PENENTUAN KEBIJAKAN ORDER DENGAN PENDEKATAN VENDOR MANAGED INVENTORY UNTUK SINGLE SUPPLIER, MULTI PRODUCT DAN MULTI RETAILER DI PT. PETROKIMIA GRESIK (PERSERO) Novita Purna Fachristy, Prof. Ir. I Nyoman Pujawan, M.Eng., Ph. D, dan Niniet Indah Arvitrida, ST. MT. Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Email: [email protected]; [email protected]; [email protected]ABSTRAK PT. Petrokimia Gresik (Persero) merupakan perusahaan pupuk di Jawa Timur yang wilayah pemasarannya meliputi seluruh wilayah di Indonesia. Dalam memproduksi pupuk sebagai produk utamanya, PT. Petrokimia Gresik (Persero) harus mampu meminimumkan biaya operasi dan produksinya. Sistem persediaan di PT. Petrokimia Gresik (Persero) ada dua macam gudang, yaitu gudang pusat dan gudang-gudang penyangga. Sistem persediaan dengan menggunakan dua macam gudang ini menggunakan sistem persediaan banyak eselon (Multi Echelon Inventory). Dalam pengiriman pupuk ke Gudang Penyangga sering kali mengalami kehabisan stock maupun kelebihan stock yang mana menyebabkan biaya yang sangat tinggi dan akan berpengaruh terhadap persediaan distributor. Untuk itu diperlukan pengaturan kebijakan order yang tepat dari gudang pusat ke gudang penyangga serta dari gudang penyangga ke distributor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kebijakan order pengiriman produk yang tepat pada kebijakan Vendor Managed Inventory dengan menggunakan penerapan metode kebijakan pengelolaan vendor managed inventory dengan pendekatan (s,S) sehingga mampu mengakomodasi perencanaan inventori oleh supplier. Pengelolaan inventori dilakukan dengan mempertimbangkan parameter-paramater dan biaya inventori terkait. Penerapan model pengelolaan vendor managed inventory terintegrasi akan menghasilkan nilai (s,S) untuk tiap produk di pihak supplier. Selain itu model ini akan berdampak pada perubahan alur replenishment sehingga menyebabkan perubahan pada biaya yang dikeluarkan. Untuk itu, akan dibandingkan total biaya antara sistem kebijakan pengelolaan inventori eksisting dan alternatif kebijakan pengelolaan vendor managed inventory terintegrasi dengan pendekatan (s,S) untuk kasus single supplier, yaitu PT. Petrokimia Gresik danmulti retailer (retailer/distributor dari PT. Petrokimia Gresik) untuk multi product sehingga didapatkan keuntungan secara kuantitatif dengan meminimalkan biaya operasional perusahaan dan dapat menghasilkan keputusan pengiriman yang optimal daripada keadaan eksisting yang ada. Hasil output dari perbandingan hasil simulasi penerapan VMI terhadap kondisi eksisting secara umum adalah rata-rata peningkatan service level yang dihasilkan adalah sebesar 0,91%, sedangkan rata-rata saving total cost adalah sebesar 20%. Kata kunci : Single supplier-multi product-multiretailer, Pendekatan (s,S), Vendor Managed Inventory. ABSTRACT PT. Petrokimia Gresik (Persero) is a fertilizer company in East Java which covers the whole of it’s marketing areas in Indonesia. In producing fertilizer as it’s main products, PT. Petrokimia Gresik (Persero) should be able to minimize operating costs and production. Inventory system at PT. Petrokimia Gresik (Persero) there are two kinds of warehouses, namely the central warehouse and warehouses buffer. Inventory system using two kinds of these warehouses use a lot echelon inventory system (Multi-Echelon Inventory). In the fertilizer shipments to the warehouse Buffer often have run out of stock or excess stock which led to a very high cost and will affect the stock distributor. It required the right policy settings orders from a central warehouse to warehouse and from warehouse buffer buffer to the distributor. The purpose of this study was to determine the policy of shipping orders right product on Vendor Managed Inventory policy by using the application method of management policies with approaches vendor managed inventory (s, S) so as to accommodate the inventory planning by suppliers. Inventory management is done by considering the parameters-parameters and associated
15
Embed
PENENTUAN KEBIJAKAN ORDER DENGAN PENDEKATAN …digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-16764-Paper-pdf.pdf · PENENTUAN KEBIJAKAN ORDER DENGAN PENDEKATAN VENDOR MANAGED INVENTORY
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENENTUAN KEBIJAKAN ORDER DENGAN PENDEKATAN VENDOR MANAGED
INVENTORY UNTUK SINGLE SUPPLIER, MULTI PRODUCT DAN MULTI
RETAILER DI PT. PETROKIMIA GRESIK (PERSERO)
Novita Purna Fachristy, Prof. Ir. I Nyoman Pujawan, M.Eng., Ph. D, dan Niniet Indah
Arvitrida, ST. MT. Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
ABSTRAK PT. Petrokimia Gresik (Persero) merupakan perusahaan pupuk di Jawa Timur yang
wilayah pemasarannya meliputi seluruh wilayah di Indonesia. Dalam memproduksi pupuk sebagai produk utamanya, PT. Petrokimia Gresik (Persero) harus mampu meminimumkan biaya operasi dan produksinya. Sistem persediaan di PT. Petrokimia Gresik (Persero) ada dua macam gudang, yaitu gudang pusat dan gudang-gudang penyangga. Sistem persediaan dengan menggunakan dua macam gudang ini menggunakan sistem persediaan banyak eselon (Multi Echelon Inventory). Dalam pengiriman pupuk ke Gudang Penyangga sering kali mengalami kehabisan stock maupun kelebihan stock yang mana menyebabkan biaya yang sangat tinggi dan akan berpengaruh terhadap persediaan distributor. Untuk itu diperlukan pengaturan kebijakan order yang tepat dari gudang pusat ke gudang penyangga serta dari gudang penyangga ke distributor.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan kebijakan order pengiriman produk yang tepat pada kebijakan Vendor Managed Inventory dengan menggunakan penerapan metode kebijakan pengelolaan vendor managed inventory dengan pendekatan (s,S) sehingga mampu mengakomodasi perencanaan inventori oleh supplier. Pengelolaan inventori dilakukan dengan mempertimbangkan parameter-paramater dan biaya inventori terkait. Penerapan model pengelolaan vendor managed inventory terintegrasi akan menghasilkan nilai (s,S) untuk tiap produk di pihak supplier. Selain itu model ini akan berdampak pada perubahan alur replenishment sehingga menyebabkan perubahan pada biaya yang dikeluarkan. Untuk itu, akan dibandingkan total biaya antara sistem kebijakan pengelolaan inventori eksisting dan alternatif kebijakan pengelolaan vendor managed inventory terintegrasi dengan pendekatan (s,S) untuk kasus single supplier, yaitu PT. Petrokimia Gresik danmulti retailer (retailer/distributor dari PT. Petrokimia Gresik) untuk multi product sehingga didapatkan keuntungan secara kuantitatif dengan meminimalkan biaya operasional perusahaan dan dapat menghasilkan keputusan pengiriman yang optimal daripada keadaan eksisting yang ada.
Hasil output dari perbandingan hasil simulasi penerapan VMI terhadap kondisi eksisting secara umum adalah rata-rata peningkatan service level yang dihasilkan adalah sebesar 0,91%, sedangkan rata-rata saving total cost adalah sebesar 20%. Kata kunci : Single supplier-multi product-multiretailer, Pendekatan (s,S), Vendor Managed
Inventory.
ABSTRACT
PT. Petrokimia Gresik (Persero) is a fertilizer company in East Java which covers the whole of it’s marketing areas in Indonesia. In producing fertilizer as it’s main products, PT. Petrokimia Gresik (Persero) should be able to minimize operating costs and production. Inventory system at PT. Petrokimia Gresik (Persero) there are two kinds of warehouses, namely the central warehouse and warehouses buffer. Inventory system using two kinds of these warehouses use a lot echelon inventory system (Multi-Echelon Inventory). In the fertilizer shipments to the warehouse Buffer often have run out of stock or excess stock which led to a very high cost and will affect the stock distributor. It required the right policy settings orders from a central warehouse to warehouse and from warehouse buffer buffer to the distributor.
The purpose of this study was to determine the policy of shipping orders right product on Vendor Managed Inventory policy by using the application method of management policies with approaches vendor managed inventory (s, S) so as to accommodate the inventory planning by suppliers. Inventory management is done by considering the parameters-parameters and associated
inventory costs. Implementation of vendor managed inventory management model is integrated to produce a value (s, S) for each product on the supplier. In addition this model will have an impact on the replenishment flow changes resulting in changes in the costs incurred. To that end, will be compared to the total cost between the existing system of inventory management policies and alternative policies in managing vendor managed inventory is integrated with the approach (s, S) for the case of single supplier, namely PT. Petrokimia Gresik danmulti retailers (retailers / distributors of PT. Petrokimia Gresik) for multi product thus obtained quantitatively profits by minimizing operational costs and the company can produce the optimal delivery of decisions than the existing circumstances that exist.
The results of the simulation output from the simulation results of the implementation of VMI comparison to existing conditions in general is the average increase in service level generated is equal to 1,06% . And the average total cost savings amounted to 20%. Keywords: Single supplier of multi-product-multiretailer, approach (s, S), Vendor Managed Inventory.
1. Pendahuluan
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai latar belakang dan perumusan masalah yang digunakan dalam penelitian ini. 1.1 Latar Belakang
Pengelolaan inventory merupakan permasalahan yang mutlak harus dilakukan oleh perusahaan. Mendatangkan persediaan barang/bahan baku tepat pada saat munculnya permintaan adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Adanya inventory adalah suatu hal yang wajar dalam sebuah industri untuk mengurangi resiko ketidakpastian permintaan. Tanpa adanya persediaan, perusahaan dihadapkan pada masalah bahwa pada suatu waktu tidak dapat memenuhi kebutuhan pelanggan atas barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan. Tetapi, apabila persediaan terlalu banyak dan terpaksa disimpan untuk jangka waktu yang panjang karena tidak ada permintaan, maka perusahaan akan mengeluarkan holding cost yang besar. Dikarenakan hal tersebut, banyak perusahaan berusaha menekan tingkat inventorinya. Dalam permasalahan persediaan, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah produk-produk yang telah siap dipasarkan, seberapa banyak dan kapan akan dilakukan pengiriman barang.
PT. Petrokimia Gresik (Persero) merupakan perusahaan pupuk di Jawa Timur yang wilayah pemasarannya meliputi seluruh wilayah di Indonesia. Dalam memproduksi pupuk sebagai produk utamanya, PT. Petrokimia Gresik (Persero) harus mampu meminimumkan biaya operasi dan produksinya. Kegiatan produksinya memiliki 2 jenis pupuk, yaitu pupuk bersubsidi dan pupuk non subsidi.
Objek dari penelitian ini adalah pupuk bersubsidi karena produk-produk ini adalah produk utama dari perusahaan yaitu pupuk ZA, SP-36, dan Petroganik. Perusahaan ini berproduksi untuk memenuhi pasar wilayah seluruh Indonesia. Tetapi pada penelitian ini dibatasi pada pengiriman ketiga pupuk bersubsidi di daerah Jawa Timur pada kota Banyuwangi dan Bondowoso karena pada kota tersebut terdapat GAP yang cukup jauh antara realisasi pengiriman pupuk terhadap permintaan yang ada. Perusahaan ini menghasilkan produk berupa pupuk yang termasuk produk fungsional sehingga menurut (Pujawan, 2005) sistem akan difokuskan pada upaya untuk meminimumkan biaya-biaya fisik di sepanjang sistem pendistribusian. Gudang pusat pada PT. Petrokimia Gresik terdiri satu gudang yang terletak di dekat lokasi perusahaan, sedangkan gudang penyangga ini terletak di setiap kabupaten di seluruh Indonesia yang mempunyai fungsi agar mempercepat dan meminimalisasi proses pendistribusian perusahaan. Hingga saat ini PT. Petrokimia Gresik (Persero) memiliki sembilan puluh gudang penyangga yang terdapat di beberapa kota dan kabupaten yang tersebar di wilayah Indonesia dimana status gudang-gudang tersebut adalah sewa dan seluruh biaya operasional di gudang penyangga merupakan tanggungan PT. Petrokimia Gresik (Persero). Dengan keterbatasan jumlah gudang penyangga, dan banyaknya macam produk yang akan didistribusikan menjadi kendala dalam mengatur kebijakan order dengan menentukan ukuran dan jadwal pengiriman produk. Penyimpanan produk dalam gudang dapat menimbulkan biaya tambahan, seperti tambahan
3
biaya simpan, terjadi kekurangan stock dan tambahan biaya lost sales bila terjadi kekurangan stock barang sehingga mengurangi jumlah keuntungan yang didapat perusahaan. Meningkatnya kompetisi pasar pada beberapa industri membuat perusahaan-perusahaan yang terlibat harus mengembangkan strategi bisnisnya agar dapat tetap bertahan.
PT. Petrokimia Gresik (Persero) sebagai perusahaan yang menghasilkan pupuk terlengkap di Indonesia perlu membuat strategi untuk tetap bersaing dengan perusahaan pupuk lainnya dengan meminimalisasi biaya operasional yang ada dan juga dengan menjalin kerja sama yang baik dengan buyer/retailer. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang baik pula antar pihak didalam supply chain
yaitu antara supplier dan retailer agar dapat bersama-sama meminimalisasi biaya inventory
yang ada. Vendor Managed Inventory (VMI) adalah suatu strategi kolaborasi yang terjalin diantara pihak-pihak yang terkait dalam supply chain, dimana supplier mengontrol manajemen persediaan dari para retailer-nya. Supplier bertanggung jawab dalam menentukan waktu, dan berapa jumlah barang yang dibutuhkan retailer. Keputusan pengiriman oleh supplier ini didasarkan atas informasi data penjualan dan stock level inventory yang ada di retailer (Yao et al., 2005). Sistem persediaan di PT. Petrokimia Gresik ada dua macam gudang, yaitu gudang pusat dan gudang-gudang penyangga. Sistem persediaan dengan menggunakan dua macam gudang ini menggunakan sistem persediaan banyak eselon (Multi Echelon Inventory). Sebagai perusahaan BUMN, PT. Petrokimia Gresik (Persero) dalam mengirimkan produk pupuk bersubsidi dalam pengelolaan inventorinya mengacu pada Peraturan Pemerintah. perusahaan. Gambar pengiriman produk pupuk subsidi sampai ke distributor di PT. Petrokimia Gresik (Persero) untuk wilayah Jawa Timur ditunjukkan pada gambar 1.1. Dari gambar terlihat ada beberapa eselon yang harus dilalui oleh PT. Petrokimia Gresik. Namun penanganan PT. Petrokimia Gresik hanya pada sistem persediaan pada gudang pusat/gudang Gresik dan gudang penyangga.
PABRIKGUDANG
GRESIK
GUDANG
PENYANGGADISTRIBUTOR KONSUMEN
PEMENUHAN
DEMAND
PENGIRIMAN
PUPUK
INFORMASI STOCK INFORMASI DEMAND
PEMENUHAN
DEMAND
PEMENUHAN
DEMAND
TANGGUNGAN PT.
PETROKIMIA GRESIKDILUAR PT. PETROKIMIA
GRESIK
Gambar 1. 1 Aliran pengiriman produk pupuk subsidi di PT. Petrokimia Gresik (Persero) di Wilayah Jawa Timur.
Kondisi yang terjadi saat ini adalah
realisasi pengiriman dengan adanya permintaan di kabupaten tertentu mempunyai gap yang terlalu jauh karena adanya faktor musim dan pihak perusahaan menghindari adanya kekurangan stock. Karena hal tersebut, gudang penyangga sering kali mengalami kekurangan stock maupun kelebihan stock yang mana menyebabkan biaya yang sangat tinggi karena belum adanya kebijakan pengelolaan persediaan yang pasti. Untuk kondisi kelebihan stock pengiriman gudang pusat ke gudang penyangga, dapat mengakibatkan meningkatnya persediaan pada gudang penyangga. Hal tersebut dapat dilihat dari prosentase pengiriman dari permintaan pupuk di gudang penyangga Banyuwangi dapat dilihat dari gambar 1.2 dibawah ini.
J anF eb
Mar
Apr
Mei
J unJ ul
Agu
Sept
Okt
Nov
Des
0.0%
50.0%
100.0%
150.0%
200.0%
250.0%
300.0%
Prosentase
R ealisas i P engiriman P upuk ke G udang P enyangga
Dari gambar diatas realisasi pengiriman dari permintaan prosentasenya sangat tinggi, semua diatas 50%. Hal tersebut menyebabkan membengkaknya stock
persediaan di gudang penyangga, dan dapat meningkatkan inventory cost perusahaan. Kemudian untuk kondisi kekurangan stock
pengiriman dari permintaan yang ada, terlihat pada pengiriman pupuk Petroganik dan SP-36 di gudang penyangga Bondowoso. Pada gambar 4.3 dan 4.4 dibawah ini terlihat bahwa prosentase pengiriman dari permintaan yang ada mengalami kekuarangan. Terbukti bahwa prosentase semua pengiriman masing-masing bulan dibawah 60%. Hal ini mengakibatkan perusahaan mengalami kerugian.
J anFebM
arApr
Mei
J unJ u
l
Agu
Sep
t
Okt
Nov
Des
0.0%
5.0%
10.0%
15.0%
20.0%
25.0%
30.0%
35.0%
40.0%
Prosentase
R ealisas i P engiriman P upuk ke G udang P enyangga di
B ondowoso
R ealis as iP engirimanP upukP etroganik
Gambar 1. 3 Prosentase Pengiriman Pupuk
Petroganik di Gudang Penyangga Bondowoso Tahun 2010.
pupuk atas permintaan pasar dari gudang pusat ke gudang penyangga mempunyai nilai yang terlalu ekstrim, yang artinya realisasi pengiriman dan permintaan dari gudang pusat ke gudang penyangga selisihnya cukup jauh. Karena hal tersebut diperlukan adanya kebijakan pengelolaan persedian yang baik dengan mengatur kebijakan order perusahaan agar dapat melakukan pengiriman ke gudang-gudang penyangga sehingga sesuai dengan permintaan dari distributor. Informasi mengenai level persediaan dibutuhkan untuk menentukan waktu pengiriman dan jumlah barang yang dikirimkan kepada masing-masing
buyer sesuai kebutuhan. Pihak supplier dapat mengelola seluruh pengiriman pada buyer. Pendekatan yang sesuai dengan permasalahan ini adalah pendekatan terintegrasi vendor
manged inventory. Penelitian ini berfokus pada penerapan
metode kebijakan pengelolaan vendor managed
inventory dengan pendekatan (s,S) sehingga mampu mengakomodasi perencanaan inventori oleh supplier. Pengelolaan inventori dilakukan dengan mempertimbangkan parameter-paramater dan biaya inventori terkait. Penerapan model pengelolaan vendor managed
inventory terintegrasi akan menghasilkan nilai (s,S) untuk tiap produk di pihak supplier. Selain itu model ini akan berdampak pada perubahan alur replenishment sehingga menyebabkan perubahan pada biaya yang dikeluarkan. Untuk itu, akan dibandingkan total biaya antara sistem kebijakan pengelolaan inventori tradisional dengan pendekatan (s,S) dengan alternatif kebijakan pengelolaan vendor managed
inventory terintegrasi dengan pendekatan (s,S). Sehingga dengan adanya penelitian ini
diharapkan perusahaan dapat menentukan kebijakan order pengiriman produk yang tepat pada kebijakan Vendor Managed Inventory
untuk kasus single supplier, yaitu PT. Petrokimia Gresik dan multi retailer
(retailer/distributor dari PT. Petrokimia Gresik) untuk multi product sehingga didapatkan keuntungan secara kuantitatif dengan meminimalkan biaya operasional dan dapat menghasilkan keputusan pengiriman yang optimal daripada keadaan eksisting yang ada. 1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana menentukan jadwal pengiriman yang optimal pada gudang pusat ke gudang penyangga di PT. Petrokimia Gresik sampai ke distributor dengan pendekatan Vendor Managed Inventory sehingga dapat meminimalkan biaya operasional. 1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Menentukan kebijakan order yang optimal
untuk Gudang Pusat, Gudang Penyangga, dan Distributor.
5
2. Membandingkan total biaya untuk kebijakan pengelolaan inventori model eksisting dan model vendor managed
inventory. 1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian Tugas Akhir ini antara lain : 1. Dapat menerapkan metode pengelolaan
vendor managed inventory di perusahaan. 2. Dapat menentukan kombinasi paramater
terbaik untuk memperoleh kebijakan order (jumlah dan waktu pengiriman) yang optimal.
3. Perusahaan dapat mengelola persediaan dengan lebih efisien karena kewenangan replenishment berada di pihak supplier.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi batasan dan asumsi yang digunakan dalam penelitian tugas akhir. Batasan yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Sistem Supply Chain terdiri dari satu
supplier (gudang pusat dan gudang penyangga di PT. Petrokimia Gresik) dan multi retailer/buyer yaitu distributor dari gudang penyangga Banyuwangi (KUD. Dewi Shinto, CV. Sumber Hidup, PT. Petrosida, PT. Yosomulyo Jajag), dan distributor dari gudang penyangga Bondowoso (PT. Anak Gresik Raya Kencana, CV. Fia Mandiri, CV. Via Jaya, KPTR. Sumber Tani).
2. Penelitian dibatasi pada daerah propinsi Jawa Timur (Banyuwangi dan Bondowoso,) dengan 3 produk pupuk bersubsidi, yaitu : pupuk ZA, SP-36, dan PETROGANIK.
3. Melakukan koordinasi hanya dalam menentukan kebijakan order.
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan asumsi pada kebijakan VMI yang akan digunakan antara lain : 1. Supplier mengetahui jumlah permintaan
dari retailer 2. Supplier mengetahui biaya simpan dan
biaya pesan dari retailer 3. Keputusan ukuran pengiriman ditentukan
oleh supplier sebagai manufacturer dengan mempertimbangkan informasi yang didapatkan dari retailer.
2. Metodologi Penelitian
Pada bagian ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai metode penelitian yang digunakan, yaitu meliputi kerangka berpikir atau prosedur penelitian, instrument penelitian atau perangkat, serta langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini.
2.1 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Pada tahap identifikasi dan perumusan masalah ini terdiri atas beberapa sub tahapan yang akan dilakukan yaitu identifikasi dan perumusan masalah, studi literatur dan studi observasi serta penetapan tujuan penelitian.
2.1.1 Identifikasi Masalah
Tahap awal di dalam penelitian ini adalah melakukan observasi pendahuluan guna mengidentifikasi permasalahan yang ada di perusahaan dan mencari metode yang tepat sesuai dengan keilmuan Teknik Industri untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Masalah yang akan diteliti adalah masalah yang terjadi pada PT. Petrokimia dalam penentuan kebijakan order yang tepat dari gudang gresik ke gudang penyangga sampai ke distributor dengan kebijakan Vendor Managed Inventory (VMI).
2.1.2 Studi Literatur dan Studi Lapangan
Dalam melakukan suatu penelitian, dibutuhkan studi literatur sebagai pendukung dalam penyelesaian masalah. Tinjauan pustaka ini akan dijadikan referensi untuk membandingkan teori terkait yang ada dengan kondisi permasalahan riil yang sedang diteliti. Teori pendukung yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu, teori terkait mengenai inventory management. Studi lapangan dilakukan dengan observasi langsung kondisi di PT. Petrokimia Gresik yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengidentifikasi secara langsung permasalahan yang dihadapi oleh PT. Petrokimia Gresik dalam melakukan pengelolaan persediaan.
2.1.3 Perumusan Masalah Dan Penetapan
Tujuan Penelitian Setelah dilakukan observasi di lapangan
yang disesuaikan dengan teori yang ada dan metode yang akan digunakan maka peneliti
6
dapat merumuskan permasalahan yang terjadi dan menetapkan tujuan penelitian ini. Perumusan masalah dan penetapan tujuan ini dilakukan agar peneliti lebih fokus terhadap penelitian yang akan dilakukan. Tujuan yang sudah ditetapkan dapat menjadi kerangka berfikir serta pedoman bagi peneliti dalam menetapkan langkah-langkah yang akan diambil. Dalam penetapan tujuan penelitian, didapatkan dari permasalahan yang ada di perusahaan dengan melakukan perbandingan pemecahan masalah dengan metode yang ada pada buku literatur dan metode yang sudah diterapkan pada penelitian sebelumnya dan ditulis dalam jurnal yang dapat diakses melalui internet. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu, menentukan kebijakan order yang tepat pada pendekatan VMI untuk kasus single supplier,
multi product, dan multi retailer. Agar dapat meminimumkan biaya persediaan perusahaan, dan membandingkan kebijakan pengelolaan inventory eksisting dengan kebijakan vendor
managed inventory. 3. Pengumpulan dan Pengolahan Data
3.1 Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data, berisi data-data yang didapatkan dari perusahaan yang nantinya dapat dipergunakan untuk proses pengolahan data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kondisi eksisting perusahaan seperti, data permintaan distributor-distributor tahun 2010, data permintaan gudang penyangga tahun 2010, data pengiriman produk, data kapasitas truk, data stock inventory, biaya pengiriman, biaya pemesanan, serta biaya inventory. 3.2 Pengolahan Data
Setelah dilakukan pengumpulan data, tahap selanjutnya adalah pengolahan data yang dimulai dengan generate demand, lalu perhitungan input awal, running simulasi, perancangan interface, dan penentuan kombinasi terbaik. 3.2.1 Generate Demand dengan Pendekatan
Monte Carlo Dalam simulasi dibutuhkan input berupa angka acak yang dijadikan acuan jumlah produk yang dikeluarkan dan order interval. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan probabilistik
untuk memperolehnya. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah Monte Carlo. Untuk men-generate bilangan acak dengan Monte Carlo untuk demand yang tidak memiliki jenis distribusi tertentu, dilakukan dengan pendekatan probabilistik. Langkah-langkahnya yaitu melihat data historis penggunaan untuk kemudian dilakukan perhitungan probabilitas masing-masing angka penggunaan.Setelah didapatkan nilai probabilitas masing-masing kemungkinan, kemudian dicari kumulatif probabilitas dan dibuat rentangnya, untuk kemudian di-generate bilangan acak dan diplotkan hasilnya dengan rentang kumulatif distribusi untuk didapatkan angka peramalannya. Berikut ini contoh Monte Carlo untuk probabilitas produk ZA di distributor KUD Dewi Shinto :
Tabel 3. 1 Perhitungan Probabilitas Nilai Jumlah Prob Cum Prob
10 28 0,36 0,36
15 15 0,19 0,56
20 12 0,16 0,71
25 7 0,09 0,81
30 7 0,09 0,90
35 2 0,03 0,92
40 2 0,03 0,95
50 3 0,04 0,99
55 1 0,01 1,00 Tabel 3.2 Generate Bilangan Acak Random Number Forecast
0,883433621 30
0,7868989 25
0,623647074 20
0,371880565 15
0,536755913 15
3.2.2 Penentuan Parameter Awal
Dari adanya Penentuan parameter awal ini diperlukan sebagai input awal sebelum dilakukan eksperimen perhitungan dari hasil simulasi Monte Carlo. Parameter awal pada kondisi eksisting berupa nilai ROP diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan pendekatan EOQ. Sedangkan untuk kondisi VMI, dalam menghitung ROP (s), dan nilai maksimum (S) menggunakan pendekatan s,S . Untuk nilai replikasi dihitung dengan menggunakan rumus penentuan jumlah replikasi. Untuk input lainnya seperti nilai maksimum, initial stock, order cost, dan holding cost pada kondisi eksisting diperoleh dari data yang tersedia. Serta menginputkan juga hasil random permintaan dengan pendekatan monte carlo.
7
3.2.3 Perancangan Interface
Proses Perancangan Interface dalam penelitian ini berfungsi sebagai alat hitung dan membantu dalam pengambilan keputusan penentuan nilai ROP, nilai maksimum, order quantity, dan order frequency produk-produk yang harus disiapkan perusahaan. Interface ini dapat melihat bagaimana keadaan inventori eksisting perusahaan dan juga kebijakan VMI. Interface ini juga memperlihatkan berapa jumlah biaya dan tingkat Service level yang dihasilkan dengan kombinasi nilai ROP dan maksimum inventori yang akan dijadikan acuan parameter awal. Interface dirancang dengan program Microsoft Excel dan bahasa pemrograman Visual Basic. Pemilihan program Visual Basic Application for Excel dilakukan karena sudah familiar dan mudah digunakan sehingga dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Interface ini untuk running simulasi sehingga fleksibel untuk inputan yang berbeda-beda. Perancangan disini didasarkan pada demand dan lead time yang tidak pasti. Variabel input yang digunakan adalah reorder point dari tiap jenis pupuk dan gudang, nilai maksimum pemesanan untuk tiap jenis pupuk dan gudang, nilai order cost, holding cost untuk setiap jenis pupuk dan gudang, jumlah stok inventori yang ada untuk setiap jenis pupuk dan gudang, serta hasil random dari pendekatan Monte Carlo untuk masing-masing jenis pupuk di setiap gudang. Perancangan interface ini dirancang untuk menghasilkan output berupa kebijakan kapan harus melakukan pemesanan, berapa service level yang dibutuhkan, serta berapa total biaya dari seluruh aktivitas inventori untuk masing-masing jenis pupuk pada setiap gudang penyangga, maupun gudang distributor. Pada perancangan interface ini, hasil outputnya berupa paramater-parameter kombinasi yang akan dipilih yang terbaik agar mendapatkan solusi yang paling optimal dari semua kombinasi yang ada. Kombinasi tersebut dikatakan terbaik apabila nilai service level 95% atau lebih, dengan total cost yang paling minimum. Dalam simulasi ini yang dijadikan kombinasi adalah berupa rentang dari ROP itu sendiri dengan nilai holding cost, order cost,
dan total cost serta nilai dari service level yang dihasilkan tiap-tiap jenis pupuk di setiap gudang.
3.2.4 Tampilan Awal Interface
Pada tampilan awal dari interface yang dirancang untuk menginputkan parameter-parameter yang akan diuji dimana interface ini terdiri dari tombol “run simulation” untuk memulai running simulasi dan “new product” yang berfungsi untuk memulai running dari awal untuk produk yang lain. 3.2.4.1 Proses Running Interface
Pada Interface yang telah dirancang terdiri dari 15 sheet dan 2 tombol. Perancangan interface ini sekali running untuk 1 produk untuk 1 gudang penyangga. Sehingga untuk menginputkan 3 produk di 2 gudang penyangga menginputkan parameter yang baru. Pada sheet 1 terdapat bagian input parameter untuk Gudang Penyangga, pada sheet 2-5 untuk input parameter pada keempat distributor. Pada sheet 6-13 untuk input dari hasil monte carlo dan pada sheet 14-15 untuk hasil output simulasi. Pada sheet 1-13 harus diisi oleh user. Bagian yang harus diinputkan adalah :
Gambar 1.1 Input Parameter Gudang
Penyangga
Gambar 3.2 Input Parameter Distributor
8
Tabel 3.3 Input Parameter Random Demand Hasil Monte Carlo
0 0 0 0
0,76 10 0,03 10
0,15 15 0,87 25
0,03 20 0,10 50
0,06 30
0 0 0 0
0,05 10 0,48 10
0,41 15 0,10 15
0,52 25 0,32 20
0,02 50 0,06 25
0,03 35
Input Historis Permintaan
Input Historis Permintaan
Input Historis Permintaan
Input Historis Permintaan
Tabel 3.4 Input Parameter Random Order
Interval Hasil Monte Carlo
0,00 0 0,00 0
0,15 1 0,20 2
0,12 4 0,13 3
0,15 5 0,03 4
0,06 6 0,13 6
0,15 7 0,07 7
0,12 8 0,13 10
0,09 11 0,10 12
0,09 18 0,10 13
0,06 42 0,10 20
0,00 0 0,00 0
0,18 2 0,13 1
0,07 3 0,06 4
0,20 4 0,13 5
0,20 7 0,13 7
0,05 9 0,10 8
0,07 10 0,13 12
0,07 13 0,13 14
0,09 15 0,10 20
0,07 25 0,10 27
Input Historis Order Interval
Input Historis Order Interval Input Historis Order Interval
Input Historis Order Interval
3.2.4.2 Hasil Kombinasi Parameter
Dikarenakan Selanjutnya setelah memasukkan semua input parameter, dilakukan proses running dengan menekan tombol run simulation yang selanjutnya akan menghasilkan output berupa kombinasi parameter terbaik. Kondisi parameter terbaik merupakan kombinasi parameter dengan service level yang memenuhi target yang menghasilkan total biaya yang paling minimum. Program yang dirunning satu
kali direplikasi sebanyak 30 kali sehingga service level dan total biaya yang dihasilkan adalah rata-rata dari 30 kali replikasi yang dijalankan. Masing-masing kombinasi berdasarkan rentang ROP. Berikut ini contoh hasil output kombinasi parameter yang dihasilkan untuk produk ZA pada kondisi eksisting di Gudang Penyangga Banyuwangi dan Distributor di Banyuwangi :
Gambar 3.3 Kombinasi Parameter Holding Cost
Distributor
Gambar 3.4 Kombinasi Parameter Order Cost
Distributor
Gambar 3.5 Kombinasi Parameter Service level
9
Kombinasi-kombinasi parameter tersebut lalu dipilih kombinasi yang terbaik. Output kombinasi pemesanan tiap periode yang akan terlihat pada sheet 14 dan output berupa biaya dan service level akan ditampilkan pada sheet 15. Hasil kombinasi input parameter akan direplikasi sejumlah inputan yang dimasukkan. Namun, di dalam program sendiri juga ada 30 replikasi untuk meningkatkan keakuratan perhitungan. Berikut ini contoh sheet untuk hasil output pada pupuk ZA di kondisi eksisting:
Tabel 3.5 Output Kombinasi Parameter Pemesanan
di Gudang Penyangga Banyuwangi
Periode Inventory Demand Order Quantity Inventory Demand Order Quantity Inventory Demand Order Quantity Inventory Demand Order Quantity Inventory Demand Order Quantity
Tabel 3.7 Output Kombinasi Biaya dan Service level di Distributor 1
ROP Maksimum Service Level Holding Cost Order Cost Total Cost
38 113 94,29 115290000 580000 Rp115.870.000
39 113 94,3 125580000 580000 Rp126.160.000
40 113 94,35 132270000 464000 Rp132.734.000
41 113 94,4 131250000 464000 Rp131.714.000
42 113 94,4 140850000 464000 Rp141.314.000
43 113 94,75 123870000 696000 Rp124.566.000
44 113 95,2 130650000 464000 Rp131.114.000
45 113 95,205 138180000 464000 Rp138.644.000
46 113 95,22 133775000 464000 Rp134.239.000
47 113 95,4 137280000 580000 Rp137.860.000
48 113 95,405 136080000 580000 Rp136.660.000
49 113 95 138990000 580000 Rp139.570.000
50 113 95,5 150780000 464000 Rp151.244.000
51 113 95,505 129360000 812000 Rp130.172.000
52 113 95,56 162780000 580000 Rp163.360.000
53 113 96 150690000 464000 Rp151.154.000
54 113 96,2 156240000 696000 Rp156.936.000
55 113 96,4 178800000 464000 Rp179.264.000
56 113 96,7 174810000 464000 Rp175.274.000
57 113 97,05 159180000 464000 Rp159.644.000
58 113 97,205 143310000 580000 Rp143.890.000
59 113 97,3 189180000 348000 Rp189.528.000
60 113 98 152100000 580000 Rp152.680.000
61 113 98,3 198840000 348000 Rp199.188.000
62 113 98,305 175470000 464000 Rp175.934.000
10
Dari hasil output rangkuman replikasi seluruh kombinasi-kombinasi tersebut, kemudian dipilih ROP yang menghasilkan biaya terendah dengan service level 95% atau lebih. Hasil output terbaik untuk tiap produk dan distributor pada kondisi eksisting maupun kebijakan VMI akan ditampilkan pada tabel berikut.
Tabel 3.8 Output Kombinasi Terbaik di Gudang Penyangga
Gudang Penyangga Pupuk ROP Maksimum Service Level Holding Cost Order Cost Total Cost Kondisi
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai analisa dan pembahasan dari hasil pengumpulan dan pengolahan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat suatu kesimpulan dan rekomendasi perbaikan bagi perusahaan. perusahaan. 4.1 Analisis Hasil Simulasi
Pada bagian ini akan dibahas mengenai perbandingan hasil simulasi masing-masing produk di setiap gudang distributor dan di setiap gudang penyangga. Dalam simulasi ini terdapat kombinasi rentang ROP dan kombinasi parameter biaya dan service level. Dalam melakukan running pada simulasi, setiap sekali input parameternya, dilakukan pengulangan running sebanyak 5 kali. Dan kemudian diambil hasil rata-ratanya. Hal ini berfungsi dalam segi keakuratan hasil output yang diperoleh. Penelitian ini bersifat tiga eselon karena menentukan order dari gudang pusat ke gudang penyangga, dan juga menentukan order dari gudang penyangga ke distributor.
11
4.1.1 Analisis Perbandingan Biaya dan
Service Level
Pada hasil simulasi keadaan eksisting dan keadaan VMI pada gudang penyangga dan distributor menghasilkan nilai yang berbeda. Hal ini dikarenakan selain nilai ROP yang didapatkan berbeda dikarenakan menggunakan pendekatan yang berbeda pula, tetapi juga dikarenakan input berupa biaya yang memang berbeda untuk keadaan eksisting dan VMI. Hal ini dikarenakan, ketika perusahaan menggunakan kebijakan VMI perusahaan dapat mengontrol level persediaan dari distributor. Jadi perusahaan dapat meminimalisir aktivitas dalam melakukan pengiriman atau pemesanan. Yang semula perusahaan terlalu sering melakukan pemesanan atau pengiriman, dengan menerapkan kebijakan VMI perusahaan dapat meminimalisir frekuensi pemesanan/replenishment. Pada hasil output
kedelapan distributor dan juga kedua gudang penyangga sebagian besar hasil yang didapatkan pada kondisi VMI lebih optimal dibandingkan kondisi eksisting dengan parameter nilai service
level dan jumlah total costnya. Hasil output
berupa nilai ROP yang optimal digunakan sebagai informasi untuk gudang penyangga agar dapat mengetahui level persediaan yang ada di distributor, sehingga dapat melakukan replenishment secara tepat. 4.1.1.1 Pupuk ZA di Distributor
Dari Pada subbab ini membahas tentang hasil output simulasi dari pupuk ZA pada distributor. Hasil simulasi yang diperoleh dalam kondisi eksisting dan VMI pada distributor-distributor adalah sebagai berikut :
Tabel 4. 1 Perbandingan Service level dan Biaya Pupuk ZA
Pupuk ZA Service Level Total Cost Kondisi
94,75 Rp124.566.000 Eksisting
94,85 Rp114.752.000 VMI
94,5 Rp131.440.000 Eksisting
98,5 Rp155.168.000 VMI
94,5 Rp289.540.000 Eksisting
95,15 Rp221.908.000 VMI
96,05 Rp138.398.000 Eksisting
95,45 Rp107.420.000 VMI
Distributor 1
Distributor 2
Distributor 3
Distributor 4
Tabel diatas menunjukkan perbandingan service level dan total cost untuk pupuk ZA di distributor Banyuwangi. Hasil di atas menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh secara umum pada kondisi penerapan VMI. Pada distributor 1, terjadi peningkatan service level
menjadi 94,85% dengan total biaya sebesar RP .114.752.000. Dari hasil tersebut diketahui bahwa dengan menerapkan VMI maka akan terjadi penurunan biaya sebesar Rp9.814.000 dari kondisi eksisting, atau setara dengan 8,55%. Pada distributor 2, menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh pada kondisi eksisting dengan total biaya sebesar Rp131.440.000,00 dan service level sebesar 94,5%. Selanjutnya penerapan VMI akan memberikan nilai service
level yang lebih baik yaitu 98,5% meskipun dengan biaya Rp155.168.000,00. Terjadi peningkatan biaya pada penerapan VMI jika dibandingkan dari kondisi eksisting. Hal ini disebabkan karena penurunan nilai ROP sehingga meningkatkan order cost dari jumlah frekuensi order yang menyebabkan total cost meningkat. Tetapi pupuk ZA ini merupakan produk utama perusahaan, yang utamanya perusahaan lebih mementingkan tingkat service
level dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itulah maka kondisi VMI dapat dipertimbangkan sebagai suatu kondisi yang lebih baik dari kondisi eksisting. Pada distributor 3, terjadi peningkatan service level menjadi 95,15% dengan total biaya sebesar RP221.908.000. Dari hasil tersebut diketahui bahwa dengan menerapkan VMI maka akan terjadi penurunan biaya sebesar Rp67.632.000,00 dari kondisi eksisting. Perubahan yang drastis tersebut dikarenakan pola demand pada kondisi eksisting dan VMI memang berbeda, serta biaya dan aktivitas pemesanan antara eksisting dan VMI yang mengalami penurunan.
Pada distributor 4, terjadi penurunan service level menjadi 95,45%. Sedangkan terjadi penurunan total cost sebesar Rp30.978.000 dari kondisi eksisting atau setara dengan 29%. Dari hasil tersebut terjadi penurunan service level secara tipis, yaitu sebesar 0,6%. Meskipun terjadi penurunan service level secara tipis, tetapi terjadi penurunan total cost sebesar 29%. Karena itu kondisi VMI tetap dapat dipertimbangkan sebagai suatu kondisi yang lebih baik dari pada kondisi eksisting. tepat.
4.1.1.2 Pupuk SP-36 di Distributor
Pada bagian ini membahas tentang hasil output
simulasi dari pupuk SP-36 pada distributor.
12
Hasil simulasi yang diperoleh dalam kondisi eksisting dan VMI pada distributor-distributor adalah sebagai berikut :
Tabel 4. 2 Perbandingan Service level dan Biaya Pupuk SP-36
Pupuk SP-36 Service Level Total Cost Kondisi
95,47 Rp117.047.000 Eksisting
96 Rp151.417.600 VMI
96,1 Rp153.201.700 Eksisting
96,6 Rp107.530.500 VMI
95,16 Rp199.572.100 Eksisting
95,75 Rp142.293.500 VMI
94,74 Rp109.837.600 Eksisting
95,25 Rp87.483.500 VMI
Distributor 1
Distributor 2
Distributor 3
Distributor 4
Pupuk ZA Service Level Total Cost Kondisi
94,75 Rp126.102.000 Eksisting
94,85 Rp117.644.000 VMI
96,195 Rp200.176.000 Eksisting
96,1 Rp167.096.000 VMI
94,5 Rp289.540.000 Eksisting
95,15 Rp221.908.000 VMI
95,5 Rp141.550.000 Eksisting
95,45 Rp116.032.000 VMI
Distributor 1
Distributor 2
Distributor 3
Distributor 4
Tabel diatas menunjukkan perbandingan service level dan total cost untuk pupuk SP-36 di distributor Banyuwangi. Hasil di atas menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh secara umum pada kondisi penerapan VMI. Pada distributor 1, menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh pada kondisi eksisting dengan total biaya sebesar Rp117.047.000,00 dan service level sebesar 95,47%. Selanjutnya penerapan VMI akan memberikan nilai service
level yang lebih baik yaitu 96% meskipun dengan biaya Rp151.417.600,00. Terjadi peningkatan biaya pada penerapan VMI jika dibandingkan dari kondisi eksisting. Hal ini disebabkan karena penurunan nilai ROP sehingga meningkatkan order cost dari jumlah frekuensi order yang menyebabkan total cost meningkat. Tetapi pupuk SP-36 ini merupakan produk utama perusahaan, yang utamanya perusahaan lebih mementingkan tingkat service
level dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itulah maka kondisi VMI dapat dipertimbangkan sebagai suatu kondisi yang lebih baik dari kondisi eksisting. Pada distributor 2, terjadi peningkatan service level menjadi 96,6% dengan total biaya sebesar RP107.530.500. Dari hasil tersebut diketahui bahwa dengan menerapkan VMI maka akan terjadi penurunan biaya sebesar Rp45.671.200,00 dari kondisi eksisting. Perubahan yang drastis tersebut dikarenakan pola demand pada kondisi eksisting dan VMI memang berbeda, serta biaya dan aktivitas pemesanan antara eksisting dan VMI yang mengalami penurunan. Begitu pula pada distributor 3 dan distributor 4, masing-masing terjadi peningkatan service level dengan total biaya
yang juga mengalami penurunan dari kondisi eksisting. Perubahan yang drastis tersebut dikarenakan pola demand pada kondisi eksisting dan VMI memang berbeda, serta biaya dan aktivitas pemesanan antara eksisting dan VMI yang mengalami penurunan. 4.1.1.3 Pupuk Petroganik di Distributor
Pada bagian ini membahas tentang hasil output
simulasi dari pupuk petroganik pada distributor. Hasil simulasi yang diperoleh dalam kondisi eksisting dan VMI pada distributor-distributor adalah sebagai berikut :
Tabel 4. 3 Perbandingan Service level dan
Biaya Pupuk Petroganik Pupuk Petroganik Service Level Total Cost Kondisi
94,75 Rp25.891.500 Eksisting
96,13 Rp26.092.875 VMI
94,67 Rp50.135.375 Eksisting
96,15 Rp31.561.875 VMI
96,23 Rp52.549.750 Eksisting
96,4 Rp33.741.625 VMI
95,5 Rp48.548.500 Eksisting
95,55 Rp30.508.125 VMI
Distributor 1
Distributor 2
Distributor 3
Distributor 4
Tabel diatas menunjukkan perbandingan service level dan total cost untuk pupuk petroganik di distributor Banyuwangi. Hasil di atas menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh secara umum pada kondisi penerapan VMI. Pada distributor 1, menunjukkan bahwa biaya minimum diperoleh pada kondisi eksisting dengan total biaya sebesar Rp25.891.500,00 dan service level sebesar 94,75%. Selanjutnya penerapan VMI akan memberikan nilai service level yang lebih baik yaitu 96,13% meskipun dengan biaya Rp26.092.875. Terjadi peningkatan biaya pada penerapan VMI jika dibandingkan dari kondisi eksisting. Hal ini disebabkan karena penurunan nilai ROP sehingga meningkatkan order cost dari jumlah frekuensi order yang menyebabkan total cost meningkat. Tetapi pupuk petroganik ini merupakan produk utama perusahaan, yang utamanya perusahaan lebih mementingkan tingkat service level dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Untuk itulah maka kondisi VMI dapat dipertimbangkan sebagai suatu kondisi yang lebih baik dari kondisi eksisting. Pada distributor 2, terjadi peningkatan service level menjadi 96,15%
13
dengan total biaya sebesar RP31.561.875. Dari hasil tersebut diketahui bahwa dengan menerapkan VMI maka akan terjadi penurunan biaya sebesar Rp18.573.500,00 dari kondisi eksisting. Begitu pula pada distributor 3 dan distributor 4, masing-masing terjadi peningkatan service level dengan total biaya yang juga mengalami penurunan dari kondisi eksisting. Pada distributor 3 mengalami penurunan biaya sebesar Rp18.808.125 dari kondisi eksisting. Sedangkan pada distributor 4 terjadi penurunan biaya sebesar Rp18.040.375. Perubahan tersebut dikarenakan pola demand
pada kondisi eksisting dan VMI memang berbeda, serta biaya dan aktivitas pemesanan antara eksisting dan VMI yang mengalami penurunan. 4.1.1.4 Gudang Penyangga
Pembahasan simulasi di gudang penyangga dilakukan untuk 3 produk pupuk bersubsidi juga. Ketiga produk tersebut adalah ZA, SP-36, dan Petroganik. Berikut hasil output simulasi dari gudang penyangga Banyuwangi dan Bondowoso.
Tabel 4. 4 Perbandingan Service level dan
Biaya di GP Banyuwangi GP Banyuwangi Service Level Total Cost Kondisi
94,855 Rp2.811.329.000 Eksisting
95,36 Rp2.535.565.600 VMI
94,5 Rp743.836.000 Eksisting
95,2 Rp728.337.000 VMI
95,53 Rp173.438.000 Eksisting
97,53 Rp113.384.000 VMI
ZA
SP-36
Petroganik
Tabel 4. 5 Perbandingan Service level dan Biaya di GP Bondowoso
GP Bondowoso Service Level Total Cost Kondisi
95,20 Rp614.889.000 Eksisting
95,83 Rp570.132.000 VMI
94,48 Rp454.809.000 Eksisting
94,50 Rp454.790.000 VMI
96,30 Rp108.908.000 Eksisting
96,40 Rp105.048.000 VMI
ZA
SP-36
Petroganik
Pada hasil simulasi untuk kedua gudang penyangga, Banyuwangi dan Bondowoso juga didapatkan hasil yang berbeda pula, dimana didapatkan nilai yang lebih optimal dalam hal terjadinya peningkatan service level dan juga
menurunnya total cost. Hal ini juga dikarenakan input parameter awal mempunyai nilai yang berbeda dalam segi pendekatan untuk nilai ROP dan juga dalam segi input biaya seperti halnya pada hasil simulasi distributor. Setelah didapatkan nilai ROP yang optimal dibandingkan beberapa kombinasi lainnya, digunakan oleh pihak gudang pusat untuk melakukan kegiatan replenishment ke gudang penyangga apabila level persediannya sudah mencapai titik ROP. 4.1.2 Analisis Perbandingan ROP dan
Service Level
Dalam mencari nilai ROP adalah dengan parameter nilai safety stock. Sedangkan nilai safety stock berdasarkan besarnya service level.
Jadi apabila ROP tersebut akurat, stockout bisa dihindari dan service level menjadi tinggi. Apabila service level tinggi, nilai ROP juga tinggi dikarenakan nilai safety stock juga tinggi mengikuti alur nilai service level. Hal ini dibuktikan dengan hasil output simulasi seperti yang ditunjukkan pada tabel-tabel berikut.
Tabel 4. 6 Perbandingan ROP dan Service Level Pupuk
ZA ROP Service level Kondisi
311 95,20 Eksisting
206 95,83 VMI
290 94,855 Eksisting
147 95,36 VMI
GP Banyuwangi
GP Bondowoso
Tabel 4. 7 Perbandingan ROP dan Service Level Pupuk SP-36
ROP Service level Kondisi
317 94,5 Eksisting
295 95,2 VMI
171 94,48 Eksisting
81 94,50 VMI
GP Banyuwangi
GP Bondowoso
Tabel 4. 8 Perbandingan ROP dan Service Level Pupuk Petroganik
ROP Service level Kondisi
174 96,30 Eksisting
110 97,53 VMI
91 95,53 Eksisting
84 96,40 VMI
GP Banyuwangi
GP Bondowoso
Dari ketiga tabel diatas dapat terlihat perbandingan nilai ROP dan Service level.
14
Apabila nilai ROP tiap produk tersebut lebih rendah, nilai service level yang dihasilkan pun juga semakin rendah. Sebaliknya, apabila nilai ROP semakin tinggi, nilai service level yang dihasilkan pun juga semakin tinggi. Pada produk ZA, nilai ROP untuk kondisi eksiting di gudang penyangga Banyuwangi adalah sebesar 311. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan nilai ROP pada kondisi eksisting pupuk ZA sebesar 290. Dan service level yang didapatkan juga lebih besar yaitu sebesar 95,20% dengan 94,855%. Untuk nilai ROP pada kondisi VMI di gudang penyangga Banyuwangi yang mempunyai nilai ROP sebesar 206, nilainya lebih kecil dibandingkan nilai ROP di gudang penyangga Banyuwangi sebesar 147. Dan service level yang didapatkan juga lebih kecil yaitu sebesar 95,83% dengan 95,36%. Jadi, sesuai hasil output yang didapatkan, semakin besar nilai ROP nilai service
level juga semakin besar tetapi dengan parameter/kondisi yang sama. 4.1.3 Analisis Keseluruhan Produk
Berdasarkan hasil simulasi kondisi eksisting dan adanya kebijakan VMI, dapat diketahui bahwa adanya kebijakan VMI akan memberikan perubahan pada segi biaya dan service level jika dibandingkan dengan kondisi eksisting. Pada beberapa hasil simulasi produk, menunjukkan bahwa penerapan VMI mampu menurunkan nilai ROP (reorder point) dan menurunkan total biaya yang dihasilkan. Untuk beberapa hasil simulasi produk lainnya, penerapan VMI akan memberikan tingkat service level yang lebih baik dari kondisi eksisting. Perubahan-perubahan yang terjadi karena penerapan VMI disebabkan oleh perubahan jumlah frekuensi pemesanan, jumlah produk yang disimpan, serta pemenuhan permintaan. Perubahan frekuensi pemesanan akan berakibat pada perubahan order cost.
Untuk perubahan jumlah barang yang disimpan akan berdampak terhadap holding cost sehingga total biaya akan dipengaruhi perubahan-perubahan biaya-biaya tersebut. Faktor pemenuhan permintaan akan berdampak pada service level yang dihasilkan. Faktor pemenuhan permintaan ini bergantung pada kebijakan inventori yang diterapkan serta pola permintaan untuk tiap produk. Berikut ini akan ditampilkan gambaran umum hasil simulasi VMI dibandingkan dengan kondisi eksisting
dari tingkat peningkatan service level dan penurunan total cost :
Tabel 4. 9 Peningkatan Service Level dan Saving Total
Cost Peningkatan
Service Level (%)
Saving Total
Cost (%)
ZA 0,53 10
SP-36 0,74 2
Petroganik 2,05 31
ZA 0,66 7
SP-36 1,58 32
Petroganik 0,10 4
Distributor 1 0,11 8
Distributor 2 4,06 23
Distributor 3 0,68 23
Distributor 4 22
Distributor 1 0,55
Distributor 2 0,52 30
Distributor 3 0,62 29
Distributor 4 0,54 20
Distributor 1 1,44
Distributor 2 1,54 37
Distributor 3 0,18 23
Distributor 4 37
Distributor 1 0,66 27
Distributor 2 1,70 23
Distributor 3 0,80 24
Distributor 4 0,87 21
Distributor 1 0,51 21
Distributor 2 21
Distributor 3 2,80 11
Distributor 4 7
Distributor 1 13
Distributor 2 1,16 21
Distributor 3 23
Distributor 4
Rata-rata 1,06 20
B
o
n
d
o
w
o
s
o
ZA
SP-36
Petroganik
Pupuk di masing-masing gudang
GP Banyuwangi
GP Bondowoso
B
a
n
y
u
w
a
n
g
i
ZA
SP-36
Petroganik
5 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Nilai ROP yang dihasilkan dari simulasi
kondisi eksisting adalah tinggi karena permintaan yang diinputkan juga memiliki deviasi yang cukup besar. Akibat tingginya nilai ROP adalah total biaya yang tinggi pula. Sedangkan nilai ROP yang dihasilkan dari simulasi kondisi penerapan VMI adalah rendah karena permintaan yang diinputkan juga memiliki deviasi yang kecil yakni permintaan sesungguhnya harian. Nilai ROP akan berpengaruh terhadap total biaya sehingga pada
15
beberapa produk total biaya untuk kondisi VMI bernilai kecil.
2. Perbandingan hasil simulasi penerapan VMI terhadap kondisi eksisting dapat dilihat dari segi peningkatan service level dan persentase saving total cost yang dihasilkan. Rata-rata peningkatan service
level yang dihasilkan adalah sebesar 1,06%, sedangkan rata-rata saving total
cost adalah sebesar 20%.
6 Daftar Pustaka
ABDUL-JALBAR, B., GUTIÉRREZ, J. M. & SICILIA, J. 2006. Single cycle policies for the one-warehouse N-retailer
Inventory/distribution system. The
International Journal of management
Science, 34, 196–208. Brata, B. D. 2003. Evaluasi Penerapan Vmi
Dan Perancangan Kontrak Kerjasama
Pelaksanaannva (Studi Kasus Di Pt.
Filtrona Indonesla). Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
CETINKAYA, S. & C.Y. LEE 2000. Stock replenishment and shipment scheduling for vendor-managed inventory systems. Management Science, 46, 217-232.
CHOPRA, SUNIL & MEINDL 2007. Supply
Chain Management Strategy, Planning, &
Operations, Pearson Prentice Hall, United States of America.
DONG, Y. & XU, K. 2002. A supply chain model of vendor managed inventory. Transportation Research. Part E:
Logistics and Transportation Review, 38, 75-95.
ERTOGRAL, K., DARWISH, M. & BEN-DAYA, M. 2007. Production and shipment lot sizing in a vendor–buyer supply chain with transportation cost. European Journal
of Operational Research 176 1592–1606. FITRIYAH, H. 2010. Perencanaan Pengadaan
dan Kontrol Inventori Berbasis 2 Tingkat dengan Pendekatan Model Vendor Managed Inventory. Laporan Penelitian
Tugas Akhir. Surabaya. FOGARTY, DARWIS, M. A. & ODAH, O.