Top Banner
1 PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI PENCAPAIAN KEDAULATAN PANGAN*) 1 Oleh Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI 2 Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis pangan, seperti terjadi pada tahun 2007 sampai tahun 2008. Krisis pangan itu melahirkan satu pemahaman umum di banyak kalangan masyarakat dunia bahwa “agriculture should be the main agenda in economic development”. Dalam rangka pembangunan ekonomi itu pertanian haruslah menjadi agenda utama yang digarap, karena terkait dengan pemenuhan ketahanan pangan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional terus mengalami peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi pangan dan pertambahan penduduk (saat ini sudah mencapai 237,641 juta jiwa). Sampai saat ini, beras merupakan komoditas yang menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian, karena beras telah menjadi komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat telah menjadikan beras sebagai makanan pokok, sehingga beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional. Indikator makro sektor pertanian Indonesia berdasarkan data statistik menunjukkan gambaran yang cukup baik. Dalam hal mana, produksi padi menurut Angka Ramalan (ARAM) II akan mencapai 68,061 juta ton. Dan target produksi padi sebesar 70,6 juta ton pada tahun 2011 rasanya ini akan sulit dicapai walau sudah mengalami kenaikan sekitar 2,4 persen dibandingkan produksi tahun 2010. Namun sayangnya, gambaran makro sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan kondisi ketahanan pangan yang semakin baik. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari kecenderungan kenaikan harga pangan pokok dan volume impor pangan yang tidak lagi sekedar impor daging, gandum dan kedelai tetapi juga meliputi impor komoditi pangan ikan, beras dan garam yang sebelumnya dianggap cukup melimpah di dalam negeri seperti. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menyatakan bahwa indikator makro tidak lagi mencerminkan gambaran riil kemampuan Indonesia dalam menyediakan kecukupan pangan yang berasal dari potensi pangan dalam negeri. Terlebih lagi, pada saat perubahan 1 *) Makalah yang disampaikan pada Kongres KIPNAS, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 7-9 November 2001 di Hotel Bidakara, Jakarta. 2 Tim dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB –LIPI) dan Pusat Penelitian Ekonomi (P2E- LIPI).
25

PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

Apr 29, 2019

Download

Documents

hoangnga
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

1

PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI PENCAPAIAN KEDAULATAN PANGAN*)1

Oleh

Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI2

Kebijakan Pangan

Negara Indonesia seringkali mengalami krisis pangan, seperti terjadi pada tahun 2007 sampai

tahun 2008. Krisis pangan itu melahirkan satu pemahaman umum di banyak kalangan masyarakat

dunia bahwa “agriculture should be the main agenda in economic development”. Dalam rangka

pembangunan ekonomi itu pertanian haruslah menjadi agenda utama yang digarap, karena terkait

dengan pemenuhan ketahanan pangan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional terus

mengalami peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi pangan dan pertambahan penduduk

(saat ini sudah mencapai 237,641 juta jiwa). Sampai saat ini, beras merupakan komoditas yang

menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian, karena beras telah menjadi

komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat telah menjadikan beras

sebagai makanan pokok, sehingga beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi

perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional.

Indikator makro sektor pertanian Indonesia berdasarkan data statistik menunjukkan gambaran

yang cukup baik. Dalam hal mana, produksi padi menurut Angka Ramalan (ARAM) II akan mencapai

68,061 juta ton. Dan target produksi padi sebesar 70,6 juta ton pada tahun 2011 rasanya ini akan sulit

dicapai walau sudah mengalami kenaikan sekitar 2,4 persen dibandingkan produksi tahun 2010.

Namun sayangnya, gambaran makro sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan kondisi ketahanan

pangan yang semakin baik. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari kecenderungan kenaikan harga pangan

pokok dan volume impor pangan yang tidak lagi sekedar impor daging, gandum dan kedelai tetapi

juga meliputi impor komoditi pangan ikan, beras dan garam yang sebelumnya dianggap cukup

melimpah di dalam negeri seperti. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menyatakan bahwa

indikator makro tidak lagi mencerminkan gambaran riil kemampuan Indonesia dalam menyediakan

kecukupan pangan yang berasal dari potensi pangan dalam negeri. Terlebih lagi, pada saat perubahan

1*) Makalah yang disampaikan pada Kongres KIPNAS, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 7-9 November 2001 di Hotel Bidakara, Jakarta. 2 Tim dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB –LIPI) dan Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI).

Page 2: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

2

iklim, akan berakibat pada kekeringan dan kegagalan panen di sebagian besar wilayah lumbung

pangan nasional, kondisi ini akan menjadi ancaman atas produksi pangan.

Kita harus memiliki sikap kritis dalam memahami penyajian data statistik karena berimplikasi

terhadap persoalan paradox di sektor pertanian Indonesia. Anggaplah perhitungan produktivitas telah

cukup akurat jika dilakukan dengan melakukan pendataan langsung di beberapa lokasi panen.

Persoalan yang kemudian muncul adalah, bahwa sejak tahun 2008 BPS tidak pernah lagi

memunculkan data luasan lahan sawah. Walaupun, data tentang luasan lahan panen tersaji dan selalu

menunjukkan perluasan lahan panen yang cukup signifikan. Misalnya, dari luasan lahan panen 12,347

juta ha pada tahun 2008 menjadi 13,566 juta ha di tahun 2011. Paradoxal ini tentu saja menimbulkan

pertanyaan dari sebagian kalangan yang menyakini bahwa tingkat konversi lahan pertanian terjadi

secara massive di wilayah lumbung pangan di Jawa, akibat desakan permintaan lahan untuk

permukiman dan kawasan Industri. Kementerian pertanian memang telah menargetkan tambahan

lahan sawah baru sebesar 100.000 ha per tahunnya, akan tetapi Ketua KTNA, Winarno Tohir

(Kompas, 14/10/11) menyatakan bahwa laju konversi lahan mencapai 110.000 ha per tahun atau

terjadi setidaknya defiit 10.000 ha per tahun. Terlepas dari data mana yang lebih layak dipercaya,

akumulasi perhitungan produksi dari hasil estimasi tingkat produktivitas, luasan lahan produktif dan

luasan panen jika diagregasi secara makro dapat menimbulkan bias data yang semakin besar.

Untuk mengetahui kemampuan produksi dalam menopang kebutuhan pangan masyarakat,

harus dilihat dari data peningkatan produksi padi dibandingkan dengan data konsumsi pangan.

Namun, persoalan lagi-lagi muncul dalam proses pendataan konsumsi pangan. Paparan data

menunjukkan, terjadi peningkatan produksi namun tidak diikuti dengan peningkatan konsumsi pada

level yang sama, maka seharusnya ada selisih data berupa supply dan demand yang besar dalam

konteks penyediaan stok pangan ataupun surplus pangan. Tetapi terjadi inkonsistensi dari data yang

ditampilkan, karena peningkatan produksi lebih tinggi dari peningkatan konsumsi, sementara surplus

stok pangan relative tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari stabilitas harga dan

komposisi impor pangannya. Dari pembacaan data yang inkonsisten tersebut, kesan yang muncul

adalah adanya situasi dimana “mau tidak mau” konsumsi pangan juga harus naik agar menjaga

keseimbangan data stok pangan. Hal ini terbukti dari adanya data konsumsi beras yang sempat

dihitung mencapai 139 kg per kapita, atau berarti terdapat kebutuhan 32,943 juta ton beras bagi

sekitar 237 juta penduduk Indonesia. Kebutuhan ini sebetulnya dapat tercukupi oleh konversi 68,061

juta ton padi atau sebanyak 40,837 juta ton beras (60 persen dari produksi padi). Berarti, stok pangan

masih dalam kondisi surplus sebanyak 7,894 juta ton beras. Namun kemudian, data konsumsi ini

mengalami proses penghitungan ulang sehingga diperkirakan konsumsi pangan beras menurun

menjadi 113 kg per kapita (Kompas, 14/10/2011). Dengan data konsumsi pangan yang baru, maka

Page 3: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

3

total konsumsi beras nasional turun menjadi 26,781 juta ton atau berarti terdapat tambahan surplus

beras dari 6,162 juta ton menjadi 14,056 juta ton beras pada tahun 2011 ini.

Gambar Grafik 1. Perkembangan Harga Beberapa Komoditi Pangan di Indonesia 2008 – 2011

Sumber: Kemendag, 2011, diolah

Surplus beras sebesar 14,056 juta ton merupakan surplus yang cukup besar, karena berarti tingkat

stok pangan beras mencapai 52,5 persen dari total kebutuhan pangan beras nasional. Over supply yang

begitu besar tersebut tidak menghalangi niat pemerintah untuk tetap melakukan rencana impor beras

yang mencapai 1,6 juta ton. Alasan yang dibuat pemerintah, karena impor beras merupakan bentuk

dari upaya pemerintah untuk membangun kepercayaan terhadap stok pangan yang cukup, alasan itu

sulit diterima karena stok beras yang berlimpah. Terlebih-lebih jika pemerintah juga akan melakukan

kenaikan harga pangan pada saat kondisi stok melimpah. Pemerintah bisa saja berdalih bahwa

distribusi, biaya transportasi, dan ulah pedagang spekulan yang mempengaruhi kenaikan harga

pangan. Dalam hal ini, ada persoalan akurasi data produksi dan konsumsi pangan yang menyebabkan

adanya bias data produksi pertanian. Data peningkatan harga komoditi beras kualitas medium (IR 64)

secara nasional juga menunjukkan kecenderungan peningkatan dari Rp 7139/kg pada 3 Januari 2008

meningkat menjadi Rp 7600/kg, dan untuk beras kualitas medium per 20 Oktober 2011 terjadi

peningkatan yang lebih besar dari perkiraan laju inflasi sepanjang tahun 2011. Pembentukan harga

beras di tahun 2011 merupakan akumulasi kenaikan harga beras yang selalu mengalami peningkatan

Page 4: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

4

dari tahun ke tahun, misalnya untuk beras kualitas medium harganya Rp 4360/kg pada tahun 2006,

lalu meningkat menjadi Rp 5444/kg pada tahun 2008 dan mencapai Rp 6507/kg pada tahun 2010.

Selain terjadi bias data produksi dan konsumsi, ada data peningkatan produksi beras namun

tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani selaku produsen pangan. Hal ini menunjukkan,

tidak adanya korelasi positif antara peningkatan produksi pangan dengan tingkat kesejahteraan petani

dan adanya kesenjangan yang tinggi di sektor pertanian yang berpotensi sebagai ancaman bagi

penurunan daya tarik sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Dalam jangka panjang,

kondisi ini dapat memperburuk kemampuan Indonesia dalam memproduksi pangan. Selain itu,

kenaikan harga komoditi pangan seharusnya menguntungkan petani selaku produsen, namun ternyata

marjin keuntungan usaha tani masih kalah dengan marjin keuntungan yang dinikmati oleh pedagang

komoditi sehingga menggambarkan adanya persoalan di sisi hulu dan hilir pertanian.

Pemerintah telah menetapkan harga pokok pembelian (HPP) untuk komoditi pangan beras,

namun penetapan ini ternyata tidak efektif dalam menyerap komoditi pangan karena tidak mampu

bersaing dengan harga pasar komoditi pangan. Inpres No. 8 tahun 2011 tentang Kebijakan

Pengamanan Cadangan Beras Yang Dikelola Oleh Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim

Ekstrim memberikan keleluasaan kepada Perum Bulog (selaku pihak yang diberi kewenangan untuk

dapat melakukan pembelian gabah/beras petani) untuk membeli gabah/beras pada harga pasar yang

lebih tinggi dari HPP dengan memperhatikan harga pasar yang dicatat oleh BPS dalam kondisi iklim

yang ekstrim. HPP terakhir yang dikeluarkan pemerintah melalui Inpres No 7/2009 adalah sebesar Rp

2685/kg, sehingga dengan adanya ketentuan Inpres No 8/2011 seharusnya Bulog bisa membeli Gabah

lebih tinggi dari HPP (yang pada bulan Juli 2011 sudah mencapai Rp 4067/kg untuk gabah kering

giling di tingkat harga penggilingan). Oleh karena itu, selama institusi BPS belum mencatat adanya

kenaikan harga gabah dan tidak dalam kondisi cuaca ekstrim, maka Bulog tak akan punya dasar

dalam menaikkan tawarannya atas komoditi gabah/beras tersebut yang tentu saja berdampak pada

daya serap Bulog dalam mempertahankan stok pangan. Selain itu, pembelian gabah/beras oleh Bulog

tidak dilakukan secara langsung kepada petani produsen tetapi melalui mitra kerja Bulog yang

umumnya merupakan pedagang atau pemilik penggilingan gabah skala besar sehingga petani sama

sekali tidak menikmati keuntungan.

Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian menuju kepada penguatan ketahanan pangan

sudah cukup banyak. Berbagai kebijakan dan program di sektor pertanian sudah dilakukan dalam

upaya meningkatkan hasil produksi pertanian, seperti pemanfaatan benih unggul, penyediaan pupuk

dan obat-obatan hingga pengolahan lahan pertanian. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah

merealisasikan anggaran belanja dalam kurun waktu 2005-2010 yang terus meningkat rata-rata 25,1

persen per tahun, yaitu dari Rp 2,7 dalam tahun 2005 dan menjadi Rp 8,2 triliun (0,1 persen terhadap

Page 5: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

5

PDB) dalam tahun 2010. Porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian terhadap total belanja

Kementerian/Lembaga Pemerintah Indonesia, meningkat sebesar 0,1 persen, yaitu dari 2,2 persen

dalam tahun 2005 menjadi sebesar 2,3 persen dalam tahun 2010 (Departemen Keuangan, 2010).

Perkembangan realisasi subsidi di bidang pangan meliputi subsidi raskin yang meningkat dari Rp 6,4

triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 13,0 triliun pada tahun 2009 atau sebesar 0,2% dari PDB. Subsidi

pupuk juga terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 48,8% dari sebesar Rp 2,5 triliun menjadi

Rp Rp 18,3 triliun pada periode tahun 2005 – 2010. Demikian juga, terdapat peningkatan alokasi

subsidi benih yang cukup besar yaitu dari Rp 0,1 triliun menjadi Rp 1,6 triliun pada periode tahun

2005 – 2009 atau alokasi subsidi benih tumbuh rata-rata 72,7% per tahun.

Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian selama kurun waktu 2005-

2010, masih tetap berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Yaitu dalam bentuk

penciptaan lapangan kerja terutama di perdesaan, dan pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan

ketahanan pangan nasional. Tingkat ketersediaan pangan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik,

hal ini untuk mengamankan kemandirian pangan. Akan tetapi, persoalan pertanian tidak sebatas pada

aktivitas budidaya semata. Persoalan yang paling mendasar adalah ketersediaan lahan dan

infrastruktur pertanian. Dari sisi infrastruktur pertanian, diketahui bahwa sebagian besar jaringan

irigasi dalam kondisi yang kurang baik. Padahal pada tahun 2011, alokasi anggaran untuk pengelolaan

sumberdaya air mencapai Rp 6,3 triliun, sedangkan program penyediaan dan pengembangan sarana

dan prasarana pertanian sebesar Rp 2,7 triliun. Meskipun, jaringan irigasi terus mengalami

peningkatan dari tahun 2005 – 2009, namun menurut Nainggolan (2009) masih ada sekitar 22,4

persen jaringan irigasi yang rusak. Kondisi ini tentu saja mengurangi kapasitas sektor pertanian

dalam meningkatkan hasil produksi. Disamping ketersediaan lahan, infrastruktur usahatani merupakan

isu penting untuk meningkatkan produktivitas pertanian .

Persoalan lain yang selalu menjadi masalah klasik di sektor pertanian, adalah kondisi kemiskinan

di tingkat petani perdesaan masih cukup tinggi. Data statistik menunjukkan dari jumlah 30,018 juta

penduduk miskin Indonesia pada tahun 2011, sebanyak 18,900 juta di antaranya adalah penduduk

miskin yang tinggal perdesaan. Penurunan laju penduduk miskin di perdesaan juga lebih lambat

daripada di perkotaan, dimana persentase penduduk miskin di perkotaan hanya ada 9,23%, sedangkan

di perdesaan ada sebesar 15,72% penduduk miskin. Padahal, sektor pertanian masih menjadi mata

pencaharian utama bagi sekitar 41.611.840 penduduk yang tinggal di perdesaan, dan sektor pertanian

ini telah memberikan kontribusi sebesar 39,68% dari total 104.870.663 penduduk yang bekerja.

Apabila upaya peningkatan pembangunan sektor pertanian tidak menyentuh persoalan

peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak akan merubah kondisi kemiskinan di perdesaan.

Sehingga, penduduk miskin di perdesaan yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian akan

Page 6: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

6

tetap menjadi kaum marginal dan seringkali terabaikan oleh intervensi program dan bantuan

penanggulangan kemiskinan. Padahal, kondisi kemiskinan dapat memengaruhi ketahanan pangan

apabila dikaitkan dengan kemampuan daya beli masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan

pangannya. Karena, konsumsi pangan secara umum merupakan pengeluaran terbesar dari rumah

tangga di wilayah perdesaan yang rata-rata mencapai 58,57% dari total pengeluaran rumah tangga.

Khususnya untuk konsumsi padi-padian, rumah tangga di perdesaan harus menyediakan 13,25% dari

total pendapatannya untuk membeli komoditi pangan ini. Kondisi demikian menunjukkan terjadinya

ketergantungan yang tinggi terhadap konsumsi pangan padi-padian telah menyebabkan besarnya

alokasi pendapatan rumah tangga. Pada tingkat nasionalpun negara Indonesia sangat tergantung

kepada sumber pangan karbohidrat seperti beras dan gandum/tepung terigu. Kondisi itu dibuktikan

dengan upaya melakukan impor pangan karbohidrat beras secara berkesinambungan yang melebihi

kuota yang ditetapkan pemerintah, yakni lebih dari 62%. Ketergantungan negara akan pangan beras

ini, merupakan cerminan dari pola konsumsi pangan masyarakat (foodhabits) yang cenderung ke

beras, padahal sumber pangan non beras masih melimpah ruah, seperti ketela, ubi jalar, jagung, kedele

dan umbi-umbi lainnya. Menyikapi kondisi demikian, pemerintah berupaya mendorong diversifikasi

pangan untuk mengurangi beban konsumsi pangan karbohidrat kepada komoditi pangan lain yang

lebih murah dan terjangkau.

Ketergantungan terhadap beras tidak hanya dialami oleh Indonesia, seperti disinyalir oleh

Food Agriculture Organisation (FAO), beras adalah salah satu pangan kunci di dunia dan dimakan

oleh sekitar 3 miliar orang setiap harinya. Sedangkan di Asia, beras merupakan makanan pokok untuk

sekitar 600 juta penduduk.3 Lebih dari 60 persen penduduk dunia atau satu milyar orang yang tinggal

di Asia tergantung pada beras sebagai makanan pokok dan hidup dalam kemiskinan serta kekurangan

gizi.4 Oleh karena itu, jika terjadi penurunan produksi padi, maka berarti akan lebih banyak orang

tergelincir ke dalam jurang kemiskinan dan kelaparan. Jika Indonesia mampu melakukan diversifikasi

pangan tentu akan mengurangi konsumsi beras antara 90 sampai 100 kilogram per kapita per tahun.

Selama ini, konsumsi beras rata-rata mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Thailand produksi

beras sebanyak 20 juta ton, namun konsumsi beras hanya 70 kilogram per kapita per tahun. Begitu

pula negara Vietnam produksi beras sebanyak 17 ton, namun kebutuhan konsumsi hanya 90 kilogram

per kapita per tahun.

Padahal pada tahun 2007 konsumsi beras di Indonesia masih sekitar 139,15 kg/kapita/tahun.

Jadi selama tiga tahun saja, konsumsi beras per kapita per tahun mengalami kenaikan sebesar 8 kg.

3 Ahmad Taufiqurrakhman - Okezone , 10 Agustus 2010. 4 Sumber: Ruddabby.files.wordpress.com/2010/8.

Page 7: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

7

Sementara prediksi data tingkat kebutuhan lahan/beras untuk tahun 2007-2030 menurut Direktorat

Jendral Pengelolaan Lahan dan Air mengalami penurunan, yakni sebagai berikut.

Gambar 2. Tabel Prediksi Kebutuhan beras dan Lahan pada tahun 2030

Tahun Jumlah Penduduk Kebutuhan Beras Kebutuhan lahan

2007 220 juta 32,96 juta ton 11,6 juta hektar

2030 425 juta 59 juta ton 23,4 juta hektar

Kekurangan 26,04 juta ton 11, 8 juta hektar

Sumber: James, 2007, Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air.

Berbagai persoalan yang ada di sektor pertanian tentu saja akan berpengaruh pada tingkat

ketahanan pangan nasional. Undang-undang No. 7/1996 tentang Pangan secara eksplisit menjelaskan,

bahwa persoalan ketahanan pangan tidak harus tergantung pada kondisi kemampuan penyediaan

pangan dalam negeri dalam pemenuhan kebutuhan pangan. UU No. 7/ 1996 tentang Pangan

mendefinisikan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga,

namun UU ini tidak menyebutkan ketentuan yang mengharuskan pemerintah untuk menyediakan

pangan dari hasil produksi dalam negeri. Maka dari itu, tidak mengherankan jika kemudian

pemerintah lebih suka memecahkan persoalan kekurangan stok pangan dengan cara membuka

peluang impor komoditi pangan. Terlebih lagi, harga beberapa komoditi pangan impor memiliki harga

yang lebih murah daripada melakukan pembelian komoditi pangan dari produsen (baca= petani) lokal.

Padahal, ketergantungan terhadap pangan impor yang semakin besar sebenarnya tidak bisa dikatakan

sebagai suatu kondisi ketahanan pangan yang baik. Kondisi ini, sebenarnya hanya memberikan

kondisi ketahanan pangan yang semu karena negara menjadi rapuh oleh ketergantungan impor pangan

yang dapat berfluktuasi sewaktu-waktu, ketika terjadi gejolak produksi pangan dunia. Implikasinya,

akan sangat memengaruhi kondisi ketahanan pangan apabila terjadi perubahan harga yang tidak dapat

terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Oleh karena itu, desakan terhadap perbaikan pembangunan ketahanan pangan yang diarahkan

pada upaya pencapaian kedaulatan pangan menjadi semakin mengemuka dalam beberapa tahun

terakhir. Pembangunan ketahanan pangan harus diarahkan pada upaya peningkatan kemandirian

pangan sebagai langkah transisi menuju kepada tercapainya kedaulatan pangan. Pemerintah melalui

Kebijakan dan Strategi Pangan 2010-2014 sudah menyebutkan adanya pengembangan diversifikasi

pangan dan memantapkan ketahanan pangan melalui pendekatan yang komprehensif, yaitu :

1) Menjamin ketersediaan pangan berbasis produksi dalam negeri

2) Peningkatan produktivitas melalui insentif bagi petani

Acer
Sticky Note
Page 8: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

8

3) Pertanian modern, efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan

Kebijakan di atas secara implisit sebetulnya sudah mengarah pada upaya penguatan ketahanan pangan

yang berbasis kemandirian dan diversifikasi produksi dalam negeri, dan penciptaan iklim usaha tani

yang kondusif, serta mempertahankan keberlanjutan pembangunan pertanian. Oleh karena itu,

seharusnya paradigma ketahanan pangan yang kuat tidak lagi sekedar untuk mencapai kondisi

terpenuhinya kebutuhan pangan semata. Tetapi, juga harus di arahkan kepada pemenuhan kebutuhan

pangan secara mandiri berbasis sumber pangan lokal, dan melalui penciptaan iklim usaha tani yang

kondusif, serta dapat mensejahterakan petani.

Selain itu, kondisi ketahanan pangan dan kemandirian pangan seharusnya tidak hanya sekedar

memberikan gambaran makro dari kondisi pangan di Indonesia, tetapi harus secara nyata

menggambarkan kondisi mikro hingga di tingkat pelaku rumah tangga. Tentu saja kedaulatan pangan

secara mutlak tidak akan dapat dipenuhi oleh Negara manapun ketika sebuah Negara tidak mampu

menghasilkan semua jenis komoditi pangan, karena adanya keterbatasan potensi sumberdaya

pertaniannya. Namun demikian, upaya mencapai kemandirian pangan merupakan langkah penting

untuk mencapai kondisi ideal dari kedaulatan pangan. Kemandirian pangan untuk memenuhi

kebutuhan pangan domestik dapat dicapai dengan cara mengurangi atau meminimalkan

ketergantungan akan pangan impor.

Membangun ketahanan dan kemandirian pangan menjadi sangat penting dan strategis, sebagai

penegasan atas upaya penyediaan pangan yang dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi

pangan berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Upaya penyediaan pangan

dengan mengembangkan sistem produksi pangan, kelembagaan, dan budaya lokal tidak bisa

dipisahkan dari prinsip kedaulatan pangan itu sendiri. Menurut Food and Agriculture Organization

(FAO), kedaulatan pangan merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen dan bisa

didapatkan secara bebas, baik secara cuma-cuma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang

mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tradisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya.

Maka dari itu, muncul kritik atas konsep ketahanan pangan yang dilontarkan oleh pemerintah

karena tidak dianggap mempertimbangkan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan

mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya. Dan, konsep ini dinilai telah mengabaikan

realitas sosial yakni semakin meluas dan limpah ruahnya ekspor produk pertanian murah dan

bersubsidi tinggi ke negara-negara terbelakang. Praktek ini cendrung dibiarkan, bahkan didorong atas

nama perdagangan bebas ataupun liberalisasi sektor pertanian yang disokong penuh oleh negara-

negara maju. Kondisi demikian, berpengaruh pada pemahaman kedaulatan pangan yang seharusnya

diartikan menjunjung tinggi hak masyarakat sebagai satu kesatuan untuk memproduksi,

mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan pangan diatas semua kepentingan lain. Kedaulatan

pangan seharusnya memberikan keleluasaan kepada petani selaku produsen untuk menentukan pilihan

Page 9: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

9

secara mandiri dan tanpa paksaan dalam mengembangkan ketahanan dan kemandirian pangan sesuai

dengan kapasitas dan potensi sumber daya pertanian lokal yang dimilikinya, sehingga petani mampu

meningkatkan produksi dan kesejahteraannya. Peran pemerintah tentu saja tetap dibutuhkan sebagai

regulator dan fasilitator kebutuhan di sektor pertanian melalui berbagai instrument kebijakan, regulasi,

dan program pangan yang mendukung upaya kedaulatan pangan tersebut. Tetapi yang terjadi

kebalikannya, kedaulatan pangan untuk pemenuhan ketahanan pangan diartikan dengan cara

melakukan impor pangan.

Dua analisis di bagian bawah ini merupakan kajian yang dilakukan Tim PMB-LIPI, pertama

dilakukan pada kurun waktu 20089 dalam bentuk riset aksi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dan

kedua pada tahun 2009-20011 dalam bentuk penelitian di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur dan

Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Keduanya berupaya menganalisis penerapan kebijakan

ketahanan pangan untuk mencapai kemandirian pangan atau kedaulatan pangan di tingkat masyarakat.

Namun demikian, penting dicatat, upaya membangun ketahanan pangan di tingkat masyarakat melalui

pendirian lumbung pangan beras atau non beras tanpa terlebih dahulu mengatasi kemiskinan petani

adalah sesuatu pekerjaan yang sia-sia. Oleh sebab itu, yang dituju dalam riset aksi ini adalah

bagaimana menghilangkan lapisan buruh tani dan sekaligus membangun ketahanan pangan mereka.

Apa yang disajikan di bawah ini merupakan suatu pelajaran berharga dalam rangka

membentuk ketahanan pangan masyarakat melalui pembentukan bank pangan beras dan bank pangan

non beras di tingkat komunitas petani di perdesaan.

Model Bank Pangan Beras : Lesson Learned from Indramayu5

Transaksi jual-beli (sewa) pada lahan garapan adalah bentuk pasar lahan yang tidak sehat

karena menghasilkan bentuk monopoli dan percaloan lahan. Kasus yang terjadi di Indramayu

menunjukkan, bahwa untuk mendapatkan lahan garapan milik negara (tanah pangonan), masyarakat

petani harus melalui dua jenjang proses penyewaan, yaitu melalui calo dan pemilik modal. Sistem

sewa lahan sawah-tanah pangonan ini rupaya lebih menguntungkan penduduk yang memiliki modal

dan memiliki relasi dengan pemerintah daerah, dan mereka yang biasa mengikuti lelang tanah-sawah

pangonan walaupun sebenarnya mereka bukan bagian dari komunitas petani. Mereka tidak pernah

menggarap lahan sawah. Oleh sebab itu, sawah-tanah pangonan dari hasil lelang selanjutnya akan

dijual-sewa kepada petani penggarap. Sementara di lain pihak, petani penyewa sawah atau petani

penggarap tidak memiliki akses langsung ke pemenang lelang, maka petani penggarap harus membeli

atau menyewa lahan sawah garapan melalui sistem pencaloan. Proses untuk mendapatkan sawah

garapan dari tanah milik negara sangat panjang, kondisi demikian menyebabkan harga sewa di tingkat 5 Riset aksi yang dilakukan tim peneliti PMB-LIPI di Indramayu pada petani landless tahun 2008.

Page 10: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

10

petani garapan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan harga sewa pada waktu pelelangan. Petani

penggarap memperoleh lahan sawah dengan harga mencapai 7 (tujuh) kali lipat dari harga lelang

(pada saat itu harga pasar tanah garapan/ pangonan sebesar 4.5 ton gabah/hektar/tahun). (lihat,

Gambar 2).

Gambar 3. Mata Rantai Proses Lelang Tanah Pangonan Di Indramayu.

Penguasaan lahan sawah di Indramayu dikenal dengan model penggarapan lahan sawah milik

negara (tanah pangonan). Untuk mendapatkan hak garap tanah negara ini dilakukan melalui sistem

lelang. Dan, penguasaan lahan sawah di kabupaten Indramayu sekitar 70% dimiliki oleh orang luar

desa, dimana sebagian dari mereka tidak menggarap sawah sendiri. Lahan persawahan yang tidak

digarap pada umumnya disewakan kepada orang lain dengan sistem bagi hasil (maro). Model sistem

penggarapan lahan yang kedua ini yang digunakan untuk membangun ketahanan pangan melalui

pengembangan kelembagaan bank pangan beras di tingkat masyarakat dengan target sasaran golongan

petani buruh atau petani landless.

Terkait dengan pengembangan bank pangan beras di kabupaten Indramayu, penguasaan lahan

menjadi faktor penentu ketahanan pangan masyarakat. Cara pandang seperti ini dirasa penting karena

sebagian besar lahan sawah dikuasai oleh pemerintah daerah Indramayu, namun demikian dalam

pengelolaannya atau penggarapan sawah tetap diberikan kepada masyarakat melalui sistem lelang.

Pemerintah daerah memberikan kesempatan kepada warga masyarakat petani untuk menyewa lahan

persawahan melalui sistem lelang yang digelar pada setiap musim tanam. Berangkat dari situasi

seperti itu, tim PMB-LIPI memutuskan untuk mengambil sikap sebagai fasilitator bagi buruh tani,

Proses Lelang Tanah garapan

Pemda Kabupaten

Pemilik Modal/Pemenang Lelang

Calo Penyewaan

Petani Penggarap/ Penyewa

Page 11: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

11

yakni dengan cara menfasilitasi kaum buruh tani agar dapat ikut lelang penggarapan lahan sawah.

Ideologi yang coba dibangun oleh tim sebenarnya menginginkan pemerintah daerah dapat merespon

golongan miskin petani melalui sistem lelang garapan sawah tersebut.

Pengembangan kelembagaan masyarakat petani untuk mencapai ketahanan pangan, berangkat

dari idiologi “keberpihakan kepada kelompok petani miskin perdesaan”, dengan cara mengangkat

petani golongan miskin melalui pemanfaatan sistem lelang lahan sawah. Pendekatan ini

dikembangkan, dengan alasan bahwa golongan petani miskin tidak dapat mengikuti sistem kontrak

sewa-menyewa lahan pertanian dengan pemerintah daerah. Karena petani miskin memiliki

keterbatasan, yakni mereka memiliki kesulitan penyertaan modal uang dimuka sebagai uang

pembayaran, yakni 8 (delapan) bulan sebelum penggarapan lahan dimulai. Selain itu, pendekatan

diambil dengan pertimbangan supaya dalam sistem lelang tanah milik negara ini hasilnya dapat

dinikmati oleh golongan terbanyak yakni petani miskin di pedesaan. Karena, selama ini sistem lelang

hanya dinikmati golongan penduduk ber modal dan yang memiliki akses kepada pemerintah daerah.

Lagi pula, para pemenang lelang tanah negara ini tidak langsung menggarap sendiri lahannya,

melainkan disewakan kembali kepada warga lain dengan harga sewa sawah milik pribadi, yang

harga sewanya jauh lebih tinggi. Jadi dengan demikian, pemenang sewa tidak jauh berbeda dengan

”makelar” yang mendapat keuntungan besar dari sistem lelang lahan pertanian milik negara tersebut.

Tujuan utama yang hendak dicapai dalam riset aksi membangun kelembagaan pangan beras adalah

untuk mengtransformasikan posisi buruh tani menjadi petani penggarap.

Membangun bank pangan beras di tingkat komunitas petani miskin, diawali dengan cara

memberikan modal kepada buruh tani miskin (landless) sebagai modal penyertaan untuk mengikuti

lelang sawah. Dari Lahan sawah yang berhasil disewa, kemudian diberikan dan dibagikan kepada

rumahtangga buruh tani. Syaratnya, setiap buruh tani harus mau bekerja secara bergotong rotong

dalam penggarapan sawah, mulai dari pengolahan sawah sampai pasca panen dan lahan sawah harus

digarap secara bersama-sama dan bergantian. Membangun ketahanan pangan di tingkat masyarakat

melalui pendirian lumbung pangan tanpa mengatasi kemiskinan petani terlebih dahulu adalah sesuatu

hal yang sia-sia. Oleh sebab itu, yang dituju dalam riset aksi ini adalah bagaimana menghilangkan

lapisan buruh tani dan sekaligus membangun ketahanan pangan mereka.

Lumbung pangan dibentuk untuk mengatasi kerawanan pangan, terutama pada musim

paceklik. Pendirian lumbung pangan dilakukan dengan cara menyisihkan hasil panen secara kolektif.

Pertama-tama, setelah buruh tani memperoleh lahan sewa dari pemerintah, pangonan, dilakukan

penggarapan sawah secara komunal dan kemudian hasil panen secara kolektif itu akan disisihkan

sebagian untuk lumbung pangan. Pendekatan komunal dalam penggarapan lahan sawah dan

pembentukan lumbung pangan ini dianggap lebih efektif daripada pendekatan yang melihat petani

Page 12: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

12

sebagai individu. Karenanya, dalam pendekatan individu seringkali kita melupakan konteks sosial

petani.6 Oleh sebab itu, dalam membangun ketahanan pangan masyarakat difokuskan pada perubahan

status sosial petani buruh menjadi petani penggarap, sehingga terjadi mobilitas sosial vertikal yang

merupakan syarat utama terciptanya ketahanan pangan.

Gambar 4. Konsep Pengembangan Bank Pangan

Kelembagaan pangan yang dibangun dalam riset aksi ini memerlukan input-input antara lain: (1)

rencana permodalan (termasuk rencana untuk kredit pangan dan sewa lahan), (2) pembentukan

kepengurusan, (3) penentuan keanggotaan (jumlah KK yang bisa terlibat menurut luasan lahan), (4)

pembentukan organisasi bank pangan, dan (5) pembuatan analisis perkiraan kecukupan pangan dan

proyeksi pertumbuhan lahan. Modal yang disediakan dalam pembentukan bank pangan pada riset aksi

ini sebesar Rp. 40 juta yang rincian alokasi anggarannya, sebagai berikut :

Gambar 5.Tabel Penyertaan modal awal

6 Kebijakan untuk mengatasi ketahanan pangan melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah, misalnya Kredit Usaha Tani (KUT), Bantuan Tunai Langsung (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan lain-lainnya seringkali menggunakan individu sebagi obyek sasarannya. Kebijakan publik yang berlandasakan asumsi bahwa individu mengambil keputusan berdasarkan perhitungan rasional yang menguntungkan dirinya. Disini, individu diamsumsikan sebagai atom yang terisolasi dan tidak terpengaruh lingkungan sosial sekitarnya. Karena itu, fokus kebijakan publik adalah memberi insentif dan informasi yang membantu keputusan individu (Robi Muhamad, 2008).

Program Riset Aksi LIPI

Sosialisasi

Petani Kecil/Buruh Tani

Pelaksanaan Program : Pengolahan lahan Penyaluran kredit

Tambahan Pendapatan Petani

Ada Cadangan Pangan

Kecukupan pangan

Ketahanan pangan

Page 13: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

13

No. Uraian Anggaran (Rp) Alokasi Anggaran (Rp)

1. Modal Awal 40.000.000.- 13.200.000 2. Kredit sewa lahan 12 ha/tahun 12 x 1.100.000 12.200.000 3. Kredit saprotan/2 musim 12 x 2 2 550.000 3.600.000 4. Kredit teknologi/hama - - 5. Kredit pangan - - 6 Lain-lain 1.000.000

Jumlah 40.000.000 40.000.000

Kepengurusan bank pangan didesain meliputi 5 orang dewan pengurus yang diambilkan dari

unsur tokoh masyarakat, perangkat desa dan wakil peneliti, 3 orang yang masing-masing berperan

sebagai ketua/menejer bank pangan, sekretaris, dan petugas operasional untuk pengadaan dan

distribusi, dan 2 orang koordinator lapangan (korlap) untuk menangani kredit lahan, pangan dan

saprotan. (lihat, Bagan ). Pengurus tidak diberikan gaji, tetapi berhak menerima insentif. Sistem

insentif yang diberikan sebagai berikut :

1. Dewan pengurus diberi insentif sebear 2,5 % setiap akhir musim panen diambil dari penerimaan

bank pangan (=50% hasil panen) yang dialokasikan untuk cicilan kredit sewa lahan dan saprotan,

setelah dikurangi jumlah yang disisihkan untuk perluasan kredit lahan dan saprotan sebesar 1 ton

GKP (setara 666,67 kg beras) per hektar.

2. Sedengkan pengelola bank pangan (diluar dewan pengurus) secara bersama diberikan insentif

sebesar 2,5% setiap bulan dari jumlah komoditas yang telah disalurkan sebagai pinjaman pangan.

Selain itu, pengelola juga berhak menerima 2,5% dari penerimaan cicilan kredit sebagaimana

tersebut pada point 2.

Gambar 6. Struktur Organisasi Bank Pangan

Dewan Pengurus & PMB LIPI

Instansi Teknis Terkiat

Manajer Pendamping Lembaga Keuangan

Koor. Pengadaan

Seksi Lahan & Pangan

Sekretaris

Seksi Saprotan

Kelompok Tani

Page 14: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

14

Warga desa yang berhak menjadi anggota bank pangan adalah kepala keluarga buruh tani dan

petani kecil yang mempunyai lahan garapan kurang dari 0.1 hektar. Setiap anggota bank pangan

bersedia dikenakan iuran wajib sebesar Rp. 1000/bulan untuk penambahan modal dana bergulir atau

biaya operasional bank pangan. Dari proses pendaftaran dan seleksi yang dilakukan di kabupaten

Indramayu, terkumpul 48 kepala keluarga petani peserta bank pangan. Jumlah ini tentu bertambah

sejalan dengan perkembangan modal.

Komoditi yang menjadi prioritas dalam pengadaan pangan adalah padi, beras, jagung, gaplek,

kentang dan ubi, disesuaikan dengan kebiasaan makan (food habits) setempat. Sementara itu,

pengadaan pangan dilakukan dengan cara membeli kelebihan padi atau beras dari hasil panen para

anggota setempat, DOLOG, dan pihak lainnya dengan harga patokan pemerintah, serta dari setoran

cicilan kredit di akhir musim panen. Persedian awal untuk disalurkan sebagai kredit pangan sebesar

Rp. 10.000.000 yang dikonversikan dalam bentuk natura (sekitar 5 ton gabah kering giling atau 3.333

kg beras) .

Gambar 7. Konsep Kredit Sewa Lahan

Box. 1. Konsep Kredit Sewa Lahan

Asumsi :

1 Ha sawah/musim tanam = 4.000 kg Gabah Kering Giling (GKP) Konsumsi/kapita/tahun = 133 kg beras Harga beras 1 kg (HET Bulog) = Rp. 3.150 (K. 5 Sept. 98) Harga GKP 1 kg ( pasar lokal) = Rp. 1.800 Konversi 1 Kg GKP = 2/3 kg beras 1 KK = 5 jiwa 1 tahun = 2 kali musim tanam padi Hasil produksi per hektar dari lahan sewa didistribusikan seperti berikut :

o 50% atau minimal 2 ton GKP = dibagikan untuk konsumsi dan tambahan pendapatan kelompok tani o 50% sisanya = disetorkan ke bank pangan untuk pemberdayaan kelompok (pengembalian pinjaman

pangan /tabungan untuk perpanjangan sewa lahan dan saprotan bagi modal awal bagi kelompok baru, dan tambahan pendapatan bank pangan.

Dari 50% hasil produksi yang disetor untuk pemberdayaan/ musim/ha dikenakan potongan untuk perluasan bank pangan, yakni keperluan penambahan kredit lahan dan saprotan sebesar 1.000 kg GKP = 666.67 kg beras/ha

Dari setiap penerimaan setoran potongan untuk perluasan bank pangan, sebesar 15% nya dialokasikan untuk penambahan stok pangan kredit pangan, sedangkan sisanya digunakan untuk perluasan sewa lahan dan tambahan saprotan serta pembayaran 2.5% untuk anggota dewan pengurus, dan 2.5% untuk para pengelola.

Kecukupan saprotan/ha/musim = Rp. 550.000,- Harga sewa tanah/tahun = Rp.1.100.00.-

Page 15: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

15

Prinsip penyaluran kredit pangan diberikan kepada anggota yang mempunyai kebutuhan

mendesak untuk kebutuhan pangan. Pinjaman diberikan dalam bentuk beras atau padi, jagung, gaplek,

ubi disesuaikan dengan kebiasaan makan masyarakat. Setiap anggota dapat meminjam setara dengan

30 kg beras (50 kg gabah kering giling). Anggota dapat meminjam dengan batas maksimum selama 2

bulan berturut-turt hingga mencapai total pinjaman setara dengan eras 60 kg (100 gabah kering

giling). Pinjaman harus dikembalikan dalam jangka waktu satu musim tanam (4 bulan) atau pada saat

musim panen. Mekanisme peminjaman dilakukan melalui kelompok, koordinator lapangan dan

manajer bank pangan. Untuk menegakkan disiplin keanggotaan, dalam setiap pengembalian pinjaman

menggunakan sanksi berbentuk tanggungjawab renteng.

Bank pangan juga dapat melakukan penjualan stok yang dianggap berlebihan untuk dijual ke

luar, hal ini dilakukan apabila terjadi tingkat peminjaman anggota rendah. Hasil keuntungan dari

penjualan stok ini dibagikan sebesar 25 % kepada pengelola bank pangan, sisanya 75% untuk

menambah modal dana bergulir, yang antara lain digunakan untuk pembelian stock pangan.

Tabel 8. Hasil Produksi Padi Kelompok Tani

Lembaga Ketahanan Pangan dalam Satu Tahun

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

KG

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII

Kelompok

MT RendengMT Gadu

Taksiran semula didasarkan pada cara pengukuran (kubikan) secara random oleh petugas Dinas

Pertanian Indramayu, jumlah hasil produksi padi rata-rata yang dihasilkan per hektar sawah adalah 6

ton gabah. Namun, ternyata hasil panen menunjukkan kenaikan sekitar 7 ton gabah terutama di musim

rendeng, sementara pada musim gadu, hasil panen berkurang. Namun secara keseluruhan, perolehan

Page 16: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

16

hasil panen cukup berhasil, terutama apabila dibadingkan dengan produksi padi petani non-binaan

LIPI yang rata-rata hanya mengasilkan 4.5 ton gabah. Secara rinci perkembangan hasil panen dan

pertumbuhan kelompok tani selama kurun waktu tiga kali musim panen yang terlihat pada tabel 7 dan

8 dibawah ini.

Grafik/Tabel 9

Perkembangan Jumlah Kelompok Tani dan Hasil Produksi Padi Lembaga Ketahanan Pangan

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

8000

9000

KG

I II IIIIV V VIVIIVIIIIX X XIXIIXIIIXIVXVXVIXVII

XVIII

Kelompok

MT Rendeng IMT Rendeng II

Tabel 10. Perkembangan Pendapatan Kelompok Tani

Lembaga Ketahanan Pangan

Page 17: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

17

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

Rp. 1000

I II III IV V VIVIIVIIIIX X XIXIIXIIIXIVXVXVIXVII

XVIII

Kelompok

MT Rendeng I MT Gadu MT Rendeng

Model Bank Pangan Non Beras : Sebuah Usulan Untuk Mengembalikan Sistem

Pangan Lokal

Kekuatan negara untuk menentukan kebijakan swasembada beras di seluruh daerah di

Indonesia pada tahun 70-an secara perlahan telah merubah kebiasaan masyarakat dari pangan non

beras menjadi pangan beras. Namun demikian, dari penelitian terdahulu (PMB-LIPI, 2009) ternyata

menggambarkan bahwa tidak semua masyarakat secara serta merta beralih ke pangan beras. Karena

pola konsumsi pangan non beras atau foodhabits merupakan bagian dari kebiasan sosial budaya

masyarakat yang terjadi secara turun-menurun. Masih bertahannya pola konsumsi pangan non beras

juga dipengaruhi oleh tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang tidak sama, terutama di daerah

bukan penghasil beras. Dalam hal mana, tidak semua masyarakat mampu membeli beras, oleh karena

itu ada sebagian masyarakat yang membeli beras yang digunakan sebagai bahan campuran. Oleh

sebab itu, dengan kondisi seperti ini terbentuk “pola konsumsi pangan yang adaptif “ yaitu pangan

campuran dalam bentuk nasi jagung campur nasi beras atau nasi tiwul campur beras. Oleh karena itu,

pola konsumsi pangan non beras dalam bentuk pangan campuran tidak menghilang walaupun beras

kini telah menjadi makanan pokok, hal ini terkait dengan berlakunya foodhabits.

Sementara itu, saat ini beredar suatu pandangan bahwa untuk mencapai ketahanan pangan

dapat dilakukan dengan cara melakukan peningkatan produktivitas hasil pertanian, yakni dengan cara

memperkenalkan jenis varietas unggul sehingga nantinya petani memperoleh peningkatan

pendapatan. Melalui peningkatan pendapatan tersebut, petani diharapkan dapat membeli kebutuhan

pangan mereka, selain itu upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan cara melakukan impor

Page 18: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

18

beras untuk mencukupi stock pangan nasional. Pandangan seperti ini tidak salah, tetapi upaya

membangun ketahanan pangan yang berdampak terhadap menghilangkan sistem pangan lokal dan

ketergantungan terhadap beras impor dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya rawan

pangan. Karena, ketergantungan terhadap impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam

jangka lama pada saatnya akan memicu munculnya gejolak sosial. Misal, permintaan beras impor

akan cenderung semakin meningkat seiring dengan tejadinya peningkatan jumlah penduduk,

meskipun produksi beras lokal menjadi melimpah ruah tetapi ada kecenderungan pemilihan terhadap

beras impor yang lebih murah dan bagus kualitasnya. Selain itu, produktivitas pertanian akan semakin

menurun dan lahan pertanian semakin sempit karena terjadinya polarisasi atas lahan-lahan pertanian.

Kondisi demikian menyebabkan social exclusion dimana terjadi marginalisasi buruh tani dari lahan

pertanian. Jika kondisi ini dibiarkan secara terus menerus akan mengindikasikan terjadinya

kerawanan dalam ketahanan pangan. Persoalannya, adalah bagimana meningkatkan produktivitas

pertanian tanpa menghilangkan sistem pangan lokal.

Upaya membangun sistem pangan lokal pada posisi demikian, merupakan rasionalitas pilihan

yang cukup masuk akal karena dapat menyelamatkan sistem cadangan pangan di tingkat masyarakat.

Pengembangan sistem cadangan pangan lokal dinilai dapat menjamin terpenuhinya pangan seluruh

warga desa dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu. Sistem cadangan pangan lokal ini penting,

terutama untuk mengantisipasi jika terjadi kelangkaan beras di pasar atau harga beras yang

melambung naik sehingga tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sistem cadangan pangan lokal

dapat dilakukan dengan cara membangun lumbung pangan dalam bentuk kelembagaan bank pangan

dan melakukan pembudidayaan tanaman cadangan pangan sehingga dapat mengatasi ketahanan

pangan masyarakat di perdesaan.

Untuk membangun sistem pangan lokal, pertama-tama dibutuhkan kesadaran petani akan hak-

haknya untuk mandiri dengan cara mengembangkan bank pangan. Ini merupakan salah satu prinsip

dari kedaulatan pangan. Karena, membangun sistem pangan lokal berarti memperjuangan hak-hak

warga masyarakat untuk memiliki kedaulatan pangan. Oleh sebab itu, prinsip kedaulatan pangan

berbeda dengan ketahanan pangan yang tidak mempedulikan dari mana pangan diproduksi.

Kedaulatan pangan cenderung menjunjung tinggi hak setiap warga dan masyarakat lokal sebagai

satu kesatuan untuk memproduksi, mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan pangan di atas semua

kepentingan lain, termasuk perdagangan. Namun demikian, konsep kedaulatan pangan itu sama

sekali tidak bertentangan dengan prinsip ketahanan pangan, keduanya justru saling mengisi. Karena

upaya membangun ketahanan pangan tanpa diikuti dengan upaya meneggakkan kedaulatan pangan

akan melahirkan persoalan sosial baru, seperti ketergantungan akan beras impor dan rendahnya

produktivitas petani.

Beberapa prinsip kedaulatan pangan adalah sebagai berikut :

Page 19: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

19

Menghormati dan memperkuat kearifan tradisional serta pengetahuan lokal dalam memproduksi

pertanian pangan lokal sebagai landasan sistem produksi pangan berkelanjutan.

Pengakuan dan penghormatan terhadap budaya yang khas dalam memilih dan mengkonsumsi

pangan serta hak untuk menentukan sendiri apa yang akan dimakan dalam jumlah yang cukup,

bergizi, dan aman .

Rakyat desa berdaulat dalam menentukan kebijakan dan strategi produksi, distribusi dan konsumsi

pangannya sendiri, terutama untuk memprioritaskan peningkatan produksi anekaragam pangan

dalam rangka pemenuhan pangan seluruh warga desa itu sendiri.

Keluarga miskin dan kurang pangan yang ada di desa mendapat prioritas untuk mengakses

berbagai sumber produktif (tanah, air, hutan, teknologi, benih dan permodalan).

Apa itu kelembagaan pangan non beras ?

Kelembagaan pangan non beras adalah suatu forum yang terdiri dari unsur-unsur

kelembagaan yang berada di supra komunitas, yakni Dewan Kedaulatan Pangan yang anggotanya

berasal dari tokoh-tokoh petani. Dewan Kedaulatan Pangan ini selalu melakukan koordinasi dengan

unsur pemerintahan, antara lain para kepala desa, PPL dan pejabat pemerintah di bidang pertanian.

Posisi Dewan Kedaulatan Pangan berada di wilayah kecamatan, dan mempunyai tugas untuk

mengarahkan organisasi bank pangan non beras di dalam merumuskan program dan kegiatan bank

pangan non beras, yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, dan konsumsi, serta

penganekaragaman pangan untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan masyarakat.

Dewan Kedaulatan Pangan ini harus sepenuhnya didukung oleh para tokoh masyarakat,

karena kelembagaan pangan memiliki visi dan misi penting, yakni berkehendak mengembalikan

sistem pangan lokal yang telah menghilang sejak diberlakukannya kebijakan swasembada beras.

Sementara itu, tujuan pengembangan kelembagaan pangan non beras adalah sebagai berikut :

Memberikan hak kepada petani untuk menanam jenis tanaman pangan lokal sesuai dengan

kearifan lokal;

Mempertahankan pola konsumsi pangan non beras yang masih dipraktekkan/eksis di masyarakat;

Membangun preferensi masyarakat terhadap konsumsi pangan lokal melalui kampanye publik

dan membangun gerakan sosial;

Melakukan pemurnian varietas tanaman pangan lokal (jagung manado kuning), perlindungan bibit

tanaman lokal dengan memanfaatkan lahan perkarangan rumah;

Mengembangkan produksi pangan lokal dengan pengaturan pola tanam;

Mendekatkan pasar tani dengan sentra produksi pangan non beras melalui penampungan produksi

pangan lokal dan pendistribusian kepada warga petani.

Page 20: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

20

Gambar 11. Bagan Struktur Kelembagaan Bank Pangan Non Beras

Tingkat Kecamatan

Tingkat Desa

Tingkat Masyarakat : Garis Koordinasi/Konsultasi/Fasilitasi : Garis Pengendalian : Garis Pendampingan/Kerjasama

Secara skematis, ruang lingkup kegiatan kelembagaan pangan non beras dapat di lihat apada

gambar di bawah ini

Gambar 12. Elemen Model Kelembagaan Pangan Non Beras.

Dewan Kedaulatan Pangan Lokal

B ank Pangan Non Beras/Gaptoktan

Pengolahan Pasca Panen

Lumbung Pangan Non Beras

Kelompok Tani

Petani

Unsur Pemerintah (Kecamatan, PPL, Desa, dll)

Unsur Masyarakat (Tomagola, HKTI, KTNA,dll)

Mitra Pengembangan Pengusaha Lembaga Keuangan PT/LIPI

Page 21: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

21

Di tingkat supra struktur, bank pangan akan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak guna

menjamin ketersediaan pangan non beras (produksi). Bank Pangan juga melakukan penyiapan

pengawasan cadangan pangan di tingkat rumah tangga dengan pengembangan kebun rumah tangga

yang melibatkan penyuluh/PPL, dan kepala desa. Selain di tingkat rumah tangga, bank pangan juga

menggarap cadangan pangan kebun kolektif yang bermitra dengan Perhutani atau dengan para

pemilik lahan luas yang bersedia meminjamkan lahannya. Oleh karena model kelembagaan pangan

difokuskan pada pangan non beras maka pola konsumsi ideal merupakan outcome kinerja

kelembangaan bank pangan dan ini merupakan indikator dari keberhasilan bank pangan. Pola

konsumsi pangan ideal disini bukan berarti kembali pada konsumsi nasi tiwul tetapi lebih pada

konsumsi nasi campur sebagai bagian dari pola adaptasi konsumsi pangan yang terbentuk di

masyarakat yang bukan pengkonsumsi nasi beras. Strategi ini sebagai mekanisme masyarakat

mendekatkan diri dengan akses pangan lokal yang mandiri dan memimalisasi kesulitan mengakses

beras serta sekaligus mengembalikan sistem pangan lokal.

Di tingkat masyarakat, kelembagan pangan berupa organisasi bank pangan non beras. Bank

pangan non beras adalah gabungan kelompok petani yang dibentuk dengan memanfaatkan

kelembagaan petani yang sudah ada, yakni GAPOKTAN [Gabungan beberapa Kelompok Tani].

Melalui revitalisasi GAPOKTAN, bank pangan non beras ini diharapkan dapat mengembalikan sistem

pangan lokal, dan kegiatan utamanya adalah membangun lumbung pangan non beras, pengolahan

Page 22: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

22

pasca panen, dan kegiatan usaha tani lainnya dengan cara menerapkan prinsip kebersamaan dan

kemitraan sehingga tujuan kelembagaan bank pangan non beras dapat terwujud.

Gambar 13.Tabel Komponen Program dan

Kelompok Sasaran Kelembagaan Pangan Non Beras

Komponen Program Kelompok Sasaran Petani Kelompok

Tani Bank Pangan/

Gapoktan Mitra

Pengembang Mengembalikan cara pandang masyarakat terhadap pangan non beras

X X X X

Menampung produksi pangan non beras X X Mendistribusikan pangan lokal X X X Mendorong petani mengorganisasikan diri X X X Pengembangan dan pemanfaatan teknologi X X X Mendorong Pemda memiliki kemandirian pangan non beras

X

Bank Pangan Non Beras adalah lembaga yang menyatukan para petani secara horizontal,

dan dibentuk untuk membangun cadangan pangan non beras. Bank Pangan non beras dapat dibentuk

beberapa unit dalam satu desa. Bank Pangan ini, memiliki terbatas untuk memperkuat ikatan-ikatan

horizontal yakni ikatan keanggotaan yang memiliki aktivitas sama agar dapat terjalin kerjasama dan

kebersamaan. Sehingga suatu ketika, pada tahap selanjutnya dapat ditingkatkan menjadi organisasi

yang berbadan hukum, bersifat modern dan mandiri. Strategi Pengembangan Kelembagaan Bank

Pangan Non Beras adalah membangun preferensi masyarakat terhadap konsumsi pangan lokal dalam

rangka mengurangi tekanan konsumsi beras yang semakin tinggi, penguatan Gapoktan sebagai

Lembaga Bank Pangan Non Beras dalam upaya penyediaan pangan lokal non beras, serta

pengembangan Kemitraan Strategis antar pelaku (Kelompok Tani, Gapoktan/Bank Pangan, Dewan

Ketahanan Pangan, dan Mitra Pengembang) dengan menekankan pada proses pembangunan

kolaborasi dan sinergi dalam upaya mengembalikaan kedaulatan pangan.

Page 23: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

23

CATATAN PENUTUP

Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan bank pangan beras maupun

nonberas untuk membantu orang miskin perdesaan dalam mengatasi kerawanan pangan. Pertama,

adalah ketersediaan tanah garapan. Harga sewa tanah garapan dipasaran yang setara dengan 4.5 ton

GKG (harga tahun 1998) terlalu mahal jika dikoversikan dalam bentuk rupiah. Karena itu, satu-

satunya harapan adalah mendapatkan tanah pemerintah daerah yang dikuasai negara (tanah

pangonan). Harga sewa tanah garapan lebih layak dibandingkan dengan harga sewa di pasaran.

Namun demikian, untuk mendapatkan tanah pangonan pun masih menghadapi tantangan. Tanah

garapan ini dalam kenyataannya dikuasai oleh pemilik modal (monopoli). Pemenang lelang tanah

pangonan selalu para pemilik modal. Pada posisi demikian, untuk mewujudkan program pemerintah

dalam bentuk ketahanan pangan dan mencapai kedaulatan pangan lokal, peran pemerintah daerah

sangat strategis pada proses pelalangan tanah pangonan. Pada proses lelang tanah negara tersebut,

pemerintah daerah harus lebih berpihak kepada para petani landless atau buruh tani dari pada kepada

pemilik modal. Karena sampai saat ini, sistem pelelangan tanah pangonan sulit ditembus oleh peserta

lelang di luar kelompok pemilik modal, kecuali dilakukan intervensi program pemberdayaan atau riset

aksi untuk memotong mata rantai proses lelang tersebut.

Kedua, kemandirian kelompok tampaknya sulit berkembang. Banyak faktor yang

mempengaruhinya, antara lain rendahnya pendidikan para anggota bank pangan dan tidak tersedianya

modal sosial (jejaringan sosial; gotong royong; rendahnya social trust; tidak adanya akses kepada

pemerintah untuk memiliki tanah garapan, baik dalam bentuk informasi dan daya tawar; faktor

kemiskinan; Sulit mendapatkan orang yang mampu menjadi pemimpin di kalangan mereka; dll) dan

modal kapital (penyertaan modal) dari para petani miskin. Gambaran bahwa masyarakat pedesaan

memiliki sifat kegotong-royongan terutama dalam pekerjaan pertanian tidak selalu benar, hal ini

dipengaruhi hilangnya pekerjaan gotong royong secara sosial dan budaya dalam membuka lahan dan

pengolahan lahan yang cendrung digantikan dengan natura. Jadi ada semacam perubahan dalam

tatanan kehidupan masyarakat perdesaan, dimana solidaritas organik yang seharusnya masih menjadi

ciri mereka telah berubah menjadi solidaridas mekanik yang cenderung didasarkan pada rasionalitas

uang. Di satu sisi, memang pendamping berhasil menjadi ”tokoh” yang dijadikan pantutan dalam

pelaksanaan program, tetapi pada sisi lain tidak ada orang muncul yang dapat dijadikan pemimpin di

kalangan mereka. Jadi, terjadi ketergantungan petani peserta program kepada pendamping (LIPI)

sangat tinggi.

Ketiga, mentalitas yang dimiliki para buruh tani menjadi persoalan tersendiri ketika mereka

berorganisasi. Pekerjaan buruh tani yang terbiasa bekerja dengan sistem upah harian (daily income)

menjadi faktor penghalang untuk menumbuhkan kesadaran baru, bahwa mereka harus bersabar

menunggu hasil dalam setiap musim panen. Oleh karena itu, upaya merajut kerjasama di antara buruh

Page 24: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

24

tani untuk mendapatkan hasil bersama di kemudian hari masih menjadi kendala tersendiri. Upaya

inetrvensi dengan cara mengajak buruh tani untuk bersatu dan bersama untuk mengatasi kemiskinan

dengan cara membangun solidaritas sosial, terkendala pada tidak hadirnya ”tokoh panutan” yang

memiliki empati terhadap golongan miskin perdesaan. Sementara itu, keberadaan elit lokal

masyarakat di perdesaan (pemilik modal, petani kaya, dsb ) dan juga elit pemerintah daerah kurang

memberikan perhatian kepada lapisan buruh tani ini. Mereka lebih mementingkan diri sendiri.

Keempat, introduksi bibit unggul (jagung hibrida dan ubikayu) untuk memenuhi permintaan

pasar jika tidak hati-hati dilakukan akan membawa implikasi pada semakin berkurangnya produksi

bahan pangan lokal yang selama ini dianggap sebagai sumber cadangan utama pangan. Dimana,

cadangan pangan ini akan diperlukan, terutama ketika masyarakat kesulitan mendapatkan beras

karena harga beras yang melambung tinggi. Hilangnya tanaman pangan lokal dan kelangkaan beras

tidak hanya berpengaruh kepada ketahanan pangan, tetapi kemungkinan terburuk akan

menumbuhkan gejolak sosial di masyarakat. Karena itu, upaya membangun sistem pangan lokal sama

halnya dengan memberi kesadaran kembali kepada masyarakat akan pentingnya keberadaan sistem

cadangan pangan yang pernah berkembang di masyarakat jangan sampai hilang karena merupakan

benteng ketika menghadapi krisis pangan.

Berdasarkan beberapa catatan di atas, maka hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah

sebagai berikut:

a. Pengembangan kelembagaan lokal akan lebih berhasil apabila menggunakan institusi yang

ada atau pernah ada di masyarakat.

b. Rekruitmen anggota kelompok lebih diserahkan kepada mereka sendiri, hal ini untuk

menjamin agar modal sosial mudah terbentuk.

c. Jumlah anggota jangan terlalu besar. Semakin besar anggota semakin sulit membentuk

hubungan erat di antara anggota.

d. Seleksi terhadap tokoh masyarakat yang memiliki jiwa kepemimpinan dan mau berkorban

apabila ingin dilibatkan dalam kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA

Norman Uphhof. 1986. hal. 8. Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press.

Nainggolan, K. 2009. Isu-isu Kemiskinan dan Penguatan Ketahanan Pangan dalam Mengatasi Krisis Global, Makalah Disampaikan Di FGD P2E-LIPI, 15 – Oktober – 2009.

Page 25: PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis

25

Osmet, 1999. ”Penanggulangan Kemiskinan Struktural pada Petani Sawah”. Makalah pada Seminar dan Lokakarya Penanggulangan Kemiskinan Struktural Pada Petani Sawah. Jogjakarta, 16-18 Desember 1999. Kerjasama P3K UGM-KIKIS-PERCIK

Sajogya, 1978. ”Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan Jawa”, Dalam Jurnal Prisma, No. 3, 1978, Jakarta: LP3ES.

Robi Muhamad, 2008. ”Masalah Kebijakan Publik”, dalam Kompas, Sabtu 14 juli 2008.

Ujud Tahajuddin dan Dede Wardiat, 2000. ”Survival Masyarakat Buruh Tani dan Petani Kecil dalam Mengupayakan Ketahanan Pangan”. Dalam Bungan Rampai Ketahanan Pangan masyarakat Melalui Penguatan Kelembagaan Sosial Lokal. Jakarta, Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI. 2000.

Departemen Keuangan, 2009. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2010, Departemen Keuangan, Jakarta.

Departemen Keuangan, 2010. Nota Keuangan dan RUU APBN 2011, Departemen Keuangan, Jakarta.