1 PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI PENCAPAIAN KEDAULATAN PANGAN*) 1 Oleh Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI 2 Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis pangan, seperti terjadi pada tahun 2007 sampai tahun 2008. Krisis pangan itu melahirkan satu pemahaman umum di banyak kalangan masyarakat dunia bahwa “agriculture should be the main agenda in economic development”. Dalam rangka pembangunan ekonomi itu pertanian haruslah menjadi agenda utama yang digarap, karena terkait dengan pemenuhan ketahanan pangan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional terus mengalami peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi pangan dan pertambahan penduduk (saat ini sudah mencapai 237,641 juta jiwa). Sampai saat ini, beras merupakan komoditas yang menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian, karena beras telah menjadi komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat telah menjadikan beras sebagai makanan pokok, sehingga beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional. Indikator makro sektor pertanian Indonesia berdasarkan data statistik menunjukkan gambaran yang cukup baik. Dalam hal mana, produksi padi menurut Angka Ramalan (ARAM) II akan mencapai 68,061 juta ton. Dan target produksi padi sebesar 70,6 juta ton pada tahun 2011 rasanya ini akan sulit dicapai walau sudah mengalami kenaikan sekitar 2,4 persen dibandingkan produksi tahun 2010. Namun sayangnya, gambaran makro sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan kondisi ketahanan pangan yang semakin baik. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari kecenderungan kenaikan harga pangan pokok dan volume impor pangan yang tidak lagi sekedar impor daging, gandum dan kedelai tetapi juga meliputi impor komoditi pangan ikan, beras dan garam yang sebelumnya dianggap cukup melimpah di dalam negeri seperti. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menyatakan bahwa indikator makro tidak lagi mencerminkan gambaran riil kemampuan Indonesia dalam menyediakan kecukupan pangan yang berasal dari potensi pangan dalam negeri. Terlebih lagi, pada saat perubahan 1 *) Makalah yang disampaikan pada Kongres KIPNAS, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 7-9 November 2001 di Hotel Bidakara, Jakarta. 2 Tim dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB –LIPI) dan Pusat Penelitian Ekonomi (P2E- LIPI).
25
Embed
PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI …staff.unila.ac.id/...4-LONG-penerapan-kebijakan-ketahanan-pangan.pdf · Kebijakan Pangan Negara Indonesia seringkali mengalami krisis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENERAPAN KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN BAGI PENCAPAIAN KEDAULATAN PANGAN*)1
Oleh
Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI2
Kebijakan Pangan
Negara Indonesia seringkali mengalami krisis pangan, seperti terjadi pada tahun 2007 sampai
tahun 2008. Krisis pangan itu melahirkan satu pemahaman umum di banyak kalangan masyarakat
dunia bahwa “agriculture should be the main agenda in economic development”. Dalam rangka
pembangunan ekonomi itu pertanian haruslah menjadi agenda utama yang digarap, karena terkait
dengan pemenuhan ketahanan pangan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional terus
mengalami peningkatan karena adanya pertumbuhan konsumsi pangan dan pertambahan penduduk
(saat ini sudah mencapai 237,641 juta jiwa). Sampai saat ini, beras merupakan komoditas yang
menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian, karena beras telah menjadi
komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Masyarakat telah menjadikan beras
sebagai makanan pokok, sehingga beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi
perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional.
Indikator makro sektor pertanian Indonesia berdasarkan data statistik menunjukkan gambaran
yang cukup baik. Dalam hal mana, produksi padi menurut Angka Ramalan (ARAM) II akan mencapai
68,061 juta ton. Dan target produksi padi sebesar 70,6 juta ton pada tahun 2011 rasanya ini akan sulit
dicapai walau sudah mengalami kenaikan sekitar 2,4 persen dibandingkan produksi tahun 2010.
Namun sayangnya, gambaran makro sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan kondisi ketahanan
pangan yang semakin baik. Hal ini misalnya, dapat dilihat dari kecenderungan kenaikan harga pangan
pokok dan volume impor pangan yang tidak lagi sekedar impor daging, gandum dan kedelai tetapi
juga meliputi impor komoditi pangan ikan, beras dan garam yang sebelumnya dianggap cukup
melimpah di dalam negeri seperti. Oleh karena itu, banyak kalangan yang menyatakan bahwa
indikator makro tidak lagi mencerminkan gambaran riil kemampuan Indonesia dalam menyediakan
kecukupan pangan yang berasal dari potensi pangan dalam negeri. Terlebih lagi, pada saat perubahan
1*) Makalah yang disampaikan pada Kongres KIPNAS, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tanggal 7-9 November 2001 di Hotel Bidakara, Jakarta. 2 Tim dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB –LIPI) dan Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI).
2
iklim, akan berakibat pada kekeringan dan kegagalan panen di sebagian besar wilayah lumbung
pangan nasional, kondisi ini akan menjadi ancaman atas produksi pangan.
Kita harus memiliki sikap kritis dalam memahami penyajian data statistik karena berimplikasi
terhadap persoalan paradox di sektor pertanian Indonesia. Anggaplah perhitungan produktivitas telah
cukup akurat jika dilakukan dengan melakukan pendataan langsung di beberapa lokasi panen.
Persoalan yang kemudian muncul adalah, bahwa sejak tahun 2008 BPS tidak pernah lagi
memunculkan data luasan lahan sawah. Walaupun, data tentang luasan lahan panen tersaji dan selalu
menunjukkan perluasan lahan panen yang cukup signifikan. Misalnya, dari luasan lahan panen 12,347
juta ha pada tahun 2008 menjadi 13,566 juta ha di tahun 2011. Paradoxal ini tentu saja menimbulkan
pertanyaan dari sebagian kalangan yang menyakini bahwa tingkat konversi lahan pertanian terjadi
secara massive di wilayah lumbung pangan di Jawa, akibat desakan permintaan lahan untuk
permukiman dan kawasan Industri. Kementerian pertanian memang telah menargetkan tambahan
lahan sawah baru sebesar 100.000 ha per tahunnya, akan tetapi Ketua KTNA, Winarno Tohir
(Kompas, 14/10/11) menyatakan bahwa laju konversi lahan mencapai 110.000 ha per tahun atau
terjadi setidaknya defiit 10.000 ha per tahun. Terlepas dari data mana yang lebih layak dipercaya,
akumulasi perhitungan produksi dari hasil estimasi tingkat produktivitas, luasan lahan produktif dan
luasan panen jika diagregasi secara makro dapat menimbulkan bias data yang semakin besar.
Untuk mengetahui kemampuan produksi dalam menopang kebutuhan pangan masyarakat,
harus dilihat dari data peningkatan produksi padi dibandingkan dengan data konsumsi pangan.
Namun, persoalan lagi-lagi muncul dalam proses pendataan konsumsi pangan. Paparan data
menunjukkan, terjadi peningkatan produksi namun tidak diikuti dengan peningkatan konsumsi pada
level yang sama, maka seharusnya ada selisih data berupa supply dan demand yang besar dalam
konteks penyediaan stok pangan ataupun surplus pangan. Tetapi terjadi inkonsistensi dari data yang
ditampilkan, karena peningkatan produksi lebih tinggi dari peningkatan konsumsi, sementara surplus
stok pangan relative tidak banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari stabilitas harga dan
komposisi impor pangannya. Dari pembacaan data yang inkonsisten tersebut, kesan yang muncul
adalah adanya situasi dimana “mau tidak mau” konsumsi pangan juga harus naik agar menjaga
keseimbangan data stok pangan. Hal ini terbukti dari adanya data konsumsi beras yang sempat
dihitung mencapai 139 kg per kapita, atau berarti terdapat kebutuhan 32,943 juta ton beras bagi
sekitar 237 juta penduduk Indonesia. Kebutuhan ini sebetulnya dapat tercukupi oleh konversi 68,061
juta ton padi atau sebanyak 40,837 juta ton beras (60 persen dari produksi padi). Berarti, stok pangan
masih dalam kondisi surplus sebanyak 7,894 juta ton beras. Namun kemudian, data konsumsi ini
mengalami proses penghitungan ulang sehingga diperkirakan konsumsi pangan beras menurun
menjadi 113 kg per kapita (Kompas, 14/10/2011). Dengan data konsumsi pangan yang baru, maka
3
total konsumsi beras nasional turun menjadi 26,781 juta ton atau berarti terdapat tambahan surplus
beras dari 6,162 juta ton menjadi 14,056 juta ton beras pada tahun 2011 ini.
Gambar Grafik 1. Perkembangan Harga Beberapa Komoditi Pangan di Indonesia 2008 – 2011
Sumber: Kemendag, 2011, diolah
Surplus beras sebesar 14,056 juta ton merupakan surplus yang cukup besar, karena berarti tingkat
stok pangan beras mencapai 52,5 persen dari total kebutuhan pangan beras nasional. Over supply yang
begitu besar tersebut tidak menghalangi niat pemerintah untuk tetap melakukan rencana impor beras
yang mencapai 1,6 juta ton. Alasan yang dibuat pemerintah, karena impor beras merupakan bentuk
dari upaya pemerintah untuk membangun kepercayaan terhadap stok pangan yang cukup, alasan itu
sulit diterima karena stok beras yang berlimpah. Terlebih-lebih jika pemerintah juga akan melakukan
kenaikan harga pangan pada saat kondisi stok melimpah. Pemerintah bisa saja berdalih bahwa
distribusi, biaya transportasi, dan ulah pedagang spekulan yang mempengaruhi kenaikan harga
pangan. Dalam hal ini, ada persoalan akurasi data produksi dan konsumsi pangan yang menyebabkan
adanya bias data produksi pertanian. Data peningkatan harga komoditi beras kualitas medium (IR 64)
secara nasional juga menunjukkan kecenderungan peningkatan dari Rp 7139/kg pada 3 Januari 2008
meningkat menjadi Rp 7600/kg, dan untuk beras kualitas medium per 20 Oktober 2011 terjadi
peningkatan yang lebih besar dari perkiraan laju inflasi sepanjang tahun 2011. Pembentukan harga
beras di tahun 2011 merupakan akumulasi kenaikan harga beras yang selalu mengalami peningkatan
4
dari tahun ke tahun, misalnya untuk beras kualitas medium harganya Rp 4360/kg pada tahun 2006,
lalu meningkat menjadi Rp 5444/kg pada tahun 2008 dan mencapai Rp 6507/kg pada tahun 2010.
Selain terjadi bias data produksi dan konsumsi, ada data peningkatan produksi beras namun
tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani selaku produsen pangan. Hal ini menunjukkan,
tidak adanya korelasi positif antara peningkatan produksi pangan dengan tingkat kesejahteraan petani
dan adanya kesenjangan yang tinggi di sektor pertanian yang berpotensi sebagai ancaman bagi
penurunan daya tarik sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Dalam jangka panjang,
kondisi ini dapat memperburuk kemampuan Indonesia dalam memproduksi pangan. Selain itu,
kenaikan harga komoditi pangan seharusnya menguntungkan petani selaku produsen, namun ternyata
marjin keuntungan usaha tani masih kalah dengan marjin keuntungan yang dinikmati oleh pedagang
komoditi sehingga menggambarkan adanya persoalan di sisi hulu dan hilir pertanian.
Pemerintah telah menetapkan harga pokok pembelian (HPP) untuk komoditi pangan beras,
namun penetapan ini ternyata tidak efektif dalam menyerap komoditi pangan karena tidak mampu
bersaing dengan harga pasar komoditi pangan. Inpres No. 8 tahun 2011 tentang Kebijakan
Pengamanan Cadangan Beras Yang Dikelola Oleh Pemerintah Dalam Menghadapi Kondisi Iklim
Ekstrim memberikan keleluasaan kepada Perum Bulog (selaku pihak yang diberi kewenangan untuk
dapat melakukan pembelian gabah/beras petani) untuk membeli gabah/beras pada harga pasar yang
lebih tinggi dari HPP dengan memperhatikan harga pasar yang dicatat oleh BPS dalam kondisi iklim
yang ekstrim. HPP terakhir yang dikeluarkan pemerintah melalui Inpres No 7/2009 adalah sebesar Rp
2685/kg, sehingga dengan adanya ketentuan Inpres No 8/2011 seharusnya Bulog bisa membeli Gabah
lebih tinggi dari HPP (yang pada bulan Juli 2011 sudah mencapai Rp 4067/kg untuk gabah kering
giling di tingkat harga penggilingan). Oleh karena itu, selama institusi BPS belum mencatat adanya
kenaikan harga gabah dan tidak dalam kondisi cuaca ekstrim, maka Bulog tak akan punya dasar
dalam menaikkan tawarannya atas komoditi gabah/beras tersebut yang tentu saja berdampak pada
daya serap Bulog dalam mempertahankan stok pangan. Selain itu, pembelian gabah/beras oleh Bulog
tidak dilakukan secara langsung kepada petani produsen tetapi melalui mitra kerja Bulog yang
umumnya merupakan pedagang atau pemilik penggilingan gabah skala besar sehingga petani sama
sekali tidak menikmati keuntungan.
Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian menuju kepada penguatan ketahanan pangan
sudah cukup banyak. Berbagai kebijakan dan program di sektor pertanian sudah dilakukan dalam
upaya meningkatkan hasil produksi pertanian, seperti pemanfaatan benih unggul, penyediaan pupuk
dan obat-obatan hingga pengolahan lahan pertanian. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah
merealisasikan anggaran belanja dalam kurun waktu 2005-2010 yang terus meningkat rata-rata 25,1
persen per tahun, yaitu dari Rp 2,7 dalam tahun 2005 dan menjadi Rp 8,2 triliun (0,1 persen terhadap
5
PDB) dalam tahun 2010. Porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian terhadap total belanja
Kementerian/Lembaga Pemerintah Indonesia, meningkat sebesar 0,1 persen, yaitu dari 2,2 persen
dalam tahun 2005 menjadi sebesar 2,3 persen dalam tahun 2010 (Departemen Keuangan, 2010).
Perkembangan realisasi subsidi di bidang pangan meliputi subsidi raskin yang meningkat dari Rp 6,4
triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 13,0 triliun pada tahun 2009 atau sebesar 0,2% dari PDB. Subsidi
pupuk juga terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 48,8% dari sebesar Rp 2,5 triliun menjadi
Rp Rp 18,3 triliun pada periode tahun 2005 – 2010. Demikian juga, terdapat peningkatan alokasi
subsidi benih yang cukup besar yaitu dari Rp 0,1 triliun menjadi Rp 1,6 triliun pada periode tahun
2005 – 2009 atau alokasi subsidi benih tumbuh rata-rata 72,7% per tahun.
Peningkatan porsi alokasi anggaran belanja Kementerian Pertanian selama kurun waktu 2005-
2010, masih tetap berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Yaitu dalam bentuk
penciptaan lapangan kerja terutama di perdesaan, dan pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan
ketahanan pangan nasional. Tingkat ketersediaan pangan minimal 90 persen dari kebutuhan domestik,
hal ini untuk mengamankan kemandirian pangan. Akan tetapi, persoalan pertanian tidak sebatas pada
aktivitas budidaya semata. Persoalan yang paling mendasar adalah ketersediaan lahan dan
infrastruktur pertanian. Dari sisi infrastruktur pertanian, diketahui bahwa sebagian besar jaringan
irigasi dalam kondisi yang kurang baik. Padahal pada tahun 2011, alokasi anggaran untuk pengelolaan
sumberdaya air mencapai Rp 6,3 triliun, sedangkan program penyediaan dan pengembangan sarana
dan prasarana pertanian sebesar Rp 2,7 triliun. Meskipun, jaringan irigasi terus mengalami
peningkatan dari tahun 2005 – 2009, namun menurut Nainggolan (2009) masih ada sekitar 22,4
persen jaringan irigasi yang rusak. Kondisi ini tentu saja mengurangi kapasitas sektor pertanian
dalam meningkatkan hasil produksi. Disamping ketersediaan lahan, infrastruktur usahatani merupakan
isu penting untuk meningkatkan produktivitas pertanian .
Persoalan lain yang selalu menjadi masalah klasik di sektor pertanian, adalah kondisi kemiskinan
di tingkat petani perdesaan masih cukup tinggi. Data statistik menunjukkan dari jumlah 30,018 juta
penduduk miskin Indonesia pada tahun 2011, sebanyak 18,900 juta di antaranya adalah penduduk
miskin yang tinggal perdesaan. Penurunan laju penduduk miskin di perdesaan juga lebih lambat
daripada di perkotaan, dimana persentase penduduk miskin di perkotaan hanya ada 9,23%, sedangkan
di perdesaan ada sebesar 15,72% penduduk miskin. Padahal, sektor pertanian masih menjadi mata
pencaharian utama bagi sekitar 41.611.840 penduduk yang tinggal di perdesaan, dan sektor pertanian
ini telah memberikan kontribusi sebesar 39,68% dari total 104.870.663 penduduk yang bekerja.
Apabila upaya peningkatan pembangunan sektor pertanian tidak menyentuh persoalan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak akan merubah kondisi kemiskinan di perdesaan.
Sehingga, penduduk miskin di perdesaan yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian akan
6
tetap menjadi kaum marginal dan seringkali terabaikan oleh intervensi program dan bantuan
penanggulangan kemiskinan. Padahal, kondisi kemiskinan dapat memengaruhi ketahanan pangan
apabila dikaitkan dengan kemampuan daya beli masyarakat miskin dalam mengakses kebutuhan
pangannya. Karena, konsumsi pangan secara umum merupakan pengeluaran terbesar dari rumah
tangga di wilayah perdesaan yang rata-rata mencapai 58,57% dari total pengeluaran rumah tangga.
Khususnya untuk konsumsi padi-padian, rumah tangga di perdesaan harus menyediakan 13,25% dari
total pendapatannya untuk membeli komoditi pangan ini. Kondisi demikian menunjukkan terjadinya
ketergantungan yang tinggi terhadap konsumsi pangan padi-padian telah menyebabkan besarnya
alokasi pendapatan rumah tangga. Pada tingkat nasionalpun negara Indonesia sangat tergantung
kepada sumber pangan karbohidrat seperti beras dan gandum/tepung terigu. Kondisi itu dibuktikan
dengan upaya melakukan impor pangan karbohidrat beras secara berkesinambungan yang melebihi
kuota yang ditetapkan pemerintah, yakni lebih dari 62%. Ketergantungan negara akan pangan beras
ini, merupakan cerminan dari pola konsumsi pangan masyarakat (foodhabits) yang cenderung ke
beras, padahal sumber pangan non beras masih melimpah ruah, seperti ketela, ubi jalar, jagung, kedele
dan umbi-umbi lainnya. Menyikapi kondisi demikian, pemerintah berupaya mendorong diversifikasi
pangan untuk mengurangi beban konsumsi pangan karbohidrat kepada komoditi pangan lain yang
lebih murah dan terjangkau.
Ketergantungan terhadap beras tidak hanya dialami oleh Indonesia, seperti disinyalir oleh
Food Agriculture Organisation (FAO), beras adalah salah satu pangan kunci di dunia dan dimakan
oleh sekitar 3 miliar orang setiap harinya. Sedangkan di Asia, beras merupakan makanan pokok untuk
sekitar 600 juta penduduk.3 Lebih dari 60 persen penduduk dunia atau satu milyar orang yang tinggal
di Asia tergantung pada beras sebagai makanan pokok dan hidup dalam kemiskinan serta kekurangan
gizi.4 Oleh karena itu, jika terjadi penurunan produksi padi, maka berarti akan lebih banyak orang
tergelincir ke dalam jurang kemiskinan dan kelaparan. Jika Indonesia mampu melakukan diversifikasi
pangan tentu akan mengurangi konsumsi beras antara 90 sampai 100 kilogram per kapita per tahun.
Selama ini, konsumsi beras rata-rata mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Thailand produksi
beras sebanyak 20 juta ton, namun konsumsi beras hanya 70 kilogram per kapita per tahun. Begitu
pula negara Vietnam produksi beras sebanyak 17 ton, namun kebutuhan konsumsi hanya 90 kilogram
per kapita per tahun.
Padahal pada tahun 2007 konsumsi beras di Indonesia masih sekitar 139,15 kg/kapita/tahun.
Jadi selama tiga tahun saja, konsumsi beras per kapita per tahun mengalami kenaikan sebesar 8 kg.
3 Ahmad Taufiqurrakhman - Okezone , 10 Agustus 2010. 4 Sumber: Ruddabby.files.wordpress.com/2010/8.
7
Sementara prediksi data tingkat kebutuhan lahan/beras untuk tahun 2007-2030 menurut Direktorat
Jendral Pengelolaan Lahan dan Air mengalami penurunan, yakni sebagai berikut.
Gambar 2. Tabel Prediksi Kebutuhan beras dan Lahan pada tahun 2030
Tahun Jumlah Penduduk Kebutuhan Beras Kebutuhan lahan
2007 220 juta 32,96 juta ton 11,6 juta hektar
2030 425 juta 59 juta ton 23,4 juta hektar
Kekurangan 26,04 juta ton 11, 8 juta hektar
Sumber: James, 2007, Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan dan Air.
Berbagai persoalan yang ada di sektor pertanian tentu saja akan berpengaruh pada tingkat
ketahanan pangan nasional. Undang-undang No. 7/1996 tentang Pangan secara eksplisit menjelaskan,
bahwa persoalan ketahanan pangan tidak harus tergantung pada kondisi kemampuan penyediaan
pangan dalam negeri dalam pemenuhan kebutuhan pangan. UU No. 7/ 1996 tentang Pangan
mendefinisikan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga,
namun UU ini tidak menyebutkan ketentuan yang mengharuskan pemerintah untuk menyediakan
pangan dari hasil produksi dalam negeri. Maka dari itu, tidak mengherankan jika kemudian
pemerintah lebih suka memecahkan persoalan kekurangan stok pangan dengan cara membuka
peluang impor komoditi pangan. Terlebih lagi, harga beberapa komoditi pangan impor memiliki harga
yang lebih murah daripada melakukan pembelian komoditi pangan dari produsen (baca= petani) lokal.
Padahal, ketergantungan terhadap pangan impor yang semakin besar sebenarnya tidak bisa dikatakan
sebagai suatu kondisi ketahanan pangan yang baik. Kondisi ini, sebenarnya hanya memberikan
kondisi ketahanan pangan yang semu karena negara menjadi rapuh oleh ketergantungan impor pangan
yang dapat berfluktuasi sewaktu-waktu, ketika terjadi gejolak produksi pangan dunia. Implikasinya,
akan sangat memengaruhi kondisi ketahanan pangan apabila terjadi perubahan harga yang tidak dapat
terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Oleh karena itu, desakan terhadap perbaikan pembangunan ketahanan pangan yang diarahkan
pada upaya pencapaian kedaulatan pangan menjadi semakin mengemuka dalam beberapa tahun
terakhir. Pembangunan ketahanan pangan harus diarahkan pada upaya peningkatan kemandirian
pangan sebagai langkah transisi menuju kepada tercapainya kedaulatan pangan. Pemerintah melalui
Kebijakan dan Strategi Pangan 2010-2014 sudah menyebutkan adanya pengembangan diversifikasi
pangan dan memantapkan ketahanan pangan melalui pendekatan yang komprehensif, yaitu :
1) Menjamin ketersediaan pangan berbasis produksi dalam negeri
2) Peningkatan produktivitas melalui insentif bagi petani
Acer
Sticky Note
8
3) Pertanian modern, efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan
Kebijakan di atas secara implisit sebetulnya sudah mengarah pada upaya penguatan ketahanan pangan
yang berbasis kemandirian dan diversifikasi produksi dalam negeri, dan penciptaan iklim usaha tani
yang kondusif, serta mempertahankan keberlanjutan pembangunan pertanian. Oleh karena itu,
seharusnya paradigma ketahanan pangan yang kuat tidak lagi sekedar untuk mencapai kondisi
terpenuhinya kebutuhan pangan semata. Tetapi, juga harus di arahkan kepada pemenuhan kebutuhan
pangan secara mandiri berbasis sumber pangan lokal, dan melalui penciptaan iklim usaha tani yang
kondusif, serta dapat mensejahterakan petani.
Selain itu, kondisi ketahanan pangan dan kemandirian pangan seharusnya tidak hanya sekedar
memberikan gambaran makro dari kondisi pangan di Indonesia, tetapi harus secara nyata
menggambarkan kondisi mikro hingga di tingkat pelaku rumah tangga. Tentu saja kedaulatan pangan
secara mutlak tidak akan dapat dipenuhi oleh Negara manapun ketika sebuah Negara tidak mampu
menghasilkan semua jenis komoditi pangan, karena adanya keterbatasan potensi sumberdaya
pertaniannya. Namun demikian, upaya mencapai kemandirian pangan merupakan langkah penting
untuk mencapai kondisi ideal dari kedaulatan pangan. Kemandirian pangan untuk memenuhi
kebutuhan pangan domestik dapat dicapai dengan cara mengurangi atau meminimalkan
ketergantungan akan pangan impor.
Membangun ketahanan dan kemandirian pangan menjadi sangat penting dan strategis, sebagai
penegasan atas upaya penyediaan pangan yang dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi
pangan berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Upaya penyediaan pangan
dengan mengembangkan sistem produksi pangan, kelembagaan, dan budaya lokal tidak bisa
dipisahkan dari prinsip kedaulatan pangan itu sendiri. Menurut Food and Agriculture Organization
(FAO), kedaulatan pangan merupakan hak untuk memiliki pangan secara teratur, permanen dan bisa
didapatkan secara bebas, baik secara cuma-cuma maupun membeli dengan jumlah dan mutu yang
mencukupi, serta cocok dengan tradisi-tradisi kebudayaan rakyat yang mengkonsumsinya.
Maka dari itu, muncul kritik atas konsep ketahanan pangan yang dilontarkan oleh pemerintah
karena tidak dianggap mempertimbangkan kemampuan sebuah negara untuk memproduksi dan
mendistribusi pangan utama secara adil kepada rakyatnya. Dan, konsep ini dinilai telah mengabaikan
realitas sosial yakni semakin meluas dan limpah ruahnya ekspor produk pertanian murah dan
bersubsidi tinggi ke negara-negara terbelakang. Praktek ini cendrung dibiarkan, bahkan didorong atas
nama perdagangan bebas ataupun liberalisasi sektor pertanian yang disokong penuh oleh negara-
negara maju. Kondisi demikian, berpengaruh pada pemahaman kedaulatan pangan yang seharusnya
diartikan menjunjung tinggi hak masyarakat sebagai satu kesatuan untuk memproduksi,
mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan pangan diatas semua kepentingan lain. Kedaulatan
pangan seharusnya memberikan keleluasaan kepada petani selaku produsen untuk menentukan pilihan
9
secara mandiri dan tanpa paksaan dalam mengembangkan ketahanan dan kemandirian pangan sesuai
dengan kapasitas dan potensi sumber daya pertanian lokal yang dimilikinya, sehingga petani mampu
meningkatkan produksi dan kesejahteraannya. Peran pemerintah tentu saja tetap dibutuhkan sebagai
regulator dan fasilitator kebutuhan di sektor pertanian melalui berbagai instrument kebijakan, regulasi,
dan program pangan yang mendukung upaya kedaulatan pangan tersebut. Tetapi yang terjadi
kebalikannya, kedaulatan pangan untuk pemenuhan ketahanan pangan diartikan dengan cara
melakukan impor pangan.
Dua analisis di bagian bawah ini merupakan kajian yang dilakukan Tim PMB-LIPI, pertama
dilakukan pada kurun waktu 20089 dalam bentuk riset aksi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dan
kedua pada tahun 2009-20011 dalam bentuk penelitian di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur dan
Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Keduanya berupaya menganalisis penerapan kebijakan
ketahanan pangan untuk mencapai kemandirian pangan atau kedaulatan pangan di tingkat masyarakat.
Namun demikian, penting dicatat, upaya membangun ketahanan pangan di tingkat masyarakat melalui
pendirian lumbung pangan beras atau non beras tanpa terlebih dahulu mengatasi kemiskinan petani
adalah sesuatu pekerjaan yang sia-sia. Oleh sebab itu, yang dituju dalam riset aksi ini adalah
bagaimana menghilangkan lapisan buruh tani dan sekaligus membangun ketahanan pangan mereka.
Apa yang disajikan di bawah ini merupakan suatu pelajaran berharga dalam rangka
membentuk ketahanan pangan masyarakat melalui pembentukan bank pangan beras dan bank pangan
non beras di tingkat komunitas petani di perdesaan.
Model Bank Pangan Beras : Lesson Learned from Indramayu5
Transaksi jual-beli (sewa) pada lahan garapan adalah bentuk pasar lahan yang tidak sehat
karena menghasilkan bentuk monopoli dan percaloan lahan. Kasus yang terjadi di Indramayu
menunjukkan, bahwa untuk mendapatkan lahan garapan milik negara (tanah pangonan), masyarakat
petani harus melalui dua jenjang proses penyewaan, yaitu melalui calo dan pemilik modal. Sistem
sewa lahan sawah-tanah pangonan ini rupaya lebih menguntungkan penduduk yang memiliki modal
dan memiliki relasi dengan pemerintah daerah, dan mereka yang biasa mengikuti lelang tanah-sawah
pangonan walaupun sebenarnya mereka bukan bagian dari komunitas petani. Mereka tidak pernah
menggarap lahan sawah. Oleh sebab itu, sawah-tanah pangonan dari hasil lelang selanjutnya akan
dijual-sewa kepada petani penggarap. Sementara di lain pihak, petani penyewa sawah atau petani
penggarap tidak memiliki akses langsung ke pemenang lelang, maka petani penggarap harus membeli
atau menyewa lahan sawah garapan melalui sistem pencaloan. Proses untuk mendapatkan sawah
garapan dari tanah milik negara sangat panjang, kondisi demikian menyebabkan harga sewa di tingkat 5 Riset aksi yang dilakukan tim peneliti PMB-LIPI di Indramayu pada petani landless tahun 2008.
10
petani garapan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan harga sewa pada waktu pelelangan. Petani
penggarap memperoleh lahan sawah dengan harga mencapai 7 (tujuh) kali lipat dari harga lelang
(pada saat itu harga pasar tanah garapan/ pangonan sebesar 4.5 ton gabah/hektar/tahun). (lihat,
Gambar 2).
Gambar 3. Mata Rantai Proses Lelang Tanah Pangonan Di Indramayu.
Penguasaan lahan sawah di Indramayu dikenal dengan model penggarapan lahan sawah milik
negara (tanah pangonan). Untuk mendapatkan hak garap tanah negara ini dilakukan melalui sistem
lelang. Dan, penguasaan lahan sawah di kabupaten Indramayu sekitar 70% dimiliki oleh orang luar
desa, dimana sebagian dari mereka tidak menggarap sawah sendiri. Lahan persawahan yang tidak
digarap pada umumnya disewakan kepada orang lain dengan sistem bagi hasil (maro). Model sistem
penggarapan lahan yang kedua ini yang digunakan untuk membangun ketahanan pangan melalui
pengembangan kelembagaan bank pangan beras di tingkat masyarakat dengan target sasaran golongan
petani buruh atau petani landless.
Terkait dengan pengembangan bank pangan beras di kabupaten Indramayu, penguasaan lahan
menjadi faktor penentu ketahanan pangan masyarakat. Cara pandang seperti ini dirasa penting karena
sebagian besar lahan sawah dikuasai oleh pemerintah daerah Indramayu, namun demikian dalam
pengelolaannya atau penggarapan sawah tetap diberikan kepada masyarakat melalui sistem lelang.
Pemerintah daerah memberikan kesempatan kepada warga masyarakat petani untuk menyewa lahan
persawahan melalui sistem lelang yang digelar pada setiap musim tanam. Berangkat dari situasi
seperti itu, tim PMB-LIPI memutuskan untuk mengambil sikap sebagai fasilitator bagi buruh tani,
Proses Lelang Tanah garapan
Pemda Kabupaten
Pemilik Modal/Pemenang Lelang
Calo Penyewaan
Petani Penggarap/ Penyewa
11
yakni dengan cara menfasilitasi kaum buruh tani agar dapat ikut lelang penggarapan lahan sawah.
Ideologi yang coba dibangun oleh tim sebenarnya menginginkan pemerintah daerah dapat merespon
golongan miskin petani melalui sistem lelang garapan sawah tersebut.
Pengembangan kelembagaan masyarakat petani untuk mencapai ketahanan pangan, berangkat
dari idiologi “keberpihakan kepada kelompok petani miskin perdesaan”, dengan cara mengangkat
petani golongan miskin melalui pemanfaatan sistem lelang lahan sawah. Pendekatan ini
dikembangkan, dengan alasan bahwa golongan petani miskin tidak dapat mengikuti sistem kontrak
sewa-menyewa lahan pertanian dengan pemerintah daerah. Karena petani miskin memiliki
keterbatasan, yakni mereka memiliki kesulitan penyertaan modal uang dimuka sebagai uang
pembayaran, yakni 8 (delapan) bulan sebelum penggarapan lahan dimulai. Selain itu, pendekatan
diambil dengan pertimbangan supaya dalam sistem lelang tanah milik negara ini hasilnya dapat
dinikmati oleh golongan terbanyak yakni petani miskin di pedesaan. Karena, selama ini sistem lelang
hanya dinikmati golongan penduduk ber modal dan yang memiliki akses kepada pemerintah daerah.
Lagi pula, para pemenang lelang tanah negara ini tidak langsung menggarap sendiri lahannya,
melainkan disewakan kembali kepada warga lain dengan harga sewa sawah milik pribadi, yang
harga sewanya jauh lebih tinggi. Jadi dengan demikian, pemenang sewa tidak jauh berbeda dengan
”makelar” yang mendapat keuntungan besar dari sistem lelang lahan pertanian milik negara tersebut.
Tujuan utama yang hendak dicapai dalam riset aksi membangun kelembagaan pangan beras adalah
untuk mengtransformasikan posisi buruh tani menjadi petani penggarap.
Membangun bank pangan beras di tingkat komunitas petani miskin, diawali dengan cara
memberikan modal kepada buruh tani miskin (landless) sebagai modal penyertaan untuk mengikuti
lelang sawah. Dari Lahan sawah yang berhasil disewa, kemudian diberikan dan dibagikan kepada
rumahtangga buruh tani. Syaratnya, setiap buruh tani harus mau bekerja secara bergotong rotong
dalam penggarapan sawah, mulai dari pengolahan sawah sampai pasca panen dan lahan sawah harus
digarap secara bersama-sama dan bergantian. Membangun ketahanan pangan di tingkat masyarakat
melalui pendirian lumbung pangan tanpa mengatasi kemiskinan petani terlebih dahulu adalah sesuatu
hal yang sia-sia. Oleh sebab itu, yang dituju dalam riset aksi ini adalah bagaimana menghilangkan
lapisan buruh tani dan sekaligus membangun ketahanan pangan mereka.
Lumbung pangan dibentuk untuk mengatasi kerawanan pangan, terutama pada musim
paceklik. Pendirian lumbung pangan dilakukan dengan cara menyisihkan hasil panen secara kolektif.
Pertama-tama, setelah buruh tani memperoleh lahan sewa dari pemerintah, pangonan, dilakukan
penggarapan sawah secara komunal dan kemudian hasil panen secara kolektif itu akan disisihkan
sebagian untuk lumbung pangan. Pendekatan komunal dalam penggarapan lahan sawah dan
pembentukan lumbung pangan ini dianggap lebih efektif daripada pendekatan yang melihat petani
12
sebagai individu. Karenanya, dalam pendekatan individu seringkali kita melupakan konteks sosial
petani.6 Oleh sebab itu, dalam membangun ketahanan pangan masyarakat difokuskan pada perubahan
status sosial petani buruh menjadi petani penggarap, sehingga terjadi mobilitas sosial vertikal yang
merupakan syarat utama terciptanya ketahanan pangan.
Gambar 4. Konsep Pengembangan Bank Pangan
Kelembagaan pangan yang dibangun dalam riset aksi ini memerlukan input-input antara lain: (1)
rencana permodalan (termasuk rencana untuk kredit pangan dan sewa lahan), (2) pembentukan
kepengurusan, (3) penentuan keanggotaan (jumlah KK yang bisa terlibat menurut luasan lahan), (4)
pembentukan organisasi bank pangan, dan (5) pembuatan analisis perkiraan kecukupan pangan dan
proyeksi pertumbuhan lahan. Modal yang disediakan dalam pembentukan bank pangan pada riset aksi
ini sebesar Rp. 40 juta yang rincian alokasi anggarannya, sebagai berikut :
Gambar 5.Tabel Penyertaan modal awal
6 Kebijakan untuk mengatasi ketahanan pangan melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah, misalnya Kredit Usaha Tani (KUT), Bantuan Tunai Langsung (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan lain-lainnya seringkali menggunakan individu sebagi obyek sasarannya. Kebijakan publik yang berlandasakan asumsi bahwa individu mengambil keputusan berdasarkan perhitungan rasional yang menguntungkan dirinya. Disini, individu diamsumsikan sebagai atom yang terisolasi dan tidak terpengaruh lingkungan sosial sekitarnya. Karena itu, fokus kebijakan publik adalah memberi insentif dan informasi yang membantu keputusan individu (Robi Muhamad, 2008).
Program Riset Aksi LIPI
Sosialisasi
Petani Kecil/Buruh Tani
Pelaksanaan Program : Pengolahan lahan Penyaluran kredit
Tambahan Pendapatan Petani
Ada Cadangan Pangan
Kecukupan pangan
Ketahanan pangan
13
No. Uraian Anggaran (Rp) Alokasi Anggaran (Rp)
1. Modal Awal 40.000.000.- 13.200.000 2. Kredit sewa lahan 12 ha/tahun 12 x 1.100.000 12.200.000 3. Kredit saprotan/2 musim 12 x 2 2 550.000 3.600.000 4. Kredit teknologi/hama - - 5. Kredit pangan - - 6 Lain-lain 1.000.000
Jumlah 40.000.000 40.000.000
Kepengurusan bank pangan didesain meliputi 5 orang dewan pengurus yang diambilkan dari
unsur tokoh masyarakat, perangkat desa dan wakil peneliti, 3 orang yang masing-masing berperan
sebagai ketua/menejer bank pangan, sekretaris, dan petugas operasional untuk pengadaan dan
distribusi, dan 2 orang koordinator lapangan (korlap) untuk menangani kredit lahan, pangan dan
saprotan. (lihat, Bagan ). Pengurus tidak diberikan gaji, tetapi berhak menerima insentif. Sistem
insentif yang diberikan sebagai berikut :
1. Dewan pengurus diberi insentif sebear 2,5 % setiap akhir musim panen diambil dari penerimaan
bank pangan (=50% hasil panen) yang dialokasikan untuk cicilan kredit sewa lahan dan saprotan,
setelah dikurangi jumlah yang disisihkan untuk perluasan kredit lahan dan saprotan sebesar 1 ton
GKP (setara 666,67 kg beras) per hektar.
2. Sedengkan pengelola bank pangan (diluar dewan pengurus) secara bersama diberikan insentif
sebesar 2,5% setiap bulan dari jumlah komoditas yang telah disalurkan sebagai pinjaman pangan.
Selain itu, pengelola juga berhak menerima 2,5% dari penerimaan cicilan kredit sebagaimana
tersebut pada point 2.
Gambar 6. Struktur Organisasi Bank Pangan
Dewan Pengurus & PMB LIPI
Instansi Teknis Terkiat
Manajer Pendamping Lembaga Keuangan
Koor. Pengadaan
Seksi Lahan & Pangan
Sekretaris
Seksi Saprotan
Kelompok Tani
14
Warga desa yang berhak menjadi anggota bank pangan adalah kepala keluarga buruh tani dan
petani kecil yang mempunyai lahan garapan kurang dari 0.1 hektar. Setiap anggota bank pangan
bersedia dikenakan iuran wajib sebesar Rp. 1000/bulan untuk penambahan modal dana bergulir atau
biaya operasional bank pangan. Dari proses pendaftaran dan seleksi yang dilakukan di kabupaten
Indramayu, terkumpul 48 kepala keluarga petani peserta bank pangan. Jumlah ini tentu bertambah
sejalan dengan perkembangan modal.
Komoditi yang menjadi prioritas dalam pengadaan pangan adalah padi, beras, jagung, gaplek,
kentang dan ubi, disesuaikan dengan kebiasaan makan (food habits) setempat. Sementara itu,
pengadaan pangan dilakukan dengan cara membeli kelebihan padi atau beras dari hasil panen para
anggota setempat, DOLOG, dan pihak lainnya dengan harga patokan pemerintah, serta dari setoran
cicilan kredit di akhir musim panen. Persedian awal untuk disalurkan sebagai kredit pangan sebesar
Rp. 10.000.000 yang dikonversikan dalam bentuk natura (sekitar 5 ton gabah kering giling atau 3.333
kg beras) .
Gambar 7. Konsep Kredit Sewa Lahan
Box. 1. Konsep Kredit Sewa Lahan
Asumsi :
1 Ha sawah/musim tanam = 4.000 kg Gabah Kering Giling (GKP) Konsumsi/kapita/tahun = 133 kg beras Harga beras 1 kg (HET Bulog) = Rp. 3.150 (K. 5 Sept. 98) Harga GKP 1 kg ( pasar lokal) = Rp. 1.800 Konversi 1 Kg GKP = 2/3 kg beras 1 KK = 5 jiwa 1 tahun = 2 kali musim tanam padi Hasil produksi per hektar dari lahan sewa didistribusikan seperti berikut :
o 50% atau minimal 2 ton GKP = dibagikan untuk konsumsi dan tambahan pendapatan kelompok tani o 50% sisanya = disetorkan ke bank pangan untuk pemberdayaan kelompok (pengembalian pinjaman
pangan /tabungan untuk perpanjangan sewa lahan dan saprotan bagi modal awal bagi kelompok baru, dan tambahan pendapatan bank pangan.
Dari 50% hasil produksi yang disetor untuk pemberdayaan/ musim/ha dikenakan potongan untuk perluasan bank pangan, yakni keperluan penambahan kredit lahan dan saprotan sebesar 1.000 kg GKP = 666.67 kg beras/ha
Dari setiap penerimaan setoran potongan untuk perluasan bank pangan, sebesar 15% nya dialokasikan untuk penambahan stok pangan kredit pangan, sedangkan sisanya digunakan untuk perluasan sewa lahan dan tambahan saprotan serta pembayaran 2.5% untuk anggota dewan pengurus, dan 2.5% untuk para pengelola.
Kecukupan saprotan/ha/musim = Rp. 550.000,- Harga sewa tanah/tahun = Rp.1.100.00.-
15
Prinsip penyaluran kredit pangan diberikan kepada anggota yang mempunyai kebutuhan
mendesak untuk kebutuhan pangan. Pinjaman diberikan dalam bentuk beras atau padi, jagung, gaplek,
ubi disesuaikan dengan kebiasaan makan masyarakat. Setiap anggota dapat meminjam setara dengan
30 kg beras (50 kg gabah kering giling). Anggota dapat meminjam dengan batas maksimum selama 2
bulan berturut-turt hingga mencapai total pinjaman setara dengan eras 60 kg (100 gabah kering
giling). Pinjaman harus dikembalikan dalam jangka waktu satu musim tanam (4 bulan) atau pada saat
musim panen. Mekanisme peminjaman dilakukan melalui kelompok, koordinator lapangan dan
manajer bank pangan. Untuk menegakkan disiplin keanggotaan, dalam setiap pengembalian pinjaman
menggunakan sanksi berbentuk tanggungjawab renteng.
Bank pangan juga dapat melakukan penjualan stok yang dianggap berlebihan untuk dijual ke
luar, hal ini dilakukan apabila terjadi tingkat peminjaman anggota rendah. Hasil keuntungan dari
penjualan stok ini dibagikan sebesar 25 % kepada pengelola bank pangan, sisanya 75% untuk
menambah modal dana bergulir, yang antara lain digunakan untuk pembelian stock pangan.
Tabel 8. Hasil Produksi Padi Kelompok Tani
Lembaga Ketahanan Pangan dalam Satu Tahun
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
KG
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
Kelompok
MT RendengMT Gadu
Taksiran semula didasarkan pada cara pengukuran (kubikan) secara random oleh petugas Dinas
Pertanian Indramayu, jumlah hasil produksi padi rata-rata yang dihasilkan per hektar sawah adalah 6
ton gabah. Namun, ternyata hasil panen menunjukkan kenaikan sekitar 7 ton gabah terutama di musim
rendeng, sementara pada musim gadu, hasil panen berkurang. Namun secara keseluruhan, perolehan
16
hasil panen cukup berhasil, terutama apabila dibadingkan dengan produksi padi petani non-binaan
LIPI yang rata-rata hanya mengasilkan 4.5 ton gabah. Secara rinci perkembangan hasil panen dan
pertumbuhan kelompok tani selama kurun waktu tiga kali musim panen yang terlihat pada tabel 7 dan
8 dibawah ini.
Grafik/Tabel 9
Perkembangan Jumlah Kelompok Tani dan Hasil Produksi Padi Lembaga Ketahanan Pangan
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
KG
I II IIIIV V VIVIIVIIIIX X XIXIIXIIIXIVXVXVIXVII
XVIII
Kelompok
MT Rendeng IMT Rendeng II
Tabel 10. Perkembangan Pendapatan Kelompok Tani
Lembaga Ketahanan Pangan
17
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Rp. 1000
I II III IV V VIVIIVIIIIX X XIXIIXIIIXIVXVXVIXVII
XVIII
Kelompok
MT Rendeng I MT Gadu MT Rendeng
Model Bank Pangan Non Beras : Sebuah Usulan Untuk Mengembalikan Sistem
Pangan Lokal
Kekuatan negara untuk menentukan kebijakan swasembada beras di seluruh daerah di
Indonesia pada tahun 70-an secara perlahan telah merubah kebiasaan masyarakat dari pangan non
beras menjadi pangan beras. Namun demikian, dari penelitian terdahulu (PMB-LIPI, 2009) ternyata
menggambarkan bahwa tidak semua masyarakat secara serta merta beralih ke pangan beras. Karena
pola konsumsi pangan non beras atau foodhabits merupakan bagian dari kebiasan sosial budaya
masyarakat yang terjadi secara turun-menurun. Masih bertahannya pola konsumsi pangan non beras
juga dipengaruhi oleh tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang tidak sama, terutama di daerah
bukan penghasil beras. Dalam hal mana, tidak semua masyarakat mampu membeli beras, oleh karena
itu ada sebagian masyarakat yang membeli beras yang digunakan sebagai bahan campuran. Oleh
sebab itu, dengan kondisi seperti ini terbentuk “pola konsumsi pangan yang adaptif “ yaitu pangan
campuran dalam bentuk nasi jagung campur nasi beras atau nasi tiwul campur beras. Oleh karena itu,
pola konsumsi pangan non beras dalam bentuk pangan campuran tidak menghilang walaupun beras
kini telah menjadi makanan pokok, hal ini terkait dengan berlakunya foodhabits.
Sementara itu, saat ini beredar suatu pandangan bahwa untuk mencapai ketahanan pangan
dapat dilakukan dengan cara melakukan peningkatan produktivitas hasil pertanian, yakni dengan cara
memperkenalkan jenis varietas unggul sehingga nantinya petani memperoleh peningkatan
pendapatan. Melalui peningkatan pendapatan tersebut, petani diharapkan dapat membeli kebutuhan
pangan mereka, selain itu upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan cara melakukan impor
18
beras untuk mencukupi stock pangan nasional. Pandangan seperti ini tidak salah, tetapi upaya
membangun ketahanan pangan yang berdampak terhadap menghilangkan sistem pangan lokal dan
ketergantungan terhadap beras impor dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya rawan
pangan. Karena, ketergantungan terhadap impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam
jangka lama pada saatnya akan memicu munculnya gejolak sosial. Misal, permintaan beras impor
akan cenderung semakin meningkat seiring dengan tejadinya peningkatan jumlah penduduk,
meskipun produksi beras lokal menjadi melimpah ruah tetapi ada kecenderungan pemilihan terhadap
beras impor yang lebih murah dan bagus kualitasnya. Selain itu, produktivitas pertanian akan semakin
menurun dan lahan pertanian semakin sempit karena terjadinya polarisasi atas lahan-lahan pertanian.
Kondisi demikian menyebabkan social exclusion dimana terjadi marginalisasi buruh tani dari lahan
pertanian. Jika kondisi ini dibiarkan secara terus menerus akan mengindikasikan terjadinya
kerawanan dalam ketahanan pangan. Persoalannya, adalah bagimana meningkatkan produktivitas
pertanian tanpa menghilangkan sistem pangan lokal.
Upaya membangun sistem pangan lokal pada posisi demikian, merupakan rasionalitas pilihan
yang cukup masuk akal karena dapat menyelamatkan sistem cadangan pangan di tingkat masyarakat.
Pengembangan sistem cadangan pangan lokal dinilai dapat menjamin terpenuhinya pangan seluruh
warga desa dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu. Sistem cadangan pangan lokal ini penting,
terutama untuk mengantisipasi jika terjadi kelangkaan beras di pasar atau harga beras yang
melambung naik sehingga tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat. Sistem cadangan pangan lokal
dapat dilakukan dengan cara membangun lumbung pangan dalam bentuk kelembagaan bank pangan
dan melakukan pembudidayaan tanaman cadangan pangan sehingga dapat mengatasi ketahanan
pangan masyarakat di perdesaan.
Untuk membangun sistem pangan lokal, pertama-tama dibutuhkan kesadaran petani akan hak-
haknya untuk mandiri dengan cara mengembangkan bank pangan. Ini merupakan salah satu prinsip
dari kedaulatan pangan. Karena, membangun sistem pangan lokal berarti memperjuangan hak-hak
warga masyarakat untuk memiliki kedaulatan pangan. Oleh sebab itu, prinsip kedaulatan pangan
berbeda dengan ketahanan pangan yang tidak mempedulikan dari mana pangan diproduksi.
Kedaulatan pangan cenderung menjunjung tinggi hak setiap warga dan masyarakat lokal sebagai
satu kesatuan untuk memproduksi, mendistribusikan dan memenuhi kebutuhan pangan di atas semua
kepentingan lain, termasuk perdagangan. Namun demikian, konsep kedaulatan pangan itu sama
sekali tidak bertentangan dengan prinsip ketahanan pangan, keduanya justru saling mengisi. Karena
upaya membangun ketahanan pangan tanpa diikuti dengan upaya meneggakkan kedaulatan pangan
akan melahirkan persoalan sosial baru, seperti ketergantungan akan beras impor dan rendahnya
produktivitas petani.
Beberapa prinsip kedaulatan pangan adalah sebagai berikut :
19
Menghormati dan memperkuat kearifan tradisional serta pengetahuan lokal dalam memproduksi
pertanian pangan lokal sebagai landasan sistem produksi pangan berkelanjutan.
Pengakuan dan penghormatan terhadap budaya yang khas dalam memilih dan mengkonsumsi
pangan serta hak untuk menentukan sendiri apa yang akan dimakan dalam jumlah yang cukup,
bergizi, dan aman .
Rakyat desa berdaulat dalam menentukan kebijakan dan strategi produksi, distribusi dan konsumsi
pangannya sendiri, terutama untuk memprioritaskan peningkatan produksi anekaragam pangan
dalam rangka pemenuhan pangan seluruh warga desa itu sendiri.
Keluarga miskin dan kurang pangan yang ada di desa mendapat prioritas untuk mengakses
berbagai sumber produktif (tanah, air, hutan, teknologi, benih dan permodalan).
Apa itu kelembagaan pangan non beras ?
Kelembagaan pangan non beras adalah suatu forum yang terdiri dari unsur-unsur
kelembagaan yang berada di supra komunitas, yakni Dewan Kedaulatan Pangan yang anggotanya
berasal dari tokoh-tokoh petani. Dewan Kedaulatan Pangan ini selalu melakukan koordinasi dengan
unsur pemerintahan, antara lain para kepala desa, PPL dan pejabat pemerintah di bidang pertanian.
Posisi Dewan Kedaulatan Pangan berada di wilayah kecamatan, dan mempunyai tugas untuk
mengarahkan organisasi bank pangan non beras di dalam merumuskan program dan kegiatan bank
pangan non beras, yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, dan konsumsi, serta
penganekaragaman pangan untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan masyarakat.
Dewan Kedaulatan Pangan ini harus sepenuhnya didukung oleh para tokoh masyarakat,
karena kelembagaan pangan memiliki visi dan misi penting, yakni berkehendak mengembalikan
sistem pangan lokal yang telah menghilang sejak diberlakukannya kebijakan swasembada beras.
Sementara itu, tujuan pengembangan kelembagaan pangan non beras adalah sebagai berikut :
Memberikan hak kepada petani untuk menanam jenis tanaman pangan lokal sesuai dengan
kearifan lokal;
Mempertahankan pola konsumsi pangan non beras yang masih dipraktekkan/eksis di masyarakat;
Membangun preferensi masyarakat terhadap konsumsi pangan lokal melalui kampanye publik
dan membangun gerakan sosial;
Melakukan pemurnian varietas tanaman pangan lokal (jagung manado kuning), perlindungan bibit
tanaman lokal dengan memanfaatkan lahan perkarangan rumah;
Mengembangkan produksi pangan lokal dengan pengaturan pola tanam;
Mendekatkan pasar tani dengan sentra produksi pangan non beras melalui penampungan produksi
pangan lokal dan pendistribusian kepada warga petani.
20
Gambar 11. Bagan Struktur Kelembagaan Bank Pangan Non Beras
Tingkat Kecamatan
Tingkat Desa
Tingkat Masyarakat : Garis Koordinasi/Konsultasi/Fasilitasi : Garis Pengendalian : Garis Pendampingan/Kerjasama
Secara skematis, ruang lingkup kegiatan kelembagaan pangan non beras dapat di lihat apada
gambar di bawah ini
Gambar 12. Elemen Model Kelembagaan Pangan Non Beras.
Dewan Kedaulatan Pangan Lokal
B ank Pangan Non Beras/Gaptoktan
Pengolahan Pasca Panen
Lumbung Pangan Non Beras
Kelompok Tani
Petani
Unsur Pemerintah (Kecamatan, PPL, Desa, dll)
Unsur Masyarakat (Tomagola, HKTI, KTNA,dll)
Mitra Pengembangan Pengusaha Lembaga Keuangan PT/LIPI
21
Di tingkat supra struktur, bank pangan akan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak guna
menjamin ketersediaan pangan non beras (produksi). Bank Pangan juga melakukan penyiapan
pengawasan cadangan pangan di tingkat rumah tangga dengan pengembangan kebun rumah tangga
yang melibatkan penyuluh/PPL, dan kepala desa. Selain di tingkat rumah tangga, bank pangan juga
menggarap cadangan pangan kebun kolektif yang bermitra dengan Perhutani atau dengan para
pemilik lahan luas yang bersedia meminjamkan lahannya. Oleh karena model kelembagaan pangan
difokuskan pada pangan non beras maka pola konsumsi ideal merupakan outcome kinerja
kelembangaan bank pangan dan ini merupakan indikator dari keberhasilan bank pangan. Pola
konsumsi pangan ideal disini bukan berarti kembali pada konsumsi nasi tiwul tetapi lebih pada
konsumsi nasi campur sebagai bagian dari pola adaptasi konsumsi pangan yang terbentuk di
masyarakat yang bukan pengkonsumsi nasi beras. Strategi ini sebagai mekanisme masyarakat
mendekatkan diri dengan akses pangan lokal yang mandiri dan memimalisasi kesulitan mengakses
beras serta sekaligus mengembalikan sistem pangan lokal.
Di tingkat masyarakat, kelembagan pangan berupa organisasi bank pangan non beras. Bank
pangan non beras adalah gabungan kelompok petani yang dibentuk dengan memanfaatkan
kelembagaan petani yang sudah ada, yakni GAPOKTAN [Gabungan beberapa Kelompok Tani].
Melalui revitalisasi GAPOKTAN, bank pangan non beras ini diharapkan dapat mengembalikan sistem
pangan lokal, dan kegiatan utamanya adalah membangun lumbung pangan non beras, pengolahan
22
pasca panen, dan kegiatan usaha tani lainnya dengan cara menerapkan prinsip kebersamaan dan
kemitraan sehingga tujuan kelembagaan bank pangan non beras dapat terwujud.
Gambar 13.Tabel Komponen Program dan
Kelompok Sasaran Kelembagaan Pangan Non Beras
Komponen Program Kelompok Sasaran Petani Kelompok
Tani Bank Pangan/
Gapoktan Mitra
Pengembang Mengembalikan cara pandang masyarakat terhadap pangan non beras
X X X X
Menampung produksi pangan non beras X X Mendistribusikan pangan lokal X X X Mendorong petani mengorganisasikan diri X X X Pengembangan dan pemanfaatan teknologi X X X Mendorong Pemda memiliki kemandirian pangan non beras
X
Bank Pangan Non Beras adalah lembaga yang menyatukan para petani secara horizontal,
dan dibentuk untuk membangun cadangan pangan non beras. Bank Pangan non beras dapat dibentuk
beberapa unit dalam satu desa. Bank Pangan ini, memiliki terbatas untuk memperkuat ikatan-ikatan
horizontal yakni ikatan keanggotaan yang memiliki aktivitas sama agar dapat terjalin kerjasama dan
kebersamaan. Sehingga suatu ketika, pada tahap selanjutnya dapat ditingkatkan menjadi organisasi
yang berbadan hukum, bersifat modern dan mandiri. Strategi Pengembangan Kelembagaan Bank
Pangan Non Beras adalah membangun preferensi masyarakat terhadap konsumsi pangan lokal dalam
rangka mengurangi tekanan konsumsi beras yang semakin tinggi, penguatan Gapoktan sebagai
Lembaga Bank Pangan Non Beras dalam upaya penyediaan pangan lokal non beras, serta
pengembangan Kemitraan Strategis antar pelaku (Kelompok Tani, Gapoktan/Bank Pangan, Dewan
Ketahanan Pangan, dan Mitra Pengembang) dengan menekankan pada proses pembangunan
kolaborasi dan sinergi dalam upaya mengembalikaan kedaulatan pangan.
23
CATATAN PENUTUP
Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan bank pangan beras maupun
nonberas untuk membantu orang miskin perdesaan dalam mengatasi kerawanan pangan. Pertama,
adalah ketersediaan tanah garapan. Harga sewa tanah garapan dipasaran yang setara dengan 4.5 ton
GKG (harga tahun 1998) terlalu mahal jika dikoversikan dalam bentuk rupiah. Karena itu, satu-
satunya harapan adalah mendapatkan tanah pemerintah daerah yang dikuasai negara (tanah
pangonan). Harga sewa tanah garapan lebih layak dibandingkan dengan harga sewa di pasaran.
Namun demikian, untuk mendapatkan tanah pangonan pun masih menghadapi tantangan. Tanah
garapan ini dalam kenyataannya dikuasai oleh pemilik modal (monopoli). Pemenang lelang tanah
pangonan selalu para pemilik modal. Pada posisi demikian, untuk mewujudkan program pemerintah
dalam bentuk ketahanan pangan dan mencapai kedaulatan pangan lokal, peran pemerintah daerah
sangat strategis pada proses pelalangan tanah pangonan. Pada proses lelang tanah negara tersebut,
pemerintah daerah harus lebih berpihak kepada para petani landless atau buruh tani dari pada kepada
pemilik modal. Karena sampai saat ini, sistem pelelangan tanah pangonan sulit ditembus oleh peserta
lelang di luar kelompok pemilik modal, kecuali dilakukan intervensi program pemberdayaan atau riset
aksi untuk memotong mata rantai proses lelang tersebut.
Kedua, kemandirian kelompok tampaknya sulit berkembang. Banyak faktor yang
mempengaruhinya, antara lain rendahnya pendidikan para anggota bank pangan dan tidak tersedianya
modal sosial (jejaringan sosial; gotong royong; rendahnya social trust; tidak adanya akses kepada
pemerintah untuk memiliki tanah garapan, baik dalam bentuk informasi dan daya tawar; faktor
kemiskinan; Sulit mendapatkan orang yang mampu menjadi pemimpin di kalangan mereka; dll) dan
modal kapital (penyertaan modal) dari para petani miskin. Gambaran bahwa masyarakat pedesaan
memiliki sifat kegotong-royongan terutama dalam pekerjaan pertanian tidak selalu benar, hal ini
dipengaruhi hilangnya pekerjaan gotong royong secara sosial dan budaya dalam membuka lahan dan
pengolahan lahan yang cendrung digantikan dengan natura. Jadi ada semacam perubahan dalam
tatanan kehidupan masyarakat perdesaan, dimana solidaritas organik yang seharusnya masih menjadi
ciri mereka telah berubah menjadi solidaridas mekanik yang cenderung didasarkan pada rasionalitas
uang. Di satu sisi, memang pendamping berhasil menjadi ”tokoh” yang dijadikan pantutan dalam
pelaksanaan program, tetapi pada sisi lain tidak ada orang muncul yang dapat dijadikan pemimpin di
kalangan mereka. Jadi, terjadi ketergantungan petani peserta program kepada pendamping (LIPI)
sangat tinggi.
Ketiga, mentalitas yang dimiliki para buruh tani menjadi persoalan tersendiri ketika mereka
berorganisasi. Pekerjaan buruh tani yang terbiasa bekerja dengan sistem upah harian (daily income)
menjadi faktor penghalang untuk menumbuhkan kesadaran baru, bahwa mereka harus bersabar
menunggu hasil dalam setiap musim panen. Oleh karena itu, upaya merajut kerjasama di antara buruh
24
tani untuk mendapatkan hasil bersama di kemudian hari masih menjadi kendala tersendiri. Upaya
inetrvensi dengan cara mengajak buruh tani untuk bersatu dan bersama untuk mengatasi kemiskinan
dengan cara membangun solidaritas sosial, terkendala pada tidak hadirnya ”tokoh panutan” yang
memiliki empati terhadap golongan miskin perdesaan. Sementara itu, keberadaan elit lokal
masyarakat di perdesaan (pemilik modal, petani kaya, dsb ) dan juga elit pemerintah daerah kurang
memberikan perhatian kepada lapisan buruh tani ini. Mereka lebih mementingkan diri sendiri.
Keempat, introduksi bibit unggul (jagung hibrida dan ubikayu) untuk memenuhi permintaan
pasar jika tidak hati-hati dilakukan akan membawa implikasi pada semakin berkurangnya produksi
bahan pangan lokal yang selama ini dianggap sebagai sumber cadangan utama pangan. Dimana,
cadangan pangan ini akan diperlukan, terutama ketika masyarakat kesulitan mendapatkan beras
karena harga beras yang melambung tinggi. Hilangnya tanaman pangan lokal dan kelangkaan beras
tidak hanya berpengaruh kepada ketahanan pangan, tetapi kemungkinan terburuk akan
menumbuhkan gejolak sosial di masyarakat. Karena itu, upaya membangun sistem pangan lokal sama
halnya dengan memberi kesadaran kembali kepada masyarakat akan pentingnya keberadaan sistem
cadangan pangan yang pernah berkembang di masyarakat jangan sampai hilang karena merupakan
benteng ketika menghadapi krisis pangan.
Berdasarkan beberapa catatan di atas, maka hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah
sebagai berikut:
a. Pengembangan kelembagaan lokal akan lebih berhasil apabila menggunakan institusi yang
ada atau pernah ada di masyarakat.
b. Rekruitmen anggota kelompok lebih diserahkan kepada mereka sendiri, hal ini untuk
menjamin agar modal sosial mudah terbentuk.
c. Jumlah anggota jangan terlalu besar. Semakin besar anggota semakin sulit membentuk
hubungan erat di antara anggota.
d. Seleksi terhadap tokoh masyarakat yang memiliki jiwa kepemimpinan dan mau berkorban
apabila ingin dilibatkan dalam kegiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Norman Uphhof. 1986. hal. 8. Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press.
Nainggolan, K. 2009. Isu-isu Kemiskinan dan Penguatan Ketahanan Pangan dalam Mengatasi Krisis Global, Makalah Disampaikan Di FGD P2E-LIPI, 15 – Oktober – 2009.
25
Osmet, 1999. ”Penanggulangan Kemiskinan Struktural pada Petani Sawah”. Makalah pada Seminar dan Lokakarya Penanggulangan Kemiskinan Struktural Pada Petani Sawah. Jogjakarta, 16-18 Desember 1999. Kerjasama P3K UGM-KIKIS-PERCIK
Sajogya, 1978. ”Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan Jawa”, Dalam Jurnal Prisma, No. 3, 1978, Jakarta: LP3ES.
Robi Muhamad, 2008. ”Masalah Kebijakan Publik”, dalam Kompas, Sabtu 14 juli 2008.
Ujud Tahajuddin dan Dede Wardiat, 2000. ”Survival Masyarakat Buruh Tani dan Petani Kecil dalam Mengupayakan Ketahanan Pangan”. Dalam Bungan Rampai Ketahanan Pangan masyarakat Melalui Penguatan Kelembagaan Sosial Lokal. Jakarta, Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI. 2000.
Departemen Keuangan, 2009. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 2010, Departemen Keuangan, Jakarta.
Departemen Keuangan, 2010. Nota Keuangan dan RUU APBN 2011, Departemen Keuangan, Jakarta.