Top Banner
Page | 1 PENDIDIKAN SENI RUPA Seni atau kesenian tampaknya harus mengalami kenyataan paling sial dalam dunia pendidikan. Ia pernah ‗dimanjakan‘ pada era 50-60an, tetapi lalu ‗dianak-tirikan‘ di sepanjang masa Orde Baru. Bahkan dalam beberapa tahap Pembangunan Lima Tahun (pelita), pendidikan seni nyaris musnah atau, di sejumlah sekolah, diposisikan sebagai ekstra-kurikuler. Menjelang orde politik terpanjang itu berakhir, muncul upaya di banyak tempat untuk memasukkan kembali seni ke dalam intra-kurikuler, tetapi itupun ternyata harus dipaket ke dalam apa yang kemudian dikenal sebagai muatan lokal (mulok). Suatu paket pendidikan yang terkesan sebagai basa-basi politik. Tetapi, marjinalisasi (penganak-tirian) seni dalam sekolah formal itupun juga sering dituduh atas kemauan politik. Rezim Orde Baru yang memprioritaskan sektor ekonomi dan industri di satu sisi dan cenderung memosisikan kebudayaan terutama kebudayaan daerah sebagai ‗ancaman‘(baca: GBHN 1973-1993) di sisi lain sangat berpengaruh pada perencanaan pendidikan kita. Orientasi pada penguasaan ilmu alam, teknologi, dan matematika dalam kurikulum jauh lebih menonjol ketimbang pada ilmu sosial, bahasa, apalagi kesenian. Akibatnya, bidang-bidang pengetahuan dan ketrampilan tersebut mendapat prioritas berlebih. Seni atau kebudayaan pada umumnya, kala itu dan mungkin hingga sekarang, menghadapi situasi dan berada dalam posisi yang dilematis. Ketika dipandang sebagai ungkapan keindahan tertentu atau persoalan estetika, ia diposisikan tak lebih dari sebuah klangenan, tontonan, dan pelipur lara. Sementara manakala dipandang sebagai ekspresi pandangan dan sikap tertentu atau lebih luas sebagai ungkapan aspirasi, maka iapun lalu dianggap sebagai ‗ancaman‘ terhadap integrasi nasional yang dirumuskan secara politik dan militer. Sebagai persoalan estetika maupun ‗ancaman‘ politik, seni dan kebudayaan lalu menjadi tak penting bagi kepentingan industri, ekonomi, dan politik. Oleh sebab itu, para petinggi Orde Baru menganggap tak perlu memberikan ruang belajar baginya dalam pendidikan formal. Pandangan bahwa seni adalah sekedar klangenan atau pelipur lara memang bukan monopoli elite politik Orde Baru. Para budayawan secara umum dan akademisi kampus di bidang kebudayaan masa itu, dan sepertinya hingga sekarang, juga tak jauh berbeda. Seni lebih dilihat sebagai hanya untuk keperluan eksternal seniman yang bersangkutan, bukan untuk memenuhi kebutuhan diri sang seniman dan kelompoknya. Mungkin ini sangat berkaitan dengan ‗ideologi‘ pendiri dan pendukung manifest kebudayaan yang selalu berkampanye ―seni untuk seni‖, tetapi implikasinya
28

Pendidikan seni rupa

Jul 12, 2015

Download

Economy & Finance

polloz46
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pendidikan seni rupa

Page | 1

PENDIDIKAN SENI RUPA

Seni atau kesenian tampaknya harus mengalami kenyataan paling sial dalam dunia pendidikan.

Ia pernah ‗dimanjakan‘ pada era 50-60an, tetapi lalu ‗dianak-tirikan‘ di sepanjang masa Orde

Baru. Bahkan dalam beberapa tahap Pembangunan Lima Tahun (pelita), pendidikan seni nyaris

musnah atau, di sejumlah sekolah, diposisikan sebagai ekstra-kurikuler. Menjelang orde politik

terpanjang itu berakhir, muncul upaya di banyak tempat untuk memasukkan kembali seni ke

dalam intra-kurikuler, tetapi itupun ternyata harus dipaket ke dalam apa yang kemudian dikenal

sebagai muatan lokal (mulok). Suatu paket pendidikan yang terkesan sebagai basa-basi politik.

Tetapi, marjinalisasi (penganak-tirian) seni dalam sekolah formal itupun juga sering dituduh atas

kemauan politik. Rezim Orde Baru yang memprioritaskan sektor ekonomi dan industri di satu

sisi dan cenderung memosisikan kebudayaan terutama kebudayaan daerah sebagai

‗ancaman‘(baca: GBHN 1973-1993) di sisi lain sangat berpengaruh pada perencanaan

pendidikan kita. Orientasi pada penguasaan ilmu alam, teknologi, dan matematika dalam

kurikulum jauh lebih menonjol ketimbang pada ilmu sosial, bahasa, apalagi kesenian. Akibatnya,

bidang-bidang pengetahuan dan ketrampilan tersebut mendapat prioritas berlebih.

Seni atau kebudayaan pada umumnya, kala itu dan mungkin hingga sekarang, menghadapi

situasi dan berada dalam posisi yang dilematis. Ketika dipandang sebagai ungkapan keindahan

tertentu atau persoalan estetika, ia diposisikan tak lebih dari sebuah klangenan, tontonan, dan

pelipur lara. Sementara manakala dipandang sebagai ekspresi pandangan dan sikap tertentu atau

lebih luas sebagai ungkapan aspirasi, maka iapun lalu dianggap sebagai ‗ancaman‘ terhadap

integrasi nasional yang dirumuskan secara politik dan militer. Sebagai persoalan estetika maupun

‗ancaman‘ politik, seni dan kebudayaan lalu menjadi tak penting bagi kepentingan industri,

ekonomi, dan politik. Oleh sebab itu, para petinggi Orde Baru menganggap tak perlu

memberikan ruang belajar baginya dalam pendidikan formal.

Pandangan bahwa seni adalah sekedar klangenan atau pelipur lara memang bukan monopoli elite

politik Orde Baru. Para budayawan secara umum dan akademisi kampus di bidang kebudayaan

masa itu, dan sepertinya hingga sekarang, juga tak jauh berbeda. Seni lebih dilihat sebagai hanya

untuk keperluan eksternal seniman yang bersangkutan, bukan untuk memenuhi kebutuhan diri

sang seniman dan kelompoknya. Mungkin ini sangat berkaitan dengan ‗ideologi‘ pendiri dan

pendukung manifest kebudayaan yang selalu berkampanye ―seni untuk seni‖, tetapi implikasinya

Page 2: Pendidikan seni rupa

Page | 2

adalah seni menjadi berjarak dengan diri dan komunitas, apalagi dengan problem-problem sosial

yang menghimpit warga masyarakat lebih luas.

Lebih jauh lagi, seperti yang dilihat para penentu pendidikan, seni hanyalah semacam

ketrampilan menggerakkan tangan-kaki-tubuh, bersuara, menghafal, bertutur, menggores benda

keras, menyaput, mengguratkan pena, dan seterusnya. Oleh karenanya, pendidikan seni di

sekolah hanya dimaksudkan untuk melahirkan anak-didik yang trampil berkarya seni, atau

seperti yang sering diajukan sejumlah pengamat seni, generasi pekerja seni.

Mengembalikan makna subtansial seni sebagai bagian terpenting dari diri seseorang dan

komunitas menjadi teramat penting dan tak mungkin ditunda. Karena hanya dengan makna

seperti itu, pendidikan seni akan melahirkan generasi yang berkebudayaan, manusia yang

berperan dalam kemanusiaan.

file:///H:/Pendidikan%20Seni,%20Untuk%20Apa%20%20%C2%AB%20Rumah%20Kultura.ht

m

de Stijl atau dalam Bahasa Inggris the style adalah gerakan seni di sekitar tahun 1920an. Konsep

ini berkembang seiring terjadinya perang dunia pertama yang berlarut-larut. Komunitas seni de

Stijl kemudian berusaha memenuhi keinginan masyarakat dunia mengenai sistem keharmonisan

baru di dalam seni.

Konsep ini diwujudkan dalam pemikiran utopia. Mereka mewujudkan abstraksi dan

keuniversalan dengan mengurangi campur tangan bentuk dan kekayaan warna semaksimal

mungkin. Komposisi visual disederhanakan menjadi hanya bidang dan garis dalam arah

horisontal dan vertikal, dengan menggunakan warna-warna primer seperti merah, biru, dan

kuning di samping bantuan warna hitam dan putih.

Dalam kebanyakan karya seni, garis vertikal dan horisontal tidak secara langsung bersilangan,

tetapi saling melewati satu sama lain. Hal ini bisa dilihat dari lukisan Mondrian, Rietveld

Schröder House, dan Red and blue chair.

Pengaruh dan perkembangan

Konsep de Stijl banyak dipengaruhi filosofi matematikawan M. H. J. Schoenmaekers. Piet

Mondrian, kemudian mempublikasikan manifes seni mereka Neo-Plasticism pada tahun 1920,

meskipun istilah ini sebenarnya sudah digunakan olehnya pada 1917 di Belanda dengan frase

Nieuwe Beelding. Pelukis Theo van Doesburg kemudian mempublikasikan artikel De Stijl dari

1917 hingga 1928, menyebarkan teori-teori kelompok ini. Perupa de Stijl antara lain pematung

Page 3: Pendidikan seni rupa

Page | 3

George Vantongerloo, dan arsitek J.J.P. Oud dan Gerrit Rietveld.

Pada dasarnya aliran de Stijl hanya bergerak dalam dunia lukis. Sebab bagaimanapun konsep de

Stijl adalah abstraksi secara ideal komposisi warna dalam bentuk dua dimensi, walaupun

kemudian juga menghasilkan kesan ruang. Pemanfaatannya sangat banyak di dalam interior dan

arsitekrur. namun seperti yang ditulis oleh Piet Mondrian bahwa de Stijl tetaplah sebuah konsep

ideal dalam dua dimensi. Meskipun Theo van Doesburg berusaha keras memperjuangkan

pengaplikasiannya dalam dunia arsitektur, de Stijl tetaplah hanya menjadi bahan pertimbangan

dalam pengolahan bidang-bidang warna, bukan arsitekturnya sendiri.

de Stijl meredup seiring perpecahan di antara Theo van Doesburg yang aplikatif dan Piet

Mondrian yang teoritis. Hingga akhirnya majalah de Stijl terakhir kali terbit untuk mengenang

kematian Theo van Doesburg.

Seniman yang terlibat dalam gerakan de Stijl

• Piet Mondrian (1872 – 1944)

• Theo van Doesburg (1883 – 1931)

• Ilya Bolotowsky (1907 – 1981)

• Marlow Moss (1890 – 1958)

• Amédée Ozenfant (1886 – 1966)

• Max Bill (1908 – 1994)

• Jean Gorin (1899 – 1981)

• Burgoyne Diller (1906 – 1965)

• Georges Vantongerloo (1886 – 1965)

• Gerrit Rietveld (1888 – 1964)

• Bart van der Leck (1876 – 1958)

file:///H:/Pendidikan%20Seni%20Rupa%20%C2%BB%20Aliran%20Seni%20Rupa.htm

SENI GAMBAR KONTEMPORER INDONESIA: Gambar dalam Perjalanan Sejarah Seni Rupa

Barat

Ditulis oleh Admin pada tanggal:03/05/2010 di Seni Rupa | 5 Comments |

KARYA Robi Fathoni yang basis kreatif gambar (drawing)-nya begitu kuat mewarnai tiap

karyanya. (foto: kuss)

Oleh: ASMUDJO J. IRIANTO

Page 4: Pendidikan seni rupa

Page | 4

BERNETT Newman, salah satu seniman papan atas Amerika, pernah berujar manusia yang

pertama menjadi seniman adalah pada saat dia menorehkan sebuah garis di atas permukaan tanah

menggunakan sebilah kayu. Torehan garis tersebut bisa dianggap sebagai gambar pertama.

Gambar tampaknya selalu menyertai perjalanan peradaban dan kebudayaan manusia. Karena itu,

tak mengherankan jika gambar menjadi wilayah sangat penting dan tak dapat dipisahkan dari

dunia seni dan seniman. Sebetulnya ―menggambar‖, seperti corat-coret, membuat sketsa,

membuat bagan dan sebagainya merupakan salah satu cara seniman (dan para perancang) dalam

menvisualisasikan gagasan yang ada dalam kepalanya. Karena itu menggambar sesungguhnya

juga merupakan upaya pengkongkretan imajinasi, gagasan seniman. Tentu saja setiap bentuk

karya seni sesugguhnya merupakan bentuk pengkongkretan gagasan sang seniman, namun

gambar menduduki posisi istimewa sebab dalam prosesnya merupakan visualisasi konkret yang

paling awal, spontan dan langsung. Hal itu diutarakan dengan gamblang oleh G. Sidharta

Soegijo: ―Salah satu cara yang paling langsung untuk menghubungkan proses berpikir, yang

berlangsung secara abstrak, dengan bentuk visual, yang konkret, adalah melalui gambar.‖

Dalam nada yang sama, Kate Macfarlane dan Katharina Stout berujar: ―It is to drawing that

many artists turn when they are not sure how to proceed with a particular line of enquiry, or how

to realise an ambitious proposal. As Avis Newman suggests, drawing offers the most direct

access to the intimate workings of the artist‘s mind: ‗I have always understood drawing to be, in

essence, the materialisation of a continually mutable process, the movements, rhythms, and

partially comprehended ruminations of the mind: the operations of thought. For this reason

alone, drawing will always be at the heart of the visual arts‗.‖

Gambar menjadi bagian penting dalam perjalanan seni rupa Barat sejak masa Renesans sampai

pada masa modern. Akademi seni di Eropa sejak abad 16 sampai abad 19 menekankan

pentingnya gambar sebagai tulang punggung seni lukis dan seni patung. Apa yang dikenal

sebagai akademisme, tak lain adalah formulasi dan pendekatan seni rupa yang menekankan

pentingnya kemampuan menggambar bagi seorang seniman. Hal itu bisa kita lihat dari

peninggalan gambar-gambar para pelukis-pelukis terkenal Eropa sejak masa Renesans sampai

era seni rupa modern. Karena itu, sungguh mengherankan bahwa gambar—atau lebih tepat seni

gambar—menjadi kategori seni yang otonom baru beberapa tahun belakangan ini.

Agaknya, fungsi gambar sebagai preparatory—kerja persiapan untuk menghasilkan lukisan—

menjadikan gambar tenggelam di bawah medium atau kategori seni yang disokongnya, yaitu seni

Page 5: Pendidikan seni rupa

Page | 5

lukis, seni patung dan seni grafis. Menjadi perangkat preparatory menjadikan gambar

dibutuhkan, namun sekaligus diletakkan bukan sebagai tujuan akhir. Kendati gambar, atau

kemampuan menggambar merupakan hal penting dalam seni lukis dan seni patung, namun hal

itu lebih bertautan dengan proses penyiapan dalam eksekusi lukisan. Tentu saja yang dianggap

lebih penting adalah hasil akhir atau tujuan akhir, yaitu lukisan atau patung. Tujuan akhir

merupakan supremasi, dan dalam tradisi fine art apa yang menjadi akhir adalah yang utama,

seperti dijelaskan oleh Mortimer J. Adler: ―These are the arts that later came to be called the fine

arts, when the word ‗fine‘ is understood to mean ‗finis‘ and to signify that the works produced by

these arts were things to be enjoyed for their own sake, not to be used as means to further ends.‖

Sejak masa Renesans ketrampilan menggambar menjadi bagian penting dalam melukis. Sejak

masa Renesans pula seni lukis menjadi kategori seni tinggi (high art) yang otonom. Maka tak

mengherankan di era seni rupa modern, lukisan merupakan kategori seni yang paling penting.

Ironisnya supremasi seni lukis dicapai melalui dukugan yang tak lekang dari gambar. Agaknya,

karena terlalu lama menservis seni lukis dan patung menyebabkan status atau kedudukan gambar

menjadi problematik, sebagaimana diutarakan oleh Emma Dexter, ―Yet the medium‘s status has

always been problematic, due to its servitude to the arts of painting and sculpture, as well as its

association with preparation and incompletion.‖

Pelukis kenamaan Perancis Ingres pernah berujar mengenai pentingnya gambar untuk painting,

―If I were to put a sign above my door, it would read School of Drawing, and I‘m certain that I

would produce painters.‖ Hal itu tampaknya berlaku secara universal. Bukankah hal itu pula

yang telah dibuktikan oleh Balai Universitas Pendidikan Guru Gambar (dibuka tahun 1947) yang

menjadi cikal bakal seni rupa ITB?

Untuk menjadi kategori seni yang otonom ternyata gambar masih membutuhkan perjalanan

panjang. Seni rupa modern yang lebih mementingkan konsep, semakin menempatkan gambar—

sebagai proses preparatory—semakin tidak penting. Dari masa Renesans sampai akhir abad 19

virtuositas menggambar sepertinya menjadi keharusan bagi seniman agar dapat menghasilkan

karya lukis dan patung yang berkualitas. Sebaliknya seniman modern justru mencurigai hal-hal

yang berkait dengan aspek ketrampilan, termasuk ketrampilan menggambar. Deanna

Petherbridge, seorang prefesor dalam bidang gambar menjelaskan situasi diametrikal antara

masa klasik dengan kepercayaan pada pendekatan akademik melawan masa modern yang

mendestruksi pendekatan akademik, ―The practice of art in this century has been no less closely

Page 6: Pendidikan seni rupa

Page | 6

tied to education than it has in other times. Eighteenth-century neoclassicism, for example, is as

closely allied with the spread of the academies. As modernism has been with the destruction of

the academic system. The academy, as we all know, was posited on the teaching of life gambar,

in fact learning art in the West since Renaissance has been entirely to do with question of

disegno—as both drawing and composisitional design.‖

Maka tak mengherankan jika bagi para seniman modernis, gambar, khususnya dalam pendekatan

akademis menjadi wilayah yang tidak penting. Tentu saja seniman modern tetap membutuhkan

visualisasi bagi gagasan dan pemikirannya, namun hal tersebut tak harus diterapkan melalui

ketrampilan gambar yang canggih. Gambar atau sketsa yang dihasilkan oleh para seniman

modern, konseptual dan avant garde tidak menunjukkan virtuositas gambar seperti para seniman

di abad-abad sebelumnya. Formalisme dan pencarian esensi seni lukis telah menggeser

pentingnya gambar sebagai proses preparatory untuk melukis. Karena itu segi ketrampilan

menggambar ala akademisme (kemampuan gambar anatomis) makin hilang dan tidak penting di

masa-masa seni rupa modern dan era neo avant-garde, yaitu masa-masa transisi dari seni rupa

modern menuju seni rupa kontemporer.

Demikian pula, di masa-masa tersebut akademi seni rupa di Barat memandang pembekalan

ketrampilan, termasuk gambar semakin tidak relevan, dan mengurangi secara drastis mata kuliah

menggambar. Hal yang dikenal dengan sebutan de-skilling ini berkaitan (catatan dari subject of

art) dengan arahan dan prioritas utama pada segi konsep. Proses menuju de-skilling ini agaknya

sesuai dengan paradigma seni rupa modern, dan dalam beberapa hal kemudian juga ditunjukkan

oleh seni rupa kontemporer—khususnya dalam karya-karya yang bersifat transgresif. Kendati

kemudian juga terbukti bahwa seni rupa kontemporer menunjukkan pula karakter yang

berlawanan dengan kecenderungan de-skilling, yaitu munculnya kembali (revival) kebutuhan

terhadap skill atau ketrampilan.

Gambar Sebagai Wilayah Otonom dalam Seni Rupa Kontemporer

Setelah di akhir tahun 60-an sampai tahun 80-an gambar dianggap kurang penting dalam ruang

lingkup pendidikan seni rupa, maka tahun 90-an ditandai dengan kegelisahan karena makin

berkurangnya kemampuan menggambar para mahasiswa seni rupa. Ada upaya-upaya untuk

―back to basic‖, yaitu mengembalikan gambar sebagai variabel penting dalam seni rupa—

termasuk dalam pendidikan tinggi seni rupa. Hal itu misalnya ditunjukkan oleh sebuah

konferensi yang diadakan oleh Tate Gallery tahun 1993-1994 mengenai The role of drawing in

Page 7: Pendidikan seni rupa

Page | 7

Fine Art Education. Hal itu kemudian ditandai pula oleh dibukanya program studi gambar di

beberapa perguruan tinggi seni rupa di Barat.

Di masa sebelumnya, kita tahu bahwa seni lukis modern yang puncaknya ditunjukkan oleh

abstrak ekspresionisme mengalami kebuntuan. Perkembangan lebih lanjut yang ditunjukkan oleh

Pop Art, Conceptual Art dan Minimal Art merupakan masa transisi dari seni rupa modern

menunju seni rupa kontemporer. Penentangan pada konteks spiritual kesenimanan dan sublimasi

seni lukis menyebabkan seni lukis pada awal tahun 70-an mendapatkan stigma, dan untuk

beberapa saat mengalami titik nadir. Performance, happening, eart art, dan bentuk-bentuk seni

patung dalam sense sculpture in extended field menjadi utama. Hal itu kemudian disusul oleh

new media art. Namun secara perlahan tapi pasti seni lukis kembali menunjukkan

kebangkitannya. Berbeda dengan masa seni lukis modern, seni lukis kontemporer bangkit

dengan menempatkan dirinya sebagai kemungkinan medium representasional—bukan sebagai

entitas esensial dan sublim seni rupa.

Pluralitas seni rupa kontemporer menunjukkan dirinya dengan menerima setiap kemungkinan

seni, baik dari segi pemikiran (teori), konsep, medium, material dan ruang kehadiran serta asal

usul seniman. Terbukti bahwa seni rupa kontemporer semakin menunjukkan wajah globalnya.

Tentu saja tak bisa dipungkiri tetap hadirnya kekuatan-kekuatan penentu di balik praktek

produksi dan konsumsi seni rupa kontemporer. Sebagai contoh, tak bisa disangkal bahwa

kebangkitan seni lukis tidak lepas dari maraknya pasar seni rupa, dan itu ditandai oleh maraknya

art-fair di pusat-pusat ekonomi dunia, termasuk pusat-pusat ekonomi baru.

Yang menarik, bangkitnya gambar atau lebih tepat seni gambar dalam dekade terahir ini

ditengarai tidak lepas dari come-backnya seni lukis. Seni lukis melihat peluang bahwa seni rupa

kontemporer dengan kepercayaan pada pluralisme dan ―apapun boleh‖ (anything goes) tidak

memiliki alasan untuk menolak eksistensi seni lukis. Agaknya, melihat hal itu, para seniman

yang tertarik dengan gambar sebagai kemungkinan medium seni rupa kontemporer mulai

menampilkan dirinya. Karena itu Emma Dexter, editor Vitamin D (buku kompilasi seniman

gambar yang paling komprehensif saat ini) berpendapat bahwa popularitas seni gambar sedikit

banyak disebabkan oleh kembali populernya seni lukis: ―In painting‘s slipstream followed the

shy sibling, gambar, arriving without any apologies or explanation. Gambar had never been

widely theorized in its own right, allowing the field to be open for the artists to make of it what

they choice.‖

Page 8: Pendidikan seni rupa

Page | 8

Selain itu, popularitas seni gambar ditengarai dodorong oleh arus balik pada hal-hal yang lebih

moderat dan sederhana, setelah praktek seni rupa tahun 70an sampai 90-an disibukkan oleh

aspek monumental seni. Hal itu diutarakan oleh Emma Dexter: ―But when drawing first started

to emerge autonomously in the mid-1990s, it was also the perfect medium to contrast with the

sort of art that preceded it. Circa 1990, contemporary exhibition were dominated by a form of

monumentalism, one that ironically trumpeted its decosntruction of the monument yet aped the

monument‘s hunger for the space, power and theatricality.‖

Seni Gambar Kontemporer Indonesia

Dalam konteks seni rupa modern Indonesia gambar atau istilah gambar menduduki posisi

penting. Sebelum istilah seni atau seni lukis dipergunakan dan populer, maka ―gambar‖

merupakan istilah yang kerap dipergunakan untuk menunjuk beragam seni rupa 2 dimensi. Tentu

kita masih ingat keberadaan Persagi, singkatan dari persatuan ahli-ahli gambar Indonesia,

kendati yang terutama dipraktekkan adalah seni lukis. Istilah gambar dapat merujuk pada seni

lukis karena seni lukis selalu menggambarkan seseorang atau sesuatu, lukisan adalah gambar

atau gambaran tentang sesuatu. Hal itu juga menunjukkan bahwa istilah gambar, khususnya

dalam konteks budaya Indonesia masa lalu memiliki pengertian yang lebih luas dari pengertian

drawing. Sanento Yuliman almarhum dengan cakap menjelaskan hal tersebut: ―Yang pertama-

tama perlu diingat dalam membicarakan gambar ialah bahwa kata ―gambar‖ mempunyai lingkup

pengertian yang luas. Yang tampak di layar televisi ketika pesawat dihidupkan, yang kelihatan di

layar bioskop ketika film main, demikian juga foto di harian dan majalah, lukisan, peta, denah,

grafik, dan sebagainya, itu semua dalam bahasa Indonesia disebut ―gambar‖.

Saat ini pengertian istilah gambar tampaknya menyempit, khususnya dalam medan seni rupa

kontemporer Indonesia, mendekati pada pengertian drawing dalam bahasa Inggris. Namun

demikian apa yang diutarakan Sanento Yuliman menunjukkan bahwa potensi seni rupa—apapun

mediumnya—sebagai wilayah penggambaran (representasi) sesuatu hal atau persoalan

merupakan hal yang mudah diterima sejak lama. Karena itu, tak mengherankan jika gambar

sebagai wilayah atau kategori seni yang otonom mudah diterima oleh masyarakat. Hal itu

ditunjukkan oleh penerimaan yang cukup terbuka pada karya-karya seni gambar. Terbukti, saat

ini beberapa seniman muda menjadi populer semata-mata menggunakan teknik/medium gambar

dalam berkarya.

Pameran ini menandai apa yang dijelaskan oleh Laura Hoptman, ―it also mark a moment when

Page 9: Pendidikan seni rupa

Page | 9

drawing has become a primary mode of expression for the most inventive and influential, artist

of the time.‖ Terbukti, wajah seni rupa kontemporer Indonesia ditandai oleh karya-karya yang

dikerjakan dengan teknik gambar dan masuk dalam kategori gambar, atau dalam hal ini lebih

tepat disebut seni gambar. Barangkali istilah seni gambar terlalu berlebihan, sebab dalam bahasa

Inggris cukup disebut drawing, bukan drawing-art. Namun, penyebutan seni gambar memang

sebuah penekanan, seperti juga istilah seni lukis dan seni patung yang merupakan padanan istilah

painting dan sculpture. Dengan demikian, jelas bahwa pameran ini berkenaan dengan gambar

sebagai karya seni, khususnya dalam konteks seni rupa kontemporer.

Namun demikian, saat ini, tak mudah menetapkan secara tegas batasan seni gambar. Dalam

beberapa hal seni gambar bergerak masuk dalam batasan seni lukis. Hal itu contohnya

ditunjukkan oleh beberapa seni kontemporer kelas dunia yang karyanya dianggap sebagai

drawing, namun juga diketegorikan sebagai painting. Menurut Emma Dexter karya-karya

Marlene Dumas dan Elizabeth Payton menunjukkan kualitas ―antara‖ (drawing dan painting):

―In the case of Dumas, gambar has always featured heavily in her exhibitions, the juxtaposition

between the more final and ‗developed‘ form of painting and the immediacy of gambar being an

essential element in the presentation of her work. In other cases, artists such as Elizabeth Peyton

and Katharina Wulff have blurred the distictions between drawing and painting, transferring

some of the fragility and immediacy of drawing into their painting. Using thin paint or

combining media to leave the white ground uncovered, thus gaining an increased sense of

immediacy and responsiveness from a medium often associated with closure and ponderausness.

Penjelasan serupa ditunjukkan oleh Deanna Petherbridge, yang merujuk karya David Salle dan

Anish Kapoor: ―Salle‘s triptych ‗walking the dog‘ of 1982 is in oil and acrylic on cotton,

although it is andoubtedly drawn in line, and Kapoor‘s gouaches and moulded paper pieces from

his Tate exhibition of 1989 are designated ‗gambar‘ althought they have nothing to do with line.‖

Dengan ketiadaan spesifikasi medium, maka cukup sulit untuk menetapkan definisi gambar yang

pasti. Kita sepertinya ―mengerti‖ apa itu gambar, namun benarkah demikian? Karena apa yang

kita sebut gambar bisa cukup beragam dan berbeda karakternya. Di sisi lain cairnya batasan

gambar justru merupakan sebuah berkah, karena akan melebarkan kemungkinan-kemungkinan

seni gambar, pun tak masalah jika tumpang tindih dengan wilayah atau medium lain. Bukankah

atmosfir seni rupa kontemporer ditandai oleh ketidaksukaan pada batasan yang pasti dan

definitif?

Page 10: Pendidikan seni rupa

Page | 10

Sebelumnya disebut bahwa di masa lalu gambar belum sampai pada kondisi otonom. Namun jika

sekarang gambar menjadi medium yang ―otonom‖ tentunya tidak dalam sense beranalogi dengan

otonomi seni yang kaku. Karena seni sebagai wilayah otonom dianggap sebagai konstruksi yang

diangan-angankan oleh seni rupa modern—yang terbukti tidak tercapai. Yang dimaksud gambar

sebagai seni yang otonom adalah keberadaan gambar sebagai tujuan akhir ekpresi seni—bukan

sebagai preparatori atau sketsa. Karena itu karakter bahwa seni gambar menjadi medium akhir

(selesai sebagai karya seni) tidak diikuti oleh ketentuan formulatif atau absolut mengenai

―kebenaran‖ seni gambar. Seni gambar mengikuti kaidah seni rupa kontemporer yang pluralis:

segala macam kemungkinan seni gambar berhak hidup. Karena itu, menurut para pengamat, seni

gambar mengalami kemajuan yang sangat pesat, sehingga batas-batasnya pun meluas, yang

dalam istilah Emma Dexter disebut drawing within an expanded field —mengingatkan kita pada

istilah sculpture in the expanded field.

Harus diakui Pameran Seni Gambar Kontemporer bukanlah upaya menyuruk untuk memeriksa

sejauh mana seniman menterjemahkan atau mencari kemungkinan seni gambar. Arah yang

diambil dalam pameran ini lebih sederhana, yaitu menunjukkan bahwa gambar dapat menjadi

media yang otonom untuk ekpresi kesenian—dalam konteks seni rupa kontemporer. Karena itu,

sekali lagi, penyebutan seni gambar merupakan penekanan bahwa medium atau teknik gambar

merupakan pilihan utama sang seniman dalam menghasilkan karya seni. Dengan kata lain

pameran ini menekankan bahwa karya-karya yang ditampilkan adalah karya-karya dengan tujuan

akhir adalah ―karya seni‖ yang ―selesai‖, bukan semata-mata eskperimentasi gambar. Dalam

upaya meletakkan gambar—yang selama ini dipandang sebagai proses preparatori untuk seni

lukis dan patung, atau visualisasi awal gagasan—sebagai sebuah karya ―seni gambar‖ yang

mandiri maka meletakkannya sebagai kemungkinan representasi agaknya menjadi pilihan utama

dalam pameran ini.

Maka, dalam pameran ini, konten representasi menjadi alibi bahwa karya yang ditampilkan

adalah karya seni. Dengan kata lain pameran ini menegaskan bahwa dengan teknik gambar pun

konten, subyek matter atau permasalahan yang hendak disuarakan dapat tampil dengan

maksimal. Karena itu, bukan tanpa alasan bahwa para seniman diminta untuk menyuguhkan

kemungkinan teknik gambar di atas kanvas. Hal ini tentu saja sama sekali tidak menciderai

pengertian gambar, sebab istilah drawing on paper, menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan

salah satu kemungkinan seperti juga kemungkinan drawing on canvas. Lagi pula hal tersebut pun

Page 11: Pendidikan seni rupa

Page | 11

telah ditunjukkan oleh banyak seniman yang memanfaatkan teknik gambar di atas kanvas dalam

karya-karyanya. Bagaimanapun kanvas memiliki aura yang lebih dibandingkan kertas. Tentu saja

hal ini tidak meniscayakan bahwa gambar di atas kertas lebih rendah. Pada akhirnya adalah

persoalan pilihan, beberapa seniman memilih tetap menampikan karya seni gambar

menggunakan kertas.

Namun demikian, terlepas dari konteks konten dan representasinya, perkara keragaman,

eksplorasi dan konsep tentang gembar juga menjadi bagian penting yang menyertai pameran ini.

Keragaman dan berbagai pendekatan gambar ditunjukkan dalam pameran ini, baik dari

pengertian yang paling konvensional, sampai seni gambar yang cukup eksperimental. Demikian

pula muncul karya-karya gambar yang sulit dibedakan dengan seni lukis. Hal itu harus diterima

sebagai refleksi beragamnya pengertian dan kemungkinan seni gambar.

Selain itu, cukup menarik bahwa popularitas seni gambar muncul saat seni media baru menjadi

bagian penting dalam seni rupa kontemporer. Agaknya ada relasi mutualistis, komplemen dan

saling melengkapi. Perkembangan teknologi digital agaknya menyebabkan servis gambar

terhadap proses melukis, khususnya seni lukis realis—yang kembali populer belakangan ini.—

menjadi sangat berkurang. Saat ini proses penyapan dan pengerjaan seni lukis dan patung lebih

mudah dibantu dengan perangkat digital, seperti kamera digital, software komputer dan

proyektor LCD. Hal ini semakin membebaskan tugas gambar sebagai alat atau media bantu bagi

seni lukis. Barangkali karena itu, belakangan banyak seniman memanfaatkan gambar sebagai

wilayah otonom, sebagai terminal akhir praktek seninya. Yang menarik, bahkan seniman gambar

pun saat ini memanfaatkan bantuan foto dan proyektor LCD dalam prose‘s penyiapan dan

pengerjaan seni gambarnya.

Tentu disadari bahwa pameran ini tidak akan dapat memberikan gambaran yang komprehensif

dan inlukisf mengenai kenyataan sesungguhnya seni gambar dalam medan seni rupa Indonesia.

Namun demikian, sebisa mungkin diupayakan keragaman seni gambar dapat diperlihatkan. Hal

itu ditunjukkan mulai dari seni gambar yang menunjukkan kepiawaian membentuk dengan

tarikan garis yang ekspresif dan artistik sampai karya-karya yang serupa dengan gambar komik.

Seperti telah disebutkan di awal bahwa gambar selalu menyertai peradaban dan kebudayaan

manusia. Segala jenis citraan dalam kebudayaan tradisi umumnya merupakan gambar, baik

berupa sungging, rajahan, maupun ukiran di berbagai material. Karena itu dirasa penting untuk

menampilkan seni gambar dari ranah tradisi, dan sepertinya Bali merupakan wilayah yang paling

Page 12: Pendidikan seni rupa

Page | 12

tepat untuk dipilih. Bagaimanapun di Bali gambar sebagai sebentuk seni tradisi dapat bertahan

dan tembus ke era modern. Hal itu ditunjukkan bagaimana para seniman Bali legendaris macam

Lempad dan banyak lainnya dapat mengindividuasi pakem gambar tradisi menjadi suatu karya

yang personal namun tetap dapat menunjukkan identitas dan karakter ke Balian. ***

(Catatan ini rencananya menjadi pengantar dalam katalog Pameran Seni Gambar Kontemporer

yang pamerannya telah diselenggarakan tahun 2009 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta)

*) Penulis adalah Kurator dan staf pengajar Fakultas Seni Rupa dan Disain, ITB. / Indonesian

Art News

http://www.dapunta.com/seni-gambar-kontemporer-indonesia-gambar-dalam-perjalanan-sejarah-

seni-rupa-barat.html

Bertolak dari hal tersebut di atas, maka tulisan ini memberikan salah satu media pendekatan yang

dapat membantu dalam hal pemahaman dan penghayatan pengunjung tentang benda-benda

budaya yang dipamerkan, terutama yang berhubungan dengan kesenian dan religi. Pendekatan

yang dimaksud adalah bagaimana mengoptimalkan peran penampilan hidup ( live show) dari

masyarakat untuk mendukung pemeran budaya milik masyarakat dalam bentuk peragaan atau

pertunjukan yang disajikan oleh Kelompok Seni / Sanggar Seni.

Sanggar adalah tempat / wadah dimana berkumpul atau bertemu untuk bertukar pikiran (

pembahasan, pengolahan , dsb.) tentang suatu bidang ilmu atau bidang kegiatan tertentu.

Sedangkan Sanggar Seni adalah tempat atau wadah dimana seniman-seniman mengolah seni

guna suatu pertunjukan. Selain itu, di dalam sanggar ini pula ada kegiatan-kegiatan yang sangat

penting, yaitu menggali, mengola dan membina seni bagi para seniman. Setiap sanggar seni ada

organisasinya, yaitu mulai dari pimpinan hingga koordinator bidang pembinaan. Misalnya,

koordinator bidang tari, teather, vokal, musik, seni ukir, lukis dan lain-lainnya.

Sejarah itu ilmu dan seni: Download File DOC

Jenis Berkas: Microsoft Word

Berawal dari diskusi di atas, kemudian kita perlu menelaah kondisi pembelajaran sejarah saat ini.

Barangkali bahwa sejarah itu sebagai ilmu dan seni tidak perlu kita ributkan lagi. Toh

Kuntowijoyo sang begawan sejarah juga seorang pandit seniman. Demikian halnya Syafii Maarif

Page 13: Pendidikan seni rupa

Page | 13

yang seorang sejarawan maupun tokoh gerakan moral, ternyata juga pandai bersastra. Bahwa

sejarah sebagai ilmu sudah jelas dasarnya, karena sejarah itu empiris, mempunyai objek,

mempunyai teori, dan ada generalisasi. Sedangkan sejarah dikatakan seni karena sejarah perlu

intuisi, imajinasi, emosi, dan gaya bahasa.

Tentu pertanyaan ini bisa tindih tumpang, sebab dalam unsur pembelajaran sejarah itu ada

pendidik. Sementara mendidik itu adalah ilmu dan seni. Perlukah kita memilahnya? Tentu saja

kita tidak bisa membuat garis pembatas yang tegas, tetapi bisa ditentukan kecenderungan salah

satu dari ketiganya. Bahwa ilmu dan seni mendidik pasti sudah dikuasai calon guru dari dasar-

dasar pendidikan dan strategi pembelajaran, sedangkan ilmu sejarah itu hanya dipelajari secara

intensif calon guru sejarah. Tugas guru sejarahlah yang mengintegrasikan kompetensi keilmuan

sejarah dan penguasaan seni untuk mengajar sejarah dalam proses pendidikan.

Komputer dan Seni Rupa: Download File DOC

Jenis Berkas: Microsoft Word

Setelah diciptakan , hasil karya seni yang telah dibuat kemudian akan disajikan dalam berbagai

wujud. Untuk itu dibutuhkan berbagai hardware untuk merealisasikan karya seni ini. Printer

adalah contoh yang sangat sederhana. Perkembangan printer terus mengalami kemajuan. Salah

satunya adalah large scale printer Yang biasanya digunakan untuk mencetak image datam skala

besar.

Akhir-akhir ini pembajakan terhadap karya seni di Indonesia kian meningkat, sehingga

merugikan para pemusik tersebut dan tentunya Negara juga dirugikan. Karya musik yang

disajikan akhir-akhir ini terlalu banyak melakukan perubahan oleh file Midi tersebut sehingga

terdengar rapi dan bagus. Sehingga apabila ada konser Live pasti penonton kecewa karena apa,

yang disajikan tidak sebaik yang di kaset. Misalnya : Konser AM 1, suara di kaset berbeda

dengan penampilan Live, ini disebabkan converter[ Proses Edit } yang berlebihan.

Dialog Budaya & Gelar Seni: Download File DOC

Jenis Berkas: Microsoft Word

Page 14: Pendidikan seni rupa

Page | 14

DALAM kaitan itu, Dewan Pendidikan dan Dewan Kebudayaan berprakarsa menggali dan

merevitalisasi nilai-nilai ―Budaya Yogya‖ dalam acara Dialog Budaya & Gelar Seni: ―Yogya

Untuk Semesta‖. Atas perkenan Bapak Gubernur, Sri Sultan Hamengku Buwono X, acara ini

akan diselenggarakan di Bangsal Kepatihan secara rutin 35 harian pada setiap hari Slasa-Wage

sekaligus malam tasyakuran bertepatan dengan Tingalan Dalem Ngarsa Dalem.

Pada intinya acara ini adalah Dialog Budaya dengan mengambil berbagai topik bahasan yang

berkait dengan ―Budaya Yogya‖ dengan menghadirkan narasumber yang otentik dan didukung

oleh media seni (seni tari, tembang, karawitan, musik tradisional, senirupa, teater dsb.) yang

terkait dengan topik serta dikemas secara padat dengan gelaran lesehan. Kegiatan kebudayaan ini

diharapkan membangkitkan inspirasi bagi tumbuhnya berbagai kegiatan serupa di masyarakat

dengan beragam bentuk, sehingga memberikan citra Yogyakarta sebagai Kota Budaya yang

hidup dan menghidupi. Budaya itu hidup, karena memang menjadi bagian dari budaya

masyarakat. Dan menghidupi, karena merupakan living culture yang menarik minat wisatawan

mancanegara untuk berkunjung ke Yogyakarta.

http://www.caratasi.com/2009/07/makalah-seni-dan-budaya.html

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SENI RUPA TRADISIONAL DALAM

KURIKULUM SATUAN PENDIDIKAN

Oleh: Martono

(Jurdik Seni Rupa FBS UNY, HP 08156886807, email: [email protected])

Mengawali tulisan ini mari kita renungkan pernyataan Tilaar (1999:177) mengatakan bahwa

pendidikan nasional dewasa ini telah terpisah dari kebudayaan, baik kebudayaan daerah maupun

kebudayaan nasional. Hal ini perlu diintegrasikan kembali sehingga pendidikan betul-betul

hidup, dihidupi, dan menghidupi kebudayaan. Sesungguhnya pendidikan adalah proses

sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi yang harus dilakukan melalui pembelajaran untuk

membangun apresiasi dan kreasi peserta didik. Pembelajaran apresiasi seni rupa tradisi dapat

dilakukan dengan sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi nilai-nilai seni pada peserta didik.

Suatu istilah yang sering digunakan oleh para ahli sosiologi atau ilmu sosial lainnya, sosialisasi

adalah untuk memberikan pemahaman tentang proses pengalihan pengetahuan, ide-ide, sikap,

dan tingkah laku dari satu generasi ke generasi berikut¬nya. Proses sosialisasi dapat dimulai dari

Page 15: Pendidikan seni rupa

Page | 15

keluarga, teman bermain, pendidikan for¬mal, pendidikan luar sekolah, dan pergaulan di

masyarakat. Proses ini oleh para ahli antropologi disebut proses enkulturasi, sedangkan

penjiwaan dari proses tersebut sam¬pai membentuk pengetahuan dan perilaku sehingga anak

mampu mandiri dinama¬¬kan proses internalisasi.

Enkulturasi adalah proses pembudayaan, hal ini akan tampak jelas pada pendidikan huma¬niora,

seperti seni, kesusastraan, tari, musik yang berbentuk ekspresi kreatif. Pengembangan kreativitas

perlu dibina seawal mungkin agar menjadi manusia-manusia yang berbudaya. Internalisasi

adalah proses penghayatan, proses penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui

latihan, pengolahan, pemikiran atau bentuk penghadiran tertentu lainnya. Oleh karena itu, proses

internalisasi bersifat pribadi, proses ini dilakukan dalam pengembangan diri melalui belajar dari

orang lain, orang tua, dan guru dalam situasi tertentu sesuai dengan kapasitas fisik dan

kejiwaanya. Dengan demikian, proses internalisasi diperlukan bagi setiap anak atau individu

dalam bentuk identitas maupun jati diri. Dalam kontek seni budaya dan keterampilan seni tradisi

kita merupakan salah satu puncak-puncak budaya di setiap daerah yang menjadi jati diri bangsa

kita. Hal ini menjadi dasar dan sekaligus sebagai peluang yang dimungkinkan pendidikan

mempertimbangkan kembali membelajarkan seni tradisi kita kepada peserta didik sesuai dengan

kondisi sosial budaya masyarakat setempat dan perkembangan global sekarang ini.

Pendidikan sebagai proses kebudayaan dan melakukan proses interaksi terjadi tranformasi

budaya dari generasi tua, yaitu guru kepada generasi muda, yaitu peserta didik. Tilaar (1999: 9)

mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang menaburkan benih-benih budaya dan

peradaban manusia yang hidup dan dihadapi oleh nilai-nilai atau visi yang berkembang atau

dikembangkan di dalam suatu masyarakat. Hal ini yang dinamakan pendidikan sebagai suatu

proses pembudayaan. Bagaimanakah manusia yang berbudaya itu? Manusia berbudaya adalah

manusia yang dapat dinilai dari kinerjanya, dipandang dari dimensi pengetahuan, cara ber¬pikir,

sikap, perilaku, cara kerja, melihat dan menanggapi serta memecahkan masalah (Djohar

1999:128). Jika pendidikan sebagai suatu proses yang menghasilkan manusia berbudaya, proses

pembelajaran merupakan bentuk operasional penebaran budaya kepada peserta didik di dalam

aktivitas sosial yang disebut kelas. Berbagai kemampuan manusia diperoleh melalui proses

pendidikan. Dengan demikian, pen¬didikan adalah proses kebudayaan.

Konsep pendidikan berwawasan budaya yang disampaikan Djohar sejalan dengan konsep mata

Page 16: Pendidikan seni rupa

Page | 16

pelajaran seni budaya dan keterampilan, menuntut peserta didik yang belajar seni memiliki

kinerja seperti seniman, dan peserta didik yang belajar sains memiliki kinerja seperti saintis.

Hanya pada orang yang memiliki budaya seni yang mampu menghasilkan seni, dan hanya pada

mereka yang memiliki budaya ilmu yang mampu menghasilkan ilmu. Untuk mewujudkan

budaya seni dan budaya ilmu pada peserta didik, perlu diasimilasikan dengan proses seni atau

proses sains dalam proses belajarnya. Ki Hajar menyebut proses belajar harus diasimilasikan

yang artinya menjadi satu. Asimilasi membuat sesuatu menjadi baru bukan meniru belaka tetapi

mengolah atau memodifikasi menjadi baru. Sosialisasi nilai budaya melalui kegiatan

pembelajaran dengan cara asimilasi lebih memiliki makna dan kekuatan bagi peserta didik. Agar

terjadi proses sosialisasi, enkulturasi, dan inter¬nalisasi budaya pada peserta didik dengan baik,

perlu dilibatkan langsung dengan proses nilai-nilai budaya secara langsung.

Para ahli pendidikan dan antropologi sepakat menyatakan bahwa budaya adalah dasar ter-

bentuknya kepribadian manusia. Dari budaya terbentuk identitas seseorang, masya¬rakat, dan

suatu bangsa. Bagaimana proses pendidikan dapat membentuk insan-insan yang berbudaya yang

mampu mengembangkan dan menyambung budaya masyarakat dan bangsanya. Pendidik dan

peserta didik sebagai pelaku aktif harus selalu mencari dan mengembangkan budaya melalui

proses yang disebut pembelajaran. Kelas sebagai tempat terjadinya proses kebudayaan harus

dikondisikan agar tranfer budaya tersebut dapat berjalan dengan baik. Peningkatan motivasi

mengajar dan motivasi belajar harus terus dikembangkan dengan berbagai strategi pembelajaran

agar proses pembudayaan dapat berjalan dengan baik dan wajar. Tanpa kesadaran, tanggung

jawab, dan kerja keras proses pembudayaan melalui pembelajaran tersebut tidak akan berjalan

dengan baik.

Dalam pembelajaran seni secara eksplisit dalam program pembelajaran di satuan pendidikan kita

memang belum nampak, tetapi bisa kita lihat dalam sejarah budaya yang panjang di Indonesia

yang menghasilkan produk budaya seni rupa tradisi yang monumental seperti Borobudur, rumah

adat, keris, batik, uikiran, perak dan sebagainya. Hasil budaya itu tidak/bukan dibelajarkan dan

tidak dibudayakan di sekolah formal tetapi dibelajarkan dan dibudayakan di pendidikan informal

dalam keluarga, nonformal dalam masyarakat yang dibimbing oleh seorang pakar profesional

yang disebut ―Empu, perajin, tukang‖. Proses alih budaya, alih teknologi, alih nilai dan kinerja

melalui melakukan langsung pada aktivitas nyata dengan sepenuh hati dan pikirannya. Para

cantrik atau siswa yang belajar melakukan aktivitas fisik dan mental berdasarkan dengan

Page 17: Pendidikan seni rupa

Page | 17

kesadaran penuh tidak dengan keterpaksaan seperti layaknya kebanyakan siswa belajar di

sekolah formal.

Pola pembelajaran yang dilakukan oleh empu kepada cantrik adalah proses pembelajaran

informal yang cukup bagus untuk menanamkan budaya pengetahuan dan keterampilan

vokasional kepada generasi penerusnya. Di sini terjadi pembelajaran seni melalui budaya seni

dan kinerja seni secara profesional dan dilakukan oleh pakar seni yang aktif dan produktif,

sehingga melahirkan budaya seni dan kompetensi seni yang utuh dan menyatu dalam kehidupan

empu dan cantriknya. Jika kita melihat dalam tradisi Agama Hindu di Bali antara melaksanakan

ibadah agama dengan kegiatan berkesenian sulit dibedakan karena keduanya dilakukan secara

totalitas bahwa melakukan segala sesuatu adalah ibadah, berbakti, dan persembahan kepada yang

Maha Kuasa. Ketika membelajarkan apresiasi seni mereka diajak ke musium, melihat produk

budaya yang dihasilkan generasi pendahulu. Mereka ingin membelajarkan seni diajak ke

pameran seni, pertunjukan seni mengamati secara langsung dan pada saatnya nanti mereka akan

diajari seni seperti apa yang menjadi minatnya. Bukan seperangkat kemasan seni yang harus

diajarkan untuk semua siswa, baik suka maupun tidak suka seperti yang terjadi selama ini di

sekolah formal.

Perkembangan Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan di Indonesia sekarang telah memasuki era perubahan besar. Era pertama dintadai

bahwa pendidikan adalah milik masyarakat yang menyatu dalam lembaga-lembaga keagamaan,

surau, masjid, pesantren, sekolah minggu, dan lain-lain, sebagai pengembangan lebih luas fungsi

masjid, gereja, pura, dan wihara menjadi lembaga pendidikan. Era kedua pendidikan sebagai

program pemerintah dan dikelola secara sentralistik, baik perencanaan, pendanaan, maupun

berbagai kebijakan kurikulum, dan pembinaan sumberdaya daya pendidikan lainnya, sehingga

lahirlah kurikulum seni rupa menambal pakaian. Selanjutnya lahirlah UUSPN no 2 Tahun 1989

telah memperkuat sentralisasi tersebut, tidak hanya pada standar kualitas, tetapi juga pada

standarisasi kurikulum, metode, dan evaluasi belajar. Era ketiga desentralisasi pendidikan

sebagai bagian dari bentuk otonomi daerah, sekolah diberikan kewenangan penuh

mengembangkan pendidikan sesuai dengan konteks potensi budaya dan lingkungan setempat.

Pada era KTSP ini sekolah diberikan kewenangan penuh untuk mengembangkan pembelajaran

seni rupa daerah setempat dalam kerangka untuk mengembangkan apresiasi peserta didik,

pelestarian, dan pengembangan seni budaya daerah setempat. Harapan akhir dari semua

Page 18: Pendidikan seni rupa

Page | 18

perubahan pendidikan itu adalah terwujudnya manusia terampil, profesional dibidangnya,

manusia yang berbudaya yang mampu mengubah dan menjadi¬kan dirinya menjadi lebih baik.

Manusia berbudaya menurut Tilaar (1999) adalah seorang yang menguasai dan berperilaku

sesuai dengan nilai-nilai budaya, khususnya nilai-nilai etis dan moral yang hidup dalam

kebudayaan tersebut. Semua itu harus diupayakan bersama dididik bersama di semua situasi dan

kondisi agar semua komponen masyarakat menjadi baik dan terdidik.

Kebudayaan dalam berproses melibatkan semua komponen yang saling terkait satu sama lain

tidak dapat dipisahkan. Antara seniman, penikmat, masyarakat penyangga, pendidikan, dan

kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat erat. Pendidikan tidak terlepas dari kebudayaan

dan hanya dapat terlaksana dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, tidak ada proses pen-

didikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat. Sebaliknya, tidak ada suatu ke¬budayaan

dalam pengertian suatu proses tanpa pendidikan. Pendidikan dan kebudayaan hanya dapat terjadi

dalam hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat tertentu. Dalam pengertian kebudayaan

terkandung tiga aspek penting, yaitu 1) ke¬budayaan dialihkan dari satu generasi ke generasi

lainnya, kebudayaan sebagai wa¬ri¬san tradisi sosial; 2) kebudayaan dipelajari; dan 3)

kebudayaan dihayati dan dimiliki ber¬sama oleh masyarakat pendukungnya (Parsons, 1994).

Dalam penger¬tian itu kebudayaan sebagai model pengetahuan, nilai-nilai, dan kepercayaan

yang senantiasa terjadi melalui proses pendidikan. Disadari atau tidak proses pendidikan itu

berjalan secara alamiah di masyarakat pendukungnya. Transfer pengetahuan dapat terjadi di

dalam keluarga, di masyarakat melalui pembelajaran non formal, maupun di lembaga formal.

Seni rupa tradisi kita berkembang subur justru melalui pendidikan informal dan nonformal. Di

situ terjadi proses pembelajaran melalui learning by doing, sistem nyantrik, dan belajar sambil

bekerja berjalan dengan baik dan menghasilkan berbagai produk keterampilan seni yang luar

biasa.

Seniman, guru, pekerja seni yang lain melaksanakan proses pendidikan bukan sekedar

tranformasi nilai-nilai kebudayaan saja, tetapi mencipta, mengubah, memperbarui,

memeperkaya, bahkan dapat mematikan kebuda¬ya¬an itu sendiri. Hal ini berarti bahwa

pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Pendidikan yang tidak berakar dari

kebudayaan sendiri akan terlempar oleh derasnya arus globalisasi. Proses pendidikan hendaknya

sesuai dengan kebuda¬ya-an peserta didik. Pendidikan akan berjalan dengan lebih mudah jika

dilaksanakan melalui kerangka budaya peserta didik, yang mampu melibatkan banyak pihak

Page 19: Pendidikan seni rupa

Page | 19

(orang tua, keluarga, dan masyarakat) sebagai pelaku budaya dan mampu menjaga

kesinambungan budaya tempat penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan. Pada situasi sekarang

keberadaan seni tradisi kita mulai kurang diminati generasi muda, ditinggalkan generasi penerus,

mereka lebih menyukai budaya pop baik dari budaya sendiri maupun budaya dari luar. Kondisi

semacam ini secara tidak sadar akan kehilangan jati diri bangsa kita sendiri. Oleh sebab itu, perlu

mengemas materi seni tradisi menjadi budaya pop sesuai dengan perkembangan anak, tuntutan

zaman, dan kebutuhan masyarakat, dengan catatan tetap berakar budaya bangsa kita. Suatu

kenyataan yang tidak dapat dielekan justru generasi muda yang belajar seni tradisi kita adalah

generasi muda dari mancanegara melalui jalur pendidikan formal dan non formal. Sekarang

budaya tradisi kita mulai bertebaran dan tumbuh baik di manca negara. Jika terjadi suatu kasus

seperti di Malaysia mengeklem budaya Indonesia (batik, reog, tari pendet) menjadi budaya

mereka itu salah satu dampak dari globalisasi budaya. Justru yang ironis adalah pemilik budaya

asli kurang peduli untuk mengembangkan dan melestarikan, tetapi kalau digunakan orang lain

mereka marah. Siapakah yang bersalah dalam kasus ini.

Mengemas Seni Rupa tradisional dalam kurikulum satuan pendidikan

Usaha pemerintah untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia telah diupayakan secara

maksimal seperti yang tercantum dalam PP nomor 20 tahun 2003. Sesuai dengan peraturan

pemerintah itu pendidikan di Indonesia menerapkan kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan

berbasis kompetensi, dan pembelajaran berbasis kompetensi. Dalam proses belajar itu peserta

didik dikondisikan belajar dengan seperangkat kompetensi bukan segudang hafalan kognitif yang

kurang mengubah perilaku kreatif, adapatif, dan produktif peserta didik. Dalam pendidikan seni

budaya, muatan seni budaya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tidak hanya

terdapat dalam satu mata pelajaran karena budaya itu sendiri meliputi segala aspek kehidupan.

Dalam mata pelajaran Seni Budaya, aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi

terintegrasi dengan seni. Karena itu, mata pelajaran Seni Budaya pada dasarnya merupakan

pendidikan seni yang berbasis budaya, atau dengan kata lain pembelajaran seni dengan

pendekatan budaya. Diknas telah mengemas pendidikan seni menjadi Pendidikan Seni Budaya

dan Keterampilan diberikan di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Konsep pendidikan

seni budaya diberikan di sekolah karena keunikan, kebermaknaan, dan kebermanfaatan terhadap

kebutuhan perkembangan peserta didik. Pembelajaran seni di sekolah dikemas dalam

Page 20: Pendidikan seni rupa

Page | 20

pembelajaran apresiasi dan kreasi. Pembelajaran seni di sekolah disiapkan untuk pemberian

pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan belajar berekspresi dan belajar berkreasi melalui

penciptaan seni. Pembelajaran seni di sekolah disiapkan untuk pemberian pengalaman estetik

dalam bentuk kegiatan belajar berekspresi dan belajar berkreasi melalui penciptaan seni. Rohidi

(2000:67) mengatakan bahwa pendidikan estetik adalah pendidikan yang akan membawa

kebanggaan dan keagungan jasmaniah dan rohaniah. Oleh karena itu, seharusnya seni menjadi

dasar pendidikan. Pendidikan estetis menurut KH dewantoro(2004:323) dimaksudkan untuk

menghaluskan perasaan terhadap segala benda lahir yang bersifat indah. Pembelajaran seni

memberikan wawasan dasar estetik yang luas agar tamatan mampu beradaptasi dengan pekerjaan

atau kegiatan seni yang lebih luas.

Pembelajaran seni budaya bermuara pada pembelajaran apresiasi yang dilakukan dengan proses

apresiasi dan kreasi. Pembelajaran seni diberikan kepada peserta didik melalui pendekatan:

―belajar dengan seni,‖ ―belajar melalui seni‖ dan ―belajar tentang seni.‖ Peran pendidikan seni

ini tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran lain. Kompetensi seni sebagai subjek, sarana

pembelajaran, dan sekaligus sebagai tujuan pendidikan seni. Ideal memang kalau dihayati

pernyataan itu, tetapi bagaimana dengan kenyataan yang sebenarnya pelaksanaan pembelajaran

seni di sekolah. Pernyataan itu hendaknya jangan hanya sebagai slogan dan belum didukung oleh

berbagai faktor yang penting misalnya kompetensi guru masih belum memadahi, sarana

pendukung belum sesuai, dan dalam konteks pelaksanaan pembelajaran masih jauh dari yang

diharapkan. Sebagai solusi mari semua pendidik seni mulai mereformasi diri dan melepaskan

dari belenggu rutinitas ketidakmajuan dan meningkatkan kompetensi untuk mengembangkan

pendidikan seni ke masa depan yang lebih baik. Jatidiri bangsa Indonesia terletak pada tradisi

seni budaya yang adi luhung harus tetap dilestarikan dan dikembangkan melalui pendidikan,

pembelajaran, dan pelatihan, agar seni rupa tradisonal tiap derah di Indonesia tetap unggul dan

diunggulkan di percaturan seni budaya di dunia.

Pendidikan Seni Budaya dan keterampilan dalam standar isi dalam kurikulum satuan pendidikan

diberikan di sekolah memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural.

Multilingual yang dimaksud di sini adalah bahwa pendidikan seni bermakna untuk

pengembangan kemampuan mengekspresikan diri secara kreatif dengan berbagai cara dan

media. Pengekspresian diri itu dapat berupa bahasa rupa yang menghasilkan goresan, ciptaan

Page 21: Pendidikan seni rupa

Page | 21

bentuk karya rupa yang kreatif. Ekspresi dengan bahasa bunyi lahirlah seni musik dan suara yang

indah. Dengan bahasa gerak tubuh dapat mengekspresikan diri menjadi tarian yang khas dan

indah. Ekspresi dengan peran atau acting menghasilkan seorang aktor yang tangguh. Selanjutnya

memilik kreativitas dapat mengekpresikan diri memadukan dari semua bahasa ekspresi

menghasilkan seni alternatif yang kreatif, inovatif yang harus terus dikembangkan.

Pendidikan seni bersifat multidimensional hal ini bermakna bagi pengembangan beragam

kompetensi peserta didik yang meliputi membangun konsepsi seperti (pengetahuan, pemahaman,

analisis, evaluasi), melalui prinsip ini berarti membangun kecerdasan dan mengembangkan aspek

kognitif peserta didik. Pendidikan seni mengembangkan apresiasi, dan kreasi dengan cara

memadukan secara harmonis unsur estetika, logika, kinestetika, dan etika, sehingga

menghasilkan karya cipta yang unggul. Pendidikan seni di sekolah umum bermuara pada aspek

apresiasi, baik melalui membaca, mengamati, keterlibatan berkreasi seni, dan kegiatan lain yang

membangun sikap siswa untuk memiliki kepekaan, perhargaan, dan pemahaman tentang seni.

Sifat pendidikan seni yang multikultural mengandung makna pendidikan seni harus mampu

menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan apresiasi terhadap beragam budaya

Nusantara dan mancanegara. Hal ini merupakan wujud pembentukan sikap demokratis yang

memungkinkan seseorang hidup berdampingan secara beradab, harmonis, serta toleran dalam

masyarakat dan budaya yang majemuk. Prinsip multikultural telah dimiliki dan tumbuh

berkembang dengan baik pada bangsa ini sejak berabad abad lamanya. Kalau kemudian timbul

perpecahan karena ditumpangi oleh kepentingan tertentu yang mengakibatkan perpecahan

bangsa. Pada konsep pendidikan multikultural hendaknya dapat merajut kembali rasa persatuan,

toleransi, dan apresiasi beragam budaya nasional yang diikat oleh Bhineka Tunggal Ika.

Pendidikan seni budaya dan keterampilan yang dikemas dalam kurikulum berbasis kompetensi

dalam bentuk KTSP berupaya untuk mengangangkat kembali seni rupa tradisi kita dalam

pembelajaran seni di pendidikan formal. Beragamnya seni rupa tradisi di setiap daerah perlu

dikenalkan kepada peserta didik sebagai upaya pendidikan multikultural. Pendidikan

multikultural dirumuskan sebagai studi tentang keanekaragaman kultural, hak asasi manusia, dan

penghapusan berbagai prasangka demi membangun kehidupan masyarakat yang adil dan

tentram. Pendidikan multikultural membangun kesadaran kebanggaan seseorang atas bangsa dan

kebudayaanya. Dalam pendidikan multikultural dapat dapat mengembangkan model menurut

Gorski menjadi tiga taransformasi,

Page 22: Pendidikan seni rupa

Page | 22

(1) tranformasi diri,

(2) Transformasi sekolah dan proses belajar mengajar,

(3) Transformasi masyarakat (Mahfud 2006:15).

Pendidikan kultur yaitu pendidikan yang mempertinggi nilai kemanusiaan( KH Dewantoro

2004:324). Pendidikan seni harus memikirkan pelestarian dan pengembangan budaya tradisi

nusantara melalui pembelajaran di kelas. Indonesia di mata dunia adalah unggul dalam seni

budaya tradisi untuk itu perlu dijaga eksisitensinya melalui kurikulum dan pembelajaran seni di

sekolah yang benar.

Pendidikan Seni Budaya dan Keterampilan memiliki peranan dalam pembentukan pribadi peserta

didik yang harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai

multikecerdasan yang terdiri atas kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musikal,

linguistik, logik matematik, naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas,

kecerdasan spiritual dan moral, dan kecerdasan emosional. Semua bidang seni, rupa, musik, tari,

dan teater memiliki kekhasan tersendiri sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing. Dalam

pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang

diwujudkan dalam pemberian pengalaman mengembangkan konsepsi, apresiasi, dan kreasi.

Semua ini diperoleh melalui upaya eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam

konteks budaya masyarakat yang beragam. Hal itu diperjelas secara operasional dalam Standar

Isi sebagai pedoman penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) Salah satu contoh

dalam Standar Kompetensi apreasiasi dan kreaasi selanjutnya dijabarkan dalam Kompetensi

dasar yang berbunyi sebagai berikut: ―Menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan gagasan

dan teknik dalam karya seni rupa terapan daerah setempat, Nusantara, dan mancanegara‖. Dalam

kompetensi itu menunjukan bahwa pendidikan kita telah mengenalkan seni daerah setempat,

Nusantara dan manca negara. Dari kompetensi dasar tersebut pendidikan kita telah mulai

membangun kesadaran para lulusan untuk mengenal multikultural bangsa Indonesia sampai

macanegara agar lulusan memiliki rasa dan sikap apresiasi dan penghargaan terhadap keragaman

budaya. Kompetensi Dasar yang lain sebagai contoh berbunyi: ―Menampilkan sikap apresiatif

terhadap keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni kriya Mancanegara‖. Menampilkan

sikap apresiatif terhadap keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni rupa

modern/kontemporer‖. Secara koseptual materi tersebut dikemas melalui mata pelajaran seni

Page 23: Pendidikan seni rupa

Page | 23

budaya dan keterampilan hendaknya menjadikan perhatian satuan pendidikan dan para guru

untuk dapat melaksanakan pembelajaran seni yang sebaik-baiknya untuk mewujudkan konsep

kurikulum ideal yang dikembangkan pemerintah tersebut. Yang menjadi pertanyaan apakah guru

siap melakukan pembelajaran seni seperti yang diamanatkan dalam standar isi?

Mata pelajaran Seni Budaya dan keteramiplan (dalam Standar Isi) bertujuan agar peserta didik

memiliki kemampuan sebagai berikut:

(1) Memahami konsep dan pentingnya seni budaya,

(2) Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya,

(3) Menampilkan kreativitas melalui seni budaya,

(4) Menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun

global.

Guru dapat mengembangkan pembelajaran seni sesuai kemampuan dan kondisi sekolah dan

daerah. Guru dapat mengambil prioritas seni yang mana yang dipilih untuk menunjang

pembentukan pengalaman estetik peserta didik dan pembangunan budaya daerahnya.

Depdiknas memberikan nama mata pelajaran seni (rupa, musik, tari, dan teater) dengan kemasan

nama seni budaya harapanya pembelajaran seni dengan pendekatan budaya. Seni harus

dibelajarkan kepada anak didik melalui budaya peserta didik di mana mereka tinggal. Dalam

tulisan ini diajukan sebuah pemikiran pembelajaran kontekstual dengan penggunaan metode

pembelajaran seni yang relevan dalam pendidikan seni yang multikultural yang diambil dari

konsep pembelajaran kontekstual dan lifeskills. Dalam pandangan penulis berbicara tentang

multilingual, multidimesi, dan multikultural memang membicarakan dimensi manusia dan

budaya yang sangat luas. Dengan pendekatan kontekstual tersebut dapat menyentuh esensi

pembelajaran seni yang sebenarnya. Akar budaya atau seni Indonesia adalah seni tradisi.

Pembelajaran seni tradisi selain yang dikembangkan para empu dengan sistem nyantrik, dimana

peserta didik dikondisikan dan diasimilasikan dalam dalam suasana aktivitas seni yang

sebenarnya. Peserta didik harus belajar batik melalui membatik, belajar mengukir melalui

kegiatan memngukir, belajar melukis dengan melukis. Demikian juga sistem pembelajaran yang

dikembangkan pendidikan nonformal dengan nama kursus, peserta didik diajari keterampilan

seni yang praktis dan kontekstual sesuai kebutuhan dan perkembangan seni yang dibutuhkan di

Page 24: Pendidikan seni rupa

Page | 24

masyarakat. Pendidikan seni baik lewat nyantrik, magang, praktik industri, praktik kerja

lapangan pada prinsipnya adalah belajar pengetahuan dan keterampilan seni agar menguasai

kompetensi yang memadahi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan seni di masyarakat.

Bagaimana mengemas materi seni rupa tradisional dam pembelajaran di kelas? Sejalan dengan

itu, seperti yang dikemukakan Kneller (dalam Pidarta, 1997:160) bahwa dalam pengembangan

kebudayaan meliputi tiga unsur, pertama, originasi yaitu suatu penemuan baru yang dapat

menggeser suatu penemuan yang lama. Kedua, difusi yaitu pembentukan budaya baru akibat

percampuran budaya baru dengan budaya lama. Ketiga, reinterpretasi yaitu perubahan

kebudayaan akibat terjadinya modifikasi kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan keadaan

zaman. Sesuai pernyataan itu, guru sebagai pendidik seni diberikan kewenangan untuk

membelajarakan seni melalui, mengamati, meniru, dan memodifikasi materi seni sesuai dengan

kubutuhan anak dan perkembangan kebutuhan masyarakat. Materi pembelajaran yang bersifat

teoritik sebaiknya tidak diberikan secara terpisah melainkan diberikan secara terpadu dengan

materi kegiatan apresiatif maupun berkarya seni. Materi pelajaran praktik berkarya seni kerajinan

menekankan pada aspek proses dan hasil. Sehingga pembelajaran lebih menekankan pada usaha

membentuk pemahaman dan mengungkapkan gagasan kreatif. Pada dasarnya jika proses

dilakukan dengan prosedur yang benar, baik, logis akan menghasilkan produk karya seni rupa

yang baik pula. Pembelajaran seni rupa tardisional (kerajinan) yang lebih profesional penguasaan

bidang tertentu misalnya kerajinan ( batik, kayu, bambu), sekolah dapat melaksanakan kegiatan

pembelajaran melalui muatan lokal kerajinan atau pengembangan diri (ektrakurikuler) kerajinan

sesuai pilihan peserta didik.

Pembelajaran seni budaya dan keterampilan dengan model apapun hendaknya harus

menggunakan strategi tatap muka dan memberikan pengalaman belajar learning by doing.

Strategi tatap muka adalah bentuk kegiatan interaksi aktif guru dan siswa dengan bentuk atau

cara diskusi, presentasi, tanya jawab, demontrasi, dan lain-lain yang dapat mengaktifkan dan

mengefektifkan komunikasi guru dan siswa untuk menanamkan nilai-nilai humanistik kepada

peserta didik. Kegiatan interaksi aktif dapat di dalam kelas, di laboratorium, di lapangan dan

sebagainya di mana proses transfer pengetahuan dan keterampilan dilakukan. Pembelajaran seni

rupa daerah setempat harus dapat memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan pada diri

siswa, untuk dapat diterima dan menyenangkan pada peserta didik perlu modifikasi materi ajar

Page 25: Pendidikan seni rupa

Page | 25

yang sesuai perkembangan anak. Pengalaman belajar adalah sebuah kegiatan siswa berinteraksi

dengan bahan ajar untuk menguasai kompetensi tertentu baik secara mandiri maupun trstruktur

di bawah bimbingan guru. Bagaimana siswa menguasai pengetahuan dan keterampilan seni

melalui berinteraksi dengan bahan ajar. Dalam proses tatap muka maupun pengalaman belajar

guru berfungsi sebagai fasilitator dan motivator bagi siswanya, bukan pemberi materi pelajaran.

Dalam proses itu bagaimana guru membimbing, menanamkan nilai-nilai, disiplin, tanggung

jawab agar siswa dapat berkembang dengan baik.

Pembelajaran seni budaya dan keterampilan dalam kurikulum KBK terdiri atas pembelajaran

kreasi dan apresiasi. Pembelajaran kreasi atau berkarya seni bertujuan untuk menghasilkan

karya. Aktivitas berkarya dilakukan melalui kegiatan belajar keterampilan seni dengan berbagai

pendekatan. Belajar seni rupa tradisional yang sering disebut kerajinan sepereti batik, ukir,

anyam, gerabah dapat dilakukan dengan menggunakan metode 3 N ( Niteni, Nirokake, lan

Nambahi) yang digunakan dalam pembelajaran di Tamasiswa oleh Ki Hajar Dewantoro. Metode

3 N dalam bahasa Indonesia 3 M (Mengamati, Meniru, dan Mengembangkan). Demikian juga

penggunaan metode yang mirip bahkan secara esensi sama seperti yang disampaikan Mudrajad

Kuncoro (2009) untuk memotivasi perajin dalam mengembangkan industri kreatif dengan

metode ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi). Belajar apapun dimulai dengan niteni atau

mengamati objek apalagi belajar seni rupa tradisi lokal daerah setempat. Peserta didik

mengkonstruksi pengetahuan untuk membangun konsepsi. Setelah konsep terbentuk pada pikiran

peserta didik selanjutnya dilakukan proses keterampilan dengan cara meniru. Belajar

keterampilan apapun pada tingkat yang paling rendah dan sederhana adalah dimulai dari meniru.

Setelah penguasaan keterampilan dasar dikuasai dengan niteni dan meniru, selanjutnya peserta

didik masuk pada tahapan mengembangkan atau memodifikasi. Pada tataran mengembangkan

atau memodifikasi ini peserta didik harus mengembangkan kreativitas dengan melakukan

pencarian secara terus menerus melalui inquairy, questioning, modeling, learning comunity,

problem solving, dan individual learning seperti prinsip pembelajaran kontekstual. Belajar

memodifikasi atau mengembangkan dapat dilakukan dengan ekplorasi dan eksperimen dalam

mengolah gagasan (konsep), bentuk, dan media, teknik, dengan mengambil unsur dari berbagai

bentuk seni (tradisi maupun kreasi baru), baik sebagai kegiatan individual maupun kegiatan

kelompok. Pembelajaran berkarya atau produktif perlu diciptakan suasana yang kondusif dan

Page 26: Pendidikan seni rupa

Page | 26

menyenangkan sehingga dapat memotivasi siswa dalam berkarya. Memberikan kebebasan

kepada siswa untuk menentukan pilihannya agar anak dapat berkreasi dengan baik. Peran guru

dalam proses berkarya sebagai fasilitator dan mitra belajar siswa. Sebagai fasilitator dan mitra

belajar peserta didik harus dapat membimbing dan memotivasi belajar siswa baik belajar

berkreasi maupun apresiasi dengan baik.

Untuk dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik perlu mengemas materi ajar seni rupa

tradisi daerah setempat dengan cara dikembangkan atau disederhanakan sesuai perkembangan

anak pada jenjang pendidikan tertentu. Misalnya untuk anak SMP harus belajar batik tradisional

motif kawung jangan disamakan dengan perajin membuat batik motif kawung, mereka tiap kali

melihat itu sudah tidak tertarik. Tugas guru mengemas dan memodifikasi materi motif kawung

menjadi sederhana dan mudah dikerjakan anak tanpa mengurangi makna dan prinsip-prinsip

kerja batik tradisional. Guru mengenalkan perkembangan batik, fungsi batik, alat batik seperti

canting, wajan, bahan batik seperti malam, kain, dan warna. Guru juga menjelaskan dan

mempraktikan cara pemakaian bahan dan alat batik sama dengan yang dikerjakan oleh perajin

batik. Guru mengajarkan cara membuat topeng kepada anak SMP misalnya dijelaskan cara

menyederhanakan, mengembangkan, sehingga anak menjadi senang dengan topeng atau budaya

tradisi daerah setempat yang lainnya. Demikian seterusnya guru sangat menentukan keberhasilan

lulusan dalam mengapresiasi, menghayati dan mencitai seni budayanya sendiri. Pendidik harus

kreatif mengemas materi kerajinan daerah setempat ke dalam pembelajaran di kelas sesuai

dengan perkembangan anak dan kebutuhan masyarakat. Jika kemasan materi ajar disamakan

persis dengan apa yang ada di dunia perajin mungkin anak kurang tertarik, tetapi jika

dimodifikasi sesuai dengan konteks perkembangan dan kebutuhan anak akan lebih menarik.

Pembelajaran apresiasi bertujuan untuk mengembangkan kesadaran, pengalaman, dan

penghargaan terhadap proses berkarya dan hasil karya seni. Kegiatan apresiasi dapat dilakukan

melalui pengamatan, melakukan percobaan, diskusi, dan pembahasan hasil karya seni. Hasil

karya kerajinan sebagai objek kegiatan apresiasi tersebut dapat dalam bentuk karya siswa, foto

karya seniman, produk perajin, gambar, rekaman, dan pameran hasil karya. Pengamatan karya

bertujuan untuk memperoleh pengalaman estetik melalui pencerapan nilai-nilai instrinsik pada

bentuk atau komposisi karya seni untuk membangun konsepsi peserta didik. Pembahasan karya

seni bertujuan untuk mendapatkan kesadaran dan pemahaman tentang penciptaan karya,

Page 27: Pendidikan seni rupa

Page | 27

berdasarkan telaah tentang perajin, seniman, latar belakang penciptaan, tujuan penciptaannya.

Pembelajaran apresiasi dapat dilakukan dengan penyajian karya meliputi kegiatan penyajian

lisan dalam diskusi kelas dan pameran baik dalam lingkup kelas, sekolah, maupun masyarakat.

Diskusi kelas bertujuan untuk menampilkan, mempresentasikan, dialog tentang hasil karya dan

proses kreatif yang dilakukan siswa. Kegiatan diskusi ini dapat pula dipadukan dengan kegiatan

penyajian lisan. Penyajian tulis dalam bentuk mendiskripsikan hasil karya seni. Penyajian dalam

bentuk pameran karya dalam lingkup kelas bertujuan untuk menampilkan hasil karya kreasi

siswa dalam rangka apresiasi di lingkungan siswa sekelas, sekolah, atau pada masyarakat

umumnya. Pembelajaran apresiasi dapat pula sebagai pembelajaran kritik seni. Peserta didik

diajak untuk memahami proses penciptaan seni produk seni dan kerajinan tradisional melalui

kegiatan mendeskripsikan karya seni dan kerajinan secara kritis dari apa yang diamati. Peserta

didik dapat melakukan analisis terhadap karya seni dengan membedah komposisi, proporsi,

tekture, dan keindahan karya dengan cermat. Kegiatan intepretasi dengan cara memberikan

keputusan hasil deskripsi dan analisis bahwa karya seni tersebut memiliki bobot atau kurang

berbobot berdasarkan hasil analisis secara objektif. Tingkatan terakhir dari proses kritik adalah

memberikan keputusan evaluasi untuk menentukan bahwa karya seni tersebut memang indah,

berbobot atau kurang bermutu dan memberikan rekomendasi untuk menindak lanjuti dalam

kerangka untuk membangun dan memperbaiki proses dan hasil karya. Pembelajaran seni budaya

dan keterampilan dibedakan menjadi pembelajaran apresiatif dan pembelajaran kreasi atau

produktif. Pembelajaran apresiatif meliputi apresiasi proses dan hasil karya. Pembelajaran

apresiasi di sekolah dapat dimulai dari apresiasi karya ciptaan siswa, karya ciptaan orang lain

baik tradisional maupun modern.

Pelaksanaan pembelajaran seni budaya dan keterampilan di sekolah alternatif yang dapat

dilaksanakan sesuai konteks dan kemampuan sekolah atau daerah sebagai berikut: Sekolah yang

memiliki guru seni dan keterampilan yang lengkap dapat melaksanakan pembelajaran seni dan

keterampilan secara terpisah sesuai bidangnya. Siswa diberikan kebebesan memilih bidang seni

budaya dan keterampilan tertentu sesuai minatnya. Untuk pelaksanaan pembelajaran terpadu

(misalnya kerajinan dengan elektronika) dapat dilaksanakan berkerja sama dalam bentuk

pembelajaran bertim untuk melaksanakan pembelajaran model tertentu, sehingga menghasilkan

karya kerajinan dengan sentuhan teknologi. Karya tersebut dapat berbentuk robot, kendaraan

Page 28: Pendidikan seni rupa

Page | 28

tradisional, boneka tradisional yang dapat digerakan oleh tenaga listrik baik arus lemah maupun

kuat. Sekolah yang hanya memiliki satu guru bidang seni/keterampilan tertentu, guru tersebut

melaksanakan pembelajaran sesuai dengan bidangnya, tetapi juga diharapkan mengajarkan

bidang seni dan keterampilan yang lain menurut kemampuannya untuk memberikan wawasan

apreasiasi kepada peserta didik. Sekolah yang belum memiliki guru seni dan keterampilan dapat

dipegang oleh guru mata pelajaran lain yang memiliki minat dan kemampuan pada bidang seni

dan keterampilan tertentu.

Demikian sumbangan pemikiran penulis, dengan mengemas pembelajaran seni rupa tradisional

(kerajinan) dengan menggunakan metode 3 N, 3 M atau ATM untuk pengembangan kompetensi

apresiasi dan kreasi peserta didik. semoga dapat ikut memberikan sumbangan pemikiran

pendidikan seni budaya dan keterampilan di persekolahan di Indonesia untuk masyarakat yang

pluralisme multikultural. Pendidikan seni harus mampu membangung apresiasi, kreasi, dan

toleransi terhadap keragaman budaya bangsa. Harapan akhir pendidikan seni budaya di sekolah

di seluruh nusantara ini mampu membelajarkan seni tradisi nusantara dengan baik sesuai

kemampuan sekolah dan daerah, sehingga konsep ideal yang dikembangkan Diknas melalui

kurikulum berbasis kompetensi dapat terwujud dengan baik.