Percobaan Menjual Narkotika Golongan I dan Percobaan Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi Diri Sendiri Hendra Syafutra Sitakar, Gandjar Laksmana Bonaprapta Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected]Abstrak Skripsi ini membahas percobaan tindak pidana narkotika, yaitu percobaan tindak pidana menjual Narkotika Golongan I dan percobaan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan unsur percobaan pada tindak pidana menjual Narkotika Golongan I atas Pasal 114 ayat (1) dan penerapan unsur percobaan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri atas Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika. Pada dasarnya kedua percobaan itu sendiri sudah pasti memenuhi untuk salah satu unsur perbuatan di dalam Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan dipadu dengan wawancara narasumber. Kesimpulan yang penulis dapatkan adalah untuk percobaan menjual narkotika Golongan I perbuatan tersebut harus memenuhi unsur percobaan tindak pidana, yaitu unsur niat, permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Sedangkan di dalam percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, penulis menemukan tiga pandangan yang berbeda. Dari kedua percobaan tersebut, pada dasarnya masih dapat dikenakan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) atas dasar percobaan dikualifisir sebagaimana pendapat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Utrecht serta Atang Ranoemmihardja. Kata kunci: percobaan; menjual; penyalahgunaan; dikualifisir. Attempt to Sell Narcotics Category I and Attempt to Abuse Narcotics Category I for Themselves Abstract This thesis discuss about attempt of narcotics offense, namely attempt to sell Narcotics Category I and attempt to abuse Narcotics Category I for themselves. This thesis aims to find out how to know the application of criminal attempt element to the criminal offense of sell Narcotics Category I of Article 114 paragraph (1) and the application criminal attempt element to the criminal offense of narcotics abuse for themselves of Article 127 paragraph (1) letter a Narcotics Act. Basicly, both of that criminal attempt had certainly meet for one element acts in Article 111 paragraph (1) or Article 112 paragraph (1) Narcotics Act. This thesis using literature research method and combined with sources interviews. The conclusion that writers get for attemp to sell narcotics must be meet with the element of criminal attempt, namely intention, beginning of completion and the unfinished completion not solely because of the will from the perpetrator. While for attempt to abuse Narcotics Category I for themselves, writers found three different views. Basicly, both of that criminal attempt can still be imposed by Article 111 paragraph (1) or Article 112 paragraph (1) on the basis of exacerbated attempt as the opinion of E.Y. Kanter and S.R. Sianturi, Utrecht and Atang Ranoemmihardja. Keywords: attempt; sell; abuse; exacerbated. Percobaan menjual…, Hendra Syafutra Sitakar, FH UI, 2014
19
Embed
Percobaan Menjual Narkotika Golongan I dan Percobaan ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Percobaan Menjual Narkotika Golongan I dan Percobaan Penyalahgunaan
Skripsi ini membahas percobaan tindak pidana narkotika, yaitu percobaan tindak pidana menjual Narkotika Golongan I dan percobaan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan unsur percobaan pada tindak pidana menjual Narkotika Golongan I atas Pasal 114 ayat (1) dan penerapan unsur percobaan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri sendiri atas Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika. Pada dasarnya kedua percobaan itu sendiri sudah pasti memenuhi untuk salah satu unsur perbuatan di dalam Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan dipadu dengan wawancara narasumber. Kesimpulan yang penulis dapatkan adalah untuk percobaan menjual narkotika Golongan I perbuatan tersebut harus memenuhi unsur percobaan tindak pidana, yaitu unsur niat, permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendak pelaku. Sedangkan di dalam percobaan penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri, penulis menemukan tiga pandangan yang berbeda. Dari kedua percobaan tersebut, pada dasarnya masih dapat dikenakan Pasal 111 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) atas dasar percobaan dikualifisir sebagaimana pendapat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Utrecht serta Atang Ranoemmihardja. Kata kunci: percobaan; menjual; penyalahgunaan; dikualifisir.
Attempt to Sell Narcotics Category I and Attempt to Abuse Narcotics Category I for Themselves
Abstract
This thesis discuss about attempt of narcotics offense, namely attempt to sell Narcotics Category I and attempt to abuse Narcotics Category I for themselves. This thesis aims to find out how to know the application of criminal attempt element to the criminal offense of sell Narcotics Category I of Article 114 paragraph (1) and the application criminal attempt element to the criminal offense of narcotics abuse for themselves of Article 127 paragraph (1) letter a Narcotics Act. Basicly, both of that criminal attempt had certainly meet for one element acts in Article 111 paragraph (1) or Article 112 paragraph (1) Narcotics Act. This thesis using literature research method and combined with sources interviews. The conclusion that writers get for attemp to sell narcotics must be meet with the element of criminal attempt, namely intention, beginning of completion and the unfinished completion not solely because of the will from the perpetrator. While for attempt to abuse Narcotics Category I for themselves, writers found three different views. Basicly, both of that criminal attempt can still be imposed by Article 111 paragraph (1) or Article 112 paragraph (1) on the basis of exacerbated attempt as the opinion of E.Y. Kanter and S.R. Sianturi, Utrecht and Atang Ranoemmihardja. Keywords: attempt; sell; abuse; exacerbated.
Menurut kata sehari-hari yang diartikan sebagai percobaan adalah menuju ke suatu hal,
akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai
akan tetapi tidak selesai.1 Apabila perumusan tindak pidana atau delict itu dihubungkan
dengan percobaan tindak pidana (poging), maka tampak bahwa poging tidak mengandung
unsur seperti yang terkandung oleh delict. Sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa poging
bukan merupakan suatu tindak pidana atau delict.2 Poging sendiri adalah perluasan dapat
dipidananya seseorang.3 Pengaturan percobaan melakukan tindak pidana pada dasarnya akan
merujuk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP),
yaitu Pasal 53 dan 54 KUHP. Unsur dari percobaan tindak pidana itu sendiri terdiri dari niat,
permulaan pelaksanaan, pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak
pelaku sendiri. Pidana yang diancamkan terhadap percobaan tindak pidana sesuai dengan
pengaturan yang terdapat di dalam KUHP adalah dikurangi sepertiga dari ancaman pidana
maksimum dan untuk kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Di dalam Undang-Undang Narkotika juga diatur mengenai percobaan melakukan
tindak pidana. Pengaturan ini terdapat di dalam Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika.
Terdapat pengaturan berbeda dari segi pidana yang diancamkan antara percobaan tindak
pidana narkotika dengan percobaan tindak pidana di dalam KUHP. Di dalam Undang-Undang
Narkotika diatur bahwa ancaman pidana untuk percobaan tindak pidana narkotika adalah
sama sesuai dengan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut4.
Tindak pidana narkotika merupakan the most serious crime yang dipersamakan
efeknya dengan tindak pidana terorisme, korupsi dan pelanggaran HAM berat. Hal ini
terdapat di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 bertanggal 30
Oktober 2007.5 Salah satu tindak pidana yang diatur dalam Undang -Undang Narkotika
1 R. Soesilo (1), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal demi Pasal , (Bogor: Politeia, 1991), hal. 69. 2 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof. Satochid Kartanegara S.H dan
Pendapat2 Para Ahli Hukum Terkemuka, Bagian Satu, (s.l: Balai Lektur Mahasiswa, s.t), hal. 364. 3 Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta: Universitas
Tarumanagara UPT Penerbitan Jakarta, 1996), hal. 5.
4 Indonesia, Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No. 5062, Ps. 132 ayat (1).
5 Komisi Yudisial Republik Indonesia, “Hak dalam Kemelut Hukum,” Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 2 (Agustus 2013): 22.
dicapai.6 Unsur dari percobaan tindak pidana terdiri dari niat, permulaan pelaksanaan dan
tidak selesainya pelaksanaan karena pengaruh dari luar diri pelaku. Niat atau maksud
memiliki arti bahwa orang itu haruslah mempunyai suatu maksud untuk melakukan suatu
kejahatan tertentu.7 Permulaan pelaksanaan menunjukkan bahwa maksud orang tersebut telah
ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki. 8 Khusus
mengenai permulaan pelaksanaan ini dapat ditinjau dari dua teori, yaitu teori subjektif dan
teori objektif. Permulaan pelaksanaan menurut teori subjektif adalah permulaan pelaksanaan
dari niat jahat pelaku.9 Sedangkan permulaan pelaksanaan menurut teori objektif adalah
permulaan pelaksanaan dari kejatahatan. Dalam hal ini perlu diperhatikan permulaan
pelaksanaan untuk delik formil. Delik formil adalah delik yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu
perbuatan tertentu.10Menurut Simons permulaan pelaksanaan untuk delik formil terdapat
ketika perbuatan pelaku sudah termasuk ke dalam sebagian dari perbuatan yang dirumuskan
(terlarang) oleh undang-undang.11 Menurut Barda Nawawi Arief, permulaan pelaksanaan
pada delik formil menurut teori objektif dititikberatkan kepada sifat berbahaya perbuatan itu
terhadap tata hukum. Delik dikatakan menjadi suatu rangkaian dari perbuatan-perbuatan yang
terlarang. Jadi ketika seseorang telah melakukan sebagian dari rangkaian tersebut, maka ia
telah dianggap membahayakan tata hukum.12 Unsur ketiga adalah pelaksanaan yang tidak
selesai hanya karena keadaan dari luar kehendak si pelaku. Maksudnya adalah tidak
selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai itu haruslah
disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri.13
6Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal -Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia)[Inleiding tot de Studie van het Nederlandse Strafrecht], diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeliono dkk, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 285.
7 P.A.F. Lamintang (1), Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1997), hal. 537. 8 Ibid.,
9 Loqman, Op.Cit., hal. 18. 10 Adami Chazawi (1), Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 125-126. 11 E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 320. 12 Barda Nawawi Arif, Sari Kuliah Hukum Pidana II, (Semarang: Universitas Diponegoro 1999), hal. 4.
Pandangan ini merupakan pendapat dari Pihak BNN Republik
Indonesia dan BNNP DKI Jakarta. Pendapat pertama ini menyatakan bahwa
penerapan Pasal 127 ayat (1) huruf a jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP merupakan
suatu hal yang tidak tepat. Ada dua solusi yang diberikan di dalam menyikapi
penerapan Pasal 127 ayat (1) huruf a jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP, yaitu:23
a. Terhadap tersangka dikenakan Pasal 111 atau Pasal 112 Undang-Undang
Narkotika dengan catatan tersangka belum mengonsumsi narkotika
tersebut dan tersangka bukanlah orang yang terkait jaringan pengedar
narkotika.
b. Terhadap tersangka dikenakan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang
Narkotika tetapi harus didukung dengan tes urin atau tes darah yang
menyatakan bahwa tersangka ini adalah orang yang memakai narkotika
(mengonsumsi narkotika untuk dirinya sendiri).
B. Pandangan Kedua
Pandangan kedua ini merupakan hasil studi pustaka yang penulis
lakukan atas Buku Karangan AR. Sujono dan Bony Daniel (Komentar dan
Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) serta
Putusan Tingkat Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1386 K/Pid.Sus/2011 atas
nama terdakwa Sidiq Yudhi Arianto. Pandangan ini berpendapat bahwa
terhadap pelaku (bukan pengedar narkotika) yang bermaksud untuk
mengonsumsi narkotika yang ada padanya tetapi sudah tertangkap pada saat
memiliki, menguasai atau menyimpan narkotika, maka langsung dipidana atas
Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Narkotika. Dengan demikian terhadap
pelaku yang belum sempat mengonsumsi narkotika bukanlah dikenakan Pasal
127 ayat (1) jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP atas dasar percobaan penyalahgunaan
narkotika bagi diri sendiri.
C. Pandangan Ketiga
Pendapat yang cukup berbeda diutarakan oleh Prof. Dr. Edward Omar
Sharif Hiariej. Beliau berpendapat, jika Undang-Undang Narkotika tidak
mencantumkan percobaan terkait Pasal 127 ayat (1) huruf a, hal tersebut 23 Wawancara dengan Eryan Noviandi selaku Kasi Konsultasi Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, bertempat di Kantor Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, pada tanggal 28 Maret 2014 pukul 10.00 WIB.
positif mengandung metamfetamina yang terdaftar sebagai Narkotika
Golongan I di dalam Undang-Undang Narkotika.26
b. Pandangan kedua
Apabila dikaitkan dengan pandangan kedua ini, penerapan Pasal 127
ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP pada
putusan ini merupakan hal yang tidak tepat. Dari pandangan kedua ini dapat
disimpulkan bahwa terhadap terdakwa seharusnya dikenakan Pasal 127 ayat
(1).
c. Pandangan Ketiga
Apabila ditinjau dari pandangan ini, maka penerapan Pasal Pasal 127
ayat (1) huruf a Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP di
dalam Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 14/Pid.Sus/2011/PN.Tgl
merupakan suatu hal yang tidak tepat. Karena perbuatan terdakwa bukanlah
suatu percobaan tindak pidana, terlebih terdakwa ditangkap pada saat saat
hendak pulang ke rumah kos terdakwa setelah membeli narkotika dari Amar.
Adapun niat terdakwa di dalam kasus ini adalah untuk menggunakan atau
mengonsumsi bagi diri sendiri shabu yang dibeli dari Amar. Hal ini dilarang
oleh Undang-Undang Narkotika, yaitu pada Pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Narkotika.
Permulaan pelaksanaan di dalam penerapan Pasal 127 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Narkotika jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP didasarkan atas
permulaan pelaksanaan dari teori objektif. 27 Untuk shabu sendiri, cara
pengonsumsiannya dapat dilakukan dengan membakar shabu di atas
aluminium foil. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa permulaan
pelaksanaan diatas percobaan penyalahgunaan shabu terdapat pada perbuatan
pelaku sebelum menghisap asap dari shabu yang dibakar di atas aluminium foil.
Di dalam hal ini perbuatan terdakwa yang ditangkap pada saat akan pulang ke
rumah kos terdakwa belum dapat dikatakan sebagai permulaan pelaksanaan
ditinjau dari teori objektif.
26 Hal ini diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalah Guna, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial di angka ke-2 huruf c. 27 Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej melalui email, pada tanggal 5 Mei 2014, pukul 10.00 WIB.