menurut Baudrillard (dalam Piliang, 2012:

142) konsumer tidak mengontrol objek tetapi sebaliknya yang terjadi objek yang

mengontrol konsumer.Mereka menjadi mayoritas yang diam, yang menempatkan

dirinya dalam relasi subjek-objek, bukan sebagai pencipta tetapi semacam jaring

laba-laba, yang menjaring dan mengkonsumsi segala yang ada di sekitarnya.

Konsumerisme merupakan suatu budaya yang merupakan bentuk khusus

dari budaya materi yang mulai berkembang pada masyarakat Eropa dan Amerika

pada pertengahan abad ke-20.Menurut Lury(1998: 8) hubungan antara kekayaan

ekonomi dan partisipasi dalam budaya materi sangat komplek dan penuh variabel

historis. Tidak ada hubungan langsung antara tingkat ekonomi terhadap

kepemilikan sesuatu barang, persepsi barang kebutuhan dan kemewahan,

pemahaman mengenai kebutuhan atau keinginan. Budaya konsumen memberikan

kondisi-kondisi, di dalamnya dipahami bahwa identitas diri bukan saja

berhubungan dengan barang-barang milik pribadi, tetapi identitas diri itu sendiri

menyatakan diri sebagai barang milik.

Pola konsumsi seseorang boleh menjadi jalan untuk mengekspresikan

identitas sosial, dan kalau perlu politiknya. Budaya konsumen mengakibatkan

ketidakseimbangan yang terjadi dalam hubungan individu pada dirinya sendiri,

perasaan agensi dan kecenderungan rasa memiliki terhadap pengelompokan

sosial. Masyarakat digiring untuk memperjelas diri mereka dalam pengertian

benda-benda yang mereka miliki, dan benda menjadi citra diri (Lury, 1998: 10).

Page 24: perkawinan batak toba

24

Upacara perkawinan Batak Toba yang sudah dilaksanakan secara

berulang-ulang sepintas kelihatan merupakan hal yang wajar. Dikatakan wajar

karena sudah umum melaksanakan dalam bentuk yang sama yaitu konsumerisme.

Mereka bukan lagi mengontrol objek tetapi sudah dikontrol objek akibat ideologi

kapitalis.Objek yang dikonsumsi melebihi dari segi kuantitas dan juga kualitas.

Selain dikontrol objek, yang dikonsumsi bukan hanya objek tetapi juga tingkah

laku dan pola pikir.

Seperti yang dikemukakan Piliang (2012: 145) akibat kemajuan ekonomi

di Indonesia gaya hidup juga berkembang sebagai fungsi dari diferensiasi sosial

yang tercipta dari relasi konsumsi. Konsumsi bukan sekedar berkaitan dengan

nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia

tertentu, tetapi juga berkaitan dengan simbolik untuk menandai kelas, status atau

simbol sosial tertentu.Yang dikonsumsi bukan sekedar objek, tetapi juga makna-

makna sosial yang tersembunyi di baliknya.

Masyarakat konsumen memaknai konsumsibukan berdasarkan kebutuhan

atau hasrat mendapat kenikmatan, tetapi yang dibutuhkan adalah hasrat untuk

mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui mekanisme

penandaan (Hidayat, 2012: 62). Pada masyarakat konsumen individu

menunjukkan identitas melalui tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki

dan tampilkan dalam interaksi sosial. Tanda merupakan cerminan aktualisasi diri

individu yang paling meyakinkan.

Page 25: perkawinan batak toba

25

2.2.2 Upacara Perkawinan Batak Toba

Upacara merupakanserangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada

aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan.Dalam

kehidupan sehari-hari contoh upacara yaitu, upacara penguburan, upacara

perkawinan, upacara pengukuhan kepala suku, upacara potong gigi, dan

sebagainya(http://catatansenibudaya.blogspot.com/2012/05/definisi-upacara-

adat.html, diakses tanggal, 7 Agustus 2014).Demikian halnya upacara perkawinan

Batak Toba merupakan serangkaian tindakan dalam hal proses perkawinan yang

dilakukan secara turun-temurun.

Perkawinan adalah perpaduan dua kelompok (pihak) antara pihak laki-laki

dan pihak perempuan menjadi satu kerabat. Jadi perkawinan dalam tulisan ini

bukan hanya sekedar perpaduan antara satu orang laki-laki dan satu orang

perempuan,tetapi perkawinan itu dalam arti yang luas (Siahaan,1982: 58).Upacara

perkawinan pada suku bangsa Batak umumnya merupakan acara yang sakral dan

membutuhkan waktu juga biaya yang banyak.

Suku bangsa Batak mempunyai 6 (enam) rumpun yaitu: Batak Toba,

berdiam di sekitar danau Toba; Batak Mandailing, berdiam di sekitar Tapanuli

Selatan; Angkola, mendiami Angkola dan Sipirok; Batak Karo, berdiam di Tanah

Karo; Batak Simalungun, berdiam di Simalungun; dan Pakpak, berdiam di

Dairi/Pakpak, Sumut (Bangun, 1982: 94-95). Masing-masing rumpun ini

mempunyai upacara perkawinan yang agakberbeda, namun secara prinsip adalah

sama. Penelitian ini khusus meneliti upacara perkawinan Batak Toba yang

dilakukan di Kota Denpasar.

Page 26: perkawinan batak toba

26

Pelaksanaan upacara perkawinan di daerah perkotaan dan juga di daerah

asal (Tapanuli) prinsipnya sama walaupun dalam teknisnya ada sedikit perbedaan

di sana-sini. Perbedaan-perbedaan itu diakibatkan faktor lingkungan yang

berpengaruh terhadap teknis pelaksanaannya.Umumnya upacara perkawinan

tersebut dari awal sampai akhir terdapat konsumerisme.Konsumerisme merupakan

manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi

pemasaran.Yang dikonsumsi tidak lagi sekedar objek, tetapi juga makna-makna

sosial yang tersembunyi di baliknya (Piliang, 2011: 145).

2.2.3 Konsumerisme dalam Upacara Perkawinan Batak Toba

Konsumerisme merupakan perilaku etnik Batak Toba dalam upacara

perkawinan yang mengkonsumsi secara berlebihan atau tidak sepantasnya dari

sudut kuantitas dan kualitas, baik berbentuk materi ataupun non materi.

Konsumerisme dalam bentuk materi terjadi dalam hal: (1). Jumlah mahar atau

sinamot yang tinggi; (2). Tempat pelaksanaan pesta perkawinan di gedung yang

mewah; (3). Mengundang banyak orang; (4). Menggunakan perlengkapan mewah.

Selain konsumerisme dalam bentuk materi, pelaksanaan upacara Batak

Toba di Kota Denpasar juga terjadi konsumerisme non materi.Hal ini dapat

diamati dari: (1). Pola pikir yang ingin cepat; (2). Tindakan yang ingin cepat; (3).

Pekerjaan yang diukur berdasarkan untung rugi; (4). Meniru perilaku orang lain di

luar budayanya tanpa mengerti makna dari perilaku tersebut: (5). Menggunakan

tahapan-tahapan yang panjang.

Page 27: perkawinan batak toba

27

Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, orang

kaya berusaha untuk mengonsumsi objek yang berbeda dari yang biasa,

sebaliknya orang yang kurang mampu dari segi ekonomi berusaha untuk

mengikuti gaya orang kaya mengonsumsi objek yang sama untuk menunjukkan

identitasnya. Perilaku yang mengonsumsi objek bukan berdasarkan hanya nilai

guna tetapi juga nilai simbol mengakibatkan konsumerisme dalam pelaksanaan

upacara perkawinan Batak Toba.

Jadi yang dimaksud dengan konsumerisme perkawinan Batak Toba yaitu

pelaksanaan upacara perkawinan yang dilakukan suku bangsa Batak Toba

melebihi kemampuan dirinya baik dari sudut kuantitas maupun

kualitas.Kemampuannya dipaksakan baik secara materi maupun non materi diluar

kewajaran.Ketidakwajaran yang dilaksanakan secara berulang-ulang

menjadikannya seakan-akan suatu keharusan,yang tidak pantas menjadi pantas

karena sudah terbiasa dilaksanakan.Hal-hal seperti inilah yangdisebut sebagai

konsumerisme yang akan diteliti dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota

Denpasar.

2.3 Landasan Teori

Sebagai landasan untuk menganalisis masalah yang akan diteliti dalam

penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yaitu, teori konsumerisme,

teori praktik sosial, dan teori hipersemiotika secara eklektik.

Page 28: perkawinan batak toba

28

2.3.1 Teori Konsumerisme

Manusia dalam kehidupan sehari-hari memiliki kebutuhan. Pada awalnya

manusia hanya mengambil dari alam yang tersedia segala sesuatu apa yang

dibutuhkan. Pada perkembangan selanjutnya seperti yang diutarakan Marx,

manusia bukan hanya mengambil apa yang tersedia dari alam untuk dikonsumsi

sendiri melainkan untuk dijual di pasaran demi keuntungan. Komoditas lebih

bermakna sebagai nilai tukar daripada nilai guna (Soedjatmiko, 2008: 20). Marx

dalam teorinya terutama tertuju pada produksi. Menurut Marx bahwa konsumsi

atas sesuatu yang secara fungsional dianggap berguna akan dilegitimasikan

sebagai kebutuhan, sedangkan konsumsi yang terkait dengan kemewahan

dianggap sebagai kemerosotan moral (Wiedenhoft, 2012:821).

Berbeda dengan Marx yang memahami komoditas sebagai proses produksi,

Veblen banyak memerhatikan kebutuhan orang untuk membuat pembedaan-

pembedaan sosial dengan memamerkan objek-objek konsumen. Kelas atas

mengonsumsi secara berlebihan untuk menunjukkan kelasnya sedangkan kelas di

bawahnya berusaha untuk meniru kelas di atasnya. Dorongan untuk meniru ini

memicu efek mengalir ke bawah artinya kelas atas menjadi penentu konsumsi

baik untuk kelasnya sendiri dan juga kelas di bawahnya. Walaupun kelas bawah

meniru konsumsi kelas atas, kelas atas akan menyingkirkan objek tersebut dan

memilih objek yang baru untuk menunjukkan kelasnya. Dengan demikian Veblen

menyimpulkan, dengan mengonsumsi objek, sesungguhnya manusia sedang

mengonsumsi bermacam-macam makna yang terkait dengan kelas (Wiedenhoft,

2012:825).

Page 29: perkawinan batak toba

29

Berpijak dari pendapat Marx yang menyatakan bahwa objek mempunyai

nilai guna dan nilai tukar, Baudrillard menggantinya dengan nilai tanda dan nilai

simbolik. Menurut Baudrillard (dalam Hidayat, 2012: 61), fungsi utama objek

konsumen bukanlah berdasarkan kegunaan atau manfaat, tetapi yang diutamakan

adalah nilai tanda atau nilai simbolik yang disebarluaskan melalui iklan-iklan

gaya hidup belbagai media. Pada masyarakat konsumer objek bukan saja untuk

dikonsumsi, tetapi juga diproduksi lebih banyak untuk menandakan status.

Konsumsi bukan untuk mencari homogenisasi tetapi diferensiasi, sehingga barang

mewah yang dimiliki untuk menunjukkan status bukan kebutuhan ekonomi

(Lubis, 2014: 179).

Konsumsi berbeda dengan konsumerisme walau keduanya saling berkaitan.

Konsumsi merupakan sebuah tindakan (an act) sedangkan konsumerisme

merupakan sebuah cara hidup (a way of life). Konsumsi merupakan cermin aksi

yang nyata, sedangkan konsumerisme terkait dengan motivasi yang terkandung di

dalamnya. Konsumerisme adalah sebuah ekspresi budaya dan manifestasi dari

tindakan konsumsi (Soedjatmiko, 2008: 29).

Konsumerisme merupakansuatu ideologi dimana makna kehidupandi-

tentukan oleh apa yang dikonsumsi, bukan apa yang dihasilkan. Menurut Herbert

Marcuse (dalam Storey, 2006: 145), ideologi konsumerisme mendorong

kebutuhan palsu dan manusia mengenali dirinya dalam komoditasnya.Manusia

mencari dirinya melalui makanan tertentu, minuman tertentu, barang tertentu,

pakaian tertentu dan seterusnya.Komunitas Batak Toba di Kota Denpasar mencari

identitasnya melalui objek yang dikonsumsi dalam upacara perkawinan.

Page 30: perkawinan batak toba

30

Mengonsumsi objek tertentu menandakan bahwa seseorang sama dengan

orang lain yang mengonsumsi objek itu dan orang akan berbeda dengan orang lain

yang mengonsumsi objek lain. Kondisi yang demikian oleh Ritzer disebut dengan

kode yang mengontrol apa yang dikonsumsi dan apa yang tidak dikonsumsi.

Orang akan meniru konsumsi orang lain agar dirinya menyerupai (sama) orang

yang ditiru. Sebaliknya orang akan mengonsumsi objek yang berbeda dengan

orang lain memberikan tanda bahwa dia berbeda dari orang lain (Ritzer, 2004:

138). Pada suku Batak Toba, yang mempunyai ekonomi lebih baik akan selalu

mencari konsumsi yang berbeda dari yang lainnya sedangkan orang yang

berekonomi lemah akan meniru (ingin menyamai) konsumsi orang kaya sehingga

terjadi konsumerisme.

Gaya hidup konsumerisme merupakan gaya hidup yang didorong oleh

logika hasrat dan keinginan ketimbang logika kebutuhan. Budaya konsumerisme

sangat berhubungan dengan lingkungan urban, karena di perkotaan ruang untuk

konsumsi itu sangat mendukung. Di dalam gaya hidup konsumerisme, objek-

objek dikonsumsi sebagai medium untuk menyatakan identitas diri, status, simbol

sebagai logika tanda (Piliang, 2011: 238). Dalam upacara perkawinan Batak Toba

objek dan tanda banyak dikonsumsi demi menunjukkan

identitasnya.Konsumerisme dapat terjadi dari segi kuantitas (jumlah yang

dikonsumsi melebihi kebutuhan) dan juga kualitas (kualitas tertentu).Teori

konsumerisme digunakan untuk menganalisis bentuk konsumerisme dalam

upacara perkawinan Batak Toba yang terjadi di Kota Denpasar.

Page 31: perkawinan batak toba

31

2.3.2 Teori Praktik Sosial

Teori praktik sosial dikemukakan oleh Pierre Felix Bourdieu (1930-

2002).Konsep penting dalam teori praktik Bourdieu yaitu, habitus,

arena/ranah/medan (field), kekerasan simbolik (symbolic violence), modal

(capital), dan strategi (strategy) (Lubis, 2014: 102).Konsep habitus merupakan

kunci dalam sintesa teoritis Bourdieu.Menurut Bourdieu habitus merupakan suatu

sistem melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang

berlangsung lama dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi

praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif (Lubis, 2014:

115).Habitus merupakan pembatinan nilai-nilai sosial budaya yang beragam dan

rasa permainan (feel for the game) yang melahirkan bermacam gerakan yang

disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan. Habitus adalah nilai yang

meresap ke dalam pikiran, perasaan dan estetika seseorang, sehingga

memengaruhi dan menentukan nilai selera seseorang (Saifuddin dalam Fashri,

2014: xiii).

Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir

dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu.Habitus

bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat

pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat

halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar, sehingga seolah-olah

sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau pemberian (Takwin,

dalam Harker, dkk. 2009: xix). Individu bukanlah agen yang sepenuhnya bebas,

Page 32: perkawinan batak toba

32

dan juga bukan produk pasif dari struktur sosial (Saifuddin dalam Fashri, 2014:

xiii).

Habitus berkaitan erat dengan field, karena praktik-praktik atau tindakan

agen merupakan habitusyang dibentuk oleh field, sehingga habitus dipahami

sebagai aksi budaya.Field dalam konsep Bourdieu yaitu medan, arena atau ranah

merupakan ruang sebagai tempat para aktor/agen sosial saling bersaing untuk

mendapatkan berbagai sumber daya material ataupun kekuatan (power) simbolis.

Persaingan dalam ranah bertujuan untuk memastikan perbedaan dan juga status

aktor sosial yang digunakan sebagai sumber kekuasaan simbolis (Lubis, 2014:

108).

Teori praktik sosial digunakan untuk membedah pelaksanaan upacara

perkawinan Batak toba yang sangat dipengaruhi oleh habitus,field, dan modal.

Adat bagi suku Batak Toba merupakan habitus seperti yang dimaksud oleh

Bourdieu. Anak sejak kecil sampai dewasa hidup dalam habitus adat, dirinya

menjadi agen yang tidak sepenuhnya bebas dan juga bukan produk pasif dari

struktur sosial atau hanya menerima saja. Pelaksanaan upacara perkawinan

berkaitan dengan modal dalam arti luas dan juga field atau medan, arena, ranah.

Para agen berusaha untuk memenangi ranah dengan modal yang dimiliki.Teori

praktik ini digunakan untuk membahas faktor-faktor yang terkait dengan

konsumerisme perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.

2.3.3 Teori Hipersemiotika

Page 33: perkawinan batak toba

33

Teori hipersemiotika diambil dari pemikiran Piliang yang bermakna

melampaui berkaitan dengan relasi-relasi yang lebih kompleks antara tanda,

makna, dan realitas, khususnya relasi simulasi. Hipersemiotika ini merupakan

penyempurnaan semiotika linguistik struktural dari Saussure yang dipadukan

dengan hiperrealitas.Menurut Piliang (2012: 52) perbedaan antara hipersemiotika

dengan post-strukturalisme dan juga dekonstruksi terletak pada penekanannya.

Hipersemiotika menekankan aspek-aspek melampaui atau berlebihan pada wacana

semiotika.

Semiotika (semiotic) berasal dari bahasa Yunani “semion” yang berarti

tanda. Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics menyatakan

bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda sebagai bagian dari

kehidupan sosial. Dalam semiotika akan dipelajari relasi antara komponen-

komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan

masyarakat penggunanya. Dalam teori semiotika yang diutarakan Saussure (dalam

Piliang, 2012: 46-48) terdapat beberapa prinsip dasar yaitu, struktural, kesatuan,

konvensional, sinkronik, representasi, kontinuitas.

Pandangan strukturalisme yang diutarakan Saussure mendapat kritikan

dari penganut poststrukturalisme.Misalnya Umberto Eco menyatakan bahwa

semiotika pada prinsipnya dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan dan

kepalsuan, singkatnya semiotika itu merupakan teori kepalsuan.Berangkat dari

teori ini, Piliang membuat suatu teori hipersemiotika. Arti hiper dalam

hipersemiotika adalah: di atas, berlebihan, atau di luar atau terlampau melampaui

batas.

Page 34: perkawinan batak toba

34

Hipersemiotika berarti melampaui semiotika yang berusaha melampaui

batas oposisi biner di dalam bahasan dan kehidupan sosial, yaitu benteng oposisi

biner yang secara konvensional dibangun antara struktur/perkembangan,

konvensi/perubahan, fisika/metafisika, sinkronik/diakronik, penanda/petanda,

langue/parole, tanda/realitas. Teori hipersemiotika mengembangkan prinsip:

perubahan dan transformasi, imanensi, perbedaan (difference), permainan bahasa

(language game), simulasi, dan diskontinuitas (Piliang, 2012: 49-51).

Teori semiotika yang dikemukakan Saussure digunakan untuk menganalisa

hubungan antara penanda dan petanda.Banyak tanda-tanda yang sangat terikat

dengan sistem pada upacara perkawinan Batak Toba sehingga semiotika Saussure

sangat cocok untuk menganalisisnya. Sedangkan penanda yang tidak berhubungan

dengan petanda atau melebihi tanda seperti yang diutarakan Saussuredianalisis

melalui teori hipersemiotika yang dikemukakan Piliang. Teori semiotika dan

hipersemiotika ini digunakan untuk membedah implikasi konsumerisme upacara

perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.Teori hipersemiotika digunakan untuk

menganalisis tanda-tanda yang digunakan dalam upacara perkawinan Batak Toba

karena tanda-tanda tersebut banyak yang melebihi dari tanda yang sebenarnya

yang tidak dapat dianalisis hanya dengan teori semiotika.

Page 35: perkawinan batak toba

35

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut

Gambar 2.1

Model Penelitian

Keterangan model penelitian:

: Pengaruh sepihak

: Pengaruh timbal balik

Upacara perkawinan Batak Toba merupakan salah satu hal yang sangat

penting untuk memasuki dalihan na tolu.Upacara perkawinan menjadi tradisi

yang dilakukan komunitas Batak Toba baik di daerah asal maupun di daerah

Adat Batak

Di Denpasar

Globalisasi

Konsumerisme dalam

Upacara Perkawinan

Batak Toba di Kota

Denpasar

Tradisi

Pakem

Gaya hidup

Budaya Populer

Media massa

Kurangnya pemahaman

Kurangnya transmisi

budaya

Bentuk

konsumerisme

Faktor

konsumerisme

Implikasi

konsumerisme

Page 36: perkawinan batak toba

36

perantauan. Praktik upacara perkawinan memiliki pakem yang harus mereka ikuti.

Akibat globalisasi, pakem ini mengalami pergeseran sehingga menimbulkan

perilaku yang konsumerisme.

Perilaku konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota

Denpasar dipengaruhi beberapa faktor diantaranya, (1). Globalisasi, yaitu

terintegrasinya berbagai elemen dunia kehidupan ke dalam dunia tunggal berskala

dunia (Piliang, 2011: 22). Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem

ekonomi kapitalis; (2). Gaya hidup, yaitu cara setiap orang untuk memaknai

kehidupannya dengan cara mengekspresikan benda-benda sebagai objek

pengaktualisasian diri kehidupan sehari-hari (Piliang, 2011: 322); (3). Budaya

populer, yaitu budaya yang diproduksi secara komersil dan konsumer menerima

saja tanpa berpikir hal itu akan berubah di waktu yang akan datang (Barker, 2004:

50); (4). Media massa, yaitu lembaga-lembaga komunikasi yang memproduksi

dan mendistribusikan teks-teks secara luas, dalam konteks lahir dan

berkembangnya modernitas kapitalis (Barker, 2014: 165); (5). Kurangnya

pemahaman tentang makna upacara perkawinan Batak Toba; dan (6). Kurangnya

transmisi budaya kepada generasi muda.

Konsumerisme dalam upacara perkawinan menjadi suatu kebiasaan yang

mereka lakukan secara sadar. Makna upacara perkawinan mengalami pergeseran

akibat dari globalisasi yang membawa bentuk ideologi kapitalis. Dalamideologi

kapitalis, kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan

komoditi.Manusia mengonsumsi objek bukan hanya berdasarkan nilai guna saja

tetapi juga berdasarkan simbol.Yang dikonsumsi bukan hanya objek (materi)

Page 37: perkawinan batak toba

37

tetapi juga pola pikir dan tingkah laku kaum kapitalis. Fokus penelitian ini

selanjutnya dituangkan dalam rumusan masalah terkait dengan bentuk

konsumerisme, alasan konsumerisme, dan juga implikasi konsumerisme itu

sendiri.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode

kualitatif.Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dengan

cara mendeskripsikan dengan kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus

yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong,

2014: 9). Selanjutnya Moleong membuat karakteristik tentangciri khas penelitian

kualitatif yaitu: (1). Latar alamiah; (2). Manusia sebagai alat (instrumen); (3).

Metode kualitatif; (4).Analisis data secara induktif; (5).Teori dari dasar (grounded

theory); (6).Deskriptif; (7). Lebih mementingkan proses daripada hasil; (8).

Adanya batas yang ditentukan oleh fokus; (9). Adanya kriteria khusus untuk

keabsahan data; (10).Desain bersifat sementara; dan (11).Hasil penelitian

dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong, 2014: 8-13). Melalui metode ini

data dapat dikumpulkan untuk menjawab permasalahan konsumerisme upacara

perkawinan Batak Toba dikota Denpasar.

Page 38: perkawinan batak toba

38

3.2 Lokasi penelitian

Peneliti memilih lokasi penelitian di Kota Denpasar dengan beberapa

pertimbangan:

1. Di antara kota dan kabupaten yang ada di Provinsi Bali, Kota Denpasar

banyak didiami etnik Batak Toba. Dari segi tujuan merantau Batak Toba

Kota Denpasar tidak termasuk sebagai tujuan. Daerah tujuan merantau Batak

Toba adalah Kota Medan, Jabodetabek, Pekan Baru, Batam, dan Kalimantan.

Walau bukan daerah tujuan merantau ada ribuan etnik Batak Toba yang

tinggal dan bekerja di Kota Denpasar.

2. Pelaksanaan upacara adat Batak Toba di KotaDenpasar masih diikuti secara

bersama-sama (belum mengelompok). Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan

paguyuban yang menaungi seluruh etnik Batak di Bali.Paguyuban itu adalah

IKBB (Ikatan Keluarga Batak Bali), menaungi seluruh warga Batak (Toba,

Simalungun, Pakpak, Karo, Mandailing).Setiap acara puncak perkawinan

Batak, pengurus paguyuban ini selalu diundang dan menghadiri upacara

tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa etnik Batak diKota Denpasar masih

satu paguyuban.

3. Etnik Batak Toba yang berdomisili di luarKota Denpasar yang masih sekitar

Provinsi Bali, biasanya tempat yang dipilih untuk melangsungkan upacara

perkawinanadalah di Kota Denpasar. Dengan demikian walau penelitian

dilakukan hanya di Kota Denpasar secara tidak langsung sudah meneliti

semua upacara perkawinan Batak Toba se Provinsi Bali.

Page 39: perkawinan batak toba

39

3.3 Teknik Penentuan Informan

Informan penelitian dilakukan secara purposif yaitu dengan menentukan

informan yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang konsumerisme

dalam upacara perkawinan Batak Toba. Peneliti mewawancarai informan yang

sudah ditentukan sebelumnya (terlampir) yang menguasai informasi tentang

pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dan juga yang

berkaitan dengan upacara perkawinan tersebut. Peneliti juga mewawancarai

keluarga/pengantin yang sudah melaksanakan upacara perkawinandan kalangan

muda sebagai generasi penerus budaya Batak Toba. Informan yang sudah

ditentukan sebelum penelitian, ada beberapa di antaranya yang diganti karena

faktor penguasaan permasalahan.

Informan dalam penelitian ini ada dua macam yaitu, informan kunci dan

informan pelaku. Seperti yang diutarakan Bungin (2012: 108), informan kunci

yang digunakan disesuaikan dengan struktur sosial saat pengumpulan data

dilakukan.Tokoh kunci merupakan orang yang selalu menguasai informasi yang

terkait dengan masalah yang diteliti.Informan berikutnya yaitu informan pelaku

yang ditentukan bersamaan dengan perkembangan review dan analisis hasil

penelitian saat penelitian berlangsung. Selain faktor penguasaan masalah, ada juga

keluarga sebagai pelaku upacara perkawinan Batak Toba yang baru

melangsungkan upacara perkawinan di mana sebelumnya keluarga tersebut tidak

masuk sebagai informan.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Page 40: perkawinan batak toba

40

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif

sedangkan data kuantitaf digunakan sebagai penunjang. Data kualitatif dalam

penelitian ini berbentuk uraian, cerita pendek, keterangan-keterangan yang terkait

dengan upacara perkawinan Batak Toba di KotaDenpasar. Sumber data dalam

penelitian ini yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sumber data primer adalah dari informan yang mempunyai pengetahuan

tentang upacara perkawinan Batak Toba. Informasi yang bersifat umum dilakukan

dengan wawancara formal sedangkan informasi yang menyimpan kerahasiaan

(berkaitan dengan konsumerisme) dilakukan wawancara mendalam secara

penyamaran (Bungin, 2012: 111). Demikian juga identitas informan, sebagian

menggunakan nama samaran untuk menjaga kerahasiaan, sedangkan informan

yang tidak perlu dirahasiakan, daftarnya dilampirkan sesuai dengan yang

umumnya.

Selain informasi dari informanyang mengetahui upacara perkawinan, juga

diminta informasi dari orang yangmelaksanaan upacara perkawinan itu

sendiri.Keluarga yang melakukan upacara perkawinan juga termasuk sebagai

informan primer. Peneliti terlibat aktif dalam pelaksanaan upacara perkawinan

tersebut untuk mengamati dan menganalisis pelaksanaan dan makna-makna yang

ada dalam upacara tersebut.Keterlibatan secara aktif untuk mengetahui lebih dekat

dan mendalam pelaksanaan upacara perkawinan tersebut.

Data sekunder juga digunakan dalam penelitian ini sebagai data pelengkap

dan pembanding.Sumber data sekunder yang dimaksud adalah berupa data dalam

bentuk laporan, arsip, buku, artikel ilmiah, hasil seminar, dan lain-lain yang

Page 41: perkawinan batak toba

41

berupa dokumen yang ada kaitannya dengan penelitian ini.Data-data ini sangat

membantu peneliti untuk mengetahui sejarah, falsafah, dan latar belakang dari

upacara perkawinan Batak Toba tersebut.

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif kedudukan peneliti sangat rumit. Hal ini

menjadi rumit karena peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpulan

data, penganalisis, penafsir data sampai pelapor hasil penelitian.Boleh dikatakan

instrumen penelitian ini segalanya adalah manusia (Moleong, 2014:

168).Demikian halnya dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah

manusia yaitu peneliti sendiri. Peneliti mencatat segala informasi yang berguna

dalam mendapatkan data yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Sebagai instrumen pembantu, peneliti membuat buku harian, pedoman

wawancara, alat perekam dan juga kamera digital. Alat bantu ini untuk

mempermudah pengumpulan, penyeleksian, dan penganalisisan data. Data-data

yang sudah terkumpul langsung dianalisis dan ditafsirkan hingga menjadi suatu

hasil penelitian.

3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang valid peneliti melakukan beberapa teknik

pengumpulan data. Teknik ini berkaitan dengan pendekatan penelitian,

permasalahan dan teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini.Teknik yang

dimaksud adalah observasi, wawancara, dan studi kepustakaan.

Page 42: perkawinan batak toba

42

3.6.1 Observasi

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan

menggunakan pancaindra. Pengamatan yang dilakukan dikaitkan antara yang

dihasilkan pancaindra yang satu dengan pancaindra yang lain. Dengan demikian

observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk

menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin,

2012: 118).

Pada tahap observasi ini, peneliti dalam hal ini penulis mengamati secara

langsung proses upacara perkawinan. Observasi dilakukan penulis terhadap proses

upacara perkawinan, perilaku komunitas Batak Toba di dalam melaksanakan

upacara perkawinan, dan juga materi yang dikonsumsi selama pelaksanaan

upacara perkawinan. Proses perkawinan dimulai dari marhusip atau diskusi antara

orang tua laki-laki dan orang tua perempuan sampai kepada acara puncak upacara

perkawinan. Proses ini perlu diobservasi karena pelaksanaan upacara perkawinan

sangat ditentukan oleh apa yang didiskusikan kedua belah pihak pada saat

marhusip.

Selain proses upacara, perilaku dan objek yang dikonsumsi komunitas

Batak Toba dalam upacara perkawinan perlu untuk diobservasi. Perilaku

memengaruhi konsumerisme dalam upacara perkawinan, sebaliknya

konsumerisme memengaruhi perilaku dalam upacara perkawinan. Perilaku

konsumerisme akan tercermin dalam objek yang mereka konsumsi yang berkaitan

dengan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.

Page 43: perkawinan batak toba

43

Pengamatan langsung ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang

belum terungkap dalam wawancara.Hasil pengamatan dapat juga sebagai

pembanding data yang diperoleh dari hasil wawancara terkait dengan

konsumerisme.Teknik yang digunakan dalam tahap observasi ini adalah observasi

partisipasi yaitu penulis ikut aktif dalam upacara tersebut.

3.6.2 Wawancara

Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu

pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan penanya. Maksud

diadakannya wawancara seperti yang diutarakan Lincoln dan Guba

adalahmengkonstruksi tentang orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan,

motivasi, tuntutan, kepedulian kebulatan yang sudah dialami; memproyeksikan

kebulatan-kebulatan yang diharapkan untuk dialami; memverifikasi, mengubah

dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain; dan memverifikasi,

mengubah dan memperluas konstruksi yang dilakukan peneliti untuk pengecekan

informasi (Lincoln dan Guba, dalam Moleong, 2014: 186).

Wawancara dilakukan kepada orang yang menguasai tentang upacara

perkawinan Batak Toba. Selain orang atau tokoh yang mengetahui upacara

perkawinan Batak Toba, juga diwawancarai pelaku (pengantin baru), orang tua

atau keluarga yang sudah pernah melakukan upacara perkawinan yang bukan

termasuk ke kelompok tokoh. Wawancara yang dilakukan kepada orang yang

dianggap tokoh dengan pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara.

Page 44: perkawinan batak toba

44

Peneliti membuat kerangka yang akan ditanyakan sewaktu wawancara, kerangka

tersebut sebagai petunjuk garis besar saja agar isi wawancara tetap dalam pokok-

pokok yang direncanakan.

Berbeda dengan jenis wawancara kepada tokoh, wawancara kepada orang

atau keluarga yang melakukan upacara perkawinan dilakukan dengan pendekatan

wawancara pembicaraan informal. Wawancara pembicaraan informal menurut

Patton (dalam Moleong, 2014: 186) yaitu wawancara yang dilakukan secara wajar

atau pada latar alamiah, pewawancara dengan yang diwawancarai berjalan seperti

biasa bahkan yang diwawancarai tidak menyadari bahwa dirinya sedang

diwawancarai.Pendekatan ini dilakukan peneliti untuk mendapatkan informasi

yang alamiah. Hal ini dilakukan karena pelaku tidak akan secara terus terang

menginformasikan apa yang dilakukan jika dirinya mengetahui sedang

diwawancarai. Untuk itu dilakukan wawancara secara informal dan identitas

pelaku juga dirahasiakan atau memakai nama samaran.

Selain pelaku dan tokoh yang mengetahui upacara perkawinan juga

diwawancarai pihak gereja dan juga kaum pemuda. Gereja tidak bisa dipisahkan

dengan upacara perkawinan Batak Toba.Sangat relevan untuk mengetahui

bagaimana pandangan gereja tentang konsumerisme upacara perkawinan

tersebut.Demikian juga pihak pemuda etnik Batak Toba juga diwawancarai

bagaimana pandangan para pemuda tentang upacara perkawinan Batak Toba.

3.6.3 Studi Kepustakaan

Page 45: perkawinan batak toba

45

Studi kepustakaan adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan

kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan

masalah penelitian. Studi kepustakaan digunakan untuk mengetahui sejarah,

filosofi, makna asli, pergeseran-pergeseran pelaksanaan upacara perkawinan

Batak Toba.Kepustakaan ini sangat membantu peneliti untuk menguji, menafsir,

membandingkan hasil penelitian.

Literatur yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk buku-buku yang

membahas tentang upacara perkawinan Batak Toba. Studi kepustakaan ini sangat

membantu pengetahuan danwawasan peneliti serta berfungsi sebagai sumber data

sekunder. Data-data yang didapatkan dari literatur digunakan untuk melengkapi

data yang didapatkan melalui observasi dan wawancara.

3.7 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data

ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema

dan dapat dirumuskan hipotesa kerja sebagai usaha untuk memberikan bantuan

pada tema dan hipotesa. Sedangkan tujuan analisis data adalah untuk mengatur,

mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikan

(Moleong, 2014: 281). Pekerjaan untuk menganalisis data dilakukan sejak dimulai

penelitian secara intensif hingga selesai proses penelitian.

Proses analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data baik melalui

wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Data dianalisis, dipelajari, ditelaah,

dan diseleksi sejak observasi dengan cermat sehingga data yang digunakan adalah

Page 46: perkawinan batak toba

46

benar-benar yang dapat dipertanggungjawabkan.Setiap data yang diperoleh baik

melalui wawancara, observasi, dan studi kepustakaan disederhanakan dengan

bahasa yang mudah dimengerti dan disajikan secara sistematis.

Setelah selesai penyeleksian tentang keabsahan data selanjutnya data

digolong-golongkan untuk menjawab rumusan masalah: bentuk konsumerisme,

faktor yang mempengaruhi konsumerisme dan implikasi konsumerisme dalam

upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Penggolongan dilakukan

untuk mempermudah penafsiran data dari hasil sementara menjadi kesimpulan

berbentuk teks yang mudah dipahami.Penafsiran sangat perlu untuk mengetahui

tindakan yang dilakukan, objek yang digunakan, simbol-simbol yang ada, makna

yang ada dalam upacara perkawinan Batak Toba. Melalui penafsiran ini dapat

diketahui bentuk-bentuk konsumerisme yang terjadi baik pola pikir, tingkahlaku

dan objek yang digunakan dalam upacara tersebut.

Tahap selanjutnya dari analisis kualitatif ini adalah penarikan kesimpulan.

Proses yang benar mulai dari persiapan penelitian, selama penelitian, dan

penganalisisan data sehingga menghasilkan kesimpulan yang benar. Kesimpulan

akhir untuk menjawab rumusan masalah, bagaimana bentuk konsumerisme dalam

upacara perkawinan Batak Toba; faktor-faktor apa yang terkait dengan

konsumerisme; dan apa implikasikonsumerisme upacara perkawinan Batak Toba

di Kota Denpasar.

3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Untuk memudahkan pembaca mengerti hasil penelitian ini disajikan dalam

bentuk naratif (informal) dan bagan (formal). Peneliti juga menggambar-

Page 47: perkawinan batak toba

47

kan/menjelaskan hasil analisis data dilengkapi dokumentasi yang tersedia secara

rinci dan tuntas. Interpretasi penelitian disesuaikan dengan teks dan konteks

upacara perkawinan Batak Toba.

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Profil Kota Denpasar

Denpasar merupakan kota metropolitan, pusat pendidikan, pusat pariwisata

dan juga pusat perdagangan. Nama Denpasar dapat bermaksud pasar baru, yang

awalnya merupakan pusat kerajaan Badung. Perkembangan yang terjadi

menjadikan Denpasar menjadi pusat pemerintahan kabupaten Badung bahkan

pada tahun 1958 Denpasar menjadi pusat pemerintahan propinsi Bali.

Dijadikannya Denpasar pusat pemerintahan tingkat II Badung dan juga

pusat pemerintahan tingkat I Bali menyebabkan Denpasar mengalami kemajuan

yang sangat pesat baik dari sudut fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Karena

perkembangannya sehingga status Denpasar ditingkatkan menjadi kota

administratif(http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/51/

name/bali/ detail/ 5171/kota-denpasar, diakses, 11 Agustus 2014).

Pada tanggal 15 Januari 1992 lahirlah Undang-undang nomor 1 tahun

1992 tentang pembentukan Kota Denpasar. Menteri dalam negeri meresmikan

Denpasar menjadi satu kota otonom pada tanggal 27 Pebruari 1992. Babak baru

terjadi bagi Propinsi Bali karena ada pengembangan yang dulunya 8 daerah

tingkat II menjadi 9 daerah tingkat II. Demikian juga bagi Kota Denpasar

Page 48: perkawinan batak toba

48

merupakan babak baru dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan

walaupun daerah tingkat II paling bungsu di Propinsi Bali. Pembangunan yang

dilakukan di segala bidang menjadikan Kota Denpasar sebagai pusat

pemerintahan, pusat perdagangan, pusat industri dan juga pusat pariwisata. Hal ini

berkaitan dengan letak Kota Denpasar yang berada di Pulau Bali seperti yang

terlihat dalam peta di bawah ini.

Gambar 4.1

Peta Pulau Bali

Page 49: perkawinan batak toba

49

(http://wisata.balitoursclub.com/wp-content/upload/2012/08/Peta-Wilayah-

Bali.jpg, diakses, 13 April 2015)

Letak Kota Denpasar yang sangat strategis menguntungkan dari segi

ekonomis dan juga dari segi kepariwisataan karena merupakan titik sentral

berbagai kegiatan sekaligus sebagai penghubung untuk kabupaten lainnya. Kota

Denpasar terletak di antara 08° 35" 31'-08° 44" 49' lintang selatan dan 115° 10"

23'-115° 16" 27' Bujur timur, yang berbatasan dengan: di sebelah Utara

Kabupaten Badung, di sebelah Timur Kabupaten Gianyar, di sebelah Selatan Selat

Badung dan di sebelah Barat Kabupaten Badung.

Penduduk Kota Denpasar sangat heterogen, hampir seluruh etnis yang ada

di Indonesia terdapat di pulau Bali umumnya, dan di Kota Denpasar khususnya.

Walaupun penduduknya sangat heterogen, etnis Bali boleh menerima etnis

pendatang dan tinggal berdampingan di Kota Denpasar. Hampir tidak ada kasus

yang ditimbulkan karena masalah Sara (suku, agama, dan ras). Etnis Bali sangat

terbuka dan bersifat multikulturalis dengan seluruh etnis yang datang ke Bali.

Sikap multikulturalisme mengakibatkan orang betah di Denpasar, baik

yang berasal dari domestik maupun mancanegara. Faktor keamanan dan

kenyamanan mengakibatkan orang luar betah di Kota Denpasar baik yang bekerja

secara menetap maupun yang berlibur. Hal ini sangat berkaitan dengan kondisi

penduduk di Kota Denpasar.Perkembangan penduduk Kota Denpasar dapat dilihat

pada tabel 4.1.

Page 50: perkawinan batak toba

50

Tabel 4.1

Komposisi Penduduk Kota Denpasar

Berdasarkan Jenis Kelamin Per Kecamatan

Dari Tahun 2009 – 2013

Kecamatan Penduduk Laki-

laki

Pendududuk

Perempuan

Jumlah

Denpasar Barat

Denpasar Timur

Denpasar Selatan

Denpasar Utara

102.626

67.757

97.363

89.350

101.623

66.189

95.527

88.019

204.249

133.946

192.890

177.369

Total Tahun 2013 357.096 351.358 708.454

2012

2011

2010

2009

344.466

319.839

316.655

350.904

336.453

309.749

305.246

327.682

680.919

629.588

621.901

678.586

(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar,

Tahun 2013)

Dari data di atas terlihat bahwa jumlah penduduk di masing-masing

kecamatan yang ada di Kota Denpasar, semuanya mengalami pertambahan

penduduk. Pertambahan penduduk ini diakibatkan dua faktor yaitu, pertumbuhan

secara alamiah atau kelahiran dan juga migrasi penduduk ke Kota Denpasar.

Migrasi penduduk terjadi ke Kota Denpasar karena kota ini merupakan pusat

pemerintahan, pusat pendidikan (lihat tabel 4.2), pusat bisnis, dan juga pusat

wisata. Selain pertumbuhan penduduk yang terjadi di setiap kecamatan, hal lain

yang menarik diperhatikan yaitu, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari

penduduk perempuan di setiap kecamatan. Untuk mengetahui faktor penyebab

mengapa lebih banyak laki-laki dari perempuan perlu diadakan penelitian lebih

lanjut.

Page 51: perkawinan batak toba

51

Tabel 4.2

Komposisi Penduduk Kota DenpasarBerdasarkan Pendidikan

Tahun 2013

Pendidikan Denpasar

Utara

Denpasar

Barat

Denpasar

Timur

Denpasar

Selatan

Jumlah

Tidak/

Belum sekolah

29.483 33.207 24.087 33.060 119.837

Belum tamat SD 20.695 23.678 15.304 23.086 82.763

Tamat SD 25.469 26.532 16.344 22.161 90.506

SLTP 21.763 25.352 15.158 21.163 83.436

SLTA 52.552 62.863 41.067 62.005 218.487

D-1/II 4.022 5.643 3.505 6.151 19.321

Akademi/D-III/

Sarjana Muda

4.370 6.224 3.586 5.910 20.090

D-IV/S-1 17.061 18.817 13.202 17.294 66.374

Strata II 1.790 1.772 1.566 1.887 7.015

Strata III 164 161 127 173 625

Total 177.369 204.249 133.946 192.890 708.454

(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar,

Tahun 2013)

Penduduk yang berpendidikan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas)

mempunyai jumlah yang paling banyak yaitu 218.487 orang. Dari data ini dapat

disimpulkan bahwa program pemerintah yaitu, Wajar (Wajib belajar) 12 tahun

sangat sukses di kota ini. Kesuksesan inisesuai dengan sebutan Kota Denpasar

sebagai kota pendidikan.

Selain kesuksesan pendidikan, kerukunan beragama relatif terjaga dengan

baik. Pemeluk agama yang paling banyak di Kota Denpasar adalah agama Hindu

(lihat tabel 4.3) kemudian disusul agama Islam.

Page 52: perkawinan batak toba

52

Tabel 4.3

Komposisi Penduduk Kota DenpasarBerdasarkan Agama

Tahun 2013

Agama Denpasar

Selatan

Denpasar

Timur

Denpasar

Barat

Denpasar

Utara

Jumlah

Islam 50.633 26.883 66.595 37.943 182.054

Kristen 12.519 5.849 10.684 6.886 35.938

Katolik 6.065 3.373 5.055 3.222 17.715

Hindu 118.773 96.343 117.621 123.328 456.065

Budha 4.847 1.443 4.252 5.920 16.462

Konghuchu 45 41 33 56 175

Kepercayaan 8 14 9 14 45

Total 192.890 133.946 204.249 177.369 708.454

(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar,

Tahun 2013)

Penduduk asli Kota Denpasar adalah suku Bali dan beragama Hindu. Hal

ini sangat terlihat jelas dari jumlah penduduk Kota Denpasar didominasi

penduduk yang beragama Hindu. Namun walaupun pemeluk agama Hindu lebih

banyak, seluruh agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia dapat berjalan

dengan baik di Kota Denpasar. Hampir tidak ada gangguan yang sangat berarti di

dalam pelaksanaan ritual keagamaan sesuai dengan agama yang dipercayai

masing-masing penduduk.

Pekerjaan yang paling banyak digeluti penduduk Kota Denpasar adalah

karyawan swasta. Hal ini terjadi disebabkan Kota Denpasar merupakan pusat

perdagangan, sehingga memerlukan tenaga karyawan dalam hal perdagangan.

Banyaknya swalayan, toko-toko besar dan kecil sehingga penduduknya banyak

bekerja sebagai karyawan (lihat tabel 4.4).

Page 53: perkawinan batak toba

53

Tabel 4.4

Komposisi Penduduk Kota DenpasarMenurut Pekerjaan per Kecamatan

Tahun 2013

No Nama Pekerjaan Denpasar

Selatan

Denpasar

Timur

Denpasar

Barat

Denpasar

Utara

Jumlah

1 Belum/

tidak bekerja

39.071 27.467 41.728 36.082 144.348

2 Mengurus rumah

tangga

20.653 13.924 23.600 20.175 78.352

3 Pelajar/Mahasiswa 37.332 24.722 39.828 34.186 136.068

4 Pensiunan 2.319 2.088 3.047 2.542 9.996

5 PNS 6.864 6.613 7.900 8.062 29.439

6 TNI 1.238 340 1.102 213 2.893

7 Polri 306 881 882 1.020 3.089

8 Petani/Pekebun 1.338 1.363 684 1.559 4.944

9 Peternak 115 46 37 61 259

10 Nelayan/Perikanan 989 29 68 44 1.130

11 Karyawan 56.981 37.221 54.655 47.352 196.209

12 Wiraswasta 25.684 19.252 30.718 26.073 101.727

Total 192.890 133.946 204.249 177.369 708.454

(Sumber:Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Denpasar,

Tahun 2013)

Data di atas menunjukkan, pekerjaan yang paling banyak digeluti masyarakat

Kota Denpasar adalah karyawan swasta, disusul dengan tidak bekerja dan

pelajar/mahasiswa. Hal ini berkaitan erat dengan Kota Denpasar sebagai pusat

perdagangan di Propinsi Bali.

Selain pusat perdagangan, Kota Denpasar juga merupakan kota wisata.

Sebagai kota wisata, tentumemerlukan sarana dan prasarana sebagai faktor

pendukung. Hotel-hotel, villa, restoran, biro perjalanan, dan lain-lain yang

berkaitan dengan wisata memerlukan karyawan yang banyak. Hal ini menjadi

Page 54: perkawinan batak toba

54

penyebab sehingga penduduk Kota Denpasar lebih banyak menjadi karyawan

swasta. Pekerjaan pertanian, perkebunan, perikanan sudah hampir ditinggalkan

karena pekerjaan demikian kurang menjanjikan dan lahan untuk pertanian dan

perkebunan sudah habis beralih fungsi menjadi tempat hunian dan usaha lainnya.

4.2 Komunitas Batak Toba di Kota Denpasar

4.2.1 Jumlah Anggota Komunitas

Komunitas merupakan suatu perkumpulan dari beberapa orang untuk

membentuk suatu organisasi yang memiliki kepentingan bersama. Komunitas

dapat bersifat territorial atau fungsional. Di dalam komunitas, masing-masing

individu saling berhubungan antara satu sama lain.

Jumlah anggota komunitas Batak Toba yang ada di Kota Denpasar dari

hari ke hari semakin bertambah. Hal ini berkaitan dengan perkembangan Kota

Denpasar yang sangat pesat, menjadikan orang berlomba-lomba untuk mengadu

nasib di daerah pariwisata dunia ini. Komunitas Batak Toba yang memiliki pola

merantau yang tinggi tidak mau ketinggalan, juga ingin mengadu nasib di Kota

Denpasar. Fenomena ini dapat dilihat dari jumlah komunitas Batak Toba di Kota

Denpasar dari tahun ke tahun semakin meningkat. Tahun 2014 jumlah orang

Batak Toba di Kota Denpasar lebih dari 1.200 jiwa.

Data tentang jumlah komunitas Batak Toba di Kota Denpasar tidak ada

yang lengkap. Paguyuban IKBB (Ikatan Keluarga Batak Toba di Bali) tidak dapat

mencatat secara lengkap karena setiap kepala keluarga masuk ke dalam

perkumpulan marga lebih dari satu kumpulan. Kumpulan marga yang diikuti satu

Page 55: perkawinan batak toba

55

keluarga Batak minimal 4 kumpulan marga yaitu, (1). Kumpulan marga suami

(dongan tubu), (2). Kumpulan marga isteri (hula-hula), (3). Kumpulan marga ibu

dari suami (tulang), (4). Kumpulan marga ibu dari isteri (tulang rorobot).

Banyaknya kumpulan marga yang harus diikuti setiap keluarga Batak

mengakibatkan hitungan orang Batak Toba di Denpasar menurut hitungan IKBB

menjadi dobel. Oleh karena itu penulis menggunakan data orang Batak Toba

melalui data yang dimiliki gereja (lihat tabel 4.5). Data gereja yang digunakan

yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Denpasar dan HKI (Huria Kristen

Indonesia) Denpasar.

Suku Batak Toba umumnya menganut agama Kristen, dan gereja yang

menjadi tempat beribadah bernama HKBP. Di Kota Denpasar, selain gereja

HKBP ada juga gereja yang berbentuk kesukuan Batak Toba bernama HKI. Selain

dari kedua gereja ini ada juga orang Batak Toba menjadi anggota dari, Gereja

Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), gereja kharismatik, gereja katolik,

Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB), Islam, dan Hindu, namun jumlahnya

sangat kecil. Oleh karena itu penulis menggunakan data orang Batak Toba di Kota

Denpasar dari gereja kesukuan yang ada di Denpasar (HKBP dan HKI) di mana

jemaatnya 99,% adalah Batak Toba.

Page 56: perkawinan batak toba

56

Tabel 4.5

Jumlah AnggotaKomunitas Batak Toba di Kota Denpasar

Berdasarkan kelompok Orang Tua, Pemuda-pemudi, dan Anak-anak

No. Kelompok Jemaat

HKBP

(jiwa)

Jemaat

HKI

(jiwa)

Jumlah Dalam

(%)

1 Kaum Bapak 270 29 299 24,8

2 Kaum ibu 296 31 327 27,2

3 Pemuda 119 25 144 11,9

4 Pemudi 86 9 95 7,9

5 Anak-anak laki-laki 153 20 173 14,4

6 Anak-anak perempuan 144 22 166 13,8

Total 1.068 136 1.204 100,0

(Sumber: Gereja HKBP Denpasar dan HKI Denpasar, Tahun 2014)

Dari data di atas terlihat bahwa jumlah orang tua lebih banyak yaitu sejumlah 52%

disusul anak-anak sejumlah 28, 2% dan yang paling sedikit adalah pemuda-

pemudi sejumlah 19,8%. Pemuda-pemudi menduduki yang paling sedikit

diakibatkan banyak mahasiswa anak jemaat kedua gereja ini kuliah di luar pulau

Bali, demikian juga mereka yang sudah selesai kuliah lebih banyak mencari

pekerjaan di luar pulau Bali.

4.2.2 Sejarah Masuknyadi Kota Denpasar

Informasi dari Hasibuan orang yang sudah lama tinggal di Kota Denpasar

mengakui bahwa orang Batak yang pertama di Denpasar adalah pak Tobing. Pada

Page 57: perkawinan batak toba

57

tahun 1938, Tobing ditempatkan salah satu perusahaan untuk bekerja di

Bali,usianya baru 17 tahun waktu datang ke Kota Denpasar. Dia menikah dengan

perempuan suku Bali sehingga dia dengan mudah mendapatkan tanah baik

melalui pemberian dari pihak mertua maupun dengan cara pembelian. Pada saat

itu harga tanah di Denpasar masih murah sehingga Tobing boleh memiliki tanah

yang luas.

Merupakan suatu misi budaya (cultural mission) bagi orang Batak untuk

membangun kerajaan di daerah rantau dengan cara memiliki tanah, rumah dan

anak (Pelly, 1994: 293). Setelah beberapa tahun tinggal di Kota Denpasar, Tobing

berhasil melakukan misi budaya dengan mempunyai tanah yang luas, rumah, dan

juga isteri dan anak. Keberhasilan ini menjadikan keluarganya betah tinggal di

Denpasar sampai akhir hidupnya. Tobing meninggal pada tanggal, 14 Mei 1998.

Sesuai dengan perkembangan Kota Denpasar, orang Batak semakin hari

semakin bertambah di daerah ini, baik karena faktor kelahiran secara alamiah,

penempatan kerja, ataupun karena faktor urbanisasi. Karena jumlahnya semakin

banyak, pada tahun 70-an orang Batak berkumpul untuk membangun satu gereja.

Gereja merupakan identitas bagi orang Batak, selain untuk tempat beribadah

gereja juga berfungsi sebagai wadah untuk bersosialisasi budaya (Siahaan dalam

Siburian, 2012 : 243). Organisasi gereja yang dibentuk bernama HKBP (Huria

Kristen Batak Protestan) yang berkantor pusat di Tarutung Sumatera Utara.

Menurut penuturan Tobing: “pada hari Selasa, 7 April 1972 orang Batak

berkumpul di rumah Simatupang isteri boru Hutabarat. Inilah perkumpulan orang

Page 58: perkawinan batak toba

58

Batak yang pertama secara formal membicarakan tentang pendirian gereja HKBP.

Peserta yang hadir sepakat untuk mendirikan satu gereja.”

Untuk mendirikan bangunan gereja membutuhkan lahan dan keamanan,

sehingga peserta meminta kesediaan Tobing untuk menjual sebagian tanahnya

sebagai lahan pendirian gereja. Dengan senang hati Tobing mau memberikan

tanahnya sekitar 400 Meter sebagai tempat untuk mendirikan bangunan gereja

yang berlokasi di Jalan Sudirman Gang Karya Bakti II No. 10 Denpasar. Lokasi

ini sangat cocok dari segi keamanan karena berada di lokasi Komando Resort

Militer 163 Wira Satya Denpasar.

Pada tahun 1974 gereja HKBP di Kota Denpasar resmi mulai dibangun.

Karena perkembangan jemaat yang semakin banyak, gereja ini tidak dapat lagi

menampung jemaatnya sehingga tempat ibadah di pindah ke jalan Pulau Belitung

No. 6 Denpasar. Sedangkan gereja lama yang berlokasi di Jalan Sudirman Gang

Karya Bakti II No. 10 dijadikan menjadi rumah dinas pendeta.

Perkembangan komunitas Batak Toba yang semakin banyak

mengakibatkan pembentukan kumpulan-kumpulan marga. Kumpulan marga yang

pertama terbentuk sesuai dengan penuturan Hasibuan, yaitu kumpulan Sitorus

Pangulu Ponggok se-Bali. Kumpulan marga ini terbentuk pada bulan Pebruari

1979 di rumah O. Hasibuan. Untuk menjalin ikatan persaudaraan, kumpulan

marga ini mengadakan arisan sebulan sekali, diadakan di rumah masing-masing

anggota secara bergantian.

Arisan kumpulan marga merupakan suatu tradisi bagi Batak Toba di daerah

perkotaan untuk menjalin hubungan persaudaraan di antara satu kelompok marga.

Page 59: perkawinan batak toba

59

Hampir semua marga yang ada di Batak Toba mempunyai kumpulan arisan

marga. Dalam arisan marga, selalu diawali dengan kebaktian singkat dan

dilanjutkan dengan informasi tentang keadaan masing-masing anggota. Dalam

wadah kumpulan marga ini orang Batak Toba mendapat informasi tentang adat

istiadat, kondisi kampung halaman, perkembangan politik di kampung halaman,

kondisi politik di daerah rantau, dan juga informasi-informasi lainnya yang perlu

untuk diinformasikan.

Kumpulan arisan marga merupakan wadah yang harus dimasuki setiap suku

Batak. Orang yang tidak masuk ke dalam kumpulan marga yang terbentuk akan

dikucilkan dari kelompok marganya, dan disebut sebagai orang dalle. Sebutan

dalle merupakan sebutan yang mengejek seseorang yang tidak mau bergabung

dengan suku Batak.

Selain membentuk arisan kumpulan marga, orang Batak di Kota Denpasar

juga sudah mulai dapat melangsungkan upacara pesta perkawinan. Upacara

perkawinan Batak yang pertama di Kota Denpasar dilaksanakan pada tanggal, 15

Desember 1978 yaitu, Aholin Simanjuntak dengan isterinya Lumina Napitupulu.

Orang tua Lumina Napitupulu pada saat itu sebagai kepala kantor perindustrian di

Bali, sehingga upacara perkawinan puterinya dapat dilaksanakan di kantor

perindustrian yang berlokasi di Jalan Topati Denpasar. Jumlah orang Batak yang

menghadiri upacara perkawinan tersebut sekitar 40 keluarga. Upacara perkawinan

dilaksanakan secara sederhana dan diikuti seluruh etnis Batak (Toba, Simalungun,

Mandailing, Karo, dan Pakpak) seluruh Bali.

4.2.3 Pola Pemukiman

Page 60: perkawinan batak toba

60

Pemukiman komunitas Batak Toba di daerah asal Tapanuli biasanya secara

mengelompok. Mereka menempati satu kesatuan teritorial yang dihuni oleh

keluarga yang berasal dari satu klen. Wilayah pemukiman ini dalam bahasa

daerah disebut dengan huta (Bangun, 1982 : 98). Huta bagi orang Batak selain

untuk wilayah tempat tinggal juga berfungsi sebagai perwujudan kerajaan. Semua

orang Batak adalah raja, dan setiap raja mempunyai wilayah teritorialnya masing-

masing. Huta atau tempat tinggalbagi suku Batak merupakan hal yang utama

untuk menunjukkan identitasnya.

Seperti yang diutarakan Pelly (1994: 47) untuk menunjukkan simbol status

(hasangapon) orang Batak dapat memperolehnya dari rumah atau tempat tinggal

dan anak. Simbol status ini merupakan hal yang utama yang harus diperoleh

sebagai misi budaya setiap orang Batak di perantauan. Sama halnya di tempat

lain, orang Batak di Kota Denpasar mengutamakan kemajuan anak dan juga

tempat tinggal (rumah). Bagi orang Batak, salah satu tolok ukur kesuksesan di

bidang ekonomi harus mempunyai rumah sendiri.

Berbeda dengan suku Batak yang tinggal di daerah asal, orang Batak yang

tinggal di Kota Denpasar mempunyai huta atau pemukiman secara diaspora atau

menyebar. Pemukiman berbentuk diaspora diakibatkan kedatangan suku Batak ke

Kota Denpasar datang secara berangsur-angsur bukan secara mengelompok.

Selain datangnya yang berangsur-angsur, pemukiman yang berbentuk diaspora

diakibatkan harga tanah yang mahal di Kota Denpasar sehingga untuk

memilikilahan yang cukup luas sebagai tempat tinggal secara mengelompok

merupakan hal yang sangat sulit.

Page 61: perkawinan batak toba

61

4.2.4 Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi suku Batak. Orang tua

suku Batak jika bertemu dengan temannya yang paling banyak dibicarakan adalah

tentang anak baik keadaan kesehatannya, sekolahnya, dan pekerjaannya. Anak

merupakan salah satu sumber kehormatan (hasangapon) bagi suku Batak (Pelly,

1994: 47). Karena sumber kehormatan, maka orang tua selalu berusaha untuk

memajukan anaknya melalui pendidikan. Tingkat pendidikan komunitas Batak

Toba di Kota Denpasar dapat di lihat dari tabel 4.6 di bawah ini:

Tabel 4.6

Jumlah AnggotaKomunitas Batak Toba di Kota Denpasar Berdasarkan Pendidikan

No. Tingkat sekolah Jemaat

HKBP

(jiwa)

Jemaat

HKI

(jiwa)

Jumlah Dalam

%

1 Belum sekolah 74 11 74 6,1

2 TK/SD 149 29 149 12,4

3 SMP 102 4 102 8,5

4 SMA 632 57 532 44,2

5 Diploma/Sarjana 247 35 347 28,8

Total 1.204 136 1.204 100,0

(Sumber: Gereja HKBP Denpasar dan Gereja HKI Denpasar, Tahun 2014)

Data di atas menunjukkan bahwa tingkat pendidikan SMA sebanyak 44,2%,

menduduki peringkat yang paling banyak disusul diploma/sarjana sebanyak

28,8%. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan bagi orang Batak merupakan hal

Page 62: perkawinan batak toba

62

yang utama dalam kehidupannya. Program Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun yang

dicanangkan oleh pemerintah secara nasional, bagi suku Batak bukan hal yang

baru. Sejak tahun delapan puluhan wajib belajar 12 tahun bagi suku Batak sudah

berjalan dengan baik. Pendidikan yang dimiliki berkaitan dengan jenis pekerjaan

yang mereka lakoni dalam kesehariannya.

Sesuai dengan perkembangan Kota Denpasar sebagai daerah pusat

pemerintahan Provinsi Bali, pusat pendidikan, pusat perdagangan dan daerah

pariwisata mengakibatkan penduduknya sangat sedikit bekerja dalam bidang

pertanian. Sama halnya dengan suku Batak Toba, hampir tidak ada yang

mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mata pencaharian lebih banyak

sebagai karyawan yang berkaitan dengan pariwisata dan wirausaha yang juga

berkaitan dengan pariwisata. Gambaran tentang mata pencaharian suku Batak

Toba dapat dilihat pada tabel 4.7di bawah ini.

Tabel 4.7

Jumlah AnggotaKomunitas Batak Toba di Kota Denpasar Berdasarkan Mata

Pencaharian

No. Jenis pekerjaan Jemaat

HKBP

(jiwa)

Jemaat

HKI

(jiwa)

Jumlah

Dalam

%

1 PNS 118 4 122 10,1

2 TNI/Polri 8 3 11 0,9

3 Karyawan 227 20 247 20,5

4 Wirausaha 151 17 168 13,9

5 IbuRumahTangga 162 20 182 15,1

6 Pelajar 339 61 400 33,2

Page 63: perkawinan batak toba

63

7 Balita 63 11 74 6,3

Total 1.068 136 1.204 100,0

(Sumber: Gereja HKBP Denpasar dan HKI Denpasar, Tahun 2014)

Pekerjaan yang paling banyak dilakoni komunitas Batak Toba di Kota Denpasar

adalah sebagai karyawan. Pekerjaan ini erat kaitannya dengan Kota Denpasar

sebagai pusat perdagangan. Karena pusat perdagangan, tentu bisnis perdagangan

memerlukan tenaga kerja. Selain kota perdagangan, Kota Denpasar juga sebagai

pusat pariwisata sehingga memerlukan banyak tenaga kerja yang bergerak di

bidang pariwisata.

4.2.5Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan suku Batak dengan memperhitungkan keturunan secara

patrilineal. Kelompok kekerabatan dihitung berdasarkan atas dasar, satu ayah, satu

kakek atau satu nenek moyang (Bangun, 1982: 106). Setiap suku Batak Toba

dapat menjelaskan silsilah dirinya sendiri mulai dari nenek moyangnya sampai

kepada keturunannya. Untuk mengetahui silsilah ini dapat dilihat dari masing-

masing tarombo yang ditulis setiap marga. Tarombo merupakan silsilah orang

Batak Toba mulai dari nenek moyangnya, dirinya sendiri, dan juga keturunannya.

Yang masuk dalam tarombo ini adalah kaum laki-laki yang sudah berkeluarga.

Setiap orang Batak membubuhkan nama marga bapaknya di belakang

namanya. Marga menunjukkan kelompok kekerabatan yang meliputi orang yang

mempunyai satu nenek moyang dan tidak boleh saling mengawini (Bruner, 1986:

Page 64: perkawinan batak toba

64

159). Marga merupakan suatu kebanggaan bagi orang Batak sehingga orang Batak

lebih suka dipanggil marganya daripada namanya.

Dalam hubungan sosial sehari-hari, terlebih dalam pelaksanaan adat Batak,

orang Batak Toba diatur oleh unsur dalihan na tolu. Dalam dalihan na tolu unsur

kekerabatan diatur dengan, somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan

elek marboru. Arti dari struktur tersebut adalah, bersikap sembah dan hormat

kepada hula-hula (pemberi isteri), hati-hati (bijaksana) terhadap saudara yang

semarga, dan kasih sayang kepada boru (penerima isteri).

Seperti yang diutarakan oleh Simanjuntak (2011: 221), orang Batak

menghormati hula-hulanya karena dialah yang memberi isteri. Isteri

adalahpemberi keturunan bagi keluarga suami artinya bahwa hula-hula telah

memberi berkat kepada keluarga laki-laki melalui puterinya. Kepada saudara

semarga (dongan tubu) harus hati-hati karena mereka tinggal dalam

perkampungan yang sama, halaman yang sama, ladang yang sama. Dengan

demikian hampir setiap saat bertemu sangat rentan kecemburuan, persaingan dan

perkelahian. Untuk menghindari hal-hal yang demikian maka perlu kehati-hatian.

Sedangkan kepada kelompok boru yaitu pengambil isteri harus bersikap

mangelek maksudnya membujuk, mengambil hati, mengasihi karena si puteri

sudah “dijual” kepada marga lain. Sang puteri tidak mendapat apa-apa lagi dari

ayah dan saudaranya. Selain itu pihak boru diharapkan sebagai sumber ekonomi

bagi hula-hula dalam hal tumpak(sumbangan), tenaga, dan sebagainya.

Praktik dalihan na tolu dapat dilihat pelaksanaannya dalam kumpulan

marga-marga. Masing-masing marga membentuk suatu perkumpulan marga di

Page 65: perkawinan batak toba

65

daerah perantauan. Demikian juga di Kota Denpasar ada beberapa perkumpulan

marga dalam bahasa daerah disebut punguan marga. Setiap perkumpulan marga,

unsur dalihan na tolu secara otomatis terbentuk. Perkumpulan marga ini dibentuk

akibat jumlah suku Batak semakin banyak.

Melihat semakin banyaknya punguan marga, tanpa ada organisasi atau

paguyuban yang menaungi semua marga ini lalu pada bulan Juli 2008, Brigjen Pol

(purnawirawan) Drs A. Sitanggang, SH pada waktu itu bertugas di Bali sebagai

Direktur Intelijen Keamanan Polda Bali prihatin melihat punguan-punguan marga

Batak masih bersifat sektoral. Sitanggang menyampaikan ide untuk membentuk

suatu paguyuban yang dapat mengakomodir semua marga-marga yang ada di Bali

umumnya dan di Denpasar khususnya.

Pemikiran yang diutarakan Sitanggang mendapat sambutan sangat positif

dari tokoh-tokoh marga lain, sehingga pada tanggal 15 September 2008 para

tokoh-tokoh suku Batak Toba berkumpul di Lapotuak (sejenis warung) Jalan

Tukad Batanghari No. 44 Panjer, Denpasar. Pada pertemuan itu sepakat untuk

membentuk paguyuban Batak sehingga dibentuk formatur yang bertugas untuk

memilih pengurus inti. Pada rapat pengurus disepakati yang masuk dalam Ikatan

Keluarga Batak di Bali (IKBB) terdiri dari lima sub-etnis yaitu, Toba,

Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak.

Paguyuban IKBB dalam anggaran dasarnya bertujuan untuk: (1).

Memelihara, menjaga dan melestarikan budaya Batak sebagai bagian dari

kekayaan budaya bangsa; (2). Memberdayakan dan mengakomodir potensi warga

Batak untuk ikut serta berperan aktif membangun dan memajukan wilayah Bali;

Page 66: perkawinan batak toba

66

(3). Menciptakan dan meningkatkan rasa persaudaraan di antara sesama anggota

dan masyarakat lingkungan.

Dari sub-etnis yang masuk anggota IKBB (Toba, Simalungun, Karo,

Mandailing, dan Pakpak) masih ada lagi sub-sub etnisnya. Batak Toba

mempunyai sub-sub etnis sebanyak 30 kumpulan marga, Mandailing mempunyai

sub etnis (paguyuban) yang bernama Saroha. Pada paguyuban Saroha, Batak

Mandailing masuk ditambah Batak sub-etnis lain (Toba, Karo, Simalungun, dan

Pakpak) yang beragama Islam. Etnis Karo membentuk paguyuban tersendiri yaitu

margasilima(Karo-karo, Ginting, Perangin-angin, Sembiring, Tarigan, Sebayang,

dll.). Margasilima menjadi wadah berkumpulnya seluruh orang Batak Karo yang

ada di Bali. Etnis ini belum membentuk kumpulan marga-kumpulan marga

tersendiri karena jumlahnya belum banyak. Walaupun belum membentuk

kumpulan marga-kumpulan marga secara tersendiri, namun sudah membentuk

satu gereja kesukuan di Kota Denpasar yaitu Gereja Batak Karo Protestan

(GBKP).

Batak Simalungun mempunyai kesamaan marga denganBatak Toba

sehingga sangat gampang untuk bergabung secara kumpulan marga dengan Batak

Toba. Marga-marga yang ada di Simalungun, misalnya, Sinaga, Purba, Damanik,

Saragih juga sama dengan marga yang ada di Toba. Perbedaan yang ada hanya

dalam bahasa. Untuk menunjukkan identitasnya, Batak Simalungun juga sudah

mempunyai gereja tersendiri di Denpasar yaitu, Gereja Kristen Protestan

Simalungun (GKPS).

Page 67: perkawinan batak toba

67

Demikian juga Pakpak memilih bergabung dengan kumpulan marga-

marga yang ada di Batak Toba. Selain jumlahnya yang masih sedikit, marga-

marga yang ada di Pakpak ada persamaannya dengan marga yang ada di Toba.

Dengan adanya persamaan marga dengan Toba sehingga tidak mengalami

kesulitan untuk bergabung dengan saudaranya yang semarga. Karena persamaan

marga tersebut, Pakpakdan Toba tidak mempermasalahkan perbedaan etnis (Batak

Toba dan Batak Pakpak). Jumlah yang masih sedikit, Pakpak belum mempunyai

gereja kesukuan tersendiri seperti yang ada di daerah asal Dairi Sumatera Utara.

Gereja kesukuan Pakpak adalah, Gereja Kristen ProtestanPakpak Dairi (GPPD),

namun di Denpasar dan Bali umumnya GPPD belum ada.

Ikatan Keluarga Batak Toba di Bali (IKBB) terdiri dari sub etnik:

1. Batak Toba terdiri dari,Siraja Oloan, Toga Simamora, Toga Nainggolan,

SirajaSonang, Toga Manurung, SitorusPanguluPonggok, Silau Raja,

Simanjuntak, Panjaitan, Toga Aritonang, Raja Napitupulu, SilahiSabungan,

SihombingLumbantoruan, Toga Siregar, SonakMalela, Toga Simatupang,

Parna, Toga Sihombing, BorborMarsada, SibaraniSipartanoNaborngin,

SirajaPanggabean, SirajaLumbantobing, Tuan Dibangarna, Tuan

Sihubil&Sitompul, Toga Naipospos, SiraitButar-butar,

SitumorangSipituAma, Pasaribu, PurajaLaguboti, Raja Sitempang.

2. Batak Karo membentuk kumpulan marga Silima

3. Batak Mandailing dan juga Batak yang beragama Islam membentuk kumpulan

Saroha

Page 68: perkawinan batak toba

68

4. Batak Simalungun bergabung dengan kumpulan marga yang ada di Batak Toba

5. Batak Pakpak bergabung dengan kumpulan marga yang ada di Batak Toba

(Sumber: Paguyuban IKBB, Tahun 2014)

4.2.6Kepercayaan

Sebelum agama Kristen masuk ke Tapanuli, suku Batak sudah mempunyai

agama. Mereka sudah mempercayai adanya sesuatu yang menciptakan dunia ini.

Seperti yang diutarakan oleh Raja Patik Tampubolon dalam bukunya“Pustaha

Tumbaga Holing Adat Batak – Patik Uhum” bahwa suku Batak mempercayai

adanya Mula Jadi na Bolon. Mula Jadi na Bolon tidak berawal dan tidak berakhir,

yang menciptakan langit dan bumi (Tampubolon, 2002: 31).

Suku Batak juga mempercayai bahwa Si Raja Batak merupakan leluhur

orang Batak yang bermukim di kaki gunung Pusuk Buhit yaitu Sianjur Mula-mula

(Sinaga, 1997: 40). Namun kedatangan Si Raja Batak dengan rombongannya ke

Pusuk Buhit mempunyai beberapa versi, ada yang mengatakan datang dari

Thailand kemudian ke Semenanjung Malasya, lalu menyeberang ke pedalaman

Sumatera. Ada juga yang mengatakan dari India melalui Barus, dan yang lain

mengatakan dari Alas Gayo dan tertarik untuk tinggal di pinggir danau Toba.

Sewaktu terjadinya pengkristenan, mulai tahun 1861 oleh misi zending

Eropah seiring dengan penjajahan Belanda waktu itu, kepercayaan kepada Mula

Jadi na Bolon berganti dengan kepercayaan Barat (Kristen). Kepercayaan kepada

Mula Jadi na Bolon dianggap sebagai animisme, sehingga misi untuk

Page 69: perkawinan batak toba

69

mengkristenkan daerah Tapanuli sangat mudah dilaksanakan. Agama asli Batak

yaitu Parmalim yang percaya kepada Mula Jadi na Bolon ikut dijajah oleh Eropah

dan menggantinya dengan agama kristen.

Misi zending untuk menyebarkan agama Kristen di Tapanuli diiringi

dengan pendirian sekolah, dan rumah sakit (Schreiner, 2002: 8). Zending di

Tapanuli dapat berhasil karena dibarengi dengan pembangunan di bidang

pendidikan, kesehatan dan juga perekonomian. Sesuai dengan penelitian yang

dilakukan Pelly (1994: 49), pada tahun 1090 jumlah sekolah yang dibangun di

daerah Tapanuli ada sebanyak 470 buah, di Padang sebanyak 62 buah, di

Bengkulu sebanyak 2 buah, Palembang sebanyak 36 buah, Jambi sebanyak 6

buah, Pesisir Sumatera sebanyak 29 buah, Aceh sebanyak 10 buah, dan di Riau,

Bangka, Lampung belum ada. Sekolah yang terbanyak dibangun berada di daerah

Tapanuli, yang merupakan program zending.

Sekolah yang dibangun oleh zending tujuan utama adalah untuk

mempercepat perkembangan penginjilan di Tapanuli. Seperti yang dikatakan oleh

Simanjuntak (2012: 280), orang Batak dididik para misionaris agar dapat

membaca, menyanyi, dan bertani. Apabila sudah dapat membaca, maka mereka

dapat membaca sendiri Alkitab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Batak.

Dengan demikian tujuan utama pengembangan pendidikan di kalangan orang

Batak oleh zending Jerman, adalah memperlancar misi zending agar orang Batak

dapat menginjili diri sendiri dan juga temannya dengan membaca.

Pembangunan dalam bidang pendidikan yang dilakukan zending sangat

berdampak kepada pola hidup masyarakat Batak termasuk kepada kepercayaan

Page 70: perkawinan batak toba

70

asli Batak. Agama BatakParmalim yang mempercayai Mula Jadi na Bolon

dengan mudah digantikan dengan Kristen. Penggantian agama ini dilakukan oleh

kaum zending dengan menyatakan agama Batak adalah animisme.

Seperti yang dikatakan Schreiner (2002: 11) suku Batak membuka diri

terhadap misi zending, dan membiarkan diri dijajah oleh pemerintah kolonial

Belanda. Suku Batak mulai mengalami perubahan dunia baru, baik dari sudut

agama maupun dari sudut pemerintahan, sehingga suku Batak melepaskan agama

mereka sendiri dan menjadi Kristen. Agama Kristen menjadi agama yang sah bagi

penjajah Belanda dan juga masyarakat Batak umumnya.

Kristen Batak mempunyai gereja sendiri yang khas yaitu HKBP (Huria

Kristen Batak Protestan). HKBP diambil dari nama empat orang misionaris yaitu,

H: Pendeta Heine; K: Pendeta Klammer; B: Pendeta Betz, dan P: Pendeta Van

Asselt. Huruf V tidak ada pada tulisan Batak yang ada adalah huruf P, sehingga

nama Van Asselt dibuat (dibaca) menjadi Pan Asselt. Sesuai dengan penelitian

Pedersen (dalam Schreiner, 2002: 9) gereja HKBP menurut jumlah anggota adalah

gereja protestan yang paling besar di Asia Tenggara. HKBP dapat menjadi gereja

yang besar karena Batak Toba dengan bangga menunjukkan identitasnya melalui

gerejanya baik di daerah asal maupun di daerah perantauan.

Identitas individu akan melekat pada diri seseorang sepanjang orang

bersangkutan mengintegrasikan dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Suatu

kelompok sosial memiliki identitas selama masih terdapat individu-individu yang

memeliharanya sebagai sistem sosial (Barker, 2004: 171). Demikian halnya suku

Batak Toba di Kota Denpasar, umumnya tetap menganut agama Kristen baik

Page 71: perkawinan batak toba

71

protestan maupun katolik. Jika ada komunitas Batak Toba yang bukan agama

Kristen hal itu terjadi karena perkawinan campuran. Agama Kristen sudah

menyatu dengan budaya Batak Toba, sangat sulit dibedakan antara agama Kristen

dengan budaya Batak Toba. Agama Kristen dan budaya Batak Toba pada masa

kini ibarat dua sisi mata uang logam yang selalu bersamaan, tidak bisa dipisahkan.

4.3 Profil Kebudayaan Batak Toba

Suku Batak mempunyai daerah asal di Sumatera Utara yang berbatasan

dengan Aceh di sebelah Utara dan Sumatera Barat di sebelah Selatan. Suku Batak

mempunyai sub-suku-suku bangsa yaitu, (1) Toba, mendiami daerah tepi danau

Toba, pulau Samosir, Asahan, Silindung, Barus, Sibolga, Pahae, dan Humbang;

(2) Simalungun, tinggal di daerah Simalungun; (3) Pakpak, mendiami Dairi;

(4)Karo, mendiami tanah Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang, dan sebagian

Dairi; (5) Angkola, mendiami Angkola dan Sipirok, sebagian Sibolga, Batang

Toru, dan Padang Lawas; (6) Mandailing, mendiami Mandailing, Ulu, Pakatan

dan sebagian Padang Lawas.

Dalam kehidupan sehari-hari, masing-masing sub-suku-suku Batak

mempunyai bahasa tersendiri dan juga logat yang khas. Logat Toba dipakai oleh

orang Toba dan mempunyai kemiripan dengan logat Angkola dan Mandailing.

Logat Karo dipakai oleh orang Karo, logat Pakpak dipakai oleh orang Pakpak, dan

logat Simalungun dipakai orang Simalungun. Dari antara logat yang ada, logat

Toba dan Karo yang sangat jauh perbedaannya dibanding dengan sub-suku Batak

lainnya.

Page 72: perkawinan batak toba

72

Suku Batak mempercayai satu nenek moyang, yaitu Si Raja Batak. Dari

cerita suci (tarombo) yang masih dipercaya sampai saat ini menyebutkan bahwa

seluruh suku Batak merupakan turunan Si Raja Batak dan bermukim pertama kali

di kaki gunung Pusuk Buhit yaitu Sianjur Mula-mula (Sinaga, 1997: 40). Karena

perkembangan keturunannya semakin banyak, dan sumber makanan semakin

berkurang sehingga keturunan Si Raja Batak berpencar ke daerah Humbang,

Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak. Akibat perpindahan ini sehingga

menyebabkan suku Batak mempunyai sub-suku-suku.

4.3.1 Sistem Kepercayaan

Kepercayaan asli Batak ialah aliran parbaringin. Aliran parbaringin

disebut juga agama Batak. Akibat masuknya agama Kristen dan Islam, sekitar

tahun 1870 raja Sisinga Mangaraja memperbaharui agama Batak menjadi agama

Parmalim. Menurut Helbig (dalam Sidjabat, 1982: 326) raja Sisinga Mangaraja

XII memperbaharui agama Batak atau Parbaringin menjadi agama Parmalim

bertujuan untuk menjaga unsur-unsur agama Batak kuno terbina dalam

menghadapi agama Kristen, Islam dan penjajah Belanda.

Usaha untuk mempertahankan agama asli suku Batak tidak berhasil akibat

gencarnya penyiaran agama Kristen dan Islam pada abad ke-19. Agama Kristen

masuk ke Tapanuli disiarkan zending Jerman, dan ke daerah Karo oleh zending

Belanda. Agama Islam disiarkan oleh suku Minangkabau, sehingga suku Batak

yang berdekatan dengan daerah Minangkabau (Mandailing dan Angkola)

umumnya menganut agama Islam.

Page 73: perkawinan batak toba

73

Agama asli suku Batak yaitu Parbaringin dengan mudah diganti oleh

agama luar karena Belanda sebagai penjajah menginginkan pergantian tersebut.

Suku Batak menganggap segala milik penjajah merupakan hal yang super

sehingga membuka diri terhadap misi zending, dan membiarkan diri dijajah oleh

pemerintah kolonial Belanda. Suku Batak mulai mengalami perubahan dunia baru,

baik dari sudut agama maupun dari sudut pemerintahan, sehingga suku Batak

melepaskan agama mereka sendiri dan menjadi Kristen. Agama Kristen menjadi

agama yang sah bagi penjajah Belanda dan juga masyarakat Batak umumnya

(Schreiner, 2002: 11).

Kepercayaan asli Batak mempunyai konsep bahwa alam ini diciptakan oleh

Debata Mulajadi na Bolon (dalam bahasa Toba), Dibata Kaci-kaci (dalam bahasa

Karo). Debata Mulajadi na Bolon tinggal di atas langit dan merupakan maha

pencipta. Pada masa kini kepercayaan terhadap Debata Mulajadi na Bolon sudah

digantikan dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa akibat

pengaruh agama Kristen dan Islam.Pengaruh agama asli dalam pelaksanaan adat-

istiadat sering terjadi menggunakan kata Debata Mulajadi na Bolon untuk kata

Tuhan Yang Maha Kuasa.

4.3.2 Sistem Kemasyarakatan

Suku Batak tidak mengenal stratifikasi sosial seperti kelas bangsawan dan

rakyat jelata. Dalam kehidupan sehari-hari perbedaan hanya terlihat dalam: (1)

berdasarkan umur; (2) pangkat dan jabatan pekerjaan; (3) sifat keaslian; dan (4)

status kawin (Bangun, 1982: 110). Pelapisan berdasarkan umur terlihat dalam

Page 74: perkawinan batak toba

74

upacara adat dan pembagian harta warisan. Yang berhak memberikan saran dan

keputusan dalam upacara adat adalah orang yang sudah berkeluarga, demikian

juga tentang harta warisan hanya yang sudah berkeluarga mendapat bagian

sedangkan anak-anak belum diperhitungkan.

Sistem pelapisan sosial berdasarkan pangkat dan jabatan pekerjaan sehari-

hari terjadi juga dalam suku Batak. Lapisan yang terhormat adalah dukun, tukang,

pemusik (pargonsi).Profesi seperti ini disegani dalam masyarakat karena mereka

dianggap memiliki kekuatan sakti.

Sistem pelapisan sosial berdasarkan sifat keaslian maksudnya keberadaan

penduduk apakah dirinya penduduk asli atau pendatang. Perbedaan keaslian ini

bagi suku Batak sangat jelas kelihatan dalam pelaksanaan adat. Setiap upacara

adat yang dilaksanakan di suatu kampung harus melalui persetujuan orang asli di

kampung tersebut, oleh sebab itu pendatang harus selalu hormat kepada penduduk

asli.

Sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin sangat jelas bagi suku

Batak. Orang yang belum kawin tidak mendapat hitungan dalam tarombo atau

silsilah, selain itu juga belum dapat melaksanakan segala upacara adat. Apapun

statusnya, dan berapa pun umurnya jika belum kawin statusnya disamakan dengan

anak-anak, artinya masih dalam bimbingan orang tua.

Dalam kehidupan sehari-hari, suku Batak Toba mempunyai sistem

kekerabatan yang teratur melalui dalihan na tolu. Dalihan na tolu menjadi suatu

norma yang mengatur kekerabatan dalam suku Batak. Untuk masuk menjadi

anggota dalihan na tolu harus melalui upacara perkawinan. Setiap kali orang

Page 75: perkawinan batak toba

75

Batak dewasa yang saling tidak mengenal bertemu, mereka selalu martarombo

dan martutur yaitu proses penelusuran silsilah untuk menentukan hubungan

kekerabatan di antara mereka (Bruner, 1986: 165). Setiap orang Batak dalam

kehidupan sehari-hari mempunyai hubungan kekerabatan di antara yang satu

dengan lainnya. Hal ini terjadi disebabkan seluruh orang Batak mempunyai satu

nenek moyang yang sama yaitu Si Raja Batak.

Hubungan kekerabatan suku Batak dapat diambil dari tiga sudut yaitu,

dongan tubu, hula-hula, dan boru. Setiap suku Batak yang mempunyai marga

yang sama disebut sebagai dongantubu, dan setiap orang yang mempunyai marga

yang sama dengan pihak ibu atau isteri disebut hula-hula, sedangkan orang yang

mengambil isterinya satu marga dengan kita disebut boru. Hubungan kekerabatan

ini berlaku dalam pelaksanaan adat-istiadat juga dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti yang sudah di jelaskan di atas, yang masuk dalam dalihan na tolu

adalah orang yang sudah melakukan upacara perkawinan. Demikian juga dalam

upacara-upacara adat Batak, yang boleh turut berbicara dalam urusan keluarga

hanya yang sudah berkeluarga (Bruner, 1985: 165). Oleh karena itu perkawinan

merupakan hal yang sangat perlu dalam suku Batak agar boleh masuk ke dalam

dalihan na tolu.

4.3.3 Pola Perkampungan

Kampung dalam bahasa daerah disebut huta merupakan tempat tinggal

yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari satu klen. Dalam satu huta terdapat

beberapa rumah yang saling berhadap-hadapan dan di depan rumah disediakan

Page 76: perkawinan batak toba

76

halaman untuk mengadakan upacara perkawinan, upacara kematian dan

sebagainya. Huta dikelilingi dengan tembok huta disebut dengan parik yang

terbuat dari tanah dan di atas tembok ditanami bambu. Tanaman bambu bertujuan

untuk penghangat huta dan juga menjaga keamanan dari ancaman musuh.

Pada masa sekarang, bentuk huta sudah tidak dikelilingi tembok lagi.

Perkampungan umumnya sudah terbuka tidak dikelilingi parik huta. Parik

hutamenjadi hilang disebabkan alat untuk penghangat sudah diganti oleh selimut

dan peperangan antar kampung sudah tidak ada lagi sehingga fungsi parik ni huta

tidak diperlukan lagi. Selain alasan tersebut, jumlah penduduk yang semakin

bertambah, sehingga parik digunakan untuk lahan pertanian dan juga tempat

tinggal.

Walaupun bentuk huta berubah, namun pola perkampungan suku Batak

masih mengelompok. Biasanya nama huta itu dibuat sesuai dengan marga atau

klen yang berdiam di huta tersebut. Masing-masing klen mempunyai nama huta

tersendiri.

4.3.4 Kesenian

Setiap sub-suku-suku yang terdapat dalam Suku Batak mempunyai

kesenian tersendiri. Dari perbedaan-perbedaan itu ada persamaan-persamaan di

antaranya, memiliki tortor dan juga ulos.Tortor adalah sejenis tarian yang dimiliki

komunitas Batak sedangkan ulos yaitu kain yang ditenun yang fungsinya sebagai

alat untuk penghangat badan.Tortor dan ulos merupakan hasil seni yang hampir

selalu ada di setiap pelaksanaan upacara adat suku Batak.

Page 77: perkawinan batak toba

77

Tortor Batak dalam pelaksanaannya selalu dimulai dengan penyembahan

kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan juga penyembahan kepada khalayak umum.

Hal ini menunjukkan bahwa suku Batak selalu hormat kepada Pencipta dan juga

sesama manusia. Setelah tortor penyembahan, dilanjutkan dengan tortor liat-liat,

yaitu berkeliling di sekitar tempat yang disediakan, menunjukkan mereka sudah

menguasai wilayah tersebut. Penguasaan wilayah sangat perlu untuk menunjukkan

kekuasaan di wilayah bersangkutan. Selanjutnya tortor diakhiritortor hasahatan,

artinya keinginan suku Batak yang melakukan tortor sampai kepada tujuan.

Ulos pada awalnya merupakan tenunan tangan para perempuan dewasa di

daerah Batak. Akibat modernisasi, ulos sudah dapat diproduksi secara massal oleh

pabrik, sehingga nilai ulos menjadi murah. Walaupun sudah diproduksi secara

massal, masih ada beberapa jenis ulos yang tetap diproduksi dengan tenunan

tangan. Tentu ulos yang ditenun dengan tangan mempunyai harga yang lebih

tinggi dari ulos yang diproduksi mesin.

Page 78: perkawinan batak toba

78

BAB V

BENTUK KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN

BATAK TOBA DI KOTA DENPASAR

Bentuk adalah yang tercitra dalam kognisi seseorang atau segala sesuatu

yang ada di dalam kehidupan manusia dan mempunyai makna tertentu. Hubungan

antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi sosial yang didasarioleh

kesepakatan atau konvensi sosial (Hoed, 2008: 3).Bentuk konsumerisme dalam

upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar mencakup objek material dan

objek formal. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret ataupun hal

yang abstrak. Objek formal, yaitu sudut pandangan dari mana objek material itu

disorot (Surajiwo, 2009: 5). Bentuk konsumerisme yang terjadi dalam upacara

perkawinan Batak Toba di Kota Denpasaryaitu, dilangsungkan di tempat yang

mewah, mengundang banyak orang, mengonsumsi objek pendukung secara

berlebihan, memberikan mahar yang mahal, dan menghabiskan durasi yang

panjang.

5.1 Praktik Upacara Perkawinan Batak Toba

Page 79: perkawinan batak toba

79

Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar sangat bervariasi

baik dari segi tempat upacara, jumlah orang yang diundang dan tahapan

pelaksanaan. Terjadinya variasi ini diakibatkan tidak ada tempat khusus untuk

melangsungkan upacara perkawinan seperti di Kota Jakarta dan Kota Medan

sehinga mereka menggunakan berbagai macam tempat sebagaimana yang terlihat

dalam tabel 5.1.

Tabel 5.1

Keluarga yang Melangsungkan Upacara Perkawinan Tahun 2012 s/d 2014

No Waktu

Pelaksa-

naan

Nama keluarga Tempat

upacara

Jumlah

unda-

ngan

(orang)

Jumlah

biaya

(Rp.)

1. 17 Maret

2012

Jerry Tahan Martua

Lubis/SarahHutabarat

Gedung

Wanita Nari

Graha

± 450 ±120 juta

2. 14 April

2012

Mario Frederick

Sitompul/Evelina

Hotmaria Simanjuntak

Gedung

Wanita Nari

Graha

± 450 ± 125 juta

3. 4 Agst.

2012

Ivan Munara Hutapea/

Henry Wijayanti

Gedung

Wanita Nari

Graha

± 500 ± 135 juta

4. 24 Agst.

2012

Harry Mulia Simarmata/

Anita Christina Napitupulu

Gedung

Wanita Nari

Graha

± 800 ± 180 juta

5. 10 Nop.

2012

Andreas Martadinata

Ginting/Ni Nyoman Dania

M. Panjaitan

Restoran

Hongkong

Garden

± 900 ± 450 juta

6. 15 Nop.

2012

Ganda Pakpahan/ Diana

Asian Siregar

Gedung

Wanita Nari

Graha

± 500 ± 150 juta

7. 7 Des.

2012

Daniel Richat Siallagan/

Sarawaty Manullang

Restoran

Hongkong

Garden

± 700 ± 400 juta

8. 22 Juni

2013

Nelson Aprianus Tahik/

Vera Triyati Siregar

Restoran

Hongkong

Garden

±600

±450 juta

9. 5 Sept.

2013

Hitler Simamora/ Luci

Hasian Silalahi

Aula Korem

163 Denpasar

± 500 ±110 juta

Page 80: perkawinan batak toba

80

10. 12 Sept.

2013

James Priestley Hasugian/

Emyta Dewi

GSM HKBP

Denpasar

±200 ±45 juta

11. 10 Okt.

2013

Harso Bayu Santoso/ Santi

Sriwulan Tambunan

Gedung

gereja HKI

Denpasar

± 150 ±35 juta

12. 23 Nop.

2013

Pantun Nainggolan/ Ni

Kadek Sri Widani

Aula

Angkatan

Laut Sesetan

±350 ±90 juta

13. 16 Nop.

2013

Jun Rico Laurencius

Nainggolan/Yunita

Khristyani

Gedung

Wanita Nari

Graha

± 400

± 120 juta

14. 22 Peb.

2014

Andri Ello Silitonga/

Linda Christina Br.

Tambunan

Restoran

Hongkong

Garden

±600

±500 juta

15. 22 Maret

2014

Yonas Bestow

Hutahaean/Yuli Yohana

Br. Napitupulu

Gedung

Wanita Nari

Graha

±600

±180 juta

16. 22 Maret

2014

Jihan Moonen/ Yuliana

Normauli Br. Hasibuan

Harrads

Hotel Chapel

±500 ±1,3

milyar

17. 25 April

2014

Ricky Panggabean/ Eva

Br. Simanjuntak

Restoran

Hongkong

Garden

±1200

±3 milyar

18. 16 Agst.

2014

Toho Jefta Hutauruk/

Sotardodo Lambok Ruth

Br. Naibaho

Restoran

Hongkong

Garden

±800

±500 juta

19. 27 Sept.

2014

Tambos Hutauruk/ Putri

Sion Br. Nababan

Gedung

Wanita Nari

Graha

±400

±110 juta

20. 29 Nop.

2014

Saut Gultom/ Faraumania

Br. Siregar

Hotel Inna

Bali Beach

±600 ±450 juta

21. 20 Des.

2014

Kelvin Anggara/Loide

Tiara Sere Br. Siahaan

Hotel The

Mulia

±600 ±3 milyar

(Sumber: Gereja HKBP Denpasar, Tahun 2014)

Dari data di atas terlihat bahwa tempat dan jumlah orang yang diundang sangat

bervariasi, dan kecenderungannya dari hari ke hari semakin konsumerisme. Orang

kaya melangsungkan upacara perkawinan di tempat yang lebih mewah dan

mengundang lebih banyakorang.Hal ini dilakukan untuk menunjukkan selera dan

kelasnya dalam masyarakat seperti yang diutarakan Bourdieu (dalam

Page 81: perkawinan batak toba

81

Featherstone, 2008: 42), selera selalu mengklasifikasikan orang atas pilihan dan

gaya hidup. Selera, pilihan konsumsi dan praktik gaya hidup berkaitan dengan

pekerjaan dan posisi kelas tertentu dan dalam waktu tertentu dalam suatu

masyarakat.Dari data di atas urutan kemewahan tempat yaitu, Hotel The Mulia,

Hotel Harrads, Restoran Hongkong Garden, Hotel Inna Bali Beach, yang

menengah adalah Gedung Wanita Nari Graha, dan kelas bawah adalah Aula

Korem 163 Wira Satya Denpasar,Aula Angkatan Laut Sesetan, dan gedung serba

guna gereja.

Dalam komunitas Batak Toba, status seseorang dapat dilihat dari praktik

upacara perkawinan yang dilaksanakan. Orang yang mempunyai banyak modal

(ekonomi, sosial, dan budaya) seperti yang dimaksudkan Bourdieu, akan

melaksanakan upacara perkawinan sangat berbeda dengan orang yang memiliki

sedikit modal. Orang kaya akan mensuplai benda-benda baru, mode baru, dan

benda-benda bermerek. Hal ini perlu dilakukan untuk memapankan jarak antara

kelas atas dan kelas bawah (Featherstone, 2008: 43).

Sebaliknya, masyarakat kelas bawah berusaha untuk mengikuti gaya yang

ditampilkan kelas atas. Usaha pengejaran yang dilakukan oleh kelas bawah tidak

akan berhasil disebabkan kelas atas akan terus menginvestasikan barang-barang

baru dengan penciptaan diferensi. Konsumsi menjadi bagian yang tak terpisahkan

dari penciptaan gaya hidup yang dimuati dengan nilai tanda dan makna simbolik

sehingga menyebabkan gaya hidup konsumerisme.

Gaya hidup konsumerisme seperti yang diutarakan Piliang (2011: 238)

yaitu, gaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus

Page 82: perkawinan batak toba

82

menerus lewat mekanisme tanda, citra, dan makna-makna simbolik.

Konsumerisme juga merupakan budaya belanja yang didorong oleh logika hasrat

dan keinginan, ketimbang logika kebutuhan. Demikian halnya dalam praktik

upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, budaya konsumerisme seakan-

akan menjadi suatu keharusan. Praktik pelaksanaan upacara perkawinan dipenuhi

dengan tanda, citra, dan makna-makna simbolik.

5.1.1 Tempat Pelaksanaan

Suku Batak Toba umumnya memeluk agama Kristen, sehingga upacara

perkawinan dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama Kristen. Menurut agama

Kristen, perkawinan itu sakral dikarenakan suami hanya boleh memiliki satu

isteri, sebaliknya isteri hanya boleh memiliki satu suami. Selain itu, suami tidak

boleh menceraikan isterinya dan juga sebaliknya, isteri tidak boleh menceraikan

suami dengan alasan apapun kecuali karena kematian. Dengan demikian hanya

kematian yang boleh menceraikan suami isteri dalam keluarga Kristen.

Upacara perkawinan Kristen yang sangat sakral memerlukan tempat yang

sakral juga (bukan sembarangan) tempat yang dianggap sakral adalah di dalam

gereja. Gereja merupakan tempat yang sakral bagi orang Kristen sehingga upacara

perkawinan secara keagamaan dilaksanakan umumnya di dalam gedung gereja.

Upacara perkawinan secara agama yang dilakukan dalam gereja tidak

memerlukan biaya yang tinggi (biasanya hanya berbentuk ucapan syukur) karena

gedung gereja bukan tempat komersil, dan setiap jemaat yang memerlukan

fasilitas di gereja tidak pernah disewakan seperti gedung-gedung umum lainnya.

Page 83: perkawinan batak toba

83

Perkembangan akhir-akhir ini, tempat pelaksanaan upacara perkawinan

secara agama bukan hanya di dalam gedung gereja lagi. Hotel-hotel yang ada di

Bali sudah memfasilitasi hotelnya dengan membangun kapel, (bahasa Inggris

chapel), yaitu sebuah bangunan yang digunakan sebagai tempat untuk

persekutuan dan ibadah bagi orang Kristen. Pihak hotel memfasilitasi hotelnya

dengan sarana prasarana yang sangat lengkap demi mendapatkan untung yang

sebanyak-banyaknya. Berdirinya kapel yang merupakan produk kapitalis

mengakibatkan biaya upacara perkawinan secara keagamaan menjadi tinggi,

pelaksanaan yang dilakukan dalam gereja maksimal Rp. 5 juta, sedangkan

pelaksanaan yang dilakukan di kapel memerlukan biaya ratusan juta bahkan

sampai miliaran Rupiah.

Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba yang dilakukan di kapel yang

diikuti penulis pada hari Sabtu, 20 Desember 2014 di Hotel The Mulia Nusa Dua.

Pihak keluarga pengantin perempuan berasal dari suku Batak Toba tinggal di Kota

Surabaya, sedangkan pihak keluarga laki-laki etnis Tionghoa tinggal di Kota

Denpasar. Yang menanggung biaya upacara lebih banyak pihak perempuan, dan

dia merupakan pengusaha sukses juga orang Batak terkaya di Kota Surabaya.

Upacara perkawinan yang dilakukan secara keagamaan dipimpin oleh:

Ephorus HKBP (pimpinan tertinggi di HKBP) yang didatangkan dari kantor pusat

Tarutung Sumatera Utara. Selain mendatangkan ephorus, juga mendatangkan

Praeses HKBP distrik XVII IBT dari Surabaya (pimpinan tertinggi di HKBP

Indonesia Bagian Timur) dan juga mendatangkan pendeta HKBP yang ada di

sekitar Surabaya dan Bali. Mereka didatangkan pihak keluarga pengantin

Page 84: perkawinan batak toba

84

perempuan dengan memfasilitasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan, tentu

dengan jumlah yang sangat besar.

Pimpinan HKBP mau melayani upacara pemberkatan perkawinan di kapel

bukan di dalam gedung gereja seperti umumnya.Menurut penuturannya:“Ingkon

terbuka do hita manjalo hamajuan. Di negara maju, mamasu-masu di hotel nunga

somal”. (Kita harus terbuka akan kemajuan zaman. Di negara maju, upacara

pemberkatan perkawinan sudah biasa di lakukan di hotel). (wawancara, 20

Desember 2014).Penuturan ini menunjukkan bahwa pihak gereja menyetujui

upacara perkawinan secara agama dilakukan di kapel.Upacara perkawinan yang

dilakukan di hotel tentu memerlukan biaya yang cukup tinggi.

Informasi yang diperoleh dari panitia upacara perkawinan, biaya yang

dikeluarkan keluarga perempuan untuk membiayai upacara perkawinan anaknya

secara agama Kristen sebesar 1,5 milyar Rupiah. Menurut panitia, biaya sebesar

itu lebih banyak peruntukannyauntuk penginapan sebanyak 100 orang yang

diundang dari luar Bali. Penginapan yang dipesan tergantung dari status/jabatan

orang yang diundang sehingga harganya berbeda antara satu dengan lainnya mulai

dari harga Rp. 3.000.000,- sampai Rp. 25.000.000,- satu malam. Undangan dari

luar Bali menginap antara satu malam sampai tiga malam. Sehingga total biaya

untuk penginapan sekitar Rp. 500.000.000,- Biaya yang lain yaitu, untuk resepsi

setelah upacara perkawinan diperuntukkan untuk 600 orang, biaya satu orang

Rp.500.000,- sehingga totalnya Rp. 300.000.000,-. Biaya lain yang besar adalah

tiket pesawat para undangan dari luar Bali, uang saku, sewa kapel secara paket,

Page 85: perkawinan batak toba

85

dan juga biaya artis yang didatangkan dari ibu kota untuk menghibur acara,

sehingga total keseluruhan diperkirakan sebesar Rp. 1,5 milyar.

Upacara perkawinan yang dilakukan di Hotel The Mulia Nusa Dua, baru

secara agama belum secara adat. Upacara adat dilakukan di Jakarta dengan

mengundang 1.000 orang dan dilangsungkan pada bulan Pebruari 2015. Biaya

yang dihabiskan sebanyak Rp. 1,5 milyar sehingga total keseluruhan biaya yang

habis dalam satu upacara perkawinan tersebut sekitar Rp. 3 milyar.

Fenomena konsumerisme di atas sesuai dengan pendapat Baudrillard

(dalam Hidayat, 2012: 62), menyatakan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada

dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan nilai simbol, dan bukan karena

kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan. Pada masyarakat konsumen,

konsumsi sebagai pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan semata

namun lebih dari fungsi itu adalah seperangkat hasrat untuk mendapatkan

kehormatan, prestise, status dan identitas melalui mekanisme penandaan.

Nilai tanda dan nilai simbol dapat dilihat pada upacara perkawinan secara

agama di kapel seperti terlihat pada gambar 5.1. Pimpinan gereja menyetujui

pemberkatan nikah di luar gereja mengakibatkan kesakralan perkawinan dan juga

kesakralan gereja hilang. Uang juga berkuasa di gereja sehingga keinginan orang

kaya yang melangsungkan pemberkatan perkawinan (upacara perkawinan secara

agama Kristen) di luar kepantasan menjadi pantas. Pihak gereja tidak berusaha

mencegah konsumerisme bahkan punya andil sehingga terjadi konsumerisme

dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar.

Page 86: perkawinan batak toba

86

Gambar 5.1

Pemberkatan perkawinan secara Gereja di Kapel The Mulia Nusa Dua

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Pemimpin upacara perkawinan secara agama Kristen adalah pendeta. Pendeta

bukan jabatan tetapi tahbisan, namun dalam perkawinan di atas yang memimpin

upacara perkawinan keagamaan adalah Pimpinan tertinggi di HKBP. Seperti yang

dikatakan Bourdieu (Dalam Lubis, 2014b: 110), seorang yang memiliki kapital

yang sangat kuat cenderung mempertahankan situasi (konservatif) dan melindungi

doxa (opini) sehingga struktur sudah mapan, struktur yang menguntungkannya

tidak dipertanyakan lagi.

Orang tua pengantin bernama Tahan adalah orang kaya dalam ekonomi,

orang bergelar tinggi (professor), dan juga orang yang disegani di kalangan suku

Batak di wilayahnya. Dari sudut modal (ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik)

seperti konsep Bourdieu, dalam keluarga bersangkutan modal berbaur menjadi

Page 87: perkawinan batak toba

87

satu. Untuk mempertahankan posisinya sehingga pelaksanaan pemberkatan

perkawinan anaknya didatangkan pimpinan tertinggi HKBP dan juga pendeta-

pendeta HKBP yang ada di Surabaya dan Bali demi pelipatgandaan modal yang

sudah dimilikinya.Upacara perkawinan dijadikan sebagai arena untuk

mempertahankan posisi kekuasaan.

Kebiasaan bagi komunitas Batak Toba, seusai upacara perkawinan secara

agama kemudian dilanjutkan dengan upacara perkawinan secara adat. Pada

masyarakat sederhana atau mereka yang tinggal di daerah asal Tapanuli,

pelaksanaan upacara perkawinan dilangsungkan di halaman rumah. Komunitas

Batak Toba yang tinggal di Kota Denpasar untuk melangsungkan upacara

perkawinan bukan lagi di halaman rumah tetapi di gedung pertemuan atau hotel

berbintang.

Objek pendukung yang sangat banyak tersedia di Kota Denpasar,

mengakibatkan komunitas Batak Toba mempunyai banyak pilihan sesuai dengan

selera masing-masing. Pilihan yang banyak sebagai tempat untuk melangsungkan

upacara perkawinan bukan membantu masyarakat melainkan menciptakan hasrat

yang tak pernah terpuaskan. Hasrat yang tak pernah terpuaskan berimplikasi

kepada budaya konsumerisme yang dipraktikkan dalam upacara perkawinan.

5.1.2 Jumlah Orang yang Diundang

Semakin tinggi status orang kecenderungannya mengundang orang semakin

banyak untuk datang mengikuti upacara perkawinan. Semakin banyak orang yang

diundang, semakin besar juga biaya yang akan dihabiskan.Menurut penuturan O.

Page 88: perkawinan batak toba

88

Hasibuan, upacara perkawinan Batak Toba pertama kali yang dilakukan di Kota

Denpasar yaitu pada tanggal, 15 Desember 1978:

“Tempat pelaksanaan upacara perkawinan secara adat dilakukan di gedung

kantor perindustrian Bali, jalan Topati Denpasar. Jumlah undangan hanya

sekitar 70 orang karena jumlah orang Batak saat itu baru ada sekitar 40

keluarga. Unsur dalihan na tolu disesuaikan dengan situasi dan kondisi

belum lengkap seperti saat sekarang. Semua orang Batak baik Toba,

Simalungun, Pakpak, Karo, Mandailing datang.” (wawancara, 15 Desember

2014).

Penuturan ini memperlihatkan bahwa pada awal pelaksanaan upacara perkawinan

Batak Toba di Kota Denpasar dilakukan dengan sangat sederhana. Bertambahnya

jumlah orang Batak di Kota Denpasar serta fasilitas kota yang tersedia, sehingga

para pelaku upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar umumnya

mengundang ratusan bahkan ribuan orang. Praktik ini sesuai dengan yang

dikatakan Piliang (2011: 238) di perkotaan fasilitas untuk konsumsi dibangun

secara intensif. Kota menjadi lingkungan utama untuk gaya hidup konsumerisme.

Perkembangan Kota Denpasar yang begitu pesat didukung oleh sarana

prasarana yang dibangun berdampak kepada konsumerisme upacara perkawinan

Batak Toba. Banyaknya gedung sebagai alternatif pelaksanaan upacara

perkawinan mengakibatkan setiap melaksanakan upacara perkawinan pihak

keluarga dari perempuan dan laki-laki mengundang banyak orang (lihat tabel 5.1).

Kehadiran banyak orang untuk menghadiri upacara perkawinan menentukan

status sosial dari keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan. Semakin

banyak orang yang hadir dalam upacara perkawinan dengan pelayanan yang baik

dari keluarga yang melaksanakan upacara maka keluarga bersangkutan mendapat

status sosial semakin tinggi dalam bahasa daerah semakin sangap.

Page 89: perkawinan batak toba

89

Sangap atau hasangapon merupakan kehormatan yang menjadi salah satu

dari tujuan hidup suku Batak. Sedangkan tujuan hidup lainnya adalah hagabeon

atau punya keturunan, dan hamoraon yaitu kekayaan. Dengan melaksanakan adat

upacara perkawinan, mendatangkan banyak orang, melayani dengan baik, satu

dari tiga tujuan hidup Batak Toba sudah tercapai. Akibat dari pemahaman ini

orang Batak Toba berusaha untuk melaksanakan upacara perkawinan dengan

mengundang banyak orang.

5.1.3 Objek Pendukung yang Digunakan

Objek pendukung dalam upacara perkawinan Batak Toba yaitu objek yang

dikonsumsi bukan merupakan keharusan. Jika objek ini ditiadakan tidak

mengurangi makna upacara perkawinan tersebut, namun objek ini seakan-akan

menjadi suatu keharusan. Menurut pernyataan Tambunan, salah satu tokoh adat

suku Batak:

“Anggo pesta ni halak hita nunga biasa di Denpasar on mambahen artis,

kenang-kenangan, dekorasi, mobil pengantin, video, dohot angka na asing.

Na jolo dang apala songon on hebona, anggo nuaeng nunga godang na so

niantusan be angka lapatan na. Molo sinungkun angka dongan, alasanna

nga songon i na masa… nunga sude mambahen songon i…. tontu…

niihuthon ma.” (Pelaksanaan upacara perkawinan Batak di Denpasar sudah

biasa mendatangkan artis, pemberian cenderamata, dekorasi yang

berlebihan, mobil pengantin secara khusus, video, dan lain-lain. Dulu

pelaksanaan pesta tidak seheboh ini, kalau sekarang sudah banyak yang

tidak kita mengerti maksudnya. Kalau ditanya kepada teman-teman,

jawabnya sudah begitu biasanya…..sudah semua melakukan

demikian…sehingga …semuanya akhirnya mengikutinya).” (wawancara, 4

Desember 2014).

Tuturan ini menunjukkan bahwa praktik konsumerisme dalam upacara

perkawinan Batak Toba sudah terbiasa dilaksanakan. Menggunakan jasa artis

Page 90: perkawinan batak toba

90

untuk menghibur menjadi kebutuhan seakan-akan keharusan. Hal ini sesuai

dengan yang dikatakan Baudrillard (dalam Lubis, 2014: 179), pada masyarakat

konsumer objek bukan hanya dikonsumsi, tetapi diproduksi lebih banyak untuk

menandakan status, bukan untuk kebutuhan. Hampir tidak ada upacara

perkawinan Batak Toba secara adat yang dilakukan di Kota Denpasar yang tidak

menggunakan jasa artis (lokal atau luar daerah). Padahal dalam pelaksanaannya,

tidak ada kaitan antara artis dengan upacara perkawinan, melainkan hanya sekedar

untuk mendapatkan hiburan.

Seperti yang diutarakan oleh Lamhot yang melakukan upacara perkawinan

pada hari Sabtu, tanggal 29 Nopember 2014. Upacara perkawinannya

dilaksanakan di Inna Bali Beach, dan mengundang 600 orang. Menurut Lamhot,

saat pelaksanaan upacara perkawinannya biaya yang dikeluarkan untuk artis

sebanyak Rp. 85 juta, dan untuk M.C. sebanyak Rp. 25 juta. Artis yang diundang

tiga orang (trio) dari Jakarta ditambah satu orang pemain musik. Masing-masing

mendapat honor Rp. 15 juta ditambah biaya tiket pesawat pulang pergi dan biaya

penginapan di Hotel Inna Bali Beach selama 2 malam, sehingga total biaya untuk

artis, M.C dan pemain musik sebesar Rp. 120 juta.

Lamhot menggunakan jasa artis dari Jakarta bukan dari Kota Denpasar,

menurut penuturanya:

“Kita sudah bosan menyaksikan artis lokal, untuk mengubah suasana ya

…kita undang dari Jakarta. Pesta kawin kan hanya sekali… apa salahnya

kalau kita buat yang terbaik. Masalah biaya kan… ya… hanya menambah

sedikitnya. Undangan pasti lebih puas mendengar artis ibu kota daripada

artis lokal.” (wawancara, 2 Januari 2015).

Page 91: perkawinan batak toba

91

Penuturan ini menggambarkan bahwa Lamhot ingin menunjukkan kelasnya

dengan mendatangkan artis dari Jakarta. Hal ini sesuai dengan pendapat

Baudrillard bahwa konsumsi tidak dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna,

tetapi terutama sebagai konsumsi tanda (Sarup, 2011: 254). Mendatangkan artis

dari Jakarta dengan biaya yang tidak sedikit menandakan bahwa Lamhot

mempunyai kedudukan yang tinggi di tengah komunitas Batak.

Melalui upacara perkawinan, Lamhot mempertukarkan modal ekonomi

kepada modal sosial. Dari segi ekonomi, Lamhot memiliki modal yang cukup

karena dia orang kaya, namun dari segi sosial dia memiliki modal yang sedikit

karena Lamhot belum masuk ke dalam struktur dalihan na tolu. Seperti yang

diutarakan Bourdieu (dalam Fashri, 2014: 109), bahwa modal dapat dipertukarkan

satu sama lain. Demikian halnya, Lamhot menukarkan modal ekonominya untuk

mencapai modal yang lain dalam ranah upacara perkawinan.

Selain menyajikan hiburan dari artis, objek pendukung yang seakan-akan

menjadi keharusan yaitu pemberian cenderamata kepada setiap undangan yang

sudah ikut menghadiri upacara perkawinan. Cenderamata juga tidak ada kaitannya

dari segi adat dengan upacara perkawinan Batak Toba, namun dalam praktiknya,

sudah menjadi hal yang umum untuk memberikan cenderamata. Biaya yang

dikeluarkan untuk mengadakan cenderamata juga tidak sedikit, sampai puluhan

juta Rupiah.

Objek pendukung lain yang tidak ada kaitannya dengan upacara

perkawinan yaitu dekorasi panggung pengantin secara berlebihan. Tradisi orang

Batak Toba dalam pelaksanaan adat adalah berhadap-hadapan antara keluarga

Page 92: perkawinan batak toba

92

pihak laki-laki dengan keluarga pihak perempuan. Akibat keadaan gedung yang

tersedia di Kota Denpasar yang sudah didesain menggunakan panggung dan

posisinya pisah dari para undangan umum sehingga memerlukan dekorasi.

Dekorasi yang biasa digunakan yaitu dengan memakai bunga plastik atau bunga

hidup. Jika menggunakan dekorasi plastik biayanya di bawah Rp. 10 juta,

sedangkan menggunakan dekorasi yang dilengkapi dengan bunga hidup biayanya

di atas Rp. 10 juta.

Tempat pelaksanaan upacara perkawinan bagi orang Batak Toba

memerlukan tempat yang luas yang dapat menampung banyak orang. Tempat-

tempat seperti ini yang cocok tentu di halaman rumah seperti di desa di daerah

Tapanuli. Di Kota Denpasar, halaman rumah orang Batak Toba yang dapat

menampung ratusan orang tidak ada sehingga harus mencari tempat khusus selain

halaman rumah. Karena tempat upacara perkawinan bukan di halaman rumah

sendiri melainkan di salah satu gedung, tentu memerlukan angkutan sebagai

transportasi, dalam bahasa sehari-hari disebut mobil pengantin.

Dalam kenyataannya, mobil pengantin bukan sekedar sebagai transportasi

melainkan fungsi yang lain yaitu gengsi. Mobil yang biasa digunakan sebagai

mobil pengantin hanya mobil yang bermerek dengan biaya berkisar Rp. 3 juta

hingga Rp. 5 juta. Walaupun keluarga pengantin mempunyai mobil sendiri, jika

mobilnya bukan merek mahal, itu tidak digunakan sebagai mobil pengantin tetapi

menyewa mobil yang bermerek demi gengsi.

Realitas di atas sesuai dengan yang diutarakan Soedjatmiko (2008: 94)

bahwa pada saat sekarang, orang mengkonsumsi sesuatu bukan lagi karena

Page 93: perkawinan batak toba

93

pertimbangan nilai guna dan nilai tukar, melainkan demi status dan identitas

dalam masyarakat. Konsumsi berkaitan dengan penciptaan gaya hidup yang

tercermin dengan nilai tanda dan makna simbolik sehingga mengakibatkan gaya

hidup konsumerisme (Piliang, 2011: 238).Akibat pergeseran dari nilai guna

menjadi nilai status dan identitas dalam masyarakat, mengakibatkan

konsumerisme semakin subur, dan akhirnya konsumerisme dianggap menjadi

wajar seperti yang terlihat dalam Gambar 5.2.

Gambar 5.2

Suasana pelaksanaan upacara pesta perkawinan di Inna Bali Beach, 29 Nop. 2014

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Gambar di atas merupakan kondisi tempat pelaksanaan upacara pesta Perkawinan.

Para undangan berdiri untuk menyambut kedatangan pengantin memasuki

panggung kehormatan. Suasana kemewahan terlihat mulai dari ruangan, bangku,

meja, panggung, dan bunga-bunga hidup menghiasi ruangan upacara.

Page 94: perkawinan batak toba

94

5.1.4 Jumlah Mahar yang Diberikan

Mahar adalah mas kawin yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak

perempuan. Dalam bahasa daerah Batak Toba mahar disebut dengan tuhor atau

sinamot. Pada awalnya, mahar itu berbentuk: kerbau, kuda, emas, dan perak

namun seiring dengan perkembangan zaman, benda-benda seperti di atas diganti

dengan uang. Hal ini berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas sehingga benda-

benda itu diganti dengan uang.

Pemberian mahar bagi suku Batak berhubungan dengan prinsip patrilineal,

artinya garis keturunan dihitung melalui garis laki-laki. Perempuan harus

meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi keluarga suaminya. Sebagai

pengganti nyawa puterinya yang sudah pergi mengikuti suaminya harus nyawa,

tetapi bukan lagi nyawa manusia namun diganti dengan nyawa binatang, boleh

dengan kerbau, kuda, atau babi (Sihombing, 1997: 284). Itu sebabnya mahar itu

selalu diukur dengan nyawa binatang sebagai pengganti perempuan yang sudah

kawin. Namun pada saat sekarang hal itu tidak terjadi lagi karena sudah

digantikan dengan uang.

Jumlah uang yang digunakan sebagai mahar seorang perempuan bagi suku

Batak sangat bervariasi, mulai dari: Rp. 10 juta, Rp. 20 juta, Rp. 50 juta, dan Rp.

100 juta. Faktor yang berpengaruh terhadap jumlah mahar yang akan diberikan

kepada keluarga perempuan diantaranya: (1). Keadaan ekonomi keluarga laki-

laki. Semakin kaya pihak laki-laki biasanya jumlah mahar yang diberikan kepada

pihak perempuan semakin besar; (2). Status perempuan yang mau kawin.

Perempuan yang mempunyai status tinggi misalnya mempunyai pendidikan

Page 95: perkawinan batak toba

95

tinggi, pekerjaan baik, semakin tinggi juga mahar yang akan diterimanya; (3).

Jarak dari tempat tinggal keluarga perempuan ke tempat upacara perkawinan.

Semakin jauh jarak tempat upacara perkawinan dari tempat tinggal keluarga

perempuan, semakin tinggi juga mahar yang akan diberikan pihak laki-laki kepada

pihak perempuan; (4). Gengsi. Faktor gengsi dalam pemberian jumlah mahar juga

sangat berpengaruh. Pihak laki-laki sangat malu memberikan mahar yang sedikit

kepada pihak perempuan. Dengan berbagai cara pihak laki-laki akan berusaha

memberikan jumlah mahar yang banyak.

Pihak laki-laki sebagai pemberi mahar akan malu jika menantunya

menerima mahar sedikit. Jumlah mahar perempuan bagi komunitas Batak menjadi

pertarungan gengsi baik bagi pihak keluarga laki-laki juga keluarga perempuan.

Keluarga perempuan akan berusaha agar mahar puterinya “dihargai” dengan harga

yang tinggi sehingga harga diri keluarga besar pihak perempuan terangkat dengan

jumlah mahar tersebut. Sebaliknya apabila mahar puterinya rendah berarti “nilai

jual” puterinya rendah dan juga harga diri keluarga besarnya menjadi rendah.

Praktik pemberian jumlah mahar ini sering terjadi pembohongan publik.

Hal ini terjadi apabila pihak keluarga laki-laki adalah keluarga miskin. Untuk

menjaga gengsi puterinya, orang tua perempuan menyuruh pihak laki-laki untuk

berbohong. Dari segi kemampuan ekonomi pihak laki-laki tidak sanggup

memberikan sejumlah uang yang diminta pihak perempuan, namun demi gengsi

pihak laki-laki disuruh berbohong mau memberikan mahar yang besar dan

diumumkan di depan umum sewaktu upacara perkawinan (lihat gambar 5.3).

Page 96: perkawinan batak toba

96

mahar yang diberikan pihak laki-laki di depan khalayak umum sebenarnya adalah

uang dari pihak perempuan.

Gambar 5.3

Pemberian mahar oleh pihak keluarga laki-laki ke pihak keluarga perempuan

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Mahar dalam praktiknya berfungsi sebagai penunjukan status baik bagi keluarga

perempuan juga keluarga laki-laki. Semakin tinggi jumlah mahar yang diberikan

semakin tinggi juga status keluarga kedua belah pihak.

Risma sebagai orang tua perempuan mau menanggung mahar yang akan

diberikan pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Menurut penuturan

Risma:

“Pogos do tondong on, nunga masihaholongan boru niba dohot anakna.

Maila hita molo tarida pogos tondong i. Asa sangap nasida dohot hita,

nitambaan ma hepengna i, asa godang begeon ni halak. Boha bahenon,

tondongta na ma nasida ala ni pesta on. Manang na boha pe molo pogos

tondong i dohot do iba maila. Porlu do tutupon hahurangan ni tondong tu

Page 97: perkawinan batak toba

97

angka na torop.” (Besan ini miskin, anak saya dengan anaknya sudah saling

mencintai. Kita malu jika orang lain tau bahwa besan kita miskin. Agar

sama-sama terhormat, kita tambahkan aja uang itu agar banyak di dengar

orang. Biar bagaimanapun mereka sudah menjadi keluarga kita karena pesta

ini. Kalau besan itu miskin, kita pun ikut merasa malu. Perlu ditutupi

kekurangan besan ini kepada khalayak umum. (Wawancara, 2 Desember

2014).

Penuturan ini menggambarkan bahwa orang tua si perempuan mau menambah

uangnya sendiri sebagai mahar puterinya untuk menghindari rasa malu. Penuturan

ini sesuai dengan apa yang disebut Bourdieu (dalam Lubis, 2014: 107) tentang

konsep medan (field) sebagai tempat para agen/aktor sosial saling bersaing. Orang

tua perempuan mau memberikan uangnya sendiri sebagai mahar puterinya yang

seharusnya dia yang menerima dari orang tua laki-laki untuk mendapatkan

berbagai sumber daya material ataupun kekuatan simbolis.Uang akan dibagikan

kepada seluruh kerabat pihak perempuan. Dia tidak mempersoalkan kerugiannya

yang penting harga dirinya terjaga.

Mahar yang besar yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan

mengakibatkan biaya upacara perkawinan itu semakin tinggi. Mereka tidak

berusaha untuk mengurangi jumlah mahar malah sebaliknya berusaha

memperbesar jumlah mahar dengan tujuan untuk menambah harga diri. Demi

harga diri berbohong pun akan dilakukan oleh kedua belah pihak.

5.1.5 Durasi Upacara Perkawinan

Upacara perkawinan bagi komunitas Batak mempunyai tahapan-tahapan.

Setelah seorang laki-laki mencintai seorang perempuan dan kedua insan tersebut

sepakat akan melangsungkan perkawinan, maka si laki-laki akan memberitahukan

rencana tersebut kepada orangtuanya. Apabila orang tuanya setuju akan maksud

Page 98: perkawinan batak toba

98

anaknya, kemudian si orang tua akan menyuruh orang untuk melakukan

penjejakan kepada orang tua si perempuan. Apabila pertemuan penjejakan itu

bersambut, dilanjutkan dengan marhusip.

Menurut adat kuno, marhusip sangat rahasia sekali dan dilakukan oleh

saudara kandung dari orang tua laki-laki dengan orang tua perempuan.

Marhusipdalam bahasa Indonesia sama artinya dengan berbisik,sangat rahasia

sebab di dalam acara ini akan dibicarakan hal-hal pokok yang akan dilakukan

dalam upacara perkawinan. Apabila terdapat kecocokan pembicaraan dalam

marhusip maka upacara perkawinan dapat dilanjutkan dengan marhata sinamot,

sebaliknya apabila tidak terdapat kesepakatan, rencana perkawinan tersebut akan

batal. Untuk menghindari rasa malu apabila batal, sehingga acara marhusip ini

sangat rahasia sekali dan dilakukan di rumah pihak perempuan (Sihombing, 1997:

60).

Jangka waktu marhusip dengan marhata sinamot boleh satu hari, satu

minggu, satu bulan, tidak ada patokan yang pasti marhusip dengan

marhatasinamot dilakukan dalam waktu yang berbeda. Acara marhata sinamot

juga dilakukan di rumah orang tua perempuan. Yang ikut menghadiri upacara ini

adalah orang tua laki-laki dan juga keluarga dekatnya. Demikian juga pihak

perempuan, dalam upacara marhata sinamot akan dihadiri keluarga dekatnya.

Jumlah orang yang hadir dalam acara ini sekitar 50 orang sampai 100 orang.

Pada saat marhata sinamot pihak laki-laki menyediakan makanan untuk

makan bersama. Biasanya pada acara ini akan dipotong babi yang lengkap

denganna margoar atau potongan-potongan daging yang akan dibagikan kepada

Page 99: perkawinan batak toba

99

kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan). Acara marhata sinamot akan

membahas jumlah mahar, makanan yang akan disediakan, jumlah undangan yang

akan hadir, tempat pelaksanaan puncak upacara perkawinan, tanggal pelaksanaan,

dan juga hal-hal lain yang berhubungan dengan upacara perkawinan.

Seusai marhata sinamot, masing-masing pihak keluarga laki-laki dan pihak

keluarga perempuan akan melakukan pertemuan dalam bahasa daerah disebut

martonggo raja dan marria raja. Martonggo raja dan marria raja dilakukan

untuk Persiapan masing-masing pihak, tuan rumah juga menyiapkan makanan

untuk semua orang yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara martonggo raja

dan marria raja akan dibicarakan teknis pelaksanaan upacara perkawinan bagi

masing-masing pihak (laki-laki dan perempuan). Masing-masing petugas akan

dibagi dalam acara ini sesuai dengan peran hula-hula, dongan tubu, dan boru.

Setelah tiba pada acara puncak upacara perkawinan sesuai dengan

pembicaraan di waktu marhata sinamot, masing-masing peran akan dilakukan

sesuai dengan prinsip dalihan na tolu. Pagi harinya sekitar jam 7.00 acara dimulai

dengan marsibuha-buhai. Marsibuha-buhai adalah acara berdoa bersama antara

keluarga pihak laki-laki dan juga pihak perempuan beserta dengan keluarga

dekatnya. Acara dimulai dengan makan bersama lengkap dengan daging babi na

margoar(lihat gambar 5.4).

Page 100: perkawinan batak toba

100

Gambar 5.4

Acara marsibuha-buhai di rumah orang tua perempuan

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Dalam gambar di atas terlihat orang tua perempuan dan orang tua laki-laki

berjabatan tangan seusai kedua belah pihak saling memberikan makanan. Pihak

boru atau orang tua laki-laki memberikan daging babi kepada orang tua

perempuan, selanjutnya dibalas oleh pihak hula-hula atau pihak perempuan

memberikan ikan mas kepada pihak laki-laki. Saling memberi atau berbalasan

merupakan prinsip dalam dalihan na tolu. Setelah marsibuha-buhai selesai,

mereka berangkat ke gereja secara bersama untuk melangsungkan upacara

perkawinan secara agama Kristen.

Setelah upacara perkawinan secara agama di gereja, dilanjutkan dengan

upacara perkawinan secara adat. Upacara adat di Kota Denpasar biasanya

dilaksanakan di gedung yang besar agar dapat menampung ratusan orang sampai

ribuan orang. Upacara adat dilangsungkan mulai pagi sampai malam hari tidak

ada waktu istirahat, artinya tahapan acara itu berlangsung secara estafet. Acara

Page 101: perkawinan batak toba

101

terakhir adalah paulak une dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Pihak laki-

laki datang ke rumah pihak perempuan untuk menyatakan upacara berjalan

dengan baik. Balasan dari pihak perempuan adalah tingkir tangga yaitu pihak

perempuan datang ke rumah pihak laki-laki untuk mengenal tempat tinggal pihak

laki-laki.

Menurut pengalaman penulis, upacara perkawinan Batak Toba dalam

praktiknya di Kota Denpasar memerlukan waktu yang panjang sampai berbulan-

bulan. Dalam durasi yang panjang ini diperlukan tenaga, waktu, pikiran, dan dana

yang cukup banyak. Durasi yang panjang berdampak kepada biaya yang tinggi

karena semua acara dilakukan dengan makan bersama. Semakin panjang durasi

yang digunakan, semakin banyak biaya yang dihabiskan.

5.2 Ragam Konsumerisme dalam Upacara Perkawinan Batak Toba

5.2.1 Konsumerisme dalam Pola Pikir

Manusia melakukan sesuatu tindakan dilatarbelakangi oleh apa yang ada di

dalam pikirannya. Pikiran menjadi penentu untuk melakukan sesuatu dan juga

untuk tidak melakukan sesuatu. Pola pikir seseorangakan dipengaruhi oleh pola

pikir masyarakat di mana seseorang itu hidup, dan pola pikir masyarakat akan

dipengaruhi oleh pola pikir masing-masing individu. Dengan demikian pola pikir

individu dengan kelompok (masyarakat) saling mempengaruhi (Koentjaraningrat,

1981: 187).

Pola pikir kelompok merupakan salah satu dari tiga wujud kebudayaan

seperti yang diutarakan oleh Koentjaraningrat (1987: 5). Menurut

Page 102: perkawinan batak toba

102

Koentjaraningrat, kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu ide, tindakan, dan

hasil (materi). Pola pikir manusia masuk ke dalam wujud ide yang sifatnya

abstrak, tidak dapat diraba atau difoto karena berada dalam alam pikiran

masyarakat bersangkutan. Pola pikir dapat diketahui melalui kata-kata, tulisan

yang dapat disimpan berbentuk buku atau alat lainnya.

Kebudayaan ide oleh Koentjaraningrat disebut juga sebagai adat tata

kelakuan yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan,

dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.

Tata kelakuan itu saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya disebut

dengan sistem budaya atau cultural system dalam bahasa Indonesia disebut adat

istiadat. Adat istiadat menjadi pranata yang mengatur suatu masyarakat untuk

bertindak dalam kehidupan keseharian. Adat-istiadat seakan-akan bawaan yang

tidak boleh diubah padahal adat-istiadat tersebut merupakan hasil konstruksi

masyarakat bersangkutan (Barker, 2004: 39).

Upacara perkawinan merupakan salah satu unsur dari adat-istiadat Batak

Toba yang harus ditempuh setiap keluarga. Upacara perkawinan menjadi hal yang

sangat perlu dilakukan karena setiap orang untuk boleh masuk menjadi anggota

dalihan na tolu harus lebih dahulu melakukan upacara perkawinan. Upacara

perkawinan merupakan pintu atau jembatan untuk memasuki dalihan na tolu

(Siahaan, 1982: 58).

Pelaksanaan adat istiadat umumnya dilakukan dengan gotong royong di

antara unsur dalihan na tolu.Dalihan na tolu yang terdiri dari, dongan tubu

(semarga), hula-hula (pemberi isteri), dan boru (penerima isteri) mempunyai

Page 103: perkawinan batak toba

103

posisi atau pembagian tugas yang jelas. Masing-masing posisi itu tidak boleh

dipertukarkan.

Prinsip dalihan na tolu yaitu masing-masing keluarga dalam pelaksanaan

adat-istiadat mempunyai posisi yang jelas. Sesuai dengan namanya, dalihan

dalam bahasa Indonesia disebut tungku mempunyai tiga kaki untuk dapat berdiri

dengan teguh. Posisi keluarga dalam dalihan na tolu mempunyai kedudukan yang

berbeda-beda (tidak setara) seperti gambar: 5.5.

Hula-hula

.

Dongan

tubu

Boru

Gambar: 5.5

Bentuk dalihan na tolu

Pada gambar di atas ada garis terputus-putus menunjukkan bahwa posisi dongan

sabutuha di tengah (netral). Dalam dalihan na tolu, posisi abang, adik, ayah, anak,

kakek, cucu (satu marga) adalah setara. Setiap orang yang masuk dalam dongan

tubu, apapun kedudukan dalam keseharian (pejabat, orang kaya, intelektual, dll.)

jika sudah masuk ke dalam dalihan na tolu kedudukannya adalah setara.

Page 104: perkawinan batak toba

104

Berbeda dengan posisi dongan tubu yang setara, posisi boru dalam segitiga

tersebut terlihat berada di bawah. Hal ini menunjukkan bahwa posisi boru lebih

rendah. Boru bertugas untuk mengerjakan segala keperluan adat-istiadat. Boru

menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan adat baik dari segi tenaga maupun

biaya.

Sebaliknya, hula-hula mempunyai posisi yang paling tinggi. Hula-hula

bagi suku Batak diibaratkan wakil Tuhan.Hula-hula merupakan orang yang

memberi berkat ibarat Tuhan sehingga posisinya di atas (lebih tinggi). Seperti

yang di jelaskan dalam Bab IV, posisi hula-hula harus dihormati karena dialah

yang memberi isteri. Isteri adalah pemberi keturunan bagi keluarga suami

sehingga pihak yang memberi isteri(hula-hula) wajib untuk dihormati.

Posisi masing-masing ketiga unsur dalihan na tolu(dongan tubu, hula-hula,

dan boru) sudah jelas tidak boleh dipertukarkan. Walaupun tidak boleh

dipertukarkan bukan berarti pada suku Batak Toba memiliki kasta atau kelas atas

dan kelas bawah. Posisi itu sifatnya temporer bukan permanen artinya, setiap

keluarga suku Batak Toba akan menduduki ketiga posisi tersebut(dongan tubu,

hula-hula, dan boru) tergantung konteks adat-istiadat yang dilakukan.

Pelaksanaan adat-sitiadat dalam masyarakat Batak mempunyai aturan yang

jelas, siapa mengerjakan apa, siapa menerima dan memberikan apa. Misalnya,

untuk memasak makanan dalam pelaksanaan adat-istiadat adalah pihak boru. Bagi

orang Batak, mengerjakan pekerjaan sebagai posisi boru bukan hanya sebagai

tugas tetapi juga berfungsi sebagai hak. Pihak boru akan keberatan apabila hula-

Page 105: perkawinan batak toba

105

hula (yang sedang melakukan upacara adat) tidak mempercayakan kepada pihak

boru untuk mengurus yang berkaitan dengan upacara tersebut.

Demikian pihak hula-hula yang mempunyai posisi lebih tinggi, mereka

harus dihormati. Pihak hula-hula tidak boleh diremehkan, apabila pihak boru

kurang hormat terhadap hula-hula, maka pihak hula-hula tidak akan menghadiri

kegiatan adat yang dilakukan. Jika salah satu unsur dari dalihan na tolu tidak ada,

maka adat istiadat yang dilakukan itu akan timpang (kurang sempurna). Oleh

karena itu setiap keluarga Batak Toba selalu menjaga hubungan yang baik di

dalam dalihan na tolu (Siahaan, 1982: 52).

Pembagian tugas yang sangat jelas dalam dalihan na tolu sudah bergeser

akibat globalisasi. Seperti penuturan Hasibuan sebagai salah satu tokoh adat Batak

di Kota Denpasar:

“Nuaeng on na maol na ma luluan songon na jolo marsiurupan. Na

sasintong na kan ….boru do lao manghobasi sipanganon di pesta, alai

anggo nuaeng ndang masa be i, boru holan simbol sambing na ma.

Songon i nang hula-hula, dilompa do dengkena laho pasahatonna tu

boruna, alai anggo di kota on, nunga dipakateringhon sude, goar na ma

dengke ni hula-hula, anggo na patupahon ndang hula-hula be.”(Saat

sekarang, tidak ditemukan lagi saling gotong royong. Yang sebenarnya

kan …boru yang menyiapkan segala makanan untuk pesta, tetapi saat

sekarang bukan lagi, peran boru hanya tinggal simbol. Demikian juga

hula-hula, dengke yang akan diberikan ke pihak boru harus dimasak

sendiri, tetapi sekarang di kota ini dengke bukan hula-hula lagi yang

memasak tetapi semuanya dimasak pihak katering. Hanya sebutannya

dengke dari hula-hula, yang menyediakan sebenarnya bukan lagi hula-

hula).(wawancara, 10 Desember 2014).

Dari tuturan ini terlihat bahwa masing-masing peran dalihan na tolu sudah

bergeser akibat globalisasi. Seperti yang dikatakan Piliang (2011: 235) bahwa

globalisasi di satu sisi menciptakan semacam homogenisasi budaya yaitu

penyeragaman cara, pola dan gaya hidup, yang terintegrasi ke dalam budaya

Page 106: perkawinan batak toba

106

global. Demikian halnya dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba yang

dilakukan di Kota Denpasar, mereka mengonsumsi pola pikir budaya global yang

ingin cepat, efisien yang bukan miliknya.

Dalam budaya global, ideologi yang terselubung di dalamnya adalah

kapitalisme global. Kapitalisme global mengkonstruksi cara berpikir masyarakat,

komoditi dijadikan sebagai cara untuk membangun perbedaan dan identitas diri di

tengah masyarakat. Konsumsi dalam masyarakat kapitalisme global bukan hanya

sekedar nilai guna tetapi juga nilai-nilai simbolik. Konsumsi berkaitan dengan

penciptaan gaya hidup yang dimuati dengan nilai tanda dan makna simbolik

sehingga mengakibatkan gaya hidup konsumerisme (Piliang, 2011: 238).

Pada masyarakat Batak Toba tradisional, pelaksanaan upacara perkawinan

dilakukan secara kebersamaan dan kesamaan. Kebersamaan yang dimaksud yaitu

unsur dalihan na tolu berperan aktif secara bersama-sama bukan hanya satu unsur

saja. Pihak dongan tubu dan boru secara bergotong royong mengumpulkan biaya

untuk keperluan upacara, sedangkan pihak hula-hula memberi doa restu (berkat)

dalam bahasa daerah disebut memberi pasu-pasu.Sedangkan arti kesamaan yaitu,

bentuk upacara perkawinan antara satu keluarga dengan keluarga lain bentuknya

sama walaupun ada perbedaan itu hanya dalam hal-hal kecil saja. Kebersamaan

dan kesamaan boleh dilakukan karena mereka merasa seperasaan dan

sepenanggungan.

Pada masyarakat perkotaan, kebersamaan dan kesamaan sudah ditinggalkan

dan digantikan dengan proses penciptaan diferensi secara terus menerus lewat

mekanisme tanda, citra, dan makna-makna simbolik. Menurut Piliang (2011: 238)

Page 107: perkawinan batak toba

107

budaya konsumerisme berkaitan dengan lingkungan urban, karena di perkotaan

ruang-ruang untuk konsumsi secara terus-menerus dibangun. Karena fasilitas yang

sangat lengkap untuk konsumsi, masyarakat dikonstruksi menjadi masyarakat

konsumeris.

Selanjutnya kebersamaan dan kesamaan menjadi hilang pada masyarakat

perkotaan diganti dengan manusia individualis. Seperti yang disebutkan Piliang

(2011: 232) manusia global mempunyai salah satu ciri manusia individualis

(homo individualis). Manusia homo individualis adalah manusia yang

mengutamakan ego ketimbang kebersamaan, mencintai diri sendiri (ego-philia)

ketimbang masyarakat (socio philia).Semangat kebersamaan dan kesamaan

diganti dengan semangat individualis dan perbedaan.

Demikian halnya pada masyarakat Batak Toba dalam pelaksanaan upacara

perkawinan di Kota Denpasar yang awalnya memiliki pola pikir kebersamaan dan

kesamaan di daerah asaldiganti dengan pola pikir diferensi atau perbedaan. Pola

pikir diferensimerupakan pola pikir dari budaya luar yang dikonsumsi oleh

masyarakat Batak Toba di Kota Denpasar. Pola pikir diferensi atau perbedaan

mengakibatkan terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba.

5.2.2 Konsumerisme dalam Tingkah Laku

Dari pembagian wujud kebudayaan seperti yang dikemukakan

Koentjaraningrat, tingkah laku masuk ke dalam wujud yang kedua yaitu wujud

aktifitas. Wujud ini sering disebut sistem sosial yang terdiri dari aktivitas-aktivitas

manusia yang berinteraksi, bergaul antara satu dengan yang lain. Aktivitas ini

Page 108: perkawinan batak toba

108

boleh diobservasi, di foto, dan didokumentasikan. Bentuknya lebih konkrit dari

wujud yang pertama (Koentjaraningrat, 1987: 6).

Tingkah laku didorong oleh pola pikir seseorang. Seseorang bertindak atau

berperilaku atas apa yang ada di dalam pikirannya. Tingkah laku seseorang

dipengaruhi oleh tingkah laku masyarakat di mana dia hidup, sebaliknya tingkah

laku masyarakat dipengaruhi oleh tingkah laku masing-masing individu.

Singkatnya, tingkah laku individu dan masyarakat saling mempengaruhi.

Masyarakat Batak Toba tradisional dalam kehidupan sehari-hari

mempunyai pilosofi:

Manat unang tartuktuk,

dadap unang tarrobung

artinya,

Berhati-hati agar tidak tersandung,

pelan-pelan agar tidak terperosok.

Tingkah laku kehati-hatian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam

bertindak. Dalam kehidupannya, suku Batak tidak mengenal cepat dan tepat

melainkan prinsip kehati-hatian.

Tindakan yang buru-buru atau ingin cepat tidaklah diinginkan suku Batak,

hal ini dapat dilihat dari perumpamaan:

Molo humarojor tata indahanna,

molo humalaput matombuk hudonna

artinya,

Orang yang buru-buru bertindak, nasi yang dimasak akan tetap mentah,

Page 109: perkawinan batak toba

109

orang yang ingin cepat-cepat, periuknya akan menjadi bocor.

Tindakan yang humarojor dan humalaput sama-sama tidak menghasilkan nasi

yang enak seperti yang diharapkan, melainkan nasi yang mentah (tetap beras).

Tingkah laku yang buru-buru akan menghasilkan hasil yang tidak diharapkan.

Tindakan yang hati-hati (pelan-pelan) sudah ditinggalkan pada saat

sekarang diganti dengan tindakan cepat. Seperti penuturan Tulus sewaktu upacara

perkawinan anaknya:

“Asa pos roha pintor ni bayar do sude angka gedung, katering, musik baru

pe pinaboa tu tondong. Ai molo so jolo dipastihon i, biar roha dipakke

halak….jadi pintor ni boking ma.I na ma na somal, jolo lengkap na ma

gedung dohot katering baru pe asa dipatupa ulaon marhata sinamot.

Anggo halak hita na di kota on nunga masiantusan i, dang adong be

ketersinggungan songon na di hita an.” (Agar pasti, kita bayar duluan

biaya gedung, katering, dan musik baru diberitahu sama besan. Kalau

belum dibayar, takutnya tempat itu digunakan orang….sehingga langsung

aja dibayar. Hal yang demikian sudah terbiasa, lebih dulu dipastikan

tempat, katering baru dilanjutnya marhata sinamot. Orang kita di kota ini

sudah saling mengerti akan hal itu, tidak ada lagi ketersinggungan seperti

di daerah asal).(wawancara, 12 Desember 2014).

Penuturan ini sesuai dengan yang dikatakan Piliang (2011: 232) bahwa dunia

kehidupan manusia pada saat sekarang dikuasai oleh waktu dan kecepatan.

Kecepatan ini diakibatkan oleh pertumbuhan sains, teknologi, moneter, produksi

dan konsumsi yang semakin cepat. Faktor kecepatan yang dibuat manusia itu

mengakibatkan manusia terbawa arus kecepatan produksi, konsumsi, industri dan

kehilangan tempat dan ruang untuk refleksi, perenungan, meditasi atau

spritualitas.

Pepatah yang menyatakan, siapa cepat dia dapat berlaku juga pada orang

Batak Toba dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Tindakan yang cepat, tidak

mau repot, meninggalkan perumpamaan, Molo humarojor tata indahanna, molo

Page 110: perkawinan batak toba

110

humalaput matombuk hudonna.Untuk mengejar kecepatan ini sering tahapan

upacara perkawinan berlawanan dengan adat yang berlaku pada suku Batak Toba.

Kecepatan yang sudah biasa dilakukan yang bertentangan dengan adat yaitu

penentuan tempat upacara perkawinan. Pada saat sekarang sudah terbiasa lebih

dulu ditentukan tempat dan tanggal upacara perkawinan sebelum dilakukan

marhusip dan marhata sinamot.

Marhusip merupakan acara yang sangat rahasia antara pihak orang tua laki-

laki dan pihak orang tua perempuan calon pengantin. Acara marhusip tidak

diketahui keluarga besar karena sifatnya masih sangat rahasia, dan masih tahap

penjejakan di antara kedua belah pihak. Jika dalam penjejakan ini ada kesesuaian

tentang pelaksanaan upacara adat perkawinan kemudian dilanjutkan dengan

marhata sinamot.Apabila dalam marhusip tidak ada kecocokan di antara kedua

belah pihak maka upacara perkawinan batal dilaksanakan. Untuk menghindari

rasa malu apabila tidak ada kecocokan antara pihak keluarga laki-laki dan pihak

keluarga perempuan, sehingga marhusip itu sangat dirahasiakan.

Kecocokan keinginan di antara kedua belah pihak antara pihak laki-laki dan

pihak perempuan dalam marhusip, kemudian dilanjutkan dengan marhata

sinamot.Marhata sinamot adalah acara yang membicarakan tentang jumlah mahar

yang akan diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pada saat marhata

sinamot, kedua belah pihak sudah mengundang keluarga besarnya untuk

membicarakan upacara perkawinan. Secara bersama dibicarakan tanggal

pelaksanaan upacara, tempat pelaksanaan, menu yang akan dihidangkan, jumlah

orang yang akan diundang, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan upacara

Page 111: perkawinan batak toba

111

perkawinan tersebut. Pada suku Batak, kebersamaan dan saling menghormati

merupakan hal yang sangat perlu dijaga.

Akibat faktor kecepatan, tahapan marhusip dan marhata sinamot sudah

terbiasa dilangkahi oleh salah satu pihak (baik pihak laki-laki maupun pihak

perempuan) yang menjadi tuan rumah. Dalam pelaksanaannya pada saat sekarang

sudah lebih dahulu ditentukan gedung atau hotel sebagai tempat pelaksanaan

upacara baru diadakan marhata sinamot bahkan marhusip. Kebersamaan dan

saling menghargai sudah dihilangkan. Hal ini dapat terjadi karena tempat

pelaksanaan upacara tidak boleh sembarangan, tetapi harus dapat menampung

banyak orang.

Upacara perkawinan pada suku Batak Toba dapat dilaksanakan di tempat

keluarga laki-laki maupun pihak perempuan tergantung kesepakatan kedua belah

pihak. Namun di daerah perkotaan yang menjadi tuan rumah kelihatannya semu

diakibatkan tempat pelaksanaan upacara sudah di sewa (bukan milik salah satu

pihak pengantin) tetapi milik orang lain. Sikap ingin cepat tidak mau repot dapat

dilihat dari perilaku menyewa tempat pelaksanaan upacara, memesan makanan

katering, pendeknya semuanya serba pesan.

Tingkah laku yang tidak mau repot, meninggalkan rasa kegotong royongan,

ingin cepat berdampak kepada konsumerisme. Tingkah laku yang demikian

merupakan tingkah laku orang luar yang dikonsumsi suku Batak Toba di Kota

Denpasar. Akibat globalisasi pola pikir masyarakatluar juga dikonsumsi secara

terus-menerus mengakibatkan konsumerisme dalam tingkah laku.

Page 112: perkawinan batak toba

112

5.2.3 Konsumerisme dalam Materi

Materi atau kebudayaan fisik seperti yang diutarakan Koentjaraningrat

(1987: 6) merupakan seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua

manusia dalam masyarakat. Wujud ini sifatnya konkret, dapat diraba, difoto dan

dilihat. Ketiga wujud kebudayaan ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa

dipisahkan. Kebudayaan ide dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada

perbuatan dan karya manusia. Sebaliknya, kebudayaan fisik mempengaruhi pola

tingkah laku dan juga cara berpikir sesuatu masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan

(ide, tingkah laku, dan hasil karya) saling mempengaruhi.

Pada masyarakat perkotaan, salah satu sifatnya adalah manusia kebendaan

(homo materialis). Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 233) masyarakat kota

yang berlandaskan prinsip ekonomi, manusia dikuasai oleh materi. Subjek

dikuasai oleh objek bahkan subjek tahluk kepada objek. Eksistensi manusia

ditentukan oleh objek (status, prestise, kelas). Manusia terkurung dalam budaya

permukaan, penampakan, gaya hidup, citra yang membangun budaya benda

(material culture).

Dalam kehidupannya sehari-hari, manusia mengonsumsi objek-objek

konsumen. Kelas atas mengonsumsi secara berlebihan untuk menunjukkan

hierarki kelasnya, sedangkan kelas bawah berusaha meniru gaya kelas atas. Usaha

untuk meniru ini disebut Veblen (dalam Wiedenhoft, 2012: 825) mengalir ke

bawah, yaitu kelas atas menjadi penentu bagi semua konsumsi yang terjadi di

bawahnya. Dalam kenyataannya, usaha yang dilakukan oleh kelas bawah meniru

Page 113: perkawinan batak toba

113

kelas atas akan gagal karena kelas atas selalu mengonsumsi yang baru yang

berbeda dengan kelas di bawahnya.

Pola mengalir ke bawah seperti yang diutarakan Veblen berimplikasi

kepada hasrat yang tidak pernah puas. Kelas bawah berusaha mengejar agar sama

dengan cara meniru konsumsi kelas atas sedangkan kelas atas berusaha untuk

mengonsumsi objek baru yang berbeda dengan kelas bawah. Objek kebaruan

merupakan cara kelas atas untuk tetap menjaga eksistensi kelasnya untuk menjaga

jarak dengan kelas di bawahnya. Dampak dari pola mengalir seperti yang

diutarakan Veblen mengakibatkan konsumerisme di antara setiap lapisan (atas dan

bawah). Kelas atas selalu mencari objek yang berbeda dari yang biasa, sedangkan

kelas bawah berusaha mengejar kesamaan dengan kelas yang di atasnya.

Usaha yang dilakukan kelas atas untuk mencari perbedaan dengan

mengonsumsi objek baru tidak akan bertahan lama sebab kelas bawah akan

mengejarnya dengan cara mengkonsumsi objek tersebut, demikian juga

sebaliknya usaha yang dilakukan kelas bawah untuk mengejar kelas atas tidak

akan pernah tercapai disebabkan kelas atas selalu berusaha akan objek-objek

kebaruan sebagai simbol untuk perbedaan kelas.

Pada awal pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar

seperti yang sudah diutarakan pada Bab IV, yang berlangsung pada tanggal, 15

Desember 1978 yaitu, Aholin Simanjuntak dengan isterinya Lumina Napitupulu

dilaksanakan secara sederhana. Upacara itu dilakukan di kantor perindustrian

Jalan Topati Denpasar. Pelaksanaannya sangat sederhana sekali sebab pola

mengalir ke bawah seperti yang diutarakan Veblen belum ada.

Page 114: perkawinan batak toba

114

Akibat faktor globalisasi dan juga semakin banyaknya orang yang kaya dari

suku Batak Toba yang tinggal di Kota Denpasar mengakibatkan mereka

berlomba-lomba untuk mengonsumsi objek-objek yang mengelilingi mereka.

Orang kaya berusaha untuk menunjukkan kelasnya dengan mengonsumsi objek

yang lebih mewah dari yang sudah biasa seperti terlihat dalam gambar 5.6.

Gambar 5.6

Salah satu meja yang dipenuhi dengan buah

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Buah yang terlihat dalam gambar 5.6 merupakan buah yang disediakan

untuk para undangan. Jumlah meja tempat menghidangkan buah ada lima meja,

dan semua buah yang disediakan didominasi buah import, sangat sedikit buah

lokal. Dari penuturan panitia: “biaya untuk penyediaan buah lebih dari Rp.

10.000.000,-.”

Page 115: perkawinan batak toba

115

Kue yang terlihat dalam gambar 5.7 merupakan makanan pembuka sebelum

diadakan makan bersama pada saat upacara adat. Dalam gambar itu tersedia kue

yang cukup banyak dengan beberapa pelayan melayani para tamu. Demikian juga

kue besar yang disediakan yang menyimbolkan hari pernikahan keluarga seperti

terlihat pada gambar 5.8. Kue yang tinggi bukan hanya simbol hari pernikahan

namun juga sebagai simbol kemewahan. Kue bagi komunitas Batak bukan

merupakan makanan resmi melainkan sekedar cemilan.

Gambar 5.7 Gambar 5.8

Kue yang dihidangkan Kue yang disediakan

sebelum upacara adat dimulai setinggi 1 meter

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014) (Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Kue yang disediakan ini tidak ada kaitannya dengan upacara adat perkawinan

Batak Toba. Tetapi karena upacara perkawinan dilaksanakan di hotel dan pihak

hotel menawarkan kue satu paket dengan ruangan yang digunakan,kue menjadi

materi yang harus dikonsumsi karena sistem yang berlaku di tempat pelaksanaan

upacara.

Page 116: perkawinan batak toba

116

Materi yang lain dan juga selalu dikonsumsi yaitu, dekorasi ruangan

pelaksanaan upacara perkawinan. Seperti yang terlihat dalam gambar 5.9,

tanaman bunga hidup menghiasi seluruh areal panggung utama.

Gambar 5.9

Panggungpengantinpenuh dengan bunga hidup

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Bunga sering diidentikkan dengan cinta kasih. Selain cinta kasih bunga juga

diidentikkan dengan keindahan. Cinta kasih dan keindahan yang disimbolkan

dengan bunga pada gambar di atas sudah melebihi (hiper) dari biasanya. Seluruh

panggung kehormatan dihiasi dengan penuh bunga hidup. Bunga yang digunakan

bukan hanya sekedar simbol cinta kasih juga keindahan tetapi sudah

menyimbolkan kemewahan.

Page 117: perkawinan batak toba

117

Seperti yang dikatakan Piliang (2012: 53), sebuah tanda dikatakan

melampaui atau hipersemiotika ketika telah keluar dari batas prinsip, sifat, alam,

dan fungsi tanda yang normal sebagai alat komunikasi dan penyampaian

informasi. Tanda dapat juga dikatakan melampaui ketika ia telah kehilangan

kontak dengan realitas yang dipresentasikannya; atau ketika ia telah kehilangan

fungsi informasinya. Demikian halnya ruangan yang dihiasi dengan banyak

bunga, bukan hanya sekedar menandakan cinta, tetapi lebih dari cinta ada tanda

kemewahan.

Kemewahan yang ditandai dengan bunga menjadi objek untuk

menunjukkan status, prestise, dan simbol-simbol sosial. Objek membentuk

perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-

perbedaan pada tingkat pertandaan (Piliang, 2012: 138). Objek-objek yang

dikonsumsi menjadi sarana yang sangat efektif bagi setiap orang untuk

menunjukkan identitasnya.

Page 118: perkawinan batak toba

118

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSUMERISME

DALAM UPACARA PERKAWINAN BATAK TOBA

DI KOTA DENPASAR

Faktor adalah sesuatu menyebabkan sesuatu yang lain terjadi. Faktor yang

mempengaruhi terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba

di Kota Denpasar yaitu, globalisasi, gaya hidup, budaya populer, media massa,

pemahaman yang kurang akan makna upacara perkawinan, dan kurangnya

transmisi budaya.

6.1 Globalisasi

Globalisasi merupakan suatu proses bukan sesuatu yang otomatis terjadi.

Ia lahir dari perilaku manusia dan gagasan yang lahir dari berbagai interaksi antar

manusia, antar masyarakat, dan antar negara yang pada awalnya dimulai dari

bidang ekonomi. Pada saat awal istilah globalisasi belum digunakan tetapi istilah

yang digunakan adalah sistem ekonomi global. Perkembangan yang pesat di

bidang ekonomi menjadi bibit globalisasi (Hoed, 2008: 101).

Ekonomi modern membuat batas negara menjadi pudar karena beberapa

faktor diantaranya: pertama, karena perkembangan kapitalisme yang bergeser dari

pusat modal ke periferi sebagai akibat dari kolonialisme dan ekspansi. Modal

bukan hanya ditanam di negara asal tetapi juga di negara lain. Kedua,

perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi semakin maju

sehingga lalu lintas informasi, barang, dan orang menjadi lebih cepat.

Page 119: perkawinan batak toba

119

Ketiga,perkembangan industri pariwisata akibat perbaikan ekonomi dan kemajuan

teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi sehingga pertukaran manusia

dan pertukaran gagasan dan informasi antarnegara menjadi lebih tinggi

frekuensinya (Hoed, 2008: 101).

Globalisasi merupakan proses terintegrasinya berbagai elemen dunia

kehidupan ke dalam sistem tunggal berskala dunia (Piliang 2011: 22). Globalisasi

merupakan konsekuensi dari dinamisme dan karakter mengglobal yang melekat

pada lembaga-lembaga modernitas. Giddens (dalam Barker 2014: 110)

mengibaratkan lembaga-lembaga modernitas dengan “mesin besar” (juggenaut)

yang lepas kendali dan melibas habis apapun yang menghalangi jalannya.

Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem ekonomi kapitalis, sistem

informasi global, sistem negara-bangsa, dan tatanan dunia yang didukung militer.

Pada pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar,

faktor globalisasi dapat terlihat dalam beberapa halyaitu, sistem penyajian

makanan dengan prasmanan. Prasmanan merupakan cara penyajian makanan di

mana para tamu mengambil sendiri hidangan yang disediakan pada meja. Cara

prasmanan dimulai oleh orang Perancis sehingga sering juga disebut cara makan

dengan ala perancis. Lama kelamaan sistem menghidangkan makanan yang

praktis ini mulai populer di Amerika Serikat pertengahan abad ke-19.

Sistem prasmanan menghilangkan rasa gotong royong dan menumbuhkan

rasa individualisme yang tinggi. Dari satu sisi sistem prasmanan sangat praktis

tetapi di balik kepraktisannya ada ideologi kapitalis yang menguasai seperti

terlihat pada gambar 6.1.

Page 120: perkawinan batak toba

120

Gambar 6.1

Para tamu mengantri untuk mengambil makanan secara prasmanan

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Menurut pernyataan Risma:

“Anggo nuaeng on nunga tenang hita, na penting adong hepeng. Laho

mangaloppa makanan dang pola porlu be godang tenaga songon na di

hita an, nunga adong Katering. Sude perlengkapan nunga rade..jadi

…dang pola porlu be mangido pangurupion tu dongan. Oloan loja

mangelek-elek halak … ni papesanhon ma ba.”(Pada saat sekarang kita

sudah tenang, yang penting ada uang. Untuk memasak tidak perlu lagi

memerlukan tenaga yang banyak-banyak seperti di kampung sana, sudah

ada katering. Alat-alat sudah lengkap…ya …tidak perlu lagi minta tolong

sama teman. Masak mau capek minta tolong orang lain…dipesan

aja).(wawancara, 10 Desember 2014).

Penuturan ini memperlihatkan bahwa uang menjadi segala-galanya, karena segala

sesuatu dapat diselesaikan dengan uang. Seperti yang dikemukakan Piliang (2011:

232), salah satu ciri manusia kota global adalah manusia individual (homo

individualis). Manusia mengutamakan ego ketimbang kolektivitas, yang

mencintai diri sendiri ketimbang masyarakat. Semangat kolektivitas digantikan

Page 121: perkawinan batak toba

121

oleh semangat individualisme. Manusia dipaksa untuk menggunakan hitungan-

hitungan ekonomi sebagai landasan pola pikir. Saling membantu tidak diperlukan

lagi. Pola pikir yang demikian mengakibatkan sifat individualisme sebagai

pondasi dari kapitalisme di mana kapitalisme merupakan rohnya globalisasi.

Sistem prasmanan dalam upacara perkawinan Batak Toba mengakibatkan

antrian yang panjang para undangan untuk mengambil makanan. Antrian panjang

terjadi karena pola makan dalam upacara perkawinan Batak Toba harus secara

serentak. Para undangan harus menunggu susunan acara sesuai dengan aturan

adat, sehingga semua tahapan-tahapan adat diikuti secara bersama.

Kebiasaan pada komunitas Batak Toba, makan harus secara bersama-sama

setelah urutan acara makan tiba. Merupakan hal yang kurang sopan jika para tamu

makan secara bertahap atau tidak bersama-sama. Akibat sistem makan yang

mengharuskan secara bersamaan sehingga antrian yang panjang tidak dapat

dihindari.

Selain sistem prasmanan dalam upacara perkawinan Batak Toba, faktor

globalisasi yang lain yaitu penggunaan alat-alat musik Eropa seperti terompet,

keyboard (organ tunggal), gitar, band yang digunakan untuk menghibur para

undangan. Menurut penuturan Tambunan, salah seorang tokoh adat Batak

sekaligus ketua IKBB (Ikatan Keluarga Batak Bali) di Kota Denpasar

mengatakan:

“dang niantusan be adat Batak di Bali on, nunga sibahen bahen na be,

jala godang do halak hita maniru na so niantusanna, ala songon i dibahen

halak, ba songon ima dibahen. Godang na asal dipambahen, boasa

dibahen songon i….alus ni angka dongan… nunga somal songon i. Ala

songon i dibahen dongan, ba…niihuthon ma.”(Susah untuk mengerti

pelaksanaan upacara adat Batak di Bali ini sebab masing-masing

Page 122: perkawinan batak toba

122

melakukan sesuka hatinya, banyak juga yang meniru sesuatu tanpa

mengetahui mengapa orang lain melakukan hal yang demikian, melainkan

hanya ikut-ikutan. Banyak yang dibuat secara asal-asalan, mengapa

dilakukan seperti itu…jawaban mereka…sudah biasa demikian. Karena

orang lain berbuat demikian, ya…kita ikuti aja).(wawancara, 20 Desember

2014).

Faktor ikut-ikutan meniru orang lain tanpa mengetahui mengapa orang lain

melakukan hal demikian menjadi suatu kebiasaan. Seperti yang diutarakan

Hoed (2008: 102) globalisasi bukanlah sekedar soal ekonomi, tetapi juga gejala

budaya, yakni terbentuknya dan tersebarnya “kebudayaan dunia” di berbagai

negara. Dengan kata lain adanya suatu kebudayaan baru sedang merebak dan

melanda seluruh dunia. Yang menjadi pertanyaan “kebudayaan dunia” ini

sebenarnya berasal dari mana? Kebudayaan global itu datang dari luar dan berasal

dari negara-negara maju. Kemajuan teknologi terlebih teknologi informasi

sehingga menguasai media massa internasional. Negara maju mengalirkan

kebudayaannya ke negara-negara tertinggal.

Dalam praktik upacara perkawinan Batak Toba, alat musik yang

digunakan secara umum adalah musik Barat, sedangkan musik asli yang dimiliki

Batak Toba hanya sekedar pelengkap. Musik Barat dianggap menjadi miliknya

karena sudah digunakan hampir setiap saat.Seperti yang terlihat dalam gambar di

bawah ini, para ibu sedang berdansa dengan senang hati setelah pasangan suami

isteri resmi melaksanakan upacara adat pernikahan. Pihak keluarga pengantin

memberi saweran uang kepada undangan yang ikut berdansa mengikuti iringan

musik Barat sehingga suasana semakin meriah. Dansa tersebut tidak berkaitan

dengan upacara adat melainkan hanya sekedar hiburan belaka (lihat gambar 6.2).

Page 123: perkawinan batak toba

123

Gambar 6.2

Para tamu berdansa mengikuti iringan musik organ tunggal

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Globalisasi dilihat sebagai homogenitas budaya, yaitu penyeragaman kebudayaan-

kebudayaan yang sesungguhnya berbeda menjadi budaya tunggal.Selain dari

homogenitas budaya akibat globalisasi, juga terjadi penguatan budaya lokal.

Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 236), dalam globalisasi juga terjadi proses

pertukaran, saling pengaruh, hibriditas dan silang budaya yang jauh lebih

kompleks. Misalnya dalam hal makanan, pakaian, seni, arsitektur yang

bersinggungan dengan globalisasi di lingkungan urban, cenderung mendorong ke

arah reinterpretasi budaya lokal tersebut, sehingga ia tampil secara lebih kaya dan

kreatif.

Demikian juga pada upacara perkawinan Batak Toba, walau sistem

makanan prasmanan yang nota bene makanannya dipesan dari katering ada

Page 124: perkawinan batak toba

124

sebagian makanan yang harus dimasak komunitas Batak yaitu makanan sangsang

danarsik ikan mas. Arsik ikan mas adalah sejenis ikan tawar yang warna kulitnya

seperti mas sehingga disebut ikan mas danada juga warnanya hitam, direbus

sampai kering seperti terlihat pada gambar 6.3.Sangsang adalah daging babi yang

dicincang secara halus yang merupakan salah satu makanan khas Batak seperti

terlihat pada gambar 6.4. Kedua jenis makanan tersebut menjadi makanan yang

hibrid di daerah perkotaan.

Gambar 6.3 Gambar 6.4

Makananarsik ikan mas Makanan sangsang

yang disediakan di meja prasmanan yang disediakan di meja prasmanan

(Dok.: Mangihut Siregar, 2014) (Dok.: Mangihut Siregar, 2014)

Kedua jenis makanan (arsikikan mas dan sangsang) dalam setiap acara adat Batak

Toba selalu disediakan. Globalisasi menjadikan makanan iniberpenampilan

semakin kaya dan kreatif. Selain penampilan yang kreatif juga cara masaknya

yang kreatif sehingga menghasilnya rasa yang semakin enak dan tahan lama.

Apapun makanan yang disediakan tanpa kehadiran sangsang dan arsikikan mas

bagi orang Batak belum sempurna. Kedua makanan ini merupakan makanan yang

hibrid bagi orang Batak.

Page 125: perkawinan batak toba

125

6.2 Gaya Hidup

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari gaya hidup. Gaya

hidup merupakan cara setiap orang untuk memaknai kehidupannya dengan cara

mengekpresikan benda-benda sebagai objek pengaktualisasian diri kehidupan

sehari-hari. Seperti yang dikatakan Piliang (2011: 322), gaya hidup merupakan

salah satu bentuk pembedaan sosial dalam kehidupan masyarakat, dan pembedaan

itu mengandalkan identitas kelompoknya pada sistem citra. Citra hanya berfungsi

apabila digunakan di dalam praktik sosial.

Dalam praktik sosial, citra berfungsi sebagai penciptaan perbedaan atau

pembedaan sosial. Citra berkembang, bereproduksi sekaligus pemangsa dan

penghancur batas-batas sosial yang telah dibangun sebelumnya. Seperti yang

dikatakan Baudrillard (dalam Piliang, 2011: 322) citra dan gaya hidup beredar di

dalam orbitnya sendiri, yang tidak ada hubungannya lagi dengan dunia realitas.

Pada masa sekarang citraan mengambil alih sepenuhnya dunia realitas, sehingga

citraan (simulakrum) tersebut dianggap menjadi realitas.

Pengertian yang lebih luas tentang gaya hidup diutarakan oleh Bourdieu

(dalam Piliang, 2011: 323), ia melukiskan gaya hidup sebagai ruang gaya hidup

yang sifatnya plural. Dalam ruang tersebut masyarakat membangun kebiasaan

sosialnya. Gaya hidup melibatkan: modal, kondisi objektif, habitus, disposisi,

praktik, gaya hidup, sistem tanda, dan struktur selera. Gaya hidup adalah produk

habitus yang diproduksi secara sistematis melalui skema habitus dan praktik.

Gaya hidup dipengaruhi oleh modal yang dimiliki. Menurut Bourdieu

(dalam Featherstone, 2008: 209) selera terhadap berbagai benda budaya berfungsi

Page 126: perkawinan batak toba

126

sebagai tanda kelas. Masyarakat yang mempunyai modal tinggi mempunyai selera

yang berbeda dengan masyarakat modal rendah. Gaya hidup ditentukan oleh

modal yang dimiliki seseorang baik modal ekonomi, modal sosial, modal budaya,

dan modal simbolik.

Gaya hidup berhubungan dengan satu kelompok gaya hidup dengan

kelompok-kelompok lainnya yang dilaksanakan dalam ruang sosial sebagai

medan sosial. Gaya hidup sebagai perebutan posisi diekspresikan melalui

perebutan atau perjuangan pada tingkat tanda, yang membentuk oposisi dan

perbedaan pada tingkat semiotik. Perbedaan itu oleh Deleuze & Guattari (dalam

Piliang, 2011: 327) dibangun bukan untuk menunjukkan identitas, melainkan

sebagai perbedaan untuk perbedaan itu sendiri.

Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar

dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang. Orang yang mempunyai banyak modal,

baik modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik akan

melaksanakan upacara perkawinan anaknya melebihi dari yang sudah biasa

dilakukan orang lain. Hal ini dilakukan untuk menjaga posisi yang dimilikinya.

Seperti penuturan Tingkos, pada saat menikahkan anaknya tanggal, 8

Desember 2008. Tingkos bekerja di kantor Pekerjaan Umum Propinsi Bali. Beliau

sudah termasuh sebagai pimpinan di tempat dia bekerja. Selain mempunyai

pekerjaan yang bagus, Tingkos merupakan tokoh agama Kristen dan juga tokoh

adat bagi komunitas Batak. Dengan demikian Tingkos memiliki cukup modal baik

modal ekonomi, sosial dan modal budaya.

Page 127: perkawinan batak toba

127

Upacara adat perkawinan anaknya dilaksanakan di Restoran Hongkong

Garden. Pada saat itu biaya untuk konsumsi Rp. 125.000,- per orang, dan

undangan yang hadir sebanyak 800 orang sehingga biaya yang harus dikeluarkan

untuk makan sebanyak Rp. 100.000.000,-. Menurut pengakuan Tingkos, biaya

yang dihabiskan untuk upacara perkawinan anaknya mulai dari proses awal

sampai hari puncak sebanyak Rp. 400.000.000,-.

Selain upacara adat perkawinan yang dilakukan di Kota Denpasar, pihak

keluarga perempuan juga melakukan resepsi perkawinan anaknya di tempat

keluarga perempuan yaitu di Kota Balikpapan Kalimantan. Menurut penuturan

Tingkos yang juga hadir pada resepsi perkawinan anaknya di Kalimatan, biaya

yang dikeluarkan pihak keluarga perempuan diperkirakan lebih dari Rp.

100.000.000,-. Pihak perempuan masih melakukan acara resepsi perkawinan di

Balikpapan Kalimantan disebabkan banyak undangan pihak perempuan yang

tidak boleh hadir ke Kota Denpasar. Sebagai rasa kepuasan orang tua perempuan

akan upacara perkawinan anaknya, dan sekaligus mengumumkan bahwa puterinya

sudah melangsungkan upacara perkawinan di Kota Denpasar, maka resepsi juga

dilakukan di Kalimantan dengan mengundang banyak orang.

Menurut penuturan Tingkos bersama dengan isterinya, mereka

melaksanakan upacara perkawinan anaknya di Restoran Hongkong Garden agar

para undangan puas dan senang. Keluarga Tingkos merupakan keluarga yang

pertama sekali melaksanakan upacara perkawinan Batak Toba di Restoran

Hongkong Garden. Prinsip Tingkos dalam pelaksanaan upacara perkawinan

anaknya:

Page 128: perkawinan batak toba

128

“Segala bocoran tutup, unang adong kesempatan laho manghata. Ai molo

halak hita mura hian do manghata…sude do neang…tiba ma di ibana

ulaon…tong do sai adong na hurang. Usahahononton do ba…asa unang

dihata na deba iba. Pengalaman ni angka dongan naung marulaon….sai

adong do hata ni halak na so tabo begeon.”(Hindari segala cemoohan,

jangan ada kesempatan orang untuk mengeluarkan omongan kurang enak.

Kalau sama orang kita, sangat gampang menilai orang….semua

gampang…tiba waktu dia yang melakukan upacara…tetap aja ada yang

kurang. Kita berusaha agar jangan ada cemoohan orang. Pengalaman

teman yang sudah melangsungkan pesta….selalu ada omongan dari orang

luar yang tidak enak di dengar). (wawancara, 5 Desember 2014).

Penuturan ini menggambarkan bahwa Tingkos berusaha meminimalisir segala

omongan yang kurang menyenangkan saat anaknya melangsungkan upacara

perkawinan. Dia berusaha untuk menunjukkan kelasnya di antara komunitas

Batak yang ada di Kota Denpasar. Seperti yang dikatakan Featherstone (2008:

43), untuk tetap menjaga jarak, masyarakat kelompok atas tetap menginvestasikan

barang-barang (informasi) baru dengan tujuan untuk memapankan kembali jarak

masyarakat yang telah ada sebelumnya. Pemapanan jarak itu dilakukan dengan

pilihan konsumsi dan gaya hidup. Menurut Bourdieu (dalam Featherstone, 2008:

42) selera konsumsi dan praktik gaya hidup berkaitan dengan pekerjaan dan

kedudukan di tengah masyarakat. Posisi mapan yang sudah dimiliki Tingkos

selama ini perlu dipertahankan dengan gaya hidup yang ditampilkan dalam

upacara perkawinan.

Bagi komunitas Batak, apabila suatu keluarga yang mempunyai banyak

modal, tetapi pelaksanaan upacara adatdilaksanakan dengan sangat sederhana,

maka keluarga tersebut akan mendapat omongan yang tidak menyenangkan dari

teman sesamanya. Omongan yang sering didapatkan adalah sebutan keluarga

pelit, orang yang tidak tau menghormati hula-hula, dan juga keluarga yang tidak

Page 129: perkawinan batak toba

129

tau adat. Untuk meminimalisir sebutan seperti itu, maka Tingkos berusaha

melaksanakan upacara perkawinan anaknya dengan mewah. Tingkos

menunjukkan kelasnya dengan membuat suatu gaya hidup yang berbeda saat itu

bagi komunitas Batak.

Setelah Tingkos melakukan upacara perkawinan anaknya di Restoran

Hongkong Garden, komunitas Batak Toba yang ada di Kota Denpasar sudah

semakin banyak yang mengikuti gaya hidup Tingkos. Seperti yang dikatakan

Featherstone (2008: 43) masyarakat kelas bawah akan mengejar benda-benda

kebutuhan masyarakat atas. Demikian halnya bagi komunitas Batak Toba yang

ada di Kota Denpasar, Restoran Hongkong Garden bukan lagi hanya konsumsi

kelas atas tetapi juga sudah menjadi konsumsi masyarakat menengah.

Komunitas Batak Toba yang sudah banyak melangsungkan upacara

perkawinan di Restoran Hongkong Garden dan juga hotel lain mengakibatkan

gaya hidup orang kaya dan miskin dalam penggunaan tempat upacara perkawinan

tidak berbeda lagi. Untuk menunjukkan perbedaan, orang kaya membuat beberapa

gaya hidup seperti yang dilakukan keluarga Tulus pada saat pelaksanaan upacara

perkawinan anaknya pada hari Jumat, 25 April 2014.Tulus merupakan seorang

pengusaha yang sukses di Papua. Walaupun usahanya di wilayah Papua, namun

Tulus tetap memilih tinggal di Kota Denpasar.

Pada saat upacara perkawinan puterinya, Tulus membuat beberapa

perbedaan dengan yang sudah biasa dilakukan komunitas Batak Toba di Kota

Denpasar. Perbedaan-perbedaan yang dilakukan di antaranya, makan bersama

dengan sistem prasmanan sewaktu martumpol di gereja. Martumpol adalah acara

Page 130: perkawinan batak toba

130

ikat janji sebelum upacara pemberkatan nikah secara agama di gereja. Biasanya

komunitas Batak menyediakan lampet yaitu kue khas Batak sebagai makanan

ringan saat martumpol. Selain makanan, Tulus juga mendatangkan 5 orang artis

dari Jakarta sebagai penghibur dalam acara martumpol. Mendatangkan artis saat

martumpol merupakan hal baru bagi komunitas Batak Toba di Kota Denpasar.

Setelah selesai martumpol, kemudian dilanjutkan dengan upacara

perkawinan menurut agama Kristen. Biasanya setelah upacara perkawinan

menurut agama selesai, pada hari yang sama jugadilangsungkan upacara

perkawinan secara adat. Namun Tulus melakukan upacara perkawinan anaknya

secara agama berbeda waktu dengan pelaksanaan upacara perkawinan secara adat.

Pada saat upacara perkawinan secara agama dilakukan, Tulus mendatangkan para

keluarga dekatnya dari Tapanuli Sumatera Utara untuk menghadiri perkawinan

anaknya. Selain dari Tapanuli, Tulus juga mendatangkan teman kerja, para kolega

dan juga karyawannya dari Papua untuk menghadiri upacara perkawinan anaknya

secara agama Kristen di Kota Denpasar.

Menurut penuturan Tulus, upacara perkawinan secara gereja

dilangsungkan di Bali, sedangkan upacara perkawinan secara adat di Jakarta

adalah:“Agar semua kebagian, teman-teman di Bali kebagian secara gereja…

terus yang di Jakarta…secara adat, adil kan?” (Wawancara, 14 Desember

2014).Pernyataan ini mau menunjukkan gaya hidup Tulus di dua kota yaitu di

Kota Denpasar dan juga di Kota Jakarta. Seperti yang diutarakan Piliang (2011:

322), gaya hidup merupakan salah satu bentuk pembedaan sosial dalam kehidupan

masyarakat. Tulus menunjukkan pembedaan sosial di dua wilayah dengan

Page 131: perkawinan batak toba

131

melibatkan modal yang dia miliki. Dari segi biaya, dia mengeluarkan dua kali

lipat dari yang seharusnya, namun itu bukan masalah demi menunjukkan gaya

hidupnya.

Acara resepsi yang dilangsungkan di Restoran Hongkong Garden pada

tanggal 25 April 2014 dihibur artis Batak Toba dari Jakarta sebanyak 15

orang.Selain mendatangkan artis Batak Toba yang banyak dari Jakarta, Tulus juga

menyajikan makanan yang mewah bagi para undangan. Biaya makan yang

menggunakan paket dengan ruangan tempat pelaksanaan resepsi sebesar

Rp.300.000 per orang. Jumlah undangan yang hadir saat itu sebanyak 1.200

orang. Dengan demikian biaya hanya untuk makan pada saat resepsi sebesar Rp.

360.000.000,-.

Pada tanggal, 3 Mei 2014, keluarga Tulus dan juga keluarga pihak laki-

laki sepakat untuk melangsungkan upacara perkawinan anak mereka secara adat

Batak Toba di Jakarta. Alasan mereka mengadakan upacara adat di Jakarta

disebabkan para keluarga dekat dari kedua pihak (laki-laki dan perempuan) lebih

banyak tinggal di Jakarta. Agar para keluarga itu dapat menghadiri upacara adat

sehingga diadakan di Jakarta.

Pada saat upacara perkawinan secara adat yang dilangsungkan di Jakarta,

Tulus mendatangkan artis Batak sebanyak 100 orang, dan semuanya artis tersebut

dibayar dengan besaran honor yang berbeda. Besaran honor ditentukan dengan

kesenioran dan juga kepopuleran masing-masing artis. Informasi yang diperoleh

dari panitia, bahwa biaya untuk artis mulai dari tiket pesawat, penginapan

ditambah dengan honor berjumlah Rp. 400.000.000,-. Jika ditotal keseluruhan

Page 132: perkawinan batak toba

132

biaya upacara perkawinan anaknya mulai dari Kota Denpasar sampai biaya di

Jakarta diperkirakan menghabiskan biaya sebesar Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar

Rupiah).

Menurut penuturan Tulus,alasan mendatangkan begitu banyak artis saat

ucapara perkawinan puterinya:

“Mengundang artis satu hingga tiga orang kan sudah biasa, kita mau

memuaskan para undangan dengan hal yang baru. Yang di kampung kita

datangkan ke sini, kasihan mereka ….sudah capek kerja di kampung….ya

sekali-sekali kita undang jalan-jalan. Pesta ini kesempatan…ya sekalian

aja. Semua fasilitas kita tanggung….” (wawancara, 14 Desember 2014)

Penuturan Tulus yang menyatakan bahwa dia mengundang banyak artis untuk

menghibur undangan dengan tujuan agar para undangan senang. Sebenarnya

mendatangkan artis yang banyak bukan hanya sekedar menyenangkan undangan,

sebab jika tujuan untuk menyenangkan para undangan cukup hanya satu sampai

tiga orang saja. Namun Tulus melakukan hal yang lebih dengan mendatangkan

artis sampai bilangan 100 orang dengan tujuan untuk menunjukkan gaya hidupnya

berbeda dengan orang lain. Seperti yang dikatakan Bourdieu (dalam

Featherstone, 2008: 209), selera terhadap berbagai benda budaya berfungsi

sebagai tanda kelas. Masyarakat yang mempunyai modal banyak mempunyai

selera yang berbeda dengan masyarakat modal rendah. Mendatangkan artis

sebanyak tiga orang sudah biasa, Tulus membuat yang luar biasa sehingga modal

ekonomi yang sudah dia miliki selama ini bertambah dengan modal sosial yang

dia peroleh dari masyarakat.

Demikian juga mengenai keluarga yang didatangkan dari kampung

halaman untuk menghadiri upacara perkawinan anaknya di Kota Denpasar dan di

Page 133: perkawinan batak toba

133

Jakarta, bukan sekedar menyenangkan hati para keluarganya yang dari kampung

tetapi dia juga ingin menunjukkan siapa dirinya terhadap keluarganya dari

kampung. Seperti yang disebutkan Pelly (1994: 295) orang Batak mempunyai

misi budaya tentang daerah rantau sebagai perluasan kampung halaman untuk

mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi (sahala harajaon). Tulus mau menunjukkan

bahwa dia sudah berhasil melaksanakan misi budaya tersebut. Dia

menunjukkannya dalam pelaksanaan upacara perkawinan puterinya terhadap

keluarganya dari kampung dengan gaya hidup yang berbeda dengan komunitas

Batak lainnya.

Gaya hidup yang ditunjukkan komunitas Batak Toba dalam melaksanakan

upacara perkawinan untuk menunjukkan identitas, sekaligus melepaskan hasrat

untuk berbeda. Seperti yang dilakukan Tahan saat melangsungkan upacara

perkawinan puterinya secara keagamaan pada hari, Sabtu, 20 Desember 2014.

Puterinya melangsungkan upacara perkawinan keagamaan di kapel milik Hotel

The Mulia Nusa Dua.

Menurut penuturan Tahan untuk memilih kapel Hotel The Mulia sebagai

tempat pemberkatan perkawinan puterinya:

“Borunta siangkangan dison do tarpasu-pasu, jadi asa adil, adekna pe

tapatupa ma tong dison . Ai dos do gelleng…. dang mungkin beda-

bedahononhon. Undangan pe pasti do sungkun-sungkun tu iba molo dang

dison pinatupa ulaon on. Parengkelan ni halak ma iba molo gabe mundur

ulaon niba sian naung adong hian.”(Puteri yang pertama melangsungan

pemberkatan perkawinan juga di hotel ini, jadi biar adil adeknya pun juga

di sini. Anak itu kan semua sama ….tidak mungkin dibeda-bedakan. Para

undangan pun pasti akan bertanya-tanya apabila pesta ini tidak

dilangsungkan di sini. Orang akan menertawakan kita apabila pesta

menjadi menurun dari yang sudah pernah kita langsungkan). (wawancara,

21 Desember 2014).

Page 134: perkawinan batak toba

134

Penuturan ini menunjukkan bahwa Tahan mempunyai kasih sayang yang sama

terhadap anak-anaknya melalui tempat upacara perkawinan yang sama seperti

yang terlihat pada gambar 6.5. Namun jika ditelusuri lebih jauh, melangsungkan

pemberkatan perkawinan di Hotel The Mulia Nusa Dua bukan sekedar untuk

menunjukkan kasih sayang yang sama terhadap anak melainkan penunjukan gaya

hidup yang berbeda dari komunitas Batak umumnya. Hal ini sesuai dengan yang

dikatakan Bourdieu (dalam Piliang, 2011: 323), gaya hidup sebagai ruang gaya

hidup yang sifatnya plural. Dalam ruang tersebut masyarakat membangun

kebiasaan sosialnya. Demikian halnya keluarga Tahan yang sudah terbiasa

menunjukkan gaya hidupnya sangat berbeda dengan masyarakat kelas bawah.

Modal banyak yang sudah dimiliki Tahan membuat dia mempunyai selera yang

berbeda dengan masyarakat rendah, dengan demikian posisi yang sudah dicapai

Tahan selama ini semakin mantap di tengah komunitas Batak Toba.

Gambar 6.5

Melepasburung merpati sebagai tanda kesetiaan

(Dok. Mangihut Siregar, 2014)

Page 135: perkawinan batak toba

135

Pemilihan tempat untuk melaksanakan upacara perkawinan secara

keagamaan atau sering disebut pemberkatan perkawinan bukan sekedar bertujuan

menyenangkan anak dan undangan. Kalau tujuannya hanya untuk menyenangkan

anak dan undangan mengapa harus dilaksanakan di Bali? Para undangan harus

capek datang ke Bali meninggalkan keluarga dan juga pekerjaannya. Demikian

juga halnya tentang orang yang memimpin upacara perkawinan keagamaan,

mengapa harus Ephorus, begitu banyak pendeta HKBP yang lain yang berada di

sekitar Surabaya dan Bali, mengapa bukan mereka yang memimpin upacara

tersebut?

Di balik penuturan Tahan untuk menyenangkan anak dan para undangan,

sebenarnya tujuannya adalah untuk menunjukkan gaya hidupnya yang berbeda

dengan yang lain. Tahan melipatgandakan modal-modal yang dimilikinya

sehingga semakin mantap kemapanan posisi yang sudah dia miliki selama ini.

Posisi yang sudah mapan selalu dia jaga dengan membuat hal yang baru di dalam

pelaksanaan upacara perkawinan anaknya.

6.3 Budaya Populer

Budaya populer sangat berkaitan dengan konsumerisme sebab di dalam

budaya populer terkandung ideologi ekonomi kapitalis. Dalam ideologi kapitalis

kebudayaan diciptakan sebagai bagian dari logika pasar dan komoditi.

Kebudayaan dikonstruksi atas dasar prinsip perbedaan; penampilan, gaya, gaya

hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang cepat (Piliang, 2011: 415).

Untuk melihat budaya populer harus melalui praktik-praktik yang dilakukan

masyarakatnya bukan melalui teks-teks para pembaca (Fiske, 2011: 50).

Page 136: perkawinan batak toba

136

Budaya populer merupakan produksi budaya dengan nilai-nilai yang

dianggap rendah, bawah, murahan, vulgar, umum, dan rata-rata. Populer berkaitan

dengan kelompok massa atau masyarakat kebanyakan yang dikendalikan oleh

kelompok elit tertentu dengan sistem industri budaya. Budaya populer akan

mengancam keberadaan nilai-nilai dan ideologi yang masyarakat miliki dan akan

diganti oleh ideologi baru yaitu ideologi budaya populer.

Menurut Piliang (2011: 420), ideologi populer menggiring berbagai wacana

ke dalam bentuk pendangkalan, sifat permukaan, penampakan luar dan perayaan

citra. Ideologi ini merayakan citra ketimbang makna, kulit luar ketimbang isi,

penampilan ketimbang esensi, popularitas ketimbang intelektualitas. Oleh karena

itu ideologi popularitas menghambat pencerahan dan pencarian identitas sebab

masyarakat digiring ke dalam penampakan luar bukan kepada esensi.Pencarian

identitas menjadi persoalan dalam budaya populer sebab identitas individu dan

gaya hidup masyarakat dikonstruksi oleh kelompok elit tertentu (produser,

kapitalis, bintang) sebagai bagian dari industri dan komoditi budaya. Identitas

yang dikembangkan selalu identitas yang dikonstruksi secara sosial oleh elit

budaya, dengan demikian identitas otentik masyarakat menjadi hilang.

Budaya populer merupakan budaya yang diproduksi secara komersial dan

konsumermenerima saja tanpa berpikir hal itu akan berubah di waktu yang akan

datang. Budaya populer dipandang sebagai makna dan praktik yang dihasilkan

oleh audien pop pada saat konsumsi (Barker, 2004: 50). Konsumsi merupakan hal

yang penting sebab dalam budaya populer orang akan melihat bagaimana caranya

Page 137: perkawinan batak toba

137

menggunakan dan mengubah produk-produk industri menjadi budaya populer

yang melayani kebutuhan masyarakat (Barker, 2014: 211).

Menurut Hidayat (2012: 117), budaya populer mempunyai karakter khas

yaitu, bersifat massal, dangkal, mengedepankan penampakan ketimbang makna

dan kedalaman. Lebih menerima simbol status, prestise, penampilan dan gaya

ketimbang manfaat atau makna yang sebenarnya. Penampilan-penampilan seperti

ini dapat dilihat setiap hari dalam kehidupan masyarakat dalam hal, merek mobil,

merek hand phone, tempat belanja, tempat kecantikan, tempat makan yang

mengutamakan nilai tanda dan nilai simbol.

Pada kehidupan masyarakat di era postmodern, fenomena yang timbul

adalah tumbuhnya budaya populer. Masyarakat mementingkan nilai tanda dan

nilai simbol dari pada nilai guna dan nilai tukar. Orang lebih mementingkan

penampilan dari pada kedalaman, merayakan kesenangan dari pada kekhusukan,

mengutamakan gaya dari pada esensi.

Praktik budaya populer juga terjadi pada upacara perkawinan Batak Toba.

Hal ini dapat diamati melalui objek-objek yang dikonsumsi selama pelaksanaan

upacara perkawinan. Contoh-contoh itu berupa cenderamata, mobil pengantin,

baju pengantin,mendatangkan artis, dan lain-lain.

Cenderamata pada awalnya adalah sesuatu yang dibawa oleh seorang

wisatawan ke asalnya sebagai benda kenangan. Cenderamata sering juga disebut

souvenir, tanda mata, atau kenang-kenangan. Cenderamata dapat berbentuk, kaos,

dompet, topi, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Pada saat sekarang

cenderamatabukan hanya digunakan sebagai kenangan para wisatawan, dalam

Page 138: perkawinan batak toba

138

praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar, cenderamata menjadi

kebudayaan popular seperti terlihat pada gambar 6.6. Hampir semua upacara

perkawinan menggunakan cenderamata.

Gambar 6.6

Cenderamata yang akan dibagikan kepada para undangan

(Dok. Mangihut Siregar, 2014)

Komunitas Batak tidak mengenal cenderamata, yang ada adalah ulak ni

tandok.Ulak ni tandok merupakan benda yang diberikan kepada undangan yang

membawa padi atau beras di dalam tandok. Ulak ni tandok menjadi tanda ucapan

terimakasih berbentuk sepotong daging atau uang. Ulak ni tandok diberikan pada

saat acara adat sudah berjalan, di mana para undangan memasuki tempat upacara

adat.

Page 139: perkawinan batak toba

139

Pada praktiknya, ulak ni tandok tetap berjalan dalam upacara perkawinan,

demikian juga cenderamata. Bedanya, ulak ni tandok diberikan secara adat dan

orang yang berhak menerimanya adalah orang tertentu, sedangkan cenderamata

diberikan sebelum upacara adat dan yang berhak menerimanya tidak terbatas,

artinya kepada siapa saja yang hadir dalam upacara tersebut. Cenderamata seakan

menjadi keharusan yang tidak ada hubungannya dengan upacara adat melainkan

sekedar nilai tanda dan nilai simbol.

Demikian juga penggunaan mobil pengantin dalam upacara perkawinan.

Dari segi nilai guna, mobil pengantin digunakan sekitar 2 jam dan fungsinya

sebagai tranportasi. Dalam praktiknya, mobil pengantin bukan sembarang mobil,

biasanya yang digunakan adalah mobil yang bermerek BMW, Volvo, Alphart, dan

lain-lain yang mempunyai gengsi tinggi seperti yang terlihat dalam gambar 6.7.

Mobil pengantin yang terlihat dalam gambar adalah merek toyota alphart. Mobil

dalam hal ini bukan hanya berfungsi sebagai transportasi tetapi mempunyai nilai

tanda dan nilai simbol.

Page 140: perkawinan batak toba

140

Gambar 6.7

Mobil yang digunakanpengantin

(Dok. Mangihut Siregar, 2014)

Tanda mobil dalam gambar 6.7 sudah meninggalkan prinsip struktur yang

memandang segala sesuatu dibangun oleh sebuah struktur yang tetap, stabil,

berulang, mengikat, dan abadi. Penanda (signifier) mobil bukan hanya

mempunyai petanda (signified) transportasi tetapi sebagai gengsi. Seperti yang

diutarakan Piliang (2012: 251), tanda mempunyai karakter terbuka, dinamis,

subversif dan kontradiktif yang disebut dengan hipersemiotika. Mobil sudah

melebihi struktur tanda konvensional sebagai alat transportasi.

Hampir sama dengan mobil pengantin, baju pengantin yang digunakan

hanya dipakai satu hari. Karena modelnya yang dirancang khusus untuk baju

pengantin sehingga pemakaiannya sangat jarang. Biasanya keluarga pengantin

memakai baju pengantin pada saat upacara perkawinannya dan juga saat

Page 141: perkawinan batak toba

141

membawa anaknya dibabtis atau lepas sidi di gereja. Dengan demikian baju

pengantin sangat jarang digunakan.

Dalam praktiknya, baju pengantin menjadi budaya popular upacara

perkawinan Batak Toba. Baju pengantin perempuan digunakan sebanyak hitungan

jari dalam hidupnya tetapi harus dibeli dengan harga yang mahal. Bahan yang

digunakan biasanya adalah kain songket mulai dari harga satu juta sampai puluhan

juta. Tidak lazim bagi komunitas Batak Toba pengantin perempuan memakai baju

biasa melainkan harus baju khusus yang bermerek untuk digunakan pada saat

upacara perkawinan.

Dalam budaya konsumerisme, tanda-tanda sangat banyak melebihi (hiper)

sebagai bagian dari budaya komoditi dan budaya konsumerisme kapitalis. Budaya

dikonstruksi menjadi berbentuk dusta, ilusi, halusinasi, mimpi, kesemuan,

artifisial, kedangkalan, permukaan dikemas dalam wujud komoditi lewat strategi

hipersemiotika. Pada akhirnya, tanda itu menjadi suatu kepalsuan (Piliang, 2012:

58).Tanda baju pengantin bukan hanya mempunyai tanda melindungi tubuh dan

kecantikan, namun lebih dari tanda itu, baju pengantin juga menandakan simbol.

Demikian juga halnya mengenai artis yang fungsinya hanya hiburan. Setiap

pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba, jasa artis menjadi kebutuhan

primer. Komunitas Batak Toba dalam melaksanakan upacara perkawinan disuguhi

hiburan-hiburan yang hanya menyenangkan para undangan seperti yang terlihat

pada gambar 6.8. Dalam praktiknya dapat diamati saat pelaksanaan penyampaian

ulos dari pihak hula-hula kepada pengantin. Pada saat sekarang saat

Page 142: perkawinan batak toba

142

menyampaikan ulos nasehat-nasehat tentang berumah tangga dan juga doa

harapan para orang tua hilang diganti dengan hiburan.

Gambar 6.8

Artis Batak sedang menghibur para tamu

(Dok. Mangihut Siregar, 2014)

Menurut adat kuno, pihak hula-hula (dan seluruhrombongannya) sebelum

menyampaikan ulos kepada pengantin didahului nasehat dan doa pengharapan,

pada masa sekarang diganti dengan hiburan. Penuturan yang selalu dituturkan

pelaku adat saat memberikan ulos seperti di bawah ini:

“amang pande nami….na jinou manogot…pinataru botari…nang so

hudok…nunga diboto ho. Dison jongjong do hami rombongan ni hula-hula,

ro mangadopi gokhon dohot jou-jou ni pamoruon nami. Nuaeng naeng

pasathon ulos siganjang rambu, sibahen na las tu boru nami dohot hela

nami, bahen damang ma musik na hombar tu si”.(Hai para pemusik…yang

dipanggil pagi hari…dan dipulangkan sore hari…walau belum saya

ucapkan…engkau sudah mengerti.Kami bersama rombongan berada di sini

untuk menghadiri undangan boru kami. Sekarang kami mau menyampaikan

ulos kepada boru dan hela kami, tolong buatkan musik yang sesuai untuk hal

itu).(pengamatan, 29 Nopember 2014).

Page 143: perkawinan batak toba

143

Penuturan ini menggambarkan bahwa komunitas Batak Toba pada masa sekarang

menunjukkan penampilan luar saja.Seperti yang dikatakan Hidayat (2012: 117),

pada masa sekarang orang mempunyai karakter khas yaitu, bersifat massal,

dangkal, mengedepankan penampakan ketimbang makna dan kedalaman. Lebih

menerima simbol status, prestise, penampilan dan gaya ketimbang manfaat atau

makna yang sebenarnya. Makna penyampaian ulos pada masa sekarang bukan

untuk menasehati dan menyayangi lagi, namun yang diutamakan adalah

kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan semata.

Setelah penuturan itu, pemusik memainkan musiknya bersama lagu-lagu

yang menghibur. Ucapan selamat, nasehat, dan juga doa pengharapan disatukan

menjadi sebuah tarian. Makna mangulosi bergeser menjadi sebuah acara hiburan

semata. Kesuksesan upacara perkawinan diukur dari meriahnya pesta dan

kelihaian artis penghibur. Semakin top artis yang menghibur, semakin meriah

upacara perkawinan. Pelaksanaan upacara perkawinan yang didominasi hiburan

artis menunjukkan simbol status, prestise, penampilan dan gaya ketimbang

manfaat atau makna yang sebenarnya.

6.4 Media Massa

Media massa adalah sarana komunikasi massa di mana proses

penyampaian pesan, gagasan, atau informasi dilakukan kepada orang banyak

(publik) secara serentak.Menurut Barker (2014:165), media massa adalah

lembaga-lembaga komunikasi yang memproduksi dan mendistribusikan teks-teks

secara luas, dalam konteks lahir dan berkembangnya modernitas kapitalis. Fungsi

Page 144: perkawinan batak toba

144

media massa yaitu menyediakan informasi, hiburan, dan pendidikan. Media massa

dapat dipahami dalam terminologi teks,relasi antara teks dengan audiens, ekonomi

politik dan pola-pola makna budaya.

Dalam penyampaian pesan, media massa sering dilihat sebagai pihak yang

membawa selera publik hingga ke tingkat yang terendah demi memaksimalkan

rating sementara audiens merupakan kumpulan orang yang pasif menerima

mentah-mentah pesan yang disampaikan (Barker, 2014: 166). Hal seperti ini

sering terjadi apalagi masyarakat yang menjadi audiensnya masih dalam tingkat

pendidikan yang rendah. Semua informasi yang dikonstruksi oleh produsen

dikonsumsi secara mentah-mentah dan dianggap menjadi kebenaran yang mutlak.

Kaum produsen tidak menghiraukan pesan apa yang disampaikannya kepada

konsumen mendidik atau pembodohan yang penting ideologi kapitalisnya sampai

kepada tujuan.

Bahasa iklanyang menjadi bahasa komunikasi mempunyai struktur

bahasanya sendiri. Dalam iklan realitas dikonstruksi menjadi penipuan, dan

penipuan itu dilakukan melalui bahasa. Menurut Piliang (2012: 322), secara

struktural iklan terdiri dari tanda-tanda, yaitu unsur terkecil bahasa yang terdiri

dari penanda, yaitu gambar, foto, dan petanda, yaitu konsep atau makna yang ada

di balik penanda tersebut. Penanda-penanda tersebut dapat digunakan melukiskan

realitas dan sebaliknya juga dapat memalsukan realitas.

Lebih jauh dikatakan Piliang, dalam iklan biasanya terdapat tiga elemen,

yaitu gambar objek atau produk yang diiklankan, gambar benda-benda di sekitar

objek yang diiklankan, serta tulisan atau teks yang memberikan keterangan

Page 145: perkawinan batak toba

145

tertulis, yang satu sama lain saling mengisi dalam menciptakan ide, gagasan,

konsep atau makna sebuah iklan. Dalam iklan terdapat tingkatan-tingkatan makna

yang kompleks, mulai dari makna eksplisit, yaitu makna yang tampak atau

denotatif, serta makna lebih mendalam, yang berkaitan dengan pemahaman

ideologi dan kultural atau konotatif.

Iklan sangat efektif untuk mempengaruhi persepsi orang tentang sebuah

produk. Karena begitu efektifnya iklan untuk memasarkan sebuah produk melalui

cara mempengaruhi konsumen, perusahaan mau mengeluarkan biaya yang sangat

besar hanya untuk mengubah persepsi dan hasrat membeli masyarakat. Iklan

mempunyai hubungan timbal balik dengan perubahan masyarakat sendiri. Seperti

penuturan Lasma, dia sepakat dengan suaminya melangsungkan perkawinan di

Kapel Harrads Hotel:

“Hari itu kan …kita lihat di TV ada nikah… terus acaranya di kapel.

Ya…asyik juga ini, viewnya laut pikirku. Lalu…ngomong-ngomong sama

calon suami setuju juga. Kalau orang tua ma…awalnya tidak setuju, terus

kita jelasin…ya, akhirnya mereka menyetujui juga, soalnya kan …yang

menanggung biaya semuanya adalah suami saya, mau ngak mau orang tua

kita … ngikut aja.” (wawancara, 10 Desember 2014).

Penuturan Lasma menunjukkan bahwa dia bersama suaminya melaksanakan

upacara perkawinan di Kapel Harrads Hotel terpengaruh dengan media televisi.

Perilaku Lasma sesuai dengan yang dikatakan Piliang (2012: 328), dalam

masyarakat konsumer dewasa ini berkembang logika baru konsumsi, yang secara

mendasar mengubah model hubungan antara manusia dan objek atau produk. Di

dalam masyarakat, objek berkembang sedemikian rupa sehingga tidak lagi terikat

pada logika utilitas, fungsi dan kebutuhan, melainkan pada apa yang disebut

logika tanda dan logika citra. Orang pada saat sekarang membeli tanda, citra atau

Page 146: perkawinan batak toba

146

tema yang ditawarkan di balik sebuah produk, bukan lagi nilai utilitas produk

tersebut.

Masyarakat konsumer tidak dapat dipisahkan dengan ideologi kapitalisme

global. Kapitalisme global dibangun di atas iklim persaingan yang tinggi antara

perusahaan dan produser. Kebudayaan dikonstruksi atas dasar prinsip perbedaan;

penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang

semakin tinggi (Piliang, 2011: 416). Setiap orang dalam kelompok berusaha untuk

mencari nilai tambah (value added) dengan cara mengonsumsi barang-barang

yang berbeda dengan orang lain. Hal ini lebih banyak terdapat pada masyarakat

perkotaan walau masih dalam batas-batas yang masih dapat diterima oleh

kelompoknya (Abdullah, 2010: 36).

Dalam bukuSaya Berbelanja Maka Saya Ada Ketika Konsumsi dan Desain

Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme, Soedjatmiko (2008) menyatakan, seturut

perkembangan revolusi industri, orientasi produksi adalah menghasilkan barang

secara kuantitas sehingga ada istilah produksi massal. Produksi massal ditentukan

oleh produsen. Pada masa sekarang, memproduksi ditentukan oleh konsumen.

Apa yang diproduksi lebih ditentukan oleh apa yang ingin dikonsumsi. Manusia

merupakan makhluk yang bebas untuk mengonsumsi apapun. Melalui iklan

manusia ditawari apa yang dibutuhkan dan apa yang diharapkan sehingga terjadi

perubahan “wants” berubah menjadi “needs”, yang awalnya berbentuk keinginan

berubah menjadi kebutuhan.

Kebebasan manusia untuk mengonsumsi apa saja mengakibatkan

konsumsi sebagai bentuk identitas diri. Istilah yang disebut Haryanto Soedjatmiko

Page 147: perkawinan batak toba

147

“semakin aku mengonsumsi, semakin nyatalah jati diriku”. Konsumerisme

menjadi makna baru yaitu sebagai gaya hidup. Keunggulan konsumerisme sebagai

gaya hidup yaitu tidak memutlakkan kemampuan membeli seseorang pada masa

sekarang, manusia dapat mengonsumsi melalui bentuk kredit.

Kelebihan dari konsumerisme yaitu menawarkan kepada konsumen

berbagai kesempatan dan pengalaman. Sebelumnya konsumen belum menikmati

bahkan belum mengenal sesuatu objek tetapi dengan konsumerisme, manusia

berkesempatan untuk memilikinya. Di pihak lain konsumen digiring ke arah

tujuan yang telah ditentukan yaitu kepentingan kapitalis. Kondisi ini oleh

Soedjatmiko disebut paradoks konsumsi.

Dalam masyarakat kapitalis, kebaharuan sangat diperlukan untuk

mendefenisikan status sosial dalam masyarakat. Untuk itu suplai benda-benda

baru, mode baru, perebutan benda-benda bermerek sangat diperlukan. Kelas

bawah berlomba mengejar secara terus-menerus kelompok masyarakat atas,

sedangkan masyarakat kelompok atas akan terus menginvestasikan barang-barang

baru dalam upaya memapankan kembali jarak masyarakat yang sudah ada

sebelumnya (Featherstone, 2008: 43).

Kondisi yang berlomba-lomba untuk mengonsumsi benda-benda baru

mengakibatkan posisi kelas bawah semakin jauh jaraknya dengan kelas atas.

Kelas bawah berusaha mengejar kelas atas, sedangkan kelas atas berusaha

menjauhkan jarak dari kelas bawah. Seperti yang diutarakan Piliang (2011: 128)

bersamaan dengan berkembangbiaknya kapital, berkembang biak pula getaran-

getaran libido yang dihasilkan. Nilai guna barang dihubungkan dengan mesin

Page 148: perkawinan batak toba

148

hasrat, tidak untuk sekedar membebaskan hasrat tersebut, akan tetapi untuk

menciptakan hasrat baru lewat mesin hasrat di dalam pasar bebas, yang menuntut

pemuasan selanjutnya yang tanpa akhir.

Agar hasrat tetap terbangun, kaum kapital memanjakan konsumen dengan

majalah-majalah budaya-konsumen, surat-surat kabar, buku-buku, program

televisi dan radio yang menekankan perbaikan diri, transformasi pribadi,

bagaimana untuk mengelola hak milik, bagaimana untuk membangun gaya hidup,

dll. Untuk menyampaikan ideologi kaum kapitalis ini menurut Bourdieu (dalam

Featherstone, 2008: 43) perlu ada perantara budaya baru, yaitu mereka yang

terlibat dalam bidang media, desain, mode, periklanan, dan dalam berbagai bidang

pekerjaan informasi, mereka yang pekerjaannya memberikan pelayanan dan

produksi, pemasaran serta pengembangbiakan benda-benda simbolik.

Peran media massa dalam praktik upacara perkawinan Batak Toba sangat

besar sekali. Informasi-informasi yang disediakan kaum kapitalis melalui iklan-

iklan mengakibatkan budaya konsumerisme. Iklan-iklan yang mendominasi

pelaksanaan upacara perkawinan terlihat dalam hal:katering, salon kecantikan

pengantin bersama dengan mobil pengantin dan bunga hias, sound sistem, musik

dengan penyanyi, tempat pelaksanaan upacara perkawinan, dan lain-lain.

Untuk mendapatkan informasi yang cukup lengkap, kaum kapitalis

menyediakan berbentuk majalah konsumen, surat kabar, buku-buku, iklan di

radio, iklan di televisi, dan informasi dari mulut ke mulut. Kapitalis menawarkan

pilihan-pilihan dengan sistem paket. Konsumen terperangkap dengan ideologi

kapitalisme yaitu mengonsumsi produk kaum kapitalis dengan prinsip perbedaan;

Page 149: perkawinan batak toba

149

penampilan, gaya, gaya hidup yang selalu dibuat berubah dengan tempo yang

semakin tinggi (Piliang, 2011: 416).

Komunitas Batak Tobasemakin konsumeris dalam melaksanakan upacara

adat perkawinan akibat dukungan media massa. Media massa mempublikasikan

produk-produk kapitalis yang tersedia di Kota Denpasar. Kota Denpasar sebagai

kota dunia memberi peluang yang cukup besar bagi komunitas Batak Toba untuk

mengkonsumsi objek yang ditawarkan. Seperti yang dikatakan Abdullah (2010:

36), setiap orang dalam kelompok berusaha untuk mencari nilai tambah (value

added) dengan cara mengkonsumsi barang-barang yang berbeda dengan orang

lain, hal ini lebih banyak terdapat pada masyarakat perkotaan.

Kota Denpasar yang dipenuhi dengan objek-objek konsumsi didukung

oleh media massa mengakibatkan komunitas Batak Toba berperilaku

konsumerisme. Perilaku konsumerisme menjadi budaya komunitas Batak Toba

dalam upacara perkawinan salah satunya diakibatkan hasil konstruksi media

massa. Media massa menjadi sumber rujukan bagi komunitas Batak Toba di Kota

Denpasar untuk membuat pilihan-pilihan konsumsi demi menunjukkan

identitasnya.

6.5 Kurangnya Pemahaman Tentang Makna Upacara Perkawinan Batak

Toba

Upacara perkawinan Batak Toba merupakan hal yang sangat penting

karena melalui upacara ini seseorang boleh memasuki adat dalihan na tolu, seperti

yang sudah dijelaskan sebelumnya pada Bab I dan Bab V. Melakukan upacara

Page 150: perkawinan batak toba

150

perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk masuk ke dalam dalihan na tolu.

Masuk menjadi anggota dalihan na tolu merupakan cita-cita setiap orang Batak

sehingga dirinya dapat disebut sebagai orang Batak yang sempurna secara adat.

Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar secara

umum dilakukan dengan prinsip ikut-ikutan. Seperti penuturan Bonar, salah

seorang keluarga yang baru melangsungkan upacara perkawinan anaknya.

menurut penuturan Bonar, dia melaksanakan itu dengan prinsip:

“Eme na masak digagat ursa, ia i na masa, ba ima ni ula. Molo so niihuthon

na masa songon na binahen ni dongan, didok iba paasing-asingkon. Anggo

didok rohangku hian ndang pola songon i bahenon, alai angka dongan tubu

mandok songon i… niihuthon ma. Iba hurang mangantusi do di adat, jadi

pinasahat ma sude tu angka dongan tubu. Boha didok nasida, iba selalu

manolopi ma.”(Melakukan sesuatu karena orang lain sudah melakukan

demikian. Kalau tidak diikuti, malu disebut ketinggalan zaman. Kalau

menurut saya bukan begini yang dilaksanakan,tetapi para dongan tubu

mengatakan demikian…kita ikut aja. Saya kurang mengerti adat, sehingga

seluruh pelaksanaan upacara ini kita serahkan kepada dongan tubu.

bagaimana baiknya menurut mereka, saya menyetujui aja).(wawancara, 18

Desember 2014).

Penuturan ini menunjukkan bahwa Bonar melakukan bentuk upacara adat seperti

yang sudah dilakukannya hanya untuk menghindari rasa malu. Mengapa dia

lakukan begitu, apa tujuannya, dia sendiri tidak mengerti namun tetap

dilakukannya.

Prinsip melakukan sesuatu karena ikut-ikutan atau kekurang pahaman

sering terjadi dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba sehingga

mengakibatkan konsumerisme. Komunitas Batak Toba melakukannya tidak

paham akan makna yang dilakukannya serta relevansinya dengan upacara

perkawinan. Mereka melakukannya disebabkan manusia sekitar melakukan hal

Page 151: perkawinan batak toba

151

yang demikian. Upacara perkawinan dianggap pemberian(given) bukan hasil

konstruksi sehingga untuk mempertanyakan kebiasaan menjadi hal yang tabu.

Praktik melaksanakan sesuatu atas dasar ketidakpahaman sama halnya

dengan melakukan pekerjaan yang sia-sia. Mereka melakukan hanya sebatas kulit

luarnya saja atau lebih populer sebagai gaya hidup dan bukan esensi dari pada

upacara perkawinan itu sendiri. Akibatnya komunitas Batak Toba jatuh ke dalam

budaya konsumerisme.

Menurut Piliang (2011: 416), budaya konsumerisme adalah budaya

konsumsi yang ditopang oleh penciptaan diferensi secara terus menerus lewat

penggunaan objek-objek komoditi. Objek yang dikonsumsi didorong oleh logika

hasrat dan keinginan bukan berdasarkan kebutuhan seperti terlihat pada gambar

6.9. Dalam budaya konsumerisme diciptakan rasa ketidakpuasan abadi sehingga

manusia dikonstruksi akan perasaan yang selalu kurang, tidak lengkap akan

kepemilikan objek sehingga manusia selalu didorong menjadi masyarakat

konsumer.

Page 152: perkawinan batak toba

152

Gambar 6.9

Suasana ruangan restoran Hongkong Garden yang digunakan

tempat melangsungkan upacara perkawinan

(Dok. Mangihut Siregar, 2014)

Masyarakat konsumer menurut Piliang (2011) adalah masyarakat tontonan, yaitu

masyarakat yang ingin selalu mempertontonkan penampilannya secara narsistik

kepada orang lain. Dengan menunjukkan penampilannya, manusia menemukan

eksistensinya di tengah masyarakat. Kehidupan manusia dikondisikan agar selalu

berpindah dari satu hasrat ke hasrat yang lain. Manusia dikonstruksi untuk

mengikuti arus produksi dan reproduksi hasrat dengan mengkonsumsi tanda, citra,

dan benda-benda yang dimodifikasi secara terus menerus.

Komunitas Batak ingin mempertontonkan praktik upacara perkawinan

yang dia lakukan demi menemukan eksistensinya. Selain sebagai masyarakat

tontonan, mereka juga ingin menonton orang lain untuk mengetahui hal yang baru

dipertontonkan. Mereka menonton orang lain tanpa mengerti mengapa orang lain

Page 153: perkawinan batak toba

153

tersebut mengonsumsi objek yang baru ditonton. Dari tontonan tersebut mereka

menirunya dan mempertontonkannya kepada yang lain tanpa mengerti apa makna

dari yang dipertontonkan. Ketidakmengertian akan hal yang baru mereka tonton

dan mereka tiru lalu dipertontonkan kepada orang lain. Kebaharuan perlu

diketahui untuk menunjukkan eksistensi diri. Keinginan menonton dan ditonton

mengakibatkan pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba semakin hari

semakin konsumerisme.

6.6 Kurangnya Transmisi Budaya kepada Generasi Muda

Transmisi budaya adalah penyebaran atau pewarisan pesan dari satu

generasi ke generasi berikutnya secara estafet. Transmisi budaya merupakan cara

manusia untuk menjaga budayanya sehingga tetap lestari. Pewarisan budaya ini

bukan sekedar menyampaikan atau memberikan sesuatu yang berbentuk material,

tetapi jauh lebih penting adalah menyampaikan nilai-nilai yang dianggap terbaik

dan menjadi pedoman yang baku dalam suatu masyarakat.

Untuk melakukan transmisi budaya, masyarakat kuno secara umum

melakukannya dengan bahasa lisan, sedangkan dengan tulisan sangat terbatas

sekali. Menurut Abdullah (2009: 58) pada kehidupan sekarang ini sistem nilai

tradisional mulai digantikan oleh sistem nilai modern sehingga sistem referensi

tidak lagi berkiblat pada tradisi melainkan nilai-nilai modernitas dengan logika

yang berbeda. Nilai tradisional yang ada di masyarakat sebelumnya digantikan

oleh tradisi dalam TV.

Page 154: perkawinan batak toba

154

Hilangnya tradisi masyarakat menurut Abdullah dapat terjadi karena tiga

hal yang saling berkaitan: (1). Proses transformasi keluarga tradisional ke modern

dengan nilai-nilai dan hubungan-hubungan sosial yang berubah. Hubungan

emosional seseorang terganti dengan kehadiran media dan barang-barang

elektronik, sehingga anak bukan lagi pewaris tradisi melainkan wakil dari sebuah

tradisi yang jauh lebih besar yaitu alat kekuasaan baru yang mengendalikan sistem

sosial dan moral; (2). Berubahnya tata nilai dalam masyarakat di mana kehidupan

bukan hanya melanjutkan naluri masa lalu, tetapi menjadi arena negosiasi

berbagai tata nilai yang tidak hanya lokal, nasional tetapi juga bersifat global; (3).

Lemahnya peran pusat-pusat kebudayaan sebagai pengendali dan pewaris sistem

nilai. Pusat-pusat kebudayaan itu termasuk institusi adat dan keagamaan.

Seperti penuturan Bonar, semua anaknya yang sudah lahir dan besar di

Kota Denpasar tidak suka untuk mengikuti upacara perkawinan Batak Toba.

Alasan anak-anaknya tidak suka mengikuti upacara perkawinan: “Bosan kalau

ikut ke pesta, dari pagi sampai malam itu..itu saja. Sudah bahasanya kita ngak

ngerti,…tidak efisien, pemborosan dan membosankan”. (Wawancara, 27

Desember 2014). Penuturan ini memperlihatkan bahwa kalangan muda komunitas

Batak Toba kurang tertarik akan pelaksanaan upacara perkawinan. Mereka

menginginkan yang efisien baik dari segi ekonomi apalagi dari segi waktu.

Upacara perkawinan yang dilakukan selama ini mereka pandang pemborosan.

Mereka tidak mengerti makna-makna yang terkandung dalam upacara tersebut

karena diperankan dalam bahasa daerah.

Page 155: perkawinan batak toba

155

Bahasa seperti yang dikemukakan Barker (2004: 171) adalah alat untuk

mengerti konsep kedirian dan identitas seseorang. Manusia belajar menggunakan

bahasa yang telah digunakan sebelumnya dalam konsteks hubungan sosial dengan

orang lain. Seseorang terbentuk sebagai individu dalam masyarakat melalui

bahasa yang dimiliki secara bersama.

Pengetahuan yang kurang dengan bahasa daerah menjadikan para pemuda

Batak Toba yang lahir di kota tidak tertarik untuk mewarisi upacara perkawinan

Batak Toba. Mereka mau mengikuti upacara perkawinan hanya sekedar melihat

hiburan yang disuguhkan para artis dan juga keindahan-keindahan yang tersedia

dalam upacara tersebut.Para pemuda Batak terlena dengan keterpesonaan hiburan,

kemeriahan acara tanpa mengerti makna upacara perkawinan itu sendiri.

Selain pengetahuan bahasa yang kurang, gaya hidup para pemuda sudah

dipengaruhi hidup di kota. Hidup di kota dipenuhi dengan informasi digital

sehingga komunikasi antar manusia tidak lagi berlangsung secara alamiah tetapi

lewat mediasi teknologi digital. Interaksi secara tatap muka diganti dengan

interaksi yang diperantarai oleh media seperti komputer, internet dan telepon

seluler. Memori alamiah pikiran seperti rasa (sense), perasaan (feeling) sekarang

diambil alih oleh komputer, mesin pengingat, catatan elektronik, atau agenda

digital (Piliang, 2011: 231).

Manusia kota sebagaimana yang diutarakan Piliang, hidup dalam skala

global. Manusia kota global mempunyai ciri-ciri: (1). Manusia ekonomi, artinya

segala hubungan diukur berdasarkan prinsip kalkulasi ekonomi; (2). Manusia

individualis, yaitu yang mementingkan ego dari kolektivitas; (3). Manusia

Page 156: perkawinan batak toba

156

kecepatan, dunia kehidupan dikuasai oleh waktu dan kecepatan; (4). Manusia

Tipe-A yaitu, manusia yang memperpendek durasi kehidupan dan

menggabungkan beberapa unsurnya menjadi satu; (5). Manusia digital, yaitu

manusia yang mengurangi komunikasi face to face tetapi cenderung bersifat

elektronis dan digital; (6). Manusia penyendiri, yaitu manusia yang mengalami

kesendirian di tengah keramaian karena tidak berdialog dengan manusia lain; (7).

Manusia kebendaan, yaitu manusia yang dikuasai oleh materi; (8). Manusia tanda,

kepemilikan objek sebagai tanda mendefenisikan status sosial seseorang; (9).

Manusia citraan, manusia kota berlomba-lomba menjadi citraan untuk

menemukan eksistensinya; dan (10). Manusia informasi, manusia di kota sangat

menggantungkan diri pada keberadaan informasi baik radio, TV, dan internet.

Pemuda komunitas Batak yang tinggal di Kota Denpasar menjadi pemilik

budaya kota global. Mereka tidak menginginkan suatu kegiatan yang tidak

menguntungkan secara ekonomi, sehingga segala sesuatu mempunyai hitungan

yang sangat rinci. Praktik seperti ini sangat bertentangan dengan upacara

perkawinan Batak Toba, sebab dalam upacara perkawinan tidak ada perhitungan

secara ekonomi. Segala sesuatu dilakukan secara bersama dan peran masing-

masing sesuai dengan prinsip dalam dalihan na tolu.

Akibat kekurangtertarikan para pemuda Batak untuk mempelajari adatnya

mengakibatkan transmisi budaya seakan terputus. Keterputusan transmisi ini

sering terjadi dalam pelaksanaan upacara saat sekarang di mana pemeran dari

upacara tersebut diambil dari orang lain. Orang lain yang dimaksudkan adalah

orang yang tidak punya hubungan dalam upacara tersebut, tetapi karena orang

Page 157: perkawinan batak toba

157

yang sepatutnya memerankannya tidak mengetahuinya sehingga terpaksa

diperankan orang lain. Contoh peran ini adalah parhata, yaitu orang yang

mengatur prosesi upacara adat mulai dari awal sampai akhir.Peran parhata di

daerah perkotaan sering digantikan orang yang tidak berkaitan dengan dalihan na

tolu pemilik upacara perkawinan. Parhata terpaksa “dibeli” untuk mengatur

pelaksanaan upacara adat agar dapat berjalan dengan baik.

Kurangnya transmisi budaya ini berdampak pada konsumerisme karena

para keluarga muda atau generasi penerus kurang mengetahui makna-makna

upacara perkawinan tersebut. Para keluarga muda atau keluarga yang sudah lahir

di kota melaksanakan upacara tersebut hanya dengan tujuan boleh masuk ke

dalam dalihan na tolu. Pemahaman yang demikian mengakibatkan pelaksanaan

upacara perkawinan dilakukan hanya dengan simbolisasi, asal-asalan, kesenangan

tanpa mengetahui esensi upacara yang sebenarnya.

Page 158: perkawinan batak toba

158

BAB VII

IMPLIKASI KONSUMERISME DALAM UPACARA PERKAWINAN

BATAK TOBA DI KOTA DENPASAR

Secara umum implikasi adalah akibat langsung atau konsekuensi dari

sesuatu. Dalam hal ini, implikasi yang terjadidari konsumerisme dalam upacara

perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar yaitu menguatnya individualisme,

menguatnya materialisme, dan menguatnya globalisme.

7.1 Menguatnya Individualisme

Individualisme merupakan sifat manusia yang melihat kepentingan

individu di atas kepentingan sosial. Manusia mementingkan keegoannya daripada

kolektivitas, mencintai diri sendiri dibanding masyarakat. Semangat kolektivisme

diganti dengan semangat individualisme (Piliang, 2011: 232). Semangat

individualisme perlu ditunjukkan untuk memperjelas eksistensi seseorang dalam

hidupnya. Dalam hidup individualisme, gaya hidup, selera, citra seseorang

dipertontonkan melalui barang-barang konsumer untuk menemukan makna

kehidupan.

Individu dalam budaya konsumen menurut Featherstone (2008: 205)

disadarkan dengan objek yang dikonsumsi. Kesadaran ini berlaku kepada semua

kalangan baik kaum muda dan kaum tua; kaya dan miskin; laki-laki dan

perempuan. Mereka mencari pengalaman baru dan yang terbaru dalam hidupnya

yang harus dihidupi dan harus bekerja keras untuk menikmati, mengalami dan

mengekspresikannya.

Page 159: perkawinan batak toba

159

Perbedaan gaya hidup seseorang dapat diamati dari praktik selera akan

objek yang dikonsumsi. Menurut Bourdieu (dalam Featherstone, 2008: 204) selera

akan berbagai benda budaya berfungsi sebagai tanda kelas. Orang yang

mempunyai banyak modal mempunyai selera yang berbeda dengan yang memiliki

modal sedikit. Modal mempunyai peranan penting dalam selera konsumsi.

Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dipengaruhi

oleh banyaknya modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolis) yang dimiliki para

pelaku. Semakin banyak modal yang dimiliki semakin tinggi selera konsumsi

yang dilakukan. Seperti yang dilakukan Tulus sewaktu melangsungkan upacara

perkawinan puterinya pada tanggal 25 April 2014. Menurut penuturan Tulus

seperti yang sudah diuraikan pada Bab VI, mereka menghabiskan biaya sampai 3

milyar rupiah hanya untuk melakukan upacara perkawinan puterinya. Tulus mau

menghabiskan dana sebesar itu dengan alasan:

“Nunga sude mananda iba di Bali on, angka dongan pe godang do na di

Jakarta, Papua, dohot na di bona pasogit. Sapala na marpesta ingkon las

do roha ni angka na ginokhon. Jala…. ndang mungkin pilit-pilliton angka

dongan, ingkon sude do nasida undangon.Anggo masalah biaya do

…martupa doi muse, siluluan do hepeng.” (Saya sudah terkenal di Bali ini,

teman-teman banyak di Jakarta, Papua, dan juga di kampung halaman.

Prinsip saya, kalau melakukan pesta, para undangan harus puas. Kemudian

…. Tidak mungkin para rekan-rekan dipilih-pilih, harus semua mereka kita

undang. Kalau masalah biaya…pasti ada jalan keluarnya, uang ada kalau

dicari). (wawancara, 12 Desember 2014).

Ungkapan ini menunjukkan bahwa Tulus merupakan orang terkenal baik di

kalangan komunitas Batak maupun para pejabat di Bali, Jakarta, Papua dan di

daerah asalnya. Untuk menunjukkan kelasnya terhadap semua undangan, Tulus

membuat gaya hidup sendiri.Tulus tidak memikirkan implikasi yang dilakukannya

terhadap komunitas Batak Toba secara umum di Kota Denpasar. Dia hanya

Page 160: perkawinan batak toba

160

memikirkan dirinya sendiri, karena dia mampu sehingga Tulus mengonsumsi

secara berlebihan. Seperti yang dikatakan Featherstone (2008: 207), dalam budaya

konsumen sifat individualis selalu dianjurkan. Sifat individualis ini perlu untuk

melakukan diferensiasi, untuk mendorong permainan perbedaan dan akhirnya

disahkan secara sosial. Gaya dan individualitas merefleksikan selera dan kelas

seseorang dalam masyarakat. Individualisme perlu dilestarikan untuk mengejar

perbedaan dengan individu lain dan juga kelompok lain.

Dalam budaya konsumerisme seperti yang diutarakan Piliang (2011: 251)

konsumsi bukan hanya sebagai lalu lintas kebudayaan benda, tetapi lebih dari situ

konsumsi menjadi sebuah panggung sosial, yang di dalamnya terjadi perebutan

makna-makna sosial dan perang posisi di antara masing-masing anggota yang

terlibat. Tulus melakukan hal yang baru dan berbeda dari komunitas Batak

umumnya untuk tetap mempertahankan posisi terhormat yang sudah

disandangnya selama ini. Dia mengakumulasi modal yang sudah dimiliki

(ekonomi dan sosial) dan mendapatkan penambahan modal budaya.

Praktik upacara perkawinan yang dilakukan Tulus berimplikasi kepada

upacara-upacara selanjutnya. Seperti yang dikatakan Veblen (dalam Wiedenhoft,

2012: 825), kelas atas menggunakan konsumsi berlebihan untuk membuat

perbedaan dengan kelas di bawahnya sedangkan kelas bawah meniru konsumsi

kelas yang di atasnya. Dorongan untuk meniru ini oleh Veblen mengakibatkan

efek mengalir ke bawah. Kelas atas menjadi penentu konsumsi, kelas bawah

berusaha mengejar konsumsi kelas atas. Kesamaan tidak tercapai karena kelas atas

selalu memilih objek baru untuk membedakannya dengan kelas di bawahnya.

Page 161: perkawinan batak toba

161

Pertarungan posisi melalui konsumsi bukan hanya terjadi dalam kelompok

atau kelas tetapi juga dalam masing-masing individu. Masing-masing

mempertontonkan kebaharuan dan perbedaan dalam objek konsumsi. Kesamaan

dan kebersamaan dihindari untuk menunjukkan identitasnya. Budaya individualis

merupakan implikasi dari budaya konsumerisme.

Budaya konsumerisme sangat berkaitan dengan tempat tinggal masyarakat

yang ditempati. Pada masyarakat yang sangat tradisional belum mengenal budaya

konsumerisme, namun masyarakat yang sudah dimasuki modernisasi apalagi yang

tinggal di perkotaan, konsumerisme menjadi kebudayaan. Hal ini terjadi

disebabkan karena di daerah perkotaan ruang-ruang atau fasilitas-fasilitas untuk

konsumsi secara terus menerus dibangun. Para kaum kapitalis bersaing secara

ketat untuk memajukan perusahaannya. Ujung tombak yang digunakan kapitalis

yaitu iklan, teknologi kemasan, pameran, media massa, diferensiasi produk, dan

lain-lain.

Masyarakat konsumen menjadikan objek-objek konsumsi bukan sekedar

memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar) seperti yang dikatakan oleh

Mark. Menurut Marx objek mempunyai dua nilai dasar yaitu, nilai guna (use-

value) dan nilai tukar (exchange-value).Nilai guna adalah nilai yang secara

alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan kegunaan atau manfaat, setiap

objek memiliki manfaat atau kegunaan bagi kepentingan manusia. Nilai tukar

adalah nilai yang diberikan kepada obejk-objek produksi berdasarkan ukuran nilai

gunanya. Dalam masyarakat kapitalis, menurut Marx, setiap objek adalah

komoditas yang memiliki nilai guna dan nilai tukar.

Page 162: perkawinan batak toba

162

Berpijak dari pendapat Marx, Baudrillard (dalam Hidayat, 2012: 61)

berpendapat dua nilai yang dimiliki objek yaitu nilai guna dan nilai tukar sudah

berganti menjadi nilai tanda dan nilai simbol. Melalui objek-objek atau

komoditas-komoditas itu seseorang yang hidup dalam masyarakat konsumen

menemukan makna dan eksistensi dirinya. Dengan demikian fungsi utama dari

objek-objek konsumen bukan lagi hanya dalam kegunaan atau manfaat, tetapi

lebih dari situ adalah nilai tanda atau nilai simbol yang disebarluaskan melalui

iklan-iklan gaya hidup di berbagai media.

Baudrillard menyatakan, bahwa mekanisme sistem konsumsi pada

dasarnya berangkat dari sistem nilai tanda dan nilai simbol, dan bukan karena

kebutuhan atau hasrat mendapatkan kenikmatan. Dari pernyataan ini, Baudrillard

bukan bermaksud menafikan pentingnya kebutuhan. Namun Baudrillard mau

menekankan bahwa dalam masyarakat konsumen, konsumsi sebagai sistem

pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan semata atau hasrat mendapat

kenikmatan namun lebih dari fungsi itu adalah seperangkat hasrat untuk

mendapatkan kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme

penandaan (Hidayat, 2012: 62).

Seperti penuturan Lamhot sewaktu melaksanakan upacara perkawinan

pada hari Sabtu, 29 Desember 2014 di hotel Inna Bali Beach. Lamhot sudah

berkeluarga sekitar 20 tahun silam. Secara gereja, mereka sudah melaksanakan

upacara perkawinan, namun dari sudut adat Batak Toba belum sah diterima

sebagai anggota keluarga dalihan na tolu karena belum melangsungkan upacara

adat perkawinan. Upacara perkawinanan secara agama mempunyai selang waktu

Page 163: perkawinan batak toba

163

begitu lama dengan pelaksanaan upacara perkawinan secara adat karena ketidak

sepakatan antara pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.

Setelah adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak (keluarga pihak

laki-laki dan keluarga pihak perempuan), akhirnya upacara perkawinan diadakan

pada hari Sabtu, 29 Nopember 2014. Biaya upacara perkawinan secara adat

ditanggung oleh Lamhot dan dibantu oleh saudara-saudara dekatnya. Lamhot

merupakan wirausahawan yang cukup berhasil sehingga dia sanggup untuk

membiayai upacara perkawinannya. Sewaktu ditanyakan mengapa baru sekarang

melangsungkan upacara perkawinan, jawaban Lamhot:

“Selama ini ngak kepikir untuk urusan adat, kita kira.… kalau sudah

selesai pemberkatan secara gereja, ya… sudah cukuplah. Ternyata utang

adat sama hula-hula belum selesai. setiap kita mengikuti undangan orang

Batak, teman-teman selalu menyinggung adat kita… kapan

melangsungkan adat? ya…kadang minder juga kita. Sekarang pikiran kita

sudah plonglah…. utang adat sudah beres.” (wawancara, 2 Januari 2015).

Penuturan Lamhot menunjukkan bahwa sebenarnya dia tidak begitu

menginginkan untuk melangsungkan upacara perkawinan secara adat. Namun

kendala yang dihadapi dalam pergaulan sehari-hari sesama komunitas Batak Toba

karena ketidakmasukan Lamhot dalam dalihan na tolu sehingga dengan terpaksa

harus dilakukan upacara perkawinan tersebut. Satu-satunya cara untuk masuk

dalam dalihan na tolu seperti yang diutarakan Siahaan (1982: 58), harus

melangsungkan upacara perkawinan secara adat.

Awalnya upacara perkawinan secara adat tidak begitu penting bagi

Lamhot, namun pelaksanaannya dilakukan dengan cukup mewah. Kemewahan ini

terlihat seperti yang sudah dijelaskan pada Bab V tentang upacara perkawinan

Lamhot. Mereka mendatangkan artis tiga orang dari Jakarta ditambah M.C. total

Page 164: perkawinan batak toba

164

biaya sudah Rp. 120.000.000,- hanya untuk penghibur. Biaya untuk makan 600

orang sebesar Rp. 150.000.000,-. Menurut penuturannya, total biaya yang

dihabiskan pada upacara perkawinan tanggal 29 Nopember 2014 sebesar Rp.

480.000.000,-

Biaya yang dikeluarkan Lamhot untuk upacara perkawinannya sebesar Rp.

480.000.000,- seharusnya boleh lebih murah sebab ada beberapa urutan upacara

tidak dilakukan lagi. Hilangnya beberapa urutan upacara disebabkan keluarga

Lamhot sewaktu melakukan upacara perkawinan sudah lebih dahulu mempunyai

anak (gabe) artinya bukan baru kawin tetapi sudah lama berkeluarga namun

belum melakukan upacara adat. Dalam budaya Batak Toba, keluarga yang sudah

lama berkeluarga (gabe) upacara adatnya disebut pasahat sulang-sulang

pahompu. Sedangkan keluarga yang baru menikah dan langsung mengadakan

upacara perkawinan secara adat tanpa terlebih dahulu memiliki anak disebut

mangadati.

Tahapan yang hilang dalam upacara pasahat sulang-sulang pahompu

adalah, marhata sinamot yaitu membicarakan jumlah mahar yang akan diberikan

pihak laki-laki ke pihak perempuan; marsibuhabuhai, yaitu acara makan bersama

pada waktu pagi hari sambil berdoa di rumah keluarga perempuan sebelum

upacara perkawinan dilakukan; paulak une yaitu keluarga laki-laki mendatangi

pihak perempuan menyatakan bahwa puterinya sudah cocok sebagai isteri

anaknya, tingkir tangga yaitu pihak keluarga perempuan mendatangi keluarga

pihak laki-laki untuk mengenal rumah puterinya yang baru kawin. Keempat acara

tersebut (marhata sinamot, sibuhabuhai, paulak une, dan tingkir

Page 165: perkawinan batak toba

165

tangga)memerlukan biaya yang cukup besar. Namun Lamhot tidak perlu

melakukan keempat acara tersebut sebab dia sudah gabe(sudah punya anak)

sebelum melangsungkan upacara perkawinan.

Lamhot dalam melangsungkan upacara perkawinannya disebut pasahat

sulang-sulang pahompu. Acara pasahat sulang-sulang pahompubiasanya

dilakukan secara sederhana dan dihadiri undangan yang tidak begitu banyak,

namun Lamhot mengadakan upacara perkawinan tetap meriah. Berdasarkan hasil

wawancara, Lamhot bersama isterinya melakukan dengan meriah dengan alasan:

“Kami sangat senang sudah selesai pesta kawin, biaya yang habis itu bukan

masalah. Uang gampang dicari….. yang penting kita sama seperti yang lain

sebagai orang Batak penuh” (wawancara, 2 Januari 2015). Ungkapan Lamhot ini

merupakan kepuasan hatinya setelah selesai melangsungkan upacara perkawinan

secara adat. Dia tidak mempermasalahkan berapa pun biaya yang dihabiskan demi

identitas dirinya sebagai orang Batak. Seperti yang diutarakan Baudrillard (dalam

Piliang, 2012: 138) konsumsi dapat digunakan sebagai proses menggunakan atau

mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh para

konsumer, dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Objek juga dapat

menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para

pemakainya.

Sama halnya dengan Lamhot, melangsungkan upacara perkawinan dengan

istilah bahasa daerah pasahat sulang-sulang pahompu dilakukan dengan sangat

mewah dan meriah. Hal ini untuk menunjukkan statusnya. Dia mengonsumsi

objek-objek bukan sekedar menghabiskan nilai guna dan nilai utilitasnya, tetapi

Page 166: perkawinan batak toba

166

juga untuk mengomunikasikan makna-makna tertentu. Sebagaimana yang

disebutkan John Sturrock (dalam Piliang, 2012: 142), manusia menggunakan

objek untuk mengomunikasikan/merepresentasikan/menandai/mengirim pesan.

Dengan demikian manusia mengontrol objek sebagai alat dalam proses pertandaan

dan komunikasi sosial.

Lamhot menyadari betul upacara perkawinan yang dilakukan sudah

melebihi dari yang biasa dilakukan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar.

Namun dia tetap melakukannya untuk menunjukkan gaya hidup, prestise,

kemewahan dan status sosialnya seperti yang terlihat dalam gambar 7.1. Objek

yang dikonsumsi bukan sekedar menandakan kegunaan, tetapi lebih dari kegunaan

ada tanda prestise dan kemewahan.

Gambar 7.1

Tata rias pengantin

(Dok. Mangihut Siregar, 2014)

Page 167: perkawinan batak toba

167

Salah satu objek yang digunakan lamhot sebagai bukti prestise dan

kemewahan yaitu rias pengantin. Secara umum, komunitas Batak Toba yang

melangsungkan upacara adat perkawinan bagi yang sudah mempunyai anak

(gabe) biasanya tata rias pengantin dilakukan secara sederhana.Berbeda dengan

biasanya, Lamhot mendandani isterinya lebih dari yang baru menikah. Tata rias

yang dilakukan isterinya dengan mendandani kepalanya penuh dengan bunga dan

bukan asal bunga, tetapi dengan bunga melati.

Seperti yang diutarakan Piliang (2012: 248), sifat tanda dinamis, bergerak,

tidak mapan dan tidak konvensional. Tidak semua tanda mengikuti konvensi

baku, tidak semua makna terstruktur, dan tidak semua pikiran patuh pada struktur.

Tanda selain terputus dari aturan dan struktur, juga terputus dari realitas itu

sendiri, dan bergerak di dalam ruang-ruang hiper-realitas. Tata rias pengantin

bukan hanya sebagai keindahan, lebih dari tanda tersebut ada tanda yang lain yaitu

gengsi.

Demikian juga tentang tanda tidak memiliki makna tetap; justru makna

dibangun di dalam hubungan dua sisi antara penutur dan penyimak, penyampai

dan penerima. Makna tidak dapat dijamin; selalu ambivalen dan ambigu. Makna

bukan produk bahasa pasti yang telah berhenti (Bakhtin, dalam Barker, 2004: 75).

Walaupun makna tidak dapat dijamin namun makna menunjukkan sesuatu ada

artinya bagi orang yang menggunakannya. Makna sebagai pemandu untuk

tindakan sebagai penjelasan dan pembenaran akan tindakan tersebut (Barker,

2014: 168).

Page 168: perkawinan batak toba

168

Tindakan yang dilakukan Lamhot dalam pelaksanaan upacara perkawinan

dengan kemewahan dan kemeriahan mempunyai makna tersendiri. Dia menyadari

yang dilakukannya sudah melebihi (hiper) dari yang seharusnya. Melebihi

mempunyai arti yang sama dengan konsumerisme. Konsumerisme dilakukan

Lamhot seperti yang dituturkannya di atas untuk mengikuti gaya komunitas Batak

Toba di Kota Denpasar.

Gaya hidup komunitas Batak Toba di Kota Denpasar dalam melaksanakan

upacara perkawinan melebihi dari kepatutan. Mereka menyadari hal itu, namun

tetap melakukannya demi gengsi. Konsumerisme menjadi budaya bagi komunitas

Batak Toba yang dipraktekkan dalam upacara perkawinan. Praktek budaya

konsumerisme dimaknai sebagai gengsi.

7.2 Menguatnya Materialisme

Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu

dalam kehidupan ini diukur dengan materi atau kebendaan semata. Mereka hanya

mementingkan kebendaan, misalnya uang, harta, dsb. Sifat yang materialis ini

lebih umum dijumpai pada masyarakat di kota karena wajah kota pada masa

sekarang cenderung mengglobal. Artinya, ada kecenderungan homogenisasi wajah

kota-kota dunia di mana semakin tampak keseragaman, kesamaan, keidentikan

yang menggiring homogenisasi budaya serta penjajahan budaya misalnya,

McDonaldisasi, cocacolanisasi, dll. (Piliang, 2011: 232).

Menurut Piliang, salah satu ciri dari manusia kota adalah materialis di

mana dalam membangun kota didasarkan atas prinsip ekonomi, manusia dikuasai

Page 169: perkawinan batak toba

169

oleh materi. Objek menguasai subjek, dan eksistensi manusia ditentukan oleh

objek. Manusia mencari eksistensinya lewat kepemilikan objek-objek (status,

prestise, kelas) dengan pola dan tempo pengaturan tertentu, dan hal ini merupakan

hakekat dari budaya konsumerisme.

Budaya konsumerisme seperti yang diutarakan Piliang (2004: 296) yaitu

budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan perbedaan secara terus-

menerus lewat penggunaan citra, tanda, dan makna simbolik dalam proses

konsumsi. Budaya konsumerisme membuat manusia mementingkan keinginan

(want) dari pada kebutuhan (need). Materi atau barang-barang diproduksi sebagai

cara untuk mengeksplorasi dorongan-dorongan hasrat pada diri manusia yang

tanpa batas.

Menurut Piliang, salah satu dasar dari produktivitas hasrat di dalam sistem

kapitalisme global adalah kondisi yang diciptakannya sehingga hasrat seolah-olah

menjadi kebutuhan. Ada upaya yang secara terus-menerus menjadikan hasrat

menjadi kebutuhan dengan cara menciptakan kebutuhan yang bukan esensial

menjadi esensial. Kaum kapitalis menciptakan perasaan kurang atau tidak

sempurna kepada setiap orang, manusia dikonstruksi untuk mengonsumsi objek

yang diproduksi kapitalis, sehingga produksi kapitalis dapat berlanjut dengan

baik.

Kapitalis menjalankan misinya dengan cara memproduksi mesin hasrat, di

mana mereka menciptakan berbagai macam keinginan dan ketidakpuasan yang

abadi. Ketidakpuasan merupakan fundasi dari konsumerisme dan manusia

mencari makna kehidupannya melalui barang-barang konsumer. Melalui objek

Page 170: perkawinan batak toba

170

atau materi yang dikonsumsi manusia memperlihatkan eksistensinya terhadap

manusia lain.

Komunitas Batak Toba yang tinggal di Kota Denpasar, sangat konsisten

untuk tetap melangsungkan upacara perkawinan secara adat. Hal ini tetap mereka

lakukan sebagai proses untuk memasuki dalihan na tolu seperti yang sudah

dijelaskan pada bab sebelumnya. Praktik pelaksanaan upacara perkawinan yang

dipenuhi dengan konsumerisme berimplikasi terhadap sifat yang materialisme.

Kesuksesan suatu upacara diukur dengan kemewahan dan kemeriahan sedangkan

esensi upacara kurang diperhatikan.

Seperti penuturan Tambunan selaku ketua IKBB (Ikatan Keluarga Batak di

Bali), praktik upacara perkawinankomunitas Batak di Bali sudah jauh dari makna

yang sesungguhnya. Mereka melaksanakannya atas kesenangan semata, tidak

mengerti akan apa yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat seperti penuturannya di

bawah ini:

“Ai so niantusan be adat di Denpasar on, sude nunga sibahen baenna,

asal dipambahen na ma adat i, na penting mangadati, manortori, marende

i, na so adong hubunganna tu adat i.Lomona be do mambahen

pestana…dang boi oraan i, soadong dope kesepakatan ni hita Batak

taringot tu adatta asa sarupa nian.” (Pelaksanaan upacara adat di

Denpasar sudah kacau, masing-masing melakukannya sesuka hatinya.

Adat dilangsungkan secara asal-asalan, ada yang berdansa, bernyanyi yang

tidak ada hubungannya dengan upacara adat, yang penting upacara adat

dilakukan. Masing-masing membuat pestanya sesuka hati…hal itu tidak

bisa dilarang, karena tidak ada kesepakatan bentuk adat yang sama di

daerah ini. (wawancara, 20 Desember 2014).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa esensi upacara perkawinan Batak Toba di

Kota Denpasar sudah bergeser dari aslinya. Pergeseran ini terjadi karena budaya

konsumerisme yang sudah menyatu dengan praktik upacara perkawinan

Page 171: perkawinan batak toba

171

BatakToba. Seperti yang dikatakan Abdullah (2010: 36), pada masyarakat

perkotaan setiap orang dalam kelompok berusaha untuk mencari nilai tambah

(value Added) dengan cara mengonsumsi barang-barang yang berbeda dengan

orang lain. Perilaku mengonsumsi barang-barang yang berbeda dengan orang lain

berdampak kepada budaya konsumerisme. Budaya konsumerisme merupakan

budaya konsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus

menerus lewat penggunaan citra, tanda, dan makna simbolik.

Budaya konsumerisme yang terjadi dalam praktek upacara perkawinan

Batak Toba dapat dilihat dari: jumlah orang yang diundang, semakin banyak

orang yang diundang maka semakin besar juga materi yang dihabiskan; tempat

upacara adat, semakin bergengsi tempat upacara semakin bergengsi juga orang

yang melakukan; kemewahan, semakin mewah upacara yang dilakukan semakin

tinggi citra yang didapat para pelaku.Praktik upacara perkawinan diukur dari

objek yang dihabiskan dan berapa uang yang digunakan. Pandangan-pandangan

yang demikian berimplikasi terhadap sifat materialisme. Sifat materialisme

berkaitan dengan persaingan yang timbul dalam praktik upacara perkawinan

Batak Toba di Kota Denpasar.

Persaingan merupakan hal yang wajar dan sangat positif di dalam

kehidupan global. Melalui persaingan dalam hal bisnis kaum kapitalis

menciptakan objek baru. Kebaharuan menjadi hal yang selalu dikejar kaum

kapitalis untuk menguasai keinginan konsumen. Konsumen menjadi subjek yang

tinggal diam menerima keinginan-keinginan yang disuguhkan kapitalis.

Page 172: perkawinan batak toba

172

Kebaharuan dikonstruksi kaum kapitalis untuk mensukseskan ideologinya, dan di

dalamnya persaingan sangat mendukung terciptanya kebaharuan.

Kebaharuan ditawarkan kepada masyarakat setiap saat melalui iklan. Iklan

sangat efektif dalam mempengaruhi persepsi orang-orang tentang sebuah produk.

Kaum kapitalis mempertontonkan seakan-akan dirinya malaikat yang baik hati

dan sangat dermawan. Mereka ada untuk memenuhi apa yang dibutuhkan

konsumen, konsumen diteror dengan ketakutan: takut ketinggalan zaman, takut

kelihatan tua, dan lain-lain yang tidak menyenangkan. Iklan menjadi kekerasan

simbolik seperti yang diistilahkan Bourdieu, yaitu kekerasan yang halus dan tak

tampak di mana di dalamnya penuh dengan kebohongan, kekeliruan dan

menyesatkan.

Persaingan sangat menguntungkan kaum kapitalis sedangkan bagi

konsumen persaingan menjadikan hidupnya yang semakin konsumeris. Konsumen

berlomba meraih kebaharuan dan nilai yang lebih dari pesaingnya. Nilai lebih dan

kebaharuan dari saingannya merupakan tolok ukur dalam budaya konsumerisme.

Hampir sama dengan nilai lebih dan kebaharuan seperti yang diutarakan di

atas, persaingan pada komunitas Batak Toba dapat dijumpai dalam praktek adat

istiadatnya. Seperti yang diutarakan Pasaribu (2011: 252) dalam hal pembangunan

tugu, alasan komunitas Batak umumnya untuk membangun tugu adalah alat

pemersatu kelompok, marga atau cabang marga. Jika benar hal ini menjadi tujuan

adalah sangat positif, namun yang menjadi pertanyaan, apakah membangun tugu

harus dengan megah? Apakah tidak ada cara yang lain untuk mempersatukan

Page 173: perkawinan batak toba

173

kelompok? Menurut Pasaribu di dalam kegiatan pembangunan tugu bukan hanya

bertujuan untuk mempersatukan, namun juga muncul unsur persaingan.

Persaingan dalam komunitas Batak disebut dengan toal. Toal dimaknai

sangat negatif karena dilakukan bukan berdasarkan kemampuan dan keikhlasan

melainkan keterpaksaan dan kecongkakan. Seperti yang diutarakan Pasaribu

dalam pembangunan tugu unsur toal juga muncul. Para anggota yang masuk

dalam kelompok tugu tersebut lebih banyak yang harus berhutang demi

persaingan. Persaingan harus dimenangkan salah satunya dengan cara

kecongkakan.

Praktik upacara perkawinan di Kota Denpasar juga dipenuhi dengan

persaingan. Persaingan ini dapat terjadi antara sesama saudara dekat, saudara

semarga, dan juga antara marga yang berbeda. Persaingan terjadi akibat

pertaruhan harga diri. Seperti penuturan orang tua Susan:

“Molo marulaon iba, ingkon sadenggan-dengan na do baenon. Molo dang

boi dumenggan sian dongan, minimal songon na binahen ni dongan. Molo

binahen di toru ni dongan, lea roha ni halak tu iba. Molo tung pe pogos

iba, ba...unang ma dijongkal halak, molo dang boi dipuji…ba unang ma

dihata halak.” (Kalau melakukan upacara adat, harus dilakukan sebaik-

baiknya. Apabila tidak bisa lebih baik, minimal sama dengan yang sudah

dilakukan teman. Jika dilakukan lebih sederhana dari yang sudah umum,

orang memandang kita lebih rendah. Kalaupun saya miskin, ya.. jangan

sampai dijengkal orang, kalau tidak bisa dipuji…ya, jangan sampai

dicemehkan).(wawancara, 16 Desember 2014).

Penuturan ini menggambarkan bahwa orang tua Susan melakukan upacara

perkawinan puterinya untuk menjaga harga diri. Seperti yang dikatakan Bourdieu

(dalam Lubis, 2014: 108), persaingan dalam ranah bertujuan untuk memastikan

perbedaan dan juga status aktor sosial yang digunakan sebagai sumber kekuasaan

simbolis. Melalui upacara perkawinan, orang tua Susan membuat tanda, simbol,

Page 174: perkawinan batak toba

174

ide, dan nilai, yang digunakan sebagai interaksi antara individu dan masyarakat.

Harga diri harus dipertaruhkan, jangan sempat dipandang rendah hanya karena

pelaksanaan adat. Hal ini sangat berkaitan dengan pandangan bahwa semua orang

Batak adalah raja dan anak raja.

Gelar raja yang disandang semua orang Batak: raja ni hula-hula, yaitu

semua kelompok yang masuk kepada pemberi perempuan; raja ni dongan tubu,

yaitu kelompok yang masuk dalam satu marga; raja ni boru, yaitu kelompok

penerima isteri, raja ni dongan sahuta, yaitu kelompok masyarakat sekitar atau

tetangga; dan raja ni parhobas, yaitu kelompok yang mengerjakan hal-hal yang

diperlukan dalam upacara adat. Jabatan raja yang melekat pada semua orang

Batak berimplikasi kepada persaingan di antara masing-masing raja. Persaingan

itu bukan untuk mencari yang lebih baik, tetapi yang timbul adalah kecongkakan.

Posisi hula-hula, boru dan dongan tubu mempunyai posisi yang berbeda,

di mana hula-hula lebih tinggi dan boru lebih rendah seperti yang sudah

dijelaskan dalam Bab V. Posisi itu akan bertukar artinya tidak ada satu keluarga

yang selalu menempati posisi hula-hula, boru, dan dongan tubu secara terus

menerus dalam setiap upacara adat. Pertukaran posisi itu tergantung dari situasi

dan kondisi upacara yang dilaksanakan.

Sebutan raja dan anak raja yang dimiliki semua komunitas Batak Toba

berimplikasi kepada persaingan yang sangat ketat di antara masing-masing

kelompok. Persaingan dalam kehidupan sehari-hari tetap terjadi demi

menginternalisasikan gelar raja yang disandangnya. Persaingan dimaknai bukan

sekedar untuk dimenangkan tetapi juga harus dipertontonkan. Untuk

Page 175: perkawinan batak toba

175

mempertontonkan persaingan tersebut komunitas Batak Toba melakukannya di

luar kemampuannya dengan toal atau kecongkakan hati. Sehingga komunitas

Batak Toba memaknai persaingan sebagai kecongkakan.

7.3 Menguatnya Globalisme

Kehidupan konsumeris selalu mencari objek konsumsi yang baru dan yang

berbeda. Budaya konsumerisme menjadi arena untuk pembentukan citra, status

sosial, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda. Barang-

barang konsumer menjadi cermin tempat para konsumer untuk menemukan

makna kehidupan (Piliang, 2011: 152). Makna kehidupan manusia bukan diukur

melalui relasi dengan sesama manusia melainkan dari kepemilikan dan

penggunaan benda-benda dan gaya hidup. Benda yang dikonsumsi bukan dilihat

berdasarkan hanya nilai guna melainkan nilai tanda yang ada di dalam objek

tersebut.

Untuk menemukan objek yang baru dan berbeda, konsumer mencari

melalui media. Media sudah siap menunggu para pasien konsumer dengan

berbagai macam resep yang tertera di dalam media. Media melalui iklannya sudah

dipenuhi ideologi kapitalis yang mencari keuntungan dengan berbagai cara dan

berimplikasi kepada konsumer yang larut dalam hegemoni kapitalis. Kaum

kapitalis berhasil melakukan misinya yang didukung oleh informasi.

Dalam masyarakat informasi, barang-barang mewah melimpah di mana

nilai guna dan nilai tukar digantikan oleh nilai tanda dan nilai simbolik. Seperti

yang diutarakan Baudrillard (dalam Lubis, 2014: 179), objek bukan saja untuk

Page 176: perkawinan batak toba

176

dikonsumsi, akan tetapi diproduksi lebih banyak untuk menandakan status, bukan

sebagai kebutuhan. Dengan demikian objek menjadi tanda dan nilai kebutuhan

menjadi ditinggalkan. Nilai tanda dan nilai simbolik banyak dimiliki oleh

masyarakat Barat dan Amerika, dan masyarakat yang berada di luarnya

mengadaptasikan diri untuk memiliki objek dari kedua benua tersebut.

Sikap mengadaptasikan diri terhadap objek konsumsi orang luar (Barat

dan Amerika) menjadikan paham globalisme terhadap masyarakat di luar kedua

benua tersebut. Globalisme dilakukan untuk memenuhi hasrat akan budaya

konsumerisme. Konsumen tidak puas akan produk yang diproduksi kelompoknya

sehingga dirinya selalu mencari yang berbeda dan yang terbaru dari kelompok

orang lain.

Sikap untuk mencari yang berbeda dan terbaru didukung oleh faktor

globalisasi. Globalisasi seperti yang disebut Robertson (dalam Boli, 2012: 551)

yaitu mengacu pada penempatan dunia dan intensifikasi kesadaran akan dunia ini

sebagai satu kesatuan utuh. Dunia sudah menjadi satu kerangka acuan bagi aktor-

aktor sosial. Aktor lokal mengadaptasi yang universal untuk memenuhi keperluan

hidupnya. Globalisasi menciptakan setiap tempat sama dengan tempat lainnya

hasilnya terbentuk homogenisasi budaya.

Homogenisasi budaya merupakan implikasi dari budaya konsumerisme.

Para konsumer mengadaptasi dirinya dengan budaya luar untuk mendapatkan nilai

tanda dan nilai simbolik. Nilai tanda dan nilai simbolik banyak dimiliki

masyarakat Eropah dan Amerika sehingga masyarakat lain mengadaptasi budaya

tersebut. Sama halnya dengan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar juga

Page 177: perkawinan batak toba

177

mengadaptasi budaya Barat menjadi miliknya. Pengadaptasian budaya Barat ini

dapat dilihat dari: tempat upacara perkawinan secara agama dilangsungkan di

kapel; upacara perkawinan secara adat dilangsungkan di hotel; sistem penyajian

makanan dengan prasmanan; pelaksanaan upacara bukan secara gotong royong

melainkan dengan sistem upah, dll.

Seperti penuturan Sabar sewaktu mengadakan upacara perkawinan

anaknya Susan dengan memesan segala keperluan upacara perkawinan adat.

Alasan orang tuanya adalah: “Nuaeng on nunga mura, tinggal martelepon sude

rade. Sadihari ni telepon pintor diantar do”.(Pada masa sekarang sudah

gampang, tinggal telepon semua ada. Kapan kita hubungi langsung

diantar).(wawancara, 16 Desember 2014). Pernyataan ini menggambarkan bahwa

orang tua Susan tidak ingin repot, tetapi menginginkan yang praktis. Seperti yang

diutarakan Piliang (2011: 232), salah satu ciri manusia kota global adalah manusia

kecepatan (homo dromos).Dunia kehidupan manusia dikuasai oleh waktu dan

kecepatan. Hal yang praktis atau ingin cepatbukan budaya komunitas Batak.

Mereka melakukan prosesi adat-istiadat secara tahap demi tahap dan dikerjakan

secara gotong royong. Masa sekarang, sifat gotong royong dalam pelaksanaan

upacara adat sudah semakin hilang digantikan oleh manusia individualis (homo

individualis) akibat globalisasi dan perkembangan kehidupan masyarakat di kota.

Salah satu ciri masyarakat kota adalah sibuk, semua orang melakukan

kegiatannya sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Berbeda dengan

masyarakat yang hidup di pedesaan, orang desa yang mengatur jadwal apa yang

akan dikerjakan sedangkan masyarakat kota, jadwal yang mengatur apa yang akan

Page 178: perkawinan batak toba

178

mereka kerjakan. Akibat jadwal yang sudah terprogram bagi masyarakat kota

sehingga apapun yang akan dilakukan di luar program merupakan hal yang susah

untuk dilaksanakan.

Selain faktor kesibukan, masyarakat kota mempunyai ciri pekerjaan yang

sudah terspesialisasi. Mereka sudah terbiasa untuk mengerjakan dalam satu

bidang pekerjaan tertentu sehingga untuk melaksanakan pekerjaan yang lain akan

mengalami kesulitan. Untuk mengatasi kendala kesibukan dan juga kemampuan

mengerjakan berbagai macam pekerjaan, komunitas Batak Toba mengadaptasi

dirinya dengan budaya luar.Proses pengadaptasian diri ini berimplikasi terhadap

globalisme.

Kebutuhan yang terus berkembang dan tak pernah terpuaskan di dalam

praktek upacara perkawinan Batak Toba,implikasinya mereka mencari objek

konsumsi dari segala penjuru. Budaya yang ingin cepat atau praktis mereka

adaptasi dari budaya Eropah dan Amerika. Proses mencari ini berimplikasi kepada

globalisme yaitu paham yang mencari kebutuhan dari segala sudut dunia.

Globalisme timbul akibat hasrat manusia yang terus berkembang dan tidak

pernah terpuaskan. Melalui objek konsumsi, manusia menemukan citra dirinya.

Citra berkaitan erat dengan konsumerisme. Pada masyarakat konsumer, suatu

objek tidak terikat lagi kepada logika utilitas, fungsi dan kebutuhan tetapi sudah

didominasi apa yang disebut dengan logika tanda dan logika citra. Menurut

Baudrillard (dalam Piliang, 2012: 328) pada masa sekarang, orang bukan lagi

membeli barang berdasarkan nilai utilitas, tetapi yang dibelinya adalah tanda, citra

atau tema yang ditawarkan di balik sebuah produk.

Page 179: perkawinan batak toba

179

Konsumsi menjadi sistem tanda yang membuat perbedaan kultural secara

terus-menerus, melalui produk-produk yang dikonsumsi berdasarkan nilai tanda.

Tanda dikonstruksi melalui iklan sehingga orang membeli produk bukan hanya

pemenuhan kebutuhan tetapi juga membeli makna-makna simbolik. Konsumer

dikondisikan untuk lebih terpesona dengan makna-makna simbolik dari pada

fungsi utilitas sebuah produk (Piliang, 2012: 328).

Citra menjadikan sebuah benda yang tidak berguna menjadi sangat

berguna, yang tidak diperlukan menjadi perlu, yang tidak dibutuhkan menjadi

dibutuhkan. Menurut Heidegger (dalam Piliang, 2011: 198) pada masa sekarang

manusia dikelilingi oleh citraan-citraan. Akibat perkembangan citraan eksistensi

manusia berubah menjadi sebagai ontologi citraan. Manusia diserang oleh

berbagai macam citraan dari segala penjuru, sehingga citraan menjadi cermin

untuk berkaca mencari eksistensi diri.

Dalam praktiknya, upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar

tidak lepas dari citra. Citra itu dipertontonkan kepada orang lain untuk

menunjukkan kelas, status, dan gaya hidupnya melalui upacara perkawinan.

Seperti penjelasan yang diutarakan Susan yang melaksanakan upacara perkawinan

pada hari Jumat, 21 Nopember 2014. Pekerjaan susan adalah sebagai pedagang

baju dan dia mempunyai tiga toko sebagai tempat jualannya. Suami Susan adalah

orang yang bekerja di tokonya dengan kata lain adalah mantan karyawannya.

Orang tua Susan tinggal di rumahnya setelah pensiun sebagai guru. Biaya hidup

kedua orangtuanya ditanggung oleh Susan. Suami Susan sudah yatim piatu dari

sejak SD, dengan demikian tulang punggung dalam rumah tangga adalah Susan.

Page 180: perkawinan batak toba

180

Upacara perkawinannya dilaksanakan di gedung Graha Girsang Pekayon –

Bekasi. Rencana awal, upacara ini dilaksanakan di Kota Denpasar, tetapi para

keluarga orang tua Susan menginginkan diadakan di Bekasi agar mereka lebih

banyak boleh hadir. Keinginan hadir secara beramai-ramai timbul akibat

informasi dari orang tua Susan yang menyebutkan puterinya Susan adalah

pengusaha sukses di Kota Denpasar. Citra sukses ini sudah memasyarakat di

kalangan keluarga besar Susan. Mereka mau menonton kesuksesan itu dan orang

tua Susan mau mempertontonkan kesuksesan puterinya. Akibat keinginan

keluarga Susan terlebih orang tuanya sehingga permintaan itu dilakukan. Setelah

upacara perkawinan di Bekasi, mereka juga melaksanakan resepsi perkawinan di

Denpasar pada hari Sabtu, 6 Desember 2014.

Menurut penuturan orang tua Susan, alasan melangsungkan upacara

perkawinan dengan kemewahan:

“Maila iba doba tu angka keluarga na di Jakarta molo dang denggan

pesta niba. Hape iba nunga ditanda halak, boru on pe nunga jotjot

mangurupi angka tondong, anggo hepeng i do siluluan do i. Dang diboto

halak sian dia biaya nion…tauna kan…boru on diboto nasida

pengusaha.” (Malu kepada keluarga yang di Jakarta kalau pesta adat tidak

bagus atau mewah. Padahal puteri saya ini sudah sering memberi bantuan

kepada keluarga, kalau uang bisa dicari. Orang tidak tau dari mana sumber

biaya… taunya orang … anak ini seorang pengusaha).(wawancara, 16

Desember 2014).

Kata “malu” dari penuturan orang tua Susan menunjukkan citra keluarganya. Dia

tidak memikirkan dari mana uang itu dikumpulkan puterinya yang penting citra

keluarganya terjaga. Seperti yang dikatakan Heidegger (dalam Piliang, 2011:

198), pada masa sekarang manusia dikelilingi oleh citraan-citraan. Manusia

diserang oleh berbagai macam citraan dari segala penjuru, sehingga citraan

Page 181: perkawinan batak toba

181

menjadi cermin untuk berkaca mencari eksistensi diri. Susan menginginkan

upacara itu dilaksanakan secara sederhana dan tempatnya di Kota Denpasar,

namun demi citra orang tuanya dan keluarganya, Susan dengan terpaksa

menyetujui upacara perkawinan dilangsungkan di Bekasi dengan kemewahan.

Dari penuturan Susan bersama dengan suaminya, mereka menghabiskan

biaya sekitar Rp.500.000.000,-. Biaya ini sudah termasuk ongkos keluarga

dekatnya dari Tapanuli, gedung, konsumsi, dan juga hal-hal yang berkaitan

dengan upacara perkawinan. Untuk menanggulangi uang sebesar Rp.

500.000.000,- tersebutSusan harus menjual satu buah tokonya seharga Rp.

300.000.000,- dan sisanya dari uang simpanannya dan sumbangan dari keluarga

yang terkumpul Rp. 15.000.000,-

Menurut penuturan Susan bersama dengan suaminya, alasan mereka

menyetujui keinginan orang tua:

“Bapak ini kan gengsinya tinggi, sedikit-sedikit…omongnya kita malu.

Saya sudah bolak-balik memohon agar dilakukan di Denpasar aja… dan

acaranya sederhana saja, tapi bapak ngak mau. Ya sudahlah…dari pada

bapak marah dan sakit, dimauin aja. Hanya sekalinya kita pesta

kawin….masak gara-gara ini orang tua malu.” (wawancara, 21 Desember

2014).

Penuturan ini menunjukkan bahwa Susan mau membiayai upacara perkawinannya

demi menyenangkan orang tua. Dari segi adat Batak Toba, seharusnya yang

menanggung biaya perkawinan adalah orang tua laki-laki tetapi karena suaminya

sudah yatim piatu sehingga Susan harus bersedia membiayai upacara

perkawinannya.

Dari segi kemampuan ekonomi, upacara perkawinan Susan sudah di luar

kewajaran. Susan harus menjual satu tokonya untuk membiayai upacara

Page 182: perkawinan batak toba

182

perkawinannya.Demi citra keluarga hal yang tidak wajar menjadi wajar. Seperti

yang diutarakan Heidegger (dalam Piliang, 2011: 198) bahwa citra mengelilingi

kehidupan manusia, sehingga eksistensi manusia berubah sebagai ontologi citraan.

Citra menjadi cermin untuk berkaca mencari eksistensi diri.

Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar dipenuhi

dengan citra seperti yang dilakukan oleh orang tua Susan. Objek yang dikonsumsi

bukan hanya didasarkan atas kebutuhan melainkan didominasi oleh tanda yaitu

tanda citra. Komunitas Batak Toba terpengaruh dengan makna simbolik daripada

fungsi utilitas sebuah produk. Makna citra menjadi tujuan hidup yang

dipraktikkan melalui upacara perkawinan.

Tujuan hidup komunitas Batak ada tiga: (1). Hagabeon, yaitu mempunyai

keturunan yang banyak; (2). Hamoraon, yaitu kekayaan dari sudut ekonomi; dan

(3). Hasangapon, yaitu kehormatan yang diperoleh dari masyarakat sekitar. Citra

masuk ke bagian hasangapon. Dengan demikian bagi komunitas Batak citra

sangat perlu karena citra dimaknai sebagai kehormatan yang menjadi salah satu

tujuan hidup dari orang Batak Toba.

Page 183: perkawinan batak toba

183

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian seperti yang sudah diuraikan pada masing-

masing bab dalam tesis ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan upacara

perkawinan secara adat tetap dipertahankan. Upacara ini tetap bertahan karena

satu-satunya cara untuk masuk ke dalam dalihan na tolu harus melalui upacara

perkawinan. Setelah seseorang masuk ke dalam dalihan na tolu, dia berhak

mengadakan siklus hidup seperti menyambut anak yang baru lahir, perkawinan,

memasuki rumah, kematian dan lain-lain.

Dalihan na tolu merupakan pertalian keluarga yang mengatur hubungan

kekerabatan antara satu sama lain. Dalam dalihan na tolu seseorang akan

memiliki kedudukan sebagai: (1).Hula-hula yaitu pemberi isteri; (2). Boru yaitu

pihak pengambil isteri; (3). Dongan sabutuha atau dongan tubu yaitu orang yang

satu marga. Setiap orang Batak akan pernah menduduki ketiga posisi (hula-hula,

boru, dan dongan tubu) tergantung situasi upacara yang dilangsungkan.

Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar pada saat

sekarang merupakan fenomena konsumerisme. Bentuk konsumerisme ini tampak

sangat kompleks karena harus mengikuti prosesi yang panjang. Tahapan-tahapan

itu dimulai darimarhusip, marhata sinamot, martumpol, martonggo raja/marria

raja, pemberkatan secara agama, pesta unjuk, paulak une, dan tingkir

Page 184: perkawinan batak toba

184

tangga.Prosesi ini menghabiskan waktu berbulan-bulan sehingga memerlukan

biaya yang cukup banyak.

Selain prosesi yang panjang, bentuk konsumerisme yang lain yaitu, tempat

upacara perkawinan dilakukan di gedung mewah, mengundang banyak orang,

mengonsumsi objek pendukung yang tidak perlu, dan memberikan mahar yang

besar. Konsumerisme yang dilakukan komunitas Batak Toba di Kota Denpasar

dalam upacara perkawinan bukan hanya terjadi dalam hal materi tetapi juga

berlaku dalam pola pikir dan tingkah laku.

Konsumerisme dalam pola pikir yang mereka lakukan yaitu meninggalkan

kebersamaan dan kesamaan diganti dengan pola pikir diferensi atau perbedaan.

Pola pikir diferensi merupakan pola pikir dari budaya luar yang mereka konsumsi

dan mengakibatkan terjadinya konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak

Toba di Kota Denpasar. Demikian juga dalam tingkah laku, mereka meninggalkan

kehati-hatian dan menggantinya dengan tingkah laku ingin cepat, tidak mau repot,

meninggalkan rasa kegotongroyongan berdampak kepada konsumerisme. Tingkah

laku ingin cepat merupakan produk luar yang mereka konsumsi secara terus

menerus berdampak terhadap konsumerisme.

Konsumerisme dalam upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar

dilatarbelakangi oleh pergeseran dari nilai guna dan nilai tukar menjadi nilai tanda

dan nilai simbolik. Mereka mengonsumsi sesuatu bukan didasarkan karena nilai

guna melainkan didominasi oleh pengaruh gengsi, prestise, gaya hidup, identitas

diri, dan status. Ciri ini merupakan ciri hidup masyarakat modern.

Page 185: perkawinan batak toba

185

Terjadinya konsumerisme dipengaruhi beberapa faktor di antaranya,

globalisasi, yaitu terjadinya penyeragaman kebudayaan-kebudayaan menjadi

kebudayaan tunggal. Globalisasi menjadi suatu ekspansionisme sistem ekonomi

kapitalis, informasi global terhadap negara-negara tertinggal.Budaya global yang

diproduksi oleh negara Eropa dan Amerika dikonsumsi oleh komunitas Batak

Toba dalam praktik upacara perkawinan sehingga kelihatannya budaya import

tersebut menjadi budayanya sendiri; gaya hidup, melalui praktik upacara

perkawinan Batak Toba di Kota Denpasarmereka mengonsumsi objek bukan

hanya berdasarkan nilai guna tetapi didominasi oleh nilai tanda; budaya populer,

mereka mementingkan penampilan dari pada kedalaman, merayakan kesenangan

dari pada kekhusukan, mengutamakan gaya dari pada esensi; media massa,

menjadi sumber rujukan komunitas Batak Toba untuk membuat pilihan-pilihan

konsumsi dalam upacara perkawinan demi menunjukkan identitasnya;

pemahaman yang kurang, ketidaktahuan akan makna upacara perkawinan

berdampak kepada perilaku yang meniru orang lain tanpa mengerti akan hal yang

ditiru; transmisi budaya yang kurang, kaum muda mempunyai sudut pandang

yang berbeda yaitu dari segi ekonomi tidak efisien dan efektif akan praktik

upacara perkawinan akhirnya mereka tidak tertarik untuk mempelajarinya.

Budaya konsumerisme yang dimiliki komunitas Batak Toba dalam praktik

upacara perkawinan di Kota Denpasar berimplikasi terhadap perilaku mereka

sehari-hari. Implikasi konsumerisme yang terjadi dalam upacara perkawinan

mengakibatkan semakin individualisme. Semakin banyak modal, semakin tinggi

selera konsumsi yang dilakukan. Pertarungan posisi melalui konsumsi terjadi

Page 186: perkawinan batak toba

186

dalam setiap kelompok dan juga individu. Masing-masing mempertontonkan

kebaharuan dan perbedaan dalam objek konsumsi. Kebersamaan dan kesamaan

selalu dihindari untuk menunjukkan identitas di tengah masyarakat.

Demikian halnya komunitas Batak Toba, mereka mengonsumsi objek

secara berlebihan dalam praktik upacara perkawinannya. Mengonsumsi secara

berlebihan dan berlangsung secara terus menerus mengakibatkan konsumerisme

menjadi suatu budaya. Budaya konsumerisme mereka maknai sebagai gengsi.

Melalui sifat konsumerisme yang dipraktikkan dalam upacara perkawinan,

komunitas Batak Toba menemukan identitasnya.

Konsumerisme dalam praktik upacara perkawinan juga berimplikasi

semakin materialisme. Materialisme merupakan pandangan hidup yang mencari

dasar segala sesuatu dalam kehidupan diukur dengan materi atau kebendaan

semata. Objek menguasai subjek, dan eksistensi manusia ditentukan oleh objek.

Kesuksesan suatu upacara diukur dari kemewahan dan kemeriahan, sedangkan

esensi upacara kurang diperhatikan.

Sifat materialisme berkaitan dengan persaingan yang timbul dalam praktik

upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar. Persaingan dalam komunitas

Batak disebut dengan toal. Toal dimaknai sangat negatif karena dilakukan bukan

berdasarkan kemampuan dan keikhlasan melainkan atas keterpaksaan dan

kecongkakan. Persaingan sangat ketat bagi komunitas BatakTobakarena mereka

seluruhnya adalah raja. Gelar raja dan anak raja yang disandang seluruh orang

Batak Toba mengakibatkan persaingan itu harus dimenangkan dan dipertontonkan

salah satunya dalam praktik upacara perkawinan. Untuk memenangkan dan

Page 187: perkawinan batak toba

187

mempertontonkan persaingan tersebut mereka melakukan di luar kemampuannya

dengan toal atau kecongkakan hati. Dengan demikian makna persaingan bagi

komunitas Batak adalah toal atau kecongkakan.

Implikasi yang lain dari konsumerisme adalah semakin globalisme.

Globalisme merupakan pandangan hidup yang mengadaptasikan dirinya dengan

kebudayaan luar atau global. Manusia tidak puas akan objek yang diproduksi

kelompoknya sehingga dirinya selalu mencari yang berbeda dan baru dari

kelompok lain.Objek yang dikonsumsi bukan berdasarkan nilai guna melainkan

nilai tanda yang ada di dalam objek tersebut.Nilai tanda dan nilai simbolik banyak

dimiliki oleh masyarakat Barat dan Amerika, sehingga masyarakat Batak Toba

mengadaptasikan dirinya untuk memiliki objek dari kedua benua tersebut.

Globalisme dilakukan untuk memenuhi hasrat akan budaya konsumerisme.

Globalisme timbul akibat hasrat manusia yang terus berkembang dan tidak

pernah terpuaskan. Melalui objek konsumsi dalam upacara perkawinan,

komunitas Batak Toba menemukan citra dirinya. Citra menjadikan sebuah benda

yang tidak berguna menjadi sangat berguna, yang tidak diperlukan menjadi perlu,

yang tidak dibutuhkan menjadi dibutuhkan.

Praktik upacara perkawinan Batak Toba di Kota Denpasar tidak lepas dari

citra. Citra mereka pertontonkan untuk menunjukkan kelas, status, gaya hidupnya

melalui upacara perkawinan. Objek yang dikonsumsi bukan hanya didasarkan atas

kebutuhan melainkan didominasi oleh tanda yaitu tanda citra. Makna citra

menjadi tujuan hidup yang dipraktikkan melalui upacara perkawinan Batak

Toba.Citra merupakan bagian hasangapon(kehormatan). Oleh sebab itu bagi

Page 188: perkawinan batak toba

188

komunitas Batak Toba, citra sangat perlu dijaga karena mereka memaknainya

sebagai salah satu dari tujuan hidupnya yaitu kehormatan.

8.2 Saran

Praktik upacara perkawinan Batak Toba di kota Denpasar semakin hari

semakin konsumeris. Untuk menghindari perilaku yang hanyut dalam konsumsi

berlebihan, penulis memberikan saran:

1). Kepada tokoh adat

Perlu adanya suatu kesepakatan dari masing-masing tokoh marga-marga

Batak yang ada di Kota Denpasar untuk membuat suatu model upacara

perkawinan Batak Toba. Model yang disepakati nantinya menjadi patokan untuk

dilakukan secara bersama oleh komunitas Batak Toba sehingga mereka

melakukan upacara bukan secara kesenangan semata tetapi dilaksanakan secara

sederhana tanpa mengurangi esensi yang sebenarnya. Untuk mencapai ini dapat

melalui seminar, diskusi, simposium yang tujuannya mengambil suatu

kesepakatan yang tidak hanyut dalam konsumerisme.

2). Kepada Pihak gereja

Pencerahan melalui khotbah dari mimbar sewaktu kebaktian di gereja

merupakan salah satu cara yang sangat efektif. Para pengkhotbah dalam

khotbahnya menyadarkan para jemaat bahwa upacara perkawinan Batak Toba

yang dilakukan di Kota Denpasar selama ini sudah di luar kepatutan. Jemaat perlu

disadarkan akan hal itu sehingga mereka sadar dan mau mengubah perilaku yang

sudah sering di praktikkan.

Page 189: perkawinan batak toba

189

3). Kepada Pihak pemerintah daerah di sekitar Sumatera Utara

Praktik upacara perkawinan yang sudah konsumerisme dimulai dari daerah

asal yaitu Sumatera Utara. Perilaku yang konsumerisme semakin bertambah di

daerah perkotaan akibat fasilitas yang sangat mendukung. Oleh karena itu

pemerintah daerah Sumatera Utara perlu mengadakan suatu usaha baik melalui

seminar, penyuluhan, diskusi untuk menyadarkan masyarakatnya sehingga praktik

upacara tidak konsumeris. Tradisi yang sudah dilakukan di daerah asal akan

berimplikasi kepada masyarakat pendukungnya yang pergi merantau ke daerah

kota.

4). Kepada Pihak orang tua yang akan menikahkan anak

Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba sangat ditentukan oleh orang

tua. Upacara perkawinan menurut adat Batak Toba merupakan tanggung jawab

orang tua laki-laki. Orang tua menjadi penentu akan hal-hal yang berkaitan

dengan upacara perkawinan yang akan dilangsungkan oleh masing-masing

pasangan baru. Oleh karena itu, melalui tulisan ini diharapkan para orang tua

komunitas Batak Toba yang akan melangsungkan upacara perkawinan anak di

masa mendatang agar jangan hanyut dalam budaya konsumerisme yang

dipraktikkan dalam upacara perkawinan. Upacara perkawinan hendaknya

dilakukan sesuai dengan fungsi dan makna dari upacara tersebut, sehingga unsur

budaya Batak Toba ini dapat lestari sesuai dengan fungsi dan tujuannya.

Page 190: perkawinan batak toba

190

DAFTAR PUSTAKA:

Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar Offset.

Alfitri. 2007. Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan. Empirika, volume

XI, No. 01.

Bangun, Payung. 1982. “Kebudayaan Batak” (dalam Manusia dan Kebudayaan

di Indonesia, Koentjaraningrat, editor, Jakarta: Djambatan, hlm. 94-116).

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik. (Nurhadi Pentj).

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barker, Chris. 2014.Kamus Kajian Budaya. (B. Hendar Putanto Pentj).

Yogyakarta: Kanisius.

Boli, John dan Frank J. Lechner. 2012. “Teori Globalisasi” (dalam Teori Sosial

Dari Klasik Sampai Postmodern, Bryan S. Turner, editor, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, halaman 548-581).

Bruner, Edward. 1986. “Kerabat dan Bukan Kerabat” (dalamPokok-pokok

Antropologi Budaya, T.O. Ihromi, editor, Jakarta: Gramedia, halaman

159-178).

Bungin, H.M. Burhan. 2012.Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi,

Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Castles, Lance. 1940. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera:

Tapanuli 1915 – 1940. (Maurits Simatupang, Pentj). Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisa Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Densin, Norman K. danYvonna S. Lincoln. 2009. Hand Book of Qualitatif

Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta:

Jalasutra.

Featherstone, Mike. 2008. Postmedernisme dan Budaya Konsumen. (Misbah

Zulfa Elizabeth, Pentj). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. (Asma Bey Mahyudin, Pentj).

Yogyakarta: Jalasutra

Page 191: perkawinan batak toba

191

Harker, Richard, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes. 2009. “Posisi Teoretis Dasar”

(Dalam (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Pengantar Paling

Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Richard Harker, dkk.,

editors. (Pipit Maizier, Pentj.) Yogyakarta: Jalasutra, halaman 1-32).

Hidayat, Medhy Aginta. 2012. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang

Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok.

Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta:

Rajawali Pers.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2014a. Teori dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial

Budaya Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen.(Hasti T. Champion, Pentj). Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, Lexy J. 2014. Metolodogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Norris, Christopher. 2003.Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida.

(Inyiak Ridwan Muzir, Pentj). Yogyakarta: Ar-ruzz.

Pasaribu, Amudi. 2011. “Pembangunan Tugu Dipandang dari Segi Sosial-

Ekonomi” (dalam Pemikiran Tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama

Kristen di Sumatera Utara, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor,

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, halaman 247-261).

Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi Peranan Misi Budaya

Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: PT Pustaka LP3ES.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Berlari Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital.

Jakarta: Grasindo.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-

batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari.

Page 192: perkawinan batak toba

192

Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. (Muhammad Taufik, Pentj).

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu

Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sagala, Mangapul. 2008. Injil dan Adat Batak. Jakarta. Yayasan Bina Dunia.

Santoso, Listiyono, Dkk. 2012. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme &

Posmodernisme. (Medhy Aginta Hidayat Pentj).Yogyakarta: Jalasutra.

Schreiner, Lothar. 2002. Adat dan Injil.(P.S. Naipospos Pentj).Jakarta: PT BPK

Gunung Mulia.

Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan Na Tolu Prinsip dan Pelaksanaannya.

Jakarta: Grafina.

Siburian, Sahat P. 2012. “Representasi Identitas dalam Ritus Kristen Batak”

(dalam Konsepku Membangun Bangso Batak: Manusia, Agama, dan

Budaya, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia, halaman 233-254)

Sidjabat, W.B. 1982. Ahu Si Singamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan.

Sihombing, T.M. 1997. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat. Jakarta: Tulus Jaya.

Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2011. “Kemajuan Pendidikan dan Cita

Kemerdekaan di Tanah Batak (1861-1940)” (dalam Pemikiran Tentang

Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara, Bungaran

Antonius Simanjuntak, editor, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia,

halaman 274-292).

Simanjuntak, I. 2011. “Pesta Adat di Kalangan Suku Batak Toba yang Beragama

Kristen” (dalam Pemikiran Tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama

Kristen di Sumatera Utara, Bungaran Antonius Simanjuntak, editor,

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, halaman 119-132).

Sinaga, Richard. 1997. Leluhur Marga-Marga Batak dalam Sejarah, Silsilah dan

Legenda. Jakarta: Dian Utama.

Sinaga, Richard. 2012. Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama

dan Kerabat.

Page 193: perkawinan batak toba

193

Situmorang, Manginar Torang. 2006. “Simbolisme dalam Budaya Batak Toba:

Studi Kasus Upacara Perkawinan di kota Denpasar” (tesis). Denpasar:

Universitas Udayana.

Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja, Maka Saya Ada Ketika Konsumsi

dan Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Yogyakarta: Jalasutra.

Storey, John. 2006.Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies

dan Kajian Budaya Pop.(Laily Rahmawati Pentj).Yogyakarta: Jalasutra.

Strinati, Dominic. 2009. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya

Populer. (Abdul Muchid Pentj). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sukraaliawan, Nyoman. 2007. “Upacara Ngaben Massal Masyarakat Desa

Pakraman Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng: Sebuah

Kajian Budaya” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari

Plato hingga Bourdie. Yogyakarta: Jalasutra.

Tampubolon, Raja Patik. 2002. Pustaha Tumbaga Holing Adat Batak – Patik

Uhum Buku I dan II. Jakarta: Dian Utama dan Kerabat.

Wiendenhoft, Wendy. 2012. “Teori-Teori Konsumsi” (dalam Handbook Teori

Sosial, George Ritzer & Barry Smart, editors. (Imam Muttaqien, dkk.

Pentj). Jakarta: Penerbit Nusa Media, halaman 817-849).

Purkasih, Siska. 2008. Masalah Konsumerisme di Kalangan

Remaja.http://siskapurkasih.blogspot.com/2008/10/masalah-

konsumerisme-di-kalangan-remaja.html,diakses tanggal, 10 Agustus

2014

Riski, Fajar. 2012. Konsumerisme di Kalangan Remaja.http://fajar_riski_s-

fib11.web.unair.ac.id/artikel,diakses tanggal, 12 Agustus 2014,

http://catatansenibudaya.blogspot.com/2012/05/definisi-upacara-adat.html,

diakses tanggal, 7 Agustus 2014

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/51/ name/bali/

detail/ 5171/kota-denpasar, diakses tanggal, 11 Agustus 2014

http://sibaranimelin.blogspot.com/2014/01/pergeseran-perspektif-dan-budaya-

pada.html, diakses tanggal, 18 Agustus 2014

Page 194: perkawinan batak toba

194

http://wisata.balitoursclub.com/wp-content/uploads/2012/08/Peta-Wilayah-

Bali.jpg, diakses, 13 April 2015

Lampiran 1

DAFTAR INFORMAN

No. Nama L/P Usia Pendidikan Keterangan

(Tahun)

1. M. Tambunan L 62 SMA Tokoh adat

2. O. Hasibuan L 68 S1 Tokoh adat

3. M. Sinambela L 50 SMA Tokoh adat

4. Pdt. N. Hutasoit P 45 S1 Tokoh agama

5. Lamhot (samaran) L 50 S1 Pelaku

6. Isteri Lamhot P 49 S1 Pelaku

7. Tingkos (samaran) L 70 S1 Pelaku

8. Isteri Tingkos P 65 SMA Pelaku

9. Alex L 26 S1 Pemuda

10. Reni P 26 S1 Pemudi

11. Tulus (samaran) L 63 S1 Pelaku

12. Isteri Tulus P 60 S1 Pelaku

13. Tahan (samaran) L 61 S3 Pelaku

14. Isteri Tahan P 60 S3 Pelaku

15. Bonar (samaran) L 66 S1 Pelaku

16. Sabar (samaran) L 65 S1 Pelaku

17. Isteri Sabar P 65 SMA Pelaku

18. Susan (samaran) P 28 S2 Pelaku

19. Suami Susan L 26 SMA Pelaku

Page 195: perkawinan batak toba

195

20. Lasma (samaran) P 30 S1 Pelaku

21. Risma (samaran) P 62 SMA Pelaku

Lampiran 2

PEDOMAN WAWANCARA

A. Gambaran umum lokasi penelitian

1. Sudah berapa lama bapak/ibu tinggal di Denpasar?

2. Berapa anak bapak/ibu yang sudah berkeluarga?

3. Di mana anak ibu/bapak mengadakan upacara perkawinan (dalam atau luar

kota Denpasar)?

4. Apa pekerjaan ibu/bapak sehari-hari?

5. Gedung mana yang bapak/ibu gunakan untuk melakukan upacara adat

perkawinan?

B. BENTUK KONSUMERISME UPACARA PERKAWINAN BATAK

TOBA

1. Berapa jumlah biaya yang habis untuk perkawinan anak ibu/bapak?

2. Bagian mana dari pengeluaran itu yang membutuhkan biaya yang paling

besar?

3. Di gedung mana sering digunakan untuk pesta adat perkawinan Batak

Toba?

4. Bagaimana tahapan-tahapan upacara perkawinan Batak Toba di Denpasar?

5. Berapa orang biasanya yang diundang untuk menghadiri upacara

perkawinan?

6. Bolehkah bapak/ibu jelaskan apa-apa saja perlengkapan yang digunakan

dalam upacara tersebut?

C. FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT DENGAN KONSUMERISME

1. Apa saja yang dipersiapkan pihak pengantin perempuan dan laki-laki dalam

pelaksanaan upacara perkawinan?

2. Mengapa harus mengundang banyak orang dalam upacara perkawinan?

Page 196: perkawinan batak toba

196

3. Mengapa pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba memerlukan biaya

yang banyak?

4. Bagaimana pandangan anak-anak bapak/ibu terhadap pelaksanaan upacara

perkawinan Batak Toba?

5. Menurut bapak/ibu apa penyebab terjadinya konsumerisme upacara

perkawinan Batak Toba?

6. Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang konsumerisme yang terjadi dalam

upacara perkawinan itu?

D. MASALAH IMPLIKASI KONSUMERISME UPACARA

PERKAWINAN BATAK TOBA DI DENPASAR.

1. Bagaimana pandangan bapak/ibu terhadap pelaksanaan upacara perkawinan

Batak Toba di Denpasar?

2. Menurut bapak/ibu, bagaimana makna upacara perkawinan Batak Toba

yang dilakukan di Denpasar?

3. Mohon penjelasan bapak/ibu, bagaimana pandangan kaum muda tentang

upacara perkawinan Batak Toba di Denpasar?

4. Bagaimana relasi pelaksanaan upacara perkawinan terhadap sistem sosial

masyarakat Batak Toba di Denpasar.

5. Bagaimana tanggaban bapak/ibu terhadap biaya yang banyak dan waktu

yang panjang dalam pelaksanaan upacara perkawinan Batak di Denpasar?

Page 197: perkawinan batak toba

197