PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 1 TAHUN 2010 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU, Menimbang : a. bahwa dengan semakin pesatnya perkembangan kota, sesuai dengan lajunya pembangunan yang beraneka ragam memerlukan penataan kota (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang kota) secara terpadu, menyeluruh, efisien dan efektif; b. bahwa dalam rangka penataan kota yang serasi dan seimbang untuk terwujudnya Kota Pekanbaru yang Indah, Tertib, Aman dan Nyaman, perlu memanfaatkan ruang kota secara optimal melalui proses perizinan bangunan yang tertib, sederhana dan dilaksanakan dalam waktu yang singkat;
114
Embed
PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN ...ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/ld/2010/KotaPekanbaru-2010-1.pdf · peraturan daerah kota pekanbaru nomor 1 tahun 2010
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU
NOMOR 1 TAHUN 2010
T E N T A N G
RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA PEKANBARU,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin pesatnya perkembangan kota,
sesuai dengan lajunya pembangunan yang beraneka
ragam memerlukan penataan kota (perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian ruang kota) secara
terpadu, menyeluruh, efisien dan efektif;
b. bahwa dalam rangka penataan kota yang serasi dan
seimbang untuk terwujudnya Kota Pekanbaru yang
Indah, Tertib, Aman dan Nyaman, perlu
memanfaatkan ruang kota secara optimal melalui
proses perizinan bangunan yang tertib, sederhana dan
dilaksanakan dalam waktu yang singkat;
2
c. bahwa untuk memenuhi maksud pada huruf a dan
huruf b di atas perlu menetapkan Peraturan Daerah
Kota Pekanbaru tentang Retribusi Izin Mendirikan
Bangunan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1956 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil dalam
Lingkungan Propinsi Sumatera Tengah (Lembaran
Negara Nomor 19 Tahun 1956).
2. Undang-undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera
Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1958 Nomor 57);
3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2043);
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992, tentang
Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2013));
3
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3556);
6. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
7. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4048);
8. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah bebrapa kali terakhir Undang-undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
4
9. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
10. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4851);
11. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5049);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1987 tentang
Perubahan Batas Wilayah Administrasi Kotamadya
Daerah Tingkat II Pekanbaru dan Kabupaten Daerah
Tingkat II Kampar (Lembaran Negara Nomor 40
Tahun 1987) jo. Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 23 Tahun 1987;
13. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Nomor 119
Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4139);
5
14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36
tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4532);
15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi Kabupaten/Kota
(Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82);
16. Keppres Nomor 37 Tahun 1994 dan Kepmenpera
Nomor 01/KPTS/BKP4N/1994 tentang Ditentukan
Lembaga Badan Pengendalian Pembangunan
Perumahan dan Pemukiman Daerah (BP4D);
17. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
66/PRT/1993 tentang Teknis Penyelenggaraan
Bangunan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal;
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun
1992 tentang Cara Pemberian Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) serta Izin Undang-undang
Gangguan (UUG)/HO bagi Perusahaan-perusahan
yang berlokasi di luar Kawasan Industri;
19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun
1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota;
6
20. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
54/PRT/1991 tentang Pedoman Teknik Pembangunan
Perumahan Sangat Sederhana;
21. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun
1992 tentang Rencana Tapak Tanah dan Tata Tertib
Pengusahaan Kawasan Industri serta Prosedur
Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin
Undang-undang Gangguan (UUG)/HO bagi
Perusahaan-perusahaan yang berlokasi dikawasan
Industri;
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun
1992 tentang Cara Pemberian Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) serta Izin Undang-undang
Gangguan (UUG)/HO bagi Perusahaan-perusahan
yang berlokasi di luar Kawasan Industri;
23. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650-658
Tahun 1985 tentang Keterbukaan Rencana Kota
untuk Umum;
24. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun
1986 tentang Ketentuan Umum Penyidik Pegawai
Negeri Sipil;
7
25. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun
1992 tentang Pedoman Tata Cara Pelaksanaan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan bagi Proyek-
proyek PMA dan PMDN di Daerah;
26. Kepmenpera Nomor 04/KPTS/BKP4N/1995 tentang
Ketentuan Lebih Lanjut Surat Keputusan Bersama
Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan
Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 648-384
Tahun 1992, Nomor 739/KPTS/1992, Nomor
09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan
Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan
Hunian yang Berimbang;
27. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun
1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan
Retribusi Daerah;
28. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 175 Tahun
1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemeriksaan di
Bidang Retribusi Daerah;
29. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik
Indonesia Nomor 441/KPTS/1998 tentang
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;
8
30. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik
Indonesia Nomor 468/KPTS/1998 tentang
Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan;
31. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik
Indonesia Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan
Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada
Bangunan Gedung dan Lingkungan;
32. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Republik
Indonesia Nomor 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan
Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di
Perkotaan;
33. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 60
Tahun 2004 tentang Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan di Sektor Bandar Udara Sultan Syarif
Kasim II Pekanbaru;
34. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 15 Tahun
2000 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Pemerintah Kota Pekanbaru (Lembaran
Daerah Nomor 15 Tahun 2000 Seri D Nomor 5);
35. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 8 Tahun
2008 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Dinas-dinas di Lingkungan Pemerintah
Kota Pekanbaru.
9
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PEKANBARU
Dan
WALIKOTA PEKANBARU
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU
TENTANG RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN
BANGUNAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Daerah Kota Pekanbaru;
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Pekanbaru;
3. Walikota adalah Walikota Pekanbaru;
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kota Pekanbaru;
5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Teknis yang ditunjuk;
6. Perancang Bangunan adalah seorang ahli atau sekelompok ahli dalam
bidang arsitektur yang memiliki izin bekerja;
10
7. Perencana Struktur adalah seorang ahli atau sekelompok ahli dalam
bidang struktur/konstruksi bangunan yang memiliki izin bekerja;
8. Perencana Instalasi dan Perlengkapan Bangunan adalah seorang atau
sekelompok ahli dalam bidang instalasi dan perlengkapan bangunan
yang memilik izin bekerja;
9. Perencana Tata Ruang adalah seorang atau sekelompok ahli dalam
bidang tata ruang yang memiliki izin bekerja;
10. Direksi Pengawas adalah seorang atau sekelompok ahli/badan yang
bertugas mengawasi pelaksanaan pekerjaan membangun atas
penunjukan pemilik bangunan sesuai ketentuan izin bangunan;
11. Garis Sempadan Jalan yang selanjutnya disingkat GSJ adalah garis
rencana jalan yang ditetapkan dalam rencana kota;
12. Garis Sempadan Muka Bangunan yang selanjutnya disingkat GSMB
adalah garis yang tidak boleh dilampaui oleh bangunan ke arah GSJ
yang ditetapkan dalam rencana kota;
13. Garis Sempadan Belakang Bangunan yang selanjutnya disingkat
GSBB adalah garis yang tidak boleh dilampaui oleh denah bangunan
ke arah batas persil bagian belakang;
14. Garis Sempadan Samping Bangunan yang selanjutnya disingkat GSSB
adalah garis yang tidak boleh dilampaui oleh denah bangunan ke arah
batas persil bagian samping;
11
15. Garis Sempadan Pagar Bangunan selanjutnya disebut GSPB adalah
garis yang mengatur batas pagar bangunan dengan batas pinggir jalan
(patok daerah milik jalan);
16. Garis Sempadan Sungai adalah garis batas luar pengaman sungai;
17. Jalan adalah semua jalan yang terbuka untuk lalu lintas umum, gang,
jalan orang dan jalan kendaraan, lapangan dan pertamanan, termasuk
pula pinggir-pinggir jalan, lereng-lereng, trotoar, saluran dan
peralatan-peralatan semacam itu, diukur antara garis-garis sempadan
pagar, selanjutnya tiap-tiap jalur tanah yang menurut rencana
perluasan kota diperuntukkan buat jalan, dengan membuat sesuatu
jalan dimaksudkan pula memperlebar sesuatu jalan, baik yang dibuat
Pemerintah maupun Swasta;
18. Jalan Arteri adalah Jalan yang mempunyai peranan pelayanan jasa
distribusi untuk masyarakat di dalam kota dan melayani angkutan
utama;
19. Jalan Kolektor adalah jalan yang mempunyai peranan melayani
angkutan pengumpulan atau pembagian;
20. Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkutan setempat;
21. Jalan Lingkungan adalah jalan yang mempunyai peranan pelayanan
antar lingkungan;
22. Bangunan adalah suatu perwujudan fisik arsitektur yang digunakan
sebagai wadah kegiatan manusia;
12
23. Bangun-bangunan adalah suatu perwujudan fisik arsitektur yang tidak
digunakan untuk kegiatan manusia;
24. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah
angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar
bangunan dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang
dikuasai sesuai rencana kota;
25. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah
angka persentase perbandingan antara jumlah luas seluruh lantai
bangunan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai
sesuai rencana kota;
26. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH adalah angka
persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luar
bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas
tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana
kota;
27. Pagar Proyek adalah pagar yang didirikan pada lahan proyek untuk
batas pengamanan proyek selama masa pelaksanaan;
28. Perancah (bekisting) adalah struktur pembantu sementara di dalam
pelaksanaan suatu bangunan untuk menunjang pekerjaan struktur
bangunan ;
29. Alat Pemadam Api Ringan adalah pemadam api yang mudah dilayani
oleh satu orang, digunakan untuk memadamkan api pada awal
terjadinya kebakaran;
13
30. Hidran Kebakaran adalah suatu sistem pemadam kebakaran dengan
menggunakan air bertekanan dalam upaya penyelamatan, pencegahan
dan perlindungan terhadap bahaya kebakaran;
31. Spinkler adalah suatu sistem pemancar air yang bekerja secara
otomatis bilamana suhu ruang mencapai suhu tertentu;
32. Pipa Peningkat Air (riser) adalah pipa vertikel yang berfungsi
mengalirkan air ke jaringan pipa di tiap lantai dan mengalirkan air
pipa–pipa cabang dalam bangunan ;
33. Alarm Kebakaran adalah suatu alat pengindra yang dipasang pada
bangunan gedung yang dapat memberi peringatan atau tanda pada saat
terjadinya suatu kebakaran;
34. Tangga Kebakaran adalah tangga yang direncanakan khusus untuk
menyelamatkan jiwa manusia pada waktu terjadi kebakaran;
35. Pintu Kebakaran adalah pintu yang langsung menuju ke tangga
kebakaran atau jalan keluar dan hanya dipergunakan apabila terjadi
kebakaran;
36. Instalasi dan Kelengkapan Bangunan adalah instalasi dan
perlengkapan pada bangunan, bangun-bangunan dan atau pekarangan
yang digunakan untuk menunjang tercapainya unsur kenyamanan,
keselamatan, komunikasi dan mobilitas dalam bangunan;
37. Harga Bangunan adalah harga bahan bangunan ditambah dengan
biaya/upah pekerjaan yang merupakan kesatuan harga dari
bangunan/borongan pekerjaan;
14
38. Retribusi Perizinan adalah sejumlah pembayaran sebagai biaya untuk
bimbingan, pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan izin yang
bersangkutan;
39. Surat Keterangan Retribusi Daerah yang selanjutnya di singkat
(SKRD) adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya
jumlah pokok retribusi yang terutang;
40. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya di singkat (STRD)
adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi
administratf berupa bunga dan/atau denda.
41. Analisis mengenai Dampak Lingkungan yang selanjutnya di singkat
(AMDAL) adalah Kajian secara mendalam dampak besar dan penting
suatu kegiatan / usaha
42. Surat Izin Bekerja Perencana Bangunan selanjutnya disebut SIBP
adalah surat izin yang diterbitkan oleh Walikota atau pejabat yang
ditunjuk yang diberikan kepada perencana/seorang yang bertugas
mengerjakan perencanaan bangunan dibidang planologi/arsitektur dan
atau konstruksi dan atau instalasi di Wilayah Kota Pekanbaru;
43. Izin Mendirikan Bangunan selanjutnya disingkat IMB adalah
persetujuan resmi dari Walikota Pekanbaru untuk mendirikan
bangunan baru, mengubah/mengganti bangunan, menambah bangunan,
dan pemutihan bangunan;
44. Izin Pemanfaatan Bangunan selanjutnya disebut IPB adalah
persetujuan dari Walikota atau pejabat yang ditunjuknya untuk
memanfaatkan/menggunakan bangunan;
15
45. Izin Merobohkan/membongkar bangunan adalah persetujuan resmi
dari Walikota Pekanbaru untuk meniadakan sebahagian atau seluruh
bagian bangunan ditinjau dari segi fungsi bangunan atau konstruksi;
46. Mendirikan bangunan baru adalah pekerjaan mengadakan bangunan
seluruhnya atau sebahagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun,
atau meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mendirikan
bangunan baru tersebut;
47. Mengubah/mengganti bangunan adalah pekerjaan
mengubah/mengganti bangunan yang telah ada termasuk pekerjaan
membongkar yang berhubungan dengan pekerjaan mengganti bagian
bangunan tersebut;
48. Menambah bangunan adalah pekerjaan menambah bangunan yang
telah ada baik berupa penambahan luas maupun lantai bangunan,
termasuk pekerjaan membongkar yang berhubungan dengan pekerjaan
menambah bangunan tersebut;
49. Memperbaiki Bangunan adalah usaha/pekerjaan memperbaiki
bangunan yang telah ada dengan tidak merubah bangunan atau bentuk
dasar bangunan;
50. Pemutihan Bangunan adalah pemberian izin bangunan kepada pemilik
bangunan dengan syarat bangunan telah selesai dibangun sebelum
Perda ini disahkan dan telah dimanfaatkan serta tidak bertentangan
dengan Rencana Tata Ruang Kota serta ketentuan lainnya;
16
51. Badan adalah perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha
milik negara atau daerah, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
persekutuan firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau
lembaga, dan bentuk usaha tetap;
52. Wajib Retribusi adalah orang atau badan yang menurut Peraturan
Perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran retribusi;
53. Rencana Tata Ruang yang berlaku adalah Rencana Tata Ruang yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Pekanbaru dan masih
berlaku;
54. Bangunan permanen adalah bangunan yang ditinjau dari segi
konstruksi dan umur bangunan lebih dari 15 (lima belas) tahun;
55. Bangunan semi permanen adalah bangunan yang ditinjau dari segi
konstruksi dan umur bangunan dinyatakan antara 5 (lima) tahun
sampai dengan 15 (lima belas) tahun;
56. Bangunan sementara/darurat adalah bangunan yang ditinjau dari segi
konstruksi dan umur bangunan dinyatakan kurang dari 5 (lima) tahun;
57. Bangunan rendah adalah bangunan yang mempunyai ketinggian dari
permukaan tanah atau lantai dasar sampai dengan 4 (empat) lantai;
58. Bangunan sedang adalah bangunan yang mempunyai ketinggian antara
5 (lima) sampai dengan 8 (delapan) lantai;
59. Bangunan tinggi adalah bangunan yang mempunyai ketinggian lebih
dari 8 (delapan) lantai.
17
BAB II
NAMA, OBJEK DAN SUBJEK RETRIBUSI
Pasal 2
(1). Atas pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini
dikenakan retribusi.
(2). Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jenis retribusi
yang dipungut adalah sebagai berikut:
a. retribusi Advis Planning (AP);
b. retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) meliputi;
1. retribusi site plan;
2. retribusi pengukuran situasi bangunan;
3. retribusi pagar;
4. retribusi bangunan;
5. retribusi bangun-bangunan;
6. retribusi mengubah/mengganti bangunan.
c. retribusi Izin Pemanfaatan Bangunan (IPB) meliputi:
1. retribusi pemanfaatan bangunan;
2. retribusi perubahan pemanfaatan bangunan.
d. retribusi Izin Merobohkan Bangunan;
e. retribusi Surat Izin Bekerja Perencana (SIBP);
f. retribusi Administrasi Perizinan meliputi:
1. retribusi balik nama;
2. retribusi pemecahan;
3. retribusi salinan izin;
18
4. retribusi pembatalan izin;
5. retribusi perubahan site plan;
6. retribusi sewa bangunan.
(3). Subjek retribusi meliputi orang pribadi atau badan yang memperoleh
pelayanan Izin Mendirikan Bangunan.
BAB III
PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Kesatu
Lingkup Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Pasal 3
(1). Penyelenggaraan bangunan gedung meliputi kegiatan pembangunan,
pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran.
(2). Dalam penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penyelenggara berkewajiban memenuhi persyaratan
bangunan gedung.
(3). Penyelenggara bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) terdiri atas pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi,
dan pengguna bangunan gedung.
19
Paragraf 1
Pembangunan
Pasal 4
(1). Pembangunan bangunan gedung diselenggarakan melalui tahapan
perencanaan dan pelaksanaan beserta pengawasannya.
(2). Pembangunan bangunan gedung dapat dilakukan baik di tanah milik
sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
(3). Pembangunan bangunan gedung di atas tanah milik pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan
perjanjian tertulis antara pemilik tanah dan pemilik bangunan
gedung.
(4). Pembangunan bangunan gedung dapat dilaksanakan setelah rencana
teknis bangunan gedung disetujui oleh Pemerintah Daerah dalam
bentuk Izin Mendirikan Bangunan kecuali bangunan gedung fungsi
khusus.
Paragraf 2
Pemanfaatan
Pasal 5
(1). Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik atau
pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut
dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi.
20
(2). Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi
apabila telah memenuhi persyaratan teknis, sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Daerah ini.
(3). Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala pada
bangunan gedung harus dilakukan agar tetap memenuhi persyaratan
laik fungsi.
(4). Dalam pemanfaatan bangunan gedung, pemilik atau pengguna
bangunan gedung mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana
diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Paragraf 3
Pelestarian
Pasal 6
(1). Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar
budaya sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan harus
dilindungi dan dilestarikan.
(2). Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan
dilestarikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah Propinsi Riau dan
Pemerintah Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan
perundang-undangan.
(3). Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, serta
pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan
21
sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang
dikandungnya.
(4). Perbaikan, pemugaran, dan pemanfaatan bangunan gedung dan
lingkungan cagar budaya yang dilakukan menyalahi ketentuan fungsi
dan/atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan.
(5). Dalam hal perbaikan, pemugaran, dan pemanfaatan bangunan
gedung dan lingkungan cagar budaya yang memerlukan keahlian,
harus dilaksanakan oleh pelaku teknis bangunan sesuai dengan
bidangnya.
(6). Pemilik bangunan wajib melaksanakan atau mengizinkan
dilakukannya pekerjaan-pekerjaan yang menurut Walikota dianggap
perlu diperbaiki berdasarkan pemberitahuan secara tertulis.
(7). Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta teknis pelaksanaan
perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Walikota
Pekanbaru.
Paragraf 4
Pembongkaran
Pasal 7
(1). Bangunan dapat dibongkar apabila:
a. tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
22
b. dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan
gedung dan/atau lingkungannya;
c. tidak memiliki IMB;
d. menyimpang dari rencana pembangunan yang menjadi dasar
pemberian IMB;
e. menyimpang dari peraturan dan syarat-syarat yang telah
ditetapkan dalam peraturan dan ketentuan yang berlaku;
f. mendirikan bangunan di atas tanah orang lain tanpa izin
pemiliknya atau kuasanya yang sah.
(2). Bangunan gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil
pengkajian teknis.
(3). Pengkajian teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), kecuali untuk rumah tinggal, dilakukan oleh pengkaji teknis
dan pengadaannya menjadi kewajiban pemilik bangunan gedung.
(4). Pembongkaran bangunan gedung yang mempunyai dampak luas
terhadap keselamatan umum dan lingkungan harus dilaksanakan
berdasarkan rencana teknis pembongkaran yang telah disetujui oleh
Walikota atau pejabat teknis yang ditunjuknya.
(5). Ketentuan mengenai tata cara pembongkaran bangunan gedung
mengikuti pedoman teknis dan standarisasi nasional yang berlaku.
23
Bagian Kedua
Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Pasal 8
(1). Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung berupa
pemantauan, penjagaan ketertiban, pemberian masukan terhadap
penyusunan dan/atau penyempurnaan peraturan pedoman dan
standar teknis, penyampaian pendapat dan pertimbangan, dan
pelaksanaan gugatan perwakilan.
(2). Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan pengamatan, penyampaian masukan, usulan dan pengaduan
baik melalui perorangan, kelompok, organisasi kemasyarakatan,
maupun melalui tim ahli bangunan gedung.
(3). Penjagaan ketertiban terhadap penyelenggaraan bangunan gedung
dilakukan dengan mencegah perbuatan perorangan atau kelompok
yang dapat mengurangi tingkat keandalan bangunan gedung, dan
atau mengganggu penyelenggaraan bangunan gedung dan
lingkungannya.
(4). Pemberian masukan terhadap penyusunan dan/atau penyempurnaan
peraturan pedoman dan standar teknis disampaikan secara
perorangan, kelompok atau organisasi kemasyarakatan, maupun
melalui tim ahli bangunan gedung dengan mengikuti prosedur dan
pertimbangan nilai-nilai budaya setempat.
(5). Penyampaian pendapat dan pertimbangan kepada Instansi yang
berwenang terhadap penyusunan Rencana Tata Bangunan dan
24
Lingkungan, Rencana Teknik Bangunan Gedung tertentu dan/atau
kegiatan penyelenggaraan yang menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan disampaikan secara perorangan, kelompok,
organisasi kemasyarakatan, maupun melalui tim ahli bangunan
gedung dengan mengikuti prosedur dan nilai-nilai budaya setempat.
(6). Pelaksanaan gugatan perwakilan dapat diajukan oleh perorangan
atau kelompok/organisasi kemasyarakatan yang mewakili para pihak
yang dirugikan akibat adanya penyelenggaraan bangunan gedung
yang mengganggu, merugikan atau membahayakan kepentingan
umum.
Bagian Ketiga
Pembinaan Penyelenggaraan Bangunan Gedung
Pasal 9
(1). Pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung dilakukan oleh
Pemerintah Daerah melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan,
dan pengawasan agar penyelenggaraan bangunan gedung dapat
berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan gedung yang
sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.
(2). Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah ditujukan
kepada penyelenggara bangunan gedung.
(3). Pengaturan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah/Peraturan Walikota/
Keputusan Walikota dibidang Tata Ruang dan Bangunan dengan
mengacu kepada Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi,
25
pedoman, petunjuk dan standar teknis bangunan serta kondisi
lingkungan dan masyarakat sekitar.
(4). Pemberdayaan kepada penyelenggara bangunan gedung dapat
berupa peningkatan kesadaran akan hak, kewajiban dan peran dalam
penyelenggaraan bangunan gedung melalui pendataan, sosialisasi,
diseminasi, dan pelatihan.
(5). Pengawasan kepada penyelenggara bangunan gedung dilakukan
melalui mekanisme penerbitan izin bangunan dan pembongkaran
bangunan.
BAB IV
KETENTUAN ADMINISTRASI BANGUNAN
Bagian Kesatu
Status Hak Atas Tanah
Pasal 10
(1). Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status
kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain.
(2). Dalam hal tanahnya milik pihak lain, bangunan gedung hanya dapat
didirikan dengan izin pemanfaatan tanah dari pemegang hak atas
tanah atau pemilik tanah dalam bentuk perjanjian tertulis antara
pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dengan pemilik
bangunan gedung.
26
(3). Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat
paling sedikit hak dan kewajiban para pihak, luas, letak, dan batas-
batas tanah, serta fungsi bangunan gedung dan jangka waktu
pemanfaatan tanah.
Bagian Kedua
Status Kepemilikan Bangunan Gedung
Pasal 11
(1). Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan surat bukti
kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah,
berdasarkan hasil kegiatan pendataan bangunan gedung.
(2). Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada pihak lain.
(3). Dalam hal pemilikan bangunan gedung bukan pemilik tanah,
pengalihan hak sebagaimana pada ayat (2) harus mendapat
persetujuan pemilik tanah.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai surat bukti kepemilikan bangunan
gedung diatur lebih lanjut oleh Walikota Pekanbaru .
27
BAB V
KETENTUAN TEKNIS BANGUNAN
Bagian Kesatu
Peruntukan dan Intensitas Bangunan
Paragraf 1
Peruntukan Lokasi
Pasal 12
Pendirian bangunan mengacu kepada peruntukan lokasi yang diatur
dalam:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pekanbaru;
b. Rencana Detail Tata Ruang Kota Pekanbaru;
c. Rencana Teknik Ruang Kota Pekanbaru dan atau Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan.
d. Peraturan Zonasi.
Paragraf 2
Klasifikasi Bangunan
Pasal 13
(1). Menurut fungsinya, bangunan di wilayah Kota Pekanbaru
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bangunan fungsi hunian;
b. bangunan fungsi keagamaan;
28
c. bangunan fungsi usaha dan sejenisnya;
d. bangunan fungsi sosial dan budaya;
e. bangunan fungsi khusus.
(2). Menurut tipenya, bangunan di wilayah Kota Pekanbaru
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bangunan tunggal;
b. bangunan deret.
(3). Menurut ketinggiannya, bangunan di wilayah Kota Pekanbaru
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bangunan rendah;
b. bangunan sedang;
c. bangunan tinggi.
(4). Menurut kondisinya, bangunan di wilayah Kota Pekanbaru
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bangunan permanen mewah;
b. bangunan permanen;
c. bangunan semi permanen;
d. bangunan sementara.
(5). Menurut wilayahnya, bangunan di wilayah Kota Pekanbaru
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bangunan di wilayah pusat kota;
b. bangunan di wilayah pinggiran kota.
(6). Menurut lokasinya terhadap jaringan jalan, bangunan di wilayah
Kota Pekanbaru diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bangunan di tepi jalan kelas I/jalan Arteri;
29
b. bangunan di tepi jalan kelas II/jalan Kolektor;
c. bangunan di tepi jalan kelas III/jalan Lokal;
d. bangunan di tepi jalan kelas IV/jalan Lingkungan.
(7). Menurut luasnya bangunan di wilayah Kota Pekanbaru
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bangunan dengan luas < 100 m2;
b. bangunan dengan luas 100 m2 keatas;
(8). Menurut statusnya, bangunan di wilayah Kota Pekanbaru
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bangunan pemerintah;
b. bangunan swasta.
(9). Menurut sifatnya, bangunan di wilayah Kota Pekanbaru
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bangunan komersial;
b. bangunan non komersial
Paragraf 3
Fungsi Bangunan
Pasal 14
(1). Fungsi bangunan di wilayah Kota Pekanbaru, digolongkan dalam
fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi
khusus.
30
(2). Bangunan gedung fungsi hunian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal
deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara.
(3). Bangunan gedung fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi masjid, gereja, pura, wihara dan kelenteng.
(4). Bangunan gedung fungsi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan,
perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan
penyimpanan.
(5). Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi bangunan gedung untuk pendidikan,
kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, pelayanan umum
dan panti sosial.
(6). Bangunan gedung fungsi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi
pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan
oleh menteri.
(7). Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi.
(8). Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.
(9). Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan dicantumkan dalam Izin
Mendirikan Bangunan.
31
(10). Perubahan fungsi bangunan gedung yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) harus mendapatkan
persetujuan dan penetapan kembali oleh Pemerintah Daerah.
Paragraf 4
Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
Pasal 15
(1). KDB ditentukan atas dasar pelestarian lingkungan/ resapan air
permukaan tanah dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran,
kepentingan ekonomi, fungsi bangunan, keselamatan dan
kenyamanan bangunan.
(2). Setiap bangunan apabila tidak ditentukan lain, ditentukan KDB
maksimum 70% (tujuh puluh perseratus) untuk bangunan fungsi
usaha, 60% (enam puluh perseratus) untuk bangunan fungsi hunian,
dan 50% (lima puluh perseratus)untuk bangunan fungsi sosial,
budaya dan keagaman.
Paragraf 5
Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
Pasal 16
(1). KLB ditentukan atas dasar kepentingan pelestarian
lingkungan/resapan air permukaan tanah dan pencegahan terhadap
32
bahaya kebakaran, kepentingan ekonomi, fungsi peruntukan, fungsi
bangunan, keselamatan dan kenyamanan bangunan.
(2). Ketentuan besarnya KLB pada ayat (1) disesuaikan dengan Rencana
Tata Ruang Kota atau sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan yang berlaku.
Paragraf 6
Ketinggian Bangunan
Pasal 17
(1). Ketinggian bangunan ditentukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
(2). Untuk masing-masing lokasi yang belum dibuat tata ruangnya,
ketinggian maksimum bangunan ditetapkan oleh Kepala Dinas
Teknis yang ditunjuk dengan pertimbangan lebar jalan, fungsi
bangunan, keselamatan bangunan, serta keserasian dengan
lingkungannya.
(3). Ketinggian bangunan deret maksimum 4 (empat) lantai dan
selebihnya harus berjarak dengan persil tetangga.
(4). Setiap bangunan, tegakan, menara atau tower antena yang berada di
daerah lingkungan kerja dan Kawasan Keselamatan Operasi
Penerbangan (KKOP) tidak boleh melebihi batas ketinggian yang
ditentukan.
(5). Atap bangunan dalam lingkungan bangunan yang letaknya
berdekatan dengan bandar udara tidak diperkenankan dibuat dari
bahan yang menyilaukan.
33
(6). Kelebihan ketinggian bangunan di atas 8 (delapan) lantai diperlukan
kajian khusus dengan instansi terkait.
Paragraf 7
Garis Sempadan Bangunan
Pasal 18
(1). Garis Sempadan Muka Bangunan ditetapkan berdasarkan Rencana
Tata Ruang, dan atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan serta
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku;
(2). Apabila Garis Sempadan Muka Bangunan belum ditetapkan dalam
Rencana Tata Ruang Kota maka secara umum GSMB ditetapkan
berdasarkan fungsi jalan dan peruntukan lahan sebagai berikut:
a. bangunan yang terletak di Jalan Arteri, GSMB ditetapkan
minimal 20 (dua puluh) meter dari patok rencana Daerah Milik
Jalan atau setengah dari lebar rencana Daerah Milik Jalan;
b. bangunan yang terletak di Jalan Kolektor, GSMB ditetapkan
minimal 10 (sepuluh) meter dari patok rencana Daerah Milik
Jalan dan atau minimal 16 (enam belas) meter dari as jalan;
c. bangunan yang terletak di Jalan Lokal, GSMB ditetapkan
minimal 6 (enam) meter dari patok rencana Daerah Milik Jalan
dan atau minimal 12 (dua belas) meter dari as jalan;
d. bangunan yang terletak di Jalan Lingkungan, GSMB ditetapkan
minimal 4 (empat) meter dari patok rencana Daerah Milik Jalan
dan atau minimal 8 (delapan) meter dari as jalan.
34
(3). Ketentuan besarnya GSMB dapat diperbaharui dengan
mempertimbangkan perkembangan kota, kepentingan umum,
keserasian dengan lingkungan, maupun pertimbangan lain dengan
mendengarkan pendapat teknis para ahli terkait.
(4). Walikota atau pejabat teknis yang ditunjuk menetapkan GSSB
terhadap batas persil dengan mempertimbangkan keselamatan,
kesehatan, kenyamanan dan keserasian lingkungan;
(5). Pada daerah dengan intensitas bangunan padat/rapat maka GSSB dan
GSBB harus memenuhi persyaratan:
a. bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan;
b. pada bangunan rumah tinggal rapat diizinkan tidak memiliki
GSSB (jarak antar bangunan 0 meter). Sedangkan GSBB
minimal 1 (satu) meter dari batas persil;
c. untuk perbaikan atau perombakan bangunan yang semula
menggunakan bangunan dinding batas bersama dengan bangunan
di sebelahnya, disyaratkan untuk membuat dinding batas
tersendiri disamping dinding batas terdahulu;
d. pada dinding batas pekarangan tidak boleh dibuat bukaan dalam
bentuk apapun.
(6). Pada daerah dengan intensitas bangunan rendah/renggang maka
GSSB dan GSBB ditetapkan minimal 3 (tiga) meter dari batas persil,
kecuali untuk bangunan rumah tempat tinggal.
35
Paragraf 8
Garis Sempadan Sungai
Pasal 19
(1). Garis Sempadan Sungai:
a. Garis Sempadan Sungai yang terpengaruh pasang surut air laut
ditetapkan 100 (seratus) meter dari tepi lajur pengaman Sungai
dan berfungsi sebagai jalur hijau.
b. Garis Sempadan Danau dan Waduk ditetapkan 50 (lima puluh)
meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
c. Garis Sempadan Sungai tidak bertanggul:
1. sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga)
meter ditetapkan 10 (sepuluh) meter, dihitung dari tepi lajur
pengaman sungai pada waktu ditetapkan;
2. sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 (tiga) meter
sampai dengan 20 (dua puluh) meter ditetapkan 15 (lima
belas) meter dihitung dari tepi lajur pengaman sungai pada
waktu ditetapkan;
3. sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 (dua puluh)
meter ditetapkan 30 (tiga puluh) meter dihitung dari tepi lajur
pengaman sungai pada waktu ditetapkan.
d. Garis Sempadan Sungai bertanggul ditetapkan dengan batas lebar
5 (lima) meter, dihitung dari tepi lajur pengaman sungai.
(2). Garis sempadan sungai dapat dipakai dengan petunjuk Instansi yang
terkait.
36
Bagian Kedua
Ketentuan Arsitektur dan Lingkungan
Paragraf 1
Tata Letak Bangunan
Pasal 20
(1). Setiap bangunan yang didirikan harus sesuai dengan rencana
perpetakan yang diatur dalam rencana kota.
(2). Untuk tanah yang belum atau tidak memenuhi persyaratan luas
minimum perpetakan, Walikota atau pejabat teknis yang ditunjuk
dapat menetapkan lain dengan memperhatikan keserasian dan
arsitektur lingkungan serta memudahkan upaya penanggulangan
bahaya kebakaran.
(3). Penempatan bangunan tidak boleh mengganggu fungsi prasarana
kota, lalu lintas dan ketertiban umum.
(4). Pada daerah hantaran udara (transmisi) tegangan tinggi, letak
bangunan minimal 10 (sepuluh) meter dari as jalur tegangan tinggi
terluar serta tidak boleh melampaui garis sudut 450 (empat puluh
lima derajat), yang diukur dari as jalur tegangan tinggi terluar.
(5). Walikota atau pejabat teknis yang ditunjuk dapat menetapkan lain
dengan mempertimbangkan pendapat para ahli Perencanaan Kota.
(6). Tinggi rendah (peil) pekarangan harus dibuat dengan memperhatikan
keserasian lingkungan dan tidak merugikan masyarakat.
37
(7). Apabila sebidang tanah yang akan didirikan bangunan lebih tinggi
atau lebih rendah dari pekarangan yang ada, supaya dilampirkan
gambar-gambar keadaan serta profil melintang pada permohonan
bangunan tersebut guna menentukan tingginya tanah yang harus
ditimbun atau digali.
(8). Penambahan luas atau lantai suatu bangunan diperkenankan apabila
masih memenuhi ketentuan yang diatur dalam Rencana Kota.
(9). Pada jalan-jalan/lokasi tertentu Walikota atau pejabat teknis yang
ditunjuk dapat menetapkan penampang-penampang (profil)
bangunan untuk memperoleh pemandangan jalan yang memenuhi
syarat keamanan, keindahan dan keserasian lingkungan.
(10). Bilamana perlu persyaratan lebih lanjut dari ketentuan ayat (9) di
atas Walikota atau pejabat teknis yang ditunjuk dapat membentuk
suatu tim khusus yang bertugas memberikan nasehat teknis
mengenai ketentuan Tata Letak Bangunan.
Paragraf 2
Bentuk Bangunan
Pasal 21
(1). Bentuk bangunan harus dirancang dengan memperhatikan bentuk
dan karakteristik arsitektur lingkungan yang ada disekitarnya, atau
yang mampu sebagai pedoman arsitektur atau teladan bagi
lingkungannya.
38
(2). Setiap bangunan yang didirikan berdampingan dengan bangunan
yang dilestarikan, harus serasi dengan bangunan yang dilestarikan
tersebut.
(3). Bangunan yang didirikan sampai pada batas samping persil, tampak
bangunannya harus bersambungan secara serasi dengan tampak
bangunan atau dinding yang telah ada disebelahnya.
(4). Bentuk bangunan harus dirancang dengan mempertimbangkan
terciptanya ruang luar bangunan yang nyaman dan serasi terhadap
lingkungannya.
(5). Bentuk, tampak, profil, detail, material maupun warna bangunan
harus dirancang memenuhi syarat keindahan dan keserasian
lingkungan yang telah ada dan atau yang direncanakan kemudian,
dengan tidak menyimpang dari persyaratan fungsinya.
(6). Bentuk bangunan harus dirancang sedemikian rupa sehingga setiap
ruang dalam dimungkinkan menggunakan pencahayaan dan
penghawaan alami kecuali jika bangunan-bangunan tersebut
memiliki pencahayaan dan penghawaan buatan dengan mengacu
kepada prinsip-prinsip konservasi energi.
(7). Untuk bangunan sedang dan tinggi, kulit atau selubung bangunan
harus memenuhi persyaratan konservasi energi.
39
Paragraf 3
Ruang Dalam Bangunan
Pasal 22
(1). Setiap bangunan harus memenuhi persyaratan fungsi utama
bangunan, keselamatan dan keamanan, keindahan dan keserasian
bangunan.
(2). Suatu bangunan dapat terdiri dari beberapa ruangan dengan jenis
penggunaan yang berbeda, sepanjang tidak menyimpang dari
persyaratan teknis menurut ketentuan yang berlaku.
(3). Setiap bangunan selain terdiri dari ruang-ruang fungsi utama harus
pula dilengkapi dengan ruang pelengkap serta instalasi dan
perlengkapan bangunan yang dapat menjamin terselenggaranya
fungsi bangunan.
(4). Bangunan tempat tinggal sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang
fungsi utama yang mewadahi kegiatan pribadi (kamar tidur),
kegiatan keluarga/bersama (ruang keluarga) dan kegiatan pelayanan
(dapur).
(5). Bangunan kantor sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi
utama yang mewadahi kegiatan kerja, kegiatan umum dan kegiatan
pelayanan.
(6). Bangunan toko sekurang-kurangnya memiliki ruang-ruang fungsi
utama yang mewadahi kegiatan toko, kegiatan umum dan kegiatan
pelayanan.
40
(7). Bangunan gudang sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan
kamar mandi dan WC serta ruang kebutuhan karyawan.
(8). Bangunan pabrik sekurang-kurangnya harus dilengkapi dengan
kamar mandi dan WC, ruang ganti pakaian karyawan, ruang makan,
ruang istirahat serta ruang pelayanan kesehatan.
(9). Bangunan pusat perbelanjaan harus dilengkapi dengan ruang ibadah
yang memadai.
(10). Untuk bangunan tempat ibadah, bangunan monumental, gedung
serbaguna, gedung pertemuan, gedung pertunjukan, gedung sekolah,
gedung olah raga, serta gedung sejenis lainnya, tata ruang dalamnya
diatur secara khusus sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan .
Pasal 23
(1). Tinggi ruang adalah jarak terpendek dalam ruang diukur dari
permukaan bawah langit-langit ke permukaan lantai.
(2). Ruangan dalam bangunan harus mempunyai tinggi yang cukup
untuk fungsi yang diharapkan.
(3). Ketinggian ruang pada lantai dasar disesuaikan dengan fungsi ruang
dan arsitektur bangunannya.
(4). Dalam hal tidak ada langit-langit, tinggi ruang diukur dari
permukaan atas lantai sampai permukaan bawah dari lantai di
atasnya atau sampai permukaan bawah kaso-kaso.
(5). Perhitungan ketinggian bangunan apabila jarak vertikal dari lantai
penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 (lima) meter, maka
41
ketinggian bangunan dianggap sebagai 2 (dua) lantai kecuali untuk
penggunaan ruang loby atau ruang pertemuan dalam bangunan
komersial (antara lain hotel, perkantoran dan pertokoan).
(6). Mezanin yang luasnya melebihi 50% (lima puluh perseratus) dari
luas lantai dasar dianggap sebagai lantai penuh.
Pasal 24
(1). Ruang rongga atap bangunan dapat diizinkan penggunaannya jika
tidak menyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan
segi kesehatan, keamanan dan keselamatan bangunan dan
lingkungan.
(2). Ruang rongga atap harus mempunyai penghawaan dan pencahayaan
alami yang memadai.
(3). Ruang rongga atap dilarang dipergunakan sebagai dapur atau
kegiatan lain yang potensial menimbulkan kecelakaan/kebakaran.
(4). Setiap bukaan pada ruang atap tidak boleh mengubah sifat dan
karakter arsitektur bangunannya.
Pasal 25
(1). Lantai dan dinding yang memisahkan ruang dengan penggunaan
yang berbeda dalam suatu bangunan, harus memenuhi persyaratan
ketahanan api menurut standar ketentuan yang berlaku.
(2). Ruang yang penggunaannya menimbulkan kebisingan, maka lantai
dan dinding pemisah harus kedap suara.
42
(3). Ruang pada daerah-daerah basah, harus dipisahkan dengan dinding
kedap air dan dilapisi dengan bahan yang mudah dibersihkan.
(4). Pada ruang yang penggunaannya menghasilkan asap atau gas, harus
disediakan lobang hawa dan atau cerobong hawa secukupnya,
kecuali menggunakan alat bantu mekanis.
Pasal 26
(1). Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan
perbaikan, perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan
berubahnya fungsi/penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan
dan bagian-bagian bangunan serta tidak boleh mengurangi atau
mengganggu fungsi sarana jalan keluar/masuk.
(2). Perubahan fungsi dan penggunaan ruang suatu bangunan atau bagian
bangunan dapat diizinkan apabila masih memenuhi ketentuan
penggunaan jenis bangunan dan dapat menjamin keamanan dan
keselamatan bangunan serta penghuninya.
Paragraf 4
Penghawaan Dalam Bangunan
Pasal 27
(1). Setiap bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami dan/atau
ventilasi mekanik/buatan, sesuai dengan fungsinya.
43
(2). Kebutuhan ventilasi diperhitungkan untuk memenuhi kebutuhan
sirkulasi dan pertukaran udara dalam ruang sesuai dengan fungsi
ruang.
(3). Ventilasi alami harus terdiri dari bukaan permanen, jendela, pintu
atau sarana lain yang dapat dibuka sesuai dengan kebutuhan dan
standar teknis yang berlaku.
(4). Ventilasi alami pada suatu ruangan dapat berasal dari jendela,
bukaan, pintu, ventilasi atau sarana lainnya dari ruangan yang
bersebelahan.
(5). Luas ventilasi alami diperhitungkan minimal seluas 5% (lima
perseratus) dari luas lantai ruangan yang diventilasi.
(6). Sistem ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi alami yang
tidak dapat memenuhi syarat.
(7). Penempatan fan sebagai ventilasi buatan harus memungkinkan
pelepasan udara secara maksimal dan masuknya udara segar, atau
sebaliknya.
(8). Bilamana digunakan ventilasi buatan, sistem tersebut harus bekerja
terus menerus selama ruang tersebut dihuni.
(9). Penggunaan ventilasi buatan, harus memperhitungkan besarnya
pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang dalam
bangunan gedung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku.
44
Paragraf 5
Pencahayaan Dalam Bangunan
Pasal 28
(1). Setiap bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami
dan/atau buatan, sesuai dengan fungsinya.
(2). Kebutuhan pencahayaan meliputi kebutuhan pencahayaan untuk
ruangan di dalam bangunan, daerah luar bangunan, jalan, taman dan
daerah bagian luar lainnya, termasuk daerah di udara terbuka dimana
pencahayaan dibutuhkan.
(3). Pemanfaatan pencahayaan alami harus diupayakan secara optimal
pada bangunan gedung, disesuaikan dengan fungsi bangunan gedung
dan fungsi masing-masing ruang di dalam bangunan gedung.
(4). Pencahayaan buatan pada bangunan gedung harus dipilih secara
fleksibel, efektif dan sesuai dengan tingkat iluminasi yang
dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan gedung, dengan
mempertimbangkan efisiensi dan konservasi energi yang digunakan.
(5). Besarnya kebutuhan pencahayaan alami dan/atau buatan dalam
bangunan gedung dihitung berdasarkan pedoman dan standar teknis
yang berlaku.
45
Paragraf 6
Ruang Terbuka Hijau Pekarangan
Pasal 29
(1). Ruang Terbuka Hijau merupakan ruang yang diperuntukkan sebagai
daerah penanaman di kota/halaman yang berfungsi untuk
kepentingan ekologis, sosial, ekonomi maupun estetika.
(2). Ruang Terbuka Hijau yang berhubungan langsung dengan bangunan
gedung dan terletak pada persil yang sama disebut Ruang Terbuka
Hijau Pekarangan (RTHP).
(3). RTHP sebagaimana dimaksud ayat (2) berfungsi sebagai tempat