VI-56 PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) MARET 2005 TERHADAP PROFITABILITAS USAHA JASA ALSINTAN DAN USAHATANI PADI (Kasus Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur) Pantjar Simatupang, Ketut Kariyasa, Sudi Mardianto, dan M. Maulana PENDAHULUAN I. Latar Belakang Minyak bumi merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Berarti, penggunaan secara terus-menerus menyebabkan semakin menipisnya persediaan minyak bumi. Globalisasi dan industrialisasi menyebabkan kebutuhan bahan bakar minyak semakin tinggi. Sementara kapasitas produksinya tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhannya. Akibatnya, sepanjang tahun 2005, harga minyak di pasar dunia melonjak dan sampai Agustus 2005 harga minyak dunia bertahan diatas level 55 US$/barel. Tingginya harga minyak dunia ini menyebabkan beban subsidi pemerintah semakin berat. Pola subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang selama ini diterapkan ternyata malah menjadi penambah beban keuangan negara. Kenaikan harga BBM merupakan sebuah konsekuensi dari melonjaknya harga minyak dunia. Kenyataan ini tertuang dalam APBN 2005 yang terus mengalami revisi sebagai penyesuaian meningkatnya harga minyak dunia. Bahan Bakar Minyak merupakan faktor produksi penting bagi berbagai kegiatan sektor perekonomian tak terkecuali sektor pertanian. BBM digunakan untuk mesin-mesin penggerak produktif seperti kendaraan bermotor angkutan umum, traktor, industri pengolahan dan generator pembangkit listrik. Mengingat peran yang amat strategis dari BBM terhadap perekonomian nasional, maka pemerintah mengendalikan penyaluran dan harga BBM. Namun demikian, dalam rangka mengurangi beban subsidi, pemerintah secara periodik melakukan penyesuaian harga BBM agar mendekati harga keseimbangannnya. Pada bulan Maret 2005, pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM sehingga harga BBM utamanya Solar mengalami kenaikan yang cukup tajam yaitu sebesar 21,93 persen.
35
Embed
PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) MARET 2005 TERHADAP ...pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_VI_03.pdf · menyebabkan kebutuhan bahan bakar minyak semakin
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
VI-56
PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) MARET 2005 TERHADAP PROFITABILITAS USAHA JASA ALSINTAN
DAN USAHATANI PADI
(Kasus Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur)
iii XP ............................................. (3)
dimana :
π = keuntungan TR = total penerimaan TC = total biaya P = harga output Q = jumlah output TFC = total biaya tetap TVC = total biaya variabel FCI = jenis biaya tetap ke-i PI = harga input ke-i XI = jumlah input ke-i
Kriteria : Bila π > 0: usahatani layak Bila π < 0: usahatani tidak layak 2) R/C ratio atau rasio penerimaan dan biaya
R/C = TR / TC
dimana : TR = total penerimaan TC = total biaya
Kriteria : Bila R/C > 1 usahatani layak Bila R/C < 1 usahatani tidak layak
VI-61
HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Traktor Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005 Traktor digunakan untuk pengolahan tanah sampai siap tanam. Hingga
kini, penggunaan traktor untuk pengolahan sawah telah berkembang hampir
menyeluruh di daerah persawahan padi di Indonesia baik di daerah kekurangan
tenaga kerja maupun di daerah yang cukup tenaga kerja. Pertimbangan petani
untuk menggunakan traktor diantaranya adalah lebih cepat bila dibandingkan
tenaga kerja manusia ataupun ternak, sehingga jadual tanam yang ketat dan
serempak dapat terealisir, biaya pengolahan tanah per hektarnya lebih murah bila
dibanding tenaga kerja manusia ataupun ternak, dan kesulitan mencari tenaga
kerja manusia ataupun ternak untuk pengolahan sawah (Simatupang et al, 1994).
Pada usahatani padi di lahan sawah jenis traktor yang banyak digunakan oleh
petani adalah traktor tangan (hand tractor) dibandingkan dengan traktor mini
(traktor roda empat). Hal ini disebabkan traktor tangan harganya lebih murah dan
pengorerasiannya relatif lebih mudah.
Di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur traktor tangan yang digunakan baik
untuk perorangan maupun usaha jasa persewaan banyak dijumpai merupakan
buatan Cina, salah satunya adalah traktor tangan bermerk Dong Feng dengan
tenaga mesin 8.5 PK. Pertimbangan utama petani untuk menggunakan traktor
tangan buatan Cina dibandingkan dengan buatan lainnya seperti merk Kubota dari
Jepang adalah harga belinya yang lebih murah.
Sebelum kenaikan harga BBM Maret 2005, biaya operasional traktor
tangan mencapai Rp. 100.087/ha. Komponen biaya terbesar dalam biaya
operasional traktor tersebut adalah upah operator yang mencapai Rp. 45.000/ha
atau 44.96 persen dari total biaya operasional. Upah operator ini dihitung sebesar
15 persen dari sewa traktor. Komponen biaya bahan bakar solar merupakan
komponen biaya operasional terbesar kedua yang mencapai Rp. 39.000/ha atau
sekitar 39 persen. Sementara komponen biaya perawatan dan oli hanya sekitar 16
persen.
Sistem pengupahan jasa traktor adalah borongan per satuan luas. Rata –
rata per hektar luasan sawah ongkos sewa traktor mencapai Rp. 300.000. Dengan
ongkos sewa tersebut, laba bersih yang diperoleh pengusaha traktor sekitar Rp.
VI-62
184.000/ha. Jika penyusutan dimasukan dalam perhitungan biaya total yang per
tahunnya mencapai Rp. 16.000, maka rasio pendapatan dengan biaya total (RC
rasio dengan biaya total) adalah sebesar 2.58 (Tabel 1).
Tabel 1. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Traktor di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Kenaikan BBM Setelah Kenaikan BBM Perubahan
Uraian Satuan Vol. Harga Nilai (Rp) Share
(%) Vol. Harga Nilai (Rp) Share (%) Harga Nilai (Rp) %
3. Penerimaan Kotor Rp 300,000 360,000 - 60,000 20.00
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 199,913 201,658 - 1,745 0.87
5. Penyusutan Rp 16,000 16,000 - - -
6. Laba Bersih Rp 183,913 185,658 - 1,745 0.95
7. RCR 3.00 2.27 - (0.72) (24.15)
8. Biaya Total Rp 116,087 174,342 58,255 50.18
9. RCR Dengan Biaya Total 2.58 2.06 - (0.52) (20.10)
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Kenaikan harga solar yang diberlakukan oleh pemerintah pada bulan Maret
2005 berpengaruh langsung terhadap biaya operasional pengolahan tanah
dengan traktor. Harga solar yang biasa diperoleh pengusaha dari pengecer desa
sebesar Rp. 1.950/liter, setelah kenaikan BBM meningkat menjadi Rp. 2.300/liter.
Peningkatan harga solar ini menyebabkan komponen biaya solar meningkat
sebesar Rp. 7.000/ha atau 17.9 persen. Harga oli juga meningkat dari Rp.
21.000/liter sebelum kenaikan menjadi Rp. 26.000/liter setelah kenaikan BBM
sehingga meningkatkan komponen biaya oli dalam biaya operasional sebesar 23.8
persen. Sementara biaya perawatan meningkat tajam akibat kenaikan BBM
sebesar Rp. 5.422/ha atau 42.8 persen.
VI-63
Untuk komponen biaya upah operator terjadi kenaikan persentase
perhitungan upah dari sewa traktor. Jika sebelum kenaikan BBM nilai upah
operator mencapai 15 persen dari sewa traktor, maka setelah kenaikan BBM
meningkat menjadi 25 persen dari sewa traktor. Sewa traktor sendiri meningkat
rata – rata Rp. 60.000/ha atau sekitar 20 persen sehingga upah operator yang
merupakan persentase terhadap sewa mengalami peningkatan dua kali lipat
dibandingkan sebelum kenaikan BBM. Secara total biaya operasional traktor
meningkat menjadi Rp. 158.342/ha atau meningkat sekitar 58 persen.
Dengan adanya perhitungan kenaikan biaya operasional dan sewa, maka
dapat terlihat bahwa kenaikan harga solar di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur telah
menyebabkan peningkatan laba bersih para pemilik atau pengusaha jasa traktor
sebesar Rp. 1.745/ha atau sekitar 0.95 persen. Tetapi secara keseluruhan RC
rasio dengan biaya total turun dari 2.58 menjadi 2.06 setelah adanya kenaikan
BBM.
Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan kepemilikan traktor secara umum
dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) usaha jasa sewa, (2) petani/kelompok
tani, dan (3) pemerintah (pada umumnya dinas dinas lingkup Direktorat Jenderal
Pertanian Tanaman Pangan). Hasil inventarisasi di Kabupaten Sidrap
menunjukkan bahwa, sebagian besar kepemilikan traktor di kabupaten ini
merupakan milik petani (tuan tanah) dan hanya sebagian merupakan milik usaha
jasa sewa traktor. Sehingga pasar usaha penyewaan traktor di wilayah ini relatif
kurang berjalan. Merk traktor yang dimiliki petani cukup beragam, ada merk
Yanmar, Kubota dan ada juga merk Ratna dengan harga yang cukup beragam
pula. Kemampuan kerja traktor sangat ditentukan oleh spesifikasi teknis tenaga
mesin traktor itu sendiri. Traktor dengan PK lebih tinggi tentunya mempunyai
kemampuan kerja lebih tinggi dibanding traktor dengan PK lebih rendah. Dengan
perawatan cukup baik, umur ekonomis traktor diperkirakan bisa mencapai 10
tahun. Dalam sehari (7 - 10 jam) kemampuan mengolah lahan sampai siap tanam
berkisar 0,25 – 0,35 hektar. Untuk kelompok traktor yang disewakan, jumlah hari
efektif mengolah lahan dalam satu musim kurang lebih 20 hari, sehingga dalam
setahun (2 musim padi) luas lahan yang bisa terolah sekitar 10 – 14 hektar.
Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
termasuk jenis solar seiiring dengan melonjaknya harga komoditas ini di pasar
dunia di satu sisi dan disisi lain untuk mengurangi beban anggaran negera yang
VI-64
semakin menipis, telah berdampak terhadap kinerja usaha jasa traktor di
Kabupaten Sidrap. Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang menanggung
dampak tersebut? Apakah seluruhnya ditanggung oleh usaha jasa traktor atau
pengguna jasa traktor (petani) atau dibebankan secara adil kepada petani dan
usaha jasa traktor?
Pada Tabel 2 disajikan perubahan profitabilitas usaha traktor di Kabupaten
Sidrap akibat adanya kenaikan harga BBM. Untuk menghindari kerugian, kenaikan
harga BBM telah direspon dengan adanya penyesuaian besarnya sewa traktor.
Sebelum kenaikan harga BBM, besarnya sewa traktor yang umumnya berlaku di
Sidrap adalah Rp 400.000/ha dan setelah adanya kenaikan harga BBM menjadi
Rp 500.000/ha (meningkat sebesar 25%). Secara keseluruhan biaya operasional
yang harus dikeluarkan usaha jasa ini mengalami peningkatan sekitar 24,82%
42.027/ha). Kalau diperinci lebih lanjut, biaya BBM jenis solar dan oli yang
dikeluarkan usaha jasa ini meningkat masing-masing 27,27% dan 22,22%,
sementara biaya operator meningkat secara proporsional dengan kenaikan sewa
traktor, mengingat besarnya ongkos operator 20% dari nilai sewa traktor.
Sebelum kenaikan harga BBM rata-rata keuntungan usaha jasa traktor
sekitar Rp 131 ribu/ha pada tingkat RCR 1,49 dan setelah kenaikan harga BBM
menjadi Rp 189 ribu/ha pada tingkat RCR 1,61. Terlihat bahwa setelah adanya
kenaikan harga BBM justru keuntungan yang diterima usaha jasa ini lebih baik dari
sebelumnya. Fakta ini menunjukkan bahwa tambahan biaya operasional akibat
adanya kenaikan harga BBM sepenuhnya ditanggung petani. Fakta ini juga
menunjukkan bahwa usaha jasa traktor cenderung terlalu tinggi menaikkan sewa
traktor, karena pada sewa yang baru keuntungannya semakin membaik secara
nominal, juga terjadi kenaikan relatif (%) lebih tinggi dari kenaikan biaya
operasional. Tanpa adanya perbaikan harga jual gabah di tingkat petani, maka
dapat dipastikan insentif yang diterima petani akan menurun.
VI-65
Tabel 2. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Traktor di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
Sebelum Kenaikan BBM Setelah Kenaikan BBM Perubahan
8. Biaya Total Rp 138,277 187,851 49,574 35.85 228,086 248,204 268,321 288,439
9. RCR Dengan Biaya Total
2.53 2.29 - (0.24) (9.57) 2.27 2.26 2.26 2.25
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-67
menutup kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai RC rasio yang turun dari 2.53 menjadi 2.29.
Dengan terus meningkatnya tren harga minyak dunia maka tentunya
pemerintah akan menyesuaikan harga BBM dalam negeri demi mengurangi beban
subsidi yang ditanggung pemerintah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap
peningkatan biaya operasional dan sewa traktor. Berdasarkan simulasi kenaikan
harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per hektar usaha jasa
traktor, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang,
terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional
meningkat dari sekitar Rp. 168 ribu/ha menjadi Rp. 209 ribu/ha. Berturut–turut jika
harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya operasional meningkat
menjadi Rp. 229 ribu, Rp. 249 ribu dan Rp. 269 ribu per hektar. Untuk
mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa traktor maka
pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya sekitar Rp. 309 ribu –
Rp. 380 ribu.
Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Pompa Air Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005 Pada usahatani tanaman pangan, pompa air digunakan untuk memenuhi
kebutuhan air bagi tanaman ataupun untuk persiapan pengolahan lahan. Kalau
dilihat dari fungsi pompa air untuk usahatani padi atau palawija, maka pompa air
digunakan baik untuk musim hujan maupun musim kemarau, baik di sawah irigasi
maupun sawah atau lahan tadah hujan. Pada awal musim hujan, sebelum air
irigasi masuk mengairi sawah atau air hujan masih belum cukup, maka untuk
keperluan pengolahan lahan diperlukan kondisi tanah yang basah sehingga
memungkinkan untuk diolah, baik dengan menggunakan traktor, ternak maupun
tenaga manusia. Untuk membasahi tanah ini diperlukan air yang berasal dari
irigasi pompa. Pada tahap-tahap berikutnya, penggunaan pompa air untuk irigasi
bagi tanaman pangan adalah untuk mencukupi kebutuhan air pada saat air irigasi
atau air hujan kurang.
Dilihat dari asal sumber air yang dipompa, irigasi pompa dapat dibedakan
menjadi irigasi pompa bersumber dari air sungai dan dari air sumur. Irigasi pompa
yang sumber airnya berasal dari sungai pada umumnya dapat mengairi sawah
lebih luas daripada irigasi pompa dari air sumur. Hal ini disebabkan karena debit
VI-68
pompa air sungai pada umumnya lebih besar dari debit pompa air sumur,
sehingga pada umumnya pompa air sungai dipasang dengan mempertimbangkan
debit air yang memungkinkan untuk dipompa (Simatupang et al, 1995).
Di Kabupaten Nganjuk, kepemilikan pompa air terutama buatan cina sudah
banyak dimiliki secara perorangan oleh petani untuk mengairi sawahnya sendiri.
Walaupun begitu, masih cukup banyak usaha jasa poma air yang diusahakan
melalui kelompok tani untuk mengairi sawah anggotanya atau petani luar anggota
yang memerlukan. Salah satu jenis pompa air yang banyak dimiliki atau
diusahakan adalah merk Dong Feng dengan tenaga mesin 8.5 PK.
Sebelum kenaikan BBM Maret 2005, sebuah pompa air Dong Feng
dengan sumber air sumur pantek dapat beroperasi mengair satu hektar sawah
dengan biaya operasional rata – rata sebesar Rp. 106 ribu (Tabel 4). Komponen
biaya operasional terbesarnya adalah upah operator dan solar yang masing –
masing mencapai Rp. 54.000 dan Rp. 45.600 atau sekitar 51 dan 43 persen dari
total biaya operasional. Sementara komponen biaya lainnya yaitu biaya perawatan
dan oli totalnya hanya mencapai 5.34 persen.
Sewa pompa air di Kabupaten Ngajuk dihitung dalam satuan jam dengan
nilai sewa per jam mencapai Rp. 4.000. Jika dalam satu hektar dibutuhkan waktu
pengairan 30 jam, maka besar nilai sewa per hektar adalah Rp. 120 ribu. Jika
penyusutan per hektar dihitung sebesar Rp. 9.500, maka laba bersih usaha jasa
pompa air sumur pantek mencapai Rp. 5.275/ha. Dengan memperhitungkan
penyusutan kedalam biaya maka besarnya RC rasio dengan biaya total adalah
sebesar 1.05.
Setelah kenaikan harga BBM Maret 2005, biaya operasional per hektar
usaha jasa pompa air meningkat Rp. 16.225 atau sekitar 15.4 persen. Komponen
biaya operasional yang mengalami peningkatan terbesar adalah biaya perawatan
yang meningkat sekitar 67 persen. Sementara komponen biaya lainnya yaitu oli,
solar dan upah operator meningkat masing – masing 28%, 15% dan 11%. Untuk
menutupi kenaikan biaya operasional ini maka pengusaha jasa pompa air
menaikan pula biaya sewa pompa air rata – rata sebesar 25 persen yaitu dari
Rp 4.000/ jam menjadi Rp. 5 000/jam sehingga sewa pompa air per hektar setelah
kenaikan BBM mencapai Rp 150 ribu.
VI-69
Tabel 4. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 14,775 28,550 - 13,775 93.23
5. Penyusutan Rp 9,500 9,500 - - -
6. Laba Bersih Rp 5,275 19,050 - 13,775 261.14
7. RCR 1.14 1.24 - 0.09 8.30
8. Biaya Total Rp 114,725 130,950 16,225 14.14
9. RCR Dengan Biaya Total 1.05 1.15 - 0.10 9.51
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
Jika penyusutan diasumsikan tetap yaitu sebesar Rp. 9.500/ha maka laba
bersih usaha jasa pompa air setelah kenaikan BBM meningkat tajam dari
Rp 5.275/ ha menjadi Rp. 19.050 atau sekitar 261 persen. Dengan
memperhitungkan penyusutan sebagai biaya total maka besarnya RC rasio
meningkat dari 1.05 menjadi 1.15
Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, pada usahatani padi sawah irigasi,
penggunaan pompa air relatif sangat sedikit, dan itupun pada umumnya
digunakan pada musim tanam padi ke tiga (MT III) dan awal musim tanam padi
pertama (MT I) ketika kegiatan pengolahan lahan dilakukan. Selain untuk
usahatani padi, penggunaan pompa air juga dilakukan pada usahatani lainnya,
terutama usahatani jagung dan kacang tanah.
Penggunaan pompa pada umumnya banyak dilakukan petani di daerah
irigasi sedang dan tadah hujan. Tidak seperti halnya dengan traktor, pompa air
pada umumnya hanya dimiliki oleh beberapa petani atau kelompok tani tertentu
VI-70
saja. Selain digunakan untuk keperluan sendiri atau kelompok, juga disewakan ke
petani yang membutuhkannya. Dengan tenaga penggerek 18 PK, pompa air
mampu mengairi sekitar 0,33 hektar per hari dengan jam kerja sekitar 10 jam.
Sistem pembayaran untuk jasa pompa air adalah sistem bagi hasil dari
hasil kotor. Untuk komoditas padi jika solarnya ditanggung oleh pemilik pompa
pembagiannya adalah 15% untuk jasa pompa dan 85% untuk petani, sementara
untuk palawija 10% untuk jasa pompa dan 90% petani. Jika solarnya ditanggung
petani, pada komoditas padi pembagiannya akan mengalami perubahan yaitu
10% untuk jasa pompa dan 90% untuk petani, sementara pada komoditas palawija
berubah menjadi 5% untuk jasa pompa dan 95% untuk petani. Sementara
besarnya biaya untuk operator baik untuk komoditas padi maupun palawija 30%
dari keuntungan. Konsep keuntungan yang disepakti antara pemilik pompa dan
operator adalah besarnya selisih antara penerimaan jasa pompa dengan biaya
solar dan oli. Komposisi pembagian untuk jasa pompa dan petani atau komposisi
untuk upah operator pada semua komoditas tidak mengalami perubahan setelah
kenaikan harga BBM.
Sebelum adanya kenaikan harga BBM, untuk mengairi lahan seluas satu
hektar rata-rata biaya operasional yang dibutuhkan pada usaha jasa pompa
sekitar Rp 323 ribu dan setelah adanya kenaikan harga BBM menjadi Rp 356 ribu
atau mengalami peningkatan sekitar 10,03% (Tabel 5). Yang cukup menarik
bahwa walaupun tidak adanya perubahan komposisi dalam pembagian upah jasa
pompa dan upah operator, ternyata keuntungan yang diperoleh pemilik pompa
setelah adanya kenaikan harga BBM relatif lebih baik atau meningkat sebesar
8,73% dari Rp 609 ribu/ha menjadi Rp 663 ribu/ha. Tidak adanya perubahan
dalam komposisi pembagian, sehingga dapat dipastikan bahwa meningkatnya
keuntungan yang diperoleh pemilik pompa akibat tambahan penerimaan karena
adanya kenaikan harga komoditas pertanian (dalam kontek ini harga gabah) lebih
tinggi dari tambahan biaya operasional yang dikeluarkan, mengingat petani
membayar dalam bentuk gabah setelah panen (yarnen). Selain itu, tidak
berubahnya komposisi pembagian menunjukkan bahwa meningkatnya biaya
operasional akibat kenaikan harga BBM seolah-olah tidak dibebankan kepada
petani. Kenapa pemilik pompa tidak mengubah komposisi pembagian tersebut?
Salah satu jawabannya mungkin karena pemilik pompa sudah memprediksi akan
terjadi kenaikan harga komoditas pertanian, dan bahkan mereka berpikir
VI-71
tambahan penerimaan akibat kenaikan harga tersebut lebih tinggi dari kenaikan
biaya operasional karena kenaikan harga BBM. Jika mereka memprediksi tidak
terjadi perubahan harga komoditas pertanian, dapat diduga mereka akan merubah
komposisi tersebut, atau jika upah pompa air yang berlaku dalam bentuk uang
(bukan bagi hasil) dapat dipastikan mereka juga akan menaikkan sewa pompa.
Sehingga kalau dicermati secara mendalam dampak kenaikan harga BBM
sebenarnya dibeban juga kepada petani oleh usaha jasa pompa lewat harga
komoditas padi yang semakin membaik.
Tabel` 5. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
8. Biaya Total Rp 223,241 247,646 24,405 10.93 282,218 299,504 316,790 334,076
9. RCR Dengan Biaya Total 2.38 2.38 - (0.00) (0.04) 2.38 2.38 2.37 2.37
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-74
Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Power Thresher Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005 Dalam usahatani padi, thresher merupakan alat untuk merontokkan padi
menjadi gabah. Alat ini mrupakan alat bantu bagi tenaga kerja untuk memisahkan
gabah menjadi jeraminya. Thresher atau mesin perontok padi digunakan secara
luas oleh petani baik di daerah kekurangan tenaga kerja pemanen mauun cukup
tenaga kerja. Thresher ini ada dua macam yaitu thresher dengan menggunakan
mesin penggerak (power thresher) dan yang tidak menggunakan mesin atau biasa
dikenal dengan pedal thresher.
Power thresher digerakan dengan menggunakan bahan bakar minyak yaitu
solar. Biaya operasional power thresher di Kabupaten Nganjuk sebelum kenaikan
BBM Maret 2005 mencapai Rp. 105 ribu (Tabel 7). Komponen biaya terbesar dari
biaya operasional adalah upah operator dan solar yang masing – masing sebesar
Rp. 54.000/ha dan Rp. 45.600/ha atau sekitar 51% dan 43%.
Tabel 7. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di
Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
3. Penerimaan Kotor Rp 120,000 180,000 - 60,000 50.00
4. Laba Kotor (3 - 2) Rp 14,775 56,150 - 41,375 280.03
5. Penyusutan Rp 16,667 16,667 - - -
6. Laba Bersih Rp (1,892) 39,483 - 41,375 (2,187)
7. RCR 1.14 1.45 - 0.31 27.44
8. Biaya Total Rp 121,892 140,517 18,625 15.28
9. RCR Dengan Biaya Total 0.98 1.28 - 0.30 30.12
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-75
Sewa power thresher per hektar mencapai Rp. 120 ribu sehingga
pengusaha memperoleh laba kotor sebesar Rp 14.775/ha. Perhitungan
penyusutan alat ini per hektarnya ternyata mencapai Rp. 16.667/ha sehingga
secara keseluruhan pengusaha sebenarnya mengalami kerugian sekitar
Rp 1.892/ha.
Setelah kenaikan harga BBM, biaya operasional meningkat 17.7 persen
atau meningkat Rp 18.625/ha sehingga biaya operasionalnya menjadi
Rp 123.850/ ha. Komponen biaya perawatan mengalami peningkatan tertinggi
sebesar Rp. 2.500/ha atau sekitar 67 persen. Sementara komponen biaya lainnya
yaitu oli, solar dan upah operator meningkat berturut – turut sebesar 28%, 21%
adn 11%.
Untuk mengimbangi peningkatan biaya operasional ini maka pengusaha
jasa power thresher ini meningkatkan sewa power thresher ini sebesar Rp.
60.000/ha atau sekitar 50 persen, menjadi Rp. 180 ribu/ha. Peningkatan ini
mampu menutup peningkatan biaya operasional, sehingga pengusaha
mempeoleh laba kotor sekitar Rp. 56.150/ha atau meningkat Rp. 41.375/ha
dibandingkan sebelum kenaikan BBM. Laba kotor ini meningkat hampir tiga kali
lipat sehingga jika diasumsikan penyusutan tetap nilainya maka laba bersih yang
diperoleh pengusaha power thresher akibat kenaikan harga BBM mencapai Rp.
39.483/ha. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan dalam total biaya maka
RC rasio usaha jasa power thresher pasca kenaikan BBM Maret 2005 menjadi
1.28.
Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, penggunaan thresher khususnya
untuk merontok padi tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan varietas
unggul baru berumur pendek dan mudah dirontok. Terdapat variasi kegiatan
dalam penggunaan thresher di Kabupaten Sidrap. Di beberapa lokasi,
penggunaan thresher menjadi satu kesatuan dengan tenaga kerja panen dan di
beberapa lokasi lainnya penggunaan thresher tidak menyatu dengan tenaga
panen. Dengan tenaga penggerak mesin 6,5 PK, kecepatan merontok padi rata-
rata 6 jam per hektar. Dalam setahun luasan tanaman padi yang bisa dirontok
berkisar 40 – 60 hektar.
VI-76
Baik sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, secara keseluruhan
ongkos jasa thresher dan panen (sabit) tidak mengalami perubahan yaitu 14,3%
(1/7) dari produksi padi. Namun dalam pembagian antara tenaga penyabit dan
jasa thresher terjadi perubahan yaitu sebelum kenaikan harga BBM dari 14,3%
tersebut, 25% untuk jasa thresher dan 75% tenaga penyabit dan setelah kenaikan
harga BBM menjadi 30% jasa thresher dan 70% tenaga penyabit. Ongkos
operator yang harus dibayar pemilik power thresher juga berubah dari Rp
1500/orang/hari menjadi Rp 2000/orang/hari. Jumlah operator berkisar 8 orang.
Selain sebagai operator, mereka juga sekaligus berperan sebagai tenaga
penyabit, sehingga penerimaan mereka setelah adanya kenaikan harga BBM
sekitar Rp 2000/hari lebih tinggi dari tenaga penyabit.
Perubahan kinerja usaha jasa power thresher dengan adanya kenaikan
harga disajikan pada Tabel 8. Setelah kenaikan harga BBM, biaya operasional
(termasuk biaya tenaga sabit) usaha jasa power thresher meningkat sebesar
9,32%, dari Rp 793 ribu/ha menjadi Rp 867 ribu/ha. Namun demikian, dengan
membaiknya harga komoditas padi dan adanya perubahan komposisi pembagian
untuk tenaga penyabit menyebabkan penerimaan dan keuntungan usaha jasa ini
meningkat masing-masing Rp 9,24% (Rp 943 ribu/ha menjadi Rp 1028 ribu/ha)
dan 8,96% ( Rp 134 ribu/ha menjadi Rp 146 ribu/ha).
Fenomena di atas juga menunjukkan kalau dicermati secara mendalam
bahwa kenaikan harga BBM selain dibebankan ke tenaga penyabit (dengan
berubahnya komposisi pembagian) juga secara tidak langsung dibebankan ke
petani lewat kenaikan harga gabah (walaupun komposisi pembagian tidak
berubah).
Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya
operasional Power Thresher Rp. 46.671/ha atau 10.40 persen. Komponen biaya
solar dan oli mengalami peningkatan tertinggi masing-masing sebesar Rp.
6.768/ha dan Rp. 534/ha atau meningkat sekitar 24 - 26 persen. Komponen biaya
lainnya juga mengalami peningkatan masing – masing adalah komponen biaya
perawatan Rp. 2.083/ha (14.4%) dan upah operator Rp. 37.285/ha (9.2%)
(Tabel 9).
VI-77
Tabel 8. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
6. Laba Bersih Rp 57,315 83,500 - 26,185 45.6 108,987 121,731 134,474 147,217
7. RCR 1.18 1.22 - 0.04 3.3 1.25 1.26 1.27 1.29
8. Biaya Total Rp 474,108 520,780 46,671 9.8 564,068 585,712 607,357 629,001
9. RCR Dengan Biaya Total
1.12 1.16 - 0.04 3.5 1.19 1.21 1.22 1.23
Sumber : Data Primer, diolah, Agustus 2005.
VI-79
50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp. 560 ribu, Rp. 581 ribu dan Rp. 603
ribu per hektar. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa
power thresher maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya
sekitar Rp. 673 ribu – Rp. 776 ribu.
Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Penggilingan Padi Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM 2005 Usaha jasa penggilingan padi merupakan salah satu usaha yang
menggunakan mesin – mesin penggerak dengan bahan bakar utamanya adalah
solar. Oleh sebab itu, peningkatan harga BBM pada bulan Maret 2005 juga
menyebabkan peningkatan biaya operasional dan sewa. Di Kabupaten Nganjuk,
biaya penggilingan per kuintal gabah menjadi beras dengan menggunakan dua
mesin yaitu pecah kulit dan pemutih sebelum kenaikan BBM adalah sebesar Rp.
2.785 (Tabel 10). Dari empat komponen utama biaya operasional yaitu biaya
solar, oli, perawatan dan upah operator terlihat bahwa pangsa komponen biaya
terbesar adalah biaya perawatan yang mencapai 31.34 persen.
Tabel 10. Perubahan Profitabilitas Usaha Penggilingan Padi per Kuintal Gabah di
Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret 2005.
(10%). Penerimaan usahatani ternyata juga mengalami peningkatan sebesar Rp.
943.500/ha atau meningkat sekitar 13 persen. Peningkatan penerimaan usahatani
ini disebabkan oleh peningkatan harga gabah petani (GKP) rata – rata sebesar
Rp. 150/kg atau sekitar 13 persen.
VI-89
Peningkatan harga gabah ini ternyata mampu menjadi faktor penyangga
keuntungan usahatani sehingga secara umum peningkatan biaya usahatani yang
disebabkan kenaikan harga BBM mampu diimbangi oleh peningkatan penerimaan
usahatani dan justru berdasarkan kajian lapang meningkatkan keuntungan
usahatani padi sebesar Rp. 356.174/ha atau sekitar 15 persen.
Berdasarkan simulasi perubahan struktur biaya dan penerimaan usaha
jasa alsintan dan usahatani padi terhadap kenaikan harga BBM, utamanya harga
minyak solar, dari harga sekarang sebesar 20%, 30% 40% dan 50%, terlihat
bahwa biaya usahatani mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usahatani padi
minimal pada tingkat kelayakan saat ini dengan asumsi produktivitas tetap, maka
harus ada peningkatan penerimaan melalui sewa dan harga gabah usahatani
sebagai imbangannya. Karena beban peningkatan biaya operasional hampir
seluruhnya dibebankan kepada petani maka peningkatan harga gabah menjadi
prioritas utama kebijakan mengantisipasi kenaikan harga BBM yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Clark, C.T. and L.L. Schkade. 1983. Statistical Analysis for Administrative Decisions. South Western Publishing Co., Ohio.
Friyatno, S., Handewi P. Rachman dan Supriyati. 2003. Kelembagaan Jasa Alat
dan Mesin Pertanian (Alsintan). Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan BAPPENAS/USAID/DAI. Bogor.
Simatupang, P., Adreng Purwoto, Budi Santoso, Hendiarto, Supriyati, Sri Hery
Susilowati, Viktor Siagian, Bambang Prasetyo, Ening Ariningsih, E. Eko Ananto dan Jefferson Situmorang. 1995. Pola Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Simatupang, P., Delima H. Dermawan, Adreng Purwoto, Victor T. Manurung,
Supriyati, Sri Hery Susilowati, Hendiarto, Viktor Siagian dan Jefferson Situmorang. 1994. Dampak Deregulasi Sektor Riil Terhadap Produksi dan Produktivitas Sektor Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
VI-90
Syafa’at, N., Mohamad Maulana dan Pantjar Simatupang. 2003. Perkiraan Dampak Kenaikan BBM Terhadap Sektor Pertanian. Jurnal Sosio Ekonomika. Fakultas Pertanian Universitas Lampung.