PENERAPAN CORPORATE GOVERNANCE DAN WHISTLEBLOWING SYSTEM DI INDONESIA A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Isu mengenai Corporate Governance (tata kelola perusahaan) muncul sebagai reaksi terhadap berbagai kegagalan korporasi akibat dari buruknya tata kelola perusahaan. Krisis Corporate Governance pertama terjadi pada tahun 1700an yang dikenal dengan The South Sea Buble. Masalah Corporate Governance semakin mendapat perhatian besar di Asia sejak terjadinya krisis finansial pada pertengahan tahun 1997. Lemahnya penerapan prinsip Corporate Governance diyakini sebagai penyebab utama kerawanan ekonomi yang menyebabkan memburuknya kondisi perekonomian di beberapa negara Asia termasuk Indonesia (Purnamasari, 2014). Di Indonesia, konsep Corporate Governance diperkenalkan secara resmi pada tahun 1999 ketika Pemerintah membentuk Komite Nasional tentang Corporate Governance yang disebut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). KNKG kemudian membuat pedoman penerapan Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang dirilis pada tahun 2001. Corporate governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi, dewan komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004). Sementara Good Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham dengan tetap memperlihatkan kepentingan stakeholder
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENERAPAN CORPORATE GOVERNANCE DAN WHISTLEBLOWING SYSTEM
DI INDONESIA
A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah
Isu mengenai Corporate Governance (tata kelola perusahaan) muncul sebagai reaksi
terhadap berbagai kegagalan korporasi akibat dari buruknya tata kelola perusahaan. Krisis
Corporate Governance pertama terjadi pada tahun 1700an yang dikenal dengan The South
Sea Buble. Masalah Corporate Governance semakin mendapat perhatian besar di Asia sejak
terjadinya krisis finansial pada pertengahan tahun 1997. Lemahnya penerapan prinsip
Corporate Governance diyakini sebagai penyebab utama kerawanan ekonomi yang
menyebabkan memburuknya kondisi perekonomian di beberapa negara Asia termasuk
Indonesia (Purnamasari, 2014).
Di Indonesia, konsep Corporate Governance diperkenalkan secara resmi pada tahun
1999 ketika Pemerintah membentuk Komite Nasional tentang Corporate Governance yang
disebut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). KNKG kemudian membuat
pedoman penerapan Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang
dirilis pada tahun 2001.
Corporate governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi,
dewan komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya
yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004). Sementara Good
Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ perusahaan
guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang
bagi pemegang saham dengan tetap memperlihatkan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku (KNKG, 2006). Esensi
dari Good Corporate Governance (GCG) adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui
supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap
pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.
Untuk meningkatkan penerapan dan penegakan Good Corporate Governance,
diperlukan kebijakan penerapan whistleblowing system (sistem pelaporan pelanggaran)
sebagai bagian dari pengendalian perusahaan dalam mencegah kecurangan (fraud). Sistem ini
disusun pada 2008 dan sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan di internal perusahaan. Sistem ini disediakan agar para
karyawannya atau orang di luar perusahaan dapat melaporkan kejahatan yang dilakukan di
internal perusahaan. Pembuatan whistleblowing system ini untuk mencegah kerugian yang
diderita perusahaan-perusahaan, serta untuk menyelamatkan usaha mereka. Sistem yang
dibangun ini kemudian diterjemahkan ke dalam aturan perusahaan masing-masing. Dan
dalam tindak lanjutnya, ternyata tidak semua perusahaan yang terlibat tersebut dapat segera
menuangkan atau menerapkan sistem tersebut di dalam aturan perusahaan masing.
Menurut catatan yang dipublikasikan oleh KNKG, sistem ini dibangun karena
dilatarbelakangi hasil survey yang dilakukan oleh Institute of Bussiness Ethics (2007), yang
menyimpulkan bahwa satu di antara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran.
Tetapi lebih dari separuh (52%) yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam
dan tidak berbuat sesuatu. Menurut catatan KNKG, sistem ini diharapkan dapat bekerja
secara efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga dapat meningkatkan partisipasi
karyawan untuk melaporkan pelanggaran (Semendawai, Santoso, Wagiman, Omas,
Susilaningtias dan Wiryawan: 68-71, 2011).
Dalam whistleblowing system terdapat whistleblower yaitu seseorang yang
melaporkan adanya tindak pelanggaran. Di Indonesia istilah whistleblower menjadi makin
populer beberapa dekade terakhir, terutama sejak munculnya Khairiansyah, dan kemudian
Komisaris Jenderal (Komjen) Pol. Susno Duadji yang mengungkap korupsi di instansi tempat
mereka bekerja. Sampai sekarang ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Pengaturannya secara implisit
termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta
kemudian diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja
Sama (justice collaborator) (Semendawai dkk : v, 2011).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Sejauh mana Penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di Indonesia? ”
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penerapan Corporate
Governance dan whistleblowing system di Indonesia.
B. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kepustakaan
(Library Research), yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari berbagai sumber bacaan,
seperti buku-buku literatur, artikel-artikel terkait dan juga journal atau hasil penelitian,
mengenai penerapan Corporate Governance dan whistleblower di Indonesia
C. Hasil dan Pembahasan
1. Penerapan Corporate Governance di Indonesia
a. Kondisi Penerapan Corporate Governance di Indonesia
Krisis ekonomi yang menghantam Asia telah berlalu lebih dari delapan tahun. Krisis
ini ternyata berdampak luas teutama dalam merontokkan rezimrezim politik yang berkuasa di
Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Ketiga Negara yang diawal tahun 1990-an dipandang
sebagai “the Asian tiger”, harus mengakui bahwa pondasi ekonomi mereka rapuh, yang pada
akhirnya merambah pada krisis politik.
Setelah delapan tahun, sejak krisis tersebut melanda, kita sekarang dapat melihat
pertumbuhan kembali Negara-negara yang amat terpukul oleh krisis tersebut. Korea Selatan
yang pernah terjangkit kejahatan financial yang melibatkan para eksekutif puncak
perusahaan-perusahaan blue-chip, kini telah pulih. Perkembangan yang sama juga terlihat
dengan Thailand maupun Negara-negara ASEAN lainnya.
Di indonesia, era pascakrisis ditandai dengan goncangan ekonomi berkelanjutan,
mulai dari restrukturisasi sektor perbankan, pelelangan asset para konglomerat, yang pada
akhirnya mengakibatkan penurunan iklim usaha. Kajian yang dilakukan oleh Asian
Development Bank (ADB) menunjukkan beberapa faktor yang memberi kontribusi pada
krisis di Indonesia. Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi; kedua, tidak
efektifnya fungsi pengawasan dewan komisaris, ketiga; inefisiensi dan rendahnya
transparansi mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi perusahaan; keempat,
terlalu tingginya ketergantungan pada pendanaan eksternal; dan kelima, ketidak memadainya
pengawasan oleh para kreditor.
Tantangan terkini yang dihadapi yaitu masih belum dipahaminya secara luas prinsip-
prinsip dan praktek Good Corporate Governance (GCG) oleh komunitas bisnis baik itu
perusahaan dan masyarakat. Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG)
berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk
menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau
menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan
yang menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG
karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap
prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan.
Berdasarkan hasil survei internasional, kondisi pelaksanaan corporate governance
oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya
dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Survei yang dilakukan oleh Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA) terhadap standar-
standar corporate governance yang dilakukan oleh 495 perusahaan di 25 negara
berkembang selama bulan Februari sampai dengan bulan April tahun 2001
menunjukkan bahwa rata-rata skor total untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia
yang disurvei hanya sebesar 37,81 dari skala 0,00-100,00 (100,00 adalah nilai
tertinggi). Skor ini lebih rendah jika dibandingkan dengan skor total untuk
perusahaan-perusahaan yang disurvei di negara Singapura (64,50), Malaysia (56,60),
India (55,60), Thailand (55,10), Taiwan (54,60), Cina (49,10), Korea (47,10), dan
Filipina (43,90). Dalam hal ini terdapat tujuh aspek yang dinilai oleh CLSA, yaitu: