Top Banner
i PERBEDAAN PERSEPSI EKSPRESI WAJAH PADA ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Disusun oleh: Laurensia Aniella Hosea NIM: 149114056 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2018 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160

PERBEDAAN PERSEPSI EKSPRESI WAJAH PADA ETNIK JAWA DAN ETNIK … · 2018. 7. 20. · PADA ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Feb 10, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • i

    PERBEDAAN PERSEPSI EKSPRESI WAJAH

    PADA ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

    Program Studi Psikologi

    Disusun oleh:

    Laurensia Aniella Hosea

    NIM: 149114056

    PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS SANATA DHARMA

    YOGYAKARTA

    2018

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • iv

    HALAMAN MOTTO

    “Be Strong and courageous.

    Do not be frightened and do not be dismayed

    for the Lord your God is with you wherever you go”

    -Joshua 1:9 -

    “Jangan pernah sia-siakan waktu,

    karena waktu tidak pernah menunggu kita.

    Jadi selalu lakukan yang terbaik”

    -Kevin Sanjaya S.-

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • v

    HALAMAN PERSEMBAHAN

    Kupersembahkan karya ini untuk:

    Tuhan Yesus Kristus yang pintu rumah-Nya selalu terbuka

    Bunda Maria yang selalu menjadi Ibu dan perantara doa-doa

    Mama, Papa, dan adik untuk segala cintanya

    Semua sahabat yang telah mendukung penulis

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • vii

    PERBEDAAN PERSEPSI EKSPRESI WAJAH

    PADA ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA

    Laurensia Aniella Hosea

    ABSTRAK

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kejelasan persepsi terhadap ekspresi

    wajah pada etnik Jawa dan etnik Tionghoa. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan

    kejelasan persepsi pada stimuli emosi ekspresi wajah pada etnik Jawa dan etnik Tionghoa. Etnik

    Tionghoa lebih mampu untuk menangkap emosi sedih, marah, dan takut dengan jelas. Subjek

    penelitian berjumlah 40 orang yang terdiri dari 22 orang etnik Jawa dan 18 orang etnik Tionghoa,

    yang berada pada usia 19-30 tahun. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah angket identitas

    etnik, slide stimuli emosi serta lembar jawab stimuli emosi. Alat stimuli emosi yang digunakan

    dalam penelitian ini terdiri dari 24 foto ekspresi wajah dengan model yang berasal dari berbagai

    latar belakang budaya di Indonesia. Alat ini diciptakan oleh Prawitasari pada tahun 1990 dengan

    reliabilitas 0,702 hingga 0,885. Analisis data menggunakan uji Indipendent sample t-test dan analisis

    deskriptif.. Hasil uji independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

    signifikan pada kejelasan persepsi emosi senang (t = 1,114; p= 0,272), emosi marah (t = 0,693; p =

    0,492), emosi sedih (t = 0,281;p=0,780), serta emosi takut (t = 0,145; p = 0,885) pada etnik Jawa

    dan etnik Tionghoa. Hasil uji analisis deskriptif menunjukkan bahwa etnik Jawa dan etnik Tionghoa

    mampu untuk mempersepsikan emosi senang, marah, dan sedih yang ada pada ekspresi wajah;

    namun kesulitan dalam mempersepsikan ekspresi wajah yang mengungkapkan emosi takut.

    Kata kunci: persepsi, ekspresi wajah, identitas etnik

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • viii

    THE DIFFERENCE OF FACIAL EXPRESSION PERCEPTION

    BETWEEN JAVANESE AND CHINESE

    Laurensia Aniella Hosea

    ABSTRACT

    This research aimed to know the clarity difference about perception of facial expression between Javanese and Chinese. This study proposed there was a significant differences in the

    perception of facial expression clarity between Javanese and Chinese. The hypothesis assumed

    Chinese could perceive sadness, anger, and fear more clearance than Javanese. Subject in this

    study was 40 people which are 22 Javanese and 18 Chinese with age range about 19 -30 years old.

    The tools in this study were ethnic identity questionnaire, slides of emotion stimulus, and the answer

    sheet of emotion stimulus. The slides of emotion stimulus were consist of 24 facial expression

    photograph with several Indonesian cultures. This tool was developed by Prawitasari in 1990 and

    has reliability between 0,702 to 0,885. The analysis in this study used independent sample t-test and

    descriptive analysis. The independent sample t-test showed there was no significant differences in

    the perception of facial expression between Javanese and Chinese. Furthermore based on the

    descriptive analysis, Javanese and Chinese can perceive happiness, sadness, and anger which was

    shown in facial expression, but both groups had misperception to perceive fear.

    Keywords: perception, facial expression, ethnic identity

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • x

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa untuk segala

    berkat dan rahmat kasihnya sehingga saya mampu untuk menyelesaikan karya

    tulis ini. Saya juga ingin menghaturkan terima kasih kepada semua yang telah

    memberikan dukungan kepada:

    1. Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas

    Sanata Dharma

    2. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi., MA selaku dosen pembimbing skripsi.

    Terima kasih untuk segala waktu, tenaga, dukungan dan bimbingan yang

    telah diberikan kepada penulis serta terima kasih pula telah menjadi sosok

    ibu yang mendampingi serta selalu berusaha untuk memahami penulis.

    Terbaik!

    3. Prof. Johana Endang Prawitasari, yang telah bersedia untuk berdiskusi

    dengan penulis untuk memberikan masukan serta saran penelitian baik

    secara tatap muka maupun melalui e-mail. Terima kasih pula telah

    memberikan ijin kepada peneliti untuk menggunakan alat stimuli emosi

    dalam penelitian skripsi ini.

    4. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih

    atas ilmunya, terutama kepada Ibu Monica E. M., Ph.D.; Dr. Y.B. Cahya

    W.,Ph. D; Emannuel Satyo Yuwono, S.Psi., M.Hum., Edward Theodorus,

    M.App.Psy.; C. Siswa Widyatmoko, M.Psi, Diana Permata S., S.Psi.,

    M.Sc, dan Dr. A. Priyono Marwan, S.J. yang telah bersedia meluangkan

    waktunya untuk berdiskusi dengan penulis mengenai skripsi ini.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xi

    5. Kepala Pusat Pelayanan Tes dan Konsultasi Psikologi (P2TKP)

    Universitas Sanata Dharma, Bapak Timotius Maria Raditya Hernawa,

    M.Psi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menggunakan

    sarana dan prasarana P2TKP dalam pelaksanaan penelitian.

    6. Kepada keluarga saya, Papa, Mama, Lia dan seluruh keluarga besar yang

    telah memberikan cinta dan doanya untuk mendukung penulis dalam

    penyelesaian skripsi.

    7. Sahabat-sahabat penulis Regina Fatma Lucky, Ivena Karin, Ni Nyoman

    Trisna Umeda, Ant. Oktasadewa P.S., Karunia Setia, Elizabeth Widiasri,

    Agata Mega, Tiffany Gunawan, dan Stefany Margareth yang tak kenal

    lelah selalu menjadi sahabat dan penyemangat bagi penulis selama proses

    pengerjaan skripsi. Terima kasih telah menjadi pendengar dan pundak bagi

    penulis untuk bersandar ketika sedang mengalami kesulitan. Big hug and

    thanks!

    8. AJCU-SLP 2017, terima kasih karena pengalaman 3 minggu tersebut telah

    memberikan inspirasi bagi penulis dalam memilih topik penelitian ini.

    Terima kasih pula kepada teman-teman AJCU SLP 2017 dari Indonesia,

    Filipina, Jepang, dan Korea yang telah membuka wawasan dan

    memberikan ilmu bagi penulis melalui sharing dan diskusi. Terima kasih

    pula untuk kehangatan yang telah kalian berikan. Maraming Salamat po!

    *Holy Necklace*

    9. Koko Edwin, Kak KI, Kak Panca, dan Kak Dimas, yang telah bersedia

    meluangkan waktu dan tenaganya untuk senantiasa menjadi teman diskusi

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xii

    peneliti selama proses pengerjaan skripsi. Kehadiran kalian sungguh

    sangat berarti bagi penulis.

    10. Seluruh anggota DPMF 2016, terutama Komisi C yang telah

    memperkenalkan penulis tentang organisasi serta membentuk penulis

    menjadi pribadi yang lebih baik. Terima kasih untuk seluruh

    pengalamannya.

    11. Seluruh anggota BEMU 2017, terutama jajaran sekjen, untuk Ibu Agnes,

    Ko Rudy, Kevin, dan Keket yang telah mengajarkan penulis untuk selalu

    berjuang dalam berbagai macam situasi yang ada.

    12. Teman-teman P2TKP, mbak otik, mbak thia, dan mbak erlita. Terima

    kasih untuk ilmu, pengalaman, sharing, semangat dan dukungannya yang

    luar biasa untuk penulis.

    13. Seluruh teman angkatan 2014, terutama teman-teman kelas A 2014, terima

    kasih telah mewarnai 6 semesterku dengan warna kalian masing-masing.

    Serta tidak lupa terima kasih kepada teman-teman satu pondokan skripsi

    untuk seluruh canda tawa dan sharing-nya terutama pada saat-saat

    mengantri bimbingan.

    14. Seluruh orang yang terlibat dalam proses pengerjaan skripsi, untuk teman-

    teman yang telah membantu dalam penyebaran angket untuk mencari

    partisipan penelitian serta seluruh orang yang telah bersedia berpartisipasi

    dalam penelitian ini. Tanpa kalian tentunya skripsi ini tidak akan selesai.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xiii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

    HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ....................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

    HALAMAN MOTTO ............................................................................................ iv

    HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. v

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ vi

    ABSTRAK ............................................................................................................ vii

    ABSTRACT ........................................................................................................... viii

    LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ...................................................... ix

    KATA PENGANTAR ............................................................................................ x

    DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii

    DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi

    DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xviii

    BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

    A. LATAR BELAKANG ................................................................................. 1

    B. RUMUSAN MASALAH .......................................................................... 10

    C. TUJUAN PENELITIAN ........................................................................... 10

    D. MANFAAT PENELITIAN ....................................................................... 10

    1. Manfaat Teoritis ................................................................................... 10

    2. Manfaat Praktis ..................................................................................... 11

    BAB II. DASAR TEORI ...................................................................................... 12

    A. EMOSI PADA EKSPRESI WAJAH ........................................................ 12

    1. Emosi .................................................................................................... 12

    2. Ekspresi Wajah ..................................................................................... 13

    3. Jenis-Jenis Emosi dalam Ekspresi Wajah ............................................. 16

    4. Stimuli Emosi ……………………………………………………….. 20

    B. PERSEPSI ................................................................................................. 21

    1. Pengertian Persepsi ............................................................................... 21

    2. Proses Persepsi ..................................................................................... 22

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xiv

    3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi ....................................... 24

    C. IDENTITAS ETNIK ................................................................................. 28

    1. Definisi Identitas Etnik ......................................................................... 28

    2. Aspek-aspek Identitas Etnik ................................................................. 31

    3. Pengaruh Identitas Etnik ....................................................................... 33

    4. Perkembangan Identitas Etnik .............................................................. 34

    5. Etnik Jawa ............................................................................................ 35

    6. Etnik Tionghoa ..................................................................................... 37

    D. DINAMIKA PERBEDAAN PERSEPSI EKSPRESI WAJAH PADA

    ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA .............................................. 41

    E. SKEMA PENELITIAN ............................................................................. 46

    F. HIPOTESIS ............................................................................................... 47

    BAB III. METODE PENELITIAN....................................................................... 48

    A. JENIS PENELITIAN ................................................................................ 48

    B. VARIABEL PENELITIAN ...................................................................... 48

    C. DEFINISI OPERASIONAL ..................................................................... 49

    1. Kejelasan Persepsi Pada Etnik Jawa dan Etnik Tionghoa .................... 49

    2. Ekspresi Wajah ..................................................................................... 49

    D. SUBJEK PENELITIAN ............................................................................ 50

    E. ALAT PENGUMPUL DATA ................................................................... 51

    a. Angket Identitas Etnik .......................................................................... 51

    b. Slide Stimuli Emosi .............................................................................. 52

    c. Lembar Jawab Stimuli Emosi ............................................................... 53

    F. PROSEDUR EKSPERIMEN .................................................................... 53

    G. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ........................................................ 56

    1. Validitas Internal .................................................................................. 56

    2. Validitas Eksternal ................................................................................ 57

    3. Validitas Alat Eksperimen .................................................................... 59

    4. Reliabilitas Alat Eksperimen ................................................................ 59

    H. METODE ANALISIS DATA ................................................................... 60

    1. Uji Asumsi ............................................................................................ 60

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xv

    a. Uji Normalitas .................................................................................. 60

    b. Uji Homogenitas .............................................................................. 60

    2. Uji Hipotesis ......................................................................................... 61

    3. Analisis Deskriptif ................................................................................ 61

    BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………...62

    A. PERSIAPAN PENELITIAN ..................................................................... 62

    1. Penyebaran angket identitas etnik ........................................................ 62

    2. Pilot study ............................................................................................. 63

    B. PELAKSANAAN PENELITIAN ............................................................. 65

    C. DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN ....................................................... 66

    D. DESKRIPSI DATA PENELITIAN .......................................................... 68

    E. HASIL PENELITIAN ............................................................................... 72

    1. Uji Normalitas ...................................................................................... 72

    2. Uji Homogenitas ................................................................................... 73

    3. Uji Hipotesis ......................................................................................... 74

    4. Analisis Deskriptif ................................................................................ 75

    5. Analisis Tambahan ............................................................................... 88

    F. PEMBAHASAN ....................................................................................... 90

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………...96

    A. Kesimpulan ................................................................................................ 96

    B. Saran .......................................................................................................... 96

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 98

    LAMPIRAN ........................................................................................................ 102

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xvi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Deskripsi Subjek Pilot Study .................................................................. 63

    Tabel 2. Deskripsi Subjek Penelitian Etnik Jawa ................................................. 66

    Tabel 3. Deskripsi Subjek Penelitian Etnik Tionghoa .......................................... 67

    Tabel 4. Data Empirik Emosi Senang, Sedih, Marah dan Takut pada Seluruh

    Subjek ..................................................................................................... 69

    Tabel 5. Perbandingan Mean Empirik dengan Mean Teoritis Emosi Senang,

    Sedih, Marah, dan Takut pada Seluruh Subjek ...................................... 69

    Tabel 6. Data Empirik Emosi Senang, Sedih, Marah dan Takut pada Etnik

    Jawa......................................................................................................... 70

    Tabel 7. Perbandingan Mean Empirik dengan Mean Teoritis Emosi Senang,

    Sedih, Marah, dan Takut pada Etnik Jawa ............................................. 70

    Tabel 8. Data Empirik Emosi Senang, Sedih, Marah dan Takut pada Etnik

    Tionghoa ................................................................................................. 71

    Tabel 9. Perbandingan Mean Empirik dengan Mean Teoritis Emosi Senang,

    Sedih, Marah, dan Takut pada Etnik Tionghoa ..................................... 71

    Tabel 10. Uji Normalitas ....................................................................................... 73

    Tabel 11. Uji Homogenitas ................................................................................... 74

    Tabel 12. Independent Sample T-test.................................................................... 75

    Tabel 13. Hasil Persepsi Jenis Emosi pada Ekspresi Wajah oleh Seluruh

    Subjek ..................................................................................................... 76

    Tabel 14. Hasil Persepsi Jenis Emosi pada Ekspresi Wajah oleh Etnik

    Tionghoa ................................................................................................. 80

    Tabel 15. Hasil Persepsi Jenis Emosi pada Ekspresi Wajah oleh Etnik Jawa ...... 84

    Tabel 16. Uji Normalitas Data Berdasarkan Jenis Kelamin ................................. 88

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xvii

    Tabel 17. Independent Sample T-test Emosi Marah dan Emosi Takut pada Laki-

    laki dan Perempuan ................................................................................. 89

    Tabel 18. Mann-Whitney U Test Emosi Senang dan Emosi Sedih pada Laki-laki

    dan perempuan ........................................................................................ 90

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • xviii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. Hasil Survei Etnik ........................................................................... 104

    Lampiran 2. Angket Identitas Etnik .................................................................... 110

    Lampiran 3. Hasil Uji T Mean Teoritik dan Mean Empirik ............................... 117

    Lampiran 4. Hasil Uji Asumsi ........................................................................... 120

    Lampiran 5. Hasil Uji Hipotesis ......................................................................... 123

    Lampiran 6. Hasil Uji Deskriptif ........................................................................ 125

    Lampiran 7. Hasil Analisis Tambahan ................................................................ 142

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Komunikasi merupakan salah satu hal yang penting dan tidak dapat

    dipisahkan dalam kehidupan manusia. Komunikasi berfungsi untuk memenuhi

    kebutuhan manusia, menyampaikan perasaan, menyampaikan tujuan,

    membangun hubungan dengan orang lain, hingga mempengaruhi orang lain

    (Barker & Gaut, 1941). Hybels dan Waaver (2004) mendefinisikan komunikasi

    sebagai semua proses untuk membagikan informasi, ide dan perasaan yang

    dimiliki oleh seseorang kepada orang lain. Berdasarkan pengertian tersebut,

    maka komunikasi yang efektif menjadi hal yang sangat penting supaya pesan

    yang dikirimkan oleh pengirim dapat dipersepsikan dengan arti yang sama pula

    oleh penerima pesan.

    Persepsi memiliki peran yang penting dalam komunikasi. Persepsi

    mengandung arti sebagai sekumpulan tindakan mental yang mengatur

    dorongan-dorongan sensoris dalam memaknai suatu pola (Wade, Travis,

    Garry, 2016). Ratner (2002) mengatakan bahwa seluruh proses tindakan mental

    merupakan sebuah produk budaya yang kemudian membentuk memori

    seseorang untuk menambahkan atau menghilangkan beberapa hal sehingga

    informasi yang ditangkap lebih mudah untuk diterima atau lebih familiar.

    Sejalan dengan pengertian tersebut, Hinton (2016) mengatakan bahwa persepsi

    adalah proses pemberian makna pada sensasi yang ada. Sensasi tersebut

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 2

    didapatkan melalui aktivitas indera tubuh, seperti mata yang melihat, hidung

    yang mencium aroma, ataupun lidah yang merasakan (Hinton, 2016).

    Hinton (2016) mengatakan bahwa persepsi merupakan sebuah proses

    yang kompleks karena merupakan kombinasi informasi-informasi sensasi

    dengan pengetahuan, dan pengalaman. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan

    perbedaan persepsi dalam melakukan komunikasi. Salah satu kasusnya ialah

    kasus seorang remaja bernama Wendy, yang menikam temannya sendiri

    bernama Hendi Leonardo hingga tewas. Kejadian ini terjadi pada tanggal 8 Mei

    2017. Hal ini berawal ketika Wendy bertemu dengan Hendi yang sedang

    bersama dengan teman-temannya. Ketika bertemu, Hendi berkata kepada

    Wendy "Ngape ngelik-ngelik, nak belage ape", dalam bahasa Indonesia

    artinya ialah kenapa lihat-lihat, mau ngajak berkelahi apa. Kemudian karena

    merasa takut, Wendy pergi dan mengambil sebuah pisau. Selanjutnya, mereka

    bertemu kembali di lapangan voli dan kemudian berkelahi. Merasa dalam

    posisi yang tidak aman, Wendy menusukkan pisau ke bagian dada korban dan

    kemudian melarikan diri (Wedya, 2017). Dalam kejadian tersebut, kata ngelik-

    ngelik atau lihat-lihat menunjukkan bahwa ungkapan verbal tersebut terjadi

    setelah munculnya sebuah ekspresi wajah tertentu; dan kemudian dilanjutkan

    dengan munculnya persepsi “nak belage ape” atau “mau mengajak berkelahi

    apa”. Berdasarkan penjelasan tersebut maka penyebab munculnya masalah

    dapat dikarenakan oleh perbedaan persepsi dalam mengartikan komunikasi

    nonverbal, secara khusus ekspresi wajah, yang menyebabkan tewasnya

    seseorang.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 3

    Untuk lebih mengkaji relevansi permasalahan terkait perbedaan

    persepsi pada komunikasi nonverbal dalam kehidupan sehari-hari, peneliti

    melakukan survey dengan membagikan kuesioner secara online kepada 17

    responden. Hasilnya ialah 88,24% atau 15 orang responden pernah mengalami

    perbedaan persepsi atau salah paham dalam menggunakan komunikasi

    nonverbal. Selanjutnya, sebanyak 80% dari 15 responden tersebut memiliki

    pengalaman salah paham dalam mempersepsikan ekspresi wajah. Hasil survey

    tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 66,67% dari pengalaman salah

    paham mempersepsikan ekspresi wajah ialah kesalahpahaman mengartikan

    emosi. Sebanyak 87,5% responden tersebut salah dalam mempersepsikan

    emosi marah serta sebaliknya. Data tersebut membuktikan bahwa perbedaan

    persepsi dalam menggunakan komunikasi nonverbal, terutama

    mempersepsikan emosi melalui ekspresi wajah merupakan masalah yang

    sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, persepsi emosi

    merupakan sinyal komunikasi yang adaptif, yang memiliki banyak pengaruh

    dalam kehidupan sehari-hari, seperti informasi yang menunjukkan bagaimana

    seseorang harus bersikap terhadap orang lain apakah lebih baik untuk didekati

    atau menghindar, dan memberikan informasi mengenai kepribadian seseorang

    (Tracy, Randles, & Steckler, 2015)

    Matsumoto dan Hwang (2012) menjelaskan emosi sebagai reaksi

    biopsikososial yang bersifat sementara terhadap suatu kejadian yang

    mengandung konsekuensi terhadap kesejahteraan seseorang dan berpotensi

    membutuhkan respon yang segera. Denzin menambahkan bahwa emosi

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 4

    bergantung pada hubungan sosial yang meliputi komponen-komponen

    perasaan, intepretasi, kosa kata, serta sejarah sosial yang dimiliki (1984 dalam

    Strongman, 2003). Salah satu kunci dalam memahami emosi adalah dengan

    ekspresi wajah. (Russell & Fernandez-Dols, 2002). Hal tersebut menyebabkan

    pentingnya ekspresi wajah memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-

    hari.

    Ekspresi wajah merupakan salah satu jenis dari komunikasi nonverbal.

    Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi yang tidak melibatkan

    penggunaan kata-kata. Mehrabian, (1980, dalam Hybels & Waaver II, 2004),

    mengatakan bahwa dalam komunikasi, 93% jenis komunikasi yang digunakan

    adalah komunikasi nonverbal. Data tersebut menunjukkan peranan komunikasi

    nonverbal yang sangat sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari.

    Selanjutnya Brody, (1992, dalam Hybels & Waaver II, 2004), mengatakan

    bahwa 55% dari komunikasi nonverbal menggunakan ekspresi wajah, postur,

    serta gerakan tubuh; dan 38 % menggunakan nada yang digunakan dalam

    suara. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi wajah, postur, dan gerakan tubuh,

    merupakan jenis komunikasi nonverbal yang sering digunakan dalam

    kehidupan sehari-hari.

    Ekpresi wajah sendiri memiliki dua pengertian. Pertama, ekpresi wajah

    diartikan sebagai ekspresi yang dimunculkan oleh seseorang. Pengertian

    tersebut sejalan dengan pendapat Ekman (dalam Prawitasari, 2006) yang

    mengatakan bahwa emosi yang ditunjukkan pada ekspresi wajah merupakan

    hasil gerakan otot saraf, sehingga bersifat universal. Kedua, ekspresi wajah

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 5

    dapat diartikan sebagai reaksi dari orang yang mempersepsikan suatu ekspresi

    wajah (Russell & Fernandez-Dols, 2002).

    Ekspresi wajah sebagai salah satu jenis dari komunikasi nonverbal

    merupakan hasil bentukan dari budaya yang dimiliki oleh seseorang (Hybels &

    Waaver II, 2004). Budaya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari pola

    berpikir dan perilaku yang menetap yang dibentuk, diadopsi, dan disebarkan

    oleh beberapa individu yang bergabung di dalamnya (Ratner, 2002). Budaya

    memberikan pengaruh dengan cara membentuk cara berpikir yang berbeda

    dengan membentuk stereotip yang mengarahkan seseorang untuk meyadari

    atau mengabaikan hal-hal tertentu (Wade, Travis, & Garry, 2016). Budaya juga

    memainkan peran yang penting untuk mempersepsikan ekspresi wajah tersebut

    (Wade, Tavris, & Garry, 2016).

    Salah satu hasil budaya ialah adanya culutural display rules dan

    cultural decoding rules pada ekspresi wajah (Elfenbein, 2017). Ekman (1972,

    dalam Elfenbein, 2017) mendefinisikan cultural display rules sebagai aturan-

    aturan budaya yang mengarahkan cara menunjukkan ekspresi emosi yang tepat

    (Ekman & Friesen, 1971, dalam Hess & Hareli, 2017). Sejalan dengan cultural

    display rules, Matsumoto (1989, dalam Elfenbein, Emotional Dialect in the

    Language of Emotion, 2017) memunculkan istilah decoding rules. Decoding

    rules merupakan aturan-aturan dalam mempersepsikan emosi yang ada pada

    ekspresi wajah orang lain yang dianggap benar oleh suatu budaya (Elfenbein,

    2017).

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 6

    Dialect theory mengatakan bahwa perbedaan budaya yang dimiliki oleh

    seseorang akan timbul ketika mencoba mempersepsikan emosi orang lain

    dengan akurat (Elfenbein, 2017). Dialect theory mengatakan bahwa terdapat

    hubungan langsung antara ekspresi emosi dan persepsi emosi yang

    dimunculkan oleh karena perbedaan budaya (Elfenbein & Ambady, 2003).

    Buck (1984, dalam Hess & Hareli, 2017) dan Hess (2001, dalam Hess & Hareli,

    2017) menambahkan bahwa seseorang akan memepersepsikan emosi dengan

    kurang akurat pada ekspresi-ekspresi emosi yang pada budaya tertentu

    dilarang.

    Sebuah penelitian yang dilakukan di luar Indonesia, membandingkan

    antara budaya Anglo (Australia, Inggris, Afrika Selatan (White South Africa),

    Selandia Baru, Kanada, Irlandia dan Amerika Serikat) dengan budaya Timur

    atau Konfusian (China, Taiwan, Singapura, Hongkong, Korea Selatan, dan

    Jepang), menemukan bahwa terdapat kesalahan dalam membaca emosi antara

    pelanggan dengan service provider yang berasal dari budaya yang berbeda

    (Tombs, Bennett, & Ashkanasy, 2014). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan

    penjelasan bahwa persepsi emosi secara terus menerus dipengaruhi oleh

    konteks yang ada (Barrett, Lisa Feldman; Mesquita, Batja; Gendron, Maria;,

    2011; Gendron, Roberson, Marietta, & Barret, 2014).

    Meski demikian, adapula beberapa penemuan yang mengatakan bahwa

    emosi merupakan hal yang universal dan tidak dipelajari melalui budaya-

    budaya tertentu (Ekman, 1972, dalam Gendron, Roberson, Marietta, & Barret,

    2014). Ekman (2003) menemukan bahwa orang yang memiliki latar belakang

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 7

    budaya yang berbeda akan mempersepsikan emosi yang sama yang muncul

    pada ekspresi wajah tertentu.

    Di Indonesia, pada penelitian tahun 1989 (Prawitasari, 2006),

    Prawitasari mengembangkan sebuah alat yang berisikan foto-foto ekspresi

    wajah yang mengacu pada Facial Action Coding System (FACS) yang

    dilakukan oleh Ekman dan Friesen pada 1978 untuk menjawab pertanyaan

    apakah komunikasi nonverbal bersifat universal atau mengandung bias budaya.

    Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa orang Amerika dan orang

    Indonesia mampu mengenali ekspresi wajah yang diberikan namun dengan

    intensitas yang berbeda (Prawitasari, 2006). Penelitian selanjutnya, Prawitasari

    dan Martani (1993) meneliti tentang kepekaan terhadap komunikasi nonverbal

    di antara masyarakat berbeda budaya. Sampel budaya yang diambil ialah

    Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut

    menemukan bahwa terdapat kesamaan dan perbedaan dalam mengartikan

    komunikasi non verbal pada masyarakat dengan latar belakang budaya yang

    berbeda (Prawitasari & Martani, 1993). Perbedaan dalam mengartikan emosi

    banyak terjadi pada emosi marah, takut, dan sedih.

    Etnik sebagai bagian dari budaya (Barth, 1969) juga mendapatkan

    perhatian dalam mempengaruhi emosi. Etnik dapat diartikan sebagai sebuah

    komunitas yang memiliki kesamaan adat, kepercayaan mengenai asal-usul

    yang sama dan hidup bersama-sama (Zaini, 2014; Weber, 1968 dalam

    Varkuyten, 2005). Matsumoto (1993) meneliti mengenai perbedaan etnik

    dengan emosi pada sampel orang Amerika. Penelitian tersebut menemukan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 8

    bahwa terdapat perbedaan pada penilaian emosi, display rules, dan ekspresi

    emosi pada laporan diri (Matsumoto, 1993). Hasil penelitian yang dilakukan

    oleh Matsumoto (1993) tersebut menimbulkan pertanyaan bagi peneliti, apakah

    identitas etnik yang ada dimasyarakat Indonesia juga menimbulkan perbedaan

    dalam mengenali emosi pada ekspresi wajah sejalan dengan hasil penelitian

    yang dilakukan oleh Prawitasari dan Martani (1993) atau justru sebaliknya.

    Di Indonesia terdapat beragam etnik seperti etnik Jawa, etnik Tionghoa,

    etnik Batak, etnik Sunda, dan lain-lain (Na'im & Syaputra, 2011). Menurut data

    survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (Na'im & Syaputra, 2011),

    etnik Jawa merupakan etnik terbesar yang ada di Indonesia dengan persentase

    sebesar 40,22% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Susetyo (2010)

    mengatakan bahwa etnik Jawa merupakan etnik yang keberadaannya menyebar

    di wilayah Indonesia. Dilansir oleh bbc.com (2017), Charles Coppel, seorang

    associate professor di Universitas Melbourne, melakukan analisis dari hasil

    survei penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan mengatakan

    bahwa dari banyak etnik yang ada, bahkan dari dua etnik terbesar yakni etnik

    Jawa dan etnik Sunda, etnik Tionghoa merupakan etnik yang keberadaannya

    menyebar di seluruh Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, Susetyo (2010)

    juga mengatakan bahwa etnik Tionghoa merupakan etnik yang keberadaannya

    menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data tersebut

    maka peneliti memilih kedua etnik, yaitu etnik Jawa dan etnik Tionghoa untuk

    dijadikan sebagai sampel etnik dalam penelitian ini.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 9

    Selain itu, alasan lain untuk pemilihan kedua etnik tersebut dikarenakan

    oleh adanya perbedaan yang kontras pada nilai-nilai budaya dalam menjalin

    hubungan sosial. Pada etnik Jawa, mereka cenderung untuk menjalin hubungan

    yang baik dalam taraf permukaan, sehingga tidak menyangkut sebuah sikap

    batin atau keadaan jiwa yang ada pada diri seseorang (Susetyo, 2010). Selain

    itu, mereka juga memiliki pandangan bahwa mengungkapkan diri dengan cara

    yang spontan merupakan tindakan yang tidak etis karena mampu memicu

    pertikaian di lingkungan sosial (Hariyono, 1994). Sedangkan, pada etnik

    Tionghoa mereka menjaga kerukunan dengan cara memberikan sebuah reaksi

    yang jelas. Hal ini memunculkan sikap untuk berbicara secara ‘vulgar’ pada

    orang etnik Tionghoa (Hariyono, 1994).

    Penelitian ini akan meneliti mengenai kejelasan persepsi ekspresi wajah

    pada etnik Jawa dan etnik Tionghoa. Adapun cara pengukuran persepsi yang

    dilakukan ialah kejelasan persepsi terhadap ekspresi wajah yang

    mengungkapkan emosi senang, sedih, marah dan takut. Kejelasan persepsi

    dalam penelitian ini diukur dengan cara melihat apakah seseorang mampu

    menangkap dengan benar emosi yang ditampilkan oleh model serta mengukur

    tingkat kejelasan emosi yang ada tersebut.

    Subjek dalam penelitian ini ialah individu yang berada dalam tahap

    dewasa awal. Menurut Erickson, rentang usia pada masa dewasa awal ialah 19

    tahun hingga 30 tahun (Feist & Feist, 2014). Individu pada masa dewasa awal

    dipilih karena dianggap telah mampu melewati tahapan perkembangan

    identitas yang terjadi pada masa remaja (Feist & Feist, 2014) serta telah

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 10

    melakukan eksplorasi dalam etnik yang dimilikinya sehingga berada dalam

    tahap achieve ethnic identity, yakni memiliki pemahaman yang jelas mengenai

    etniknya (French, Seidman, Allen, & Aber, 2006). Selain itu, Santrock (2010)

    mengatakan bahwa pada orang dengan usia 20 tahun, karakteristiknya akan

    cenderung stabil hingga usia 30 tahun.

    B. RUMUSAN MASALAH

    Berdasarkan masalah yang dipaparkan tersebut, rumusan masalah dalam

    penelitian ini ialah: Apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap ekspresi

    wajah pada etnik Jawa dan etnik Tionghoa?

    C. TUJUAN PENELITIAN

    Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui perbedaan persepsi terhadap

    ekspresi wajah pada etnik Jawa dan etnik Tionghoa.

    D. MANFAAT PENELITIAN

    1. Manfaat Teoritis

    Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu

    pengetahuan, secara khusus ilmu psikologi mengenai persepsi terhadap

    ekspresi wajah pada etnik Jawa dan Tionghoa. Selain itu, hasil penelitian ini

    juga dapat dijadikan rujukan bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti

    persepsi terhadap ekspresi wajah dalam konteks budaya Indonesia yang

    lebih luas.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 11

    2. Manfaat Praktis

    Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi masyarakat

    Indonesia, secara khusus etnik Jawa dan etnik Tionghoa, dalam

    mempersepsikan emsoi yang didapatkan melalui ekspresi wajah.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 12

    BAB II

    DASAR TEORI

    A. EMOSI PADA EKSPRESI WAJAH

    1. Emosi

    Bentley (1928, dalam Frijda, 2000) mengatakan bahwa emosi

    mengandung arti sebagai sebuah bentuk aktivitas atau perilaku eksternal

    tubuh; atau juga sebagai sebuah reaksi menyenangkan atau tidak

    menyenangkan terhadap suatu kejadian atau kondisi mental tertentu. Secara

    lebih lanjut, Watson (1929, dalam Strongman 2003) mengatakan bahwa

    emosi merupakan pola reaksi berkelanjutan yang melibatkan perubahan

    sangat besar pada mekanisme tubuh secara keseluruhan, terutama pada bagian

    viseral dan sistem kelenjar.

    Frijda (1986, dalam Fridja 2000) menjelaskan bahwa emosi dapat

    dilihat sebagai sebuah proses yang melibatkan kontrol dari tindakan yang

    tidak disadari dan tidak biasa dilakukan. Hammond (1970, dalam Strongman,

    2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa emosi merupakan keadaan sentral dari

    makhluk hidup yang didapatkan melalui stimulus yang dipelajari dan tidak

    dipelajari yang kemudian terjadi melalui proses classical conditioning.

    Berbeda dengan tokoh sebelumnya, Denzin (1984, dalam Strongman,

    2003) mengatakan bahwa emosi merupakan self-feeling atau perasaan diri. Ia

    menjelaskan bahwa emosi merupakan perasaan diri dalam keadaan tertentu

    yang muncul dari hal-hal emosional dan aktivitas kognitif sosial yang terarah

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 13

    pada diri sendiri atau orang lain. Denzin (1984 dalam Strongman, 2003) juga

    menjelaskan bahwa emosi bergantung pada hubungan sosial yang meliputi

    komponen-komponen perasaan, intepretasi, kosa kata, serta sejarah sosial

    yang dimiliki.

    Seluruh penjelasan tokoh tersebut dapat terangkum dalam penjelasan

    yang diberikan oleh Izard (1977,1991, dalam Russell & Fernandez-Dols,

    2002) bahwa emosi meliputi neurofisiologis, perilaku, serta komponen-

    komponen subjektif. Matsumoto dan Hwang (2012) memberikan suatu

    definisi emosi yang mampu memberikan rangkuman definisi tokoh-tokoh

    yang ada. Mereka mendefinisikan emosi sebagai reaksi biopsikososial yang

    bersifat sementara terhadap suatu kejadian yang mengandung konsekuensi

    terhadap kesejahteraan seseorang dan berpotensi membutuhkan respon yang

    segera.

    2. Ekspresi Wajah

    Penggunaan ekspresi wajah untuk menunjukkan kondisi emosi

    seseorang sudah diteliti sejak pertengahan tahun 1800-an (Gendron & Barett,

    2017). Sekitar tahun 1980, psikologi menemukan bahwa wajah menjadi salah

    satu kunci untuk memahami emosi, dan emosi menjadi kunci untuk

    memahami wajah (Russell & Fernandez-Dols, 2002). Izard mengatakan

    bahwa emosi pada suatu tingkat analisis merupakan aktivitas neuromuscular

    wajah (Russell & Fernandez-Dols, 2002).

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 14

    Russell dan Fernandez-Dols (2002) dalam tulisannya mengatakan

    bahwa ekspresi wajah memiliki dua pengertian yang berlawanan. Pertama,

    ekspresi wajah dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan orang

    yang mengekspresikan dan perilaku yang muncul pada wajah. Pada

    pengertian yang pertama tersebut, ekspresi wajah menjadi variabel yang

    dependen karena mendapatkan pengaruh internal dan eksternal dari orang

    yang mengekspresikan, seperti: kondisi yang dialami, motivasi, serta aturan-

    aturan budaya yang telah diinternalisasi. Kedua, ekspresi wajah dapat

    diartikan sebagai bagaimana reaksi orang yang melihat terhadap eskpresi

    wajah yang muncul. Pada pengertian yang kedua ini, ekspresi wajah menjadi

    variabel independen karena ekspresi wajah bergantung pada orang yang

    melihat ekspresi tersebut.

    Terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam meneliti kaitan antara

    gerakan wajah dengan kondisi emosi, yakni classical view of emotion dan

    constructionist view of emotion (Gendron & Barett, 2017). Pendekatan

    classical view of emotion mengatakan bahwa suatu konfigurasi ekspresi

    wajah digunakan untuk menunjukkan sebuah emosi dengan suatu tampilan

    yang spesifik dan konsisten. Classical view of emotion memandang emosi

    sebagai hal yang independen dari perceiver karena emosi akan tetap ada, baik

    ada atau tidak ada orang yang menangkap emosi tersebut. Sedangkan,

    pendekatan constructionist view of emotion memandang emosi sebagai

    variabel tergantung dari perceiver. Menurut constructionist view of emotion,

    ekspresi emosional dan persepsi emosi disusun oleh bagaimana perceiver

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 15

    membentuk makna dari emosi yang ditampilkan. Berdasarkan pendekatan ini

    maka ketika ekspresi wajah yang menjadi target dan perceiver memiliki

    konsep yang sama, wajah menjadi mampu membantu perceiver

    menyimpulkan kondisi internal yang ada pada target dengan benar.

    Sebaliknya, apabila perceiver memiliki konsep yang tidak sesuai dengan

    target maka kesimpulan yang dimiliki tidak sesuai dengan kondisi internal

    target dan terjadi kesalahpahaman.

    Paul Ekman (dalam Prawitasari, 2006), dalam penelitiannya mengenai

    ekspresi wajah untuk menunjukkan emosi dasar manusia, menyatakan bahwa

    emosi yang terlihat dalam di wajah bersifat universal karena merupakan

    gerakan otot saraf. Prawitasari (2006) memberikan contoh bahwa ketika

    seseorang marah maka mukanya akan memerah karena darah mengalir lebih

    cepat dan otot akan menengang. Selanjutnya, Prawitasari (2006) juga

    mengemukakan bahwa ketika takut maka pupil akan membesar dan keringat

    dingin keluar. Selain reaksi tersebut, reaksi tubuh yang muncul hampir sama

    dengan ketika marah.

    Berdasarkan pejelasan tersebut maka ekspresi wajah merupakan

    aktivitas wajah yang membentuk sebuah tampilan tertentu bersifat universal

    yang mencerminkan suatu emosi yang dimiliki oleh orang yang

    mengekspresikanya serta sebagai sebuah makna yang diberikan oleh

    perceiver terhadap ekspresi wajah yang menjadi target.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 16

    3. Jenis-Jenis Emosi dalam Ekspresi Wajah

    Ekman (2003) mengatakan bahwa emosi terdiri dari sedih, marah,

    terkejut, takut, jijik (contempt dan disgust), serta bahagia. Ekman (2003)

    mengatakan bahwa masing-masing emosi memiliki intensitas yang berbeda

    yang secara jelas mampu terlihat pada wajah.

    Di Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan oleh Prawitasari pada

    tahun 1991 (Prawitasari, 1995) mengungkapkan bahwa pada orang Indonesia

    emosi marah, sedih, senang, dan takut lebih sering digunakan. Penggunaan

    emosi dalam kehidupan sehari-hari dapat terlihat dengan banyaknya kata-kata

    sifat dibandingkan dengan emosi lainnya, seperti jijik, malu, dan terkejut.

    a. Senang

    Emosi senang merupakan jenis emosi positif. Positif emosi

    merupakan emosi yang lebih dapat dinikmati daripada untuk ditahan.

    Averill (1993 dalam Strongman, 2003) mengatakan bahwa senang

    sebagai suatu kondisi yang diikuti oleh berbagai pengalaman daripada

    sebagai hasil dari suatu aksi. Oatley dan Johnson-Laird mengatakan

    bahwa emosi senang terjadi ketika seseorang mampu mencapai suatu

    tujuan dan memberikan peluang untuk melanjutkan rencana berikutnya

    (Strongman, 2003).

    Ekman (2003) menjelaskan bahwa emosi senang seringkali

    diasosiasikan dengan munculnya senyum pada wajah. Meski demikian,

    ia menjelaskan bahwa senyuman yang ada di wajah mampu dibagi

    menjadi dua jenis, yakni senyum yang mengandung unsur senang dengan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 17

    senyum yang tidak mengandung unsur senang, seperti senyum untuk

    menunjukkan kesopanan, atau ketika seorang pendengar setuju dengan

    pendapat yang ada. Hal yang paling membedakan dari kedua senyum

    tersebut ialah senyuman yang lebar menyebabkan alis dan mata yang

    tertutup oleh lipatan kulit (diantara kelopak mata dengan alis) tertarik

    turun oleh otot yang mengitari mata, serta berdampak pada perubahan

    pada bagian pipi.

    b. Marah

    Ekman (2003) mengatakan bahwa emosi marah merupakan emosi

    yang muncul ketika terdapat sebuah hal yang menganggu atau

    menghalangi pekerjaan yang sedang atau ingin dilakukan oleh seseorang.

    Selain itu, Ekman (2003) juga menjelaskan bahwa marah juga

    merupakan respon emosi yang muncul ketika seseorang berusaha untuk

    melukai secara psikologis, menghina, serta merendahkan penampilan

    atau performansi. Selain itu, penolakan yang dilakukan oleh seseorang

    yang dicintai juga mampu memunculkan emosi marah. Lemerise dan

    Dodge (1993, dalam Strongman, 2003) mengatakan bahwa emosi marah

    berfungsi untuk mengatur dan melakukan regulasi pada hal-hal serta

    proses psikologis yang berkaitan dengan pembelaan diri serta

    penguasaan. Selain proses psikologis, emosi marah juga befungsi sebagai

    regulasi dari perilaku sosial dan interpersonal. Emosi marah dalam sosio-

    budaya seringkali digunakan untuk menegakkan standar-standar tingkah

    laku yang sesuai.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 18

    Ekman (2003) menjelaskan bahwa marah memberikan sensasi

    perasaan tertekan, tegang, serta panas. Emosi marah menaikan detak

    jantung, pernapasan, tekanan darah, serta menjadikan muka merah.

    Emosi marah merupakan emosi yang berbahaya karena mampu

    mengeluarkan perilaku marah dan siklusnya berlangsung sangat cepat.

    Selain itu, emosi marah yang dimiliki seseorang mampu menyebabkan

    munculnya emosi marah pada orang lain.

    Ekman (2003) menjelaskan perubahan ekspresi wajah terhadap

    emosi marah. Ketika seseorang baru saja mengalami emosi marah, ia

    akan menekan bersamaan dengan tekanan yang ringan pada bagian

    bawah kelopak mata. Ia menjelaskan bahwa terdapat tiga kunci

    kombinasi yang memastikan bahwa seseorang marah, yakni menurunkan

    alis, memberikan tekanan pada bagian bawah kelopak mata, serta

    menaikkan bagian atas kelopak mata.

    c. Takut

    Takut merupakan suatu emosi yang tidak mengenakkan serta

    tidak dapat terkatakan mengenai suatu hal yang menunjukkan tanda

    tertentu yang bercampur dengan perubahan-perubahan pada tubuh baik

    yang termanifestasi dalam bentuk somatisasi maupun autonomisasi

    (Lader & Marks, 1973 dalam Ohman, 2000). Emosi takut berbeda

    dengan kecemasan. Takut akan muncul ketika seseorang mengetahui

    adanya stimulus-stimulus dalam bentuk nyata yang mampu mengancam.

    Berbeda dengan takut, cemas muncul apabila stimulus-stimulus yang ada

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 19

    tidak dalam bentuk nyata dan hanya sebagai bentuk antisipasi seseorang

    mengenai hal yang akan terjadi.

    Ekman (2003) menjelaskan bahwa ketika seseorang mengalami

    takut, maka darah akan mengalir kepada otot-otot besar pada bagian kaki,

    dan menyiapkan seseorang untuk melarikan diri. Apabila emosi takut

    tersebut tidak menyebabkan seseorang untuk freeze atau melarikan diri,

    maka akan memunculkan reaksi marah pada hal yang mengancam

    tersebut. Apabila hal yang mengancam tersebut lebih kuat, maka

    seseorang akan cenderung untuk takut dibandingkan marah; meskipun

    setelah berada dalam posisi aman emosi tersebut dapat berubah menjadi

    marah, baik marah pada hal yang mengancam tersebut ataupun marah

    pada diri sendiri karena menjadi takut daripada menghadapi situasi

    menakutkan yang ada.

    Ekman (2003) menjelaskan perubahan wajah yang terjadi ketika

    seseorang takut. Kunci bawah seseorang takut terletak pada bagian

    bawah kelopak mata. Ketika tekanan pada kelopak mata bagian bawah

    disertai dengan naiknya kelopak mata bagian atas dan bagian wajah

    lainnya menjadi kosong. Pada orang takut, bibir akan direntangkan ke

    belakang mengarah ke mata.

    d. Sedih

    Ekman (2003) menjelaskan bahwa sedih merupakan emosi yang

    mengandung unsur pasrah dan tidak memiliki harapan dan bersifat pasif.

    Sedih juga merupakan salah satu emosi yang dapat bertahan cukup lama.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 20

    Sedih biasanya diawali dengan adanya sebuah perasaan tidak terima yang

    berusaha untuk memperbaiki kehilangan yang terjadi hingga seseorang

    tersebut benar-benar merasa tidak berdaya. Sejalan dengan Ekman,

    Stearns (1993, dalam Strongman, 2003) mengatakan bahwa emosi sedih

    menjadi suatu indikasi bahwa seseorang memerlukan pertolongan.

    Stearns (1993, dalam Strongman, 2003) mengatakan bahwa sedih

    sering kali terjadi apabila seseorang tidak mampu mengubah kondisi

    yang ada. Ekman (2003) juga menjelaskan bahwa sedih dapat muncul

    ketika seseorang mengalami kehilangan, seperti ditolak oleh teman atau

    kekasihnya, kehilangan kepercayaan diri karena gagal dalam mencapai

    target dalam pekerjaan, kehilangan pujian dari atasan, sakit, kehilangan

    beberapa bagian tubuh atau fungsi tubuh dikarenakan oleh sakit atau

    suatu kecelakaan, maupun kehilangan benda yang berharga.

    Ekman (2003) mengemukakan bahwa emosi sedih akan sangat

    jelas terlihat pada kombinasi kelopak mata yang tampak berat serta sudut

    bagian dalam alis yang dinaikan. Ekman mengatakan bahwa alis menjadi

    hal yang paling penting dan memiliki reliabilitas yang tinggi dalam

    menunjukkan emosi sedih. Selanjutnya, pada bagian mulut orang yang

    sedih sudut-sudut bibir akan ditarik ke bawah.

    4. Stimuli Emosi

    Penelitian ini menggunakan alat stimuli emosi yang diciptakan oleh

    Prawitasari pada tahun 1993. Teori dasar yang digunakan dalam pembuatan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 21

    alat ini ialah teori ekspresi wajah yang dikemukakan oleh Ekman. Adapun

    dalam pembuatannya alat stimuli emosi mengacu pada alat FACS (Facial

    Action Coding System) yang diciptakan oleh Ekman dan Friesen. Stimuli emosi

    yang digunakan berupa slide foto ekspresi wajah dengan model yang berasal

    dari Manado, Ujung Pandang, dan Yogyakarta. Pada awalnya jumlah slide foto

    berjumlah 37 foto, namun ternyata hanya terdapat 24 foto yang valid untuk

    mengungkapkan emosi. Slide stimuli emosi yang ada mengungkapkan empat

    jenis emosi, yakni emosi takut, emosi marah, emosi sedih, dan emosi senang.

    Model yang digunakan dalam foto stimuli emosi ini ialah dua model laki-laki

    dan dua model perempuan dari ketiga lokasi penelitian tersebut. Pada tahun

    1995, Prawitasari telah melakukan pembakuan instruksi dalam menggunakan

    alat stimuli emosi.

    B. PERSEPSI

    1. Pengertian Persepsi

    Persepsi merupakan sekumpulan tindakan mental yang mengatur

    dorongan-dorongan sensoris menjadi suatu pola yang bermakna (Wade, Tavris,

    & Garry, 2016). Hinton (2016) mengemukakan pendapat serupa bahwa

    persepsi ialah proses pemberian makna pada sensasi yang didapatkan melalui

    aktivitas-aktivitas indra manusia. Meski demikian, Hinton (2016)

    menambahkan bahwa persepsi juga merupakan proses kategorisasi, yakni

    mengidentifikasi atau mengenali sensasi yang didapatkan dengan pengetahuan

    dan ingatan yang ada menjadi sebuah kesimpulan.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 22

    Wundt (1874, dalam Hinton, 2016) menyatakan bahwa pengalaman yang

    dimiliki oleh manusia bukanlah pengalaman tentang serangkaian sensasi,

    melainkan bagaimana individu mempersepsikan serangkaian sensasi tersebut

    menjadi satu membentuk sebuah representasi. Sejalan dengan Wilhelm Wundt,

    Helmholtz mengatakan bahwa persepsi melibatkan proses pembuatan

    kesimpulan yang berasal dari alam bawah sadar (Hinton, 2016). Ratner (2002)

    menjelaskan bahwa seluruh proses mental manusia merupakan bentuk produk-

    produk budaya. Hal ini dikarenakan sejak bayi perkembangan psikologis

    seseorang telah dikembangkan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan

    sosial, menggunakan artefak serta belajar mengenai konsep-konsep budaya

    hingga akhirnya membentuk fenomena-fenomena psikologis seperti emosi,

    persepsi, memori, dan penalaran (Tomasello, 1999 dalam Ratner, 2002).

    Berdasarkan penjelasan tersebut, maka persepsi merupakan proses

    pemberian makna pada sensasi-sensasi yang didapatkan oleh indera yang

    diidentifikasi sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dmiliki oleh

    seseorang diatur oleh tindakan mental dan melibatkan alam bawah sadar.

    2. Proses Persepsi

    DeVito (2011) menjelaskan mengenai proses persepsi. Pada tahap

    pertama, indera manusia akan mendapatkan rangsangan atau stimulus dari luar.

    Pada tahap ini, indra akan menerima berbagai stimulus namun tidak semua

    stimulus akan digunakan. Individu akan cenderung untuk menangkap stimulus-

    stimulus yang dianggap bermakna daripada yang dianggap tidak bermakna.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 23

    Selanjutnya pada tahap kedua, stimulus yang diterima oleh indra akan

    diolah dengan beberapa prinsip. Diantaranya ialah prinsip kemiripan atau

    proximity dan kelengkapan atau closure. Prinsip kemiripan menjelaskan bahwa

    seseorang cenderung mempersepsikan pesan yang secara fisik mirip dengan

    satu yang lain sebagai suatu kesatuan. Sedangkan, prinsip kelengkapan

    mengatakan bahwa seseorang cenderung untuk mempersepsikan suatu gambar

    yang tidak lengkap menjadi suatu gambar yang lengkap. Penelitian Bartlett

    (1932 dalam Ratner, 2002) menemukan bahwa memori meringkas bahan yang

    ada, menyatukan beberapa hal, serta menambahkan dan menghilangkan

    beberapa hal untuk membuat suatu hal terlihat familiar dan lebih mudah untuk

    dipahami. Memori tersebut digerakkan oleh adanya pengalaman-pengalaman

    sosial (Ratner, 2002).

    Tahapan yang ketiga ialah penafsiran-evaluasi. Tahap ini merupakan

    proses subjektif yang melibatkan evaluasi dari pihak penerima. Proses yang

    terjadi dalam tahapan ini sangatlah berkaitan dengan masa lalu, kebutuhan,

    sistem nilai, keyakinan, keadaan fisik serta emosi pada saat itu. Pada proses ini

    pula, budaya memiliki peranan dalam membentuk persepsi. Ratner (2002)

    menjelaskan bahwa dalam sebuah budaya seseorang sejak anak-anak diminta

    untuk berpartisipasi dalam mengikuti acara-acara sosial serta menyesuaikan

    diri dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam budayanya sesuai peran yang

    dimiliki dalam budayanya. Peran sosial seseorang dalam budayanya

    membentuk bagaimana seseorang berpikir dan cara pandangnya mengenai

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 24

    suatu hal. Hal tersebut mempengaruhi proses subjektif seseorang dalam

    menafsirkan atau mempersepsikan suatu hal.

    Teori Model Emotion Expression in Context atau MEEC (Hess &Hareli,

    2017) menjelaskan bahwa ekspresi diterima dalam suatu konteks situasi yang

    ada di dunia nyata dan kemudian diintepretasikan dalam suatu konteks sesuai

    dengan dunia orang yang mempersepsikannya. Informasi dari dunia nyata

    yang berupa ekspresi tersebut akan diberikan suatu makna mengenai emosi

    yang disampaikan, dan proses ini akan dipengaruhi oleh sudut pandang

    penerima informasi sebagi suatu proses yang berkaitan dengan konteks garis

    besar yang sebelumnya.

    3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

    Secara umum, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi,

    yakni (1) kebutuhan, (2) kepercayaan, (3) Emosi, dan (4) Ekspektasi (Wade,

    Tavris, & Garry, 2016). Kebutuhan atau ketertarikan terhadap suatu hal

    menjadikan seseorang lebih mudah untuk mempersepsikan sesuatu sesuai

    kebutuhannya. Kepercayaan yang dimiliki seseorang seringkali mepengaruhi

    intepretasi seseorang terhadap sesuatu. Dalam beberapa hal, individu

    mempersepsikan atau mengintepretasikan suatu hal sesuai dengan kepercayaan

    yang dimiliki. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi persepsi ialah emosi.

    Emosi seseorang mempengaruhi bagaimana ia memaknai stimulus yang

    didapatkan. Terakhir yakni ekspektasi. Kecenderungan seseorang untuk

    mempersepsikan sesuatu sesuai dengan harapan yang dimilikinya dikenal

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 25

    dengan istilah set persepsi. Set persepsi membantu seseorang untuk

    mempersepsikan suatu hal secara keseluruhan. Namun, set persepsi juga

    mampu untuk membentuk kesalahan dalam melakukan persepsi.

    Seluruh faktor tersebut dipengaruhi oleh budaya yang dimiliki

    seseorang (Wade, Tavris, & Garry, 2016). Budaya yang berbeda membentuk

    cara berpikir yang berbeda. Selain itu, budaya yang berbeda juga dapat

    mempengaruhi persepsi melalui pembentukan stereotip yang mengarahkan

    perhatian seseorang pada hal yang dianggap penting untuk disadari dan

    diabaikan (Wade, Tavris, & Garry, 2016).

    Secara khusus dalam mempersepsikan emosi, konteks menjadi hal yang

    sangat penting, baik konteks ketika mengungkapkan emosi dengan konteks

    orang yang akan mempersepsikan emosi. Brunswick memodifikasi model cara

    pandang mengenai persepsi orang, yang telah diterapkan pada komunikasi

    emosi oleh Scherer (1978, dalam Hess & Hareli, 2017) yakni konteks budaya,

    hubungan sosial, dan konteks situasi. Dari seluruh jenis konteks yang ada,

    teradapat dua sumber informasi yang dapat berpengaruh, yakni informasi yang

    berkaitan dengan situasi yang memunculkan emosi, serta tambahan informasi

    yang dimiliki oleh penerima yang memiliki atau mengaplikasikan pada situasi.

    Hal ini menunjukkan bahwa penerima atau orang yang mempersepsikan

    memiliki peran aktif dalam proses persepsi (Kiouac & Hess, 1999 dalam Hess

    & Hareli, 2017)

    Konteks penerima atau orang yang mempersepsikan emosi terdiri dari

    berbagai hal, yakni (1) ekspektasi stereotipe dan norma sosial, (2) tujuan,

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 26

    kebutuhan serta kondisi emosional orang yang mempersepsikan emosi, dan (3)

    cultural display rule. Norma sosial berbeda dengan stereotipe. Stereotipe

    dalam konteks ini seirng kali tersirat dalam sebuah norma perilaku. Norma-

    norma yang ada di masyarakat mampu mempengaruhi identifikasi terhadap

    sinyal-sinyal emosi yang sudah berasosiasi dengan orang tertentu (Hess &

    Hareli, 2017).

    Hal kedua ialah adanya tujuan, kebutuhan, dan kondisi emosional dari

    orang yang mempersepsikan emosi tersebut. Seseorang yang tertarik dengan

    hal tertentu akan cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih pada hal-

    hal yang ada. Thibault et al (2006, dalam Hess & Hareli, 2017) menemukan

    bahwa orang yang mengidentifikasikan dengan keanggotaan suatu grup secara

    kuat, lebih baik dalam menangkap ekspresi emosi pada anggota grup tersebut.

    Hal ketiga ialah adanya cultural display rules. Cultural display rules

    merupakan aturan-aturan sosio-budaya yang mengarahkan cara menunjukkan

    ekspresi emosi yang tepat (Ekman & Friesen, 1971, dalam Hess & Hareli,

    2017). Elfenbein dan Ambady (2003) menjelaskan bahwa display rules

    memiliki kontrol dan memegang kendali dalam mengoperasikan ekspresi

    wajah yang universal. Cultural Display Rules akan berbeda pada masing-

    masing budaya. Hal itu disebabkan karena cultural display rules merupakan

    norma yang mengatur untuk menaikan, mengurangi, menetralisir atau

    menutupi emosi yang dimunculkan dan akan muncul secara otomatis

    (Elfenbein & Ambady, Universals and Cultural Differences in Recognizing

    Emotions, 2003). Matsumoto (1989 dalam Elfenbein & Ambady, 2003)

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 27

    mengatakan bahwa semua orang dari berbagai latar belakang budaya akan

    mengekspresikannya dengan cara yang sama, namun norma-norma sepesifik

    yang dimiliki oleh budaya, seperti decoding rules, menimbulkan perbedaan

    mengenai hal mana yang penting dan tidak penting untuk diketahui seseorang

    dalam memahami sesuatu.

    Decoding rules merupakan persepsi terkait emosi orang lain yang

    dipengaruhi oleh aturan-aturan yang dipelajari mengenai bagaimana cara

    seseorang harus menguraikan emosi yang diberikan oleh orang lain (Buck,

    1984 dalam (Elfenbein & Ambady, 2003). Matsumoto dan Ekman (1989 dalam

    Matsumoto, Anguas-Wong, & Martinez, 2008) menyebutkan bahwa aturan-

    aturan tersebut merupakan aturan-aturan yang spesifik, oleh karena itu aturan

    ini disebut sebagai Cultural Decoding Rules. Cultural decoding rules mampu

    memberikan dampak pada munculnya perbedaan pemaknaan emosi.

    Dialect theory mengatakan bahwa perbedaan budaya dalam melakukan

    rekognisi akan tetap muncul ketika seseorang berusaha untuk mempersepsikan

    emosi orang lain seakurat mungkin (Elfenbein, 2017). Hal tersebut disebabkan

    oleh karena adanya proses belajar sosial. Elfenbein dan Ambady (2003)

    mengemukakan bahwa menurut dialect theory terdapat hubungan secara

    langsung antara perbedaan budaya yang muncul pada ekspresi emosi dan

    persepsi emosi. Seseorang akan cenderung untuk mengintepretasikan perilaku

    orang lain sesuai dengan apa yang ingin mereka sampaikan melalui ekspresi

    perilaku tersebut (Elfenbein & Ambady, Universals and Cultural Differences

    in Recognizing Emotions, 2003). Hal ini sejalan dengan penjelasan Buck

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 28

    (1984, dalam Hess & Hareli, 2017) dan Hess (2001, dalam Hess & Hareli,

    2017) bahwa cultural display rules mampu membuat orang yang

    mempersepsikan sesuatu dengan kurang akurat pada ekspresi yang dilarang

    dalam budaya tertentu dan berdampak pula pada persepsi terhadap emosi.

    Hasil penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Prawitasari pada tahun

    1997 (Prawitasari, 2006) menunjukkan bahwa yang membedakan persepsi

    ialah daerah geografis bukan jenis kelamin dari orang tersebut. Selain daerah,

    status pekerjaan juga mempunyai peran kecil dalam memberikan perbedaan

    persepsi mengenai ungkapan emosi. Prawitasari (1995) juga menemukan

    bahwa kelompok profesional lebih mampu mengartikan emosi dibandingkan

    dengan kaum nonprofesional.

    C. IDENTITAS ETNIK

    1. Definisi Identitas Etnik

    Trimble and Dickson (2010, dalam Zaini, 2014) menjelaskan bahwa

    identitas berasal dari bahasa Latin yakni Identitas, yang berakar dari kata

    idem. Kata idem sendiri memiliki arti “sama”. Zaini (2014) mengemukakan

    bahwa identitas dapat diartikan sebagai bentuk kesamaan seorang individu

    atau sesuatu dalam segala macam situasi yang menjadikan seseorang atau

    sesuatu tidak menjadi bagian dari kelompok lain.

    Selanjutnya, Trimble and Dickson (2010, dalam Zaini, 2014) juga

    menjelaskan bahwa etnik merupakan Bahasa Yunani yang berasal dari kata

    ethnicuslethinikas. Ethnicuslethinikas berasal dari kata ethos yang berarti

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 29

    adat. Sedangkan kata ethnicuslethinikas sendiri diartikan sebagai bangsa.

    Oleh karena itu, etnik didefinisikan sebagai sekelompok bangsa yang

    memiliki kesamaan adat yang dimiliki secara bersama-sama dan hidup

    bersama (Zaini, 2014). Penjelasan bahwa etnik sebagai sekelompok manusia

    tersebut, sejalan dengan pengertian mengenai kelompok etnik yang

    dikemukakan oleh Weber (1968, dalam Varkuyten, 2005). Namun, ia

    menambahkan bahwa suatu kelompok etnik juga meyakini kepercayaan

    mengenai asal-usul bersama sebagai dasar dalam membentuk sebuah

    komunitas.

    Identitas etnik mengandung arti sebagai identifikasi diri sebagai

    anggota dari suatu kelompok etnik yang diikuti dengan adanya sikap,

    perilaku, pengetahuan sebagai anggota dari kelompok etnik tersebut (Phinney

    J. S., 1991; Tampubolon, 2016). Penjelasan tersebut sejalan dengan

    penjelasan yang dikemukakan oleh Kunstadter (Hudayana, 1998) bahwa

    identitas etnik merupakan proses dimana seseorang menandai dirinya sebagai

    bagian dari suatu etnik atau etnik yang lain. Kedua definisi tersebut sejalan

    dengan penjelasan Barth (1994, dalam Varkuyten, 2005) bahwa identitas

    etnik bukanlah suatu hal yang tetap, melainkan transaksional dan fleksibel

    bergantung pada situasi. Identitas etnik dinilai sebagai aspek pragmatis dari

    kumpulan interaksi sosial sehari-hari.

    Berbeda dengan penjelasan sebelumnya, Phinney (1990, 1996, dalam

    Ramdani, 2015) mengatakan bahwa identitas etnik merupakan sebuah

    konstruk kompleks yang mengandung sebuah rasa memiliki (sense of

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 30

    belonging) pada kelompok etnik, serta adanya evaluasi positif pada kelompok

    etnik. Kemudian, Phinney (2007 dalam Ramdani, 2015) menambahkan

    penjelasannya bahwa identitas etnik juga merupakan perasaan seseorang

    dimana dirinya sebagai bagian dari anggota kelompok. Secara lebih lanjut,

    Phinney (2007 dalam Ramdani, 2015) menjelaskan bahwa identitas etnik

    berkembang dari waktu ke waktu melalui proses aktif penyelidikan, belajar,

    dan komitmen.

    Di sisi lain, Chandra (Zaini, 2014) memiliki pengertian lain dalam

    mendefinisikan identitas etnik. Ia mendefinisikan identitas etnik sebagai

    suatu konsep objektif serta konsep tunggal yang bersifat askriptif (turun

    temurun) yang didasarkan pada kesamaan yang dimiliki secara objektif.

    Dalam masyarakat multi-etnik, seseorang sangat mungkin untuk memiliki

    lebih dari satu identitas etnik atau disebut dengan multi-etnik. Hal ini dapat

    terjadi apabila orangtua memiliki etnik yang berbeda (Isajiw, 1993). Dalam

    hal seperti ini, beberapa bukti empiris mengatakan bahwa individu yang

    memiliki lebih dari satu identitas cenderung memilih salah satu etnik yang

    berasal dari identitas sang ayah (Breton, et al., 1990, dalam Isajiw, 1993).

    Di Indonesia, menurut buku kewarganegaraan, suku bangsa, agama,

    dan bahasa sehari-hari penduduk Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan

    Pusat Statistik (Na'im & Syaputra, 2011) menjelaskan bahwa kelompok etnik

    di Indonesia merupakan suatu hal yang diturunkan. Dalam buku tersebut

    (Na'im & Syaputra, 2011) juga dijelaskan bahwa identitas suku bangsa atau

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 31

    kelompok etnik melekat pada masing-masing Individu sesuai dengan

    kelompok etnik yang dimiliki oleh kedua orangtuanya.

    Berdasarkan seluruh pengertian tersebut maka dapat disimpulkan

    bahwa identitas etnik merupakan proses identifikasi diri atau proses menandai

    diri pada suatu kelompok etnik tertentu yang bersifat askriptif atau turun

    menurun, melalui adanya proses evaluasi positif pada suatu kelompok etnik

    yang diikuti dengan adanya sikap, perilaku, pengetahuan sebagai anggota

    serta adanya perasaan memiliki pada suatu kelompok etnik.

    2. Aspek-aspek Identitas Etnik

    Isajiw (1993) menjelaskan bahwa terdapat dua aspek mengenai

    identitas etnik, yakni aspek internal dan aspek eksternal. Aspek-aspek

    eksternal meliputi perilaku-perilaku yang dapat diamati, baik sosial maupun

    budaya. Aspek-aspek eksternal ini berupa (1) kemampuan berbicara dengan

    menggunakan bahasa etnik dan mempraktikan tradisi-tradisi etnik, (2)

    berpartisipasi dalam jaringan-jaringan etnik seperti keluarga dan pertemanan,

    (3) berpartisipasi dalam organisasi-organiasi etnik, seperti sekolah, media, (4)

    berpartisipasi dalam kelompok-kelompok etnik seperti perkumpulan orang

    muda, perkumpulan masyarakat etnik, serta (5) berpartisipasi pada acara

    sosial yang diadakan oleh kelompok etnik seperti piknik, pertunjukan, dan

    lain-lain.

    Aspek-aspek internal dari identitas etnik membahas mengenai

    gambaran (images), gagasan-gagasan (ideas), sikap (attitudes), dan perasaan

    (feelings). Aspek-aspek internal tersebut berhubungan dengan perilaku-

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 32

    perilaku eksternal, namun masing-masing aspek berdiri sendiri-sendiri.

    Aspek internal dari identitas dapat dibedakan menjadi tiga dimensi, yakni

    kognitif, moral, dan perasaan.

    Dimensi kognitif menggambarkan mengenai pengetahuan mengenai

    nilai-nilai dari suatu kelompok etnik. Secera lebih rinci, dimensi kognitif

    meliputi self-images serta gambaran grup yang dimiliki oleh seseorang yang

    mampu membentuk stereotipe mengenai seseorang maupun kelompok.

    Dimensi kognitif juga meliputi pengetahuan mengenai warisan dan sejarah

    dari suatu etnik.

    Selanjutnya, dimensi moral dari identitas meliputi perasaan-perasaan

    mengenai kewajiban-kewajiban kelompok. Secara umum, perasaan mengenai

    kewajiban kelompok yang harus dilakukan oleh seseorang melekatkan

    seseorang dengan kelompoknya serta menjadi suatu bentuk implikasi dari

    kelompok yang diperlihatkan melalui perilaku. Perasaan untuk menjalankan

    kewajiban kelompok dilandasi oleh komitmen seseorang kepada

    kelompoknya serta sebagai bentuk solidaritas.

    Terakhir yakni dimensi perasaan (feelings). Dimensi ini mengarah

    pada perasaan mengenai kelekatan pada kelompok. Dimensi perasaan dapat

    dibagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama ialah perasaan aman dengan

    simpati serta perwujudan dengan anggota-anggota kelompok sebagai

    kesatuan untuk melawan anggota-anggota dari kelompok lain. Selanjutnya,

    jenis dimensi perasaan yang kedua ialah perasaan aman dan nyaman dengan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 33

    pola-pola suatu budaya sebagai perlawanan pola-pola budaya dari kelompok

    lain atau masyarakat.

    3. Pengaruh Identitas Etnik

    Konsekuensi dari identitas etnik ialah munculnya sikap etnosentrisme.

    Etnosentrime merupakan suatu paham yang menganggap bahwa kebudayaan

    pada kelompok yang dimiliki lebih baik daripada kebudayaan kelompok lain.

    (Ali, Indrawari, & Masyukur, 2010).

    Liliweri (2005 dalam Ali, Indrawari, & Masyukur, 2010)

    mengemukakan bahwa prasangka ialah sikap negatif yang diberikan kepada

    seseorang berdasarkan pada perbandingan dengan kelompok yang dimiliki

    seseorang. Salah satu jenis dari prasangka ialah prasangka etnik. Prasangka

    etnik dapat didefinisikan sebagai sikap negatif dari suatu kelompok etnik

    tertentu terhadap kelompok etnik lainnya yang berfokus pada ciri-ciri negatif

    sehingga menghambat hubungan antara etnik.

    Zastrow (Ali, Indrawari, & Masyukur, 2010) mengemukakan bahwa

    prasangka salah satunya disebabkan oleh karena adanya proyeksi atau sebagai

    suatu bentuk upaya dalam mempertahankan ciri kelompok setnik atau ras

    secara berlebihan. Gundykunst menambahkan bahwa prasangka dapat

    muncul karena adanya kesadaran akan sasaran prasangka, yakni ras atau etnik

    lain. Kesadaran-kesadaran tersebut meliputi kesadaran bahwa sasaran

    prasangka merupakan kelompok lain yang memiliki latar belakang dengan

    kebudayaan dan mental yang berbeda, tidak mampu untuk beradaptasi, selalu

    terlibat dalam tindakan-tindakan negatif, serta kesadaran bahwa kehadiran

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 34

    kelompok etnik lain tersebut mampu mengancam stabilitas sosial dan

    ekonomi.

    Selain itu, prasangka yang ada juga dapat memunculkan stereotip.

    Stereotip merupakan suatu proses generalisasi yang dilakukan secara tidak

    akurat tentang sifat ataupun perilaku yang dimiliki oleh individu yang

    menjadi bagian sebagai anggota dari suatu kelompok sosial tertentu (Susetyo,

    2010). Stereotip tersebut membentuk keyakinan individu tentang sifat atau

    perilaku dari individu-individu anggota kelompok tertentu (Susetyo, 2010).

    Susetyo (2010) juga mengatakan bahwa stereotip merupakan hasil dari proses

    persepsi antar kelompok, yang dipengaruhi oleh kondisi sosial yang dialami

    dan dihayati secara subjektif oleh individu sebagai bagian dari anggota

    kelompok yang dimiliki.

    4. Perkembangan Identitas Etnik

    Phinney (1989, dalam French, et al, 2006) menjelaskan bahwa

    perkembangan identitas etnik pada individu terjadi melalui tiga tahapan,

    yakni unexamined ethnic identity, ethnic identity exploration, dan achieve

    ethnic identity. Unexamined identity merupakan sebuah tahapan dimana

    seseorang belum memberikan sebuah pandangan secara negatif atau positif

    terhadap suatu kelompok. Selanjutnya, pada tahap ethnic identity exploration

    individu mulai mencari arti sebagai bagian dari suatu kelompok; dan pada

    tahap achieved ethnic identity, individu akan melakukan eksplorasi terhadap

    keanggotaan suatu kelompok serta memiliki pemahaman yang jelas mengenai

    etnik dalam hidupnya.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 35

    Phinney (1989 dalam French et al, 2006) mengatakan bahwa

    perkembangan identitas etnik merupakan bagian dari tahap remaja. Pendapat

    ini didukung oleh teori psikososial Erickson yang mengatakan bahwa pada

    masa remaja tahap perkembangan yang harus dilalui ialah identitas (Feist &

    Feist, 2014). Masa remaja menjadi masa yang penting untuk melihat

    perubahan identitas karena adanya pertumbuhan kemampuan penelaran

    abstrak serta kebutuhan untuk mengeksplorasi beberapa aspek dari sebuah

    identitas (French, Seidman, Allen, & Aber, 2006). Setelah melewati masa

    remaja, seseorang harus memiliki kemampuan untuk menyatukan identitas

    orang lain dan individualitas yang dimiliki oleh seseorang (Feist & Feist,

    2014).

    Dalam penelitian ini subjek yang dipilih ialah subjek yang berada pada

    tahap dewasa awal. Hal ini didasari oleh karena pada masa remaja, seorang

    individu cenderung untuk mengeksplorasi identitas etnik yang dimilikinya.

    Santrock (2010) mengatakan bahwa seseorang yang dinilai karakteristiknya

    pada usia 20 tahun, karakteristiknya akan cenderung stabil hingga usia 30

    tahun. Menurut Erickson, masa dewasa awal berkisar antara usia 19 hingga

    30 tahun (Feist & Feist, 2014).

    5. Etnik Jawa

    Daerah asal etnik Jawa, yang selanjutnya akan disebut juga sebagai

    orang Jawa, adalah Pulau Jawa. Mayoritas mendiami bagian tengah dan timur

    dari seluruh Pulau Jawa. Suseno (1996, dalam Susetyo, 2010) mengatakan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 36

    bahwa orang Jawa ialah orang yang menggunakan Bahasa Jawa dalam arti

    sebenarnya sebagai bahasa ibunya. Hal ini sering terlihat pada orang Jawa

    yang tinggal didaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara budaya, identitas

    orang Jawa dapat terwakilkan dengan sosok Semar, yang berarti Samar

    (Noorsena, 2010). Hal ini menyebabkan orang akan sulit untuk membedakan

    apakah orang tersebut sedang tersenyum atau menangis (Noorsena, 2010).

    Dalam menjalin relasi sosial, orang Jawa cenderung memiliki

    kesadaran yang tinggi akan keberadaan orang lain (Mudler, 1994 dalam

    Susetyo, 2010). Dalam bukunya, Susetyo mengatakan bahwa orang Jawa

    identik dengan budayanya yang sopan. Ia juga menjelaskan bahwa sikap

    sopan, seperti memberikan salam dengan cara menunduk, menjadi tuntutan

    dalam situasi sosial. Sikap sopan ini juga berlaku terhadap orang yang belum

    begitu dikenal, baik di lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan yang

    lain.

    Suseno (1996, dalam Susetyo, 2010) mengatakan bahwa orang Jawa

    memiliki dua prinsip, yakni prinsip kerukunan dan kehormatan:

    a. Prinsip kerukunan

    Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat

    agar berada dalam keadaan harmonis. Dalam pandangan orang Jawa,

    kerukunan ditekankan untuk menghindari pecahnya konflik-konflik.

    Dalam hal ini, orang Jawa bukan menekankan bagaimana menciptakan

    keselarasan sosial, melainkan untuk tidak menggangu keselarasan sosial

    yang ada. Selain itu, prinsip kerukunan yang ditekankan pada etnik Jawa

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 37

    tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa. Prinsip kerukunan

    yang ada lebih cenderung untuk mengatur permukaan hubungan-hubungan

    sosial yang terlihat. Hariyono (1994) menambahkan bahwa spontanitas

    dalam memberikan reaksi dengan mengungkapkan diri dan mengambil

    posisi tertentu dianggap tidak etis dalam budaya karena mampu memicu

    munculnya konflik atau ketegangan antar pribadi. Ia juga menambahkan

    bahwa keadaan rukun bagi orang Jawa merupakan suatu hal yang

    memuaskan bagi orang Jawa, meskipun hanya sebagai suatu kesan yang

    tidak mencerminkan hakikatnya. Meski demikian, hal ini dianggap sebagai

    sesuatu yang baik dan menarik oleh orang Jawa.

    b. Prinsip hormat

    Prinsip hormat mengambarkan bahwa setiap orang dalam berbicara atau

    membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain

    dengan menekankan pada tingkatan derajat dan kedudukan orang secara

    hierarkis. Haryonno (1994) menambahkan bahwa kehormatan merupakan

    hal yang penting bagi masyarakat Jawa. Ia menjelaskan bahwa orang Jawa

    seringkali memendam perbuatan aib atau juga melihat perkara tersebut

    dari sisi positifnya atau mencari jalan tengah untuk mengembalikan

    kehormatan yang dimiliki. Prinsip hormat ini menjadi suatu upaya untuk

    menjaga kelestarian serta kebesaran komunitasnya (Hariyono, 1994).

    6. Etnik Tionghoa

    Etnik Tionghoa merupakan salah satu etnik minoritas yang ada di

    Indonesia yang heterogen. Di Indonesia, etnik Tionghoa dapat dibedakan

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 38

    menjadi dua macam yakni Etnik Tionghoa yang sudah lama menetap di

    Indonesia dan pada umumnya sudah membaur, dikenal dengan Peranakan,

    serta Etnik Tionghoa yang merupakan pendatang baru (satu atau dua

    generasi) serta masih menggunakan bahasa asli, dikenal dengan Totok

    (Susetyo, 2010).

    Haryono (1994, dalam Susetyo. 2010) menjelaskan bahwa dalam

    menjalin relasi sosial, orang Tionghoa cenderung mempertimbangkan nilai

    kerukunan dan nilai kesopanan, sebagai berikut:

    a. Nilai kerukunan

    Ajaran konfusius tentang Te mengajarkan untuk menolak kekerasan

    fisik, sikap saling percaya, serta menunjukkan nilai yang menjauhkan

    diri dari konflik. Hal ini juga ditambah dengan ajaran Jen yang

    mengajarkan mengenai kebaikan, serta Chun-Tzu yang mengajarkan

    tentang melayani atau meonolong orang lain dan berjiwa besar.

    b. Nilai kesopanan

    Ajaran Konfusius mengenai Li memngajarkan untuk memberikan

    penghormatan tertinggi terhadap keluarga dan usia. Bagi orang

    Tionghoa, keluarga menjadi bangunan dasar dari suatu masyarakat

    yang harus selalu dijaga dan dijunjung tinggi martabatnya. Selain itu,

    penghormatan terhadap usia juga menjadi hal yang penting. Hal ini

    dikarenakan usia memberikan nilai, martabat, dan keutamaan pada

    semua hal.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 39

    Dibalik nilai-nilai yang dianut oleh orang Tionghoa tersebut,

    terdapat berberapa stereotip yang melekat pada orang Tionghoa. Hariyono

    (1994) menjelaskan mengenai beberapa stereotip yang dimiliki oleh orang

    Tionghoa, yakni:

    a. Sikap dan perilaku yang vulgar mengungkapkan opini.

    Sikap ini muncul karena adanya pengaruh ajaran konfusius yang

    memberikan pemikiran bahwa perlunya ada batasan-batasan yang jelas

    dalam mengungkapkan suatu hal. Tanpa batasan yang jelas maka suatu

    opini tidak dapat dicerna. Bagi orang lain hal ini seringkali kurang enak

    didengar.

    b. Sikap praktis-fungsional

    Sikap ini menjadikan orang Tionghoa cenderung melihat dan

    mengutamakan nilai dari suatu peran, tanpa memperhatikan apakah

    nilai tersebut mengandung nilai lain. Selain itu, sikap ini juga

    mengakibatkan orang Tionghoa kurang menyukai formalitas.

    Formalitas dianggap tidak efisen atau lebih bersifat birokratis dan tidak

    memiliki pengaruh langsung pada substansinya.

    c. Sistem kepercayaan yang kuat

    Dalam menjalin relasi, orang Tionghoa memiliki sistem kepercayaan

    yang kuat menumbuhkan rasa kolektivitas yang tinggi yang

    memberikan kesan tertutup. Hal ini menyebabkan orang Tionghoa

    memberikan perhatian pada kredibilitas seseorang. Apabila kredibilitas

    tersebut diragukan, maka orang Tionghoa akan memutuskan relasi yang

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 40

    dimiliki. Hal ini dimaksudkan supaya orang tersebut tidak berkutik atau

    melakukan hal yang sama di tempat lain. Namun, apabila kredibilitas

    diragukan dan relasi harus terjadi maka mereka baru memperhatikan

    formalitas. Dalam hal ini, formalitas menjadi alat untuk menumbuhkan

    kepercayaan.

    d. Sikap kurang peduli pada masalah kehidupan

    Sikap kurang peduli pada masalah kehidupan ini muncul karena

    pemikiran fungsional orang Tionghoa yang menganggap bahwa

    penderitaan, rasa sakit, petaka, maut, dan kematian merupakan salah

    satu kemungkinan yang bersifat rasional dalam ritme kehidupan.

    Pemikiran ini memunculkan pemikiran bahwa hal-hal tersebut tidak

    perlu dikhawatirkan.

    e. Ulet, keras, angkuh, atau superior

    Sifat ulet, keras, angkuh atau superior yang dimiliki oleh orang

    Tionghoa merupakan bentuk dari adanya optimisme dan keyakinan diri.

    Optimisme tersebut disebabkan oleh adanya cara berpikir orang

    Tionghoa yang menggunakan logika secara runtut. Logika tersebut

    menjadi motivasi untuk memecahkan suatu masalah. Optimisme inilah

    yang menjadi modal untuk melakukan perencanaan dan pembuatan

    target dalam hidup.

    PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  • 41

    D. DINAMIKA PERBEDAAN PERSEPSI TERHADAP EKSPRESI WAJAH

    PADA ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA

    Ekspresi wajah merupakan ekspresi dan perilaku yang muncul pada

    wajah berkaitan dengan orang yang mengekspresikannya dan mempersepsikan

    ekspresi pada wajah (Russel & Fernandez-Dols, 2002). Ekspresi wajah dianggap

    sebagai kunci dalam memahami emosi (Russel & Fernandez-Dols (2002).

    Ekman (dalam prawitasari, 2006) mengatakan bahwa emosi yang terlihat pada

    ekspresi wajah bersifat universal karena merupakan hasil dari gerakan otot saraf.

    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prawitasari (1991, dalam

    Prawitasari, 1995), emosi yang lebih banyak digunakan pada orang Indonesia

    dalam kehidupan sehari-hari ialah emosi senang, marah, sedih, dan takut.

    Emosi senang sering kali dilihat melalui senyum di wajah (Ekman,

    2003). Selain senyum, hal lain yang nampak pada wajah ketika seseorang merasa

    senang ialah senyuman tersebut memunculkan adanya lipatan kulit diantara

    kelopak mata dengan alis yang seolah-olah ditarik kebawah oleh otot yang

    mengitari mata (Ekman, 2003). Selain itu, perubahan juga dapat dilihat pada

    bagian pipi orang tersebut. Senyum yang lebar mempengaruhi bentuk pipi orang

    tersebut menjadi berubah (Ekman, 2003).

    Emosi marah memberikan sensasi perasaan, tertekan, tegang, serta panas

    (Ekman, 2003). Emosi marah juga mempengaruhi kondisi fisik seperti

    perubahan denyut jantung dan pernapasan yang semakin