1 PENDAHULUAN Menurut PSAK 01 revisi tahun 2009, laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan laba rugi komprehensif, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, dan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif. Studi yang pernah dilakukan Ball dan Brown (1986) menghasilkan kesimpulan bahwa laba akuntansi merefleksikan salah satu faktor yang mempengaruhi harga saham dan merupakan informasi yang berguna. Laba akuntansi merupakan informasi yang penting bagi para pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan, karena investor yang akan melakukan investasi pasti menginginkan return sebagai imbalannya. Investor membutuhkan informasi laba akuntansi sebagai pertimbangan apakah akan melakukan investasi atau tidak. Namun, tidak semua informasi laba akuntansi yang dihasilkan perusahaan merupakan informasi laba yang berkualitas. Angka laba dapat menjadi tidak berkualitas karena adanya konflik keagenan. Dalam teori keagenan disebutkan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan layanan atas nama mereka, yang melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen (Jensen dan Meckling, 1976). Principal dalam perusahaan dapat dikatakan sebagai pemilik, sedangkan agen adalah manajernya. Dalam hubungan keagenan, keinginan agen tidak akan selalu sejalan dengan principal. Seringkali agen akan lebih mementingkan self interest nya, yang kemudian dapat memotivasi agen untuk melakukan hal-hal tertentu yang bertentangan dengan keinginan principal agar self interest nya terpenuhi sehingga terjadi konflik keagenan. Sebagai contoh, pada perusahaan yang menerapkan sistem bonus berdasar kinerja, seorang manajer dapat dengan sengaja melakukan manipulasi terhadap laba dengan cara membesar-besarkan angka penjualan sehingga laba yang dihasilkan terlihat lebih tinggi. Hal ini akan menyebabkan angka laba akuntansi tidak mencerminkan realitas ekonomi yang sesungguhnya, sehingga kualitas laba menurun. Salah satu arah yang paling penting yang telah diambil oleh penelitian akuntansi keuangan empiris sejak studi yang dilakukan oleh Ball dan Brown adalah identifikasi dan penjelasan respon pasar yang berbeda terhadap informasi laba, yang disebut penelitian Earnings Response Coefficient (ERC) (Scott, 1997). Menurut Scott (1997), kualitas laba yang lebih tinggi
33
Embed
Perbedaan Nilai Earnings Response Coefficient (Erc) Antar ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENDAHULUAN
Menurut PSAK 01 revisi tahun 2009, laporan keuangan adalah suatu penyajian
terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Laporan keuangan yang
lengkap terdiri dari laporan posisi keuangan, laporan laba rugi komprehensif, laporan perubahan
ekuitas, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, dan laporan posisi keuangan pada awal
periode komparatif. Studi yang pernah dilakukan Ball dan Brown (1986) menghasilkan
kesimpulan bahwa laba akuntansi merefleksikan salah satu faktor yang mempengaruhi harga
saham dan merupakan informasi yang berguna. Laba akuntansi merupakan informasi yang
penting bagi para pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan, karena investor
yang akan melakukan investasi pasti menginginkan return sebagai imbalannya. Investor
membutuhkan informasi laba akuntansi sebagai pertimbangan apakah akan melakukan investasi
atau tidak. Namun, tidak semua informasi laba akuntansi yang dihasilkan perusahaan merupakan
informasi laba yang berkualitas.
Angka laba dapat menjadi tidak berkualitas karena adanya konflik keagenan. Dalam teori
keagenan disebutkan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak dimana satu orang
atau lebih (principal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan layanan atas nama mereka,
yang melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen (Jensen dan
Meckling, 1976). Principal dalam perusahaan dapat dikatakan sebagai pemilik, sedangkan agen
adalah manajernya. Dalam hubungan keagenan, keinginan agen tidak akan selalu sejalan dengan
principal. Seringkali agen akan lebih mementingkan self interest nya, yang kemudian dapat
memotivasi agen untuk melakukan hal-hal tertentu yang bertentangan dengan keinginan
principal agar self interest nya terpenuhi sehingga terjadi konflik keagenan. Sebagai contoh,
pada perusahaan yang menerapkan sistem bonus berdasar kinerja, seorang manajer dapat dengan
sengaja melakukan manipulasi terhadap laba dengan cara membesar-besarkan angka penjualan
sehingga laba yang dihasilkan terlihat lebih tinggi. Hal ini akan menyebabkan angka laba
akuntansi tidak mencerminkan realitas ekonomi yang sesungguhnya, sehingga kualitas laba
menurun.
Salah satu arah yang paling penting yang telah diambil oleh penelitian akuntansi
keuangan empiris sejak studi yang dilakukan oleh Ball dan Brown adalah identifikasi dan
penjelasan respon pasar yang berbeda terhadap informasi laba, yang disebut penelitian Earnings
Response Coefficient (ERC) (Scott, 1997). Menurut Scott (1997), kualitas laba yang lebih tinggi
2
mempunyai nilai ERC yang lebih tinggi pula. ERC biasanya digunakan sebagai alternatif untuk
mengukur value relevance informasi laba (Lev dan Zarowin, 1999 dalam Delvira dan Nelvirita,
2013). Rendahnya ERC menunjukkan bahwa laba kurang informatif bagi investor untuk
membuat keputusan ekonomi. ERC dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain default
risk (risiko gagal bayar) dan konservatisme akuntansi (Diantimala, 2008).
Ketika seseorang melakukan investasi, maka salah satu alasannya adalah untuk
mendapatkan keuntungan tertentu. Default risk (risiko gagal bayar) yang tinggi seharusnya tidak
disukai oleh investor karena apabila terjadi gagal bayar, maka investor juga tidak akan
mendapatkan return yang seharusnya ia dapatkan. Karena itu seharusnya terdapat perbedaan
respon laba (ERC) antara perusahaan dengan default risk tinggi dan rendah. Begitu juga dengan
konservatisme akuntansi. Suwardjono (2005) menyatakan bahwa tindakan kehati-hatian tersebut
diimplikasikan dengan mengakui biaya atau rugi yang mungkin akan terjadi, tetapi tidak segera
mengakui pendapatan atau laba yang akan datang walaupun kemungkinan terjadinya besar.
Praktik konservatisme akuntansi akan berpengaruh terhadap angka laba yang dihasilkan
perusahaan. Semakin tinggi tingkat konservatisme akuntansi seharusnya membuat laba menjadi
semakin understated, dan juga semakin mengurangi tindakan manajemen yang cenderung
membesar-besarkan laba, sehingga seharusnya terdapat perbedaan respon laba (ERC) antara
perusahaan dengan tingkat konservatisme tinggi dan rendah.
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya mengenai pengaruh default risk dan
konservatisme akuntansi terhadap ERC, namun masih terdapat inkonsistensi antar penelitian
tersebut. Diantimala (2008), Setyaningtyas (2009), Imroatussolihah (2013) melakukan penelitian
dan mendapatkan kesimpulan bahwa default risk berpengaruh negatif terhadap ERC, namun
Delvira dan Nervirita (2013) menemukan bahwa default risk tidak berpengaruh negatif terhadap
ERC. Berdasar hasil penelitian Setyaningtyas (2009), konservatisme akuntansi berpengaruh
positif tidak signifikan terhadap ERC. Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2012)
berkesimpulan bahwa konservatisme akuntansi berpengaruh positif terhadap ERC. Sedangkan
penelitian Diantimala (2008) dan Suaryana (2008) menghasilkan kesimpulan bahwa
konservatisme akuntansi berpengaruh negatif terhadap ERC.
Berdasarkan ketidak-konsistenan hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini secara
lebih detail ingin melihat apakah terdapat perbedaan nilai ERC antar perusahaan, dengan
mengklasifikasikan antara perusahaan dengan default risk tinggi dan rendah, dan perusahaan
3
dengan konservatisme tinggi dan rendah. Apabila terdapat perbedaan, maka dapat dimungkinkan
terdapat pengaruh antara variabel default risk dan konservatisme akuntansi terhadap ERC.
Namun apabila tidak terdapat perbedaan maka seharusnya kecil kemungkinan untuk terdapat
pengaruh antara variabel default risk dan konservatisme akuntansi terhadap ERC. dengan
pengklasifikasian perusahaan ke dalam kategori perusahaan yang memiliki default risk tinggi
dan rendah serta ke dalam kategori konservatisme akuntansi tinggi dan rendah, dapat dilihat arah
perbedaannya, apakah positif atau negatif. Dengan demikian dapat diketahui pada tingkatan
default risk dan konservatisme yang tinggi atau yang rendah yang dapat menghasilkan tingkat
respon lebih baik. Populasi dan sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2009-2013, namun untuk default risk
dan konservatisme akuntansi hanya memperhatikan kondisi tahun 2013 saja.
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris bahwa
nilai ERC dari perusahaan yang memiliki default risk rendah lebih tinggi daripada nilai ERC
perusahaan yang memiliki default risk tinggi. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk
membuktikan secara empiris bahwa nilai ERC perusahaan yang memiliki tingkat konservatisme
akuntansi tinggi lebih tinggi daripada nilai ERC perusahaan yang memiliki tingkat akuntansi
konservatisme rendah. Diharapkan hasil penelitian ini dapat membantu investor dalam membuat
keputusan investasi dengan lebih tepat, dan juga bagi perusahaan agar dapat mengelola
kebijakan-kebijakan perusahaannya terkait default risk dan konservatisme akuntansi sehingga
laba akuntansi yang dihasilkan menjadi lebih berkualitas dan relevan. Selain itu diharapkan
penelitian ini juga dapat menjadi referensi yang berguna bagi penelitian selanjutnya.
KERANGKA TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
Koefisien Respon Laba (ERC)
Menurut Scott (1997) ERC adalah “An earning response coefficient measures the extant
of a security’s abnormal market return in response to the unexpected component of reporting
earning of the firm issuing that security” (ERC mengukur return pasar abnormal sekuritas
sebagai respon terhadap komponen tak terduga dari pelaporan laba perusahaan yang menerbitkan
sekuritas tersebut). Abnormal return atau excess return merupakan kelebihan dari return yang
sesungguhnya terjadi terhadap return normal atau return yang diekspektasi (Hartono, 2009).
Sebelum laporan keuangan dipublikasikan seharusnya para investor sudah memiliki ekspektasi
4
mengenai berapa laba yang dihasilkan perusahaan. Ketika laba aktual diterbitkan, dan terdapat
selisih antara laba ekspektasi dengan laba aktual, selisih tersebut disebut unexpected earnings.
Koefisien Respon Laba biasanya diukur dengan slope koefisien dalam regresi abnormal return
saham dan unexpected earnings.
Abnormal return diukur dengan mengurangkan return realisasian yang terjadi dengan
return ekspektasi, menurut Brown dan Warner (1985) yang dikutip oleh Hartono (2009) cara
mengestimasi return ekspektasian ada 3 macam, antara lain: Mean Adjusted Model, Market
Model, dan Market Adjusted Model. Dalam Mean Adjusted Model, return ekspektasian saham
dianggap konstan dan sama dengan rata-rata return realisasian saham yang terjadi selama
periode estimasi, yaitu periode sebelum periode peristiwa. Periode peristiwa sendiri sering
disebut dengan periode pengamatan atau periode jendela. Market Model menggunakan 2 tahap,
dimana tahap pertama adalah menyusun model ekspektasi menggunakan data realisasi selama
periode estimasi yang dibentuk mengunakan teknik regresi ordinary least square (OLS), dan
tahap kedua adalah menggunakan model ekspektasi tersebut untuk mengestimasi return
ekspektasian saham di periode jendela. Model ini tidak hanya menggunakan informasi return
saham, tapi juga menggunakan return indeks pasar. Model berikutnya adalah Market Adjusted
Model. Model ini kurang lebih sama dengan Market Model, hanya saja tidak lagi digunakan
periode estimasi dengan teknik regresi OLS. Return saham yang diestimasi sama dengan return
indeks pasar.
Model yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Market Adjusted Model, dengan
alasan ERC mengukur respon pasar terhadap angka laba, sehingga lebih tepat apabila dalam
pengukuran dimasukkan unsur return indeks pasar. Model yang lainnya, yaitu mean adjusted
model hanya menggunakan informasi return saham, namun belum memasukkan unsur return
indeks pasar sehingga mean adjusted model tidak digunakan dalam penelitian ini. Market Model
tidak digunakan dalam penelitian ini karena Market Model menggunakan teknik regresi OLS
yang memunculkan nilai beta dan menggunakannya dalam perhitungan. Menurut Hartono (2009)
untuk pasar modal yang tipis dan perdagangan sekuritasnya tidak sinkron, maka perhitungan beta
akan bias. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu (2007) membuktikan bahwa Bursa Efek
Indonesia (BEI) merupakan pasar modal yang sedang berkembang yang perdagangannya masih
tipis sehingga terjadi perdagangan yang tidak sinkron. Karena itulah penelitian ini menggunakan
Market Adjusted Model dalam perhitungan ERC.
5
Menurut Hartono (2009) lamanya periode jendela tergantung pada jenis peristiwanya.
Peristiwa yang nilai ekonomisnya dapat ditentukan dengan mudah oleh investor seperti
pengumuman laba dan dividen, dapat menggunakan periode jendela yang pendek, karena
investor dapat bereaksi dengan cepat. Umumnya, untuk pengumuman laba digunakan periode
jendela 3 hari (sehari sekeliling tanggal pengumuman). Untuk mencapai hasil perhitungan yang
lebih akurat, penelitian ini memperpanjang periode jendela menjadi 7 hari (3 hari sekeliling
tanggal pengumuman) seperti yang dilakukan dalam penelitian Andreas (2012).
Semakin tinggi koefisien respon laba (ERC) menunjukkan semakin relevan nilai laba
akuntansi tersebut. Karena informasi akuntansi yang disebut berkualitas salah satunya adalah
apabila informasi tersebut relevan, maka tingginya nilai ERC dapat juga menggambarkan
kualitas angka laba yang tinggi.
Default Risk
Default risk merupakan risiko kegagalan perusahaan dalam melunasi bunga dan pokok
pinjaman tepat pada waktunya (Tunggal, 1995 dalam Diantimala, 2008). Dengan adanya risiko
gagal bayar ini, maka tingkat return yang akan didapatkan oleh investor dari tiap investasi yang
dilakukannya menjadi tidak pasti, padahal salah satu alasan investor melakukan investasi
tentunya adalah untuk mendapatkan return yang menguntungkan. Dengan adanya situasi yang
tidak pasti ini, dapat menyebabkan investor bersikap lebih hati-hati ketika akan mengambil
keputusan investasi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan investor lambat dalam memberi
respon atas informasi laba yang dikeluarkan oleh perusahaan.
Menurut Rudiyanto (2012) pengukuran risiko gagal bayar dibagi menjadi dua macam
yaitu analisa rating dan analisa rasio keuangan yang dikembangkan untuk memprediksi apakah
perusahaan mempunyai kemungkinan risiko gagal bayar. Metoda analisanya dapat berupa
Altman Z-score, analisa rasio covenant, dan analisa rasio keuangan.
Risiko gagal bayar atau default risk dalam penelitian ini diukur menggunakan salah satu
rasio keuangan leverage, yaitu debt to equity ratio (DER) yang membandingkan total hutang
dengan total ekuitas. Penggunaan hutang yang terlalu banyak dapat meningkatkan risiko default
dari perusahaan tersebut (Merton, 1974). Apabila nilai DER lebih dari 1, maka artinya total
hutang perusahaan lebih banyak dari total ekuitas yang dimiliki. Sehingga risiko gagal bayar
yang dihadapi perusahaan dapat dikatakan tinggi. Sebaliknya, apabila DER kurang dari 1 artinya
6
total hutang perusahaan lebih sedikit dari total ekuitas yang dimiliki perusahaan, sehingga risiko
gagal bayar yang dihadapi perusahaan dapat dikatakan rendah (Delvira dan Nelvirita, 2013).
Konservatisme Akuntansi
Ditengah kondisi perekonomian yang semakin tidak pasti, konservatisme (kehati-hatian)
dalam akuntansi menjadi penting. Suwardjono (2005) menyatakan bahwa tindakan kehati-hatian
tersebut diimplikasikan dengan mengakui biaya atau rugi yang mungkin akan terjadi, tetapi tidak
segera mengakui pendapatan atau laba yang akan datang walaupun kemungkinan terjadinya
besar. Oleh karena itu perusahaan yang menerapkan akuntansi konservatif akan mengakui beban
pada periode sekarang, namun pendapatan yang akan terjadi baru diakui pada periode ketika
pendapatan tersebut benar-benar masuk ke perusahaan. Penerapan konservatisme akuntansi
mencegah perusahaan untuk membesar-besarkan angka laba, sehingga seharusnya perbedaan
tingkat penerapan konservatisme akuntansi akan membuat kualitas laba yang dihasilkan oleh
perusahaan juga berbeda, sehingga tinggi rendahnya konservatisme akuntansi yang diterapkan
akan membuat angka ERC juga berbeda.
Dalam Wijaya (2012) menyebutkan beberapa metoda pengukuran konservatisme
akuntansi berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu. Konservatisme akuntansi dapat diukur
dengan:
- Model Basu (1997) dimana konservatisme diukur dengan membentuk regresi antara
return saham dan laba.
- Market to Book Ratio yang mengacu pada Givoly dan Hayn (2000) yang membandingkan
antara nilai pasar ekuitas dengan nilai buku ekuitas.
- Negatif earning response coefficient dari perubahan laba operasi yang mengacu pada
Paek et al. (2007).
- Membentuk regresi antara arus kas operasi dan akrual perusahaan mengacu pada Paek et
al. (2007).
- Non Operating Acruals mengacu pada Givoly dan Hayn (2000).
Selain metoda pengukuran diatas, terdapat pula metoda pengukuran lain yang digunakan
dalam penelitian Andreas (2012), yang juga akan digunakan dalam penelitian ini. Metoda ini
mengacu pada Givoly dan Hayn (2000), dimana konservatisme akuntansi diukur dengan cara
mengurangkan income before extraordinary item dengan arus kas operasi kemudian ditambah
dengan beban depresiasi.
7
Apabila hasil perhitungan akrual non operasi lebih dari 0, maka dapat dikatakan
perusahaan menerapkan tingkat konservatisme yang rendah. Sebaliknya apabila perhitungan
akrual non operasi memberikan nilai kurang dari 0, maka dapat dikatakan bahwa perusahaan
menerapkan tingkat akuntansi konservatisme yang tinggi (Wijaya, 2012).
Perumusan Hipotesis
ERC dan Default Risk
Scott (1997) menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan
memiliki ERC yang lebih rendah. Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa default risk
merupakan risiko gagal bayar yang dihadapi oleh perusahaan terkait pelunasan bunga dan pokok
pinjaman tepat waktu. Risiko gagal bayar dilihat dari perbandingan antara total hutang
perusahaan dengan total ekuitasnya. Semakin tinggi risiko gagal bayar, artinya ada kemungkinan
besar perusahaan tidak dapat mengembalikan pokok dan bunga hutang sebesar yang telah
disepakati dengan pihak investor. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi investor. Oleh karena
itu, apabila perusahaan memiliki risiko gagal bayar yang tinggi, investor akan lebih bersikap
hati-hati dalam mengambil keputusan investasinya dibanding ketika perusahaan memiliki risiko
gagal bayar yang rendah. Seharusnya terdapat perbedaan nilai ERC antara perusahaan dengan
default risk tinggi dan perusahaan dengan default risk rendah.
Diantimala (2008) melihat pengaruh variabel akuntansi konservatisme, ukuran
perusahaan, dan default risk terhadap koefisien respon laba (ERC) pada sektor manufaktur yang
terdaftar di BEI pada tahun 2005-2007, dengan hasil default risk berpengaruh negatif signifikan
terhadap ERC. Setyaningtyas (2009) menguji pengaruh konservatisme akuntansi dan siklus
hidup perusahaan terhadap ERC dengan variabel kontrol default risk. Objek penelitian ini adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ tahun 2002-2006, dan hasil penelitiannya
mengatakan bahwa default risk berpengaruh negatif signifikan terhadap ERC. Imroatussolihah
(2013) menguji pengaruh variable risiko, leverage, peluang pertumbuhan, persistensi laba, dan
tanggung jawab pengungkapan sosial perusahaan terhadap ERC, pada perusahaan high profile
yang terdapat di BEI tahun 2009-2011 dan mendapatkan kesimpulan bahwa leverage (yang
mencerminkan default risk) berpengaruh negatif terhadap ERC. Namun Delvira dan Nervirita
(2013) melakukan pengujian terhadap pengaruh risiko sistematik, leverage, dan persistensi laba
terhadap ERC pada perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2008-2010, dan
mendapat kesimpulkan bahwa default risk tidak berpengaruh negatif terhadap ERC. Penelitian-
8
penelitian terdahulu yang telah disebutkan menggunakan metoda pengukuran default risk yang
sama yaitu rasio leverage khususnya Debt to Equity Ratio. Metoda pengukuran ERC yang
digunakan juga sama yaitu Market Adjusted Model.
Seharusnya ketika perusahaan memiliki risiko gagal bayar (default risk) yang tinggi,
investor yang rasional akan memberikan tingkat respon yang lebih rendah, sehingga ERC nya
rendah. Demikian pula ketika perusahaan memiliki risiko gagal bayar yang rendah, maka
investor yang rasional akan memberikan tingkat respon yang lebih tinggi sehingga ERC nya
tinggi. Maka seharusnya ada perbedaan nilai ERC antara perusahaan yang memiliki default risk
tinggi dan perusahaan yang memiliki default risk yang rendah. Berdasarkan uraian tersebut,
maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1: Nilai ERC perusahaan yang memiliki default risk rendah lebih tinggi daripada nilai
ERC perusahaan yang memiliki default risk tinggi.
ERC dan Konservatisme Akuntansi
Konservatisme akuntansi akan membuat laba periode sekarang bisa menjadi lebih rendah,
namun dengan kualitas yang lebih tinggi (Fala, 2007). Konservatisme akuntansi akan mengakui
kerugian atau beban yang potensial terjadi pada periode sekarang, namun untuk keuntungan atau
pendapatan apabila masih mungkin terjadi, tidak boleh diakui. Pendapatan tersebut baru boleh
diakui ketika benar-benar sudah terjadi, sehingga konservatisme akuntansi akan mencegah
perusahaan untuk melakukan tindakan membesar-besarkan angka laba. Selain itu, karena angka
laba yang dihasilkan bersifat understated, maka para pengguna laporan keuangan tidak akan
membuat keputusan yang over-estimate. Seharusnya pasar akan memberikan respon berbeda
antara laba yang berkualitas tinggi dan rendah, yang kemudian menyebabkan terdapat perbedaan
nilai ERC antar perusahaan dengan tingkat akuntansi konservatisme tinggi dan rendah.
Setyaningtyas (2009) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh konservatisme
akuntansi dan siklus hidup perusahaan terhadap ERC. Konservatisme akuntansi diukur dengan
proksi akrual sedangkan ERC dihitung dengan Market Adjusted Model yang kemudian
diregresikan antara Cummulative Abnormal Return (CAR) dengan Unexpected Earnings (UE).
Objek penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ tahun 2002-2006, dan
hasil penelitiannya mengatakan bahwa konservatisme akuntansi berpengaruh positif tidak
signifikan terhadap ERC. Rahayu (2012) juga melakukan penelitian untuk melihat pengaruh
9
konservatisme laba terhadap koefisien respon laba dengan menggunakan objek penelitian
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2005-2010, dimana pengujiannya digunakan
teknik uji korelasi spearman, dan didapatkan kesimpulan bahwa konservatisme akuntansi
berhubungan positif terhadap koefisien respon laba. Diantimala (2008) melakukan penelitian
dengan melihat pengaruh variabel akuntansi konservatisme, ukuran perusahaan, dan default risk
terhadap koefisien respon laba (ERC) pada sektor manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun
2005-2007, dimana konservatisme akuntansi diukur dengan metoda akrual non operasi. Sedang
ERC diukur dengan Market Adjusted Model, kemudian meregresikan antara Cummulative
Abnormal Return (CAR) dengan UE. Hasil dari penelitian ini adalah akuntansi konservatisme
berpengaruh negatif terhadap ERC. Suaryana (2008) melakukan penelitian pengaruh
konservatisme laba terhadap koefisien respon laba. Penelitian ini menggunakan perusahaan
sektor manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 1999-2004. Konservatisme diukur dengan 3
ukuran konservatif yang diusulkan oleh Watts (2003) yaitu earnings/stock return relation
measure, earnings/accrual measure, dan net asset measures. Sedangkan ERC diukur dengan
model pasar disesuaikan yang kemudian diregresikan antara Cummulative Abnormal Return
(CAR) dengan UE. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa akuntansi konservatisme
berpengaruh negatif terhadap ERC.
Karena konservatisme akuntansi akan memberikan angka laba yang lebih berkualitas,
maka seharusnya, makin tinggi tingkat konservatisme akuntansi suatu perusahaan, laba yang
dihasilkan juga semakin berkualitas, demikian pula sebaliknya. Ketika terdapat informasi laba
yang berkualitas, seharusnya tingkat respon investor yang rasional akan tinggi, sehingga ERC
nya tinggi. Demikian pula jika konservatisme akuntansi suatu perusahaan rendah, maka
informasi laba yang dihasilkan akan berkualitas rendah juga, sehingga investor yang rasional
seharusnya akan memberi tingkat respon yang rendah, sehingga ERC nya rendah. Maka
seharusnya ada perbedaan nilai ERC antara perusahaan yang memiliki tingkat konservatisme
akuntansi yang tinggi dan perusahaan yang memiliki tingkat konservatisme akuntansi yang
rendah. Berdasar uraian tersebut, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2: Nilai ERC perusahaan yang memiliki tingkat akuntansi konservatisme yang tinggi
lebih tinggi daripada nilai ERC perusahaan yang memiliki tingkat akuntansi
konservatisme yang rendah.
10
METODA PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada
tahun 2009-2013, namun untuk default risk dan konservatisme akuntansi hanya melihat kondisi
pada tahun 2013 saja. Respon pasar terhadap laba masing-masing perusahaan dapat bervariasi,
baik antar perusahaan maupun antar waktu. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien respon laba
tidak konstan (Collins dan Kothari, 1989 dalam Setiati dan Kusuma, 2004), oleh karena itu hasil
penelitian ini akan dapat lebih dipercaya apabila menggunakan data dengan rentang waktu yang
lebih panjang. Dalam penelitian ini data diambil dalam rentang lima tahun. Sampel dalam
penelitian ini diambil dengan metoda purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan
kriteria-kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Perusahaan telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak tahun 2009 sampai
tahun 2013.
2. Perusahaan menerbitkan laporan keuangan tahunan yang lengkap dari tahun 2009
sampai tahun 2013.
3. Perusahaan mempunyai data harga saham yang lengkap dari tahun 2009-2013.
4. Data yang dimiliki perusahaan memenuhi kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian.
No Kriteria Penentuan Sampel Jumlah
Perusahaan
1 perusahaan yang listing di BEI dari tahun 2009-2013 136
2 (-)perusahaan yang tidak data laporan keuangannya tidak lengkap dari
tahun 2009-2013 43
3 (-)perusahaan yang data harga sahamnya tidak lengkap 7
4 (-)perusahaan yang tidak memenuhi kelengkapan data yang dibutuhkan
dalam penelitian 23
Total sampel yang digunakan 63
Sumber: Data diolah, 2014
Perusahaan yang tidak memenuhi kelengkapan data yang dibutuhkan dalam penelitian
terdiri atas 12 perusahaan yang laporan keuangannya disajikan dalam mata uang selain Rupiah,
yaitu US Dollar, 4 perusahaan yang memiliki nilai DER negatif, 2 perusahaan tidak
mencantumkan laporan auditor independen, 5 perusahaan terdapat pergantian tahun buku dan
memiliki tahun buku tidak dari bulan Januari sampai Desember.
Tabel 1
Kriteria Penentuan Sampel
11
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data yang bersifat sekunder dan
kuantitatif. Data yang digunakan antara lain adalah laporan keuangan tahunan perusahaan selama
tahun 2009-2013 yang didapatkan dari situs resmi Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id), data
harga saham setiap harinya selama tahun 2009-2013 dan data Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) setiap harinya selama tahun 2009-2013 yang didapatkan dari finance.yahoo.com. Selain
dari berbagai situs, penelitian ini juga mengambil data dari Indonesian Capital Market Directory
(ICMD).
Pengukuran Variabel Penelitian
Penelitian menggunakan tiga variabel penelitian yaitu ERC, default risk, dan
konservatisme akuntansi. Berikut ini pengukuran untuk setiap variabel penelitian:
1. Earnings Response Coefficient (ERC)
Pengukuran ERC terdiri dari beberapa tahap:
A. Abnormal return harian dihitung dengan rumus:
ARit = Rit – RMit ................................................................................(1)
Keterangan:
ARit = return tidak normal saham ke i pada hari ke t
Rit = return saham ke i pada periode hari ke t
RMit = return pasar ke i pada hari ke t
Sedangkan untuk return saham harian dihitung dengan rumus:
Rit = (Pit – Pit-1) / Pit-1 ............................................................(2)