Top Banner

of 26

Penerapan Uu Ite Dalam Kegiatan Perbankan(Edit)

Oct 31, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

PENERAPAN UU ITE DALAM KEGIATAN PERBANKAN

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Internet sebagai pengganti Uji Kompetensi Dasar III

Dosen Pembimbing :Munawar Kholil, SH., M.Hum.

Disusun oleh:ROFIATUL MAHMUDAHE0007201REGITA KURNIA HAPSARIE0010292VIOLA SINDA PUTRI MITA ARGIYAE0010350

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SEBELAS MARETSURAKARTA2013KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga tugas Hukum Internet dengan tema PENERAPAN UU ITE DALAM KEGIATAN PERBANKAN ini dapat terselesaikan guna memenuhi penilaian tugas UKD III.Dan penulis berterima kasih kepada Bapak Munawar Kholil, SH., M.Hum. yang telah dari awal memberikan bimbingan kepada penulis. Yang pada kenyataannya dalam pengerjaan tugas ini penulis sangat terbantu akan ilmu yang telah diberikan oleh Bapak.Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam mengerjakan tugas ini serta masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis masih perlu kritik dan saran dari pembaca.Semoga tugas ini dapat berguna untuk kemudian hari.

Surakarta, 9 Mei 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul1Kata Pengantar2Daftar Isi3BAB I : Pendahuluan Latar Belakang4 Rumusan Masalah5BAB II : Pembahasan Perkembangan Teknologi Perbankan Elektronik6 Penerapan UU ITE terhadap Kegiatan Perbankan7BAB III : Penutup Kesimpulan22 Saran23DaftarPustaka25

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahSaat ini pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian penting dari hampir seluruh aktivitas masyarakat. Bahkan di dunia perbankan dimana hampir seluruh proses penyelenggaraan sistem pembayaran dilakukan secara elektronik (paperless).Perkembangan teknologi informasi tersebut telah memaksa pelaku usaha mengubah strategi bisnisnya dengan menempatkan teknologi sebagai unsur utama dalam proses inovasi produk dan jasa. Pelayanan electronic transaction (e-banking) melalui internet banking merupakan salah satu bentuk baru dari delivery channel pelayanan bank yang mengubah pelayanan transaksi manual menjadi pelayanan transaksi oleh teknologi.Internet banking bukan merupakan istilah yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi yang tinggal di wilayah perkotaan. Hal tersebut dikarenakan semakin banyaknya perbankan nasional yang menyelenggarakan layanan tersebut.Penyelenggaraan internet banking yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi, dalam kenyataannya pada satu sisi membuat jalannya transaksi perbankan menjadi lebih mudah, akan tetapi di sisi lain membuatnya semakin berisiko. Dengan kenyataan seperti ini, keamanan menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan. Bahkan mungkin faktor keamanan ini dapat menjadi salah satu fitur unggulan yang dapat ditonjolkan oleh pihak bank.Salah satu risiko yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah internet fraud atau penipuan melalui internet. Dalam internet fraud ini menjadikan pihak bank atau nasabah sebagai korban, yang dapat terjadi karena maksud jahat seseorang yang memiliki kemampuan dalam bidang teknologi informasi, atau seseorang yang memanfaatkan kelengahan pihak bank maupun pihak nasabah.Oleh karena itu perbankan perlu meningkatkan keamanan internet banking antara lain melalui standarisasi pembuatan aplikasi internet banking, adanya panduan bila terjadi fraud dalam internet banking dan pemberian informasi yang jelas kepada user.B. Rumusan Masalah1. Bagaimana perkembangan teknologi perbankan elektronik?2. Bagaimana penerapan UU ITE terhadap kegiatan perbankan?

BAB IIPEMBAHASAN

A. Perkembangan Teknologi Perbankan ElektronikInovasi perbankan berbasis teknologi informasi di industri perbankan dewasa ini memberikan dampak efisiensi dan efektivitas yang luar biasa. Sebagai contoh, adanya produk-produk electronic banking seperti ATM, Kartu Kredit, Kartu Debet, Internet Banking, SMS/mobile banking, phone banking, dll, telah mendorong layanan perbankan menjadi relatif tidak terbatas, baik dari sisi waktu maupun dari sisi jangkauan geografis. Hal ini pada gilirannya telah meningkatkan volume dan nilai nominal transaksi keuangan di perbankan secara sangat signifikan.[footnoteRef:1] [1: Abstraksi UU Regulasi BI 2007, http://pengetahuanku-belajarbersama.blogspot.com/2011_11_ 06_archive.html (akses tanggal 9 Mei 2013)]

Pemanfaatan teknologi informasi bagi industri perbankan dalam inovasi produk jasa bank juga dibayang-bayangi oleh potensi risiko kegagalan sistem dan/atau risiko kejahatan elektronik (cyber crime) yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kegagalan sistem dapat disebabkan karena adanya kerusakan sistem (seperti misalnya server down), dan dalam skala luas bisa disebabkan karena adanya bencana alam. Sementara itu, cyber crime yang terjadi pada industri perbankan di Indonesia cenderung meningkat seperti terjadinya identity theft, carding, hacking, cracking, phising, viruses, cyber squating, ATM fraud, dll.Hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan sistem elektronik berbasiskan komputer dengan sistem komunikasi, yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global atau internet (vide Pasal 1 angka 2 UU ITE).[footnoteRef:2] [2: Sistem Perbankan Elektronik, http://aurisophanz.blogspot.com/2013/04/sistem-perbankan-elektronik.html (akses tanggal 9 Mei 2013)]

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi, hukum dunia maya, dan hukum mayantara.[footnoteRef:3] [3: Cyber law, http://tugasemester3.blogspot.com/ (akses tanggal 9 Mei 2013).]

Di Indonesia, yang penulis ketahui terdapat UU ITE yaitu UU No. 11 tahun 2008, terdiri dari XIII bab dan 54 Pasal. Ini adalah undang-undang yang membahas tentang informasi dan transaksi elektronik. Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik&Transaksi Elektronik bersifat lintas teritorial/universal.[footnoteRef:4] [4: Peraturan dan Regulasi IT di Indonesia, http://devioktavianioke.info/peraturan-dan-regulasi-it-di-indonesia/ (akses 9 Mei 2013)]

B. Penerapan Undang-Undang ITE terhadap Kegiatan Perbankan1. Permasalahan yang Timbul di Dalam Dunia Perbankan Sebelum Adanya PengaturanAktivitas internet banking telah menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari. Data menunjukkan bahwa jasa internet banking telah ditawarkan oleh sekitar 40-an bank di Indonesia. Lingkup jasanya pun beragam, dari yang sekedar merupakan situs informasi bank, kemudian yang dapat menyediakan jasa transaksi sederhana, sampai dengan situs yang sepenuhnya dapat melayani semua bentuk transaksi, termasuk pengalihan dana, pembayaran tagihan, berlangganan atas produk-produk tertentu dan bahkan transaksi pembelian dan penjualan saham.[footnoteRef:5] [5: Implementasi dari Konvensi Palermo, http://shelastraw.blogspot.com/2010/05 implementasi-dari-konvensi-palermo.html (akses 9 Mei 2013) ]

Praktek internet banking tersebut telah berlangsung tanpa didukung adanya aturan yang memadai, baik yang dikeluarkan oleh badan regulasi yang terkait seperti Bank Indonesia maupun oleh badan semacam self regulatory body. Produk-produk hukum dari Bank Indonesia sendiri masih tidak memadai bagi penataan kegiatan internet banking.[footnoteRef:6] [6: Kerangka Regulasi dalam Menata Internet Banking di Indonesia, http://117.102.106.99:2121/ pls/PORTAL30/indoreg.irp_analysis.thread_view?ThreadID=1214 (akses 9 Mei 2013)]

Kekosongan hukum dalam praktek internet banking ini dapat menimbulkan implikasi hukum sebagai berikut :[footnoteRef:7] [7: Peraturan dan Regulasi ITE/Internet Banking, http://nurulsidiq.blogspot.com/2010/04/ peraturan-dan-regulasi-ite-internet_22.html (akses 9 Mei 2013)]

1. Tidak adanya pedoman yang jelas dan tegas bagi bank yang menyediakan jasa internet banking;2. Tidak adanya kejelasan mengenai hak, kewajiban dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan internet banking yang meliputi bank, nasabah dan pihak ketiga;3. Setiap bank dengan leluasa dapat menetapkan aturan-aturannya sendiri kepada nasabahnya yang seringkali justru merugikan kepentingan nasabah;4. Tidak adanya perlindungan yang memadai terhadap ancaman dan pengelolaan atas data dan informasi pribadi nasabah;5. Tidak adanya parameter yang jelas dan baku bagi pengawasan terhadap bank-bank yang menerapkan internet banking;6. Terbukanya kemungkinan terjadinya tindak kriminal dengan menggunakan fasilitas internet banking.Keadaan-keadaan di atas dapat menurunkan kepercayaan masyarakat dan nasabah terhadap aspek keamanan dalam memanfaatkan jasa internet banking, yang akhirnya dapat berujung kepada tidak berkembangnya internet banking di Indonesia.Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan suatu kerangka regulasi di bidang internet banking di Indonesia dengan memetik pelajaran dari inisiatif dan pengaturan yang sudah berlaku pada tataran internasional maupun yang bersumber pada inisiatif dan pengalaman negara-negara tertentu.Kemajuan dan efisiensi pada jaringan komputer telah memungkinkan dilakukannya penimbunan informasi pribadi dalam suatu format komputer yang mudah dibaca dan diakses. Berkaitan dengan hal itu, industri perbankan merupakan salah satu sektor yang padat data (data intensif), karena berkaitan dengan berbagai pihak yang sangat luas cakupannya, tidak hanya individu, perusahaan swasta, namun juga badan-badan publik lainnya. Data tersebut beredar pada bank, kelompok bank dan bahkan diantara bank-bank yang berbeda.Permasalahan yang kemudian timbul adalah, sejauh mana bank memiliki hak untuk melakukan diseminasi atas data tersebut. Sebaliknya, sejauh mana nasabah bank memiliki hak untuk mengendalikan atau mencegah informasi pribadinya disebarluaskan tidak atas kehendaknya atau tanpa persetujuannya. Dengan kata lain sejauh mana hak individu untuk menentukan sendiri, bilamana, bagaimana dan sejauh mana informasi tentangnya dapat dikomunikasikan kepada orang lain.Informasi pribadi adalah penting dan merupakan suatu komoditas yang mempunyai nilai jual yang cukup tinggi. Artinya data pribadi merupakan aset (bagi siapapun), yang juga memiliki nilai komersial. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika kemudian terjadi penjualan informasi pribadi yang telah dikumpulkan dalam suatu database dengan jumlah informasi yang sangat besar. Perkembangan ini bahkan mengarah kepada dijadikannya data konsumen (consumer data) sebagai semacam currency dalam e-commerce. Tak ayal, perusahaan-perusahaan internet yang hampir bangkrutpun menawarkan data konsumen tersebut dengan harga yang cukup tinggi.Bagi konsumen yang data pribadinya termasuk dijadikan komoditas, perkembangan di atas tentu saja menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan tertentu. Oleh karenanya diperlukan suatu kebijakan di bidang proteksi data (data protection) yang mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengan perlindungan HAM, yang dalam hal ini adalah perlindungan terhadap informasi pribadi (information privacy).

Untuk melindungi kepentingan masyarakat (konsumen) tersebut, maka diperlukan pengaturan mengenai perlindungan information privacy. Dari berbagai hasil riset di AS ditemukan bahwa sebagian besar (antara 78%-92%) konsumen menginginkan adanya peraturan mengenai perlindungan personal privacy dari kegiatan bisnis yang dapat mengancam privacy mereka tersebut.Menanggapi keprihatinan konsumen akan perlunya perlindungan information privacy-nya, ada baiknya dilakukan penelusuran terhadap berbagai inisiatif internasional dalam mengembangkan prinsip-prinsip perlindungan data (data protection). Selama ini terdapat 3 (tiga) instrumen internasional utama yang mengatur mengenai prinsip-prinsip perlindungan data, yaitu The Council of European Convention for the Protection of Individuals with Regard to the Processing of Personal DataDalam Konvensi ini dijabarkan prinsip bagi data protection yang meliputi:[footnoteRef:8] [8: Ibid.]

1. Data harus diperoleh secara fair dan sah menurut hukum (lawful);2. Data disimpan untuk tujuan tertentu dan sah serta tidak digunakan dengan cara yang tidak sesuai dengan peruntukannya;3. Penggunaan data secara layak, relevan dan tidak berlebihan dalam mencapai tujuan dari penyimpanan data tersebut;4. Pengelolaan data secara akurat dan membuatnya tetap aktual;5. Pemeliharaan data dalam suatu format yang memungkinkan identifikasi terhadap data subject untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari yang diperlukan untuk maksud penyimpanan data tersebut.

2. Penerapan UU ITE terhadap Perbankan[footnoteRef:9] [9: UU ITEdan Perlindungan bagi Nasabah Perbankan, https://danangradametal.wordpress.com/ 2010/06/11/uu-ite-dan-perlindungan-bagi-nasabah-perbankan/ (akses tanggal 9 Mei 2013)]

Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mulai berlaku pada tanggal 21 April 2008, pada intinya mengatur mengenai keabsahan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti aktivitas yang menggunakan sistem elektronik.Keberadaan UU ini sebenarnya dapat meningkatkan keamanan dan kenyamanan nasabah saat melakukan kegiatan perbankan melalui sistem elektronik yang disediakan bank. Ada beberapa alasannya.Pertama, UU ITE menegaskan bahwa bank, sebagai pihak yang menyelenggarakan sistem elektronik dalam memfasilitasi pelayanan jasa bank via Internet (e-banking), bertanggung jawab secara hukum terhadap kerugian yang dialami nasabah berkaitan dengan pemanfaatan layanan yang disediakannya. Namun, jika kerugian disebabkan oleh force majeur atau kesalahan dan kelalaian nasabah, maka bank tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.Kedua, UU ITE mengharuskan bank untuk menyelenggarakan sistem elektronik yang andal dan aman, serta bertanggung jawab terhadap operational system elektroniknya. Bank juga wajib mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagaimana diatur dalam UU ITE.Ketiga, dalam UU ITE, ada pengakuan terhadap kontrak elektronik, yaitu perjanjian yang dibuat melalui sistem elektronik. Laporan transaksi perbankan via email, yang menunjukkan adanya penawaran dan persetujuan yang melibatkan nasabah, dapat juga dianggap sebagai kontrak elektronik.Keempat, UU ITE menegaskan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Jika nasabah menggunakan e-banking untuk transaksi perbankannya, maka laporan mutasi rekening miliknya pada sistem elektronik yang disediakan bank dan hasil cetaknya dapat menjadi alat bukti yang sah.Kelima, UU ITE mengatur lebih jelas mengenai kejahatan terhadap sistem informasi, sehingga memudahkan aparat penegak hukum untuk menindaklanjutinya.Selain itu, terdapat pula sanksi berat bagi orang yang mengganggu atau menerobos sistem pengamanan elektronik secara ilegal. Dengan demikian, siapa pun akan berpikir panjang untuk melakukan kejahatan terhadap e-banking.Namun demikian, beberapa ketentuan dalam UU ITE masih perlu pengaturan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah. Salah satunya mengenai persyaratan minimum yang harus dipenuhi suatu sistem elektronik. Peraturan pemerintah itu menjadi penting karena informasi/dokumen elektronik dinyatakan sah jika menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan UU ITE.a. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Transaksi Elektronik[footnoteRef:10] [10: Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik Perbankan dalam Kegiatan Transaksi Elektronik Pasca UU No. 11 Tahun 2008 http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-teknologi /665-tanggung-jawab-penyelenggara-sistem-elektronik-perbankan-dalam-kegiatan-transaksi-elektronik-pasca-uu-no-11-tahun-2008.html(akses tanggal 9 Mei 2013)]

Transaksi yang dilakukan secara elektronik pada dasarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan sistem elektronik berbasiskan komputer dengan sistem komunikasi, yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global atau internet (vide Pasal 1 angka 2 UU ITE).Hubungan hukum merupakan merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (subyek hukum) yang mempunyai akibat hukum (menimbulkan hak dan kewajiban) dan diatur oleh hukum. Dalam hal ini hak merupakan kewenangan atau peranan yang ada pada seseorang (pemegangnya) untuk berbuat atas sesuatu yang menjadi obyek dari haknya itu terhadap orang lain. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh seseorang untuk memperoleh haknya atau karena telah m,endapatkan haknya dalam suatu hubungan hukum. Obyek hukum adalah sesuatu yang berguna, bernilai, berharga bagi subyek hukum dan dapat digunakan sebagai pokok hubungan hukum. Sedangkan subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajibannya atau memiliki kewenangan hukum (rechtsbevoegdheid).

Dalam lingkup privat, hubungan hukum tersebut akan mencakup hubungan antar individu, sedangkan dalam lingkup public, hubungan hukum tersebut akan mencakup hubungan antar warga negara dengan pemerintah maupun hubungan antar sesama anggota masyarakat yang tidak dimaksud untuk tujuan-tujuan perniagaan, yang antara lain berupa pelayanan publik dan transaksi informasi antar organisasi Pemerintahan.Dalam kegiatan perniagaan, transaksi memiliki peran yang sangat penting. Pada umumnya makna transaksi seringkali direduksi sebagai perjanjian jual beli antar para pihak yang bersepakat untuk itu, padahal dalam persepektif yuridis, terminologi transaksi tersebut pada dasarnya ialah keberadaan suatu perikatan maupun hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Makna yuridis transaksi pada dasarnya lebih ditekankan pada aspek materiil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak, bukan perbuatan hukumnya secara formil. Oleh karena itu keberadaan ketentuan hukum mengenai perikatan tetap mengikat walaupun terjadi perubahan media maupun perubahan tata cara bertransaksi. Hal ini tentu saja terdapat pengecualian dalam konteks hubungan hukum yang menyangkut benda tidak bergerak, sebab dalam konteks tersebut perbuatannya sudah ditentukan oleh hukum, yaitu harus dilakukan secara terang dan tunaiDalam lingkup keperdataan khususnya aspek perikatan, makna transaksi tersebut akan merujuk keperdataan khususnya aspek perikatan, makna transaksi hukum secara elektronik itu sendiri akan mencakup jual beli, lisensi, asuransi, sewa dan perikatan-pertkatan lain yang lahir sesuai dengan perkembangan mekanisme perdagangan di masyarakat. Dalam lingkup publik, maka hubungan hukum tersebut akan mencakup hubungan antara warga negara dengan pemerintah maupun hubungan antar sesama anggota masyarakat yang tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan perniagaan. Mengenai definisi public, dalam Black Law Dictionary disebutkan bahwa public is relating or belonging to an entire community, state, or nation.b. Kontrak Elektronik dan Kebebasan Berkontrak[footnoteRef:11] [11: Ibid.]

Hubungan hukum dalam kontrak elektronik timbul sebagai perwujudan dari kebebasan berkontrak, yang dikenal dalam KUH Perdata. Asas ini disebut pula dengan freedom of contract atau laissez faire. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku halnya sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya mengenai freedom of contract ini, menarik untuk disimak apa yang dipaparkan oleh Aduru Rajendra Prasad sebagai berikut :The freedom of contract doctrine is an extension of one of the most cherished aspects of individual liberty. It is nothing but leaving the parties as the best judges of their own bargains and persuading them to subjects to their own obligations. The doctrine was given full play in the 19th century on the ground that the parties are the best judges of their own interest, and if they freely and voluntarily entered into a contract the only function of the court was to enforce it. It was a reasonable social ideal and was upheld unless injury is done to the economic interests of the community. Freedom of contract was judicially supported for the reason that is emphasized the need for stability, certainty and predictability.Asas kebebasan berkontrak disebut dengan sistem terbuka, karena siapa saja dapat melakukan perjanjian dan apa saja dapat dibuat dalam perjanjian itu.Dengan demikian perjanjian mempunyai kekuatan mengikat sama dengan undang-undang, bagi mereka yang membuat perjanjian. Pengertian ini mengandung makna bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang melakukan perjanjian, sehingga pihak ketiga atau pihak luar tidak dapat menuntut suatu hak berdasarkan perjanjian yang dilakukan pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Meskipun demikian, terdapat pembatasan terhadap kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa perjanjian sah, apabila didasarkan pada:1. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri (agreement);2. Kecakapan dari pihak-pihak (Capacity);3. Mengenai hal tertentu (Certainty of terms);4. Suatu sebab yang halal (Consideration).c. Kontrak Elektronik dan Klausula Baku[footnoteRef:12] [12: Ibid.]

Hubungan keperdataan antara para pihak dalam transaksi elektronik dituangkan dalam dokumen elektronik dan mengikat para pihak. Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik. Dalam hal ini dokumen elektronik harus dipahami sebagai bentuk kesepakatan para pihak, yang bukan hanya diformulasikan dalam bentuk perjanjian elektronik namun juga dalam fitur-fitur yang disediakan, seperti I agree, I accept sebagai bentuk persetujuan/kesepakatan. Melihat formulasinya, maka kontrak elektronik tersebut merupakan perjanjian baku.Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku dikenal secara beragam (standardized contract, standard contract). Perjanjian standar atau perjanjian baku timbul karena adanya kebutuhan dalam praktek, karena perkembangan perekonomian yang menyebabkan para pihak mencari format yang lebih praktis. Biasanya salah satu pihak menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, (formulir) untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui.Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang menyatakan bahwa Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.Mengenai perjanjian dengan klausula baku, E.H Hodunas dalam Az Nasution[footnoteRef:13] memberikan batasan sebagai berikut : Perjanjian dengan syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya terlebih dahulu. Sedangkan Az Nasution memaparkan bahwa perjanjian dengan klausula baku merupakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat tertentu yang cenderung lebih menguntungkan bagi pihak yang mempersiapkan atau merumuskannya. Az Nasution berpendapat apabila dalam keadaan normal pelaksanaan perjanjian diperkirakan akan terjadi sesuatu masalah, maka dipersiapkan sesuatu untuk penyelesaiannya dalam perjanjian tersebut. [13: Az. Nasution, HukumPerlindunganKonsumen, SuatuPengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002. h . 94]

Klausula-klausula yang telah ditetapkan dalam perjanjian disebut sebagai syarat-syarat baku. Mengenai klausula baku, UU PK mengatur hal-hal sebagai berikut :[footnoteRef:14] [14: Pasal 18 Tahun 1999 UU No. 8 Tahun 1999 tentangPerlindunganKonsumen]

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang telah dibeli konsumen;c. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen;d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;e. Mengatur tentang pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau jasa yang dibeli konsumen;f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;h. Menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli secara angsuran.(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti;(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.Selain klausula baku, terdapat pula klausula eksonerasi (exoneratie clause), yaitu sebagai klausula untuk mengalihkan kewajiban atau tanggungjawab pelaku usaha.Perjanjian eksonerasi membebaskan tanggung jawab seseorang pada akibat hukum yang terjadi karena kurangnya kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan. Sebagai contoh adalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Dalam hal persyaratan eksonerasi mencantumkan hal tersebut, maka ganti rugi tidak dijalankan.d. Transaksi Elektronik dan Terjadinya Kesepakatan[footnoteRef:15] [15: Ibid.]

Dalam pengertian konvensional, suatu transaksi terjadi jika terdapat kesepakatan (dua orang atau lebih terhadap suatu hal) yang dapat dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Kesepakatan tertulis lazim dituangkan dalam suatu perjanjian yang ditanda-tangani oleh para pihak yang berkepentingan. Tanda tangan membuktikan bahwa seseorang mengikatkan diri terhadap klasul-klausul yang dituangkan dalam perjanjian tersebut.Di dunia internet, kesepakatan terjadi secara elektronik. UU ITE mengakui transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik yang mengikat para pihak (vide Pasal 18 ayat (1)). Menjadi pertanyaan adalah kapan suatu suatu transaksi elektronik yang dilakukan melalui internet terjadi. Berdasarkan Pasal 20 UU ITE, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh Pengirim diterima dan disetujui oleh Penerima. Namun persetujuan tersebut harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik (misalnya dengan mengirimkan email konfirmasi).Pasal 20 UU ITE tersebut merupakan konsepsi dari pengaturan sistem hukum civil law yang dianut oleh Eropa daratan. Pihak yang memberikan penawaran (pengirim) adalah pihak yang mengiklankan barang/jasa melalui internet (misalnya amazon.com).Mengenai hal tersebut, dalam sistem hukumcommon law (Eropa continental) dikenal pengaturan mengenai invitation to trade, tentang pelaku dalam transaksi elektronik. Namun demikian invitation to trade dalam sistem hukum common law tersebut mengatur hal yang sebaliknya, yaitu bahwa pihak yang dianggap memberikan penawaran adalah calon pembeli barang/jasa, dan pihak penerima adalah pihak yang mengiklankan barang/jasa di internet (amazon.com). Berkenaan dengan transaksi elektronik secara borderless, . Dengan demikian, sangat perlu diperhatikan mengenai para pihak yang akan bertransaksi beserta sistem hukum yang akan diberlakukan, karena akan terkait dengan konsekuensi hukum. Berkenaan dengan hal tersebut, UU ITE telah mengatur mengenai pilihan hukum, yaitu bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas hukum perdata internasional (vide Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UU ITE).

e. Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik dalam Transaksi Electronic Banking (e-Banking)[footnoteRef:16] [16: Ibid.]

Bank adalah lembaga kepercayaan, dalam menjalankan kegiatan electronic banking (e-banking) harus pula diselenggarakan dengan memperhatikan ketentuan maupun prinsip-prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko terkait penyelenggaraan e-banking khususnya risiko reputasi dan risiko hukum.E-banking merupakan delivery channel dalam industri perbankan, dan hubungan keperdataan yang timbul terkait e-banking berupa hubungan rekening antara bank dan nasabahnya. Dalam hal ini, permasalahan hukum akan timbul apabila transaksi elektronik yang dilakukan gagal, siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap kegagalan transaksi tersebut. Pemahaman mengenai bentuk tanggung jawab para pelaku dimulai dari adanya hubungan hukum yang terjadi diantara kedua belah pihak dalam suatu perikatan. Hubungan hukum antara penyedia jasa dan konsumen (nasabah) pada akhirnya melahirkan suatu hak dan kewajiban yang mendasari terciptanya suatu tanggung jawab.[footnoteRef:17] [17: EdmonMakarim. 2005. PengantarHukumTelematika, Jakarta:RajawaliPers, hlm 368-378.]

Mengenai permasalahan pertanggungjawaban, beberapa negara telah mengatur, sebagai berikut :1. Di Amerika Serikat, Electronic Fund TrasferAct 1978 (EFTA) mengatur kerangka dasar penetapan hak, kewajiban dan tanggung jawab peserta yang terlibat dalam transfer dana elektronik. Istilah "Transfer Dana Elektronik" secara luas meliputi transaksi elektronik yang dimulai melalui terminal, telepon, komputer, atau pita perekam suara yang berisi perintah konsumen bagi lembaga keuangan untuk mendebet atau mengkredit rekening konsumen. (Federal Trade Commission, 2006). 2. Di Australia, Kode Etik (Pedoman) Transfer Dana Elektronik telah dirilis pada tahun 2002. Kode ini bertujuan untuk perlindungan konsumen dalam bentuk penggunaan teknologi netral untuk penyelenggaraan e-banking dan pembayaran produk. (Sneddon, 2001).3. Di Denmark, di bawah undang-undang Instrumen Pembayaran tertentu, diatur bahwa dalam hal terjadi pelanggaran/penipuan oleh orang lain yang menyebabkan kerugian bagi pemegang kartu, maka penerbit yang bertanggung jawab, kecuali karena PIN digunakan oleh orang lain. Sebagaimana diketahui PIN bersifat pribadi dan rahasia sehingga PIN menjadi tanggung jawab pemegang kartu.Di Indonesia, selain perjanjian yang mengatur hubungan keperdataan, hukum positif yang mengatur tentang tanggung jawab penyelenggaraan transaksi elektronik adalah UU ITE. Dalam rangka perlindungan konsumen, UU ITE mengatur adanya teknologi netral yang dipergunakan dalam transaksi elektronik, serta mensyaratkan adanya kesepakatan penggunaan sistem elektroniki yang dipergunakan.Selain itu setiap penyelenggara sistem elektronik diwajibkan untuk menyediakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya. Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadninya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna system elektronik (vide Pasal 15 UU ITE).UU ITE juga mengatur bahwa sepanjang tidak ditentukan lain oleh UU tersendiri, setiap penyelenggara system elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut, yaitu :[footnoteRef:18] [18: Pasal 16 UU ITE]

1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan perundang-Undangan.2. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, da keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan system elektronik tersebut.3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan system elektronik 4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumukan dengan bahasa, informasi, atau symbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan system elektronik5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.Terkait dengan para pihak yang melakukan kegiatan transaksi elektronik diatur bahwa pengirim atau penerima dapat melakukan transaksi elektronik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui agen elektronik.[footnoteRef:19] Dalam hal ini pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik adalah :[footnoteRef:20] [19: Pasal 20 ayat (1) UU ITE] [20: Pasal 20 ayat (2) UU ITE]

1. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi.2. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa. 3. Jika dilakukan melalui agen elektronik segala akibat hukum dalam pelaksanaa transaksi elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik.4. Jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beropersinya agen elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara agen elektronik. Namun demikian jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala kibat hukum menjadi tanggung jawab pengguna layanan. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan /atau kelalaian pihak pengguna sistem elektronik.

Dalam rangka memberikan perlindungan dan keamanan bagi penyelenggaraan kegiatan transaksi elektronik, sejalan dengan UU ITE, Bank Indonesia telah menerbitkan berbagai pengaturan (regulasi) terkait penggunaan teknologi informasi bagi perbankan dan lembaga penyelenggara sistem pembayaran dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia. Pengaturan tersebut antara lain ditujukan untuk meningkatkan keamanan, integritas data, dan ketersediaan layanan electronic banking, misalnya dengan mewajibkan seluruh penerbit kartu untuk menggunakan chip pada kartu-kartu pembayarannya, menggunakan two factors authentication pada transaksi on-line bersifat financial, melakukan enkripsi pada transaksi mobile banking.[footnoteRef:21] [21: PBI No. 7/52/PBI/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang PenyelenggaraanKegiatanAlatPembayaranDenganMenggunakanKartu (PBI APMK)]

Penyusunan ketentuan mengenai Penerapan Manajemen Risiko Dalam penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank dalam PBI No. 9/15/PBI/2007 dimaksudkan untuk menjadi pokok-pokok penerapan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi yang harus diterapkan oleh Bank untuk memitigasi risiko yang berhubungan dengan penyelenggaraan teknologi informasi. Hal ini mengingat terdapat risiko yang dapat merugikan Bank dan nasabah seperti risiko opersional, risiko hukum , dan risiko reputasi selain risiko perbankan lainnya seperti risiko likuiditas dan risiko kredit.[footnoteRef:22] [22: PBI No. 9/15/PBI/2007 tgl. 30 November 2007 TentangPenerapanManajemenRisikoDalamPenggunaanTeknologiInformasiOleh Bank Umum (PBI TSI).]

Dalam PBI dimaksud diatur bahwa Bank dapat menyelenggarakan teknologi informasi sendiri dan atau menggunakan jasa pihak penyedia jasa teknologi informasi sepanjang memenuhi persyaratan antara lain :1. Bank bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko2. Pihak penyedia jasa harus menjamin keamanan sleuruh informasi termasuk raasai bank dan data pribadi nasabah.3. Pihak penyedia jasa tetap memberikan akses kepada auditor intern, ekstern,BI.4. Pihak penyedia jasa harus bersedia untuk kemungkinan early termination apabila menyulitkan fungsi pengawasan Bank Indonesia.Penggunaan pihak penyedia jasa teknologi informasi oleh Bank harus didasarkan pada perjanjian tertulis, dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko dan didasarkan pada hubungan kerjasama secara wajar.BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanPerekonomian dunia dewasa ini mengalami perubahan yang sangat besar disebabkan berkembangnya kegiatan finansial, produksi, investasi, dan perdagangan yang telah mendorong tingkat ketergantungan antar negara telah menyebabkan terjadinya persaingan yang tajam dan telah mendorong ke arah globalisasi.[footnoteRef:23] [23: Shinta Dewi. 2009. Cyber Law: Perlindungan Privasi atas Informasi Pribadi dalam E-Commerce Menurut Hukum Internasional. Bandung : Widya Padjajaran, hlm 1.]

Dari pemaparan dalam bab pendahuluan dan pembahasan, makalah ini dapat disimpulkan, sebagai berikut:1. Perkembangan teknologi perbankan elektronik, yaitu adanya produk-produk electronic banking seperti ATM, Kartu Kredit, Kartu Debet, Internet Banking, SMS/mobile banking, phone banking, dll, telah mendorong layanan perbankan menjadi relatif tidak terbatas, baik dari sisi waktu maupun dari sisi jangkauan geografis. Hal ini pada gilirannya telah meningkatkan volume dan nilai nominal transaksi keuangan di perbankan secara sangat signifikan. Hal ini pada gilirannya telah meningkatkan volume dan nilai nominal transaksi keuangan di perbankan secara sangat signifikan.2. Penerapan UU ITE terhadap perbankan antara lain hubungan hukum para pihak dalam transaksi elektronik, kontrak elektronik dan kebebasan berkontrak, kontrak elektronik dan klausula baku, transaksi elektronik dan terjadinya kesepakatan dan tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik dalam transaksi electronic banking. UU ITE telah menjadi paying hukum bagi penyelenggaraan kegiatan transaksi elektronik, yang diselenggarakan oleh bank. UU ITE telah mengatur mengenai tanggung jawab yang fair antara penyelenggara sistem elektronik bank dan nasabah.

B. Saran Dalam rangka merumuskan kerangka regulasi bagi kegiatan internet banking di Indonesia dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :1. Bahwa dalam rangka menunjang perkembangan jasa internet banking di Indonesia, maka perlu didukung oleh perumusan kerangka regulasi yang memadai, komprehensif, efektif dan berkeadilan;2. Untuk merumuskan kerangka regulasi sebagaimana yang diharapkan, maka terlebih dahulu harus dilakukan penelitian yang mendalam terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia untuk mengidentifikasi berbagai kekurangan dan kelemahan yang ada gunanya penyempurnaan lebih lanjut;3. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan, maka perlu diteliti berbagai instrumen internasional yang ada maupun berbagai insiatif nasional negara-negara tertentu yang mengatur masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan internet banking, dengan kemungkinan diadopsi setelah disesuaikan dengan kebutuhan yang ada;Dalam jangka pendek, upaya merumuskan kerangka regulasi bagi kegiatan internet banking dapat difokuskan kepada empat permasalahan utama, masing-masing :1. Merumuskan pedoman pokok bagi kegiatan internet banking sesuai dengan prinsip kehati-hatian yang berlaku;2. Mengembangkan parameter hukum dan teknis yang tepat guna mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan internet banking;3. Mengembangkan aturan dan mekanisme dalam rangka pengelolaan dan perlindungan data, termasuk data personal;4. Merumuskan kebijakan dan aturan yang memadai guna mencegah dan menanggulangi cyber crime pada kegiatan internet banking.Segenap instansi yang terkait, terutama Bank Indonesia, Menteri Negara Kominfo serta lembaga legislatif perlu mengambil inisiatip dengan segera untuk menuntaskan perumusan kerangka regulasi bagi kegiatan internet banking termaksud.Partisipasi masyarakat dalam perumusan kerangka regulasi bagi kegiatan internet banking adalah substansial dan karenanya harus menjadi mitra strategis pemerintah.Dalam rangka menanggulangi cyber crime menggunakan hukum pidana, PBB memberikan rekomendasi kepada semua negara untuk melakukan kriminalisasi cyber crime. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional berupaya melakuakan kriminalisasi sebagian besar perbuatan yang dapat digolongkan dalam cyber crime di Indonesia melalui UU ITE.[footnoteRef:24] [24: Widodo. 2013. Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, hlm 119.]

DAFTAR PUSTAKA

Buku:Az. Nasution.2002. Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media.Edmon Makarim, 2005. Pengantar Hukum Telematika, Jakarta: Rajawali Pers.Shinta Dewi. 2009. Cyber Law: Perlindungan Privasi atas Informasi Pribadi dalam E-Commerce Menurut Hukum Internasional. Bandung : Widya PadjajaranWidodo. 2013. Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Peraturan Perundang-undangan:Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008.PBI No. 7/52/PBI/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (PBI APMK).PBI No. 9/15/PBI/2007 tgl. 30 November 2007 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum (PBI TSI).

Internet:http://117.102.106.99:2121/pls/PORTAL30/indoreg.irp_analysis.thread_view?ThreadID=1214http://aurisophanz.blogspot.com/2013/04/sistem-perbankan-elektronik.htmlhttp://danangradametal.wordpress.com/2010/06/11/uu-ite-dan-perlindungan-bagi-nasabah-perbankan/http://devioktavianioke.info/peraturan-dan-regulasi-it-di-indonesia/http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-teknologi/665-tanggung-jawab-penyelenggara-sistem-elektronik-perbankan-dalam-kegiatan-transaksi-elektronik-pasca-uu-no-11-tahun-2008.htmlhttp://nurulsidiq.blogspot.com/2010/04/peraturan-dan-regulasi-ite-internet_22.htmlhttp://pengetahuanku-belajarbersama.blogspot.com/2011_11_06_archive.htmlhttp://shelastraw.blogspot.com/2010/05 implementasi-dari-konvensi-palermo.htmlhttp://tugasemester3.blogspot.com/

24