TINJAUAN PUSTAKAPemberantasan Tubercolosis
Johanes Mayolus Davy Putra10-2010-197A1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida
[email protected]
PendahuluanPada kasus kali ini didapati Bapak M (45 tahun) dan 5
orang anak. Istri bapak M mendapatkan pengobatan TBC paru dan sudah
berjalan 3 bulan. Anak perempuannya R (9 tahun) saat ini sedang
batuk-batuk sudah 3 minggu tidak kunjung reda, sudah diperiksa oleh
dokter puskesmas dan diberi obat batuk namun belum ada perbaikan.
Keluarga bapak M tinggal disebuah rumah semi permanen 4 x 11 meter
di pemukiman padat penduduk.Bisa diketahui bahwa keluarga bapak M
menderita TBC paru, maka dari itu tinjauan pustaka kali ini akan
membahas tentang TBC paru yang dilihat dari masyarakat luas sampai
cara penanggulangan skala masyarakat.
Epidemiologi Di Negara industri diseluruh dunia ,angka kesakitan
dan kematian akibat penyakit TBC menunjukkan penurunan. Tetapi
sejak tahun 1980an,grafik menetap dan meningkat di daerah dengna
prevalensi HIV tinggi. Morbiditias tinggi biasanya terdapat pada
kelompok masyarakat dengan social ekonomi rendah dan prevalensinya
lebih tinggi pada daerah perkotaan daripada pedesaan. Menurut hasil
SKRT (survei kesehatan rumah tangga) tahun 1986 ,penyakit
tuberculosis di Indonesia merupakan penyebab kematian ke-3 dan
menduduki urutan ke-10 penyakit terbanyak di masyarakat. SKRT tahun
1992 menunjukkan jumlah penderita penyakit tuberculosis semakin
meningkat dan menyebabkan kematian terbanyak yaitu pada urutan
kedua. Pada tahun 1999 di Jawa Tengah, penyakit tuberculosis
menduduki urutan ke-6 dari 10 penyakit rawat jalan di rumah sakit,
sedangkan menurut SURKERNAS 2001, TBC menempati urutan ke-3
penyebab kematian (9,4%).WHO memperikrakan terjadi kasus TBC
sebanyak 9 juta per tahun di seluruh dunia pada tahun 1999, dengan
jumlah kematian sebanyak 3 juta orang per tahun.Dari seluruh
kematian tersebut, 25% terjadi di Negara berkembang. Sebanyak 75%
dari penderita berusia 15-50 tahun (usia produktif). WHO menduga
kasus TBC di Indonesia merupakan nomor 3 terbesar di dunia setelah
Cina dan India. Prevalensi TBC secara pasti belum diketahui. Asumsi
prevalensi BTA(+) di Indonesia adalah 130 per 100.000 penduduk. WHO
menyatakan 22 negara dengan beban TBC tertinggi di dunia 50% nya
berasal dari Negara Negara Afrika dan Asia serta Amerika. Penyakit
ini menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin, serta mulai
merambah tidak hanya pada golongan social ekonomi rendah saja.
Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan persentase
penderita TBC sebesar adalah usia 25-34 tahun (23,67%). Gambaran di
seluruh dunia menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas meningkat
sesuai dengna bertambahnya umur dan pada pasien berusia lanjut
ditemukan bahwa penderita laki laki lebih banyak daripada wanita.
Laporan dari seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2002
menunjukkan bahwa dari 76.230 penderita TBC BTA+ terdapat 43.249
laki-laki (56,79%) dan 32,936 perempuan(43,21%).1,2Anak yang pernah
terinfeksi TBC mempunyai risio menderita penyakit ini sepanjang
hidupnya sebesar 10%. Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB
pada anak berusia 0-4 tahun adalah 19%,sedangkan pada usia 5-15
tahun adalah 40%. Pada tahun 1998-2002 dari jumlah seluruh kasus TB
anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5
tahun adalah penyandang TB dengan angka kematian yang bervariasi
dari 0%-14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%)
sedangkan untuk bayi 15 mm , hasil positif ini sangat mungkin
karena infeksi TB alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm
,dinyatakn uji tuberkulin negative. Diameter 5-9 mm ,dinyatakan uji
tuberkulin meragukan.1,3Gejala umum pada TB anak adalah: Demam lama
(>2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid,infeksi saluran kemih (ISK),malaria , dan lain lain),
yang dapat disertrai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak
tinggi. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) Batuk lama >3 minggu
Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak ,tidak ada manifestasi
respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering
pada TB paru dewasa,tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama.
Akan tetapi gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila
limfadenitis regipnal menekan bronkus sehingga merasngsang reseptor
batuk secara kronik. Selain itu, batuk berulang dapat timbul Karena
anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh. Berat badan
turun Penurunan berat badan merupakan gejala umum yang sering
dijumpai pada TB anak. Umumnya ,pasien TB nak mempunyai status gizi
kurang atau bahkan gizi buruk. Dengan alasan tersebut,kriteria
penurunan berat badan menjadi penting. Yang dimaksud dengan
penurunan BB dalam hal ini adalah apabila terjadi penuruna selama 2
bulan berturut-turut.1,2,3Selain dari gejala sistemik pada TB,
gejala spesifik sesuai organ yang terkena adaah :1. Tuberkulosis
kelenjar limfe Superfisialis (terbanyak di regio kolli, multipel ,
tidak nyeri ,d an saling melekat).2. Tuberculosis otak dan saraf
Meningitis TB Tuberkuloma otaku3. tuberculosis sistem skeletal
Tulang punggung (sponditis): gibbus Tulang panggul (koksitis):
pincang Tulang lutut(gonitis): pincang dan atau bengkak Tulang kaki
dan tangan Spina ventosa (daktilis)4. tuberculosis kulit :
Skrofuloderma5. tuberculosis mata : konjungtivitis fliktenularis
tuberkel koroid6. tuberculosis organ-organ lainnya ,misalnya
peritonitis TB, TB ginjal,dll.1,3Mengingat kesulitan mendapatkan
dahak pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang sangat
penting.Diagnosis TB pada anak umumnya sulit ditegakkan, sehingga
sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun
underdiagnosis. Oleh karena itu Unit Kerja Koordinasi Respirologi
PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional TB Anak dengan menggunakan
sistem skor (scoring system), yaitu sistem pembobotan terhadap
gejala atau tanda klinis. Dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang, selanjutnya dilakukan pembobotan
dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama
dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT (obat anti TB). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara
klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan
sendi, funduskopi, CTScan,dan lain lainnya.3Tabel 1. Tabel scoring
diagnosis TB pada anakParameter0123Jumlah
Kontak TBTidakjelas
Kontak TB Laporankeluarga,BTAnegatifatau tidaktahu, BTAtidak
jelas
BTA positif
Uji tuberkulinNegatifPositif ( 10mm, atau 5mm
padakeadaanimunosupresi)
Berat badan/keadaan gizi
Bawah garismerah (KMS)atau BB/U1 cm,jumlah >1,tidak nyeri
Pembengkakantulang/sendipanggul, lutut,falang
Adapembengkakan
Foto torakstoraks
Normal/tidakjelas
Kesan TB
Jumlah
Catatan : Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh
dokter. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab
batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain. Jika
dijumpai skrofuloderma** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis TB. Berat badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).--> lampirkan tabel badan badan. Foto toraks
toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak Semua anak dengan
reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak. Anak
didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13) Pasien
usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.3Program PemberantasanProgram penanggulangan TBC
secara nasional mengacu pada strategi DOTS yang direkomendasikan
oleh WHO, dan terbukti dapat memutus rantai penularan TBC. Hal yang
paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan menelan obat.
Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu
setelah pengobatan, sehingga merasa sembuh dan tidak menlanjutkan
pengoabatan. Nilai sossial dan budaya serta pengertian yang kurang
mengenai TB dari pasien serta keluarnya tidak menunjang keteraturan
pasien untuk menelan obat. Salah satu upaya untuk meningkatkan
keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap
pengobatan DOTS. 1,3Terdapat lima komponen utama strategi DOTS. 1.
Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan
dana2. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik BTA
dalam dahak.3. Terjaminnya persediaan obat antituberkulosis
(OAT).4. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pednek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO).5. Pencatatan
dan pelaporan secara baku untuk memantau dan mengevaluasi program
penanggulangan TBC.Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk
pasien TB dewasa, khususnya pada butit dua dan lima. Butir dua
menyatakan diagnosis TB dengan pmeriksaan sputum secar
miskroskopis, yang pada anak sulit dilaksanakan. Sebagai
gantinya,untuk diagnosis TB anak digunakan uji tuberkulin. Butir
lima pun sesuai dengan butir dua, sehingga format pencatatan dan
pelaporan gdibuat untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah belum ada.
Oleh sebab itu, diperlukan format khusus untuk kelompok usia 15
tahun ke bawah yang saat ini sedang dalam proses penyusunan. 1.
TujuanTujuan umum :Memutus rantai penularan sehingga penyakit
tuberculosis diharapkan bukan lagi menjadi masalah kesehatan.Tujuan
khusus:a. Cakupan penemuan kasus BTA(+) sebesar 70%b. Kesembuhan
minimal 85%c. Mencegah multidrug resistance (MDR).2.
SasaranMasyarakat tersangka TBC berusia >15 tahun.3. Kegiatan
dan langkah-langkaha. Penemuan penderitaPenemuan penderita
tersangka tuberculosis paru dilaksanakan secara aktif (Active Case
Finding/ACF) dan pasif (Passive Case Finding/PCF):1. Aktif
Mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk menjelaskan tentang
tanda-tanda penyakit dan cara pengobatannya. Kader
kesehatan/posyandu, kader Dasa Wisma dan kader lainnya diharapkan
dapat membantu menemukan penderita. Kunjungan rumah dilakukan oleh
petugas Puskesmas (perkesmas) terutama dengan adanya Bidan Desa
diharapkan penemuan penderita secara aktif dapat ditingkatkan.1,52.
PasifPenderita yang secara sukarela berkunjung ke Puskesmas,Rs dan
BP4(balai pemberantasan penyakit paru-paru). Kriteria tersangka
penderita : telah berumur lebih dari 15 tahun dengna salah satu
gejala sebagai berikut : Batuk lebih dari 4 minggu Batuk berdarah
Nyeri dada Sesak nafasb. Pemeriksaan laboratoriumUntuk menegakkan
diagnosa TB paru Laboratorium Puskesmas diharapkan memeriksan
sputum(dahak) secara mikroskopos.Pengambilan Sputum dilakukan
dengan 3 cara :1. Over night Sputum : dahak dikumpulkan sepanjang
malam2. Early morning sputum : pengambilan dahak pada pagi hari
sebelum : berkumur, minum, makan merokok dll.3. Spot sputum :
pengambilan dahak sewaktu terjadi batuk di Puskesmas.Pemeriksaan
sputum dilakukan 3 kali untuk setiap tersangka dan setiap dahak
yang diambil dibuat 3 sediaan. Pada pemeriksaan mikroskop setiap
sedian harus diperiksa 100 lapangan pandangan. Penderita TB paru
menular apabila dalam 3 kali pemeriksaan dahak, paling sedikit
memberikan 1 kali hasil pemeriksaan BTA+. Penderita inilah yang
akan diberikan pengobatan melalui program P2TB paru.5c. Pengobatan
penderita (case holding)Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap,
yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.1. Tahap awal
(intensif)Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi
BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.2. Tahap LanjutanPada tahap
lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.1,3,5
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
TB di Indonesia: Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3. Kategori 2 :
2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.Disamping kedua kategori ini, disediakan
paduan OAT Sisipan : HRZE dan OAT Anak : 2HRZ/4HROAT Sisipan
(HRZE)Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada
akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif.Paket sisipan KDT
adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).Tabel 4. Dosis KDT Sisipan
: (HRZE)Berat BadanTahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE
(150/75/400/275)
30 37 kg2 tablet 4KDT
38 54 kg3 tablet 4KDT
55 70 kg4 tablet 4KDT
71 kg5 tablet 4KDT
Tabel 4.1. Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZETahap
PengobatanLamanya PengobatanTablet Isoniasid @ 300 mgrKaplet
Ripamfisin @ 450 mgrTablet Pirazinamid @ 500 mgrTablet Etambutol @
250 mgrJumlah hari/kali menelan obat
Tahap intensif (dosis harian)1 bulan113328
OAT Kategori AnakPrinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3
macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak
diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan
anak.3Tabel 5 Dosis OAT KDT anakBerat badan (kg)2 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150)4 bulan tiap hari RH (75/50)
5-91 tablet1 tablet
10-142 tablet2 tablet
15-193 tablet3 tablet
20-324 tablet4 tablet
Sumber data: IDAITabel 5.1 Dosis OAT Kombipak anak: 2RHZ/ 4RH
Jenis ObatBB < 10 kgBB 10 19 kgBB 20 32 kg
Isoniasid50 mg100 mg200 mg
Rifampicin75 mg150 mg300 mg
Pirasinamid150 mg300 mg600 mg
Keterangan: Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke
rumah sakit Anak dengan BB 33 kg , dirujuk ke rumah sakit. Obat
harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah OAT KDT dapat
diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.
Tabel 5.2 Dosis Obat Antituberkulosis pada anakNama obatDosis
harian (mg/kgBB/hari)Dosis maksimal (mg per hari)Efek samping
Isoniazid515*300hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin**1020600gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid15302000toksisitas hati, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol15201250neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta
warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin15401000ototoksik, nefrotoksik
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya
tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari. ** Rifampisin tidak boleh
diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat menganggu
bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik
melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam
sebelum makan). 3
d. Pengamatan timbulnya efek samping: Tubuh melemah Nafsu makan
berkurang Gatal-gatal Sesak napas Mual dan muntah Berkeringat
dingin dan menggigil Gangguan pendengaran dan penglihatan (biru dan
merah)efek samping obat : INH: neuropati perifer ,
hepatotoksik/hepatitis Rifampicin: sindrom flu, hepatotoksik
Pirazinamid : hiperurisemia, hepatotoksik Etambutol : neuritis
optic, nefrotoksik, ruam kulit Streptomisin : nefrotoksik, gangguan
N.VIIIKriteria kesembuhan : Pemeriksaan dahak (3x dalam seminggu)
dengan hasil negative dinyatakan sembuh tetapi bila pada akhir
pengobatan masih BTA+ maka pengobatan dilanjutkan selama 3 bulan
lagi Jumlah obat yang diminum minimal 90% dari paket
pengobatan.(Masa pengobatan intensif dan intermiten maksimal 9
bulan) Pencatatan dan pelaporan yang harus dilakukan oleh puskesmas
adalah register laboratorium, kartu pengobatan penderita, kartu
pengenal penderita, register pengobatan, catatan kotor penderitam
data lokasi penderita per desa.e. Evaluasi pengobatanSebaiknya
pasien kontrol tiap dua bulan. Evaluasi hasil pengobatan setelah 2
bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada
anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Dilakukan
dengan cara evaluasi klinis yaitu menghilang atau membaiknya
kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya
penambahan BB yang bermakan, hilangnya demam, hilangnya batuk,
perbaikan nafsu makan , dan lain lain. Apabila respons pengobatan
baik,maka pengobatan dilanjutkan. 3,5Pencegahan TB paruAgar orang
yang sehat tidak tertular penyakit TBC, ada dua jalan, yaitu
tindakan dari orang yang sehat dan tindakan dari penderita TBC itu
sendiri. Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent,
Host dan Lingkungan dari TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat
dilakukan antara lain :Usahakanlah penderita TBC tidak membuang
ludah, batuk dan bersin di sembarang tempat. Ada baiknya dilakukan
di tempat yang terkena sinar matahari langsung. Jadi, seperti yang
dikatakan di atas, kamar penderita TBC harus mendapatkan sinar
matahari langsung. Sinar matahari akan membunuh bakteri-bakteri TBC
yang tersebar.1. Pencegahan PrimerDengan promosi kesehatan sebagai
salah satu pencegahan TBC paling efektif, walaupun hanya mengandung
tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan
sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan
pencegahan TBC yang meliputi : Imunisasi Aktif, melalui vaksinasi
BCG secara nasional dan internasional pada daerah dengan angka
kejadian tinggi dan orang tua penderita atau beresiko tinggi dengan
nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan dan
lingkungan. Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2bulan. Dosis
untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml , diberikan
secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan. Bila BCG
diberikan pada usia >3 bulan , sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Insiden TB anak yang mendapat BCG
berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian
vaksin, jarak pemberian vaksin,dan intensitas pemaparan
infeksi.imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier,
meningitis TB, pada anak. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di
beberapa Negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak Negara
lain termasuk Indonesia. Efek samping yang sering ditemukan adalah
ulserasi lokal dan limfadenitis dengan insiden 0,1-1%
Chemoprophylaxis. Terdapat dua macam kemoprofilaksis yaitu
kemoprofilaksis prier dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis
primer bertujuan untuk mencegah terjadi infeksi TB, sedangkan
kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi
sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan
dosis 5-10 mg dengan dosis tunggal. Diberikan pada anak yang kontak
dengan TB menular, terutam dengan BTA sputum positif, tetapi belum
terinfeksi (tuberkuluin negatif). Obat diberikan selama 6 bulan.
Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji
tuberkulin ulang. Jika tetap negative, profilkasis dilanjutkan
hingga 6 bulan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif,
evaluasi status TB pasien. Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada
anak yang telah terinfeksi , tetapi belum sakit, ditandai dengan
uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Ada
baiknya bagi seorang yang sehat menghindari kontak bicara pada
jarak yang dekat dengan penderita TBC. Atau Anda bisa menggunakan
masker, namun hal ini masih tetap rentan. Bila penderita TBC batuk
atau bersin, sebaiknya orang yang sehat menutup mulut. Jemur tempat
tidur penderita TBC di panas matahari langsung, ini untuk
menghindari hidupnya bakteri di tempat tidur tersebut. Pada bayi,
jangan pernah melewatkan imunisasi BCG, ini penting untuk mencegah
dari terserangnya penyakit TBC di kemudian hari. Dari semua hal-hal
diatas, daya tahan tubuh orang yang sehat sangat berperan dalam
mencegah penularan TBC. yang harus dilakukan untuk memiliki daya
tahan tubuh yang kuat adalah adalah rajin berolahraga, konsumsi
cukup makanan yang seimbang, terapkan pola hidup sehat seperti
tidur yang cukup dan tidak merokok .1,3,5
2. Pencegahan SekunderDengan diagnosis dan pengobatan secara
dini sebagai dasar pengontrolan kasus TBC yang timbul dengan 3
komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan. Selain itu,
pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga penting
untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.Langkah kontrol
kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC, dengan
imunisasi TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif.Kontrol
lingkungan dengan membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan
cermat mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga ditemukan
bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan terhadap epidemi
TBC.Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk membatasi kasus
baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan
psikis.1,3
3. Pencegahan TersierRehabilitasi merupakan tingkatan terpenting
pengontrolan TBC. Dimulai dengan diagnosis kasus berupa trauma yang
menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis, rehabilitasi
penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian
rehabilitasi pekerjaan yang tergantung situasi individu.
Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan penggunaan media
pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TBC, serta penegasan
perlunya rehabilitasi.Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya
juga dilakukan untuk mengurangi perbedaan pengetahuan tentang TBC,
yaitu dengan cara perkembangan media, metode solusi problem
keresistenan obat, perkembangan obat Bakterisidal baru,
kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin, pembuatan aturan
kesehatan primer dan pengobatan TBC yang fleksibel, studi lain yang
intensif, dan perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi
TBC yang terkontrol.1,3Promosi Kesehatan Promosi Kesehatan adalah
upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran
dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat
menolong dirinya sendiri, sertamengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan
didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.Strategi
Promosi Pengendalian TB, adalah Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi
Sosial (AKMS). Mobilisasi Sosial sebagai ujung tombak, yang
didukung oleh Komunikasi dan Advokasi. Masing-masing strategi harus
diintegrasikan semangat dan dukungan kemitraan dengan berbagai
stakeholder. Kesemuanya diarahkan agar masyarakat mampu
mempraktikkan perilaku pencegahan dan pengobatan TB. 1. Advokasi,
yakni upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari seluruh pemangku kebijakan.
Advokasi diarahkan untuk menghasilkan kebijakan yang mendukung
upaya pengendalian TB. Kebijakan yang dimaksud disini dapat
mencakup peraturan perundang-undangan di tingkat nasional maupun
kebijakan daerah seperti Peraturan Daerah (PERDA), Surat Keputusan
Gubernur, Bupati/Walikota, Peraturan Desa, dan lain sebagainya.
Strategi advokasi sekaligus menjawab isu strategis tentang
kurangnya dukungan dari para pemangku kepentingan (stakeholder)
terkait di daerah dalam Pengendalian TB.2. Komunikasi, merupakan
upaya untuk menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong
masyarakat dan petugas kesehatan agar bersedia bersama-sama
menanggulangi penularan TB. Lingkungan sosial yang mendukung dapat
diartikan sebagai :a. Adanya dukungan positif dari masyarakat
terhadap persepsi bahwa TB bukan penyakit keturunan atau kena
guna-guna.b. Adanya dukungan keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat
bagi pasien TB agar berobat sampai tuntas.c. Adanya dukungan
positif masyarakat terhadap perilaku pencegahan penularan TB.d.
Adanya kampanye STOP TB. Strategi komunikasi sekaligus menjawab isu
strategis tentang kurangnya pemahaman masyarakat dalam pencegahan
dan pencarian pengobatan TB, kurangnya kerjasama antar lintas
program, sektor serta mitra terkait dalam Pengendalian TB dan
kurangnya akses dan informasi bagi masyarakat tentang TB.16 3.
Mobilisasi Sosial, adalah proses pemberian informasi secara terus
menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta
proses membantu sasaran, agar memiliki pengetahuan, sikap dan
mempraktikkan perilaku yang diharapkan. Mobilisasi Sosial juga
merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan
kesadaran, kemauan, kemampuan masyarakat dalam pengendalian TB.
Melalui kegiatan ini, masyarakat diharapkan ekspansi dan akselarasi
DOTS terwujud. Sasaran utama dari pemberdayaan dalam konteks
Pengendalian TB adalah pasien TB dan keluarga. Dalam mobilisasi
sosial diperlukan kemitraan untuk menjalin jejaring kerja serta
kerja sama dengan berbagai pihak untuk menjalankan program yang
terintegrasi dan koordinatif dalam setiap komponen program yang
ditentukan melalui Stop TB Partnership. Strategi mobilisasi sosial
untuk menjawab isu strategis tentang kurangnya pemahaman masyarakat
dalam pencegahan dan pencarian pengobatan TB, kurangnya kerjasama
antar lintas program, sektor serta mitra terkait dalam Pengendalian
TB serta kurangnya akses dan informasi bagi masyarakat tentang TB.7
Daftar pustaka1. Widoyono.Penyakit
Tropis,Epidemiologi,Penularan,Pencegahan&Pemberantasan.
Jakarta: Penerbit Erlangga;2008.h.1-21.2. Ranuh IGN,Suyitni
H,Hadinegoro SRS,Kartasasmita CB, Ismoedijanto.Pedoman imunisasi di
Indonesia.ed 3.Jakarta:Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia;2008.4-5,131.3. Rahajoe N Nastiti,Basir Darfioes, MS
Makmuri, Kartasasmita CB.Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak.ed
2.Jakarta:UKK Respirologi PP IDAI;2007.3-5,25-41,53-7,63-5.4.
Arias,KM.Investigasi dan Pengendalian Wabah di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.Jakarta:Penerbit EGC;2010.3-45. Waloejono K .Pedoman
Praktis Pelaksanaan Kerja di Puskesmas.Magelang:Balai Pelatihan
Kesehatan;2000.120-3.6. Mutaqin,Arif.Buku Ajar Asuhan Keperwatan
Klien dengan Gangguan Pernapasan.Jakarta:Penerbit Salemba
Medika;2008.81-2.7. Rencana Operasional Promosi Kesehatan dalam
Pengendalian Tuberkulosis oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Pusat Promosi Kesehatan. Jakarta, 2010.
3