0 KARYA TULIS PRESTASI PERSEORANGAN Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk Kajian pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan DISUSUN OLEH: NAMA : TRI WIDODO WAHYU UTOMO NDH : 53 KELAS : B ASAL INSTANSI : LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT II, ANGKATAN XXXI JAKARTA, 2011
82
Embed
Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik Melalui Penguatan Manajemen dan Produk Kajian
Karya Tulis Prestasi Perseorangan (KTP-2) Diklat Kepemimpinan Tingkat II Angkatan XXXI Kelas B Jakarta, 2011
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
0
KARYA TULIS PRESTASI PERSEORANGAN
Peningkatan Kualitas Kebijakan Publik
Melalui Penguatan Manajemen dan Produk Kajian pada
Pusat Kajian Manajemen Kebijakan
DISUSUN OLEH:
NAMA : TRI WIDODO WAHYU UTOMO
NDH : 53
KELAS : B
ASAL INSTANSI : LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT II, ANGKATAN XXXI
JAKARTA, 2011
i
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PUSDIKLAT SPIMNAS BIDANG KEPEMIMPINAN
PROGRAM DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT II
PERSETUJUAN PENYAJIAN
KARYA TULIS PRESTASI PERSEORANGAN
PENINGKATAN KUALITAS KEBIJAKAN PUBLIK
MELALUI PENGUATAN MANAJEMEN DAN PRODUK KAJIAN PADA
PUSAT KAJIAN MANAJEMEN KEBIJAKAN
Disusun Oleh:
TRI WIDODO WAHYU UTOMO
NDH : 53
KELAS: B
Disetujui Oleh:
Kepala Pusat Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan
( Drs. Makhdum Priyatno, MA )
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT II, ANGKATAN XXXI
JAKARTA, 2011
ii
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PUSDIKLAT SPIMNAS BIDANG KEPEMIMPINAN
PROGRAM DIKLAT KEPEMIMPINAN TINGKAT II
PENGESAHAN KTP-2
PENINGKATAN KUALITAS KEBIJAKAN PUBLIK
MELALUI PENGUATAN MANAJEMEN DAN PRODUK KAJIAN PADA
PUSAT KAJIAN MANAJEMEN KEBIJAKAN
Disusun Oleh:
TRI WIDODO WAHYU UTOMO
NDH : 53
KELAS: B
Disajikan Pada:
HARI : Jum’at
TANGGAL : 19 Agustus 2011
Disetujui Oleh:
Kepala Pusat Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan
(Drs. Makhdum Priyatno, MA)
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
PROGRAM DIKLATPIM TINGKAT II, ANGKATAN XXXI
JAKARTA, 2011
iii
EXECUTIVE SUMMARY
Pusat Kajian Manajemen Kebijakan (PKMK), Lembaga Administrasi Negara,
selanjutnya disebut PKMK-LAN adalah unit kerja dibawah Deputi Kajian Manajemen
Kebijakan dan Pelayanan LAN, dan memiliki tugas pokok melaksanakan penyusunan
rencana, penelaahan kebijakan, pengkajian, dan evaluasi pelaksanaan program kajian
manajemen kebijakan dan pembangunan, manajemen perekonomian negara, serta
pemberian bantuan teknis dan administratif kepada Pusat dan kelompok jabatan
fungsional di lingkungannya.
Sehubungan dengan hal tersebut, PKMK-LAN merasa perlu untuk melakukan
beberapa hal sebagai prasyarat keberhasilan pelaksanaan tupoksinya dengan baik.
Salah satunya adalah dengan mengidentifikasi pelanggan (stakeholders) PKMK-LAN
beserta ekspektasinya. Hal ini penting dilakukan dengan tujuan agar program dan
pelayanan yang diberikan PKMK-LAN benar-benar dapat diaplikasikan untuk kemajuan
stakeholders. Selain itu, PKMK-LAN juga terus-menerus berusaha menyempurnakan
manajemen kajian, yang meliputi perencanaan kajian, penerapan metodologi,
pengembangan kapasitas SDM khususnya peneliti, serta penguatan koordinasi atau
networking.
Jika manajemen kajian kebijakan dapat dilakukan secara optimal, maka diyakini
produk kajian pada PKMK-LAN akan lebih berbobot, sehingga akan meningkatkan
kontribusi kajian kebijakan dalam upaya mewujudkan kebijakan publik yang jauh lebih
berkualitas, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Namun, selama ini terdapat
fenomena bahwa manajemen kajian di PKMK-LAN relatif masih lemah, yang
berdampak pada belum optimalnya kontribusi kajian kebijakan dalam peningkatan
kualitas kebijakan publik. Issu inilah yang ditetapkan sebagai rumusan masalah pada
penulisan KTP-2 ini. Dan atas dasar rumusan masalah tersebut, maka fokus penulisan
KTP-2 ini adalah pembenahan manajemen kajian.
Dalam rangka menganalisis masalah yang telah dirumuskan diatas, penulis
menggunakan tools antara lain analisis kebijakan, serta piranti analisis manajemen
strategis yang meliputi SWOT Analysis, dan Scenario Planning dengan perpaduan
Systems Thinking.
Dari hasil analisis ditemukan 3 (tiga) variabel utama yang menjadi leverage atau
pengungkit dalam mewujudkan tupoksi PKMK-LAN, yakni: 1) pengembangan kapasitas
/ kompetensi SDM khususnya Peneliti; 2) peningkatan frekuensi dan jenis layanan;
serta 3) redefinisi visi dan misi organisasi. Ketiga variabel tadi, apabila diterapkan
memiliki tujuan masing-masing sebagai berikut:
iv
• Meningkatkan kapasitas / kompetensi SDM guna memperkuat kualitas produk kajian
dan meningkatkan kontribusi kajian kebijakan terhadap peningkatan kualitas
kebijakan publik.
• Memperkokoh budaya kerja untuk menciptakan prakondisi dan lingkungan yang
ideal (enabling) bagi terselenggaranya manajemen kajian yang efektif, serta budaya
pelayanan yang maksimal.
• Mempertajam perencanaan yang berfungsi sebagai masterplan program kajian
kebijakan yang berorientasi pemecahan masalah, berpikir kedepan (forward
looking), serta memenuhi kebutuhan stakeholders. Dengan kata lain, ketiga hal tersebut merupakan variabel prioritas dalam
memperkuat fungsi manajemen kajian di PKMK-LAN, dan jika dapat diwujudkan
menjadi faktor kunci untuk mewujudkan produk kajian yang bermutu serta kontribusi
yang positif dalam membangun kebijakan publik yang berkualitas di tanah air.
Dengan telah terpetakannya leverage untuk peningkatan kinerja serta faktor-
faktor lingkungan strategis, maka PKMK-LAN perlu segera merumuskan strategi yang
harus dilakukan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang, untuk kemudian
dimonitor secara regular, dan jika perlu dilakukan penyesuaian secara berkala seiring
dengan dinamika lingkungan yang cenderung terus bergerak. Pada saat yang
bersamaan, PKMK-LAN harus memberi perhatian serius untuk membangun kapasitas
SDM, khususnya fungsional Peneliti. Jika tidak, maka pada jangka panjang akan
menjadi bumerang buat organisasi karena tidak akan mampu merespon kebutuhan dan
tuntutan stakeholders-nya.
v
KATA PENGANTAR
Tiada sesuatupun yang dapat penulis ungkapkan atas terselesaikannya KTP-2
ini kecuali syukur yang terdalam kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-
Nya, sehingga meski dalam serba-keterbatasan, penulis tetap mampu menyelesaikan
kewajiban dalam rangkaian keikutsertaan penulis sebagai peserta Diklat Kepemimpinan
Tingkat II, Angkatan XXXI, Kelas B.
Terimakasih yang tulus juga penulis haturkan atas bimbingan, perhatian, serta
curahan ilmu dan daya upaya dari para Widyaiswara seperti bapak Suwaris, bapak Idrin
M. Su’ud, bapak Safuan Tingal, bapak Frans Turangan, bapak Sutrisno, dan bapak
Husni Bahri Tob. Penulis berdoa semoga Allah SWT memberi balasan berlipat atas
amal jariyah bapak-bapak semua.
Ucapan dan doa yang sama penulis persembahkan untuk seluruh jajaran
penyelenggara, dari bapak Makhdum Priyatno, mas Sudardi, mbak Erna Novianti, jeng
Reni Suzanna, kang Dadan Sidqul Anwar, mbak Rita, kang Rudi, dan para pekerja
keras lainnya di lingkungan Pusdiklat Spimnas Bidang Kepemimpinan yang tidak bisa
penulis sebut satu per satu. Penulis sangat mengapresiasi komitmen dan dedikasinya
untuk sebuah proses pembelajaran yang semakin professional.
Tidak ketinggalan pula, kepada jajaran staf PKMK-LAN: Erna Irawati, Ginting
1. Pegawai 1. Kesejahteraan yang memadai. 2. Program pengembangan pegawai/
diklat fungsional peneliti. 3. Anggaran litbang yang cukup. 4. Adanya data-base sektoral yang
lengkap.
2. Pimpinan 1. Peneliti yang profesional. 2. Kualitas hasil kajian yang berbobot. 3. Program yang dapat mengkaji issu
aktual secara cepat. 4. Konsentrasi peneliti pada bidang
tugasnya.
EKSTERNAL
1. DPR/DPRD, khususnya Badan Legislasi, termasuk DPD beserta Sekretariat Jenderal masing-masing.
1. Hasil penelitian yang up to date.
2. Rekomendasi kebijakan yang cepat, akurat, dan memberi alternatif solusi terhadap permasalahan yang ada.
3. Publikasi yang dapat dijadikan bahan referensi/rujukan dalam menganalisis issu kebijakan tertentu.
4. Kerjasama dalam perumusan dan pengembangan kebijakan, baik berupa kajian/penelitian, bimbingan teknis, seminar dan sosialisasi, dan bentuk kerjasama lainnya.
5. Akses terhadap produk kajian, baik berupa buku, naskah akademik, laporan penelitian, makalah kebijakan (policy papers), maupun publikasi online.
6. Pemberian konsultansi dan advokasi bidang kebijakan publik.
2. Pemerintah Provinsi dan Kab/Kota, khususnya yang menangani organisasi, kepegawaian, hukum, dan pemerintahan.
3. Badan Litbang Daerah Provinsi dan Kab/Kota
4. Balai Litbang Kementerian/Lembaga di Daerah
5. Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
Pemerintah (Kementerian/ Lembaga), misalnya:
a. Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, beserta Pusat-Pusat dibawahnya:
• Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN);
5
• Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN);
• Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM);
• Pusat Kebijakan Kerja Sama Internasional (PKKSI).
b. Balitbang Kementerian Pertanian, beserta Puslitbang dibawahnya:
• Puslitbang Tanaman Pangan; • Puslitbang Hortikultura;
• Puslitbang Perkebunan;
• Puslitbang Peternakan;
• Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
c. Direktorat Aparatur Negara Bappenas, dan Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik, Bappenas.
d. Pusat Analisis Kebijakan Manajemen Kepegawaian, BKN (dan Pusat-Pusat Analisis bidang Kepegawaian lainnya).
e. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK), Kementerian Luar Negeri (beserta Pusat-Pusat Pengkajian dibawahnya).
f. Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi, BPPT, beserta Pusat-Pusat Pengkajian dibawahnya:
• Pusat Pengkajian Kebijakan Inovasi Teknologi;
• Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi;
• Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing.
g. LIPI, khususnya pusat-pusat yang menangani bidang non-eksakta.
h. Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, beserta Pusat-Pusat Pengkajian dibawahnya:
• Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri;
• Pusat Kebijakan Perdagangan LN;
• Pusat Kebijakan Kerja Sama Perdagangan Internasional.
7. Adanya forum koordinasi yang rutin dan berkesinambungan.
6
i. Seluruh Deputi dan Asisten Deputi di lingkungan Kementerian PAN dan RB, dan lain-lain.
6. Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan
Perguruan Tinggi, misalnya:
a. Pusat Kajian Kebijakan Publik, UI. b. Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan
Pengembangan Wilayah, Lembaga Penelitian Unpad.
c. Pusat Kebijakan Publik dan Kepemerintahan, LPPM ITB.
d. Pusat Kebijakan Keenergian, ITB. e. Pusat Pengkajian Strategi dan
Kebijakan, UGM. f. Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik, UGM. g. Pusat Studi Kebijakan dan
Kependudukan UGM. h. Pusat Kebijakan Pendidikan, UNY. i. Pusat Pengkajian Kebijakan dan
Kelembagaan Daerah, LPPM UNS. j. Pusat Studi Kebijakan Publik, Lembaga
Penelitian Unila. k. Sentra Kajian Kebijakan Publik dan
HAM, Universitas Lampung. l. Pusat Studi Kebijakan Hubungan Pusat
dan Daerah, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
m. Pusat Studi Manajemen dan Kebijakan Pembangunan (PSKMP), Universitas Hasanuddin, dan lain-lain.
7. Lembaga Kajian/Litbang Kebijakan Swasta,
misalnya:
a. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
b. Pusat Kajian Kebijakan Publik “Akademika”, Bekasi.
c. Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi). d. Pusat Analisis Kebijakan Sumber Daya
Alam (PAKSDA), Jakarta Selatan. e. Lembaga Studi Kebijakan Publik
(LSKP), Makassar. f. Pusat Studi Strategi dan Kebijakan,
Bandar Lampung, dan lain-lain.
7
8. Komisi-Komisi Negara yang relevan, misalnya Komisi Kepegawaian Negara (jika sudah terbentuk), Komnas Pengawas Aparatur Negara, Komisi Yudisial, dan lain-lain.
9. Interest groups (kelompok lain yang terkait atau berkepentingan), misalnya Media, LSM/NGO, Organisasi Profesi, Partai Politik, Organisasi Kemasyarakatan, Kelompok Warga, dan lain-lain.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber (2011).
3. PKMK-LAN dan Kajian Kebijakan
Dari tupoksi tersebut dapat dipahami bahwa PKMK-LAN memiliki peranan
dan tanggungjawab yang strategis untuk turut serta dalam pembenahan sistem
kebijakan, pembangunan dan perekonomian negara. Dengan kata lain, PKMK-
LAN sangat berkepentingan untuk mengawal kebijakan publik agar dapat
diimplementasikan secara efektif guna mencapai tujuan negara mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana diketahui, kebijakan publik adalah instrumen yang dimiliki
oleh negara kesejahteraan (welfare state) untuk menjamin kehidupan warganya
secara lebih baik. Namun, harus diakui bahwa perangkat kebijakan yang ada
belum mampu mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, kinerja kebijakan
publik di tanah air dewasa ini masih kurang memuaskan. Tentu saja banyak
faktor yang dapat menyebabkan kondisi tersebut. Diantara berbagai
kemungkinan penyebabnya, dapat diasumsikan bahwa kualitas kebijakan publik
sendiri relatif masih rendah.
Rendahnya kualitas kebijakan publik ini sedikit banyak dipengaruhi oleh
kontribusi kajian/litbang kebijakan yang belum optimal. Faktanya, proses
formulasi dan implementasi kebijakan publik di Indonesia belum didasarkan pada
sebuah analisa akademis yang dapat dipertanggungjawabkan (research-based
policy). Kajian kebijakan diharapkan dapat berfungsi untuk membuat antisipasi
terhadap suatu kondisi, prediksi terhadap suatu trend, rekomendasi dan solusi
8
terhadap sebuah permasalahan, serta formulasi kebijakan dalam rangka
pengaturan di bidang tertentu.
Agar kajian kebijakan dapat memberi kontribusi yang lebih konkrit dan
lebih terukur terhadap kualitas kebijakan publik, maka harus dijamin bahwa hasil
kajian benar-benar berbobot yang ditunjang oleh metodologi dan manajemen
kajian yang professional. Sayangnya, hingga saat ini kelembagaan dan fungsi
kajian kebijakan masih menghadapi berbagai permasalahan yang cukup rumit.
Perencanaan kajian belum dilakukan secara matang, sementara networking dan
koordinasi yang sinergis antara instansi teknis sektoral dengan lembaga litbang,
serta antar lembaga litbang sendiri, belum terbangun dengan baik. Pada saat
yang sama, kapasitas SDM Peneliti juga belum begitu menggembirakan, baik
dilihat secara kuantitas maupun kualitasnya.
Dari aspek perencanaan, harus diakui hingga saat ini PKMK-LAN belum
memiliki dokumen analisis kebutuhan kajian yang komprehensif, berwawasan
kedepan (forward looking), dan berorientasi pemecahan masalah (problem
solving oriented). Program dan kegiatan kajian lebih merupakan penjabaran
Renstra semata atau menampung keinginan mitra kerja tertentu, misalnya
Bappenas. Sementara issu-issu kontemporer yang sebenarnya membutuhkan
kajian secara cepat, justru sering tidak tersentuh.
Dari aspek koordinasi dan networking, selama ini PKMK-LAN juga belum
memiliki media khusus yang dapat difungsikan untuk mengkomunikasikan
program kerja, hasil kajian, serta pemanfaatannya. Forum konsultasi publik atau
semacam stakeholder meeting juga belum pernah dilakukan. Satu-satunya
media sosialisasi hanyalah website PKMK-LAN (http://pkmk-lanri.org/) yang tentu
masih banyak kelemahannya, termasuk hasil laporan yang belum bisa diunduh
dan masih bersifat informatif belaka (belum interaktif). Koordinasi yang terjadi
lebih banyak menginduk pada forum koordinasi internal yang diselenggarakan
oleh Biro POK LAN. Padahal, koordinasi yang baik akan sangat mempengaruhi
kualitas kebijakan. Hal ini sesuai pernyataan Beschel Jr. and Manning (2000)
sebagai berikut: ”experience shows that central mechanisms for policy
9
formulation and coordination play an essential role in ensuring the consistency,
transparency, and predictability of government policy”.
Dari aspek SDM, jumlah keseluruhan pejabat structural, tenaga fungsional
peneliti, maupun fungsional umum hanya sembilan orang, sebagaimana dapat
disimak dari Tabel dibawah ini:
Tabel 1.1.
Komposisi Pegawai di PKMK-LAN
No. Jabatan Jumlah Pegawai
1. Kepala Pusat 1
2. Kepala Bagian Administrasi 1
3. Fungsional Peneliti 4
4. Fungsional Umum 3
Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa tenaga fungsional peneliti sendiri
hanya empat orang, sehingga dapat dikatakan bahwa PKMK-LAN belum
mencerminkan organisasi yang professional atau berbasis kompetensi. Hal ini
diperparah dengan kesempatan yang sangat terbatas untuk penambahan
formasi peneliti baru serta terbatasnya kesempatan mengikuti diklat fungsional
peneliti.
Gambaran diatas menjadi tantangan bagi komunitas kelitbangan pada
umumnya dan PKMK-LAN khususnya untuk memperbaiki manajemen internal di
lembaga masing-masing, baik menyangkut aspek metodologis, kemampuan
tenaga peneliti, kecermatan dalam mengidentifikasikan kebutuhan program
kajian, maupun peningkatan mutu produknya. Selain itu, aspek koordinasi serta
perencanaan program kajian juga menjadi agenda pembenahan yang
mendesak.
B. Rumusan Masalah
Dari paparan diatas dapat dirumuskan pokok masalahnya sebagai berikut:
”Masih lemahnya manajemen kajian di PKMK-LAN yang berdampak pada belum
optimalnya kontribusi kajian kebijakan dalam peningkatan kualitas kebijakan publik”.
10
C. Deskripsi Masalah
Dari rumusan masalah diatas, dapat dideskripsikan lebih lanjut bahwa yang
dimaksud dengan kelemahan manajemen kajian meliputi belum optimalnya aspek-
aspek pengelolaan program kajian seperti perencanaan kajian, penerapan
metodologi, SDM Peneliti, serta koordinasi lintas instansi/stakeholder. Lemahnya
manajemen tadi pada gilirannya menyebabkan kualitas produk kajian yang belum
optimal pula, sehingga menjadikan kajian kebijakan belum dapat berkontribusi
secara maksimal dalam pembenahan sistem kebijakan publik di Indonesia.
Berdasarkan permasalahan tersebut, fokus yang akan diambil dalam
penulisan KTP-2 ini adalah ”Pembenahan Manajemen Kajian”, yang meliputi aspek
serta penyelenggaraan koordinasi lintas instansi/stakeholder yang lebih efektif.
”Pembenahan Manajemen Kajian” ini diduga merupakan faktor yang menjadi daya
ungkit (leverage), atau menjadi entry point dalam rangka pembenahan sistem
kebijakan publik melalui penyediaan produk kajian kebijakan yang berkualitas.
D. Kerangka Pikir
Diatas sudah disinggung bahwa permasalahan pokok yang diangkat dalam
penulisan KTP-2 ini adalah lemahnya manajemen kajian yang berdampak pada
belum optimalnya kontribusi kajian kebijakan dalam peningkatan kualitas kebijakan
publik. Masalah ini terjadi di lingkup internal PKMK-LAN, yang jika bisa ditingkatkan
diyakini akan membawa efek perubahan yang sangat positif bukan hanya bagi dunia
penelitian, namun juga dalam pembenahan sistem kebijakan secara nasional.
Dalam perspektif sistem, kerangka logis permasalahan diatas dapat dipahami
dari interaksi empat komponen sistem, yakni Input, Proses, Output/Outcomes, dan
Benefit/Impact. Pada level input, terdapat variabel perencanaan kajian, metodologi,
SDM Peneliti, serta koordinasi/networking. Keempat variabel ini sesungguhnya
merupakan indikator bagi variabel pada level proses, yakni manajemen kajian
kebijakan. Dengan kata lain, perencanaan, penerapan metodologi, SDM Peneliti,
11
dan koordinasi adalah dimensi-dimensi yang akan dikembangkan dalam rangka
menyempurnakan manajemen kajian kebijakan di lingkungan PKMK-LAN.
Secara sederhana, pemodelan pola pikir dan fokus KTP-2 dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1. Kerangka Pikir (Logical Framework) Penguatan Manajemen Kajian Untuk
Meningkatkan Kualitas Kebijakan Publik
E. Tujuan, Sasaran, dan Indikator Hasil
1. Tujuan
Tujuan penulisan KTP-2 ini adalah untuk menghasilkan rekomendasi yang
diperlukan dalam pembenahan manajemen kajian guna meningkatkan kontribusi
kajian kebijakan dalam peningkatan kualitas kebijakan publik.
2. Sasaran
Agar tujuan tersebut dapat dicapai, maka perlu diidentifikasikan sasaran-sasaran
sebagai berikut:
• Teridentifikasikannya variabel-variabel yang mempengaruhi baik buruknya
manajemen kajian kebijakan.
• Teridentifikasikannya pola hubungan antar variabel yang logis, realistis, dan
sistematis, sehingga dapat tergambarkan kerangka pikir yang jelas dalam
Perencanaan Kajian
Penerapan Metodologi
Kapasitas SDM Peneliti
Koordinasi / Networking
Manajemen Kajian
Kebijakan
Produk Kajian Kebijakan
Kontribusi Kajian
Kualitas Kebijakan
Publik
INPUT PROSES OUTPUT/ OUTCOMES
BENEFIT/ IMPACT
12
meningkatkan kualitas kebijakan publik melalui pembenahan manajemen
kajian (business process internal).
3. Indikator Hasil/Rencana Tindak Lanjut
Indikator yang akan dikembangkan untuk mengukur sejauhmana tujuan dan
sasaran diatas tercapai, antara lain adalah sebagai berikut:
• Jumlah kegiatan yang dilakukan sebagai prasyarat untuk membenahi
manajemen kajian, misalnya rapat koordinasi (stakeholder meeting), berbagai
training untuk peningkatan kompetensi/kapasitas peneliti, dan lain-lain.
• Persentase penggunaan produk-produk kajian PKMK-LAN atau jumlah akses
publik terhadap jasa publikasi online.
13
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
A. Teori Kebijakan Publik
1. Negara dan Kebijakan Publik
Lahirnya sebuah negara dengan perangkat birokrasinya, secara filosofis
ditujukan untuk melayani dan melindungi kepentingan masyarakat,
membebaskan penduduk dari rasa takut, sekaligus meningkatkan
kesejahteraannya.1 Bahkan Suseno (1988) mengatakan bahwa raison d’etre
atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum.2
Dalam konteks Indonesia, birokrasi pemerintahan harus mampu mewujudkan
tujuan pembangunan nasional yaitu tercapainya masyarakat yang maju, mandiri
dan sejahtera, atau masyarakat yang adil dan makmur.
Untuk merealisasikan fungsi kesejahteraan dan pelayanan tersebut,
birokrasi pemerintahan harus menjalankan “kebijakan-kebijakan negara”, dan
untuk keperluan itu, ia dilengkapi dengan berbagai instrumen maupun sarana
untuk mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan secara baik dan
lancer (discretion of power). Sehubungan dengan hal tersebut, maka sisi
normatif yang melekat pada setiap tindakan pejabat pemerintah (sebagai unsur
pelaksana tugas negara) adalah bahwa tindakan atau kebijakan tadi haruslah
selalu mengacu kepada upaya mencapai kesejahteraan publik dan masyarakat
yang berdayaguna, terutama secara ekonomis. Ini berarti pula bahwa esensi
kebijakan publik sesungguhnya adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat
melalui upaya pemberdayaan yang sistemik.
Dengan demikian, negara dan kebijakan ibarat sekeping koin dengan dua
sisi yang berbeda namun berkaitan satu dengan yang lain. Dalam sebuah
1 Untuk telaahan teoretis mengenai fungsi atau tugas Negara, lihat Basri (1996), Budiman (1996),
Kumorotomo (1992).
2 Ia juga menandaskan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi
dalam suatu negara (salus populi suprema lex).
14
negara selalu melekat kebijakan, sedangkan kebijakan adalah alat negara yang
sah yang harus digunakan untuk mencapai sebesar mungkin kesejahteraan
rakyatnya.
2. Proses / Siklus Kebijakan Publik
Salah satu aspek yang sangat penting dalam sistem kebijakan adalah
siklus atau proses kebijakan. Dalam hal ini, banyak pakar yang telah
mengemukakan pandangan mengenai proses, siklus dan/atau model-model
dalam analisis kebijakan, misalnya yang dikemukakan oleh Charles O. Jones,
William N. Dunn, Owen, Mustopadidjaja, Patton and Sawicki, maupun James E.
Anderson. Perbandingan pandangan antar pakar kebijakan publik tersebut dalam
diringkaskan sebagai berikut:
Tabel 2.1. Perbandingan Siklus/Proses Kebijakan
Sumber Proses / Siklus
Kebijakan Sumber
Proses / Siklus Kebijakan
Charles O. Jones
• Perception/Definition;
• Aggregation;
• Organization;
• Representation;
• Agenda Setting;
• Formulation;
• Legitimation;
• Budgeting;
• Implementation;
• Evaluation;
• Adjustment/Termination
William N. Dunn
• Structuring Policy Problems;
• Forecasting Policy Future;
• Recommending Policy Action;
• Monitoring Policy Outcomes;
• Evaluating Policy Performances.
Owen • Verify, Refine, and Detail the Problem;
• Established Evaluation Criteria;
• Identify Alternative Policies;
• Evaluate Alternative Policies;
• Display & Select among Alternative Policies;
Mustopadidjaja • Policy Formulation: o Pengkajian
permasalahan; o Penyusunan
Model; o Penentuan Tujuan; o Pengembangan
Alternatif; o Penentuan Kriteria
Penilaian; o Penilaian Alternatif; o Rekomendasi
15
• Monitor Policy Outcomes.
Kebijakan.
• Policy Implementation.
• Performance Evaluation.
Patton and Sawicki
• Defining the Problem;
• Identifying the Decision Criteria;
• Generating Possible Alternatives;
• Analyzing and Evaluating each Criterion;
• Evaluates each Alternative;
• Policy Implementation.
James E. Anderson
• Agenda Setting;
• Formation;
• Adoption;
• Implementation;
• Evaluation.
3. Analisis Kebijakan Publik
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk
membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-
masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi
berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang
berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan
kepada pihak pembuat kebijakan.
Dalam hubungan ini, William Dunn (1998) mendefinisikan analisis
kebijakan sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai
macam metodologi penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan
mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan
dalam lingkungan politik tertentu untuk memecahkan masalah-masalah
kebijakan. Dalam analisis kebijakan publik tersebut terdapat dua aspek yang
sangat penting yaitu aspek informasi yang relevan dengan kebijakan (policy
relevant information) dan aspek metodologi atau prosedur dalam menganalisis
kebijakan. Informasi yang relevan bagi analisis kebijakan publik (policy relevant
information) meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
• Policy problem. Informasi ini menyangkut pertanyaan masalah apa yang
dihadapi? Jawaban pertanyaan ini yang akan memberikan informasi tentang
masalah-masalah kebijakan.
16
• Policy alternative / policy future. Informasi ini menyangkut pertanyaan
alternatif-alternatif apakah yang tersedia untuk memecahkan masalah
tersebut, dan apakah memungkinkan untuk masa depan? Jawaban
pertanyaan ini memberikan informasi tentang kebijakan di masa depan.
• Policy action. Informasi ini menyangkut pertanyaan alternatif-alternatif
tindakan apakah yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut?
Jawaban pertanyaan tersebut akan memberikan informasi tentang tindakan-
tindakan kebijakan.
• Policy performance. Informasi ini menyangkut pertanyaan bagaimana nilai
atau tujuan yang dicapai dari hasil-hasil kebijakan tersebut dalam
memecahkan masalah. Jawaban dari pertanyaan tersebut akan memberikan
informasi tentang kinerja kebijakan.
• Policy outcome. Informasi ini menyangkut pertanyaan kebijakan-kebijakan
apa yang telah dibuat untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, baik
pada masa sekarang maupun masa lalu dan hasil-hasil apakah yang telah
dicapai. Jawaban dari pertanyaan ini akan memberikan informasi tentang
hasil-hasil dari kebijakan.
Sementara itu, Patton and Sawicki dalam bukunya yang berjudul Basic
Methods of Policy Analysis and Planning (Prentice-Hall, New Jersey), yang
membagi analisis kebijakan menjadi 6 (enam) langkah sebagai berikut:
• Menentukan atau mendefinisikan masalah kebijakan dengan cara
menganalisis data dan informasi yang relevan dengan masalah tersebut
(Defining the problem by analyzing the data and the information gathered).
• Mengidentifikasikan atau mengembangkan kriteria-kriteria untuk pemecahan
masalah. Dalam hal ini, seorang pengambil kebijakan harus memperhatikan
faktor-faktor terkait sebelum memutuskan sesuatu (Identifying the decision
criteria that will be important in solving the problem. The decision maker must
determine the relevant factors to take into account when making the
decision).
17
• Membuat daftar alternatif yang akan dipilih sebagai kebijakan terbaik dalam
menyelesaikan masalah kebijakan (A brief list of the possible alternatives
must be generated; these could succeed to resolve the problem).
• Melakukan analisis dan evaluasi terhadap setiap kriteria yang dikembangkan,
dengan memberikan bobot terhadap setiap kriteria (A critical analyses and
evaluation of each criterion is brought through. For example strength and
weakness tables of each alternative are drawn and used for comparative
basis. The decision maker then weights the previously identified criteria in
order to give the alternative policies a correct priority in the decision).
• Melakukan evaluasi terhadap setiap alternatif berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan, untuk kemudian memilih alternatif terbaik sebagai kebijakan
terpilih (The decision-maker evaluates each alternative against the criteria
and selects the preferred alternative).
• Menjalankan kebijakan yang telah dipilih (The policy is brought through).
Dalam membuat atau melakukan analisis kebijakan publik, terdapat
beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan, yakni:
• Fokus pada kriteria pokok permasalahan (Learn to focus quickly on the
central decision criterion of the problem).
• Pikirkan jenis-jenis tindakan kebijakan yang layak dipilih untuk menyelesaikan
pokok masalah tadi (Think about the types of policy actions that can be
taken).
• Hindari pendekatan bongkar pasang dalam proses analisis (Avoid the tool-
box approach to analyzing policy).
• Siap dengan hal-hal yang tidak terduga (Learn to deal with uncertainty).
• Manfaatkan data-data numerik dan statistik (Say it with numbers).
• Lakukan analisis sesederhana dan setransparan mungkin (Make the analysis
simple and transparent).
• Periksa dan konfirmasi fakta-fakta yang mendukung analisis (Check the
facts).
• Berikan analisis dan alternatif-alternatif kepada pelanggan, bukan keputusan
(Give the client analysis, not decisions).
18
• Tidak ada kebenaran yang absolut, paling rasional, atau analisis yang paling
lengkap (Be aware that there is no such thing as an absolutely correct,
rational, and complete analysis).
4. Jenis dan Bentuk Kebijakan Publik
Jenis dan bentuk kebijakan publik sangat beragam tergantung dari pakar
yang menyusun klasifikasi maupun karakteristik kebijakan tersebut. James
Anderson, misalnya, membedakan kebijakan publik menjadi dua, yakni kebijakan
substantive dan kebijakan procedural. Substantive policy adalah kebijakan dilihat
dari subtansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah; sedangkan procedural
policy adalah kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam
perumusannya (policy stakeholders).
Selain itu, dilihat dari tujuan atau fungsinya, kebijakan publik dapat dibagi
menjadi tiga macam, yakni:
a. Distributive policy, yaitu kebijakan yang mengatur tentang pemberian
pelayanan kepada individu-individu atau kelompok tertentu.
b. Redistributive policy, yaitu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan
alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-hak tertentu.
c. Regulatory Policy, yaitu kebijakan yang mengatur tentang pembatasan atau
pelarangan terhadap perbuatan/ tindakan tertentu.
Kebijakan publik juga bisa dilihat dari lingkup pengaturannya. Dalam hal
ini, Public Goods Policy adalah kebijakan yang mengatur tentang penyediaan
barang dan pelayanan untuk kepentingan orang banyak. Sedangkan Private
Goods Policy adalah kebijakan yg mengatur tentang penyediaan barang dan
pelayanan untuk kepentingan perorangan di pasar bebas, dengan imbalan biaya
tertentu.
Adapun bentuk kebijakan publik secara umum dapat dibedakan menjadi
tiga, yakni kebijakan publik yang bersifat mengatur dan berlaku umum (regeling),
kebijakan publik yang bersifat menetapkan dan berlaku secara individual
(beschikking atau verwaltungsakt), serta kebijakan publik yang berisi kegiatan
nyata pemerintah (feitelijke rechtshandelingen).
19
Bentuk kebijakan publik yang ketiga ini sangat berhubungan dengan
definisi kebijakan yang menyatakan bahwa kebijakan publik menyangkut pula
sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Artinya, meskipun pemerintah
tidak berbuat sesuatu (misalnya tidak mengeluarkan ijin yang dimohon oleh
seseorang), sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu secara nyata. Namun ada
pula yang berpendapat bahwa perbuatan nyata bukan termasuk dalam
perbuatan hukum karena tidak mengakibatkan munculnya akibat-akibat hukum,
seperti dalam hal menghadiri undangan, memasang pengumuman, meresmikan
undangan, dan sebagainya. Dalam perspektif kebijakan publik, perbuatan yang
dilakukan (aparat) pemerintah meski tidak menimbulkan akibat hukum, tetap
masuk dalam kategori kebijakan publik.
Bentuk kebijakan publik yang pertama dan kedua, yakni regeling dan
beschikking, meskipun sama-sama berupa dokumen hukum yang tertulis, namun
memiliki perbedaan yang cukup mendasar, seperti terlihat pada Tabel berikut.
Tabel 2.2. Perbedaan Karakteristik Peraturan (Regeling) dan Keputusan
(Beschikking).
Peraturan (Regeling) Keputusan (Beschikking)
Bersifat mengatur (regulatory) Bersifat menetapkan (declaratory, executory)
Bersifat umum, baik substansi / materi maupun subyeknya.
Bersifat konkrit (materinya), dan individual (subyeknya)
Bertingkat (Tata Urut) Tidak Bertingkat
Judicial Review ke MK (untuk UU), atau MA (dibawah UU)
Gugatan ke PTUN atau Upaya Administratif melalui Atasan.
B. Kebijakan Publik dan Kinerjanya Secara Umum
Eksistensi negara beserta lembaga pemerintahan pada hakekatnya
dimaksudkan untuk meningkatkan derajat hidup warga negara sekaligus
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dalam rangka mewujudkan hal
tersebut, pemerintah memiliki instrumen yang disebut sebagai kebijakan publik
20
(public policy). Dengan demikian, kebijakan publik adalah instrumen yang dimiliki
oleh negara kesejahteraan (welfare state) untuk menjamin kehidupan warganya
secara lebih baik.
Kebijakan Publik dapat pula dipandang sebagai seperangkat tata nilai yang
dibuat dan dikeluarkan oleh pemerintah sebagai pedoman perilaku bagi masyarakat
dan aparat pemerintah. Atau dengan kata lain, kebijakan publik adalah sebuah
instrumen yang dimiliki oleh negara untuk menjalankan fungsinya memberikan
pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan warga negara. Hal ini sesuai dengan
pengertian yang paling lazim tentang kebijakan, yakni segala sesuatu yang
dilakukan maupun yang tidak dilakukan oleh pemerintah (whatever the governments
choose to do or not to do). Sedangkan output dari kebijakan adalah serangkaian
tindakan yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi
sekaligus mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Oleh karena kebijakan merupakan instrumen untuk melayani dan
membangun kesejahteraan publik, maka harus dijamin bahwa kebijakan tadi benar-
benar dibuat melalui proses dan analisis yang cermat serta dengan menetapkan
target atau tujuan-tujuan yang rasional dan sesuai kebutuhan masyarakat.
Kegagalan dalam mengidentifikasikan tujuan kebijakan serta proses formulasi yang
tepat, akan berdampak pada kegagalan implementasi kebijakan itu sendiri.
Dalam kenyataannya, harus diakui bahwa perangkat kebijakan yang ada
belum mampu mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Kemiskinan dan angka pengangguran
masih menjadi masalah besar dan membentuk lingkaran setan (vicious circle).
Pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar juga belum merata dan belum
berkontribusi signifikan pada Indeks Pembangunan Manusia (human development
index) Indonesia sebesar 0.734 pada tahun 2009, dan berada pada peringkat ke
111 dari 182 negara, atau berada dalam kategori menengah seperti tahun
sebelumnya (UNDP, Mengatasi Hambatan: Mobilitas Manusia dan Pembangunan,
2009).
Sementara itu pada sektor pemerintahan, Indonesia memperoleh skor
efektivitas (government effectiveness) sebesar -0,43 pada tahun 2004 dan
21
meningkat menjadi -0,29 pada tahun 2008. Perkembangan skor ini memperlihatkan
adanya kemajuan kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintah meskipun belum
signifikan dan masih kalah jauh dibanding negara lain, termasuk negara-negara di
Asia Tenggara (Daniel Kaufman, Aart Kray, Massimo Mastruzzi, Governance
Matters VIII: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996-2008).
Selanjutnya dalam hal doing business, peringkat Indonesia cenderung
membaik namun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia
masih tertinggal. Salah satu parameter kemudahan berusaha adalah jumlah hari
yang dibutuhkan untuk memulai usaha yang di Indonesia membutuhkan waktu lima
kali lebih lama dibanding dengan Malaysia. Dalam hal ini, pada tahun 2010
Indonesia berada di peringkat ke 122 dari 183 negara, membaik dari peringkat 129
di tahun sebelumnya (International Finance Corporation, Bank Dunia, 2009).
Fakta diatas mengilustrasikan bahwa kinerja kebijakan publik di tanah air
dewasa ini masih kurang memuaskan. Tentu saja, banyak faktor yang dapat
menyebabkan kondisi tersebut, baik pada tataran internal maupun eksternal. Namun
diantara berbagai kemungkinan penyebabnya, dapat diasumsikan bahwa kualitas
kebijakan publik sendiri relatif masih rendah. Di tingkat daerah, rendahnya kualitas
kebijakan ini antara lain dapat dilihat dari banyaknya Peraturan Daerah (Perda)
bermasalah. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada periode 2001-
2008, Kementerian ini telah mengevaluasi 1.121 Raperda, dan 67% di antaranya
dibatalkan (Kompas, 12/12/2008). Perda yang dibatalkan sebagian besar soal
pungutan, dimana dari 11.401 perda, 15% di antaranya di sektor perhubungan, 13%
pertanian, 13% industri dan perdagangan, dan 11% kehutanan (Kompas,
12/12/2008).
Data terbaru Kementerian Dalam Negeri tentang pembatalan Perda
sebagaimana terlihat dalam Tabel 2.3. dibawah ini mengilustrasikan bahwa hasrat
memproduksi aneka ragam Perda tentang pungutan bukannya semakin berkurang,
namun justru semakin menjadi-jadi.
22
Table 2.3. Jumlah Perda yang Dibatalkan Pemerintah Pusat Berdasarkan Tahun
Tahun Jumlah Perda
yang Dibatalkan
Tahun Jumlah Perda yang
Dibatalkan
2002 19 2007 173 2003 105 2008 229
2004 236 2009 876
2005 126 2010 407 2006 114 2011 (Maret) 114
Sumber: Kementerian Dalam Negeri (2011, diolah)
Sementara di tingkat pusat, lemahnya kebijakan publik misalnya dapat terlihat
dari cukup banyaknya permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang
kepada Mahkamah Konstitusi. Periode 2003-2009, MK telah menerima 247
permohonan Uji Materi terhadap UU, dan 58 diantaranya dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945. Sedangkan pada tahun lalu, terdapat 78 permohonan dan 14
diantaranya dikabulkan. Menyikapi banyaknya permohonan uji materi ini, Ketua MK
bahkan menyatakan bahwa banyaknya ketentuan perundangan yang dinyatakan
inkonstitusional menunjukkan kemampuan legislasi anggota DPR rendah (Refleksi
Kinerja MK, 29/12/2009).
C. Kajian Kebijakan dan Kondisinya
Secara normatif, peran atau kontribusi program dan kelembagaan
litbang/kajian terhadap proses pengambilan keputusan strategis pemerintahan, telah
mendapat pengakuan yang cukup luas. Artinya, segala bentuk peraturan
perundang-undangan baik di Pusat maupun di Daerah secara ideal baru dapat
ditetapkan dan/atau dijalankan setelah melalui proses pengkajian yang matang dan
mendalam. Hal ini antara lain diperkuat oleh pendapat Dukeshire dan Thurlow
(Understanding the Link between Research and Policy, 2002) yang menyatakan
bahwa kajian kebijakan akan memberi pengetahuan dan pemahaman tentang
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan, sehingga
membantu dalam mengenali masalah-masalah yang ada di tengah masyarakat,
23
sekaligus membangun ide-ide konstruktif untuk mengembangkan rencana dan aksi
kebijakan yang diperlukan.3
Namun dalam prakteknya, pemanfaatan program dan kelembagaan litbang
masih sangat minimal dalam menunjang formulasi kebijakan bidang tertentu hingga
ke tahap implementasinya. Dengan kata lain, proses formulasi dan implementasi
kebijakan pembangunan di Indonesia pada umumnya dan di daerah pada
khususnya, belum didasarkan pada sebuah analisa akademis yang dapat
dipertanggungjawabkan (research-based policy).
Dampak logis dari situasi diatas adalah bahwa unit litbang/kajian belum
mampu menjadi garda terdepan dalam proses pengambilan keputusan dan
perumusan kebijakan pembangunan instansi pemerintah. Padahal, di era globalisasi
dan kemajuan teknologi informasi saat ini, perubahan kebijakan dan lingkungan
strategis aparatur serta dinamika kehidupan sektor publik dan privat berlangsung
begitu cepat. Hal ini tentu saja mensyaratkan perlu adanya sebuah kajian
komprehensif atau multidimensional yang berfungsi untuk membuat antisipasi
terhadap suatu kondisi, prediksi terhadap suatu trend, serta formulasi kebijakan
terhadap suatu pengaturan bidang tertentu. Dalam konteks seperti inilah, fungsi
perencanaan litbang/kajian dalam proses pengambilan keputusan dan/atau
perumusan kebijakan politis maupun administratif menjadi sangat penting, dan
sangat menentukan efektif tidaknya suatu kebijakan.
Kelemahan diatas diperparah dengan kurang terjalinnya network dan
koordinasi yang sinergis antara instansi teknis sektoral dengan lembaga litbang di
pusat maupun di daerah, serta antar lembaga litbang sendiri. Hal inilah yang
menyebabkan program kajian/litbang masih bersifat parsial atau piecemeal, dan
tidak terpadu dalam kerangka pembangunan daerah / wilayah yang komprehensif,
inklusif, saling terkait, dan berkesinambungan. Padahal, meskipun setiap institusi
kajian memiliki visi misi dan program yang spesifik sesuai Tupoksinya masing-
masing, namun visi misi dan program tadi seyogyanya mengarah pada tujuan akhir
yang sama, yakni meningkatnya daya saing daerah dan kesejahteraan masyarakat
3 Untuk referensi lain tentang kaitan antara riset dengan kebijakan, lihat Dickson, Geri L. and Linda Flynn,
2008, Nursing Policy Research: Turning Evidence-Based Research Into Health Policy, Springer Publishing Company, LLC, New York
24
yang lebih baik, melalui formulasi dan implementasi kebijakan (lintas sektor dan
lintas departemen) yang smart, visioner, valid, serta berdayaguna dan berhasilguna.
Gambaran keadaan diatas, tentu saja, menjadi tantangan tersendiri bagi
komunitas kelitbangan untuk memperbaiki manajemen internal di lembaga masing-
masing, baik menyangkut aspek metodologis, kemampuan tenaga peneliti, maupun
kecermatan atau keakurasian dalam mengidentifikasikan kebutuhan program
kajian/litbang. Dengan kata lain, smart development policy hanya dapat diwujudkan
jika terdapat sinergitas dan kohesivitas yang solid antar institusi litbang sebagai
think tank manajemen kebijakan dan pembangunan nasional dan daerah.
Oleh sebab itu, adanya kebijakan yang didasarkan pada hasil kajian
(research-based policy), atau kebijakan yang dirumuskan dengan memperhatikan
bukti-bukti nyata (evidence-based policy), sangat perlu untuk dibudayakan. Dengan
research-based policy, sebuah kebijakan hanya layak diimplementasikan apabila
telah mengalami telaah akademis melalui kajian yang komprehensif dan teruji.
Dengan evidence-based policy, sebuah kebijakan akan dibuat dan dilaksanakan
apabila fakta-fakta obyektif memang menuntut untuk itu. Dengan kata lain, kedua
hal ini diharapkan dapat menghindari jebakan kebijakan berupa symbolic policy.
D. Permasalahan Umum Manajemen Kajian di LAN dan Peran PKMK-LAN Dalam
Peningkatan Kualitas Kebijakan
1. Permasalahan Manajemen Kajian di LAN Secara Umum
Secara umum, manajemen kajian di lingkungan LAN (baik Pusat Kajian di
pusat maupun PKP2A) masih menghadapi beberapa permasalahan sebagai
berikut:
� Belum ada sebuah “Meta Model” yg menjelaskan posisi dan kontribusi
masing-masing Pusat Kajian dalam membangun SANKRI. Saat ini terdapat
indikasi adanya kegiatan yang overlap, tidak sinergis, berjalan secara
divergen. Jika kajian dikelola dengan meta model, maka akan tercapai
kondisi “parties become known to each other”, sehingga masing-masing unit
25
kajian dengan seperangkat kegiatannya dapat saling melengkapi, saling
mengisi kekurangan, dan saling mengkonfirmasi.
� Indikasi ketidakjelasan wilayah substansi antar unit kajian di LAN. Sebagai
contoh, Otda yang dijalankan oleh PKKOD adalah tentang Kebijakan;
Manajemen Pelayanan yang menjadi domein PKMP adalah juga Kebijakan.
Demikian pula issu kelembagaan dan SDA yang dilaksanakan oleh PKKK
dan PKKSDA selalu menyentuh soal kebijakan. Dengan demikian, secara
substansi, PKMK dapat masuk ke substansi pusat-pusat kajian lainnya,
begitu pula sebaliknya. Ketika batas-batas wilayah substansi antar unit kajian
tidak teridentifikasikan secara jelas, maka berpotensi menimbulkan ragam
interpretasi, yang pada akhirnya menjadikan hasil kajian LAN kurang
meyakinkan, bahkan bagi internal LAN sendiri.
Dalam menyikapi kondisi tersebut, maka perlu dibangun konsensus antar
unit kajian menyangkut wilayah substansi, inter-linkages antar unit; target
capaian masing-masing, dan sebagainya. Dalam hal ini, salah satu instrumen
yang menjanjikan untuk mengeliminasi permasalahan yang ada, sekaligus
mempertajam manajemen dan hasil-hasil kajian LAN, adalah Renstra Litbang
Administrasi. Renstra Litbang Administrasi ini merupakan manifestasi dari
seluruh Renstra Deputi Kajian atau Pusat Kajian dan mensinergikan menjadi
sebuah framework besar Litbang Administrasi.
Selain itu, pemetaan batas-batas tanggungjawab substansial serta
hubungan relasional antar unit kajian juga perlu dikembangkan. Dalam hal ini,
sebagai sebuah usulan, model relasional antara PKMK dengan unit kajian lain
secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut.
26
Gambar 2.1.
Hubungan Antara Kajian Manajemen Kebijakan dengan Kajian Substantif Lain di Lingkungan LAN
Pola hubungan (pattern of interaction) dari gambar diatas dapat
dikembangkan lebih lanjut dalam beberapa opsi, yakni:
� Hubungan Umum – Khusus: PKMK general (makro/messo); kajian lain
spesifik (messo/mikro).
� Hubungan Stratifikasi Kebijakan: PKMK level Konstitusi & UU; kajian lain
level UU dan kebijakan dibawahnya.
� Hubungan Hulu – Hilir: PKMK pada tahap formulasi; kajian lain pada
implementasi.
� Hubungan Filosofis: PKMK ontologi dan epistemologi; kajian lain aksiologi.
� Hubungan Skala Kebijakan: PKMK multiple (multi sektor, multi disiplin, muti
pendekatan), kajian lain single.
2. Peran PKMK-LAN Dalam Peningkatan Kualitas Kebijakan
Sebagaimana disinggung diatas, kajian kebijakan yang dilakukan oleh
PKMK haruslah berkontribusi secara positif terhadap peningkatan kualitas
kebijakan publik. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut, maka program kajian
kebijakan harus ditempatkan dalam kerangka sistem kebijakan itu sendiri.
27
Program kajian Pusat KMK jelas tidak mampu menyentuh keseluruhan
tahapan dalam proses analisis kebijakan. Disamping LAN, masih terdapat
banyak pihak lain yang berkepentingan terhadap kebijakan (policy stakeholder),
sehingga sudah cukup ideal apabila PKMK dapat melakukan telaahan/kajian
yang mendalam pada tahap perencanaan kebijakan (yakni dalam penyusunan
naskah akademis), serta tahap evaluasi terhadap implementasi kebijakan. Jika
kedua tahap dalam proses kebijakan ini dapat dikaji secara matang, diyakini
akan memberi sumbangan signifikan terhadap pencapaian kinerja kebijakan
publik yang jauh lebih baik dimasa mendatang.
Gambar dibawah ini memberi ilustrasi tentang posisi dan peran program
kajian PKMK dalam konstelasi dan konfigurasi sistem kebijakan publik.
Gambar 2.2.
Peran dan Posisi Program Kajian Pusat PKMK-LAN Dalam Konstelasi Kebijakan Publik
28
E. Upaya Restorasi Kajian Manajemen Kebijakan
Dalam rangka penguatan manajemen kajian di lingkungan PKMK LAN di
masa mendatang, program yang direncanakan dan metodologi yang diterapkan
akan diarahkan pada terselenggaranya penelitian/kajian kebijakan (policy research
atau policy studies). Dalam hal ini, kajian kebijakan didefinisikan sebagai:
“Policy Research is a special type of research that can provide communities and decision-makers with useful recommendations and possible actions for resolving fundamental problems. It provides policy-makers with pragmatic, action-oriented recommendations for addressing an issue, question, or problem. The primary focus of policy research is linked to the public policy” (Majchrzak, “Technical analysis”, in Methods For Policy Research, Sage: Beverly Hills, 1984: 3). Paling tidak, ada 4 (empat) produk dari kajian kebijakan yang dihasilkan LAN
pada umumnya dan PKMK-LAN pada khususnya, yakni:
� Policy Paper, yakni naskah akademik berisi analisis terhadap permasalahan dan
berbagai alternatif solusinya.
� Policy Recommendation, yakni hasil analisis yg telah mempertimbangkan
berbagai aspek (positif dan negatif) dan memberi pilihan / opsi kebijakan bagi
policy makers sesuai prioritasnya.
� Policy Actions, yakni agenda yang harus dijabarkan oleh instansi/aparat
pemerintah lengkap dengan kerangka kerja implementasinya.
� Policy Draft / Legal Draft, yakni konsep pengaturan dalam format tertentu sesuai
jenis, tingkatan maupun kepentingan.
Jika kajian kebijakan dapat dikelola dengan baik, maka akan melahirkan
kebijakan yang berkualitas. Dan jika kebijakan publik memiliki kualitas tinggi, maka
akan dihasilkan outcomes berupa peningkatan kinerja pemerintah. Akhirnya, jika
kinerja pemerintah meningkat, maka tujuan, mandat, dan cita-cita yang tertuang
dalam Konstitusi, yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat akan semakin mudah
tercapai. Pola pikir ini secara sederhana dapat digambarkan dalam skema sebagai
berikut:
29
Gambar 2.3.
Urgensi Kajian Kebijakan Dalam Meningkatkan Kualitas Kebijakan Publik dan Mewujudkan Cita-Cita Konstitusi
30
BAB III
INSTRUMEN ANALISIS
A. Analisis Kebijakan (Policy Analisys)
Sesungguhnya banyak sekali tools atau instrument yang dapat dipilih untuk
melakukan analisis kebijakan. Namun dalam konteks penulisan KTP-2 ini hanya
akan difokuskan pada beberapa tools, yakni teori gunung es (iceberg theory) dari
Maani dan Canava, agenda setting dari James Anderson, policy system dari
Mustopadidjaja, serta problem formulation dari William Dunn.
1. Iceberg (Gunung Es) Maani and Canava
Teori gunung es (Iceberg Theory) yang dikembangkan oleh Maani and
Canava (2000) ini sangat penting untuk memberikan pemahaman tentang
masalah yang dihadapi sebuah organisasi, apakah termasuk masalah
simptomatik yang berada di permukaan, ataukah masalah fundamental yang sulit
dikenali karena hanya menampakkan gejala saja. Dengan memahami jenis-jenis
masalah, maka akan dapat ditentukan jenis tindakan yang diperlukan untuk
merespon masalah tersebut, apakah dibutuhkan tindakan yang bersifat reaktif,
responsif, generatif, ataukah fundamental. Selain itu, dengan kemampuan untuk
membedakan antara gejala dengan masalah yang sesungguhnya, maka akan
dapat dilakukan pemecahan masalah yang efektif sekaligus dihindari
kemungkinan terjadinya “kesalahan tipe ketiga”, yakni memecahkan masalah
yang salah.
2. Agenda Setting James Anderson
Agenda setting atau agenda formation sendiri pada hakekatnya memuat
masalah kebijakan, untuk kemudian ditetapkan menjadi masalah institusional
(istilah Anderson) atau masalah formal (istilah Dunn). Gambar dibawah ini
mengilustrasikan adanya kemiripan tahapan dalam analisis masalah model
Anderson dan model Dunn.
31
Gambar 3.1.
Perbandingan Tahap Perumusan Masalah Menurut James Anderson dan William Dunn
Menurut Anderson, proses agenda setting dimulai dengan
mengidentifikasi masalah individual (private problem) yang dilanjutkan dengan
mengidentifikasi masalah kolektif (public problem). Private problem sendiri
didefinisikan sebagai problems that have a limited effect, being of concern only to
one or a few persons who are directly involved (masalah yang memiliki efek
terbatas hanya pada satu atau beberapa orang saja); sedangkan public problem
diartikan sebagai those that have a broad effect, including consequences for
persons not directly involved (masalah yang memiiki efek luas, termasuk
konsekuensi bagi orang yang tidak terkait langsung dengan masalah tersebut).
Selanjutnya, public problems ini dikonversikan ke dalam Issue, yakni
suatu kondisi perbedaan pendapat yang ditemui di tengah masyarakat tentang
solusi dalam menangani masalah. Dari issue, masalah kebijakan mengalir ke
systemic agenda dan terakhir ke dalam institutional agenda. Systemic agenda
adalah semua issu yang dirasakan oleh masyarakat, yang patut mendapat
perhatian publik dan issu tersebut memang berada dalam yurisdiksi kewenangan
pemerintah.
32
3. Policy System Mustopadidjaja
Menurut William Dunn, sistem kebijakan terdiri dari tiga komponen dasar,
yakni lingkungan kebijakan, pelaku kebijakan, serta kebijakan publik itu sendiri.
Tiga komponen ini oleh Mustopadidjaja dilengkapi dengan satu komponen lagi
yakni kelompok sasaran (target groups). Keempat komponen inilah yang
membentuk sebuah sistem kebijakan.
Sebagai konsekuensi dari sebuah sistem, maka masalah-masalah yang
dirumuskan diatas pada hakekatnya memiliki keterkaitan dengan elemen
kebijakan lainnya seperti pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan, kelompok
sasaran, serta kebijakan publik itu sendiri. Artinya, masalah institusional yang
telah berhasil dirumuskan pada dasarnya hidup dalam sebuah milieu atau
lingkungan kebijakan yang sangat dinamis, dan oleh karena itu harus mendapat
perhatian sepenuhnya dalam proses perumusan hingga implementasi kebijakan
publik.
Gambar 3.2. Sistem Kebijakan (Kombinasi William Dunn dan Mustopadidjaja)
4. Problem Formulation William Dunn
Analisis kebijakan model William Dunn sering dikenal sebagai analisis
yang berpusat pada masalah (problem centric). Tahap perumusan masalah
menyita porsi yang cukup besar dari keseluruhan rangkaian proses analisis
kebijakan. Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika kemudian muncul sebuah
adagium bahwa jika perumusan masalah benar, maka 50% pemecahan masalah
telah tercapai.
33
Langkah awal dalam perumusan masalah adalah dengan mengenali
situasi atau mengenali masalah. Pengenalan situasi ini akan menghasilkan
situasi masalah. Dari situasi masalah kemudian dikembangkan dengan proses
pencarian masalah yang lebih detil dan membentuk sebuah meta masalah.
Dengan demikian, meta masalah adalah masalah diatas masalah, atau dikenal
juga sebagai “tumpukan masalah yang belum terstruktur”. Dari meta masalah ini
dilakukan pendefinisian atau pengklasifikasian masalah, sehingga menghasilkan
masalah substantif. Dari sejumlah masalah substantif yang ada, kemudian
ditentukan beberapa masalah yang akan segera ditangani sesuai dengan
kemampuan pemerintah, yang disebut dengan masalah formal.
Dari masalah formal yang telah ditemukan melalui teknik perumusan
masalah, kemudian ditentukan kebijakan publik yang diyakini mampu
memecahkan masalah tersebut serta tujuan yang diharapkan atau target yang
harus dicapai dengan ditempuhnya kebijakan tersebut. Selain itu, seiring dengan
tujuan yang ditetapkan, perlu pula dirumuskan ramalan masa depan dan dampak
yang mungkin timbul dari diimplementasikannya kebijakan publik tersebut.
Dalam bentuk siklus, model perumusan masalah William Dunn dapat
dilihat sebagai berikut.
Gambar 3.3. Tahap/Teknik Perumusan Masalah (William Dunn)
34
B. Analisis Manajemen Strategis
Sebagaimana dalam analisis kebijakan publik, teknik analisis manajemen
strategis juga memiliki beberapa tools atau instrument, yang tidak mungkin dipilih
semuanya dalam penulisan KTP-2 ini. Oleh karena itu, penulis hanya ingin
memaparkan beberapa saja yang dinilai memiliki relevansi dengan Tupoksi serta
visi misi PKMK-LAN, yakni analisis SWOT, Scenario Planning dan Balanced
Scorecard.
1. SWOT
Analisis SWOT merupakan suatu proses kreatif dalam merencanakan
strategi, kebijakan dan program-program kerja suatu organisasi – atau unit
organisasi – dengan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan internal dan
eksternal organisasi tersebut, baik pada sisi positif maupun sisi negatifnya.
Dengan kata lain, analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan/organisasi, dengan cara
memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun pada saat bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan dan ancaman (Freddy Rangkuti, 1997: 19).
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan mengidentifikasi
faktor-faktor lingkungan stratejik organisasi, baik internal maupun eksternal.
Selanjutnya, terhadap faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi
diatas, dilakukan analisis dengan memberi pembobotan untuk menentukan
kekuatan relatif faktor-faktor tersebut dalam pencapaian visi misi organisasi.
Langkah berikutnya adalah memadukan, mengintegrasikan, atau
menginteraksikan antar faktor lingkungan strategis atau kekuatan kunci
keberhasilan, dalam rangka merumuskan kesatuan arah dan sinergi dalam
mencapai tujuan organisasi. Teknik menginteraksikan faktor-faktor kunci
keberhasilan ini akan menghasilkan asumsi strategi yang dapat dirumuskan
dalam empat quadran SWOT yakni:
a. Asumsi Strategi Ekspansi (quadran 1), yakni interaksi antara faktor kekuatan
dan faktor peluang, yang bersifat agresif/ekspansif dan cenderung
Institusional agenda yang telah berhasil dirumuskan diatas pada dasarnya
hidup dalam sebuah milieu atau lingkungan kebijakan yang sangat dinamis, serta
memiliki keterkaitan dengan elemen kebijakan lainnya seperti pelaku kebijakan,
lingkungan kebijakan, kelompok sasaran, serta kebijakan publik itu sendiri.
Dalam hal ini, lingkungan kebijakan dicirikan oleh banyaknya
permasalahan dalam bidang pengembangan SDM, tingkat kemanfaatan hasil
kajian yang rendah, kontribusi kajian terhadap kualitas kebijakan publik yang
juga masih lemah, dan sebagainya. Dengan karakter lingkungan seperti itu,
maka pelaku kebijakan (policy actor) harus benar-benar dapat mencermatinya,
agar dapat dihasilkan kebijakan publik yang akurat.
Dalam hal ini, kebijakan publik yang dianggap tepat untuk mengatasi
masalah formal yang ada adalah melalui peningkatan kapasitas SDM (capacity
building), pembentukan forum koordinasi yang lebih permanen, serta
penyusunan dokumen perencanaan kebutuhan kajian dengan memperhatikan
kebutuhan pelanggan (stakeholder).
Secara diagramatis, program penguatan manajemen kajian kebijakan
dalam perspektif sistem kebijakan dapat dilihat sebagai berikut:
41
Gambar 4.3.
Program Penguatan Manajemen Kajian Kebijakan Dalam Perspektif Sistem Kebijakan
4. Perumusan Masalah / Pengkajian Persoalan
Sebagaimana telah dipaparkan pada Bab III, teknik perumusan masalah
model William Dunn dimulai dari pengenalan situasi yang menghasilkan situasi
masalah, kemudian dilanjutkan dengan pencarian masalah yang lebih detil dan
membentuk meta masalah. Dari sini dilakukan pendefinisian/pengklasifikasian
masalah yang menghasilkan masalah substantif, untuk selanjutnya ditetapkan
beberapa masalah yang perlu segera diatasi/dipecahkan sesuai dengan
kemampuan dan batas wewenang instansi pemerintah (masalah formal).
Dalam konteks substansi pembahasan judul dari KTP-2 ini, maka rincian
permasalahan yang dihadapi PKMK-LAN dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 4.1. Perumusan Masalah PKMK-LAN
Situasi Masalah
Meta Masalah Masalah Substantif Masalah Formal
Rendahnya kualitas kebijakan publik
• Kebijakan publik belum didasarkan pada hasil kajian;
• Hasil kajian masih
Aspek Politik:
• Kebijakan publik belum didasarkan pada hasil kajian;
• Program pengembang-an SDM Peneliti (termasuk
42
diragukan kualitasnya sehingga sering diabaikan dalam perumusan kebijakan;
• Produk kajian masih terbatas baik jumlah maupun medianya, dan sering kurang up-to-date;
• Perencanaan kebutuhan kajian kebijakan belum dilakukan;
• Penggunaan metodologi belum optimal;
• Kapasitas SDM, terutama peneliti masih kurang, baik jumlah maupun kompetensi;
• Program pengembangan SDM Peneliti (termasuk diklat fungsional) sangat minim;
• Kesejahteraan peneliti masih sangat rendah;
• Koordinasi antar lembaga kajian belum berjalan sinergis;
• Belum ada stakeholder meeting atau forum komunikasi yang permanen dengan pelanggan;
• Anggaran kajian terbatas sehingga mengurang coverage populasi (daerah, instansi, maupun responden) yang dibutuhkan;
• Belum adanya standar pengukuran kualitas hasil kajian dan standar kemanfaatannya.
• Belum terinternalisasikannya shared vision dalam membangun kajian yang profesional.
• Hasil kajian masih diragukan kualitasnya sehingga sering diabaikan dalam perumusan kebijakan.
Aspek Ekonomi/ Anggaran:
• Anggaran kajian terbatas sehingga mengurang coverage populasi (daerah, instansi, maupun responden) yang dibutuhkan;
• Kesejahteraan peneliti masih sangat rendah.
Aspek SDM:
• Kapasitas SDM, terutama peneliti masih kurang, baik jumlah maupun kompetensi;
• Program pengembangan SDM Peneliti (termasuk diklat fungsional) sangat minim;
• Belum terinternalisasikannya shared vision dalam membangun kajian yang profesional.
Aspek Manajerial:
• Perencanaan kebutuhan kajian kebijakan belum dilakukan;
• Penggunaan metodologi belum optimal;
• Koordinasi antar lembaga kajian belum berjalan sinergis;
• Belum adanya standar pengukuran kualitas hasil kajian dan standar kemanfaatannya;
• Belum ada stakeholder meeting atau forum komunikasi yang permanen dengan pelanggan;
• Produk kajian masih terbatas baik jumlah maupun medianya, dan sering kurang up-to-date.
diklat fungsional) sangat minim;
• Koordinasi antar lembaga kajian belum berjalan sinergis;
• Perencanaan kebutuhan kajian kebijakan belum dilakukan.
43
5. Penetapan Tujuan dan Peramalan Kebijakan
Dari masalah formal yang telah diperoleh dari formulasi masalah diatas,
selanjutnya dituangkan kedalam matriks yang berisi kebijakan publik yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah formal, tujuan kebijakan, serta
ramalan masa depan dan dampak kebijakan.
Tabel 4.2. Penetapan Tujuan dan Peramalan Kebijakan Publik
No Masalah Formal
Kebijakan Publik
Tujuan KP Ramalan Masa
Depan KP Dampak Kebijakan
1 2 3 4 5 6
1 Program pe-ngembangan SDM Peneliti (termasuk diklat fungsional) sangat minim.
Peningkatan kapasitas SDM
Meningkatnya kapasitas SDM baik dalam hal knowledge maupun skill.
Kemampuan SDM relatif meningkat seiring meningkatnya program pengembangan SDM
Pada jangka panjang akan memberi efek meningkatkan produktivitas organisasi, namun pada jangka pendek membutuhkan investasi besar
2 Koordinasi antar lembaga kajian belum berjalan sinergis.
Pembentu-kan dan/atau penye-lenggaraan forum koordinasi/ stakeholder meeting.
Tercapainya harmonissasi program dan hasil kajian antar lembaga kajian dan terwujudnya percepatan upaya diseminasi dan difusi kebijakan.
Jika seluruh institusi kajian memiliki kesadaran yang sama, maka koordinasi dan sinergi akan semakin baik / meningkat.
Kualitas hasil kajian akan lebih meningkat, investasi kajian akan lebih murah, sementara animo dan kepercayaan publik (stakeholders) semakin tinggi terhadap kajian kebijakan.
3 Perencanaan kebutuhan kajian kebijakan belum dilakukan.
Tersedianya dokumen perencanaan yang sesuai kebutuhan stakeholder dan menjadi rujukan dalam penyusunan program kerja tahunan.
Gap antara produk kajian kebijakan dengan permintaan dan kebutuhan stakeholder akan berkurang sehingga kontribusi dan kemanfaatan kajian kebijakan makin nyata bagi perumusan kebijakan publik.
Mengendalikan jumlah Perda yang bermasalah dan menjaga iklim usaha tetap kondusif
44
B. Analisis Manajemen Strategis
1. Analisis Lingkungan Strategis (SWOT)
Secara sekilas, pada Bab Pendahuluan telah disinggung beberapa
masalah yang merefleksikan kelemahan (weaknesses) PKMK-LAN. Selain
kelemahan, PKMK-LAN juga memiliki faktor internal yang positif atau faktor
kekuatan (strengths), seperti komitmen dan kualitas SDM yang cukup baik,
didukung oleh sarana kerja yang sangat memadai dan budaya kerja yang
berorientasi pada kualitas. PKMK-LAN juga memiliki kekuatan besar berupa
modal pengalaman organisasi dalam bidang kajian maupun perkonsultasian
lingkup administrasi negara.
Sementara itu, PKMK-LAN juga menghadapi peluang (opportunities) dan
ancaman atau tantangan (threats). Peluang yang dapat diidentifikasikan antara
lain harapan dan kepercayaan stakeholders terhadap LAN pada umumnya dan
kepada PKMK-LAN pada khususnya. Apresiasi dari berbagai pihak, permintaan
terhadap hasil-hasil kajian, trend positif konsultasi yang diberikan, serta
undangan sebagai nara sumber dari berbagai instansi, menggambarkan tingkat
kredibilitas PKMK-LAN secara kualitatif dimata pelanggan. Peluang lain adalah
perkembangan issu-issu kebijakan yang sangat dinamis dan menuntut respon
yang cepat dan akurat dari segenap tim PKMK-LAN. Issu-issu tadi merupakan
bidang garapan yang potensial untuk diangkat sebagai program kerja PKMK-
LAN sekaligus mengokohkan peran PKMK-LAN selaku pemikir (think tank) bagi
konseptualisasi kebijakan nasional. Peluang ini masih ditambah lagi dengan
adanya praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik sehingga
dapat dijadikan sebagai contoh untuk direplikasikan di daerah atau instansi
lainnya.
Pada saat yang sama, PKMK-LAN juga menghadapi tantangan, misalnya
masih sering dijumpainya tumpang tindih wewenang dan tupoksi antar instansi
dan citra buruk birokrasi di mata masyarakat. Dengan adanya tantangan
tersebut, tugas pemerintah (termasuk LAN cq. PKMK-LAN) akan semakin berat
45
untuk membuktikan kepada publik bahwa pemerintah benar-benar telah
menjalankan fungsinya secara optimal dalam melayani masyarakat.
Secara detil, faktor-faktor lingkungan strategis PKMK-LAN dapat dilihat
pada gambar sebagai berikut:
Gambar 4.4.
Identifikasi Faktor Lingkungan Strategis PKMK-LAN
Selanjutnya, terhadap faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi
diatas, dilakukan analisis dengan memberi pembobotan untuk menentukan
kekuatan relatif faktor-faktor tersebut dalam pencapaian visi misi PKMK-LAN.
Analisis faktor internal dan eksternal PKMK-LAN selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel sebagai berikut:
46
Tabel 4.3. Analisis Faktor Internal (KAFI) dan Eksternal (KAFE) PKMK-LAN
kompetensi SDM internal, baik kuantitas maupun kualitas.
2. Terwujudnya peningkatan budaya kerja yang lebih disiplin, efektif dan berorientasi mutu.
3. Tersusunnya kembali Renstra dan Renja yang lebih obyektif, berorientasi masa depan, serta mampu menampung dinamika lingkungan strategis.
50
Langkah terakhir adalah menentukan tujuan organisasi yang diperoleh
dari interaksi antara FKK dengan Tugas Pokok. Dari persilangan tersebut dapat
dirumuskan tujuan PKMK-LAN sebagai berikut:
Tabel 4.8. Perumusan Tujuan PKMK-LAN
FKK
Tugas Pokok Organisasi
1. Terwujudnya peningkatan kapasitas / kompetensi
SDM internal, baik kuantitas maupun kualitas.
2. Terwujudnya peningkatan budaya kerja yang lebih disiplin, efektif dan berorientasi mutu.
3. Tersusunnya kembali Renstra dan Renja yg lebih obyektif, berorientasi masa depan, serta mampu menampung dinamika lingkungan strategis.
Melaksanakan penyusunan rencana, penelaahan kebijakan, pengkajian, dan evaluasi pelaksanaan program kajian manajemen kebijakan dan pembangunan, manajemen perekonomian negara, serta pemberian bantuan teknis dan administratif kepada Pusat dan kelompok jabatan fungsional di lingkungannya. (Peraturan Kepala LAN No. 4/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja LAN)
TUJUAN:
1. Meningkatkan kapasitas / kompetensi SDM guna memperkuat kualitas produk kajian dan meningkatkan kontribusi kajian kebijakan terhadap peningkatan kualitas kebijakan publik.
2. Memperkokoh budaya kerja untuk menciptakan prakondisi dan lingkungan yang ideal (enabling) bagi terselenggaranya manajemen kajian yang efektif, serta budaya pelayanan yang maksimal.
3. Mempertajam perencanaan yang berfungsi sebagai masterplan program kajian kebijakan yang berorientasi pemecahan masalah, berpikir kedepan (forward looking), serta memenuhi kebutuhan stakeholders.
Ketiga tujuan tersebut, jika dilihat dari kriteria kemanfaatan (benefitable),
kemungkinan pencapaiannya (achievable), urgensi terhadap pencapaian visi
misi (importancy), serta kemudahan dalam mengukur kinerjanya secara
kuantitatif (numerical), bisa dikatakan memenuhi. Dengan kata lain, tujuan
tersebut memang merupakan suatu kondisi ideal yang harus diwujudkan untuk
merealisasikan visi dan misi serta tupoksi organisasi, dalam hal ini PKMK-LAN.
51
2. Scenario Planning Dipadukan dengan Systems Thinking
Langkah awal dalam scenario planning adalah menentukan focal concern
(FC) dan driving forve (DF). Dalam konteks penulisan KTP-2 ini, FC yang
diangkat sama dengan judul kertas kerja, yakni peningkatan kualitas kebijakan
publik melalui penguatan manajemen dan produk kajian. Adapun DF dirumuskan
dari asumsi strategi yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya dengan
analisis SWOT.
Adapun perubahan bahasa asumsi strategi ke driving force dapat dilihat
sebagai berikut:
Tabel 4.9. Driving Force PKMK-LAN
Asumsi Strategi Driving Force
Kembangkan kapasitas / kompetensi SDM internal, khususnya Peneliti.
Kapasitas SDM.
Tingkatkan budaya kerja efektif dan lingkungan kerja yg makin kondusif.
Budaya kerja dan lingkungan kerja.
Tingkatkan frekuensi dan jenis layanan. Frekuensi dan jenis layanan.
Lakukan penajaman atau redefinisi visi dan misi organisasi.
Redefinisi visi dan misi organisasi.
Lakukan survey harapan dan persepsi pelanggan.
Survey pelanggan.
Kembangkan network / sistem jaringan kerja horizontal dan vertikal.
Network / jaringan kerja.
Ciptakan sistem informasi manajemen kelitbangan (website dll).
Susun ulang Renstra dan Renja yang lebih cermat dan akurat.
Revisi Renstra dan Renja.
Selanjutnya, dilakukan evaluasi dan penilaian DF, baik dengan teknik
linier ataupun non-linier. Evaluasi dan penilaian driving force PKMK-LAN dengan
teknik linier dapat dilihat sebagai berikut:
52
Tabel 4.10. Evaluasi dan Penilaian Driving Force PKMK-LAN Dengan Teknik
Linier
Aspek DF Bobot Impor-
tant Uncer-tainty
Skor Rank
SDM Kapasitas SDM. 20 4 3 240 3
Budaya kerja. 10 3 3 90 5
KLB Redefinisi visi/misi organisasi. 10 3 4 120 4
Revisi Renstra dan Renja. 5 4 2 40 8
KTL
Network / jaringan kerja. 5 3 3 45 6
SIM kelitbangan. 5 2 3 30 10
Konsolidasi internal. 5 3 2 30 9
Koordinasi eksternal. 5 3 3 45 7
YAN Survey pelanggan. 15 4 4 240 2
Frekuensi dan jenis layanan. 20 4 4 320 1
Catatan: SDM (Sumber Daya Manusia); KLB (Kelembagaan); KTL (Ketatalaksanaan); YAN (Pelayanan)
Selain teknik linier, evaluasi dan penilaian driving force dapat pula
dilakukan secara non-linier, yakni dengan cara berpikir serba sistem (systems
thinking) menggunakan piranti CLD (causal loops diagram). Metode ini
merupakan pergeseran pola pikir linier ke pola pikir baru yang bersifat sistemik,
holistik, saling terkait (inter-connectedness), serta mengkombinasikan antara
berpikir analitikal dengan berpikir sintetikal. CLD sendiri merupakan cara yang
tepat dan efektif untuk menggambarkan secara ringkas pernyataan penyebab
(causes) dan mengidentifikasikan proses-proses balikan (Sumber: LAN, Modul
1.A-2, hal. 93).
Adapun evaluasi dan penilaian driving force PKMK-LAN dengan teknik
non-linier dapat dilihat sebagai berikut:
53
Gambar 4.5.
Evaluasi dan Penilaian Driving Force PKMK-LAN Dengan Teknik Non-linier
Dari analisis CLD diatas kemudian dihitung jumlah loops yang
mencerminkan variabel pengungkit sebagai berikut:
Tabel 4.11. Analisis Leverage PKMK-LAN
No Variabel Jumlah Loops Ranking
1 Kapasitas SDM. 29/125 1
2 Budaya kerja. 16/71 6
3 Redefinisi visi/misi organisasi. 19/91 3
4 Revisi Renstra dan Renja. 12/63 9
5 Network / jaringan kerja. 13/65 7
6 SIM kelitbangan. 5/18 10
7 Konsolidasi internal. 19/89 5
8 Koordinasi eksternal. 12/64 8
9 Survey pelanggan. 19/89 4
10 Frekuensi dan jenis layanan. 22/96 2
"Kapasitas
SDM"
"Budaya
Kerja"
S
S
R1
"Konsolidasi
Internal"
"Koordinasi
Eksternal"
S
S
S
"Networking /
Jaringan Kerja
"SIM
Kelitbangan"
S
S
S
R2
S
S
R3
"Redefinisi
Visi / Misi"
"Revisi Renstra /
Renja"
S
S
S
R4
S
"Survey
Pelanggan"
"Frekuensi &
Jenis Layanan"S
SS
S
S
O
B5
O
B6
S
S
R7
54
Dari perbandingan analisis linier dan non-linier diatas terlihat adanya
kemiripan hasil, dimana variabel terdapat empat variabel yang menduduki
peringkat teratas, yakni kapasitas SDM, frekuensi dan jenis layanan, redefinisi
visi/misi organisasi, serta survey pelanggan. Keempat variabel inilah yang
merupakan leverage di PKMK-LAN, yang secara skematik dapat digambarkan
sebagai berikut:
Leverage 1: Kapasitas SDM
Leverage 2: Frekuensi dan Jenis Layanan
"Kapasitas SDM"
"Budaya Kerja"("Kapasitas SDM")
"Redefinisi Visi / Misi"
"Frekuensi & Jenis Layanan"("Kapasitas SDM")
"Survey Pelanggan"
"Konsolidasi Internal"("Budaya Kerja")
("Frekuensi & Jenis Layanan")
"Koordinasi Eksternal" "Networking / Jaringan Kerja
"Frekuensi & Jenis Layanan"
"Kapasitas SDM"
"Budaya Kerja"
("Frekuensi & Jenis Layanan")
"Konsolidasi Internal"
"Koordinasi Eksternal"
"Survey Pelanggan"
("Frekuensi & Jenis Layanan")
("Konsolidasi Internal")
"Redefinisi Visi / Misi"
"Revisi Renstra / Renja"
55
Leverage 3: Redefinisi Visi dan Misi Organisasi
Leverage 4: Survey Pelanggan
Dikaitkan dengan hasil analisis sebelumnya, baik analisis kebijakan
maupun analisis SWOT, maka nampak adanya keselarasan hasil analisis.
Persandingan dan perbandingan hasil analisis dengan teknik Analisis Kebijakan,
Analisis SWOT, dan Analisis Scenario Planning di PKMK-LAN, dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
"Redefinisi Visi / Misi"
"Budaya Kerja"("Kapasitas SDM")
("Redefinisi Visi / Misi")
"Kapasitas SDM"
("Budaya Kerja")
"Frekuensi & Jenis Layanan"
"Konsolidasi Internal"
"Koordinasi Eksternal"
"Survey Pelanggan"
"Frekuensi & Jenis Layanan""Kapasitas SDM"
("Survey Pelanggan")
"Konsolidasi Internal""Budaya Kerja"
("Frekuensi & Jenis Layanan")
"Redefinisi Visi / Misi"("Budaya Kerja")
("Kapasitas SDM")
"Revisi Renstra / Renja"("Kapasitas SDM")
("Redefinisi Visi / Misi")
56
Tabel 4.12. Persandingan Tujuan dan Leverage Utama PKMK-LAN Berdasarkan
Hasil Analisis Kebijakan Publik, SWOT, dan Scenario Planning
3 Tujuan PKMK-LAN Hasil Analisis
Kebijakan Publik
3 Tujuan PKMK-LAN Hasil Analisis SWOT
3 Leverage PKMK-LAN Hasil Analisis Scenario Planning
Meningkatnya kapasitas SDM khususnya Peneliti baik dalam hal knowledge maupun skill.
Meningkatkan kapasitas / kompetensi SDM khususnya Peneliti, guna memperkuat kualitas produk kajian dan meningkatkan kontribusi kajian kebijakan terhadap peningkatan kualitas kebijakan publik.
Pengembangan kapasitas / kompetensi SDM internal, khususnya Peneliti.
Tercapainya harmonisasi program dan hasil kajian antar lembaga kajian serta terwujudnya percepatan upaya diseminasi dan difusi kebijakan.
Memperkokoh budaya kerja untuk menciptakan prakondisi dan lingkungan yang ideal (enabling) bagi terselenggaranya manajemen kajian yang efektif, serta budaya pelayanan yang maksimal.
Peningkatan frekuensi dan jenis layanan.
Tersedianya dokumen perencanaan yang sesuai kebutuhan stakeholder dan menjadi rujukan dalam penyusunan program kerja tahunan.
Mempertajam perencanaan yang berfungsi sebagai masterplan program kajian kebijakan yang berorientasi pemecahan masalah, berpikir kedepan (forward looking), serta memenuhi kebutuhan stakeholders.
Redefinisi visi dan misi organisasi
Sementara itu, dari keempat leverage yang ditemukan dari analisis
scenario planning tadi, dua leverage teratas, yakni Kapasitas SDM dan
Frekuensi dan Jenis Layanan adalah Driving Force Pengungkit, dan akan dipilih
untuk menyusun skenario. Variabel “kapasitas SDM” akan ditempatkan pada
sumbu Y, sedangkan variabel “frekuensi dan jenis layanan” akan berada pada
sumbu X, dan masing-masing memiliki titik ekstrim negatif (kiri, bawah) dan titik
ekstrim positif (kanan, atas).
Adapun skenario pelayanan kajian kebijakan di PKMK-LAN dapat
digambarkan dalam metafora sebagai berikut:
57
Gambar 4.6.
Skenario Pelayanan Kajian Kebijakan di PKMK-LAN
Dari metafora diatas dapat diuraikan lebih detil ciri-ciri kunci skenario pada
masing-masing quadran sebagai berikut:
• Ketika PKMK-LAN menempati quadran 1, maka akan muncul sebagai sosok
“pahlawan”. Dalam kondisi seperti ini, maka akan tercapai sebuah
keseimbangan antara teori, konsep, dan model-model kebijakan dengan
aplikasinya. Dengan keseimbangan tersebut, maka program konsultasi dan
advokasi yang ditawarkan PKMK-LAN juga akan sangat optimal. Selain itu,
hasil kajian PKMK-LAN akan menjadi opsi konkrit pemecahan masalah yang
selalu dinantikan oleh seluruh stakeholders.
• Ketika PKMK-LAN menempati quadran 2, maka akan muncul sebagai sosok
“pembohong”. Pada situasi ini, hasil kajian PKMK-LAN tidak sesuai dan tidak
menjawab kebutuhan stakeholders, yang salah satunya disebabkan karena
ketidakmampuan SDM dalam merespon permintaan stakeholders. PKMK-
58
LAN seolah hidup di ruang hampa, dan tidak mampu berinteraksi dengan
lingkungannya. Produk kajian PKMK-LAN menjadi sia-sia karena tidak
mendapat dukungan dan kepercayaan dari penggunanya.
• Ketika PKMK-LAN menempati quadran 3, maka akan muncul sebagai sosok
“pencuri”. Situasinya mirip pada quadran 2 dimana hasil kajian PKMK-LAN
ditolak oleh stakeholders, serta merosotnya kepercayaan publik sehingga
peran lembaga sebagai think tank menjadi sangat minim. Dengan peran yang
minim tadi, maka terjadi kerugian material serta pemborosan sumber daya
negara, terutama anggaran yang dibelanjakan untuk membiayai program
kajian.
• Ketika PKMK-LAN menempati quadran 4, maka akan muncul sebagai sosok
“pemimpi”. Dalam keadaan seperti ini, sesungguhnya PKMK-LAN mampu
menghasilkan banyak karya yang bermutu, serta kaya dengan konsep-
konsep terobosan, namun tidak dapat diimplementasikan dengan sempurna.
Akibatnya, wacana melampaui aplikasi, diskusi mengalahkan praktek,
sementara produk kajian melimpah, namun advokasi minim. Dalam keadaan
seperti itu, PKMK-LAN menjelma menjadi sosok menara gading yang
memamerkan kemegahan namun sulit terjangkau oleh pihak lain.
Secara diagramatis, ciri-ciri detil pada masing-masing quadran dapat
digambarkan sebagai berikut:
59
Gambar 4.7.
Ciri-Ciri Kunci Skenario Pelayanan Kajian Kebijakan di PKMK-LAN
Secara naratif, ciri-ciri detil pada masing-masing quadran dapat pula
dipaparkan sebagai berikut:
Tabel 4.13. Narasi Skenario Pelayanan Kajian Kebijakan di PKMK-LAN
KUADRAN Q NARASI
I Q-1 Jika frekuensi dan jenis layanan yang diberikan banyak dan didukung dengan kapasitas SDM yang tinggi, maka dapat terwujud peran organisasi (PKMK-LAN) yang optimal dalam pembenahan manajemen kebijakan.
II Q-2 Jika frekuensi dan jenis layanan tinggi namun tidak didukung dengan SDM yang memadai, maka produk layanan PKMK-LAN dapat dipastikan tidak berbobot dan tidak dapat dijadikan sebagai referensi dalam pemecahan masalah kebijakan tertentu.
Q-4
• Banyak berwacana, kurang aplikasi.
• Kaya konsep, tidak ada implementasi.
• Produk kajian melimpah, advokasi minim.
Q-1
• Keseimbangan antara konsep dengan aplikasi.
• Program konsultasi & advokasi optimal.
• Hasil kajian menjadi opsi konkrit pemecahan masalah.
Q-3
• Hasil kajian ditolak oleh stakeholders.
• Terjadi pemborosan anggaran negara.
• Kepercayaan publik merosot & peran lembaga sangat minim.
Q-2
• Hasil kajian tidak sesuai kebutuhan stakeholders.
• SDM tidak mampu memenuhi permintaan stakeholders.
SDM ++
SDM --
P
E
L
A
Y
A
N
A
N
+
+
P
E
L
A
Y
A
N
A
N
–
–
+
60
III Q-3 Jika frekuensi dan jenis layanan rendah, sementara kapasitas SDM juga rendah, maka PKMK-LAN akan ditinggalkan oleh mitra dan stakeholders-nya. Program yang dijalankan juga tidak akan memberi kontribusi positif, bahkan menjadi pemborosan terhadap sumber daya (anggaran) negara.
IV Q-4 Jika kapasitas SDM tinggi sementara frekuensi dan jenis layanan rendah, maka akan menjadikan PKMK-LAN sebagai “menara gading” yang banyak berwacana dan banyak menghasilkan konsep / publikasi namun tidak dapat diimplementasikan dalam realita.
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa PKMK-LAN memiliki 10
variabel penting yang harus dicermati dalam pelaksanaan Tupoksi maupun Visi
dan Misinya. Diantara ke-10 variabel tersebut, kapasitas SDM dan frekuensi dan
jenis layanan merupakan dua variabel utama yang berfungsi sebagai pengungkit
(leverage) keberhasilan organisasi. Kedua variabel ini melengkapi hasil analisis
yang telah dilakukan sebelumnya dengan piranti SWOT serta Analisis Kebijakan.
61
BAB V
REKOMENDASI DAN RENCANA AKSI
A. Rekomendasi
Atas dasar analisis pada Bab IV diatas, dapat dirumuskan rekomendasi awal
sebagai berikut:
a. PKMK-LAN harus memberi perhatian serius untuk membenahi aspek-aspek atau
variabel yang diidentifikasikan sebagai pengungkit utama kinerja unit. Dalam hal
ini, dua upaya prioritas adalah: 1) pembangunan kapasitas SDM, khususnya
fungsional Peneliti, dan 2) penyusunan Renstra, termasuk penajaman rencana
operasional dan redefinisi visi dan misi. Jika kedua upaya ini tidak dilakukan,
maka pada jangka panjang akan menjadi bumerang buat organisasi PKMK-LAN
karena tidak akan mampu merespon kebutuhan dan tuntutan stakeholders-nya.
Perlu diketahui bahwa upaya pada butir pertama sangat dibutuhkan PKMK-LAN,
namun kewenangannya berada pada Sekretariat Utama, sedangkan PKMK-LAN
hanya dapat mengusulkan program pengembangan SDM Peneliti. Untuk
itu,dalam KTP-2 ini hanya akan disusun rencana aksi untuk butir yang kedua,
yakni penyusunan Rencana Strategis.
b. Disamping itu, dengan telah terpetakannya faktor-faktor lingkungan strategis,
maka PKMK-LAN sudah dapat menentukan strategi yang harus dilakukan baik
pada jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, strategi ini harus
dimonitor secara regular, dan jika perlu dilakukan penyesuaian seiring dengan
dinamika lingkungan yang cenderung terus bergerak, bahkan bergejolak
(turbulent). Ketepatan dalam merumuskan strategi jangka pendek dan panjang
ini akan memberikan jaminan yang lebih besar bagi PKMK-LAN untuk mencapai
kinerja yang diharapkan (expected performance).
Rekomendasi tersebut pada gilirannya akan dikembangkan kedalam rencana
aksi yang lebih konkrit, sehingga kinerja organisasi dapat terukur secara lebih
obyektif dan akurat. Jika kinerja organisasi (cq. PKMK-LAN) dapat
62
dipertanggungjawabkan secara akademik maupun administratif, maka diyakini dapat
memberi kontribusi yang signifikan terhadap upaya peningkatan kualitas kebijakan
publik secara keseluruhan.
B. Rencana Aksi
Dari rekomendasi diatas, maka “Penyusunan Rencana Strategis” akan
dijabarkan lebih lanjut kedalam rencana aksi. Dalam sebuah rencana aksi, terdapat
lima kriteria yang harus dipenuhi, yakni SMART (Specific, Measurable, Achievable,
Relevant, dan Timely). Dengan kelima kriteria tersebut, maka rencana aksi
penyusunan rencana strategis PKMK-LAN dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
Tabel 5.1. Kriteria Rencana Aksi PKMK-LAN
Specific • Pembentukan Tim;
• Rangkaian rapat dan diskusi; • Penyusunan draft Renstra;
• Paparan / expose draft;
• Revisi dan finalisasi draft.
Measurable • Dilaksanakan oleh seluruh staf di unit PKMK-LAN;
• Melibatkan beberapa nara sumber dari unit kerja terkait; • Durasi pelaksanaan 1 tahun anggaran;
Achievable • Sangat dibutuhkan sebagai pedoman dalam penyusunan program kerja tahunan;
• Didukung oleh komitmen penuh dan kesamaan visi diantara staf PKMK-LAN.
Relevant • Merupakan bagian tak terpisahkan dari Renstra lembaga dan Renstra Kedeputian;
• Merupakan bagian dari tanggungjawab selaku Kepala PKMK-LAN.
• Merupakan produk pembelajaran pada Diklatpim II yang perlu dimonitor pelaksaimplementasi dan progress-nya.
Timely • Durasi 1 tahun cukup ideal karena tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lama, sehingga diharapkan hasilnya bisa optimal.
• Disesuaikan dengan siklus anggaran tahunan.
Dengan kriteria tersebut, selanjutnya ditetapkan matriks rencana aksi sebagai