Top Banner

of 109

Pengelolaan Ekowisata Di Wana Wisata Batu Kuda, Perhutani Unit III, KPH Bandung Utara

Jan 09, 2016

Download

Documents

FRIEDMAN CARLYO MANALU, TRIA AMALYA, NOVITA WAHYU RISTIANI DAN LUCKY WIRANATA KUSUMA pengelolaan ekowisata di Wana Wisata Batu Kuda Gunung Manglayang Kabupaten Bandung di bawah bimbingan Dr. Ir. TUTUT SUNARMINTO, M.Si
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • PENGELOLAAN EKOWISATA

    DI WANA WISATA BATU KUDA

    GUNUNG MANGLAYANG BANDUNG UTARA

    KELOMPOK 8

    TRIA AMALYA

    FRIEDMAN CARLYO MANALU

    NOVITA WAHYU RISTIANI

    LUCKY WIRANATA KUSUMA

    PROGRAM KEAHLIAN EKOWISATA

    PROGRAM DIPLOMA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2012

  • RINGKASAN

    TRIA AMALYA, FRIEDMAN CARLYO MANALU, NOVITA WAHYU

    RISTIANI DAN LUCKY WIRANATA KUSUMA pengelolaan ekowisata di

    Wana Wisata Batu Kuda Gunung Manglayang Kabupaten Bandung di bawah

    bimbingan Dr. Ir. TUTUT SUNARMINTO, M.Si

    Wana Wisata Batu Kuda (20 ha) merupakan suatu kawasan hutan milik

    Perum Perhutani RPH Manglayang Barat BKPH Bandung Utara Unit III Jawa

    Barat dan Banten. Kawasan Wana Wisata Batu Kuda memiliki potensi berupa

    prastasi batu kuda, bumi perkemahan dan hutan pinus. Kegiatan Praktik

    Pengelolaan Program Keahlian Ekowisata Program Diploma Institut Pertanian

    Bogor dilaksanakan pada tanggal 28 12 Juni 2012 yang berlokasi di Wana Wisata Batu Kuda dengan mengambil fokus pengelolaan Wisata Minat Khusus

    Sepeda Gunung dan Wisata Pendidikan dalam bentuk Perkemahan.

    Tujuan dari Praktik Pengelolaan Ekowisata adalah untuk mengetahui dan

    memahami pengelolaan wisata pada Kawasan Wana Wisata Batu Kuda. Data

    yang diambil selama Praktik Pengelolaan Ekowisata adalah kondisi umum

    kawasan, kegiatan pengelolaan dan pengunjung. Pengambilan data kondisi umum

    dibagi menjadi dua yaitu kondisi umum perusahaan dan kawasan atau obyek

    wisata. Data kondisi umum perusahaan difokuskan pada informasi tentang sejarah

    perusahaan, kebijakan dan peraturan, status dan kepemilikan, sistem pengelolaan,

    visi dan misi, tujuan dan sasaran perusahaan, struktur organisasi perusahaan

    dalam 10 tahun terakhir, tugas dan pokok organisasi, ketenagakerjaan dan

    sumberdaya manusia (SDM), infrastruktur yang dimiliki, serta produk wisata

    dalam 10 tahun terakhir. Data kondisi umum kawasan difokuskan pada kondisi

    fisik, biotik, sumberdaya wisata dan potensi wisata. Data yang diambil pada

    kegiatan pengelolaan perusahaan yaitu berupa data pengelolaan SDM,

    pengelolaan program dan paket wisata, pengelolaan fasillitas pendukung,

    pengelolaan pengunjung/wisatawan, pengelolaan keamanan dan keselamatan

    pengunjung/wisatawan, pelayanan dan pemanduan wisata (guiding), pemasaran

    dan promosi wisata, kebijakan dan peraturan pengelolaan, dan manajemen

    pengelolaan. Data kegiatan pengelolaan kawasan yaitu kebijakan dan peraturan

    pengelola, manajemen pengelolaan, serta kegiatan pengelolaan kawasan dan

    obyek wisata. Data pengunjung difokuskan pada identifikasi karakteristik umum

    pengunjung, kualitas pelayanan terhadap pengunjung, evaluasi kondisi sarana dan

    prasarana serta fasilitas oleh pengunjung, dan evaluasi kepuasan pengunjung.

    Metode yang digunakan dalam memperoleh data-data tersebut yaitu

    dengan studi literatur dan observasi secara langsung ke lapangan untuk

    identifikasi dan melakukan beberapa wawancara dengan pihak pengelola,

    masyarakat sekitar dan para pengunjung. Hasil praktik pengelolalan yang telah

    dilakukan menunjukkan bahwa Kawasan Wana Wisata Batu Kuda memiliki

    banyak potensi sumberdaya alam dan wisata yang kemudian menjadi daya tarik

    bagi para pengunjung. Pengelolaan ekowisata di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda telah melakukan sistem pengelolaan ekowisata dengan cukup baik.

    Hasil kegiatan Praktik Pengelolaan menunjukan bahwa pengelolaan

    Kawasan Wana Wisata Batu Kuda sebagian besar dikelola oleh LMDH (Lembaga

  • Masyarakat Hasil Hutan). Perum Perhutani KPH Bandung Utara selaku pemilik

    lahan hanya bertindak sebagai pengawas pengelola, pengembangan, dan

    peninjauan lapangan. Pihak LMDH diberi kewenangan untuk mengelola berbagai

    sarana, prasarana, dan fasilitas serta berbagai hal lain yang terkait dengan kegiatan

    wisata yang terdapat pada kawasan tersebut.

    Permasalahan yang terdapat dalam pengelolaan kawasan Wana Wisata Batu

    Kuda terkait dalam hal SDM, fasilitas, dan promosi. LMDH yang terlibat dalam

    pengelolaan kawasan masih kurang memiliki keterampilan khusus dalam

    menyelenggarakan kegiatan wisata. Fasilitas yang terdapat pada kawasan

    memiliki kondisi kurang baik. Promosi yang dilakukan kurang efektif sehingga

    masyarakat tidak banyak yang mengetahui tentang keberadaan Wana Wisata Batu

    Kuda.

  • Judul Laporan : Pengelolaan Ekowisata di Wana Wisata Batu Kuda

    Gunung Manglayang Bandung Utara

    Nama/NIM : Tria Amalya J3B110007

    Friedman Carlyo Manalu J3B110026

    Novita Wahyu Ristiani J3B110048

    Lucky Wiranata Kusuma J3B210060

    Disetujui oleh,

    Dr. Ir. Tutut Sunarminto, M.Si

    Pembimbing

    Diketahui oleh,

    Helianthi Dewi, S. Hut, M. Si.

    Koordinator Program Keahlian

    Tanggal Pengesahan:

  • i

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat

    rahmat dan karunia-Nya, laporan Praktik Pengelolaan ini dapat diselesaikan.

    Praktik Pengelolaan Ekowisata merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi

    mahasiswa program keahlian Ekowisata, Direktorat Program Diploma, Institut

    Pertanian Bogor. Praktik Pengelolaan dilaksanakan selama 14 hari efektif tanggal

    27-12 juni 2012. Lokasi praktek di Wana Wisata Batu Kuda dengan judul laporan

    Pengelolaan Ekowisata di Wana Wisata Batu Kuda, Kabupaten Bandung Utara Praktek Pengelolaan sebagai salah satu bagian proses kegiatan pendidikan

    dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk terjun langsung di

    lapangan guna mengamati, menyerap, dan mengimplementasikan pengetahuan

    dan wawasan mengenai pengelolaan kawasan atau obyek wisata serta perusahaan

    yang terkait dengan kegiatan ekowisata serta membuat perencanaan wisata yang

    sesuai dengan keadaan lokasi dan meminimalisir dampak yang ditimbulkan

    kepada lingkungan, pengunjung, masyarakat maupun pengelola kawasan.

    Laporan praktik pengelolaan ekowisata ini menyajikan informasi mengenai

    potensi kawasan, manajemen kawasan, kegiatan pengelolaan serta kendala yang

    dihadapi dan solusi yang dipilih untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

    Akhirnya, penyusun berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi para pembaca

    dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perbaikan pengelolaan wisata di

    Wana Wisata Batu Kuda.

    Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa selama melakukan persiapan

    hingga selesainya kegiatan praktik dan laporan ini telah mendapatkan bantuan dari

    berbagai pihak. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Asper,

    Bapak Aang, dan Bapak Dedi sebagai pembimbing lapangan kami yang selalu

    memberikan bimbingan terbaik di lapangan. Ir. Tutut Sunarminto (Pembimbing

    Laporan) yang telah sabar membimbing kami sehingga laporan ini tersusun

    dengan baik. Dosen-Dosen Program Keahlian Ekowisata yang telah memberikan

    materi yang sangat bermanfaat untuk Praktek Pengelolaan Ekowisata. Orang Tua

    Kami yang telah mendoakan kami sehingga kami dapat menjalankan Praktek

    Umum Ekowisata dan menyelesaikan laporan ini. Ibu Helianthi Dewi, M.Si

    selaku Koordinator Program Keahlian Ekowisata serta segenap staff Kantor

    Pengelolaan Wana Wisata Batu Kuda Bandungyang telah memberikan bimbingan

    serta bantuan selama melaksanakan praktikum.

    Bogor, Juli 2012

    Penyusun

  • ii

    DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vi

    DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... vii

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. ix

    1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

    1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

    1.2 Tujuan...................................................................................................... 1

    1.3 Manfaat.................................................................................................... 2

    2 KONDISI UMUM ................................................................................................. 3

    2.1 Letak dan Luas ........................................................................................ 3

    2.2 Sejarah Kawasan ..................................................................................... 5

    2.3 Kondisi Fisik Kawasan............................................................................ 5

    2.3.1 Topografi ....................................................................................... 6

    2.3.2 Iklim ............................................................................................... 7

    2.3.3 Geologi........................................................................................... 7

    2.3.4 Hidrologi ........................................................................................ 8

    2.4 Kondisi Biotik Kawasan.......................................................................... 9

    2.4.1 Flora ............................................................................................... 9

    2.4.2 Fauna ............................................................................................ 10

    2.5 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan.......................... 11

    2.5.1 Demografi Masyarakat ................................................................ 12

    2.5.2 Budaya Masyarakat...................................................................... 14

    Gambar 11 Kesenian Kuda Lumping di Desa Cibiru Wetan, Bandung Timur ....... 16

    Gambar 12 Kesenian Benjang di Desa Cibiru Wetan, Bandung Timur .................. 17

    2.5.3 Matapencaharian .......................................................................... 18

    2.6 Prasarana, Sarana, dan Fasilitas ............................................................ 23

    2.7 Aksesibilitas .......................................................................................... 24

    2.8 Sumberdaya Wisata ............................................................................... 26

    2.9 Potensi Wisata ....................................................................................... 27

    3 METODE PRAKTIK .......................................................................................... 30

    3.1 Waktu dan Lokasi Praktik ..................................................................... 30

    3.2 Pendekatan Metode Praktik ................................................................... 30

    3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................... 31

  • iii

    3.4 Data yang Diambil ................................................................................ 32

    4 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 35

    4.1 Sumberdaya dan Potensi Wisata Alam ................................................. 35

    4.1.1 Flora ............................................................................................. 35

    4.1.2 Fauna ............................................................................................ 36

    4.1.3 Gejala Alam ................................................................................. 37

    4.2 Sumberdaya dan Potensi Wisata Budaya .............................................. 37

    4.2.1 Religi dan Kepercayaan ............................................................... 38

    4.2.2 Bahasa .......................................................................................... 41

    4.2.3 Sistem Pengetahuan ..................................................................... 42

    Masuknya peralatan modern ke Desa Cibiru Wetan atau Kawasan

    Wana Wisata Batu Kuda tidak menghilangkan tradisi lama

    nenek moyak mereka terutama dalam bidang pengetahuan

    bertaninya, mereka dalam menanam padi tetep memegang

    amanah tradisi leluhur tanpa obat-obatan kimiawi dan selalu

    berhasil panen setiap tahun, dengan memberikan kesempatan

    untuk bernapas sejenak kepada bumi yang menghidupkan padi-

    padian maka yang terjadi adalah panen yang selalu berhasil dan

    leuit-leuit (tempat penyimpanan padi)yang tidak pernah

    dihampiri hama. Bagi orang Sunda yang hidup di pedesaan leuit

    memang bukan sesuatu yang asing, meski sekarang fungsinya

    sudah tergerus zaman. Di masa lalu, leuit punya peran vital,

    sebagai gudang penyimpanan gabah atau beras hasil panen. Pada

    saat musim paceklik, simpanan gabah itu ditumbuk untuk

    kemudian dijadikan pemenuhan makan sehari-hari..................... 42

    Zaman modern sekarang leuit nyaris punah. Terlebih lagi di daerah

    perkotaan, orang lebih menyukai sesuatu yang serba instan.

    Dikatakan nyaris punah, karena memang masih terdapat sebagian warga yang tetap mempertahankan fungsi leuit. Salah

    satunya adalah warga adat yang menempati kaki Gunung

    Manglayang. ................................................................................ 42

    4.2.4 Sistem Kekerabatan (Ambilineal) ............................................... 42

    4.2.5 Sistem Organisasi ........................................................................ 44

    4.2.6 Kesenian....................................................................................... 46

    4.2.7 Peralatan Hidup............................................................................ 51

    4.2.8 Kuliner ......................................................................................... 52

    4.2.9 Material Heritage ........................................................................ 53

    4.3 Sumberdaya dan Potensi Wisata Non Alami ........................................ 53

    4.4 Manajemen Pengelolaan Kawasan atau Obyek Wisata ........................ 54

  • iv

    4.4.1 Kebijakan dan Peraturan Pengelola ............................................. 54

    4.4.2 Visi dan Misi Pengelolaan ........................................................... 55

    4.4.3 Maksud dan Tujuan Pengelolaan ................................................. 56

    4.4.4 Status dan Kepemilikan dalam Pengelolaan ................................ 57

    4.4.5 Organisasi Pengelolaan ................................................................ 57

    4.4.6 Pengelolaan Prasarana, Sarana, dan Fasilitas .............................. 59

    Pengelolaan Prasarana, sarana dan fasilitas di kawasan Wana Wisata

    batu kuda belum berjalan dengan baik. Cara mengelola

    beberapa fasilitas seperti jalan setapak, tempat duduk, mushola,

    tempat sampah, gazebo masih kurang diperhatikan oleh pihak

    pengelola. ..................................................................................... 59

    Permasalahan yang terjadi dengan pengelolaan sarana, prasarana serta

    fasilitas yaitu adanya pungutan biaya oleh masyarakat yang turut

    berperan dalam pengelolaan kepda pengunjung dalam

    penggunaan fasilitas. Seharusnya biaya tersebut dipotong oleh

    uang pengelolaan fasilitas, akan tetapi yang terjadi yaitu uang

    yang seharusnya diutamakan untuk merawat sarana,prasarana

    dan fasilitas langsung masuk kedalam upah masyarakat. Padahal tidak sedikit masyarakat yang turut menggunakan fasilitas wisata tersbut 59

    4.4.7 Kerjasama dengan Pihak Lain ..................................................... 60

    4.5 Kegiatan Pengelolaan Kawasan atau Obyek Wisata ............................. 62

    4.5.1 Pengelolaan Parkir ....................................................................... 62

    4.5.2 Pengelolaan Ticketing .................................................................. 63

    4.5.3 Pengelolaan Fasilitas Wisata ....................................................... 63

    4.5.4 Pengelolaan Kebersihan dan MCK .............................................. 69

    4.5.5 Pengelolaan Distribusi dan Sirkulasi Pengunjung ....................... 69

    4.5.6 Pengelolaan Sumberdaya Manusia .............................................. 70

    4.5.7 Pengelolaan Sumberdaya Alam ................................................... 71

    4.5.8 Pengelolaan Keamanan dan Keselamatan ................................... 74

    4.6 Permasalahan Pengelolaan .................................................................... 75

    4.7 Kuesioner Pengunjung atau Wisatawan ................................................ 77

    4.7.1 Kualitas pelayanan terhadap pengunjung .................................... 77

    4.7.2 Evaluasi kondisi sarana dan prasarana serta fasilitas ............................ 78

    4.7.3 Sumber Informasi ........................................................................ 78

    4.7.4 Karakteristik Pengunjung atau Wisatawan .................................. 78

    4.7.5 Motivasi Pengunjung atau Wisatawan ......................................... 79

    4.7.6 Persepsi Pengunjung atau Wisatawan.......................................... 79

    4.8 Kuesioner Masyarakat ........................................................................... 81

  • v

    4.8.1 Karakteristik Masyarakat ............................................................. 81

    4.8.2 Persepsi Masyarakat .................................................................... 82

    4.9 Kuesioner Pengelola .............................................................................. 82

    4.9.1 Karakteristik Pengelola ................................................................ 82

    4.9.2 Persepsi Pengelola ....................................................................... 83

    4.9.3 Kinerja Pengelola ......................................................................... 84

    5.1. Perencanaan Program Ekowisata .......................................................... 86

    5.1.1 Program Wisata Harian dan Menginap ........................................ 86

    Jelajah Desa Sekitar Batu Kuda ...................................................................... 86

    5.1.2 Jejak Batu kuda ..................................................................................... 88

    5.1.3 Rancangan Output ................................................................................. 92

    6 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 94

    6.1 Kesimpulan............................................................................................ 94

    6.2 Saran ...................................................................................................... 95

    LAMPIRAN ............................................................................................................. 96

  • vi

    DAFTAR TABEL

    1. Tingkat Pendidikan Desa Cibiru, Wetan 13

    2. Karakteristik Golongan Umur Masyarakat 14

    3. Pekerjaan Masyarakat Desa Cibiru, Wetan 22

    4. Fasilitas, Sarana dan Prasarana di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda 23

    5. Jalur Aksesibilitas Menuju Kawasan Wana Wisata Batu Kuda 25

    6. Kegiatan Selama Praktik Pengelolaan Ekowisata 30

    7. Data yang Diambil 32

    8. Fungsi Kawasan Wana Wisata Batu Kuda 56

    9. Kondisi Fasilitas Wisata 63

    10. Fasilitas Untuk Pengelola di Batu Kuda 86

    11. Uraian Program Wana Wisata Batu KudaJelajah Desa Batu Kuda 87 12. Uraian Program Wana Wisata Batu KudaJejak Batu Kuda 89

  • vii

    DAFTAR GAMBAR

    1. Peta Kawasan Wana Wisata Batu Kuda 3

    2. Kawasan Wana Wisata Batu Kuda 4

    3. Batu Kuda 5

    4. Gunung Manglayang 6

    5. Tanah Latosol di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda 7

    6. Selang Air Yang dihubungkan dari mata air ke desa 8

    7. Pohon Pinus 10

    8. Serangga di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda 11

    9. Anak-anak Desa Cibiru, Wetan 12

    10. Tari Sisingaan di Desa Cibiru Wetan, Bandung Timur 15

    11. Kesenian Kuda Lumping di Desa Cibiru Wetan, Bandung Timur 16

    12. Kesenian Benjang di Desa Cibiru Wetan, Bandung Timur 17

    13. Usaha Warung 19

    14. Matapencaharian Penduduk (Berladang) 20

    15. Matapencaharian Penduduk (Berternak) 21

    16. Matapencaharian Penduduk (Pengrajin) 21

    17. Aktivitas mencari pakan ternak 22

    18. Aksesibilitas menuju Wana Wisata Batu Kuda 25

    19. Keadaan Alam 26

    20. Sisa Puing Sesajen 27

    21. Kegiatan Camping di Batu Kuda 28

    22. Kegiatan Wisata Alam Bersepeda dan Tracking di Wana WisataBatu Kuda

    29

    23. Pengambilan data Skunder 31

    24. Flora di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda 35

    25. Flora di Wana Wisata Batu Kuda 35

    26. Fauna Endemik Kawasan 36

    27. Peta Kawasan Wana Wisata Batu Kuda 38

    28. Kesenian Benjang 46

    29. Tari Jaipong 48

    30. Permainan Panjat Batang Pisang 50

    31. Golok Sebagai Peralatan Hidup Memotong Kayu Bakat 52

    32. Pais Lauk (Makanan Khas Sekitar) 52

    33. Objek Dari Kawasan 53

    34. Seminar Dengan ADM KPH Bandung Utara Mengenai Pengelolaan 54

    35. Struktur Organisasi 58

    36. Keadaan Fasilitas Mushola di Wana Wisata Batu Kuda 59

    37. Air Minum Perhutani Kerjasama Bersama Al Masoem 60

    38. Pengelolaan Ticketing Oleh Pihak LMDH 61

    39. Tanda Masuk Camping Ground di Batu Kuda 61

    40. Pengeloaan Parkir 62

    41. Kegiatan Ticketing 63 42. Fasilitas MCK di Batu Kuda 64

    43. Fasilitas Mushola di Batu Kuda 65

    44. Fasilitas Loket Karcis di Batu Kuda 65

  • viii

    45. Fasilitas Warung di Batu Kuda 66

    46. Fasilitas Tempat sampah 66

    47. Fasilitas Tempat Sampah di Batu Kuda 67

    48. Fasilitas Basecamp di Batu Kuda 67

    49. Fasilitas Shelter di Batu Kuda 68

    50. Fasilitas Jalan Setapak di Batu Kuda 68

    51. Pemanfaatan Air Bersih di Batu Kuda 69

    52. Gerbang Masuk Kawasan 70

    53. Tanaman Mendominasi di Batu Kuda (Pinus / Pinus merkusi) 71

    54. Tanaman Buah di Batu Kuda 72

    55. Fauna di Batu Kuda 72

    56. Fauna di Batu Kuda (Anjing) 73

    57. Gejala Alam di Batu Kuda (Jurang) 73

    58. Kerusakan Fasilitas Akibat Corat-Coret 76

    59. Wawancara Kuesioner Pengunjung 77

    60. Presentase Jumlah Kunjungan 79

    61. Kegiatan Wisata ( fun game ) 80

    62. Dampak Kegiatan Wisata (Sampah) 81

    63. Masyarakat Sekitar Kawasan 82

    64. Kuisioner Pengelola 83

    65. Pengelola Kawasan 84

    66. LMDH 85

    67. Rancangan Design Booklet 93

  • ix

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. Karakteristik Pengunjung

  • 1

    1 PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Ekowisata merupakan suatu pengembangan konsep pariwisata yang

    mengarah pada suatu perjalanan yang bertanggung jawab pada suatu destinasi

    wisata yang mengacu pada tiga pilar yaitu ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

    Ekowisata erat kaitannya dengan kawasan yang bersifat alami dan dianggap

    sebagai langkah strategis dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari

    dengan mempertahankan kearifan tradisional masyarakat lokal dalam realisasi

    pengelolaan.

    Batu Kuda merupakan wana wisata yang mengarah pada kosep

    pengembangan ekowisata dan mengacu pada tiga pilar ekowisata dan memiliki

    sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan secara lestari. Kawasan ini berada di

    puncak Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung. Nama Batu Kuda tersebut

    diangkat berdasarkan mitos yang dipercaya oleh masyarakat sekitar kawasan,

    Batu Kuda merupakan batu yang dahulunya kuda yang sering ditunggangi oleh

    Prabu Layang Kusuma bersama istrinya. Kawasan Batu Kuda ini selain terkenal

    dengan mitos yang beredar, juga memiliki kawasan Bumi Perkemahan yang ramai

    dikunjungi oleh wisatawan khususnya pada hari Sabtu dan Minggu. Akan tetapi

    walaupun memiliki objek yang menarik, namun kawasan ini kurang begitu

    diketahui oleh masyarakat luas karena promosi yang tersedia masih cukup

    terbatas, selain itu aksesibilitas menuju lokasi terbilang sulit dan cukup jauh dan

    jalannya cukup berliku-liku.

    Kawasan Wana Wisata Batu Kuda adalah kawasan hutan yang dimiliki oleh

    Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Bandung Utara yang

    dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Keunikan sumberdaya alam

    berupa adanya situs Batu Kuda dan udara segar serta keindahan bentang alam

    mendorong masyarakat untuk datang berwisata. Alasan inilah yang menjadi salah

    satu dasar dikelolanya kawasan ini sebagai destinasi wisata, akan tetapi

    pengelolaan wisata dikawasan belum termanajemen dengan baik sehingga masih

    harus dilakukan beberapa langkah untuk memajukan kawasan Wana Wisata Batu

    Kuda tersebut.

    Perkembangan pengelolaan Wana Wisata Batu Kuda dapat dikatakan belum

    maksimal karena kurangnya koordinasi antara pihak investor dengan Perum

    Perhutani serta peran pemerintah setempat. Oleh karena itu diperlukan suatu

    kajian yang mendalam mengenai pengelolaan wisata pada kawasan Wana Wisata

    Batu Kuda.

    1.2 Tujuan

    Kegiatan Praktek Pengelolaan Ekowisata memiliki tujuan yang harus

    dicapai. Tujuan yang ingin dicapai terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.

    Tujuan umum yang ingin dicapai agar mahasiswa mengetahui tentang kegiatan

    pengelolaan yang berlangsung di lokasi Wana Wisata Batu Kuda. Sedangkan

    tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

  • 2

    a. Memberikan pengetahuan dan wawasan kepada mahasiswa tentang pengelolaan ekowisata di Wana Wisata Batu Kuda.

    b. Mengetahui potensi wisata baik sumberdaya alam, manusia dan sumberdaya wisata, serta sosial di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    c. Mengetahui sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sekitar Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    d. Mengetahui karakteristik, persepsi dan motivasi dan presepsi pengunjung wisata di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    e. Mengetahui karakteristik dan persepsi pengelola wisata di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    f. Merancang konsep ekowisata, program wisata harian, bermalam, serta desain media promosi wisata berupa booklet tentang wisata di Wana Wisata Batu

    Kuda

    1.3 Manfaat

    Manfaat pelaksanaan praktek pengelolaan adalah menambah pengetahuan

    bagi penyusun dalam mengelola kawasan Wana Wisata Batu Kuda. Manfaat

    lainnya yaitu bagi pengelola sebagai bahan pertimbangan dalam perbaikan

    pengelolaan wisata di Wana Wisata Batu Kuda.

    a. Mengkaji dampak ekologi, ekonomi dan sosial budaya di Kawasan b. Memberikan informasi terbaru mengenai kawasan kepada pengunjung serta

    menjadi daya tarik bagi pengunjung.

    c. Memberikan informasi bagi masyarakat sekitar dengan peluang kegiatatan wisata dan bisnis.

  • 3

    2 KONDISI UMUM

    2.1 Letak dan Luas

    Wana Wisata Batu Kuda terletak di kaki Gunung Manglayang Desa Cibiru

    Kecamatan Ujung Berung Bandung Utara. Letak wana wisata ini cukup jauh dari

    akses jalan besar. Kawasan tersebut juga berbatasan dengan kawasan wisata

    Kiara Payung. Cibiru Wetan adalah salah satu desa yang tergabung dalam

    Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Pada mulanya

    Desa Cibiru Wetan merupakan bagian dari Desa Cibiru, Kecamatan Ujungberung.

    Namun, pemekaran atas desa itu yang dilakukan pada tahun 1982 pada gilirannya

    membuat Cibiru Wetan, Cibiru Kulon, dan Cibiru Hlir menjadi desa tersendiri.

    Dengan perkataan lain, Desa Cibiru dipecah menjadi tiga. Sementara itu,

    Ujungberung itu sendiri termasuk dalam wilayah Kota Bandung. Sedangkan, Desa

    Cibiru menjadi kecamatan yang termasuk dalam Kota Bandung. Secara geografis

    desa ini berada di kawasan Gunung Manglayang, dengan batas-batas: sebelah

    utara berbatasan dengan Gunung Manglayang itu sendiri; sebelah selatan

    berbatasan dengan Desa Cibiru Kulon; sebelah barat berbatasan dengan Desa

    Cibiru Wetan dan Desa Desa Cilengkrang; dan sebelah timur berbatasan dengan

    Desa Cimekar. Desa ini tidak hanya berada di kaki tapi juga di lereng gunung,

    sehingga wilayahnya tidak hanya berupa dataran rendah semata, tetapi juga

    dataran tinggi (berbukit-bukit) yang mendominasinya.

    Gambar 1 Peta Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

  • 4

    Secara keseluruhan, luas desa ini mencapai 295 ha, dengan rincian:

    perumahan penduduk (71,5 ha atau 24,24%), sawah (2 ha atau 0,67%),

    tegalan/ladang (153,5 ha atau 45,93%), empang/kolam (1,5 ha atau 0,5%), kas

    desa (12,5 ha atau 4,24%), lapangan (3 ha atau 1,01%), perkantoran pemerintah

    (2,05 ha atau 0,69%), dan lain-lain4) (48,95 ha atau 16,59%) (Monografi Desa

    Cibiru Wetan, 2005). (Potensi Desa Cibiru Wetan, Tahun 2005). Monografi

    Desa bermakna bahwa luas wilayah Desa Cibiru Wetan sebagian besar (45,93%)

    berupa tegalan/ladang yang terbentang di sekitar puncak Gunung Manglayang,

    tepatnya di wilayah Kampung: Cikoneng I, II, III, dan Pamubusan. Sedangkan

    luas wilayah Wana Wisata Batu Kuda adalah 20 ha, yang meliputi KPLH

    Bandung Utara, BKPH Manglayang Barat, RPH Ujung Berung, Kabupaten

    Bandung, Kecamatan Ujung Berung, Desa Cibiru Wetan. Luas wilayah Batu

    Kuda mengalami perubahan pada tahun 2009 dan diperluas menjadi 40 ha berkat

    kerjasama perhutani dengan masyarakat sekitar. Perluasan tersebut memberikan

    dampak positif bagi Wana Wisata Batu Kuda tersebut karena masyarakat cukup

    bergantung dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan hayati baik berupa

    tumbuhan maupun keikutsertaan masyarakat sebagai sumbedaya manusia atau

    ikut berperan penting dalam pengelolaan.

    Gambar 2 Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    Luas kawasan Wana Wisata Batu Kuda terbagi menjadi beberapa zona-zona

    seperti zona perkemahan yang cukup luas dan memiliki daya tampung sebanyak

    100 pegunjung yang terletak di sebelah kanan pintu masuk kawasan serta zona

    kemping kedua yang terletak di atas kiri kawasan yang memiliki daya tampung

    lebih kecil. Kawasan Wana Wisata Batu Kuda selain memiliki tempat

    perkemahan juga memiliki tempat outbound yang biasa digunakan untuk

    bersepedah ataupun bermain ATP yang memiliki luasan 100 m.

    Kawasan Wana Wisata Batu Kuda walaupun mengalami perluasan wilayah

    akan tetapi tidak difungsikan dengan baik. Apabila dilakukan penataan dengan

    baik, sangat memungkinkan kawasan wana wisata ini untuk lebih berkembang

    dari sebelumnya

  • 5

    2.2 Sejarah Kawasan

    Kawasan Batu Kuda dahulunya merupakan sebuah hutan yang belum

    dikelola. Kawasan hutan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk memenuhi

    kebutuhan hidupnya, seperti mengambil kayu secara berlebihan yang berdampak

    negatif kepada lingkungan sekitar. Banjir badang yang terjadi di kaki Gunung

    Manglayang merupakan dampak negatif yang ditimbulkan dari hasil penebangan

    kayu berlebih.

    Permasalahan hutan tersebut telah merugikan masyarakat sendiri, sehingga

    untuk penanganan pengelolaan kawasan diambil alih oleh perhutani. Tindakan

    pengamanan dikerahkan beberapa polisi hutan yang bertugas untuk mengawasi

    masyarakat sekitar apabila masih mengambil hasil hutan berupa kayu.

    Kawasan hutan Batu Kuda dijadikan kawasan wisata pada tahun 1987

    dengan nama batu kuda. Penamaan kawasan wisata batu kuda diambil dari nama

    suatu batu yang berbentuk kuda dan dipercayai oleh masyarakat sekitar bahwa

    batu tersebut dahulunya adalah kuda yang ditunggangi oleh Prabu Layang

    Kusuma bersama istrinya Prabu Layang Sari. Kuda tersebut terperosok ke dalam

    lumpur yang menyebabkan kuda Prabu berubah menjadi batu raksasa yang

    menyerupai seekor kuda. Sehingga kawasan wisata Batu Kuda memiliki obyek

    unggul yaitu batu kuda itu sendiri.

    Gambar 3 Batu Kuda

    Sejak peristiwa berubahnya kuda prabu menjadi batu, Prabu Layang

    Kusuma mengambil keputusan untuk tinggal bertapa di sekitar batu kuda hingga

    akhir khayatnya. Sejarah tersebut dipercaya oleh masyarakat sehingga kawasan

    tersebut sampai sekarang masih digunakan sebagai tempat bertapa bagi seseorang

    yang menginginkan sesuatu dari segi pangkat dan kesejahteraan.

    2.3 Kondisi Fisik Kawasan

    Kawasan Wana Wisata Batu Kuda memiliki ciri khas tersendiri dilihat dari

    kondisi fisik kawasannya. Kondisi fisik kawasan terdiri dari topografi, iklim,

    geologi serta hidrologi.

  • 6

    2.3.1 Topografi

    Topografi adalah suatu tentang bentuk permukaan bumi dan objek lain.

    Menentukan topografi di suatu kawasan secara akurat yang harus diperhatikan

    yaitu permukaan tiga dimensi, jarak, ketinggian dan sudut dengan memanfaatkan

    berbagai instrumen topografi. Seperti halnya Wana Wisata Batu Kuda terletak

    pada ketinggian antara 1.150 - 1.300 m dpl. Morfologi wilayah pada umumnya

    bergelombang dengan topografi kawasan 1000-1100 dpl.

    Aliran lava yang meluap berkali-kali menyelimuti tubuh kerucut gunung.

    Lapis demi lapis, lava membanjiri kerucut hingga membentuk gunung

    berketinggian kira-kira 2.000 meter. Kerucut kecil itu adalah Gunung

    Manglayang. Sekarang puncaknya mencapai 1.817 meter. Pada waktu yang sama,

    di sebelah barat, diperkirakan Gunung Sunda purba, yang merupakan pendahulu

    Gunung Tangkuban Perahu, masih aktif sebagai gunung api raksasa berketinggian

    di atas 3.000 meter.

    Gambar 4 Gunung Manglayang

    Morfologi Gunung Manglayang berbentuk cukup unik. Bagian puncaknya

    membentuk lekukan-lekukan seperti mahkota longsoran raksasa berdiameter 4-5

    kilometer. Tiga buah lekukan-lekukan raksasa dengan lereng-lereng atas yang

    terjal dapat dikenali. Satu di antaranya membentuk lembah dalam ke arah Bumi

    Perkemahan Kiarapayung, lereng atas Jatinangor dan kawasan Batu Kuda.

    Tekstur permukaan Gunung Manglayang tampak kasar jika dilihat dari jauh,

    dari udara, atau melalui citra satelit. Lembah-lembahnya menoreh tajam

    menghasilkan pola jaringan sungai dendritik, seperti ranting-ranting pohon, atau

    jalinan urat saraf. Ciri demikian menunjukkan bahwa hanya proses erosi yang

    bekerja di atas Gunung Manglayang. Tidak ada lagi produk-produk vulkanisme

    yang menutupi torehan-torehan erosi yang mengukir kasar permukaannya.

    Kemiringan lahan disekitar kawasan berkisar 45-750 dan nyaris tanpa jalur

    yang mendatar sehingga cukup berpotensi akan adanya longsor. Tanah di sekitar

    kawasan juga bergelombang dan cukup terjal. Namun hingga saat ini jalan terjal

    tersebut masih dimanfaatkan pengunjung sebagai jalur pendakian yang

    menantang.

  • 7

    2.3.2 Iklim

    Kawasan Wisata Batu Kuda memiliki iklim sedang dengan suhu udara

    antara 19 -270C. Kawasan ini mempunyai curah hujan 2.000 mm/tahun. Suhu

    terendah yang pernah dirasakan yaitu 190C saat beberapa puluh tahun ke

    belakang. Namun sekarang suhu terendah hanya mencapai 200 C dikarenakan

    pengaruh dari kota dan akibat telah terjadinya global warming sehingga suhu

    tidak sedingin puluhan tahun yang lalu.

    Kawasan Wana Wisata Batu Kuda yang terletak di Desa Cibiru Wetan

    beriklim tropis yang ditandai oleh adanya dua musim, yakni kemarau dan

    penghujan. Musim kemarau biasanya dimulai pada bulan April sampai

    September. Sedangkan, musim penghujan biasanya dimulai pada bulan Oktober

    sampai dengan Maret. Curah hujannya rata-rata 3.060 milimeter per tahun.

    Kawasan wisata Batu Kuda memiliki iklim yang baik dan sejuk, selain itu

    juga lokasinya merupakan daerah yang berupa dataran tinggi dan lereng

    pegunungan yang memiliki suhu relatif dingin baik di siang maupun malam hari.

    Suhu relatif tersebut memberikan efek yang cukup baik bagi flora maupun fauna

    disekitar kawasan. Ketika hujan, suhu relatif terasa lebih hangat dibanding suhu

    biasanya. Suhu tersebut masih cukup stabil walaupun pengunjung yang datang

    untuk bermalam dilokasi cukup sering mengeluhkan suhu udara yang dingin.

    Akan tetapi suhu tersebut memberikan kesan kesejukan disiang dan malam hari.

    2.3.3 Geologi

    Geologi Gunung Manglayang tidak banyak diketahui penduduk sekitar

    kawasan. Peta geologi yang disusun hanya digunakan untuk memetakannya

    kawasan sebagai endapan gunung api muda. Gunung Manglayang diperkirakan

    seumur dengan Gunung Tangkuban Perahu. Umurnya diperkirakan tidak lebih

    tua dari 50.000 tahun. Namun, tidak seperti Gunung Manglayang, kerucut-kerucut

    gunung api di timur Bandung diketahui merupakan kerucut sangat tua, seperti

    Gunung Bukitjarian, Gunung Geulis, dan Gunung Calancang. Penentuan umur

    dari lava basalt Cicadas dari Gunung Calancang di Parakanmuncang

    menunjukkan umur 1,7 juta tahun. Gunung-gunung api ini boleh dikatakan telah

    mati.

    Gambar 5 Tanah Latosol di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

  • 8

    Jenis tanah di kawasan Wana Wisata Batu Kuda secara keseluruhan

    termasuk ke dalam jenis latosol yaitu jenis tanah yang berbatu. Jenis tanah

    latosol yaitu tanah yang banyak mengandung zat besi dan alumunium. Jenis tanah

    tersebut merupakan tanah yang tuansehingga kesuburan tanah rendah. Warna

    tanah tersebut merah hingga kuning dan sering disebut tanah merah. Tanah latosol

    mempunyai sifat cepat mengeras bila tersingkap atau berada di udara terbuka.

    Penyebaran tanah latosol berada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung,

    Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Tengah,

    Kalimantan Selatan dan Papua. Tumbuhan yang dapat hidup di tanah latosol

    yaitu padi, palawija, sayuran, buah-buahan, karet, sisal, cengkih, kakao, kopi dan

    kelapa sawit.

    2.3.4 Hidrologi

    Sumber air di Kawasan Wisata Batu Kuda berasal dari satu mata air yang

    berada di Gunung Malayang. Pengairan dibantu dengan pipa-pipa sambungan

    untuk membantu air di kawasan wisata seperti air untuk MCK dan Mushola.

    Sumber mata air memiliki tingkat kekeruhan 0,5 dan kejernihan bisa mencapai

    100 %. Pada lokasi juga terdapat penampungan air bersih yang hanya ditutut

    dengan menggunakan seng, diperbolehkan bagi masyarakat ataupun pengunjung

    yang mendatangi kawasan untuk memanfaatkan air tersebut. Air tersebut layak

    untuk dikonsumsi, serta dapat langsung diminum tanpa dimasak, namun lebih

    baik melalui proses pemasakan terlebih dahulu.

    Gambar 6 Selang Air Yang dihubungkan dari mata air ke desa

    Sumber air yang ada berupa mata air yang saat ini dimanfaatkan untuk

    keperluan pengunjung dan masyarakat sekitar kawasan. Air bersih pada warga

    masyarakat Desa Cibiru Wetan diperoleh melalui berbagai cara, bergantung letak

    geografisnya. Para warga yang berada di daerah bawah (kaki Gunung Manglayang) misalnya, mereka dapat membuat sumur gali atau pompa karena

    kedalaman air tanah hanya sekitar 1030 meter. Akan tetapi, bagi para warga yang berada di daerah tengah, lebih-lebih bagian atas (kawasan lereng

  • 9

    Gunung Manglayang), seperti Kampung Cikoneng I, II, dan III, hal itu sulit

    dilakukan karena kedalaman air tanahnya bisa mencapai ratusan meter. Untuk itu,

    mereka menggantungkan sepenuhnya kepada kemurahan alam, yaitu sumber-

    sumber mata air yang berada di sekitar kawasan puncak Gunung Manglayang,

    seperti: Lembah Neunduet, Seke Saladah, Gadog, dan Pangguyangan Badak 5).

    Caranya adalah dengan membuat bak tampungan, kemudian dialirkan ke rumah-

    rumah penduduk dan ladang melalui pipa atau selang plastik yang diameternya

    sekitar 2 cm.

    Air pada kawasan juga dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan sebagai air

    minum kemasan yang telah bekerjasama dengan pihak perhutani. Air tersebut

    selain dimanfaatkan sebagai air minum kemasan dan kebutuhan dilokasi wisata,

    air ini juga dimanfaatkan masyarakat sebagai pengairan keperumahan mereka.

    Namun tidak semua masyarakat dapat memanfaatkan air yang terdapat dikawasan

    karena keterbatasan sumberdaya.

    2.4 Kondisi Biotik Kawasan

    Kawasan Wana Wisata Batu Kuda selain memilik ciri khas dari segi

    fisiknya, kawasan tersebut juga memiliki kondisi biotik di dalamnya. Kondisi

    biotik kawasan terdiri dari flora dan faunanya.

    2.4.1 Flora

    Wana wisata ini terdiri dari hutan tanaman campuran (pinus, kaliandra dan

    cemara). Potensi visual lansekap pada kawasan yang cukup menarik adalah hutan

    tanaman campuran dan hutan alam, batu kuda (batu yang mirip kuda), hutan

    pegunungan dan udara pegunungan yang sejuk.

    Kawasan Wisata Batu Kuda memiliki banyak potensi berupa kekayaan

    vegetasi yang hidup di dalamnya. Vegetasi yang berada di kawasan, hidup dengan

    subur dan menyebar di setiap sisi kawasan hutan yang meliputi pinus, cemara,

    mahoni, ekaliptus, suren, huni, beringin, karet, bambu, rasamala, saninten serta

    kaliandra. Vegetasi lainnya yaitu berupa tanaman yang dapat dimanfaatkan hasi

    buahnya nanti seperti nangka, pisang, dan jambu biji. Sedangkan terdapat juga

    bunga yang semakin memperindah kawasan yaitu bunga sepatu dan mawar.

    Sedangkan yang mendominasi di kawasan wisata yaitu pohon pinus yang

    menyebar di setiap sisi kawasan.

  • 10

    Gambar 7 Pohon Pinus

    Wana Wisata Batu Kuda memiliki kawasan yang terbagi menjadi petak-

    petak lahan yang berfungsi sebagai tempat pengembangan beberapa flora. Bagian

    petak tersebut seperti petak 36D, 36B, 35A, 33A, 35B, 33A yang pada masing-

    masing petak berisi flora yang berbeda-beda. Contohnya terlihat pada petak 33 A

    yang didominasi oleh pohon pinus dan pada petak 35B berisi pohon mahoni.

    Kawasan Sekitar Wana Wisata Batu kuda didominasi oleh iklim tropis.

    Oleh karena itu, berbagai jenis tanaman yang tumbuh di sana adalah tanaman

    tropis, seperti: jambu biji, mangga, pisang, jeruk bali, jagung, kol, tomat, pecai,

    dan singkong. Selain itu, ada pohon cemara atau pinus, jati, albasiah, baringtonia,

    dan lain sebagainya. Jenis pohon itu mendominasi hutan lindung yang luasnya

    mencapai 30 ha. Sementara itu, pepohonan seperti: nangka, alpukat, kopi, aren,

    limus, tumbuh di pinggiran hutan lindung sebagai pembatas antara hutan lindung

    dan pemukiman penduduk. Adanya pepohonan di lokasi adalah berkat kerjasama

    antara Dinas Perhutani dan warga masyarakat setempat.

    2.4.2 Fauna

    Kawasan Wisata Batu Kuda selain memiliki potensi dari segi flora namun

    memiliki potensi dari segi fauna. Tidak terdapat fauna endemik di kawasan

    melainkan fauna secara umum yang terdapat di sana. Berbagai jenis fauna bisa

    ditemukan, dari jenis aves, amfibi, mamalia, serangga, dan reptil. Jenis aves

    sendiri ditemukan beberapa jenis burung-burung. Mamalia seperti babi hutan,

    monyet, luak dan anjing. Jenis serangga seperti semut pohon, lebah, kupu-kupu

    dan belalang. Sedangkan dari jenis reptil yang ditemukan seperti ulara, kadal dan

    trenggiling. Secara keseluruhan fauna yang berada di dalam kawasan wisata tidak

    ada yang berbahaya, babi hutan tidak pernah masuk ke dalam kawasan wisata

    karena babi hutan hanya menetap di dalam hutan lindung.

  • 11

    Gambar 8 Serangga di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    Kawasan Wana Wisata Batu Kuda yang berada di Desa Cibiru Wetan

    memang sebagian wilayahnya berupa hutan. Di masa lalu mungkin banyak

    binatang buas seperti harimau. Namun, saat ini tidak ada hewan buas seperti

    terdahulu yang ada adalah berbagai binatang yang tergolong serangga, unggas,

    binatang melata (ular), dan babi hutan yang hidup lepas di hutan. Selain berbagai

    binatang yang hidup secara lepas di hutan, ada juga berbagai binatang yang

    dipelihara atau diternakkan, seperti: ayam, kambing, domba, kerbau, sapi-perah,

    dan anjing

    Fauna yang berada disekitar kawasan walaupun tidak berbahaya tetapi

    terdapat beberapa fauna yang terkadang mengganggu pengunjung yang datang.

    Walaupun tidak dikelola dengan baik namun masyarakat yang ikut serta dalam

    pengelolaan sering memberitahu pengunjung bahwa fauna tersebut tidak akan liar

    dan mengganggu pengunjung.

    2.5 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan

    Berdirinya kawasan wana wisata batu kuda memberikan beberapa pengaruh

    bagi sosial, ekonomi dan pada budaya masyarakat sekitar baik positif maupun

    negatif. Aspek sosial bagi masyarakat yaitu masyarakat sekitar sering

    berkomunikasi langsung dengan pengunjung wana wisata batu kuda, dan beberapa

    pengunjung sering bertanya seputar kawasan kepada masyarakat sekitar.

    Masyarakat juga cukup ramah kepada pengunjung sehingga mereka sering

    bertukar cerita.

    Secara ekonomi terjadi perubahan yaitu seperti memberikan lapangan

    pekerjaan contohnya dari sebagian masyarakat cukup banyak yang menjadi

    pedagang dan tour guide atau petunjuk arah. Sedangkan sisi negatif dari ekonomi

    belum dirasaka oleh masyarat karena harga bahan pokok ataupun kebutuhan

    wisata masih terlampau stabil.

    Budaya masyarakat sekitar kawasan masih terjaga hingga saat ini seperti

    adanya pagelaran tari sisingaan dan upacara ruwat gunung yang diadakan untuk

    tolak bala bencana banjir ataupun gempa yang berpusat di gunung Manglayang

    dengan bantuan juru kunci. Sedangkan budaya luar yang masuk tidak memberikan

    pengaruh yang buruk untuk masyarakat sekitar, karena masyarakat sekitar

  • 12

    menyerap perilaku budaya postif yang biasanya berasal dari pengunjung luar

    kawasan.

    2.5.1 Demografi Masyarakat

    Kependudukan, Penduduk Desa Cibiru Wetan berjumlah 11.336 jiwa,

    dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 3.115. Jika dilihat berdasarkan jenis

    kelaminnya, maka jumlah perempuannya mencapai 7.721 jiwa (50,5%) dan

    penduduk berjenis kelamin laki-laki 5.615 jiwa (49,5%) (Potensi Desa Cibiru

    Wetan, 2005).

    Gambar 9 Anak-anak Desa Cibiru, Wetan

    Ukuran sebuah desa, jumlah penduduk Desa Cibiru Wetan tergolong besar.

    Salah satu faktor penyebabnya adalah desa tersebut relatif dekat dengan pusat-

    pusat keramaian (kota). Berbatasan dengan wilayah kota Bandung, keberadaan

    desa yang relatif tidak jauh dari pusat-pusat keramaian ini pada gilirannya

    membuat jumlah penduduknya berkembang pesat, khususnya di sekitar Jalan

    Raya Cibiru, sehingga penduduk yang bermukim di wilayah tersebut lebih padat

    ketimbang wilayah-wilayah lainnya. Dengan perkataan lain, wilayah desa bagian

    bawah relatif padat ketimbang wilayah bagian tengah dan bagian atas (lereng

    Gunung Manglayang), karena disamping bagian tengah dan atas relatif jauh dari

    pusat keramaian, kedua wilayah ini merupakan areal perladangan dan kawasan

    hutan lindung.

    Secara administratif dan teritorial, Desa Cibiru Wetan terbagi ke dalam 15

    kampung atau dusun dan 69 Rukun Tetangga (RT). Ke-15 kampung itu adalah:

    Cikoneng I, Cikoneng II, Cikoneng III, Pamubusan, Cibangkonol, Jadaria, Cibiru

    Tonggoh, Babakan Biru, Kudang, Sindang Reret, Warung Gede, Lio-Warung

    Gede, Ciendog/SPG, Cibiru Indah, dan Cibiru Raya. Wilayah kampung sekaligus

    merupakan wilayah Rukun Warga (RW). Oleh karena itu, jumlah kampung dan

    RW sama (15 buah). Setiap kampung diketuai oleh seorang yang disebut sebagai

    Ketua Kampung, kecuali Kampung: Cikoneng I, II, dan III. Ketiga kampung ini

    dikepalai oleh seorang kepala kampung. Berdasarkan Potensi Desa Cibiru Wetan

    Tahun 2005, jumlah rumah yang ada di desa tersebut ada 2.752 rumah. Tidak

    semua rumah berdinding tembok, berlantai semen dan atau keramik. Akan tetapi,

  • 13

    ada juga rumah panggung yang berdinding kayu atau bambu dan berlantai kayu.

    Rumah seperti ini jumlahnya sekitar 200-an buah (kurang dari 10%) dan berada di

    bagian desa yang letaknya dekat dengan lereng Gunung Manglayang. Jarak antar

    rumah bergantung daerah pemukimannya, pada daerah bawah umumnya jarak antar rumah berdekatan, malahan, banyak yang berhimpitan. Namun, semakin ke

    atas jarak antar rumah itu semakin renggang atau jauh. Pada daerah tengah dan atas jarak antar rumah yang berupa pekarangan itu umumnya ditanami tanaman buah dan tanaman hias.

    Berdasarkan golongan usia, masyarakat sekitar Batu Kuda memiliki

    presentase usia yang relatif didominasi oleh usia remaja. Bagi anakberusia 014 tahun terdapat 3.236 jiwa (28,54%), kemudian yang berusia 1554 tahuan ada 7.360 (64,93%), dan yang berusia 54 tahun ke atas 740 jiwa (6,52%). Ini

    menunjukkan bahwa penduduk Desa Cibiru Wetan sebagian besar berusia

    produktif.

    Pendidikan, Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Cibiru Wetan

    meliputi: Taman Kanak-kanak (TK) sejumlah 4 buah), Sekolah Dasar (SD)

    sejumlah 6 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sejumlah 1 buah, dan

    Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sejumlah 2 buah. Keempat TK tersebut

    yang jumlah gurunya ada 16 orang dapat menampung 172 siswa. Kemudian,

    keenam SD yang ada dapat menampung 1.461 siswa, dengan jumlah guru 45

    orang. Sedangkan, kedua SLTA yang memiliki guru sejumlah 75 orang dapat

    menampung 1.700 siswa. Sementara itu, jumlah guru dan siswa yang dapat

    ditampung oleh sebuah SLTP yang ada belum diketahui karena pihak desa belum

    mendatanya.

    Gambaran di atas menujukkan bahwa sarana pendidikan yang dimiliki oleh

    Desa Cibiru Wetan hanya sampai SLTA. Ini artinya, jika seseorang ingin

    melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, maka mesti keluar dari

    desanya. Meskipun demikian, sesungguhnya tidak perlu keluar dari Kota

    Bandung, karena tidak jauh dari desa tersebut ada perguruan tinggi, seperti Institut

    Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Jati yang berada di Cibiru dan

    Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jatinangor. Selain itu, di Kota Bandung

    sendiri juga banyak perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Sekitar

    kawasan batu kuda terdapat sekolah dasar yang letaknya cukup berdekatan dengan

    rumah masyarakat sekitar. Sekolah tersebut dirasakan masyarakat cukup berguna

    karena banyak anak mereka yang disekolahkan di sekolah tersebut.

    Tabel 1 Tingkat Pendidikan Desa Cibiru, Wetan No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

    1 Belum sekolah 1.419 12,51

    2 Tidak sekolah 63 0,55

    3 Tidak tamat SD 227 2,00

    4 Tamat SD/sederajat 2.823 24,90

    5 Tamat SLTP/sederajat 2.667 23,52

    6 Tamat SLTA/sederajat 2.200 19,44

    7 Tamat Akademi 1.246 10,99

    8 Tamat Perguruan Tinggi 691 6,09

    Jumlah 11.336 100,00

    Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan, 2005

  • 14

    Tabel di atas memperlihatkan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai oleh

    penduduk Desa Cibiru Wetan sebagian besar SD/sederajat (24,90%). Sebagian

    lainnya yang jumlahnya cukup besar adalah tamatan SLTP/sederajat (23,53%) dan

    tamatan SLTA/sederajat (19,44%). Sedangkan, yang menamatkan

    Akademi/Perguruan Tinggi hanya 17,08%.

    Jika dilihat berdasarkan golongan usia, maka penduduk yang berusia 014

    tahun ada 3.236 jiwa (28,54%), kemudian yang berusia 1554 tahuan ada 7.360

    (64,93%), dan yang berusia 54 tahun ke atas 740 jiwa (6,52%). Ini menunjukkan

    bahwa penduduk Desa Cibiru Wetan sebagian besar berusia produktif. Golongan

    umur tersebut secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

    Tabel 2 Karakteristik Golongan Umur Masyarakat

    No Golongan Umur Jumlah Persentase (%)

    1 04 1.049 9,25 2 59 978 9,62 3 1014 1.209 10,66 4 1519 1.315 11,60 5 2024 1.362 12,01 6 2529 1.292 11,39 7 3034 770 6,79 8 3539 716 6,31 9 4044 626 5,52

    10 4549 602 5,31 11 5054 677 5,97

    2.5.2 Budaya Masyarakat

    Budaya masyarakat sekitar kawasan masih terjaga hingga saat ini seperti

    adanya pagelaran tari sisingaan, kuda lumping dan kesenian Benjang. Sedangkan

    budaya luar yang masuk tidak memberikan pengaruh yang buruk untuk

    masyarakat sekitar, karena masyarakat sekitar menyerap perilaku budaya postif

    yang biasanya berasal dari pengunjung luar kawasan. Perilaku budaya luar yang

    positif dan diserap oleh masyarakat yaitu ketika diadakan pagelaran musik atau

    band masa kini, masyarakat cukup antusias dengan adanya pagelaran musik

    tersebut. Namun mereka juga tidak meninggalkan budaya lama mereka, dan

    justru mereka bertukar cerita mengenai budaya yang sudah ada di daerah mereka

    kepada pengunjung yang datang khususnya dari luar kawasan. Berikut kesenian

    yang meruapakan budaya masyarakat sekitar.

  • 15

    a. Tari Sisingaan

    Gambar 10 Tari Sisingaan di Desa Cibiru Wetan, Bandung Timur

    Tari sisingaan merupakan suatu kesenian yang berada di kawasan sekitar

    Batu Kuda. Tarian tersebut sama seperti kesenian sisingaan pada umumnya. Jika

    terdapat suatu acara besar seperti khitanan ataupun pernikahan maka kesenian

    tersebut tidak tertinggal untuk ditampilkan kepada khalayak ramai.

    Tari sisingaan merupakan salah satu jenis kesenian yang berasal dari Jawa

    Barat yang berupa keterampilan memainkan tandu berisi boneka singa

    berpenunggang. Tarian tersebut memiliki hubungan yang erat dengan bentuk

    perlawanan rakyat terhadap penjajah lewat binatang Singa kembar. Singa kembar

    merupakan lambang dari penjajah Belanda.

    Pertunjukan Sisingaan pada dasarnya dimulai dengan tetabuhan musik yang

    dinamis, lalu diikuti oleh permainan Sisingaan oleh penari pengusung sisingaan,

    lewat gerakan. Tari sisingaan di dalam perkembangannya, musik pengiring lebih

    dinamis dan melahirkan musik Genjring Bonyok dan juga Tardug. Pola penyajian

    Sisingaan meliputi :

    1. Tatalu (tetabuhan, arang-arang bubuka) atau keringan 2. Kidung atau kembang gadung 3. Sajian Ibingan di antaranya solor, gondang, ewang (kangsreng), catrik,

    kosong-kosong dan lain-lain

    4. Atraksi atau demo, biasanya disebut atraksi kamonesan dalam pertunjukan Sisingaan yang awalnya terinspirasi oleh atraksi Adem Ayem (genjring

    akrobat) dan Liong (barongsay)

    5. Penutup dengan musik keringan. Ada beberapa makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Sisingaan.

    Makna yang terkandung meliputi a) Makna sosial, masyarakat percaya bahwa

    jiwa kesenian rakyat sangat berperan dalam diri mereka, seperti egalitarian,

    spontanitas, dan rasa memiliki dari setiap jenis seni rakyat yang muncul. b)

    Makna teatrikal, dilihat dari penampilannya Sisingaan tak diragukan lagi sangat

    teatrikal, apalagi setelah ditambahkan berbagai variasi, seperti jajangkungan. c)

    Makna komersial, karena Sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan

    masyarakat maka antusiasme munculnya sejumlah puluhan bahkan ratusan

    kelompok Sisingaan dari berbagai desa untuk ikut festival, menunjukkan peluang

  • 16

    tersebut, karena si pemenang akan mendapatkan peluang bisnis yang

    menggiurkan. d) Makna universal, dalam setiap etnik dan bangsa seringkali

    dipunyai pemujaan terhadap binatang Singa (terutama Eropa dan Afrika),

    meskipun di Jawa Barat tidak terdapat habitat binatang Singa namun dengan

    konsep kerkayatan dapat saja Singa muncul bukan dihabitatnya dan diterima

    sebagai miliknya, terbukti pada Sisingaan. e) Makna Spiritual, dipercaya oleh

    masyarakat untuk keselamatan (salametan) atau syukuran.

    b. Kuda Lumping

    Gambar 11 Kesenian Kuda Lumping di Desa Cibiru Wetan, Bandung Timur

    Desa Cibiru Wetan yang terletak di kaki Gunung Manglayang, Kabupaten

    Bandung, Jawa Barat, masih terkenal dengan adanya kesenian kuda lumping yang

    memeriahkan berbagai hajatan atau khitanan. Kegemaran terhadap seni tersebut

    biasanya berlangsung secara turun-temurun. Kegiatan yang berhubungan dengan

    kuda lumping maupun kuda renggong berpusat di beberapa tempat yang sudah

    dikenal sebelumnya, misalnya saja kuda renggong yang dikenal banyak di daerah

    Sumedang. Kuda lumping masih sering muncul keberadaannya di sekitar

    Bandung Timur, konon katanya kesenian tersebut berlangsung secara turun-

    temurun dari leluhur mereka.

    Kesenian tersebut biasanya dilakukan oleh warga yang melakukan hajatan

    (sunatan). Biasanya diramaikan dengan bunyi-bunyian terompet dan gendang dan

    bila bunyi-bunyian tersebut terdengar penduduk sekitar, hal tersebut menandakan

    ada suatu keramaian, lantas hampir seluruh penduduk desa di kaki gunung

    tersebut tumpah ruah di depan rumah milik seorang warga yang akan menggelar

    acara hajatan tersebut.

    Sejak puluhan tahun silam atau mungkin lewat, khitanan di desa memang

    tak pernah lepas dari sebuah tradisi. Tradisi tersebut yakni upacara memandikan

    dan mengarak pengantin sunat atau anak yang akan dikhitan. Tradisi tersebut

    diawali dengan pembacaan mantra penolak bala oleh salah seorang tetua desa agar

    prosesi khitanan berjalan lancar dan sang anak terhindar dari berbagai gangguan

    dari Batara Kala.

    Antusiasme penonton yang sebagian besar warga pun meningkat. Kesenian

    kuda lumping yang dipertontonkan sanggar kuda lumping pun kerapkali diwarnai

  • 17

    berbagai atraksi magis. Unjuk kebolehan tersebut semuanya dalam pengawasan

    ahlinya atau disebut juga dengan pawang. Para penduduk biasanya mempercayai

    pawang tersebut memiliki kemampuan supranatural tinggi. Apalagi pemimpin

    sanggar kuda lumping tersebut biasanya cukup lama melatih anak-anak asuhnya

    untuk bermain kuda lumping dengan berbagai atraksi menakjubkan.

    Keramaian kuda lumping mencapai puncak ketika para pemain tampak

    kesurupan. Pemain dalam keadaan tanpa sadar, mereka melakukan hal-hal yang

    tak wajar seperti memakan ayam hidup-hidup atau beling (pecahan kaca). Hanya

    pawanglah yang nantinya dapat menghentikan segala atraksi tersebut, seperti hal

    memulainya. Para pemain kuda lumping dituntun untuk berbaring di atas tikar.

    Selanjutnya, pawang menyelimuti seluruh tubuh mereka dengan selembar kain.

    Setelah membacakan mantra, para pemain kuda lumping itu kembali sadar

    sediakala dan seolah tak pernah terjadi apa-apa

    c. Seni Benjang

    Gambar 12 Kesenian Benjang di Desa Cibiru Wetan, Bandung Timur

    Benjang adalah jenis kesenian tradisional Tatar Sunda, yang hidup dan

    berkembang di sekitar Kecamatan Ujungberung, Kabupaten Bandung hingga saat

    kini. Seni Benjang dalam pertunjukannya, selain mempertontonkan tarian yang

    mirip dengan gerak pencak silat, juga dipertunjukkan gerak-gerak perkelahian

    yang mirip gulat.

    Kesenian tradisional Sunda pada umumnya yang selalu mempergunakan

    lagu untuk mengiringi gerakan-gerakan pemainnya, demikian pula dalam seni

    benjang lagu memegang peranan yang cukup penting dalam menampilkan seni

    benjang. Lagu Rincik Manik dan Ela-Ela digunakan saat pemain benjang akan

    melakukan gerakan yang disebut dogong, yaitu permainan saling mendorong

    antara dua pemain benjang dengan mempergunakan halu (antan) dalam sebuah

    lingkaran atau arena. Pemain yang terseret ke luar garis lingkaran dalam dogong

    itu dinyatakan kalah.

    Gerakan dogong tadi kemudian berkembanglah gerakan seredan yaitu saling

    desak dan dorong seperti permainan sumo Jepang tanpa alat apa pun. Aturan

    dalam permainan tersebut, yang terdorong ke luar lingkaran dinyatakan kalah.

    Gerak seredan berkembang menjadi gerak adu mundur. Gerakan tersebut yang

  • 18

    dipergunakan adalah pundak masing-masing, jadi tidak mempergunakan tangan

    atau alat apa pun. Selain itu, ada pula yang disebut babagongan, yaitu gerakan

    atau ibingan para pemain yang mempertunjukkan gerakan mirip bagong (babi

    hutan) dan dodombaan yaitu gerakan atau ibing mirip domba yang sedang

    berkelahi adu tanduk.

    Peraturan untuk babagongan, dogong, seredan maupun adu mundur dan

    dodombaan adalah melarang pemain menggunakan tangan namun karena

    seringnya terjadi pelanggaran, terutama oleh pemain yang terdesak, tangan pun

    tak terhindarkan sering turut sibuk, meraih dan mendorong. Oleh karena itu,

    dalam peraturan selanjutnya tangan boleh dipergunakan dan terciptalah permainan

    baru yang disebut genjang.

    Benjang sebagai perkembangan dari permainan adu munding (kerbau), lebih

    mengarah pada permainan gulat. Gerakan Benjang di dalamnya terdapat gerakan

    piting (menghimpit) yang dilengkapi dengan gerak-gerak pencak silat. Apabila

    diperhatikan, bentuk dan gerakan seni genjang ini termasuk seni gulat tradisional.

    Tidak ada peraturan khusus mengenai lawan atau pemain, baik berat badan,

    maupun tinggi rendahnya pemain serta syarat-syarat lainnya. Sebagai

    pertimbangan hanyalah keberanian dan kesanggupan menghadapi lawan.

    Peraturan satu-satunya adalah apabila lawan tidak dapat membela diri dari

    himpitan lawannya dalam keadaan terlentang, dalam keadaan demikian maka

    pemain tersebut dinyatakan kalah. Selanjutnya permainan terus berjalan dengan

    silih berganti pasangan. Akhirnya, istilah genjang berubah menjadi benjang.

    Waditra yang dipergunakan adalah terebang, kendang, bedug, tarompet dan

    kecrek. Lagu-lagu yang dibawakan di antaranya Kembang Beureum, Sorong

    Dayung, dan Renggong Gancang. Pertunjukkan diselenggarakan di tempat

    terbuka seperti halaman rumah dan lapangan. Pertunjukan dimulai pada malam

    hari pukul 20.00.

    Pertunjukkan benjang dalam perkembangannya, dilengkapi dengan kesenian

    lain seperti badudan, kuda lumping, bangbarongan, dan topeng benjang. Seni

    benjang kemudian melebar hingga ke Desa Cisaranten Wetan, Desa Cisaranten

    Kulon, Kecamatan Buahbatu, Kecamatan Majalaya, dan Kecamatan Cicadas,

    Kota Bandung.

    Seni Benjang memiliki suatu keistimewaan disamping mempunyai teknik-

    teknik kuncian yang mematikan, benjang mempunyai teknik yang unik dan cerdik

    atau pada keadaan tertentu bisa juga dikatakan licik dalam hal seni beladiri,

    misalnya dalam teknik mulung yaitu apabila lawan akan dijatuhkan ke bawah,

    maka ketika posisinya di atas, lawan yang di angkat tadi dengan cepat merubah

    posisinya dengan cara ngabeulit kaki lawan memancing agar yang menjatuhkan

    mengikuti arah yang akan dijatuhkan, sehingga yang mengangkat posisinya

    terbalik menjadi di bawah setelah itu langsung yang diangkat tadi mengunci

    lawannya sampai tidak berkutik.

    2.5.3 Matapencaharian

    Mayoritas penduduk di sekitar kawasan berasal dari etnik sunda. Sebagian

    besar masyarakat (kurang lebih 75%) di sekitar kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    bermata pencaharian di bidang pertanian (Land Based Activities) dan perternakan.

    Namun yang lebih mendominasi yaitu dibidang perternakan sebannyak 40 %

    Secara ekonomi terjadi perubahan yaitu seperti memberikan lapangan pekerjaan

  • 19

    contohnya dari sebagian masyarakat cukup banyak yang menjadi pedagang dan

    tour guide atau petunjuk arah. Sedangkan sisi negatif dari ekonomi belum

    dirasaka oleh masyarat karena harga bahan pokok ataupun kebutuhan wisata

    masih terlampau stabil.

    Gambar 13 Usaha Warung

    Mata pencaharian yang dilakukan oleh warga masyarakat kampung

    Cikoneng diluar kawasan lingkungannya cukup bervariasi. Bervariasinya jenis

    mata pencaharian itu sangat erat kaitannya dengan letak desa yang langsung

    berbatasan dengan wilayah kota, yaitu Kota Bandung yang tidak hanya sebagai

    pusat pemerintahan, tetapi juga pusat-pusat yang lain, termasuk

    ekonomi/perdagangan. Selain itu, tidak jauh desa ini (kurang lebih 410 Km), tepatnya di daerah Cilengkarang, Rancaekek, dan Ujungberung sendiri,

    bermunculan berbagai macam industri, antara lain tekstil.

    Peranan Kota Bandung sebagai pusat berbagai kegiatan, ditambah juga dengan

    letaknya yang tidak jauh dengan kawasan industri, tentu akan berdampak baik pada usaha yang dilakukan oleh warga masyarakat desa-desa yang ada di

    sekitarnya, termasuk Desa Cikoneng. Oleh sebab itu, mata pencaharian yang

    dilakukan oleh warga masyarakat Desa Cikoneng cukup beragam. Walaupun

    demikian, mata pencaharian di sektor pertanian (petani, buruh tani, dan peternak)

    merupakan yang terbesar. Selain itu, ada juga masyarakat yang bermata

    pencaharian sebagai pengrajin. Keragaman mata pencaharian masyarakat

    kampung Cikoneng diantaranya adalah :

    Berladang. Berdasarkan Potensi Desa Cibiru Wetan Tahun 2005, penduduk

    yang bekerja di sektor pertanian (perladangan) tercatat 1.597 orang. Dari jumlah

    itu sebagian besar (1.051 orang atau 65,81%) mempunyai tanah perladangan.

    Sedangkan, selebihnya (546 orang atau 34,19%) tidak memilikinya. Dari jumlah

    yang memiliki tanah perladangan itu sendiri hanya sebagian kecil yang ladangnya

    mencapai 1 Ha lebih (20 orang atau 1,25%). Selebihnya (1.031 orang atau

    64,56%) adalah peladang yang pemilikannya kurang dari 1 Ha. Meskipun

    demikian, yang sama sekali tidak memiliki tanah perladangan dapat saja

    menggarap perladangan melalui berbagai cara. Misalnya, sistem sewa dan atau

    maro (nengah). Jika cara yang diambil adalah sistem sewa, maka untuk 100

  • 20

    tumbak (satu tumbak sama dengan 14 meter persegi) penyewa harus membayar

    sejumlah Rp50.000,00 per sekali penanaman. Namun, jika yang diambil dalam

    maro atau nengah adalah sistem bagi hasil, maka modal penggarapan dibagi dua,

    tetapi yang menggarap adalah penengah. Hasilnya dibagi dua antara pemilik dan

    penengah.

    Kawasan kaki Gunung Manglayang banyak dijumpai areal perladangan,

    termasuk di sebagian wilayah Desa Cibiru Wetan, tepatnya di Kampung Cikoneng

    I, II, dan III. Keempat kampung tersebut memang letaknya di kawasan kaki

    Gunung Manglayang. Kemiringan tanahnya yang cukup tajam ditambah dengan

    keterbatasan sumber airnya pada gilirannya membuat warga setempat sulit untuk

    mengusahakan pertanian dengan sistem irigasi (sawah). Oleh karena itu, mereka

    melakukan perladangan karena tanaman ladang tidak membutuhkan air yang

    begitu banyak dibanding sawah. Sedangkan, jenis tanaman yang dibudidayakan

    oleh mereka adalah padi ladang, cabe, jagung, kubis, dan kopi. Kegiata

    masyarakat dalam berladang dapat terlihat pada gambar.

    Gambar 14 Matapencaharian Penduduk (Berladang)

    Penjualan berbagai hasil panen perladangan umumnya melalui tengkulak

    yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai bandar. Bandar dapat

    dikategorikan berdasarkan apa yang diperjualbelikan. Dengan demikian, ada

    bandar jagung, sayur-mayur, buah-buahan, dan lain sebagainya. Mereka keluar-

    masuk kampung sehingga tahu persis masa-masa panen. Selain itu tidak hanya itu

    saja, mereka juga mengetahui peladang yang langsung menjual hasil panennya

    dan peladang yang menjualnya dikemudian hari.

    Beternak. Warga Kampung Cikoneng I, II, dan III yang tergabung dalam

    Desa Cibiru Wetan tidak hanya berladang, tetapi juga berternak. Ternak yang

    diusahakan oleh mereka adalah sapi-perah, ayam, domba, dan kerbau. Usaha yang

    pada mulanya hanya merupakan sampingan ini lama-kelamaan menjadi penting,

    sejak kawasan puncak Gunung Manglayang dilanda longsor. Kelongsoran yang

    terjadi tahun 1977 pernah membuat sebagian besar areal perladangan menjadi

    rusak. Pihak pemerintah menganggap bahwa longsornya kawasan itu disebabkan

    oleh gundulnya hutan karena banyaknya areal perladangan, sehingga ketika hujan

    lebat tidak ada pepohonan yang menahannya, lalu terjadilah kelongsoran. Untuk

    itu, agar tidak terjadi longsor lagi, setahun kemudian (1978) pemerintah

    menjadikan wilayah sekitar puncak Gunung Manglayang sebagai kawasan hutan

    lindung. Hutan lindung itu, 30 Ha diantaranya, berada di wilayah Desa Cibiru

    Wetan, tepatnya di Kampung Cikoneng I. Kemudian, agar warga kampung yang

    bersangkutan secara bertahap meninggalkan usahanya sebagai peladang, maka

    pemerintah menyediakan kredit pemilikan sapi-perah melalui Bank Rakyat

  • 21

    Indonesia (BRI) yang pelaksanaannya diserahkan Koperasi Unit Desa (KUD)

    yang berada di Cilengkrang. Mata pencaharian berternak masyarakat dapat terlihat

    pada gambar.

    Gambar 15 Matapencaharian Penduduk (Berternak)

    Tahun demi tahun usaha di bidang peternakan ini, khususnya sapi-perah,

    menunjukkan keberhasilan, sehingga sedikit demi sedikit banyak warga yang

    mulai meninggalkan usahanya sebagai peladang, karena hasilnya lebih

    menjanjikan ketimbang berladang. Pada saat penelitian ini dilakukan jumlah sapi-

    perah yang berada di desa Cikoneng I mencapai 1.424 ekor, dengan produksi

    sekitar 4.500 liter per hari.

    Pengrajin. Selain dibidang pertanian dan perternakan sapi. Terdapat

    masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai pengerajin peralatan dapur.

    Hasil kerajinan tangan mereka sudah dipasarkan hingga keluar bandung. Hal ini

    cukup membatu masyarakat dalam perekonomian. Adapun masyarakat yang

    hanya ikut dalam pengelolaan wana wisata batu kuda dan tidak memiliki mata

    pencaharian lain serta sangat bergantung dengan kawasan tersebut.

    Gambar 16 Matapencaharian Penduduk (Pengrajin)

    Mayoritas penduduk di sekitar kawasan berasal dari etnik sunda. Sebagian

    besar masyarakat (kurang lebih 75%) di sekitar kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    bermata pencaharian di bidang peternakan dan pertanian , sehingga memerlukan

    lahan dalam pelaksanaan kegiatannya sehari hari. Masyarakat sekitar kawasan

  • 22

    bermatapencaharian sebagai peternak sudah sejak lama. Hewan yang diternakan

    yaitu sapi.

    Gambar 17 Aktivitas mencari pakan ternak

    Jenis-jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh warga masyarakat Desa

    Cibiru Wetan sangat beragam. Mereka tidak hanya bertumpu pada sektor

    pertanian, sebagaimana lazimnya sebuah desa. Akan tetapi, ada yang bekerja

    sebagai pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, seperti: kelurahan,

    kecamatan, pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Kemudian,

    ada juga yang berjualan di Pasar Ujungberung, Cileunyi, dan di rumah sebagai

    pedagang kelontong. Dan, ada juga yang membuat keranjang bambu atas pesanan

    perusahaan kecap dan para petani sayur yang ada di Lembang. Selain itu, masih

    banyak jenis matapencaharian lainnya, seperti: penjahit, montir, peternak,

    peladang, dan lain sebagainya. Berikut merupakan tabel presentase

    matapencaharian masyarakat sekitar kawasan :

    Tabel 3 Pekerjaan Masyarakat Desa Cibiru, Wetan

    No Pekerjaan Presentase

    1 Pegawai Negeri 346

    2 Petani 204

    3 Buruh Tani 532

    4 Buruh/swasta 472

    5 Pengrajin 68

    6 Pedagang/warung 196

    7 Penjahit 5

    8 Peternak 861

    Sumber: Potensi Desa Cibiru Wetan, 2005

    Peranan Kota Bandung sebagai pusat berbagai kegiatan, ditambah dengan

    relatif tidak jauhnya dengan kawasan industri, tentunya akan berimbas pada usaha yang dilakukan oleh warga masyarakat desa-desa yang ada di sekitarnya,

    termasuk Desa Cibiru Wetan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mata

    pencaharian yang digeluti oleh warga masyarakat Desa Cibiru Wetan cukup

    beragam, sebagaimana yang terlihat pada tabel di atas. Walaupun demikian, mata

    pencaharian di sektor pertanian (petani, buruh tani, dan peternak) merupakan yang

    terbesar. Jumlah keseluruhannya mencapai 1.597 jiwa (58,80%).

  • 23

    2.6 Prasarana, Sarana, dan Fasilitas

    Fasilitas wisata yang disediakan guna memberi kenyamanan dan kepuasan

    bagi pengunjung. Fasilitas tersebut antara lain adalah papan petunjuk, loket karcis,

    jalan setapak, MCK, instalasi air, mushola,bangku, shelter, tempat parkir, tempat

    sampah, gapura, dan papan nama. Prasarana, sarana, dan fasilitas sebagian besar

    diperoleh dari Perhutani dan dibuat dengan bantuan masyarakat sekitar kawasan.

    Tabel 4 Fasilitas, Sarana dan Prasarana di Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    No.

    Nama

    Prasarana,

    Sarana

    atau

    Fasilitas

    Gambaran Umum Dokumentasi

    1. Papan

    Petunjuk

    Arah

    Papan petunjuk arah yang

    menginformasikan dimana

    letak suatu obyek beserta

    jaraknya namun ada sebagian

    papan petunjuk tidak

    mencantumkan jarak sesuatu

    yang akan dituju. Petunjuk arah

    dibuat dari bahan kayu dan

    seng yang ditulis menggunakan

    cat berwarna, sebagian

    berwarna putih dengan tulisan

    berwarna hitam dan berwarna

    hijau dengan tulisan berwarna

    putih. Jumlahnya +4 buah

    papan petunjuk arah yang

    diletakkan di pohon-pohon

    pinus yang menyebar di

    kawasan.

    3. Jalan

    Setapak

    jalan setapak terdapat dua tipe.

    Tipe pertama jalan setapak

    diberi bebatuan dengan tujuan

    agar tidak tergenang air, jalan

    setapak berbatu tersebut berada

    di sepanjang jalan mulai dari

    loket karcis pertama sampai

    dengan tempat parkir. Tipe

    kedua jalan setapak yang

    dibiarkan saja beralaskan tanah

    dengan tujuan untuk lebih

    menambah keasrian dan

    kealamian tempat tersebut.

    Jalan setapak tipe kedua

    terletak di dalam kawasan.

  • 24

    No.

    Nama

    Prasarana,

    Sarana

    atau

    Fasilitas

    Gambaran Umum Dokumentasi

    4

    5

    6

    7

    8

    Mushola

    Bangku

    Gapura

    Tempat

    duduk

    Tempat

    sampah

    Fasilitas mushola yang terbuat

    dari bahan semen dengan

    jendela terbuat dari kaca.

    Mushola memiliki ukuran 3 x3

    meter. Letaknya dekat dengan

    MCK dan basecamp yang

    terdapat di kawasan. Letaknya

    dekat dengan MCK dengan

    tujuan agar pengguna lebih

    mudah untuk berwudhu dan

    langsung melakukan ibadah.

    Bangku terbuat dari bahan

    kayu atau batang kayu yang

    permukaannya dihaluskan

    sehingga bagian atas yang

    diduduki berbentuk setengah

    lingkaran.

    Kawasan Batu Kuda juga

    memiliki fasilitas gapura dan

    papan nama kawasan. Papan

    nama terbuat dari bahan kayu

    yang backgroundnya dicat

    berwarna hijau dengan tulisan

    berwarna putih dan terletak

    digantung pada gapura. Terbuat

    dari bahan kayu sebagai tanda

    bahwa pengunjung telah

    memasuki kawasan batu kuda.

    Terbuat dari bambu yang

    biasanya terletak di dekat

    warung dalam kawasan wisata. Tempat sampah terbuat dari

    semen.

    2.7 Aksesibilitas

    Kawasan Wana Wisata Batu Kuda dapat dicapai dengan Kecamatan Ujung

    Berung (9 km), Cicadas (13 Km), dan dari Kabupaten atau Kota Bandung (20

    Km), dan dari Garut (50 Km). Kondisi jalan umumnya beraspal dan baik sehingga

    relatif dapat dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Sarana

    transportasi umum yang ada berupa kendaraan ojeg dan colt carteran. Akses

    termudah untuk mencapai wilayah ini adalah apabila menggunakan jalan masuk

    melalui pangkalan ojeg (sebelah kiri) sebelum Terminal Cileunyi setelah habis

  • 25

    jalan percobaan (jalan dua arah) dari arah Kota Bandung. Dengan Patokan

    pangkalan ojeg dan mengambil jalan lurus sepanjang 8 km, maka ujung jalan

    merupakan gerbang utama Wana Wisata Batu Kuda. Keadaan jalan dari

    pangkalan ojeg menuju pintu gerbang kawasan merupakan jalan beraspal yang

    rusak dan banyak ditemukan lubang-lubang karena telah lama aksesibilitas

    tersebut tidak diperbaiki, sehingga aksesibilitas cukup menantang dengan keadaan

    jalan yang rusak tersebut. Berikut merupakan gambaran aksesibilitas menuju

    kawasan Wana Wisata Batu Kuda :

    Gambar 18 Aksesibilitas menuju Wana Wisata Batu Kuda

    Tabel 5 Jalur Aksesibilitas Menuju Kawasan Wana Wisata Batu Kuda

    No Jalur Alat trasnportasi Jarak

    Lama

    Waktu

    Tempuh Biaya

    1 Terminal

    Cicaheum

    Angkot 20 Km 1 Jam Rp. 3.000,-

    2 Cileunyi Damri 11 Km 30 Menit Rp. 3.000,-

    3 Cinunuk Indah Ojek 9 Km 45 Menit Rp. 10.000,-

    Kawasan wisata Batu Kuda apabila ditempuh dari kota Bandung bisa

    memakan waktu selama 2 jam, Apabila para pengunjung ingin ke lokasi dengan

    menggunakan kendaraan umum bisa menggunakan bus Damri, pengunjung hanya

    mengeluarkan uang sebesar Rp 3.000,00 berhenti di gang desa Cibiru Wetan dan

    melanjutkan perjalanan dengan menggunakan ojeg. Dari pangkalan ojeg

    menempuh perjalanan selama 8 km yang memakan waktu selama 1 jam dari

    pangkalan ojeg sampai kawasan wisata. Biaya yang dikeluarkan menggunakan

    ojeg hanya diminta Rp 10.000,00 per orang walaupun pengunjung bisa

    menggunakan satu motor bertiga dengan supir tetap hitungan per orang Rp

    10.000,00.

  • 26

    2.8 Sumberdaya Wisata

    Sumberdaya wisata yang terdapat di kawasan Batu Kuda memiliki daya

    tarik yang beragam yaitu seperti pemandangan alam yang sangat indah dan

    berpotensi untuk dijadikan obyek berfoto. Selain itu adapun bumi perkemahan

    yang digunakan pengunjung dalam melakukan kegiatan bermalam di lokasi Batu

    kuda, objek flora dan fauna yang berada dikawasan seperti pohon pinus yang

    cukup banyak dijumpai juga cukup menarik.

    Batu kuda merupakan sumberdaya wisata utama pada kawasan wana wisata

    batu kuda karena Keberadaan Batu Kuda memiliki aspek legend of history yang

    khas sebagai sempalan dari cerita pembentukan Danau Bandung dan Tangkuban

    Parahu melalui Legenda Sangkuriang. Legenda sejarah yang unik itu oleh

    sebagian masyarakat telah di paten menjadi sesuatu yang amat sakral dan suci.

    Inilah yang menjadikan sebagian masyarakat yang akan menapaki ke wilayah

    Batu Kuda diharuskan untuk berwudhu dengan harapan agar selamat dan

    diberkahi selama menjelajahi patilasan tersebut. Objek wisata ini belum begitu

    diketahui oleh banyak orang karena promosinya yang kurang. Walaupun

    demikian objek wisata ini tetap memiliki daya tarik dan potensi yang dapat

    dikembangkan.

    Gambar 19 Keadaan Alam

    Keadaan alam yang indah, nyaman, dan berhawa sejuk ditambah legenda

    yang ada, pada gilirannya membuat daerah di sekitar Batu Kuda (sesungguhnya

    tidak hanya semata karena ada Batu Kuda melainkan juga ada batu berbentuk

    gunung yang diberi nama Batu Gunung yang tingginya mencapai 15 meter) dan

    makam Sang Raja, banyak dikunjungi orang dengan tujuan yang berbeda-beda.

    Ada yang hanya sekedar menikmati keindahan alamnya yang penuh dengan

    pohon cemara; ada yang hanya berziarah; dan ada pula yang berziarah sambil

    menikmati keindahan alam. Para pengunjung yang tujuannya hanya sekedar

    rekreasi (menikmati keindahan alamnya) biasanya datang pada hari-hari libur

    (Sabtu dan Minggu). Sementara, para pengunjung yang tujuannya berziarah dan

    atau berziarah sambil menikmati keindahan alamnya tidak terbatas pada hari-hari

    libur.

    Para peziarah meyakini bahwa Batu Kuda dan Batu Gunung yang

    mencengangkan serta makam Sang Raja berkeramat, sehingga mempunyai

    kekuatan gaib. Oleh karena itu, dibalik berziarah punya keinginan-keinginan

    tertentu, seperti ingin cepat memperoleh jodoh, usaha lancar, dan naik pangkat

    (memperoleh jabatan).Untuk itu, sebelumnya mereka mesti berhubungan dengan

  • 27

    Sang Kuncen karena ada pantangan-pantangan yang harus diperhatikan. Malahan,

    seringkali para peziarah minta bantuan atau memanfaatkan jasa Sang Kuncen

    untuk mencapai apa yang diinginkan karena Sang Kuncen sangat menguasai

    prosesi upacara perziarahan beserta perlengkapannya. Jadi, para peziarah mesti

    menyediakan sesaji yang berupa: telor, gula, kopi, rujak asem, rujak kelapa,

    cerutu, kelapa muda, sirih, gambir, dan kapur pinangan.

    Gambar 20 Sisa Puing Sesajen

    Selain itu, uang (bergantung kemampuan dan keihklasan peziarah) sebagai

    tanda terima kasih. Berkenaan dengan ziarah ini ada pantangan-pantangan yang

    mesti dipatuhi, yakni: (1) Dilarang berziarah pada Senin dan Kamis; (2) Tidak

    boleh berbuat sembarangan seperti: menaiki, mencoret-coret, memotret Batu

    Kuda, Batu Gunung, dan pemakaman; dan (3) Tidak boleh berbicara sembarangan

    di sekitar areal Batu Kuda. Pantangan-pantangan itu jika dilanggar dapat

    menyebabkan si pelanggar mengalami sesuatu yang tidak diinginkan (musibah).

    2.9 Potensi Wisata Kawasan wisata Batu Kuda merupakan kawasan yang sangat berpotensi

    apabila dilihat dari segi sumberdaya alam yang dimiliki oleh kawasan. Beragam

    kegiatan wisata dapat dilakukan di kawasan tersebut dengan memanfaatkan

    sumberdaya alamnya.

    Kegiatan wisata yang telah dikelola dengan baik di kawasan adalah kegiatan

    wisata berkemah (camping). Pengelola telah menyediakan fasilitas camping

    ground serta tempat penyewaan tenda ataupun peralatan berkemah. Sebagian

    besar wisatawan yang berkunjung ke kawasan dalam kelompok besar memilih

    untuk kegiatan berkemah. Kawasan wisata batu kuda bahkan memiliki pelanggan

    yang secara rutin setiap satu tahun sekali melakukan kegiatan berkemah.

    Ticketing pun telah dikelola dengan baik bagi wisatawan yang ingin berkemah

    dikenakan biaya yang berbeda dengan wisatawan yang melakukan kegiatan selain

    berkemah

  • 28

    Selain kegiatan berkemah atau kemping di kawasan Wana Wisata Batu

    Kuda terdapat kegiatan lainnya, kegiatan tersebut merupakan kegiatan minat

    khusus yang dilakukan wisatawan seperti bersepeda gunung, tracking, atau

    mendaki gunung Manglayang. Wisatawan yang melakukan kegiatan tersebut tidak

    dapat diprediksi bahkan dalam setiap minggunya ada beberapa hari wisatawan

    yang melakukan kegiatan sepeda gunung. Terdapat kelemahan dalam setiap

    kegiatan tersebut, belum adanya suatu pengelolaan yang baik untuk mengatur

    kegiatan tersebut yang akan dilakukan di dalam kawasan. Areal penitipan sepeda

    ketika wisatawan beristirahat tersedia hanya untuk beberapa puluh sepeda saja,

    sedangkan rombongan wisatawa yang dpaat lebih dari kapasitas fasilitas yang

    telah disediakan. Kegiatan tracking ataupun mendaki gunung belum tersedianya

    ticketing yang terpisah dengan kegiatan lainnya, kegiatan tersebut sangat

    menantang sehingga membutuhkan biaya lebih untuk melakukan kegiatan tersebut

    dengan tujuan penambahan dalam biaya asuransi yang diberikan untuk kecelakaan

    yang terjadi.

    Gambar 21 Kegiatan Camping di Batu Kuda

  • 29

    Gambar 22 Kegiatan Wisata Alam Bersepeda dan Tracking di Wana WisataBatu Kuda

    Kawasan wisata batu kuda dulunya memiliki kegiatan ATV yang bisa

    dilakukan, sampai saat ini jalur tracknya masih ada dan terbengkalai sehingga

    track tersebut sangat disayangkan menjadi lahan yang tidak dimanfaatkan sama

    sekali. Kegiatan ATV merupakan kegiatan yang dapat dijadikan daya tarik untuk

    menarik wisatawan datang ke kawasan karena tidak semua kawasan wisata

    menyediakan kegiatan tersebut. Namun kawasan wisata batu kuda menghentikan

    kegiatan tersebut dikarenakan memiliki kendala yaitu penyediaan mobil ATV

    yang sudah tua dan terdapat kerusakan serta penyediaan bahan bakar untuk mobil

    tersebut. Apabila dapat dikelola kembali akan menambah pendapatan kawasan

    wisata yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan kegiatan lainnya.

  • 30

    3 METODE PRAKTIK

    3.1 Waktu dan Lokasi Praktik

    Praktek Pengelolaan Ekowisata dilaksanakan selama 14 hari efektif dimulai

    pada tanggal 27 Juni hingga 12Juli 2012. Lokasi Praktek Pengelolaan Ekowisata

    yaitu di Wana Wisata Batu Kuda, Gunung Manglayang. Bandung Utara.

    3.2 Alat dan Bahan

    Pelaksanaan Praktek Pengelolaan Ekowisata menggunakan alat dan bahan

    untuk mendukung kegiatan praktek pengelolaan. Adapun Alat dan bahan yang

    digunakan digunakan dapat dilihat pada (Tabel 1).

    Tabel 6. Kegiatan Selama Praktik Pengelolaan Ekowisata

    Hari

    ke Kegiatan Tugas Keterangan

    1-2 Adaptasi

    Pengenalan Umum

    Kelompok/

    Perorangan

    Diskusi dengan

    pengelola mengenai

    informasi awal lokasi

    praktek

    3 Pengumpulan Data Sekunder Kelompok/

    Perorangan

    Informasi dan kondisi

    umum dari pengelola

    (arsip-arsip, peta

    wisata, dll)

    4 Pengumpulan Data Primer Perorangan a. Pelayanan

    b. Kondisi sarana dan

    prasarana serta

    fasilitas wisata

    c. Evaluasi kepuasan

    pengunjung/

    wisatawan

    5 Evaluasi Point Kegiatan 1 sampai 5

    Merumuskan ide atau gagasan untuk optimasi

    dan pengembangan kegiatan pengelolaan

    Kelompok/

    Perorangan

    Diskusi secara

    berkelompok

    mengenai data dan

    informasi yang telah

    diperoleh

    6-13 Bekerja/ tugas bersama petugas

    Mengikuti Standard Of Procedure (SOP)

    Mengaplikasikan ide dan gagasan pada point 5

    dan sosialisasikan kepada petugas

    Perorangan Menerapkan gagasan

    optimasi yang telah

    didiskusikan pada hari

    ke 6

    14 Evaluasi Umum Kelompok/

    Perorangan

    Evaluasi kegiatan

    praktek secara

    keseluruhan

    3.2 Pendekatan Metode Praktik

    Praktik Pengelolaan Ekowisata ini dilaksanakan dengan menggunakan

    pendekatan: (1) mengenal, (2) belajar dan (3) bekerja. Pada tahap mengenal,

    peserta praktik dituntut untuk mengetahui secara baik tentang karakteristik areal

    praktik dan karakteristik manajemen pengelolaan wisata tersebut. Pada tahap

    belajar, peserta praktik dituntun untuk mampu ikut melaksanakan serangkaian

    kegiatan pengelolaan sesuai dengan berbagai standar yang diterapkan oleh

    manajemen. Sedangkan tahap bekerja, peserta praktik dituntut untuk mampu

  • 31

    bekerja melaksanakan kegiatan pengelolaan (yang dipilih atau ditentukan) secara

    mandiri sesuai dengan standar kinerja yang telah ditetapkan.

    Proses pengenalan berbagai karakteristik tentang areal dan sistem

    pengelolaan yang ada dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui

    pengumpulan data sekunder dan pengumpulan data primer. Data tentang

    manajemen seperti status kepemilikan, struktur organisasi, sumberdaya wisata,