Top Banner
PENERAPAN CORPORATE GOVERNANCE DAN WHISTLEBLOWING SYSTEM DI INDONESIA A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Isu mengenai Corporate Governance (tata kelola perusahaan) muncul sebagai reaksi terhadap berbagai kegagalan korporasi akibat dari buruknya tata kelola perusahaan. Krisis Corporate Governance pertama terjadi pada tahun 1700an yang dikenal dengan The South Sea Buble. Masalah Corporate Governance semakin mendapat perhatian besar di Asia sejak terjadinya krisis finansial pada pertengahan tahun 1997. Lemahnya penerapan prinsip Corporate Governance diyakini sebagai penyebab utama kerawanan ekonomi yang menyebabkan memburuknya kondisi perekonomian di beberapa negara Asia termasuk Indonesia (Purnamasari, 2014). Di Indonesia, konsep Corporate Governance diperkenalkan secara resmi pada tahun 1999 ketika Pemerintah membentuk Komite Nasional tentang Corporate Governance yang disebut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). KNKG kemudian membuat pedoman penerapan Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang dirilis pada tahun 2001. Corporate governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi, dewan komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004). Sementara Good Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ perusahaan guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham dengan tetap memperlihatkan kepentingan stakeholder
27

Penerapan Gcg Di Indonesia

Feb 08, 2016

Download

Documents

ummikhalisha
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Penerapan Gcg Di Indonesia

PENERAPAN CORPORATE GOVERNANCE DAN WHISTLEBLOWING SYSTEM

DI INDONESIA

A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah

Isu mengenai Corporate Governance (tata kelola perusahaan) muncul sebagai reaksi

terhadap berbagai kegagalan korporasi akibat dari buruknya tata kelola perusahaan. Krisis

Corporate Governance pertama terjadi pada tahun 1700an yang dikenal dengan The South

Sea Buble. Masalah Corporate Governance semakin mendapat perhatian besar di Asia sejak

terjadinya krisis finansial pada pertengahan tahun 1997. Lemahnya penerapan prinsip

Corporate Governance diyakini sebagai penyebab utama kerawanan ekonomi yang

menyebabkan memburuknya kondisi perekonomian di beberapa negara Asia termasuk

Indonesia (Purnamasari, 2014).

Di Indonesia, konsep Corporate Governance diperkenalkan secara resmi pada tahun

1999 ketika Pemerintah membentuk Komite Nasional tentang Corporate Governance yang

disebut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). KNKG kemudian membuat

pedoman penerapan Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang

dirilis pada tahun 2001.

Corporate governance adalah seperangkat tata hubungan diantara manajemen, direksi,

dewan komisaris, pemegang saham dan para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya

yang mengatur dan mengarahkan kegiatan perusahaan (OECD, 2004). Sementara Good

Corporate Governance adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ perusahaan

guna memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang

bagi pemegang saham dengan tetap memperlihatkan kepentingan stakeholder lainnya,

berlandaskan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku (KNKG, 2006). Esensi

dari Good Corporate Governance (GCG) adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui

supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap

pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.

Untuk meningkatkan penerapan dan penegakan Good Corporate Governance,

diperlukan kebijakan penerapan whistleblowing system (sistem pelaporan pelanggaran)

sebagai bagian dari pengendalian perusahaan dalam mencegah kecurangan (fraud). Sistem ini

disusun pada 2008 dan sebagai salah satu upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran-

pelanggaran dan kejahatan di internal perusahaan. Sistem ini disediakan agar para

karyawannya atau orang di luar perusahaan dapat melaporkan kejahatan yang dilakukan di

Page 2: Penerapan Gcg Di Indonesia

internal perusahaan. Pembuatan whistleblowing system ini untuk mencegah kerugian yang

diderita perusahaan-perusahaan, serta untuk menyelamatkan usaha mereka. Sistem yang

dibangun ini kemudian diterjemahkan ke dalam aturan perusahaan masing-masing. Dan

dalam tindak lanjutnya, ternyata tidak semua perusahaan yang terlibat tersebut dapat segera

menuangkan atau menerapkan sistem tersebut di dalam aturan perusahaan masing.

Menurut catatan yang dipublikasikan oleh KNKG, sistem ini dibangun karena

dilatarbelakangi hasil survey yang dilakukan oleh Institute of Bussiness Ethics (2007), yang

menyimpulkan bahwa satu di antara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran.

Tetapi lebih dari separuh (52%) yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam

dan tidak berbuat sesuatu. Menurut catatan KNKG, sistem ini diharapkan dapat bekerja

secara efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga dapat meningkatkan partisipasi

karyawan untuk melaporkan pelanggaran (Semendawai, Santoso, Wagiman, Omas,

Susilaningtias dan Wiryawan: 68-71, 2011).

Dalam whistleblowing system terdapat whistleblower yaitu seseorang yang

melaporkan adanya tindak pelanggaran. Di Indonesia istilah whistleblower menjadi makin

populer beberapa dekade terakhir, terutama sejak munculnya Khairiansyah, dan kemudian

Komisaris Jenderal (Komjen) Pol. Susno Duadji yang mengungkap korupsi di instansi tempat

mereka bekerja. Sampai sekarang ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara

khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Pengaturannya secara implisit

termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta

kemudian diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja

Sama (justice collaborator) (Semendawai dkk : v, 2011).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

“Sejauh mana Penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di Indonesia? ”

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penerapan Corporate

Governance dan whistleblowing system di Indonesia.

B. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kepustakaan

(Library Research), yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari berbagai sumber bacaan,

seperti buku-buku literatur, artikel-artikel terkait dan juga journal atau hasil penelitian,

mengenai penerapan Corporate Governance dan whistleblower di Indonesia

Page 3: Penerapan Gcg Di Indonesia

C. Hasil dan Pembahasan

1. Penerapan Corporate Governance di Indonesia

a. Kondisi Penerapan Corporate Governance di Indonesia

Krisis ekonomi yang menghantam Asia telah berlalu lebih dari delapan tahun. Krisis

ini ternyata berdampak luas teutama dalam merontokkan rezimrezim politik yang berkuasa di

Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Ketiga Negara yang diawal tahun 1990-an dipandang

sebagai “the Asian tiger”, harus mengakui bahwa pondasi ekonomi mereka rapuh, yang pada

akhirnya merambah pada krisis politik.

Setelah delapan tahun, sejak krisis tersebut melanda, kita sekarang dapat melihat

pertumbuhan kembali Negara-negara yang amat terpukul oleh krisis tersebut. Korea Selatan

yang pernah terjangkit kejahatan financial yang melibatkan para eksekutif puncak

perusahaan-perusahaan blue-chip, kini telah pulih. Perkembangan yang sama juga terlihat

dengan Thailand maupun Negara-negara ASEAN lainnya.

Di indonesia, era pascakrisis ditandai dengan goncangan ekonomi berkelanjutan,

mulai dari restrukturisasi sektor perbankan, pelelangan asset para konglomerat, yang pada

akhirnya mengakibatkan penurunan iklim usaha. Kajian yang dilakukan oleh Asian

Development Bank (ADB) menunjukkan beberapa faktor yang memberi kontribusi pada

krisis di Indonesia. Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi; kedua, tidak

efektifnya fungsi pengawasan dewan komisaris, ketiga; inefisiensi dan rendahnya

transparansi mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi perusahaan; keempat,

terlalu tingginya ketergantungan pada pendanaan eksternal; dan kelima, ketidak memadainya

pengawasan oleh para kreditor.

Tantangan terkini yang dihadapi yaitu masih belum dipahaminya secara luas prinsip-

prinsip dan praktek Good Corporate Governance (GCG) oleh komunitas bisnis baik itu

perusahaan dan masyarakat. Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG)

berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk

menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional. Namun, walau

menyadari pentingnya GCG, banyak pihak yang melaporkan masih rendahnya perusahaan

yang menerapkan prinsip tersebut. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip GCG

karena dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap

prinsip tersebut sebagai bagian dari kultur perusahaan.

Page 4: Penerapan Gcg Di Indonesia

Berdasarkan hasil survei internasional, kondisi pelaksanaan corporate governance

oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya

dapat digambarkan sebagai berikut :

1) Survei yang dilakukan oleh Credit Lyonnais Securities Asia (CLSA) terhadap standar-

standar corporate governance yang dilakukan oleh 495 perusahaan di 25 negara

berkembang selama bulan Februari sampai dengan bulan April tahun 2001

menunjukkan bahwa rata-rata skor total untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia

yang disurvei hanya sebesar 37,81 dari skala 0,00-100,00 (100,00 adalah nilai

tertinggi). Skor ini lebih rendah jika dibandingkan dengan skor total untuk

perusahaan-perusahaan yang disurvei di negara Singapura (64,50), Malaysia (56,60),

India (55,60), Thailand (55,10), Taiwan (54,60), Cina (49,10), Korea (47,10), dan

Filipina (43,90). Dalam hal ini terdapat tujuh aspek yang dinilai oleh CLSA, yaitu:

transparansi, kedisplinan manajemen, kemandirian, akuntabilitas, tanggung jawab,

keadilan, dan kepedulian sosial dari perusahaan (Aries, 2008 dalam Wibowo, 2010)

2) Pada tahun 2003, CLSA pertama kali bekerja sama dengan Asian Corporate

Governance Association (ACGA) dalam melakukan survei terhadap pelaksanaan

corporate governance oleh perusahaan-perusahaan di kawasan Asia. Survei ini masih

menggunakan standar penilaian yang sama dengan tahun 2001 dan 2002 dan

dilakukan terhadap 380 perusahaan di 10 (sepuluh) negara Asia. Hasil survei

menunjukkan bahwa rata-rata skor total untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia

yang disurvei hanya sebesar 43,00 dari skala 0,00 – 100,00. Walaupun skor ini

tampak lebih tinggi dibandingkan dengan skor pada tahun sebelumnya, namun masih

lebih rendah dibandingkan dengan skor dari kebanyakan negara Asia lainnya. Hanya

ada satu negara yang disurvei yang memiliki skor lebih rendah dibandingkan

Indonesia, yaitu Filipina. Singapura mempunyai skor 69,50, Malaysia mempunyai

skor 65,00, India mempunyai skor 64,80, Thailand mempunyai skor 60,20, Taiwan

mempunyai skor 58,70, Cina mempunyai skor 57,40, Korea mempunyai skor 70,80,

dan Filipina mempunyai skor 39,80 (Gill dan Allen, 2003 dalam Wibowo, 2010).

3) Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2004, CLSA dan ACGA

melakukan penilaian pelaksanaan corporate governance berdasarkan pada 5 (lima)

aspek makro, yaitu: (i) hukum dan praktik, (ii) penegakan hukum, (iii) lingkungan

politik, (iv) standar-standar akuntansi dan audit, serta (v) budaya corporate

governance. Masing-masing aspek mempunyai sejumlah pernyataan yang harus

Page 5: Penerapan Gcg Di Indonesia

dijawab dengan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ atau ‘kadang-kadang’. Jawaban ‘ya’ diberi

nilai satu, jawaban ‘tidak’ diberi nilai nol, dan jawaban ‘kadang-kadang’ diberi nilai

setengah. Hasil survei pada tahun 2004 ini menunjukkan bahwa Indonesia

mempunyai skor yang masih rendah di bandingkan dengan negara-negara Asia

lainnya, yaitu 40,00. Sebagai perbandingan, Singapura mempunyai skor 75,00,

Hongkong mempunyai skor 67,00, India mempunyai skor 62,00, Malaysia

mempunyai skor 60,00, Taiwan mempunyai skor 55,00, Korea mempunyai skor

58,00, Thailand mempunyai skor 53,00, Filipina mempunyai skor 50,00, dan Cina

mempunyai skor 48,00 (Allen, 2004 dalam Wibowo, 2010).

4) Pada tahun 2005, dengan menggunakan standar penilaian yang sama dengan tahun

2004, hasil survei dari CLSA dan ACGA menunjukkan bahwa Indonesia masih

menempati posisi yang terendah dengan skor sebesar 37,00. Sebagai perbandingan,

Singapura mempunyai skor 70,00, Hongkong mempunyai skor 69,00, India

mempunyai skor 61,00, Malaysia mempunyai skor 56,00, Taiwan mempunyai skor

52,00, Korea dan Thailand mempunyai skor 50,00, Filipina mempunyai skor 46,00,

dan Cina mempunyai skor 44,00 (Gill dan Allen, 2005).

5) Pada tahun 2007, dengan menggunakan standar penilaian yang sama dengan tahun

2004 dan 2005, hasil survei dari CLSA dan ACGA terhadap 582 perusahaan yang

terdaftar pada bursa saham di 11 (sebelas) negara Asia menunjukkan bahwa Indonesia

masih menempati posisi yang terendah dengan skor sebesar 37,00. Sebagai

perbandingan, Hongkong mempunyai skor 67,00, Singapura mempunyai skor 65,00,

India mempunyai skor 56,00, Taiwan mempunyai skor 54,00, Jepang mempunyai

skor 52,00, Korea dan Malaysia mempunyai skor 49,00, Thailand mempunyai skor

47,00, Cina mempunyai skor 45,00, dan Filipina mempunyai skor 41,00 (Gill dan

Allen, 2007 dalam Wibowo, 2010).

b. Penyebab Penerapan Corporate Governance Belum Berjalan Secara Optimal di

Indonesia

Perusahaan-perusahaan di Indonesia belum mampu melaksanakan corporate

governance dengan sungguh-sungguh sehingga perusahaan mampu mewujudkan prinsip-

prinsip good corporate governance dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah

kendala yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan tersebut pada saat perusahaan berupaya

melaksanakan corporate governance demi terwujudnya prinsip-prinsip good corporate

Page 6: Penerapan Gcg Di Indonesia

governance dengan baik. Kendala ini dapat dibagi tiga, yaitu kendala internal, kendala

eksternal, dan kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.

Kendala internal meliputi kurangnya komitmen dari pimpinan dan karyawan

perusahaan, rendahnya tingkat pemahaman dari pimpinan dan karyawan perusahaan tentang

prinsip-prinsip good corporate governance, kurangnya panutan atau teladan yang diberikan

oleh pimpinan, belum adanya budaya perusahaan yang mendukung terwujudnya prinsip-

prinsip good corporate governance, serta belum efektifnya sistem pengendalian internal

(Djatmiko, 2004 dalam Wibowo, 2010). Kendala eksternal dalam pelaksanaan corporate

governance terkait dengan perangkat hukum, aturan dan penegakan hukum (law-

enforcement). Indonesia tidak kekurangan produk hukum, secara implisit ketentuan-ketentuan

mengenai GCG telah ada tersebar dalam UUPT, Undang-undang dan Peraturan Perbankan,

Undang-undang Pasar Modal dan lain-lain. Namun penegakannya oleh pemegang otoritas,

seperti Bank Indonesia, Bapepam, BPPN, Kementerian Keuangan, BUMN, bahkan

pengadilan sangat lemah. Oleh karena itu diperlukan test-case atau kasus preseden untuk

membiasakan proses, baik yang yudisial maupun quasi-yudisial dalam menyelesaikan

praktik-praktik pelanggaran hukum perusahaan atau GCG. Baik kendala internal maupun

kendala eksternal sama-sama penting bagi perusahaan, namun demikian, jika kendala internal

bisa dipecahkan maka kendala eksternal akan lebih mudah diatasi (Djatmiko, 2004 dalam

Wibowo, 2010).

Kendala yang ketiga adalah kendala yang berasal dari struktur kepemilikan.

Berdasarkan persentasi kepemilikan dalam saham, kepemilikan terhadap perusahaan dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu kepemilikan yang terkonsentrasi dan kepemilikan yang

menyebar. Kepemilikan yang terkonsentrasi terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki

secara dominan oleh seseorang atau sekelompok orang saja (40,00% atau lebih). Kepemilikan

yang menyebar terjadi pada saat suatu perusahaan dimiliki oleh pemegang saham yang

banyak dengan jumlah saham yang kecil-kecil (satu pemegang saham hanya memiliki saham

sebesar 5% atau kurang). Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh struktur

kepemilikan adalah perusahaan tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan dengan baik karena

pemegang saham yang terkonsentrasi pada seseorang atau sekelompok orang dapat

menggunakan sumberdaya perusahaan secara dominan sehingga dapat mengurangi nilai

perusahaan. Sama seperti halnya kendala eksternal, dampak negatif yang ditimbulkan dari

struktur kepemilikan dapat diatasi jika perusahaan memiliki sistem pengendalian internal

yang efektif, seperti mempunyai sistem yang menjamin pendistribusian hak-hak dan

Page 7: Penerapan Gcg Di Indonesia

tanggung jawab secara adil di antara berbagai partisipan dalam organisasi (Dewan Komisaris,

Dewan Direksi, manajer, pemegang saham, serta pemangku kepentingan lainnya), dan

dampak negatif ini juga akan hilang jika dalam stuktur organisasinya, perusahaan mempunyai

Komisaris Independen dengan jumlah tertentu dan memenuhi kualifikasi yang ditentukan

(syarat-syarat yang ditentukan untuk menjadi Komisaris Independen). Keberadaan Komisaris

Independen ini diharapkan mampu mendorong dan menciptakan iklim yang lebih

independen, objektif, dan menempatkan keadilan sebagai prinsip utama yang memperhatikan

kepentingan pemegang saham minoritas dan pemangku kepentingan lainnya. Peran

Komisaris Independen ini diharapkan mampu mendorong diterapkannya prinsip dan praktik

corporate governance pada perusahaan-perusahaan publik di Indonesia, termasuk BUMN.

Upaya perusahaan untuk menghadirkan sistem pengendalian internal yang efektif tersebut

terkait dengan upaya perusahaan untuk mengatasi kendala internalnya. Dengan demikian,

dapat dikatakan bahwa dampak negatif dari struktur kepemilikan akan hilang jika perusahaan

mampu mengatasi permasalahan yang terkait dengan kendala internalnya (Aries, 2008 dalam

Wibowo, 2010).

c. Penerapan Good Corporate Governance (GCG) di Indonesia

Terdapat tiga arah agenda penerapan GCG di Indonesia (BP BUMN, 1999) yakni,

menetapkan kebijakan nasional, menyempurnaan kerangka nasional dan membangun inisiatif

sektor swasta. Terkait dengan kerangka regulasi, Bapepam bersama dengan self-regulated

organization (SRO) yang didukung oleh Bank Dunia dan ADB telah menghasilkan beberap

proyek GCG seperti JSX Pilot project, ACORN, ASEM, dan ROSC. Seiring dengan proyek-

proyek ini, kementerian BUMN juga telah mengembangkan kerangka untuk penerapan GCG.

Dalam kaitan dengan peran dan fungsi tersebut, BAPEPAM dapat memastikan bahwa

berbagai peraturan dan ketentuan yang ada, terus menerus disempurnakan, serta berbagai

pelanggaran yang terjadi akan mendapatkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal

regulatory framework, untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

korporasi dan program reformasi hukum, pada umumnya terdapat beberapa capaian yang

terkait dengan penerapan GCG seperti diberlakukannya undang-undang tentang Bank

Indonesia di tahun 1998, undang-undang anti korupsi tahun 1999, dan undang-undang

BUMN, serta privatisasi BUMN tahun 2003.

Demikian pula dengan proses amandemen undang-undang perseroan terbatas, undang-

undang pendaftaran perusahaan, serta undang-undang kepailitan yang saat ini masih sedang

Page 8: Penerapan Gcg Di Indonesia

dalam proses penyelesaian. Dalam pelaksanaan program reformasi hukum, terdapat beberapa

hal penting yang telah diterapkan, misalnya pembentukan pengadilan niaga yang dimulai

tahun 1997 dan pembentukan badan arbitrasi pasar modal tahun 2001. Bergulirnya reformasi

corporate governance masih menyisakan hal-hal strategis yang harus dikaji, seperti

kesesuaian dan sinkronisasi berbagai peraturan perundangan yang terkait. Demikian pula

yang terkait dengan otonomi daerah, permasalahan yang timbul dalam kerangka regulasi

adalah pemberlakuan undang-undang otonomi daerah yang cenderung kebablasan tanpa

diikuti dengan kesadaran dan pemahaman good governance itu sendiri. Inisiatif di sektor

swasta terlihat pda aktivitas organisasi-organisasi corporate governance dalam bentuk upaya-

upaya sosialisasi, pendidikan, pelatihan, pembuatan rating, penelitian, dan advokasi.

Pendatang baru di antara organisasi-organisasi ini adalah IKAI dan LAPPI. IKAI adalah

asosiasi untuk para anggota komite audit, sedangkan LAPPI (lembaga advokasi, proxi, dan

perlindungan investor) pada dasarnya berbagi pengalaman dalam shareholders activism,

dengan misi utama melindungi kepentingan para pemegang saham minoritas.

Dalam penerapan GCG di Indonesia, seluruh pemangku kepentingan turut

berpartisipasi. Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance yang diawal tahun 2005 di

ubah menjadi Komite Nasional Kebijkan Governance telah menerbitkan pedoman GCG pada

bulan Maret 2001. Pedoman tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Pedoman GCG

Perbankan Indonesia, Pedoman untuk komite audit, dan pedoman untuk komisaris

independen di tahun 2004. Semua publikasi ini dipandang perlu untuk memberikan acuan

dalam menerapkan GCG.

Pemerintah pun melakukan upaya-upaya khusus bergandengan tangan dengan

komunitas bisnis dalam mensosialisasikan dan mengpenerapankan GCG. Dua sektor penting

yakni BUMN dan Pasar Modal telah menjadi perhatian pemerintah. Aspek baru dalam

implentasi GCG di lingkungan BUMN adalah kewajban untuk memiliki statement of

corporate intent (SCI). SCI pada dasarnya adalah komitmen perusahaan terhadap pemegang

saham dalam bentuk suatu kontrak yang menekankan pada strategi dan upaya manajemen dan

didukung dengan dewan komisaris dalam mengelola perusahaan. Terkait dengan SCI, direksi

diwajibkan untuk menanda tangani appointment agreements (AA) yang merupakan

komitmen direksi untuk memenuhi fungsi-fungsi dan kewajiban yang diembannya. Indikator

kinerja direksi terlihat dalam bentuk reward and punishment system dengan meratifikasi

undang-undang BUMN.

Page 9: Penerapan Gcg Di Indonesia

Pasar modal juga perlu menerapkan prinsip-prinsip GCG untuk perusahaan publik. Ini

ditunjukkan melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ), yang

menyatakan bahwa seluruh perusahaan tercatat wajib melaksanakan GCG. Penerapan GCG

dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan kepentingan investor, terutam para

pemegang saham di perusahaan-perusahaan terbuka.

Di samping itu, penerapan GCG akan mendorong tumbuhnya mekanisme check and

balance di lingkungan manajemen khususnya dalam memberi perhatian kepada kepentingan

pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini terkait dengan peran pemegang

saham pengendali yang berwenang mengangkat komisaris dan direksi, dan dapat

mempengaruhi kebijakan perusahaan. Di samping pelindungan investor, regulasi mewajibkan

sistem yang menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi bisnis antar perusahaan

dalam satu grup yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.

Semangat untuk memperoleh persetujuan publik dalam transaksi, merupakan bentuk

penerapan prinsip akuntabilitas. Diperkenalkannya komisaris independen, komite audit, dan

sekretaris perusahaan juga menjadi fokus regulasi BEJ. Independensi komisaris dimaksudkan

untuk memastikan bahwa komisaris independen tidak memiliki afiliasi dengan pemegang

saham, dengan direksi dan dengan komisaris; tidak menjabat direksi di perusahaan lain yang

terafiliasi; dan memahami berbagai regulasi pasar modal. Sedangkan terkait dengan

kewajiban untuk memiliki direktur independen, dalam sistem two tier yang kita anut, justru

akan lebih efektif bilamana bursa mewajibkan perusahaan untuk memiliki komite nominasi

dan remunerasi.

Tujuan pedoman tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas disclosure perusahaan-

perusahaan publik. Pedoman ini merupakan hasil kolaborasi antara BEJ, IAI, AEI, dan

Bapepam. Perkembangan terbaru di Pasar modal adalah batas waktu penyerahan laporan

tahunan yakni 90 hari sejak tutup buku, lebih pendek dari regulasi sebelumnya yakni 120

hari. Regulasi ini merupkan indikasi kekonsistenan penegakan GCG oleh Bapepam.

Bapepam secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong penerapan prinsip-

prinsip GCG di Indonesia, dengan menerbitkan peraturan dan kebijakan yang terkait dengan

GCG. Peraturan-peraturan tersebut antara lain menyangkut keputusan Bapepam mengenai

prinsip transparansi yang mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi kepada

publik, disclosure mengenai beberapa aspek yang terkait dengan pemegang saham, transaksi

material, dan perubahan dalam aktivitas bisnis inti, keputusan mengenai merger dan akuisisi

Page 10: Penerapan Gcg Di Indonesia

perusahaan publik, serta ketentuan tentang pengungkapan mengenai apakah suatu perusahaan

tengah dalam proses peradilan kepailitan.

Kedua, keputusan Bapepam yang terkait dengan penerapan prinsip-prinsip kewajaran

terutama untuk perlindungan kepentingan dan hak pemegang saham, ketentuan mengenai

benturan kepentingan dalam transaksi-transaksi tertentu, dan ketentuan mengenai penawaran

tender. Ketiga, keputusan Bapepam mengenai penerapan prinsip responsibilitas dan

akuntabilitas seperti keputusan mengenai merger dan akuisisi perusahaan publik, terutama

terkait dengan kewajiban direksi dan dewan komisaris untuk membuat pernyataan kepada

Bapepam dan RUPS bahwa merger dan akuisisi yang hendak dilakukan telah

mempertimbangkan secara matang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders,

kepentingan publik, kepentingan perusahaan, persaingan yang sehat, dan jaminan akan

terpenuhinya hak-hak pemegang saham publik termasuk kewajiban untuk memiliki komite

audit.

Selain Bapepam, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bagian dari tatanan perekonomian

Indonesia juga perlu mendorong penerapan GCG melalui peraturan pencatatan. BEI perlu

untuk mengenalkan pengaturan tentang GCG saat pencatatan efek dalam rangka perbaikan

iklim bisnis. Dengan pengaturan tersebut, diharapkan perusahaan yang go public dapat

meningkatkan transparansi dan mengurangi resiko perusahaan publik. Harapannya, informasi

yang tersedia bagi pemodal bisa memadai dan pada gilirannya akan menarik minat investor

untuk berinvestasi di bursa Indonesia. Harus diakui, sejumlah realitas dunia usaha kita

memang menyiratkan tantangan cukup berat untuk penerapan GCG. Terutama di kalangan

perusahaan- perusahaan yang tercatat di bursa. Realitas tersebut sering membuat upaya

menerapkan GCG secara konsisten menjadi sulit. Penyebabnya antara lain:

Prasyarat penting dalam penerapan GCG adalah pemetaan keadaan saat ini. Bank

Dunia melalui policy recommendation of ROSC telah melakukan pemetaan. Berikut ini

adalah beberapa rekomendasi utama Bank Dunia :

1) Pemegang saham minoritas harus diberikan hak voting dalam proses nominasi

anggota dewan komisaris dan direksi, misalnya dengan memberikan hak-hak kepada

pemegang saham minoritas tanpa harus melanggar ketentuan one share one vote.

2) Perusahaan-perusahaan publik disarankan untuk memiliki komite nominasi dan

remunasi. Rekomendasi ini diatur melalui pedoman pembentukan komite nominasi

dan remunasi. Hal ini harus didukung oleh Bapepam dan BEJ dengan mengeluarkan

Page 11: Penerapan Gcg Di Indonesia

peraturan yang mewajibkan perusahaan publik memiliki komite nominasi dan

remunasi.

3) Direkomendasikan untuk mengadopsi standar internasional dalam pelaporan

keuangan. Pernyataan standar akuntansi keuangan yang ada saat ini sudah hampir

sejalan dengan International Accounting Standard (IAS).

4) Langkah-langkah untuk dan melindungi kepentingan pemegang saham minoritas.

5) Memperkuat pengawasan pasar oleh Bapepam dan BEJ. Pengembangan pengawasan

pasar dapat dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia dan teknologi

informasi. Bapepam dan BEJ harus mengintegrasikan sistem-sistem pengawasan

mereka, yang didukung dengan sumber daya manusia yang profesional.

6) Mengkonfirmasi tanggung jawab hukum para akuntan. Disarankan agar rancangan

undang-undang akuntan publik memperkuat tanggung jawab hukum para akuntan,

khususnya yang terkait dengan pihak ketiga dan untuk memungkinkan tuntutan

hukum terhadap para akuntan sekiranya terdapat fraud maupun kelalaian nyata.

7) Memperpendek jangka waktu penyerahan laporan tahunan. Dari semula 120 hari, dan

sejak tahun 2003 telah dikurangi menjadi 90 hari.

8) Mengklarifikasi hak-hak dan akuntabilitas komisaris independen. Dalam undang

perseroan terbatas, peran komisaris independen di setarakan dengan peran komisaris.

9) Merumuskan lebih jauh pedoman mengenai independensi para komisaris independent.

Hal ini terkait dengan uraian tentang peran, kewajiban, dan akuntabilitas komisaris

independent.

10) Agar terdapat rumusan yang jelas mengenai transaksi-transaksi yang memiliki

benturan kepentingan bagi para direksi. Situasi benturan kepentingan harus diatur

dalam pedoman perilaku (codeof conduct) perusahaan (Kaihatu, 2006).

2. Penerapan Whistleblowing System di Indonesia

a. Kondisi Whistleblower di Indonesia

Kesaksian whistleblower kepada lembaga perlindungan saksi dapat ditangani dengan

baik bila lembaga yang menangani laporannya dinyatakan secara tegas dan beroperasi secara

efektif. Namun, sejauh mana lembaga tersebut dapat menangani lebih baik, sangat tergantung

pada produk undang-undang yang mengatur. Misalnya, adanya perlindungan hukum dalam

ketentuan perundang-undangan khusus bagi whistleblower.

Page 12: Penerapan Gcg Di Indonesia

Di Indonesia, kesadaran terhadap pentingnya sistem pelaporan dan perlindungan

terhadap whistleblower mulai meningkat. Beberapa lembaga, seperti Komite Nasional

Kebijakan Governance (KNKG) terus “mempromosikan” praktik-praktik tata kelola yang

baik (good governance), termasuk di sektor swasta. Perusahaan-perusahaan besar dan

memiliki manajemen yang baik juga sudah mulai menerapkan sistem pelaporan untuk

menerima laporan dari karyawan atau whistleblower. Akan tetapi, di Indonesia, memang

belum berkembang lembaga yang dapat menerima pelaporan whistleblower di sektor swasta.

Pelaporan whistleblower di sektor swasta masih dominan ditangani secara internal oleh

perusahaan. Misalnya, melalui lembaga ombudsman atau tim audit yang dibentuk oleh

perusahaan atau Dewan Komisaris perusahaan. Sementara untuk lingkup sektor

pemerintahan, baru lembaga-lembaga pengawas atau lembaga negara ad hoc yang menerima

laporan dugaan praktik menyimpang dari aparat Pemerintah. Misalnya, Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial (KY), Komisi

Hak Nasional Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Ombudsman. Belum terlihat bagaimana

sistem pelaporan dan perlindungan pelapor whistleblower yang lebih baik dan mendorong

munculnya peran whistleblower di sektor Pemerintah.

Mekanisme pelaporan dan perlindungan terhadap pelapor atau whistleblower belum

sepenuhnya diatur dengan jelas dan tegas dengan produk perundang-undangan. Meskipun

demikian, beberapa lembaga, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sudah membangun sistem pelaporan

dan perlindungan yang lebih jelas. Lembaga-lembaga yang memiliki sistem pelaporan

whistleblower sebenarnya dapat bekerja sama dengan LPSK. LPSK memiliki sistem

pelaporan dan perlindungan saksi yang lebih jelas karena secara eksplisit diatur dalam UU

No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Aturan main atau ketentuan

sistem pelaporan tampaknya sudah seharusnya dipertegas. Misalnya, laporan apa yang dapat

dilaporkan, apa persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat melapor, bagaimana tindak

lanjut laporan yang telah disampaikan. Aturan yang jelas seperti itu sangat penting untuk

meyakinkan whistleblower bahwa laporannya terkait dugaan suatu tindak pidana benar-benar

ditindaklanjuti.

Sistem pengungkapan kesalahan atau whistleblowing sebenarnya tidak hanya terkait

dengan sistem pelaporan, melainkan juga sistem perlindungan whistleblower. Sistem

perlindungan itu meliputi perlindungan secara fisik terhadap whistleblower maupun non fisik.

Page 13: Penerapan Gcg Di Indonesia

Perlindungan secara fisik misalnya terkait dengan penempatan whistleblower di tempat yang

aman, perubahan identitas, termasuk perlindungan terhadap keluarga whistleblower. Melalui

perlindungan fisik itu, diharapkan whistleblower dapat terhindari dari tindakan balas dendam,

intimidasi, atau ancaman lainnya. Perlindungan nonfisik menyangkut perlindungan

whistleblower dari resiko pemecatan dari tempat ia bekerja, dikriminalisasikan,

pendampingan secara psikologis, dan komunikasi yang efektif dengan lembaga yang

menangani laporan untuk memastikan perkembangan penangangan laporan. Sistem

perlindungan juga terkait dengan pemberian balas jasa atau reward terhadap whistleblower.

Di negara yang situasi penegakan hukumnya yang tidak kuat seperti Indonesia, bukan perkara

sulit bagi para atasan atau pihak yang berkuasa dalam sebuah organisasi untuk

mempidanakan atau menyeret pengungkap fakta ini menjadi pihak yang bersalah. Mereka

yang diungkap terlibat dalam skandal kejahatan dapat menggunakan aparat hukum untuk

mengkriminalkan para whistleblower (Semendawai dkk: 10-12, 2011).

b. Penerapan Whistleblowing System di Indonesia

Untuk dapat menerapkan sistem whistleblowing, perlu diperhatikan beberapa hal antara lain :

1) Komitmen Perusahaan dan Karyawan

Untuk mempraktekkan whistleblowing system diperlukan adanya pernyataan

komitmen kesediaan dari seluruh karyawan untuk melaksanakan sistem pelaporan

pelanggaran. Karyawan juga dituntut untuk berpartisipasi aktif untuk ikut melaporkan bila

menemukan adanya pelanggaran. Secara teknis, pernyataan ini dapat dibuat tersendiri, atau

dijadikan dari bagian perjanjian kerja bersama, atau bagian dari pernyataan ketaatan terhadap

pedoman etika perusahaan.

Sementara itu, perusahaan juga harus memiliki komitmen untuk membuat kebijakan

untuk melindungi pelapor. Kebijakan ini harus dinyatakan secara tegas, sehingga para

karyawan atau pelapor dari luar dapat melaporkan tanpa dihantui rasa takut dipecat atau

diberi sanksi tertentu. Selain itu kebijakan ini juga dapat menjelaskan maksud dari

perlindungan tersebut adalah untuk mendorong terjadinya pelaporan pelanggaran dan

menjamin keamanan si pelapor maupun keluarganya.

Dalam kebijakan ini harus dijelaskan secara tegas saluran pelaporan mana yang

tersedia untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi. Selain itu juga ada pernyataan bahwa

semua laporan pelanggaran akan dijamin kerahasiaan dan keamanannya oleh perusahaan.

Page 14: Penerapan Gcg Di Indonesia

Bila pelapor menyertakan identitasnya secara jelas ia juga dijamin haknya untuk memperoleh

informasi mengenai tindak lanjut atas laporannya.

Kebijakan ini juga menjelaskan bagaimana seorang pelapor dapat mengadukan bila

mendapatkan balasan berupa tekanan atau ancaman atau tindakan pembalasan lain yang

dialaminya. Saluran pelaporan pengaduan ini harus jelas dan kepada siapa harus mengajukan

pengaduan, misalnya, Komite Integritas, Komite Pemantau Sistem Pelaporan Pelanggaran,

Komite Audit, Komite GCG atau yang lainnya. Dalam hal masalah ini tidak dapat

dipecahkan secara internal, pelapor dijamin haknya untuk membawa ke lembaga independen

di luar perusahaan, seperti misalnya mediator atau arbitrase atas biaya perusahaan.

Yang lebih penting lagi bahwa menurut ketentuan di dalam KNKG, kebijakan

perlindungan harus menyatakan secara jelas bahwa seorang pelapor pelanggaran akan

mendapatkan perlindungan dari perusahaan terhadap perlakuan yang merugikan seperti:

i. Pemecatan yang tidak adil

ii. Penurunan jabatan atau pangkat

iii. Pelecahan atau diskriminasi dalam segala bentuknya

iv. Catatan yang merugikan dalam file data pribadinya (personal file record)

Sistem pelaporan pelanggaran disarankan berada pada direksi, khususnya

direktur utama. Dewan komisaris akan melakukan pengawasan atas kecukupan

dan efektivitas pelaksanaan sistem tersebut

2) Komitmen Perusahaan untuk melindungi dan menindaklanjuti laporan Whistleblower

Laporan-laporan dari para whistleblower tersebut tidak hanya dibiarkan, tetapi

ditindaklanjuti dengan penelitian dan investigasi. Bahkan dalam kondisi tertentu perusahaan

berkomitmen untuk melindungi whistleblower jika mengancam jiwa, harta benda dan

pekerjaannya.

3) Mekanisme Penyampaian Laporan Pelanggaran

i. Infrastruktur dan Mekanisme Penyampaian Laporan

Perusahaan harus menyediakan saluran khusus yang digunakan untuk

menyampaikan laporan pelanggaran, baik itu berupa email dengan alamat khusus

yang tidak dapat diterobos oleh bagian Information Technology (IT) perusahaan,

atau kotak pos khusus yang hanya boleh diambil oleh petugas Whistleblowing

sistem, ataupun saluran telepon khusus yang akan dilayani oleh petugas khusus

pula.

Page 15: Penerapan Gcg Di Indonesia

Informasi mengenai adanya saluran ini dan prosedur penggunaannya haruslah

diinfromasikan secara meluas ke seluruh karyawan. Begitu pula bagan alur

penanganan pelaporan pelanggaran haruslah disosialisasikan secara meluas, dan

terpampang di tempat-tempat yang mudah diketahui oleh karyawan perusahaan.

Dalam prosedur penyampaian laporan pelanggaran juga harus dicantumkan dalam

hal pelapor melihat bahwa pelanggaran dilakukan oleh petugas whistleblowing

sistem, maka laporan pelanggaran harus dikirimkan langsung kepada direktur

utama perusahaan.

ii. Kerahasiaan

Kerahasiaan identitas pelapor adalah penting untuk dijaga dalam sistem ini.

Informasi dan identitas pelapor pelanggaran dibatasi hanya pada petugas

perlindungan pelapor dan berkasnya disimpan di tempat yang aman. Selain

jaminan kerahasiaan identitas pelapor, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk

menjaga kerahasiaan perlindungan terhadap pelapor. Pelapor Anonim

diperbolehkan dalam hal ini dan tidak ada diskriminasi untuk menindaklanjuti

laporan daripelapor anonim.

iii. Kekebalan Administratif

Perusahaan mengembangkan budaya yang mendorong karyawan untuk berani

melaporkan tindakan pelanggaran yang diketahuinya. Hal ini dilakukan dengan

memberikan kekebalan atas sanksi administratif kepada pelapor yang beritikad

baik.

iv. Komunikasi dengan Pelapor

Komunikasi dengan pelapor dilakukan melalui satu petugas, yaitu petugas

whistleblowing system yang menerima pelaporan pelanggaran. Dalam komunikasi

ini pelapor juga akan memperoleh informasi mengenai penanganan kasus yang

dilaporkannya, apakah ditindaklanjuti atau tidak.

v. Investigasi

Investigasi dapat dilakukan untuk menindaklanjuti pelaporan pelanggaran.

Investigasi ini dilakukan oleh petugas sub unit investigasi. Dalam kasus yang

serius dan sensitif, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan

investigator/auditor eksternal yang independen dalam melakukan investigasi

laporan pelanggaran tersebut.

vi. Mekanisme Pelaporan

Page 16: Penerapan Gcg Di Indonesia

Mekanisme pelaporan internal sistem pelaporan pelanggaran dirancang

sedemikian rupa, sehingga dapat memastikan bahwa:

Semua pelanggaran yang telah dilaporkan dan diverifikasi telah tertangani

dengan baik.

Pelanggaran yang berulang dan sistemik telah dilaporkan kepada pejabat

terkait yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbaikan, misalnya

pelanggaran di bidang pengadaan barang dan jasa dilaporkan kepada direktur

umum yang membawahi bagian pengadaan.

Perusahaan-perusahaan publik yang telah mempunyai dan menerapkan sistem

whistleblower adalah PT. Telkom, Pertamina, United Tractors, dan Astra Group. Pelaksanaan

teknis sistem whistleblower di PT. Telkom dan Pertamina dilakukan oleh pihak ketiga secara

outsourcing (Semendawai dkk: 71-75, 2011).

D. Keterbatasan dan Implikasi

Penelitian tentang penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di

Indonesia ini membatasi hanya pada sejauh mana penerapan Corporate Governance dan

whistleblowing system di Indonesia, kendala yang dihadapi serta hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam penerapan.

Namun demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

sejauh mana penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di Indonesia,

kendala yang dihadapi serta hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan. Selain itu,

hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan saran perbaikan untuk peningkatan

penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di Indonesia sebagai bagian

dari pengendalian perusahaan dalam mencegah kecurangan (fraud).

E. Orisinalitas

Penelitian dengan judul “Penerapan Corporate Governance dan Whistleblowing

System di Indonesia” berbeda dengan penelitian sebelumnya karena penelitian ini berfokus

pada sejauh mana penerapan Corporate Governance dan whistleblowing system di Indonesia,

kendala yang dihadapi serta hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan. Penelitian ini

merupakan hasil karya kami sendiri, dan semua sumber telah kami nyatakan dengan benar.

F. Referensi

Page 17: Penerapan Gcg Di Indonesia

Kaihatu, Thomas S, 2006. Good Corporate Governance dan Penerapannya di Indonesia,

Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 8, No. 1, Maret 2006: 1-9.

Kamal, Miko, 2011. Konsep Corporate Governance di Indonesia: Kajian atas Kode Corporate

Governance, Jurnal Manajemen Teknologi Volume 10 Number 2 2011.

Komisi Pemberantasan Korupsi, 2007. Studi Implementasi Good Corporate Governance di

Sektor Swasta, BUMN dan BUMD. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi

Pemberantasan Korupsi.

Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006, Pedoman Umum Good Corporate

Governance Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Governance.

Purnamasari, Fitriana, 2014. Pengaruh Penerapan Mekanisme Good Corporate Governance

Terhadap Kinerja Suatu Perusahaan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Semendawai, Abdul Haris, Ferry Santoso, Wahyu Wagiman, Betty Itha Omas, Susilaningtias,

Syahrial Martanto dan Wiryawan, 2011. Memahami Whistleblower, Cetakan Pertama,

Penerbit Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Jakarta.

Wibowo, Edi, 2010. Implementasi Good Corporate Governance, Jurnal Ekonomi dan

Kewirausahaan Vol. 10, No. 2, Oktober 2010 : 129-138.