Top Banner
PRAKTIKUM PENGEMBANGAN PRODUK BARU LAPORAN HASIL IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PANGAN YANG ADA DI MASYARAKAT KELOMPOK 5 A Febe Elizabeth 240210100023 Hamas Widiasti 240210100024 Eko Komarudin 240210100025 Wenti Yuniati 240210100026 Naomee Grace M. 240210100027 Nursyita Pratini 240210100054 UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
22

PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

Oct 27, 2015

Download

Documents

Wenti Yuniati
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

PRAKTIKUM PENGEMBANGAN PRODUK BARU

LAPORAN HASIL IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PANGAN YANG

ADA DI MASYARAKAT

KELOMPOK 5 A

Febe Elizabeth 240210100023

Hamas Widiasti 240210100024

Eko Komarudin 240210100025

Wenti Yuniati 240210100026

Naomee Grace M. 240210100027

Nursyita Pratini 240210100054

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN

JATINANGOR

2013

Page 2: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN

I. Pendahuluan

Kemajuan ilmu dan teknologi berkembang dengan pesat diberbagai

bidang, termasuk dalam bidang pangan, kemajuan teknologi ini membawa

dampak positif maupun negatif. Dampak positif teknologi tersebut mampu

meningkatkan kuantitas dan kualitas pangan, juga meningkatkan diversifikasi,

hygiene, sanitasi, praktis dan lebih ekonomis. Dampak negatif kemajuan teknologi

tersebut ternyata cukup besar bagi kesehatan konsumen dengan adanya

penggunaan zat aditif yang berbahaya. Zat aditif adalah bahan kimia yang

dicampurkan ke dalam makanan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas,

menambahkan rasa dan memantapkan kesegaran produk tersebut (Anonimous

2000).

Dari berbagai senyawa pembangkit citarasa yang beredar bebas di pasaran

seperti misalnya MSG, 5 nukleotida, maltol (soft drink), dioctyl sodium

sulfosuccinate (untuk susu kaleng) dan lain sebagainya, ternyata hanya

monosodium glutamat (MSG) yang banyak menimbulkan kontroversi antara

produsen dan konsumen (Winarno 2004). Namun sejauh ini, belum banyak

penelitian langsung terhadap manusia. Hasil dari penelitian dari hewan, memang

diupayakan untuk dicoba pada manusia. Tetapi hasil-hasilnya masih bervariasi.

Sebagian menunjukkan efek negatif MSG seperti pada hewan, tetapi sebagian

juga tidak berhasil membuktikan. Yang sudah cukup jelas adalah efek terjadinya

migren terutama pada usia anak-anak dan remaja seperti laporan Jurnal Pediatric

Neurology (Anonimous 2003).

Memang disepakati bahwa usia anak-anak atau masa pertumbuhan lebih

sensitif terhadap efek MSG daripada kelompok dewasa. Sementara untuk efek

terjadinya kejang dan urtikaria (gatal-gatal dan bengkak di kulit seperti pada kasus

alergi makanan), masih belum bisa dibuktikan.

World Health Organization (WHO) dan Food and Agricultural

Organization (FAO) menyatakan bahwa ancaman potensial dari residu bahan

makanan terhadap kesehatan manusia dibagi dalam 3 kategori yaitu : 1) aspek

toksikologis, kategori residu bahan makanan yang dapat bersifat racun terhadap

Page 3: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

organ-organ tubuh, 2) aspek mikrobiologis, mikroba dalam bahan makanan yang

dapat mengganggu keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan, 3) aspek

imunopatologis, keberadaan residu yang dapat menurunkan kekebalan tubuh.

Dampak negatif zat aditif terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak

langsung, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

II. Pengertian MSG (Monosodium Glutamat)

Monosodium Glutamat (MSG) mulai terkenal tahun 1960-an, tetapi

sebenarnya memiliki sejarah panjang. Selama berabad-abad orang Jepang mampu

menyajikan masakan yang sangat lezat. Rahasianya adalah penggunaan sejenis

rumput laut bernama Laminaria japonica. Pada tahun 1908, Kikunae Ikeda,

seorang profesor di Universitas Tokyo, menemukan kunci kelezatan itu pada

kandungan asam glutamat. Penemuan ini melengkapi 4 jenis rasa sebelumnya –

asam, manis, asin dan pahit – dengan umami (dari akar kata umai yang dalam

bahasa Jepang berarti lezat) (Anonimous 2006). Sebelumnya di Jerman pada

tahun 1866, Ritthausen juga berhasil mengisolasi asam glutamat dan

mengubahnya menjadi dalam bentuk monosodium glutamat (MSG), tetapi belum

tahu kegunaannya sebagai penyedap rasa.

Asam glutamat merupakan bagian dari kerangka utama berbagai jenis

molekul protein yang terdapat dalam makanan dan secara alami terdapat dalam

jaringan tubuh manusia. Beberapa diantara asam glutamat tersebut terdapat dalam

bentuk bebas, artinya tidak terikat dengan asam – asam amino lainnya, tetapi

masih terdapat dalam makanan. Hanya dalam bentuk bebas itulah asam glutamat

mampu berfungsi sebagai senyawa pembangkit citarasa makanan atau masakan.

Glutamat bebas tersebut dapat bereaksi dengan ion sodium (natrium) membentuk

garam MSG (Winarno 2004).

Sekarang ini MSG digolongkan sebagai GRAS (Generally Recognized As

Save) atau secara umum dianggap aman. Hal ini juga didukung oleh US Food and

Drugs Administration (FDA), atau badan pengawas makanan dan obat-obatan

(seperti Ditjen POM) di Amerika yang menyatakan MSG aman. Tentu dalam

batas konsumsi yang wajar (Anonimous 2003).

Page 4: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

Asam glutamat atau yang sering disebut dengan MSG (Monosodium

Glutamat) pada tahun 1940 telah digunakan di berbagai macam jenis produk

makanan di berbagai negara, khususnya dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.

Asam glutamat merupakan salah satu dari 20 asam amino yang ditemukan pada

protein dan MSG merupakan monomer dari asam glutamat. MSG memberikan

rasa gurih dan nikmat pada berbagai macam masakan, walaupun masakan itu

sebenarnya tidak memberikan rasa gurih yang berarti. Penambahan MSG ini

membuat masakan seperti daging, sayur, sup berasa lebih nikmat dan gurih

(Anonimous 2006).

MSG dijual dalam berbagai bentuk produk dan kemasan, produk penyedap

rasa seperti Ajinomoto atau Royco mengandung MSG sebagai salah satu bahan

penyedap rasa. Produk makanan siap saji, makanan beku maupun makanan kaleng

juga mengandung MSG dalam jumlah yang cukup besar. Selain lada dan garam,

botol berlabel penyedap rasa yang mengandung MSG juga dapat dengan mudah

ditemukan di rak bumbu dapur maupun di atas meja restoran. Umumnya,

Restoran Cina banyak menggunakan MSG untuk menyedapkan masakan-

masakannya.

Walaupun sebagian besar orang dapat mengkonsumsi MSG tanpa

masalah, beberapa orang memiliki alergi bila mengkonsumsi berlebihan yaitu

gejala seperti pening, mati rasa yang menjalar dari rahang sampai belakang leher,

sesak nafas dan keringat dingin. Secara umum, gejala-gejala ini dikenal dengan

nama sindrom restoran cina atau disebut dengan Chinese Restaurant Syndrome

(CRS).

Asam glutamat dan gamma-asam aminobutirat mempengaruhi transmisi

signal didalam otak. Asam glutamat meningkatkan transmisi signal dalam otak,

sementara gamma-asam aminobutirat menurunkannya. Oleh karenanya,

mengkonsumsi MSG berlebihan pada beberapa individu dapat merusak

kesetimbangan antara peningkatan dan penurunan transmisi signal dalam otak

(Anonimous 2006).

Page 5: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

III. Glutamat Di dalam Tubuh

Glutamat diproduksi di dalam tubuh manusia dan mempunyai peranan

penting di dalam proses metabolisme. Secara alami glutamat ditemukan di otot,

otak, ginjal, hati dan organ-organ lainnya termasuk juga di dalam jaringan. Selain

itu, glutamat juga ditemukan pada air susu ibu (ASI) dengan tingkat 10 kali lipat

dari yang ditemukan di susu sapi (Anonimous 2006). Rata-rata setiap orang

mengkonsumsi glutamat antara 10 sampai 20 gram dan 1 gram glutamat yang

bebas dari makanan yang kita makan setiap harinya. Pada kebanyakan kasus diet

glutamat sangat cepat dimetabolis dan digunakan sebagai sumber energi. Dari segi

pandangan nutrisi, glutamat termasuk non-essential amino acid, yang berarti

bahwa tubuh kita dapat memproduksi glutamat dari sumber protein yang lain, jika

memang diperlukan tubuh memproduksi sendiri glutamat untuk berbagai macam

kebutuhan essensial (Anonimous 2006).

IV. MSG dan Kesehatan Masyarakat

Pada tahun 1959, Food and Drug Administration di Amerika

mengelompokkan MSG sebagai ”generally recognized as safe” (GRAS), sehingga

tidak perlu aturan khusus. Kemudian pada tahun 1970 FDA menetapkan batas

aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan/hari yang disetarakan dengan

konsumsi garam. Mengingat belum ada data pasti, saat itu ditetapkan pula tidak

boleh diberikan kepada bayi kurang dari 12 minggu (Anonimous 2003). Dari

penelitian yang telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun oleh para scientis

bahwa MSG aman untuk dikonsumsi, sejauh tidak berlebihan termasuk pada

wanita hamil dan menyusui.

V. Dampak MSG Pada Wanita Hamil dan Menyusui

Hasil penelitian menunjukkan, glutamat hanya akan menembus placenta

bila kadarnya dalam darah ibu mencapai 40 – 50 kali lebih besar dari kadar

normal. Itu artinya mustahil kecuali glutamat diberikan secara intravena.

Sementara kalau ibu menyusui menyantap MSG 100 mg/kg berat badan, mungkin

kadar glutamat dalam darahnya akan naik, tetapi tidak dalam ASI.

Page 6: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

Batasan aman yang pernah dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia WHO

(World Health Organization), asupan MSG per hari sebaiknya sekitar 0-120

mg/kg berat badan. Jadi, jika berat seseorang 50 kg, maka konsumsi MSG yang

aman menurut perhitungan tersebut 6 gr (kira-kira 2 sendok teh) per hari. Rumus

ini hanya berlaku pada orang dewasa. WHO tidak menyarankan penggunaan MSG

pada bayi di bawah 12 minggu (Anonimous 2001).

VI. Efek Bahaya dari Penggunaan MSG

VI.1. Chinese Restaurant Syndrome

Tahun 1968 dr. Ho Man Kwok menemukan penyakit pada pasiennya yang

gejalanya cukup unik. Leher dan dada panas, sesak napas, disertai pusing-pusing.

Pasien itu mengalami kondisi ini sehabis menyantap masakan cina di restoran.

Masakan cina memang dituding paling banyak menggunakan MSG. Karena itulah

gejala serupa yang dialami seseorang sehabis menyantap banyak MSG disebut

Chinese Restaurant Syndrome.

Penyebab terjadinya penyakit CRS ini diperkirakan karena adanya

defisiensi vitamin B6 karena pembentukan alanin dari glutamat mengalami

hambatan ketika diserap. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa

menyantap 2 – 12 gram MSG sekali makan sudah bisa menimbulkan gejala ini.

Akibat dari gejala CRS ini memang tidak terlalu fatal karena dalam 2 jam Chinese

Restaurant Syndrome sudah hilang.

VI.2. Kerusakan Sel Jaringan Otak

Hasil penelitan Olney di St. Louis. Tahun 1969 ia mengadakan penelitian

pada tikus putih muda. Tikus-tikus ini diberikan MSG sebanyak 0,5 – 4 mg per

gram berat tubuhnya. Hasilnya tikus-tikus malang ini menderita kerusakan

jaringan otak. Namun penelitian selanjutnya menunjukkan pemberian MSG yang

dicampur dalam makanan tidak menunjukkan gejala kerusakan otak. Asam

glutamat meningkatkan transmisi signal dalam otak, gamma-asam aminobutrat

menurunkannya. Oleh karenanya, mengkonsumsi MSG berlebihan pada beberapa

individu dapat merusak kesetimbangan antara peningkatan dan penurunan

transmisi signal dalam otak (Anonimous 2006).

Page 7: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

VI.3. Kanker

MSG menimbulkan kanker betul adanya kalau kita melihatnya dari sudut

pandang berikut. Glutamat dapat membentuk pirolisis akibat pemanasan dengan

suhu tinggi dan dalam waktu lama. pirolisis ini sangat karsinogenik. Padahal

masakan protein lain yang tidak ditambah MSG pun, bisa juga membentuk

senyawa karsinogenik bila dipanaskan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang

lama. Karena asam amino penyusun protein, seperti triptopan, fenilalanin, lisin,

dan metionin juga dapat mengalami pirolisis, dari uraian penelitian tadi jelas cara

memasak amat berpengaruh.

VI.4. Alergi

MSG tidak mempunyai potensi untuk mengancam kesehatan masyarakat

umum, tetapi juga bahwa reaksi hypersensitif atau alergi akibat mengkonsumsi

MSG memang dapat terjadi pada sebagian kecil sekali dari konsumen. Beberapa

peneliti bahkan cenderung berpendapat nampaknya glutamat bukan merupakan

senyawa penyebab yang efektif, tetapi besar kemungkinannya gejala tersebut

ditimbulkan oleh senyawa hasil metabolisme seperti misalnya GABA (Gama

Amino Butyric Acid), serotinin atau bahkan oleh histamin (Winarno 2004).

VII. Solusi dalam Penggunaan MSG yang Aman

MSG memberikan rasa gurih dan nikmat pada berbagai macam masakan,

walaupun masakan itu sebenarnya tidak memberikan rasa gurih yang berarti.

MSG aman dikonsumsi sejauh tidak berlebihan. Meski dinilai aman, MSG

hendaknya tidak diberikan bagi orang yang tengah mengalami cidera otak karena

stroke, terbentur, terluka, atau penyakit syaraf. Konsumsi MSG menyebabkan

penumpukan asam glutamat pada jaringan sel otak yang bisa berakibat

kelumpuhan. Batasan aman yang pernah dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia

WHO (World Health Organization), asupan MSG per hari sebaiknya sekitar 0-120

mg/kg berat badan. Selain itu sebaiknya jangan terlalu banyak dan terlalu sering

mengkonsumsi makanan yang menggunakan MSG, dikarenakan MSG tidak baik

untuk kesehatan dan bisa membahayakan kese

Page 8: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

PEMANFAATAN UMBI-UMBIAN INFERIOR SEBAGAI UPAYA

MENGATASI PERMASALAHAN KETAHANAN PANGAN

I. Pendahuluan

Pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis bagi

keberlangsungan hidup umat manusia. Kebutuhan manusia akan pangan ialah hal

yang sangat mendasar, sebab konsumsi pangan adalah salah satu syarat utama

penunjang kehidupan. Kini pangan ditetapkan sebagai bagian dari hak asasi

manusia yang penyelenggaraannya wajib dijamin oleh negara.

Penyelenggaraan urusan pangan di Indonesia diatur melalui Undang-

Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 pengganti Undang-Undang Pangan

Nomor 7 Tahun 1996. Dalam Undang-Undang Pangan ini ditekankan pemenuhan

kebutuhan pangan di tingkat perorangan, dengan memanfaatkan potensi sumber

daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermanfaat.

Dewasa ini situasi kualitas konsumsi pangan di tengah masyarakat

Indonesia masih dirasakan kurang beragam dan bergizi seimbang. Padahal

komsumsi pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor

penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Volume

dan kualitas komsumsi pangan dan gizi di dalam rumah tangga juga dipengaruhi

oleh kondisi ekonomi, pengetahuan dan budaya masyarakat.

Masalah yang terlihat dengan jelas adalah ketergantungan masyarakat

Indonesia akan konsumsi beras atau nasi.

II. Masalah Ketergantungan pada Beras atau Nasi

Beras merupakan komoditas pangan yang sangat strategis karena

merupakan makanan pokok utama bagi masyarakat Indonesia. Kecukupan pangan

wajib terpenuhi sebagai hak dan kelangsungan hidup bangsa. Untuk menjaga

kestabilan ekonomi dan politik bangsa, pangan harus tersedia secara memadai,

bahkan di saat menghadapi perubahan iklim global yang berdampak pada sistem

usaha tani padi di semua negara produsen padi dunia, maka harus ada surplus

beras sebagai cadangan pangan. Dalam rangka penurunan konsumsi beras, strategi

yang ditempuh adalah penganekaragaman konsumsi pangan dan pengembangan

Page 9: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

bisnis serta industri pangan khas daerah. Penurunan konsumsi beras diperlukan

karena pada saat ini tingkat konsumsi beras telah melampaui standar kecukupan

konsumsi yang dianjurkan untuk hidup sehat. Sudah barang tentu, penurunan

konsumsi beras harus diikuti oleh peningkatan konsumsi umbi-umbian sebagai

sumber karbohidrat dan produk pangan hewani, sayuran serta buah-buahan yang

akan meningkatkan kualitas konsumsi pangan yang lebih beragam dan bergizi

seimbang menuju tercapainya Pola Pangan Harapan.

Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras atau nasi bisa

membahayakan ketahanan pangan. Apalagi konsumsi beras rata-rata di Indonesia

saat ini adalah 139 kg per kapita, hal ini tentu saja akan semakin melemahkan

ketahanan pangan di negeri yang berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa ini.

Dalam usaha pemenuhan kebutuhan pangan, pemerintah Indonesia telah

berupaya secara maksimal agar kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi.

Keseriusan itu diwujudkan dalam bentuk cita-cita besarnya yaitu mampu

mencapai swasembada pangan, yang akhirnya tercapai pada tahun 1984 dengan

swasembada beras, walaupun sebetulnya swasembada beras ditargetkan tercapai

pada tahun 1974 (Rahardjo, 1993). Dengan keberhasilan tersebut, orientasi

pembangunan selanjutnya diperluas tidak hanya berswasembada beras tetapi juga

swasembada pangan secara keseluruhan Perubahan orientasi pembangunan di

bidang pangan meliputi lima aspek, yaitu:

a) dari swasembada beras menjadi swasembada pangan,

b) dari pemenuhan kuantitas menjadi orientasi yang semakin menekankan

kepada kualitas pangan,

c) orientasi yang berupaya untuk mengatasi situasi kelangkaan (scarcity)

menjadi orientasi yang didasarkan pada upaya untuk mengatasi situasi

yang berlebih (plenty) melalui mekanisme pasar,

d) orientasi produksi yang menekankan kepada upaya mencukupi melalui

peningkatan produksi menjadi orientasi untuk memproduksi pangan yang

sesuai dengan permintaan pasar (market orinted), dan

e) orientasi yang menitikberatkan kepada single komoditas menjadi orientasi

kepada pangan yang beraneka ragam.

Page 10: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

Situasi pangan di Indonesia cukup unik disebabkan oleh kondisi geografis

Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, tetapi juga adanya keragaman sosial,

ekonomi, kesuburan tanah, dan potensi daerah. Dengan adanya perubahan

orientasi kebijakan yang lebih luas dan juga potensi pangan di daerah yang

beragam diharapkan akan terjadi pola makan pada masyarakat yang lebih

beragam. Pada tahun 1960-an, pemerintah sudah menganjurkan konsumsi bahan-

bahan pangan pokok selain beras (Rahardjo, 1993). Kemudian pada tahun 1974,

pemerintah juga mencanangkan kebijakan diversifikasi untuk lebih

menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan muti gizi makanan

masyarakat melalui Intruksi Presiden (Inpres) No. 14 dan disempurnakan pada

Inpres No. 20 tahun 1979. Dengan demikian, kebijakan diversifikasi konsumsi

pangan sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Usaha membangun Ketahanan pangan

pada umumnya dan diversifikasi pangan khususnya saat ini diaktualisasikan

kembali antara lain melalui Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang

Propenas, yang menetapkan Program Peningkatan Ketahanan Pangan (PPKP).

Program ini bertujuan untuk meningkatkan keanekaragarnan produksi bahan

pangan, segar maupun olahan; mengembangkan kelembagaan pangan yang

menjamin peningkatan produksi dan konsumsi yang lebih beragam,

mengembangkan bisnis pangan, dan menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi

masyarakat. Program diversifikasi bukan bertujuan untuk mengganti bahan

pangan pokok beras dengan sumber karbohidrat lain, tetapi untuk mendorong

peningkatan sumber zat gizi yang cukup kualitas dan kuantitas, baik komponen

gizi makro maupun gizi mikro (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI, 2010).

Diversifikasi pangan adalah suatu proses pemanfaatan dan pengembangan

suatu bahan pangan sehingga penyediaannya semakin beragam.

III. Solusi dari Ketergantungan Beras atau Nasi

III.1. Pola Pangan Harapan (PPH)

Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan atau

kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolut

maupun relatif terhadap total energi baik dalam hal ketersediaan maupun

konsumsi pangan, yang mampu mencukupi kebutuhan dengan

Page 11: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, agama dan cita rasa.

PPH mencerminkan susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif

dan produktif. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan berdasarkan

skor pangan dari 9 bahan pangan. Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam

jumlah yang cukup dan hanya terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi

pangan di tingkat rumah tangga. Selanjutnya pola konsumsi pangan rumah tangga

akan berpengaruh pada komposisi konsumsi pangan (Depkes RI , 2010).

Pola pangan masyarakat yang mengacu pada Pola Pangan Harapan dijadikan

sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan program diversifikasi pangan.

III.2. Diversifikasi Konsumsi Pangan (DKP)

Kebijakan DKP bertujuan untuk menurunkan konsumsi beras di Indoensia

yang sudah dirintis sejak awal tahun 60-an, namun kenyataan menunjukkan posisi

beras sebagai pangan pokok di semua provinsi semakin kuat. Pangan lokal seperti

jagung dan umbi-umbian inferior ditinggalkan masyarakat, sebaliknya pangan

global seperti mie semakin banyak digemari. Beberapa faktor yang menjadi

penghambat DKP adalah karena rasa beras lebih enak dan mudah diolah, konsep

makan, merasa belum makan kalau belum makan nasi, beras sebagai komoditas

superior ketersediaannya melimpah dengan harga yang murah, pendapatan

masyarakat masih rendah, teknologi pengolahan dan promosi pangan non beras

masih rendah, kebijakan pangan yang tumpang tindih, serta kebijakan impor

gandum dan promosi produk mie yang gencar. Keberhasilan kebijakan DKP

penting tidak hanya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, tetapi juga

berdampak positif pada ketahanan pangan, pendapatan petani dan agroindustri

pangan serta menghemat devisa.

Latar belakang pengupayaan diversifikasi pangan adalah melihat potensi

negara kita yang sangat besar dalam sumber daya hayati. Indonesia memiliki

berbagai macam sumber bahan pangan hayati terutama yang berbasis karbohidrat.

Setiap daerah di Indonesia memiliki karateristik bahan pangan lokal yang sangat

berbeda dengan daerah lainnya. Diversifikasi pangan juga merupakan solusi untuk

mengatasi ketergantungan masyarakat di Indonesia terhadap satu jenis bahan

pangan yakni beras.

Page 12: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

Penelitian Rahman (2001) menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi

pangan pokok yang cenderung mengarah ke pola tunggal beras dari semula pola

beras-umbi-umbian, dan atau beras-jagung-umbi. Dari sisi kualitas, rata-rata

kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia juga masih rendah, kurang

beragam, masih didominasi pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian.

Konsumsi pangan pokok masyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras

dengan tingkat partisipasi rata-rata hampir mencapai 100% kecuali untuk Maluku

dan Papua (yang dikenal sebagai wilayah ekologi sagu), berkisar 80%.

Menurut Amang dan Sawit (2001); Teken dan Kuntjoro (1978); Amang

dalam Supadi (2004), kendala pengembangan diversifikasi pangan sebagai

berikut:

a) Pangan nonberas (jagung, sorghum, dan umbi-umbian) adalah pangan inferior,

berkurang tingkat konsumsinya seiring dengan peningkatan pendapatan

masyarakat. Banyak orang memandang bahwa beras sebagai bahan pangan

mempunyai status yang lebih ”tinggi” daripada jagung, sorghum dan umbi-

umbian. Kondisi ini menimbulkan anggapan bahwa apabila beralih kepada

bahan pangan jagung, sorghum dan umbi-umbian sebagai pengganti sebagian

beras yang dimakan, akan merupakan suatu kemunduran.

b) Kebanyakan komoditas pangan nonberas tidak siap untuk dikonsumsi secara

langsung.

c) Untuk mendorong kembali ke menu makanan tradisional harus disesuaikan

dengan perkembangan zaman. Dahulu, pada umumnya penduduk di Indonesia

Timur mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian yang relatif rendah kandungan

karbohidrat dan proteinnya, bersama dengan ikan atau hewani yang tersedia di

alam bebas. Tetapi sekarang, ikan dan hewani telah menjadi barang ekonomi

yang harus dibeli.

d) Upaya diversifikasi pangan hingga kini belum memberikan hasil yang

memuaskan. Produksi tanaman pangan masih sangat didominasi oleh beras.

Hal ini disebabkan oleh besarnya perhatian pemerintah pada upaya untuk

mempertahankan stabilitas produksi beras, meskipun kurang berhasil.

e) Upaya diversifikasi konsumsi pangan melalui kebijakan harga dan subsidi

nampaknya mengalami kesulitan. Hal ini dapat dilihat dari kecilnya

Page 13: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

kemungkinan konsumen untuk melakukan substitusi pangan dari beras ke non

beras (jagung atau ubi kayu), karena elastisitas silang beras ke nonberas (selain

terigu) relatif kecil. Subsidi memerlukan biaya besar, sedangkan penerima

subsidi mungkin golongan berpendapatan menengah ke atas.

Salah satu bahan yang bisa digunakan sebagai produk diversifikasi pangan

di Indonesia adalah umbi-umbian inferior. Umbi inferior merupakan umbi yang

belum banyak dibudidayakan dan belum banyak diolah menjadi produk

turunannya. Ketersediaan umbi inferior di Indonesia cukup melimpah. Hal ini

dikarenakan umbi inferior tumbuh secara liar dan mudah dibudidayakan. Menurut

Kasno dkk (2006) sebagian besar jenis umbi-umbian yang dibudidayakan dengan

status subsisten atau setengah komersial diantaranya garut (Maranta

arundinacea), ganyong (Canna edulis), gadung (Dioscorea hispida), uwi

(Dioscorea alata), gembili (Dioscurela esculenta), uwi katak (Dioscorea

pentaphyla), kimpul (Xanthosoma violeceum), talas belitung (Xanthosoma

saggitifolium), suwek (Amorphophalus companulatus), yang masing-masing

mempunyai ragam pada tingkat spesies.

Tanaman umbi-umbian ini biasanya oleh petani di tanam di pekarangan

rumah, sebagai tanaman tumpangsari atau hanya tumbuh secara liar. Sedangkan

untuk penanganan umbi-umbi tersebut diolah dengan cara perebusan dan

penggorengan. Hal ini menunjukkan bahwa masih rendah dan terbatasnya

pemanfaatan umbi-umbian. Oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan

produk pangan berbahan umbi inferior untuk meningkatkan nilai dan juga

kegunaannya yang tidak lain adalah kandungan nutrisi dari berbagai umbi

tersebut. Berikut adalah beberapa contoh umbi-umbian inferior yang ada di

Indonesia:

Gambar 1. Umbi Garut (Maranta arundinacea)

(Sumber : google.com)

Page 14: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

Gambar 2. Umbi Gadung (Dioscorea hispida)

(Sumber : google.com)

Gambar 3. Umbi Ganyong (Canna edulis)

(Sumber : google.com)

Gambar 4. Gembili (Dioscurela esculenta)

(Sumber : google.com)

Page 15: PENGGUNAAN MSG PADA BAHAN PANGAN.doc

DAFTAR PUSTAKA

Badan Ketahanan Pangan. 2006. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan.

Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Departemen Pertanian.

Dwinda, W. 1990. Bahaya Bahan Tambahan Makanan. Yogyakarta : Indopress.

Santoso, Budi. 1999. Dampak Penambahan MSG dalam makanan. Jakarta.

Supadi. 2004. “Pengembangan Diversifikasi Pangan: Masalah dan Upaya

Mengatasinya”. Icaserd Working Paper No. 45 bulan Maret 2004. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Suryana, A. 1987. “Pengembangan Komoditas Ekspor Hasil Pertanian dengan

Pendekatan Diversifikasi Usaha”. Jurnal Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Volume VI No.1 bulan Januari 1987. Badan Litbang Pertanian.

Departemen Pertanian. Hal 18 – 21.

Tari, A. 2012. Penggunaan MSG pada makanan. http://penggunaan-MSG-pada-

makanan.org.id/. Di akses pada tanggal 24 September 2013.