PENGELOLAAN INDUSTRI MIGAS NASIONAL (NATIONAL OIL COMPANY) MELALUI KONTRAK PRODUCTION SHARING DENGAN SISTEM BUSINESS TO BUSINESS A. Latar Belakang Pertambangan migas sejak dahulu telah menjadi perhatian penting bahkan sebelum kemerdekaan. Hal ini dipicu juga oleh perkembangan revolusi industri yang merubah wajah dunia untuk melakukan eksploitasi minyak dan gas bumi (untuk selanjutnya disebut Migas) sebagai penopang mesin-mesin industri. Selama puluhan tahun perekonomian Indonesia ditopang dari hasil pengerukan Migas. Pertambangan Migas merupakan komoditas strategis yang menjadi salah satu andalan pendapatan bagi Indonesia. Migas merupakan sumber daya alam (energi) strategis yang tidak terbarukan 1 yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan 1 Energi tak terbarukan adalah energi yang diperoleh dari sumber daya alam yang waktu pembentukannya sampai jutaan tahun. Dikatakan tak terbarukan karena, apabila sejumlah sumbernya dieksploitasikan, maka untuk mengganti sumber sejenis dengan jumlah sama, baru mungkin atau belum pasti akan terjadi jutaan tahun yang akan datang. Hal ini karena, disamping waktu terbentuknya yang sangat lama, cara terbentuknya lingkungan tempat terkumpulkan bahan dasar sumber energi inipun tergantung dari proses dan keadaan geologi saat itu. http://id.wikipedia.org/wiki/Energi_tak_terbarukan (diunduh tanggal 8 Januari 2013, jam: 14.00 WIB)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGELOLAAN INDUSTRI MIGAS NASIONAL (NATIONAL OIL COMPANY) MELALUI KONTRAK PRODUCTION SHARING DENGAN
SISTEM BUSINESS TO BUSINESS
A. Latar Belakang
Pertambangan migas sejak dahulu telah menjadi perhatian penting
bahkan sebelum kemerdekaan. Hal ini dipicu juga oleh perkembangan
revolusi industri yang merubah wajah dunia untuk melakukan eksploitasi
minyak dan gas bumi (untuk selanjutnya disebut Migas) sebagai penopang
mesin-mesin industri. Selama puluhan tahun perekonomian Indonesia
ditopang dari hasil pengerukan Migas. Pertambangan Migas merupakan
komoditas strategis yang menjadi salah satu andalan pendapatan bagi
Indonesia. Migas merupakan sumber daya alam (energi) strategis yang tidak
terbarukan1 yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan
baku industri, pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri, penghasil devisa
negara serta dapat menyediakan lapangan kerja yang besar, maka dalam
era globalisasi pembentukan dan pelaksanaan hukum migas di Indonesia
tidak dapat terlepas dari Intervensi kekuatan politik dan ekonomi.
Suyitno, mengatakan bahwa faktor politik, sosial, ekonomi dan
lingkungan bernegara sangat mempengaruhi perkembangan yang beragam
dari pengelolaan sumber daya alam Migas sejak Indonesia merdeka hingga
1 Energi tak terbarukan adalah energi yang diperoleh dari sumber daya alam yang waktu pembentukannya sampai jutaan tahun. Dikatakan tak terbarukan karena, apabila sejumlah sumbernya dieksploitasikan, maka untuk mengganti sumber sejenis dengan jumlah sama, baru mungkin atau belum pasti akan terjadi jutaan tahun yang akan datang. Hal ini karena, disamping waktu terbentuknya yang sangat lama, cara terbentuknya lingkungan tempat terkumpulkan bahan dasar sumber energi inipun tergantung dari proses dan keadaan geologi saat itu. http://id.wikipedia.org/wiki/Energi_tak_terbarukan (diunduh tanggal 8 Januari 2013, jam: 14.00 WIB)
kini. 2 Hal ini menjadi dipertegas oleh kenyataan bahwa globalisasi ekonomi
menyebabkan sistem ekonomi nasional cenderung menjadi bagian dan tidak
terpisahkan dari sistem ekonomi global, dimana globalisasi ekonomi
menuntut adanya transparansi dalam dunia usaha berupa keterbukaan dan
pemberian kesempatan kepada setiap pelaksana usaha berdasarkan
kemampuan berkompetisi.3 Globalisasi ekonomi juga mengakibatkan
terjadinya globalisasi di bidang hukum melalui usaha-usaha standarisasi
hukum, perjanjian-perjanjian internasional antara lain adanya Perjanjian atas
Tarif dan Perdagangan (GATT, General Agreement and Tariff and Trade).
Globalisasi hukum juga terjadi melalui kontrak-kontrak bisnis internasional
yang dibawa oleh investor dari negara-negara maju.4
Konsepsi dasar pengusahaan pertambangan migas di Indonesia
adalah pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dinyatakan: “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kewenangan Negara selanjutnya
dinyatakan dalam pasal 2 ayat (2) UUPA No 5 tahun 1960, yang meliputi:
a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
2 Suyitno Patmosukismo, Migas Politik, Hukum dan Industri: Politik Hukum Pengelolaan Industri Migas Indonesia dikaitkan dengan Kemandririan dan Ketahanan Energi dalam Pembangunan Perekonomian Nasional, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2011), hal.156.3 Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, tepatnya pada Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan: Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepadasemua penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal diIndonesia sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.4 Suyitno, Op.Cit, hal.12.
c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang danperbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Sedangkan pada pasal 2 ayat 3 UUPA No 5 tahun 1960, menyatakan
bahwa wewenang yang bersumber pada Hak Menguasai dari Negara pada
ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran
rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan
makmur.
Pasal 33 UUD 1945, menjadi dasar bagi eksploitasi sumber daya alam
yang ada di Indonesia. Konteks “Hak Menguasai Negara” menjadi dasar
untuk negara memiliki kekuasaan yang penuh untuk pengelolaan sumber
daya Indonesia. Migas sebagai cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak termasuk sumber daya alam yang
dikuasai negara. Penguasaan negara atas sumber daya Migas kembali
ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, yaitu
“minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tak
terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara”.
Penyelenggaraan kegiatan usaha Migas berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, tepatnya pada P{asal 2, didasarkan
pada ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan,
pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak,
keamanan, keselamatan dan kepastian hukum serta berwawasan
lingkungan.5
Konsekuensi dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 baik untuk sektor hulu maupun sektor hilir, adalah dibentuknya badan
yang khusus mengatur dan melaksanakan kegiatan usaha minyak dan gas.
Badan Pelaksana dan Badan Pengatur ini diangkat dan bertanggung jawab
kepada Presiden. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pelaksana dan
Badan Pengatur dapat membuat kontrak kerja sama dengan badan usaha
lain, baik lokal, nasional, maupun internasional. Hal ini tentu saja
menghapus semua wewenang yang dimiliki oleh Pertamina selama ini. Pada
sektor hulu pemerintah membentuk BP Migas (badan pelaksana kegiatan
usaha hulu minyak dan gas), sedangkan pada sektor hilir pemerintah
membentuk BPH Migas (badan pelaksana kegiatan usaha hilir minyak dan
gas).6
5 Selanjutnya Pasal 2 dan 3 mengatur bahwa penguasaan oleh negara tersebut diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana.6 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, kuasa pertambangan ada pada perusahaan negara, yaitu Pertamina, kontraktor berkedudukan sebagai kontraktor Pertamina. Kuasa pertambangan kepada PN Pertamina sebelum UU Nomor 22 Tahun 2001 ini sangat luas, meliputi semua kegiatan usaha perminyakan: eksplorasi, eksploitasi, pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan. Berdasarkan perundang-undnagan lana Pertamina sebagai perusahaan negara memiliki peran ganda sebagai regulator dan juga sebagai “pemain”. Dalam hal upstream business, Pertamina had an exclusive authority to mine, di satu sisi sebagai “pemain” yang memiliki hak “kepemilikan” atas wilayah kerja yang dikenal dengan own operation dan juga sebagai upstream regulator (pemegang kuasa pertambangan) yang dipresentasikan adanya Direktorat Management Production Sharing yang melakukan kerja sama (risk and financing, economic return (profit), dan management) dengan production sharing contractor dalam pengelolaan working area yang berada di open area dengan bentuk production sharing contract. Kewenangan tersebut kini dialihkan kepada BP Migas sebagai suatu Badan Hukum Milik Negara. Dengan dialihkan fungsi had an exclusive authority to mine kepada BP Migas, maka Pertamina sebagai perusahaan negara saat ini berperan sebagai contractor production sharing, tetapi Pertamina dapat dikatakan sebagai lex specialis contractor production sharing karena “memiliki” own operation yang pengusahaannya ada yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga dalam bentuk technical assistance contract dan joint operation body.Di-downstream menurut perundang-undangan lama, hanya Pertamina sebagai perusahaan negara satu-satunya yang berkewajiban menyediakan kebutuhan bahan bakar minyak di dalam negeri (yang telah menjangkau sampai ke pelosok-pelosok wilayah nusantara) dan juga produk-produk turunan dari minyak dan gas, seperti (liquefied petroleum gas) LPG. Peran Pertamina dalam
Dasar pemikiran pengelolaan Migas di Indonesia sebenarnya sudah
dirancang dengan ide kontrak production sharring (KPS) atau bagi hasil.7
Pencetus ide kontrak bagi hasil adalah Bung Karno. Ide tersebut
berdasarkan praktek yang berlaku di pengelolaan pertanian di Jawa.
Kebanyakkan petani (Marhaen) adalah bukan pemilik sawah. Petani
mendapatkan penghasilan dari bagi hasil (paron). Pengelolaan adalah di
tangan pemilikannya. Ibnu Sutowo juga menyatakan bahwa yang dibagi
adalah minyaknya (hasilnya) dan bukan uangnya. Beliau juga menyatakan
mengenai Migas terserah pada kita sendiri, apakah kita mau barter, mau
dijual sendiri atau kita minta tolong kepada partner untuk menjualkannya.
Intinya kita harus menjadi tuan di rumah sendiri. Itulah sebabnya dalam
kontrak production sharing (KPS) manajemen ada di tangan pemerintah.8
Sayangnya ide Ibnu Sutowo dan ide Berdikari dari Bung Karno, lebih
berhasil dilaksanakan oleh Petronas Malaysia. Namun demikian kita punya
Medco (Perusahaan internasional yang dapat menyaingi perusahaan
Multinasional). Pertamina pun diharapkan dapat menjadi perusahaan
Multinasional yang unggul.
Dalam pengelolaan dan pengusahaan migas, menurut Goldman Sacht
Riset Insititute seperti yang dikutip oleh Widjajono Partowidagdo, Indonesia
termasuk negara yang berkategori verry high risk. Resiko ini ditentukan
berdasarkan tinggi rendahnya korupsi, aturan hukum, stabilitas politik,
hal downstream business, menurut prinsip management adalah planning, organizing, actuating, dan controlling dari penyediaan dan pelayanan BBM di dalam negeri, sedangkan kini kewenangan sebagai downstream regulator telah “dialihkan” kepada BPH Migas. Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal.65-66.7 Widjajono Partowidagdo, Pengantar Produksi Investasi dan Kemampuan Nasional Hukum Migas. (Jakarta : CIDES, 2008) hal.1.
8 Ibnu Sutowo, Peranan Minyak Dalam Ketahanan Negara. (Jakarta : Pertamina, 1972), hal.4.
kualitas regulasi, dan indeks pembangunan sumber daya manusia.9 Sutedi
menjelaskan beberapa macam jenis risiko di bidang pertambangan, yaitu
risiko geologi (eksplorasi) yang berhubungan dengan ketidakpastian
penemuan cadangan (produksi), risiko teknologi yang berhubungan dengan
ketidakpastian biaya, risiko pasar yang berhubungan dengan dengan
perubahan harga, dan risiko kebijakan pemerintah yang berhubungan
dengan perubahan pajak dan harga domestik. Risiko-risiko tersebut
berhubungan dengan besaran yang mempengaruhi keuntungan usaha, yaitu
produksi, harga, biaya, dan pajak. Usaha yang mempunyai risiko lebih tinggi
menuntut pengembalian keuntungan (rate of return) yang lebih tinggi.10
Dalam pengembangan industri minyak dan gas dalam negeri Indonesia
membutuhkan investor sebagai kontraktor untuk melakukan eksplorasi
danproduksi atas cadangan minyak dan gas yang tidak bisa dijalankan oleh
Pertamina sendiri. Adapun beberapa alasan yang mendasari perlunya
investor sebagai kontraktor di Indonesia:
a. Resiko
Pada tahap eksplorasi memiliki resiko sangat tinggi, karena
profitabilitas menemukan cadangan minyak atau gas pada tahap
eksplorasi hanya sekitar 10% hingga 20% (berdasarkan statistic).
9 Widjajono Partowidagdo, Manejemen dan Ekonomi Migas. (Bandung : Program Pasca Sarjana Sudi Pembangunan, 2004), hal.3.10 Adrian Sutedi, Op.Cit, hal. 43-44. Risiko eksplorasi dan tingkat kesulitan teknologi eskploitasi pertambangan juga berbeda satu sama lain. Untuk migas yang lokasi cadangannya jauh di bawah permukaan risiko eksplorasinya tentunya besar, sehingga tidak mengherankan apabila sebagian besar migas kita masih diproduksi oleh swasta asing. Dalam hal teknologi eksploitasi migas walaupun tingkat kesulitannya cukup tinggi, terdapat keyakinan bahwa bangsa Indonesia cukup mampu melakukan eksploitasi migas paling tidak untuk penambangan di daratan maupun laut dangkal. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa di samping Pertamina ada beberapa swasta nasional yang sudah mengoperasikan lapangan minyaknya berbekal pengalaman yang telah ditekuninya selama bertahun-tahun di bidang tersebut, salah satunya adanya Medco.
Indonesia tidak ingin mempertruhkan sumberdayanya pada bisnis yang
beresiko tinggi.
b. Pendanaan
Indonesia belum memiliki kemampuan dari segi pendanaan untuk
investasi pada bisnis yang beresiko tinggi ini. Oleh karenanya
Indonesia mengundang investor untuk ambil bagian dalam bisnis ini
sebagai kontraktor PSC. Hasil dari minyak dan gas ini tidak
diinvestasikan kembali pada industri minyak dan gas, melainkan untuk
mempercepat pengembangan industri non migas.
c. Teknologi
Indonesia belum menguasai teknologi dibidang minyak dan gas bumi
ini, oleh karena itu dibutuhkan tenaga ahli asing, terutama yang
berpengalaman di industri minyak dan gas bumi.
Konsep dari production sharing agreement yang banyak diikuti oleh
negara di dunia saat ini adalah:11
1. Production sharing agreement sebagai bentuk perjanjian khusus yang
berkaitan dengan lapisan bawah tanah dengan menggunakan
hubungan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kontrak privat (perdata)
atas hubungan antara negara dan investor untuk memprediksi,
mengeksplorasi, dan melakukan penyulingan atau penggalian atas
sumber daya mineral;
11 Irina Paliashvili, The President of The Russian- Ukrainian Legal Group, Out-lines of Presentation at the seminar on the legislation on production sharing agreements, http://www.rulg.com/documents/he_Concept_of_Production.htm (diunduh tanggal 8 Januari 2013, jam: 14.10 WIB)
2. Production sharing agreement sebagai kontrak yang tunduk kepada
kebijakan pemerintah ketika mempercayakan kepada investor untuk
memprediksikan, mengeksplorasi, dan melakukan penyulingan sumber
daya mineral dalam batas-batas area lapisan bawah tanah yang telah
ditentukan dengan berbasis kepada kompensasi dan jangka waktu
yang telah ditetapkan oleh pemerintah bagi investor, di mana investor
diwajibkan untuk melaksanakan pekerjaan yang dilakukan dengan
pembiayaan dan risiko yang ditanggung sendiri.
Kontrak bagi hasil (production sharing contract) di Indonesia mulai
populer sejak pertama kali diperkenalkan pada 1960 di Venezuela oleh Ibnu
Sutowo. Ibnu Sutowo memperkenalkan production sharing contract dengan
pemikiran bahwa Indonesia pada saat itu merupakan Negara yang memiliki
kandungan minyak dan gas bumi yang melimpah, tetapi Indonesia tidak
memiliki kemampuan finansial yang kuat untuk melakukan investasi dalam
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Selain itu Indonesia pada saat itu
tidak memiliki teknologi yang memadai untuk melakukan kegiatan usaha
hulu minyak dan gas ini, dan yang terakhir Indonesia tidak memiliki tenaga
kerja yang kompeten untuk melakukan kegiatan usaha hulu ini.12
Pada 1966 Ibnu Sutowo menawarkan substansi production sharing
contract kepada kontraktor asing berupa: (1) kendali manajemen dipegang
oleh Perusahaan Negara; (2) kontrak didasarkan pada pembagian produksi;
(3) kontraktor menanggung risiko pra produksi, dan apabila minyak
ditemukan, penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% per tahun
dari minyak yang dihasilkan; (4) sisa dari minyak dihasilkan setelah
12 Rudi M. Simamora, Hukum Minyak dan Gas Bumi, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. 9
dikurangi biaya penggantian akan dibagi komposisi 65% unuk perusahaan
negara, dan 35% untuk kontraktor; (5) hak atas semua peralatan yang dibeli
kontraktor akan menjadi milik Perusahaan Negara ketika peralatan tersebut
masuk ke Indonesia, dan biayanya akan ditutup dengan formula 40%
tersebut dalam butir 3; (6) Pertamina membayar pajak pendapatan
kontraktor kepada Pemerintah; (7) Kontraktor wajib mempekerjakan tenaga
kerja Indonesia; 8. Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan bahan bakar
minyak dalam negeri secara proporsional, dengan jumlah maksimum 25%
bagiannya.
Indonesia melalui perusahaan negaranya, yaitu PT Pertamina yang
didirikan pada 1971 melakukan pengusahaan kegiatan usaha hulu secara
mandiri, sehingga kekayaan alam yang berhasil diproduksi dapat
sepenuhnya masuk ke kas negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Dalam perkembangannya apa yang diharapkan
oleh Ibnu Sutowo tidak dapat terealisasi dengan baik. Hal ini disebabkan
Pertamina lebih menempatkan diri sebagai pihak pemerintah dalam
menandatangani production sharing contract dengan kontraktor daripada
menjalankan fungsinya sebagai Perusahaan Negara yang melakukan
pembangunan dan pengusahaan minyak dan gas bumi yang meliputi
kegiatan usaha hulu dan hilir. Pertamina dalam melakukan pengusahaan
kegiatan usaha hulu secara mandiri tidak pernah terpenuhi. Hal ini yang
menjadi rasio dari Undang-Undang Minyak dan Gas memberikan kuasa
pertambangan kepada Pemerintah.13
13 Sebelum itu, dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina dinyatakan bahwa kuasa pertambangan diberikan Negara kepada Pertamina/
Implikasi selanjutnya dari perubahan tersebut adalah Pertamina tidak
berhak lagi menjadi pihak pemerintah dalam production sharing contract
dengan kontraktor, karena pemerintah sebagai Pemegang Kuasa
Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagai penyelenggara
kegiatan usaha hulu yang salah satu kewenangannya adalah
menandatangani kontrak kerja sama. Kenyataan inilah yang menyebabkan
sebagai salah satu alasan diajukannya Undang-Undang Migas kepada
Mahkamah Konstitusi, dengan putusan yang mengatakan kedudukan BP
Migas adalah inskonstitusional.
Globalisasi hukum juga terjadi melalui kontrak-kontrak bisnis
internasional yang dibawa oleh investor dari negara-negara maju
sebagaimana telah disinggung sebelumnya, telah memengaruhi
pembentukan undang-undang Migas. Hukum Migas telah menuai
permasalahan sejak pembahasan di lembaga legislatif, hingga tahap
implementasinya. Ditengarai oleh para ahli, merupakan perundang-
undangan, yang dipengaruhi oleh kepentingan global, dengan sentuhan
liberalisasi perdagangan pada industri Migas. Hukum Migas lahir dengan
desakan yang sangat kuat dari lembaga keuangan internasional.
Bersamaan dengan krisis keuangan yang dialami negara pada akhir tahun
1997, dan bersamaan dengan agenda pinjaman dana dari International
Monetary Fund (IMF), guna mengatasi kebangkrutan sistem keuangan dan
perbankan nasional.14 Undang-undang Migas jelas merupakan undang-
14 Syaiful Bakhri, Migas Untuk Rakyat, Pergulatan Pemikiran dalam Peradilan Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Grafindo Khasanah Ilmu, 2013), hal. 13. Pada tahun 1998, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 14 persen. Krisis Indonesia menempatkan Indonesia sebagai pasien lembaga-lembaga kreditor Internassional seperti, IMF, Word Bank, Asian Development Bank (ADB), yang tergabung dalam Consultative Groups on Indonesia (CGI). Mereka datang dengan sejumlah agenda liberalisasi sebagai persyaratan, untuk pencairan dana, agar Indonesia segera menjalankan program-program liberalisasi
undang yang menganut paham liberalisme yang tidak dikehendaki oleh UUD
1945.
Liberalisasi yang menjadi napas Undang-Undang Migas, telah
mereduksi kontrol negara terhadap cadangan dan produksi Migas nasional.
Dengan merombak Pertamina sebagai perseroan biasa, negara telah
kehilangan alat untuk menguasai, mengatur, menyelenggarakan dan
mengawasi pendayagunaan sumber daya Migas untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Menyerahkan penguasaan sumber daya Migas kepada
Badan Pelaksana (BP Migas), yang bukan badan usaha tidak menjamin
kontrol negara terhadap barang publik (public utilities), yang menguasai
hajat hidup orang banyak. Memberi wewenang kepada Badan Pengatur Hilir
(BPH Migas), untuk mengatur kegiatan hilir Migas, telah mengorbankan
skala usaha vertikal terpadu (verticaly integrated), yang terbukti dapat
menjamin kepentingan nasional, sebagaimana diamanatkan menurut Pasal
33 UUD 1945.
Setelah BP Migas di bubarkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi15,
maka menjadi persoalan pokok menyangkut tentang kedudukan Pertamina
untuk masa-masa selanjutnya. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, sangat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi mengamanatkan agar
pemerintah segera menata ulang pengelolaan migas dengan berpijak pada
“penguasaan oleh negara” yang berorientasi penuh pada upaya “manfaat
sebesar-besarnya bagi rakyat”. Oleh sebab itu, penguasaan tersebut perlu
dan deregulation sektor keuangan, privatisasi asset negara, dan pengetatan fiscal dengan mencabut subsidi publik di sektor pangan, pendidikan dan kesehatan. Lihat: M. Kholid Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing Liberalisasi Indistri Migas di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), hal.1-2.15 Lihat : Putusan Nomor 36/PUU-X/2012, tanggal 13 November 2012.
dilakukan dengan organisasi yang efisien dan di bawah kendali langsung
Pemerintah. Dengan demikian sudah sangat jelas apa yang kemudian harus
dilakukan pemerintah untuk menjalankan secara utuh putusan dan amanat
Mahkamah Konstitusi, baik dalam masa transisi maupun untuk ke
depannya. Pemerintah harus membentuk struktur kelembagaan yang baru
yang mengkonstruksikan bentuk penguasaan negara atas migas pada
tingkat pertama. Dengan demikian, tidak ada halangan bagi Negara
menunjuk secara langsung BUMN guna mengelola dan menjalankan
kegiatan hulu migas secara langsung. Negara memiliki kewenangan untuk
itu.
Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa UU Migas memiliki
konstruksi hubungan negara dan SDA Migas dilakukan oleh Pemerintah
selaku pemegang Kuasa Pertambangan yang dilaksanakan BP Migas
sebagai Badan Hukum Milik Negara pada kegiatan hulu (eksplorasi dan dan
eksploitasi). BP Migas sebatas melakukan pengendalian dan pengawasan
pihak yang secara langsung mengelola SDA Migas, yaitu Badan Usaha
(BUMN, BUMD, koperasi serta badan usaha swasta) dan Bentuk Usaha
Tetap. Hubungan BP Migas dan Badan Hukum atau Bentuk Usaha Tetap
yang mengelola Migas dilakukan dalam bentuk Kontrak Kerja Sama (KKS)
atau kontrak kerja sama lainnya dengan syarat minimal tertentu.
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam pendapatnya, bentuk
penguasaan tingkat pertama dan utama yang harus dilakukan negara
adalah Pemerintah melakukan pengelolaan secara langsung atas SDA
Migas. BP Migas yang hanya melakukan fungsi pengendalian dan
pengawasan, dan tidak melakukan pengelolaan langsung, menurut
Mahkamah, model hubungan BP Migas sebagai representasi negara
dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam pengelolaan Migas
mendegradasi makna penguasaan negara atas SDA Migas. Keberadaan BP
Migas inkonstitusional yang menghendaki penguasaan negara yang
membawa manfaat sebesar-besar bagi rakyat.
BP Migas telah menyebabkan terjadinya inefisiensi sehingga migas
sebagai bagian dari sumber daya alam yang seharusnya dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ternyata tak bisa dinikmati oleh
rakyat. Sering ditanyakan, apakah dengan pembubaran BP Migas dan
megalihkannya kepada kementerian ada jaminan bahwa inefisiensi takkan
terjadi lagi? Jawabannya sederhana, memang tidak ada jaminan, tetapi
selama dalam pengelolaan BP Migas inefisiensi sudah nyata terjadi,
sedangkan pengalihan ini memang masih membuka kemungkinan terjadi
atau tidak terjadi inefisiensi. Makanya dengan putusan ini Mahkamah
memberi momentum kepada Pemerintah untuk menata kembali pengelolaan
migas agar menjadi efisien.16
Selanjutnya, menjadi penting untuk dilakukan pengkajian adalah
menyangkut tentang apakah politik hukum kelembagaan pengelolaan Migas
yang berlaku saat ini, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang
membubarkan BP Migas, sudah berdasarkan semangat dan jiwa Pasal 33
UUD 1945 secara konsisten dan konsekuen, mengingat keberlakuan pasal
16 Kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 dengan membentuk Unit Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (UPKHM Migas). Tindakan cepat pemerintah untuk membentuk UPKHM ini untuk mencegah kevakuman hukum dan terciptanya kepastian sebagai konsekuensi bubarnya BP Migas. Menjadi pertanyaan, dengan adanya UPKHM Migas, apakah posisi negara lebih baik sebelum BP Migas dibubarkan.
inilah yang menjadi dasar dalam mencapai kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pengalaman selama Era Orde Baru dengan politik hukum nasional,
dimana ekonomi menjadi panglima, hasil Migas telah mampu menopang
pembangunan nasional, baik berupa hasil devisa, memenuhi kebutuhan
BBM di dalam negeri, mendukung industri yang memerlukan Migas baik
sebagai energi maupun sebagai bahan baku industri. Semua itu dilakukan
oleh Pertamina yang ditugaskan sebagai satu-satunya BUMN Migas untuk
mengelola seluruh kegiatan Migas nasional dan telah berhasil berperan
sebagai “agen pembangunan” (agent of development). Dalam Era
Reformasi, politik hukum yang mendasarkan pada liberalisasi yang dipicu
oleg krisis ekonomi dan pengaruh globalisasi ekonomi, pengelolaan industri
Migas didasarkan pada Undang-Undang No.22 Tahun 2001 beserta
peraturan pelaksanaannya menggantikan seluruh peraturan perundang-
undnagan yang berlaku sebelumnya, juga belum memberikan harapan
bahwa langkah kebijakan itu dapat mewujudkan kemakmuran bagi rakyat
Indonesia.
Kemudian, dipandang perlu untuk melakukan studi perbandingan
pengelolaan industri Migas pada berbagai negara dalam mengupayakan
kesejahteraan rakyat melalui pendayagunaan sumber daya Migas, untuk
kemudian disesuaikan dengan sistem perekonomian Indonesia
sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat disampaikan rumusan
masalah dalam proposal penelitian disertasi ini, yakni sebagai berikut:
1. Apa pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor terhadap
politik hukum kelembagaan pengelolaan industri migas?
2. Bagaimana bentuk perjanjian kerja sama dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan dan tidak
bertentangan dengan konstitusi?
3. Bagaimana sebaiknya model pengelolaan industri Migas nasional
(national oil company) yang sesuai dengan konstitusi dan
perkembangan dunia global saat ini?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
terhadap politik hukum kelembagaan pengelolaan industri migas,
termasuk dampak membubarkan BP Migas terhadap kedudukan
Pertamina dan menganaisis lembaga mana yang berwenang
melakukan pengawasan dalam pengelolaan industri Migas.
2. Menganalisis bentuk perjanjian kerja sama dalam kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan dan tidak
bertentangan dengan konstitusi.
3. Menyusun model kelembagaan pengelolaan industri Migas nasional
(national oil company) yang sesuai dengan konstitusi dan
perkembangan dunia global saat ini. Penyusunan model
kelembagaan pengelolaan industri Migas dengan melakukan studi
perbandingan dengan beberapa negara.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dapat dipisahkan menjadi dua bagian yakni manfaat
teoretis, dan manfaat praktis, dijelaskan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis, manfaat teoritis artinya hasil penelitian
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan obyek penelitian.
2. Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
rekomendasi kebijakan untuk mengembangkan hukum Migas
nasional.
E. Landasan Teori
1. Kontrak Pengusahaan Pertambangan di Dunia
Menurut Simamora, perjanjian/kontrak pengusahaan pertambangan
minyak dan gas bumi yang ada didunia dengan memperhatikan struktur
kontrak dan legal terms yang melingkupinya dapat dibagi dalam 5 (lima)
bentuk utama yaitu: 17
1. konsesi (concession)
2. kontrak production sharing (production sharing contract);
17 Rudi M. Simamora, Op.Cit, hal.37.
3. kontrak jasa resiko (risk service contract);
4. kontrak jasa (service contract);
5. usaha patungan (joint venture);
Berdasarkan aspek hubungan kontraktual dan kepemilikan sumber
daya mineral (termasuk minyak dan gas bumi) sebenarnya diantara bentuk-
bentuk perjanjian diatas hanya terdapat dua model, yaitu :18
1. Bersifat konsesioner, yang termasuk bentuk ini adalah konsesi.
Konsesi
bersifat konsesioner artinya pemegang konsesi bukan merupakan
kontraktor dari negara dalam mengusahakan pertambangan minyak
dan gas bumi, tetapi menjalankan sendiri hak pertambangan minyak
dan gas bumi dan menguasai hasil produksinya berdasarkan konsesi
(izin) yang diperolehnya.
2. Bersifat kontraktual. Contract production sharing, risk service contract
dan service contract termasuk yang bersifat kontraktual, dimana
perusahaan penandatangan perjanjian merupakan kontraktor dari
negara atau perusahaan negara yang menjalankan usaha
pertambangan minyak dan gas bumi menurut perjanjian yang ditanda
tangani di bawah kontrol negara atau perusahaan negara. Status
kontraktor membawa konsekuensi bahwa hasil produksi tetap berada
pada negara.
Sedangkan untuk perjanjian joint venture dan bentuk-bentuk perjanjian
modifikasi lainnya yang mungkin dibuat akan didasarkan pada salah satu
bentuk di atas, perjanjian konsensioner atau kontraktual.19
18 Ibid.19 Ibid.
2. Kuasa Pertambangan
Kuasa Pertambangan adalah salah satu kewenangan untuk
memberikan izin usaha melakukan penambangan. Dengan lain kata, kuasa
pertambangan adalah salah satu bentuk perizinan atau dasar hukum untuk
melakukan usaha pertambangan.20 Istilah kuasa pertambangan untuk
pertama kalinya digunakan dalam Undang-Undang Nomor 37 Prp. Tahun
1960 Tentang Pertambangan. Semula kuasa pertambangan dimaksudkan
sebagai pengganti konsesi (consessie) atau hak pertambangan yang diatur
dalam Indische Minjwet 1899 yang berlaku di Hindia Belanda sejak tahun
1907 dan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dinyatakan
masih berlaku hingga tahun 1960. Bermacam bentuk perizinan atau dasar
hukum melakukan usaha pertambangan menurut Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan
Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi, adalah sebagai berikut:
1. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan
2. Surat Keputusan (Izin) Pertambangan Rakyat
3. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan
4. Surat (Izin) Pertambangan Daerah
5. Kontrak Karya (KK)
6. Kontrak Kerjasama (dengan BUMN) dan perjanjian Karya Penggunaan
Pertambangan Batu Bara (PKP2B)
7. Kontrak Production Sharing (Bagi Hasil)
20 Bentuk kuasa pertambangan diperjelas dalam Penjelasan Umum Angka 2a Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Berdasarkan jenis-jenis dasar hukum dalam melakukan pengusahaan
pertambangan di atas, pada pokoknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
melalui izin pertambangan dalam bentuk kuasa pertambangan dan melalui
perjanjian / kontrak kerja sama. Dari ketujuh jenis dasar hukum
pengusahaan pertambangan berdasarkan pembagian tersebut, maka poin 1
sampai dengan poin 4 dikualifikasikan sebagai izin usaha pertambangan
dalam bentuk kuasa pertambangan dan poin 5 sampai poin 7
dikualifikasikan sebagai dasar hukum untuk melakukan usaha
pertambangan yang lahir dari perjanjian / kontrak kerja sama baik antara
pemerintah dengan perusahaan swasta asing dalam rangka PMA maupun
antara pemegang kuasa pertambangan dengan perusahaan swasta
nasional/asing (PMA/PMDN). Pemberian kuasa pertambangan merupakan
kekuasaan negara dalam lingkup mengatur (relegeri), sedangkan
pengusahaan pertambangan berdasarkan kontrak kerja sama merupakan
kekuasaan negara dalam lingkup mengurus (bestureri).
3. Kontrak Production Sharing (KPS)
Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah production
sharing contract (PSC). Dalam Russia’s Law on Production-Sharing
Agreement tahun 1995 dan The Petroleum Tax Code, 1997, istilah yang
digunakan adalah production sharing agreement (PSA), sedangkan di
Suriname, istilah yang lazim digunakan adalah production sharing service
contract (PSSC).21 Kontrak bagi hasil (production sharing contract)
merupakan model yang dikembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil
21 S.E. Jharap, The Journey of Staatsolie (The Acquisition of Technical and Management Expertise), 1997, hal.5, http://www.parbo.com/Staatsolie/journey.html (diunduh tanggal 10 Januari, Jam: 16.30 WIB)
yang dikenal dalam hukum adat Indonesia. Konsep perjanjian bagi hasil
yang dikenal dalam hukum adat tersebut telah dikodifikasikan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Menurut undang-undang tersebut
pengertian perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga
yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan
hukum pada lain pihak yang dalam hal ini disebut penggarap, berdasarkan
perjanjian mana diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk
menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan
pembagian hasil antara kedua belah pihak. Konsep inilah yang kemudian
dikembangkan menjadi kontrak bagi hasil (production sharing contract)
untuk usaha pertambangan minyak dan gas bumi.22
Di Indonesia, istilah kontrak production sharing ditemukan dalam Pasal
12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina Jo
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974 Tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina. Sementara itu, dalam
Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak
dan Gas Bumi, istilah yang digunakan adalah dalam bentuk kontrak kerja
sama. Kontrak kerja sama ini dapat dilakukan dalam bentuk kontrak bagi
hasil atau bentuk kerja sama lainnya. Di dalam Pasal ini berbunyi bahwa
kontrak kerja sama adalah: “Kontrak bagi hasil atau bentuk kerja sama
lainnya dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih
menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk kemakmuran
rakyat.”
22 Rudi. M. Simamora, Op. Cit, hal.38.
Pasal ini tidak secara khusus menjelaskan pengertian kontrak
production sharing, tetapi difokuskan pada konsep teoretis kerja sama di
bidang minyak dan gas bumi. Kerja sama dalam bidang minyak dan gas
bumi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kontrak production sharing
dan kontrak-kontrak lainnya.23
Kontrak production sharing merupakan perjanjian bagi hasil di bidang
minyak dan gas bumi. Para pihaknya adalah Pertamina dan kontraktor.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 para pihaknya adalah
badan pelaksana dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap.
Pengertian production sharing contract menurut para ahli dapat
disampaikan sebagai berikut :
Sutadi menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil merupakan bentuk
kerjasama dengan pihak asing di bidang minyak dan gas bumi yang harus
menjabarkan prinsip-prinsip pengusahaan minyak dan gas bumi sesuai
dengan penggarisan konstitusi dan peraturan perundangan-undangan yang
ada.24
Sumantoro mendefenisikan production sharing contract sebagai
kerjasama dengan sistem bagi hasil antara perusahaan Negara dengan
perusahaan asing yang sifatnya kontrak. Apabila kontrak telah habis, maka
mesin-mesin yang dibawa pihak asing tetap tinggal di Indonesia. Kerjasama
dalam bentuk ini merupakan suatu kredit luar negeri dimana
23 Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, tidak didapatkan pengertian kontrak production sharing, namun pengertian kontrak production sharing dapat kita ketahui dalam Pasal 1 angka (1) PP Nomor 35 Tahun 1994 Tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi, disebutkan bahwa kontrak production sharing adalah kerja sama antara Pertamina dan kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.24 Sutadi Pudjo Utomo, Bentuk-bentuk Insentif dalam Contract Production Sharing, Warta Caltex, No.21, tahun 1990, hal.11.
pembayarannya dilakukan dengan cara bagi hasil terhadap produksi yang
telah dihasilkan oleh perusahaan tersebut.25
Menurut Salim, production sharing contract adalah perjanjian atau
kontrak yang dibuat antara badan pelaksana dengan badan usaha dan/atau
bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di
bidang minyak dan gas bumi dengan prinsip bagi hasil.26 Unsur-unsur yang
tercantum dalam definisi ini adalah:27
1. Adanya perjanian atau kontrak;
2. Adanya subjek hukum, yaitu badan pelaksana dengan badan usaha
atau bentuk usaha tetap;
3. Adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi,
dimana eksplorasi bertjuan untuk memperoleh informasi mengenai
kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan
cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan,
sedangkan eksploitasi bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas
bumi;
4. Kegiatan di bidang minyak dan gas bumi; dan
5. Adanya prinsip bagi hasil.
Prinsip bagi hasil merupakan prinsip yang mengatur pembagian hasil
yang diperoleh dari eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi antara
badan pelaksana dengan badan usaha dan/atau badan usaha tetap.
25 Sumantoro, Pengertian Pokok Hukum Perusahaan, (Jakarta: Rajawali Press,1990), hal.2126 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal.39.27 Ibid.
Pembagian hasil ini dirundingkan antara kedua belah pihak dan biasanya
dituangkan dalam kontrak production sharing.28
Menurut Salim29 kontrak production sharing (KPS) telah mengalami
beberapa generasi, setidaknya bisa dibagi dalam 4 generasi sebagai berikut
: (1) KPS Generasi I (1964-1977); (2) KPS Generasi II (1978-1987); KPS
Generasi III (1988-2002); dan (4) Generasi IV (2002-sekarang). Yang
membedakan antara generasi yang satu dengan generasi yang lain adalah
perbedaan pengaturan bagi hasilnya, cara menghitung biaya produksinya,
kewajiban pembayaran pajak, dan iuran lainnya, serta kewajiban kontraktor
untuk mendahulukan kebutuhan BBM dalam negeri. Miaslanya dalam PKS
Generasi I, biaya operasi dibatasi maksimum 40 persen dari produksi,
namun dalam PKS Generasi berikutnya, biaya operasi tidak dibatasi. Pada
PKS Generasi I pembayaran pajak kontraktor asing melalui Pertamina,
dalam PKS Generasi berikutnya, pajak dibayarkan langsung ke pemerintah.
Perubahan fundamental terjadi pada PKS Generasi IV yang menggantik
posisi Pertamina sebagai wakil Negara/pemerintah dalam kontrak dengan
para kontraktor asing, dengan Badan Pelaksana (BP) Migas. Sementara
pertamina berganti posisi sebagai salah satu kontraktor yang bisa
bekerjasama dengan BP Migas.
4. Teori Model Hubungan Pemerintah Dengan Pelaku Usaha
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam30
28 Ibid.29 Ibid.
30 Hikmahanto Juwana, http://nasional.kompas.com/ (diunduh tanggal 10 Januari 2013, jam: 21.30 WIB)
Dalam pengelolaan sumber daya alam terdapat tiga model hubungan
pemerintah dengan pelaku usaha dalam pengelolaan sumber daya alam,
model pertama, hubungan kontraktual antara pemerintah dan pelaku usaha
(government to business). Model ini dikembangkan di sektor mineral dan
batubara dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967. Contohnya
kontrak karya antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia atau
pemerintah dan PT Newmont Nusa Tenggara. Hanya saja, rezim kontrak
berdasarkan UU No 11/1967 telah ditinggalkan dan diganti dengan rezim
izin berdasarkan UU No 4/2009. Dalam hubungan kontraktual kedudukan
pemerintah setara dengan pelaku bisnis, sesuatu yang sebenarnya ingin
dihindari oleh para pemohon uji materi atas UU Migas, termasuk keinginan
dari MK.
Model kedua adalah hubungan kontraktual antara lembaga usaha yang
terpisah dari negara tetapi berada dalam kendali negara. Dalam model
kedua ini, lembaga usaha yang ditunjuk oleh negara berkontrak dengan
kontraktor. Pertamina sebelum berlakunya UU Migas dan adanya BP Migas
adalah perwujudan model ini.
Kelebihan dari Pertamina berdasarkan UU No 8/1971 dibandingkan
dengan BP Migas adalah Pertamina memiliki kewenangan sebagai
regulator. Berdasarkan UU Migas 2001, kewenangan sebagai regulator
telah dikembalikan ke Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM). BP Migas hanya badan hukum yang
didirikan oleh negara untuk berkontrak dengan kontraktor.
Dua model di atas merupakan model kontrak yang dianut di suatu
negara atas pengelolaan sumber daya alam.
Model terakhir adalah negara berkedudukan sebagai pemberi izin
(konsesi) kepada kontraktor dan pelaku usaha. Ini yang dikenal dengan
rezim izin sebagaimana dianut dalam UU Mineral dan Batubara. Dalam
rezim izin, maka kedudukan negara sebagai pemberi izin lebih tinggi
daripada pelaku usaha. Negara dalam posisi vertikal di atas, tidak
horizontal. Dalam sistem kontrak, kesetaraan di antara para pihak, termasuk
negara, merupakan prasyarat mengingat kontrak membutuhkan
kesepakatan.
Pengusahaan minyak dan gas bumi terdiri dari 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan usaha hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi, serta
kegiatan usaha hilir yang mencakup pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan, dan niaga.31 Menurut UU Nomor 22 Tahun 2001, disebutkan
bahwa kegiatan usaha hulu memakai rezim kontrak, sedangkan kegiatan
usaha hilir memakai rezim perizinan. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan
dikendalikan melalui kontrak kerja sama yang merupakan kontrak bagi hasil
atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.32
Kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak
kerja sama (KKS) antara badan usaha atau bentuk usaha tetap dengan
badan pelaksana minyak dan gas bumi (BP Migas), di dalam KKS tersebut
paling sedikit memenuhi persyaratan:
31 Lihat: Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.32 Pasal 1 Angka 19. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
a. Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai
pada titik penyerahan;
b. Pengendalian manajemen operasi berada pada badan pelaksana;
c. Modal dan resiko selurunya ditanggung badan usaha atau bentuk
usaha tetap;
Sedangkan untuk kegiatan usaha hulu dan hilir dapat dilakukan oleh:
a. Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Koperasi, usaha kecil;
d. Badan Usaha Swasta.
Dengan ketentuan untuk bentuk usaha tetap hanya dapat melakukan
kegiatan usaha huku saja, badan usaha dan bentuk usaha teta yang telah
melakukan kegiatan usaha hulu tidak diperbolehkan melakukan kegiatan
usaha hilir demikian sebaliknya.
Berikut ini disampaikan perbandingan beberapa aspek pengelolaan
hulu migas dengan pendekatan administrasi negara (BHMN) dan
pendekatan administrasi usaha (BUMN):
ASPEK BHMN (G) to KKKS (B) BUMN (B) to KKKS (B)
Derajat Birokrasi Tinggi Rendah
Pendekatan Regulasi & Prosedur Baku Negosiasi & Fleksibel
Orientasi Pelaksanaan Tugas
Proses Hasil Akhir
Ukuran Kinerja Pengaturan & Pengawasan Profit/Hasil Maksimal
5. Prinsip Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam (Migas)
Konstitusi UUD RI 1945 tidak mendefiniskan secara eksplisit tentang
arti sumberdaya alam, namun pada Pasal 33 ayat (3) secara garis besar
mengidentifikasi sumberdaya alam dengan rumusan bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya,
sumberdaya alam dalam bentuk apapun yang menguasai hajat hidup orang
banyak harus dikuasai oleh negara dengan catatan mutlak, penggunaan dan
pemanfaatannya harus demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, batasan sumberdaya alam hanya dapat ditemukan
melalui teori-teori yang dikembangkan oleh para ahli di bidangnya masing-
masing dan batasan-batasan yang dirumuskan melalui undang-undang
organik, khususnya undang-undang pengelolaan sumberdaya alam.
Rees yang dikutip oleh Marilang33 mengemukakan bahwa sesuatu
untuk dapat dikatakan sebagai sumberdaya harus : 1. ada pengetahuan,
teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkannya; 2. harus ada
permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Dengan kata lain
sumberdaya alam adalah faktor produksi yang digunakan untuk
menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian,
secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok,
yaitu :
1. Kelompok Stok (non Renewable). Jenis sumberdaya ini dianggap
memiliki cadangan yang terbatas, sehingga eksploitasinya terhadap
sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya,
33 Marilang, Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang dalam al-Risalah Volume 11 Nomor 1 Mei 2011 dapat juga dilihat dalam http://www.uin-alauddin.ac.id.
sumber stok dikatakan tidak dapat diperbaharui (non renewable) atau
terhabiskan (exhaustible).
2. Kelompok Flow. Kelompok sumberdaya ini, jumlah dan kualitas fisik
sumberdaya berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang
dimanfaatkan sekarang, bisa mempengaruhi atau tidak mempengaruhi
ketersediaan sumberdaya di masa mendatang. Sumberdaya ini
dikatakan dapat diperbaharui (renewable) yang regenerasinya ada
yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak.34
Sumberdaya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut
sebagai sumberdaya terhabiskan adalah sumberdaya alam yang tidak
memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Sumberdaya alam ini
terbentuk melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk
dapat dijadikan sebagai sumberdaya alam yang siap diolah atau siap pakai.
Apabila dieksploitasi sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak akan pulih
kembali seperti semula.
Salah satu yang termasuk dalam golongan sumberdaya tidak dapat
terbarukan adalah tambang minyak dan nikel, yang memerlukan waktu
ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk karena ketidakmampuan
sumberdaya ini untuk melakukan regenerasi, sehingga sumberdaya ini
sering juga disebut sebagai sumberdaya yang mempunyai stok yang tetap.
Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi sumberdaya
alam tidak terbarukan (non renewable) berbeda dengan ekstrasi
sumberdaya terbarukan (renewable). Pengusaha pertambangan harus
memutuskan kombinasi yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk
34 Loc. Cit.
menentukan produksi yang optimal dan juga seberapa cepat stok harus
diekstrasi dengan kendala stok yang terbatas.Dari sudut yuridis, pengertian
sumberdaya alam telah dirumuskan dalam Rancangan Undang-undang
tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam, melalui Pasal 1 bahwa
“Sumberdaya alam adalah kesatuan tanah, air, dan ruang udara, termasuk
kekayaan alam yang ada di atas dan di dalamnya yang merupakan hasil
proses alamiah baik hayati maupun nonhayati, terbarukan dan tidak
terbarukan, sebagai fungsi kehidupan yang meliputi fungsi ekonomi, sosial,
dan lingkungan.35
Kemudian dalam penjelasan umum Rancangan undang-undang
tersebut dijelaskan bahwa “Sumberdaya alam merupakan karunia dan
amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa
Indonesia sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu
sumberdaya alam wajib dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan
secara berdaya guna, berhasil guna, dan berkelanjutan bagi sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi
yang akan datang. Ketersediaan sumberdaya alam baik hayati maupun
nonhayati sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya baik sebagai
modal alam (stock resources) maupun komoditas (product) harus dilakukan
secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya”.36
Danusaputro37 mengemukakan bahwa prinsip hukum digunakan dalam
pengertian yang sama dengan asas hukum dan dasar hukum, sekalipun
35 Naskah Rancangan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam. 36 Naskah Rancangan Undang-Undang Tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam.37 St. Munadjat Danusaputro, Bina Mulia Hukum dan Lingkungan, (Bandung: Binacipta, 1984, h. 46-46. Lihat pula dalam bukunya yang berjudul Hukum Lingkungan : Buku I Umum, (Bandung: Binacipta, 1985), hal. 122-130.
dalam suatu prinsip terdapat prinsip yang lebih prinsip dari prinsip itu sendiri.
Dengan demikian, prinsip memiliki hirarki tertentu. Ronal Dworkin38
mengemukakan bahwa dalam hukum, prinsip merupakan pertimbangan
moral tentang apa yang benar dan apa yang buruk yang meliputi prinsip
tentang political morality dan political organization yang membenarkan
pengaturan secara konstitusional, prinsip yang membenarkan metoda
melakukan interpretasi menurut undang-undang, dan prinsip tentang hak
asasi manusia yang substantif untuk membenarkan isi keputusan
pengadilan.
Pandangan tersebut dapat membentuk pemahaman kita bahwa prinsip-
prinsip atau asas-asas keadilan atau dasar-dasar yang paling pundamental
yang dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaan sumberdaya alam
(khususnya tambang) dalam rangka upaya mewujudkan kesejahteraan
seluruh rakyat atau kesejahteraan seluruh anggota masyarakat dalam
komunitas tertentu.
Dalam beberapa teori politik yang dikembangkan oleh pakar-pakar
politik, khususnya pakar keadilan sosial politik juga sering menggunakan
istilah prinsip yang dimaknai atau searti dengan asas sebagai perwujudan
nilai-nilai tertentu yang dijadikan pedoman, dasar, dan pondasi dalam
membangun teorinya, seperti antara lain John Rawls menggunakan istilah
„prinsip keadilan‟ sebagai asas dalam membangun teori keadilan
sosialnya.39
38 S.H.R. Otje Salman et. al., Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), hal. 93-94.
39 John Rawls, A Theory of Justice (Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara), Pustaka Pelajar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 72
Dalam konsiderans Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan
Sumberdaya Alam, Bagian menimbang, huruf c ditegaskan bahwa
“Pengelolaan sumberdaya alam seharusnya didasarkan pada prinsip-prinsip
keadilan, berkelanjutan, keterpaduan, demokratis”. Landasan filosofi sebaga
imana dalam konsiderans RUU tersebut dipertegas kembali melalui Bab II
tentang Prinsip dan Tujuan, Pasal 2 dengan rumusan bahwa “Pengelolaan
sumberdaya alam diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip
keberlanjutan, keadilan, dan demokratis. Prinsip-prinsip atau asas-asas
hukum dalam rancangan undang-undang tentang pengelolaan sumberdaya
alam tersebut dijelaskan secara detil melalui penjelasan Pasal 2 yang
selengkapnya berbunyi :
a. Prinsip keberlanjutan meliputi aspek-aspek kelestarian, kehati-hatian,
perlindungan optimal keanekaragangam hayati, keseimbangan, dan
keterpaduan,
b. Prinsip keadilan meliputi aspek-aspek kesejahteraan rakyat,
pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat adat, pluralisme
hukum, dan perusak membayar.
c. Prinsip demokrasi meliputi aspek-aspek transparansi, kebangsaan dan
kesatuan, HAM, dan akuntabilitas publik.
Kemudian, dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, melalui Pasal 2 ditegaskan tentang
asas-asas (prinsip-prinsip) pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara, yaitu:
a. Manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
d. Keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.
Demikian juga dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi, melalui Pasal 2 ditegaskan bahwa “Penyelenggaraan
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam undang-undang ini
berasaskan: Ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan,
keseimbangan, pemerataan, kemakmuran, dan kepastian hukum serta
berwawasan lingkungan”.
Dari sekian banyak asas yang ditetapkan undang-undang dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan/atau tambang tersebut, namun penulis
hendak merampingkannya menjadi 5 (lima) asas atau prinsip hukum yang
dapat dijadikan pedoman pengelolaan sumberdaya alam (tambang) dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, yakni:
1. Asas tanggung jawab Negara dimaksudkan sebagai perwujudan dari
prinsip Negara sebagai organisasi kekuasaan (politik) yang
berkewajiban melindungi segenap warga negara atau penduduknya,
territorial dan semua kekayaan alam serta harta benda dari negara dan
penduduknya. Asas ini relevan dengan pendapat pakar politik Adolf
Markel yang mengatakan bahwa segala yang berbau kepentingan
umum harus dilindungi dan dijamin secara hukum oleh negara yang
dalam Pasal 33 konstitusi UUD NRI 1945 ditegaskan dengan kalimat
sumberdaya alam (bumi, air, dan segala kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya) yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara.
2. Asas manfaat mengandung arti bahwa perwujudan kesejahteraan
rakyat melalui pengelolaan sumberdaya alam (tambang) yang merata
berdasarkan prinsip kebersamaan dan keseimbangan untuk mencegah
terjadinya kesenjangan ekonomi, konflik sosial, dan budaya.
3. Asas keadilan merupakan prinsip keadilan yang meliputi aspek-aspek
kesejahteraan rakyat, pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat
adat, pluralisme hukum, dan perusak membayar. Asas keadilan ini
sumberdaya alam tambang yang menjamin keadilan antar dan inter-
generasi. Di samping itu, asas ini juga bertujuan untuk mewujudkan
perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan masyarakat lainnya
dalam pengelolaan sumberdaya alam tambang.
4. Asas keseimbangan dimaksudkan sebagai asas pengelolaan
sumberdaya alam tambang berdasarkan prinsip pelestarian
kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang
pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan
kesejahteraan manusia. Pengertian pelestarian mengandung makna
tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dan
peningkatan kemampuan tersebut.
5. Asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul
kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan
terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya
kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka pengelolaan
sumberdaya alam tambang harus didasarkan pada prinsip
keseimbangan antara ketersediaan bahan tambang dengan kebutuhan
konsumen dan pasar.
6. Pasal 33 UUD 1945 dan Konsep Penguasaan Negara
Pasal 33 UUD 1945 adalah pasal yang dikenal sebagai pasal ideologi
dan politik ekonomi Indonesia , karena di dalamnya memuat ketentuan
tentang hak penguasaan negara atas:
a) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak; dan
b) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang
harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Salah satu hal yang masih menjadi perdebatan mengenai Pasal 33
UUD 1945 adalah mengenai pengertian “hak penguasaan negara”atau ada
yang menyebutnya dengan “hak menguasai negara”. Sebenarnya ketentuan
yang dirumuskan dalam ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tersebut sama
persisnya dengan apa yang dirumuskan dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat
(3) UUDS 1950. Berarti dalam hal ini, selama 60 tahun Indonesia Merdeka,
selama itu pula ruang perdebatan akan penafsiran Pasal 33 belum juga
memperoleh tafsiran yang seragam. Sebelum kita memasuki mengenai
uraian tentang konsep penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau
terlebih dahulu tentang beberapa teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu
menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa
yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara
berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum.40
40 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal. 99.
Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori
kedaulatan (sovereignty atau souverenitet). Sedangkan menurut J.J.
Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara sebagai suatu badan
atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract
soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan yang membela
dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap
individu41. Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan,
namun kekuasaan negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab
ada beberapa ketentuan hukum yang mengikat dirinya seperti hukum alam
dan hukum Tuhan serta hukum yang umum pada semua bangsa yang
dinamakan
leges imperii. 42
Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan
negara atas sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan
hak bangsa. Negara dalam hal ini, dipandang sebagai yang memiliki
karakter sebagai suatu lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya
diberikan wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus dan
memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi sumber daya alam
yang ada dalam
wilayahnya secara intensif. Keterkaitan dengan hak penguasaan negara
dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban
negara sebagai berikut:
41 R. Wiratno, dkk, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum (Jakarta: PT Pembangunan, 1958), hal. 176.42 Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya.
a) Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat
(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
b) Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di
dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang
dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
c) Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan
menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan
kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak
penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan
pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan
pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk
melakukan eigensdaad.
Berikut ini adalah beberapa rumusan pengertian, makna, dan subtansi
“dikuasi oleh negara” sebagai dasar untuk mengkaji hak penguasaan negara
antara lain yaitu:
Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh
negara adalah dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi
pengusaha, usahawan atau ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa
kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan
ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah
oleh orang yang bermodal.43
43 Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Mutiara, 1977), hal. 28
Muhammad Yamin merumuskan pengertian dikuasai oleh negara
termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk
memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi44.
Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh
Mohammad Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai
berikut:
a) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan
berpedoman keselamatan rakyat;
b) Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang
yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya
persertaan pemerintah;
c) Tanah ... haruslah di bawah kekuasaan negara; dan (4) Perusahaan
tambang yang besar ... dijalankan sebagai usaha negara.45
Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara
atau hak penguasaan negara, sebagai berikut:
a) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui
Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk
menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya,
b) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan,
c) Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-
usaha tertentu.46
44 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, (Jakarta: Djembatan, 1954), hal.42-4345 Mohammad Hatta, Op.Cit, hal.28.46 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 12
Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi
negara menurut W. Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis
sebagai berikut:47
Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin
kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam
kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan
dan pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh
negara.
Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,
membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang
berkaitan dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar
pertimbangan filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha
bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik
(mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian negara),
ekonomi (efesiensi dan efekt
ifitas), dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung
beberapa unsur yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu,
maka rumusan pengertian hak penguasaan negara ialah negaramelalui
47 Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, (Jakarta : Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, 2005), hal. 17.
pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan,
pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup mengatur,
mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam. Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang
penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan
dengan kemaslahtan umum (public utilities) dan pelayanan umum (public
services), harus dikuasai negara dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab
sumber daya alam tersebut, harus dapat dinikmati oleh rakyat secara
berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan
kesejahteraan umum yang adil dan merata.
F. Kerangka Pemikiran
Langkah kebijakan pengelolaan industri Migas di Indonesia serta hasil
yang dicapai sejak Proklamasi sampai berakhirnya Orde Lama (1945-1966),
dilanjutkan dengan Orde Baru (1966-1998) dan kemudian selama Era
Reformasi (1998-sampai sekarang) perlu dikaji dari aspek politik hukum
apakah menempatkan pembangunan perekonomian sesuai dengan
semangat dan jiwa Pasal 33 UUD 1945 yang menempatkan konsep
kesejahteraan sebagai perekonomian nasional, karena konsep
kesejahteraan sebagai jiwa dari Demokrasi Ekonomi atau Ekonomi
Pancasila.48
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas telah
mengubah peraturan perundang-undangan tentang Migas dimana seluruh
sektor kegiatan Migas nasional – baik hulu maupun hilir – terbuka bagi
48 Suyitno Patmosukismo, Op.Cit, hal.156-157
semua badan usaha baik nasional maupun asing. Kebijakan liberalisasi
ekonomi yang memengaruhi pembentukan undang-undang Migas maupun
berbagai undang-undang di bidang sumber daya alam lainnya, tidak sesuai
dengan semangat dan jiwa Pasal 33 UUD 1945. Kebijakan ini
mengakibatkan Indonesia tidak dapat mandiri dan selamanya akan
tergantung dari perusahaan minyak asing (international oil companies, IOC).
Pasal 33 UUD 1945 tidaklah anti capital, namun juga bukan berarti
mengakui paham kapitalisme. Indonesia memerlukan investasi asing dalam
pengelolaan Migas, namun kerja sama dengan investor asing (kontraktor)
harus lebih mengedepankan kepentingan nasional dan berdasarkan
konstitusi UUD 1945, yakni demokrasi ekonomi yang berbasiskan ekonomi
kerakyatan.
Komponen penting yang menjadi fondasi pembangunan landasan
hukum dan politik pengelolaan sumber daya alam Migas, terdiri dari: a).
kepemilikan kekayaan alam; b). penguasaan oleh Negara, dan c).
kewenangan perusahaan Negara dalam pengusahaan Migas sampai
kepada prinsip kerja sama dengan pihak ketiga (utamanya dengan pihak
asing) termasuk batas kewenangan yang diberikan kepada pihak asing.49
Berdasarkan kriteria ini, maka pengelolaan Migas setidaknya harus
didasarkan kepada asas hak menguasai negara dan dilakukan dengan
sistem kerja sama dengan pihak kontraktor melalui model business to
business (“B” to “B”), sebagaimana lazim dipraktekkan oleh berbagai
negara. Dengan demikian, maka diperlukan suatu model pengelolaan
migas nasional yang berlandaskan kedaulatan penuh atas sumber daya
49 Ibid, hal.41.
alam Migas dan pengelolaannya berdasarkan pula pada kemandirian dan
ketahanan energi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Penelitian ini diharapkan dapat menyusun suatu model pengelolaan migas
nasional sebagaimana dimaksudkan.
Kebijakan pengelolaan Migas yang sesuai dengan semangat dan jiwa
Pasal 33 UUD 1945 dengan asas hak menguasai negara atas sumber daya
alam Migas sebagai kekayaan nasional merupakan bagian integral dari
konsep kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Dengan kedaulatan ini,
diharapkan Migas dapat berfungsi sebagaimana diharapkan yakni
membangun kemandirian Migas guna mendukung pembangunan
berkelanjutan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif yang lebih
menekankan pada studi kepustakaan guna memperoleh data sekunder.
Termasuk ke dalam penelitian yuridis-normatif ini diantaranya adalah
inventarisasi hukum positif, menemukan asas hukum; menemukan hukum in
concreto; penelitian sistematika hukum; sinkronisasi dan harmonisasi
vertikal maupun horizontal, perbandingan sejarah hukum.50 Selain itu,
dilakukan pula penelitian lapangan (field research) untuk menunjang dan
50 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 2010), hal.14.
melengkapi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan
serta dilakukan melalui pencarian data. Ditinjau dari pendekatannya bersifat
deskriptif-analitis yaitu suatu penelitian yang bertujuan menggambarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan teori-teori hukum
dikaitkan dengan praktek pelaksanaan hukum positif menyangkut
implementasi hak menguasai negara atas sumber daya alam Migas dan
berbagai permasalahannya.
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini
adalah metode yuridis empiris, yakni melihat keberlakuan aturan hukum
dalam praktek pelaksanaannya. Hukum positif yang berlaku menjadi acuan
untuk diverifikasi keberlakuannya dalam tataran empiris dengan
menjelaskan dan mengungkapkan fakta-fakta yang ditemui. Pendekatan
logika hukum yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada
pendekatan induksi dan deduksi untuk menghasilkan penelitian yang ilmiah
dengan mengacu kepada kriteria kebenaran baik berdasarkan teori
koherensi maupun teori korespondensi.
Pengumpulan data sekunder dari kepustakaan dilakukan dengan
menggunakan bahan-bahan hukum yang meliputi peraturan perundang-
undangan, literatur-literatur dan dokumen-dokumen serta bahan-bahan
penunjang lainnya yang berkenaan dengan objek penelitian.
Penelitian lapangan yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk
mendapatkan data primer tetapi diperlukan untuk menunjang dan
melengkapi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan
serta dilakukan melalui pengumpulan data.
Pengumpulan data dari nara sumber dilakukan dengan teknik
wawancara. Pedoman wawancara yang diajukan kepada narasumber
berisikan mengenai berbagai persoalan yang terkait dengan objek penelitian
yang telah ditentukan sebelumnya.
Proses pelaksanaan penelitian diawali dengan kegiatan pengumpulan
data/bahan kepustakaan (dokumentasi), berupa literatur-literatur dan
peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan hukum lainnya yang
berkaitan dengan objek kajian penelitian.
Kemudian dilakukan wawancara kepada nara sumber yang dipilih guna
memperoleh informasi untuk melengkapi data sekunder, sehingga
diharapkan nantinya dalam penelitian dapat diperoleh data yang lebih akurat
dan faktual.
Hasil data penelitian yang diperoleh, baik dari kepustakaan
sebagai data sekunder maupun penelitian lapangan, dianalisis secara
kualitatif untuk selanjutnya dideskripsikan.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif
dan kemudian dideskripsikan antara fakta-fakta yang terjadi sesuai
kenyataan dengan teori yang diperoleh dari kepustakaan. Untuk