PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA YANG MEMPELAJARI ALAT MUSIK DAN REMAJA YANG TIDAK MEMPELAJARI ALAT MUSIK OLEH BERLIANA REYNITA PASARIBU 802012132 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
34
Embed
PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA ......Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini terjadi perubahan emosi dalam diri remaja. Santrock
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA
YANG MEMPELAJARI ALAT MUSIK DAN REMAJA
YANG TIDAK MEMPELAJARI ALAT MUSIK
OLEH
BERLIANA REYNITA PASARIBU
802012132
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Berliana Reynita Pasaribu
NIM : 802012132
Program studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA YANG
MEMPELAJARI ALAT MUSIK DAN REMAJA YANG
TIDAK MEMPELAJARI ALAT MUSIK
Yang dibimbing oleh:
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA.
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya
sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 9 Agustus 2016
Yang memberi pernyataan,
Berliana Reynita Pasaribu
LEMBAR PENGESAHAN
PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA YANG
MEMPELAJARI ALAT MUSIK DAN REMAJA YANG
TIDAK MEMPELAJARI ALAT MUSIK
Oleh
Berliana Reynita Pasaribu
802012132
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal 23 Agustus 2016
Oleh:
Pembimbing
Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA.
Diketahui oleh,
Kaprogdi
Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS.
Disahkan oleh,
Dekan
Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA REMAJA
YANG MEMPELAJARI ALAT MUSIK DAN REMAJA
YANG TIDAK MEMPELAJARI ALAT MUSIK
Berliana Reynita Pasaribu
Berta Esti Ari Prasetya
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecerdasan emosional pada remaja
yang mempelajari alat musik dan remaja yang tidak mempelajari alat musik. Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 100
remaja yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 50 remaja yang mempelajari alat musik
dan 50 remaja yang tidak mempelajari alat musik. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling. Penelitian diambil menggunakan skala Schutte
Emotional Intelligence Scale (SEIS), yang disusun oleh Schutte (1998) berdasarkan
aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Salovey dan Mayer (1990) untuk mengukur
kecerdasan emosional yang terdiri dari, 33 item dan 22 item yang dinyatakan valid
dalam uji seleksi item dengan koefisien alpha cronbach 0,827. Berdasarkan uji
perbedaan menggunakan teknik uji beda uji t diperoleh nilai t = 4,576 dengan sig. =
0,000 (p<0,05), yang menunjukkan bahwa ada perbedaan kecerdasan emosional yang
signifikan pada remaja yang mempelajari alat musik dan remaja yang tidak mempelajari
alat musik.
Kata Kunci : kecerdasan emosional, keterlibatan dalam pembelajaran alat
musik, remaja.
ii
Abstract
The purpose of the research is to know about difference of emotional intelligence in
adolescents who learn a musical instrument and adolescents who do not learn a musical
instrument. This research is quantitative. Participants in this research were 100
adolescents who were divided into two groups of 50 adolescents who learn a musical
instrument and 50 adolescents who do not learn a musical instrument. The sampling
technique used was purposive sampling. Were taken using a scale Schutte Emotional
Intelligence Scale (SEIS) which was developed by Schutte (1998) based on aspects of
emotional intelligence by Salovey and Mayer (1990) to measure emotional intelligence
consists of, 33 items and 22 items that otherwise valid in the selection trials items with a
cronbach alpha coefficient of 0.827. Based on the difference test using different test
techniques t test obtained by value t = 4.576 with sig. = 0.000 (p <0.05), indicating that
there are significant differences in emotional intelligence in adolescents who learn a
musical instrument and adolescents who do not learn a musical instrument.
Keywords : emotional intelligence, involvement in learning a musical
instrument, adolescents.
1
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada
masa ini terjadi perubahan emosi dalam diri remaja. Santrock (2003) membagi masa
remaja menjadi dua fase yaitu yang disebut “masa remaja awal” yang berkisar antara
12-15 tahun dan “masa remaja akhir” antara usia 15-18 tahun. Menurut Santrock
(2002), salah satu karakteristik khas perkembangan remaja adalah emosi menjadi lebih
labil. Pada umumnya emosi remaja tidak seimbang, seperti mudah tersinggung dan
cengeng. Perubahan hormon dan pengalaman lingkungan terlibat dalam perubahan
emosi di masa remaja. Remaja rentan mengalami depresi, mudah marah, mudah
tersinggung, kurang mampu meregulasi emosi, yang selanjutnya dapat memicu
munculnya berbagai permasalahan seperti kesulitan akademis, penyalahgunaan obat,
kenakalan remaja atau gangguan makan (Santrock, 2007).
Oleh karena salah satu pemicu timbulnya masalah pada remaja yaitu kurang
mampu dalam meregulasi emosinya, maka remaja perlu mengembangkan kecerdasan
emosi. Namun harus diperhatikan bahwa untuk mengembangkan kecerdasan emosional
pada remaja bukan suatu perkara yang mudah, karena di masa ini kondisi emosi remaja
masih labil. Menurut hasil survey yang dilakukan Goleman (2001), menunjukan bahwa
ada kecenderungan di seluruh dunia, yaitu generasi sekarang lebih banyak mengalami
kesulitan emosional daripada generasi sebelumnya. Selain itu, remaja sekarang
dianggap lebih kesepian dan pemurung, lebih beringas dan kurang menghargai sopan
santun, lebih gugup dan mudah cemas, lebih impulsif dan agresif (Yusuf, 2005).
Dengan mengembangkan kecerdasan emosinya maka remaja dapat memiliki
kecerdasan emosi yang tinggi. Remaja yang memiliki kecerdasan emosi tinggi akan
mampu mengungkapkan emosinya sendiri, menampakkan kesan yang positif pada
2
dirinya, berusaha beradaptasi dengan lingkungan, mampu mengontrol perasaan dan
mengungkapkan reaksi emosi yang sesuai dengan waktu dan kondisi pada saat itu
terjadi, sehingga hubungan dengan orang lain dapat terjalin dengan baik. Sedangkan,
remaja yang memiliki kecerdasan emosi rendah akan mengalami kesulitan dalam
bergaul dan tidak dapat mengontrol emosi dan perilakunya (Tridhonanto & Beranda,
2010).
Kecerdasan emosi merupakan hal yang penting karena banyak orang yang gagal
dalam mengatur emosi mereka dengan baik. Seorang individu dapat gagal dalam
mengontrol emosi mereka dan memunculkan emosi yang meledak kemudian berujung
pada tindakan yang memalukan. Agar dapat memiliki kecerdasan emosi yang baik,
individu harus dapat mengatur dan mengontrol emosi yang ada pada diri individu.
Mengatur emosi yang merupakan aspek dari kecerdasan emosi ini memiliki peran
penting dalam penyesuaian sosial. Hal ini didukung oleh penelitian Pattiruhu (2014),
mengenai hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian sosial pada siswa
akselerasi tingkat SMP di kota Ambon yang menghasilkan korelasi yang positif dan
signifikan, yang berarti bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional siswa kelas
akselerasi maka semakin tinggi penyesuaian sosial siswa akselerasi begitupun
sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosi maka semakin rendah penyesuaian sosial
siswa.
Selain itu, kecerdasan emosi penting dimiliki karena berkorelasi positif dengan
perilaku prososial. Dalam penelitian Winniarthy (2015) mengenai hubungan antara
kecerdasan emosional dengan perilaku prososial pada remaja terdapat korelasi yang
positif dan signifikan, yang berarti bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional yang
dimiliki remaja maka semakin tinggi pula kecenderungan perilaku prososial begitupun
3
sebaliknya. Kecerdasan emosi juga merupakan hal penting karena semakin tinggi
kecerdasan emosi, tingkat kecemasan dalam menghadapi kompetisi juga mengalami
penurunan. Hal ini didukung oleh penelitian Polii (2007) yang menunjukkan bahwa ada
hubungan negatif dan signifikan antara kecerdasan emosional dengan kecemasan dalam
menghadapi kompetisi akademik pada siswa SMU Kristen II Binsus Tomohon. Artinya
bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional maka akan terjadi penurunan kecemasan
pada siswa dalam menghadapi kompetisi. Kemudian dalam hasil penelitian Pratama
(2010) terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada
remaja awal, yang berarti bahwa semakin tinggi kecerdasan emosinya maka semakin
rendah agresivitasnya demikian juga sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosinya
maka semakin tinggi agresivitasnya. Oleh karena itu, kecerdasan emosi merupakan hal
yang penting bagi individu.
Menurut Salovey dan Mayer (1990), kecerdasan emosional adalah bagian dari
kecerdasan sosial (social intelligence) yang meliputi kemampuan seseorang untuk
memonitor emosi diri dan orang lain, mampu membedakan emosi tersebut serta
menggunakannya sebagai informasi untuk menuntun pikiran dan perilaku individu.
Kecerdasan emosional adalah suatu kapasitas atau kemampuan individu untuk
memproses informasi secara akurat dan efisien, meliputi informasi yang relevan dengan
pengenalan, konstruksi, dan pengaturan emosi pada diri sendiri dan orang lain (Salovey
dan Mayer, 1990). Selain itu, Goleman (2001) juga menjelaskan bahwa kecerdasan
emosi adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
4
Salovey dan Mayer (1990) mengemukakan ada tiga aspek mengenai kecerdasan
emosional, yaitu :
a. Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion)
Proses yang mendasari adanya kecerdasan emosional yang dimulai dengan
adanya informasi kemudian memasuki sistem perseptualnya. Proses ini akurat
karena dapat lebih cepat memahami dan menanggapi emosi mereka sendiri serta
lebih dapat terampil dalam reaksi emosional serta empatik terhadap diri sendiri
maupun orang lain baik secara verbal maupun nonverbal.
b. Pengaturan emosi (regulation of emotion)
Regulasi emosi sangat diperlukan karena dapat membangun suasana hati dan
memperkuat sikap adaptif dalam diri seseorang. Kemampuan individu dan
pengalaman reflektif yang mereka punya dapat membantu meningkatkan
pengetahuan mengenai suasana hati mereka sendiri maupun orang lain. Selain
itu, kemampuan itu dapat membantu untuk memonitor, mengevaluasi serta
mengatur emosi dan mengubah sikap orang lain.
c. Memanfaatkan kecerdasan emosional (utilizing emotional intelligence)
Kemampuan individu untuk memanfaatkan emosi diperlukan untuk dapat
memecahkan masalah dengan baik secara fleksibel, mampu berpikir kreatif,
memiliki fokus jika ada masalah sehingga dapat membangun suasana hati yang
pas serta mempunyai motivasi yang baik. Suasana hati dan emosi yang halus
namun sistematis dapat memengaruhi beberapa komponen dan strategi yang
terlibat dalam pemecahan masalah.
5
Faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan emosional seseorang menurut
Goleman (2005) yakni :
1) Jenis kelamin, kaum perempuan akan lebih cepat terampil berbahasa sehingga
mereka lebih berpengalaman dalam mengutarakan perasaannya dan lebih
mudah berempati daripada kaum laki-laki,
2) Usia, dengan bertambahnya usia pada umumnya kecerdasan emosionalnya
akan lebih berkembang seiring dengan berbagai interaksi yang dijumpai
sehari-hari dalam lingkungan sosial seseorang,
3) Hidup berumah tangga,
4) Faktor lingkungan,
5) Faktor pendidikan.
Selain itu juga, Gordon (dalam Fauzi, 2008) mengatakan bahwa perkembangan
kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh rangsangan musik. Musik juga menjadi
faktor penting dalam perkembangan kecerdasan emosional seseorang, karena musik
dapat meningkatkan rasa empati dan keterampilan sosial yang merupakan aspek dari
kecerdasan emosional. Pengaruh musik terhadap kecerdasan emosioal seseorang juga
sangat kuat dan dapat memengaruhi kehidupannya. Penelitian neurologis mengatakan
bahwa separuh dari otak manusia memiliki tugas untuk memproses pengalaman musik
yang dapat memengaruhi kecerdasan emosional seseorang (Djohan, 2003). Dalam hal
ini rangsangan musik dapat diberikan dengan adanya pemberian pendidikan musik yang
didapatkan dari sekolah-sekolah musik ataupun tempat kursus-kursus musik.
Yudkin (dalam Nwaneri, 2012) berpendapat bahwa pendidikan musik adalah
bidang studi yang terkait dengan pengajaran dan pembelajaran musik. Bidang studi ini
mencakup semua aspek pembelajaran, termasuk psikomotor (pengembangan
6
kemampuan), kognitif (pemerolehan pengetahuan), dan afektif, termasuk apresiasi
musik dan sensitivitasnya. Musik merupakan suara yang sering sekali didengar, musik
dapat menghibur jiwa, membangkitkan semangat dan menjernihkan pikiran. Musik
membuat seseorang dapat mengekspresikan diri dengan bebas, dan musik dapat
membuat seseorang lebih cerdas, meningkatkan daya ingat, meningkatkan kreativitas,
menyehatkan tubuh, meningkatkan kecerdasan emosional, dan sebagainya. Musik telah
lama dianggap memiliki pengaruh terhadap tubuh dan jiwa manusia. Musik membantu
untuk memahami orang lain dan menyediakan kesempatan dalam perkembangan sosial
dan emosi dalam diri seseorang. Ada beberapa pengaruh musik dalam kecerdasan
emosi, yakni musik dapat memberi kepekaan dalam mengenali emosi (Juslin & Laukka,
2003), dapat membina hubungan dengan orang lain (Haas & Brandes, 2009),
kemampuan dalam bermain musik dapat membantu seorang anak memiliki kemampuan
untuk menjadi individu yang sejahtera (misalnya, kedisiplinan dalam bermain piano
dapat membantu seorang anak untuk memiliki kedisiplinan dalam area belajar yang
lain), perkembangan diri dan sosial serta mengembangkan kecerdasan emosi dalam diri
seseorang (Hallam, 2005).
Menurut Siegel (dalam Fauzi, 2008) ahli perkembangan otak, mengatakan bahwa
musik dapat berperan dalam proses pematangan hemisfer kanan otak, walaupun dapat
berpengaruh ke hemisfer sebelah kiri, oleh karena adanya cross-over dari kanan ke kiri
dan sebaliknya yang sangat kompleks dari jaras-jaras neuronal di otak. Kedua hemisfer
otak juga mengendalikan tugas-tugas emosional yang berbeda. Hemisfer kanan otak
merupakan bagian terpenting dalam mengenali ekspresi emosi dan memproses perasaan
emosional, sedangkan hemisfer kiri otak aktif saat memproses makna emosional
(Vingerhoats, Berckmoes, dan Stroobant, 2003 dalam Wade & Tavris, 2008).
7
Manfaat belajar musik yang akan dirasakan oleh individu antara lain dapat
membangun kecerdasan emosional, meningkatkan intelegensi dan kemampuan
bersosialisasi, melatih empati, serta menumbuhkan kemampuan musikalitas pada
individu (Wijaksono, 2013). Individu dengan kecerdasan emosional yang baik akan
berkembang apabila sering mendengarkan musik yang memiliki irama dan nada teratur
yang mana anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan cenderung lebih
berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya dibandingkan dengan anak yang
jarang mendengarkan musik (Sibarani, 2010).
Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang mengkaji peran musik dalam
kehidupan sehari-hari antara lain dilakukan oleh DeNora (dalam Djohan, 2010)
terhadap sekelompok perempuan Amerika dan Inggris, untuk melihat bagaimana musik
dapat difungsikan dalam mengolah, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas
emosi. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara nyata musik diakui memiliki sarana
untuk menata dan meningkatkan kualitas diri, baik pada aspek kognitif, emosi maupun
fisik. Demikian pula dengan hasil penelitian Sloboda (dalam Djohan , 2010) yang
mengungkapkan bahwa musik memiliki fungsi untuk meningkatkan, mengubah emosi,
dan aspek spiritual, atau membawa individu pada kondisi transenden. Kemudian hasil
penelitian musik juga dapat berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang. Hal
tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ertha tentang kecerdasan emosi
pria yang memainkan alat musik. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pria yang
memainkan alat musik cenderung memiliki kecerdasan emosi yang baik yang
ditunjukan dengan mudahnya bergaul, mampu mengatasi masalah dengan baik, bebas
mengekspresikan diri dan memperoleh ketenangan hati (Ertha, 2009).
8
Dalam penelitian sebelumnya yang berjudul “Perbedaan Kecerdasan Emosi Pada
Pria Dan Wanita Yang Mempelajari Dan Yang Tidak Mempelajari Alat Musik Piano”
(Khaterina & Garliah, 2012) menunjukkan bahwa ada perbedaan kecerdasan emosi
yang signifikan antara individu yang mempelajari alat musik piano atau tidak
mempelajari alat musik piano. Remaja pada subjek penelitian yang mempelajari alat
musik piano menunjukkan kecerdasan emosi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja yang tidak mempelajari alat musik piano. Hal ini disebabkan karena pelatihan
musik dapat meningkatkan kemampuan individu untuk mengenali emosi yang
terkandung dalam suara. Haas & Brandes (2009), juga mengatakan bahwa musik dapat
membina hubungan dengan orang lain, dan dapat mengembangkan kesadaran diri dan
juga berhubungan dengan motivasi dan kesuksesan.
Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari peneliti melihat bahwa ada beberapa
individu yang dapat memainkan alat musik belum tentu memiliki kecerdasan emosi
yang baik seperti individu belum dapat mengontrol emosinya, contohnya individu
mudah marah dan melampiaskan kemarahannya dengan teriak, membanting pintu serta
melemparkan barang yang ada disekitarnya. Peneliti juga melihat di sekitar
lingkungannya ada beberapa remaja akhir yang dapat memainkan alat musik dan
memiliki sebuah grup band akan tetapi, ketika remaja tersebut mengalami sebuah
masalah mereka cenderung mengkonsumsi minuman beralkohol. Adapun para personil
band di Indonesia seperti pemain gitaris dan pemain drum grup band Padi terlibat
mengkonsumsi narkoba jenis sabu, pemain drum Izzy personil Kangen Band juga
ditemukan menggunakan ganja (http://djurnal.com/6-musisi-ini-pernah-ditangkap-