-
i
PERBEDAAN PERSEPSI EKSPRESI WAJAH
PADA ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Laurensia Aniella Hosea
NIM: 149114056
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
iv
HALAMAN MOTTO
“Be Strong and courageous.
Do not be frightened and do not be dismayed
for the Lord your God is with you wherever you go”
-Joshua 1:9 -
“Jangan pernah sia-siakan waktu,
karena waktu tidak pernah menunggu kita.
Jadi selalu lakukan yang terbaik”
-Kevin Sanjaya S.-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini untuk:
Tuhan Yesus Kristus yang pintu rumah-Nya selalu terbuka
Bunda Maria yang selalu menjadi Ibu dan perantara doa-doa
Mama, Papa, dan adik untuk segala cintanya
Semua sahabat yang telah mendukung penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
vii
PERBEDAAN PERSEPSI EKSPRESI WAJAH
PADA ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA
Laurensia Aniella Hosea
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kejelasan
persepsi terhadap ekspresi
wajah pada etnik Jawa dan etnik Tionghoa. Hipotesis dalam
penelitian ini adalah adanya perbedaan
kejelasan persepsi pada stimuli emosi ekspresi wajah pada etnik
Jawa dan etnik Tionghoa. Etnik
Tionghoa lebih mampu untuk menangkap emosi sedih, marah, dan
takut dengan jelas. Subjek
penelitian berjumlah 40 orang yang terdiri dari 22 orang etnik
Jawa dan 18 orang etnik Tionghoa,
yang berada pada usia 19-30 tahun. Alat pengumpulan data yang
digunakan adalah angket identitas
etnik, slide stimuli emosi serta lembar jawab stimuli emosi.
Alat stimuli emosi yang digunakan
dalam penelitian ini terdiri dari 24 foto ekspresi wajah dengan
model yang berasal dari berbagai
latar belakang budaya di Indonesia. Alat ini diciptakan oleh
Prawitasari pada tahun 1990 dengan
reliabilitas 0,702 hingga 0,885. Analisis data menggunakan uji
Indipendent sample t-test dan analisis
deskriptif.. Hasil uji independent sample t-test menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada kejelasan persepsi emosi senang (t = 1,114; p=
0,272), emosi marah (t = 0,693; p =
0,492), emosi sedih (t = 0,281;p=0,780), serta emosi takut (t =
0,145; p = 0,885) pada etnik Jawa
dan etnik Tionghoa. Hasil uji analisis deskriptif menunjukkan
bahwa etnik Jawa dan etnik Tionghoa
mampu untuk mempersepsikan emosi senang, marah, dan sedih yang
ada pada ekspresi wajah;
namun kesulitan dalam mempersepsikan ekspresi wajah yang
mengungkapkan emosi takut.
Kata kunci: persepsi, ekspresi wajah, identitas etnik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
viii
THE DIFFERENCE OF FACIAL EXPRESSION PERCEPTION
BETWEEN JAVANESE AND CHINESE
Laurensia Aniella Hosea
ABSTRACT
This research aimed to know the clarity difference about
perception of facial expression between Javanese and Chinese. This
study proposed there was a significant differences in the
perception of facial expression clarity between Javanese and
Chinese. The hypothesis assumed
Chinese could perceive sadness, anger, and fear more clearance
than Javanese. Subject in this
study was 40 people which are 22 Javanese and 18 Chinese with
age range about 19 -30 years old.
The tools in this study were ethnic identity questionnaire,
slides of emotion stimulus, and the answer
sheet of emotion stimulus. The slides of emotion stimulus were
consist of 24 facial expression
photograph with several Indonesian cultures. This tool was
developed by Prawitasari in 1990 and
has reliability between 0,702 to 0,885. The analysis in this
study used independent sample t-test and
descriptive analysis. The independent sample t-test showed there
was no significant differences in
the perception of facial expression between Javanese and
Chinese. Furthermore based on the
descriptive analysis, Javanese and Chinese can perceive
happiness, sadness, and anger which was
shown in facial expression, but both groups had misperception to
perceive fear.
Keywords: perception, facial expression, ethnic identity
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa untuk
segala
berkat dan rahmat kasihnya sehingga saya mampu untuk
menyelesaikan karya
tulis ini. Saya juga ingin menghaturkan terima kasih kepada
semua yang telah
memberikan dukungan kepada:
1. Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., selaku dekan Fakultas
Psikologi Universitas
Sanata Dharma
2. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi., MA selaku dosen
pembimbing skripsi.
Terima kasih untuk segala waktu, tenaga, dukungan dan bimbingan
yang
telah diberikan kepada penulis serta terima kasih pula telah
menjadi sosok
ibu yang mendampingi serta selalu berusaha untuk memahami
penulis.
Terbaik!
3. Prof. Johana Endang Prawitasari, yang telah bersedia untuk
berdiskusi
dengan penulis untuk memberikan masukan serta saran penelitian
baik
secara tatap muka maupun melalui e-mail. Terima kasih pula
telah
memberikan ijin kepada peneliti untuk menggunakan alat stimuli
emosi
dalam penelitian skripsi ini.
4. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Terima kasih
atas ilmunya, terutama kepada Ibu Monica E. M., Ph.D.; Dr. Y.B.
Cahya
W.,Ph. D; Emannuel Satyo Yuwono, S.Psi., M.Hum., Edward
Theodorus,
M.App.Psy.; C. Siswa Widyatmoko, M.Psi, Diana Permata S.,
S.Psi.,
M.Sc, dan Dr. A. Priyono Marwan, S.J. yang telah bersedia
meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dengan penulis mengenai skripsi
ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xi
5. Kepala Pusat Pelayanan Tes dan Konsultasi Psikologi
(P2TKP)
Universitas Sanata Dharma, Bapak Timotius Maria Raditya
Hernawa,
M.Psi yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
menggunakan
sarana dan prasarana P2TKP dalam pelaksanaan penelitian.
6. Kepada keluarga saya, Papa, Mama, Lia dan seluruh keluarga
besar yang
telah memberikan cinta dan doanya untuk mendukung penulis
dalam
penyelesaian skripsi.
7. Sahabat-sahabat penulis Regina Fatma Lucky, Ivena Karin, Ni
Nyoman
Trisna Umeda, Ant. Oktasadewa P.S., Karunia Setia, Elizabeth
Widiasri,
Agata Mega, Tiffany Gunawan, dan Stefany Margareth yang tak
kenal
lelah selalu menjadi sahabat dan penyemangat bagi penulis selama
proses
pengerjaan skripsi. Terima kasih telah menjadi pendengar dan
pundak bagi
penulis untuk bersandar ketika sedang mengalami kesulitan. Big
hug and
thanks!
8. AJCU-SLP 2017, terima kasih karena pengalaman 3 minggu
tersebut telah
memberikan inspirasi bagi penulis dalam memilih topik penelitian
ini.
Terima kasih pula kepada teman-teman AJCU SLP 2017 dari
Indonesia,
Filipina, Jepang, dan Korea yang telah membuka wawasan dan
memberikan ilmu bagi penulis melalui sharing dan diskusi. Terima
kasih
pula untuk kehangatan yang telah kalian berikan. Maraming
Salamat po!
*Holy Necklace*
9. Koko Edwin, Kak KI, Kak Panca, dan Kak Dimas, yang telah
bersedia
meluangkan waktu dan tenaganya untuk senantiasa menjadi teman
diskusi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xii
peneliti selama proses pengerjaan skripsi. Kehadiran kalian
sungguh
sangat berarti bagi penulis.
10. Seluruh anggota DPMF 2016, terutama Komisi C yang telah
memperkenalkan penulis tentang organisasi serta membentuk
penulis
menjadi pribadi yang lebih baik. Terima kasih untuk seluruh
pengalamannya.
11. Seluruh anggota BEMU 2017, terutama jajaran sekjen, untuk
Ibu Agnes,
Ko Rudy, Kevin, dan Keket yang telah mengajarkan penulis untuk
selalu
berjuang dalam berbagai macam situasi yang ada.
12. Teman-teman P2TKP, mbak otik, mbak thia, dan mbak erlita.
Terima
kasih untuk ilmu, pengalaman, sharing, semangat dan dukungannya
yang
luar biasa untuk penulis.
13. Seluruh teman angkatan 2014, terutama teman-teman kelas A
2014, terima
kasih telah mewarnai 6 semesterku dengan warna kalian
masing-masing.
Serta tidak lupa terima kasih kepada teman-teman satu pondokan
skripsi
untuk seluruh canda tawa dan sharing-nya terutama pada
saat-saat
mengantri bimbingan.
14. Seluruh orang yang terlibat dalam proses pengerjaan skripsi,
untuk teman-
teman yang telah membantu dalam penyebaran angket untuk
mencari
partisipan penelitian serta seluruh orang yang telah bersedia
berpartisipasi
dalam penelitian ini. Tanpa kalian tentunya skripsi ini tidak
akan selesai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
................................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN
................................................................................
iii
HALAMAN MOTTO
............................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
.............................................................................
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
................................................................
vi
ABSTRAK
............................................................................................................
vii
ABSTRACT
...........................................................................................................
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
...................................................... ix
KATA PENGANTAR
............................................................................................
x
DAFTAR ISI
........................................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL
................................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
......................................................................................
xviii
BAB I. PENDAHULUAN
......................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG
.................................................................................
1
B. RUMUSAN MASALAH
..........................................................................
10
C. TUJUAN PENELITIAN
...........................................................................
10
D. MANFAAT PENELITIAN
.......................................................................
10
1. Manfaat Teoritis
...................................................................................
10
2. Manfaat Praktis
.....................................................................................
11
BAB II. DASAR TEORI
......................................................................................
12
A. EMOSI PADA EKSPRESI WAJAH
........................................................ 12
1. Emosi
....................................................................................................
12
2. Ekspresi Wajah
.....................................................................................
13
3. Jenis-Jenis Emosi dalam Ekspresi Wajah
............................................. 16
4. Stimuli Emosi ……………………………………………………….. 20
B. PERSEPSI
.................................................................................................
21
1. Pengertian Persepsi
...............................................................................
21
2. Proses Persepsi
.....................................................................................
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xiv
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
....................................... 24
C. IDENTITAS ETNIK
.................................................................................
28
1. Definisi Identitas Etnik
.........................................................................
28
2. Aspek-aspek Identitas Etnik
.................................................................
31
3. Pengaruh Identitas Etnik
.......................................................................
33
4. Perkembangan Identitas Etnik
..............................................................
34
5. Etnik Jawa
............................................................................................
35
6. Etnik Tionghoa
.....................................................................................
37
D. DINAMIKA PERBEDAAN PERSEPSI EKSPRESI WAJAH PADA
ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA
.............................................. 41
E. SKEMA PENELITIAN
.............................................................................
46
F. HIPOTESIS
...............................................................................................
47
BAB III. METODE
PENELITIAN.......................................................................
48
A. JENIS PENELITIAN
................................................................................
48
B. VARIABEL PENELITIAN
......................................................................
48
C. DEFINISI OPERASIONAL
.....................................................................
49
1. Kejelasan Persepsi Pada Etnik Jawa dan Etnik Tionghoa
.................... 49
2. Ekspresi Wajah
.....................................................................................
49
D. SUBJEK PENELITIAN
............................................................................
50
E. ALAT PENGUMPUL DATA
...................................................................
51
a. Angket Identitas Etnik
..........................................................................
51
b. Slide Stimuli Emosi
..............................................................................
52
c. Lembar Jawab Stimuli Emosi
...............................................................
53
F. PROSEDUR EKSPERIMEN
....................................................................
53
G. VALIDITAS DAN RELIABILITAS
........................................................ 56
1. Validitas Internal
..................................................................................
56
2. Validitas Eksternal
................................................................................
57
3. Validitas Alat Eksperimen
....................................................................
59
4. Reliabilitas Alat Eksperimen
................................................................
59
H. METODE ANALISIS DATA
...................................................................
60
1. Uji Asumsi
............................................................................................
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xv
a. Uji Normalitas
..................................................................................
60
b. Uji Homogenitas
..............................................................................
60
2. Uji Hipotesis
.........................................................................................
61
3. Analisis Deskriptif
................................................................................
61
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………...62
A. PERSIAPAN PENELITIAN
.....................................................................
62
1. Penyebaran angket identitas etnik
........................................................ 62
2. Pilot study
.............................................................................................
63
B. PELAKSANAAN PENELITIAN
.............................................................
65
C. DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN
....................................................... 66
D. DESKRIPSI DATA PENELITIAN
.......................................................... 68
E. HASIL PENELITIAN
...............................................................................
72
1. Uji Normalitas
......................................................................................
72
2. Uji Homogenitas
...................................................................................
73
3. Uji Hipotesis
.........................................................................................
74
4. Analisis Deskriptif
................................................................................
75
5. Analisis Tambahan
...............................................................................
88
F. PEMBAHASAN
.......................................................................................
90
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………...96
A. Kesimpulan
................................................................................................
96
B. Saran
..........................................................................................................
96
DAFTAR PUSTAKA
...........................................................................................
98
LAMPIRAN
........................................................................................................
102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Deskripsi Subjek Pilot Study
..................................................................
63
Tabel 2. Deskripsi Subjek Penelitian Etnik Jawa
................................................. 66
Tabel 3. Deskripsi Subjek Penelitian Etnik Tionghoa
.......................................... 67
Tabel 4. Data Empirik Emosi Senang, Sedih, Marah dan Takut pada
Seluruh
Subjek
.....................................................................................................
69
Tabel 5. Perbandingan Mean Empirik dengan Mean Teoritis Emosi
Senang,
Sedih, Marah, dan Takut pada Seluruh Subjek
...................................... 69
Tabel 6. Data Empirik Emosi Senang, Sedih, Marah dan Takut pada
Etnik
Jawa.........................................................................................................
70
Tabel 7. Perbandingan Mean Empirik dengan Mean Teoritis Emosi
Senang,
Sedih, Marah, dan Takut pada Etnik Jawa
............................................. 70
Tabel 8. Data Empirik Emosi Senang, Sedih, Marah dan Takut pada
Etnik
Tionghoa
.................................................................................................
71
Tabel 9. Perbandingan Mean Empirik dengan Mean Teoritis Emosi
Senang,
Sedih, Marah, dan Takut pada Etnik Tionghoa
..................................... 71
Tabel 10. Uji Normalitas
.......................................................................................
73
Tabel 11. Uji Homogenitas
...................................................................................
74
Tabel 12. Independent Sample
T-test....................................................................
75
Tabel 13. Hasil Persepsi Jenis Emosi pada Ekspresi Wajah oleh
Seluruh
Subjek
.....................................................................................................
76
Tabel 14. Hasil Persepsi Jenis Emosi pada Ekspresi Wajah oleh
Etnik
Tionghoa
.................................................................................................
80
Tabel 15. Hasil Persepsi Jenis Emosi pada Ekspresi Wajah oleh
Etnik Jawa ...... 84
Tabel 16. Uji Normalitas Data Berdasarkan Jenis Kelamin
................................. 88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xvii
Tabel 17. Independent Sample T-test Emosi Marah dan Emosi Takut
pada Laki-
laki dan Perempuan
.................................................................................
89
Tabel 18. Mann-Whitney U Test Emosi Senang dan Emosi Sedih pada
Laki-laki
dan perempuan
........................................................................................
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Survei Etnik
...........................................................................
104
Lampiran 2. Angket Identitas Etnik
....................................................................
110
Lampiran 3. Hasil Uji T Mean Teoritik dan Mean Empirik
............................... 117
Lampiran 4. Hasil Uji Asumsi
...........................................................................
120
Lampiran 5. Hasil Uji Hipotesis
.........................................................................
123
Lampiran 6. Hasil Uji Deskriptif
........................................................................
125
Lampiran 7. Hasil Analisis Tambahan
................................................................
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Komunikasi merupakan salah satu hal yang penting dan tidak
dapat
dipisahkan dalam kehidupan manusia. Komunikasi berfungsi untuk
memenuhi
kebutuhan manusia, menyampaikan perasaan, menyampaikan
tujuan,
membangun hubungan dengan orang lain, hingga mempengaruhi orang
lain
(Barker & Gaut, 1941). Hybels dan Waaver (2004)
mendefinisikan komunikasi
sebagai semua proses untuk membagikan informasi, ide dan
perasaan yang
dimiliki oleh seseorang kepada orang lain. Berdasarkan
pengertian tersebut,
maka komunikasi yang efektif menjadi hal yang sangat penting
supaya pesan
yang dikirimkan oleh pengirim dapat dipersepsikan dengan arti
yang sama pula
oleh penerima pesan.
Persepsi memiliki peran yang penting dalam komunikasi.
Persepsi
mengandung arti sebagai sekumpulan tindakan mental yang
mengatur
dorongan-dorongan sensoris dalam memaknai suatu pola (Wade,
Travis,
Garry, 2016). Ratner (2002) mengatakan bahwa seluruh proses
tindakan mental
merupakan sebuah produk budaya yang kemudian membentuk
memori
seseorang untuk menambahkan atau menghilangkan beberapa hal
sehingga
informasi yang ditangkap lebih mudah untuk diterima atau lebih
familiar.
Sejalan dengan pengertian tersebut, Hinton (2016) mengatakan
bahwa persepsi
adalah proses pemberian makna pada sensasi yang ada. Sensasi
tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
2
didapatkan melalui aktivitas indera tubuh, seperti mata yang
melihat, hidung
yang mencium aroma, ataupun lidah yang merasakan (Hinton,
2016).
Hinton (2016) mengatakan bahwa persepsi merupakan sebuah
proses
yang kompleks karena merupakan kombinasi informasi-informasi
sensasi
dengan pengetahuan, dan pengalaman. Hal tersebut tidak jarang
menimbulkan
perbedaan persepsi dalam melakukan komunikasi. Salah satu
kasusnya ialah
kasus seorang remaja bernama Wendy, yang menikam temannya
sendiri
bernama Hendi Leonardo hingga tewas. Kejadian ini terjadi pada
tanggal 8 Mei
2017. Hal ini berawal ketika Wendy bertemu dengan Hendi yang
sedang
bersama dengan teman-temannya. Ketika bertemu, Hendi berkata
kepada
Wendy "Ngape ngelik-ngelik, nak belage ape", dalam bahasa
Indonesia
artinya ialah kenapa lihat-lihat, mau ngajak berkelahi apa.
Kemudian karena
merasa takut, Wendy pergi dan mengambil sebuah pisau.
Selanjutnya, mereka
bertemu kembali di lapangan voli dan kemudian berkelahi. Merasa
dalam
posisi yang tidak aman, Wendy menusukkan pisau ke bagian dada
korban dan
kemudian melarikan diri (Wedya, 2017). Dalam kejadian tersebut,
kata ngelik-
ngelik atau lihat-lihat menunjukkan bahwa ungkapan verbal
tersebut terjadi
setelah munculnya sebuah ekspresi wajah tertentu; dan kemudian
dilanjutkan
dengan munculnya persepsi “nak belage ape” atau “mau mengajak
berkelahi
apa”. Berdasarkan penjelasan tersebut maka penyebab munculnya
masalah
dapat dikarenakan oleh perbedaan persepsi dalam mengartikan
komunikasi
nonverbal, secara khusus ekspresi wajah, yang menyebabkan
tewasnya
seseorang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
3
Untuk lebih mengkaji relevansi permasalahan terkait
perbedaan
persepsi pada komunikasi nonverbal dalam kehidupan sehari-hari,
peneliti
melakukan survey dengan membagikan kuesioner secara online
kepada 17
responden. Hasilnya ialah 88,24% atau 15 orang responden pernah
mengalami
perbedaan persepsi atau salah paham dalam menggunakan
komunikasi
nonverbal. Selanjutnya, sebanyak 80% dari 15 responden tersebut
memiliki
pengalaman salah paham dalam mempersepsikan ekspresi wajah.
Hasil survey
tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 66,67% dari pengalaman
salah
paham mempersepsikan ekspresi wajah ialah kesalahpahaman
mengartikan
emosi. Sebanyak 87,5% responden tersebut salah dalam
mempersepsikan
emosi marah serta sebaliknya. Data tersebut membuktikan bahwa
perbedaan
persepsi dalam menggunakan komunikasi nonverbal, terutama
mempersepsikan emosi melalui ekspresi wajah merupakan masalah
yang
sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, persepsi
emosi
merupakan sinyal komunikasi yang adaptif, yang memiliki banyak
pengaruh
dalam kehidupan sehari-hari, seperti informasi yang menunjukkan
bagaimana
seseorang harus bersikap terhadap orang lain apakah lebih baik
untuk didekati
atau menghindar, dan memberikan informasi mengenai kepribadian
seseorang
(Tracy, Randles, & Steckler, 2015)
Matsumoto dan Hwang (2012) menjelaskan emosi sebagai reaksi
biopsikososial yang bersifat sementara terhadap suatu kejadian
yang
mengandung konsekuensi terhadap kesejahteraan seseorang dan
berpotensi
membutuhkan respon yang segera. Denzin menambahkan bahwa
emosi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
4
bergantung pada hubungan sosial yang meliputi
komponen-komponen
perasaan, intepretasi, kosa kata, serta sejarah sosial yang
dimiliki (1984 dalam
Strongman, 2003). Salah satu kunci dalam memahami emosi adalah
dengan
ekspresi wajah. (Russell & Fernandez-Dols, 2002). Hal
tersebut menyebabkan
pentingnya ekspresi wajah memiliki peranan penting dalam
kehidupan sehari-
hari.
Ekspresi wajah merupakan salah satu jenis dari komunikasi
nonverbal.
Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi yang tidak
melibatkan
penggunaan kata-kata. Mehrabian, (1980, dalam Hybels &
Waaver II, 2004),
mengatakan bahwa dalam komunikasi, 93% jenis komunikasi yang
digunakan
adalah komunikasi nonverbal. Data tersebut menunjukkan peranan
komunikasi
nonverbal yang sangat sering digunakan dalam komunikasi
sehari-hari.
Selanjutnya Brody, (1992, dalam Hybels & Waaver II, 2004),
mengatakan
bahwa 55% dari komunikasi nonverbal menggunakan ekspresi wajah,
postur,
serta gerakan tubuh; dan 38 % menggunakan nada yang digunakan
dalam
suara. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi wajah, postur, dan
gerakan tubuh,
merupakan jenis komunikasi nonverbal yang sering digunakan
dalam
kehidupan sehari-hari.
Ekpresi wajah sendiri memiliki dua pengertian. Pertama, ekpresi
wajah
diartikan sebagai ekspresi yang dimunculkan oleh seseorang.
Pengertian
tersebut sejalan dengan pendapat Ekman (dalam Prawitasari, 2006)
yang
mengatakan bahwa emosi yang ditunjukkan pada ekspresi wajah
merupakan
hasil gerakan otot saraf, sehingga bersifat universal. Kedua,
ekspresi wajah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
5
dapat diartikan sebagai reaksi dari orang yang mempersepsikan
suatu ekspresi
wajah (Russell & Fernandez-Dols, 2002).
Ekspresi wajah sebagai salah satu jenis dari komunikasi
nonverbal
merupakan hasil bentukan dari budaya yang dimiliki oleh
seseorang (Hybels &
Waaver II, 2004). Budaya merupakan sebuah sistem yang terdiri
dari pola
berpikir dan perilaku yang menetap yang dibentuk, diadopsi, dan
disebarkan
oleh beberapa individu yang bergabung di dalamnya (Ratner,
2002). Budaya
memberikan pengaruh dengan cara membentuk cara berpikir yang
berbeda
dengan membentuk stereotip yang mengarahkan seseorang untuk
meyadari
atau mengabaikan hal-hal tertentu (Wade, Travis, & Garry,
2016). Budaya juga
memainkan peran yang penting untuk mempersepsikan ekspresi wajah
tersebut
(Wade, Tavris, & Garry, 2016).
Salah satu hasil budaya ialah adanya culutural display rules
dan
cultural decoding rules pada ekspresi wajah (Elfenbein, 2017).
Ekman (1972,
dalam Elfenbein, 2017) mendefinisikan cultural display rules
sebagai aturan-
aturan budaya yang mengarahkan cara menunjukkan ekspresi emosi
yang tepat
(Ekman & Friesen, 1971, dalam Hess & Hareli, 2017).
Sejalan dengan cultural
display rules, Matsumoto (1989, dalam Elfenbein, Emotional
Dialect in the
Language of Emotion, 2017) memunculkan istilah decoding rules.
Decoding
rules merupakan aturan-aturan dalam mempersepsikan emosi yang
ada pada
ekspresi wajah orang lain yang dianggap benar oleh suatu budaya
(Elfenbein,
2017).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
6
Dialect theory mengatakan bahwa perbedaan budaya yang dimiliki
oleh
seseorang akan timbul ketika mencoba mempersepsikan emosi orang
lain
dengan akurat (Elfenbein, 2017). Dialect theory mengatakan bahwa
terdapat
hubungan langsung antara ekspresi emosi dan persepsi emosi
yang
dimunculkan oleh karena perbedaan budaya (Elfenbein &
Ambady, 2003).
Buck (1984, dalam Hess & Hareli, 2017) dan Hess (2001, dalam
Hess & Hareli,
2017) menambahkan bahwa seseorang akan memepersepsikan emosi
dengan
kurang akurat pada ekspresi-ekspresi emosi yang pada budaya
tertentu
dilarang.
Sebuah penelitian yang dilakukan di luar Indonesia,
membandingkan
antara budaya Anglo (Australia, Inggris, Afrika Selatan (White
South Africa),
Selandia Baru, Kanada, Irlandia dan Amerika Serikat) dengan
budaya Timur
atau Konfusian (China, Taiwan, Singapura, Hongkong, Korea
Selatan, dan
Jepang), menemukan bahwa terdapat kesalahan dalam membaca emosi
antara
pelanggan dengan service provider yang berasal dari budaya yang
berbeda
(Tombs, Bennett, & Ashkanasy, 2014). Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan
penjelasan bahwa persepsi emosi secara terus menerus dipengaruhi
oleh
konteks yang ada (Barrett, Lisa Feldman; Mesquita, Batja;
Gendron, Maria;,
2011; Gendron, Roberson, Marietta, & Barret, 2014).
Meski demikian, adapula beberapa penemuan yang mengatakan
bahwa
emosi merupakan hal yang universal dan tidak dipelajari melalui
budaya-
budaya tertentu (Ekman, 1972, dalam Gendron, Roberson, Marietta,
& Barret,
2014). Ekman (2003) menemukan bahwa orang yang memiliki latar
belakang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
7
budaya yang berbeda akan mempersepsikan emosi yang sama yang
muncul
pada ekspresi wajah tertentu.
Di Indonesia, pada penelitian tahun 1989 (Prawitasari,
2006),
Prawitasari mengembangkan sebuah alat yang berisikan foto-foto
ekspresi
wajah yang mengacu pada Facial Action Coding System (FACS)
yang
dilakukan oleh Ekman dan Friesen pada 1978 untuk menjawab
pertanyaan
apakah komunikasi nonverbal bersifat universal atau mengandung
bias budaya.
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa orang Amerika dan
orang
Indonesia mampu mengenali ekspresi wajah yang diberikan namun
dengan
intensitas yang berbeda (Prawitasari, 2006). Penelitian
selanjutnya, Prawitasari
dan Martani (1993) meneliti tentang kepekaan terhadap komunikasi
nonverbal
di antara masyarakat berbeda budaya. Sampel budaya yang diambil
ialah
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Yogyakarta. Hasil
penelitian tersebut
menemukan bahwa terdapat kesamaan dan perbedaan dalam
mengartikan
komunikasi non verbal pada masyarakat dengan latar belakang
budaya yang
berbeda (Prawitasari & Martani, 1993). Perbedaan dalam
mengartikan emosi
banyak terjadi pada emosi marah, takut, dan sedih.
Etnik sebagai bagian dari budaya (Barth, 1969) juga
mendapatkan
perhatian dalam mempengaruhi emosi. Etnik dapat diartikan
sebagai sebuah
komunitas yang memiliki kesamaan adat, kepercayaan mengenai
asal-usul
yang sama dan hidup bersama-sama (Zaini, 2014; Weber, 1968
dalam
Varkuyten, 2005). Matsumoto (1993) meneliti mengenai perbedaan
etnik
dengan emosi pada sampel orang Amerika. Penelitian tersebut
menemukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
8
bahwa terdapat perbedaan pada penilaian emosi, display rules,
dan ekspresi
emosi pada laporan diri (Matsumoto, 1993). Hasil penelitian yang
dilakukan
oleh Matsumoto (1993) tersebut menimbulkan pertanyaan bagi
peneliti, apakah
identitas etnik yang ada dimasyarakat Indonesia juga menimbulkan
perbedaan
dalam mengenali emosi pada ekspresi wajah sejalan dengan hasil
penelitian
yang dilakukan oleh Prawitasari dan Martani (1993) atau justru
sebaliknya.
Di Indonesia terdapat beragam etnik seperti etnik Jawa, etnik
Tionghoa,
etnik Batak, etnik Sunda, dan lain-lain (Na'im & Syaputra,
2011). Menurut data
survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (Na'im &
Syaputra, 2011),
etnik Jawa merupakan etnik terbesar yang ada di Indonesia dengan
persentase
sebesar 40,22% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Susetyo
(2010)
mengatakan bahwa etnik Jawa merupakan etnik yang keberadaannya
menyebar
di wilayah Indonesia. Dilansir oleh bbc.com (2017), Charles
Coppel, seorang
associate professor di Universitas Melbourne, melakukan analisis
dari hasil
survei penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan
mengatakan
bahwa dari banyak etnik yang ada, bahkan dari dua etnik terbesar
yakni etnik
Jawa dan etnik Sunda, etnik Tionghoa merupakan etnik yang
keberadaannya
menyebar di seluruh Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut,
Susetyo (2010)
juga mengatakan bahwa etnik Tionghoa merupakan etnik yang
keberadaannya
menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data
tersebut
maka peneliti memilih kedua etnik, yaitu etnik Jawa dan etnik
Tionghoa untuk
dijadikan sebagai sampel etnik dalam penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
9
Selain itu, alasan lain untuk pemilihan kedua etnik tersebut
dikarenakan
oleh adanya perbedaan yang kontras pada nilai-nilai budaya dalam
menjalin
hubungan sosial. Pada etnik Jawa, mereka cenderung untuk
menjalin hubungan
yang baik dalam taraf permukaan, sehingga tidak menyangkut
sebuah sikap
batin atau keadaan jiwa yang ada pada diri seseorang (Susetyo,
2010). Selain
itu, mereka juga memiliki pandangan bahwa mengungkapkan diri
dengan cara
yang spontan merupakan tindakan yang tidak etis karena mampu
memicu
pertikaian di lingkungan sosial (Hariyono, 1994). Sedangkan,
pada etnik
Tionghoa mereka menjaga kerukunan dengan cara memberikan sebuah
reaksi
yang jelas. Hal ini memunculkan sikap untuk berbicara secara
‘vulgar’ pada
orang etnik Tionghoa (Hariyono, 1994).
Penelitian ini akan meneliti mengenai kejelasan persepsi
ekspresi wajah
pada etnik Jawa dan etnik Tionghoa. Adapun cara pengukuran
persepsi yang
dilakukan ialah kejelasan persepsi terhadap ekspresi wajah
yang
mengungkapkan emosi senang, sedih, marah dan takut. Kejelasan
persepsi
dalam penelitian ini diukur dengan cara melihat apakah seseorang
mampu
menangkap dengan benar emosi yang ditampilkan oleh model serta
mengukur
tingkat kejelasan emosi yang ada tersebut.
Subjek dalam penelitian ini ialah individu yang berada dalam
tahap
dewasa awal. Menurut Erickson, rentang usia pada masa dewasa
awal ialah 19
tahun hingga 30 tahun (Feist & Feist, 2014). Individu pada
masa dewasa awal
dipilih karena dianggap telah mampu melewati tahapan
perkembangan
identitas yang terjadi pada masa remaja (Feist & Feist,
2014) serta telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
10
melakukan eksplorasi dalam etnik yang dimilikinya sehingga
berada dalam
tahap achieve ethnic identity, yakni memiliki pemahaman yang
jelas mengenai
etniknya (French, Seidman, Allen, & Aber, 2006). Selain itu,
Santrock (2010)
mengatakan bahwa pada orang dengan usia 20 tahun,
karakteristiknya akan
cenderung stabil hingga usia 30 tahun.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan masalah yang dipaparkan tersebut, rumusan masalah
dalam
penelitian ini ialah: Apakah terdapat perbedaan persepsi
terhadap ekspresi
wajah pada etnik Jawa dan etnik Tionghoa?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui perbedaan
persepsi terhadap
ekspresi wajah pada etnik Jawa dan etnik Tionghoa.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu
pengetahuan, secara khusus ilmu psikologi mengenai persepsi
terhadap
ekspresi wajah pada etnik Jawa dan Tionghoa. Selain itu, hasil
penelitian ini
juga dapat dijadikan rujukan bagi peneliti selanjutnya dalam
meneliti
persepsi terhadap ekspresi wajah dalam konteks budaya Indonesia
yang
lebih luas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
11
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi
masyarakat
Indonesia, secara khusus etnik Jawa dan etnik Tionghoa,
dalam
mempersepsikan emsoi yang didapatkan melalui ekspresi wajah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
12
BAB II
DASAR TEORI
A. EMOSI PADA EKSPRESI WAJAH
1. Emosi
Bentley (1928, dalam Frijda, 2000) mengatakan bahwa emosi
mengandung arti sebagai sebuah bentuk aktivitas atau perilaku
eksternal
tubuh; atau juga sebagai sebuah reaksi menyenangkan atau
tidak
menyenangkan terhadap suatu kejadian atau kondisi mental
tertentu. Secara
lebih lanjut, Watson (1929, dalam Strongman 2003) mengatakan
bahwa
emosi merupakan pola reaksi berkelanjutan yang melibatkan
perubahan
sangat besar pada mekanisme tubuh secara keseluruhan, terutama
pada bagian
viseral dan sistem kelenjar.
Frijda (1986, dalam Fridja 2000) menjelaskan bahwa emosi
dapat
dilihat sebagai sebuah proses yang melibatkan kontrol dari
tindakan yang
tidak disadari dan tidak biasa dilakukan. Hammond (1970, dalam
Strongman,
2003) menjelaskan lebih lanjut bahwa emosi merupakan keadaan
sentral dari
makhluk hidup yang didapatkan melalui stimulus yang dipelajari
dan tidak
dipelajari yang kemudian terjadi melalui proses classical
conditioning.
Berbeda dengan tokoh sebelumnya, Denzin (1984, dalam
Strongman,
2003) mengatakan bahwa emosi merupakan self-feeling atau
perasaan diri. Ia
menjelaskan bahwa emosi merupakan perasaan diri dalam keadaan
tertentu
yang muncul dari hal-hal emosional dan aktivitas kognitif sosial
yang terarah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
13
pada diri sendiri atau orang lain. Denzin (1984 dalam Strongman,
2003) juga
menjelaskan bahwa emosi bergantung pada hubungan sosial yang
meliputi
komponen-komponen perasaan, intepretasi, kosa kata, serta
sejarah sosial
yang dimiliki.
Seluruh penjelasan tokoh tersebut dapat terangkum dalam
penjelasan
yang diberikan oleh Izard (1977,1991, dalam Russell &
Fernandez-Dols,
2002) bahwa emosi meliputi neurofisiologis, perilaku, serta
komponen-
komponen subjektif. Matsumoto dan Hwang (2012) memberikan
suatu
definisi emosi yang mampu memberikan rangkuman definisi
tokoh-tokoh
yang ada. Mereka mendefinisikan emosi sebagai reaksi
biopsikososial yang
bersifat sementara terhadap suatu kejadian yang mengandung
konsekuensi
terhadap kesejahteraan seseorang dan berpotensi membutuhkan
respon yang
segera.
2. Ekspresi Wajah
Penggunaan ekspresi wajah untuk menunjukkan kondisi emosi
seseorang sudah diteliti sejak pertengahan tahun 1800-an
(Gendron & Barett,
2017). Sekitar tahun 1980, psikologi menemukan bahwa wajah
menjadi salah
satu kunci untuk memahami emosi, dan emosi menjadi kunci
untuk
memahami wajah (Russell & Fernandez-Dols, 2002). Izard
mengatakan
bahwa emosi pada suatu tingkat analisis merupakan aktivitas
neuromuscular
wajah (Russell & Fernandez-Dols, 2002).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
14
Russell dan Fernandez-Dols (2002) dalam tulisannya
mengatakan
bahwa ekspresi wajah memiliki dua pengertian yang berlawanan.
Pertama,
ekspresi wajah dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan orang
yang mengekspresikan dan perilaku yang muncul pada wajah.
Pada
pengertian yang pertama tersebut, ekspresi wajah menjadi
variabel yang
dependen karena mendapatkan pengaruh internal dan eksternal dari
orang
yang mengekspresikan, seperti: kondisi yang dialami, motivasi,
serta aturan-
aturan budaya yang telah diinternalisasi. Kedua, ekspresi wajah
dapat
diartikan sebagai bagaimana reaksi orang yang melihat terhadap
eskpresi
wajah yang muncul. Pada pengertian yang kedua ini, ekspresi
wajah menjadi
variabel independen karena ekspresi wajah bergantung pada orang
yang
melihat ekspresi tersebut.
Terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam meneliti kaitan
antara
gerakan wajah dengan kondisi emosi, yakni classical view of
emotion dan
constructionist view of emotion (Gendron & Barett, 2017).
Pendekatan
classical view of emotion mengatakan bahwa suatu konfigurasi
ekspresi
wajah digunakan untuk menunjukkan sebuah emosi dengan suatu
tampilan
yang spesifik dan konsisten. Classical view of emotion memandang
emosi
sebagai hal yang independen dari perceiver karena emosi akan
tetap ada, baik
ada atau tidak ada orang yang menangkap emosi tersebut.
Sedangkan,
pendekatan constructionist view of emotion memandang emosi
sebagai
variabel tergantung dari perceiver. Menurut constructionist view
of emotion,
ekspresi emosional dan persepsi emosi disusun oleh bagaimana
perceiver
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
15
membentuk makna dari emosi yang ditampilkan. Berdasarkan
pendekatan ini
maka ketika ekspresi wajah yang menjadi target dan perceiver
memiliki
konsep yang sama, wajah menjadi mampu membantu perceiver
menyimpulkan kondisi internal yang ada pada target dengan
benar.
Sebaliknya, apabila perceiver memiliki konsep yang tidak sesuai
dengan
target maka kesimpulan yang dimiliki tidak sesuai dengan kondisi
internal
target dan terjadi kesalahpahaman.
Paul Ekman (dalam Prawitasari, 2006), dalam penelitiannya
mengenai
ekspresi wajah untuk menunjukkan emosi dasar manusia, menyatakan
bahwa
emosi yang terlihat dalam di wajah bersifat universal karena
merupakan
gerakan otot saraf. Prawitasari (2006) memberikan contoh bahwa
ketika
seseorang marah maka mukanya akan memerah karena darah mengalir
lebih
cepat dan otot akan menengang. Selanjutnya, Prawitasari (2006)
juga
mengemukakan bahwa ketika takut maka pupil akan membesar dan
keringat
dingin keluar. Selain reaksi tersebut, reaksi tubuh yang muncul
hampir sama
dengan ketika marah.
Berdasarkan pejelasan tersebut maka ekspresi wajah merupakan
aktivitas wajah yang membentuk sebuah tampilan tertentu bersifat
universal
yang mencerminkan suatu emosi yang dimiliki oleh orang yang
mengekspresikanya serta sebagai sebuah makna yang diberikan
oleh
perceiver terhadap ekspresi wajah yang menjadi target.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
16
3. Jenis-Jenis Emosi dalam Ekspresi Wajah
Ekman (2003) mengatakan bahwa emosi terdiri dari sedih,
marah,
terkejut, takut, jijik (contempt dan disgust), serta bahagia.
Ekman (2003)
mengatakan bahwa masing-masing emosi memiliki intensitas yang
berbeda
yang secara jelas mampu terlihat pada wajah.
Di Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan oleh Prawitasari
pada
tahun 1991 (Prawitasari, 1995) mengungkapkan bahwa pada orang
Indonesia
emosi marah, sedih, senang, dan takut lebih sering digunakan.
Penggunaan
emosi dalam kehidupan sehari-hari dapat terlihat dengan
banyaknya kata-kata
sifat dibandingkan dengan emosi lainnya, seperti jijik, malu,
dan terkejut.
a. Senang
Emosi senang merupakan jenis emosi positif. Positif emosi
merupakan emosi yang lebih dapat dinikmati daripada untuk
ditahan.
Averill (1993 dalam Strongman, 2003) mengatakan bahwa senang
sebagai suatu kondisi yang diikuti oleh berbagai pengalaman
daripada
sebagai hasil dari suatu aksi. Oatley dan Johnson-Laird
mengatakan
bahwa emosi senang terjadi ketika seseorang mampu mencapai
suatu
tujuan dan memberikan peluang untuk melanjutkan rencana
berikutnya
(Strongman, 2003).
Ekman (2003) menjelaskan bahwa emosi senang seringkali
diasosiasikan dengan munculnya senyum pada wajah. Meski
demikian,
ia menjelaskan bahwa senyuman yang ada di wajah mampu dibagi
menjadi dua jenis, yakni senyum yang mengandung unsur senang
dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
17
senyum yang tidak mengandung unsur senang, seperti senyum
untuk
menunjukkan kesopanan, atau ketika seorang pendengar setuju
dengan
pendapat yang ada. Hal yang paling membedakan dari kedua
senyum
tersebut ialah senyuman yang lebar menyebabkan alis dan mata
yang
tertutup oleh lipatan kulit (diantara kelopak mata dengan alis)
tertarik
turun oleh otot yang mengitari mata, serta berdampak pada
perubahan
pada bagian pipi.
b. Marah
Ekman (2003) mengatakan bahwa emosi marah merupakan emosi
yang muncul ketika terdapat sebuah hal yang menganggu atau
menghalangi pekerjaan yang sedang atau ingin dilakukan oleh
seseorang.
Selain itu, Ekman (2003) juga menjelaskan bahwa marah juga
merupakan respon emosi yang muncul ketika seseorang berusaha
untuk
melukai secara psikologis, menghina, serta merendahkan
penampilan
atau performansi. Selain itu, penolakan yang dilakukan oleh
seseorang
yang dicintai juga mampu memunculkan emosi marah. Lemerise
dan
Dodge (1993, dalam Strongman, 2003) mengatakan bahwa emosi
marah
berfungsi untuk mengatur dan melakukan regulasi pada hal-hal
serta
proses psikologis yang berkaitan dengan pembelaan diri serta
penguasaan. Selain proses psikologis, emosi marah juga befungsi
sebagai
regulasi dari perilaku sosial dan interpersonal. Emosi marah
dalam sosio-
budaya seringkali digunakan untuk menegakkan standar-standar
tingkah
laku yang sesuai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
18
Ekman (2003) menjelaskan bahwa marah memberikan sensasi
perasaan tertekan, tegang, serta panas. Emosi marah menaikan
detak
jantung, pernapasan, tekanan darah, serta menjadikan muka
merah.
Emosi marah merupakan emosi yang berbahaya karena mampu
mengeluarkan perilaku marah dan siklusnya berlangsung sangat
cepat.
Selain itu, emosi marah yang dimiliki seseorang mampu
menyebabkan
munculnya emosi marah pada orang lain.
Ekman (2003) menjelaskan perubahan ekspresi wajah terhadap
emosi marah. Ketika seseorang baru saja mengalami emosi marah,
ia
akan menekan bersamaan dengan tekanan yang ringan pada
bagian
bawah kelopak mata. Ia menjelaskan bahwa terdapat tiga kunci
kombinasi yang memastikan bahwa seseorang marah, yakni
menurunkan
alis, memberikan tekanan pada bagian bawah kelopak mata,
serta
menaikkan bagian atas kelopak mata.
c. Takut
Takut merupakan suatu emosi yang tidak mengenakkan serta
tidak dapat terkatakan mengenai suatu hal yang menunjukkan
tanda
tertentu yang bercampur dengan perubahan-perubahan pada tubuh
baik
yang termanifestasi dalam bentuk somatisasi maupun
autonomisasi
(Lader & Marks, 1973 dalam Ohman, 2000). Emosi takut
berbeda
dengan kecemasan. Takut akan muncul ketika seseorang
mengetahui
adanya stimulus-stimulus dalam bentuk nyata yang mampu
mengancam.
Berbeda dengan takut, cemas muncul apabila stimulus-stimulus
yang ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
19
tidak dalam bentuk nyata dan hanya sebagai bentuk antisipasi
seseorang
mengenai hal yang akan terjadi.
Ekman (2003) menjelaskan bahwa ketika seseorang mengalami
takut, maka darah akan mengalir kepada otot-otot besar pada
bagian kaki,
dan menyiapkan seseorang untuk melarikan diri. Apabila emosi
takut
tersebut tidak menyebabkan seseorang untuk freeze atau melarikan
diri,
maka akan memunculkan reaksi marah pada hal yang mengancam
tersebut. Apabila hal yang mengancam tersebut lebih kuat,
maka
seseorang akan cenderung untuk takut dibandingkan marah;
meskipun
setelah berada dalam posisi aman emosi tersebut dapat berubah
menjadi
marah, baik marah pada hal yang mengancam tersebut ataupun
marah
pada diri sendiri karena menjadi takut daripada menghadapi
situasi
menakutkan yang ada.
Ekman (2003) menjelaskan perubahan wajah yang terjadi ketika
seseorang takut. Kunci bawah seseorang takut terletak pada
bagian
bawah kelopak mata. Ketika tekanan pada kelopak mata bagian
bawah
disertai dengan naiknya kelopak mata bagian atas dan bagian
wajah
lainnya menjadi kosong. Pada orang takut, bibir akan
direntangkan ke
belakang mengarah ke mata.
d. Sedih
Ekman (2003) menjelaskan bahwa sedih merupakan emosi yang
mengandung unsur pasrah dan tidak memiliki harapan dan bersifat
pasif.
Sedih juga merupakan salah satu emosi yang dapat bertahan cukup
lama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
20
Sedih biasanya diawali dengan adanya sebuah perasaan tidak
terima yang
berusaha untuk memperbaiki kehilangan yang terjadi hingga
seseorang
tersebut benar-benar merasa tidak berdaya. Sejalan dengan
Ekman,
Stearns (1993, dalam Strongman, 2003) mengatakan bahwa emosi
sedih
menjadi suatu indikasi bahwa seseorang memerlukan
pertolongan.
Stearns (1993, dalam Strongman, 2003) mengatakan bahwa sedih
sering kali terjadi apabila seseorang tidak mampu mengubah
kondisi
yang ada. Ekman (2003) juga menjelaskan bahwa sedih dapat
muncul
ketika seseorang mengalami kehilangan, seperti ditolak oleh
teman atau
kekasihnya, kehilangan kepercayaan diri karena gagal dalam
mencapai
target dalam pekerjaan, kehilangan pujian dari atasan, sakit,
kehilangan
beberapa bagian tubuh atau fungsi tubuh dikarenakan oleh sakit
atau
suatu kecelakaan, maupun kehilangan benda yang berharga.
Ekman (2003) mengemukakan bahwa emosi sedih akan sangat
jelas terlihat pada kombinasi kelopak mata yang tampak berat
serta sudut
bagian dalam alis yang dinaikan. Ekman mengatakan bahwa alis
menjadi
hal yang paling penting dan memiliki reliabilitas yang tinggi
dalam
menunjukkan emosi sedih. Selanjutnya, pada bagian mulut orang
yang
sedih sudut-sudut bibir akan ditarik ke bawah.
4. Stimuli Emosi
Penelitian ini menggunakan alat stimuli emosi yang diciptakan
oleh
Prawitasari pada tahun 1993. Teori dasar yang digunakan dalam
pembuatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
21
alat ini ialah teori ekspresi wajah yang dikemukakan oleh Ekman.
Adapun
dalam pembuatannya alat stimuli emosi mengacu pada alat FACS
(Facial
Action Coding System) yang diciptakan oleh Ekman dan Friesen.
Stimuli emosi
yang digunakan berupa slide foto ekspresi wajah dengan model
yang berasal
dari Manado, Ujung Pandang, dan Yogyakarta. Pada awalnya jumlah
slide foto
berjumlah 37 foto, namun ternyata hanya terdapat 24 foto yang
valid untuk
mengungkapkan emosi. Slide stimuli emosi yang ada mengungkapkan
empat
jenis emosi, yakni emosi takut, emosi marah, emosi sedih, dan
emosi senang.
Model yang digunakan dalam foto stimuli emosi ini ialah dua
model laki-laki
dan dua model perempuan dari ketiga lokasi penelitian tersebut.
Pada tahun
1995, Prawitasari telah melakukan pembakuan instruksi dalam
menggunakan
alat stimuli emosi.
B. PERSEPSI
1. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan sekumpulan tindakan mental yang mengatur
dorongan-dorongan sensoris menjadi suatu pola yang bermakna
(Wade, Tavris,
& Garry, 2016). Hinton (2016) mengemukakan pendapat serupa
bahwa
persepsi ialah proses pemberian makna pada sensasi yang
didapatkan melalui
aktivitas-aktivitas indra manusia. Meski demikian, Hinton
(2016)
menambahkan bahwa persepsi juga merupakan proses kategorisasi,
yakni
mengidentifikasi atau mengenali sensasi yang didapatkan dengan
pengetahuan
dan ingatan yang ada menjadi sebuah kesimpulan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
22
Wundt (1874, dalam Hinton, 2016) menyatakan bahwa pengalaman
yang
dimiliki oleh manusia bukanlah pengalaman tentang serangkaian
sensasi,
melainkan bagaimana individu mempersepsikan serangkaian sensasi
tersebut
menjadi satu membentuk sebuah representasi. Sejalan dengan
Wilhelm Wundt,
Helmholtz mengatakan bahwa persepsi melibatkan proses
pembuatan
kesimpulan yang berasal dari alam bawah sadar (Hinton, 2016).
Ratner (2002)
menjelaskan bahwa seluruh proses mental manusia merupakan bentuk
produk-
produk budaya. Hal ini dikarenakan sejak bayi perkembangan
psikologis
seseorang telah dikembangkan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan
sosial, menggunakan artefak serta belajar mengenai konsep-konsep
budaya
hingga akhirnya membentuk fenomena-fenomena psikologis seperti
emosi,
persepsi, memori, dan penalaran (Tomasello, 1999 dalam Ratner,
2002).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka persepsi merupakan
proses
pemberian makna pada sensasi-sensasi yang didapatkan oleh indera
yang
diidentifikasi sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang
dmiliki oleh
seseorang diatur oleh tindakan mental dan melibatkan alam bawah
sadar.
2. Proses Persepsi
DeVito (2011) menjelaskan mengenai proses persepsi. Pada
tahap
pertama, indera manusia akan mendapatkan rangsangan atau
stimulus dari luar.
Pada tahap ini, indra akan menerima berbagai stimulus namun
tidak semua
stimulus akan digunakan. Individu akan cenderung untuk menangkap
stimulus-
stimulus yang dianggap bermakna daripada yang dianggap tidak
bermakna.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
23
Selanjutnya pada tahap kedua, stimulus yang diterima oleh indra
akan
diolah dengan beberapa prinsip. Diantaranya ialah prinsip
kemiripan atau
proximity dan kelengkapan atau closure. Prinsip kemiripan
menjelaskan bahwa
seseorang cenderung mempersepsikan pesan yang secara fisik mirip
dengan
satu yang lain sebagai suatu kesatuan. Sedangkan, prinsip
kelengkapan
mengatakan bahwa seseorang cenderung untuk mempersepsikan suatu
gambar
yang tidak lengkap menjadi suatu gambar yang lengkap. Penelitian
Bartlett
(1932 dalam Ratner, 2002) menemukan bahwa memori meringkas bahan
yang
ada, menyatukan beberapa hal, serta menambahkan dan
menghilangkan
beberapa hal untuk membuat suatu hal terlihat familiar dan lebih
mudah untuk
dipahami. Memori tersebut digerakkan oleh adanya
pengalaman-pengalaman
sosial (Ratner, 2002).
Tahapan yang ketiga ialah penafsiran-evaluasi. Tahap ini
merupakan
proses subjektif yang melibatkan evaluasi dari pihak penerima.
Proses yang
terjadi dalam tahapan ini sangatlah berkaitan dengan masa lalu,
kebutuhan,
sistem nilai, keyakinan, keadaan fisik serta emosi pada saat
itu. Pada proses ini
pula, budaya memiliki peranan dalam membentuk persepsi. Ratner
(2002)
menjelaskan bahwa dalam sebuah budaya seseorang sejak anak-anak
diminta
untuk berpartisipasi dalam mengikuti acara-acara sosial serta
menyesuaikan
diri dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam budayanya sesuai
peran yang
dimiliki dalam budayanya. Peran sosial seseorang dalam
budayanya
membentuk bagaimana seseorang berpikir dan cara pandangnya
mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
24
suatu hal. Hal tersebut mempengaruhi proses subjektif seseorang
dalam
menafsirkan atau mempersepsikan suatu hal.
Teori Model Emotion Expression in Context atau MEEC (Hess
&Hareli,
2017) menjelaskan bahwa ekspresi diterima dalam suatu konteks
situasi yang
ada di dunia nyata dan kemudian diintepretasikan dalam suatu
konteks sesuai
dengan dunia orang yang mempersepsikannya. Informasi dari dunia
nyata
yang berupa ekspresi tersebut akan diberikan suatu makna
mengenai emosi
yang disampaikan, dan proses ini akan dipengaruhi oleh sudut
pandang
penerima informasi sebagi suatu proses yang berkaitan dengan
konteks garis
besar yang sebelumnya.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Secara umum, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
persepsi,
yakni (1) kebutuhan, (2) kepercayaan, (3) Emosi, dan (4)
Ekspektasi (Wade,
Tavris, & Garry, 2016). Kebutuhan atau ketertarikan terhadap
suatu hal
menjadikan seseorang lebih mudah untuk mempersepsikan sesuatu
sesuai
kebutuhannya. Kepercayaan yang dimiliki seseorang seringkali
mepengaruhi
intepretasi seseorang terhadap sesuatu. Dalam beberapa hal,
individu
mempersepsikan atau mengintepretasikan suatu hal sesuai dengan
kepercayaan
yang dimiliki. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi persepsi
ialah emosi.
Emosi seseorang mempengaruhi bagaimana ia memaknai stimulus
yang
didapatkan. Terakhir yakni ekspektasi. Kecenderungan seseorang
untuk
mempersepsikan sesuatu sesuai dengan harapan yang dimilikinya
dikenal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
25
dengan istilah set persepsi. Set persepsi membantu seseorang
untuk
mempersepsikan suatu hal secara keseluruhan. Namun, set persepsi
juga
mampu untuk membentuk kesalahan dalam melakukan persepsi.
Seluruh faktor tersebut dipengaruhi oleh budaya yang
dimiliki
seseorang (Wade, Tavris, & Garry, 2016). Budaya yang berbeda
membentuk
cara berpikir yang berbeda. Selain itu, budaya yang berbeda juga
dapat
mempengaruhi persepsi melalui pembentukan stereotip yang
mengarahkan
perhatian seseorang pada hal yang dianggap penting untuk
disadari dan
diabaikan (Wade, Tavris, & Garry, 2016).
Secara khusus dalam mempersepsikan emosi, konteks menjadi hal
yang
sangat penting, baik konteks ketika mengungkapkan emosi dengan
konteks
orang yang akan mempersepsikan emosi. Brunswick memodifikasi
model cara
pandang mengenai persepsi orang, yang telah diterapkan pada
komunikasi
emosi oleh Scherer (1978, dalam Hess & Hareli, 2017) yakni
konteks budaya,
hubungan sosial, dan konteks situasi. Dari seluruh jenis konteks
yang ada,
teradapat dua sumber informasi yang dapat berpengaruh, yakni
informasi yang
berkaitan dengan situasi yang memunculkan emosi, serta tambahan
informasi
yang dimiliki oleh penerima yang memiliki atau mengaplikasikan
pada situasi.
Hal ini menunjukkan bahwa penerima atau orang yang
mempersepsikan
memiliki peran aktif dalam proses persepsi (Kiouac & Hess,
1999 dalam Hess
& Hareli, 2017)
Konteks penerima atau orang yang mempersepsikan emosi terdiri
dari
berbagai hal, yakni (1) ekspektasi stereotipe dan norma sosial,
(2) tujuan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
26
kebutuhan serta kondisi emosional orang yang mempersepsikan
emosi, dan (3)
cultural display rule. Norma sosial berbeda dengan stereotipe.
Stereotipe
dalam konteks ini seirng kali tersirat dalam sebuah norma
perilaku. Norma-
norma yang ada di masyarakat mampu mempengaruhi identifikasi
terhadap
sinyal-sinyal emosi yang sudah berasosiasi dengan orang tertentu
(Hess &
Hareli, 2017).
Hal kedua ialah adanya tujuan, kebutuhan, dan kondisi emosional
dari
orang yang mempersepsikan emosi tersebut. Seseorang yang
tertarik dengan
hal tertentu akan cenderung untuk memberikan perhatian yang
lebih pada hal-
hal yang ada. Thibault et al (2006, dalam Hess & Hareli,
2017) menemukan
bahwa orang yang mengidentifikasikan dengan keanggotaan suatu
grup secara
kuat, lebih baik dalam menangkap ekspresi emosi pada anggota
grup tersebut.
Hal ketiga ialah adanya cultural display rules. Cultural display
rules
merupakan aturan-aturan sosio-budaya yang mengarahkan cara
menunjukkan
ekspresi emosi yang tepat (Ekman & Friesen, 1971, dalam Hess
& Hareli,
2017). Elfenbein dan Ambady (2003) menjelaskan bahwa display
rules
memiliki kontrol dan memegang kendali dalam mengoperasikan
ekspresi
wajah yang universal. Cultural Display Rules akan berbeda pada
masing-
masing budaya. Hal itu disebabkan karena cultural display rules
merupakan
norma yang mengatur untuk menaikan, mengurangi, menetralisir
atau
menutupi emosi yang dimunculkan dan akan muncul secara
otomatis
(Elfenbein & Ambady, Universals and Cultural Differences in
Recognizing
Emotions, 2003). Matsumoto (1989 dalam Elfenbein & Ambady,
2003)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
27
mengatakan bahwa semua orang dari berbagai latar belakang budaya
akan
mengekspresikannya dengan cara yang sama, namun norma-norma
sepesifik
yang dimiliki oleh budaya, seperti decoding rules, menimbulkan
perbedaan
mengenai hal mana yang penting dan tidak penting untuk diketahui
seseorang
dalam memahami sesuatu.
Decoding rules merupakan persepsi terkait emosi orang lain
yang
dipengaruhi oleh aturan-aturan yang dipelajari mengenai
bagaimana cara
seseorang harus menguraikan emosi yang diberikan oleh orang lain
(Buck,
1984 dalam (Elfenbein & Ambady, 2003). Matsumoto dan Ekman
(1989 dalam
Matsumoto, Anguas-Wong, & Martinez, 2008) menyebutkan bahwa
aturan-
aturan tersebut merupakan aturan-aturan yang spesifik, oleh
karena itu aturan
ini disebut sebagai Cultural Decoding Rules. Cultural decoding
rules mampu
memberikan dampak pada munculnya perbedaan pemaknaan emosi.
Dialect theory mengatakan bahwa perbedaan budaya dalam
melakukan
rekognisi akan tetap muncul ketika seseorang berusaha untuk
mempersepsikan
emosi orang lain seakurat mungkin (Elfenbein, 2017). Hal
tersebut disebabkan
oleh karena adanya proses belajar sosial. Elfenbein dan Ambady
(2003)
mengemukakan bahwa menurut dialect theory terdapat hubungan
secara
langsung antara perbedaan budaya yang muncul pada ekspresi emosi
dan
persepsi emosi. Seseorang akan cenderung untuk
mengintepretasikan perilaku
orang lain sesuai dengan apa yang ingin mereka sampaikan melalui
ekspresi
perilaku tersebut (Elfenbein & Ambady, Universals and
Cultural Differences
in Recognizing Emotions, 2003). Hal ini sejalan dengan
penjelasan Buck
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
28
(1984, dalam Hess & Hareli, 2017) dan Hess (2001, dalam Hess
& Hareli,
2017) bahwa cultural display rules mampu membuat orang yang
mempersepsikan sesuatu dengan kurang akurat pada ekspresi yang
dilarang
dalam budaya tertentu dan berdampak pula pada persepsi terhadap
emosi.
Hasil penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Prawitasari
pada tahun
1997 (Prawitasari, 2006) menunjukkan bahwa yang membedakan
persepsi
ialah daerah geografis bukan jenis kelamin dari orang tersebut.
Selain daerah,
status pekerjaan juga mempunyai peran kecil dalam memberikan
perbedaan
persepsi mengenai ungkapan emosi. Prawitasari (1995) juga
menemukan
bahwa kelompok profesional lebih mampu mengartikan emosi
dibandingkan
dengan kaum nonprofesional.
C. IDENTITAS ETNIK
1. Definisi Identitas Etnik
Trimble and Dickson (2010, dalam Zaini, 2014) menjelaskan
bahwa
identitas berasal dari bahasa Latin yakni Identitas, yang
berakar dari kata
idem. Kata idem sendiri memiliki arti “sama”. Zaini (2014)
mengemukakan
bahwa identitas dapat diartikan sebagai bentuk kesamaan seorang
individu
atau sesuatu dalam segala macam situasi yang menjadikan
seseorang atau
sesuatu tidak menjadi bagian dari kelompok lain.
Selanjutnya, Trimble and Dickson (2010, dalam Zaini, 2014)
juga
menjelaskan bahwa etnik merupakan Bahasa Yunani yang berasal
dari kata
ethnicuslethinikas. Ethnicuslethinikas berasal dari kata ethos
yang berarti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
29
adat. Sedangkan kata ethnicuslethinikas sendiri diartikan
sebagai bangsa.
Oleh karena itu, etnik didefinisikan sebagai sekelompok bangsa
yang
memiliki kesamaan adat yang dimiliki secara bersama-sama dan
hidup
bersama (Zaini, 2014). Penjelasan bahwa etnik sebagai sekelompok
manusia
tersebut, sejalan dengan pengertian mengenai kelompok etnik
yang
dikemukakan oleh Weber (1968, dalam Varkuyten, 2005). Namun,
ia
menambahkan bahwa suatu kelompok etnik juga meyakini
kepercayaan
mengenai asal-usul bersama sebagai dasar dalam membentuk
sebuah
komunitas.
Identitas etnik mengandung arti sebagai identifikasi diri
sebagai
anggota dari suatu kelompok etnik yang diikuti dengan adanya
sikap,
perilaku, pengetahuan sebagai anggota dari kelompok etnik
tersebut (Phinney
J. S., 1991; Tampubolon, 2016). Penjelasan tersebut sejalan
dengan
penjelasan yang dikemukakan oleh Kunstadter (Hudayana, 1998)
bahwa
identitas etnik merupakan proses dimana seseorang menandai
dirinya sebagai
bagian dari suatu etnik atau etnik yang lain. Kedua definisi
tersebut sejalan
dengan penjelasan Barth (1994, dalam Varkuyten, 2005) bahwa
identitas
etnik bukanlah suatu hal yang tetap, melainkan transaksional dan
fleksibel
bergantung pada situasi. Identitas etnik dinilai sebagai aspek
pragmatis dari
kumpulan interaksi sosial sehari-hari.
Berbeda dengan penjelasan sebelumnya, Phinney (1990, 1996,
dalam
Ramdani, 2015) mengatakan bahwa identitas etnik merupakan
sebuah
konstruk kompleks yang mengandung sebuah rasa memiliki (sense
of
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
30
belonging) pada kelompok etnik, serta adanya evaluasi positif
pada kelompok
etnik. Kemudian, Phinney (2007 dalam Ramdani, 2015)
menambahkan
penjelasannya bahwa identitas etnik juga merupakan perasaan
seseorang
dimana dirinya sebagai bagian dari anggota kelompok. Secara
lebih lanjut,
Phinney (2007 dalam Ramdani, 2015) menjelaskan bahwa identitas
etnik
berkembang dari waktu ke waktu melalui proses aktif
penyelidikan, belajar,
dan komitmen.
Di sisi lain, Chandra (Zaini, 2014) memiliki pengertian lain
dalam
mendefinisikan identitas etnik. Ia mendefinisikan identitas
etnik sebagai
suatu konsep objektif serta konsep tunggal yang bersifat
askriptif (turun
temurun) yang didasarkan pada kesamaan yang dimiliki secara
objektif.
Dalam masyarakat multi-etnik, seseorang sangat mungkin untuk
memiliki
lebih dari satu identitas etnik atau disebut dengan multi-etnik.
Hal ini dapat
terjadi apabila orangtua memiliki etnik yang berbeda (Isajiw,
1993). Dalam
hal seperti ini, beberapa bukti empiris mengatakan bahwa
individu yang
memiliki lebih dari satu identitas cenderung memilih salah satu
etnik yang
berasal dari identitas sang ayah (Breton, et al., 1990, dalam
Isajiw, 1993).
Di Indonesia, menurut buku kewarganegaraan, suku bangsa,
agama,
dan bahasa sehari-hari penduduk Indonesia yang dikeluarkan oleh
Badan
Pusat Statistik (Na'im & Syaputra, 2011) menjelaskan bahwa
kelompok etnik
di Indonesia merupakan suatu hal yang diturunkan. Dalam buku
tersebut
(Na'im & Syaputra, 2011) juga dijelaskan bahwa identitas
suku bangsa atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
31
kelompok etnik melekat pada masing-masing Individu sesuai
dengan
kelompok etnik yang dimiliki oleh kedua orangtuanya.
Berdasarkan seluruh pengertian tersebut maka dapat
disimpulkan
bahwa identitas etnik merupakan proses identifikasi diri atau
proses menandai
diri pada suatu kelompok etnik tertentu yang bersifat askriptif
atau turun
menurun, melalui adanya proses evaluasi positif pada suatu
kelompok etnik
yang diikuti dengan adanya sikap, perilaku, pengetahuan sebagai
anggota
serta adanya perasaan memiliki pada suatu kelompok etnik.
2. Aspek-aspek Identitas Etnik
Isajiw (1993) menjelaskan bahwa terdapat dua aspek mengenai
identitas etnik, yakni aspek internal dan aspek eksternal.
Aspek-aspek
eksternal meliputi perilaku-perilaku yang dapat diamati, baik
sosial maupun
budaya. Aspek-aspek eksternal ini berupa (1) kemampuan berbicara
dengan
menggunakan bahasa etnik dan mempraktikan tradisi-tradisi etnik,
(2)
berpartisipasi dalam jaringan-jaringan etnik seperti keluarga
dan pertemanan,
(3) berpartisipasi dalam organisasi-organiasi etnik, seperti
sekolah, media, (4)
berpartisipasi dalam kelompok-kelompok etnik seperti perkumpulan
orang
muda, perkumpulan masyarakat etnik, serta (5) berpartisipasi
pada acara
sosial yang diadakan oleh kelompok etnik seperti piknik,
pertunjukan, dan
lain-lain.
Aspek-aspek internal dari identitas etnik membahas mengenai
gambaran (images), gagasan-gagasan (ideas), sikap (attitudes),
dan perasaan
(feelings). Aspek-aspek internal tersebut berhubungan dengan
perilaku-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
32
perilaku eksternal, namun masing-masing aspek berdiri
sendiri-sendiri.
Aspek internal dari identitas dapat dibedakan menjadi tiga
dimensi, yakni
kognitif, moral, dan perasaan.
Dimensi kognitif menggambarkan mengenai pengetahuan mengenai
nilai-nilai dari suatu kelompok etnik. Secera lebih rinci,
dimensi kognitif
meliputi self-images serta gambaran grup yang dimiliki oleh
seseorang yang
mampu membentuk stereotipe mengenai seseorang maupun
kelompok.
Dimensi kognitif juga meliputi pengetahuan mengenai warisan dan
sejarah
dari suatu etnik.
Selanjutnya, dimensi moral dari identitas meliputi
perasaan-perasaan
mengenai kewajiban-kewajiban kelompok. Secara umum, perasaan
mengenai
kewajiban kelompok yang harus dilakukan oleh seseorang
melekatkan
seseorang dengan kelompoknya serta menjadi suatu bentuk
implikasi dari
kelompok yang diperlihatkan melalui perilaku. Perasaan untuk
menjalankan
kewajiban kelompok dilandasi oleh komitmen seseorang kepada
kelompoknya serta sebagai bentuk solidaritas.
Terakhir yakni dimensi perasaan (feelings). Dimensi ini
mengarah
pada perasaan mengenai kelekatan pada kelompok. Dimensi perasaan
dapat
dibagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama ialah perasaan aman
dengan
simpati serta perwujudan dengan anggota-anggota kelompok
sebagai
kesatuan untuk melawan anggota-anggota dari kelompok lain.
Selanjutnya,
jenis dimensi perasaan yang kedua ialah perasaan aman dan nyaman
dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
33
pola-pola suatu budaya sebagai perlawanan pola-pola budaya dari
kelompok
lain atau masyarakat.
3. Pengaruh Identitas Etnik
Konsekuensi dari identitas etnik ialah munculnya sikap
etnosentrisme.
Etnosentrime merupakan suatu paham yang menganggap bahwa
kebudayaan
pada kelompok yang dimiliki lebih baik daripada kebudayaan
kelompok lain.
(Ali, Indrawari, & Masyukur, 2010).
Liliweri (2005 dalam Ali, Indrawari, & Masyukur, 2010)
mengemukakan bahwa prasangka ialah sikap negatif yang diberikan
kepada
seseorang berdasarkan pada perbandingan dengan kelompok yang
dimiliki
seseorang. Salah satu jenis dari prasangka ialah prasangka
etnik. Prasangka
etnik dapat didefinisikan sebagai sikap negatif dari suatu
kelompok etnik
tertentu terhadap kelompok etnik lainnya yang berfokus pada
ciri-ciri negatif
sehingga menghambat hubungan antara etnik.
Zastrow (Ali, Indrawari, & Masyukur, 2010) mengemukakan
bahwa
prasangka salah satunya disebabkan oleh karena adanya proyeksi
atau sebagai
suatu bentuk upaya dalam mempertahankan ciri kelompok setnik
atau ras
secara berlebihan. Gundykunst menambahkan bahwa prasangka
dapat
muncul karena adanya kesadaran akan sasaran prasangka, yakni ras
atau etnik
lain. Kesadaran-kesadaran tersebut meliputi kesadaran bahwa
sasaran
prasangka merupakan kelompok lain yang memiliki latar belakang
dengan
kebudayaan dan mental yang berbeda, tidak mampu untuk
beradaptasi, selalu
terlibat dalam tindakan-tindakan negatif, serta kesadaran bahwa
kehadiran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
34
kelompok etnik lain tersebut mampu mengancam stabilitas sosial
dan
ekonomi.
Selain itu, prasangka yang ada juga dapat memunculkan
stereotip.
Stereotip merupakan suatu proses generalisasi yang dilakukan
secara tidak
akurat tentang sifat ataupun perilaku yang dimiliki oleh
individu yang
menjadi bagian sebagai anggota dari suatu kelompok sosial
tertentu (Susetyo,
2010). Stereotip tersebut membentuk keyakinan individu tentang
sifat atau
perilaku dari individu-individu anggota kelompok tertentu
(Susetyo, 2010).
Susetyo (2010) juga mengatakan bahwa stereotip merupakan hasil
dari proses
persepsi antar kelompok, yang dipengaruhi oleh kondisi sosial
yang dialami
dan dihayati secara subjektif oleh individu sebagai bagian dari
anggota
kelompok yang dimiliki.
4. Perkembangan Identitas Etnik
Phinney (1989, dalam French, et al, 2006) menjelaskan bahwa
perkembangan identitas etnik pada individu terjadi melalui tiga
tahapan,
yakni unexamined ethnic identity, ethnic identity exploration,
dan achieve
ethnic identity. Unexamined identity merupakan sebuah tahapan
dimana
seseorang belum memberikan sebuah pandangan secara negatif atau
positif
terhadap suatu kelompok. Selanjutnya, pada tahap ethnic identity
exploration
individu mulai mencari arti sebagai bagian dari suatu kelompok;
dan pada
tahap achieved ethnic identity, individu akan melakukan
eksplorasi terhadap
keanggotaan suatu kelompok serta memiliki pemahaman yang jelas
mengenai
etnik dalam hidupnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
35
Phinney (1989 dalam French et al, 2006) mengatakan bahwa
perkembangan identitas etnik merupakan bagian dari tahap remaja.
Pendapat
ini didukung oleh teori psikososial Erickson yang mengatakan
bahwa pada
masa remaja tahap perkembangan yang harus dilalui ialah
identitas (Feist &
Feist, 2014). Masa remaja menjadi masa yang penting untuk
melihat
perubahan identitas karena adanya pertumbuhan kemampuan
penelaran
abstrak serta kebutuhan untuk mengeksplorasi beberapa aspek dari
sebuah
identitas (French, Seidman, Allen, & Aber, 2006). Setelah
melewati masa
remaja, seseorang harus memiliki kemampuan untuk menyatukan
identitas
orang lain dan individualitas yang dimiliki oleh seseorang
(Feist & Feist,
2014).
Dalam penelitian ini subjek yang dipilih ialah subjek yang
berada pada
tahap dewasa awal. Hal ini didasari oleh karena pada masa
remaja, seorang
individu cenderung untuk mengeksplorasi identitas etnik yang
dimilikinya.
Santrock (2010) mengatakan bahwa seseorang yang dinilai
karakteristiknya
pada usia 20 tahun, karakteristiknya akan cenderung stabil
hingga usia 30
tahun. Menurut Erickson, masa dewasa awal berkisar antara usia
19 hingga
30 tahun (Feist & Feist, 2014).
5. Etnik Jawa
Daerah asal etnik Jawa, yang selanjutnya akan disebut juga
sebagai
orang Jawa, adalah Pulau Jawa. Mayoritas mendiami bagian tengah
dan timur
dari seluruh Pulau Jawa. Suseno (1996, dalam Susetyo, 2010)
mengatakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
36
bahwa orang Jawa ialah orang yang menggunakan Bahasa Jawa dalam
arti
sebenarnya sebagai bahasa ibunya. Hal ini sering terlihat pada
orang Jawa
yang tinggal didaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara budaya,
identitas
orang Jawa dapat terwakilkan dengan sosok Semar, yang berarti
Samar
(Noorsena, 2010). Hal ini menyebabkan orang akan sulit untuk
membedakan
apakah orang tersebut sedang tersenyum atau menangis (Noorsena,
2010).
Dalam menjalin relasi sosial, orang Jawa cenderung memiliki
kesadaran yang tinggi akan keberadaan orang lain (Mudler, 1994
dalam
Susetyo, 2010). Dalam bukunya, Susetyo mengatakan bahwa orang
Jawa
identik dengan budayanya yang sopan. Ia juga menjelaskan bahwa
sikap
sopan, seperti memberikan salam dengan cara menunduk, menjadi
tuntutan
dalam situasi sosial. Sikap sopan ini juga berlaku terhadap
orang yang belum
begitu dikenal, baik di lingkungan tempat tinggal maupun di
lingkungan yang
lain.
Suseno (1996, dalam Susetyo, 2010) mengatakan bahwa orang
Jawa
memiliki dua prinsip, yakni prinsip kerukunan dan
kehormatan:
a. Prinsip kerukunan
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat
agar berada dalam keadaan harmonis. Dalam pandangan orang
Jawa,
kerukunan ditekankan untuk menghindari pecahnya
konflik-konflik.
Dalam hal ini, orang Jawa bukan menekankan bagaimana
menciptakan
keselarasan sosial, melainkan untuk tidak menggangu keselarasan
sosial
yang ada. Selain itu, prinsip kerukunan yang ditekankan pada
etnik Jawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
37
tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa. Prinsip
kerukunan
yang ada lebih cenderung untuk mengatur permukaan
hubungan-hubungan
sosial yang terlihat. Hariyono (1994) menambahkan bahwa
spontanitas
dalam memberikan reaksi dengan mengungkapkan diri dan
mengambil
posisi tertentu dianggap tidak etis dalam budaya karena mampu
memicu
munculnya konflik atau ketegangan antar pribadi. Ia juga
menambahkan
bahwa keadaan rukun bagi orang Jawa merupakan suatu hal yang
memuaskan bagi orang Jawa, meskipun hanya sebagai suatu kesan
yang
tidak mencerminkan hakikatnya. Meski demikian, hal ini dianggap
sebagai
sesuatu yang baik dan menarik oleh orang Jawa.
b. Prinsip hormat
Prinsip hormat mengambarkan bahwa setiap orang dalam berbicara
atau
membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap
orang lain
dengan menekankan pada tingkatan derajat dan kedudukan orang
secara
hierarkis. Haryonno (1994) menambahkan bahwa kehormatan
merupakan
hal yang penting bagi masyarakat Jawa. Ia menjelaskan bahwa
orang Jawa
seringkali memendam perbuatan aib atau juga melihat perkara
tersebut
dari sisi positifnya atau mencari jalan tengah untuk
mengembalikan
kehormatan yang dimiliki. Prinsip hormat ini menjadi suatu upaya
untuk
menjaga kelestarian serta kebesaran komunitasnya (Hariyono,
1994).
6. Etnik Tionghoa
Etnik Tionghoa merupakan salah satu etnik minoritas yang ada
di
Indonesia yang heterogen. Di Indonesia, etnik Tionghoa dapat
dibedakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
38
menjadi dua macam yakni Etnik Tionghoa yang sudah lama menetap
di
Indonesia dan pada umumnya sudah membaur, dikenal dengan
Peranakan,
serta Etnik Tionghoa yang merupakan pendatang baru (satu atau
dua
generasi) serta masih menggunakan bahasa asli, dikenal dengan
Totok
(Susetyo, 2010).
Haryono (1994, dalam Susetyo. 2010) menjelaskan bahwa dalam
menjalin relasi sosial, orang Tionghoa cenderung
mempertimbangkan nilai
kerukunan dan nilai kesopanan, sebagai berikut:
a. Nilai kerukunan
Ajaran konfusius tentang Te mengajarkan untuk menolak
kekerasan
fisik, sikap saling percaya, serta menunjukkan nilai yang
menjauhkan
diri dari konflik. Hal ini juga ditambah dengan ajaran Jen
yang
mengajarkan mengenai kebaikan, serta Chun-Tzu yang
mengajarkan
tentang melayani atau meonolong orang lain dan berjiwa
besar.
b. Nilai kesopanan
Ajaran Konfusius mengenai Li memngajarkan untuk memberikan
penghormatan tertinggi terhadap keluarga dan usia. Bagi
orang
Tionghoa, keluarga menjadi bangunan dasar dari suatu
masyarakat
yang harus selalu dijaga dan dijunjung tinggi martabatnya.
Selain itu,
penghormatan terhadap usia juga menjadi hal yang penting. Hal
ini
dikarenakan usia memberikan nilai, martabat, dan keutamaan
pada
semua hal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
39
Dibalik nilai-nilai yang dianut oleh orang Tionghoa
tersebut,
terdapat berberapa stereotip yang melekat pada orang Tionghoa.
Hariyono
(1994) menjelaskan mengenai beberapa stereotip yang dimiliki
oleh orang
Tionghoa, yakni:
a. Sikap dan perilaku yang vulgar mengungkapkan opini.
Sikap ini muncul karena adanya pengaruh ajaran konfusius
yang
memberikan pemikiran bahwa perlunya ada batasan-batasan yang
jelas
dalam mengungkapkan suatu hal. Tanpa batasan yang jelas maka
suatu
opini tidak dapat dicerna. Bagi orang lain hal ini seringkali
kurang enak
didengar.
b. Sikap praktis-fungsional
Sikap ini menjadikan orang Tionghoa cenderung melihat dan
mengutamakan nilai dari suatu peran, tanpa memperhatikan
apakah
nilai tersebut mengandung nilai lain. Selain itu, sikap ini
juga
mengakibatkan orang Tionghoa kurang menyukai formalitas.
Formalitas dianggap tidak efisen atau lebih bersifat birokratis
dan tidak
memiliki pengaruh langsung pada substansinya.
c. Sistem kepercayaan yang kuat
Dalam menjalin relasi, orang Tionghoa memiliki sistem
kepercayaan
yang kuat menumbuhkan rasa kolektivitas yang tinggi yang
memberikan kesan tertutup. Hal ini menyebabkan orang
Tionghoa
memberikan perhatian pada kredibilitas seseorang. Apabila
kredibilitas
tersebut diragukan, maka orang Tionghoa akan memutuskan relasi
yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
40
dimiliki. Hal ini dimaksudkan supaya orang tersebut tidak
berkutik atau
melakukan hal yang sama di tempat lain. Namun, apabila
kredibilitas
diragukan dan relasi harus terjadi maka mereka baru
memperhatikan
formalitas. Dalam hal ini, formalitas menjadi alat untuk
menumbuhkan
kepercayaan.
d. Sikap kurang peduli pada masalah kehidupan
Sikap kurang peduli pada masalah kehidupan ini muncul karena
pemikiran fungsional orang Tionghoa yang menganggap bahwa
penderitaan, rasa sakit, petaka, maut, dan kematian merupakan
salah
satu kemungkinan yang bersifat rasional dalam ritme
kehidupan.
Pemikiran ini memunculkan pemikiran bahwa hal-hal tersebut
tidak
perlu dikhawatirkan.
e. Ulet, keras, angkuh, atau superior
Sifat ulet, keras, angkuh atau superior yang dimiliki oleh
orang
Tionghoa merupakan bentuk dari adanya optimisme dan keyakinan
diri.
Optimisme tersebut disebabkan oleh adanya cara berpikir
orang
Tionghoa yang menggunakan logika secara runtut. Logika
tersebut
menjadi motivasi untuk memecahkan suatu masalah. Optimisme
inilah
yang menjadi modal untuk melakukan perencanaan dan pembuatan
target dalam hidup.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
-
41
D. DINAMIKA PERBEDAAN PERSEPSI TERHADAP EKSPRESI WAJAH
PADA ETNIK JAWA DAN ETNIK TIONGHOA
Ekspresi wajah merupakan ekspresi dan perilaku yang muncul
pada
wajah berkaitan dengan orang yang mengekspresikannya dan
mempersepsikan
ekspresi pada wajah (Russel & Fernandez-Dols, 2002).
Ekspresi wajah dianggap
sebagai kunci dalam memahami emosi (Russel & Fernandez-Dols
(2002).
Ekman (dalam prawitasari, 2006) mengatakan bahwa emosi yang
terlihat pada
ekspresi wajah bersifat universal karena merupakan hasil dari
gerakan otot saraf.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prawitasari
(1991, dalam
Prawitasari, 1995), emosi yang lebih banyak digunakan pada orang
Indonesia
dalam kehidupan sehari-hari ialah emosi senang, marah, sedih,
dan takut.
Emosi senang sering kali dilihat melalui senyum di wajah
(Ekman,
2003). Selain senyum, hal lain yang nampak pada wajah ketika
seseorang merasa
senang ialah senyuman tersebut memunculkan adanya lipatan kulit
diantara
kelopak mata dengan alis yang seolah-olah ditarik kebawah oleh
otot yang
mengitari mata (Ekman, 2003). Selain itu, perubahan juga dapat
dilihat pada
bagian pipi orang tersebut. Senyum yang lebar mempengaruhi
bentuk pipi orang
tersebut menjadi berubah (Ekman, 2003).
Emosi marah memberikan sensasi perasaan, tertekan, tegang, serta
panas
(Ekman, 2003). Emosi marah juga mempengaruhi kondisi fisik
seperti
perubahan denyut jantung dan pernapasan yang semakin