Top Banner
1 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia Manfaat Persaingan Henry Clay (1832) pernah mengungkapkan dalam suatu kalimat: “ Off all human powers operating on the affairs of mankind, none is greater than that of competition ,” untuk menggambarkan mengenai arti penting dari persaingan bagi umat manusia. Bahkan mungkin sejak dimulainya peradaban dan selama masih akan ada peradaban rasanya persaingan tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Bayangkan seandainya di dalam kehidupan ini tidak ada persaingan, mungkin perkembangan teknologi tidak akan semaju seperti sekarang ini, dan pergi ke luar angkasa serta menginjakan kaki di bulan hanya akan menjadi sebuah mimpi belaka. Dengan adanya persaingan jelas memberikan manfaat kepada peningkatan kualitas kehidupan manusia. Namun di samping segi positifnya persaingan juga terkadang membawa segi negatif, terutama bagi pihak yang kalah dalam persaingan. Namun secara umum persaingan diakui ataupun tidak, lebih banyak membawa segi positif dibandingkan segi negatifnya. Jadi keinginan untuk meniadakan persaingan adalah suatu keinginan yang jelas justru akan membawa kehidupan umat manusia kearah kemunduran. Ditha Wiradiputra, S.H. (Staf Pengajar FHUI, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI), Modul untuk Retooling Program under Employee Graduates at Priority Disiciplines under TPSDP ( Technology and Profesional Skills Development Sector Project ) DIKTI. Tanggal 14 September 2004, Jakarta.
107

Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

Feb 03, 2018

Download

Documents

doduong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

1

PengantarHukum Persaingan Usaha Indonesia

Manfaat Persaingan

Henry Clay (1832) pernah mengungkapkan dalam suatu kalimat: “Off all human powers

operating on the affairs of mankind, none is greater than that of competition,” untuk

menggambarkan mengenai arti penting dari persaingan bagi umat manusia. Bahkan

mungkin sejak dimulainya peradaban dan selama masih akan ada peradaban rasanya

persaingan tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

Bayangkan seandainya di dalam kehidupan ini tidak ada persaingan, mungkin

perkembangan teknologi tidak akan semaju seperti sekarang ini, dan pergi ke luar

angkasa serta menginjakan kaki di bulan hanya akan menjadi sebuah mimpi belaka.

Dengan adanya persaingan jelas memberikan manfaat kepada peningkatan kualitas

kehidupan manusia. Namun di samping segi positifnya persaingan juga terkadang

membawa segi negatif, terutama bagi pihak yang kalah dalam persaingan. Namun

secara umum persaingan diakui ataupun tidak, lebih banyak membawa segi positif

dibandingkan segi negatifnya. Jadi keinginan untuk meniadakan persaingan adalah

suatu keinginan yang jelas justru akan membawa kehidupan umat manusia kearah

kemunduran.

Ditha Wiradiputra, S.H. (Staf Pengajar FHUI, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan danKebijakan Usaha FHUI), Modul untuk Retooling Program under Employee Graduates at PriorityDisiciplines under TPSDP (Technology and Profesional Skills Development Sector Project) DIKTI.Tanggal 14 September 2004, Jakarta.

Page 2: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

2

Mengapa sebagian besar orang dalam berbelanja sesuatu untuk memenuhi

kebutuhannya sehari-hari biasanya lebih memilih pergi berbelanja di pasar,

dibandingkan harus membeli dari toko atau warung yang terdapat di sekitar tempat

tinggal, walaupun toko atau warung tersebut juga menjual barang-barang yang terdapat

di pasar? Hal tersebut terjadi, dikarenakan pada umumnya harga barang-barang yang

dijual oleh penjual di pasar biasanya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga

barang-barang yang dijual ditoko atau warung di sekitar tempat tinggal, harga di pasar

bisa lebih murah dibandingkan harga di toko di sekitar tempat tinggal, dikarenakan di

pasar terdapat banyak sekali penjual yang juga menjual produk yang terkadang hampir

sama, sehingga penjual-penjual yang ada di pasar biasanya tidak berani mengambil

keuntungan terlalu besar atas barang dagangannya, karena pembeli pasti dengan

mudah pindah ke penjual lain di pasar tersebut juga, yang menawarkan harga yang lebih

murah, oleh karena itu harga-harga barang yang di jual di pasar biasanya menjadi lebih

murah.

Lebih mahalnya harga barang-barang yang dijual di toko atau warung di sekitar tempat

tinggal, merupakan akibat dari toko atau warung tersebut mengambil keuntungan yang

terlalu besar atau berlebihan, dimana mereka mengetahui mengenai posisinya yang

tidak memiliki banyak pesaing dalam menjual produknya, sehingga membuat mereka

bebas memainkan harga sekehendak hatinya saja. Namun walaupun harga barang-

barang di toko atau warung di sekitar tempat tinggal jauh lebih mahal, biasanya tetap

dibeli juga oleh penduduk sekitar karena mereka tidak memiliki pilihan lain lagi.

Dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya persaingan jelas

memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi kehidupan kita, namun untuk menghindari

sisi negatif dari persaingan perlu dibuat suatu aturan main yang jelas, sehingga

persaingan dapat berjalan dengan baik atau dengan kata lain tercipta suatu level playing

field, yang membuat pelaku-pelaku usaha kecil tetap dapat menjalankan usaha

disamping pelaku-pelaku usaha besar tetap dapat menjalankan usahanya juga.

Page 3: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

3

Sejarah Undang-undang No.5/1999

Setelah sekian lama dinantikan akhirnya Indonesia pada tanggal 5 Maret 1999 memiliki

juga undang-undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yaitu Undang-undang

Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

atau juga dapat disebut dengan nama Undang-undang Persaingan Usaha ataupun

Undang-undang Anti Monopoli. Undang-undang No.5/1999 ini juga memiliki makna dan

sejarah tersendiri, karena Undang-undang No.5 / 1999 merupakan Undang-undang hasil

inisiatif DPR RI yang pertama sejak negara Republik Indonesia merdeka.

Sebenarnya sebelum diberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha, Indonesia telah

memilik peraturan perundang-undangan yang yang mengatur mengenai praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walupun masih tercecer, bersifat parsial

dan kurang komprehensif,1 seperti terdapat beberapa pasal di dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995

tentang Perseroan Terbatas (PT), Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar

Modal, Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-undang

Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang-undang

Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.2

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, perangkat hukum yang mengatur

mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat jauh lebih baik dari yang

diatur oleh peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Lahirnya Undang-undang Persaingan Usaha sebenarnya tidak lepas dari krisis moneter

yang kemudian berlanjut kepada krisis ekonomi yang melanda Indonesia di pertengahan

1 Normis S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS: Penemuan Hukum Persaingan: SuatuLayanan Analitik Komparatif,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 4, 1998), hal.23.

2 Faisal Basri, “Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan EkonomiIndonesia,” (Jakarta: Erlangga,2002), hal.355-364.

Page 4: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

4

tahun 1997, dimana pemerintah disadarkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi

Indonesia pada waktu itu ternyata begitu lemah, lemahnya fundamental ekonomi

Indonesia terjadi karena berbagai kebijakan pemerintah di berbagai sektor ekonomi

yang kurang tepat yang menyebabkan pasar menjadi terdistorsi.3 Terdistrosinya pasar

membuat harga yang terbentuk di pasar tidak lagi merefleksikan hukum permintaan dan

hukum penawaran yang rill, proses pembentukan harga dilakukan secara sepihak (oleh

pengusaha atau produsen)4 tanpa memperhatikan kualitas produk yang mereka

tawarkan terhadap konsumen.

Di dalam penjelasan umum atas Undang-undang Persaingan Usaha dikatakan bahwa

kebijakan pemerintah diberbagai sektor ekonomi yang dibuat selama tiga dasawarsa

terakhir ternyata belum membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi, hanya

sebagian kecil golongan masyarakat saja yang dapat menikmati kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah tersebut, sehingga berdampak kepada semakin meluasnya

kesenjangan sosial.5

Di sisi lain perkembangan usaha swasta pada kenyataannya sebagian besar merupakan

perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.6 Kedudukan monopoli yang

ada lahir karena adanya fasilitas yang diberikan oleh pemerintah7 (antara lain melalui

tata niaga) serta ditempuh melalui praktek bisnis yang tidak sehat (unfair business

practices) seperti persekongkolan untuk menetapkan harga (price fixing) melalui kartel8,

3 Penjelasan UU

4 Sjahdeini, loc. cit., hal.14 .

5 penjelasan UU

6 Penjelasan Undang-Undang Bagian Umum UU No.5/1999.

7 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, cet.1.(Jakarta: Raya Grafindo Persada,1999).hal.7.

8 Kartel adalah Persekutuan antara perusahaan industri yang menghasilkan komoditas yang sama(swasta atau BUMN), untuk mengatur pembelian, produksi atau pemasaran komoditas bersangkutan.Sering disertai dengan penetapan kuota produksi dan investasi. Jika persekutuan tersebut menghasilkankekuatan monopoli, maka ia akan berusaha menaikan harga dan membatasi pasokan untuk memperolehlaba maksimal. Dikutip dari harian KOMPAS, tanggal 23 Agustus 1997, hal 17.

Page 5: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

5

menetapkan mekanisme yang yang menghalangi terbentuknya kompetisi, menciptakan

barrier to entry,9 dan terbentuknya integrasi baik horisontal10 dan vertikal.11

Perusahaan-perusahaan swasta yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan

berbagai kemudahan berlebihan12 dengan alasan klasik melindungi “industri bayi”13 dan

demi stabilisasi harga.14 Munculnya konglomerasi15 dan sekelompok kecil pengusaha

kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati, yang berusaha

didasarkan pada hutang dan tanpa adanya inovasi kreatifitas16 yang mendukung kinerja

pengusaha merupakan faktor yang mengakibatkan fundamental ekonomi Indonesia

lemah17 dan tidak mampu bersaing.18

9 Barrier to entry adalah hambatan yang dibuat untuk mencegah masuknya pesaing potensial,barrier toentry ini biasa dilakukan melalui perizinan usaha dari pemerintah.

10 Integrasi horizontal adalah penggabungan beberapa pelaku usaha yang masing-masing pelakuusaha memproduksi suatu produk yang bersaing dipasar. Istilah integrasi horizontal ini didefinisikan olehpenulis berdasarkan definsi atas istilah merger yang bersifat horizontal. Dikutip dari tulisan R.B. Suhartono,loc. cit., hal.7.

11 Sunarsip, loc. cit., hal. 2C.

12 hal ini terjadi menurut karena adanya prilaku individu ataupun perusahaan tertentu (oknum)yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, untuk kepentingan sendiri atau juga dapat dikatakan sebagairent seeking behavior, dikutip dari A Tony Prasetiantono, Agenda Ekonomi Indonesia (Jakarta: GramediaPustaka Utama, 1995), hal.305.

13 Industri bayi disini maksudnya adalah industri yang masih baru ada atau dikembangkan diIndonesia. Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah kepada industri yang bersangkutan agar insvestormau menanamkan modalnya pada industri tersebut, lihat Sutan Remy Sjahdeini, “Larangan PraktekMonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis (Volume 10, 2000) : 4.

14 Banu Astono, “Gejolak Rupiah Menyingkap Keropos industri Nasional,” KOMPAS (22 Agustus1997) : 17.

15 Lebih jelas lagi mengenai prilaku konglomerasi dapat membaca buku Kwik Kian Gie, SayaBermimpi Jadi Konglomerat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).

16 Djisman S. Simanjuntak, “Bisnis Indonesia 2020: Terbuka dan Kompetitif” dalam Indonesia2020: Wawasan Ekonomi, Sosial Budaya, dan Politik. Hadi Soesastro dan Iwan P. Hutajulu, ed.,(Jakarta:Centre for Strategic and International Studies, 1996).

17 Lihat A. Tony Prasetiantono, Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal.179. mengatakan: “yang lebih fundamental dari pada “fundamentalekonomi” adalah beberapa isu dan indicator makro yang bersifat kualitatif. Misalnya, soal struktur pasar,tata niaga, monopoli, korupsi dan kolusi. Semua isu fundamental ini praktis sudah lama kitainventarisasikan, kita paksa substansinya, dan kita agendakan.”

18 Penjelasan Undang-Undang Bagian Umum UU No.5/1999.

Page 6: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

6

Dalam pembuatan kebijakan, pemerintah seharusnya mendorong iklim usaha yang

sehat,19 efesien, dan kompetitif. Sehingga tercipta kesempatan yang sama bagi setiap

warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi, pemasaran barang dan

jasa,20 tetapi yang terjadi sebaliknya, Pemerintah malah mendorong terjadinya iklim

usaha yang tidak sehat, tidak efesien dan tidak kompetitif. Melalui pembuatan kebijakan

yang hanya menguntungkan orang dan kelompok tertentu saja, yang mengakibatkan

timbulnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Beberapa fakta menunjukan pemerintah memainkan peran cukup dominan dalam

tindakan yang mendorong praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat seperti :

a. Penunjukan perusahaan swasta sebagai produsen dan importir tunggal untuk

mengolahbiji gandum menjadi tepung ter igu dan mengijinkan perusahaan tersebut

untuk masuk pada industri hilir, contohnya penunjukan PT Bogasari oleh BULOG.

b. Pemeritah tampaknya tidak hanya mengijinkan tapi tampaknya juga mendorong

berkembangnya asosiasi-asosiasi produsen yang berfungsi sebagai kartel diam-

diam yang mampu mediktekan harga barang dan jumlah pasokan barang di pasar,

contohnya adalah ORGANDA (Organisasi Angkutan Darat),21 Asosiasi Produsen

Semen,22 Apkindo (Asosiasi Panel Kayu Indonesia), APKI (Asosiasi Pulp dan

Kertas Indonesia).23

19 Lihat Sjahrir, Meramal Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian (Jakarta; GramediaPustaka Utama, 1995), hal.256.

20 Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia NomorII/MPR/1998 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, Bagian Kebijaksanaan Pembangunan LimaTahun Ketujuh, Bidang Ekonomi Perihal Perdagangan.

21 Lihat Business News, “KPPU Tanyakan Kenaikan Tarif Taksi, Indikasikan Ada Kartel DalamORGANDA,” (22 Januari 2001). Lihat juga Partnership for Business Competition bekerjasama denganGeorgetown University Law Centre, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI), “ReaksiPelaku Usaha Atas Berlakunya UU No 5/1999 dan Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha:Ringkasan Pokok Laporan Penelitian,”( Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Partnership forBusiness Competition, Jakarta, Juli, 2000), hal. 37.

22 Sjahrir, Spektrum Ekonomi Politik Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1994).hal.302-306.

23 Lihat Robintan Sulaiman, Persaingan Curang Dalam Perdagangan Global (Tinjauan Yuridis)(Jakarta: Pusat studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2000), hal.41.

Page 7: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

7

c. Pemerintah dengan sengaja telah membiarkan satu perusahaan menguasai

pangsa pasar di atas 50% atas suatu produk, contonya adalah PT Indofood yang

mengusasi pangsa pasar mie instan di Indoesia lebih dari 50%.24

d. Pemerintah telah dengan sengaja membuat entry barrier bagi pemain baru di

bidang industri tertentu, contohnya adalah kebijakan Mobil Nasional.25

e. Pemerintah memberikan perlindungan kepada industri hulu yang memproduksi

barang tertentu dengan cara menaikan bea masuk barang yang sama yang

diimpor dari luar negeri, contohnya adalah prokteksi terhadap PT Chandra Asri.26

Kondisi di atas, terjadi dikarenakan orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang

lebih memprioritaskan kepada pertumbuhan ekonomi, sehingga menyebabkan seluruh

kebijakan ekonomi yang dibuat diupayakan mendukung semua aktivitas yang

diharapkan dapat memacu tingkat pertumbuhan tersebut.

Perusahaan-perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta diberikan keleluasaan

dalam mengembangkan usahanya melalui hutang, baik yang berasal dari lembaga

keuangan domestik maupun dari luar negeri tanpa batas dan kontrol dari pemerintah.

Akibatnya pada saat terjadinya krisis moneter yang menyebabkan terpuruknya nilai tukar

rupiah terhadap mata uang asing, terutama US$, akhirnya membuka tabir kebobrokan

dunia usaha di Indonesia.

Sehingga pada akhirnya menuntut pemerintah untuk menata kembali kegitan usaha di

Indonesia yang keliru dimasa lalu, agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang

secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta

terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan dan kelompok tertentu,

24 Partnership for Business Competition, “Persaingan Usaha: Potret Beberapa Pasar di Indonesia,”(Laporan penelitian disampaikan pada seminar sehari Partnership for Business Competition, Jakarta, Juli,2000), hal.18-19. Lihat Bisnis Indonesia, “ 8 Perusahaan diduga lakukan monopoli,” (20 Desember 2000).

25 Yose Rizal dan Pande Radja Silalahi, “Industri Mobil Indonesia: Suatu Tinjauan” dalamTransformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, cet.1. Marie Pangestu, Raymon Atje danJulius Mulyadi, ed., (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996), hal.200-203.

26 Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-UndangAntimonopoli: Undang-Undang larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta :Elex Media komputindo, 1999) , hal.19-20

Page 8: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

8

antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang

merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial, dengan

segera membuat Undang-undang Persaingan Usaha

Ditambah juga adanya tekanan dari pihak luar, terutama IMF yang memaksa Indonesia

harus segera memiliki Undang-undang Persaingan Usaha, dalam rangka persetujuan

Indonesia dengan IMF pada tanggal 15 januari 1998, dimana telah disepakati bahwa

pemerintah Indonesia akan melaksanakan berbagai pembaruan struktural, termasuk

deregulasi kegiatan domestik, yang bertujuan untuk mengubah ekonomi biaya tinggi

Indonesia menjadi suatu ekonomi yang lebih terbuka, kompetitif dan efesien, apabila

ingin mendapatkan bantuan dari IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi yang sedang

melanda Indonesia. Sehingga ketika awal diberlakukan Undang-undang ini beberapa

kalangan berpendapat miring bahwa sebenarnya Undang-undang Nomor 5 / 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak lebih

hanya merupakan pesanan IMF semata.

Pendapat di atas sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena jauh hari sebelum

Indonesia dilanda krisis ekonomi, sudah banyak kalangan menyuarakan akan

pentingnya memiliki Undang-undang Persaingan Usaha, bahkan pada tahun 1993

Fakultas Hukum Universitas Indonesia berkerja sama dengan Badan Penelitian dan

Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan Republik Indonesia telah

menghasilkan Rancangan Akademik Undang-undang tentang Persaingan di Bidang

Perdagangan, namun karena kondisi pada waktu lalu belum memungkinkan Undang-

undang Persaingan Usaha untuk diberlakukan, maka pemberlakuan Undang-undang

Persaingan Usaha baru dapat terwujud pada tahun 1999.

Prof. Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan beberapa alasan yang menyebabkan

Undang-undang Persaingan Usaha untuk lahir pada masa Orde Baru, yaitu antara lain:

Pertama, adalah karena pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan

besar perlu ditumbuhkan untuk berfungsi menjadi lokomotif pembangunan apabila

perusahaan-perusahaan tersebut diberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu ada

dalam bentuk proteksi yang dapat menghalangi perusahaan lain dalam bidang usaha

tersebut atau dengan kata lain memberikan posisi monopoli. Kedua, adalah pemberian

Page 9: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

9

fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di

sektor yang bersangkutan. Tampa fasilitas monopoli dan proteksi, sulit bagi pemerintah

untuk mendapatkan kesedian insvestor menanamkan modal disektor tersebut. Ketiga,

adalah untuk menjaga berlangsungnya praktek KKN demi kepentingan kroni-kroni

mantan presiden Suharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu.27

Kedudukan Hukum Persaingan Usaha dalam Sistem Hukum Indonesia

Memperhatikan ruang lingkup kajian yang dilakukan oleh Hukum Persaingan Usaha,

maka Hukum Persaingan Usaha dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari Hukum

Ekonomi. Dan bahkan apabila kita memperhatikan materi dari Undang-undang

Persaingan Usaha rasanya tidak cukup hanya dengan belajar dari ilmu hukum saja

untuk memahami Undang-undang tersebut, tetapi juga penting mempelajari ilmu

ekonomi khususnya ilmu ekonomi industri untuk dapat memahami secara baik hukum

persaingan usaha.

Ahli hukum yang menguasai Undang-undang Persaingan Usaha tanpa memiliki

pemahaman yang baik terhadap ilmu ekonomi industri akan membuat kajian-kajian yang

dihasilkannya kering atau timpang. Jadi diperlukan kajian secara interdisipliner (terutama

hukum ekonomi dan ilmu ekonomi industri) untuk dapat memahami hukum persaingan

usaha secara lebih komprehensif. Jadi disarankan jika yang ingin mempelajari hukum

persaingan usaha secara lebih baik tidak ada salahnya untuk membaca literatur-literatur

dari ilmu ekonomi khususnya ekonomi industri.

Hukum persaingan usaha dapat dikatakan merupakan species atau bagian dari genus

hukum ekonomi, yang menurut Sunaryati Hartono hukum ekonomi itu sendiri

memerlukan metode penelitian dan penyajian yang interdisipliner dan transnasional.

Interdisipliner, karena: (1) hukum ekonomi Indonesia tidak hanya bersifat perdata, tetapi

juga berkaitan erat dengan Hukum Administrasi Negara, Hukum Antar wewenang,

hukum pidana, bahkan juga tidak mengabaikan hukum publik Internasional dan hukum

perdata internasional; dan hukum internasional ekonomi Indonesia memerlukan

Page 10: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

10

landasan pemikiran bidang-bidang non hukum, seperti filsafat, ekonomi, sosiologi,

administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan, dan bahkan juga futurologi.28

Materi yang terkandung di dalam Undang-undang No.5/1999 secara umum

mengandung 6 (enam) bagian pengaturan, yang terdiri dari:

1. perjanjian yang dilarang;

2. kegiatan yang dilarang;

3. posisi dominan;

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

5. penegakan hukum;

6. ketentuan lain-lain.

Asas dan Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha

Asas yang digunakan sebagai landasan dalam pembentukan Undang-undang

No.5/1999 bila dilihat dari Pasal 2 Undang-undang No.5 / 1999, yang berbunyi : “pelaku

usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi

ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan

kepentingan umum,” sebenarnya adalah demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi yang

dimaksud oleh Undang-undang No.5/1999 dapat dilihat pada bagian menimbang

Undang-undang No.5/1999 yaitu menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi

setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi atau pemasaran

barang atau jasa.

Sedangkan hubungan antara demokrasi ekonomi dengan sistem ekonomi Pancasila bila

menurut Tirta Hidayat dalam makalah pengantar diskusi pada “seminar intern Bappenas,

tanggal 14 Agustus 1997, adalah demokrasi ekonomi itu sendiri merupakan inti dari

sistem ekonomi Pancasila. Lebih lanjut Gunawan Sumodiningrat menambahkan,

Ekonomi pancasila itu sendiri sebenarnya dapat disamakan dengan sistem ekonomi

Page 11: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

11

campuran. Sistem ekonomi campuran adalah campuran dari sistem ekonomi liberal-

kapitalistik dan sistem ekonomi sosialis-komunistik. Dalam sistem ekonomi liberal-

kapitalistik semua kegiatan ekonomi dilakukan oleh individu-individu atau swasta, bukan

oleh pemerintah. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi sosialis-komunistik, tidak dikenal

atau tidak ada sektor swasta, sebab semua kegiatan ekonomi direncanakan, dilakukan

dan dikuasai oleh pemerintah atau negara.

Namun dalam sistem ekonomi campuran kedua sektor, pemerintah dan swasta hidup

berdampingan. Dengan demikian terdapat kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh

swasta dan sebagian dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya yang menyangkut hajat

dan kepentingan orang banyak. Dalam sistem ini sebagian interaksi pelaku ekonomi

terjadi di pasar, tetapi terdapat berbagai pula campur tangan pemerintah melalui

berbagai kebijaksanaan. Pada akhirnya ciri yang paling menonjol dari sistem ekonomi

campuran adalah adanya intevensi pemerintah dalam perekonomian yang terintegrasi di

pasar.

Intervensi pemerintah melalui perencanaan pembangunan adalah untuk bisa mengatur

pengalokasian sumber-sumber produktif secara lebih terarah, efektif dan efesien,

sehingga dapat dicapai suatu perubahan struktural yang lebih menjamin kepentingan

masyarakat secara keseluruhan berdasarkan nilai-nilai keadilan sosial.

Hakikat dari demokrasi ekonomi bila menurut Emil Salim adalah tersebarnya (dispersi)

kekuatan ekonomi di masyarakat, dan tidak tersentralisasi di pusat atau terkumpul di

beberapa tangan anggota masyarakat (monopoli dan oligopoli). Jadi dapat dikatakan

Undang-undang Persaingan Usaha merupakan salah satu wujud intervensi pemerintah

dalam usaha menciptakan demokrasi ekonomi.

Penjabaran lebih lanjut dari asas demokrasi ekonomi pada Undang-undang No.5/1999

dapat dilihat pada Pasal 3 Undang-undang No.5/1999, yang memuat mengenai Tujuan

pembentukan dari Undang-undang No.5/1999, yaitu:

1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efesiensi ekonomi nasional sebagai

salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

Page 12: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

12

2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang

sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi

pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

3. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang

ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

4. terciptanya efektivitas dan efesiensi dalam kegiatan usaha.

Prinsip-prinsip Umum dalam Hukum Persaingan Usaha

1. Rule of Reason dan Per se

Secara garis besar perumusan pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-undang

No.5/1999 adalah menggunakan perumusan Rule of Reason dan Per Se. Yang

dimaksudkan dengan Rule of Reason adalah untuk menyatakan bahwa suatu

perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, penegak hukum harus

mempertimbangkan keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu

membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penegak

hukum harus dapat menunjukan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang

secara nyata terhadap persaingan.29 Dengan demikian dapat dikatakan, Rule of Reason

lebih memfokuskan kepada melihat akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan

barulah pasal yang menggunakan rumusan secara Rule of Reason ini dapat diterapkan.

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan

penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”

Merupakan salah satu pasal yang menggunakan perumusan Rule of Reason.

29 Daniel V., et.all., comprehensive business law: principles and cases., Kent publishingCompany., 1987., hal 1042. yang dikutif dari hukum persaingan usaha elips

Page 13: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

13

Sedangkan yang dimaksud dengan Per Se adalah rumusan pasal mengenai perbuatan

tertentu yang dilarang untuk dilakukan, dimana perbuatan tersebut sudah dapat terbukti

dilakukan dan dapat di proses secara hukum tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau

kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.30

Pasal 6 Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat

perjanjianyang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang

berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang

sama.” Merupakan salah satu pasal yang mempergunakan perumusan Per Se.

Sehingga ketika pelaku usaha melakukan perbuatan yang dilarang oleh pasal tersebut,

pelaku usaha tersebut sudah dapat diproses secara hukum tampa harus menunggu

adanya bukti-bukti bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut tanpa harus

menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.

2. Pendekatan Struktur Pasar dan Tingkah Laku

Pendekatan dalam penyusunan Undang-undang Persaingan Usaha secara garis besar

dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pendekatan struktur pasar dan pendekatan perilaku.

Dalam pendekatan struktur penguasaan pasar oleh pelaku usaha menjadi bahan

analisis utama apakah pelaku usaha melakukan pelanggaran hukum persaingan dengan

menilai struktur pasar setiap produk oleh suatu pelaku usaha. Sedangkan pendekatan

perilaku adalah pelaku usaha tidak dilarang menjadi “besar” sepanjang posisinya tidak

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

3. Definisi

Dalam penyusunan suatu peraturan perundangan, perumusan suatu defenisi

merupakan suatu hal yang sangat penting, karena setiap kata terkadang memiliki

banyak defenisi. Terlebih penyusunan peraturan perundangan yang sebagian besar

ketentuannya merupakan hasil adopsi dari ketentuan hukum asing, dimana kebanyakan

istilah-istilah yang ada menggunakan bahasa asing, yang terkadang untuk pengaturan

tertentu dalam bahasa asing sulit untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia.

Dan hal ini sangat dirasakan dalam penyusunan pengaturan persaingan usaha dimana

sebagian ketentuannya mengadopsi dari ketentuan hukum asing.

30 ibid

Page 14: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

14

Meskipun harus diakui bahwa ketidak jelasan akan selalu ada pada setiap peraturan

perundangan, namun dengan berusaha memberikan defenisi yang jelas dan tidak

mempunyai arti ganda akan memperkecil kemungkinan perbedaan pendapat yang tidak

perlu. Selain itu harus dihindarkan sedemikian rupa untuk menunjuk arti suatu kata pada

rumusan ketentuan lain. Sebagaimana kita ketahui, bahwa para penegak hukum,

apalagi masyarakat tidak menguasai semua bidang, mereka hanya menguasai satu atau

lebih bidang tertentu, namun mereka harus memutus atau menangani perkara yang

dihadapinya. Dengan perumusan yang jelas dan mudah dimengerti akan memudahkan

penerapan hukum secara efektif.31

Mengenai penempatan definisi ini dalam suatu perundang-undangan ada beberapa

kemungkinan. Pertama ditempatkan dibagian ketentuan umum yaitu pada bagian awal

dari suatu ketentuan. Kemungkinan kedua diletakkan dibagian belakang dari suatu

peraturan dan kemungkinan ketiga diletakkan sebagai satu kesatuan didalam pasal-

pasal mengenai materi dari peraturan tersebut. Dimana diletakkan ketentuan definisi ini

tergantung pada pertimbangan para pembuat undang-undang, dimana tempat yang

dianggap efektif untuk menuntun masyarakat termasuk para penegak hukum dapat

memahami arti dari suatu ketentuan.32

Di dalam Model Law on Competition yang disusun UNCTAD ditetapkan beberapa

definisi istilah-istilah yang berkaitan langsung dengan hukum persaingan usaha seperti

definisi (pengertian) pelaku usaha, posisi dominan, merger dan akuisisi dan pasar

bersangkutan (relevant market). Dahulu definisi istilah-istilah tersebut hanya ditemukan

di literature-literatur. Tetapi di dalam perkembangannya pengertian-pengertian istilah

tersebut dapat banyak ditemukan di dalam hukum persaingan usaha beberapa negara,

paling tidak dijelaskan di dalam suatu pedoman tertentu, misalnya di dalam pedoman

merger dan akuisisi tertentu, ditetapkan definisi pasar bersangkutan (relevant market).33

31 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, “Draft Best Practice Undang-undang No.5/1999”, Tahun2003. hal 11

32 Ibid.hal 12.33 Ibid.

Page 15: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

15

Demikian juga di dalam UU No. 5/1999 ditetapkan definisi istilah-istilah hukum

persaingan usaha di dalam ketentuan umum pasal 1. Di dalam pasal 1 tersebut terdapat

17 (tujuh belas) istilah yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha. Apabila kita

teliti, maka terdapat beberapa definisi yang tidak jelas dan saling bertentangan, antara

lain:

1. Penggunaan beberapa istilah yang hampir sama, namun tidak jelas apa artinya:

seperti kata pelaku usaha, pelaku usaha lain, pelaku usaha pesaing dan pihak

lain, seperti terdapat dalam Pasal 4, 5, 15 ayat 2.

2. Pengetian Monopoli Pasal 1 angka 1: kurang jelas, karena monopoli

berhubungan dengan posisi dominan dan besarnya pangsa pasar yaitu satu

pelaku usaha menguasai lebih dari 50 %( monopoli ) dan dua atau lebih pelaku

usaha menguasai lebih dari 75 % ( oligopoli ).

3. Pasal 1 angka 5 merumuskan pelaku usaha sebagai setiap orang perorangan

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi,

dengan rumusan seperti ini, dianggap belum memasukan mengenai subyek

hukum badan usaha milik negara, sehingga apabila badan usaha mulik negara

melakukan pelanggaran terhadap UU Persaingan usaha dapat tidak terkena

hukuman.

4. Pasal 1 angka 6 merumuskan mengenai persaingan usaha tidak sehat yang

dilakukan secara tidak jujur, padahal tidak ada pasal yang merumuskan hal

tersebut pada bagian substansi.

5. Pasal 1 angka 7; yang merumuskan perjanjian sebagai suatu perbuatan satu

atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku

usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis, mungkin

dapat diperbaiki menjadi perjanjian adalah suatu bentuk perbuatan dari dua atau

lebih pelaku usaha untuk saling mengikatkan diri dengan nama apapun baik

tertulis maupun tidak tertulis.

6. Pasal 1 angka 8; persekongkolan tidak harus mempunyai tujuan menguasai

pasar bersangkutan. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 22 yang hanya

mengatur mengenai tender.

Page 16: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

16

7. Pasal 1 angka 14: harga pasar didefenisikan sebagai harga yang dibayar dalam

transaksi barang dan/atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar

bersangkutan, padahal kesepakatan harga dilarang oleh undang-undang.

8. Perlu ditambahkan beberapa definisi, misalnya apa yang dimaksud dengan

penelitian dalam Pasal 36 b, kata keberatan dalam Pasal 44 ayat 2, dan arti

perbuatan dalam Pasal 50 a serta peraturan perundang-undangan yang berlaku

sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 50 a.

9. Pasal 2 perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum.

10. Pasal 3; Praktek monopoli tidak selalu jahat, karenanya perlu ditambahkan

bentuk dan praktek monopoli yang dilarang.

11. Pasal 4 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha lain;

12. Pasl 5 juga tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha pesaingnya.

13. Pasal 6 tidak jelas dengan siapa pelaku usaha mengadakan perjanjian.

14. Pasal 11 Pengertian kartel terlampau sempit karena hanya menyangkut

perjanjian untuk menguasai jumlah produksi atau pemasaran barang atau jasa.

15. Pasal 15 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pihak lain,

16. Pasal 22; harus diperjelas siapa yang dimaksud dengan pihak lain.34

Dari ketujuh belas definisi tersebut diatas, definisi persaingan usaha tidak sehat perlu

mendapatkan perhatian utama, karena definisi tersebut menjelaskan bagaimana suatu

pasar dapat dinyatakan tidak sehat, dan sekaligus definisi tersebut menjelaskan tujuan

UU No. 5/1999 seperti disebutkan di atas sebelumnya. Sementara definisi persaingan

usaha tidak sehat tidak kita temukan di berbagai hukum persaingan usaha negara lain,

bahkan di dalam literature pun tidak ditemukan. Yang dapat ditemukan adalah

pengertian persaingan usaha, itupun para ahli hukum kartel tidak ada kesatuan

pendapat mengenai definisi tersebut. Karena jika disepekati pembuatan suatu definisi

persaingan usaha akan mempersulit penerapan hukum persaingan usaha, karena

berbicara mengenai persaingan usaha mempunyai fenomena yang beragam. Fenomena

tersebut berinteraksi antara struktur pasar, perilaku pasar dan menjadi hasil pasar. Di

dalam proses interaksi tersebut terdapat kebebasan. Kebebasan merupakan syarat

utama bagi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usahanya, baik untuk masuk ke

pasar atau mengakses suatu barang atau jasa tertentu. Oleh karena itu, apabila

34 Ibid.

Page 17: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

17

kebebasan pelaku usaha tersebut terhambat, itu berarti pasar terdistorsi. Terdistorsinya

suatu pasar disebabkan oleh banyak hal. Oleh karena sulitnya menetapkan suatu

definisi persaingan usaha, maka ditetapkan ketentuan-ketentuan normatif di dalam

hukum persaingan usaha untuk membatasi perilaku atau tindakan pelaku usaha yang

mendistorsi pasar tersebut. Jadi, secara sederhana suatu pasar dapat dinyatakan tidak

sehat, apabila pasar bersangkutan terdistorsi.35

Pasal 1 angka 6 menetapkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan

antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang

dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau

menghambat persaingan usaha. Dari ketentuan pasal 1 no. 6 tersebut dapat

disimpulkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah hubungan antara pelaku

usaha yang satu dengan yang lain, yang dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum

atau dengan menghambat persaingan usaha. Hanya saja definisi ketentuan pasal 1

angka 6 mencampur adukkan persaingan yang tidak sehat yang dilakukan secara tidak

jujur dengan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Seperti sudah

disebut di atas, sementara ketentuan persaingan usaha yang dilakukan dengan cara

tidak jujur tidak diatur di dalam UU Antimonopoli.36

Perbuatan tidak jujur adalah suatu tindakan penipuan yang subjektif, yang dapat

dilakukan oleh suatu pelaku usaha dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses

produksi suatu barang, atau dalam memasarkan barang tertentu. Misalnya kualitas

barang dan mereknya tidak sesuai dengan harganya, kualitas barang tidak sesuai

dengan yang diiklankan, atau harga barang yang dibayar tidak sesuai dengan harga

yang tertera pada barang tersebut. Oleh karena itu suatu tindakan penipuan yang

dilakukan secara tidak jujur, yang pembuktiannya mensyaratkan pembuktian yang

subjektif. Akibat dari perbuatan tersebut dirasakan langsung oleh konsumen, dan secara

tidak langsung oleh pesaingnya. Hal-hal seperti ini diatur di dalam pasal 382 bis KUHP,

pasal 1365 KUHPerdata dan UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen. Jadi, hal

35 Ibid. hal.13.

36 Ibid . hal.14.

Page 18: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

18

ini tidak berhubungan dengan persaingan usaha antara pelaku usaha yang satu dengan

pelaku usaha pesaingnya.37

Persaingan usaha yang melawan hukum adalah segala kegiatan usaha yang melanggar

larangan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan larangan undang-undang adalah

yang melarang perilaku tertentu dan secara imperatif. Larangan imperatif biasanya

diikuti dengan kata-kata „dilarang atau tidak boleh“ di dalam suatu ketentuan perundang-

undangan. Contohnya ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, jika ketentuan-ketentuan tersebut dilanggar langsung dijatuhkan hukuman

tertentu. Misalnya seseorang dijatuhi hukuman penjara lima tahun, karena mencuri

barang milik orang lain.38

Di dalam ketentuan UU Antimonopoli ada juga ketentuan-ketentuan yang menggunakan

kata-kata „dilarang“ tetapi ini tidak bararti suatu pelaku usaha otomatis dijatuhkan

hukuman, - perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha yang

langsung dijatuhi hukuman atau denda adalah yang melanggar ketentuan-ketentuan

yang bersifat per se. Misalnya kalau pelaku usaha dengan pesaingnya mengadakan

perjanjian harga (price fixing) atas suatu barang tertentu. Selain itu ada ketentuan UU

Antimonopoli dalam penerapananya dengan pendekatan rule of reason, yang

penerapannya mempertimbangkan dari aspek keuntungan ekonomisnya baik bagi

pelaku usaha maupun bagi masyarakat. Jadi, ketentuan UU Antimonopoli lebih banyak

mengatur hubungan perilaku antara pelaku usaha dalam menjalankan usahanya di

wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian definisi persaingan usaha tidak sehat

yang dilakukan dengan tidak jujur sebaiknya dihilangkan saja. 39 Sehingga defenisi dari

persaingan usaha tidak sehat menjadi persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang an atau jasa yang dilakukan

dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan.

37 Ibid.38 Ibid39 Ibid .

Page 19: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

19

Perjanjian yang Dilarang

Pada bagian ini secara khusus akan dibahas mengenai pengaturan perjanjian yang

dilarang menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No.5/1999, perjanjian didefinisikan

sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap

satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak

tertulis.” Sedangkan menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

Perjanjian hanya didefinisikan : “Suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.”

Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang-undang No.5/1999,

dapat diartikan bahwa perjanjian yang tidak tertulispun dapat diakui atau digunakan

sebagai alat bukti di pengadilan, dimana sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya

sulit untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan, karena biasanya pengadilan hanya

mau menerima suatu perjanjian sebagai alat bukti jika perjanjian tersebut dibuat secara

tertulis saja.

Seandainya pengadilan hanya mau menerima perjanjian tertulis saja sebagai alat bukti

yang dapat dipergunakan di pengadilan, mungkin perkara-perkara pelanggaran terhadap

Undang-Undang Persaingan Usaha sulit untuk ditindak karena biasanya sangat sulit

untuk menemukan bukti tertulis mengenai suatu perjanjian yang dikategorikan

melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha.

Undang-undang Nomor 5/1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk

dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:

1) Oligopoli (Pasal 4 UU No.5/1999);

2) Penetapan harga

a. price fixing (Pasal 5 UU No.5/1999);

b. Diskriminasi harga / price discrimination (Pasal 6 UU No.5/1999);

c. Predatory Pricing (Pasal 7 UU No.5/1999);

d. Resale Price Maintenance (Pasal 8 UU No.5/1999);

3) Pembagian wilayah / market division (Pasal 9 UU No.5/1999);

4) Pemboikotan (Pasal 10 UU No.5/1999);

Page 20: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

20

5) Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999);

6) Trust (Pasal 12 UU No.5/1999);

7) Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ;

8) Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);

9) Perjanjian Tertutup

a. exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999);

b. tying agreement (Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);

c. vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999);

10) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.

1) Oligopoli

Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk struktur pasar, dimana di

dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan. Sedikitnya jumlah

perusahaan yang beroperasi di pasar disebabkan oleh adanya barrier to entry yang

mampu menghalangi pemain baru untuk masuk ke dalam pasar. Sedikitnya jumlah

pemain ini juga menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdependence)

antar pelaku usaha dan faktor inilah yang membedakan struktur pasar oligopoli dengan

struktur pasar yang lain. Ada beberapa model strategi ketergantungan antar pelaku

usaha oligopoli yaitu kolusi (collusion), kepemimpinan harga (price leadership), dan

kurva permintaan patah (kinked demand curve).

Dalam pasar yang berstruktur oligopoli sangat mungkin terjadi perusahaan-perusahaan

yang ada akan saling mempengaruhi untuk menentukan harga pasar, yang kemudian

dapat mempengaruhi perusahaan lainnya, baik yang sudah ada (existing firms) maupun

yang masih diluar pasar (potential firms). Praktek oligopoli umumnya dilakukan sebagai

salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk

kedalam pasar, dan juga perusahaan-perusahaan melakukan praktek oligopoli sebagai

salah satu usaha untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum

dengan menetapkan harga jual terbatas ( limiting prices), sehingga menyebabkan

kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak

ada.

Page 21: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

21

Apabila perusahaan yang dominan di dalam pasar oligopoli melakukan kolusi maka

mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan

laba dengan cara berlaku secara kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli. Tetapi

kemungkinan gabungan perusahaan yang melakukan kolusi akan mengalami kesulitan

tetap ada, karena masing-masing perusahaan memiliki struktur biaya yang berbeda,

sedangkan mereka harus menetapkan tingkat harga yang sama. Selain itu, semakin

banyak perusahaan yang masuk dalam kolusi maka kemampuan untuk mencapai

kesepakatan akan semakin sulit, dan masing-masing anggota akan memiliki

kecenderungan untuk berlaku curang. Cheating atau kecurangan yang dilakukan oleh

anggota kartel akan semakin tinggi apabila laba yang dijanjikan oleh kegiatan kolusi

lebih kecil dibandingkan laba yang akan mereka dapatkan, misalnya dengan menjual di

bawah harga kesepakatan sehingga pasar mereka akan semakin luas.

Hal tersebut di atas menyebabkan pembahasan mengenai struktur pasar oligopoli

merupakan salah satu pembahasan yang cukup penting dalam hukum persaingan

usaha, karena sebagian besar pelaku usaha yang memiliki kedudukan sebagai

penguasa di dalam pasar tersebut akan dapat memanfaatkan posisi dominannya untuk

mendapatkan keuntungan yang maksimal seperti layaknya pelaku usaha yang memiliki

kedudukan monopoli.

Struktur pasar oligopoli sebenarnya memiliki kesamaan dengan struktur pasar monopoli

dalam hal kurva permintaan dan kurva penerimaan marjinalnya yang berslope negatif.

Hanya saja jika dalam pasar monopoli hanya ada satu perusahaan, sedangkan dalam

pasar oligopoli ada beberapa pelaku pasar yang memiliki posisi yang dominan. Misalnya

dalam UU No. 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dua

atau tiga pelakunya memiliki share 75% atau lebih. Beberapa perusahaan tersebut

dipandang memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga atau memiliki market

power. Salah satu cara untuk dapat mengendalikan harga adalah melalui kebijakan

diferensiasi produk dimana perusahaan menciptakan produk yang berbeda dengan

produk kompetitornya sehingga struktur permintaan produk menjadi lebih inelastis.

Dalam kenyataannya, struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri

yang memiliki capital intensive yang tinggi, seperti industri mobil, semen, kertas dan

Page 22: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

22

peralatan mesin, dimana di dalam proses produksinya baru akan tercapai tingkat

efisiensi (biaya rata-rata minimum) jika diproduksi dalam skala besar; kekuatan pasar

pelaku usaha di dalam pasar oligopoli kurang lebih sebanding; dan barang atau jasa

yang ditawarkan dalam pasar oligopoli barang atau jasa yang homogen. Namun tidak

tertutup kemungkinan dalam pasar yang heterogenpun dapat timbul oligopoli.

Dalam UU No. 5/1999, Oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori perjanjian yang

dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi melalui keterkaitan reaksi, khususnya pada

barang-barang yang bersifat homogen atau identik. Apabila oligopoli dimasukkan ke

dalam kelompok perjanjian maka hal ini identik dengan kartel, sehingga ketentuan yang

mengatur mengenai oligopoli ini akan lebih baik jika digabungkan saja dengan

pengaturan mengenai kartel.

Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 juga memberikan petunjuk bahwa ketentuan tersebut

hanya memperhatikan oligopoli sempit yang hanya melibatkan sejumlah kecil pesaing

yang mempunyai posisi yang kuat di pasar, dalam hal ini 2 atau 3 pelaku usaha atau

kelompok pelaku usaha yang menguasai lebih dari 75% pangsa pasar untuk satu jenis

barang atau jasa tertentu. Padahal menurut pengertian umum, jumlah pelaku usaha

dalam praktek oligopoli sebenarnya dapat lebih banyak. Namun memang semakin besar

jumlah pelaku usaha, terkadang semakin berkurang keterkaitan reaksi pelaku usaha di

dalam pasar yang oligopoli.

Kemudian, besaran pasar yang ditentukan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 yang

merupakan ukuran struktural, dalam prakteknya dapat menyulitkan dalam menindak

praktek oligopoli, karena adakalanya penguasaan pasar di bawah 50% dapat mengatur

pelaku usaha lainnya di dalam pasar bersangkutan, sehingga sebaiknya Pasal 4 ayat (2)

UU No.5/1999 dihilangkan saja.

2) Penetapan Harga

Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 diatur di

dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang No.5/1999, yaitu:

1. Perjanjian penetapan harga / Price Fixing Agreement;

2. Diskriminasi harga / Price Discrimination ;

Page 23: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

23

3. Harga pemangsa / Predatory Pricing;

4. Resale Price Maintenance.

ad. 1 Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)

Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) merupakan salah satu strategi yang

dilakukan di antara pelaku usaha yang tujuannya adalah untuk menghasilkan laba yang

setingi-tingginya, dimana dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara

pelaku usaha (produsen atau penjual) telah meniadakan persaingan dari segi harga

terhadap produk yang mereka jual atau pasarkan, yang kemudian dapat berakibat

kepada consumer’s surplus yang dimiliki oleh konsumen dipaksa beralih ke produsen

atau penjual.

Dengan adanya perjanjian penetapan harga, pelaku-pelaku usaha yang terlibat dalam

perjanjian penetapan harga kemungkinan dapat mendiktekan atau memaksakan harga

yang diinginkan secara sepihak kepada konsumen, dimana biasanya harga yang

didiktekan kepada konsumen merupakan harga yang berada di atas kewajaran. Bila hal

tersebut dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang berada di dalam pasar yang

bersangkutan, hal ini dapat membuat konsumen tidak memiliki alternatif yang lain

kecuali harus menerima harga yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang telah

melakukan perjanjian penetapan harga tersebut.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 berbunyi bahwa: “Pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas

suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada

pasar bersangkutan yang sama.” Apabila dilihat dari rumusnya, pasal yang mengatur

mengenai price fixing ini dirumuskan secara Per Se, sehingga penegak hukum dapat

langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian price

fixing tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut.

Tetapi jika dibandingkan dengan Model Law on Competition yang disusun oleh UNCTAD

terlihat bahwa perumusan yang dilakukan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

No.5/1999 berbeda dengan perumusan yang dilakukan oleh UNCTAD, dimana didalam

Model Law perjanjian penetapan harga ini tidak hanya mengatur dari sisi penjual atau

Page 24: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

24

pemasok tetapi juga dari sisi konsumen.40 Meskipun pengaturan perjanjian penetapan

harga yang dilakukan konsumen juga di atur dalam Undang-undang No.5/1999

meskipun dalam pasal yang berbeda .

Sebenarnya apabila mengikuti ketentuan yang ada dalam Model Law UNCTAD,

khususnya pengaturan mengenai penetapan harga ini, dapat membuat pasal-pasal yang

ada dalam undang-undang persaingan kita tidak terlalu memiliki banyak pasal dan lebih

efesien.

Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya kurang memberikan penjelasan

mengenai seperti apa penetapan harga yang dimaksudkan oleh undang-undang,

apakah penetapan harga maksimum atau penetapan harga minimum? Atau termasuk

syarat-syarat pembayaran yang lain? Karena yang biasanya yang menjadi

permasalahan dalam praktek usaha sehari-hari adalah penetapan harga minimum.

Karena terkadang penetapan harga maksimum, yang biasanya sering dilakukan

pemerintah, tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen,

bukan bertujuan untuk menghindari persaingan diantara pelaku usaha.

Kemudian bagaimana seandainya apabila dalam proses tender terjadi perjanjian

penetapan harga yang dilakukan oleh para peserta tender, apakah Pasal 5 ayat (1)

Undang-undang No.5/1999 dapat dikenakan untuk praktek tersebut, karena di dalam

undang-undang No.5/1999 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Undang-undang

No.5/1999 ketentuan yang mengatur mengenai tender hanya mengatur mengenai

penentuan pemenang tender, tidak mengatur mengani perjanjian penetapan harga

dalam proses tender.

Lebih lanjut menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya tidak

semua price fixing agreement dilarang, untuk suatu perjanjian price fixing yang dibuat

dalam suatu usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang-undang yang

berlaku, price fixing tidak dilarang.

40 lihat penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf (a) Model Law on Competition UNCTAD.

Page 25: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

25

Mengenai pengecualian pemberlakuan ketentuan penetapan harga terhadap suatu

perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku tidak menjadi permasalahan

karena sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ketentuan dari suatu undang-

undang dapat mengecualikan pemberlakuan undang-undang persaingan usaha, tetapi

yang jadi permsalahan adalah pengecualian pemberlakuan ketentuan mengenai

penetapan harga terhadap suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan.

Di dalam ketentuan yang ada pada beberapa negara seperti ketentuan pada Masyarakat

Economi Eropa (The EC Treaty) memang dimungkinkan untuk mengijinkan praktek

penetapan harga dilakukan oleh suatu usaha patungan ( joint venture) asalkan berperan

besar mendorong perkembangan ekonomi dan teknologi. Dan apabila peruhsaan joint

venture tersebut tidak berperan besar dalam mendorong perkembangan ekonomi dan

teknologi maka perusahaan joint venture tersebut mendapatkan perlakuan yang sama

dengan penggabungan usaha biasa.

Apakah maksud pengecualian pemberlakuan perjanjian penetapan harga terhadap

suatu usaha patungan dalam Undang-undang No.5/1999 senada dengan pengaturan

yang diberikan pada The EC Treaty, dalam penjelasan Undang-undang tidak sedikitpun

diberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Sehingga apabila ketentuan ini

dipertahankan dan tanpa ada penjelasan yang cukup jelas ketentuan ini dapat

menghambat penegakkan undang-undang persaingan usaha.

Mengenai perumusan aturan price fixing di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999 yang

dirumuskan secara Per se dapat dikatakan sudah tepat, karena memang hampir

sebagian besar Undang-Undang Persaingan Usaha di beberapa negara merumuskan

price fixing secara Per se, namun walaupun begitu terkadang hakim dalam

menggunakan ketentuan ini pun menerapkan secara rule of reason.

ad. 2 Perjanjian diskriminasi harga (price discrimantion agreement)

Perjanjian diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan

pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap

konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Dimana tujuan yang ingin dicapai dari

perjanjian ini sebenarnya juga sama dengan price fixing yaitu mempunyai motif untuk

Page 26: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

26

meningkatkan laba pelaku usaha (produsen atau penjual) setinggi-tingginya dengan

mengeksploitasi surplus konsumen.

Diskriminasi harga ini biasanya dapat terjadi karena produsen atau penjual telah dapat

memastikan bahwa setiap konsumen yang ada mau untuk membayar dengan harga

yang berbeda terhadap produk yang sama, misalnya seperti harga karcis bioskop Grup

21 (Twenty One) untuk film yang sama dan pada waktu yang sama di Cilandak Town

Square sekitar Rp 35.000,00 sedangkan harga karcis bioskop Grup 21 juga di Plaza

Indonesia Rp 60.000,00. Hal di atas dapat terjadi karena si penjual, dalam hal ini

pengelola bioskop telah dapat memastikan bahwa konsumen yang akan menonton

bioskop di Plaza Indonesia mau membayar dengan harga yang lebih mahal dengan

dibandingkan apabila menonton di bioskop Cilandak Town Square.

Dasar diskriminasi harga yang banyak diterapkan oleh pelaku usaha adalah dengan

cara melihat kepada siapa konsumennya (elastisitas permintaannya). Permintaan yang

lebih elastis akan dibebankan harga yang lebih rendah dibandingkan permintaan yang

inelastis, contohnya untuk barang-barang yang sama, bila di jual di Plaza Indonesia

akan lebih mahal dibandingkan yang dijual di Plaza Depok, karena permintaan barang

yang dijual di Plaza Indonesia lebih inelastis dibandingkan permintaan barang yang

dijual di Plaza Depok. Atau dengan kata lain, diskriminasi harga dapat terjadi bila sifat

permintaan dan elastisitas permintaan di masing-masing pasar haruslah sangat

berbeda.

Diskriminasi harga juga dapat terjadi bila: (1) barang tidak dapat dipindahkan dari satu

pasar ke pasar lain, (2) sifat barang atau jasa tersebut memungkinkan dilakukan

pembedaan harga, (3) praktek diskriminasi harga tidak memakan ongkos yang melebihi

keuntungan dari kebijkan tersebut, (4) pelaku usaha dapat mengeksploitasi beberapa

sikap tidak rasional konsumen.

Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga tanpa

memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, dimana bunyi dari pasal

tersebut antara lain: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan

Page 27: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

27

pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus

dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”

Dengan adanya praktek yang seperti disebutkan Pasal 6 Undang-undang No.5/1999

dapat menyebabkan pembeli tertentu (dimana pembeli tersebut merupakan pelaku

usaha juga) yang terkena kewajiban harus membayar dengan harga yang lebih mahal

dibandingkan pembeli lain (yang juga merupakan pelaku usaha) yang sama-sama

berada dalam pasar yang sama, dapat menyebabkan pembeli yang mengalami

diskrimisasi tersebut tersingkir dari pasar.

Memasukkannya ketentuan mengenai diskriminasi harga ke dalam kelompok perjanjian

sulit dicarikan dasar argumentasinya, bahkan dalam praktek pun ketentuan ini jarang

terjadi, karena biasanya tindakan diskriminasi harga merupakan tindakan yang sepihak

dari seorang pelaku usaha (penjual), dan sangat jarang dilakukan berdasarkan atau

melalui suatu perjanjian. dan hal ini dapat menjadi kendala bagi penegak hukum untuk

menegakkan ketentuan diskriminasi harga ini karena sebagian besar praktek

diskriminasi harga yang terjadi tidak berdasarkan perjanjian. Jadi lebih mudah apabila

ketentuan ini tidak dimasukan dalam kelompok perjanjian yang dilarang.

Bila melihat kepada rumusan Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999, ketentuan yang

mengatur mengenai diskriminasi harga ini, diatur secara Per Se, sehingga berakibat

pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 6 tersebut dapat

dijatuhi sanksi hukum oleh penegak hukum tanpa terlebih dahulu melihat bahwa yang

dilakukan tersebut menimbulkan akibat tertentu atau tidak. Dalam praktek, Pasal 6 UU

No.5/1999 tidak mudah untuk dibuktikan, karena menurut teori, diskriminasi harga selalu

dimungkinkan jika ada perbedaan volume pembelian, waktu, dan jarak antara penjual

dengan pembeli. Dan di dalam pasal tersebut juga tidak di jelaskan dengan siapa pelaku

usaha membuat perjanjian, apakah dengan sesama pelaku usaha ataukah dengan

pembeli?.

ad. 3 Harga Pemangsa / Predatory Pricing

Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha

dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah, yang tujuan utamanya untuk

Page 28: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

28

menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang

berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, segera setelah

berhasil mengusir pelaku usaha pesaing dan menunda masuknya pelaku usaha

pendatang baru, selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan

keuntungan yang mungkin didapatkan.

Literatur ekonomi mengenai alasan dan keampuhan strategi predatory pricing masih

menjadi kontroversi. Banyak ahli ekonomi yang mempertanyakan strategi predatory

pricing atas dasar bahwa: itu bisa sama mahalnya bagi si pelaku usaha yang melakukan

predatory pricing dan bagi korbannya; sasaran predatory pricing tidak akan mudah

diusir, dengan asumsi pasar relatif efisien; dan masuknya pendatang baru atau

masuknya kembali principles dengan tidak adanya rintangan akan mengurangi

kesempatan pemangsa untuk mendapatkan kembali kerugian yang terjadi selama

pelaku usaha tersebut melakukan praktek predatory pricing.

Untuk sementara waktu atau jangka pendek praktek predatory pricing memang

menguntungkan bagi konsumen karena harga produk yang dijual oleh pelaku usaha

menjadi jauh lebih murah, tetapi belum tentu di masa depan, ketika pelaku usaha sukses

dalam menjalankan strategi predatory pricing dan menyebabkan dia tidak memiliki

pesaing yang berarti lagi, pelaku usaha tersebut akan menaikan harga kembali bahkan

mungkin setinggi-tingginya untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya agar

pengorbanan yang pernah dikeluarkan selama pelaku usaha tersebut melakukan

praktek predatory pricing terbayarkan.

Menurut R. Shyam Khemani dalam a framework for the design and implementation of

competition law and policy yang diterbitkan oleh World Bank dan OECD sebenarnya

Predatory pricing biasanya dilarang bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu

rendah terhadap produk yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan

datang pelaku usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan

harga. Oleh karena itu bila pelaku usaha yang melakukan praktek predatory pricing di

masa depan dia tidak akan mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga,

mungkin predatory pricing tidak dilarang.

Page 29: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

29

Praktek predatory pricing sebagai salah satu strategi yang diterapkan oleh pelaku usaha

untuk mengusir pesaing-pesaingnya dari pasar yang sama sebenarnya sangat sulit

untuk dilakukan pada ekonomi pasar yang sehat (healty market economy), dimana tidak

ada hambatan untuk masuk (entry barrier) ke pasar bagi pelaku usaha, sehingga pada

awalnya (jika berhasil) predatory pricing memang akan mengusir pelaku usaha

pesaingnya dari pasar, namun ketika si pelaku usaha yang menjalankan strategi

predatory pricing-nya berhenti dan kemudian menaikan harga lagi untuk mengeruk

keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada saat itulah pelaku-pelaku usaha

pesaingnya akan berusaha masuk kembali ke pasar. jadi kesimpulannya si pelaku

usaha yang melakukan predatory pricing tidak akan mempunyai cukup waktu untuk

mengembalikan pengorbannannya selama dia melakukan praktek predatory pricing

tersebut, karena pelaku usaha pesaingnya mungkin sudah kembali ke pasar dan bila si

pelaku usaha tersebut tetap ongtot terus menaikan harga, konsekwensi yang mungkin

didapatkan adalah produk dia tidak akan laku di pasar dan akan menderita kerugian

yang lebih besar.

Namun terkadang bagi pelaku usaha, terutama yang baru masuk ke dalam pasar dan

ingin mendapatkan tempat di pasar, dan kemudian merebut simpati konsumen agar

konsumen mau mencoba produknya, pelaku usaha biasanya mengenakan harga yang

sangat rendah untuk produknya tersebut, bahkan terkadang untuk sementara waktu

mereka rela rugi agar konsumen mau mencoba produk mereka. Sebagai contoh warnet

(warung internet) M-WEB di kampus Universitas Indonesia ketika pertama kali berdiri,

mereka mengratiskan biaya sewa internet agar konsumen mau mencoba warnet

mereka, sehingga sempat mengundang kontroversi terutama dari pengelola warnet di

sekitar kampus UI yang merasa dirugikan atas strategi usaha yang dilakukan oleh

warnet M-WEB tersebut. Untunglah M-WEB menerapkan strategi dagangnya tidak

terlalu lama (ketika itu hanya seminggu) sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar bagi

warnet-warnet yang terdapat disekitar lingkungan kampus UI.

Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 melarang sesama pelaku usaha untuk membuat

perjanjian di antara pelaku usaha untuk menetapkan harga di bawah harga pasar

(predatory pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Namun di dalam pasal tersebut defenisi harga pasar akan sangat kabur bila diterapkan,

Page 30: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

30

karena harga pasar bukanlah merupakan sesuatu yang pasti dalam nilai, juga bervariasi

dalam waktu yang berbeda.

Kemudian jika pelaku usaha melakukan perjanjian penetapan harga, dalam hal ini

menetapkan harga di bawah harga pasar, Pasal 5 sudah menegaskan hal tersebut

adalah per se illegal. Keberadaan Pasal 7 UU No.5/1999 dapat menimbulkan

interprestasi yang berbeda dengan Pasal 5 UU No.5/1999, dimana keduanya

mengandung substansi penetapan harga, Jadi untuk menghindari ketumpang-tindihan,

dimana substansi dari Pasal 7 sebenarnya sudah diatur oleh Pasal 5, maka lebih baik

substansi pengaturan dari Pasal 7 UU No.5/1999 digabungkan saja dengan pengaturan

yang ada pada pasal 5.

Sedangkan apabila Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 dihubungkan dengan ketentuan

yang ada pada Pasal 20 Undang-undang No.5/1999 adalah Pasal 7 mengatur mengenai

predatory pricing yang didasarkan kepada perjanjian sedangkan Pasal 20 mengatur

mengenai predatory pricing yang didasarkan kepada tindakan sepihak dari pelaku

usaha.

ad. 4 Resale Price Maintenance

Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa

penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang

dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang

telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak

sehat.”

Prof. Lawrence Anthony Sullivan dalam bukunya Handbook of the Law Antitrust

menyebutkan bahwa dengan adanya perjanjian di antara pelaku usaha, umumnya

perusahaan manufaktur dengan para perusahaan penyalurnya, yang memuat

persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok

kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah

daripada harga yang diperjanjikan (resale price maintenance), sehingga membuat

persaingan di tingkat perusahaan penyalur menjadi hilang.

Page 31: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

31

Adanya perjanjian resale price maintenance yang telah dibuat sebelumnya oleh

perusahaan manufaktur dengan perusahaan penyalurnya mengakibatkan perusahaan

penyaluran tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjual produk yang disalurkannya

tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan perusahaan

penyalur lainnya. Karena biasanya bila tidak ada perjanjian resale price maintenance,

perusahaan penyaluran dalam usaha agar lebih disukai oleh konsumen biasanya dalam

menjual produk yang disalurkannya akan selalu menetapkan harga yang lebih murah

dibandingkan harga yang ditawarkan oleh perusahaan penyalur lainnya, karena harga

merupakan salah satu faktor penting yang di pertimbangkan dan memiliki daya tarik

tersendiri bagi konsumen ketika mereka hendak membeli suatu produk tertentu.

Bila para perusahaan penyaluran dibiarkan menentukan sendiri harga produk yang

mereka salurkan, tidak ditentukan sebelumnya oleh perusahaan manufakturnya,

biasanya akan melahirkan persaingan diantara perusahaan penyaluran dimana mereka

akan berlomba-lomba untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya, dengan cara

menerapkan harga produk yang mereka salurkan semurah-murahnya (mungkin dengan

menekan marjin keuntungan) dan peningkatan kualitas pelayanan yang setinggi-

tingginya.

Dengan adanya perjanjian Resale Price Maintenance juga dapat membatasi marjin dan

harga konsumen. Sedangkan ditingkat pedagang akibatnya seperti kartel harga, dan

mengakibatkan hilangnya persaingan harga. Maka oleh karena itu dalam ketentuan

hukum persaingan usaha Internasional, perjanjian Resale Price Maintenance termasuk

kedalam perjanjian yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.

Ketentuan yang mengatur mengenai Resale Price Maintenance oleh Undang-undang

No.5/1999 dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga dapat diartikan pelaku usaha

diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan

bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk yang

diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan

asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Page 32: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

32

Padahal apabila diperhatikan dalam UU No.5/1999, ketentuan Resale Price

Maintenance sebenarnya dapat dimasukan ke dalam Pasal 5 ayat (1) yang mana sudah

melarang perjanjian penetapan harga diantara pelaku usaha. Karena larangan yang

disebutkan oleh Pasal 5 ayat (1) juga seharusnya sudah mencakup mengenai larangan

menentukan harga jual yang dibayar penjual kembali, maupun penetapan harga

minimum yang boleh diminta oleh penjual kembali. Maka sesungguhnya pasal 8 ini

dapat dikatakan tidak diperlukan lagi. Karena Pasal 5 ayat (1) bisa di tafsirkan atau

dianggap perjanjian yang diatur tersebut merupakan perjanjian horizontal ataupun

vertikal. Meskipun memang interprestasi dari Pasal 8 UU No.5/1999 sebagai larangan

perjanjian vertikal telah sesuai dengan standar hukum persaingan usaha internasional

(Pasal 5 ayat (1) dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code UNTACD

tahun 1994) yang mana menetapkan harga penjualan kembali atau tingkat harga

tertentu adalah dilarang.

Bila memperhatikan bunyi Pasal 8 UU No.5/1999, pihak-pihak yang dimaksudkan oleh

Pasal 8 haruslah pelaku usaha, dan membuat suatu perjanjian. pihak-pihak yang terlibat

juga harus berada ditingkat pasar yang berlainan. Pasal 8 ditujukan bagi kepada

perjanjian yang dibuat oleh pemasok dengan perantara, sedangkan perjanjian harga

yang dibuat pelaku usaha dengan konsumen akhir tidak dapat dikenakan oleh pasal 8

UU No.5/1999.

Perumusan pasal mengenai Resale Price Maintenance dalam Pasal 8 UU No.5/1999

yang dirumuskan secara Rule of Reason dapat dikatakan menyimpang dari standar

Internasional yang ada. Baik menurut sistem hukum Eropa maupaun Pasal 5 ayat (1)

dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code menggolongkan semua

perjanjian Resale Price Maintenance sebagai hambatan terhadap persaingan usaha

yang sehat. Dibandingkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999, maka pembatasan di

Pasal 8 UU No.5/1999 patut diragukan. Apabila ingin ditekankan perlindungan tambahan

terhadap penetapan harga seperti yang dirumuskan oleh Pasal 8, maka alangkah lebih

baik apabila perjanjian penetapan harga yang dalam hal ini secara vertikal dilarang

secara mutlak (per-se).

Page 33: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

33

Kemudian Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 sebenarnya juga telah membatasi

pemberlakuan ketentuan Resale Price Maintenance hanya kepada penerapan harga

yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan saja, bagaimana seandainya

Resale Price Maintenance dengan kondisi pelaku usaha membuat perjanjian RPM

dengan ketentuan tidak boleh menerapkan harga lebih tinggi daripada harga yang

diperjanjikan?. Apakah Pasal 8 masih dapat diterapkan?

3) Pembagian Wilayah / market division

Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi

wilayah pemasaran atau alokasi pasar merupakan salah satu strategi yang dilakukan

untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka, sehingga pelaku usaha

dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa

harus melalui persaingan.

Menurut Stephen F. Ross dalam bukunya Principles of Antitrust Law menyatakan bahwa

hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha dengan cara melakukan

pembagian wilayah bisa membuat pelaku usaha untuk melakukan tindakan

pengurangan produksi ke tingkat yang tidak efesien, kemudian mereka juga dapat

melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan menaikan harga produk, dan

menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap

konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya.41

Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif bila konsumen mempunyai

kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang lain untuk

membeli kebutuhannya. Misalkan pemilik Departemen store Matahari dan Ramayana

bersepakat untuk melakukan pembagian pasar di antara mereka, Departemen store

Ramayana hanya beroperasi dan menjalankan usahanya di wilayah Depok saja,

sedangkan Departemen store Matahari akan beroperasi melayani wilayah Ibu kota

Jakarta, andaikan konsumen di wilayah Depok ketika berbelanja di Ramayana merasa

tidak puas, kemudian konsumen masih memiliki kemampuan untuk berbelanja di

Departemen store Matahari Jakarta, meskipun lebih jauh dari tempat tinggalnya.

41 Stephen F. Rose. Principles of Antitrust Law”. Westbury New York: The Foundation Press, Inc.,1993. p.147

Page 34: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

34

Perjanjian pembagian pasar dalam perkembangannya bisa terjadi melalui bentuk pelaku

usaha diwajibkan untuk memasok hanya dengan kuantitas atau kualitas barang atau

jasa tertentu, tidak mengiklankan produknya secara gencar, atau tidak melakukan

ekspansi usaha yang berlebihan di wilayah pelaku usaha pesaingnya.

Dengan adanya perjanjian pembagian pasar ini, jelas dapat membuat pelaku usaha

yang terlibat di dalam praktek ini akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan

aktifitas usahanya. Tetapi hal ini dikompensasi dengan cara melakukan eksploitasi

secara besar-besaran terhadap konsumen. Tetapi di dalam ketentuan persaingan usaha

di Amerika Serikat disebutkan bahwa sesungguhnya kerjasama antara pelaku usaha

yang bersaing untuk melakukan perjanjian pembagian wilayah sebenarnya tidak hanya

merugikan konsumen tetapi juga sesungguhnya dapat merugikan bagi pelaku usaha itu

sendiri dimana mereka akan dibatasi dalam mengembangkan usaha mereka dan

hilangnya kesempatan mereka untuk meningkatkan kekuatan pasar yang dimilikinya.42

Secara garis besar perjanjian diantara pelaku usaha untuk membagi wilayah pemasaran

pemasaran diantara mereka akan berakibat kepada eksploitasi terhadap konsumen

sehingga Undang-undang No.5/1999 Pasal 9 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi

wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian pembagian wilayah oleh oleh Undang-

undang No.5/1999 khususnya Pasal 9 dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga

sebelum mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak

sehat, pelaku usaha belum bisa dijatuhi hukuman berdasarkan pasal ini. Berbeda

dengan pengaturan di banyak negara, dimana kegiatan perjanjian pembagian wilayah

dikatagorikan sebagai tindakan yang pasti menghambat persaingan usaha dirumuskan

secara per see. Seperti Hukum Persaingan Usaha di Amerika Serikat menyebutkan

bahwa: “suatu jenis perjanjian yang selalu atau hampir memiliki kecenderungan untuk

menaikan harga atau menurunkan jumlah produksi merupakan per see illegal (secara

42 FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, Sections 1.2, 2.2, 3.1, 3.3, 3.31, 3.31(a).

Page 35: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

35

mutlak dilarang) seperti perjanjian diantara pelaku usaha yang bertujuan untuk saling

membagi atau mengalokasi pasar melalui alokasi pembali, pemasok, daerah atau sektor

perdagangan”.43

4) Pemboikotan

Perjanjian pemboikotan merupakan salah satu bentuk strategi yang dilakukan di antara

pelaku usaha untuk mengusir pelaku usaha lain dari pasar yang sama, atau juga untuk

mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar

yang sama, yang kemudian pasar tersebut dapat terjaga hanya untuk kepentingan

pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan tersebut.44

Dengan terusirnya pelaku usaha pesaing dan tidak bisa masuknya pelaku usaha yang

berpotensial menjadi pesaing ke dalam pasar yang sama, berakibat terhadap semakin

menurunnya tingkat persaingan, dan kemudian membuat pelaku usaha yang ada di

dalam pasar melakukan praktek-praktek yang anti persaingan seperti melakukan praktek

price fixing, pembagian wilayah, kartel dan sebagainya.

Agar praktek pemboikotan yang dilakukan para pelaku usaha yang berada di pasar

dapat berjalan sukses, diperlukan partisipasi yang seluas mungkin dari pelaku usaha

yang ada di dalam pasar yang bersangkutan, karena apabila tidak adanya dukungan

atau keterlibatan secara luas para pelaku usaha yang ada di dalam pasar biasanya

pemboikotan akan sulit untuk berhasil.

Dengan adanya perjanjian pemboikotan yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang

ada di dalam pasar membuat jumlah pelaku usaha yang ada di pasar tidak dapat

bertambah, apabila di dalam suatu pasar hanya terdapat sedikit pelaku usaha yang

menjalankan usahanya dapat berdampak terhadap berkurangnya pilihan konsumen

untuk memilih pelaku usaha yang kemungkinan dapat memberikan kepuasan terbesar

kepada konsumen.

43 FTC/DOJ, Collaboration Guidelines Section 3.2; cf. also UNTACD, Objective and Provisions,p.11.

44 Loc. Cit . Rose., p.190.

Page 36: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

36

Perwujudan dari perjanjian pemboikotan biasanya pelaku usaha yang terlibat dalam

perjanjian pemboikotan diharuskan untuk menolak menjual setiap barang atau jasa dari

pelaku usaha lain yang menjadi korban dari perjanjian pemboikotan, sehingga pelaku

usaha yang menjadi korban dari perjanjian pemboikotan tersebut akan mengalami

kesulitan dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa di pasar yang

bersangkutan.

Namun pemboikotan dapat juga dilakukan secara tidak langsung, misalkan dengan cara

para pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian pemboikotan meminta kepada pelaku

usaha yang menjadi pemasok dari produk mereka untuk tidak memasok produk yang

sama kepada pelaku usaha yang menjadi target dari perjanjian pemboikotan, sehingga

apabila si perusahaan pemasok tidak mengindahkan larangan tersebut, maka para

pelaku usaha yang melakukan pemboikotan akan memutuskan hubungan dengan

perusahaan pemasok tersebut dan akan mencari perusahaan pemasok lain.

Memperhatikan dampaknya yang sangat besar terhadap persaingan, maka dalam

berbagai hukum persaingan usaha persaingan di banyak negara, perjanjian

pemboikotan dianggap sebagai hambatan terhadap persaingan usaha yang

mendapatkan perhatian yang serius. Karena dengan terjadinya praktek perjanjian

pemboikotan telah menghilangkan salah satu prasyarat persaingan yang sangat penting

yaitu menghalangi pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar. Bahkan pasal 3 huruf e

dan f UNTACD Model Law menegaskan bahwa “menolak secara kolektif untuk membeli

atau memasok, atau mengancam untuk melakukannya, adalah termasuk cara yang

paling sering dipakai untuk memaksa pihak yang tidak menjadi anggota kelompok

tertentu untuk mengikuti kegiatan yang ditentukan kelompok tersebut.45

Karena tujuan utama dari perjanjian pemboikotan adalah untuk membatasi persaingan,

maka Undang-undang No.5/1999 mengkatagorikan perjanjian pemboikotan sebagai

salah satu perjanjian yang dilarang, dimana di atur di dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2)

Undang-undang No.5/1999, Pasal 10 ayat (1) berbunyi: “pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku

usaha lain untuk malakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri

45 UNTACD, Draft Commentaries, p.24.

Page 37: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

37

maupun pasar luar negeri.” Dan Pasal 10 ayat (2) nya, berbunyi: “pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap

barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: (a).

Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain: atau; (2) membatasi

pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari pasar

bersangkutan.”

Begitu buruknya dampak yang dapat ditimbulkan oleh suatu perjanjian pemboikotan,

maka Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.5/1999 yang mengatur mengenai

perjanjian pemboikotan ini dirumuskan secara Per Se oleh pembuat undang-undang,

sehingga ketika ada pelaku usaha yang melakukan perbuatan disebutkan oleh pasal

tersebut tanpa harus memperhatikan akibat yang muncul dari perbuatan tersebut,

pelaku usaha sudah dapat dijatuhi sanksi hukuman.

5) Kartel

Dalam suatu struktur pasar yang kompetitif, dimana pelaku usaha yang berusaha di

dalam pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatan bagi pelaku usaha

untuk masuk kedalam pasar, membuat setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar

tidak akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengan keinginannya, mereka hanya

menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasar dan akan berusaha untuk

berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatu tingkat yang efesien dalam

berproduksi. Namun sebaliknya dalam pasar yang berstruktur oligopoli, dimana di dalam

pasar tersebut hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, kemungkinan pelaku usaha

berkerjasama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari masing-masing

pelaku usaha menjadi lebih besar. Oleh karena itu biasanya praktek kartel dapat tumbuh

dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli.

Pratek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha

untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka

berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan

terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada terkereknya harga

ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka

Page 38: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

38

melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk

mereka di pasar.

Membanjirnya pasokan dari suatu produk tertentu di dalam suatu pasar, dapat membuat

harga dari produk tersebut di pasar menjadi lebih murah, dimana kondisi ini akan

menguntungkan bagi konsumen, tetapi tidak sebaliknya bagi pelaku usaha (produsen

atau penjual), semakin murahnya harga produk mereka di pasar, membuat keuntungan

yang akan diperoleh oleh pelaku usaha tersebut menjadi berkurang, atau bahkan rugi

jika produk mereka tidak terserap oleh pasar.

Agar harga produk di pasar tidak jatuh dan harga produk dapat memberikan keuntungan

yang sebesar-besarnya bagi pelaku usaha, pelaku usaha biasanya membuat perjanjian

di antara mereka untuk mengatur mengenai jumlah produksi sehingga jumlah produksi

mereka di pasar tidak berlebih, dan tujuannya agar tidak membuat harga produk mereka

di pasar menjadi lebih murah. Namun terkadang praktek kartel tidak hanya bertujuan

untuk menjaga stablitas harga produk mereka di pasar, tetapi juga untuk mengeruk

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengurangi produk mereka secara

signifikan di pasar, sehingga menyebabkan di dalam pasar mengalami kelangkaan, yang

mengakibatkan konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dapat membeli

produk pelaku usaha tersebut di pasar, atau dapat dikatakan tujuan utama dari praktek

kartel adalah untuk mengeruk sebanyak mungkin surplus konsumen ke produsen.

Praktek kartel dapat berjalan sukses apabila pelaku usaha yang terlibat di dalam

perjanjian kartel tersebut haruslah mayoritas dari pelaku usaha yang berkecimpung di

dalam pasar tersebut. Karena bila hanya sebagian kecil saja pelaku usaha yang terlibat

di dalam perjanjian kartel biasanya perjanjian kartel tidak akan efektif dalam

mempengaruhi pasokan produk di pasar, karena kekurangan pasokan di dalam pasar

akan ditutupi oleh pasokan dari pelaku usaha yang tidak terlibat di dalam perjanjian

kartel.

Praktek kartel terselubung di Indonesia diduga di motori atau melalui asosiasi-asosiasi

pelaku usaha yang ada seperti APKINDO, INACA, ORGANDA. sebagai contoh:

ORGANDA (Organisasi Angkutan Darat) beberapa waktu lalu pernah memaksakan

Page 39: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

39

kepada Pemerintah Daerah Ibu Kota Jakarta untuk memberlakukan tarif taksi di

JABOTABEK seragam, yang besarnya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh

ORGANDA, tanpa memperhatikan kualitas pelayanan yang diberikan.

Undang-undang No.5/1999 mengkatagorikan kartel sebagai salah satu bentuk perjanjian

yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Dimana Pasal 11 Undang-undang

No.5/1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha

pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur

produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Perumusan kartel secara Rule of Reason oleh pembentuk undang-undang No.5/1999

dapat diartikan pelaku usaha dapat membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi

atau pemasaran suatu barang atau jasa asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Mungkin pembentuk undang-undang persaingan usaha melihat bahwa sebenarnya tidak

semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, seperti

misalnya perjanjian kartel dalam bentuk mengisyaratkan untuk produk-produk tertentu

harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari

produk yang tidak layak atau dapat membahayakan keselamatan konsumen dan

tujuannnya tidak menghambat persaingan, pembuat undang-undang persaingan usaha

mentolerir perjanjian kartel seperti itu.

Seperti pada prinsip hukum persaingan usaha Amerika Serikat, dimana kolaborasi

pelaku usaha dapat mencakup perjanjian produksi secara bersama-sama produk yang

dijual kepada pihak yang lain, atau digunakan oleh pelaku usaha sendiri untuk

memenuhi kebutuhan sendiri. Perjanjian semacam ini sering bersifat pro persaingan.

Para pihak dapat mengkombinasikan teknologi penunjang, “know-how”, atau aset-aset

lainnya, yang memungkinkan pihak-pihak yang berkerjasama untuk memproduksi suatu

produk yang tidak dapat diproduksi secara sendiri oleh salah satu pihak yang

bekerjasama..kolaborasi antara para pesaing usaha dapat mencakup perjanjian

Page 40: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

40

penjualan, distribusi, atau promosi bersama barang atau jasa yang diproduksi bersama-

sama atau oleh masing-masing pelaku usaha. Perjanjian tersebut dapat dikatakan pro

persaingan, misalnya kalau suatu kombinasi aset-aset komplementer memungkinkan

produk mencapai pasar secara lebih cepat dan lebih efesien.46

Tetapi sebenarnya Kartel yang diatur didalam Pasal 11 UU No.5/1999 terlalu sempit

karena hanya mengatur mengenai kartel produksi dan pemasaran. Sehingga bentuk-

bentuk kartel yang lain kemungkian tidak dapat dijerat oleh ketentuan ini. Dengan

demikian perlu ada defenisi yang lebih luas dan jelas mengani Kartel ini, agar ketentuan

tersebut dapat berdaya guna dan efektif.

6) Trust

Untuk dapat mengontrol produksi atau pemasaran produk di pasar ternyata para pelaku

usaha (dalam hal ini perusahaan) tidak hanya cukup dengan membuat perjanjian kartel

diantara mereka, tetapi mereka juga terkadang membentuk gabungan perusahaan atau

perseroan yang lebih besar (trust), dengan tetap menjaga dan mempertahankan

kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya.

Menurut R.B. Suhartono, trust merupakan wadah antar perusahaan yang didisain untuk

membatasi persaingan dalam bidang usaha atau industri tertentu. Gabungan antara

beberapa perusahaan dalam bentuk trust dimaksudkan untuk secara kolektif

mengendalikan pasokan, dengan melibatkan trustee sebagai koordinator penentu harga.

Dengan menempatkan saham-saham dari berbagai badan usaha dalam suatu trust

maka dapat di jamin tidak hanya kesatuan langkah kolektif tetapi juga pembagian

keuntungan bersama yang lebih besar dibandingkan tiadanya trust.47

Sehingga oleh Undang-undang No.5/1999, trust merupakan salah satu perjanjian yang

dilarang untuk dilakukan. Dimana hal ini diatur di dalam Pasal 12 Undang-undang

No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan

membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap

menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau

46 FTC/DOJ, Collaboration Guidelines, section 3.31 (a).47 R.B. Suhartono., “Konglomerasi dan Relavansi UU Antitrust/ UU Antimonopoli di

Indonesia,”Jurnal Hukum Bisnis (Volume 4, 1998) hal.6.

Page 41: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

41

perseroan anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran

atas barang dan/atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli

dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”

Namun memang di Indonesia untuk sekarang ini, Trust belum dapat ditemui dalam

praktek keseharian, sehingga beberapa kalangan berpendapat alangkah lebih baik jika

hal yang di atur dalam Pasal 12 ini direvisi saja, untuk menyesuaikan dengan keadaan

yang terjadi di Indonesia dan lagi ketentuan yang di atur oleh Pasal 12 ini bisa dicover

dengan pasal lainnya.

7) Oligopsoni

Oligopsoni adalah struktur pasar yang di dominasi oleh sejumlah konsumen yang

memiliki kontrol atas pembelian. Struktur pasar ini memiliki kesamaan dengan struktur

pasar oligopoli hanya saja struktur pasar ini terpusat di pasar input. Dengan demikian

distorsi yang ditimbulkan oleh kolusi antar pelaku pasar akan mendistorsi pasar input.

Oligopsoni merupakan salah satu bentuk praktek anti persaingan yang cukup unik,

karena dalam praktek oligopsoni yang menjadi korban adalah produsen atau penjual,

dimana biasanya untuk bentuk-bentuk praktek anti persaingan lain (seperti price fixing,

price discrimination, kartel, dll) yang menjadi korban umumnya konsumen. Dalam

oligopsoni, konsumen membuat kesepakan dengan konsumen lain dengan tujuan agar

mereka secara bersama-sama dapat menguasai pembelian atau penerimaan pasokan,

dan pada akhirnya dapat mengendalikan harga atas barang atau jasa pada pasar yang

bersangkutan.

Dengan adanya praktek oligopsoni produsen atau penjual tidak memiliki alternatif lain

untuk menjual produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah melakukan

perjanjian oligopsoni. Tidak adanya pilihan lain bagi pelaku usaha untuk menjual produk

mereka selain kepada pelaku usaha yang melakukan praktek oligopsoni, mengakibatkan

mereka hanya dapat menerima saja harga yang sudah ditentukan oleh pelaku usaha

yang melakukan praktek oligopsoni.

Page 42: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

42

Undang-undang No.5/1999 memasukan perjanjian oligopsoni kedalam salah satu

perjanjian yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal 13 ayat (1) Undang-

undang No.5/1999 menyebutkan bahwa:“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian

dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai

pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang

dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Sedangkan Pasal 13 ayat (2)

menambahkan bahwa: “pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama

menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih

dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”

Oligopsoni oleh Pasal 13 UU No.5/1999 dirumuskan secara Rule of Reason, itu berarti

sebenarnya oligopsoni tidak secara mutlak dilarang. Apabila merujuk pada putusan

kasus mengenai oligopsoni di Amerika Serikat, diputuskan perjanjian pembelian

bersama dianggap tidak mengganggu persaingan apabila memenuhi dua kondisi.

Pertama, pembelian bersama tersebut berjumlah kurang dari 35% dari total pembelian di

pasar tersebut, dan kedua, apabila biaya dari pembelian produk tersebut kurang dari

20% dari total penerimaan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam joint

purchasing. Apabila kedua kondisi di atas tidak terpenuhi maka persaingan dalam pasar

bisa terganggu karena pelaku yang tergabung dalam joint purchasing memiliki

kemampuan untuk mendorong harga produk yang dibeli lebih rendah dari harga pada

level kompetitif.

Dalam oligopsoni ada beberapa hal yang perlu diperhatikan anatara lain kemungkinan

kemungkinan perjanjian tersebut memfasilitasi kolusi penetapan harga sehingga

menimbulkan efek anti persaingan. Perjanjian tersebut tidak akan memfasilitasi kolusi

harga apabila pembelian produk yang dilakukan dengan perjanjian ini hanya berjumlah

relatif kecil terhadap total pembelian di pasar tersebut. selain itu, apabila perjanjian tidak

menghalangi anggotanya untuk melakukan pembelian pada pihak lain secara

independen, maka joint purchasing tersebut tidak merugikan persaingan

Page 43: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

43

Namun sebenarnya secara teori, oligopsoni adalah kegiatan yang wajar dimana jumlah

pembeli yang ada begitu terbatas, dan ketentuan ini juga sebenarnya dapat dimasukan

ke dalam pengaturan mengenai Kartel. Karena kegiatan oligopsoni dapat digolongkan

sebagai kartel. Akan tetapi sifat pengaturannya tetap dipertahankan untuk melindungi

kegiatan UKM untuk memperoleh pasokan harga yang wajar.

8) Integrasi Vertikal

Ketika suatu pelaku usaha ingin agar pangsa pasar yang dimilikinya menjadi lebih besar,

pertumbuhan perusahaan dan perolehan laba yang semakin meningkat, tingkat

efesiensi yang semakin tinggi dan juga untuk mengurangi ketidak pastian akan pasokan

bahan baku yang dibutuhkan dalam berproduksi dan pemasaran hasil produksi,

biasanya perusahaan akan menempuh jalan untuk melakukan penggabungan dengan

pelaku-pelaku usaha lain yang mempunyai kelanjutan proses produksi (integrasi

vertikal).

Kalau pelaku usaha ingin meningkatkan penghasilan (revenue), biasanya yang umum

dilakukan adalah dengan cara meningkatkan produksi. Namun bagi perusahaan yang

sudah berproduksi dalam kapasitas penuh, rasanya sangat sulit untuk dapat

meningkatkan penghasilan yang lebih tinggi lagi, kecuali pelaku usaha tersebut

meningkatkan skala perusahaannya, dengan harapan apabila terjadi peningkatan dalam

skala perusahaan akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi yang

pada akhirnya dapat mengerek keuntungan yang lebih tinggi lagi dibandingkan sebelum

pelaku usaha tersebut meningkatkan skala perusahaannya. Salah satu jalan yang

dilakukan pelaku usaha untuk meningkatkan skala perusahaan adalah melalui

penggabungan / integrasi dengan perusahaan lain.

Namun perkembangannya ternyata penggabungan perusahaan tidak selalu menunjukan

adanya hubungan yang kuat antara terjadinya penggabungan dengan tingkat

keuntungan yang akan diperoleh seperti yang tergambar di atas, tetapi setidaknya

dengan adanya penggabungan akan ada bagian-bagian perhitungan ongkos yang akan

Page 44: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

44

hilang atau menurun, misalnya: dalam hal ongkos-ongkos transaksi, iklan, pemanfaatan

informasi bersama, dan administrasi.48

Integrasi antar pelaku usaha juga dengan sendirinya dapat juga dikaitkan dengan

pengurangan resiko dalam bisnis. Dengan terjadinya integrasi vertikal (ke bagian hulu),

maka resiko akan kekurangan bahan baku tentunya menurun. Dan dari segi

pengelolaan, jika sebelumnya dikelola secara terpisah, maka setelah integrasi dapat

menjadi manajemen tunggal. Dimana dengan pengelolaan dibawah manajemen tunggal,

maka pengembangan pemasaran mungkin dapat dilakukan lebih baik, sehingga dengan

terjadinya integrasi antar pelaku usaha, perusahaan pelaku usaha tersebut dapat

meningkatkan efesiensinya, yang kemudian pada akhirnya dapat menghasilkan produk

yang memiliki daya saing yang tinggi.49

Integrasi antar pelaku usaha dapat dilakukan untuk saling menutupi kelemahan dari

masing masing pelaku usaha yang melakukan integrasi, karena sudah pasti setiap

pelaku usaha memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri, misalkan satu perusahaan

memiliki kelemahan dalam pengelolaan sumber daya manusia, tetapi unggul dalam

berproduksi dapat bergabung dengan pelaku usaha lain yang mungkin memiliki

kelebihan dalam pengelolaan sumber daya manusia tetapi kurang dalam proses

produksi, dimana kemudian diharapkan dengan terjadinya integrasi kelemahan-

kelemahan yang ada dapat ditutupi atau bahkan dihilangkan.50

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang integrasi vertikal juga dapat menimbulkan

efek-efek negatif bagi persaingan di antar pelaku usaha, seperti:

1) Integrasi vertikal ke arah hulu (upstream) dapat mengurangi kompetisi di antara

penjual ditingkat hulu (upstream level), contohnya: seandainya pelaku

usaha/perusahaan perakitan kendaraan dihadapkan pada suatu keadaan dimana

pelaku usaha tersebut harus membeli bahan baku dari pelaku usaha pemasok

bahan baku (perusahaan pembuat besi baja) dengan harga oligopoli (umumnya

pada industri pembuatan besi baja hanya terdapat beberapa perusahaan besar

48 Nurimansjah Hasibuan, Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli,dan Regulasi, Cet.1.- Jakarta:LP3ES, 1993. hal.92.

49 Ibid . 93.50Ibid. 93.

Page 45: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

45

saja), dalam keadaan seperti ini perusahaan perakitan kendaraan akan lebih

menguntungkan jika melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi

baja, sehingga perusahaan perakitan kendaraan memiliki perusahaan pembuat besi

baja sendiri, yang kemudian perusahaan perakitan mobil tidak lagi menjadi korban

dari perilaku oligopoli (yang biasanya menerapkan harga di atas kewajaran) dari

perusahaan pembuat besi baja, tetapi kemungkinan nantinya perusahaan pembuat

besi baja yang melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan perakitan kendaraan

tidak bisa lagi menjual produknya ke perusahaan perakitan kendaraan lain.

Akibatnya harga besi baja untuk perusahaan perakitan dapat menjadi lebih mahal

lagi, karena semakin berkurangnya pemasok besi baja bagi perusahaan-perusahaan

perakitan kendaraan. Dan ini juga dapat menjadi insentif bagi perusahaan perakitan

kendaraan untuk melakukan integrasi vertikal dengan perusahaan pembuat besi

baja, yang pada akhirnya semakin berkuranglah persaingan di antara perusahaan

pembuat besi baja yang memasok untuk industri perakitan kendaraan;51

2) Memfasilitasi kolusi di antara pelaku usaha di tingkat hulu (upstream level), dimana

dengan semakin meluasnya integrasi vertikal dapat memfasilitasi kolusi diantara

perusahaan manufaktur karena pemotongan harga terlalu mudah dideteksi. (alasan

yang digunakan untuk kasus ini sama dengan yang digunakan untuk menolak resale

price maintenance);52

3) Integrasi vertikal kearah hulu (downstream integration) dapat memfasilitasi

diskriminasi harga, dimana integrasi sampai di tingkat ritailer dapat memungkinkan

perusahaan manufaktur mempraktekan diskriminasi harga tanpa harus

mengkhawatirkan terhadap tindakan dari perusahaan ritailer lainnya. contohnya

sebuah perusahaan manufaktur yang menjual produknya di boutique dan di toko

diskon, harga yang diterapkan oleh boutique terhadap produknya biasanya lebih

mahal dibandingkan dengan harga yang diterapkan oleh toko diskon, hal tersebut

terjadi karena pemilik boutique melakukan mark-up yang setinggi-tingginya terhadap

pruduk yang dijual digerainya untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-

banyaknya. Memperhatikan perilaku dari boutique ini terkadang membuat tidak

jarang perusahaan manufaktur juga membuat sendiri boutique yang akan menjual

51 Op. Cit., Ross., hal.383.52 Ibid .384.

Page 46: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

46

produk mereka dengan harga yang jauh lebih tinggi, sehingga dapat menikmati juga

keuntungan sebagai pemilik boutique;53

4) Meningkatnya hambatan masuk (entry barriers) dimana pelaku usaha yang harus

melalui dua tahap jika ingin masuk ke dalam pasar, dengan semakin meluasnya

praktek integrasi vertikal, kemudian membuat perusahaan manufaktur yang ingin

masuk kedalam suatu industri, harus memiliki perusahaan pemasok sendiri yang

menjamin pasokannya karena perusahaan pemasok yang ada sudah terintegrasi

dengan perusahaan manufaktur yang lain, atau perusahaan manufaktur untuk

memasarkan produknya terpaksa harus memiliki perusahaan ritel tersendiri karena

perusahaan ritel yang ada juga sudah terintegrasi dengan perusahaan manufaktur

yang lain.54

Oleh karena terdapat dampak negatif yang mungkin muncul dari suatu integrasi vertikal,

maka Undang-undang No.5/1999 memasukan integrasi vertikal sebagai salah satu

perjanjian yang dilarang. Pasal 14 Undang-undang No.5/1999 menyebutkan bahwa:

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan

untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi

barang dan/atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil

pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak

langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau

merugikan masyarakat.”

Dirumuskannya Pasal 14 Undang-undang No.5/1999 secara Rule of Reason, dapat

diartikan pelaku usaha sebenarnya tidak dilarang membuat perjanjian dengan pelaku

usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk

dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian

produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian

langsung maupun tidak langsung sepanjang tidak mengakibatkan terjadinya persaingan

usaha tidak sehat atau merugikan kepentingan masyarakat.

9) Perjanjian Tertutup

53 Ibid .384.54Ibid.384.

Page 47: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

47

a. Exclusive Distribution Agreement

Exclusive distribution agreements yang dimaksud disini adalah pelaku usaha membuat

perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang

menerima produk hanya akan memasok atau tidak memasok kembali produk tersebut

kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu saja, atau dengan kata lain pihak

distributor dipaksa hanya boleh memasok produk kepada pihak tertentu dan tempat

tertentu saja oleh pelaku usaha manufaktur.

Biasanya exclusive distribution agreement dibuat oleh pelaku usaha manufaktur yang

memiliki beberapa perusahaan yang mendistribusikan hasil produksinya, yang tidak

menghendaki terjadinya persaingan di tingkat distributor, yang kemudian dapat

berpengaruh terhadap harga produk yang mereka pasok ke dalam pasar, dan agar

harga produk mereka tetap stabil, maka pihak manufaktur membuat perjanjian dengan

distributor-distributornya untuk membagi konsumen dan wilayah pasokan agar tidak

terjadi bentrokan di sesama distributor.

Dengah berkurangnya atau bahkan hilangnya persaingan pada tingkat distributor

membawa implikasi kepada harga produk yang didistribusikan menjadi lebih mahal,

sehingga konsumen harus mengeluarkan biaya yang lebih dari biasanya untuk

mendapatkan produk yang didistribusikan oleh distributor tersebut.

Karena dibatasinya distribusi hanya untuk pihak dan tempat tertentu saja dapat juga

mengakibatkan pihak distributor menyalahgunakan kedudukan eksklusive yang

dimilikinya untuk mungkin mengenakan harga yang tinggi terhadap produk yang

didistribusikannya kepada konsumen pihak dan wilayah tertentu yang menjadi

bagiannya tersebut.

Oleh karena itu Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 melarang pelaku usaha

untuk membuat exclusive distribution agreement dengan pelaku usaha lain. Adapun

bunyi dari Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 sebagai berikut, bahwa: “Pelaku

usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan

bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak

Page 48: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

48

memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada

tempat tertentu.”

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Per Se, sehingga

ketika pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat

persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok

atau tidak akan memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu

dan/atau pada tempat tertentu, tanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan

tersebut, pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut sudah langsung dapat

dikenakan pasal ini.

b. Tying Agreement

Undang-undang No.5/1999 bersikap cukup keras terhadap praktek tying agreement, hal

itu dapat dilihat dari perumusan pasal yang mengatur mengenai tying agreement

dirumuskan secara Per Se, yang artinya bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian

dengan pelaku usaha lain untuk melakukan suatu praktek tying agreement tanpa harus

melihat akibat dari praktek tersebut muncul, pasal ini sudah secara sempurna dapat

dikenakan kepada pelaku usaha yang melanggarnya.

Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak

yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau

jasa lain dari pelaku usaha pemasok.” Dari pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.5/1999

juga dapat dilihat defenisi dari tying agreement yaitu perjanjian yang dibuat di antara

pelaku usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa

tertentu harus bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.

Tying Agreement merupakan salah satu katagori perjanjian yang dilarang menurut

Undang-undang No.5/1999, karena dengan praktek tying agreement, pelaku usaha

dapat melakukan perluasan kekuatan monopoli yang dimiliki pada tying Product (barang

atau jasa yang pertama kali dijual) ke tyied product (barang atau jasa yang dipaksa

harus dibeli juga oleh konsumen). Sebagai contoh, Indofood memiliki kekuatan monopoli

untuk produk mie instant, tetapi dia ingin memanfaatkan kekuatan monopolinya tersebut

Page 49: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

49

agar dapat memiliki kekuatan monopoli untuk produk lain, misalkan saus tomat,

sehingga dia memaksa konsumen yang membeli mie instan harus membeli saus tomat

juga, sehingga kemungkinan dia akan dapat memperluas kekuatan monopolinya tidak

hanya pada mie instan tetapi juga pada saos tomat.

Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying product dan

tyied product) oleh pelaku usaha, dapat menciptakan hambatan bagi calon pelaku usaha

pesaing untuk masuk ke dalam pasar, maka mau tidak mau pelaku usaha harus

melakukan hal yang sama yaitu melakukan praktek tying agreement juga. Bagi

konsumen yang tidak paham mengenai praktek tying agreement, mungkin ketika dia

membeli suatu produk dan kemudian mendapatkan tambahan produk lain, dianggap

sebagai suatu hadiah. Padahal sesungguhnya harga yang dia bayarkan merupakan

harga dari kedua produk yang dia terima tersebut. Praktek tying agreement juga dapat

membuat konsumen kesulitan dalam menentukan harga sebenarnya dari produk yang

dia beli, dimana sebelumnya dia hanya ingin membeli satu produk, tetapi karena dipaksa

harus membeli produk yang lain sehingga membuat konsumen menjadi bingung berapa

harga dari masing-masing produk.

Tying agreement juga telah membuat konsumen harus membeli barang yang

sebenarnya tidak dibutuhkan, salah satu contoh misalkan: suatu ketika konsumen harus

membeli pasta gigi Pepsodent, namun di dalam kotak atau bungkus dari pasta gigi

tersebut terdapat satu sachet shampo merk Sunsilk, sedangkan konsumen tersebut

biasa memakai shampo merk Pantene, karena satu sachet shampo merk Sunsilk

tersebut berada di dalam kotak pasta gigi Pepsodent maka mau tidak mau, suka tidak

suka dia harus membeli juga satu sachet shampo Sunsilk yang terdapat di dalam kotak

pasta gigi Pepsodent tersebut yang mungkin tidak akan dia pakai.

Oleh karena itu dapat disimpulkan ada dua alasan yang menyebabkan praktek tying

agreement tersebut dilarang, yaitu: (1) pelaku usaha yang melakukan praktek tying

agreement tidak menghendaki pelaku usaha lain memiliki kesempatan yang sama untuk

bersaing secara fair dengan dia terutama pada tied product dan (2) pelaku usaha yang

melakukan praktek tying agreement juga telah menghilangkan hak konsumen untuk

memilih secara merdeka barang yang ingin mereka beli. Maka tepatlah Undang-undang

Page 50: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

50

No.5/1999 mengkatagorikan tying agreement menjadi salah satu perjanjian yang

dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha.

c. Vertical agreement on Discount

Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang

dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang

dan/atau jasa dari usaha pemasok:

a. harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau

b. tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha

lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.”

Atau dengan kata lain jika pelaku usaha ingin mendapatkan harga diskon untuk produk

tertentu yang dibelinya dari pelaku usaha lain, pelaku usaha harus bersedia membeli

produk lain dari pelaku usaha tersebut atau tidak akan membeli produk yang sama atau

sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing.

Akibat yang mungkin muncul dari perjanjian di atas, khususnya mengenai adanya

kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga diskon, yang

kemudian diharuskan untuk membeli produk lain dari pelaku usaha pemasok

sebenarnya sama dengan akibat yang ditimbulkan oleh tying agreement, yaitu

menghilangkan hak pelaku usaha untuk secara bebas memilih produk yang ingin

mereka beli, dan membuat pelaku usaha harus membeli produk yang sebenarnya tidak

dibutuhkan oleh pelaku usaha tersebut

Sedangkan adanya kewajiban bagi pelaku usaha yang menerima produk dengan harga

diskon untuk tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain

yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok dapat mengakibatkan pelaku usaha

pesaing akan mengalami kesulitan dalam menjual produknya yang sejenis dengan

pelaku usaha yang sebelumnya telah membuat vertical agreement on discount terhadap

penerima produknya di pasar.

Pasal 15 ayat (3) Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Per Se, sehingga

ketika ada pelaku usaha membuat perjanjian yang digambarkan oleh Pasal 15 ayat (3)

Page 51: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

51

Undang-undang No.5/1999, tanpa harus menunggu sampai munculnya akibat dari

perjanjian tersebut, pelaku usaha sudah dapat dijatuhkan sanksi hukum atas perjajian

yang telah dibuatnya tersebut oleh penegak hukum.

10) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

Pasal 16 UU No.5/1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian

dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan

pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri

melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri. Karena Pasal 1 angka 5

UU No.5/1999 tidak menjangkau pelaku usaha yang berkantor pusat diluar negeri dan

tidak melakukan aktifitas usahanya di Indonesia, walaupun aktifitas usahanya

menimbulkan dampak di pasar Indonesia.

Permasalahan yang muncul dari rumusan Pasal 16 UU No.5/1999, keharusan adanya

suatu perjanjian yang dibuat antar pelaku usaha di dalam negeri dengan pelaku usaha

yang ada di luar negeri, sehingga apabila tidak ada perjanjian di antara pelaku usaha

tersebut, maka pelaku usaha yang melakukan praktek persaingan usaha tidak sehat

kemungkinan tidak dapat diproses menggunakan pasal ini.

Jadi pengelompokan pasal-pasal kedalam kelompok perjanjian dan kelompok kegiatan

sekali lagi dapat menjadi celah dalam penegakkan undang-undang persaingan usaha di

Indonesia, sehingga ke depannya pengelompokan pasal ke dalam kelompok perjanjian

dan kegiatan sebaiknya tidak dilakukan lagi.

Kegiatan yang Dilarang

Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang No.5/1999 mengatur mengenai

kegiatan-kegiatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha ketika mereka

menjalankan usahanya. Oleh Undang-undang kegiatan yang dilarang tersebut dibagi

menjadi empat bagian, yaitu:

Page 52: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

52

1. Monopoli,

2. Monopsoni,

3. Penguasaan Pasar, dan

4. Persekongkolan.

1. Monopoli

Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan

pembentukan hukum persaingan usaha. Monopoli itu sendiri merupakan istilah yang

berasal dari bahasa Yunani yaitu monos polein yang artinya penjual sendiri. Namun

istilah tersebut dalam kenyataannya sudah tidak relevan lagi, berdasarkan

perkembangannya meskipun di dalam suatu pasar atau industri terdapat beberapa

pelaku usaha, tetapi jika ada satu pelaku usaha yang memiliki perilaku seperti monopoli

maka dapat dikatakan perusahaan tersebut monopoli.

Berdasarkan teori, monopoli dapat dibedakan menjadi dua yaitu: monopoli yang alamiah

(natural monopoly) dan monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-

undangan. Monopoli yang alamiah adalah monopoli yang terjadi karena pelaku usaha

tersebut memiliki kemampuan teknis tertentu seperti: (1) pelaku usaha tersebut memiliki

kemampuan atau pengetahuan khusus (special knowledge) yang memungkinkan

berproduksi sangat efesien; (2) skala ekonomi, dimana semakin besar skala produksi

maka biaya marjinal semakin menurun, sehingga biaya produksi perunit (average cost)

makin rendah; (3) pelaku usaha memiliki kemampuan kontrol sumber faktor produksi,

baik berupa sumber daya alam, sumber daya manusia maupun lokasi produksi.

Sedangkan monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan adalah: (1)

hak atas kekayaan intelektual, yaitu dimana negara memberikan hak monopoli kepada

pelaku usaha untuk memproduksi atau memasarkan hasil dari suatu inovasinya

tersebut; (2) hak usaha eksklusif, yaitu hak yang diberikan oleh pemerintah kepada

pelaku usaha tertentu yang tidak didapatkan oleh pelaku usaha yang lain, misalkan agen

tunggal, importir tunggal, pembeli tunggal, dan lain sebagainya.

Dimasukannya monopoli ke dalam katagori salah satu kegiatan yang dilarang oleh

undang-undang persaingan usaha, bukan berarti bahwa sama sekali kegiatan monopoli

Page 53: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

53

tidak dapat dilakukan di Indonesia, karena monopoli yang diperoleh melalui peraturan

perundang-undangan, seperti yang monopoli yang berkaitan dengan produksi dan/atau

pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta

cabang-cabang produksi yang penting bagi negara masih diperbolehkan, asalkan diatur

dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh BUMN atau badan/lembaga yang

dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah, masih dapat ditoleransi oleh Undang-undang

No.5/1999.

Kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan dari monopoli, membuat monopoli

menjadi suatu kegiatan yang perlu diatur oleh undang-undang. Menurut Machlup

terdapat beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari suatu kegiatan monopoli,

antara lain:

1) mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak ekonomis;

2) melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan tingkat harga, melalui produksi

yang lebih rendah;

3) membuka kesempatan untuk memberikan upah yang rendah pada tenaga kerja,

dalam kondisi kerja yang buruk;

4) menekan persaingan dan menyebabkan pengelolaan tidak efesien;

5) mengurangi arus investasi, dapat pula meniadakan rangsangan inovasi;

6) dalam berproduksi menghindari kapasitas penuh;

7) memperlambat penyesuaian dalam perubahan ekonomi, misalnya ada ketegaran

harga dan merangsang adanya ketidak stabilan;

8) memperlambat perbaikan tingkat kehidupan;

9) memperburuk distribusi pendapatan melalui penentuan laba yang tinggi, dan

konsentrasi kekayaan.

Pelaku usaha tidak dapat melakukan tindakan yang mengakibatkan munculnya

permasalahan-permasalahan di atas, tanpa pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan

monopoli (monopoly power). Tanpa monopoly power pelaku usaha tidak akan

mempunyai kemampuan untuk menaikan harga semaunya, mengurangi produksi

ataupun kualitas produk seenaknya saja. Tanpa monopoly power juga pelaku usaha

tidak dapat bisa keliru dalam mengalokasikan sumber daya, menyerap surplus

Page 54: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

54

konsumen ke produsen, menolak adanya kesempatan berusaha yang sama bagi setiap

pelaku usaha, atau sentralisasi dan menyalahgunakan kekuatan yang dimilikinya.

Lebih lanjut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 mendefenisikan Monopoli

sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan

jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Monopoli oleh

Undang-undang No.5/1999 dikatagorikan sebagai salah satu kegiatan yang dilarang

untuk dilakukan, Pasal 17 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 menyebutkan bahwa:

“pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan barang dan/atau jasa yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.”

Sedangkan Pasal 17 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 lebih lanjut menyebutkan

bahwa: “pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi

dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

apabila:

a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau

b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha

barang dan/atau jasa yang sama; atau

c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima

puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Parameter yang digunakan oleh Undang-undang No.5/1999 untuk mengetahui pelaku

usaha melakukan monopoli atau tidak, yang terdapat pada Pasal 17 ayat (2) Undang-

undang No.5/1999, dalam implementasinya akan menimbulkan ketidak pastian,

terutama dalam hal pencatuman kata “atau” sebagai kata penghubung pada setiap

kondisi yang dianggap sebagai ukuran dari monopoli, sehingga membawa konsekwensi

dengan digunakannya salah satu ukuran yang ada (seperti mengakibatkan pelaku usaha

lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama)

pelaku usaha dapat dianggap melakukan monopoli, padahal pelaku usaha tersebut

mungkin tidak menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa

tertentu.

Pengaturan mengenai monopoli pada Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 yang

dirumuskan secara Rule of Reason, juga dapat ditafsirkan bahwa pelaku usaha (baik itu

Page 55: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

55

satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha) sebenarnya tidak dilarang untuk

melakukan penguasaan barang dan/atau jasa hingga lebih dari 50% (lima puluh persen)

pangsa pasar, asalkan terdapat substitusi terhadap barang atau jasa yang

bersangkutan, tidak mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam

persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama dan tidak mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pemberian judul Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 dengan judul monopoli, ditafsirkan

oleh masyarakat luas bahwa monopoli merupakan suatu yang dilarang. Padahal

sesungguhnya apabila dibaca isi dari pasal 17 Undang-undang No.5/1999 sama sekali

tidak melarang monopoli, tetapi yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi monopoli

yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk melakukan tindakan-tindakan anti persaingan

tersebut.

Apabila merujuk kepada Model Law on Competition UNCTAD, Pasal 17 Undang-undang

No.5/1999 sebenarnya tidak memiliki padanannya secara langsung, namun ketentuan

yang ada pada Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 memiliki kemiripan substansi

dengan Pasal 4 Model Law on Competition UNCTAD mengatur mengenai perilaku yang

dianggap sebagai penyalah gunaan posisi dominan.

2. Monopsoni

Secara teori ekonomi, monopsoni adalah sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang

pembeli. Biasanya pembeli tunggal ini akan menjual dengan cara monopoli. Pada

kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul dan juga ada potensi yang tidak

sehat, karenanya Undang-Undang no 5 tahun 1999 mengatur secara khusus dalam

pasal 18. Secara hukum, pasal ini melarang pelaku usaha menguasai penerimaan

pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan /atau jasa dalam pasar yang

bersangkutan. Dan pada ayat dua, pasal ini menyatakan seseorang atau sekelompok

pelaku usaha dianggap melakukan monopsoni manakala menguasai lebih dari 50%

(lima puluh persen) pangsa pada satu jenis barang atau jasa tertentu.

Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi dalam satu waktu atau

suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi. Contoh klasik pada literatur ekonomi adalah

Page 56: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

56

kasus penguasaan pasar tenaga kerja oleh pihak produsen pada daerah pertambangan,

dimana pemuda atau angkatan kerja tidak punya banyak pilihan untuk bekerja. Misalkan

pada suatu daerah yang kaya minyak tertentu hanya terdapat sebuah

perusahaan/industri pertambangan dan perusahaan tersebut sangat besar. Maka,

meskipun pemerintah daerah setempat menyediakan alternatif tempat bekerja yang lain

pada retail dan jasa, akan tetapi hampir bisa dipastikan industri yang sendiri tadi akan

sangat bisa menguasai pasar tenaga kerja di kota tersebut. Dan industri tersebut bisa

dipastikan akan menyedot tenaga kerja, yang konsekuensinya adalah pengaturan harga

dari tenaga kerja tersebut. Pada kondisi inilah kemudian kita menyaksikan ada salahsatu

pihak yang dirugikan, karenanya hukum harus mengatur dengan tegas kondisi yang

menyebabkan turunnya kesejahteraan secara agregat.

Kasus penguasaan tenaga kerja juga dapat terjadi jika ada serikat pekerja yang mereka

sangat solid sehingga mereka memiliki nilai tawar yang sangat tinggi. Solid disini terukur

dengan kemampuan organisasi serikat tenaga kerja yang dapat meliputi dan mewakili

sebagian besar atau seluruh tenaga kerja dalam sebuah industri. Dalam kondisi tertentu

mereka bahkan bisa merugikan perusahaan dengan :

1. Menuntut upah yang lebih tinggi dari yang dicapai pada keseimbangan penawaran

dan permintaan pasar tenaga kerja. Dengan ancaman mogok yang sangt

merugikan perusahaan dan lain sebagainya, mereka menjadi punya kekuatan

untuk merubah.

2. Membatasi penawaran tenaga kerja. Ketika buruh bisa melakukan pembatasan

tenaga kerja. Pembatasan penawaran juga akan berimplikasi pada tuntutan

peninggian upah.

Untuk kasus Indonesia, kita juga melihat beberapa kasus yang terjadi pada tenaga kerja.

Akan tetapi pada beberapa tahun belakangan ini, kita juga melihhat ada kasus

monopsoni yang terjadi pada beberap pasar. Diantaranya pada pasar cengkeh, dimana

BPPC dibawah koordinasi Tomy Suharto memaksa semua petani untuk menjual

cengkeh mereka pada Badan tersebut dengan berbagai alasan yang dipaksakan.

Monopsoni juga terjadi pada kasus penambangan pasir laut bagi kepentingan reklamasi

di Singapura. Tentunya Singapura dalam hal ini menjadi pembeli tunggal yang kita sebut

dengan monopsoni juga. .Keadaan ini membuat Singapura memiliki kemampuan untuk

Page 57: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

57

mendikte harga pasir di pasar. Otomatis harga dapat bergerak turun-naik menurut

kehendak pembeli, dan Singapura telah mampu menekan harga pasir secara drastis di

kurun waktu tahun 1999-2002. Lepas dari Singapura kemudian punya kemampuan

memaksakan harga atau tidak, pada kondisi tertentu pasar dengan struktur seperti ini

sangat rentan menimbulkan pasar gelap (black market), semisal penyelundupan dan

lain-lain. Dalam kasus ini Singapura bisa menempuh jalan kasar kalau pemerintah tidak

mau menuruti kemauan harga yang diinginkan mereka, yakni dengan penyelundupan,

dan sudah terjadi. Tentunya, dalam jangka pendek dan panjang , hal ini sangat

merugikan bangsa ini.

Kasus lain yang cukup mengusik kita adalah kasus penguasaan beras di beberapa

daerah yang mesti dijual kepada KUD (Koperasi Unit Desa), DOLOG dan lain-lain. Juga

peternak sapi perah di Pengalengan dan Cikajang yang dengan banyak alasan harus

menjual susunya pada Koperasi (KPBS), dengan harga yang tentunya sudah diatur

sedemikian rupa.

Penegakkan Pasal 18 Undang-undang No.5/1999 dalam prakteknya bukanlah suatu

pekerjaan mudah, karena berdasarkan pengalaman praktek ini merupakan praktek yang

jarang terjadi dan konsekwensi hukum yang akan timbul dari ketentuan ini tetap tidak

jelas. Dan apabila melihat kepada Model Law on Competition Law UNCTAD padanan

untuk pasal 18 ini sulit untuk ditemukan.

Pemberian judul monopsoni pada pasal 18 undang-undang No.5/1999, dapat ditafsirkan

dan dibaca oleh masyarakat bahwa monoposoni itu merupkan suatu hal yang dilarang

padahal dalam kenyataannya monopsoni bukan sesuatu yang terlarang, maka lebih baik

judul monopsoni dalam pasal 18 dihilangkan saja atau ketentuan ini tidak perlu diberikan

judul.

3. Penguasaan Pasar

Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan

keinginan dari sebagian besar pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup

besar memiliki korelasi yang positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa

diperoleh oleh pelaku usaha. Segala cara dilakukan -dari yang halal sampai yang

Page 58: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

58

haram- oleh pelaku usaha agar mereka dapat menjadi penguasa di pasar. Penguasaan

pasar oleh pelaku usaha dapat memungkinkan pelaku usaha tersebut melakukan segala

tindakan yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha biasanya selalu menjadi

perhatian bagi penegak hukum persaingan usaha untuk mengawasi perilaku pelaku

usaha tersebut di dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha

tertentu biasanya dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang anti

persaingan yang tujuannya agar dia dapat tetap menjadi penguasa pasar.

Bagian ketiga dari Bab IV (mengenai Kegiatan yang Dilarang) Undang-undang

No.5/1999 memasukan beberapa tindakan yang mungkin dilakukan oleh pelaku usaha

ketika memiliki penguasaan yang cukup besar di dalam pasar, yaitu:

1) menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan

usaha yang sama pada pasar bersangkutan;

2) menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak

melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing;

3) membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang

bersangkutan;

4) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu;

5) melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau

menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau

mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan;

6) melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang

menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa.

Kegiatan nomor satu sampai nomor empat di atas diatur di dalam Pasal 19 Undang-

undang No.5/1999, dimana Pasal 19 Undang-undang No.5/1999 berbunyi: “pelaku

usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama

pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan

usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

Page 59: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

59

b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak

melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau

c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar

bersangkutan; atau

d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”

Sebenarnya Pasal 19 Undang-undang No.5/1999, ini lebih baik pengaturannya

disinergikan saja dengan pengaturan mengenai monopoli yang diatur di dalam Pasal 17

Undang-undang No.5/1999, pengaturan mengenai oligopoli yang diatur di dalam Pasal 4

Undang-undang No.5/1999 dan pengaturan mengenai posisi dominan dalam Pasal 25

Undang-undang No.5/1999 karena ketentuan Pasal 19 tersebut memiliki kesamaan satu

sama lain dengan Pasal-pasal yang telah disebutkan tersebut.

Sadangkan Pasal 20 dan 21 Undang-undang No.5/1999, apabila membaca Model Law

on Competition UNCTAD memiliki padanannya yaitu pada Pasal 4 Romawi II huruf (a).

Sedangkan dalam hal pembuktian mengenai masalah seperti yang diatur oleh Pasal 20

dan 21 Undang-undang No.5/1999, hukum persaingan Jerman menerapkan pembuktian

terbalik, sehingga pelaku usaha yang dituduhkan melakukan praktek yang dilarang

tersebut memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa pelaku uhsa tersebut tidak

melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

4. Persekongkolan

Persaingan bagi sebagian pelaku usaha bukan merupakan sesuatu hal yang

menyenangkan, karena dengan adanya persaingan biasanya bagi perusahaan yang

tidak efesien, tidak inovatif, atau berusaha dengan keras meningkatkan kinerja

perusahaan agar dapat menghasilkan produk dengan harga yang semurah mungkin

dengan kualitas yang terbaik tentulah akan tersingkir dari pasar. Maka oleh karena i tu

bagi pelaku usaha yang alergi terhadap persaingan usaha yang terbaik yang mungkin

mereka lakukan untuk tetap bertahan di dalam pasar adalah dengan melakukan

persekongkolan.

Persekongkolan atau juga dapat disebut sebagai konspirasi usaha didefenisikan oleh

Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.5/1999 adalah sebagai bentuk kerjasama yang

Page 60: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

60

dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk

menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.

Maka oleh Undang-undang No.5/1999 Persekongkolan (conspiracy) merupakan salah

satu kegiatan yang dilarang. Undang-undang No.5/1999 kemudian membagi

persekongkolan menjadi tiga bentuk, yaitu:

1) Persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender (Pasal 22 UU

No.5/1999);

2) Persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang

dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan (Pasal 23 UU No.5/1999);

3) Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa

pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang atau jasa yang ditawarkan

atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi kurang baik dari jumlah, kualitas,

maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasal 24 UU No.5/1999).

Persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender (bid rigging)

menurut a framework for design and implementation of competition law and policy yang

dibuat oleh Bank Dunia dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and

Development) adalah sebuah perjanjian yang dibuat diantara para pihak peserta tender

yang akan menentukan siapa yang akan memenangkan tender tersebut (yang biasanya

tender tersebut berasal dari lembaga pemerintahan).55

Di Indonesia, persekongkolan tender (bid rigging) dapat dikatakan sebagai hal yang

lumrah terjadi. Kolusi yang terjadi antara penyelenggara dan peserta tender juga

merupakan hal yang biasa sehingga dapat dikatakan Tender yang diselenggarakan

hanyalah sekedar formalitas belaka.56 Di dalam a framework for design and

implementation of competition law and policy juga disebutkan beberapa variasi

persekongkolan yang biasa dilakukan dalam proses tender. Tiga diantaranya: bid

suppression, complementary bidding, dan bid rotation. Bid suppression adalah bentuk

persekongkolan yang dilakukan diantara peserta tender untuk memenangkan salah satu

di antara mereka dengan cara memaksa peserta tender yang lain untuk menahan diri

55 R. Syam Khemani, Loc. Cit. hal 23

56 Ditha Wiradiputra, Fenomena Persekongkolan, Tabloid Mingguan KONTAN (No.26 Tahun VI,1 April 2002.

Page 61: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

61

dalam mengajukan penawaran, atau bahkan meminta peserta tender yang lain untuk

menarik diri dari proses tender. Complementary bidding adalah salah satu bentuk

persekongkolan tender yang mempunyai maksud yang sama yaitu untuk memenangkan

salah satu diantara mereka dimana pihak yang diharapkan akan memenangkan tender

akan memberikan penawaran harga yang terbaik dan para peserta tender yang lain juga

memberikan penawaran yang kompetitif tetapi dengan klausul-klausul yang

kemungkinan tidak dapat diterima penyelenggara tender. Sedangkan Bid rotation adalah

bentuk persekongkolan tender dimana para peserta tender akan secara bergiliran

memenangkan tender. Para peserta tender akan berusaha membagi giliran tender

secara merata kepada setiap peserta persekongkolan tender. Penggiliran pemenang

tender dalam suatu kelompok pelaku usaha tertentu dapat dijadikan petunjuk bahwa

diantara mereka terjadi suatu kolusi.57

Dengan adanya persekongkolan tender (bid rigging) telah membuat tujuan dari

penyelenggaraan tender menjadi tidak tercapai, yaitu untuk mendapatkan penawaran

terbaik atas suatu pemborongan suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang, atau

untuk menyediakan jasa. Persekongkolan tender telah membuat penyelenggaraan

tender tidak mendapatkan penawaran yang terbaik atas suatu pemborongan perkerjaan,

pengadaan barang atau menyediakan jasa.

Pasal 22 undang-undang No.5/1999 yang berbunyi bahwa: “pelaku usaha dilarang

bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang

tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga konsekwensinya pelaku usaha

diperbolehkan bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur atau menentukan

pemenang tender asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Karena misalkan dalam suatu proses tender, bagi pelaku usaha yang memiliki kualifikasi

tertentu saja yang dapat mengikuti proses tender, sehingga pelaku usaha yang berminat

ingin mengikuti tender tetapi tidak memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan mungkin akan

saling berkerjasama agar mereka dapat mengikuti tender tersebut, maka kemungkinan

praktek yang seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai persekongkolan tender yang tidak

mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat.

57 R. Syam Khemani, Loc. Cit. hal 23

Page 62: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

62

Namun yang menjadi permasalahan dalam penerapan Pasal 22 Undang-undang

No.5/1999 adalah ketika dilapangan banyak ditemukan bahwa yang terlibat dalam

praktek pesekongkolan tender itu tidak hanya para peserta tender saja tetapi juga pihak

yang menyelenggarakan tender terlibat dalam persekongkolan tersebut. Pertanyaannya

adalah apakah dimungkinkan pihak penyelenggara tender dapat dikenakan sanksi

berdasarkan Pasal 22.

Kemudian apakah Pasal 22 Undang-undang No.5/1999 tidak menjelaskan siapa yang

dimaksud dengan pihal lain, apakah pihak lain itu diartikan sebagai sesama peserta

tender ataukah seluruh pihak yang terlibat dalam suatu tender seperti konsultan jasa

penilai, konsultan hukum atau akuntan misalnya.

Sedangkan penjelasan Pasal 22 memberikan penjelasan mengeni tender adalah

tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan

barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Sehingga penjelasan tersebut telah

mempersempit defenisi dari tender, karena suatu tender diadakan biasanya tidak hanya

untuk keperluan seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 22 tetapi juga ada

dalam praktek sehari-harinya tender dilakukan dalam rangka melakukan suatu

penjualan.

Sedangkan bentuk persekongkolan yang lain yang dilarang untuk dilakukan oleh

Undang-undang No.5/1999 adalah persekongkolan untuk mendapatkan informasi

kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan,

ketentuan ini bertujuan memberikan perlindungan kepada pelaku usaha yang eksistensi

atau keberadaan mereka di dalam pasar bergantung sekali kepada rahasia perusahaan

yang dimiliki, seperti perusahaan Coca Cola jika resep mereka dalam meracik minuman

sampai jatuh ketangan pelaku usaha lain yang kemungkinan akan memproduksi produk

yang sama sudah barang tentu kedudukan Coca Cola di dalam pasar akan terancam,

atau juga perusahaan farmasi yang melakukan riset dengan waktu dan biaya tidak

sedikit yang kemudian berhasil menghasilkan suatu resep obat yang sangat ampuh

untuk menyembuhkan suatu penyakit tertentu, tetapi karena ada persekongkolan jahat,

sehingga mengakibatkan resep obat yang dimiliki perusahaan tersebut bisa jatuh

Page 63: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

63

ketangan pelaku usaha lain yang menjadi pesaingnya, sehingga pelaku usaha

pesaingnya tersebut dapat memproduksi obat yang sama tanpa harus melakukan riset

dan mengeluarkan biaya yang besar terlebih dahulu, bisa memperoleh keuntungan yang

sangat besar. yang mungkin berlaku sebaliknya bagi pelaku usaha yang resepnya telah

dicuri. Namun jika rahasia perusahaan dapat dipersamakan dengan rahasia dagang

yaitu informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis

mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga

kerahasiannya oleh pemilik rahasia dagang,58 maka tidak hanya Undang-undang

No.5/1999 yang memberikan perlindungan terhadap rahasia perusahaan tersebut tetapi

ada juga undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai rahasia dagang yaitu

Undang-undang No.30 Tahun 2000.

Ketentuan yang mengatur mengenai persekongkolan untuk mendapatkan informasi

kegiatan usaha pesaingnya yang diklasisifikasikan sebagai rahasia perusahaan oleh

Undang-undang No.5/1999 - khususnya oleh Pasal 23 yang berbunyi bahwa: “pelaku

usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan

usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” - diatur secara Rule of Reason

sehingga membawa konsekwensi pelaku usaha tidak dilarang bersekongkol dengan

pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang

diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan asalkan tidak mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat.

Bentuk persekongkolan yang terakhir yang diatur oleh Undang-undang No.5/1999

adalah persekongkolan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang

dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa

yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari

jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Dimana bentuk

persekongkolan seperti ini telah menghilangkan salah satu prasyarat persaingan yang

paling penting yaitu kebebasan untuk masuk ke dalam pasar.

58 UU No.30 Tahun 2000 pasal 1 ayat 1 LN No 242 tahun 2000 TLN 4044

Page 64: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

64

Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku

usaha pesaing sebenarnya hampir sama tujuan dengan praktek pemboikotan yaitu

mencegah pelaku usaha yang berpotensi menjadi pesaing untuk masuk kedalam pasar

yang sama, yang kemudian pasar tersebut terjaga hanya untuk kepentingan pelaku

usaha yang melakukan praktek pemboikotan. Atau juga ada yang mengatakan bahwa

sesungguhnya salah satu praktek pemboikotan adalah bersekongkol untuk menghambat

produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaing.

Memperhatikan dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari praktek persekongkolan

seperti di atas, maka sudah seharusnya persekongkolanseperti di atas oleh pasal 24

Undang-undang No.5/1999 dirumuskan secara Per-Se, yaitu ketika pelaku usaha

melakukan tindakan yang disebutkan di dalam pasal tersebut sudah dikatakan bahwa

pelaku usaha tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut tanpa

harus melihat atau menunggu sampai munculnya akibat yang ditimbulkan dari tindakan

tersebut.

Adapun Pasal 24 Undang-undang No.5/1999 berbunyi sebagai berikut: “pelaku usaha

dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau

pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar

barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi

berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.”

Posisi Dominan

Posisi dominan didefenisikan oleh Pasal 1 ayat (4) Undang-undang No.5/1999 sebagai

suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar

bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha

mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan

dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta

kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Page 65: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

65

Bila dibandingkan dengan monopoli, secara konseptual posisi dominan itu seperti

jembatan di antara struktur pasar monopoli dan struktur pasar oligopolistik (pasar yang

dikuasai oleh beberapa perusahaan sejenis yang mempunyai kemampuan yang sama).

Pada pasar yang berstruktur monopoli, pelaku usaha yang ingin masuk ke dalam pasar

akan mendapatkan rintangan yang cukup besar dari si pelaku usaha yang memiliki

kedudukan monopoli, tetapi untuk pasar yang terdapat pelaku usaha yang memiliki

kedudukan posisi dominan di dalamnya, hambatan yang dibuat untuk mencegah pelaku

usaha lain yang hendak masuk ke dalam pasar oleh pelaku usaha yang memiliki

kedudukan posisi dominan tidak sebesar yang dibuat oleh pelaku usaha yang memiliki

kedudukan monopoli, atau dengan kata lain rintangan yang diciptakan oleh pelaku

usaha dominan untuk mencegah pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar yang

sama tidak sebesar rintangan yang diciptakan oleh pelaku usaha yang memiliki

kedudukan monopoli, sehingga dapat dikatakan bahwa si posisi dominan masih

memberikan sedikit ruang bagi pelaku usaha lain untuk berpartisipasi di dalam pasar.

Sedangkan hal lainnya yang membedakan pelaku usaha yang memiliki kedudukan

posisi dominan dengan pelaku usaha yang memiki kedudukan monopoli adalah

Kemampuan pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan (si posisi dominan)

dalam mengontrol (menaikan atau menurunkan) harga tidak sekuat yang dimiliki oleh

pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli. Dimana dalam menentukan harga si

posisi dominan harus memperhatikan reaksi konsumen atas tindakan yang diambilnya,

karena mungkin atas tindakannya tersebut dapat memicu konsumen si posisi dominan

berpindah kepada pelaku usaha lain yang lebih kecil yang berusaha menjadi pesaing

dari si posisi dominan. Sedangkan bagi pelaku usaha yang memiliki kedudukan

monopoli (si monopoli) tidak perlu memperhatikan reaksi konsumen ketika si monopoli

harus menaikan harga, karena si monopoli mempunyai keyakinan bahwa konsumen

tidak akan berpindah ke pelaku usaha lain meskipun si monopoli nantinya menaikan

harga, karena sebelumnya si monopoli telah membuat rintangan-rintangan yang

mencegah pelaku usaha lain masuk ke dalam pasar si monopoli, sehingga membuat

yang ada di dalam pasar tersebut hanya si monopoli saja yang menjalankan usahanya.

Mencapai posisi dominan di dalam pasar bukanlah perkara yang mudah bagi setiap

pelaku usaha, misalkan si pelaku usaha diharuskan meningkatkan kemampuan

Page 66: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

66

keuangannya, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan

untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu terlebih dahulu,

barulah kemudian si pelaku usaha bisa mencapai kedudukan posisi dominan di dalam

pasar.

Oleh karena mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar perlu usaha yang

tidak ringan, hal tersebut mendorong si pelaku usaha melakukan segala cara untuk

mempertahankan posisi dominannya agar tidak tergoyahkan oleh pelaku usaha lain,

bahkan terkadang si posisi dominan melakukan tindakan-tindakan yang terlarang (anti

persaingan) dalam mempertahankan posisi dominannya.

Hukum persaingan usaha memberikan perhatian yang cukup serius terhadap pelaku

usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan, karena seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya bahwa pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan mempunyai

kecendrungan untuk menghalalkan melakukan segala cara dalam mempertahankan

posisi dominanya di dalam pasar. Si posisi dominan sangat tidak tentram bila ada pelaku

usaha yang yang coba-coba untuk menggoyahkan kedudukannya di dalam pasar,

sehingga terkadang si posisi dominan menerapkan strategi-strategi bisnis yang

membuat pelaku usaha lain tidak dapat menyainginya, bila si posisi dominan dalam

mempertahankan posisi dominannya tidak melalui cara-cara yang anti persaingan,

seperti mengembangakan teknologi ataupun peningkatan permodalannya sudah barang

tentu bagi hukum persaingan usaha tidak menjadi masalah, tetapi ketika si posisi

dominan dalam mempertahankan kedudukannya melalui cara-cara yang anti persaingan

maka sudah barang tentu pula hukum persaingan usaha sudah menyiapkan jerat-jerat

hukum untuk si posisi dominan.

Sebagai contoh dimana sebelum Perang Dunia II Perusahaan Alumunium America

(Alcoa), merupakan satu-satunya perusahaan nasional Amerika Serikat yang

memproduksi batangan alumunium dari biji alumunium. Alcoa dalam pasar Amerika

menghadapi persaingan dari beberapa perusahaan batangan alumunium yang

melakukan daur ulang alumunium. Alcoa memiliki posisi dominan yang memproduksi

alumunium dengan teknologi yang telah dipatenkan sehingga dengan teknologi tersebut

Alcoa dapat memproduksi alumunium dengan biaya yang relatif rendah. Alcoa

Page 67: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

67

memegang hak paten dan dengan demikian teknik produksi Alcoa dilindungi oleh hak

paten. Namun setelah tahun 1909 hak paten tersebut telah kadaluwarsa dan Alcoa

harus mempertahankan posisi tersebut.

Pemerintah mencoba menuntut Alcoa melakukan aksi monopoli terhadap pasar

batangan alumunium, karena Alcoa, dituduh, melakukan pembelian bauxit melebihi dari

jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaannnya sehingga menyebabkan perusahaan lain

yang menjadi pesaing potensial tidak bisa mendapatkan bahan dasar yang dibutuhkan

untuk memproduksi batangan alumunium. Pemerintah juga menyatakan bahwa Alcoa

telah menandatangani kontrak dengan Perusahaan Listrik Publik (PLN Amerika) yang

mana kontrak tersebut didesain sedemikian rupa sehingga perusahaan yang bergerak

sebagai produsen batangan alumunium, yang menjadi saingan Alcoa, tidak bisa

mendapatkan listrik dengan harga yang murah (perlu diketahui bahwa untuk

memproduksi batangan alumunium, dibutuhkan listrik yang besar). Dalam pandangan

pengadilan, pemerintah dipandang tidak berhasil membuktikan bahwa Alcoa telah

berupaya untuk melakukan usaha-usaha untuk melanggengkan monopoli di bidang

produksi alumunium batangan. Namun demikian, pengadilan di Amerika Serikat

menemukan bahwa Alcoa telah melakukan monopoli alumunium batangan yang dengan

demikian telah bertentangan dengan bagian 2 dari Sherman Act. Faktor yang

mendukung tuduhan tersebut adalah perluasan kapasitas produksi yang dilakukan oleh

Alcoa. Berikut merupakan cuplikan dari pertimbangan keputusan pengadilan:

“It was not inevitable that it should always anticipate increases in demand for ingot and

be prepared to supply them. Nothing compelled it to keep doubling and redoubling its

capacity before others entered the field. It insist thet it never excluded competitors; but

we can think of no more effective exclusion than progressively to embrace each new

opportunity as it opened, and to face every newcomer with new capacity already geared

into a great organization, having the advantage of experience, trade connections and the

elite of personel.”

Pada Undang-undang No.5/1999 khususnya Pasal 25 mengemukakan beberapa

tindakan terlarang yang umumnya dilakukan oleh si posisi dominan dalam

mempertahankan kedudukannya di dalam pasar, antara lain:

Page 68: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

68

1. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau

menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari

segi harga maupun dari segi kualitas; atau

2. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

3. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki

pasar bersangkutan.

Hukum persaingan usaha secara umum ataupun Undang-undang No.5/1999 secara

khusus sebenarnya tidak mengharamkan bagi pelaku usaha memiliki kedudukan posisi

dominan di dalam pasar, asalkan tidak menyalahgunakan posisi yang dimilikinya untuk

melakukan hal-hal yang telah di sebutkan di atas, Seperti yang dikemukakan oleh Pasal

25 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 bahwa: “Pelaku usaha dilarang menggunakan

posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:

1. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau

menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik

dari segi harga maupun dari segi kualitas; atau

2. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

3. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki

pasar bersangkutan.”

Pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan oleh Undang-undang No.5/1999

apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima

puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau, dua

atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima

persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, dimana hal ini di

atur di dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999.

Tetapi dengan pemberian judul posisi dominan pada Bab tersebut, seolah-olah posisi

dominan dibaca oleh masyarakat sebagi suatu yang dilarang oleh Undang-Undang No.

5/1999. Padahal sebenarnya tidak demikian. Undang-undang ini tidak bertujuan untuk

melarang pelaku usaha untuk menjadi besar atau dominan dalam menjalankan

bisnisnya. Bahkan sebaliknya, UU No. 5/1999 justru bertujuan untuk menggairahkan

dunia usaha di Indonesia. Pada dasarnya tidak ada larangan bagi pelaku usaha untuk

Page 69: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

69

memiliki posisi dominan di dalam pasar yang bersangkutan sepanjang posisi dominan

tersebut diperolehnya dengan cara-cara yang jujur dan mengedepankan persaingan

yang sehat dalam berbisnis. Dengan demikian penjudulan “Posisi Dominan” sangat tidak

tepat sebagai sesuatu yang dilarang, dan lebih tepat apabila judul bab tersebut diganti

dengan judul “Penyalahgunaan Posisi Dominan”, karena dianggap penyalahgunaan

posisi dominan memiliki konotasi yang negatif sehingga harus menjadi sesuatu hal yang

dilarang oleh undang-undang nantinya. Dan apabila melihat substansi yang ada dalam

bab tersebut memang nampak lebih tepat bahwa hal-hal yang dilarang di dalam bab

tersebut merupakan penyalahgunaan posisi dominan. Sehingga kesimpulannya adalah

bahwa pencapaian penguasaan pangsa pasar (posisi dominan) pada dasarnya tidaklah

dilarang, yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan tersebut. 59

Kemudian isi dari Pasal 25 ayat 1 huruf (a) Undang-undang No.5/1999 mempunyai

kesamaan dengan pasal 19 huruf b Undang-undang No.5/1999, walaupun tidak

sepenuhnya sama. Persyaratan pertama yang harus dipenuhi adalah bahwa pelaku

usaha bersangkutan menentukan syarat perdagangan. Rumusan ini bermakna sangat

luas dan sepertinya meliputi hampir seluruh perilaku persaingan usaha.60 Untuk itu perlu

semacam pengaturan yang lebih jelas dan bukan merupakan pengulangan dari suatu

pasal yang lain. Begitupula dengan pasal 25 ayat 1 huruf (b) di mana hal ini memiliki

tujuan mirip dengan tujuan pasal 19 huruf c. Pada pasal 25 ayat 1 huruf (b) disebutkan

bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar

dan pengembangan teknologi. Mengenai tujuan membatasi pasar, hal ini bermakna

sangat luas, sehingga memerlukan interpretasi. Dan istilah “membatasi” dan “pasar”

tidak dijabarkan lebih lanjut.61 Apabila dilakukan interpretasi secara ekstensif, yang

sebenarnya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan ketentuan ini, maka semua

hambatan persaingan sekaligus merupakan pembatasan pasar.62

59 Udin Silalahi, Harian Umum Sore Sinar Harapan, Rubrik Persaingan Bisnis, Rencana Merger AirFrance dengan KLM: Peta Persaingan Penerbangan Dunia Akan Berubah,http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2003/1029/ind4.html

60 Peter W. Heerman, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat, Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Jakarta 2002, cet. II, hal. 335

61 Ibid.

62 Ibid, hal. 336.

Page 70: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

70

Selanjutnya, di dalam pasal tersebut diatas disebutkan juga bahwa pelaku usaha

dilarang menggunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi

pengembangan teknologi. Tentu saja hak atas kekayaan intelektual sebagai monopoli

pribadi cocok sekali untuk membatasi pengembangan teknologi. Namun dari sistematik

undang-undang ini nyata bahwa pasal 25 ayat 1 huruf (a) memerlukan reduksi

teleologis.63 Menurut pasal 50 huruf b, perjanjian hak atas kekayaan intelektual

dikecualikan dari jangkauan undang-undang ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa hambatan persaingan yang diakibatkan adanya hak atas kekayaan intelektual

selalu harus dapat diterima. Karenanya, pasal 25 ayat 1 huruf (b) hanya ditujukan bagi

pembatasan yang “melampaui” batas, yang telah ditetapkan oleh hak milik kekayaan

industri dan hak cipta.

Sedangkan Pasal 25 ayat (1) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 menekankan tujuan

penyalahgunakan posisi dominan untuk menciptakan hambatan masuk kepada pelaku

usaha lain untuk ikut terjun dalam bidang usaha yang sama, sebenarnya pengaturan ini

telah diakomodir di dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 5/1999 yang berbunyi

sebagai berikut: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha

pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang

sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Untuk itu maka

perlu kedua pengaturan tersebut diakomodir di dalam satu bagian atau pasal tertentu

sehingga tidak terjadi pengulangan pengaturan.

Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 berbunyi: Pelaku usaha memiliki posisi

dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: (a) satu pelaku usaha atau satu

kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar

satu jenis barang atau jasa tertentu; atau (b) dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok

pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu

jenis barang atau jasa tertentu. Materi ketentuan pasal 25 ayat 2 huruf a identik dengan

ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 dan Pasal 18 ayat (2)

Undang-undang No.5/1999, sedangkan Pasal 25 ayat (2) huruf (b) sama dengan isi

63 Ibid , hal. 337.

Page 71: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

71

pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 dan pasal 13 ayat 2 Undang-undang

No.5/1999.

Kata-kata yang dipergunakan dalam ketentuan dalam pasal 25 ayat (2) Undang-undang

No.5/1999 berbeda dengan istilah hukum “pasar bersangkutan” yang terdapat dalam

Pasal 1 angka (10) Undang-undang No.5/1999, dan dapat mengarah pada interpretasi

yang lebih sempit, namun kesamaan bahasa dan konsep UNCTAD mengindikasikan

bahwa sesuai dengan standar internasional, dibutuhkan posisi dominan dalam pasar

bersangkutan. Karena itu, istilah hukum yang terdapat dalam Pasal 1 angka (10)

Undang-undang No.5/1999 juga relevan dalam penerapan pasal 25 ayat (2). dari

materinya, ketentuan ini berkaitan dengan definisi posisi dominan sebagaimana

dimaksud pasal 1 angka (4) Undang-undang No.5/1999 dan memodifikasi definisi

tersebut. Namun dalam menerapkan ketentuan tersebut, pangsa pasar bukan

merupakan satu-satunya kriteria untuk menentukan posisi dominan. Perlu dipertanyakan

apakah parameter-parameter lainnya yang berperan penting untuk menentukan posisi

dominan patut atau dapat diabaikan dalam menerapkan Pasal 25 ayat 2 Undang-

undang No.5/1999. apabila demikian, maka definisi hukum di satu-satunya ketentuan

hukum dalam undang-undang ini yang menggunakan istilah hukum “posisi dominan”,

termodifikasi secara menyeluruh. Namun hal ini perlu dihindari demi penerapan istilah-

istilah hukum secara seragam, paling sedikit di dalam satu undang-undang

Lebih lanjut pada Bab Posisi Dominan Undang-undang No.5/1999 juga memasukan

beberapa hal yang memungkinkan pelaku usaha meraih sebagai posisi dominan di

dalam pasar, yaitu antara lain:

1. memiliki jabatan baik sebagai direksi ataupun sebagai komisaris dibeberapa

perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 26 Undang-undang

No.5/1999);

2. memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang bergerak di dalam

pasar yang sama (Pasal 27 Undang-undang No.5/1999);

3. melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha (Pasal 28

dan Pasal 29 Undang-undang No.5/1999).

Page 72: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

72

Bagi pelaku usaha yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu

perusahaan pada waktu yang bersamaan, kemudian menjadi direksi atau komisaris

pada perusahaan lain yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama juga,

kemungkinan besar pelaku usaha tersebut akan mengkoordinasikan kegiatan usaha

perusahaan-perusahaan dimana dia menjadi pejabat direksi atau komisarisnya, yang

mungkin jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki pejabat direksi atau

komisaris yang sama perusahaan-perusahaan tersebut dapat saling bersaing satu sama

lain, namun karena perusahaan-perusahaan tersebut memiliki pejabat direksi atau

komisaris yang sama sangat kecil kemungkinannya di antara perusahaan tersebut akan

saling bersaing.

Memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama di beberapa perusahaan yang

bergerak di dalam pasar yang sama, sudah barang tentu akan membuat perilaku dari

perusahaan-perusahaan tersebut kemungkinan akan menjadi seragam di dalam pasar,

sehingga membuat perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau

komisaris yang sama tersebut terlihat seperti satu perusahaan saja.

Dengan terjadinya praktek jabatan rangkap dapat mempengaruhi persaingan usaha

dalam berbagai cara. Misalnya dapat menimbulkan pengawasan administratif di mana

keputusan sehubungan dengan investasi dan produksi dapat melahirkan pembentukan

strategi bersama di antara perusahaan sehubungan dengan harga, alokasi pasar dan

kegiatan bersama lainnya. Dan ini penting disadari bahwa jabatan rangkap apabila tidak

diawasi dengan cara efektif, dapat digunakan sebagai alat untuk menghindarkan

perundang-undangan yang susunannya bagus dan diterapkan setepat-tepatnya di

daerah praktek usaha yang restriktif.

Meskipun jabatan rangkap terlihat dari penjelasan di atas memberikan dampak yang

kurang baik bagi persaingan usaha, bukan berarti seseorang dilarang sama sekali untuk

menduduki jabatan rangkap di beberapa perusahaan yang berada di dalam pasar

bersangkutan yang sama, karena berdasarkan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999,

yang berbunyi :“seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari

suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi

atau komisaris pada perusahaan lain apabila perusahaan-perusahaan tersebut:

Page 73: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

73

a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau

b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha; atau

c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu,

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak

sehat,” sehingga dapat dikatakan jabatan rangkap yang dilarang berdasarkan Pasal 26

Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan rangkap yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Sedangkan mungkin yang dimaksud dengan jabatan rangkap yang dapat

mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat atau yang

dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan rangkap, dimana dengan

adanya perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau komisaris yang

sama pada pasar bersangkutan yang sama kemudian menyebabkan beberapa

perusahaan yang ada tersebut seperti satu perusahaan saja, yang selanjutnya membuat

keberadaan mereka di pasar menjadi dominan, dan berikutnya perusahaan-perusahaan

tersebut saling berkolusi untuk melakukan tindakan-tindakan yang anti persaingan.

Namun untuk memberikan pengawasan terhadap jabatan rangkap ini tidak cukup

pengaturan mengenai jabatan rangkap terhadap direksi atau komisaris saja

sebagaimana yang telah diatur oleh pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999. Direksi dan

Komisaris merupakan suatu istilah jabatan yang hanya terdapat dalam badan usaha

yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, di mana direksi dan komisaris

merupakan organ yang terdapat dalam suatu Perseroan Terbatas. Apabila ketentuan

pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999 tetap dipertahankan demikian, di mana larangan

jabatan rangkap tersebut hanya diberlakukan bagi jabatan direksi dan komisaris maka

pada akhirnya badan usaha lain selain Perseroan Terbatas seperti firma, CV, Koperasi

dan lain-lain tidak akan terkena ketentuan mengenai jabatan rangkap ini sekalipun

badan usaha tersebut memenuhi kriteria huruf (a), (b), dan (c) yang justru sebenarnya

dapat mempengaruhi kondisi persaingan ke arah yang tidak sehat.

Untuk itu agar ketentuan mengenai jabatan rangkap ini tidak hanya mengarah kepada

badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas saja maka penggunaan istilah

Direktur dan Komisaris ini diganti menjadi Pengurus dan Pengawas dengan harapan

Page 74: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

74

agar undang-undang ini juga dapat diberlakukan bagi bentuk badan usaha lain selain

Perseroan Terbatas.

Kedudukan posisi dominan pelaku usaha juga bisa dilakukan dengan cara memiliki

saham secara mayoritas di beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan

usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, dimana

kemudian pangsa pasar perusahaan-perusahaan yang dimilikinya menjadi lebih besar.

Dengan memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang sejenis yang

bergerak di dalam pasar yang sama, pelaku usaha melalui perusahaan-perusahaanya

yang telah berhasil dikuasai dapat juga melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh

pelaku usaha yang menduduki jabatan rangkap dibeberapa perusahaan yang berada

dalam pasar yang sama, sehingga seharusnya pengaturan mengenai kepemilikan

saham secara mayoritas di beberapa perusahaan yang sama disesuaikan dengan

pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan dan jabatan rangkap.

Namun Pasal 27 Undang-undang No.5/1999 yang mengatur mengenai pemilikan saham

secara mayoritas pada perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha pada pasar

bersangkutan yang sama - (dimana Pasal 27 secara lengkap berbunyi: “pelaku usaha

dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan

kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau

mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar

bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan :

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima

puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu:

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%

(tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”)

- sepertinya dirumuskan secara keliru, karena Pasal 27 yang merupakan salah satu

pasal yang juga menjadi bagian dari Bab V Posisi Dominan, seharusnya perumusannya

juga disesuaikan dengan kaidah yang lain, seperti pada pengaturan penyalahgunaan

posisi dominan dan jabatan rangkap, yang dikatakan sebelumnya bahwa sesungguhnya

posisi dominan itu sendiri tidak dilarang, asalkan tidak melakukan tindakan-tindakan

yang disebutkan pada Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, dan begitu pula

Page 75: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

75

jabatan rangkap yang sebenarnya juga tidak dilarang asalkan tidak mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena sesungguhnya

dampak yang muncul dengan dimilikinya saham secara mayoritas dibeberapa

perusahaan yang sama tidak jauh berbeda dengan dampak yang ditimbulkan oleh

jabatan rangkap pada perusahaan yang bergerak pada pasar yang sama.

Kemudian pmberian judul Pasal 27 Undang-undang No.5/1999 dengan judul Pemilikan

Saham. Pemberian titel ini tidak tepat karena terminologi pemilikan saham itu bersifat

umum. Dan kembali lagi bahwa apabila Pemilikan Saham menjadi judul salah satu pasal

di dalam bab mengenai penyalahgunaan posisi dominan, maka kesan awal yang dapat

ditangkap adalah bahwa pemilikan saham khususnya pemilikan saham mayoritas

adalah suatu penyalahgunaan posisi dominan. Padahal seharusnya tidak demikian,

karena undang-undang ini pada dasarnya tidak melarang sesorang untuk memiliki

saham mayoritas dari suatu perusahaan.

Pengaturan di dalam pasal 27 Undang-undang No.5/1999 yang berkaitan dengan

masalah kepemilikan saham mayoritas di beberapa perusahaan sangat terkait dengan

masalah penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan karena perbuatan hukum

penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan biasanya akan berpengaruh terhadap

perubahan komposisi kepemilikan saham perusahaan. Sehingga ada baiknya apabila

pasal 27 Undang-undang No.5/1999 mengenai pemilikan saham ini digabungkan atau

dimasukan saja ke dalam Pasal 28 Undang-undang No.5/1999 mengenai

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan.

Persyaratan lebih lanjut, yang berhubungan dengan kepemilikan saham mayoritas,

dapat menimbulkan kekhawatiran dalam kasus-kasus tertentu apabila teks ketentuan ini

hanya digunakan sebagai standar orientasi. Hal tersebut terjadi apabila bahaya yang

diakibatkan oleh kepemilikan saham tersebut secara de facto tidak dapat terjadi,

misalnya kalau pemegang saham mayoritas tidak berhak untuk melaksanakan hak

memilih yang sesuai. Oleh karena itu rumusan undang-undang tersebut tidak memuat

acuan untuk penilaian terperinci, khususnya karena pasal 27 Undang-undang No.5/1999

kelihatannya tidak mempunyai elemen-elemen pembatas atau modifikasi apabila

hambatan hukum untuk memulai penyelidikan sudah tercapai.

Page 76: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

76

Hal lain yang menyebabkan pelaku usaha memiliki kedudukan sebagai posisi dominan

di dalam pasar adalah dengan cara pelaku usaha tersebut melakukan penggabungan

(merger), peleburan (konsolidasi), atau pengambilalihan (akusisi) perusahaan lain.

Penggabungan (merger) menurut Black’s Law Dictionary adalah “(T)he absorption of

one company by another, latter retaining its own name and identity and acquiring assets,

liabilities, franchises, and powers of former, and absorbed company ceasing to exist as

separate business entity.” sementara merger menurut Peraturan Pemerintah No.27

Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan

Terbatas adalah “perbuatan hukum yang dilakukan satu perseroan atau lebih untuk

menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan

yang menggabungkan diri menjadi bubar.”

Peleburan (konsolidasi) menurut Black’s Law Dictionary adalah “...when two or more

corporations are extinguished, and by the same process a new one is created, taking

over the assets and assuming the liabilities of those passing out of existence. A unifying

of two or more corporations into a single new corporation having the combined capital,

francises, and powers of all its constituents.” Sedangkan menurut PP No.27/1998,

Peleburan diartikan sebagai: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau

lebih untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing-

masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar.”

Pranata konsolidasi ini kurang populer dalam praktek dan kurang banyak diminati orang.

Konsolidasi perusahaan terjadi jika sebuah perusahaan baru dibentuk untuk mengambil

alih net asset dari dua perusahaan lainnya yang telah dikombinasi. Dengan perkataan

lain, konsolidasi dari suatu perusahaan berarti suatu proses dimana dua atau lebih

perusahaan meleburkan diri, dan dalam proses tersebut juga dibentuk suatu perusahaan

baru yang mengambil alih aset-aset dan mengasumsi (mengambil alih) kewajiban dari

kedua atau lebih perusahaan yang meleburkan diri tersebut. Lebih jelasnya dapat

dikatakan bahwa konsolidasi perusahaan terjadi jika yang di dalamnya itu telah dilebur

dua maskapai yang seluruhnya baru, dengan tidak adanya maskapai-maskapai yang

semula hidup terus. Istilah ini sering juga sebagai gantinya amalgation.

Page 77: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

77

Sedangkan pengambilalihan (akusisi) menurut Black’s Law Dictionary adalah:“(T)he act

of becoming the owner of certain property.” Sementara menurut PP No.27/1998

pengambilalihan adalah: “perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau

perseorangan untuk mengambilalih seluruh atau sebagian besar saham perseorangan

yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.”

Adapun yang dimaksudkan akuisisi dalam hubungannya dengan perusahaan adalah

suatu pengambilalihan kepentingan pengontrolan (controlling interest) dalam

perusahaan lain. Secara lebih spesifik, akuisisi perusahaan merupakan tindakan untuk

mengambil alih suatu perusahaan oleh perusahaan lain yang biasanya, tetapi tidak

selamanya, dicapai dengan membeli saham biasa dari perusahaan lain. Karena dengan

kata akuisisi mengandung kata memiliki atau mengambil alih (Take Over), maka untuk

dapat dikatakan akuisisi perusahaan dalam arti pengambilalihan saham,

pengambilalihan mana mestilah paling tidak pengambilalihnya dapat menjadi mayoritas

biasa (Simple Majority), yaitu minimal 51% dari seluruh saham perusahaan yang diambil

alih.

Berbeda dengan merger, maka pada kasus akuisisi, tidak ada perusahaan yang melebur

ke perusahaan lainnya. Jadi setelah terjadi akuisisi, maka kedua perusahaan masih

tetap exist, hanya kepemilikannya yang telah berubah.

Sedangkan dalam hal merger (seperti juga dengan akusisi dan konsolidasi) sangat

riskan melahirkan perusahaan yang memiliki kedudukan posisi dominan yang dilarang

peraturan perundangan yang berlaku. Oleh karena itu Undang-undang Persaingan

Usaha sangat cukup mewaspadai setiap merger yang terjadi, dalam artian merger

sesungguhnya tidak dilarang, tetapi jangan sampai menimbulkan monopoli. Di Amrika

Serikat misalnya, pasal 7 dari Clayton Act kurang lebih menyebutkan bahwa perusahaan

yang terlibat dalam bisnis tidak boleh memperoleh seluruh atau sebagian dari saham

atau asset dari perusahaan lain yang terlibat dalam Usaha yang sama sehingga dapat

mengakibatkan secara substansial dapat memperkecil kompetisi atau cenderung

menciptakan monopoli.

Efek negative dari merger terhadap suatu Persaingan adalah sebagai berikut:

Page 78: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

78

1. terciptanya atau bertambahnya konsentrasi pasar yang dapat menyebabkan harga

produk menjadi lebih tinggi;

2. kekuatan pasar (market power) menjadi semakin besar yang dapat mengancam

pelaku Usaha kecil.

Suatu konsentrasi pasar dapat dilihat dari dua faktor sebagai berikut :

1. berapa banyak pelaku usaha untuk produk yang bersangkutan;

2. berapa besar pangsa pasar yang dikuasainya.

Dalam mengkaji efek anti persaingan dari suatu merger, konsolidasi, dan akusisi oleh

hukum persaingan usaha biasanya di lihat dari:

1. Harga yang berkolusi

2. Skala ekonomi yang tereksploitasi

3. kekuasaan untuk monopoli (monopoly power)

4. Interdependensi yang oligopolistik.

Disamping itu, beberapa faktor tambahan yang seharusnya ikut dipertimbangkan untuk

menentukan seberapa jauh suatu merger, konsolidasi dan akusisi dapat dikategorikan

sebagai yang dilarang hukum persaingan usaha. Beberapa Faktor-faktor tambahan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Arah kecenderungan perubahan kondisi pasar

2. Kondisi finansial dari pelaku pasar

3. Kemudahan untuk dapat masuk ke pasar. Ini kemudian berkembang dalam teori

“jalan masuk” (Entrenchment theory)

4. Ketersediaan produk substitusi

5. Sifat dari produk

6. Syarat-syarat penjualan produk

7. Market Performance

8. Dampak efisiensinya

Dalam teori ilmu ekonomi industri, dikenal pula suatu cara menghitung konsentrasi pasar

yang terkonsentrasi dengan menghitung semua pelaku pasar bersama pangsa pasar

yang dikuasainya. Teori ini dikenal dengan sebutan The Herfindahl-Hirschman Indeks

Page 79: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

79

(“HHI”). Misalnya di pasar ada empat pelaku pasar dengan penguasaan pangsa pasar

masing-masing sebagai berikut:

- pelaku A = 30%

- pelaku B = 30%

- pelaku C = 30%

- pelaku D = 10%

Maka rumusannya adalah sebagai berikut:

C = A² + B² + C² + D²

= 30² +30² + 30² + 10²

= 2800

Keterangan :

C = Konsentrasi Pasar

Konsentrasi pasar ini bergerak dari nol (tidak ada konsentrasi) sampai 10000 (monopoli

penuh/ 100²)

Besarnya tingkat graduasi konsentrasi pasar dikategorikan sebagai berikut:

1) HHI < 1000 = pasar tidak terkonsentrasi

HHI < 1800 = pasar agak terkonsentrasi (moderately consentrated)

HHI > 1800 = pasar sangat terkonsentrasi (highly concentrated)

Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa dengan merger, konsolidasi atau akusisi

konsentrasi pasar menjadi semakin tinggi. Misalkan jika sebelum merger antara A dan

B, HHI-nya adalah (A)² + (B)², maka setelah merger, HHI-nya menjadi (A+B)² yang

berarti menjadi (A) ² + 2(AB) + (B) ². Jadi dengan demikian terlihat bahwa dampak dari

merger yang membawa nilai HHI semakin tinggi.

Menganai merger itu sendiri apabila dilihat dari bentuknya secara umum dapat

dikatagorikan menjadi:

1. Merger Horizontal;

2. Merger Vertikal

3. Merger Konglomerat

Page 80: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

80

Masing-masing merger tersebut memberi warna tersendiri terhadap monopoli, yaitu

sebagai berikut:

1. Merger Horizontal

Dalam merger horizontal ini, perusahaan-perusahaan yang merger tersebut menjual

produk yang sama. Sehingga apabila merger dilakukan, Persaingan antara perusahaan-

perusahan tersebut menjadi di tiadakan dan pangsa pasar yang dikuasai tentu akan

menjadi lebih besar.

Untuk mengetahui apakah suatu merger horizontal dianggap melanggar prinsip anti

monopoli atau Persaingan sehat, hokum harus benar-benar mempertimbangkan factor-

faktor sebagai berikut:

a. Post merger consentration. Dalam hal ini akan dilihat bagaimana konsentarasi pasar

setelah dilakukan merger tersebut.

b. Peningkatan konsentarasi pasar karena merger

2. Merger Vertikal

Merger vertical (dari hulu ke hilir) ini ada yang upstream atau downstream. Vertical

merger tidak membawa pengaruh secara langsung kepada Persaingan pasar. Tidak

seperti dalam horizontal merger dimana kemungkinan akan hilangnya kompetisi karena

malakukan merger ke dalam perusahaan lain tersebut. Akan tetapi sungguhpun

demikian, merger vertical pun dapat membawa akibat tidak baik, karena dapat membuat

perusahaan menguasai produksi dari hulu sampai hilir, itu dapat menjadi halangan bagi

pendatang baru yang ingin masuk ke dalam bisnis yang sama. Sungguhpun harus diakui

pula bahwa merger vertical ini bukannya tidak memiliki segi positif. Antara lain yang

paling penting adalah peningkatan efesiensi, baik efesiensi dalam hal penggunaan

teknologi ataupun efesiensi dalam hal pendistribusian suatu produk.

Jadi salah satu yang ditakutkan dengan adanya merger vertical ini adalah adanya

pengekangan terhadap masuknya pesaing ke pasar (entry barrier). Dalum hokum

Persaingan Usaha agar dapat divonis bahwa telah terjadinya entry barrier sebagai

akibat adanaya merger vertikal, haruslah terdapat faktor-faktor sebagai berikut:

Page 81: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

81

a) Derajat integrasi vertical diantara dua pasar tersebut haruslah sedemikian ekstensif

sehingga dengan memasuki ke dalam satu pasar (primary market) berarti juga harus

memasuki juga pasar yang lainnya (secondary market);

b) Memasuki ke dalam secondary market mensyaratkan harus dimasukinya primary

market, dan memasuki primary market jauh lebih sulit dari memasuki secondary

market;

c) Struktur dan sifat lain dari primary market haruslah sangat kondusif kepada

terjadinya hal-hal yang non competitive.

Dengan dimikian, memang ada kemungkinan bahwa merger vertical ini akan

mengurangi kompetisi pasar secara substansial atau kecendrungan menimbulkan

monopoli di pasar.

3. Merger Konglomerat

Merger konglomerat ini dapat terjadi dimana masing-masing perusahaan yang merger

tersebut sebelumnya tidak memiliki hubungan bisnis, jadi bukan supplier atau

konsumen. Contoh merger konglomerat yang dapat menimbulkan masalah terhadap

persainga pasar adalahmerger untuk memperluas pasar. Merger konglomerat juga

dapat berpengaruh negative terhadap Persaingan pasar karena itu juga diwanti-wanti

oleh hukum persaingan usaha

Bagi hukum Persaingan Usaha, maka akibat negative bagi pesaingan pasar yang

sangat diwanti-wanti bahwa adalah dengan merger konglomerat tersebut

mengakibatkan hilangnya pesaing potensial. Sebab, pihak yang bergabung dengan cara

merger konglomerat tersebut, sewaktu merger dilakukan tidak dalam keadaan bersaing

secara langsung yang dapat menyebabkan perubahan struktur, konsentarsi atau

penguasaan pasar. Yang ada hanyalah hilangnya pesaing “potensial”. Karena itu sering

disebutkan bahwa merger konglomerat hanya menimbulkan secondary effect terhadap

Persaingan pasar. Tetapi oleh hukum, inipun dianggap berbahaya bagi suatu pasar.

Sehingga munculah dalam hukum Persaingan Usaha teori “potential competitor”.

Dimana menurut teori ini, agar dapat dikatakan bertentangan dengan hokum Persaingan

Usaha, maka merger konglomerat tersebut haruslah dilakukan dengan pihak yang

Page 82: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

82

merupakan “potential competitor”, sehingga merger tersebut dapat mengakibatkan

terjadinya pengekangan Persaingan pasar.

Oleh karena ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akusisi merupakan bagian

dari Bab V Posisi Dominan, maka dalam menerapkan pasal 28 ini juga harus mengacu

kepada pasal-pasal sebelumnya yang juga menjadi bagian dari Bab V Posisi Dominan,

karena pasal-pasal yang terdapat di dalam bab tersebut sesungguhnya memiliki

karakteriktik permasalahan yang sama yaitu dimana atas perbuatan yang dilakukannya

menjadikan pelaku usaha tersebut menjadi dominan di dalam pasar, yang kemudian

dengan posisi dominannya sangat rentan sekali terhadap penyalahgunaan untuk

tindakan-tindakan yang anti persaingan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,

bahwa merger, konsolidasi dan akusisi dapat mengakibatkan perusahaan menjadi

dominan di dalam pasar.

Namun karena ketentuan lebih lanjut mengenai merger, konsolidasi dan akusisi

berdasarkan Pasal 28 ayat (3) Undang-undang No.5/1999 akan diatur lebih lanjut di

dalam Peraturan Pemerintah maksa sudah barang tentunya ketentuan yang lebih

jelasnya dapat di lihat pada Peraturan Pemerintah tersebut.

Berdasarkan 29 ayat (1) undang-undang No.5/1999 yang menyatakan bahwa:

“penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham

sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 yang berakibat nilai aset dan/atau nilai

penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi selambat-

lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau

pengambilalihan tersebut.” dapat diartikan Undang-undang No.5/1999 menganut after-

merger notification yaitu pelaku usaha baru memberitahukan kepada KPPU mengenai

merger atau konsolidasi ataupun akusisi yang berakibat nilai aset dan/atau nilai

penjualan melebihi jumlah tertentu setelah mereka melakukan merger, konsolidasi atau

akusisi.

Namun mengenai penetapan nilai aset dan/atau nilai penjualan serta cara

pemberitahuan berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 akan diatur

lebih lanjut juga di dalam Peraturan Pemerintah.

Page 83: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

83

Dilihat dari judul yang diberikan untuk pasal 28 dan 29 Undang-undang No.5/1999 yakni

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan, di sini bukan berarti bahwa

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan sesuatu yang dilarang oleh undang-

undang. Karena sebagaimana halnya yang telah kita ketahui bahwa salah satu yang

mendorong perusahaan untuk melakukan penggabungan, peleburan dan

pengembilalihan adalah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi. Maka ada baiknya

apabila penjudulan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan diganti menjadi

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang dilarang. Karena hanya

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan yang menciptakan persaingan tidak

sehat saja yang seharusnya dilarang.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pasal 28 Undang-undang No.5/1999 sebagai

ketentuan yang secara umum mengatur penggabungan, peleburan dan pengambilalihan

usaha, telah mencakup isi peraturan pasal 27 Undang-undang No.5/1999. Dengan

demikian maka pasal 27 Undang-undang No.5/1999 merupakan lex spesialis terhadap

pasal 28 Undang-undang No.5/1999, sehingga persyaratan restriktif ketentuan tersebut

(mengakibatkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat) juga harus

berlaku dalam hal terdapatnya peraturan khusus. Akhirnya hanya dengan cara demikian

dapat dicapai kesimpulan yang dapat dimengerti dan konsisten dengan sistem.

Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang No.5/1999 membahas pengawasan terhadap

konsentrasi yang mencakup penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Kedua

pasal tersebut tersebut merupakan lex imperfecta. Pasal-pasal tersebut baru dapat

diimplementasikan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang

disyaratkan di pasal 28 ayat 3 dan pasal 29 ayat 2. Pasal 28 ayat 1 dan 2 maupun pasal

29 ayat 1, kalau berdiri sendiri tanpa disertai peraturan pelaksanaannya, terlalu kabur

untuk dapat diimplementasi. Kedua pasal tersebut secara jelas dimasukkan berdasarkan

hasil keputusan untuk melaksanakan pengawasan terhadap konsentrasi dan sebagai

alat pengingat dalam undang-undang.

Menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, penggabungan, peleburan, atau

pengambilalihan yang nilai modal atau penjualannya melebihi batasan tertentu harus

Page 84: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

84

dilaporkan kepada Komisi selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah

dilaksanakannya proses konsentrasi.

Kenyataan bahwa pasal 29 ayat 1 Undang-undang No.5/1999 mensyaratkan kewajiban

melapor suatu penggabungan yang sudah terlaksana, namun perlu juga diberikan

tambahan aturan bahwa hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi pemeriksaan

preventif yang dilakukan secara inisiatif oleh lembaga pengawas (pre-merger control).

Kriteria kewajiban pemberitahuan menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang No.5/1999

adalah nilai modal atau penjualan dari perusahaan yang baru terbentuk. Ketentuan ini

sangat sulit dipraktekkan. Nilai modal dan penjualan dapat disembunyikan. Dengan cara

demikian, perusahaan dapat menghindari kewajiban pelaporan. Selain itu, nilai

penjualan suatu perusahaan publik berubah terus-menerus sesuai nilai sahamnya di

bursa. Di dalam undang-undang nasional negara-negara industri besar maupun di

dalam ketentuan persaingan Uni Eropa, kriteria yang menentukan adalah nilai penjualan

dalam tahun pembukuan sebelumnya. Nilai penjualan adalah kriteria yang umum

digunakan untuk mengetahui besarnya perusahaan. Nilai penjualan dilaporkan dalam

laporan tahunan perusahaan dan sangat sulit dimanipulasi. Nilai penjualan juga

merupakan data terpenting untuk menentukan nilai jual suatu perusahaan.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Dasar Hukum pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Undang-

Undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat. Sesuai dengan Pasal 30 UU No. 5/1999 bahwa dalam rangka pengawasan

pelaksanaan undang-undang ini dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang

selanjutnya disebut “Komisi”.

Keberadaan suatu komisi yang bertanggung jawab bagi pelaksaan suatu ketentuan

mengenai hukum antimonopoly atau hukum persaingan usaha adalah sesuatu yang

tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Selama ini yang masih menjadi perdebatan adalah

bagaimana letak dari komisi ini dalam kehidupan ketatanegaraan kita. Apabila kita

Page 85: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

85

analisa Komisi sejenis pada Negara-negara lain, maka pada dasarnya terdapat empat

model yaitu; Pertama adalah baik kewenangan penyelidikan, penuntutan maupun

pembuat putusan diserahkan pada lembaga yang sama yang juga merupakan lembaga

pembuat kebijakan dalam bidang persaingan usaha. Para pihak dalam hal ini dapat

mengajukan banding pada pengadilan. Model pertama ini dipakai oleh Eropa Union.

Kedua adalah Kewenangan penyelidikan, penuntutan dan putusan diserahkan pada

lembaga independent yang bebas dari intervensi politik. Putusan komisi ini juga dapat

diajukan banding. Model ini dipakai oleh German dan Itali. Model ketiga yaitu Putusan

dibuat oleh lembaga independent, dimana lembaga ini tidak melakukan tugas

penyelidikan dan penuntutan. Model ini dipakai di Belgia dan Spanyol, dimana lembaga

yang berwenang memberi putusan adalah competition Council. Model keempat adalah

model yang dipakai oleh Amerika Serikat dimana kewenangan penegakan hukum dalam

bidang hukum antimonopoly di pegang oleh lembaga yang independent yaitu FTC dan

Departement of Justice.

Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha memiliki alasan filosofis dan alasan

sosiologis. Alasan Sosiologis yang dapat dijadikan dasar pembentukan KPPU yaitu

bahwa dalam mengawasi pelaksanaan suatu aturan hukum diperlukan suatu lembaga

yang mendapat kewenangan dari negara (pemerintah dan rakyat). Dengan

kewenangannya yang berasal dari negara ini diharapkan lembaga pengawas ini dapat

menjalankan tugas dan fungsi dengan sebaik-baiknya serta sedapat mungkin mampu

untuk bertindak secara independen.64

Sedangkan alasan sosiologis yang dapat dijadikan dasar pembentukan KPPU adalah

menurunnya citra pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara serta

beban perkara pengadilan yang sudah menumpuk. Alasan lain adalah dunia usaha

membutuhkan penyelesaian yang cepat dan proses pemeriksaan yang bersifat rahasia.

Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga khusus yang terdiri dari orang-orang yang

64 Ayudha D. Prayoga, et al., Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya, cet. I, (ELIPS,1999), hal. 128

Page 86: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

86

ahli dalam bidang ekonomi dan hukum sehingga penyelesaian yang cepat dapat

terwujud.65

Pemberian kewenangan khusus kepada suatu Komisi untuk melaksanakan suatu

peraturan di bidang persaingan adalah hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan

negara. Misalnya, di Amerika Serikat dengan Federal Trade Commission-nya;66

Masyarakat Ekonomi Eropah dengan European Community Commission-nya;67 Jepang,

Korea dan Taiwan dengan Fair Trade Commission-nya; dan lain-lain. Praktek di

beberapa negara ada yang mengatur keberadaan Komisi khusus ini dengan undang-

undang tersendiri, ada juga yang menggabungkan pengaturannya dalam undang-

undang persaingan usahanya. Amerika serikat adalah contoh negara yang mengatur

keberadaan Komisi khusus dalam undang-undang tersendiri. Sedangkan contoh negara

yang menyatukan pengaturan keberadaan Komisi tersebut dalam undang-undang

persaingan usahanya adalah Jepang, demikian juga dengan Indonesia.

Khusus di Indonesia, Pengaturan mengenai keanggotaan KPPU, persyaratan, dan

pemberhentiannya diatur dalam pasal 31 sampai dengan pasal 33. Dalam pasal 1 butir

18, ditetapkan bahwa KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli

atau persaingan usaha tidak sehat.68 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

merupakan lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak

lain, serta berwenang melakukan pengawasan dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut

berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana merupakan wewenang

65 Ibid.

66 Di Amerika Serikat terdapat keunikan karena di samping memberikan wewenang pengawasan dibidang persaingan usaha kepada Federal Trade Commission, juga memberikan kewenangan padaDepartment of Justice khususnya pada Anti Monopoli Division-nya.

67 European Community Commission adalah salah satu dari empat organ yang paling penting dariEuropean Community, di samping the Council of Minister, the Parliament, dan the Court of Justice. LihatCarolyn Hotchkiss, International Law for Business, (Singapore : McGraw-fbll, 1994), hal. 104-108 danRalph H. Folsom dan Michael W. Gordon, International Business Transactions, (St. Paul : West PublishingCo., 1995), hal. 876-898.

68 Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha TidakSehat, op.cit., ps. 1 butir 18

Page 87: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

87

pengadilan. KPPU adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan

kekuasaan pemerintah serta pihak lain (pasal 30 ayat 2), artinya KPPU berwenang

penuh dalam pengawasan dan penerapan pelaksanaan UU No. 5/1999 yang tidak boleh

dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah dan pihak lain.

Undang-Undang No. 5/1999 memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih

mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan

kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa UUD 1945.

Dengan perkataan lain, bahwa Undang-undang ini menjamin pelaku usaha di Indonesia

dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi, dengan

memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan

umum (Pasal 2 UU No. 5/1999).

Terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-undang ini yang menghendaki peraturan

pelaksanaan lebih lanjut, antara lain: Peraturan Pemerintah (PP) mengenai

penggabungan, peleburan dan pengambilalihan saham perusahaan lain (Pasal 28 ayat

3), Peraturan Pemerintah (PP) mengenai penetapan nilai aset (Pasal 29 ayat 2),

Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan KPPU (Pasal 34 ayat 1), dan

ketentuan mengenai prosedur beracara (Pasal 44 ayat 4). Namun demikian, dari sekian

banyak kebutuhan yang diperlukan guna pelaksanaan UU tersebut, baru Keputusan

Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang KPPU yang telah disahkan.

Tugas KPPU

KPPU adalah lembaga nonstruktural yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan

pemerintah serta pihak lain, walaupun secara struktural pertanggungjawaban atas

kinerjanya KPPU memberikan laporan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat

secara berkala.

Tujuan dibentuknya KPPU adalah agar implementasi undang-undang serta peraturan

pelaksanaannya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya. Dalam mengawasi

dan menerapkan UU No. 5/1999, KPPU mempunyai peranan yang sangat besar dan

penting, Antara lain ialah KPPU berperan untuk melakukan advokasi sehingga secara

Page 88: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

88

bertahap bidang bisnis yang struktur pasarnya banyak yang masih monopolis atau

oligopolis berubah menjadi pasar bersaing, agar sesuai dengan UU No. 5/1999. 69

Di samping itu terhadap bidang yang telah menjalankan mekanisme persaingan, peran

KPPU adalah mengupayakan agar persaingan tersebut berjalan sehat. Jangan lagi yang

besar menginjak kaki yang lebih kecil, sehingga tidak kuat untuk bertahan, kemudian

pelaku yang besar melakukan ekspansi untuk menguasai pasar. Juga jangan lagi pelaku

usaha besar menghambat calon pesaing, sehingga hanya yang besarlah yang

menguasai pasar dan mampu menentukan harga produk sesuai kehendaknya.70

Agar peran KPPU tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka KPPU memiliki tugas

yang berdasarkan Pasal 35 tugas KPPU adalah sebagai berikut:

Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur

dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;

Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;

Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi

dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai

dengan Pasal 28;

Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang KPPU sebagaimana diatur dalam

Pasal 36;

Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang

berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-Undang

ini;

Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja KPPU kepada Presiden dan

Dewan Perwakilan Rakyat.

69 Disampaikan oleh syamsul Maarif dalam wawancara dengan Bisnis Indonesia tanggal 11September 2003

70 Ibid.

Page 89: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

89

Dengan kata lain, tugas KPPU adalah melakukan penilaian apakah telah terjadi

perjanjian-perjanjian yang dilarang dan kegiatan usaha yang dilarang. Jika KPPU

menilai telah terjadi perjanjian-perjanjian yang dilarang atau kegiatan usaha yang

dilarang, maka KPPU dapat menggunakan wewenangnya untuk memerintahkan

penghentian perjanjian-perjanjian yang dilarang dan kegiatan usaha yang dilarang.

Dari seluruh tugas yang diamanatkan oleh UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penegakan hukum (law enforcement)

adalah tugas utama atau inti dari seluruh tugas yang diberikan kepada KPPU. Tugas

tersebut dilaksanakan KPPU melalui tindakan penanganan perkara, penerbitan

penetapan-penetapan dan putusan-putusan atas perkara yang ditangani, dan

pelaksanaan upaya-upaya lanjutan yang terkait dengan eksistensi dan pelaksanaan

penetapan dan putusan atas suatu perkara, yaitu tindakan monitoring putusan dan

upaya litigasi. Sebagaimana prinsip penegakan hukum, maka Anggota KPPU wajib

melaksanakan tugas dengan berdasar pada asas keadilan dan perlakuan yang sama71

serta wajib mematuhi tata tertib KPPU.72

Penanganan perkara dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 sebagai tugas prioritas KPPU dilaksanakan baik dalam kerangka tindakan yang

bersifat responsif terhadap laporan dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 dari masyarakat (publik) atau pelaku usaha, maupun sebagai suatu

tindakan yang bersifat inisiat if berdasarkan hasil temuan KPPU sendiri, di mana proses

penanganan perkara di KPPU dilakukan melalui barbagai tahapan, yaitu:

1. Tahap Klarifikasi kejelasan dan atau kelengkapan laporan yang disampaikan oleh

publik (Klarifikasi Laporan);

2. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari yang

dilakukan oleh Tim Pemeriksaan Pendahuluan;

3. Tahap Pemeriksaan Lanjutan selama-lamanya 90 (sembilan puluh) hari yang

dilakukan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

71 Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op.cit., pasal 11ayat (1)

72 Ibid., ayat (2)

Page 90: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

90

4. Tahap Pembuatan Putusan selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari yang dilakukan oleh

Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

5. Pembacaan Putusan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Sedangkan output dari penanganan perkara tersebut adalah penetapan-penetapan dan

putusan-putusan dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap perkara

bersangkutan. Pada akhirnya, terhadap seluruh putusan yang telah diterbitkan KPPU

diperlukan upaya lanjutan berupa monitoring terhadap pelaksanaan putusan-putusan

tersebut dan upaya litigasi jika atas putusan-putusan tersebut terdapat upaya keberatan

(challenge) ke Pengadilan Negeri yang dilakukan pelaku usaha terkait.

Di KPPU sendiri kasus-kasus yang kini ditangani baik berdasarkan pengaduan publik

maupun inisiatif penyelidikan KPPU sebagian besar (kira-kira sembilan puluh

persennya) adalah menyangkut praktek tender kolusif. Ada beberapa perkiraan

mengenai mengapa kasus-kasus tender kolusif ini yang kemudian dominan ditangani

saat ini. Perkiraan tersebut antara lain karena praktek tender kolusif merupakan jenis

praktek anti persaingan yang akibatnya langsung dirasakan oleh pelaku usaha

korbannya (pesaingnya) yang biasanya pula dalam nilai yang cukup signifikan, lain

dengan praktek anti persaingan usaha lainnya. 73

Praktek-praktek tender kolusif ini sudah “membudaya” di Indonesia terutama dalam

kasus tender pengadaan barang dan jasa bagi instansi-instansi pemerintah atau publik

(termasuk di BUMN dan BUMD) yang dikenal dengan istilah “arisan”.74

Sebagai salah satu lembaga penegak hukum kedudukan KPPU harus independen agar

dalam memberi keputusan, KPPU dapat bersikap obyektif dan netral serta hanya

berdasarkan Undang-Undang dan bukan karena petunjuk atau pengaruh pihak lain.

Oleh karena itu pula, Komisi dalam pengawasan dan pelaksanaan UU ini secara

73 HMBC Rikrik Rizkiyana, “Perilaku Anti-Persaingan di Indonesia,” (Makalah di sampaikan padaDiskusi panel Memperingati Dua Tahun Diberlakukannya UU. No. 5/1999 tentang Larangan PraktekMonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan Tema: Evaluasi Penegakan UU No. 5 Tahun 1999 danVisi ke Depan, Jakarta, 26 Maret 2002), hal. 13

74 Ibid ., hal 14

Page 91: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

91

struktural-organisatoris tidak berada di bawah lembaga pemerintahan manapun

termasuk di bawah Presiden. Meskipun Komisi bertanggung jawab kepada Presiden

(Pasal 30 ayat 3), namun dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Komisi tidak

dapat dipengaruhi oleh Presiden atau setidak-tidaknya tidak dinyatakan dalam undang-

undang bahwa Presiden berhak untuk itu. Usaha untuk menjaga independensi dari

pihak-pihak lain, setidak-tidaknya juga dapat terlihat dari persyaratan keanggotaan yang

diatur dalam pasal 32 UU No. 5/1999, yaitu bahwa anggota KPPU tidak terafiliasi

dengan suatu badan usaha. KPPU bertanggungjawab kepada Presiden adalah hal yang

wajar. Karena di sini KPPU melaksanakan sebagian dari tugas-tugas pemerintahan, di

mana kekuasaan tertinggi pemerintahan berada di bawah Presiden. Jadi, sudah

sewajarnyalah jika Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.75

Wewenang KPPU

Berdasarkan Pasal 36, wewenang KPPU adalah:

menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan

pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat;

melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh

masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai

hasil dari penelitiannya;

menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak

adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan undang-undang ini ;

memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap

mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;

meminta bantuan penyidik untuk meghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli

atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan KPPU;

75 Ayudha D. Prayoga et. al., Loc Cit. hal. 130

Page 92: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

92

meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan

penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang ini;

mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna

penyelidikan dan atau pemeriksaan;

memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku

usaha lain atau masyarakat ;

memberitahukan putusan KPPU kepada pelaku usaha yang diduga melakukan

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Di dalam sistem hukum Indonesia kedudukan KPPU adalah sebagai Badan Publik yang

menimbulkan kewenangan bersifat judicial administrative act (kewenangan Peradilan

bersifat administratif). Kedudukan itu terlihat dari ketentuan UU No. 5/1999 yang secara

yuridis mencantumkan tugas KPPU di bidang penegakan hukum persaingan. Dengan

tugas dan kewenangan itu, KPPU berwenang menerapkan hukum persaingan usaha

melalui proses penyelidikan, penyidikan, dan menjatuhkan putusan. Berjalannya proses

pemeriksaan berdasar pengaduan yang diikuti pembuatan putusan yang membebani

sanksi administratif bagi pelaku usaha bukan lagi tergolong Keputusan Tata Usaha

Negara. Putusan KPPU tidak didasari suatu tuntutan pembatalan Keputusan Tata Usaha

Negara yang bersifat individual, tetapi merupakan putusan yang didasari kepentingan

penegakan hukum untuk menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya

persaingan usaha yang sehat dan mencegah praktik-praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat.

Apabila sanksi administratif telah dijatuhkan maka selanjutnya penerima sanksi

seharusnya melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi sanksi yang dijatuhkan KPPU

kepadanya. Namun demikian, undang-undang memberikan keleluasaan kepada para

pelaku usaha untuk menempuh upaya hukum guna mencari keadilan melalui lembaga

pengadilan.76 Selanjutnya putusan KPPU terhadap pelaku usaha yang bersangkutan

merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.

Page 93: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

93

Sebagai perbandingan antara KPPU di Indonesia dengan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (Business Competititon Supervisory Commission) di berbagai negara lain,

Sebagaimana layaknya Komisi Pengawas Persaingan Usaha di negara-negara lain,

KPPU juga diberikan kewenangan dan tugas yang sangat luas yang meliputi wilayah

eksekutif, yudikatif, legislatif serta konsultatif. Kewenangan-kewenangan di atas

menyebabkan KPPU dapat dikatakan memiliki fungsi yang menyerupai lembaga

konsultatif, yudikatif, legislatif, maupun eksekutif.

Beberapa pihak berpendapat bahwa KPPU memiliki wewenang yang tumpang tindih

karena bertindak sebagai investigator (investigate function), penyidik, pemeriksa,

penuntut (prosecuting function), pemutus (adjudication function), maupun fungsi

konsultatif (consultative function). Namun demikian, sementara kalangan setidaknya

juga berpendapat bahwa meskipun KPPU bukan lembaga judisial ataupun penyidik,

tetapi KPPU adalah lembaga penegak hukum yang tepat untuk menyelesaikan masalah

persaingan usaha karena peran multi fungsi serta keahlian yang dimilikinya akan

mampu mempercepat proses penanganan perkara.

Anggota KPPU

Berdasarkan Pasal 31 ayat 1 anggota KPPU sendiri terdiri dari paling sedikit 7 orang

anggota termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang juga merangkap sebagai anggota.

Anggota KPPU ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 162/2000 dimana Keputusan

Presiden tersebut menetapkan 11 (sebelas) profesional yang mempunyai beragam latar

belakang disiplin ilmu sebagai anggota KPPU untuk masa jabatan lima tahun untuk

periode jabatan tahun 2000 sampai dengan 2005.

Dalam hal pengangkatan maupun pemberhentian, atas dasar usulan pemerintah,

anggota KPPU diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat di mana masing-masing anggota dapat diangkat kembali 1 (satu) kali

untuk masa jabatan berikutnya. Akan tetapi dalam perjalanannya terjadi sedikit

perubahan, di mana saat ini anggota KPPU tinggal berjumlah 10 (sepuluh) orang yang

76 Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha TidakSehat, op.cit., ps.44 ayat (2).

Page 94: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

94

aktif mengingat salah satu anggotanya yaitu Nabil Makarim menjadi Menteri pada

Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan sampai saat ini belum ditetapkan

penggantinya.

Keanggotaan KPPU berdasarkan UU berakhir karena:

1. meninggal dunia;

2. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;

3. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia;

4. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;

5. berakhir masa jabatan keanggotaan Komisi; atau

6. diberhentikan.

KPPU juga mempunyai program pelatihan rutin bagi staff peyelidik di bidang ekonomi

(mikroekonomi dan organisasi industri) yang berhubungan dengan hukum persaingan

usaha. Sementara itu guna menjamin independensi dan menghindari benturan

kepentingan, maka anggota KPPU terikat oleh kode etik internal KPPU atau disebut juga

dengan Tata tertib KPPU yang melarang anggota KPPU untuk aktif pada posisi berikut

ini:

1. Anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;

2. Anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;

3. Pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti

konsultan, akuntan publik, dan penilai; dan

4. Pemilik saham mayoritas suatu perusahaan.

Dalam menjalankan tugasnya Anggota KPPU wajib menjaga kerahasiaan mengenai

perkara yang sedang diperiksa. Sejauh mana definisi kerahasiaan yang harus dipegang

oleh Anggota KPPU akan didefinisikan oleh KPPU. 42 Sanksi atas pelanggaran

ketentuan etik tersebut diambil berdasarkan keputusan rapat pleno KPPU.

Dalam rangka menunjang kelancaran tugas, KPPU dibantu oleh Sekretariat KPPU,

dimana fungsi utama dari Sekretariat KPPU adalah membantu kelancaran tugas

administrasi dan teknis operasional dari KPPU. Sekretariat KPPU dipimpin oleh seorang

Direktur Eksekutif yang diangkat dan diberhentikan oleh KPPU.

Page 95: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

95

Sekretariat KPPU adalah bagian dari susunan organisasi KPPU,77 yang merupakan

suatu unit organisasi yang dibentuk untuk mendukung atau membantu pelaksanaan

tugas KPPU.78 Mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi Sekretariat diatur lebih

lanjut dengan keputusan KPPU.79 Dan selanjutnya Sekretariat KPPU berkedudukan di

bawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada KPPU.80

Di dalam Keputusan KPPU No. 41/KEP/KPPU/VI/2003 tentang Sekretariat Komisi

Pengawas Persaingan Usaha disebutkan bahwa Sekretariat KPPU mempunyai tugas

pokok memberikan dukungan teknis operasional dan administratif kepada KPPU dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam UU No.5/1999.81

Dalam rangka menyelenggarakan tugas pokok memberikan dukungan teknis

operasional dan administratif tersebut di atas, Sekretariat KPPU diberikan beberapa

wewenang oleh KPPU, yaitu:82

1. menetapkan kebijakan teknis operasional yang berkaitan dengan pelaksanaan

tugas dan wewenang KPPU;

2. menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan rencana dan program kerja

Sekretariat KPPU;

3. menetapkan kebijakan mengenai pedoman dan tata kerja Sekretariat KPPU;

4. menetapkan kebijakan pembinaan dan pengelolaan sumber daya manusia di

lingkungan Sekretariat KPPU;

5. menetapkan kebijakan teknis operasional pengelolaan keuangan serta sarana dan

prasarana yang berlaku di lingkungan Sekretariat KPPU.

77 Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op.cit., Ps.8.

78 Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU No.5/1999.

79 Indonesia, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha TidakSehat, op.cit., ps. 34 ayat (4).

80 Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Keputusan KPPU Tentang Sekretariat KPPU, KeputusanNo. 41/KEP/KPPU/VI/2003, Pasal 1 ayat 3

81 Ibid ., Pasal 2.

82 Ibid ., Pasal 3.

Page 96: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

96

Lebih lanjut di dalam Keputusan KPPU tentang Sekretariat KPPU, disebutkan bahwa

Sekretariat KPPU juga menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu:83

1. perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian dan

evaluasi seluruh kegiatan teknis operasional dan administratif yang berkaitan

dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPPU, sebagaimana yang tertuang

di dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UU No. 5/1999.

2. pembinaan dan pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, sarana dan

prasarana.

Penegakan Hukum

Dalam penanganan perkara pelanggaranan terhadap hukum persaingan usaha terdapat

beberapa peraturan yang digunakan menjadi dasar, antara lain:

a) Undang-undang No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat;

b) Keputusan Presiden No.75 / 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau

KPPU, keputusan, pedoman maupun petunjuk teknis mengenai KPPU;

c) keputusan KPPU No.5/2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan

Penanganan adanya Pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999;

d) HIR/RBg atau hukum acara perdata, yaitu untuk ketentuan hukum acara perdata jika

pelaku usaha menyatakan keberatan atas putusan komisi sesuai dengan pasal 44

ayat (2) UU No.5/1999 atau apabila terdapat gugatan perdata yang didasarkan pada

adanya perbuatan melanggar hukum;

e) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu ketentuan hukum acara

pidana jika perkara tersebut dilimpahkan kepihak penyidik sesuai dengan pasal 44

ayat (4) Undang-undang No.5/1999.

83 Ibid ., Pasal 4.

Page 97: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

97

Undang-undang No.5/1999 mengatur tidak hanya hukum material, tetapi juga hukum

acara yang berlaku dalam menangani kasus-kasus persaingan usaha. Hal ini

merupakan suatu yang lazim dalam peraturan perundang-undangan kita, dimana dalam

suatu undang-undang diatur baik hukum material maupun hukum formalnya. Pengaturan

seperti ini terjadi karena dalam ketentuan yang khusus tersebut terdapat hal-hal yang

diatur dalam ketentuan sebelumnya baik mengenai substansi maupun hukum acaranya.

Adapun hal-hal baru dalam hukum acara yang diatur dalam undang-undang ini apabila

kita bandingkan dengan hukum acar perdata dan hukum acara pidana yang berlaku

selama ini, antara lain adalah:

1. Terdapat ketentuan batas waktu yang cukup ketat bagi komisi dalam menangani

perkara-perkara persaingan usaha. Ketentuan mengenai batas waktu ini juga

ditiadakan bagi penyelesaian perkara di tingkat pengadilan negeri dan mahkamah

agung dalm hal terdapat keberatan terhadap putusan komisi. Namun demikian

tidak ada ketentuan apa yang terjadi atau apa sanksinya apabila batas waktu

tersebut tidak terpenuhi;

2. Putusan komisi yang tidak dijalankan oleh pelaku usaha merupakan bukti

permulaan yang cukup bagi dilaksanakannya penyidikan oleh pejabat kepolisian

negara republik Indonesia. Demikian, melalui undang-undang ini secara langsung

dapat kita ketahui bahwa komisi merupakan penyelidik dalam kasus-kasus

persaingan usaha, sedangkan menurut KUHAP penyelidik adalah tugas kepolisian.

Dalam hal perkara diteruskan ke pihak kepolisian untuk dilakukan penyidikan,

maka hukum acara yang berlaku adalah Undang-undang No.8/1981 tentang Kitab

undang-undang Hukum Acara Pidana;

3. Apabila pelaku usaha mengajukan keberatan atas putusan Pengadilan Negeri,

maka upaya hukum yang dilakukan adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan

pengaturan seperti ini pembentuk undang-undang menghendaki proses

pemeriksaan perkara-perkara persaingan usaha dapat diselesaikan secara cepat.

Hal ini dapat dimengerti karena pemeriksaan yang bertele-tele akan sangat

mengganggu aktifitas perusahaan dan mungkin perekonomian nasional.

Selanjutnya dalam undang-undang ini tidak diatur mengenai apakah dimungkinkan

dilakukannya upaya hukum hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Ketentuan

ini berbeda baik dengan hukum acara perdata maupun hukum acara pidana yang

berlaku dimana diatur adanya banding, kasasi dan peninjauan kembali;

Page 98: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

98

4. alat-alat bukti yang digunakan oleh komisi pada dasarnya hampir sama dengan

yang ada dalam kitab undang-undang hukum acara pidana yaitu berupa

keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen, petunjuk dan

keterangan pelaku usaha. Perbedaannya dengan KUHAP terletak pada

ditambahkannya kata, dan/atau dokumen serta keterangan pelaku usaha,

sedangkan dalam KUHAP adalah surat dan keterangan terdakwa. Hal ini telah

tepat, karena pada pemeriksaan di komisi status pelaku usaha bukanlah sebagai

seorang terdakwa.

Dalam undang-undang No.5/1999 memberikan kesempatan kepada setiap orang yang

mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-

undang No.5/1999 dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan keterangan

yang jelas mengenai terjadinya pelanggaran tersebut,84 jadi tidak hanya pihak yang

dirugikan atau menjadi korban secara langsung atas tindakan anti persaingan usaha

yang dilakukan oleh pelaku usaha lain yang bisa melaporkan kepada KPPU mengenai

adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No.5/1999, setiap orang yang mengetahui

mengenai adanya terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dapat melaporkan

peristiwa tersebut kepada KPPU.

Setiap orang yang mengetahui telah terjadinya pelanggaran terhadap UU No.5/1999 dan

pihak yang dirugikan atas pelanggaran tersebut dapat melaporkan secara tertulis

kepada KPPU dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya

pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.

Namun berdasarkan pasal 40 ayat (1) Undang-undang No.5/1999, KPPU diberikan hak

inisiatif untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan

terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, walaupun tanpa adanya

laporan dari masyarakat dan pelaku usaha.

Pasal 38 ayat (3) Undang-undang No.5/1999, Identitas setiap orang yang melaporkan

mengenai telah terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, selain

pihak yang dirugikan, wajib dirahasiakan oleh KPPU. Kemudian tata cara penyampaian

laporan diatur lebih lanjut oleh KPPU.

84 Pasal 38 ayat 1 UU No.5/1999.

Page 99: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

99

Setelah menerima laporan mengenai adanya dugaan pelanggaran terhadap UU

No.5/1999, KPPU diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan selama 30

hari, dan kemudian KPPU juga wajib menentukan apakah laporan tersebut perlu atau

tidak untuk ditindak lanjuti dengan pemeriksaan lanjutan. Dimana di dalam proses

pemeriksaan lanjutan KPPU wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang

dilaporkan. Dalam tahap pemeriksaan lanjutan tersebut juga, KPPU wajib menjaga

kerahasian informasi yang diperoleh dari pelaku usaha.

KPPU wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 hari sejak

dimulainya pemeriksaan lanjutan, dan bilamana diperlukan KPPU masih diberikan

kewenangan oleh Undang-undang No.5/1999 untuk memperpanjang paling lama 30 hari

jangka waktu pemeriksaan lanjutan. Kemudian dalam jangka waktu 30 hari sejak

selesainya pemeriksaan lanjutan, KPPU wajib memutuskan telah terjadi atau tidak

terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999, yang putusannya tersebut

dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera

diberitahukan kepada pelaku usaha.

KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif, kepada pelaku

usaha yang melanggar Undang-undang No.5/1999. Dimana tindakan administratif

tersebut dapat berupa:

a. Penetapan pembatalan perjanjian;

b. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal;

c. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti

menimbulkan praktek monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak

sehat dan/atau merugikan masyarakat;

d. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi

dominan;

e. Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan

pengambilalihan saham;

f. Penetapan pembayaran ganti rugi;

g. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya

Rp 25.000.000.000,00.

Page 100: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

100

Dalam pemeriksaan di KPPU, pelaku usaha dilarang menolak untuk diperiksa atau

memberikan informasi yang dibutuhkan atau menyerahan alat bukti yang diperlukan,

ataupun menghambat dalam proses penyelidikan dan pemeriksaan,85 karena dapat

dikatagorikan sebagai pelanggaran terhadap Undang-undang No.5/1999 yang kemudian

pelanggaran tersebut oleh KPPU akan diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan

penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian proses

pemeriksaan akan dilanjutkan menjadi perkara pidana dan hukum acaranyapun

menggunakan hukum acara pidana. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan dapat

memaksa pihak-pihak yang tidak mau berkerja sama dengan komisi dalam rangka

proses pemeriksaan perkara persaingan usaha menjadi lebih kooperatif.

Bila proses perkara persaingan usaha diserahkan kepada penyidik, maka proses hukum

acaranyapun menggunakan hukum acara pidana, dan kemungkinan pelaku usaha yang

melanggar Undang-undang No.5/1999 dapat dijatuhkan sanksi pidana, dimana sanksi

pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha dapat berupa pidana pokok dan

pidana tambahan.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut pasal 48 Undang-

undang No.5/1999 berupa:

1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal

16 sampai dengan Paal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-undang

No.5/1999 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua

puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus

miliar rupiah) atau piada kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam)

bulan.

2. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal

20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999 diancam

pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan

setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana

kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.

85 Pasal 41 (2) Undang-undang No.5/1999

Page 101: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

101

3. pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang No.5/1999 diancam

pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan

setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan

pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Sedangkan pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut

Pasal 49 Undang-undang No.5/1999 berupa:

1. Pencabutan izin usaha; atau

2. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap

Undang-undang No.5/1999 untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris

sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau

3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbullnya kerugian

pada pihak lain.

Alat-alat bukti yang dipergunakan oleh KPPU dalam melakukan pemeriksaan perkara di

KPPU berupa:

1. keterangan saksi;

2. keterangan ahli;

3. surat dan atau dokumen;

4. petunjuk;

5. keterangan pelaku usaha.

Setelah KPPU memutuskan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap UU

No.5/1999 dan menerima pemberitahuan putusannya, Pelaku usaha dalam jangka

waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan putusan wajib melaksanakan putusan

tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Namun Undang-

Undang menyediakan upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan

KPPU untuk mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 14

hari setelah menerima pemberitahuan putusannya. Jika pelaku usaha dalam jangka

waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan KPPU tidak mengajukan

keberatan kepada Pengadilan Negeri dianggap menerima putusan KPPU, menurut

Pasal 46 Undang-undang No.5/1999 putusan KPPU tersebut telah memiliki kekuatan

hukum tetap serta dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.

Page 102: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

102

Tetapi jika pelaku usaha setelah menerima putusan KPPU, tidak melaksanakan apa

yang telah diputuskan dan tidak pula mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri,

maka KPPU akan menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Dan putusan yang telah dijatuhkan oleh

KPPU tersebut nantinya menjadi bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk

melakukan penyidikan.

Apabila pelaku usaha mengajukan keberatan terhadap keputusan KPPU kepada

Pengadilan Negeri, dalam jangka waktu 14 hari sejak diterimanya keberatan tersebut,

Pengadilan Negeri harus sudah memeriksa keberatan tersebut. Kemudian dalam kurun

waktu 30 hari sejak dimulainya proses pemeriksaan keberatan tersebut, Pengadilan

Negeri harus sudah dapat memberikan putusannya.

Dan jika masih ada pihak yang merasa berkeberatan atas putusan yang dikeluarkan

oleh Pengadilan Negeri, Undang-undang No.5/1999 memberikan upaya hukum yang

dapat ditempuh oleh pihak yang masih merasa berkeberatan tersebut, untuk

mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, dalam kurun waktu 14

hari sejak dikeluarkannya putusan dari Pengadilan Negeri. Kemudian Mahkamah Agung

Republik Indonesia harus memberikan putusan terhadap kasasi dari pihak yang merasa

masih berkeberatan atas putusan yang dihasilkan oleh Pengadilan Negeri, dalam kurun

waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima.

Ketentuan lain-lain

Undang-undang Persaingan Usaha bukan peraturan yang diterapkan tanpa

pengecualian, pengecualian yang ada pada Undang-undang Persaingan Usaha di

Amerika Serikat dijelaskan bahwa dalam hal kongres menyatakan secara tegas bahwa

undang-undang persaingan usaha tidak berlaku, atau berlaku untuk hal-hal yang sudah

dimodifikasi bagi perbuatan tertentu. Berbagai peraturan perundangan yang

mengecualikan, antara lain, memberikan pengecualian bagi pertanian (agriculture),

komunikasi (communication), energi (energy), jasa keuangan (financial services) dan

Page 103: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

103

asuransi (insurance). Pengecualian juga diberikan dalam hal kongres menentukan suatu

pervasive regulatory scheme bahwa penerapan dari undang-undang persaingan usaha

akan merusak, maka dalam hal yang demikian itu pengadilan kadang-kadang

memutuskan bahwa kegiatan-kegiatan usaha tersebut diberikan kekebalan terhadap

berlakunya undang-undang persaingan usaha tersebut. Di antara pengecualian yang

penting adalah pengecualian terhadap serikat buruh dan terhadap collective bargaining

agreement yang dibuat serikat buruh dengan pimpinan perusahaan. Serikat buruh yang

berusaha memperbaiki upah, jam kerja, dan kondisi kerja dari para pekerja, terutama

melakukan monopolisasi dalam pemasokan buruh oleh serikat buruh dan melakukan

pengawasan bersama dalam melakukan penolakan berunding dengan pimpinan

perusahaan, merupakan hal-hal yang dikecualikan dari berlakunya undang-undang

persaingan usaha. Apabila pengecualian yang demikian tidak diberikan, maka undang-

undang persaingan usaha dapat mengancam eksistensi serikat-serikat buruh.

Undang-undang persaingan usaha di Jepang juga menentukan beberapa pengecualian.

Antara lain pengecualian diberikan terhadap perbuatan yang berkaitan dengan produksi,

penjualan atau pemasokan oleh seseorang yang melakukan pekerjaannya dibidang

perkereta apian (railway), listrik (electric), gas (gas) atau setiap perusahaan yang

menurut sifatnya adalah sutau monopoli. Ketentuan undang-undang persaingan usaha

di Jepang itu juga tidak berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang merupakan

pelaksanaan hak-hak berdasarkan Copy Right Law, Paten Law, Model Utility Law,

Design Law dan Trade-Mark Law.

Pengecualian-pengecualian yang disebutkan di atas yang berkaitan dengan Undang-

undang Persaingan Usaha di Amerika Serikat dan Jepang hanyalah sekedar

menyebutkan beberapa pengecualian saja. Banyak lagi pengecualian-pengecualian lain

disamping yang telah disebutkan itu.

Di dalam Undang-undang No.5/1999 mengatur mengenai hal-hal yang dikecualikan dari

pemberlakuan dari Undang-undang No.5/1999 itu sendiri, yaitu di dalam pasal 50 UU

No.5/1999, antara lain:

1. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

Page 104: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

104

2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,

paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik

terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau

3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak

mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau

4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk

memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada

harga yang telah diperjanjikan; atau

5. perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatkan atau perbaikan standar hidup

masyarakat luas; atau

6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia;

atau

7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu

kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau

8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau

9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani

anggotannya.

Selain pengecualian yang disebutkan dalam Pasal 50 di atas, ada pengecualian lain

yang juga diberikan oleh UU No.5/1999. pengeculian yang dimaksud adalah yang

terdapat di dalam Pasal 5 ayat (2) UU No.5/1999. dimana menurut Pasal 5 ayat (2)

perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), tidak berlaku

bagi:

a) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau

b) suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.

Page 105: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

105

Daftar Pustaka

BUKU:

Basri, Faisal. Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi KebangkitanIndonesia. Cet.I. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2002.

Biro Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Produk Domestik Regional Bruto Prpoinsi-propinsidi Indonesia menurut penggunaan 1998-2001, halaman x-xi.

Bork, Robert H, The Antitrust Paradox: A Policy at War With It Self. Harper TorchbooksTb 5086: Basic Books Inc., 1978.

Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Cet. 1.Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1999.

Gellhorn, Ernest. Antitrust Law and Economic in a Nutshell. Third edition. St Paul Minn:West Publishing Co, 1986.

Hamid, Edy Suandi dan M.B. Hendrie Anto. Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium III.Cet.I. Yogyakarta: UII Press, 2000.

Hasibuan, Nurimansjah. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi. Cet. 1.Jakarta: LP3ES, 1993.

Hill, Hall. “Economy” dalam Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-EconomicTransformations. 1st ed. Edited by Hall Hill St Leonard. NSW 2065 Australia:Allen & Unwin Pty Ltd, 1994.

Kartte, Wolfgang et al. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan PersainganUsaha Tidak Sehat/Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices andUnfair Business Competition/ Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Jakarta:Kerjasama Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi FHUI, DepartemenPerindustrian dan Perdagangan, dan gtz (Deutche Gesellschaft fur TechnischeZusammenarbeit GmbH), 2000.

Kaysen, Carl and Donald F. Turner. Antitrust Policy: An Economic and Legal Analysis.Cambride: Harvard University Press, 1971.

Khemani, R. Shyam (project director). A Framework for the Design and Implementationof Competition Law and Policy. Washington, D.C: World Bank, OECD, 1998.

Mann, Richard. Economic Crisis in Indonesia: The Full Story. Penang gateway Books,1998.

Northam, Ray M. “Urban Geography”. John Wiley & Sons, New York, Chichester,Toronto, 1979.

Page 106: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

106

Prasentiantono, A. Tony, ed. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia: Substansi danUrgensi: Kumpulan Tulisan DR. Guritno Mangkoesoebroto, Cet.1. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Prayoga, Ayudha D, ed. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengatur di Indonesia.Jakarta: ELIPS, 1999

Sullivan, Lawrence Anthony. Handbook of The Law of Antitrust. St Paul Minn: WestPublishing Co,1977.

United Nations Conference on Trade and Development. Model Law on Competition,Geneva, 2003.

JURNAL/MAKALAH:

Shauki, Achmad. “UU No.5/1999 dan tantangan bagi KPPU.” Makalah disampaikanpada Diskusi Panel Memperingati 2 tahun diberlakukannya UU No.5/1999tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI,Jakarta, 26 Maret 2002.

Sjahdeini, Sutan Remy. “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat,” Jurnal Hukum Bisnis Volume 10 (2000): 4 – 25

Usman, Syaikhu. “Deregulasi Perdagangan Regional dan Pengaruhnya terhadapPerekonomian Daerah.” Makalah di sampaikan pada Lokakarya NasionalPERSEPSI DAERAH, Jakarta, 6 Desember 1999.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.

______, Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan UsahaTidak Sehat, UU No. 5, LN No. 33 Tahun 1999, TLN. No. 3817.

______, Keputusan Presiden Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, KeppresNo. 75 Tahun 1999.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Keputusan KPPU Tentang Sekretariat KPPU,Keputusan No. 41 Tahun 2003.

Page 107: Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesiastaff.ui.ac.id/system/files/users/ditha.wiradiputra61/material/... · Hukum Persaingan Usaha Indonesia ... Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995

107