1 Penerapan Kebijakan Keberlanjutan Kelapa Sawit Musim Mas Laporan Diagnostik Verifikasi Musim Mas di Provinsi Kalimantan Tengah – Indonesia 2018 RA-Cert Division Headquarters 65 Millet St., Suite 201 Richmond, VT 05477 USA Tel: 802-434-5491 Fax: 802-434-3116 www.rainforest-alliance.org Contact Person: Lita Natasastra Email: [email protected]Tanggal Final Laporan : 20 Agustus 2018 Disiapkan oleh : Tim Assurance Rainforest Alliance
48
Embed
Penerapan Kebijakan Keberlanjutan Kelapa Sawit Musim Mas · 2019-01-14 · tantangan untuk menuju prinsip-prinsip berkelanjutan yang menginformasikan perencanaan intervensi yang akan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Penerapan Kebijakan Keberlanjutan
Kelapa Sawit Musim Mas
Laporan Diagnostik Verifikasi Musim Mas di
Provinsi Kalimantan Tengah – Indonesia 2018
RA-Cert Division Headquarters 65 Millet St., Suite 201
Richmond, VT 05477 USA Tel: 802-434-5491 Fax: 802-434-3116
Note: *Persentase yang disajikan adalah persentase masing-masing jenis basis pasokan terhadap total volume TBS dari ke-enam PKS
Tingkat ketertelusuran pada setiap kategori pasokan dari resiko yang terendah hingga yang tertinggi:
1. Perkebunan sendiri, TBS berasal dari Perkebunan yang dikelola sendiri oleh organisasi. 2. Plasma, TBS berasal dari petani kecil yang memiliki kesepakatan dengan organisasi dalam hal program
perawatan dan / atau penanaman kembali Perkebunan. 3. Perusahaan perkebunan, TBS berasal dari perusahaan lain yang memiliki Perkebunan. 4. Petani mandiri, TBS berasal dari perkebunan besar atau petani kecil (yang tidak memiliki izin usaha
sebagai perusahaan).
10
5. Koperasi, TBS berasal dari sekelompok petani yang tergabung dalam asosiasi rakyat otonom yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
6. Agen, TBS berasal dari perantara yang membeli TBS dari sumber yang berbeda misal petani, koperasi atau perkebunan lainnya dan mengantarkan TBS ke pabriknya
Hasil analisa basis pasokan untuk enam PKS di Kalimantan Tengah menunjukkan basis pasokan
paling tinggi berasal dari Perkebunan Sendiri (55.98%), diikuti dengan pasokan TBS dari plasma
(15.60%); pasokan TBS dari Perusahaan Perkebunan (12.81%); pasokan TBS dari Petani Mandiri
(7.26%); pasokan TBS dari pemasok agen TBS atau pedagang (6.57%); dan pasokan TBS dari
Koperasi (1.78%). Sebagian besar pasokan TBS berasal dari perkebunan sendiri, yang menunjukkan
bahwa pasokan TBS di enam PKS dapat dilacak dan memiliki risiko rendah untuk ketertelusuran
TBS. Lima dari enam PKS memiliki perkebunan mereka sendiri, dan manajemen pabrik dapat
mengelola pasokan TBS, sehingga manajemen PKS memiliki posisi tawar yang lebih baik daripada
PKS dengan pasokan TBS yang sangat bergantung pada pemasok pihak ketiga. Satu pabrik yang
tidak memiliki persediaan perkebunan bergantung pada pasokan TBS dari petani dan agen.
2.4 Proses verifikasi lapangan
Verifikasi tingkat pabrik adalah penilaian berbasis lokasi terhadap kinerja pabrik kelapa sawit dan
basis pasokan TBS-nya terhadap satu set indikator. Proses verifikasi pihak ketiga dapat diringkas
dalam diagram di bawah ini:
Tujuan verifikasi adalah untuk mendokumentasikan kesesuaian dengan persyaratan Kebijakan
Keberlanjutan Musim Mas oleh PKS. Kegiatan ini bukan audit ataupun penilaian dengan hasil lulus
atau gagal. Sebaliknya, kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan rekomendasi untuk perbaikan
guna menutup ketidaksesuaian dan mencapai tingkat kinerja yang lebih baik.
Proses verifikasi dimulai dengan proses awal dimana PKS memberikan informasi tentang profil
dan operasi pabrik. Informasi ini dikaji dan diperiksa oleh tim verifikasi sebelum kunjungan
lapangan. Kunjungan lapangan dimulai dengan sebuah rapat pembukaan dan diakhiri dengan
rapat penutupan di lokasi PKS; semua personil terkait dan perwakilan manajemen diharapkan
menghadiri kedua rapat tersebut. Tim verifikasi menggunakan tiga pendekatan yang berbeda
untuk mengkonfirmasi pengamatan mereka: tinjauan dokumen, wawancara dan observasi
lapangan. Hasil observasi awal dipresentasikan dan didiskusikan dalam rapat penutup. Tim
Proses awal: • Melengkapi data
profil PKS
• Kajian dokumen
awal
• Jadwal Kunjungan
Kunjungan lapangan: • Rapat pembukaan
• Kajian dokumen
• Wawancara
• Observasi lapangan
• Rapat penutupan
Pelaporan: • Penyusunan laporan
• Pengkajian laporan
• Rencana perbaikan berkelanjutan
dan rekomendasi
11
verifikasi kemudian menyiapkan laporan verifikasi yang menyajikan hasil observasi dan rencana
tindakan yang direkomendasikan untuk perbaikan.
Indikator untuk verifikasi telah dikembangkan dari komitmen Keberlanjutan Musim Mas yang
dibagi ke dalam delapan prinsip berikut:
No Prinsip Indikator
1 Kepemilikan lahan dan legislasi 7 indikator
2 Deforestasi 6 indikator
3 Pembangunan di lahan gambut 3 indikator
4 Penggunaan api 1 indikator
5 Pengelolaan dampak lingkungan 3 indikator
6 Emisi gas rumah kaca (GRK) 2 indikator
7 Kepatuhan sosial 14 indikator
8 Rantai pasokan 5 indikator
TOTAL 41 indikator
2.5 Kategori hasil verifikasi
Hasil awal dari verifikasi adalah laporan yang mencakup semua observasi dari kunjungan
verifikasi. Proses verifikasi lapangan tingkat pabrik menghasilkan serangkaian observasi, yang
mengkategorikan kesesuaian dengan masing-masing indikator dengan menggunakan sistem
klasifikasi hasil berikut:
Compliance • Kesesuaian dengan indikator.
Minor non-
compliance
• Memiliki potensi untuk menurunkan performa terkait dengan persyaratan yang disebutkan dalam indikator; dan/atau
• Ketidaksesuaian yang berulang dalam batas rendah yang dapat memberikan dampak atau kemungkinan memberikan dampak terhadap performa PKS dan pemasok secara keseluruhan; dan/atau
• Dapat diselesaikan segera.
Major non-
compliance
• Ketidaksesuaian terhadap persyaratan legal; dan/atau
• Ketidaksesuaian yang sistemik dan berulang di batasan yang cukup tinggi dan memberikan dampak atau kemungkinan memberikan dampak terhadap performa PKS dan pemasok secara keseluruhan; dan/atau
• Berbahaya terhadap kehidupan dan kesehatan secara langsung.
12
2.6 Pemetaan prakarsa atau program tingkat kabupaten
Musim Mas telah memilih enam PKS di empat kabupaten prioritas Provinsi Kalimantan Tengah,
yakni: Gunung Mas, Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur dan Seruyan. Selain program
verifikasi yang dijelaskan di atas, Rainforest Alliance juga melakukan tinjauan berbasis desktop
untuk mengkaji inisiatif dan program yang sedang berlangsung dan direncanakan di empat
kabupaten prioritas tersebut. Tinjauan berbasis desktop ini dilakukan dengan mengumpulkan
informasi yang tersedia dari sumber domain public, informasi dari LSM, dan pencarian di Internet.
Tinjauan ini mengidentifikasi peluang kolaborasi untuk mengatasi masalah keberlanjutan di
wilayah tersebut tetapi informasi ini tidak dapat dianggap sebagai daftar lengkap dari semua
kemungkinan peluang kolaborasi di lapangan, karena beberapa inisiatif dan program lokal tidak
dijelaskan di sini. Peluang kolaborasi yang diidentifikasi harus dieksplorasi lebih lanjut oleh Musim
Mas untuk mengevaluasi apakah mereka memenuhi kebutuhan Musim Mas.
Dalam hal meningkatkan kinerja PKS terkait dengan pengelolaan basis pasokan TBS, PKS D dan PKS
F adalah prioritas utama, seperti yang ditunjukkan oleh persentase kesesuaian yang rendah
(5,6%), diikuti oleh PKS E (13,9%). PKS B dan PKS C menunjukkan persentase kepatuhan yang sama
(22,2%).
PKS A menunjukkan kesesuaian yang tinggi karena tidak ada agen di dalam rantai pasokannya, dan
PKS memiliki keterlibatan langsung dengan staf manajemen perkebunan di sepanjang rantai
pasokan mereka, termasuk plasma, staf perkebunan perusahaan dan petani independen. PKS A
mengkomunikasikan kebijakan keberlanjutan Musim Mas langsung kepada mitra dalam rantai
pasokan mereka.
Masalah Tematik Terkait Ketidaksesuaian dengan Prinsip Keberlanjutan Musim Mas
Dalam analisis manajemen pabrik dan basis pasokan, ketidaksesuaian tertinggi ditemukan dalam
emisi gas rumah kaca (prinsip 6), diikuti oleh ketidaksesuaian dalam deforestasi (prinsip 2),
pengelolaan dampak lingkungan (prinsip 5), kepemilikan lahan dan legislasi (prinsip 1),
pembangunan di lahan gambut (prinsip 3), kepatuhan sosial (prinsip 7), rantai pasokan (prinsip 8)
dan penggunaan api (prinsip 4).
17
Berdasarkan penilaian verifikasi yang dilakukan di enam PKS, isu tematik utama yang terkait
dengan ketidaksesuaian terhadap delapan prinsip keberlanjutan MM adalah sebagai berikut:
(i) Emisi gas rumah kaca (GRK) – prinsip 6
Ketidaksesuaian operasional pabrik dan pada lingkup pengelolaan rantai pasokan
mereka paling tinggi pada indikator emisi gas rumah kaca. Persentase ketidaksesuaian
dalam kebijakan GRK pada operasi pabrik kelapa sawit adalah 25%, sementara
persentase ketidaksesuaian pada pada lingkup pengelolaan rantai pasokan adalah 92%.
Tingkat ketidaksesuaian yang tinggi pada lingkup pengelolaan rantai pasokan adalah
karena semua pemasok pihak ketiga belum mengidentifikasi emisi GRK.
Sementara dalam lingkup operasional pabrik, lima dari enam pabrik telah
mengidentifikasi emisi GRK di perkebunan mereka sendiri, tetapi karena kebun inti
dianggap sebagai bagian dari basis pasokan PKS dan bukan bagian dari operasional
pabrik; oleh karena itu walaupun nilai kesesuaian kebun inti terhadap emisi GRK baik,
nilai ketidaksesuaian emisi GRK tinggi pada lingkup pengelolaan rantai pasokan. Lebih
spesifik, hasil verifikasi lapangan menunjukkan bahwa kesesuaian terhadap emisi gas
rumah kaca tinggi untuk pabrik dan kebun inti, tetapi emisi gas rumah kaca belum
menjadi perhatian bagi pemasok pihak ketiga, termasuk perkebunan perusahaan,
petani kooperatif dan petani independen. Empat dari enam pabrik telah
mengembangkan rencana aksi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di perkebunan
mereka dan dalam operasi mereka.
(ii) Deforestasi – prinsip 2
Indikator yang termasuk dalam kelompok deforestasi tidak dapat diterapkan pada
lingkup operasional pabrik, penilaian dan observasi hanya dilakukan pada lingkup
pengelolaan rantai pasok, termasuk di dalamnya adalah pengelolaan kebun inti oleh
manajemen PKS dan pemasok pihak ketiga. Ketidaksesuaian pada indikator
deforestasi terkait dengan identifikasi dan penilaian kawasan HCV dan HCS yang
belum diselesaikan oleh sebagian besar manajemen perkebunan sendiri dan pemasok
pihak ketiga. Beberapa PKS belum melakukan identifikasi HCV dan HCS di perkebunan
mereka sendiri dan perkebunan perusahaan induk mereka, tetapi mereka bermaksud
untuk melakukan identifikasi dan penilaian tersebut di kemudian hari sebagai bagian
dari kegiatan untuk menyelesaikan program sertifikasi keberlanjutan mereka.
Kebanyakan ketidaksesuaian pada indikator deforestasi ada ditemukan terhadap para
petani kecil, termasuk mereka yang terlibat dalam koperasi ataupun kelompok petani
atau yang bersifat individual. Pengetahuan mengenai deforestasi dan pendanaan yang
terbatas untuk penanaman kembali merupakan kendala bagi pemasok pihak ketiga
yang menyebabkan kegiatan penanaman harus dilakukan tanpa mempertimbangkan
hal penting dalam indikator deforestasi.
Di antara PKS yang telah mengidentifikasi HCV mereka, satu PKS tidak melakukan
pengelolaan HCV dan pemantauan di lapangan untuk melindungi daerah-daerah yang
18
ditentukan; sehingga ditemukan adanya area HCV yang masuk ke dalam area
penanaman petani plasma.
Dari penilaian PKS yang melakukan penanaman baru, hanya satu PKS yang
menerapkan Prosedur Penanaman Baru RSPO (NPP), yang telah disetujui oleh RSPO
dan telah melalui proses konsultasi publik.
(iii) Pengelolaan dampak lingkungan – prinsip 5
PKS yang tidak mematuhi pengelolaan dampak lingkungan dalam lingkup operasional
pabrik sangat rendah dibandingkan dengan lingkup pengelolaan rantai pasok.
Ketidaksesuaian Major diamati hanya di satu PKS, terkait dengan penyimpanan limbah
medis dari klinik. Beberapa PKS belum menerapkan manajemen limbah sesuai dengan
SOP perusahaan atau peraturan pemerintah secara konsisten.
Pemasok pihak ketiga belum memprioritaskan pengelolaan dampak lingkungan.
Pengetahuan dan sumber daya yang terbatas dalam mengelola dampak lingkungan
merupakan tantangan utama bagi kategori pemangku kepentingan ini.
(iv) Kepemilikan lahan dan legislasi – prinsip 1
Hampir semua PKS yang dikunjungi tidak familiar dengan kebijakan keberlanjutan
Musim Mas dan belum mengadopsinya ke dalam kebijakan perusahaan mereka
(misalnya, mereka belum memasukkan komitmen mereka terhadap prinsip dan
kriteria RSPO, atau etika bisnis). Selain itu, beberapa PKS belum memiliki rencana aksi
untuk melengkapi persyaratan yang diidentifikasi dalam komitmen kebijakan
perusahaan mereka.
PKS yang dinilai umumnya memenuhi persyaratan kepemilikan lahan dan persyaratan
peraturan perundang-undangan pabrik, dan kesesuaian dalam operasional pabrik
terhadap hukum dan peraturan lokal dan nasional, meskipun beberapa PKS belum
sepenuhnya memenuhi kesesuaian pada indikator ini. Di dalam lingkup pengelolaan
rantai pasok, beberapa perkebunan yang dikelola oleh manajemen pabrik
(perkebunan milik sendiri) belum memperoleh Hak Guna Usaha untuk area
perkebunan tertentu meskipun kegiatan operasional sudah berjalan di dalam area
perkebunan kelapa sawit tersebut. Ketidaksesuaian ini yang menyebabkan sertifikasi
ISPO tertunda.
Di antara pemasok pihak ketiga, sebagian besar pemasok petani kecil tidak memiliki
sertifikat kepemilikan; sebaliknya, mereka memiliki Surat Keterangan Ganti Rugi
Tanah atau Sertifikat Tanah yang diterbitkan oleh pemerintah desa administratif atau
kecamatan. Ketidaksesuaian pada indikator kepemilikan lahan dan legislasi juga dapat
dikaitkan dengan keterlacakan rantai pasokan yang lemah, karena sumber TBS tidak
dapat diidentifikasi.
(v) Pembangunan di lahan gambut – prinsip 3
19
Dua PKS yang dikunjungi tidak berlokasi di daerah gambut. Empat PKS berlokasi di
daerah gambut, dan dua di antaranya memiliki perkebunan di dalam lahan gambut.
Kedua PKS ini belum melakukan studi mendalam tentang lahan gambut mereka; oleh
karena itu, informasi tentang kedalaman gambut, tingkat kematangan gambut dan
kandungan bahan organik tidak diketahui. Kedua pabrik menerapkan sistem
pengelolaan air melalui saluran dengan sistem loop terbuka, tetapi tidak ada prosedur
tertulis terkait dengan pengelolaan air yang secara khusus dikembangkan untuk
tanaman di lahan gambut.
Satu dari dua pabrik yang tersisa memiliki lahan gambut di perkebunan milik sendiri,
tetapi kondisi lahan gambut tersebut telah berubah sehingga tidak ada praktik
pengelolaan gambut yang diterapkan. Pabrik lainnya tidak memiliki lahan gambut di
dalam perkebunan milik sendiri.
Ketidaksesuaian dalam indikator ini terutama terkait dengan lemahnya ketertelusuran
rantai pasokan, karena sumber TBS tidak dapat diidentifikasi. Kurangnya transparansi
seperti ini meningkatkan risiko ketidakpatuhan dalam pembangunan di lahan gambut.
(vi) Kepatuhan sosial – prinsip 7
Beberapa PKS membuat program sosial berdasarkan penilaian dampak sosial yang
dilakukan di desa-desa yang berdekatan dengan lokasi pabrik dan area yang terkena
dampak operasional pabrik. Namun, kebanyakan PKS memberikan dukungan sosial
berdasarkan permintaan atau proposal dari kepala desa tanpa adanya penilaian
dampak sosial formal atau komunikasi partisipatif dengan aparat desa dan masyarakat
sekitar.
Ada tiga PKS yang belum menerapkan prinsip FPIC sepenuhnya, sementara satu pabrik
telah memasukkan prinsip FPIC ke dalam kebijakan perusahaannya dan menilai
implementasinya dan dua PKS telah sepenuhnya mengadopsi dan menerapkan prinsip
FPIC.
Sebagian besar PKS menunjukkan kesesuaian yang tinggi pada indikator yang terkait
dengan aspek ketanagakerjaan. Satu PKS perlu meningkatkan praktik ketenagakerjaan
sehubungan dengan pemenuhan hak-hak pekerja; dalam beberapa bulan terakhir
pembayaran upah tidak dibayar tepat pada waktunya.
Sebagian besar PKS menerapkan SOP tentang kesehatan dan keselamatan kerja (K3)
dan peraturan pemerintah yang diikuti secara konsisten, menyediakan fasilitas K3 dan
menyediakan alat pelindung diri (APD). Satu PKS hanya menyediakan satu set APD di
awal saja; ketika peralatan rusak, para pekerja harus menggantinya sendiri.
(vii) Rantai pasokan – prinsip 8
Hanya satu dari enam PKS yang memiliki sistem bar code yang dapat memberikan
deskripsi tentang sistem ketertelusuran TBS. Program pabrik ini disebut OPFPO (Oil
Palm Field Operation), yang menggambarkan asal TBS dan memungkinkannya untuk
ditelusuri secara jelas mulai dari pabrik. Sistem ini juga memberikan informasi tentang
20
asal-usul TBS dari perkebunan milik sendiri, seperti informasi nama pemanen dan
volume. Informasi ini diperlukan untuk perhitungan biaya panen dan biaya tenaga
kerja. PKS lainnya tidak dapat mendemonstrasikan sistem ketertelusuran TBS sampai
kepada sumbernya, ke petani kecil atau pemasok pihak ketiga. Ketertelusuran TBS
hanya sebatas pada pemasok yang terdaftar dalam sistem pabrik (yaitu, pemasok
yang memiliki pesanan pengiriman, atau DO). Sebagian besar pabrik mendapatkan
TBS dari pemasok pihak ketiga dan dari agen TBS, yang membawa risiko tertinggi
dalam ketertelusuran TBS. PKS tidak menyediakan mekanisme untuk memastikan
pemasok pihak ketiga memberlakukan larangan pembelian TBS ilegal. Sebagian besar
PKS juga tidak menyediakan program untuk mendukung petani kecil dalam mematuhi
persyaratan prinsip rantai pasokan yang berkelanjutan.
(viii) Penggunaan api – prinsip 4
Indikator penggunaan api hanya diterapkan dalam lingkup pengelolaan rantai pasok.
Kesesuaian ditemukan cukup tinggi karena manajemen perkebunan milik sendiri dan
perkebunan pihak ketiga memahami larangan penggunaan api sebagaimana diatur.
Tingkat komitmen setiap PKS terhadap keberlanjutan bergantung pada apakah PKS berkomitmen
terhadap program sertifikasi yang mencakup prinsip-prinsip keberlanjutan, seperti ISPO atau
RSPO. Karena sudah menjadi keharusan bagi semua PKS di Indonesia untuk memiliki sertifikasi
ISPO, manajemen harus mulai menunjukkan komitmen perusahaan melalui rekrutmen dan / atau
meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya, serta melalui investasi dalam pengembangan
kebijakan dan membangun program untuk menciptakan lingkungan di mana kegiatan pengelolaan
kelapa sawit sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
3.2 Permasalahan di tingkat lanskap yang teridentifikasi
3.2.1. Profil Kabupaten
Profil Kabupaten dibawah ini adalah hasil dari penilaian desktop pada kabupaten prioritas Musim Mas dari 2017 hingga 2018. Kajian dokumen diperoleh melalui pengumpulan informasi yang tersedia dari sumber-sumber domain publik; informasi dari LSM dan pencarian dari Internet. Tujuan dari profil kabupaten ini adalah untuk memberikan gambaran tentang Seruyan, Kotawaringin Timur, Gunung Mas dan Kotawaringin Barat.
Provinsi Kalimantan Tengah
Kalimantan Tengah mencakup 15,3 juta ha lahan atau 8% dari total luas Indonesia, menjadikannya
provinsi terbesar kedua di Indonesia setelah Papua.1 Kegiatan ekonomi utamanya berasal dari
sektor pertanian, mempekerjakan 560.594 orang, atau 52,7% dari angkatan kerja per Agustus
20132. Pada 2010, 302 lisensi perkebunan kelapa sawit telah diterbitkan, meliputi 3.775.000 ha.
Dari area ini, sekitar 35% telah ditanam pada tahun 2013. Produksi minyak sawit mentah telah
meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir, dari sekitar 1,7 juta ton pada tahun
2009 menjadi hampir 2,8 juta ton pada tahun 2012. Minyak sawit saat ini menyumbang sekitar 25%
PDB (Produk Domestik Bruto) dari provinsi ini dan mendominasi sektor pertanian perkebunan.
Kelapa sawit mencakup 8% dari Kalimantan Tengah, menyumbang 11% produksi kelapa sawit
Indonesia. 3
Sementara kelapa sawit adalah penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosio-
ekonomi provinsi yang paling penting di Kalimantan Tengah, juga merupakan penyebab utama
deforestasi dan degradasi lingkungan, termasuk pencemaran air, sedimentasi, kelebihan pestisida
menyebabkan kualitas tanah menurun. Ekspansi yang cepat dari industri kelapa sawit telah diikuti
oleh biaya lingkungan eksternal yang besar.4 Kebakaran hutan dan dekomposisi gambut adalah
pemicu emisi terbesar di provinsi ini. 5
Mengenali kepentingan ekonomi strategis kelapa sawit dan risiko terkait dampak negatif sosial dan
degradasi lingkungan, anggota DPRD Kalimantan Tengah menyetujui Peraturan Provinsi No. 5
(2011) tentang Pengelolaan Berkelanjutan Usaha Perkebunan. 6 Pada tahun 2011, provinsi ini dipilih
untuk menjadi provinsi percontohan REDD + di Indonesia, berdasarkan perjanjian bilateral dengan
Norwegia yang fokus pada pengurangan emisi Indonesia. Pada tahun 2011, sebagai bagian dari
upaya yang lebih luas untuk mengurangi emisi dari deforestasi, pemerintah provinsi
memberlakukan moratorium selama dua tahun pada izin penebangan baru untuk hutan primer dan
lahan gambut. 7
2 Central Kalimantan Green Growth Report (2015) 3 Climate Policy Innitiative (2015) 4 Central Kalimantan Green Growth Report (2015) 5 Earth Innovation Institute (diakses pada bulan April 2018) 6 Central Kalimantan Green Growth Report (2015) 7 Earth Innovation Institute (diakses pada bulan April 2018)
Kotawaringin Timur mencakup 1.649.600 ha lahan,17 dengan populasi 436.276.18 Mengelola hutan
lindung hingga 17,421.89 ha, hutan produksi hingga 132.515 ha, hutan produksi terbatas hingga
453.474.316 ha, dan hutan produksi permanen hingga 245.270.373 ha.
Figure 8. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kotawaringin Timur 19
17 Kabupaten Kotawaringin Timur (diakses pada bulan April 2018) 18 BPS Kotawaringin Timur (2016) 19 Pemerintah Kotawaringin Timur (diakses pada bulan April 2018)
3.2.2. Ketidaksesuaian PKS Terkait dengan Isu Lanskap
Banyak isu ketidaksesuaian yang teridentifikasi melalui analisa hasil penilaian verifikasi PKS, dan kajian dokumen per Kabupaten, termasuk tantangan yang dihadapi oleh setiap PKS. Beberapa tema makro yang ditemukan di seluruh verifikasi pabrik, dikombinasikan dengan verifikasi terhadap basis pasokan dan pengetahuan tim yang lebih luas dapat dirangkum sebagai berikut:
(i) Ekologi
• Emisi gas rumah kaca adalah masalah yang sangat penting di Kalimantan Tengah, seperti
di banyak provinsi lain di Indonesia. Kalimantan Tengah bagian selatan memiliki area
pembakaran tahunan yang luas, melebihi 45.000 ha di dalam area satu-piksel (0,25),
menghasilkan emisi CO2 lebih dari 25 Tgin satu-pixel area (0,25).22 Kebakaran hutan dan
dekomposisi gambut adalah pemicu emisi terbesar di Kalimantan Tengah. Hal ini telah
menimbulkan kekhawatiran global karena program percontohan REDD+ untuk
mengurangi emisi GRK di Indonesia berlokasi di Kalimantan Tengah sejak 2011.23
Ketidaksesuaian emisi GRK paling tinggi dalam lingkup operasional pabrik dan lingkup
pengelolaan rantai pasok PKS. Hanya empat dari enam pabrik yang telah mengembangkan
rencana aksi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di perkebunan mereka dan dalam
operasional pabrik.
• Deforestasi di Kalimantan Tengah sering dikaitkan dengan produksi minyak sawit24, dan
beberapa daerah, seperti Gunung Mas, menghadapi kerusakan hutan yang tinggi
(misalnya perambahan hutan, ladang berpindah, dan pembalakan liar).25 Ketidaksesuaian
akan prinsip deforestasi oleh manajemen perkebunan milik sendiri dan pemasok pihak
ketiga terkait dengan tidak adanya identifikasi HCV dan HCS. Selain itu, ketidaksesuaian
terhadap indikator deforestasi juga diidentifikasi di lingkup petani kecil.
• Di Seruyan, rehabilitasi lahan masih merupakan tantangan, dan anggaran pemerintah
untuk rehabilitasi lahan adalah berbasis proyek dan tidak cukup untuk menangani total
lahan yang perlu direhabilitasi.26
(ii) Kepemilikan lahan dan legislasi
Sebagian besar kabupaten memiliki situasi serupa di mana batas-batas tanah tidak jelas,
sehingga mempengaruhi masalah tanah dan menciptakan konflik antara masyarakat dan
perusahaan. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari kunjungan lapangan, ketidak-
konsistenan pada status hutan produksi merupakan tantangan serius yang dihadapi oleh
sebagian besar pabrik kelapa sawit yang dikunjungi di Kalimantan Tengah (PKS B, PKS C,
PKS D, PKS E dan PKS F). Ketidaksesuaian ini membuat beberapa perusahaan tidak
memenuhi syarat untuk menyelesaikan proses ISPO.
22 A Pribadi and G Kurata. 2017. Greenhouse gas and air pollutant emissions from land and forest fire in Indonesia during
2015 based on satellite data. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 54 012060. 23 Earth Innovation. Central Kalimantan (no date). 24 Earth Innovation. Central Kalimantan (no date). 25 Kesatuan Pengelolaan Hutan Webpage. KPHP Gunung Mas (diakses pada bulan April 2018) 26 Kesatuan Pengelolaan Hutan Webpage. KPHP Seruyan (diakses pada bulan April 2018)
• Di Seruyan, terdapat pemahaman yang berbeda antara perusahaan yang telah
memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) dan masyarakat mengenai hak untuk pemanfaatan
hasil hutan kayu di hutan produksi (IUPHHK-HTI) dan lahan masyarakat sekitar. Karena
masyarakat tidak sepenuhnya memahami status lahannya, masyarakat mengklaim
beberapa areal yang termasuk dalam HGU perusahaan. Belum ada solusi yang
menguntungkan yang dapat ditempuh untuk membantu kedua belah pihak, pemerintah
dan masyarakat secara merata.
• Fungsi hutan di kawasan otoritas hutan Gunung Mas umumnya masih pada tahap
pengangkatan, dan belum ada pengaturan batas atau peresmian batas fungsi dan batas
luar dari KPH Kabupaten Gunung Mas. Dengan demikian terdapat ketidakpastian tentang
status dan fungsi hutan, yang menciptakan tumpang tindih antara fungsi-fungsi kawasan
(pemanfaatan vs. pemukiman), kegiatan di dalam kawasan hutan produksi (perkebunan
vs. aktivitas pertanian), dan kegiatan di area konsesi hutan alam IUPHHK-HA (bisnis lisensi
untuk pemanfaatan hasil hutan kayu).27
• Gunung Mas adalah salah satu kabupaten di Indonesia dengan dana aforestasi dan
penyediaan sumber daya hutan (Provisi Sumber Daya Hutan / PSDH). Namun, pemerintah
kabupaten telah berjuang untuk menghabiskan dana karena data yang tidak akurat atau
tidak ada data mengenai potensi hutan, kondisi sosial dan ekonomi, kondisi budaya
masyarakat di sekitar kawasan KPH, dan informasi lain yang diperlukan untuk
merencanakan dan melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Selain itu,
kemungkinan untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi juga dibatasi oleh adanya izin konsesi
untuk pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan.28
Menurut halaman web Kesatuan Pengelolaan Hutan29 kondisi ekonomi masyarakat di
sekitarnya buruk karena FMU memungkinkan masyarakat tidak ada jalan untuk terlibat
dalam pengelolaan hutan, termasuk izin, atau keterlibatan langsung dengan skema
berbasis masyarakat seperti wanatani masyarakat (Hutan Tanaman Rakyat), hutan
masyarakat (Hutan Kemasyarakatan), atau hutan desa. Masyarakat tidak dapat secara
optimal terlibat dengan penggunaan hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan atau
ekowisata. Hingga saat ini, tidak ada kawasan hutan yang dialokasikan yang dikelola oleh
masyarakat. 30
• Di Kotawaringin Timur, beberapa perusahaan membayar biaya kompensasi kepada
masyarakat ketika ditemukan bahwa perusahaan menggunakan lahan yang mereka yakini
dimiliki tanpa ada bukti legal dari masayarakat mengenai kepemilikan lahan. Namun,
27 Kesatuan Pengelolaan Hutan Webpage. KPHP Gunung Mas (diakses pada bulan April 2018) 28 Kesatuan Pengelolaan Hutan Webpage. KPHP Gunung Mas (diakses pada bulan April 2018) 29 Kesatuan Pengelolaan Hutan Webpage. KPHP Gunung Mas (diakses pada bulan April 2018) 30 Kesatuan Pengelolaan Hutan Webpage. KPHP Gunung Mas (diakses pada bulan April 2018)
masyarakat masih mencurigai perusahaan menggunakan lahan ilegal, dan telah meminta
beberapa audit yang tepat terhadap kepemilikan lahan perusahaan.31
• Karena tidak ada pengaturan batas di kawasan hutan di Kotawaringin Barat, masyarakat
lokal memiliki otorisasi penggunaan parsial di dalam kawasan hutan. Situasi ini berarti
tindakan hukum untuk meluruskan hak penggunaan tidak dapat diambil. Selain itu, tidak
ada dukungan dari kepala kabupaten di UPH Kotawaringin Barat, yang menyulitkan
operasionalisasi UPH sehingga berdampak dalam akses pendanaan daerah untuk kegiatan
UPH.32
• Beberapa pengelola operasional rantai pasok belum mendapatkan Hak Guna Usaha untuk
beberapa area perkebunannya.
• Di antara pemasok pihak ketiga, sebagian besar pemasok petani kecil tidak memiliki
sertifikat kepemilikan; sebaliknya, mereka memiliki Surat Keterangan Ganti Rugi Tanah
atau Sertifikat Tanah yang diterbitkan oleh administratif desa atau kecamatan.
Ketidaksesuaian terhadap indikator kepemilikan lahan dan legislasi juga dapat dikaitkan
dengan lemahnya ketertelusuran rantai pasokan, karena sumber TBS tidak dapat
diidentifikasi.
3.3 Prakarsa tingkat lanskap yang diketahui
Berdasarkan hasil penilaian desktop dari informasi yang dikumpulkan dari domain publik, beberapa inisiatif yang relevan di tingkat lanskap diidentifikasi untuk mengatasi tantangan yang dijelaskan di atas. Gambaran singkat diberikan di bawah ini.
Prakarsa tingkat lanskap yang pertama dan paling tepat untuk dipertimbangkan adalah kombinasi program yang dijalankan oleh Earth Innovation Institute (EII) di Kalimantan Tengah. EII bekerja sama dalam berbagai program dengan pemerintah Kalimantan Tengah. Program yang paling relevan dengan inisiatif keberlanjutan Musim Mas adalah Pendekatan Sertifikasi Jurisdictional, program pemberdayaan petani / petani kecil yang sangat cocok untuk mengatasi masalah ketidaksesuaian di antara petani pihak ketiga Musim Mas dan mengatasi ketidaksesuaian dalam kepemilikan lahan dan perundang-undangan. Program ini memberdayakan petani kecil untuk mencapai produksi yang berkelanjutan di bawah bimbingan dari pemerintah Kalimantan Tengah. Bekerja sama dengan Pendekatan Sertifikasi Yurisdiksional (Jurisdictional Certification Approach) juga dapat membantu Musim Mas mengatasi risiko keberlanjutan seperti legalitas dan ketertelusuran, karena keberlanjutan tidak lagi menjadi tanggung jawab satu atau dua pihak, seperti perusahaan perkebunan atau pembeli dalam rantai pasokan minyak sawit, tetapi akan menjadi tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam rantai pasokan dan pemerintah. Di kabupaten Seruyan dan kabupaten Kotawaringin Barat, program untuk memberdayakan petani
31 Borneo News (2018) 32 Kesatuan Pengelolaan Hutan. KPHP Kotawaringin Barat (diakses pada bulan June 2018)
sudah dimulai dengan memetakan petani mandiri di tingkat desa, dengan target pemetaan semua petani di dua kabupaten dalam satu hingga dua tahun ke depan.33
Bergerak maju dengan program ini, diskusi mengenai bagaimana mengembangkan metodologi itu sendiri masih dalam tahap awal. EII telah melakukan pendekatan kepada pemerintah untuk memperkuat peranannya dalam menentukan area yang mungkin dan yang tidak memungkinkan untuk digunakan menjadi perluasan produksi komoditas minyak sawit, dengan tujuan untuk melindungi kawasan HCV dan HCS, serta lahan gambut. EII juga menterjemahkan dan menerapkan prinsip-prinsip FPIC dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit dan dalam proses mediasi serta dalam penyelesaian konflik sosial. Program ini dapat mendukung Musim Mas untuk mengatasi ketidaksesuaian tidak hanya pada prinsip-prinsip kepemilikan lahan dan rantai pasokan tetapi deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Proyek lain yang patut dipertimbangkan adalah Sistem Informasi dan Pemantauan Kinerja Perkebunan Berkelanjutan (SIPKEBUN) atau Sistem Pemantauan Informasi dan Kinerja untuk Perkebunan Berkelanjutan oleh INOBU, rekan EII. Sistem pemantauan online yang dapat diakses oleh pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan masyarakat umum, sistem ini mengintegrasikan informasi mengenai petani kelapa sawit — dari perkebunan skala industri ke petani kecil mandiri. Untuk pertama kalinya, pemerintah Indonesia akan dapat memantau secara elektronik semua petani kelapa sawit, memperkenalkan landasan kuat bagi penciptaan insentif kinerja untuk membuat minyak sawit berkelanjutan di Indonesia.34 SIPKEBUN dapat membantu Musim Mas mengidentifikasi area HCS dan HCV untuk operasi yang belum sepenuhnya ditinjau. Selain itu, SIPKEBUN menawarkan konten basis data yang mungkin dapat membantu Musim Mas menilai status lahan dan peraturan yang relevan, dan untuk mendukung peningkatan penelusuran dengan data tentang pemasok atau sumber TBS. Karena INOBU adalah rekan EII, jika Musim Mas bergabung dengan Pendekatan Sertifikasi Jurisdictional dan SIPKEBUN, EII mungkin dapat memberikan informasi dan dukungan yang komprehensif untuk Musim Mas.
Rainforest Alliance merekomendasikan tindak lanjut tambahan di semua lokasi Musim Mas di Kalimantan Tengah untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang inisiatif lanskap di wilayah ini.
Profil dari prakarsa-prakarsa atau program-program yang diidentifikasi dalam laporan diagnostic ini dirangkum dalam tabel di bawah ini:
Proyek Mitra Tujuan dan Perkembangan
Program Earth Innovation Institute di Kalimantan Tengah
Earth Innovation Institute (EII) and INOBU
Earth Innovation Institute (EII) melibatkan pelaku sektor swasta, seperti perusahaan kelapa sawit, dalam transisi menuju pembangunan rendah deforestasi dengan mengidentifikasi dan mengkomunikasikan keuntungan perusahaan dari keterlibatan ini, seperti
33 Earth Innovation Institute, Jurisdictional Certification Approach. 34 SIPKEBUN
efisiensi yang lebih besar. Ini mengidentifikasi peluang dalam program dan kebijakan pemerintah untuk menumbuhkan pengelolaan lahan yang baik melalui perencanaan dan klasifikasi lahan yang tepat, proses lisensi perkebunan, pemantauan lingkungan dan penegakan hukum. Partisipasi masyarakat adat dalam kegiatan ekonomi dijamin melalui kepastian penguasaan lahan dan bantuan bagi masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam kegiatan komersial. Perusahaan dan petani kecil yang terletak di dalam kabupaten yang berkembang menjadi nol deforestasi harus memiliki akses yang lebih baik ke pasar dan pembiayaan, difasilitasi oleh infrastruktur yang tepat. EII bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten di Kalimantan Tengah, perusahaan kelapa sawit dan organisasi masyarakat sipil untuk mengembangkan “roadmap” di lingkup provinsi untuk mengurangi atau mengakhiri deforestasi dengan meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit yang ada dan dengan mengalihkan ekspansi perkebunan baru ke lahan yang sudah bersih dan di bawah potensi produktif mereka. Roadmap tersebut berusaha mencapai transisi ke industri kelapa sawit dengan nol deforestasi, pengurangan 80% deforestasi di bawah rata-rata historis, dan peningkatan
32
produksi perkebunan kelapa sawit dari 11% menjadi 20% dari total provinsi pada tahun 2020.
EII dan organisasi rekanannya, INOBU, Unilever, Packard Foundation, Norad, dan IKI-Jerman bekerja di tiga kabupaten di Kalimantan Tengah — Gunung Mas, Kotawaringin Barat, dan Seruyan — untuk mengujicobakan sertifikasi tingkat yurisdiksi kelapa sawit. Kotawaringin Barat dan Seruyan juga telah dipilih sebagai lokasi percontohan untuk inisiatif Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk sertifikasi yurisdiksi, penguatan kolaborasi dan hasil.35
Sistem Informasi dan Pemantauan Kinerja Perkebunan Berkelanjutan (SIPKEBUN)
INOBU, Direktur Jenderal Perkebunan di Kementerian Pertanian dan Bupati dari kabupaten Gunung Mas, Kotawaringin Barat dan Seruyan (Kalimantan Tengah)
SIPKEBUN adalah produk kolaborasi erat antara INOBU dan pemerintah Kalimantan Tengah. Melalui data geo-referensi yang dimasukkan ke dalam SIPKEBUN, pemerintah sekarang memiliki akses yang mudah ke informasi seperti pekebun mandiri, data statistik dan analisis untuk sektor perkebunan; informasi dasar perusahaan, termasuk penilaian bisnis perkebunan; kondisi kinerja lingkungan, seperti kebakaran, penggundulan hutan, lahan terdegradasi; dan kepatuhan terhadap peraturan. Data sosial juga disertakan untuk menunjukkan legalitas,
35 Programmes of Earth Innovation Institute in Central Kalimantan
tenurial, keluhan dan konflik masyarakat. SIPKEBUN menyediakan struktur untuk dapat dilacak - di mana pembeli dapat melacak rantai pasokan dan mematuhi persyaratan keberlanjutan.36
Program Kosnservasi The Rungan Orangutan
Borneo Nature Foundation dan Universitas Muhamadiyah Palangkaraya
Borneo Nature Foundation; jaringan konservasi kolaboratif dengan kelompok komunitas lokal, LSM, pemerintah, industri, dan lembaga akademis.
Diluncurkan pada 2018, Yayasan Borneo Nature bertujuan untuk melestarikan hutan yang spektakuler dan sangat beragam di wilayah Barito Ulu, di pusat geografis Kalimantan.
The Borneo Nature Foundation bertujuan untuk membangun kembali dan menyalakan kembali penelitian di Rekut Research Station. Melalui upaya ini, ia mendukung jaringan konservasi kolaboratif dengan kelompok masyarakat lokal, LSM, pemerintah Borneo, industri dan badan akademis untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan, perlindungan habitat dan
37 The Rungan Orangutan Conservation Programme (diakses pada bulan May 2018)
satwa liar di seluruh wilayah Barito Ulu yang lebih luas.38
Unit Patroli Lokal
Borneo Nature Foundation and CIMTROP
“900 Tim Patroli dibentuk pada tahun 2002 sebagai tanggapan atas gelombang penebangan liar yang merajalela yang mengancam untuk menghancurkan ekosistem Sabangau bahkan sebelum dilindungi. Dibentuk oleh orang-orang muda yang berkomitmen dari desa tetangga Kereng Bangkerai yang ingin menghentikan eksploitasi hutan mereka yang berkelanjutan dan malah melindunginya demi kepentingan masyarakat. Mereka berhasil menghentikan pembalakan liar di Sabangau utara dalam waktu dua tahun, lebih cepat daripada yang dilakukan pemerintah Indonesia di bagian hutan lainnya, contoh utama tentang bagaimana upaya akar rumput dapat membuat perbedaan konservasi yang besar.”39
Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng
Borneo Orangutan Survival Foundation
Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng didirikan pada tahun 1999, khusus untuk memberikan perawatan dan rehabilitasi bagi orangutan yang terlantar atau yatim piatu yang diselamatkan dari area yang awalnya sebagai habitat namun melalui kegiatan pembangunan manusia habitatnya punah.
Arboretum, sekitar 30 kilometer dari pusat kota Palangka Raya, kegiatan utama program di Nyaru Menteng termasuk penyelamatan dan realokasi orangutan, penyediaan kesejahteraan dan kesehatan, rehabilitasi dan reintroduksi. Organisasi yakin bahwa konservasi habitat dan satwa liar hanya dapat dicapai melalui kerja sama dengan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya, maka di semua bidang kerja program ini sepenuhnya terlibat dengan masyarakat lokal dan sekolah pada kegiatan pengembangan masyarakat dan pendidikan konservasi.40
3.4 Rekomendasi untuk prioritas intervensi Musim Mas
Verifikasi di Kalimantan Tengah dilakukan sesuai rencana, dengan tujuan meninjau komitmen
pemasok terhadap kebijakan keberlanjutan Musim Mas. Hasil verifikasi lapangan di enam PKS
menunjukkan bahwa kebijakan keberlanjutan Musim Mas, dalam bentuk dokumen kebijakan dan
kuesioner, telah didistribusikan ke kantor pusat manajemen pabrik. Karena kantor pusat PKS
mendistribusikan kebijakan keberlanjutan Musim Mas ke kantor lapangan PKS sesaat sebelum
verifikasi, maka hanya satu POM yang menunjukkan pemahaman yang baik tentang kebijakan
(POM A) dan dua POM (POM E dan POM F) menunjukkan kurangnya pemahaman yang signifikan,
hal ini menunjukkan bahwa distribusi dokumen kebijakan keberlanjutan Musim Mas yang tidak
memadai adalah salah satu penyebab utama ketidaksesuaian. Sementara PKS lainnya (POM B,
POM C dan POM D) cukup familiar dengan kebijakan keberlanjutan Musim Mas. Musim Mas perlu
meningkatkan metode komunikasinya untuk menyampaikan kebijakan keberlanjutan Musim Mas
dengan secara langsung berkomunikasi dengan manajer lapangan pemasok Musim Mas, yang
bertanggung jawab untuk menerapkan kebijakan, sehingga mereka dapat lebih memahami
prinsip-prinsip keberlanjutan dan mengembangkan program untuk mendukung kepatuhan
terhadap standar keberlanjutan, termasuk tetapi tidak terbatas pada kebijakan keberlanjutan
Musim Mas. Komunikasi harus didorong untuk berjalan dua arah, yaitu dengan mendorong staf
40 The Central Kalimantan Orangutan Reintroduction Programme at Nyaru Menteng
Persentase ketidaksesuaian ditemukan tertinggi dalam tiga prinsip, yaitu emisi GRK, deforestasi,
dan pengelolaan dampak lingkungan untuk kinerja pemasok TBS (diagram 02). Untuk mengatasi
ketidaksesuaian utama dan tantangan yang lebih luas di tingkat lanskap, Rainforest Alliance
memberikan rekomendasi utama. Musim Mas akan mempertimbangkan rekomendasi mana yang
lebih baik ditangani oleh perusahaan itu sendiri dan mana yang lebih baik dilaksanakan melalui
kolaborasi dengan inisiatif tingkat lanskap yang dilaksanakan oleh organisasi masyarakat sipil
(CSO) atau pemerintah Indonesia.
1. Meskipun kesesuaian untuk indikator emisi GRK hampir sepenuhnya terpenuhi di antara
operasional pabrik kelapa sawit, tidak semua pemasok pihak ketiga sudah mengidentifikasi
emisi GRK dalam operasi mereka sendiri. Ketiadaan identifikasi emisi gas rumah kaca oleh
pemasok pihak ketiga merupakan konsekuensi dari keterbatasan pengetahuan yang dapat
ditangani oleh Musim Mas dengan bekerja sama dengan program kerjasama Earth Inovation
Institute dengan pemerintah Kalimantan Tengah (lihat bagian inisiatif lanskap). EII dapat
mendukung Musim Mas untuk mencapai hasil di antara pemasok pihak ketiga — baik
bigholder dan petani kecil — seperti pemantauan emisi GHG dan HCV dan identifikasi HCS.
Melalui Pendekatan Sertifikasi Yurisdiksional, EII juga dapat mendukung pemasok pihak ketiga
Musim Mas, terutama petani kecil, untuk memberdayakan mereka dalam menerapkan
produksi berkelanjutan minyak sawit.
2. Basis data menawarkan alat penting untuk mengakses informasi dan mengembangkan strategi
untuk mengatasi banyak masalah, terutama kebutuhan Musim Mas untuk mengawasi tingkat
risiko TBS terkait dengan ketidaksesuaian terhadap prinsip kebijakan perusahaan untuk emisi
gas rumah kaca, deforestasi, pengelolaan dampak lingkungan dan penguasaan lahan dan
perundang-undangan. INOBU telah bekerja dengan pemerintah Kalimantan Tengah untuk
mengembangkan SIPKEBUN (di mana ia juga bekerja sama dengan EII), mencatat lebih dari
4.000 petani kecil, lahan mereka dan pemetaan petani termasuk daerah HCS dan HCV.
Kolaborasi ini akan membantu Musim Mas memilih pemasok pihak ketiga dengan
memperjelas batas-batas lahan, yang telah menjadi tantangan di tingkat lanskap, dan
mengidentifikasi risiko dari TBS pihak ketiga. INOBU dan Musim Mas dapat bekerja bersama
dengan melibatkan pemerintah, organisasi lain dan komunitas lokal, untuk bertukar konten
basis data dan mengembangkan strategi, dengan demikian secara aktif menjembatani
38
beberapa celah dalam pemetaan. INOBU telah mengembangkan sistemnya dari waktu ke
waktu secara terpisah dari SIPKEBUN, INOBU juga menyediakan program pengembangan
teknologi lainnya, seperti aplikasi perangkat seluler untuk pemetaan petani kecil di
Kalimantan Tengah, yang menawarkan peluang bagi Musim Mas untuk meningkatkan analisis
diagnostiknya sendiri.
3. Pengetahuan yang terbatas tentang dampak lingkungan di antara pemasok pihak ketiga
adalah hal yang banyak ditemukan; hal ini akan menjadi masalah ketika pemasok pihak ketiga
tidak dapat memenuhi kebijakan keberlanjutan Musim Mas karena mereka kurang
memahami. Oleh karena itu, Musim Mas mungkin ingin mengeksplorasi peluang untuk
bekerja dengan LSM atau lembaga lokal untuk menawarkan lokakarya atau pelatihan kepada
staf PKS dan pemasok pihak ketiga untuk meningkatkan pengetahuan mereka terhadap
dampak lingkungan. Kemudian, Musim Mas dapat mendukung staf PKS dan pemasok untuk
mengadopsi pengetahuan tersebut ke dalam kebijakan perusahaan dan operasional mereka,
dan membantu PKS yang tidak memiliki rencana tindakan untuk memenuhi persyaratan yang
diidentifikasi dalam komitmen kebijakan perusahaan.
4. Musim Mas dapat melibatkan para ahli lokal dan bekerja sama dengan INOBU untuk
melakukan studi mendalam dan mengembangkan prosedur tertulis tentang pengembangan
lahan gambut dan pengelolaan air, termasuk memperoleh informasi tentang kedalaman
gambut, tingkat kematangan gambut dan konten organiknya.
5. Untuk mengembangkan ketertelusuran sistem rantai pasokan untuk semua pemasok dengan
menggunakan sistem barcode yang mampu menggambarkan sistem ketertelusuran TBS
pemasok, seperti operasi lapangan minyak sawit (OPFO), yang memungkinkan pelacakan dari -
asal buah, nama pemanen, volume yang diperlukan untuk perhitungan biaya panen dan biaya
tenaga kerja.
Rekomendasi teknis terperinci untuk pelaksanaan kebijakan keberlanjutan Musim Mas pada 2019
dan seterusnya diberikan dalam lampiran B.
39
Lampiran A: Rincian Observasi Verifikasi
(i) Data rinci hasil Analisa kesesuaian performa operasional pabrik terhadap indikator yang
dikelompokan per prinsip.
Prinsip Kesesuaian Total
Indikator NA Major Minor Complies
1. Kepemilikan lahan dan legislasi
5 12 25 42
2. Penggundulan hutan 36
36 3. Pembangunan di lahan
gambut 18
18
4. Penggunaan api 6
6 5. Pengelolaan dampak
lingkungan 1 3 14 18
6. Emisi gas rumah kaca (GRK) 3
9 12
7. Kepatuhan sosial 2 19 63 84
8. Rantai pasokan 4 16 10 30
Grand Total 60 15 50 121 246
40
(ii) Data rinci hasil Analisa kesesuaian performa pengelolaan rantai pasokan terhadap indikator
yang dikelompokan per prinsip.
Prinsip Kesesuaian Total
Indikator NA Major Minor Complies
1. Kepemilikan lahan dan legislasi 12 21 9 42
2. Penggundulan hutan 29 1 6 36 3. Pembangunan di lahan
gambut 6 4 5 3 18
4. Penggunaan api
1 5 6 5. Pengelolaan dampak
lingkungan 12 3 3 18
6. Emisi gas rumah kaca (GRK)
11 1
12
7. Kepatuhan sosial
17 36 31 84
8. Rantai pasokan 30
30
Grand Total 57 85 68 36 246
41
(iii) Data rinci hasil Analisa Performa PKS terkait operasional pabrik kelapa sawit dengan
mengeluarkan indikator yang termasuk ke dalam prinsip 2 (deforestasi), prinsip 3
(pembangunan di lahan gambut) dan prinsip 4 (penggunaan api).
ID PKS Kesesuaian Total
Indikator Major Minor Complies
PKS A 1 30 31
PKS B 12 19 31
PKS C 2 5 24 31
PKS D 3 7 21 31
PKS E 6 14 11 31
PKS F 4 11 16 31
Grand Total 15 50 121 186
42
(iv) Data rinci hasil Analisa Performa PKS terkait pengelolaan rantai pasokan dengan
mengeluarkan indikator yang termasuk ke dalam prinsip 8 (rantai pasokan)
ID PKS Kesesuaian Total
Indikator NA Major Minor Complies
PKS A 2 2 32 36
PKS B 16 12 8 36
PKS C 16 12 8 36
PKS D 3 19 12 2 36
PKS E 3 15 13 5 36
PKS F 17 17 2 36
Grand Total 6 85 68 57 216
Lampiran B: Rekomendasi Konsolidasi dari Enam Verifikasi Pabrik Kelapa Sawit
Rekomendasi konsolidasi dari enam verifikasi PKS ini untuk melengkapi “rekomendasi untuk prioritas intervensi Musim Mas” yang disajikan pada bagian 3.4
laporan ini, karena rekomendasi pada bagian 3.4 hanya mencakup rekomendasi di tingkat lanskap. Sedangkan rekomendasi dibagian ini dikembangkan untuk
menangani isu tematik di tingkat PKS yang menjadi tanggung jawab manajemen PKS untuk melakukan perbaikan. Akan tetapi rekomendasi ini disajikan untuk
menjadi masukan dan pertimbangan bagi Musim Mas apabila Musim Mas akan menyusun program intervensi ke tingkat PKS.
Rekomendasi untuk PKS pada tabel di bawah ini diklasifikasikan sebagai tindakan jangka pendek (dengan tulisan yang ditebalkan) dan tindakan jangka panjang.
Tujuannya adalah agar pabrik dapat fokus pada tindakan segera yang dapat dilakukan dalam jangka pendek sambil mengembangkan langkah-langkah untuk
tindakan jangka panjang.
44
Prinsip/Bagian Tindakan Perbaikan PKS
Emisi gas rumah kaca
• Mengidentifikasi dan menghitung emisi GRK yang dihasilkan oleh pemasok pihak ketiga menggunakan kalkulator GHG yang
dikembangkan oleh ISPO atau RSPO.
• Membuat mekanisme / prosedur untuk mengembangkan rencana aksi untuk mengurangi dan memantau emisi GHG di perkebunan, di
pabrik dan di antara semua pemasok pihak ketiga.
HCV & deforestasi
• Menerapkan NPP RSPO untuk penanaman baru.
• Melakukan identifikasi HCS dan HCV berdasarkan standar HCV RN, tingkatkan pengelolaan HCV dan masukkan ke dalam kebijakan
keberlanjutan pabrik, termasuk implementasi HCV dan mekanisme pemantauannya.
• Sebuah pabrik perlu menyelesaikan laporan HCV dengan memberikan konsultasi publik dan peer review dengan para ahli yang
terdaftar dalam HCV RN.
• Sebuah pabrik juga perlu melakukan identifikasi HCS untuk memahami status seluruh area perkebunan yang digunakan. Identifikasi
harus dilakukan oleh pihak independen menggunakan pedoman HCV RN. HCV RN sedang mengembangkan pedoman terintegrasi
untuk identifikasi HCV dan HCS untuk digunakan sebagai referensi utama dalam melakukan identifikasi HCV dan HCS, kebijakan
keberlanjutan (seperti Musim Mas) mengacu pada pedoman HCV RN.
• Beberapa pabrik perlu mengembangkan rencana implementasi dan rencana pemantauan untuk HCV, terutama terkait dengan waduk
dan DAS Kasai. Rencana pengelolaan dan pemantauan kedua lokasi tersebut tidak boleh dipisahkan dari rencana pengelolaan dan
pemantauan HCV lainnya.
• Beberapa pabrik perlu menyinkronkan data analisis dampak lingkungan dan HCV mengenai temuan pohon Eusideroxylon zwageri di
area perkebunan. Dalam kasus ini, pohon tersebut disebutkan dalam dokumen HCV tetapi tidak dalam data analisis dampak
lingkungan
• Beberapa pabrik memerlukan pendidikan yang lebih intensif tentang dan pemantauan pohon yang dilindungi di area perkebunan,
seperti Eusideroxylon zwageri. Sisa-sisa kegiatan penebangan di pohon ini di kawasan konservasi mungkin karena kurangnya
45
pemahaman tentang pentingnya pohon ini sebagai spesies yang dilindungi.
Kepemilikan lahan dan legislasi
• Mengembangkan rencana aksi untuk menangani pengamatan kunci terkait dengan kebijakan dan legalitas, seperti kebutuhan untuk
mendapatkan kepastian status kawasan perkebunan yang belum mendapatkan HGU
• Sebuah pabrik perlu memperpanjang izin yang telah kedaluwarsa, seperti Izin Tempat Usaha (bisnis-, izin lokasi) Daftar Perusahaan
(pendaftaran), Izin Memasang Reklame (izin pamer komersial), dll.
• Sebuah pabrik perlu mengembangkan tindakan yang lebih konkrit terkait rencana dan menyelesaikan proses HGU untuk usaha
perkebunan dan area pabrik. Hal ini relevan dengan legalitas lahan untuk area perkebunan dan pabrik. Selain itu, HGU adalah
persyaratan ISPO. Meskipun izin HGU tidak selalu dikontrol oleh pabrik, adalah ide yang baik untuk melakukan pendekatan ke Badan
Pertanahan Nasional (BPN) untuk mendapatkan informasi yang lebih valid dan status mengenai HGU.
• Melakukan komunikasi aktif dengan komunitas lokal untuk menghindari kesalahpahaman tentang pembebasan lahan dan status HGU.
Dalam 1 assesment, masih ditemukan ada persepsi anggota komunitas bahwa mereka hanya meminjamkan tanah mereka ke pabrik
sampai 2022.
Pembangunan di lahan gambut
• Sebuah pabrik perlu mengukur permukaan air lahan gambut secara teratur. Selain itu, satu pabrik perlu melakukan uji tanah di areal
perkebunan yang mungkin terletak di lahan gambut untuk melakukan implementasi praktik pengelolaan terbaik (BMP). Jika hasil uji
tanah menunjukkan bahwa lahan tersebut adalah lahan gambut, solusi harus ditawarkan untuk mengurangi degradasi lahan gambut
melalui praktik manajemen yang baik, seperti pengelolaan air dan penutupan lahan.
Penggunaan api • Pada tahun 2015 diketahui di salah satu plasma telah terjadi kebakaran lahan, namun tidak dapat dikonfirmasi penyebab kebakaran ini
karena pembukaan lahan atau karena faktor alam. Faktor ketertelusuran yang rendah juga menjadi bagian dari resiko pada prinsip ini,
karena tidak dapat ditelusuri sumber TBS dan bagaimana sejarah lahan sumber TBS tersebut.
Pengelolaan dampak lingkungan
• Beberapa pabrik perlu membangun komunikasi yang lebih intensif dengan pemerintah daerah untuk memastikan informasi terbaru
tentang segala hal yang berkaitan dengan legalitas dan peraturan, seperti tanggung jawab pabrik untuk melaporkan pelaksanaan
analisis dampak lingkungan setiap enam bulan kepada badan pemerintah yang relevan, dan untuk memperoleh informasi tentang
pengelolaan limbah medis berlisensi di Kalimantan Tengah sehingga pabrik dapat mengelola limbah medisnya dengan benar.
46
• Melakukan sosialisasi pengelolaan limbah domestik dan pembuangan sampah serta pemantauan limbah. Selain itu, RA
merekomendasikan mengembangkan program insentif untuk pengelolaan sampah anorganik, baik mendaur ulang atau menjualnya
kembali sehingga tidak berakhir dengan terkubur di dalam tanah.
Kepatuhan sosial
• Beberapa pabrik perlu menilai kembali kerja lembur, ada ketidaksesuaian antara peraturan perusahaan dan peraturan pemerintah.
• Sebuah pabrik perlu mengembangkan mekanisme pengaduan yang lebih efektif. Mekanisme harus ditulis, dibuat dalam konsultasi
dengan pemasok pihak ketiga dan disepakati bersama. Setiap keluhan harus disampaikan kepada manajemen pabrik dan
didokumentasikan secara menyeluruh untuk evaluasi.
• Sebuah pabrik perlu membuat rencana aksi untuk mengatasi hasil pengamatan pada kesehatan dan keselamatan kerja di perkebunan
dan pabrik. Rencana aksi harus mencakup metode untuk memastikan pemantauan tanggal kedaluwarsa pemadam kebakaran,
ketersediaan pertolongan pertama, pemisahan limbah domestik dan kebisingan pabrik (seperti dari boiler, sterilisasi dan power
house).
• Beberapa pabrik juga perlu meningkatkan sistem pemantauan K3, termasuk penanganan bahan kimia, aplikasi MSDS, penyimpanan
penyimpanan bahan kimia dan penggunaan PEE.
• Pemantauan harus dilakukan berdasarkan prosedur K3.
• Sebuah pabrik perlu secara komprehensif dan konsisten melakukan pemantauan dan evaluasi program implementasi K3 berdasarkan
hukum dan peraturan yang berlaku. Prosedur dan peraturan K3 yang berlaku harus dikomunikasikan kepada pekerja secara teratur,
dan pelatihan harus didokumentasikan.
• Sebuah pabrik harus mendokumentasikan perjanjian kerja secara tertulis.
• Beberapa pabrik perlu secara lebih komprehensif mengadopsi dan memasukkan prinsip-prinsip keberlanjutan, termasuk kepatuhan
pada P & C RSPO, kode etik dan integritas, serta kebijakan anti diskriminasi dan anti-pelecehan.
• Sebuah pabrik perlu menilai ulang strategi mereka dalam menyediakan APD dan peralatan kerja untuk semua pekerja, tidak terbatas
hanya untuk pekerja permanen, penyemprot ataupun pekerja perawatan.
• Sebuah pabrik perlu mengembangkan dan melaksanakan program CSR partisipatif dengan komunitas lokal mereka. Program CSR harus
47
bersifat jangka panjang, terukur dan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
• Sebuah pabrik perlu memastikan dokumentasi yang menyeluruh tentang negosiasi dan konflik dengan masyarakat dan pemangku
kepentingan lainnya.
• Beberapa pabrik perlu mengembangkan rencana aksi dan mengevaluasi sistem basis data mereka untuk meningkatkan kemudahan
pelacakan dokumen dan memperoleh informasi meskipun staf yang bertanggung jawab tidak hadir pada hari tertentu ataupun sudah
keluar dari perusahaan.
Rantai pasokan • Beberapa pabrik perlu membuat mekanisme untuk melacak sumber TBS dari pemasok pihak ketiga atau petani kecil ke pabrik. Pabrik
dapat membuat kontrak dengan pemasok pihak ketiga yang mengikutsertakan informasi tambahan tentang legalitas lahan dan izin
usaha.
• Beberapa pabrik perlu lebih intensif mendidik dan membantu pemasok mereka untuk memastikan mereka memenuhi persyaratan
keberlanjutan. Upaya-upaya ini harus dicatat dan didokumentasikan.
• Beberapa pabrik perlu membuat program untuk mendukung petani kecil melalui pelatihan dan bantuan teknis untuk meningkatkan
kapasitas produksi dan menerapkan praktik manajemen yang berkelanjutan. Selain itu, pabrik dapat mendukung petani kecil dengan
pupuk, bibit dan bantuan keuangan berdasarkan kebutuhan.
• Beberapa pabrik perlu membuat peta rantai pasokan untuk setiap pemasok dan mendukung pemasok mereka dalam merekam TBS
untuk pelacakan yang lebih mudah.
• Semua pabrik harus secara intensif dan teratur mengomunikasikan kebijakan keberlanjutan Musim Mas kepada setiap pemasok pihak
ketiga, terutama untuk memastikan sumber TBS sesuai dengan hukum dan kebijakan.
• Beberapa pabrik perlu mengevaluasi kembali persyaratan kontrak bisnis antara pabrik dan pemasok untuk memastikan TBS berasal
dari sumber yang diketahui dan legal.
• Beberapa pabrik harus mengembangkan program untuk mendukung pemasok pihak ketiga dalam melakukan penilaian HCV dengan