Top Banner
PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA 1. Pendahuluan Matematika itu sulit! Begitu kesan pertama yang beredar di antara sebagaian besar siswa dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kesan ini diyakini sebagai salah satu penyebab kurang berminatnya sebagian besar untuk belajar matematika. Kesan-kesan terhadap pelajaran matematika yang mereka alami selama belajar di sekolah adalah: a. Menakutkan; b. Sulit, abstrak, dan tak bermakna; c. Membuat siswa stress; d. Materi terlalu banyak; e. Penuh dengan rumus-rumus; f. Gurunya pada umumnya galak-galak; g. Serius dan manusiawi; Hal ini disebabkan oleh sistem pembelajaran yang hanya mengutamakan materi dari pada kejelasan siwa terhadap materi yang diajarkan oleh guru, yang terpenting di sini adalah materi selesai, entah siswa itu memahami ataupun tidak itu urusan belakangan. Guru cenderung mentransfer pengetahuan yang dimilki ke pikiran anak dan anak menerimanya secara pasif dan tidak kritis. Selain itu sistem pengajaran dahulu kurang memberikan kebebasan terhadap siswa untuk berpikir kreatif dalam menyaleseaikan soal atau masalah. Hal ini terlihat bila guru memberikan soal maka jawabannya pasti sama seperti yang diajarkan guru dan siswa tidak mencoba cara lain sehingga bila diberi soal yang sidikit berbeda atau aplikasi siswa akan mengalami kesulitan. Masalah ini yang mengakibatkan matematika dipandang sebagai pelajaran yang monoton, membosankan, dan tidak menarik sama sekali, sehingga jarang dari siswa yang menyenangi mata pelajaran ini. Faktor-faktor tersebut yang mengakibatkan rendahnya atau buruknya nilai siswa Indonesia dalam pelajaran matematika. Bertolak dari itu untuk memperbaiki mutu pendidikan matematika Indonesia salah satu cara yang digunakan oleh para matematikawan adalah menerapkan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) khususnya dimulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD). Pendekatan PMRI ini didasarkan pada realita dan lingkungan kehidupan yang ada di sekitar siswa. Dengan demikian, penerapan PMRI diharapkan mempermudah siswa
22

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Jun 27, 2015

Download

Documents

Eross Chandra
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA

1. Pendahuluan

Matematika itu sulit! Begitu kesan pertama yang beredar di antara sebagaian besar

siswa dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kesan ini diyakini sebagai salah satu

penyebab kurang berminatnya sebagian besar untuk belajar matematika. Kesan-kesan

terhadap pelajaran matematika yang mereka alami selama belajar di sekolah adalah:

a. Menakutkan;

b. Sulit, abstrak, dan tak bermakna;

c. Membuat siswa stress;

d. Materi terlalu banyak;

e. Penuh dengan rumus-rumus;

f. Gurunya pada umumnya galak-galak;

g. Serius dan manusiawi;

Hal ini disebabkan oleh sistem pembelajaran yang hanya mengutamakan materi dari

pada kejelasan siwa terhadap materi yang diajarkan oleh guru, yang terpenting di sini

adalah materi selesai, entah siswa itu memahami ataupun tidak itu urusan belakangan.

Guru cenderung mentransfer pengetahuan yang dimilki ke pikiran anak dan anak

menerimanya secara pasif dan tidak kritis. Selain itu sistem pengajaran dahulu kurang

memberikan kebebasan terhadap siswa untuk berpikir kreatif dalam menyaleseaikan soal

atau masalah. Hal ini terlihat bila guru memberikan soal maka jawabannya pasti sama

seperti yang diajarkan guru dan siswa tidak mencoba cara lain sehingga bila diberi soal

yang sidikit berbeda atau aplikasi siswa akan mengalami kesulitan.

Masalah ini yang mengakibatkan matematika dipandang sebagai pelajaran yang

monoton, membosankan, dan tidak menarik sama sekali, sehingga jarang dari siswa yang

menyenangi mata pelajaran ini. Faktor-faktor tersebut yang mengakibatkan rendahnya

atau buruknya nilai siswa Indonesia dalam pelajaran matematika. Bertolak dari itu untuk

memperbaiki mutu pendidikan matematika Indonesia salah satu cara yang digunakan oleh

para matematikawan adalah menerapkan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

(PMRI) khususnya dimulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD).

Pendekatan PMRI ini didasarkan pada realita dan lingkungan kehidupan yang ada di

sekitar siswa. Dengan demikian, penerapan PMRI diharapkan mempermudah siswa

Page 2: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

dalam memahami dan mempelajari matematika, sehingga matematika menjadi

pelarajaran yang menyenangkan, tidak membosankan, menarik, dan diminati oleh siswa

2. Pengertian PMRI

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan

dari institude Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah

Utrecht University Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya yaitu

Profesor Hans Freudenthal (1905-1990), seorang penulis, pendidik dan

matematikawan berkebangsaan Jerman-Belanda.

Sejak tahun 1971, Institut ini mengembangkan suatu pendekatan teoritis

terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics

Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana

siswa belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan (Hadi, 2005).

Realistik Mathematics education, yang diterjemahkan sebagai pendidikan

matematika realistik adalah sebuah pendekatan belajar matematika dari Frudenthal

Institute, Utrecht University di negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada

anggapan Hans Frudenthal (1905-1990) bahwa matematika adalah kegiatanmanusia.

Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika

dari guru ke siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep

matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Di sini matematika dilihat

sebagai kegiatan manusia yang bermula dari pemecahan masalah. Karena itu, siswa

tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk

menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses

penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia

nyata. Disini dunia nyata diartikan segala sesuatu yang berada di luar matematika,

seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun

dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal

pembelajran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting dari pada

hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu

proses mematikakan dunia nyata. Proses ini digambarkan oleh de Lange sebagai

lingkaran yang tak berujung. Selanjutnya, oleh Treffers matematisasi dibedakan

menjadi dua yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertical. Kedua proses ini

digambarkan oleh Gravenmeijer sebagai proses penemuan kembali .

Page 3: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal konstektual dari

dunia nyata. Dalam matematika horizontal siswa mencoba menyelesaikan soal-soal

dari dunia nyata dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol

mereka sendiri. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep

matematika dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum

yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung tanpa

bantuan konteks. Dalam istilah Freudenthal matematisasi horizontal berarti bergerak

dari dunia nyata ke dalam dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal berarti

bergerak dalam dunia simbol itu sendiri. Dengan kata lain, menghasilkan konsep,

prinsip atau model matematika dari masalah kontektual sehari-hari termasuk

matematisasi horizontal, sedangkan menghasilkan konsep, prinsip, atau model atau

matematika dari matematika sendiri termasuk matematisasi vertikal.

3. Teori Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti

kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat

CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar

secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus

untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep pendidikan matematika

realistik sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di

Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa

tentang matematika dan mengembangkan daya nalar (Hadi, 2004). Paradigma baru dalam

pembelajaran sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap proses pembelajaran

dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan

yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar tersendiri bagi setiap

individu.

4. Kelebihan pembelajaran Matematika dengan Menggunakan pendekatan PMRI

a. Pelajaran matematika dengan pendekatan PMRI sangat komprehensif.

Artinya penyajian materi pelajaran selalu dihubungkan dengan materi lain.

Ketika siswa mengerjakan suatu soal, dia selalu berpikir tentang kaitan suatu soal

dengan soal yang sudah pernah dia selesaikan, atau antara suatu materi baru dengan

materi lama yan pernah dia pelajari. Dengan demikian, siswqa ynag sudah dapat

Page 4: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

mengerjakan suatu soal sebelumnya, besar kemungkinannya dapat mengerjakan soal

yang sedang dihadapinya.

b. Pelajaran matematika dengan pendekatan PMRI bersifat integral.

Artinya, pelajaran matematika dapat dihubungkan langsung dengan pelajaran

lain.

c. Pelajaran matematika dengan pendekatan PMRI menuntut logika atau

penalaran yang sah.

Artinya, siswa yang berpikir dengan nalar yang tertata dalam matematika,

pada pelajaran lainpun proses penalarannya juga bagus. Sebaliknya, siswa yang pada

pelajaran matematika berpikir dengan penalaran yang tidak tertata atau ngawur pada

pelajaran lainpun cara berpikir atau penalarannya sama.

d. Pelajaran matematika dengan pendekatan PMRI menggunakan berpikir tingkat

tinggi.

Ada orangtua yang mengatakan bahwa anak yang dapat mengikuti

pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI daya tangkapnya tinggi.

Maksudnya, cara anak mengungkapkan maksudnya mudah ditangkap dan jelas.

e. Pembelajaran dengan pendekatan PMRI banyak member kesempatan kepada

anak untuk berbicara, mengungkapkan ide maupun gagasan, berkomunikasi

dengan yang lain untuk membuat kesepakatan dan hal itu merupakan langkah-

langkah yang baik untuk mengembangkan bahasa anak.

Jadi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI ternyata benar-benar

membawa pengaruh besar dalam pengembangan pemahaman matematika dala diri

anak pada umumnya.

5. Tantangan PMRI

Ada beberapa tangtangan dalam pelaksanaan PMRI dalam pembelajaran. Antara lain:

a. Bagi guru

Ada kecenderungan bagi guru untuk mengajar dengan cara menyenangkan.

Anak diterangkan saja sulit menerimanya. Apa lagi jika guru tidak menerangkan atau

tidak mengajari. Kebiasaan cara guru mengajar inilah yang sulit diubah.

Membangkitkan kreatifitas anak ternyata sulit sekali, akhirnya guru tidak sabar.

Kebuntuan ini yang menyebabkan guru kembali mengajar dengan cara menerangkan.

Evaluasi belajar yang dilakukan guru selama ini adalah hasil, bukan proses. Maka

Page 5: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

guru juga mengalami kesulitan dalam melaksanakan evaluasi. Oleh karena itu

tantangan bagi guru ini, mampukah guru mengubah cara mengajar kearah PMRI,

tanpa ditunggui atau dimonitor?

b. Bagi siswa

Siswa yang mengalami lambat belajar sulit bergaul dalam menyelesaikan

masalah. Sudah didorong-dorong namun anak masih juga sulit berkreatif. Sementara

anak yang sudah merasa bisa ada yang sudah bosan dengan pelajaran yang sudah

diberikan.

Seandainya nanti pemerintah tidak menerima pilot proyek yang sangat baik ini

dan pada akhirnya proyek PMRI berhenti maka seolah-olh uji coba PMRI tidak

berhasil dan sia-sia. Sehingga upaya perubahan tidak berjalan. Akhirnya kembali ke

cara lama dan PMRI hanya sebagai pesan dan kesan yang ada di benak guru.

6. Karakteristik PMRI

De Lange mengungkapkan bahwa teori PMRI terdiri dari 5 (lima) karakteristik

(Zulkardi, 1999) yaitu ;

a. Penggunaan konteks nyata (real context) sebagai starting point dalam pembelajaran

untuk dieksplorasi.

b. Penggunaan model-model.

c. Penggunaan hasil belajar siswa dan kontruksi.

d. Interaksi dalam proses belajar atau interaktivitas.

e. Keterkaitan (connection) dalam berbagai bagian dari materi pelajaran

Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007)

adalah sebagai berikut:

a. Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan untuk

memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.

b. Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matematika melalui

pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya.

c. Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang mereka

temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara menemukannya maupun

hasilnya).

d. Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang

telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.

Page 6: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

e. Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada

hubungannya.

f. Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasil-hasil dari

pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang lebih rumit.

g. Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil yang siap

pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok dilakukan melalui

learning by doing (belajar dengan mengerjakan).

Beberapa hal yang perlu dicatat dari karakteristik pendekatan matematika realistik

di atas adalah bahwa pembelajaran matematika realistik

a. termasuk “cara belajar siswa aktif” karena pembelajaran matematika dilakukan

melalui ”belajar dengan mengerjakan;.”

b. termasuk pembelajaran yang berpusat pada siswa karena mereka memecahkan

masalah dari dunia mereka sesuai dengan potensi mereka, sedangkan guru hanya

berperan sebagai fasilitator;

c. termasuk pembelajaran dengan penemuan terbimbing karena siswa dikondisikan

untuk menemukan atau menemukan kembali konsep dan prinsip matematika;

d. termasuk pembelajaran kontekstual karena titik awal pembelajaran matematika

adalah masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil dari dunia siswa;

e. Termasuk pembelajaran konstruktivisme karena siswa diarahkan untuk menemukan

sendiri pengetahuan matematika merka dengan memecahkan masalah dengan diskusi.

7. Asesemen Dalam Pembelajaran PMRI

Asesmen otentik adalah asesmen yang dilakukan menggunakan beragam sumber,

pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan

dari pembelajaran. Aseamen otentik biasanya mengcek pengetahuan dan keterampilan

siswa pada saat itu. Keterampilan dan disposisi yang diharapkan dari kegiatan

pembelajaran. Beragam bentuk yang menunjukkan bukti dari kegiatan belajar dihimpun

dalam kurun waktu tertentu dan dalam konteks yang beragam pula.

Walaupun konteks dalam asesmen berada di luar kelas dan dan hanya mengecek

aspek-aspek tetentu dan sesaat, tugas yang diberikan menggunakan integrasi dan aplikasi

dari pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Bukti dari contoh-contoh yang

dikumpulkan harus menunjukkan informasi yang cukup menggambarkan tingkah laku

Page 7: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

dan tingkat berpikir siswa. Dengan demikian melalui informasi ini guru dapat

menentukan bantuan atau arahan yang diberikankepada siswa dan tindakan lanjutan apa

yang perlu dilakukan dalampembelajaran.

a. Tingkatan asesmen dan taraf berpikr

Jika kita perhatikan tujuan diberikannya matematika di sekolah maka akan

muncul berbagai tingkatan berbeda dari alat asesmen yang dikembangkan.

Berdasarkan kategorisasi dari de Lange tedapat tingkatan berbeda yakni: tingkat

rendah, tingkat menengah, dan tingkat tinggi didasarkan pada tujuan yang ingin

dicapai. Karena asesmen bertujuan untuk merefleksikan hasil belajar, maka kategori

ini dapat digunakan baik untuk tujuan-tujuan yang berkenaan dengan pindidikan

mateamtika sacara umum maupun untuk kepentingan asesmen.

a) Asesmen tingkat rendah

Tingkat ini mencakup pengetahuan tentang objek, definisi, keterampilan

teknik serta algoritma standar. Beberapa contoh sederhana misalnya berkenaan

dengan: penjumlahan pecahan, penyelesaian persamaan linier dengan stu variabel,

pengkuran sudut dengan busur deraja, dan menghitung rata-rata dari sejumlah data

yang diberikan.

b) Asesmen tingkat menengah

Tingkat ini ditandai dengan adanya tuntutan bagi siswa untuk mapu

manghubungkan dua atau lebih konsep maupun prosedur. Soal-soal pada tingkat ini

misalnya dapat memuat hal-hal berikut:

- Keterkaitan antar konsep;

- Integrasi antar konsep

- Pemecahan masalah

Selain itu masalah pada tingkatan ini seringkali memuat suatu tuntutan untuk

menggunakan berbagai strategi berbeda dalam penyelesaian soal-soal yang diberikan.

c) Asesmen tingkat tinggi

Soal pada tingkat ini memuat suatu tututan yang cukup kompleks seperti

berpikir matematikdan penalaran, kemampuan komunikasi, sikap kritis, kreatif,

kemampuan intepretasi, refleksi, generilasasi dan matematisasi. Komponen utama

dari tingkat ini adalah kemapuan siswa untuk mengkonstruksi sendiri tuntutan tugas

yang diinginkan.

Terlebih dahulu akan dibicarakan tiga tingkatan berpikir matematik. Berpikir

taraf I dapat dinilai melalui pertanyaan yang difokuakan pada kalkulasi,

Page 8: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

menyelesaikan persamaan, mengemukakan fakta berdasarkan ingatan, atau

pernyataan benar atau salah. Taraf berpikir ini berkaitan dengan asesmen tingkat

rendah dari de Lange. Bentuk dari pertanyaan taraf I berupa pilihan ganda, isian

singkat, dan biasanya tidak dikaitkan terhadap situasi nyata ataupun situassi hayal.

Pada berpikir taraf II, jawaban siswa memerlukan analisis lebih sulit, sebab

pertanyaan biasanya memerlukan informasi yang terintegrasi, dikaitkan atau antara

atau antar bidang matematika, atau menyelesaikan msalah yang tidak rutin. Soal

seperti ini sulit dirancang dan sulit juga dijawab siswa. Pertanyaan untuk taraf

berpikir ini berkaitan dan sejajar dengan asesmen tingkat menengah dari de Lange.

Taraf II ini lebih tepat disajikan dalam suatu konteks nyata atuapun imajinatif dan

harus melibatkann siswa dalam mengambil keputusan matematik. Melalui

permasalahn seperti ini, guru harus memahami cara dan strategi setiap siswa.

Penalaran setiap siswa dan langkah mereka dalam menjawab permasalahan akan

menunjukkan perbedaan berpikir secara kualitatif.

Pada taraf tinggi, siswa dituntutmematematisasi situasi, yaitu dapat memahami

dan merumuskan matematika yang implicit dalam situasi dan menggunakannya untuk

menyelesaikan permasalahan, mengembangkanmodel permasalahan, mengembangkan

strategi, dan menggunakan argumen untuk generalisasi. Tipe permasalahan ini

biasanyaterbuka. Ada yang lebih dari satu jawaban benar, sepanjang didukung

argumen yang sahih. Taraf berpikir ini berkaitan dan sejajar dengan asesmen tingkat

tinggi dari de Lange. Mengingat sifat dari asesmen berpikir taraf III sperti di atas

maka permasalahan lebih tepat dalam bentuk konteks nyata atau imajinatif dan

memungkinkan siswa menemukan strategi dan argumen masing-masing siswa.

b. Teknik-teknik dalam asesmen otentik

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melengkapi informasi mengenai

kemampuan, disposisi, kesenangan, dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika.

- Observasi

Pengamatan langsung mengenai tingkah laku siswa dalam kegiatan

pembelajaran sangat penting dalam melengkapi data asesmen. Walaupun secra

alami kita sering melakukannya, namun mengobservasi melalui perencanaan yang

matang dapat membantu meningkatkan keterampilan mengobservasi. Misalnya,

akan sangat bermanfaat pada kegiatan pembelajaran besok. Bagaimana Tono

bekerja dan sampai pada suatu jawaban? Siswa mana ynag belum paham? Apakah

Page 9: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Joni mendengarkan temannya berargumentasi? Apakah Doni berpartisipasi aktif

dalam kelompok? Bagaimana upaya Toto untuk sampai pada jawaban?

Dari kegiatan observasi semcam ini guru dapat memperoleh gambaran

mengenai sikap dan disposisi terhadap matematika. Pda saatnya nanti informasi

seperti ini diperlukan untuk mendorong siswa bekerja atas kelebihan-kelebihan

yang dimiliknya dan mencoba dan juga menyadari akan kelemahannya. Catatan

obeservasi guru berguna bukan saja sebagai catatn harian tapi juga ubtuk

keperluan asesmen dan perencanaan pembelajaran dalam menentukan tindakan

yang dilakukan segera ketika menyajikan konsep baru.

- Bertanya

Bertanya merupakan pelengkap dari observasi. Misalnya, ketika seorang

siswa menunjukkan dengan kalkulaktor bahwa 1/9 adalah sama dengan 0,11111,

guru dapat menggunakan teknik bertanya yang abik sehingga siswa dapat

menyimpulkan sendiri bahwa 1/9 adalah 0,11111.

Jika seorang siswa menghadapi suatu kesulitan padahal ia diketahui

termasuk yang percaya diri dan memiliki kemampuan dalam matematika, maka

guru dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi siswa itu menggunakan

pertanyaan. Pertanyaan langsung seperti “apa yang kamu pahami?”, tampaknya

tidak akan banyak membantu, namun serentetan pertanyaan yang sifatnya

menggiring siwa utntuk mengemukakan argumentasi dan permasalahan akan lebih

membantu dalam menentukan jenis kesulitan yang dialaminya.

- Wawancara

Wawancara adalh kombinasi dari bertanya dan observasi, biasanya dilakuka

dengan seorang siswa di suatu tempat yang tenang. Cara yang handal untuk

mempelajari bagaimana seorang siswa berpikir. Faktor kunci dalam melakukan

wawancara adalah melaporkan sesuatu yang diketahui guru mengenai siswa,

menerima jawaban siswa tanpa mengakiminya, dan mendorongnya untuk

berbicara dan berargumentasi.

- Tugas

Informasi tingkat pemahaman siswa tentang matematika dapat dilihat dari

tugas yang diselesaikannya. Karena itu tugas tertentu dapat dirancang

pentahapannya mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.

Page 10: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

- Asesmen diri

Tidak mustahil bagi siswa merupakan penilai terbaik untuk pekerjaan dan

perasaannya sendiri. Bila siswa belajar menilai sendiri pekerjaannya ia akan

merasa bertanggung jawab atas kegiatan belajarnya. Bisa dimulai dari dengan

memeriksa apakah pekerjaannya benar atau salah, menganalisis strategi yang

dilakukan siswa lain, dan melihat cara mana yang paling sesuai dengan

pemikirannya.

- Contoh pekerjaan siswa

Yang termasuk pekerjaan siswa diantaranya tuga tertulis, proyek, atau

produk yang dibuat siswa yang dapat dikumpulkan dan dievaluasi. Yang penting

yang dapat dilihat dari pekerjaan siswa ini adalah apa dan sejauh mana

mempelajari matematika.

- Jurnal

Kemampuan komunikasi matematika secara lisan merupaka kompetensi

yang penting. Cara sederhana memulai melatih siswa terampil bekomunikasi

adalah dengan menyuruh siswa menulis apa yang mereka pahami dan yang tidak

dipahami, perasaan mereka mengenai kegiatan yang telah dilaksanakan, dan apa

yang telah dipelajari, apa yang mereka sukai dari matematika.

- Tes

Mulai tes kita dapat memperoleh informasi petunjuk mengenai pembelajran

yang telah dan yang harus dilakukan selanjutnya, bukan sekedar menentukan skor.

Sayangnya tes kurang member kesempatan kepada siswa untuk berpikir mengapa

suatu prosedur dapat diterapkan dan bagaimana mereka memecahkan masalah,

jika hasil tes lebih dipentingkan dari pada bagaimana cara mengerjakannya.

- Portofolio

Portofolio merupakan kumpulan pekerjaan yang telah dilakukan oleh siswa.

Di dalamnya bisa termasuk tugas. Proyek, jurnal hasil tes, laporan, catatn guru,

dan sebagainya. Portofolio merupakan sumber informasi yang lengkap bagi guru

mengenai prestasi yang telah dicapai siswa. Selain itu portofolio memiliki nilai

tambah untuk siswa dalam menilai diri. Oleh karena itu sangat penting agar siswa

menuliskan tanggal dalam setiap isian portofolio. Ini berguna agar mereka dapat

melihat perkembangan yang terjadi pada dirinya dalam kurun waktu tertentu.

Portofolio juga membantu siswa dalam melihat dan menjelaskan kembali tugas

yang pernah dikerjakannya dan membuat refleksi dari pekerjaan itu.

Page 11: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

8. Aspek-aspek Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi

aspek-aspek berikut (Hadi, 2005) :

a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai

dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam

pembelajaran secara bermakna.

b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin

dicapai dalam pelajaran tersebut.

c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal

terdapat persoalan/ masalah yang diajukan.

d. Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan

terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain),

setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif

penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh

atau terhadap hasil pelajaran.

9. Konsepsi Tentang Siswa

Dalam pendekatan matematika realistic, siswa dipandang sebagai individu (subjek)

yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksinya dengan

lingkungan. Selanjutnya dala pendekatan ini diyakini pula bahwa siswa memiliki potensi

untuk mengembangkan sendiri pengetahuannya, dan bila diberi kesempatan mereka dapat

mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka

Hadi (2005) menyatakan bahwa PMRI mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai

berikut :

a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang

mempengaruhi belajar selanjutnya.

b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan untuk dirinya

sendiri

c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,

kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.

d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari

seperangkat ragam pengalaman.

Page 12: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan

mengerjakan matematika.

10. Peran Guru

Pemikiran dan konsepsi di atas menggeser peran guru dalam kelas. Kalau dalam

pendekatan tradisional guru dianggap sebagai pemegang otoritas yang mencoba

memindahkan pengetahuannya kepada siswa, maka dalam pendekatan matematika

realistik ini guru dipandang sebagai fasilitator, moderator, dan evaluator yang

menciptakan situasi dan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali

ide dan konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu, guru harus

mampu menciptakan dan mengembangkan pengalaman belajar yang mendorong siswa

untuk memiliki aktivitas baik untuk dirinya sendiri maupun bersama siswa lain

(interaktivitas). Akibatnya guru tidak boleh hanya terpaku pada materi dalam kurikulum

dan buku teks, tetapi harus terus menerus memutakhirkan materi dengan masalah-

masalah baru dan menantang. Jadi, peran guru dalam pendekatan matematika realistik

dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar;

b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;

c. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberi sumbangan pada

proses belajarnya;

d. Guru harus secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan masalah-masalah dari

dunia nyata; dan

e. Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan dunia nyata, baik

fisik maupun sosial.

11. Karakteristik PMRI

Sebelum kita mengimplementasikan pendekatan matematika realistik, marilah kita

terlebih dahulu melihat kembali karakteristik pendekatan ini. Di sini kita akan

menggunakan 5 (lima) karakteristik utama pendekatan matematika realistik sebagai

pedoman dalam merancang pembelajaran matematika. Kelima karakteristik itu adalah

sebagai berikut:

Page 13: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

1) Pembelajaran harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia nyata.

Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi

siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan

pengalaman mereka.

2) Dunia abstak dan nyata harus dijembatani oleh model.

Model harus sesuai dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa. Di

sini model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa, seperti

cerita-cerita lokal atau bangunan-bangunan yang ada di tempat tinggal siswa. Model

dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar

siswa.

3) Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka sendiri dalam proses

mematematikakan dunia mereka.

Artinya, siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka

dalam menyelesaikan masalah nyata yang diberikan oleh guru.

4) Proses pembelajaran harus interaktif.

Interaksi baik antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa

merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran matematika. Di sini siswa

dapat berdiskusi dan bekerjasama dengan siswa lain, bertanya dan menanggapi

pertanyaan, serta mengevaluasi pekerjaan mereka.

5) Hubungan di antara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan

dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait

mengait dalam penyelesaian masalah.

Sekarang mari kita membahas karakteristik di atas untuk melihat bagaimana

seharusnya pembelajaran matematika dirancang. Pertama, pembelajaran matematika

harus realistik. Dalam bahasa Belanda kata realiseren berarti membayangkan. Jadi,

pembelajaran matematika realistik dapat diartikan sebagai pembelajaran matematika

yang dapat dibayangkan oleh siswa. Karena itu, pembelajaran matematika harus

dimulai dengan masalah yang diambil dari dunia nyata supaya siswa dapat

membayangkannya. Masalah yang dipilih harus disesuaikan dengan konteks

kehidupan siswa. Artinya, masalah yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa.

Contoh, dalam konteks makanan khas suatu daerah, rica-rica hanya cocok digunakan

di Sulawesi Selatan, tetapi tidak cocok untuk digunakan di Kalimantan selatan. Dalam

konteks bangunan untuk pembelajaran bentuk-bentuk geometri, misalnya, Jembatan

Page 14: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Barito tidak cocok untuk digunakan di Papua, karena siswa tidak dapat

membayangkan bangunan-bangunan tersebut. Ini adalah karanteristik kedua.

Selanjutnya, dalam pembelajaran matematika realistik siswa diberi sebuah masalah

dari dunia nyata dan diberi waktu untuk berusaha menyelesaikan masalah tersebut

dengan cara dan bahasa serta simbol mereka sendiri. Misalnya, pada awal

pembelajaran guru bercerita bahwa dia memiliki dua potong pizza dan akan membagi

kedua potong pizza itu kepada tiga orang anaknya. Kemudian guru itu bertanya

kepada siswa bagaimana cara memotong pizza tersebut supaya ketiga anaknya

mendapat bagian yang sama banyak. Selanjutnya siswa diberi waktu untuk

menyelesaikan masalah itu dengan cara mereka sendiri, seperti membuat gambar atau

mencari sesuatu yang menyerupai pizza. Tentu saja pembelajaran ini akan lebih

menarik bila guru tadi benar-benar membawa dua potong pizza ke dalam kelas.

Karakteristik selanjutnya adalah sifat interaktif. Setelah diberi kesempatan

menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri, siswa diminta menceritakan cara

yang digunakannya untuk menyelesaikan masalah tersebut kepada teman-teman

sekelasnya. Siswa lain diminta memberi tanggapan mengenai cara yang disajikan

temannya. Dengan cara seperti ini siswa dapat berinteraksi dengan sesamanya,

bertukar informasi dan pengalaman, serta berlatih mengkomunikasikan hasil kerjanya

kepada orang lain. Akhirnya, siswa dibimbing untuk menemukan aturan umum untuk

menyelesaikan masalah sejenis. Di sinilah siswa dapat melihat hubungan matematika

dengan kehidupan sehari-hari atau dengan pelajaran lain. Inilah yang membuat

pembelajaran matematika lebih bermakna.

12. Implementasi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

a. Prinsip-prinsip Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Van den Huivel-Panhuizen dalam bukunya “Mathematics Education in the

Netherland A Guide Tour” (Marpaung, 2004) menyebutkan prinsip-prinsip PMRI

yaitu

1. PrinsipAktivitas

Prinsip ini menyatakan bahwa aktivitas matematika paling banyak dipelajari

dengan melakukannya sendiri.

Page 15: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

2. Prinsip Realitas

Prinsip ini menyatakan bahwa pembelajaran matematika dimulai dari masalah-

masalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa (masalah yang realitas

bagi siswa).

3. Prinsip Perjenjangan

Prinsip ini menyatakan bahwa pemahaman siswa terhadap matematika melalui

berbagai jenjang; dari menemukan (to invent), penyelesaian masalah kontekstual

secara informal ke skematisasi, ke perolehan insign dan selanjutnya ke

penyelesaian secara formal.

4. Prinsip Jalinan

Prinsip ini menyatakan bahwa materi matematika di sekolah sebaiknya tidak

dipecah-pecah menjadi aspek-aspek (learning strands) yang diajarkan terpisah-

pisah.

5. Prinsip Interaksi

Prinsip ini menyatakan bahwa belajar matematika dapat dipandang sebagai

aktivitas sosial selain sebagai aktivitas individu.

6. Prinsip Bimbingan

Prinsip ini menyatakan bahwa dalam menemukan kembali (reinvent)

matematika siswa perlu mendapat bimbingan.

b. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia

Secara umum, langkah-langkah pembelajaran matematika realistik dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1) Persiapan

Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami

masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akanditempuh

siswa dalam menyelesaikannya;

2) Pembukaan

Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang

dipakai dan diperkenalkan kepada msalah dari dunia nyata. Kemudian siswa

diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri;

Page 16: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

3) Proses pembelajaran

Siwa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai

dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara

kelompok. Kemudian setiap siwa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

di depan siswa atau kelompok lain dan siswa tau kelompok lain memberi

tanggapan. Guru mengamati jalannya diskusi kelas.

4) Penutup

Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas,

siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran

siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.

Sekarang marilah kita perhatikan contoh bagaimana langkah-langkah ini

diterapkan dalam sebuah pembelajaran matematika. Misalnya, topik yang akan

diajarkan adalah bilangan pecahan. Salah satu kompetensi yang akan dicapai dalam

topik ini adalah ”menjelaskan arti pecahan dan membandingkannya.” Kita dapat

menggunakan kue yang berbentuk bulat dan tipis, seperti serabi, atau kertas berbentuk

lingkaran yang sama besar.

1) Persiapan

Sebagai persiapan, guru mempelajari terlebih dahulu arti pecahan dan cara

mengurutkannya. Setelah menetapkan masalah kontekstual yang akan dipakai

untuk memulai pembelajaran, guru menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.

Di sini kita akan menggunakan masalah membagi kue serabi, sehingga guru harus

menyediakan beberapa lembar kertas berbentuk lingkaran yang sama besar

sebagai model kue serabi. Selanjutnya guru menyiapkan skenario pembelajaran

yang akan digunakan di kelas. Berbagai strategi yang mungkin akan ditempuh

siswa dalam kegiatan pembelajaran sebaiknya sudah diantisipasi pada langkah ini,

sehingga guru bisa mengendalikan proses pembelajaran di kelas.

2) Pembukaan

Pada awal pembelajaran, guru menceritakan kepada siswa bahwa seorang ibu

ingin membagi 3 potong kue serabi kepada 4 orang anaknya sedemikian rupa

sehingga setiap anak mendapat bagian yang sama. Setelah itu, guru

mengelompokkan siswa ke dalam kelompok-kelompok dengan anggota masing-

masing 4 orang. Setiap kelompok diberi 3 lembar kertas berbentuk lingkaran yang

Page 17: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

sama besar sebagai model kue serabi dan sebuah gunting, lalu diminta membagi 3

lembar kertas berbentuk lingkaran itu di antara mereka sehingga setiap anggota

menerima bagian yang sama besar. Guru memberi waktu kepada setiap kelompok

untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri. Setelah waktu

yang diberikan habis, setiap kelompok diberi kesempatan untuk menyajikan cara

yang mereka tempuh untuk menyelesaikan masalah, sedangkan kelompok lain

memberi kritik dan saran. Kemudian siswa dikelompokkan menjadi kelompok

dengan anggota masing-masing 5 orang dan diminta membagi 3 lembar kertas

berbentuk lingkaran menjadi lima bagian yang sama seperti sebelumnya. Lalu

siswa diminta membandingkan potongan mana yang lebih besar (3 lembar kertas

berbentuk lingkaran dipotong 4 atau dipotong 5).

3) Proses pembelajaran

Pada saat pembelajaran berlangsung guru hanya memperhatikan kegiatan

setiap kelompok membagi ”kue” yang diberikan dan memberi bantuan jika

diperlukan. Kemudian guru memberi kesempatan kepada wakil setiap kelompok

untuk menyajikan cara mereka membagi ”kue” dan kelompok lain memberi kritik

dan saran. Selain itu, siswa juga diminta mendiskusikan potongan mana yang

lebih besar (”kue” yang dibagi 4 atau yang dibagi 5). Guru mengarahkan siswa

dalam diskusi kelas untuk membuat kesimpulan bersama tentang arti bilangan

pecahan dan cara mengurutkannya.

4) Penutup

Sebagai penutup, siswa diminta mengerjakan soal dan diberi pekerjaan rumah

yang berkaitan dengan materi perbandingan pecahan. Pada akhir pelajaran guru

mengajak siswa bersama-sama menyimpulkan apa yang sudah mereka kerjakan

dan pelajari saat itu.

c. Peranan alat peraga dalam PMRI

Tidak sedikit guru beranggapan bahwa pola pikir siswa terutama siswa

sekolah dasar sama dengan pola pikir guru sehingga banyak guru menganggap bahwa

apa yang dijelaskannya di depan kelas dapat dipahami dengan baik oleh siswa.

Anggapan ini sebenarnya menyesatkan. Sesuai dengan teori belajar Bruner,

pembelajaran matematika di sekolah dasar terutama di kelas bawah sangat

Page 18: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

memerlukan benda kongkrit yang dapat diamati dan dipegang langsung oleh siswa

ketika melakukan aktivitas belajar. Karena itu, peranan alat peraga dalam

pembelajaran matematika realistik tidak boleh dilupakan. Dalam hal ini alat peraga

dapat menjembatani konsep abstrak matematika dengan dunia nyata. Di samping itu,

alat peraga juga dapat membantu siswa menemukan strategi pemecahan masalah. Dari

penggunaan alat peraga ini siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya,

memahami masalah, dan menemukan strategi pemecahan masalah.

Namun, salah satu permasalahan yang muncul dalam uji coba dan

implementasi pendidikan matematika realistic Indonesia adalah keterbatasan alat

peraga. Beberapa guru mengeluhkan sulitnya mengembangkan sebagai penunjang

mengembangkan alat peraga yang murah tetapi sangat kuat secara pedagogis. Dr.

Yansen Marpaung mengatakan bahwa guru dan pengembang PMRI harus siap

menjadi pemulung atau pengumpul barang-barang bekas. Pada kenyataannya, sebagai

mana telah ditunjukkan oleh Frans Moerlands dan Yansen Marpaung, alat peraga

untuk PMRI dapat menggunakan bahan-bahan yang murah bahkan bisa diperoleh dari

lingkungan sekitar kita. Di bawah ini contoh alat peraga murah (low cost materials)

yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan

matematika realistic.

1) Kartu bilangan

Salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh siswa kelas satu SD

adalah mengenal dan menggunakan bilangan dalam pemecahan masalah. Hasil

belajar diperlihatkan oleh kemampuan siswa menghitung dan mengurutkan

banyak benda. Kemampuan tersebut antara lain diperlihatkan oleh kemampuan

siswa membilang dan menghitung secara urut, menyebutkan banyak benda,

membandingkan dua kumpulan benda melalui istilah lebih banyak, lebih sedikit,

atau sama banyak, mengurutkan bilangan dari yang terkecil hingga terbesar dan

membilang loncat(loncat 2,10, atau lainnya).

Berikut ini diberikan contoh bagaimana mengembangkan kemampuan

tersebut dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan kartu bilangan.

Kartu bilangan terbuat dari bahan karton dan spidol. Dengan membuat kartu-kartu

sederhana yang bisa”didudukkan” guru dapat mengembangkan pembelajaran yang

interaktif. Bahan ini selain murah juga sangat fleksibel, dan mudah dipindah-

pindah.

Page 19: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Pertama-tama guru mengambil kartu bilangan 1 dan 20, dan meletakkan

kedua kartu tersebut pada kedua ujung papan tulis, sehingga terdapat ruang cukup

diantara kedua kartu tersebut untuk meletakkan kartu-kartu bilangan yang lain.

Kemudian, guru mengambil kartu bilangan 2 , dan menanyakan kepada seluruh

siswa apakah ada yang mau maju ke depan untuk meletakkan kartu tersebut di

papan tulis. Seorang siswa maju, dan meletakkannya tepat di sebelah kanan kartu

bilangan 1. Selanjutnya secara acak diambil kartu bilangan yang lain dan meminta

siswa meletakkannya di papan tulis.

Setelah semua kartu bilangan tersususn di papan tulisdengan urutan yang

benar guru mengembangkan strategi yang lain. Kartu-kartu bilangan dibalik,

hanya tersisa beberapa kartu pada posisi semula. Tugas siswa selanjutnya adalah

menebak bilangan pada kartu yang ditunjuk.

Pembelajaran matematika dengan kartu bilangan ini telah mendorong interaktifitas

di kelas, dan siswa terlibat dalam pembelajaran secara bermakna. Kedua hal itu

merupakan prinsip penting dalam PMRI.

2) Manik-manik

Pada pokok bahasan tentang geometri dan pengukuran siswa diharapkan

memiliki kompetensi dalam melakukan pengukuran untuk memecahkam masalah

sehari-hari. Salah satu hasil belajar yang diharapkan adalah membandingkan

pengukuran panjang dan berat. Sebelum siswa mengenal pengukuran dengan

satuan baku, seperti sentimeter, meter dan seterusnya (untuk panjang), dan gram,

kilogram dan seterusnya (untuk pengukuran berat), siswa diperkenalkan dengan

konsep pengukuran dengan satuan tak baku. Memperkenalkan konsep pengukuran

tak baku dapat menggunakan alat sederhana berupa rantai manik-manik.

Dengan menggunakan benang dan sejumlah manik-manik berbagai warna,

pertama-tama para siswa secara berkelompok diminta membuat rantai manik-

manik. Pola yang dibuat bebas sesuai kreatifitas siswa. Beberapa kelompok

mungkn membuat rantai dengan pola dua-dua, lima-lima, dan sepuluh-sepuluh.

Dengan menggunakan rantai yang mereka buat sendiri, siswa mencoba mengukur

anggota tubuh mereka, seperti pergelangan tangan, leher, dada, kepala, dan

sebagainya.

Menurut Moerlands (2003), menggunakan alat peraga ini sangat ideal jika

siswa bekerja berpasangan karena anak-anak dapat saling membantu satu sama

lain dalam melakukan pengukuran. Kemudian siswa dapat bekerja sama dan

Page 20: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

berdiskusi tentang alat yang mereka gunakan. Mereka mungkin berdebat dan

mengemukakan gagasan sehingga terjadi interaksi.

Moerlands berpendapat bekerja dengan untaian manik-manik harus disertai

LKS, karena menuliskan hasil pengukuran merupakan aspek penting dalam

kegiatan ini. Selain itu dengan adalanya LKS siswa merasa mempunyai kewajiban

untuk melengkapi LKS mereka, sekaligus mereka dapat melakukan penilaian

terhadap hasil perhitungan yang telah dilakukan, misalnya dada siapa yang paling

lebar, leher siapa yang lebih panjang antara dua orang siswa.

Setelah mengukur anggota tubuh, siswa dapat melanjutkan bekerja

mngukur benda-benda yang mereka miliki seperti tempat pensil, buku, meja, kursi

dan sebagainya.

Pada saat kegiatan berlangsung, guru sama sekali tidak mengajar atau

memberikan komentar, melulu hanya melakukan observasi, berkeliling dan

mencatat hal-hal menarik yang dilakukan siswa sebagai bahan refleksi di akhir

pelajaran. Tetapi anak mendapatkan strateginya sendiri dalam membilang dan

mengukur menggunakan manik-manik. Hasil lain yang diperoleh siswa adalah

membilang kelipatan (anak menyebutnya sebagai bilangan loncatan), pengukuran

panjang, lebar, dinyatakan dengan manik-manik, perkalian, penjumlahan,

pengurangan dan perbandingan.

Berdasarkan pengalaman, sebelum tahap formal pengukuran menggunakan

manik-manik ini memerlukan waktu kurang lebih 20 jam (3-4 kali pertemuan).

Dalam pembelajaran ini, beberapa materi diberikan dalam satu pembelajaran,

tidak seprti pembelajaran biasa (konvensional) setiap sub pokok bahasan

diberikan satu persatu yang memerlukan waktu lebih banyak. Sebaliknya dengan

cara pembelajaran dengan menggunakan pengukuran dengan manik-manik (bisa

juga dengan benda lain) tidak banyak menyita waktu.

3) Kaos kaki

Di dalam buku pelajaran matematika SD kita sering menemukan soal

penjumlahan dan pengurangan seperti

23 - … = 12

78 - … = 26

67 - … = 34

76 - … = 26

… - 14 = 37

… - 24 = 65

… - 52 =14

… - 23 = 56

Page 21: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Bagi siswa kelas 2 SD melengkapi kalimat matematika sebagai mana soal-

soal di atas bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak siswa yang mengalami

kesulitan. Berdasarkan persoalan tersebut Frans Moerlands dan Annie Makkink

membuat pembelajaran yang menarik dengan menggunakan kaos kaki sebagai

media. Mereka menyebut peljaran ini dengan “The Chalk Frog”(Katak Pemakan

kapur).

Permainan tersebut bertujuan membantu siswa memahami operasi hitung

untuk melengkapi kalimat terbuka (mengisi titik-titik) dengan bilangan yang

benar. Guru memulai pelajaran dengan menuliskan beberapa soal di papan tulis.

Soal-soal operasi hitung biasa. Sebagian besar siswa tidak mengalami kesulitan

menjawab soal-soal tersebut, sehinggga dalam waktu singkat semua soal terjawab.

Katak Pemakan Kapur, sesuai dengan namanya suka memakan tulisan yang

ada di papan tulis. Tujuan permainan ini adalah memberikan pemahaman konkret

kepada siswa tentang arti kalimat terbuka (operasi hitung). Pada operasi hitung 23

- … =12, siswa-siswa melihat bilangan (23 dan 12) dan simbol(-) tetapi tidak

berati kalimat terbuka tersebut selalu dapat diselesaikan dengan bilangan dan

operasi hitung itu (23 – 12=11). Salah satu unsur penting dalam PMRI adalah

membuat matematika bermakna bagi siswa. Dengan permainan tersebut, anak-

anak akan melihat makna operasi hitung tersebut.

Kaos kaki bekas yang disulap menjadi katak ternyata efektif menjadi media

untuk permainan “katak pemakan kapur”. Bagi anak-anak, operasi hitung (kalimat

terbuka) yang sebelumnya terlihat sulit, setelah permainan ini menjadi jelas. Jadi,

dengan alat yang sederhana tetapi dengan pengaturan suasana yang menarik,

anak-anak merasakan pelajaran matematika lebih menarik sehingga lebih mudah

dipahami.

Selain contoh-contoh tersebut, alat peraga untuk pembelajaran matematika dapat

diperoleh dari barang-barang bekas dan benda-benda yang ada di sekitar kita seperti

biji-bijian, kerikil, kancing baju, korek api, kotak kue, dan gelang karet. Jadi, alat

peraga banyak tersedia disekitar kita dan murah, akan tetapi dibutuhkan kejelian

melihatnya. Salah satu kriteria alat peraga yang baik ialah bahwa alat itu fleksibel,

Page 22: Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

dalam arti dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan mudah atau murah

mendapatkannya.

Untuk mengatasi keterbatasan alat peraga dalam PMRI, Heri Supriyana

memberikan tips melalui pembelajaran terpadu dengan mata pelajaran lain, seperti

kerajinan tangan dan ketrampilan (KTK). Guru dapat mengadakan kegiatan mata

pelajaran KTK yang menghasilkan barang-barang jadi yang dapat digunakan sebagai

emdia belajar bagi siswa dalam belajara matematika. Menurutnya anak-anak akan

merasa senang belajar amtematika dan sekaligus merasa dihargai karena hasil

karyanya dapat digunakan.