Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai mahluk sosial (zoon politicon), manusia dalam berinteraksi satu sama lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan (conflict of interest) di antara mereka. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu terhadap pihak lain. Konflik-konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah, hukum diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi. Sebagaimana sebuah ungkapan "ubi societas ibi ius" atau di mana ada masyarakat, maka di situ perlu hukum. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia, tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat dialah yang menang. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya. Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, maka di negara hukum seperti Indonesia 1 , diperlukan adanya suatu institusi yang dinamakan kekuasaan kehakiman (judicative 1 Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga agar hak-haknya sebagai warga Negara dan hak-hak asasi manusianya terjamin.
153

Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Oct 28, 2015

Download

Documents

LisanHal

Hukum
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai mahluk sosial (zoon politicon), manusia dalam berinteraksi satu sama

lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan

(conflict of interest) di antara mereka. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan

kerugian, karena biasanya disertai pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu

terhadap pihak lain. Konflik-konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu

saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan

seperti itulah, hukum diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi.

Sebagaimana sebuah ungkapan "ubi societas ibi ius" atau di mana ada masyarakat,

maka di situ perlu hukum. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur

kehidupan manusia, tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat

dialah yang menang. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia

dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.

Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, maka di negara hukum

seperti Indonesia1, diperlukan adanya suatu institusi yang dinamakan kekuasaan

kehakiman (judicative power). Kekuasaan kehakiman dalam praktik diselenggarakan

oleh badan-badan peradilan negara. Adapun tugas pokok badan peradilan adalah

memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan

oleh masyarakat pencari keadilan, selain mengawasi berlakunya peraturan perundang-

undangan yang berlaku (ius constitutum).

Di Indonesia, ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman secara konstitusional

diatur dalam Bab IX, Pasal 24,24A, 24B, 24C dan 25 UUD 1945 hasil amandemen

MPR ke empat. Hasil amandemen tersebut telah mengubah struktur kekuasaan

kehakiman, karena di samping Mahkamah Agung juga terdapat lembaga kekuasaan

kehakiman yang baru, yaitu Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) menyebutkan:

"Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

1 Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga agar hak-haknya sebagai warga Negara dan hak-hak asasi manusianya terjamin.

Page 2: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

peradilan agama, lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,

dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.2 Adapun

calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat

untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh

Presiden3. Pengadilan sebagai kekuasaan kehakiman, harus merdeka dari kekuasaan

eksekutif. Tujuan utama kebebasan dari pengaruh dan kekuasaan eksekutif,

mempunyai dua sasaran pokok:

1. untuk menjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil (to ensures a fair and

just trial);

2. agar peradilan mampu berperan mengawasi semua tindakan pemerintahan (to

enable the judges to exercise control over government action).4

Dalam kekuasaan yudikatif di Indonesia arah kebijakan hukum Garis-garis

Besar Haluan Negara 1999-2004 menegaskan adanya perwujudan lembaga peradilan

yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun,

menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka serta

bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Arahan dan kebijakan tersebut sesuai dengan

ciri-ciri khas dari suatu negara hukum yaitu:

a. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung

persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;

b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi

oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga;

c. legalitas dalam segala bentuknya.5

Selain itu cita-cita menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri

merupakan cita-cita universal sebagaimana ditegaskan dalam "Basic Principles on the

Independence of the Judiciary" (1985) yang telah merupakan salah satu keputusan

Kongres PBB ke-7, tentang The Prevention of Crime and Treatment of Offenders,

2 Lihat: Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen.3 Lihat: Pasal 24 A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen. Lebih lanjut tentang kedudukan dan kewenangan Komisi Yudisial dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.4 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 5.5 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Jakarta: Sunar Grafika, 1992), hlm.3.

Page 3: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Milan, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi -40/32 tanggal 29

November 1985 dan 40/146 tanggal 13 Desember 1985).

Resolusi tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas,

merdeka dan mandiri adalah suatu proses peradilan yang bebas dari setiap

pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak proporsional, hasutan-

hasutan, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman atau campur-tangan secara langsung

atau tidak langsung dari setiap sudut kemasyarakatan atau dengan alasan apapun.6

Independensi dari lembaga peradilan juga harus diikuti dengan kemandirian hakim,

karena hakim merupakan penentu dalam proses peradilan.7

Hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dituntut untuk menghasilkan

putusan yang bermuatan asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan dan sekaligus juga

menciptakan hukum yang hidup (the living law). Untuk menciptakan hukum yang

hidup ini, maka peranan hakim sangat strategis dalam upaya pembentukan hukum

atau dengan istilah lain penemuan hukum.8

Sejalan dengan hal ini, Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, dalam Pasal 27 ayat (1) menentukan bahwa:

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Ketentuan ini terus

dipertahankan sampai dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-undang Nomor 4

Tahun 2004, dimana dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan: “Hakim dan hakim konstitusi

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.”

Pemenuhan rasa keadilan merupakan kunci dari seluruh rangkaian penegakan

hukum, sehingga hukum dapat dirasakan kemanfaatannya dan secara umum hukum

menjadi sarana pembangunan. Aspek kemanfaatan yang tersebut belakangan ini,

digambarkan oleh Roscue Pond sebagai berikut: “ law as tool of social engineering”,

yang artinya hukum dapat digunakan sebagai suatu sarana pembaharuan (untuk

membentuk, membangun, merubah), hukum sebagai sarana rekayasa sosial.9

6 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Cet I (Depok: BP STIH “IBLAM”, 2004), hlm.6.7 Ibid, hlm.13.8 Achmad Ali Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Gunung Agung Tbk, 2002), hlm.25.9 W. Friedman, Legal Theory, Dalam Naskah Akademis Tentang Peradilan Anak, Mahkamah Agung RI, Tahun 2005, hlm.8.

Page 4: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Oleh karena itulah pentingnya hukum untuk dibangun agar hukum dapat

benar-benar menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat sebagaimana

yang diharapkan. Dalam hal ini, hukum dapat berperan sebagai objek pembangunan

dalam rangka mewujudkan hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di

masyarakat. Tetapi juga hukum dapat menjadi subjek pembangunan manakala hukum

itu telah berfungsi di masyarakat sebagai penggerak dan pengaman pembangunan dan

hasil-hasilnya. Problem utama dan mendasar dalam rangka penyelesaian konflik yang

terjadi adalah menyangkut tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan

pelaksanaan penegakan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundang-

undangannya harusnya adil, akan tetapi kenyataannya seringkali tidak. 10

Politik hukum peradilan Indonesia, mengarah kepada pencapaian

keseimbangan antara asas keadilan dan asas kepastian hukum, khususnya dalam

perkara perdata. Sejalan dengan hal ini, Zainuddin Mappong mengatakan:11

“Tujuan penggugat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan pada intinya adalah untuk mengembalikan hak miliknya yang dikuasai pihak lain sesuai ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Upaya untuk mengembalikan hak milik penggugat tersebut berkaitan dengan penerapan hukum yang berdasarkan kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Untuk mencapai keseimbangan kedua hal itu, maka pembangunan hukum dan sistem peradilan Indonesia terutama kualitas dan profesional aparatnya haruslah dilakukan secara bersamaan.”

Dalam praktek di dunia pengadillan, kadang ditemukan prinsip keadilan bagi

individu dikalahkan dengan prinsip kepastian hukum, yang menjadi mahkota bukan

keadilan akan tetapi kepastian hukum.12 Hal yang sama juga dikatakan oleh Zainuddin

Mappong, sebagai berikut:13

“Dalam perjalannya, ternyata pembangunan hukum dan peningkatan kualitas serta professional aparat peradilan belum sanggup menciptakan kepastian

10 Bagi kaum non dogmatik hukum bukan sekedar undang-undang, antara lain dapat kita lihat dari apa yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich, bahwa: “…that law depends on popular acceptance and that each group creates its own living law which alone has creative force”. (hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana di dalamnya masing-masing terkandung kekuatan kreatif). Lihat: Amstrong Sembiring: http://publikana.com. Diakses tanggal 20 Januari 2013, Jam: 10:30 WIB.11 Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta: Proses Gugatan dan Tata Cara Membuat Putusan serta Pelaksanaan Eksekusi dalam Perkara Perdata, Cet. I (Malang: Tunggal Mandiri Publishing, 2010), hlm.512 Padahal dalam setiap putusan, wajib diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai makna bahwa hukum harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam seluruh bagian keputusan, keadilan harus di atas yang lainnya termasuk atas kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahapan konstantir, tahapan kualifiaksi, dan tahapan konstituir.13 Zainuddin Mappong, Op.Cit, hlm.5.

Page 5: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

hukum dan keadilan masyarakat, sehingga tujuan penggugat untuk mengembalikan hak miliknya yang dikuasai pihak lain dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan sulit menjadi kenyataan.“(garis bawah dari penulis)

Ketidakmampuan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum secara

bersamaan menimbulkan akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak

hukum dan kewibawaan lembaga pengadilan menjadi merosot. Kepastian hukum

memang sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam

masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan umum) mempunyai sifat

adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan

membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya dan sifat undang-

undang yang berlaku bagi siapa saja. Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir

manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk,

yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak

memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan

tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau

menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.14

Dalam prakteknya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka

akan kerapkali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan disuatu sisi

tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip- prinsip keadilan dan sebaliknya

tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian

apabila terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilanlah

yang harus diutamakan. Alasannya adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari

hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang

konkrit.15

Putusan pengadilan saja belum secara mutlak sudah menyelesaikan pokok

perkara secara tuntas, kecuali jika putusan tersebut telah dilaksanakan. Dalam hal ini,

dimaksudkan eksekusi belum atau tidak dapat dilakukan karena terdapat berbagai

14 Amstrong Sembiring: http://publikana.com, diakses tanggal 20 Februari 2013, jam: 21.50 WIB.15 Loc Cit.

Page 6: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

faktor yang menghalangi eksekusi16. Hampir setiap esksekusi yang akan dijalankan

akan dihadapkan kepada masalah-masalah baru yang mendadak muncul.

Berkenaan dengan hal ini Muhammad Yamin, menyatakan:17

“Banyak kalangan orang awam menyatakan bahwa putusan Pengadilan hanya di atas kertas saja, mungkin ratusan atau  ribuan jumlahnya, putusan Pengadilan Agama tidak terlaksana eksekusinya karena bermacam-macam sebab.“

Sejalan dengan Muhammad Yamin, Purwoto S Ganda Subrata, mengatakan:18

“Dalam praktek peradilan ternyata bahwa untuk mengeksekusi putusan pengadilan tidak jarang dijumpai hal-hal yang cukup memusingkan kepala Ketua Pengadilan Negeri sebagai pejabat yang memerintahkan eksekusi tersebut.”

Kalau pelaksanaan putusan perkara perdata tersebut tertunda atau tidak dapat

dilaksanakan tentu akan merugikan pencari keadilan sebagaimana terkandung dalam

ungkapan “justice delayed is justice denied” (keadilan yang diberikan terlambat atau

ditunda adalah sama dengan tidak atau sangkalnya keadilan itu).

Eksekusi merupakan bagian dan termasuk dalam Hukum Acara Perdata.

Hukum Acara Perdata meliput tiga  tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap

penentuan dan tahap pelaksanaan.19 Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan orang

bermaksud mendapatkan haknya, memperoleh kepastian hukum dan mengharapkan

16 Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tatacara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkadung dalam HIR atau RBG. Setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan perundang-undangan dalam HIR atau RBG. Lihat: M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 1. Pengertian eksekusi secara umum adalah pelaksanaan putusan hakim atau menjalankan putusan hakim. Adapun ketentuan mengenai pelaksanaan putusan atau eksekusi ini diatur dalam ketentuan Pasal 195 sampai dengan Pasal 200 HIR/Rbg. Pengertian eksekusi menurut R. Subekti dikatakan bahwa: “eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.”? Lihat: Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2000), hlm 12. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa “eksekusi adalah tindakan paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela”. Sejalan dengan pendapat tersebut adalah pendapat Sudikno Mertokusumo yang menyatakan “pelaksanaan putusan/eksekusi ialah realisasi daari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut”. Lihat: Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung : Mundur Maju, 1989), hlm 130.17    M. Yamin Awie, 2006, Permasalahan Sita dan Eksekusi, (Bangka Belitung: PPHIM, 2006 hlm.vii.18 Dalam Arry Mth. Soekowaty, Fungsi Relevansi Filsafat Hukum Bagi Rasa Keadilan Dalam Hukum Positif, Makalah Universitas Gadjah Mada, 2009, hlm.15.19 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm.8.

Page 7: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

manfaat dari putusan pengadilan yang mengabulkan gugatannya. Selanjutnya agar

dapat dipenuhi hak-hak seperti tertera dalam putusan pengadilan yang mengabulkan

gugatan tersebut, perlu tindak lanjut yang dikenal dengan permohonan pelaksanaan

putusan (eksekusi).

Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-haknya yang dirugikan

oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan hakim. Hal ini dapat tercapai jika

putusan hakim dapat dilaksanakan.20 Masalah putusan adalah masalah prestige dan

persoalan eksekusi adalah persoalan wibawa. Kegagalan eksekusi dengan sendirinya

akan merobek kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan kepada

pengadilan khususnya.21

Dalam hal ini, dapat menilai bahwa sudah sangat diperlukan adanya suatu

mekanisme baru yaitu mencari jalan tengah (win-win solution) antara pihak yang

tereksekusi yaitu pihak yang kalah dalam persidangan maupun pihak yang menang,

agar tercipta suatu keseimbangan yang harmonis antara para pihak. Artinya kedua

belah pihak dapat menerima dan sekaligus menjalankan putusan pengadilan tersebut.

Sejalan dengan ini Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji mengatakan bahwa

paradigma penyelesaian non-litigasi dalam mencapai konsensus dan berusaha

mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk

mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke arah win-win solution.22

Salah satu alternatif dalam menyelaraskan kepentingan para pihak, sekaligus

pencapaian asas keadilan dan kepastian hukum guna mengatasi permasalahan

persengketaan tersebut, maka lembaga perdamaian dalam bentuk mediasi menjadi

salah satu solusi.

Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menyikapi hal ini telah

mengeluarkan beberapa peraturan yang secara khusus mengatur keberadaan mediasi,

yang diharapkan menjadi jalan keluar atas permasalahan lambatnya proses

penyelesaian sengketa. Peraturan dimaksud berupa Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang merupakan

norma hukum yang menyempurnakan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama untuk

20 A. Muktiarto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.305.21 Muhammad Yamin Awie, Op.Cit, hlm.viii.22 Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009), hlm.128.

Page 8: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

mengoptimalkan lembaga damai menurut Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg yang

dipandang belum lengkap dan perlu disempurnakan agar mampu menyelesaikan

permasalahan yang terus berkembang. PERMA No.2 Tahun 2003 menjadikan mediasi

sebagai bagian integral dari proses beracara di pengadilan. Selanjutnya, pada saat ini

PERMA No.2 Tahun 2003 telah disempurnakan melalui Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 tahun 2008 (selanjutnya disebut dengan PERMA No.1 Tahun 2008).

Mediasi23 merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat

dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak

menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah

satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta

memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian

sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).24

Namun, disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat pada penyelesaian non

litigasi (mediasi), pikiran masyarakat Indonesia selama ini masih tetap terpola dengan

penggunaan penyelesaian litigasi untuk menyelesaikan sengketanya. Sehingga, apa

pun kondisinya, masyarakat tetap membawa sengketanya untuk diselesaikan melalui

lembaga peradilan.25

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau

mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan

memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah

23 Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris ”mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa penengah. Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 79. Istilah mediasi (mediation) pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Robert D. Benjamin (Director of Mediation and Conflict Management Service in St. Louis Missouri) menyatakan bahwa mediasi baru dikenal pada tahun 1970-an dan secara formal digunakan dalam proses alternatif dispute resolution/ADR di California, baru pada tahun ini istilah ADR secara resmi digunakan oleh American Bar Asociation (ABA) dengan cara membentuk sebuah komisi khusus untuk menyelesaikan sengketa. Lihat: Muhammad Saifullah, Sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia, dalam Mukhsin Jamil (Ed), Mengelola Konflik Membangun Damai (Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007), hlm.211. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara damai telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Pada masa kolonial Belanda, lembaga pengadilan diberikan kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa, kewenangan ini hanya terbatas pada kasus-kasus keluarga dan perdata pada umumnya, seperti perjanjian, jual beli, sewa menyewa, dan berbagai bisnis lainnya. Hakim diharapkan mengambil peran maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang bersengketa.Lihat: Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2009), hml.283 dan hlm.287.24 Lihat: Butir menimbang huruf a dan b PERMA No.1 Tahun 2008.25 Adi Sulistiyono, Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi Dalam Rangka Pemberdayaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, tahun 2002, hlm.4

Page 9: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai

dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada

paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama

proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari

para pihak.26

Jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi tercantum dalam Pasal

4 PERMA No. 1 Tahun 2008 menegaskan bahwa kecuali perkara yang diselesaikan

peradilan Niaga, pengadilan hubungannya industrial, kekuatan atas putusan Badan

26 Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut : Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara. Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika perkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir. Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. Singkat kata, dapat dikatakan bahwa PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian. Lihat: Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.

Page 10: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas

Persaingan usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat

pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui perdamaian dengan

bantuan mediator. Ketentuan wajib menempuh prosedur mediasi ditemui dalam Pasal

2 ayat (3) PERMA No.1 Tahun 2008, yang menyebutkan “tidak menempuh prosedur

mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap 130 HIR yang

mengakibatkan putusan batal demi hukum”.27

Dengan demikian ketentuan mengenai mediasi yang ada dalam PERMA

berlaku bagi perkara perdata yang digunakan ke Pengadilan tingkat pertama , karena

ruang lingkup perkara adalah perkara perdata maka PERMA ini menurut hemat

penulis, berlaku bagi lingkungan peradilan umum dan peradilan Agama. Hal ini

diperkuat dengan ketentuan lain-lain yaitu Pasal 16 yang menyatakan bahwa apabila

dipandang perlu, ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini selain dipergunakan dalam

lingkungan peradilan umum dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan

lainnya. Dengan kata lain, dapat ditegaskan bahwa mekanisme mediasi di peradilan

dapat pula diterapkan di lingkungan peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.

Namun, berlakunya PERMA No.1 Tahun 2008, masih menyisakan persoalan,

yakni belum mencakup mengenai lembaga mediasi yang diterapkan dalam

pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam eksekusi

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dihadapkan pada masalah tidak

tercapainya eksekusi oleh karena adanya hambatan sosiologis dalam pelaksanaannya

selain juga bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan menimbulkan konflik ketika

eksekusi dilaksanakan. Sejalan dengan hal ini Najamuddin, mengatakan:28

“Studi efektivitas mediasi dalam sistem peradilan (court annexed mediation/court annexed dispute resolution) di Indonesia sejak berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, dalam tataran teoritis dan praktis senantiasa memerlukan pengkajian yang lebih mendalam, terutama untuk tujuan yang lebih konprehensif.”

Pentingnya peranan mediasi terhadap penyelesaian sengketa eksekusi terhadap

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap didasarkan kepada aspek

kepastian dan kemanfaatan hukum bagi pihak yang bersengketa dengan pendekatan

win-win solution. Banyaknya perkara yang tidak dapat dilakukan eksekusi

27 PERMA 2003 tidak memberikan sanksi, sedangkan PERMA No.1 Tahun 2008 memberikan sanksi.28 Najamuddin, Permasalahan Mediasi Dalam Teori dan Praktek di Pengadilan Agama, http://www.badilag.net. Diakses tanggal 21 Februari 2013, Jam:21:10 WIB.

Page 11: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak terciptanya kemanfaatan hukum, untuk

itu mediasi menjadi solusi penyelesaian.

Terlepas dari berbagai permasalahan dalam tataran implementasi, mediasi

merupakan suatu upaya untuk mewujudkan peradilan yang memenuhi rasa keadilan.

Transformasi paradigma lama penyelesaian sengketa litigasi ke dalam paradigma baru

integrasi penyelesaian sengketa non litigasi dan litigasi masih dalam masa transisi

yang secara alamiah akan menemukan tempatnya yang dinamis, apabila diterapkan

secara konsisten dan konsekuen serta terus disempurnakan. Dalam kaitannya dengan

penulisan makalah Sistem Peradilan Indonesia, penulis memfokuskan pokok

kajiannya dalam hal penerapan lembaga mediasi yang dimaksud dalam

menyelesaikan permasalahan pelaksanaan eksekusi dengan sudut pandang penerapan

politik pembaharuan hukum dan kekuasaan kehakiman.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang di atas,

maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Mengapa banyak terjadi permasalahan sengketa eksekusi atas putusan

pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap? dan

mengapa forum mediasi diperlukan dalam kaitannya dengan penyelesaian

konflik norma sengketa eksekusi putusan pengadilan perdata yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap?

2. Bagaimanakah model penyelesaian atas permasalahan pelaksanaan eksekusi

terhadap putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap melalui forum mediasi dikaitkan dengan pengembangan sistem

hukum peradilan Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan jalan keluar terhadap

permasalahan sengketa eksekusi atas putusan pengadilan perdata yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap ditinjau dari aspek pembangunan hukum

dikaitkan dengan asas keadilan dan sistem peradilan dalam perspektif negara hukum

melalui model penyelesaian mediasi. Secara garis besar penelitian ini bertujuan

untuk:

Page 12: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

1. Untuk menemukan dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi

permasalahan dan urgensitas dalam sengketa eksekusi atas putusan pengadilan

perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Selain itu, untuk

menemukan dan mengkaji urgensi forum mediasi guna mewujudkan keadilan,

kepastian dan kemanfaatan hukum.

2. Untuk menyusun model penyelesaian atas permasalahan pelaksanaan eksekusi

terhadap putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap melalui forum mediasi dikaitkan dengan pengembangan sistem

hukum peradilan Indonesia.

D. Kegunaan Penulisan

Kegunaan dalam penulisan ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni

kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis, dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat menjadi suatu konsep dalam penyelesaian

konflik norma atas sengketa eksekusi terhadap putusan pengadilan perdata

yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

2. Kegunaan Praktis

Sedangkan kegunaan praktis yang diharapkan dalam penulisan ini adalah

berkaitan dengan implementasi secara praktis, yakni diharapkan dapat menjadi

pegangan bagi para hakim, untuk menerapkan penyelesaian mediasi dalam

kaitannya dengan penyelesaian konflik norma sengketa eksekusi putusan

pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Setidak-tidaknya dapat menjadi salah satu sumber bacaan atau referensi bagi

pihak-pihak yang membutuhkan.

E. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan makalah ini

adalah metode deskriptif analistis yaitu menggambarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktik

pelaksanaanya yang menyangkut permasalahan yang dianalisis.

Metode pendekatan yang dugunakan adalah metode yuridis normatif yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang

Page 13: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

disebut dengan data sekunder berupa hukum positif dalam praktik pelaksanaan

mediasi dan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam

sistem peradilan perdata di Indonesia. Pendekatan normatif itu sendiri dilakukan

melalui kajian terhadap asas-asas hukum dan penelitian penerapan hukum dalam

pelaksanaan praktik pelaksanaan mediasi dan pelaksanaan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan perdata di Indonesia.

Penulisan ini dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut yaitu

penelusuran kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber data sekunder yang

terdiri dari: bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan

nasional, bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis bahan hukum primer, seperti:

tulisan para ahli, buku-buku yang berkaitan, dan lain sebagainya. Sedangkan bahan-

bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum

primer dan sekunder, anatara lain artikel, majalah, dan koran.

Sedangkan data yang ada dikumpulkan oleh penulis dengan teknik sebagai

berikut: pertama, data kepustakaan dan dokumen. Data kepustakaan meliputi bahan-

bahan kepustakaan berupa bahan atau sumber primer29. Bahan atau sumber primer ini

terdiri dari buku-buku, kertas kerja koperensi, lokakarya, seminar, dan simposium,

laporan-laporan penelitian, majalah, disertasi atau tesis, dan sebagimya yang erat

kaitannya dengan sistem peradilan perdata dalam pelaksanaan mediasi dan

pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, guna mendapatkan

landasan teoritis dan memperoleh informasi dalam bentuk ketentuan formal dan

melalui naskah resmi yang ada. Data dokumen pemerintah terdiri dari bahan-bahan

hukum primer, sekunder, dan tersier30, diantaranya peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi dan putusan-putusan pengadilan, rancangan undang-undang, laporan

resmi pemerintah, dan sebagainya sepanjang dianggap relevan dengan topik yang

diteliti. Setelah data diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis secara non statistik, oleh

karenanya penelitian ini akan menghasilkan dan memberikan nilai yang bersifat

kuantitatif. Metode analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah metode

analisis normatif kualitatif. Maksud dari normatif disini adalah bertitik tolak peraturan

perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan maksud dari

kualitatif disini adalah data yang berasal dari data sekunder.29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.34.30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Ul.Press, 1986), hlm. 52.

Page 14: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Teori Negara Hukum

Dalam menyusun kerangka teori ini, penulis berusaha mengalirkan jalan

pikiran menurut kerangka yang logis atau menurut logical construct. Hal ini tidak lain

dari mendudukan perkara masalah yang diteliti (diidentifikasi) dalam kerangka

teoretis yang relevan dan mampu menangkap, menerangkan, serta menunjukkan

perspektif terhadap masalah itu. Upaya ditujukan untuk menjawab atau menerangkan

pertanyaan penelitian yang diidentifikasi. Cara berpikir (nalar) ke arah memperoleh

jawaban terhadap masalah yang diidentifikasi ialah dengan penalaran deduktif. Cara

penalaran deduktif ialah cara penalaran yang berangkat dari hal yang umum (general)

kepada hal-hal yang khusus (spesifik). Hal-hal yang umum ialah teori/dalil/hukum,

sedangkan hal yang bersifat khusus (spesifik) tidak lain adalah masalah yang

diidentifikasi. Sehubungan dengan penulisan makalah ini, didapatkan beberapa kata

kunci yang menjadi dasar penulisan makalah ini, yakni konflik norma (keadilan dan

kepastian), pelaksanaan eksekusi, mediasi dihubungkan dengan teori hukum

pembangunan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa negara Indonesia secara

normatif adalah negara hukum, secara empiris questionable. Konsepsi atau istilah

"negara hukum" tidak ditemukan dalam naskah asli UUD 1945 yang menjadi hukum

dasar pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada

tanggal 17 Agustus 1945, namun hanya ditemukan dalam penjelasan UUD 1945,

yaitu istilah rechtsstaat yang dilawankan dengan istilah machtstaat. Setelah

perubahan ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, dalam

Pasal 1 (3) secara tegas disebutkan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum",

rumusan seperti ini juga terdapat dalam Konstitusi RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun

Page 15: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

1950. Negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan yang

menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan

tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan

hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan

mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya31.

Istilah negara hukum32 dalam bahasa Belanda disebut rechtsstaat, Francis

mempergunakan istilah etat de droit, di Jerman digunakan istilah yang sama dengan

Belanda, yaitu rechtsstaat. Istilah-istilah etat de droit atau rechtsstaat yang

digunakan di Eropa Kontinetal adalah istilah-istilah yang tidak tepat dalam sistem

hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau state according to law atau the

rule of law mencoba mengungkapkan suatu ide yang pada dasarnya sama. Dalam

terminologi Inggris dikenal dengan ungkapan the state according to law atau

according to the rule of law.33 Istilah the rule of law dalam perkembangan hukum di

Indonesia disebut juga dengan negara hukum. Djokosoetono menyebutnya dengan

istilah negara hukum yang demokratis.34

Sedangkan Dicey mendefinisikan the rule of law dengan mengemukakan tiga

hal, yaitu (1) the absolute predominance of the law (keunggulan mutlak hukum); (2)

equality before the law (persamaan di hadapan hukum); dan (3) the concept according

to which the constitution is the result of the recognition of individual rights by judges

(konsep menurut makna konstitusi adalah hasil dari pengakuan hak-hak individual

oleh para hakim).35 Dicey menjelaskan bahwa supremasi absolut atau keunggulan

regular law untuk menentang pengaruh dari kekuasaan sewenang-wenang dan

meniadakan adanya kesewenang-wenangan prerogatif ataupun wewenang diskresi

yang luas pada pihak pemerintah. Equality before the law dimaksudkan Dicey adalah

semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum, penundukan yang sama

dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh

31 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), hlm. 110.32 Munculnya paham negara hukum adalah sebagai akibat sistem pemerintaha absolutisme pada negara-negara di Benua Eropa. Pemikiran yang reaktif inj lahir sebagai suatu sistem rasional yang menggantikan absolutisme yang tiranik. Paham rechtstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap absolutisme sehingga perkembangannya bersifat revolusioner, yang bertumpu pada sistem hukui kontinental yang disebut civil law atau modern Romawi law.33 Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 2 & 30.34 Agussalim Andi Gadjong, Op.Cit, hal.20. Ketentuan tentang apa yang hendak dijamin oleh hukum atau apa yang ingin diselematkan dengan the rule of law itu merupakan latar belakang awal munculnya konsep Anglo Saxon, yang kemudian terkenal dengan istilah rule of law.35 Ibid, hlm.24.

Page 16: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

ordinary, court. The rule of law dalam pengertian ini bahwa para pejabat negara tidak

bebas dari kewajiban untuk menaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau

dari yurisdiksi peradilan biasa.

Dengan demikian, tidak dikenal peradilan administrasi negara dalam sistem

Anglo Saxon. Berdasarkan konsep the rule of law, konstitusi bukanlah sumber, tetapi

merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh

pengadilan.36

Konsep negara hukum Dicey, sebagai pandangan murni dan sempit, oleh

karena dari ketiga pengertian dasar yang diketengahkannya tentang the rule of law,

intinya adalah common law sebagai dasar perlindungan kebebasan individu terhadap

kesewenang-wenangan penguasa. Perlindungan common law hanya dapat meluas

kepada kebebasan pribadi, seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat assure the

citizen's economic or social well being. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep

negara hukum (the rule of law) yang diungkapkan Dicey mengalami perluasan

pengertian dengan analisis yang lebih mendalam. Wade mengidentifikasi lima aspek

the rule of law berikut ini:

1. Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum.

2. Pemerintah harus berprilaku di dalam suatu bingkai yang diakui peraturan

perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi.

3. Sengketa mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan oleh

pengadilan yang murni independen dari eksekutif.

4. Harus seimbang antara pemerintah dan warga negara.

5. Tidak seorangpun dapat dihukum, kecuali atas kejahatan yang ditegaskan

menurut undang-undang.37

Sedangkan Wade memberikan pandangan berkaitan dengan the rule of law

adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Diskresi bukan sesuatu

kewenangan yang tanpa batas, namun tetap dalam bingkai hukum atau tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Pemerintah juga dilarang menggunakan

privilege yang tidak perlu atau bebas dari aturan hukum biasa.38 Terhadap pandangan

yang diungkapkan Wade di atas, oleh Josep Raz dikemukakan lebih deskriptis lagi,

dengan mengajukan beberapa asas sebagai tambahan, yaitu seperti berikut ini.

36 Ibid, hlm.25.37 Loc.Cit.38 Loc. Cit.

Page 17: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

1. Semua undang-undang harus prospektif, terbuka dan jelas.

2. Undang-undang harus relatif stabil.

3. Pembuatan undang-undang tertentu harus dipedomani oleh aturan-aturan

terbuka, stabil, jelas, dan umum.

4. Kemerdekaan peradilan harus dijamin.

5. Prinsip-prinsip keadilan alami harus dipatuhi

6. Pengadilan-pengadilan harus memiliki kekuasaan peninjauan (hak menguji)

terhadap implementasi prinsip-prinsip tersebut.

7. Pengadilan-pengadilan harus dengan mudah dapat dicapai.

8. Diskresi dari petugas-petugas pencegahan kejahatan janganlah diizinkan untuk

merintangi hukum.

Sedangkan menurut Friedrich Julius Stahl negara harus menjadi negara

hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong daripada

perkembangan pada zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya

jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan

itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan

akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada seharusnya

menurut suasana hukum. Inilah pengertian negara hukum, bukannya misalnya, bahwa

negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau

hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara hukum pada umumnya tidak

berarti tujuan dan isi daripada negara, melainkan hanya cara dan untuk

mewujudkannya39. Kemudian Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur

rechtstaats dalam arti klasik, yaitu:40

1. Hak-hak asasi manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-

negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);

3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Sedangkan Paul Scholten, menyebut dua ciri daripada negara hukum, yang

kemudian diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama daripada negara hukum

ialah : “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai hak

39 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 57.40 Ibid, hlm. 57-58.

Page 18: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini sebenarnya

meliputi dua segi, yakni sebagai berikut :

1. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya terletak di luar

wewenang negara;

2. Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan

undang-undang, dengan peraturan umum.

Ciri yang kedua daripada negara hukum menurut Paul Scholten berbunyi ; “er

is scheiding van machten”, artinya dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan41.

Selanjutnya Von Munch misalnya berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan atas

hukum ialah adanya:42

1. Hak-hak asasi manusia;

2. Pembagian kekuasaan;

3. Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan keterikatan

peradilan pada undang-undang dan hukum;

4. Aturan dasar tentang peroporsionalitas (Verhaltnismassingkeit);

5. Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan)

kekuasaan umum;

6. Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;

7. Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.

Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa

pada dasarnya, dalam konsep negara hukum, baik konsep rechtstaat atau the rule of

law, terdapat hal-hal yang intinya sama, yang mengandung asas legalitas, asas

pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Kesemuanya itu bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari

kemungkinan bertindak sewenang-wenang, tirani atau penyalahgunaan kekuasaan.

Untuk dapat menjamin hal ini, maka negara hukum yang dikembangkan

bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan demokratische rechtsstaat (demokratic rule

of law).43 Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya

harus dirumuskan secara demokrasi, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi dari

masyarakat luas, sehingga produk yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati

41 Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), hlm. 25.42 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, hlm.312.43 Andi Mattalatta, Politik Hukum Peraturan Perundang-undangan, www.djpp.depkumham.go.id.

Page 19: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

nurani rakyat. Tetapi apabila sebaliknya, maka terlihat bahwa produk hukum yang

dikeluarkan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi resah cenderung tidak

mematuhi ketentuan itu.44 Dalam konsepsi seperti itu, maka politik pembaharuan

hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan tujuan nasional. Indonesia

sebagai negara hukum yang demokratis, pembaharuan hukum yang hendak dilakukan

menuntut adanya produk hukum yang berkarakter populis, progresif dan terbatas

interpretasi.45

2. Teori Keadilan Sosial dan Konsep Kekuasaan Kehakiman

Selanjutnya, kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam negara hukum

menjadi tolok ukur rule of law, khususnya dalam perannya menyelesaikan konflik

atau persengketaan yang terjadi. Penyelesaian konflik yang diajukan ke lembaga

pengadilan dituntut dengan pemenuhan asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan

dalam setiap putusan hakim. Pemenuhan rasa keadilan merupakan kunci dari seluruh

rangkaian penegakan hukum, sehingga hukum dapat dirasakan kemanfaatannya dan

secara umum hukum menjadi sarana pembangunan.

Akses terhadap keadilan (access to justice) merupakan  hak asasi  bagi setiap

manusia. Artinya setiap orang berhak mendapatkan akses terhadap keadilan tanpa

membedakan seberapa kaya atau miskinnya mereka, seberapa terpelajarnya mereka,

atau seberapa jauhnya mereka tinggal dari pengadilan46. Oleh karena itu, negara

berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi  hak warganya untuk selalu

mendapatkan akses terhadap keadilan ini47. Salah satu implementasi dari access to

justice ini adalah kemudahan publik untuk mengakses putusan pengadilan.

Penyelesaian konflik melalui lembaga pengadilan yang bersifat litigasi dalam

prakteknya tidak selamanya menciptakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

ringan, dengan kata lain penyelesaian melalui litigasi ini cenderung berlarut-larut dan

sudah dapat dipastikan menimbulkan biaya tinggi.

44 Firdaus, Politik Hukum Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum, Jurnal Hukum Islam, Vol.12 Nomor 10 September 2005, hlm.1.45 Sedangkan dalam sistem politik non demokratik, produk hukumnya cenderung berkarakter elitis, konservatif dan terbuka interpretasi. Lihat: Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet.VI (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), hlm.6.46 Wahyu Widiana,  Efforts to Enhance Access to Justice in Indonesian Religious Courts : strategic responses to survey findings, makalah disampaikan pada konferensi IACA di Istanbul, Oktober 2009.47 Pasal 28D UUD 1945 menegaskan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum”. Cf. Pasal  28F : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengambanngkan pribadi dan lingkungan sosialnya..”

Page 20: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Selain itu, tidak dapat dipastikan pula putusan pengadilan akan memenuhi

ketiga aspek tujuan hukum secara sekaligus. Dalam praktek di dunia pengadillan,

kadang ditemukan prinsip keadilan individu dikalahkan dengan prinsip kepastian

hukum, yang menjadi mahkota bukan keadilan akan tetapi kepastian hukum.48 Hal

yang sama juga dikatakan oleh Zainuddin Mappong, sebagai berikut:49

“Dalam perjalannya, ternyata pembangunan hukum dan peningkatan kualitas serta professional aparat peradilan belum sanggup menciptakan kepastian hukum dan keadilan masyarakat, sehingga tujuan penggugat untuk mengembalikan hak miliknya yang dikuasai pihak lain dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan sulit menjadi kenyataan.“

Ketidakmampuan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum secara

bersamaan menimbulkan akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak

hukum dan kewibawaan lembaga pengadilan menjadi merosot. Hukum dalam

pengertiannya yang umum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang berfungsi sebagai

alat atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang

dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.50 Asas dan kaidah

menggambarkan bahwa hukum dianggap sebagai gejala normatif.51

Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogyanya atau

seharusnya dilakukan. Bagaimana orang seyogyanya atau seharusnya bertindak dan

bertingkah laku. Kaidah hukum berisi kenyataan normatif: das Sollen dan bukan

berisi kenyataan alamiah atau peristiwa konkrit.52

Selanjutnya, hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum

dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-

asas keadilan dari masyarakat itu53. Alasan mengapa keadilan menjadi penting dan

dapat dipaksakan adalah oleh karena kenyataan bahwa pelanggaran atas keadilan akan

menimbulkan kerugian dan kejahatan dalam masyarakat.54 Keadilan merupakan suatu

48 Padahal dalam setiap putusan, wajib diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai makna bahwa hukum harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam seluruh bagian keputusan, keadilan harus di atas yang lainnya termasuk atas kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahapan konstantir, tahapan kualifiaksi, dan tahapan konstituir.49 Zainuddin Mappong, Op.Cit, hlm.550 Muchtar Kusumaatmaja dalam Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia (Bandung: Alumni, 2000), hlm.17.51 Sri Gambir Melati Hatta, Ibid, hlm.17.52 Ibid, hal.17.53 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 40 – 41.54 A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.120.

Page 21: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

hak yang harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku manusia di masyarakat agar

kepentingan masyarakat terlindungi, dengan adanya pengaturan hukum yang

bersendikan keadilan tersebut. Sejalan dengan ini, Adam Smith merumuskan tentang

keadilan komutatif, dimana prinsip utama keadilan komutatif adalah no harm atau

prinsip tidak melukai dan merugikan orang lain. Keadilan komutatif ini menyangkut

jaminan dan penghargaan atas hak-hak individu, khususnya hak-hak asasi. Menurut

Smith, keadilan komutatif tidak hanya menyangkut pemulihan kembali kerusakan

yang terjadi, melainkan juga menyangkut pencegahan terhadap terlanggarnya hak dan

kepentingan pihak lain.55 Dengan lain kata dapat dikatakan bahwa keadilan

komunikatif tidak terutama terletak dalam melakukan suatu tindakan positif untuk

orang lain, melainkan terletak dalam tidak melakukan tindakan yang merugikan orang

lain. Tujuan keadilan adalah melindungi orang dari kerugian yang diderita akibat

orang lain.56

Keadilan komutatif lalu tertuang dalam hukum yang tidak hanya menetapkan

pemulihan kerugian, melainkan juga hukum yang mengatur agar tidak terjadi

pelanggaran atas hak dan kepentingan pihak tertentu.57 Teori keadilan berdasar Smith

berkaitan dengan konsep resiprositas atau kesetaraan nilai dalam pemulihan kembali

kerugian maupun pertukaran ekonomi. Teori keadilan Smith ini dikembangkan

kemudian bahwa prinsip utama keadilan komunitatif tidak melukai dan merugikan

orang lain. Keadilan menurut Smith menyangkut adanya jaminan dan penghargaan

atas hak-hak individu.58 Adam Smith memandang manusia sebagai bagian yang tak

terpisahkan dan suatu sistem yang mekanismenya mengaitkan perilaku mereka yang

spontan dan pada umumnya naluriah dengan manfaat-manfaat yang tak kelihatan bagi

mereka sendiri dan bagi masyarakat secara keseluruhan. Seperti halnya para

fungsionalis, Smith menganggap masyarakat sebagai sebuah sistem terkait dengan

hubungan kait-mengait yang sedemikian kornpleks di antara bagian-bagiannya,

sehingga setiap bagian menyumbang terhadap yang lainnya atau terhadap sistem

55 Ibid, hlm.112.56 Ibid, hlm.116.57 Ibid, hlm.112.58 Sri Gambir Melati Hatta, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan Perkembangannya, Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan, Pidato diucapkan pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 30 Agustus 2000, hlm.16.

Page 22: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

tersebut secara keseluruhan. Masing-masing bagian terkait dan tergantung satu sama

lain; dan terkait dan tergangung pada keseluruhan.59

Thomas Aquinas menyatakan bahwa esensi hukum adalah keadilan, oleh

karena itu hukum harus mengandung keadilan, hukum yang tidak adil bukanlah

hukum itu sendiri. Bismar Siregar menyatakan bahwa hakim wajib menafsirkan

undang-undang agar undang-undang berfungsi sebagai hukum yang hidup (living

law), karena hakim tidak semata-mata menegakkan aturan formal, tetapi harus

menemukan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.60

Sudikno Mertokusumo mengemukakan hal yang senada, sebagai berikut:

"Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusan secara proporsional, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Itu adalah idealnya. Akan tetapi di dalam praktiknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur itu secara proporsional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proporsional, maka paling tidak ketiga faktor itu seyogyanya ada dalam putusan. Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. "Hukumnya demikian bunyinya, maka harus dijalankan (kepastian hukum)", tetapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta: hukum itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya). 61

Selanjutnya, dikatakan: “kalau dalam pilihan putusan sampai terjadi konflik

antara keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan, maka keadilannyalah yang

harus didahulukan".62 Kalau dicermati kepala putusan hakim itu sendiri berbunyi

"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", oleh karena itu

pertimbangan keadilan sesungguhnya lebih dikedepankan dalam memutus suatu

perkara. Dalam hal ini memang sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim yang

menangani perkara tersebut.

Bismar Siregar, menambahkan bahwa dasar seorang hakim dalam mengambil

putusan adalah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa". Dengan

demikian, dalam menetapkan putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat

kepada Allah SWT. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan. la bersumpah atas

nama Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itulah hatinya bergetar. Ini merupakan

59 A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.50-5160 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 79.61 Ibid.62 Ibid.

Page 23: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

peringatan bagi siapa saja. Pesan Rasulullah Muhammad saw. kepada seorang

sahabatnya sebagai berikut:

"Wahai Abu Hurairah, keadilan satu jam lebih utama dari ibadahmu puluhan tahun, salat, zakat, dan puasa. Wahai Abu Hurairah, penyelewengan hukum satu jam lebih pedih dan lebih besar dalam pandangan Allah daripada melakukan maksiat enampuluh tahun".

Sebuah pesan yang indah, yang wajib dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh

para hakim.63 Dalam ajaran Islam juga diperintahkan agar kita bertindak adil dalam

menyelesaikan suatu perkara. Perintah itu antara lain disebutkan dalam Al Qur'an

Surat An- Nisa: 58, disebutkan: "Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum

di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil". Selanjutnya dalam Al

Qur'an Surat An-Nisa: 135 ditegaskan:

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan".

Keadilan merupakan salah satu tujuan dari setiap sistem hukum, bahkan

merupakan tujuan terpenting. Masih ada tujuan hukum yang lain yang juga selalu

menjadi tumpuan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan ketertiban. Di

samping tujuan hukum, keadilan dapat juga dilihat sebagai suatu nilai (value). Bagi

suatu kehidupan manusia yang baik, ada empat nilai yang merupakan fondasi

pentingnya, yaitu: (1). Keadilan, (2). Kebenaran (3). Hukum (4). Moral.

Akan tetapi dari keempat nilai tersebut, menurut Plato, keadilan merupakan

nilai kebajikan yang tertinggi. Dalam kalimat Plato:" Justice is the supreme virtue

which harmonize all other virtues".64 Para filosof Yunani memandang keadilan

sebagai suatu kebajikan individual (individual virtue). Oleh karena itu dalam Institute

of Justinian, diberikanlah definisi keadilan yang sangat terkenal itu, yang mengartikan

kadilan sebagai suatu tujuan yang kontinyu dan konstan untuk memberikan kepada

setiap orang haknya. "Justice is the constant and continual purpose which gives to

everyone his own".65 Berkaitan dengan kaidah hukum maka dapat disimpulkan bahwa

63 Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, (Jakarta: Gema Insarti Press, 1995), hlm. 19-20.64 Roscoe Pound sebagaimana dikutip Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 52.65 Ibid., hlm. 53.

Page 24: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

keadilan adalah aturan main minimal bagi kehidupan sosial manusia, dan prinsip

keadilan adalah aturan main yang sangat hakiki bagi hidup manusia dan karena itu

berlaku pada bidang kehidupan manapun.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah mewajibkan kepada para

hakim untuk menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.66 Oleh karena itu, agar penegakan hukum di Indonesia dapat lebih baik

dan masyarakat percaya pada hukum yang berlaku, diperlukan penegakan hukum

yang berkeadilan, itulah yang didamba-dambakan oleh masyarakat. Untuk itu dalam

penegakan hukum di Indonesia, dibutuhkan kehadiran para penegak hukum yang

bervisi keadilan, dan penguasa yang bersikap adil sebagaimana dalam cita hukum

tradisional bangsa Indonesia diistilahkan dengan "ratu adil" atau seperti yang

diimpikan Plato dengan konsep "raja yang berfilsafat" (filosopher king) ribuan tahun

yang silam.67

Mahkamah Agung sendiri dalam instruksinya No. KMA/015 INST/VI/1998

tanggal 1 juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme

dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas, dengan menghasilkan putusan hakim

yang eksekutabel berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang

utama) filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan

tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat), serta logot (dapat diterima akal

sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman.68

Konflik norma antara keadilan dengan kepastian ini dalam praktek peradilan

perdata yang paling menonjol adalah menyangkut tentang pelaksanaan eksekusi

terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dari beberapa kasus

eksekusi tidak dapat dilakukan sehingga pemenuhan asas keadilan tidak dapat

diwujudkan di tataran empiris.

Karena itu, implementasi keadilan dalam setiap pelaksanaan eksekusi putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan salah satu

permasalahan yang harus diselesaikan dengan pendekatan keadilan individu, bukan

sekedar mengejar aspek kepastian.

Dalam hubungan ini, Jhon Rawls69 menyatakan bahwa perhatian utama

keadilan sosial adalah keadilan institusi atau apa yang disebutnya sebagai struktur

66 Lihat Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.67 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 53.68 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 98.69 John Rawls, A Theory of Justice (Revised Edition) Oxford Universitu Press, 1999, hlm.52.

Page 25: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

dasar masyarakat. Teori keadilan sosial Jhon Rawls didasarkan pada ide-ide kontrak

sosial Jhon Locke. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah ketidakberpihakan, dan

melalui kontrak sosial, individu-individu masyarakat secara bersama-sama

menghasilkan barang-barang sosial, bukan untuk konsumsi individual.

Lebih lanjut, teori keadilan sosial digunakan untuk menjawab dua pertanyaan

dasar berkaitan dengan konflik norma pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu: pertama, apakah yang menjadi

landasan filosofis moral yang merupakan raison d'etre (sebab adanya) lembaga

mediasi dan kedua, untuk menjawab pertanyaan: apakah lembaga mediasi dapat

menjadi solusi pemecahan masalah konflik norma dalam pelaksanaan eksekusi atas

pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Berdasarkan sudut pandang teori keadilan sosial, maka tugas dan

tanggungjawab penyelesaian konflik norma ini berada pada negara yang, yang

direpresentasikan oleh pemerintahan negara dalam hal ini Mahkamah Agung.

Tanggung jawab negara sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan tujuan

pembentukan negara Republik Indonesia, yaitu membentuk Pemerintahan Negara

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial.70 Pendekatan penyelesaian konflik norma pelaksanaan eksekusi

melalui lembaga mediasi dengan teori keadilan sosial memberikan justifikasi bagi

negara dalam hal ini hakim untuk melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming).

3. Teori Sistem (Peradilan)

Lembaga mediasi sebagai bagian dari salah satu upaya penyelesaian

persengketaan merupakan lingkup kebijakan hukum perdata, sehingga pendekatan

yang digunakan juga didasarkan pada teori-teori dan asas-asas hukum yang diakui

dalam hukum perdata. Hukum adalah suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem.

70 Hal ini dinyatakan dalam Alinea keempat Mukadimah UUD 1945 sebagai berikut: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijak-sanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Page 26: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Lili Rasjidi menyatakan bahwa membicarakan hukum sebagai suatu sistem selalu

menarik dan tidak pernah menemukan titik akhir karena sistem hukum (tertib hukum

atau stelsel hukum) memang tidak mengenal bentuk final. Munculnya pemikiran-

pemikiran baru - sekalipun di luar disiplin hukum - selalu dapat membawa pengaruh

kepada sistem hukum.71 Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam

sistem hukum, yaitu:72

Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus

berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan

setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang

yang berkesinambungan - aspek sistem yang berada di sini kemarin (atau bahkan

pada abad yang terakhir) akan berada di situ dalam jangka panjang. Inilah struktur

sistem hukum - kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang

member semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.

Struktur sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini : jumlah dan ukuran

pengadilan, yurisdiksinya (yaitu, jenis perkara yang diperiksa, dan bagaimana serta

mengapa), dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain. Jelasnya

struktur adalah semacam sayatan system hukum – semacam foto diam yang

menghentikan gerak.

Aspek lain sistem hukum adalah substansinya, yaitu aturan, norma, dan pola

prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti “produk”

yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, keputusan yang

mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada

hukum hukum yang hidup (living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum

(law books). Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap

manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta

harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan

kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau

disalah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan

berdayaguna. Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti “struktur” hukum

seperti mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu.

Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk

71 Dikutip dalam Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, 1996), hlm. 149.72 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hlm.7-9.

Page 27: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu

digunakan.

Berkaitan dengan hal di atas, apabila teori Lawrence M Friedman di atas

dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia saat ini maka dalam “struktur” terdapat

empat lingkungan peradilan yaitu, yaitu lingkungan peradilan umum, agama, militer,

tata usaha negara. Peradilan Niaga termasuk ke dalam lingkungan peradilan umum.

Masing-masing lingkungan peradilan tersebut mempunyai tingkatan yang berpuncak

pada Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara. Setiap pengadilan memiliki

yurisdiksinya sendiri-sendiri baik secara absolut maupun relatif. Friedman

menyebutkan, bahwa struktur adalah “.... is a kind of cross section of the legal system

- a kind of dtill photograph, which freezes the action”.73

Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, kalau

berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang bagaimana undang-

undangnya, apakah sudah memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau

tidak. Jadi menata kembali materi peraturan perundang-undangannya.

Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada upaya-upaya untuk

membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman masyarakat

terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.

4. Teori Pembangunan Hukum dan Teori Kemanfaatan (Utilitas)

Selanjutnya, dalam penulisan makalah ini juga mempergunakan teori

pembangunan hukum dari Muchtar Kusumaatmadja dan teori kemanfaatan (utilitas)

dari Jeremy Bentham. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa teori hukum

pembangunan tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan

aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut:

Pertama, teori hukum pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang

eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi

dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori

hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi

Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan

kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.

Kedua, secara dimensional maka teori hukum pembangunan memakai

kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa

73 Artikel Utama, Jurnal Keadilan,Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 3.

Page 28: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap

norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam teori hukum pembangunan

tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture

(kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W.

Friedman.74

Ketiga, pada dasarnya teori hukum pembangunan memberikan dasar fungsi

hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social

engeneering)75 dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.76

Pada dasarnya, fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law

as a tool of social engeneering) relatif masih sesuai dengan pembangunan hukum

nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi dengan pemberdayaan birokrasi

(beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau kepemimpinan,

sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi

antara elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut “beureucratic

and social engineering”.77

Terdapat 2 (dua) aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini,

yaitu: Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat

perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi

perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern.78

Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja79 mengemukakan tujuan pokok

hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok

bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan

yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya.

74 Lawrence W. Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 1-8. dan pada Legal Culture and Social Development, Stanford Law Review, New York, hal. 1002-1010 serta dalam Law in America: a Short History, Modern Library Chronicles Book, New York, 2002, hlm. 4-7.75 Lihat Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 7.76 Terhadap eksistensi hukum sebagai suatu system dapat diteliti lebih detail dan terperinci pada: Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 5 dstnya.77 Romli Atmasasmita, Menata Kembali…Loc Cit, hlm. 7.78 Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., (Bandung: .Alumni, 2002), hlm. v.79 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1990), hlm. 2-3.

Page 29: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum

dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat

mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara

optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.80 Fungsi hukum dalam

masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin

kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar

berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”, ”law as

a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-pokok

pikiran sebagai berikut :81

“Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.”

Aksentuasi tolok ukur konteks di atas menunjukkan ada 2 (dua) dimensi

sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja, yaitu : Pertama, ketertiban atau keteraturan dalam rangka

pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan

dipandang mutlak adanya. Kedua, hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum

memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti

penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan. Lebih jauh,

Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih

luas dari hukum sebagai alat, karena:82

1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum

lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang

menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada

tempat lebih penting.

2. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh

berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada

80 Ibid, hlm.1381 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Binacipta, 1995, hlm. 13.82 Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks ke-Indonesian, (Jakarta: Utomo, 2006), hlm.415.

Page 30: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan

kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.

3. Apabila "hukum" di sini tennasuk fuga hukum internasional, maka konsep

hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh

sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum

nasional.

Lebih detail, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa:83

"Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. la juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan."7

Apabila diuraikan secara lebih intens, detail dan terperinci maka alur

pemikiran di atas sejalan dengan asumsi Sjachran Basah yang menyatakan “fungsi

hukum yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi

sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak

dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara”.84 Selanjutnya, hukum juga harus

memberikan suatu manfaat bagi seseorang, dalam hal kemanfaatan hukum ini teori

utilitas (utility) menganjurkan the greatest happiness principle (prinsip kebahagiaan

yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini, masyarakat yang ideal

adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil

ketidakbahagiaan, atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar

mungkin kepada rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit

mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya. Kebahagiaan berarti kesenangan atau

ketiadaan kesengsaraan, ketidakbahagiaan berarti kesengsaraan dan ketiadaan

kesenangan. Setiap orang dianggap sama derajatnya oleh teori utilitas.

83 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), (Bandung: Alumni, 2002), hlm.14.84 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1992), hlm.13.

Page 31: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Aliran utilitas yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, menganggap bahwa

tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang

sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penekanannya

didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan

dan hukum merupakan alatnya. Adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi

manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas masyarakat.

Manfaat adalah satu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat atau

kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan.

Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan. Kebaikan adalah

kesenangan atau penyebab kesenangan.85 Yang paling sesuai dengan manfaat atau

kepentingan seorang individu adalah yang cenderung memperbanyak jumlah

kebahagiaan itu. Yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan masyarakat

adalah yang cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan individu yang membentuk

masyarakat itu.86 Bahwa tujuan hukum adalah untuk melengkapi penghidupan,

mengendalikan kelebihan, memajukan persamaan dan menjaga kepastian. Hukum

harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dengan cara melengkapi

kehidupan, mengendalikan kelebihan, mengedepankan persamaan dan menjaga

kepastian. Dengan demikian, hukum itu pada prinsipnya ditujukan untuk menciptakan

ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya

kepada jumlah orang yang terbanyak.

Dapat disimpulkan menurut teori ini, bahwa kita harus bertindak sedemikian

rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya

mengelakan akibat-akibat buruk. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan

dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik ataa buruk sejauh dapat

meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Menurut

prinsip utilitarian Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Prinsip

kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama

sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitarisme

klasik, prinsip utilitas adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah jumlah terbesar(the

greatest happiness of the greatest number). Jadi, menurut Bentham prinsip kegunaan

tadi harus diterapkan secara kuantitatif belaka.

85 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh Nurhadi (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006), hlm.26.86 Ibid.

Page 32: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

B. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran penulisan makalah ini merupakan turunan dari kerangka

teori yang digunakan untuk melakukan penelahaan terhadap permasalahan yang

dihadapi, untuk selanjutnya dicarikan suatu konsep/model penyelesaian

permasalahannya. Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah

untuk menemukan suatu konsep atau model dalam penyelesaian sengketa atas putuan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui pengintegrasian

mediasi. Berdasarkan uraian di atas, maka teori-teori yang dipergunakan dalam

penulisan ini digambarkan dalam bentuk skema berikut:

Bagan 1Alur Kerangka Pemikiran (Teori)

Teori Negara Hukum

Teori Keadilan Sosial

Teori Sistem Hukum

Pembaharuan Hukum

Perdata

Sistem Eksekusi

Fungsional Pembaharuan PerMA

Teori Pembangunan Hukum & Kemanfaatan Hukum

Subtansional

Sistem Hukum Nasional Mediasi

Pengadilan

Hukum Mediasi

Mi

ddl

e

Ra

ng

e

Th

eo

ry

Gr

an

d

Th

eo

ry

Ap

pli

ed

Th

eo

ry

Page 33: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

BAB III

PEMBAHASAN

A. Mediasi Dalam Berbagai Sistem Hukum

1. Mediasi dalam Sistem Hukum Adat

Konsep penyelesaian sengketa melalui mediasi yang menggunakan win-win

solution atau penyelesaian menang sama menang, telah lama dikenal dalam hukum

adat Indonesia. Konsep penyelesaian sengketa melalui musyawarah antara para pihak

telah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi

diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam

menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila

dibandingkan dengan sistem hukum lain. Hukum adat lahir dan tumbuh dari

masyarakat, sehingga keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari

masyarakat. Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, dan norma yang

disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat

memiliki relevansi kuat dengan karakter, nilai, dan dinamika yang berkembang dalam

masyarakat adat. Dengan demikian, hukum adat merupakan wujud yuris

fenomenologis dari masyarakat hukum adat.87

87 Syahrizal Abbas, Op.Cit, hlm.235.

Page 34: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada

pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan hidup ini dapat

diidentifikasikan dari ciri masyarakat hukum adat yang berbeda dengan masyarakat

modern. Pandangan hidup atau lebensaachuung, adalah suatu pandangan objektif dari

orang-orang yang ada di dalam masyarakat mengenai apa dan bagaimana dunia dan

hidup itu.88

Dalam masyarakat hukum adat sengketa yang terjadi dinyatakan sebagai suatu

realitas (sunatullah) yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Penyelesaian sengketa

perlu dilakukan secara hati-hati dan mendalam, sehingga tidak mengganggu

kehidupan masyarakat hukum adat. Bila terjadi sengketa dalam masyarakat hukum

adat, baik sengketa pidana maupun sengketa perdata, dengan sendirinya menimbulkan

keguncangan tata nilai masyarakat adat. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa

umumnya dilakukan secara cepat, agar tidak berlarut-larut yang berakibat rusaknya

tatanan nilai dan pandangan hidup masyarakat hukum adat.89

Ketua adat di dalam menyelesaikan sengketa tidak untuk mencari siapa yang

menang dan siapa yang kalah. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat

dan damai bahkan telah dikenal pada zaman Mataram II. Pada saat Sultan Agung

berkuasa, urusan peradilan dilaksanakan oleh penghulu agarna atas nama rajayang

didampingi oleh beberapa ulama sebagai anggota majelis peradilan. Peradilan ini

disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini dilaksanakan atas dasar musyawarah

dan mufakat (collegiale recht spraak). Hasil putusan musyawarah menjadi putusan

terakhir oleh raja90. Pada zaman tersebut, di samping adanya peradilan serambi, di

daerah-daerah juga berlaku peradilan "padu", yaitu penyelesaian perselisihan antara

perorangan oleh peradilan keluarga (peradilan desa) secara damai, dan apabila tidak

dapat diatasi secara kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara

damai di bawah pimpinan seorang pejabat kerajaan yang disebut Jaksa.91

Kemudian pola-pola penyelesaian sengketa tersebut tetap dikenal di dalam

hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman ini dikenal apa

yang disebut dengan Hakim perdamaian desa. Lembaga perdamaian desa mendapat

pengakuan secara hukum berdasarkan Pasal 3a RO (Rechtetijke Organisatie), yang

88 Ibid, hlm.237.89 Ibid, hlm.243.90 H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), hlm.61.91 Ibid.

Page 35: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

antara lain menyatakan bahwa Hakim-hakim adat tidak boleh menjatuhkan hukuman

(ayat 3). Oleh karena tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman, ditempuhlah suatu

usaha "perdamaian"92. Dalam menegakkan hukum adat, lembaga perdamaian desa ini

menjalankan peranan mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam Pasal

3 dan 13 Reglement Indonesia yang diperbarui (RIB). Beberapa aspek positif dari

perdamaian desa, yaitu:93

1). Hakim perdamaian desa bertindak aktif mencari fakta.

2). Hakim meminta nasihat kepada tetua-tetua adat dalam masyarakat.

3). Putusan diambil berdasarkan musyawarah dan/atau mufakat

4). Putusan dapat diterima oleh para pihak dan juga memuaskan masyarakat

secara keseluruhan.

5). Pelaksanaan sanksi melibatkan para pihak, hal mana menunjukkan adanya

tenggang rasa (toleransi) yang tinggi di antara para pihak.

6). Suasana rukun dan damai antara para pihak dapat dikembalikan.

7). Integrasi masyarakat dapat dipertahankan.

Namun dewasa ini, Hakim perdamaian desa mengalami banyak hambatan

dalam menegakkan hukum dan mendamaikan para pihak sehingga timbul kesan

seolah-olah tidak berdaya menghadapi situasi konflik di pedesaan saat ini. Di

beberapa tempat, perdamaian desa tidak berfungsi lagi. Namun, di beberapa tempat

lainnya masih berfungsi sebagaimana biasanya.

Tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung

menggunakan ‘pola adat’ atau dalam istilah lain sering disebut pola ‘kekeluargaan’.

Pola ini diterapkan bukan hanya untuk sengketa perdata tetapi juga pidana.

Penyelesaian sengketa dalam pola adat, bukan berarti tidak ada kompensasi atau

hukuman apa pun terhadap pelanggar hukum adat.

Masyarakat hukum adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui

jalur musyawarah, yang bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat.

Jalur musyawarah merupakan jalur utama yang digunakan masyarakat hukum adat

dalam menyelesaikan sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat

kesepakatan damai yang menguntungkan kedua belah pihak.

92 Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Hahim Perdamaian Desa Dalam Penyelesaian Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1 (Juli 1997), hlm.5.93 Ibid.

Page 36: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Dalam system hukum adat, tidak dikenal pembagian hukum kepada hukum

public dan hukum privat. Akibatnya, masyarakat hukum adat tidak mengenal

kategorisasi hukum pidana dan hukum perdata, sebagaimana dalam system hukum

Eropa Kontinental. Istilah “sengketa” bagi masyarakat hukum adat bukan hanya

ditujukan untuk kasus perdata, yang menitikberatkan pada kepentingan perorangan,

tetapi sengketa juga digunakan untuk tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup mediasi dalam

masyarakat hukum adat, tidak hanya terbatas pada sengketa ranah privat, tetapi dapat

juga digunakan untuk menyelesaikan kasus publik. Penggunaan mediasi, arbitrase,

negosiasi dan fasilitasi jauh lebih luas dalam hukum adat, bila dibandingkan dengan

hukum positif di Indonesia.

Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai tetap bertahan

di dalam masyarakat hukum adat Indonesia dewasa ini. Di dalam masyarakat Batak,

misalnya: masih mengandalkan forum runggun adat yang pada intinya adalah

penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan.94

Dalam masyarakat Minangkabau juga dikenal adanya Lembaga Hakim

Perdamaian Minangkabau, yang secara umum bertindak sebagai mediator dan

konsiliator.95 Dalam masyarakat Minang telah berkembang suatu tradisi bahwa kalau

terjadi perselisihan, termasuk sengketa dagang (yang dianggap identik sebagai

pekerjaan orang Minang), mereka mencari berbagai kemungkinan alternatif mana

yang lebih efektif jika kasusnya harus segera diselesaikan: di pengadilan atau di luar

pengadilan. Dengan sejumlah pertimbangan, banyak kasus dagang di Minang ternyata

diselesaikan melalui "mediasi" (kesepakatan) atau konsiliasi (kesepakatan dengan

kompensasi).

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa konsep penyelesaian sengketa melalui

mediasi telah lama dikenal dalam sistem hukum adat kita. Sayangnya pola-pola

penyelesaian sengketa win-win solution yang dikenal dalam hukum adat kita kurang

dikembangkan oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat kita yang menyatakan diri

sebagai masyarakat yang kompromis, telah beralih menjadi masyarakat litigasi

(litigious society).

94 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Jakarta: Pustaka Azat,1986), sebagaimana dikutip dalam Mas Achmad santosa et al., Policy Paper on ADR in Environmental Sector, ICEL-Qipra project, 1996, hlm. 16.95 lbid.

Page 37: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Proses mediasi yang digunakan masyarakat hukum adat pada prinsipnya tidak

jauh berbeda dengan proses mediasi yang dikembangkan pada era modern. Secara

garis besar proses mediasi dalam hukum adat dapat dikemukakan seperti dibawah ini.

Pertama, para pihak yang bersengketa dapat meminta bantuan kepada pihak

ketiga (mediator) untuk menyelesaikan sengketa mereka. Mediator yang dipercayakan

oleh para pihak, umumnya adalah tokoh adat atau tokoh ulama.

Kedua, para pihak yang memberikan kepercayaan kepada tokoh adat sebagai

mediator didasarkan pada kepercayaan bahwa mereka adalah orang yang memiliki

wibawa, dihormati, disegani, dipatuhi perkataannya dan mereka adalah orang-orang

yang mampu menutup rapat-rapat rahasia di balik persengketaan yang terjadi di antara

para pihak.

Ketiga, tokoh adat yang mendapat kepercayaan sebagai mediator melakukan

pendekatan-pendekatan yang menggunakan bahasa agama dan bahasa adat, agar para

pihak yang bersengketa dapat duduk bersama, menceritakan latar belakang, penyebab

sengketa, dan kemungkinan-kemungkinan mencari jalan keluar untuk mengakhiri

sengketa.

Keempat, tokoh adat sebagai mediator dapat melakukan sejumlah pertemuan

termasuk pertemuan terpisah jika dianggap perlu, atau melibatkan tokoh adat yang

lain yang independen setelah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak.

Tujuannya adalah untuk membantu mempercepat proses mediasi, sehingga

kesepakatan-kesepakatan dapat cepat tercapai.

Kelima, bila para pihak sudah mengarah untuk menawarkan alternative

penyelesaian, maka mediator dapat memperkuat dengan menggunankan bahasa

agama dan bahasa adat, agar kesepakatan damai dapat terwujud. Bila kedua belah

pihak bersepakatan untuk berdamai dengan sejumlah tuntutan masing-masing yang

mungkin dipenuhi,maka mediator dapat mengusulkan untuk menyusun pernyataan

damai di depan para tokoh adat dan kerabat dari kedua belah pihak.

Keenam, bila kesediaan ini sudah dikemukakan kepada mediator, maka tokoh

adat tersebut dapat mengadakan prosesi adat, sebagai bentuk akhir dari pernyataan

mengakhiri sengketa dengan mediasi melalui jalur adat. Dengan demikian, maka

berakhirlah proses mediasi dalam masyarakat hukum adat.

Pelaksanaan hasil mediasi dalam praktik masyarakat adat, bukan hanya

semata-mata menjadi tanggung jawab para pihak yang bersengketa, tetapi juga terlibat

para tokoh adat yang telah bertindak sebagai mediator. Pada sisi lain keluarga besar

Page 38: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

para pihak yang bersengketa, dapat juga menjadi pendorong bagi memudahkan

realisasi kesepakatan mediasi. Keluarga besar para pihak akan malu, bila diketahui

oleh masyarakat bahwa mereka adalah penghambat dari mulusnya pelaksanaan hasil

mediasi. Oleh karena itu, control masyarakat menjadi amat penting dalam

pelaksanaan hasil mediasi. Hal ini dapat mengingatkan kembali bahwa masyarakat

dapat melakukan intervensi, jika hasil mediasi tidak dilaksanakan dengan baik.

Dalam masyarakat hukum adat,jika kesepakatan damai para pihak sudah

diikrarkan dihadapan tokoh adat, apalagi dilakukan pada suatu upacara adat, maka

kesepakatan tersebut harus dilaksanakan dengan segera. Bila salah satu pihak

mengingkari atau tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi, maka pihak tersebut

akan mendapatkan sanksi adat dari masyarakat hukum adat. Sanksi ini sangat

tergantung pada sejauh mana tingkat pengingkaran terhadap kesepakatan, dan juga

tergantung pada dampak yang ditimbulkan oleh pengingkaran tersebut kepada nilai-

nilai social dalam masyarakat hukum adat. Bentuk-bentuk sanksi yang diberikan

kepada pihak yang tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi dapat berupa

pengucilan dari kegiatan social, dan bahkan sampai kepada pengusiran dari komunitas

hukum adat. Penjatuhan sanksi kepada para pihak tidak dilakukan secara serta-merta,

tetapi dilakukan setelah proses negosiasi guna merealisasikan hasil mediasi yang

dilakukan oleh tokoh adat.

2. Mediasi dalam Sistem Hukum lslam

Konsep penyelesaian sengketa win-win solution seperti dalam mediasi, juga

dikenal dalam sistem hukum Islam. Walaupun tidak disebut dengan mediasi, namun

pola penyelesaian sengketa yang digunakan menyerupai pola yang digunakan dalam

mediasi. Dalam sistem hukum Islam dikenal dengan apayang disebut istilah islah dan

hakam. Islah adalah ajaran Islam yangbermakna lebih menonjolkan metode

penyelesaian perselisihan atau konflik secara damai dengan mengesampingkan

perbedaan-perbedaan yang menjadi akar perselisihan. Intinya bahwa para pihak yang

berselisih diperintahkan untuk mengikhlaskan "kesalahan" masing-masing dan

diamalkan untuk saling memaafkan.

Pengertian islah juga sangat berkembang penggunaannya di kalangan

masyarakat Islam secara luas, baik untuk menyelesaikan kasus-kasus perselisihan

ekonomi-bisnis maupun non-ekonomi-bisnis. Contohnya, sewaktu terjadi perselisihan

paham antara dua tokoh Islam, yaitu Abdurrahman Wahid dengan Abu Hasan, hampir

Page 39: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

semuapemuka agama Islam menganjurkan keduanya untuk ber-islah. Konteks islah

dapat diidentikkan dengan pengertian mediasi atau konsiliasi.

Selain islah dikenal juga, istilah hakam. Hakam mempunyai pengertian yang

sama dengan mediasi. Dalam sistem hukum Islam hakam biasanya berfungsi untuk

menyelesaikan perselisihan perkawinan yang disebut dengan syiqaq. Mengenai

pengertian hakam, para ahli hukum Islam memberikan pengertian yang berbeda-beda.

Namun, dari pengertian yang berbeda-beda tersebut dapat disimpulkan bahwa hakam

merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri ke dalam konflik yang terjadi di antara

suami-istri sebagai pihak yang akan menengahi atau menyelesaikan sengketa di antara

mereka.96

Sebagai pedoman, pengertian hakam dapat diambil dari Penjelasan Pasal 76

ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dikatakan

bahwa "hakam adalah orang yang ditetaphan pengadilan dari pihak keluarga suami

atau pihak keluarga istri atau pihah lain untuk mencari upaya penyelesaian

perselisihan terhadap syiqaq." Dari bunyi penjelasan pasal tersebut dapat

disimpulkan bahwa fungsi hakam hanyalah untuk mencari upaya penyelesaian

perselisihan, bukan untuk menjatuhkan putusan.

Setelah hakam berusaha sekuat tenaga untuk mencari upaya perdamaian di

antara suami-istri, maka kewajiban dari hakam berakhir. Hakam kemudian

melaporkan kepada Hakim tentang usaha yang telah mereka ambil terhadap para

pihak (suami-istri). Selanjutnya, keputusan akan diambil oleh Hakim dengan

mempertimbangkan masukan dari hakam.

Dengan demikian, kita lihat bahwa haham dalam hukum Islam ini mempunyai

kesamaan dengan mediator. Keduanya (baik mediator maupun hakam) tidak

mempunyai kewenangan untuk memutus. Keduanya merupakan mekanisme

penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa pola penyelesaian sengketa melalui

mediasi telah dikenal pula dalam sistem hukum Islam. Islah dan hakam dapat

dikembangkan untuk menjadi metode penyelesaian berbagai jenis sengketa, termasuk

sengketa perdata dan bisnis sebagaimana ajaran Islam yang memerintahkan agar

96 Nailul Sukri, Kedudukan Mediasi dan Tahkim di Indonesia, Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah, 1992, hlm. 30.

Page 40: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi antara manusia dengan cara

perdamaian (islah) sesuai firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surah Al-Hujurat 49:9

yang berbunyi "jika ada dua golongan orang beriman bertengkar maka damaikanlah

mereka, perdamaian itu hendaklah dilakukan dengan adil dan benar sebab Allah

sangat mencintai orang yang berlaku adil". Walaupun pranata hakam dalam sistem

hukum Islam digunakan untuk menyelesaikan masalah perceraian, hal ini dapat

diterapkan juga pada bidang-bidang sengketa yang lainnya.

Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian

akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus

permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “perdamaian (shulh) itu

diperbolehkan di antara kaum muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan

sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR Abu Daud, dan At

Tirmidzi menshahihkannya).

Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah

satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya:

“perdamaian dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.

Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian

merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang

bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan

perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah

tegas di dalam islam. Orang-orang Islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti

mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah

kepada pemutarbalikan hukum; yang halal menjadi haram atau sebaliknya.

Dalam konsep Islam pengertian mediasi ini disamakan dengan konsep Tahkim

yang dalam bahasa Arab disebut Al Hakam/Hakam yang berarti wasit, pendamai, dan

juga penengah.97 pengertian ini didasari dari Al Quran yang artinya:

”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan

97 Ahmad Hasan Munawir, Al Munawir Kamus Arab Indonesia, Ponpes Al Munawir Krapyak, Yogyakarta, 1984, hlm. 309

Page 41: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa. 35)

Dalam kaidah Ulumul Quran yang mashur, suatu pengertian diambil karena

keumuman lafal bukan karena kekhususan sebab. Jika kaidah ini ditetapkan pada ayat

tersebut di atas maka akan sampai pada kesimpulan bahwa Hakam tidak hanya dapat

difungsikan pada proses perceraian saja seperti yang ditujukan secara explisit pada

ayat Al Quran tersebut melainkan dapat bersifat secara luas pada semua sengketa.

Metode pengambilan ini didukung dengan memperhatikan metode lain yaitu berupa

isyarah nass.98

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Christhopher W. More bahwa, mediasi

adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa

diterima pihak yang bersengketa bukan merupakan bagaian dari kedua belah pihak

dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil

keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara

sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam

sebuah persengketaan.99 Yahya Harahap mendefinisikan mediasi sebagai :100

1). Sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak (imparsial) dan;

2). Berfungsi sebagai pembantuan atau penolong (helper) mencari berbagai

kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling

menguntungkan kepada para pihak.

Rachmadi Usman menyimpulkan mediasi adalah sebagai cara penyelesaian

sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan para pihak ketiga

yang bersikap netral (non intervensi) dan disebut “mediator” atau “penengah” yang

bertugas hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan

masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.101

Dari keterangan beberapa definisi di atas, nampak jelas bahwa esensi mediasi

adalah proses penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh seorang fasilitator yang

disebut juga dengan mediator guna sebuah penyelesaian dengan jalan damai. Maka

dalam konsep Islam penyelesain dengan jalan damai ini disebut dengan istilah “as 98 Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm.249..99 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 80100 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7/1989. cet ke IV, (Jakarta ; Sinar Garfika, 2007), hlm.135.101 Rachmadi Usman, Op Cit. hal. 82.

Page 42: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

sulhu” yang secara bahasa berarti “kot un niza’” yaitu memutuskan suatu

persengketaan.102 Sedangkan menurut para ulama secara syara’ ialah:103

Artinya “ Islah menurut istilah syara’ adalah suatu aqad dengan maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling bersengketa dan orang yang melakukan akad itu disebut mushalihan, yaitu orang yang melakukan islah”.

Selain itu kehadiran mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang

sarat dengan nilai kedamaian ini juga sesuai dengan prinsip Islam sebagaimana

disebutkan dalam Al Quran yang artinya:

”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. Al-Imran. 159)

”Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al-Hujarat. 10)

”Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan Mengadakan ishlah di antara manusia. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah. 224)

”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa. 35)

Di samping dari apa yang telah disebutkan dalam Al Quran tersebut, praktik

mediasi pernah juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, baik sebelum ia menjadi

Rasul maupun sesudahnya. Proses penyelesaian konflik (sengketa) dapat ditemukan

dalam peristiwa peletakan hajar aswad (batu hitam pada sisi Kakbah) dan peristiwa

perjanjian hudaibiyah. Peristiwa peletakan kembali batu hajar aswad dan perjanjian

hudaibiyah memiliki nilai dan strategi resolusi konflik (sengketa) terutama mediasi

102 Sayyid Sabiq, Fiqhussunna, Juz III, Daarul Baayan, Kuwait, 1971, hlm.305.103 Ibid.

Page 43: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

dan negosiasi, sehingga kedua peristiwa ini memiiki perspektif yang sama yaitu

mewujudkan perdamaian.104

Pada peletakan hajar aswad ada banyak nilai yang terkandung didalamnya,

nilai penyelesaian sengketa antara suku dalam menciptakan perdamaian dan dapat

diidentifikasikan antar lain: nilai sabar, menghargai orang lain dalam kedudukan yang

sederajat, nilai kebersamaan, komitmen dan proaktif untuk menyelesaikan sengketa.105

Nilai-nilai ini merupakan modal bagi para pihak dalam menjalankan negosiasi,

mediasi, dan bahkan arbitrase, baik dalam sengketa antar individu maupun antar

kelompok.106

Dalam peristiwa perjanjian hudaibiyah yang terjadi pada tahun 6 Hijriyah atau

tepatnya tanggal 13 Maret 628 M. Nabi Muhammad SAW memimpin sekitar seribu

kaum muslim meninggalkan Madinah berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan

ibadah umrah. Rasul mengetahui bahwa tidak mudah memasuki kota Mekkah

dikarenakan para pemimpin Quraisy tidak mengizinkan kafilah kaum muslim

memasuki kota Mekah.107

Dalam kondisi demikian Rasulullah SAW tidak berputus asa, Rasul

melakukan negosiasi panjang dengan delegasi Quraisy, yang akhirnya menghasilkan

kesepakatan yang dikenal dengan perjanjian hudaibiyah yang isinya antara lain :108

1). Nabi Muhammad, tidak di izinkan mengunjungi Kakbah pada tahun itu (6

H/628 M), tetapi dapat mengunjungi tahun depan.

2). Setiap kunjungan hanya dilakukan selama tiga hari dan tidak membawa

senjata kecuali pedang yang telah di sarungkan. Selama kunjungan itu

penduduk harus keluar dari kota Mekkah dan memberikan kesempatan kepada

kaum muslim ibadah umrah.

3). Kaum muslim wajib mengembalikan orang Mekkah yang datang ke Madinah

untuk masuk Islam tanpa persetujuan walinya, sedangkan pihak Quraisy boleh

menerima orang Mekkah yang telah hijrah ke Madinah bila mereka ingin

kembali ke Mekkah.

4). Kaum muslim Madinah dan kelompok Quraisy Mekkah sepakat untuk

gencatan senjata selama 10 tahun.

104 Syahrizal Abbas, Op Cit, hal. 166105 Ibid.hal. 168106 Ibid.107 Ibid. hal. 172108 Ibid.

Page 44: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

5). Setiap kabilah bebas mengadakan persekutuan (aliansi) dengan kaum Quraisy

atau kaum muslim, dan aliansi tersebut dihormati oleh kedua belah pihak.

Jika dilihat lebih jauh, maka perjanjian hudaibiyah merupakan kemenangan

diplomatik kaum muslim, dimana Rasul untuk pertama kali berhasil mengajak kaum

quraisy ke meja perundingan dan menghasilkan kesepakatan.109 Mediasi juga

dinyatakan dalam hadis Rasul dan pendapat para ulama. Dalam dalam hadis

disebutkan yakni:

Artinya: dari Amar bin Auf Al Muzanni r.a. bahwa Rasulullah Saw. Bersabda “antara sesama muslim boleh mengadakan perdamain kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan setiap muslim di atas syaratnya masing-masing kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (H.R. Tamuzi dan hadis ini disahihkan).110

Artinya: telah bercerita kepadaku AbuBakr bin Abi Saybah, dia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw, bersabda:”Diantara sesama kaum muslim boleh mengadakan perdamaian kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.(HR. Ibn Majah).111

3. Mediasi dalam Sistem Hukum Barat

Mediasi juga, dikenal dalam sistem hukum Barat walaupun hanya secara

implisit. Yang dimaksud dalam sistem hukum Barat di sini adalah perundang-

undangan yang berasal dari pemerintahan kolonial Belanda. Setidak-tidaknya ada dua

peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar untuk menerapkan

mediasi, yaitu HIR (Herziene Indonesische Reglement) dan Kitab Undang- Undang

Hukum Perdata atau Hukum Perdata Barat yang merupakan terjemahan dari BW

(Burgerlijk Wetboek).

HIR adalah hukum acara perdata peninggalan pemerintahan kolonial Belanda

yang berlaku hingga sekarang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang

Dasar 1945, yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang

Darurat Nomor 1 Thhun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk

Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan

Sipil.

Dalam Pasal 130 ayat (1) HIR dikatakan bahwa:

109 Ibid. hlm. 173110 Imam Muhammad bin Isma’il Al Kahlani, Subulussalam, Juz III, Mustafa Al Baby Al Halaby, Mesir, 1973, hlm.159111 Abi Abdillah bin Yazid Al Qazwani, Sunan Ibnu Majah, Jilid II, Isa Al Baby Al Halaby, Mesir, 1989, hlm. 788

Page 45: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

"jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.”

Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan bahwa:

“jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.”112

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama-tama sebelum Hakim

Ketua memeriksa gugatan yang diajukan kepadanya, maka terlebih dahulu harus

mengusahakan mendamaikan para pihak yrng bersengketa. Hanya saja cara atau

metode untuk mendamaikan tidak disebutkan dengan jelas. Biasanya cara untuk

berdamai diserahkan sepenuhnya kepada para pihak. Hakim cenderung bersifat pasif.

Dengan demikian, pasal ini membuka peluang bagi para pihak untuk menempuh cara-

cara penyelesaian seperti negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Pasal ini juga

menekankan bahwa akta perdamaian yang dibuat mempunyai kekuatan mengikat

seperti halnya putusan pengadilan. Dengan demikian, kedudukan akta perdamaian ini

sama tingkatannya dengan putusan pengadilan. Pasal ini memberikan kemungkinan

bagi para pihak untuk berdamai di pengadilan. Dengan perkataan lain, perdamaian

yang dicapai di sini terjadi setelah suatu sengketa diajukan ke pengadilan.

Ketentuan mengenai perdamaian (dading) diatur juga di dalam KUHPerdata.

Ketentuan-ketentuan perdamaian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1851 sampai

dengan 1864. Ada beberapa pasal dari ketentuan-ketentuan perdamaian tersebut yang

perlu menjadi perhatian, yaitu Pasal 1851 sampai Pasal 1858.

Dari pasal-pasal tersebut memang tidak ada satu kata pun yang menyebut kata

mediasi. Namun, dengan melihat bahwa perdamaian itu harus diperjanjikan, maka

terbuka perluang untuk melakukan mediasi. Hal ini mengingat ketentuan Pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa "semua persetujuan yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Pasal ini

pada dasarnya menegaskan bahwa setiap orang dapat memperjanjikan apa saja,

sepanjang dibuat secara sah dan tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, dan

undang-undang. Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan untuk memperjanjikan

penyelesaian sengketa melalui mediasi.

112 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1980), hlm. 88.

Page 46: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Dalam Pasal 130 HIR, atau Pasal 154 R.Bg, atau Pasal 31 RV, disebutkan

bahwa hakim atau majelis hakim akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara

mereka diputuskan. Ketentuan dalam Pasal 130 HIR, Pasal 154 R.Bg dan Pasal 31

Rv menggambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur damai merupakan

bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Selanjutnya, peraturan

perundang-undangan pada masa Belanda juga mengatur penyelesaian sengketa

melalui upaya damai di luar pengadilan. Upaya ini dikenal dengan arbitrase,

sebagaimana diatur dalam Pasal 615-651 RV, atau Pasal 377 HIR atau Pasal 154

R.Bg atau Pasal 31 Rv.

B. Permasalahan Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap dan Urgensi Pengintegrasian Mediasi Dalam Pengadilan Perdata

1. Permasalahan Eksekusi Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap yang Tidak Dapat Dilaksanakan

Hukum acara perdata dipergunakan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata

materiil. Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak memberi hak dan

kewajiban yang seperti dijumpai dalam hukum perdata materiil, tetapi melaksanakan

dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum perdata materiil yang ada, atau

melindungi hak perseorangan. Di dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu

atau orang mempunyai kepentingan yang berbeda antara orang satu dengan yang

lainnya. Adakalanya kepentingan antar para pihak itu saling bertentangan

sehinggamenimbulkan suatu sengketa hukum. Sengketa hukum dapat diartikan

sebagai sengketa mengenai segala sesuatu yang di atur oleh hukum. Dengan perkataan

lain sengketa hukum adalah sengketa yang menimbulkan akibat-akibat hukum. Dalam

melaksanakan hak dan kewajiban pada suatu hubungan hukum yang seringkali

menjadi sumber timbulnya sengketa hukum adalah apabila hak seseorang yang

diberikan oleh hukum materiil dilanggar, kepentingan seseorang yang dilindungi oleh

hukum materiil diingkari.113 Dalam hukum perdata materiil sengketa hukum dapat

berupa wanprestasi, perbuatan melawan hukum maupun perbuatan yang

menimbulkan kerugian pada orang lain, yang tidak termasuk perbuatan melawan

hukum yaitu yang berupa penyalahgunaan keadaan.114 Pihak yang merasa dirugikan

113 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 2.114 Ibid, hal. 9

Page 47: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

oleh pihak lain apabila ingin mendapatkan kembali haknya maka ia harus

mengupayakan melalui prosedur yang berlaku, baik melalui litigasi maupun melalui

Alternative Dispute Resolution (ADR), seperti penyelesaian sengketa melalui

arbitrase atau penyelesaian sengketa melalui perdamaian antar pihak, individu tidak

boleh melakukan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).115

Penyelesaian sengketa tersebut tidak akan dicampuri oleh negara apabila para

pihak yang berkepentingan dapat menyelesaikan sendiri melalui perdamaian yaitu

dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila upaya musyawarah untuk

mencapai mufakat yang diusahakan oleh para pihak yang berkepentingan tidak

tercapai maka dapat dimintakan bantuan pada negara yaitu dengan cara mengajukan

gugatan ke pengadilan negeri. Dalam hal demikian ini, Hukum Acara Perdata dapat

menunjukkan jalan yang harus ditempuh agar sengketa dapat diperiksa dan

diselesaikan melalui pengadilan.

Penyelesaian perkara perdata melalui litigasi dimulai dengan pengajuan

gugatan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Prosedur ini merupakan

prosedur umum, berlaku untuk orang dan sengketa hukum pada umumnya sehingga

setiap orang yang akan berperkara di pengadilan negeri harus mengetahui dan

memahami tata cara beracara yang sesuai dengan prosedur dalam Hukum Acara

Perdata dan sebagai konsekuensi maka perkara akan ditolak jika tidak memenuhi

prosedur yang ditetapkan. Penyelesaian sengketa hukum melalui prosedur umum

dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap

pelaksanaan. Tahap pendahuluan dimulai dari diajukannya gugatan sampai dengan

disidangkannya perkara. Selanjutnya tahap penentuan yaitu dimulai dari jawab

menjawab sampai dengan dijatuhkannya putusan oleh hakim.

Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde),

kecuali diputus dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun

diajukan upaya hukum melawan putusan (uit voerbaar bij vooraad). Setelah itu

barulah sampai pada tahap yang terakhir yaitu tahap pelaksanaan.116 Dalam tahap

putusan, suatu sengketa perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada

pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Pemeriksaan perkara

memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkannya putusan saja

115 Wirjono R Prodjodikoro, Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sinar Bandung: Bandung, 1988116 Ibid, hal. 5.

Page 48: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

belum tentu persoalannya akan selesai begitu saja tetapi putusan tersebut harus dapat

dilaksanakan atau dijalankan.

Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan, oleh

karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yaitu kekuatan

untuk dilaksanakan apa yang menjadi ketetapan dalam putusan itu secara paksa

dengan bantuan alat-alat negara. Adapun yang yang memberi kekuatan eksekutorial

pada putusan hakim adalah kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan

Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”.117 Pada prinsipnya hanya putusan hakim

yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dijalankan. Suatu putusan itu dapat

dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila di dalam putusan

mengandung arti suatu wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak

yang berperkara sebab hubungan hukum tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi

oleh pihak tergugat.118

Dalam perkara perdata, putusan akan mempunyai kekuatan hukum tetap

apabila tidak ada banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, putusan

verstek yang tidak diikuti perlawanan (verzet), putusan perdamaian, putusan banding

yang tidak diikuti kasasi, dan putusan kasasi. “Terhadap putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap harus dieksekusi, tanpa eksekusi perkara diangap

belum selesai.” Dengan demikian, dalam perkara perdata eksekusi merupakan

kewajiban yang masih harus dijalankan oleh pengadilan sebagaimana yang

diisyaratkan dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan

dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua

Pengadilan. Sedangkan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tersebut menyatakan bahwa putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan

nilai kemanusiaan dan keadilan. Selain aturan yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tersebut, ketentuan eksekusi juga diatur dan dijelaskan dalam

Pasal 195-208 HIR dan Pasal 224-225 HIR (Pasal 206-240 Rbg dan Pasal 258 Rbg).

Muhammad Abdul Kadir berpendapat bahwa putusan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan Undang-Undang tidak

ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa untuk melawan putusan

117 Muhammad Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1990, hal. 173.118 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal. 5.

Page 49: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

tersebut, sedang putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah

putusan yang menurut ketentuan Undang-Undang masih terbuka kesempatan untuk

menggunakan upaya hukum untuk melawan putusan tersebut misalnya verzet,

banding dan kasasi.119

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, memiliki 3 macam

kekuatan, sehingga putusan tersebut dapat dilaksanakan, yaitu:120

1. Kekuatan mengikat;

2. Kekuatan bukti;

3. Kekuatan untuk dilaksanakan.

Pihak yang dihukum (pihak tergugat) diharuskan mentaati dan memenuhi

kewajibannya yang tercantum dalam amar putusan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap secara sukarela. Putusan sukarela yaitu apabila pihak yang kalah dengan

sukarela memenuhi sendiri dengan sempurna menjalankan isi putusan. Akan tetapi

tidak menutup kemungkinan putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu

pihak, karena dikemudian hari ada salah satu pihak yang merasa tidak puas dengan

putusan tersebut, maka yang akan terjadi adalah pengingkaran atau mengingkari

putusan tersebut. Suatu pengingkaran merupakan bentuk suatu perbuatan yang tidak

mau melaksanakan apa yang seharusnya dilakukannya atau yang menjadi kewajiban.

Cara melaksanakan putusan Hakim diatur dalam pasal 196 sampai dengan

pasal 208 H.I.R. Putusan dilaksanakan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

yang mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan dimulai dengan menegur

pihak yang kalah untuk dalam 8 hari memenuhi putusan dengan sukarela. Apabila

pihak yang dihukum tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka

putusan tersebut harus dilaksanakan dengan upaya paksa oleh pengadilan yang

disebut dengan eksekusi. Salah satu prinsip dari eksekusi yaitu menjalankan putusan

secara paksa. Putusan secara paksa merupakan tindakan yang timbul apabila pihak

tergugat tidak menjalankan putusan secara sukarela.121Ada tiga macam eksekusi yang

dikenal oleh hukum secara perdata:122

1. Eksekusi yang diatur dalam pasal 197 H.I.R dan seterusnya dimana seorang

dihukum untuk membayar sejumlah uang.

119 Muhammad Abdul Kadir, Op. Cit. hlm. 174.120 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia, (Jakarta, Djambatan. 1998), hlm. 82.121 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 184.122 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 116.

Page 50: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

2. Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 H.I.R., dimana seorang dihukum untuk

melaksanakan suatu perbuatan.

3. Eksekusi riil, yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetap tidak diatur

dalam H.I.R.

Dari hal tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan oleh para pihak, apabila salah

satu tidak dilaksanakan putusan hakim berarti pihak yang tidak melaksanakan

keputusan hakim secara suka rela tidak menjalankan putusan hakim yang berakibat

pihak yang tidak melakukan putusan tersebut secara dapat dilakukan tindakan paksa

atau eksekusi.

Eksekusi atas sebuah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde) seringkali dianggap sebagai langkah terakhir penyelesaian

suatu sengketa di pengadilan, di mana pihak yang menang berharap dengan

dilaksanakannya eksekusi tersebut, maka dia akan mendapatkan haknya sebagaimana

ditentukan oleh putusan pengadilan.

Namun, dalam praktiknya pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan tidak

semudah yang dibayangkan. Ada beberapa perkara yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijsde), namun mengalami hambatan dalam pelaksanaan

eksekusinya, sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Negeri Padang, dari sebanyak

68 permohonan eksekusi yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Padang pada tahun

2007-2009, sebanyak 36 berkas dapat terlaksana eksekusinya, sedangkan sebanyak 32

berkas belum dapat dilaksanakan. Di Pengadilan Negeri Padang ditemukan beberapa

permohonan eksekusi yang mengalami hambatan dalam pelaksanaannya, sehingga

meski putusannya sudah lama mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van

gewijsde), dan telah lama didaftarkan permohonan eksekusinya, tetapi dalam

pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama dan bahkan ada yang belum dapat

dilaksanakan eksekusinya meski telah memakan waktu bertahun-tahun. Adapun

hambatan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, antara lain disebabkan adanya

perlawanan dari termohon eksekusi dengan melakukan perbuatan anarkis melawan

petugas yang hendak melaksanakan sita eksekusi dan ada eksekusi yang mengalami

hambatan karena pada saat akan diletakkan sita eksekusi atas objek perkara ternyata

objek perkara telah berpindah tangan kepada pihak ketiga yang disebabkan karena

Badan Pertanahan Nasional (BPN) tetap memproses balik nama atau penerbitan

sertifikat baru atas objek sengketa. Bahwa atas permohonan eksekusi tersebut, pihak

Page 51: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

ketiga yang juga merasa memiliki hak atas objek sengketa kemudian mengajukan lagi

bantahan atau perlawanan terhadap pelaksaan eksekusi. Bahkan ada eksekusi yang

tidak dilaksanakan karena pemohon eksekusi tidak sanggup untuk membayar biaya

eksekusi, karena biayanya sangat besar, baik itu biaya yang diminta pihak Pengadilan

untuk pelaksanaan eksekusi maupun biaya yang diminta oleh pihak Kepolisian untuk

mengamankan pelaksanaan eksekusi tersebut. 123

Berbagai perkara eksekusi lainnnya yang dapat disampaikan dalam penulisan

makalah ini antara lain sebagai berikut:

a. Perkara eksekusi yang bermasalah di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sebagai

berikut:

1). Perkara Permohonan Eksekusi yang masuk dari tahun 2007 sampai

dengan tahun 2011, berjumlah : 256 Permohonan.

2). Perkara Permohonan Eksekusi yang selesai dari tahun 2007 sampai

dengan tahun 2011, berjumlah : 201 Permohonan.

3). Perkara Permohonan Eksekusi yang selesai dengan damai dari tahun

2007 sampai dengan tahun 2011, berjumlah : 149 Permohonan.

4). Kendala-kendala Perkara Permohonan Eksekusi :

a). Bank / Pemohon Eksekusi telah dilikuidasi.

b). Pemohon Eksekusi jika terjadi perdamaian diluar Peagadilan

Negeri, baik sampai Tahap Tegoran/Aanmaning atau Tahap

Eksekusi Pengosongan dan apabila tidak terdapat Sita pada

umumnya tidak dilaporkan Kepada Pengadilan Negeri ;

c). Dalam pelaksanaan Eksekusi Pengosongan sering terjadi

pengerahan masa, ormas maupun oknum yang dilakukan oleh

Termohon Eksekusi ;

d). Aparat Keamanan tidak mendukung dan memadai dikarenakan

situasi keamanan dalam pelaksanaan Eksekusi Pengosongan ;

e). Diajukan Gugatan, Perlawanan dan Bantahan ;

5). Bahwa dalam pelaksanaan Eksekusi ada yang dilakukan secara

sukarela sesuai Putusan maupun secara perdamaian di luar Putusan ;

b. Perkara eksekusi yang bermasalah di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sebagai

berikut:

123 Lihat: Ramli Rizal, Eksekusi Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Padang (Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang, 2012), hlm.3-4.

Page 52: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

1). Perkara No.14 / Eks / 2006 / PN.Jkt.Ut., Jo No.248 / Pdt.G / 1996 /

PN.Jkt.Ut., dalam perkara antara: Syamsudin bin Adang melawan N.V.

Tanjung dan Adang bin Manta;

Menarik oleh karena pada saat pelaksanaan Eksekusi Pengosongan

terjadi perlawanan massa yang cukup banyak dan setelah pihak

Pengadilan berkoordinasi dengan Kepolisian ternyata Kepolisian tidak

sanggup mengamankan pelaksanaan eksekusi pengosongan tersebut,

sehingga Eksekusi Pengosongan tidak dapat dilaksanakan sebagai

mestinya;

2). Perkara No.42/Eks/2007/PN.Jkt.Ut, Jo 77/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Ut.,

dalam perkara antara: Ahli Waris Sumardjo melawan Pemerintah R.I

Cq. Departemen Pertahanan Dan Keamanan R.I Cq. Kepala Staf TNI

Agkatan Laut;

Perkara tersebut menonjol karena pada saat dilakukan eksekusi

Pengosongan mendapat perlawanan dengan persenjataan lengkap dari

pihak TNI Angkatan Laut karena objek eksekusi Pengosongtm saat ini

dikuasai oleh TNI Angkatan Laut dan pihak Kepolisian selaku

Pengamanan Eksekusi Pengosongan menyatakan situasi tidak kondusif

sehingga Eksekusi Pengosongan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana

mestinya.

3). Perkara No.23 / Eks / 2007 / PN.Jkt.Ut Jo No.185 / Pdt.G / 2004 /

PN.Jkt.Ut, dalam perkara antara : Tinggal bin Mudam. Cs Melawan

Ahli Waris Soetidjab. Cs

Perkara tersebut menonjol karena setelah dilaksanakan Sita Eksekusi

terjadi perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) yang dilakukan oleh

Departemen Perhubungan Cq. Badan Pendidikan Dan Pelatihan yang

mana perlawanan tersebut hingga kini telah diputus sampai dengan

tahap kasasi dan perlawanan Pelawan dinyatakan tidak dapat diterima,

dan terhadap objek yang akan dilakukan Eksekusi Pengosongan

terdapat bangunan milik Departemen Perhubungan (Asset Negara).

c. Perkara eksekusi yang bermasalah di Pengadilan Negeri Jakarta Timur,

sebagai berikut:

1). No.41/1996 Eks Jo No.226/Pdt.G/1996/PN.Jkt.Tim, dalam perkara

antara Lasmono (Pemohon) dan Hendrawan (Termohon), Eksekusi

Page 53: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Pengosongan. Pemohon tidak kooperatif dan tidak menyetor biaya

pengamanan eksekusi kepada aparat keamanan karena biaya yang

disetor sesuai SKUM menurut aparat keamaann tidak mencukupi.

2). No.34/2001 Eks Jo No.149/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Tim, dalam perkara

antara Mefianti Pardede (Pemohon) dan Adrian TP Panggabean

(Termohon), Eksekusi Penyerahan Anak.

Lokasi Objek Eksekusi (Anak) tidak diketemukan dan informasi

terakhir dari Pemohon anak berada di luar negeri.

3). No.21/2003 Eks Jo. No.240/Pdt.G/1999/PN/Jkt.Tim, dalam perkara

antara Sutijo (Pemohon) dan Hj. Ida Wiadianingsih (Termohon),

Eksekusi Pengosongan.

Pemohon tidak aktif dan tidak menyetor biaya pengamanan eksekusi

kepada aparat keamanan karena biaya yang disetor sesuai dengan

SKUM menurut aparat keamanan tidak mencukupi.

4). No.01/2006 Eks Jo. No.214/Pdt.G/1998/PN.Jkt.Tim, dalam perkara

antara Wiyana (Pemohon) dan Susanti Teng CS (Para Termohon),

Eksekusi Penyerahan.

Pemohon belum dapat menyediakan/menyerahkan 16 sertifikat dan

Pemohon tidak aktif untuk melanjutkan eksekusi.

5). No.23/2006 Eks Jo.No.16/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Tim, dalam perkara

antara Yansen Panjaitan dan Masnur Manalu (Pemohon) dan Panglima

TNI Cq. Kepala Perhubungan Kodam Jaya (Termohon), Eksekusi

Pengosongan.

Sedang dimohonkan bantuang kepada Panglima TNI karena objek

eksekusi saat ini masih didiami oleh prajurit TNI aktif, serta objek

eksekusi berada di lingkungan komplek TNI (Kopassus) dan pihak

Kodam Jaya masih keberatan tanah tersebut dieksekusi.

6). No.28/2007 Eks Jo No.02/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Tim, Nanda (Pemohon),

Eksekusi Pengosongan.

Pemohon tidak kooperatif dan tidak menyetor biaya pengamanan

eksekusi kepada aparat keamanan karena biaya yang disetor sesuai

SKUM menurut aparat keamanan tidak mencukupi.

Page 54: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

7). No.33/2008 Eks Jo.No.133/Pdt.G/1987/PN.Jkt.Tim, perkara antara

H.Asikin Cs (Pemohon) dan Pertamina Cs (Termohon), Eksekusi

Pembayaran Sejumlah Uang.

Sudah ada penetapan harta tanah oleh Tim Penaksir Independent yang

dibentuk oleh P2T sesuai isi putusan Mahkamah Agung RI, akan tetapi

pihak Pertamina masih belum melaksanakan isi putusan.

8). No.20/2009 Eks Jo RL No.097/2009, perkara antara Zulkifli AM

(Pemohon) dan Syafri Sali (Termohon), Eksekusi Pengosongan.

Sedang musyawarah antara Pemohon dengan Termohon dan

Termohon sedang berusaha membeli kembali objek eksekusi.

9). No.08/2006 Eks Jo.No.193/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Tim, perkara antara

Yuttie R. Pamilih (Pemohon) dan drg. Pitna Tontey (Termohon),

Eksekusi Pengosongan.

Eksekusi tertunda karena keamanan tidak mendukung dan saat ini akan

Rakor kembali.

(Selain perkara tersebut di atas, terdapat pula perkara-perkara lainnya yang

telah berkekuatan hukum tetap, namun belum dilakukan eksekusinya karena

Pemohon belum mengajukan permohonan eksekusi).

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Hasanuddin, menunjukkan bahwa

faktor penyebab terjadinya hambatan eksekusi karena adanya : 124

1). Upaya hukum yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk melawan

putusan pengadilan, sehingga perkara tersebut mentah kembali, sebelumnya

putusan sudah dapat dieksekusi akhirnya tertunda oleh adanya upaya hukum

tersebut.

2). Karena perikemanusiaan yang tidak mungkin pemohon eksekusi memaksakan

termohon eksekusi untuk melaksanakan putusan pengadilan di mana

menyangkut dengan perikemanusiaan yang dalam praktek ditemukan

termohon eksekusi harus membongkar rumah di atas tanah tereksekusi.

3). Karena objek eksekusi masih tersangkut perkara lain seperti dalam kasus

Nomor 3/Pdt.G/1995/PN.SAB tanggal 12 September 1995. Eksekusi belum

124 Hasanuddin, Kajian Tentang Hambatan Eksekusi Putusan Perkara Perdata (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh), Lihat: http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 20 Januari 2013, jam: 13.30 WIB.

Page 55: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

dapat dilakukan karena objek eksekusi masih tersangkut perkara waris-

mewaris.

4). Karena tidak adanya biaya pemohon eksekusi sehingga tertundanya eksekusi.

5). Karena tidak adanya bantuan keamanan baik oleh ketidaksediaan pihak

keamanan sendiri dan juga oleh karena tidak adajarninan keamanan di

lapangan, serta lokasi eksekusi jauh di pedalaman sehingga sulit dijangkauan

oleh pihak keamanan dan petugas eksekusi.

Menurut Mohammad Saleh beberapa eksekusi putusan perkara perdata harus

tertunda, misalnya karena adanya perlawanan, objek eksekusi tidak sama dengan yang

ada di lapangan dan lain-lain, dan ada juga yang dinyatakan non executable. Bahkan,

ada pula eksekusi putusan perkara perdata yang bertentangan dengan putusan perkara

pidana terhadap objek eksekusi. Begitu pula, ada putusan pengadilan tata usaha yang

bertentangan dengan pelaksanaan putusan perkara perdata. Selain itu, banyaknya surat

yang diajukan kepada Mahkamah Agung perihal permohonan perlindungan hukum

dari termohon eksekusi atau pemohon eksekusi, bahkan dari Ketua Pengadilan Negeri

yang memohon petunjuk MA dari berbagai kota di Indonesia menunjukkan bahwa

masih banyak diperoleh eksekusi perkara perdata yang tertunda atau non executable,

atau dengan kata lain eksekusi tersebut belum sepenuhnya berjalan mulus, baik itu

eksekusi putusan yang sudah in kracht van gewijsde ataupun pelaksanaan putusan

serta merta. 125 Keadaan ini menyulitkan pihak pengadilan dalam melaksanakan

eksekusi.

Dari uraian tersebut di atas berikut ini penulis akan menguraikan mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan eksekusi, khususnya yang

menghambat pelaksanaan eksekusi disertai dengan analisa yang didasarkan pada

pendapat Soerjono Soekanto mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan

hukum:

a. Faktor Hukum

Salah satu penyebab tidak dapat dilaksanakannya eksekusi adalah adanya

perkara bantahan yang diajukan oleh termohon eksekusi atas permohonan

eksekusi yang diajukan oleh pemohon eksekusi. Dalam praktiknya bila ada

bantahan atau perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga maupun pihak

termohon terhadap eksekusi, pihak Pengadilan Negeri menunda pelaksanaan

eksekusi sampai perkara bantahan atau perlawanan tersebut diputus oleh

125 Mohammad Saleh, Op,Cit, hlm.65.

Page 56: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Pengadilan Negeri. Apabila bantahan dari termohon eksekusi atau perlawanan

dari pihak ketiga ditolak, maka eksekusi akan dilaksanakan, tanpa menunggu

lagi perkara tersebut berkekuatan hukum tetap. Artinya eksekusi tetap

dilaksanakan meski ada upaya hukum dari Pembantah atau Pelawan.

Sebaliknya, apabila bantahan atau perlawanan tersebut dikabulkan, maka

tentunya eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Bantahan terhadap eksekusi atau

perlawanan yang diajukan pihak ketiga tentunya akan menghambat eksekusi.

Meski tidak ada diketemukan ketentuan yang mengharuskan penundaan

eksekusi apabila ada bantahan atau perlawanan, namun dalam praktiknya

sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Negeri, apabila ada bantahan atau

perlawanan, proses eksekusi dihentikan (ditangguhkan) menunggu sampai

adanya putusan terhadap bantahan atau perlawanan tersebut. Penundaan

eksekusi ini bisa dipahami, dengan mempertimbangkan asas manfaat, karena

sekiranya bantahan atau perlawanan dikabulkan sedang eksekusi sudah

dilaksanakan, maka akan merugikan pihak yang bantahan atau perlawanannya

dikabulkan, khususnya apabila eksekusinya berupa pengosongan lahan atau

pembongkaran suatu bangunan. Bantahan terhadap eksekusi maupun

perlawanan pihak ketiga terhadap putusan itu sendiri dimungkinkan

berdasarkan ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) Rbg serta

Pasal 378 Rv. Bahkan Pasal 381 Rv menentukan bahwa hakim yang

memeriksa perkara perlawanan, jika ada alasan-alasannya dapat menunda

pelaksanaan putusan yang dilawan sampai perkara perlawanan tersebut

diputus. Menurut hemat penulis, pengaturan eksekusi sebagaimana tersebut

pada Pasal 195-208 HIR, Pasal 224 HIR (Pasal 206-240 Rbg dan Pasal 258

Rbg), Pasal 1033 Rv serta beberapa buah Surat Edaran Mahkamah Agung

yang berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi, mengingat pengaturannya

tersebar dan terpisah-pisah mengakibatkan kesulitan tersendiri dalam upaya

memahami pelaksanaan eksekusi. Di samping itu, mengenai eksekusi riil yang

mengacu pada Rv, menimbulkan permasalahan tersendiri, dikarenakan

sebagaimana ditegaskan oleh Soepomo, dengan dihapuskannya Raad Justitie

dan Hooggerechtshof, maka Rv sudah tidak berlaku lagi, yang berlaku hanya

HIR dan Rbg. Berdasarkan telaah di atas, penulis berpendapat bahwa

pengaturan mengenai eksekusi perlu diatur secara lebih sistematis dan jelas

dalam suatu peraturan perundang-undangan. Di sini diharapkan pembahasan

Page 57: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

dan pengesahan Rancangan Undang-Undang mengenai Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Perdata yang di dalamnya juga mengatur tentang eksekusi bias

segera dilaksanakan, sehingga memudahkan dalam memahami aturan

mengenai eksekusi dan memudahkan dalam pelaksanaannya.

b. Faktor Ketiadaan Biaya

Berdasarkan hasil penelitian penulis, faktor yang paling banyak

mempengaruhi tidak terlaksananya eksekusi di Pengadilan Negeri adalah

banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk mengajukan eksekusi. Biaya resmi

panjar perkara yang harus disetorkan oleh pemohon eksekusi ke atas nama

rekening kepaniteraan Pengadilan Negeri melalui Bank Rakyat Indonesia

(BRI) sebagaimana adalah sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) dan jika

diletakkan sita eksekusi, maka pemohon eksekusi menyetor biaya sita eksekusi

sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Selanjutnya sejak

tahun 2010 terdapat perubahan tentang biaya panjar eksekusi, yaitu menjadi

sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Apabila eksekusi tidak dapat

dilaksanakan secara sukarela maka eksekusi dilakukan secara paksa dengan

melibatkan pihak keamanan dan terhadap biaya pengaman ini, pemohon

eksekusi mengeluarkan biaya banyak, yang bahkan melebihi biaya panjar

eksekusi. Bahkan jika eksekusi riil berupa pengosongan bangunan atau

tanaman di atas objek perkara dilakukan, pemohon eksekusi mengeluarkan

lagi biaya yang sangat besar karena pihak pengadilan akan meminta biaya

tambahan untuk menyewa alat-alat berat seperti exsafator dan mesin sinso

serta membayar biaya buruh untuk pengosongan yang jumlahnya melebihi

dari jumlah biaya panjar eksekusi. Pada umumnya responden mengatakan

penyebab utama tidak dapat dilaksanakanya eksekusi tersebut adalah

dikarenakan pemohon eksekusi pasif, yang disebabkan karena biaya untuk

eksekusi terlalu besar. Biaya tersebut meliputi biaya resmi seperti biaya

permohonan eksekusi dan biaya sita serta biaya tidak resmi seperti biaya sidik

untuk juru sita ke lokasi objek perkara serta biaya pengamanan yang

cenderung lebih besar jika dibandingkan panjar biaya eksekusi. Di samping

itu, untuk mengatasi masalah besarnya biaya pengamanan yang harus

dibayarkan oleh pemohon kepada pihak kepolisian, menurut pandangan

Page 58: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

penulis, sebenarnya bisa diselesaikan apabila pihak Kepolisian memahami

peranan yang seharusnya diemban (expected rule) dan tugas-tugas utamanya.

Putusan yang dapat dieksekusi pada hakikatnya adalah putusan yang bersifat

condemnatoir yang pelaksaannya jika pihak tergugat tidak bersedia

melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka pelaksanaannya dapat dengan

mengunakan upaya paksa dengan bantuan aparat keamanan. Menurut penulis

berdasarkan isi putusan, sebenarnya aparat keamanan sudah terikat untuk ikut

membantu pelaksanaan eksekusi tanpa diberikan biaya yang besar, karena

putusan tersebut adalah produk hukum dari lembaga resmi negara, yaitu

lembaga yudikatif yang harus dipatuhi setiap warga negara dan pihak

kepolisian sebagai aparat keamanan bila diminta bantuannya oleh pihak

pengadilan untuk mengamankan pelaksanaan eksekusi haruslah

melaksanakannya, karena merupakan tugas dan kewajibannnya dalam

pengamanan. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya Pasal 30 ayat (4)

konstitusi kita menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia

sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat

bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan

hukum. Peranan Polisi dalam penegakan hukum ditegaskan lagi dalam Pasal 5

ayat (1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Repuplik Indonesia yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik

Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan

dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

terpeliharanya keamanan dalam negeri. Adalah tidak wajar apabila aparat

keamanan meminta biaya pengaman yang terlalu besar. Oleh karena dari sikap

aparat keamanan yang menentukan biaya yang terlalu besar, menyebabkan

pemohon eksekusi tidak dapat memenuhi permintaan tersebut dan berakibat

eksekusi tidak terlaksana, maka harapan pemohon eksekusi untuk

mendapatkan apa yang menjadi haknya serta memperoleh kepastian hukum

terhadap perkaranya yang sudah berjalan bertahun-tahun menjadi tidak jelas.

Perlu disadari bahwa hak mendapatkan keadilan sebagai hak dasar yang

Page 59: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

dijamin oleh konstitusi tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki

uang (mampu membayar biaya perkara), melainkan juga menjadi hak bagi

kaum papa, sehingga menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhi

keadilan terhadap orang yang kurang mampu. Di sinilah perlunya ada diskresi

dari pimpinan Pengadilan dan Kepolisian, sehingga terhadap justisiabel yang

kurang mampu bisa dibebaskan dari menanggung biaya berperkara atau

setidak-tidaknya diberi keringanan. Di dalam penegakan hukum, sebagaimana

dikemukakan Soerjono Soekanto, keberadaan diskresi ini sangat penting,

terutama oleh karena adanya kasus-kasus individual yang memerlukan

penanganan secara khusus.

c. Faktor Objek Perkara Kabur

Faktor berikutnya yang menghambat pelaksanaan eksekusi adalah pada waktu

pengadilan meletakkan sita eksekusi atau melaksanakan eksekusi terhadap

eksekusi riil atau pengosongan tempat yang dikuasai oleh termohon eksekusi,

pemohon eksekusi kesulitan menentukan batas-batas tanah yang akan

dieksekusi, yang berakibat eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Untuk

mengantisipasi adanya objek perkara yang kabur, Mahkamah Agung melalui

Surat Edarannya No. 7 Tahun 2001 Tentang Pemeriksaan Setempat,

mewajibkan kepada Hakim dalam hal memeriksa perkara yang objeknya

berupa tanah agar dilakukan pemeriksaan setempat, sehingga lokasi serta

batas-batas objek perkara jelas dan memudahkan dalam eksekusinya. Putusan

perkara perdata sebagai hukum yang mengikat bagi pihak-pihak yang

berperkara semestinya memuat amar yang jelas dan eksekutabel. Oleh

karenanya hakim dalam membuat putusan, harus benar-benar hati-hati dan

teliti serta dapat memastikan bahwa putusan yang dibuatnya dapat

dilaksanakan, karena Putusannya tersebut nantinya akan hukum in concreto, di

mana pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan menggunakan alat negara.

d. Faktor Objek Perkara Telah Berpindah Tangan Kepada Pihak Lain

Pelaksanaan eksekusi dapat pula terhalang oleh karena objek perkara telah

berpindah tangan kepada pihak lain, bahkan telah diterbitkan sertifikat atas

nama pihak ketiga di atas tanah objek perkara. Hal ini baru diketahui pada saat

diletakkan sita eksekusi atas objek perkara. Apabila objek perkara telah

berpindah tangan kepada pihak lain, tentunya eksekusi terhambat, karena

Pengadilan juga harus memperhatikan dan melindungi hak pihak ketiga yang

Page 60: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

menguasai objek perkara, apalagi jika penguasaan tersebut didasarkan pada

i’tikat baik. Untuk menghindari berpindahnya objek kepada pihak lain,

penggugat dalam proses beracara sedini mungkin sebaiknya mengajukan

permohonan sita jaminan (conservatoir beslag), dan terhadap permohonan

tersebut hakim benar-benar harus mempertimbangkannya, sehingga bila

dinilai berasalan bias segera dikeluarkan Penetapan Sita. Guna meringankan

justisiabel, sayogyanya pengadilan tidak mematok biaya yang tinggi dalam hal

pelaksanaan sita jaminan, hal ini dapat mendorong penggugat untuk

mengajukan sita jaminan. Di samping itu, penggugat dituntut berperan aktif

untuk memberitahukan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) bahwa

objek tanah dimaksud sedang dalam berperkara, sehingga diharapkan tidak

terjadi peralihan hak kepada orang lain. Kerjasama yang baik dari BPN juga

sangat diharapkan, karena berdasarkan pengalaman penulis, pihak BPN ketika

dijadikan sebagai turut tergugat dalam suatu perkara, jarang sekali memenuhi

panggilan persidangan. Padahal kehadiran BPN sangat penting tidak hanya

untuk memperjelas asal usul hak atas tanah serta proses keluarnya sertifikat

hak atas tanah, tetapi juga dapat memastikan bahwa BPN tidak akan

mengesahkan peralihan hak atas tanah yang sedang bersengketa.

e. Faktor Termohon Eksekusi Tidak Mempunyai Harta Baik Bergerak Ataupun

Tidak Bergerak Untuk Diletakkan Sita Eksekusi Untuk Pemenuhan Isi

Putusan

Apabila termohon eksekusi tidak memiliki harta, baik harta bergerak maupun

harga tidak bergerak, tentunya akan menyulitkan dalam upaya pemaksaan

pemenuhan putusan, oleh karena tidak ada harta yang dapat diletakkan sita

sebagai jaminan atau upaya untuk pemenuhan isi putusan.

Kemenangan Penggugat dalam keadaan demikian merupakan kemenangan di

atas kertas, karena apa yang dituntutnya dalam amar dan dikabulkan oleh

pengadilan, tidak dapat dimohonkan eksekusinya, kecuali termohon eksekusi

secara sukarela bersedia memenuhi isi putusan.

Di sinilah pentingnya faktor masyarakat dalam upaya penegakan hukum.

Penggugat sebelum mengajukan gugatan harus pula bisa memastikan bahwa

apa yang dituntutnya dapat dipaksakan pemenuhannya, sehingga kemenangan

Penggugat nantinya tidak hampa. Masyarakat kita hendaknya didorong untuk

mempunyai kompetensi hukum, dalam arti mengetahui hak-hak dan

Page 61: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

kewajiban-kewajiban, serta mengetahui aktivitas-aktivitas penggunaan upaya-

upaya hukum untuk melindungi, memenuhi, dan mengembangkan kebutuhan-

kebutuhan mereka sesuai dengan aturan yang ada.

f. Faktor Dukungan Aparat Penegak Hukum

Adapun yang dimaksud dengan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan

eksekusi adalah aparat yang melaksanakan eksekusi itu sendiri yaitu pihak

Pengadilan Negeri dan aparat yang mendukung pelaksanaan eksekusi yang

berhubungan dengan pengamanan eksekusi, yaitu pihak Kepolisian.

Bahwa kapasitas penegak hukum yang melaksanakan eksekusi dari pihak

Pengadilan maupun dari pihak Kepolisian yang mengamankan pelaksanaan

eksekusi cukup baik, namun yang memberatkan bagi pemohon eksekusi

mengenai biaya yang diminta untuk pelaksanaan eksekusi oleh pihak

Pengadilan Negeri maupun untuk biaya pengamanan eksekusi yang diminta

oleh pihak Kepolisian sangat besar. Dengan adanya permintaan biaya yang

besar tersebut, pihak pemohon eksekusi tersebut ada yang menunda

pelaksanaan eksekusinya untuk sementara waktu dan bahkan ada yang belum

mengajukan permohonan eksekusinya sama sekali. Dalam pandangan Penulis,

faktor ini sangat penting, karena menjadi ujung tombak keberhasilan eksekusi.

Ketua Pengadilan dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab eksekusi

memiliki peran yang sangat penting, sejak penelaahan terhadap permohonan

eksekusi, pengeluaran penetapan eksekusi, aanmaning, sampai dengan

pelaksanaannya. Demikian halnya Panitera selaku pelaksana eksekusi serta

juru sita yang turut melaksanakan eksekusi sangat menentukan berhasil atau

tidaknya eksekusi. Diperlukan pengetahuan hukum yang memadai,

pengalaman dan kemahiran yang cukup serta sikap profesionalitas dari

pejabat-pejabat tersebut, untuk mensukseskan eksekusi, sehingga dengan

berbagai rintangan dan hambatan yang ada dapat diatasi dengan baik. Adanya

perlawanan secara anarkhis dari pihak termohon eksekusi maupun masyarakat

sekitar dapat diupayakan solusinya dengan melakukan pendekatan secara

personal (personal approach) dan sikap tegas pelaksana eksekusi, sehingga

tidak mudah membatalkan eksekusi pada saat menghadapi resistensi dari

massa. Di sini tentunya diperlukan dukungan penuh dari aparat keamanan, di

mana kesiap-siagaan aparat keamanan yang telah terlatih diharapkan mampu

”meredam” perlawanan massa, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan.

Page 62: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

g. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan

Faktor masyarakat dalam hal ini yang dimaksud adalah terbatasnya

pengetahuan hukum dan kesadaran hukum yang rendah, dimana faktanya

terdapat beberapa anggota masyarakat yang tidak secara sukarela

menyerahkan objek perkara yang telah di putus dan telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap. Untuk dapatnya penggugat memperoleh haknya

sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan, pihak yang kalah jarang

sekali secara suka rela bersedia memenuhi isi putusan, sehingga memerlukan

adanya eksekusi dengan dukungan aparat keamanan. Apabila eksekusi secara

paksa inipun dilaksanakan, belum tentu berjalan lancar, ada saja yang

menghalanginya. Adapun faktor kebudayaan dalam kaitannya dengan

penegakan hukum dalam pelaksanaan eksekusi akan bersinggungan langsung

dengan persoalan kemasyarakatan, dimana dalam hal ini akan tidak jauh

berbeda dengan alasan faktor masyarakat sebelumnya. Selain itu, adanya

kecendrungan termohon eksekusi mempengaruhi warga di sekitar tempat

eksekusi yang simpati terhadapnya untuk berbuat anarkis agar eksekusi tidak

terlaksana, sehingga pelaksanaan sita eksekusi tersebut tidak terlaksana.

Dalam mengatasi masalah ini, masyarakat kita harus diberikan pemahaman

hukum yang benar dan ditingkatkan kesadaran hukumnya. Oleh karena itu

Ketua Pengadilan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan eksekusi

haruslah dapat memberikan pemahaman hukum serta mendorong kesadaran

hukum, khususnya bagi termohon eksekusi sewaktu annmaning, agar

termohon eksekusi dapat mematuhi amar putusan atau setidak-tidaknya tidak

melakukan perlawanan atau tindakan anarkis ketika akan dilaksanakan

eksekusi. Untuk itu diharapkan pula kepada juru sita pada saat menyampaikan

surat panggilan aanmaning, melaksanakannya secara benar dan

bertanggungjawab, yaitu surat panggilan harus benar-benar sampai kepada

termohon eksekusi dan mendorong agar termohon eksekusi hadir pada saat

aanmaning, sehingga bisa diberikan pemahaman yang memadai oleh ketua

pengadilan mengenai arti pentingnya eksekusi pada saat aanmaning.

h. Faktor Sarana dan Prasarana

Adapun yang dimaksud dengan faktor sarana prasarana dalam hal ini adalah

segala hal perangkat pendukung baik perangkat lunak maupun keras yang

dapat memberikan andil terlaksananya eksekusi dengan lancar. Di antaranya

Page 63: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

fasilitas perkantoran baik berupa gedung dan pendukung kerja administrasi

serta penggunaan teknologi dan lain sebagainya.

2. Urgensi Forum Mediasi Dalam Rangka Mengatasi Penumpukan Perkara

Pada dasarnya batas usaha perdamaian hanya terbuka sepanjang pemeriksaan

di persidangan126 namun dalam praktek dengan kesadarannya sendiri para pihak

berdamai saat proses eksekusi. Para pakar hukum mengemukakan, bahwa

pelaksanaan eksekusi harus sesuai bunyi putusan. Bila tidak dapat dieksekusi secara

riil dilakukan lelang. Bila para pihak dalam melaksanakan eksekusi berdamai

mengenai pembagian objek sengketa eksekusi dapat menyimpangi bunyi putusan dan

dilakukan pembagian sesuai kesepakatan para pihak.127

Berdasar pada uraian tersebut dan berpijak pada azas perdamaian dalam

pemeriksaan perkara perdata, dan pula dengan terbitnya Perma Nomor 1 Tahun 2008,

oleh karena waktu itu walaupun dalam proses eksekusi dan kemudian para

menemukan mufakat dan damai dalam proses mediasi yang dilakukan, maka hal

tersebut suatu prestasi yang luar biasa dan menggembirakan dimata hukum. Dengan

demikian perdamaian pada proses eksekusi masih dibenarkan oleh hukum, dengan

syarat perdamaian dimaksud secara tertulis.

Selanjutnya, dalam proses mediasi yang dilakukan oleh pihak pengadilan

(hakim) terhadap eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,

maka hakim yang bertindak sebagai mediator harus menyelidiki kebenaran

perdamaian tersebut, dengan memperhatikan, hal-hal sebagai berikut :

1. Pernyataan dari tereksekusi tentang adanya perdamaian.

2. Pemohon eksekusi membenarkan dan menyetujui adanya perdamaian.

3. Perdamaian dimaksud secara tertulis.

Bila termohon eksekusi mengajukan permohonan untuk penangguhan

pelaksana lelang dengan janji akan melaksanakan isi putusan secara suka rela disertai

dengan surat pernyataan, maka diperbolehkan dengan syarat termohon eksekusi

menyerahkan uang jaminan guna biaya pelaksanaan eksekusi berikutnya serta diberi

batas waktu.128

126 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm.830.127 Mahkamah Agung RI Tahun 2008, hlm. 8.128 Mahkamah Agung RI, Tahun 2001, hlm.78.

Page 64: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Dalam hal benar adanya perdamaian, Pengadilan harus mempertimbangkan

dan bijak menghadapi para pihak atau masyarakat pendukung para pihak yaitu

menangguhkan pelaksanaan eksekusi dengan batas waktu tertentu, apalagi bila

pengamanan tidak sebanding dengan masa para pihak, demi keselamatan aparat

negara khususnya dan masyarakat umumnya. Pemberian batas penangguhan eksekusi

disesuaikan kesepakatan para pihak, atau misalnya selama enam bulan sejak keluar

surat perintah eksekusi.

Oleh karena perdamaian pada proses eksekusi dalam pembahasan ini diluar

campur tangan Pengadilan, maka perdamaian dimaksud tidak menghapus atau

menggantikan amar putusan perkaranya, melainkan salah satu bentuk dari

pelaksanaan amar putusan perkaranya.

Dalam mengupayakan perdamaian digunakan Perma Nomor 1 Tahun 2008

Tentang Mediasi, yang mewajibkan agar semua perkara yang diajukan ke pengadilan

tingkat pertama wajib untuk diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan

mediator yang diatur dalam pasal 2, ayat (3) dan (4) yang berbunyi yaitu:

(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan

pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang

mengakibatkan putusan batal demi hukum.

(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa

perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi

dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Perdamaian itu sendiri pada dasarnya harus mengakhiri perkara, harus

dinyatakan dalam bentuk tertulis, perdamaian harus dilakukan oleh semua pihak yang

terlibat dalam perkara dan oleh orang yang mempunyai kuasa untuk itu, dan

ditetapkan dengan akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum dan sifatnya

final. Jadi sebelum pemeriksaan perkara dilakukan hakim pengadilan negeri selalu

mengupayakan perdamaian para pihak di persidangan. Dalam ketentuan Perma

Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi, tidak ada klausul larangan bagi Hakim dalam

menempuh prosedur mediasi terhadap eksekusi putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.Sehingga terhadap permasalahan eksekusi atas

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang tidak dapat

dilaksanakan eksekusinya, dapat dilakukan upaya penyelesaian sengketa eksekusi

melalui mediasi, baik yang dilakukan di luar pengadilan maupun oleh hakim pada

Page 65: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

pengadilan negeri. Penyelesaian sengketa eksekusi ini menurut penulis juga bagian

dari upaya pengintegrasian sistem mediasi dalam pengadilan.

Pengintegrasian sistem mediasi dalam proses beracara di Pengadilan, termasuk

dalam mediasi terhadap konflik eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dianggap sebagai proses penyelesaian sengketa yang lebih

cepat dan relatif murah, sehingga dapat memberikan kontribusi positif dalam

memenuhi rasa keadilan serta memberikan hasil memuaskan bagi para pihak yang

bersengketa. Hal tersebut disebabkan pengintegrasian sistem mediasi lebih

mengutamakan pendekatan konsensus dalam mempertemukan kepentingan para pihak

yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke

arah win-win solution. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di

pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan

penumpukan perkara di pengadilan. Selain itu institusionalisasi proses mediasi ke

dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga

pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat

memutus (adjudikatif).

Penumpukan perkara perdata yang ditangani oleh pengadilan negeri

sepanjang tahun 2010 berjumlah 56.337 perkara. Jumlah ini terdiri dari 46.203

perkara yang diterima sepanjang tahun 2010 dan 10.134 perkara yang merupakan sisa

tahun sebelumnya. Keseluruhan jumlah tersebut terdiri dari 25.924 perkara gugatan

(46,02 %) dan 30.413 perkara permohonan (53,98 %). Jumlah perkara perdata yang

diselesaikan pada tahun 2010 sebanyak44.480 perkara, yang terdiri dari 42.670

perkara selesai karena diputus dan 1.810 perkara selesai karena dicabut. Sisa perkara

pada akhir Desember 2010 berjumlah 11.857 perkara (21,05 %).

Berdasarkan perbandingan jumlah perkara yang ditangani dan diselesaikan

selama tahun 2010 menggambarkan penyelesaian perkara perdata pada tingkat

pertama sebesar 78,95 %. Berikut ini figur keadaan perkara perdata pada pengadilan

negeri sepanjang tahun 2010.

Tabel 1:Keadaan Perkara Perdata Yang Ditangani Pengadilan Negeri Tahun 2010

Jenis Sisa Masuk Jumlah Putus Cabut SisaGugatan 8.085 17.839 25.924 14.877 1.348 9.699

Permohonan 2.049 28.364 30.413 27.793 462 2.158Jumlah 10.134 46.203 56.337 42.670 1.810 11.857

Sumber: Mahkamah Agung RI Tahun 2010

Page 66: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Selama tahun 2010, jumlah perkara perdata yang ditangani pada tingkat

banding berjumlah 5.902 perkara. Jumlah ini terdiri dari perkara yang diterima tahun

2010 sebanyak 4.560 perkara dan sisa tahun 2009 berjumlah 1.342 perkara. Dari

jumlah tersebut, perkara yang berhasil diselesaikan selama tahun 2010 berjumlah

4.353 perkara. Sebanyak 11 perkara selesai karena dicabut, dan 4.342 perkara selesai

karena diputus. Dengan demikian, sisa perkara pada akhir tahun berjumlah 1.549

perkara (26,25 %). Berdasarkan data tersebut di atas, rasio penyelesaian perkara

perdata pada tingkat banding sebesar 73,75 %.

Dari data perbandingan perkara perdata (gugatan) yang diputus di tingkat

pertama sepanjang 2010 (14.877 perkara) dan jumlah perkara banding (4.560

perkara), dapat ditarik kesimpulan bahwa terhadap putusan perkara perdata, terdapat

30,65 % pencari keadilan yang menempuh upaya hukum lanjutan. Perkara perdata

yang diterima Mahkamah Agung RI tahun 2010 berjumlah 4.144 perkara. Jumlah ini

naik 6,26 % dari penerimaan perkara tahun 2009 yang berjumlah 3.900 perkara. Dari

4.144 perkara perdata yang diterima tersebut, jumlah terbesar (1824 perkara atau

44,26 %) merupakan perkara yang berkaitan dengan sengketa tanah. Sementara

perkara lain yang mendominasi perkara perdata adalah perbuatan melawan hukum

yang mencapai 836 perkara (20,17 %). Klasifikasi selengkapnya sebagaimana dalam

tabel berikut ini:

Tabel 2:Klasifikasi Perkara Perdata Yang Diterima Mahkamah Agung RI Tahun 2010

No Klasifikasi Jumlah Persentase1 Tanah 1834 44,262 Perbuatan Melawan Hukum 836 20,173 Perikatan 689 16,634 Perceraian 206 4,975 Perlawanan 203 4,906 Waris 153 3,697 Wanprestasi 102 2,468 Ganti rugi 58 1,409 Class Action 5 0,12

Jumlah 4.144Sumber: Mahkamah Agung RI Tahun 2010

Page 67: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Saat ini kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan semakin berkurang.

Salah satu masalah yang dihadapi oleh badan peradilan di Indonesia adalah

lambannya proses penyelesaian perkara di Mahkamah Agung. Dengan penyelesaian

sebanyak 8.500 perkara setiap tahunnya sedangkan penerimaan perkara yang jumlah

dan besarnya selalu bertambah, dapat diperkirakan bahwa penumpukan putusan di

Mahkamah Agung tidak akan dapat diselesaikan.129

            Banyaknya perkara Kasasi maupun Peninjauan Kembali yang diajukan ke

Mahkamah Agung disebabkan bahwa sistem hukum yang berlaku sekarang ini tidak

membatasi perkara apa saja yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung, antara lain

sedapat mungkin menyelesaikan perkara di Pengadilan tingkat pertama atau tingkat

banding, dengan musyawarah melalui penyelesaian sengketa alternatif baik di luar

pengadilan maupun di dalam pengadilan.130

Khusus dalam bidang keperdataan, dimana salah satu asas hukum acara

perdata menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perdata melalui putusan pengadilan

merupakan ultimum remedium atau alternatif terakhir, yang artinya bahwa

penyelesaian perkara perdata semaksimal mungkin harus diselesaiakan dengan

musyawarah kekeluargaan. Hal ini dilandasi dengan suatu pemikiran bahwa perkara

perdata pada umumnya terjadi antara pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan,

ataupun telah memiliki hubungan sosial yang dekat. Jika proses penyelesaian

perkaranya melalui proses beracara dengan putusan pengadilan akibatnya akan

merusak hubungan kekeluargaan yang telah lama terbangun sebelumnya.131    

            Dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa terdapat enam macam tata cara penyelesaian sengketa di luar

pengadilan, yaitu: (1).Konsultasi. (2).Negosiasi. (3).Mediasi. (4).Konsiliasi.

(5).Pemberian pendapat hukum. (6).Arbitrase. Pengaturan mengenai mediasi dapat

ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (5) UU

No.30 tahun 1999. Ketentuan mediasi yang diatur dalam pasal tersebut merupakan

suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat

(2) UU No. 30 tahun 1999 132

129 Mahkamah Agung RI, 2004, Mediasi dan Perdamaian. Disampaikan oleh H. Soeharto (ketua steering comitte Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), dalam pengarahan dalam rangka Pelatihan Mediator Dalam Menyambut Penerapan Mediasi . Jakarta.130 Mahkamah Agung RI, Ibid.131 Miswardi, Hukum Acara Perdata, (Bukit Tinggi: STAIN Press, 2005).hlm.36.132 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 90.

Page 68: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Dalam hal tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari keadilan

terhadap putusan pengadilan. MA mencoba mengintegrasikan proses penyelesaian

sengketa alternatif (non litigasi ) dalam hal ini mediasi ke dalam proses peradilan

(litigasi). Yaitu dengan menggunakan proses mediasi untuk mencapai perdamaian

pada tahap upaya damai di persidangan dan hal inilah yang biasa disebut dengan

lembaga damai dalam bentuk mediasi atau lembaga mediasi.

Model lembaga mediasi yang diterapkan di Indonesia sangat mirip dengan

mediasi yang diterapkan di Australia, yaitu sistem mediasi yan berkoneksitas dengan

pengadilan (mediation connected to the court). Pada umumnya yang bertindak

sebagai mediator adalah pejabat pengadilan. Dengan demikian, compromise solution

yang diambil bersifat paksaan (compulsory) kepada kedua belah pihak. Namun agar

resolusinya memiliki potensi memaksa, harus lebih dulu diminta persetujuan para

pihak dan jika mereka setuju, resolusi mengikat dan tidak ada upaya apapun yang

dapat mengurangi daya kekuatannya. 133

            Indonesia telah mengenal dan mengakui cara mediasi sebagai alternatif

penyelesaian sengketa. Sejak keluarnya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun

2003 diganti dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan yang merupakan implementasi dari Hukum Acara Perdata Pasal 130

Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura,

dan Pasal 154 Rechtsreglemen voor de Buitengewesten (R.Bg) yang berlaku untuk

wilayah di luar Jawa dan Madura, yang pada intinya mengisyaratkan upaya

perdamaian dalam menyelesaikan sengketa. Maka upaya penyelesaian sengketa

dengan menggunakan mediasi layak menjadi pilihan utama. Selain dapat

merundingkan keinginan para pihak dengan jalan perdamaian, upaya mediasi tentunya

akan menguntungkan pengadilan karena mengurangi tumpukan perkara.

Bila dicermati penyelesaian konflik atau persengketaan melalui pengadilan

butuh waktu relatif lama dan perlu biaya yang besar. Hukum acara yang berlaku baik

pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun pasal 154 Rechtsreglement

Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian

yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini. Penggabungan dua

konsep penyelesaian sengketa ini diharapkan mampu saling menutupi kekurangan

yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan masing-masing. Proses

133 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT Aditya Bakti, 2003), hal. 50-51.

Page 69: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

peradilan memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi

berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu,

biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak dalam

penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para

pihak dalam penentuan proses penyelesaian sehingga prosesnya lebih sederhana,

murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi kesepakatan yang dicapai

tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari salah satu

dari pihak menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan

mengalami kesulitan bila ingin mengambil tindakan hukum.134

C. Pengintegrasian Forum Mediasi Sebagai Alternatif Penyerasian Konflik Dalam Sistem Peradilan Perdata

1. Mediasi di Pengadilan Proyek Percontohan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung mendorong upaya mediasi, bukan saja demi kepentingan

pihak-pihak yang bersangkutan atau yang terkait dengan sengketa. Pengembangan

upaya damai merupakan salah satu kebijakan strategis menata sistem peradilan, baik

dari segi administrasi atau managemen peradilan maupun dalam rangka menegaskan

fungsi peradilan sebagai pranata yang menyelesaikan sengketa bukan sekedar

pemutus sengketa. Dari segi administrasi atau manegemen peradilan, upaya damai

yang intensif dan meluas akan mengurangi perkara di pengadilan sehingga

pemeriksaan perkara dapat dilakukan lebih bermutu karena tidak akan tergesa-gesa,

efisien, efektif dan mudah dikontrol.

Semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan wajib untuk terlebih

dahulu diselesaikan melalui mediasi dengan bantuan mediator. Kecuali sengketa yang

diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial,

keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, serta keberatan atas

putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Adapun sengketa perdata yang dapat

diselesaikan melalui proses mediasi di pengadilan ini sangat beragam. Hal ini dapat

dilihat pada penyelesaian sengketa bidang hukum keluarga, yakni pada kasus

perceraian dan warisan. Kemudian, kasus perbuatan melawan hukum, jual beli,

hutang piutang, wanprestasi dam tanah dapat diselesaikan melalui proses mediasi di

pengadilan. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

134. Lihat tinjauan proses penyelesaian sengketa Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & arbiterase proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000) hal. 23-33

Page 70: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

KMA/059/SK/XII/2003, menetapkan empat Pengadilan Negeri untuk dijadikan

proyek percontohan mediasi, yaitu: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan

Surabaya, Pengadilan Negeri Batu Sangkar dan Pengadilan Negeri Bengkalis.

a. Periode Tahun 2003-2007

Secara keseluruhan, data yang diperoleh dari keempat Pengadilan Negeri yang

ditetapkan sebagai proyek percontohan Mahkamah Agung periode 2003-2007,

dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 3:Jumlah Sengketa Yang Berhasil Melalui Mediasi di Pengadilan Negeri

Proyek Percontohan Mahkamah Agung Selama Tahun 2003-2007Pengadilan

NegeriSengketa

Yang MasukSengketa Berhasil

Melalui Mediasi

Sengketa GagalMelalui Mediasi

ProsentaseBerhasil

Jakarta Pusat 2.192 65 2.127 2,97%

Surabaya 3.808 77 3.731 2,02%

Bengkalis 77 2 75 2,59%

Batusangkar 87 7 80 8,05 %

Sumber : Diolah dari Laporan Registrasi Induk Perkara Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Bengkalis dan PN Batusangkar, Tahun 2003 s.d. 2007

Tabel tersebut di atas, menggambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui

mediasi di keempat Pengadilan Negeri proyek percontohan tahun 2003-2007

sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh dari keempat

Pengadilan Negeri tersebut selama tahun 2003-2007 sebanyak 151 perkara

mencapai sepakat dari keseluruhan perkara yang masuk sejumlah 6.164

perkara atau sekitar 2,45%. Dengan demikian, data yang diperoleh dari

keempat Pengadilan Negeri yang menjadi proyek percontohan menunjukkan

hasil penyelesaian sengketa melalui mediasi ini sangat rendah. Rata-rata

persentase keberhasilannya masih di bawah 5 persen. Rendahnya tingkat

keberhasilan penyelesaian sengketa melalui mediasi di keempat pengadilan

tersebut karena umumnya para pihak tidak mau berdamai. Belum ditunjang

oleh sarana dan prasarana yang dimiliki oleh keempat pengadilan negeri yang

menjadi proyek percontohan. Misalnya saja, di Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat yang masih belum memiliki ruangan khusus pertemuan mediasi.

Selain itu, minimnya pengetahuan hakim sebagai mediator, karena hakim

belum pernah mengikuti pelatihan dan pendidikan mediasi. Bagaimana

seorang hakim yang ditunjuk menjadi mediator dapat membantu

Page 71: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

menyelesaikan sengketa melalui mediasi padahal hakim itu sendiri tidak

memahami prosedur mediasi. Ditambah lagi dengan adanya ketentuan PerMA

yang masih lemah, hal ini dapat dilihat dari adanya kewajiban hakim harus

memiliki sertifikat mediator. Adanya pengaturan waktu yang tidak cukup

untuk penyelesaian sengketa melalui proses mediasi (hanya 22 hari), dan tidak

ada insentif bagi hakim yang telah menjalankan fungsi sebagai mediator atau

yang berhasil menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi. Faktor-faktor

sebagaimana disebutkan di atas menjadi salah satu kendala kurang berhasilnya

proses mediasi di empat pengadilan negeri yang menjadi proyek percontohan.

Dengan demikian, Mahkamah Agung perlu menyediakan sarana dan prasarana

untuk menunjang pelaksanaan prosedur mediasi di pengadilan.

Sebagai perbandingan, rendahnya tingkat keberhasilan proses mediasi di

pengadilan, dapat juga dilihat dari hasil penelitian Indonesian Institute for

Conflict Transformation (IICT) pada tahun 2004. Proses mediasi di 4 (empat)

Pengadilan Negeri (PN) yaitu PN Batusangkar, PN Bengkalis, PN Jakarta

Selatan dan PN Surabaya dari bulan September 2003 sampai dengan bulan

November 2004 menunjukkan persentasi keberhasilan penyelesaian sengketa

melalui proses mediasi sekitar 2,6 persen. Sedikitnya 654 perkara yang masuk

ke 4 Pengadilan Negeri tersebut dan hanya 17 perkara yang dapat diselesaikan

melalui mediasi.135 Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal pelaksanaan proses

mediasi di Pengadilan yaitu sejak tahun 2003 sampai 2007 tingkat

keberhasilan proses mediasi di keempat pengadilan tersebut sangat rendah.

Dari 151 pokok sengketa yang berhasil diselesaikan di keempat Pengadilan

Negeri Proyek Percontohan Mediasi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung

berdasarkan PerMA Nomor 02 Tahun 2003 menunjukkan bahwa pokok

sengketa yang dapat diselesaikan sangat beragam. Namun dari 151 perkara

yang berhasil diselesaikan melalui mediasi yang paling banyak adalah

sengketa mengenai wanprestasi (38) perkara. Sengketa wanprestasi lebih

banyak berhasil dibandingkan dengan sengketa perdata lainnya, karena para

pihak memiliki peluang tawar menawar dalam proses perundingan selama

mediasi. Selain itu, para pihak dalam sengketa wanprestasi sudah saling

mengenal, sehingga mediasi sangat cocok bagi mereka yang menekankan

135 “Persentase Keberhasilan Mediasi Masih Rendah”, http://www.lictor.id/dokumen/Persentase.20 Keberhasilan.

Page 72: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

pentingnya hubungan baik yang telah berlangsung maupun yang akan dating.

Ditambah lagi, para pihak mempunyai itikad baik untuk mengakhiri

sengketanya melalui mediasi, dan mediasi memiliki sarana sebagai sengketa

lebih ekonomis baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.

Sedangkan, sengketa perceraian tidak banyak berhasil diselesaikan melalui

proses mediasi, karena seringkali para pihak mengalami jalan buntu. Selain

itu, para pihak sendiri tidak mau hadir dalam pertemuan mediasi, sehingga

sulit bagi hakim mediator untuk mempertemukan keinginan yang ada dari

kedua belah pihak bersengketa. Umumnya para pihak yang hendak bercerai

sejak awal sudah saling bermusuhan dan dating ke pengadilan dengan tujuan

untuk memutuskan hubungan perkawinannya. Bahkan tidak sedikit diantara

mereka saling menyerang dengan emosi yang berlebihan. Ironisnya, kedua

belah pihak mau berdamai asalkan perceraian dikabulkan. Tentu saja hal ini

bertentangan dengan prinsip mediasi, bahwa mendamaikan dalam perkara

perceraian berarti mempersatukan kembali rumah tangga yang sedang retak.

b. Periode Tahun 2008-2009

Data yang diperoleh secara keseluruhan menunjukkan bahwa pengintegrasian

proses mediasi ke dalam hukum acara perdata di pengadilan negeri yang

menjadi proyek percontohan mediasi pada tahun 2008-2009, dapat terlihat

dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4:Jumlah Sengketa yang Berhasil Melalui Mediasi di Pengadilan Negeri

Proyek Percontohan MA Selama Tahun 2008-2009

Pengadilan

Negeri

Sengketa

Masuk

Sengketa

Berhasil Melalui

Mediasi

Sengketa Gagal

Melalui

Mediasi

Persentase

Berhasil

Jakarta Barat 834 13 821 1.59%

Jakarta Selatan 655 2 653 0.31%

Depok 219 1 215 0.47%

Bogor 192 4 188 2.08%

Bandung 536 13 706 1.84%

Sumber : Diolah dari Laporan Regisrasi Induk Perkara Perdata di PN Jakarta Barat, PN Jakarta Selatan, PN Depok dan PN Bandung tahun 2008-2009.

Dari keseluruhan hasil penyelesaian sengketa melalui mediasi di lima

pengadilan proyek percontohan mediasi di Mahkamah Agung menunjukkan

Page 73: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

hasil yang sangat rendah. Berdasarkan data yang diperoleh dari kelima

pengadilan tersebut sedikitnya dari 2.637 perkara yang masuk hanya 33

perkara atau sekitar 1,25% yang berhasil diselesaikan melalui proses mediasi.

Dengan demikian, hasil penelitian di lima pengadilan tersebut berdasarkan

perMA tahun 2008 masih sangat rendah. Rendahnya jumlah sengketa yang

dapat diselesaikan melalui proses mediasi sama halnya dengan empat

pengadilan yang menjadi proyek percontohan berdasarkan perMA tahun 2003

yaitu 2,45% dari jumlah perkara yang masuk.

Data yang diperoleh dari lima Pengadilan Negeri yang menjadi proyek

percontohan menunjukkan hasil penyelesaian sengketa melalui mediasi ini

sangat rendah. Rata-rata persentase keberhasilannya masih di bawah 5 persen.

Rendahnya tingkat keberhasilan penyelesaian sengketa melalui mediasi di

lima pengadilan proyek percontohan tahun 2008 hampir sama dengan apa

yang menjadi kendala belum berhasilnya proses mediasi di pengadilan karena

umumnya para pihak tidak mau berdamai. Minimnya pengetahuan hakim

sebagai mediator, karena hakim belum pernah mengikuti pelatihan dan

pendidikan mediasi. Bagaimana seorang hakim yang ditunjuk menjadi

mediator dapat membantu menyelesaikan sengketa melalui mediasi padahal

hakim itu sendiri tidak memahami Prosedur mediasi. Ditambah lagi dengan

adanya ketentuan waktu yang tidak cukup untuk penyelesaian sengketa

melalui proses mediasi (hanya 40 hari). Tidak ada insentif bagi hakim yang

telah menjalankan fungsi sebagai mediator atau yang berhasil menyelesaikan

sengketa melalui proses mediasi. Dengan demikian, Mahkamah Agung perlu

menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang pelaksanaan prosedur

mediasi di pengadilan. Sehingga, dengan adanya kewajiban untuk menempuh

proses mediasi sebagaimana ketentuan PerMA yang baru ini dapat

meningkatkan penyelesaian sengketa melalui proses mediasi di pengadilan.

Dari 33 pokok sengketa yang berhasil diselesaikan di keempat Pengadilan

Negeri tersebut di atas, menunjukkan bahwa semua jenis perkara tersebut di

atas dapat diselesaikan proses mediasi. Dari 33 perkara yang dapat

diselesaikan melalui proses mediasi di pengadilan negeri proyek percontohan

2008 yaitu sebanyak 9 perkara hutang piutang, 4 perkara wanprestasi, 4

perkara tanah, 4 perkara perceraian, 2 perkara perbuatan mlawan hukum, 2

perkara warisan, 1 perkara ganti rugi, dan 1 perkara gono gini. Secara

Page 74: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

keseluruhan sengketa yang paling banyak diselesaikan melalui mediasi di lima

pengadilan proyek percontohan itu adalah sengketa hutang piutang. Sengketa

hutang piutang lebih banyak berhasil dibandingkan dengan sengketa perdata

lainnya, karena para pihak memiliki peluang tawar menawar dalam proses

perundingan selama mediasi. Selain itu, para pihak sengketa hutang piutang

lebih menekankan kepada faktor ekonomis baik dari sudut pandang biaya

maupun waktu. Karena para pihak yang bersengketa hanya butuh waktu 4

sampai 7 kali untuk mengakhiri pertemuan mediasi.

2. Mediasi Sengketa Eksekusi Pada Saat Aanmaning

Pada dasarnya batas usaha perdamaian hanya terbuka sepanjang pemeriksaan

di persidangan, namun dalam praktek dengan kesadarannya sendiri para pihak

berdamai saat proses eksekusi.136

Para pakar hukum mengemukakan, bahwa pelaksanaan eksekusi harus sesuai

bunyi putusan. Bila tidak dapat dieksekusi secara riil dilakukan lelang. Bila para pihak

dalam melaksanakan eksekusi berdamai mengenai pembagian objek sengketa

eksekusi dapat menyimpangi bunyi putusan dan dilakukan pembagian sesuai

kesepakatan para pihak.137

Dalam hal benar adanya perdamaian, Pengadilan harus mempertimbangkan

dan bijak menghadapi para pihak atau masyarakat pendukung para pihak yaitu

menangguhkan pelaksanaan eksekusi dengan batas waktu tertentu, apalagi bila

pengamanan tidak sebanding dengan masa para pihak, demi keselamatan aparat

negara khususnya dan masyarakat umumnya. Pemberian batas penangguhan eksekusi

disesuaikan kesepakatan para pihak, atau misalnya selama enam bulan sejak keluar

surat perintah eksekusi. Hal ini dianalogikan dengan hak pemohon ikrar talak ketika

diberi hak untuk menjatuhkan talak atau mengeksekusi perkara ikrar talak.

Oleh karena perdamaian pada proses eksekusi dalam pembahasan ini diluar

campur tangan Pengadilan, maka perdamaian dimaksud tidak menghapus atau

menggantikan amar putusan perkaranya, melainkan salah satu bentuk dari

pelaksanaan amar putusan perkaranya.

136 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm.830.137 Mahkamah Agung RI : 2008, hlm. 8.

Page 75: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Berdasar pada uraian tersebut dan berpijak pada azas perdamaian dalam

pemeriksaan perkara perdata, dan pula dengan terbitnya Perma Nomor 1 Tahun 2008,

maka betapa urgensi dan betapa mahal, serta menghabiskan waktu yang diberikan

hukum untuk mencapai prestasi perdamaian. Oleh karena waktu itu walaupun dalam

proses eksekusi dan kemudian para pihak tanpa disuruh oleh mediator mereka sadar

menemukan mufakat dan damai, maka hal tersebut suatu prestasi yang luar biasa dan

menggembirakan dimata hukum. Dengan demikian perdamaian pada proses eksekusi

masih dibenarkan oleh hukum, dengan syarat perdamaian dimaksud secara tertulis.

Sehingga terwujudlah penyelesaian sengketa tidak ada yang kalah dan tidak ada yang

menang (win win solution). Pengadilan harus menyelidiki kebenaran perdamaian

tersebut, dengan memperhatikan, hal-hal sebagai berikut :

1. Pernyataan dari Tereksekusi tentang adanya perdamaian.

2. Pemohon eksekusi membenarkan dan menyetujui adanya perdamaian.

3. Perdamaian dimaksud secara tertulis.

Selanjutnya, temuan pelaksanaan mediasi terhadap permasalahan eksekusi

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada Pengadilan

Negeri Bogor tahun 2009 menunjukkan bahwa dari 9 (sembilan) perkara eksekusi,

yang dapat diselesaikan dengan mediasi sebanyak 6 (enam) perkara. Tabel di bawah

ini menunjukkan perkara eksekusi yang selesai dengan perdamaian, sebagai berikut.

Tabel 5:Perkara Eksekusi Yang Selesai Dengan Mediasi Tahun 2009 PN Bogor

No Nomor Perkara (Para Pihak) Tanggal PelaksanaanAanmaning Sita Lelang Pengosongan Keterangan

1 01/Pdt/Eks.Akte/2008/PN.BgrPT. Wahana Lawan PT. Karya

Saleh Bahana

21/02/08 - - - Selesai (perdamaian di luar pengadilan)

2 16/Pdt/Eks/2007/PN.Bgr jo No.51/Pdt/G/2000/PN.Bgr

Indrawilis Lawan H. A. Sanusi

08/08/07 - - - Selesai(pelaksanaan

secara sukarela)3 102/Pdt/G/1996/PN.Bgr jo

No.387/Pdt/1997/PT.Bdg Sumaryadi Lawan H. S. Rais dkk

- - - - Selesai(pelaksanaan secara sukarela)

4 11/Pdt/Eks/2008/PN. Bgr jo No.13/Pdt/2002/PN.Bgr

Roesmiyati dkk Lawan Ny. Bambang Soeseno dkk

01/07/08 - - - Selesaidengan perdamaian

5 04/Pdt/Eks.Akte/2009/PN.Bgr Rukmiati dkk Lawan Wahyudi

Ruwiyanto

23/03/09 23/0709

- - Selesaidengan perdamaian

6 09/Pdt/Eks.Akta/2004/PN.Bgr jo Risalah Lelang No.195/2005 Kamsidin Wirahadikusumah

Lawan Liong Po Yin

18/12/06 - - - Selesaidengan perdamaian

7 22/Pdt/Eks/2008/PN.Bgr jo No.25/Pdt/G/2004/PN.Bgr Ali Nasser Asry dkk Lawan Sopian

Ranawijaya

19/01/09 08/04/09

- 19/11/09 Selesai(pelaksanaan secara sukarela)

Page 76: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

8 20/Pdt/Eks.Akta/2009/PN.Bgr jo No.102/Pdt/G/2005/PN.Bgr

PeyHerlina Lawan Teddy Fajar Siddiq

29/09/0906/10/09

- - - Selesaidengan perdamaian

9 03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr jo No.26/Pdt/G/2007/PN.Bgr Eva

Savianthi Lawan Grealdine I Flohr

10/02/0923/02/09

- - - Selesaidengan perdamaian

Sumber: Panitera Pengadilan Negari Bogor Tahun 2010.

Dari jumlah penyelesaian sengketa eksekusi di atas, maka prosentase

keberhasilan penyelesaian mediasi dapat digambarkan dalam bentuk tabel

sebagaimana di bawah ini.

Tabel 6 :Prosentase Penyelesaian Sengketa Eksekusi

No Penyelesaian Sengketa Eksekusi Frekuensi Prosentase12

Selesai Secara Sukarela

63

6.7 %3.3 %

Total 9 100 %

Dari sejumlah perkara eksekusi yang dapat diselesaikan oleh pihak pengadilan

sebanyak 6.7 % sedangkan yang selesai dengan sukarela sebanyak 3.3%. Namun,

demikian selesainya sengketa eksekusi tersebut dapat diklasifikasi dalam dua bagian

yakni secara sukarela dan penyelesaian dengan mediasi. Sebagaimana ditunjukkan

pada tabel berikut.

Tabel 7:Prosentase Penyelesaian Mediasi

No Penyelesaian Melalui Mediasi Frekuensi Prosentase1 Perdamaian di dalam pengadilan 5 83 %2 Perdamaian di luar pengadilan 1 17 %

Total 6 100 %

Dengan demikian, penyelesaian sengketa eksekusi melalui perdamaian di

dalam pengadilan sebanyak 5 perkara (83%) sedangkan sisanya 1 perkara (17 %)

dilakukan di luar pengadilan.

Dalam perkara antara Geraldine I Flohr (Termohon Eksekusi/Tergugat)

dengan Eva Savianthi (Pemohon Eksekusi/Penggugat) Nomor:

03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr. jo Nomor: 26/Pdt/G/2007/PN.Bgr, kedua belah pihak di

hadapan Pengadilan Negeri Bogor telah menyatakan adanya kesepakatan yang

mengikat kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa hukum dalam perkara

Nomor: 03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr. jo Nomor: 26/Pdt/G/2007/PN.Bgr, secara

perdamaian dan sukarela sebagaimana yang diuraikan dalam Surat Kesepakatan yang

dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak tertanggal 26 Nopember 2009.

Page 77: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Bahwa dengan telah dicapainya kesepakatan yang dimaksud, para pihak telah

menyatakan bahwa sengketa hukum dalam perkara Nomor: 03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr.

jo Nomor: 26/Pdt/G/2007/PN.Bgr, telah selesai dengan tuntas.

Secara rinci, dalam kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh para pihak

tercantum beberapa hal sebagai berikut.

1. Bahwa Pihak Pertama selaku Termohon Eksekusi/Tergugat dalam perkara

Nomor : 03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr. jo. No.26/Pdt/G/2007/PN.Bgr dan Pihak

Kedua selaku Pemohon Eksekusi/Penggugat dalam perkara Nomor :

03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr jo.No.26/Pdt/G/2007/PN.Bgr dengan ini menyatakan

bersepakat yang mengikat kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa

hukum dalam perkara tersebut secara perdamaian ;

2. Bahwa Pihak Pertama menyatakan bersedia dan akan melaksanakan putusan

Pengadilan Negeri Bogor Nomor : 26/Pdt.G/2007/PN.Bgr tertanggal 09

Oktober 2007 jo putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor :

196/Pdt/2008/PT.Bandung tertanggal 11 Juli 2008, yang telah berkekuatan

hukum yang tetap tersebut yaitu akan mengosongkan dan meninggalkan

tanah/rumah milik Penggugat/Pemohon Eksekusi SHM No.108 dengan Surat

Ukur No.443/1995 tertanggal 22-11-1995, yang terletak di Jalan Ahmad yani

No.42 Rt.06/01 Kelurahan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota

Bogor, dalam tenggang waktu 1 % (satu setengah) bulan terhitung sejak

tanggal 23 Oktober 2009 sampai dengan tanggal 8 Desember 2009,

menyatakan mencabut Laporan Polisi di Polwil Bogor daa Permohonan

Banding di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bogor, sesuai dengan Surat

Pemyataan tertar.ggal 12 Nopember 2009 ;

3. Bahwa Pihak Kedua menyatakanakan memberikan rumah sebagai rasa

kemanusiaan yang secara fisik telah dikuasai oleh pihak tergugat : Geraldine I

Flohr, serta mengenai pengurusan surat-surat rumah pengganti telah

diserahkan kepada Bapak Edi Tasman, BBA sesuai dengan surat penyataan

yang bersangkutan tertanggal 6 Oktober 2009, dan mencabut Laporan Polisi di

Polresta Bogor No.PoI.LP/635/IV/2008/SPK tertanggal 23 April 2008, sesuai

dengan Surat Pemyataan tertanggal 24 Nopember 2009 ;

4. Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua dengan ini menyatakan bahwa

sengketa hukum di Pengadilan Negeri Bogor dalam perkara Nomor :

Page 78: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

03/Pdt/Eks /2009/PN.Bgr. jo. No.26/Pdt /G/2007/PN.Bgr telah selesai dengan

tuntas ;

5. Bahwa apabila kesepakatan ini tidak dipenuhi/tidak dilaksanakan sebagaimana

mestinya, maka kedua belah pihak setuju untuk kembali kepada amar putusan

Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.

Begitupun antara Ny. Bambang Soeseno (Termohon Eksekusi I/Tergugat I

dengan Ny.Murni Samosir (Pemohon Eksekusi/Penggugat) dalam perkara Nomor

11/Pdt/Eks/2008/PN. Bgr jo Nomor 13/Pdt/G/2002/PN.Bgr, kedua belah pihak

menerangkan kepada kami dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, bahwa

sehubungan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negerl Bogor

No.11/Pdt/Bks/2008/PN.Bgr jo No. 13/Pdt/G/2002/PN.Bgr tertanggal 24 Juni 2008,

maka antara Pemohon Eksekusi dan Termohon Eksekusi telah dicapai kesepakatan

untuk menyelesaikan sengketa hukum dalam perkara Perdata Nomor :

13/PDT.G/2002/PN.BGR jo. No. 5l/PDT/2004/|PT.BDG jo. No: 343/K/PDT/2005

secara perdamaian, sebagaimana yang dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian

tertanggal 14 April 2009 dan Akta Perdamaian Nomor 02 tertanggal 8 April 2010

yang dibuat dihadapan Indraswari, SH, Notaris di Bogor . Bahwa dengan telah

tercapainya kesepakatan perdamaian tersebut, kedua belah pihak menyatakan bahwa

sengketa hukum dalam perkara Perdata Nomor : 13/PDT/G/2002/PN.BGR jo. No.

51/PDT/2004/PT.BDG jo. No:343/PDT/2005 tersebut telah selesai dengan tuntas .

Secara rinci, dalam kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh para pihak tercantum

beberapa hal sebagai berikut.

1. Bahwa pihak Kedua bersedia mencabut perkara Peninjauan Kembali (PK) di

Mahkamah Agung Republik Indonesia Jakarta jo Putusan Mahkamah Agung

RI, No.343/Pdt/2005 tertanggal 7 November 2006 jo Putusan Pengadilan

Tinggi Bandung No.51/Pdt/2004 tertanggal 20 Maret 2004 jo Putusan

Pengadilan Negeri Bogor No.13l/Pdt/G/2002 tertanggal 8 Januari 2003;

2. Bahwa pihak Pertama bersedia memberikan sebagian dan tanah dan bangunan

yang terletak di Jalan Sekolah Pertukangan No.2 Sempur, Bogor kepada Pihak

ke dua sebagaimana gambar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak;

3. Bahwa segala biaya-biaya yang timbul berkenaan dengan Pemecahan

Sertifikat dan balik nama Sertifikat Hak Milik Nomor 20/Bantarjati/Kota

Bogor dibebankan kepada Pihak ke dua.

Page 79: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Dalam proses mediasi yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa

dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian yang dibuat oleh masing-masing pihak

dan Akta Perdamaian yang dibuat di hadapan Notaris. Dengan tercapainya

kesepakatan perdamaian tersebut, kedua belah pihak menyatakan bahwa sengketa

hukum diantara mereka sebagaimana telah diputus oleh pengadilan yang telah

memperoleh hukum tetap dinyatakan telah selesai dan tuntas dengan dikuatkan oleh

Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

Secara Perdamaian, ditandatangani oleh masing-masing pihak (pemohon

eksekusi/penggugat dan termohon eksekusi/tergugat, dengan disaksikan oleh para

saksi dan pihak Pengadilan Negeri Bogor (Panitera).

3. Pengintegrasian Forum Mediasi Dalam Sistem Peradilan Perdata

Persoalan penting yang harus diperhatikan dalam penyelesaian suatu sengketa

adalah mengenai upaya perdamaian (mediasi) dengan menerapkan azas sederhana,

cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan perkara perdata. Dalam rangka

mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah sesuai dengan azas hukum acara

perdata, maka diaturlah upaya perdamaian yakni dengan cara mengintegrasikan

proses mediasi di Pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 130 ayat (1) HIR (Herziene

Indonesisch Reglement) disebutkan bahwa: “ Jika pada hari yang ditentukan itu,

kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Hakim Ketua

mencoba akan memperdamaikan mereka “.1

Pada ayat di atas sangat jelas keharusan Hakim Ketua Pengadilan Negeri

untuk mengupayakan perdamaian terhadap perkara perdata yang diperiksanya. Dalam

kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian, menanamkan kesadaran dan

keyakinan kepada para pihak yang berperkara, bahwa penyelesaian perkara dengan

perdamaian merupakan suatu cara penyelesaian yang lebih baik dan lebih bijaksana

daripada diselesaikan dengan putusan Pengadilan, baik dipandang dari segi waktu,

biaya dan tenaga yang digunakan. Namun terkadang dalam kenyataannya penerapan

azas-azas beracara perdata tersebut tidak terlaksana sesuai dengan apa yang

diharapkan para pencari keadilan dalam menyelesaikan perkara mereka, sehingga

banyak anggapan yang timbul dari masyarakat bahwa proses mediasi bukan lagi

menjadi suatu cara tepat dalam menyelesaikan sengketa.

Terdapat beberapa alasan mengapa mediasi sebagai bagian dari alternatif

penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian yang lebih di Indonesia seperti :

Page 80: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

1). Faktor Ekonomis, dimana alternatif penyelesaian sengketa memiliki potensi

sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari

sudut pandang biaya maupun waktu.

2). Faktor ruang lingkup yang dibahas, alternatif penyelesaian sengketa memiliki

kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas,

komprehensif dan fleksibel.

3). Faktor pembinaan hubungan baik,  dimana alternatif penyelesaian sengketa

yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi

mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia

(relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang.

4). Adanya tuntutan bisnis Internasional, yang akan memberlakukan sistem

perdagangan bebas, meningkatnya jumlah dan bobot sengketa di masyarakat,

sehingga perlu dicari cara dan sistem penyelesaian sengketa yang cepat,

efektif dan efesien.

5). Era globalisasi mengharuskan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa yang

dapat menyesuaikan dengan laju kecepatan perkembangan perekonomian dan

perdagangan yang menuju pasar bebas (free market) dan persaingan bebas

(free competition) dan untuk itu harus ada suatu lembaga yang

mewadahinya138.

Selanjutnya, sebagaimana kita ketahui bahwa latar belakang mengapa

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mewajibkan para pihak menempuh

mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim melalui Peraturan Mahkamah Agung

(Perma), didasari atas beberapa alasan, yaitu:139

1). Proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara.

2). Proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat

dan murah dibandingkan dengan proses litigasi.

3). Pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak

untuk memperoleh rasa keadilan.

138 http://www.litbangdiklatkumdil.net/publikasi-litbang/197-naskah-akademis-mediasi.html diakses tanggal 20 Februari, 2013, jam: 21.00 WIB.139 Anonimous. Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Dibuat atas kerjasama MARI, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute for Conflikct Transformation (IICT), 2008 hlm. 7-12

Page 81: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

4). Institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat

dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan

sengketa.

5). Trend penyelesaian hukum di berbagai negara di dunia.

Dalam hal tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari keadilan

terhadap putusan pengadilan, selain dalam rangka mewujudkan proses sederhana,

cepat dan murah sesuai dengan azas hukum acara perdata, MA mencoba

mengintegrasikan proses penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi ) dalam hal ini

mediasi ke dalam proses peradilan (litigasi). Yaitu dengan menggunakan proses

mediasi untuk mencapai perdamaian pada tahap upaya damai di persidangan dan hal

inilah yang biasa disebut dengan lembaga damai dalam bentuk mediasi atau lembaga

mediasi. Model lembaga mediasi yang diterapkan di Indonesia sangat mirip dengan

mediasi yang diterapkan di Australia, yaitu sistem mediasi yan berkoneksitas dengan

pengadilan (mediation connected to the court). Pada umumnya yang bertindak

sebagai mediator adalah pejabat pengadilan. Dengan demikian, compromise solution

yang diambil bersifat paksaan (compulsory) kepada kedua belah pihak. Namun agar

resolusinya memiliki potensi memaksa, harus lebih dulu diminta persetujuan para

pihak dan jika mereka setuju, resolusi mengikat dan tidak ada upaya apapun yang

dapat mengurangi daya kekuatannya.140

Dalam kaitannya dengan pengintegrasian mediasi sebagai penyelesaian

sengketa non litigasi dalam sistem peradilan perdata, Adi Sulistiyono dan Muhammad

Rustamaji, mengatakan:141

“…pengembangan penyelesaian sengketa non-litigasi dalam rangka untuk mendayagunakan alternatif penyelesaian sengketa bisnis tampaknya sangat penting untuk segera direalisir. Pengembangan di sini jelas tidak hanya sekadar menyiapkan perangkat hukum positifnya. Akan tetapi yang lebih penting justru bagaimana mengarahkan atau menciptakan suatu kondisi agar penyelesaian sengketa non-litigasi menjadi bagian dari perilaku masyarakat ketika mereka hendak menyelesaikan sengketa bisnis.”

Pengintegrasian mediasi dalam pengadilan apabila dikaitkan dengan teori

sistem hukum dari Lawrence M. Friedman dengan melihat melihat implementasi

mediasi, maka sistem hukum yang terdiri atas tiga elemen, yaitu elemen struktur,

140 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT Aditya Bakti, 2003), hlm. 50-51.141 Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi…Op.Cit, hlm.133.

Page 82: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

substansi dan budaya hukum.142 Begitupun dalam implementasi pengintegrasian

mediasi, yang dapat dilihat dari ketiga elemen tersebut, sebagai berikut:

Kelembagaan hukum adalah bagian dari struktur hukum seperti Mahkamah

Agung, dan badan-badan peradilan di bawahnya beserta aparaturnya. Hakim

pengadilan sebagai struktur pengadilan memiliki peran yang penting di dalam

meningkatkan keberhasilan mediasi. Keberhasilan dan kegagalan mediasi ditopang

oleh kemampuan dan kecakapan hakim mediator di dalam menjalankan perannya.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi

di Pengadilan merupakan salah satu elemen substansi hukum. Elemen substansi ini

dapat memberikan kepastian kepada para pihak yang bersengketa untuk menemukan

jalan keluar dari sengketa yang sedang dihadapi. Peraturan mediasi ini paling tidak

berisi mengenai substantif dan prosedural mediasi.

Terkait dengan budaya hukum ini, mediasi di pengadilan sesungguhnya

merupakan produk dari sistem hukum yang cara pemanfaatan dan penggunaannya

sangat tergantung dengan nilai dan keyakinan masyarakat sebagai pengguna mediasi

tersebut. Nilai dan keyakinan merupakan bagian dari budaya masyarakat. Jika

masyarakat menilai dan berkeyakinan bahwa mediasi dapat berperan sebagai sarana

penyelesaian masalah sengketa yang dihadapi maka tujuan mediasi akan tercapai

sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya ringan, reputasi para

pihak tidak terganggu, dan hubungan baik tetap terjaga.

Dalam kaitannya dengan sistem hukum ini, Adi Sulistiyono143, menyatakan

bahwa:

“…sistem hukum berarti tidak sekedar melibatkan hukum positif, lembaga/institusi hukum, atau aparat penegak hukum, tapi juga budaya masyarakat. Hal ini dianggap penting…karena faktor budaya hukum seringkali terlupakan manakala terjadi wacana permasalahan hukum di tengah-tengah masyarakat.”

Keberhasilan mediasi di pengadilan ditentukan oleh tiga aspek yang satu sama

lain saling berhubungan. Tiga aspek itu digambarkan sebagai bangunan segitiga yang

satu sama lain saling menopang. Jika salah satu aspek ini hilang atau tidak tercapai

dalam proses mediasi, maka mediasi akan gagal. Keberhasilan mediasi di pengadilan

ditentukan oleh aspek substantif, prosedural dan psikologis. Aspek substantive

keberhasilan mediasi menyangkut kepuasan khusus yang diperoleh para pihak di

142 Lawrence M. Friedman, Op.Cit, hlm. 7-12143 Adi Sulistiyono, Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa…Op.Cit, hlm.48.

Page 83: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

dalam menyelesaikan sengketanya. Aspek keberhasilan mediasi berikutnya adalah

aspek prosedur. Yang di maksud aspek prosedur adalah adanya perasaan puas yang

dialami para pihak mengikuti proses mediasi dari awal sampai akhir. Kepuasan

prosedur ditandai oleh adanya perlakuan yang fair antara para pihak di dalam

menegosiasikan sengketa yang dialami. Keberhasilan mediasi dari aspek prosedur ini

dapat pula dilihat dari netralitas mediator dalam proses mediasi untuk mendengarkan

dan memahami dengan baik perasaan dan bahasa para pihak sehingga diantara para

pihak tidak ada yang merasa dirugikan.

Keberhasilan mediasi dari aspek psikologis adalah menyangkut kepuasan

emosi para pihak yang terkendali, saling menjaga perasaan, menghormati, dan penuh

dengan keterbukaan. Sikap-sikap para pihak yang muncul untuk menyelesaikan

sengketa dengan baik dapat mendorong lahirnya kepuasan psikologis diantara para

pihak. Merasa dihargai dalam forum mediasi oleh para pihak yang terlibat dapat ikut

mendorong terciptanya proses mediasi yang berhasil.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Page 84: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

A. Kesimpulan

1. Banyaknya terjadi permasalahan sengketa eksekusi atas putusan pengadilan

perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, disebabkan oleh

berbagai faktor sebagai berikut: 1). Faktor hukum, yakni tidak dapat

dilaksanakannya eksekusi adalah adanya perkara bantahan yang diajukan oleh

termohon eksekusi atas permohonan eksekusi yang diajukan oleh pemohon

eksekusi, 2). Faktor ketiadaan biaya, yakni banyaknya biaya yang dikeluarkan

untuk mengajukan eksekusi, 3). Faktor objek perkara kabur yakni pada waktu

pengadilan meletakkan sita eksekusi atau melaksanakan eksekusi terhadap

eksekusi riil atau pengosongan tempat yang dikuasai oleh termohon eksekusi,

pemohon eksekusi kesulitan menentukan batas-batas tanah yang akan

dieksekusi, 4). Faktor objek perkara telah berpindah tangan kepada pihak lain,

5). Faktor termohon eksekusi tidak mempunyai harta baik bergerak ataupun

tidak bergerak untuk diletakkan sita eksekusi untuk pemenuhan isi putusan, 6).

Faktor kurangnya dukungan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan

eksekusi, yaitu pihak Kepolisian, 7). Faktor masyarakat dan kebudayaan,

ditunjukkan terbatasnya pengetahuan hukum dan kesadaran hukum yang

rendah, dan 8). Terbatasnya faktor sarana dan prasarana, yakni segala hal

perangkat pendukung baik perangkat lunak maupun keras yang dapat

memberikan andil terlaksananya eksekusi dengan lancar.

2. Forum mediasi sangat diperlukan dalam penyelesaian alternatif sengketa

eksekusi putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap dalam rangka mengatasi masalah penumpukan perkara di

pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan

dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat

memutus (ajudikatif). Penerapan mediasi atas eksekusi yang tidak dapat

dilaksanakan, diterapkan oleh Pengadilan Negeri Bogor menunjukkan bahwa

pengintegrasian mediasi dapat berlaku atas putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilakukan eksekusi

karena adanya berbagai hambatan. Upaya penyelesaian alternatif sengketa

eksekusi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap melalui mediasi adalah juga sejalan dengan fungsi mewujudkan proses

Page 85: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

sederhana, cepat dan murah sesuai dengan azas hukum acara perdata, selain

juga meminimalkan tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari

keadilan terhadap putusan pengadilan.

3. Proses mediasi menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008 dibagi ke dalam tiga

tahap, yaitu tahap pramediasi, tahap pelaksaaan mediasi dan tahap akhir

mediasi. Dalam praktek, mediasi dapat dilakukan setelah adanya putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilakukan

eksekusi. Penerapan mediasi atas eksekusi yang tidak dapat dilaksanakan,

diterapkan oleh Pengadilan Negeri Bogor menunjukkan bahwa

pengintegrasian mediasi dapat berlaku pasca putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilakukan eksekusi

karena adanya berbagai hambatan. Dengan kata lain, temuan hasil penelitian

pada Pengadilan Negeri Bogor dapat menjadi salah satu model penyelesaian

atas permasalahan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan perdata

yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap melalui forum mediasi

Pengintegarian yang demikian akan membangun sistem hukum peradilan

perdata Indonesia sebagai salah satu terobosan agar persengketaan eksekusi

dapat diakhiri dengan pendekatan win-win solution. Terdapat ada 3 (tiga)

faktor yang mempengaruhi penyelesaian sengketa melalui mediasi di

pengadilan negeri proyek percontohan Mahkamah Agung dapat berhasil, yaitu

para pihak yang bersengketa beritikad baik, hakim mediator berusaha dengan

sungguh-sungguh mendorong para pihak mencapai kesepakatandan ketiga

adalah jenis sengketanya mudah diselesaikan. Ketiga faktor tersebut sampai

dengan saat ini masih relevan dalam rangka mewujudkan pengintegrasian

mediasi pada sistem peradilan perdata Indonesia.

B. Saran

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan sumbangsarannya terkait

dengan temuan hasil penelitian, yakni sebagai berikut:

1. Diperlukan penguatan lebih lanjut dalam rangka pengintegrasian mediasi

dalam sistem peradilan perdata Indonesia, yakni melalui pembentukan

Undang-undang tentang pengintegrasian mediasi dalam sistem peradilan

Page 86: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

perdata Indonesia, dengan mengatur lebih lanjut tentang pelaksanaan mediasi

yang integral, terutama terhadap sengketa (konflik) eksekusi putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini perlu

diatur dan dipertegas hubungan instansional dan fungsional antara instansi

terkait seperti pihak keamanan dalam mendukung pelaksanaan eksekusi.

2. Selain menyangkut pengintegrasian medias ke dalam sistem peradilan perdata

Indonesia, diperlukan sistem pengawasan oleh pihak Mahkamah Agung dalam

memonitor pelaksanaan integrasi mediasi yang dilakukan oleh pengadilan

negeri (termasuk pengadilan agama) dalam menjalankan fungsi mediasi.

Peningkatan pengawasan ini diperlukan untuk menekan perkara yang masuk

pada Mahkamah Agung selain juga mewujudkan peradilan yang cepat,

sederhana dan biaya murah.

3. Terhadap perkara yang masuk ke Mahkamah Agung, sebaiknya juga

dilakukan mediasi kembali (remediasi) dengan membentuk unit mediasi kasasi

perkara.Tujuan dari pembentukan remediasi ini adalah juga terkait dengan

optimalisasi pengintegrasian mediasi dan perwujudan peradilan yang cepat,

sederhana dan biaya murah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, Bandung: Gema

Risalah Press, 1996.

Page 87: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1991.

Achmad Ali Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta:

Gunung Agung Tbk, 2002.

Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,

Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009.

Ahmad Hasan Munawir, Al Munawir Kamus Arab Indonesia, Ponpes Al Munawir

Krapyak, Yogyakarta, 1984.

A. Muktiarto, Mencari Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

___________, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1996.

Al Kahlani, Imam Muhammad bin Isma’il. Subulussalam, Juz III, Mustafa Al Baby

Al Halaby, Mesir, 1973.

Al Qazwani, Abi Abdillah bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Jilid II, Isa Al Baby Al

Halaby, Mesir, 1989.

A.T. Hamid, Kamus Yurisprudensi dan Beberapa Pengertian tentang Hukum Acara

Perdata, Surabaya: Bina llmu, 1984.

Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-

unsurnya, Jakarta: UI-Press, 1995.

A. Patra M. Zen dan Maria Louisa, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta,

AusAid, YLBHI, PSHK dan IALDF, 2006.

Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta:

Sunar Grafika, 1992.

Bentham, Jeremy. The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-

prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh

Nurhadi, Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006.

Christopher, W. Moore, The Mediation Process; Practical Strategies for Resolving

Conflict, Jossey Bass Inc, Publishers, San Fransisco, California, 1986.

Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum

Indonesia, Jakarta: Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, 1996.

Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction Second Edition (Hukum

Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Jakarta: Tatanusa,

2001.

Page 88: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

___________, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and

how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York,

1984.

___________, Legal Culture and Social Development, Stanford Law Review, New

York.

___________Law in America: a Short History, Modern Library Chronicles Book,

New York, 2002.

Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2006.

Gifford, Donal G. Legal Negotiation Theory and Applications, West Publishing Co,

St. Paul, Minnesota, 1989.

Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2001.

Hadari Nawawi, Metodee Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajahmada

University Press, 1995.

Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No

7/1989. cet ke IV, Jakarta ; Sinar Garfika, 2007.

______________, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, 2005.

_____________. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta :

Sinar Grafika, 2005.

_____________, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997.

H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV.

Mandar Maju, 1992.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 1989.

Keraf, A. Sonny. Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Yogyakarta:

Kanisius, 1996.

Kimberlee, Kovach, Mediation Principle and Practice, Paul West Publishing Co,

USA, 1994.

Page 89: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Komar, Kantaatmadja, Beberapa Masalah dalam Peneraan ADR di Indonesia, dimuat

dalam Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, Editor Hendarmin,

Djarab, dkk, Bandung: Citra Adithya Bakti, 2001.

Levi, Michael. Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University,

Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan

Indonesia, Jakarta, Djambatan. 1998.

Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung:

Mandar Maju, 2003.

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet.VI, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006.

Mahkamah Agung RI, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01

Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.

_____________, Naskah Akademis Tentang Peradilan Anak, Mahkamah Agung RI,

Tahun 2005.

_____________, 2004, Mediasi dan Perdamaian. Disampaikan oleh H. Soeharto

(ketua steering comitte Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun

2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), dalam pengarahan dalam

rangka Pelatihan Mediator Dalam Menyambut Penerapan Mediasi . Jakarta.

______________. Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun

2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Dibuat atas kerjasama

MARI, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Indonesia

Institute for Conflikct Transformation (IICT), 2008.

_____________, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Naskah

Akademis, mengenai: Court Dispute Resolution, 2003.

_____________, Mediasi dan Perdamaian, Proyek pendidikan dan pelatihan tehnis

fungsional, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2004.

Mappong, Zainuddin, Eksekusi Putusan Serta Merta: Proses Gugatan dan Tata Cara

Membuat Putusan serta Pelaksanaan Eksekusi dalam Perkara Perdata, Cet. I,

Malang: Tunggal Mandiri Publishing, 2010.

Mas Achmad Sentosa & wiwik Awiati, Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung

RI, 2004.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

1998.

Miswardi, Hukum Acara Perdata, Bukit Tinggi: STAIN Press, 2005.

Page 90: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan

Karya Tulis), Bandung: Alumni, 2002.

____________, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,

Bandung: Bina Cipta, 1990.

___________, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung:

Binacipta, 1995

Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, Semarang : Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro, 2000.

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Cet I Depok:

BP STIH “IBLAM”, 2004.

Muhammad Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya

Bhakti, 1990.

Mukhsin Jamil (Ed), Mengelola Konflik Membangun Damai, Semarang: Walisongo

Mediation Centre, 2007.

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2003.

M. Yamin Awie, Permasalahan Sita dan Eksekusi, Bangka Belitung: PPHIM, 2006.

Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa

Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit

Kristen, 1970.

O. Bidara dan Martin, P Biadara, Hukum Acara Perdara, Jakarta: Pradnya

Paramita,1987.

Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan

dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., Bandung: Alumni, 2002.

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2003.

Rawls, John. A Theory of Justice (Revised Edition) Oxford Universitu Press, 1999.

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung:

Alumni, 1999.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam

Teori dan Praktek, Bandung : Mundur Maju, 1989.

Riskin Leonard L. dan James E. Westbrook, Dispute Resolution and Lawyers, Paul

West Publishing Co, USA, 1987.

R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1980.

Page 91: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta : BPHN, 1977.

Sabiq, Sayyid. Fiqhussunna, Juz III, Daarul Baayan, Kuwait, 1971.

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks ke-Indonesian, Jakarta:

Utomo, 2006.

Siregar, Bismar. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Jakarta: Gema Insarti Press,

1995.

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,

Bandung: Alumni, 1992.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Rajawali, 1985.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Ul.Press, 1986.

____________, Sosiologi suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982.

Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan

Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Bandung: Alumni, 2000.

____________, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan Perkembangannya,

Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan, Pidato diucapkan pada

Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, tanggal 30 Agustus 2000.

Subekti dan Tjitrosudikno, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya

Paramita, 2001.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

1996.

____________, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, Yogyakarta,

1993.

Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & arbiterase proses

Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.

Soetarwo Soemowidjoyo, Eksekusi oleh PUPN, Pusat Pendidikan dan Latihan

Keuangan, Balai Pendidikan dan Latihan Keuangan, Departemen Keuangan

Republik Indonesia, 1995.

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum

Nasional, Jakarta: Kencana, 2009.

Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka

Azat,1986.

Page 92: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Wirjono R Prodjodikoro, Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata di Indonesia,

Sinar Bandung: Bandung, 1988.

Hasil Penelitian, Makalah, Artikel, Jurnal, Internet, Mass Media, dll.

Adi Sulistiyono, Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi Dalam

Rangka Pemberdayaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak

Kekayaan Intelektual, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas

Diponegoro, tahun 2002

A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai

Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I

– Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990.

Amstrong Sembiring: http://publikana.com.

Andi Mattalatta, Politik Hukum Peraturan Perundang-undangan,

www.djpp.depkumham.go.id.

Arry Mth. Soekowaty, Fungsi Relevansi Filsafat Hukum Bagi Rasa Keadilan Dalam

Hukum Positif, Makalah Universitas Gadjah Mada, 2009.

Artikel Utama, Jurnal Keadilan,Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 3.

Bagir, Manan, Sambutan dalam pembukaan Lokakarya yang diselenggarakan Pusat

Pengkajian Hukum bekerjasama dengan Mahkamah Agung tanggal 8 dan 9

Oktober 2002 di Jakarta, tentang Arbitrase dan Mediasi.

Firdaus, Politik Hukum Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum,

Jurnal Hukum Islam, Vol.12 Nomor 10 September 2005.

Harahap, M. Yahya “Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Mimbar

Hukum, No. 21.

Hasanuddin, Kajian Tentang Hambatan Eksekusi Putusan Perkara Perdata (Studi

Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh), Lihat:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5183

Mediation: “A process to Regain Control Of Your Life”.

Artikel.http://www.mediate.com/. P.1.available on 4 oktober 2006.

“Mekanisme Informasi Penyelesaian Sengketa di Tingkat Komunitas di Sumatera

Barat.“ Bank Dunia, Januari 2005.

Nailul Sukri, Kedudukan Mediasi dan Tahkim di Indonesia, Skripsi, Fakultas Syariah

IAIN Syarif Hidayatullah, 1992.

Page 93: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Najamuddin, Permasalahan Mediasi Dalam Teori dan Praktek di Pengadilan Agama,

http://www.badilag.net.

Nasution, Bismar. “Menuju Penyelersaian Sengketa Alternatif”, Makalah,

disampaikan pada seminar Pemantapan Lembaga Penyelesaian Sengketa

Alternatif Bidang Kelautan dan Perikanan, tanggal 18Juni 2003, Medan.

“Persentase Keberhasilan Mediasi Masih Rendah”,

http://www.lictor.id/dokumen/Persentase.20 Keberhasilan.

Ramli Rizal, Eksekusi Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Padang, Program

Pascasarjana Universitas Andalas Padang, 2012.

Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional,

Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII”

di Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Siddiki, Mediasi Di Pengadilan Dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat Dan Biaya

Ringan, www.badilag.net.

Sri, Mamudji, Pengantar Mediasi, disampaikan pada penataran mediator hakim di

Jakarta, FHUI-IICT-bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2005.

Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Hahim Perdamaian Desa Dalam Penyelesaian

Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1 Juli 1997.

Wahyu Widiana,  Efforts to Enhance Access to Justice in Indonesian Religious Courts

: strategic responses to survey findings, makalah disampaikan pada konferensi

IACA di Istanbul, Oktober 2009.

Wahyu Widiana, “Upaya Penyelesaian Perkara Pada Pengadilan Agama, Kaitannya

Dengan Peran B p-4”. http://pa-sentani.net/index/php/Mimbar-Hukum/Upaya-

Penyelesaian-Perkara-Pada-Pengadilan-Agama-Kaitannya-Dengan-Peran-

BP-4.html.

Peraturan Perundang-undangan

Al Qur’an

Al Hadist

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Het Herzinie Inland Reglemen (HIR)

Reglement Buiten Gewesten (RBG)

KUHPerdata

Page 94: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi

Yudisial.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif penyelesaian Sengketa.

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor1 Tahun 2008

Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.

Page 95: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1

B. Pokok Permasalahan.............................................................................8

C. Tujuan Penulisan...................................................................................9

D. Manfaat Penulisan.................................................................................9

E. Metode Penelitian.................................................................................10

BAB II : PEMBAHASAN.........................................................................................12

A. Tinjauan Kepustakaan...........................................................................12

Page 96: Pengintegrasian Lembaga Mediasi Dalam Sengketa Eksekusi

1. Teori Pembuktian Dalam Hukum Perdata......................................12

2. Doktrin Pengelompokan Alat Bukti................................................25

B. Analisis Keabsahan Transaksi Elektronik Dalam Perspektif

Sistem Hukum Perdata dan Menurut UU ITE......................................26

BAB III : PENUTUP...................................................................................................37

A. Kesimpulan...........................................................................................37

B. Saran.....................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA