BAB 1PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangCedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain
penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke
rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat
sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta
neuorologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat
mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital.1 Setiap
tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala,
52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala
juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma
yang dikaitkan dengan kematian.2 Menurut penelitian yang dilakukan
oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa
diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu
sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga
disebabkan oleh trauma kepala.3 Angka kematian trauma kepala akibat
terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu
sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia
65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000
kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami trauma
kepala akibat terjatuh. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa anak
remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat
dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang
yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan oleh
terjatuh.4Di Indonesia, insiden trauma kepala pada tahun 1995
sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu
trauma kepala ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala
sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak
12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan
sebanyak 11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada
tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI
mencatat sebanyak 1426 kasus.5
1.2. Rumusan MasalahLaporan kasus ini membahas definisi,
etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis, komplikasi, dan penanganan kegawatdaruratan pada trauma
kepala.
1.3. Tujuan Penulisan1. Memahami definisi, etiologi,
epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
komplikasi, dan penanganan kegawatdaruratan pada trauma kepala.2.
Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang
kedokteran.3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Anestesi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji
Adam Malik Medan.
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Trauma Kapitis2.1.1.Definisi Trauma kapitis adalah trauma
mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung
yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik,
kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.62.1.2.
EtiologiMenurut Brain Injury Association of America, penyebab utama
trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu
lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum
sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan
perang merupakan penyebab utama trauma kepala.72.1.3.
PatofisiologiPada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam
dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer
merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu
ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan
kepala.8Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa
berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik
besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi
kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi
kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya
kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka
lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak
selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering
dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik
adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya
ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countercoup.9Akselerasi-deselerasi terjadi karena
kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countercoup).8Kerusakan
sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga
beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf
mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang
dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan
ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin
secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke
menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak
untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.102.1.4. Jenis
Trauma Kapitisa.FrakturTerdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi
anatomis yaitu terjadinya retak atau kelainan pada bagian kranium.
Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan
gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Terdapat
tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea
(cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala
raccoons eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada
foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan
pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa
anterior, media dan posterior.11Fraktur maxsilofasial adalah retak
atau kelainan pada tulang maxilofasial yang merupakan tulang yang
kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini
boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari.11b.Luka Memar
(kontusio)Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak
dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila
otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti
pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat
terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti
luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang
mengalami pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup
besar dapat mengubah tingkat kesadaran.11c.Geger otak
(komosio)Geger otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan
getaran keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat
pada fungsi otak, termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih
dari 10 menit yang disebabkan cedera pada kepala.11d.Laserasi (luka
robek)Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda
tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan
oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan
teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal
kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada
kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan
biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan
parut.11e.AbrasiLuka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam,
hanya superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh
kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan
terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.11f.AvulsiLuka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah
kulit terkelupas,tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang
kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah
kecederaan.11g.Cedera Otak DifusMulai dari konkusi ringan, dimana
gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada
konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat
biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang
berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran
normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu
yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD)
untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.
Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada
akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.112.1.5.Jenis
Perdarahan pada Truma Kapitisa.Perdarahan EpiduralPerdarahan
epidural adalah perdarahan pada antara tulang kranial dan
duramater. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal
berupa kesadaran yang semakin menurun, disertai oleh anisokoria
pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral.
Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak
memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya
somnolen) yang membaik setelah beberapa hari.11 b.Perdarahan
SubduralPerdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan
arakhnoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena.c.Perdarahan
SubarakhnoidPerdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga
otak dan lapisan otak yaitu yang dikenal sebagai ruang
subaraknoid.
d.Perdarahan IntraventrikulerPerdarahan intraventrikular
merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak. Perdarahan
intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan
intraserebral.e.Perdarahan IntraserebralPerdarahan intraserebral
merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Di mana terjadi
penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan hentaman,
ini dikenali sebagai counter coup phenomenon.2.1.6.
Diagnosisa.Pemeriksaan KesadaranPemeriksaan kesadaran paling baik
dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan
sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu :
pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari
masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS.
Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15.12 GCS
bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi : GCS < 8 :
pasien koma dan cedera kepala berat GCS 8 12 : cedera kepala sedang
GCS 13 - 15 : cedera kepala ringan Fungsi utama dari GCS bukan
sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi
skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran
dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai
apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih
buruk.12b.Pemeriksaan PupilPupil harus diperiksa untuk mengetahui
ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua
pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang
terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap
saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya
bisa merupakan akibat dari cedera kepala. 12
c.Pemeriksaan NeurologiPemeriksaan neurologis dilaksanakan
terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan,
koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya
harus dicatat.12d.Pemeriksaan Scalp dan TengkorakScalp harus
diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman
laserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan
tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan
nyeri, pembengkakan, dan memar. 12e.Pemeriksaan Penunjang Foto
X-Ray TengkorakPeralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi
fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih
dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.12 Computed
Tomography Scan (CT-scan)Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk
dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan
dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang
lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang
mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa
semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi
lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat
berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu
pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena
kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut
dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan
dengan outcome yang buruk. 12 Magnetic Resonance Imaging
(MRI)Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam
menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan
batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan
bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat
lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang
buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan
awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan
Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru
pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk
mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan
cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera
kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD
di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari
MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus
ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong
menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif
pada penderita cedera kepala ringan. 122.1.7.Komplikasi Trauma
Kapitisa.Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)Pada trauma kapitis
tekanan intrakranial dapat meninggi pada perdarahan selaput otak
(hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma subaraknoidal),
perdarahan di dalam jaringan otak (kontusio serebri berat,
laserasio serebri, hematoma serebri besar, dan perdarahan
ventrikel), dan kelainan pada parenkim otak (edema serebri berat).
Tekanan pada vena jugularis menaikkan TIK yang berlangsung
sementara saja. Demikian pula batuk, bersin, mengejan yang
mengakibatkan tekanan di dalam sistem vena meningkat. Pada hipoksia
terjadi dilatasi arteriol yang meningkatkan volume darah di otak
dengan akibat TIK meningkat pula. Pada Trauma kapitis yang dapat
meningkatkan TIK adalah hematoma yang besar (lebih dari 50cc),
edema yang berat, kongesti yang berat dan perdarahan subarakhnoidal
yang mengganggu aliran cairan otak di dalam ruangan subarakhnoidea.
Bila TIK meninggi, mula-mula absorbsi cairan otak meningkat
kemudian bagian-bagian sinus venosus di dalam dura meter tertekan.
Bila massa desak ruangan berkembang cepat dan melebihi daya
kompensasi maka TIK akan meningkat dengan tajam. Arteri-arteri
pia-arahnoidea melebar. Bila autoregulasi baik aliran darah akan
dipertahankan pada taraf normal, akibatnya volume darah otak
bertambah. Bila TIK meninggi terus dengan cepat, aliran darah akan
menurun dan TIK akan tetap rendah meskipun tekanan darah naik. Bila
kenaikannya sangat lambat seperti pada neoplasma jinak otak,
kemungkinan TIK tidak meninggi banyak karena selain penyerapan otak
yang meningkat, otak akan mengempes dan mengalami atrofi ditempat
yang tertekan yang dapat menetralisir volume massa desak ruang yang
bertambah.13b.InfeksiKemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada
trauma kapitis meningkat bila durameter robek terutama sekali bila
terjadi di daerah basal yang letaknya berdekatan dengan sinus-sinus
tulang dan nasofaring. Keadaan ini jug bisa terjadi bila ada
fraktur basis kranii.13c.Lesi tingkat selLesi dapat mengenai semua
jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron dengan dendrit dan
aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim maupun sel-sel yang
membentuk dinding pembuluh darah. Bila badan sel neuron rusak, maka
seluruh dendrit dan aksonnya juga akan rusak. Kerusakan dapat
mengenai percabangan dendrit dan sinapsis-sinapsisnya, dapat pula
mengenai aksonnya saja. Dengan kerusakan ini hubungan antar neuron
pun akan terputus. Lesi sekunder juga dapat mengakibatkan
kerusakan-kerusakan demikian. 13d.Epilepsi paska trauma kapitisPada
sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang.
Serangan ini dapat timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah
trauma, mungkin pula timbul terlambat berbulan-bulan sesudahnya.
Epilepsi terlambat cenderung terjadi pada pasien yang mengalami
serangan kejang dini, fraktur impresi dan hematoma akut. Epilepsi
juga lebih sering terjadi pada trauma yang menembus durameter. Lesi
di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung menimbulkan epilepsi
fokal. 13e.AspirasiPada keadaan koma, refleks batuk dapat menurun.
Bila pasien muntah, muntahan mungkin terhirup ke dalam trakea dan
menimbulkan aspirasi. Isi perut yang masuk ke dalam bronki akan
menimbulkan edema, perdarahan, dan bronkospasme. Isi perut yang
masuk ke dalam bronki harus diusahakan dihisap keluar melalui
trakeostomi. 13
2.1.8.Tatalaksana Trauma KapitisTrauma kapitis merupakan salah
satu kondisi yang emergensi sehingga tatalaksana yang digunakan
juga berbasis emergensi yang terdiri dari : 14a.Resusitasi
KardiopulmonerAirway : jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun
ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa
orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan. Breathing :
akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari
danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai
ventilator.Circulation : Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat
mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh
kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni
berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok
septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan,
perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan
kristaloid, koloid atau darah. 14b.Terapi DiuretikDiuretik Osmotik
(Mannitol 20%) : Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari
jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam
ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan.Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit
dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam.
Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.14Loop Diuretik :
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan
cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema
sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv.
14
c.Terapi Barbiturat (Fenobarbital)Terapi ini diberikan pada
kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang
tersebut diatas.Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5
jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada
kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah
TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap
selama 3 hari. 14d.Posisi KepalaPenderita cedera kepala berat
dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar
20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi
fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak
terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.14
2.2.Penilaian Awal (Primary Survey)Primary survey merupakan
suatu penilaian dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan,
tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Proses ini merupakan tahap
awal penanganan trauma dan usaha untuk mengenali keadaaan yang
mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan ketentuan mengikuti urutan
yang diawali oleh A (Airway) yaitu menjaga airway dengan kontrol
servikal, kemudian B (Breathing) yaitu menjaga pernapasan dengan
ventilasi, C (Circulation) yaitu dengan kontrol perdarahan, D
(Disability) yaitu dengan menilai status neurologis pasien, dan E
(Exposure/environmental control) dilakukan dengan membuka pakaian
penderita, tetapi cegah hipotermi.152.2.1.Airway, dengan kontrol
servikal (cervical spine control)15,16Yang pertama harus dinilai
adalah kelancaran jalan napas. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan napas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau
trakea. Usaha untuk membebaskan airway harus melindungi vertebrae
cervical. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift
atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara dapat dianggap
bahwa jalan napas bersih. Nilai: suara stridor dan/atau disfonia
jika ada maka dicurigai adanya cedera trakea atau struktur di
dekatnya Nilai: pasien agitasi, sianosis dan obtundation (apatis)
secara tidak langsung menunjukkan adanya gangguan ventilasi atau
oksigenasi yg tidak adekuat pada pasien yg menyebabkan hipoksia
atau hiperkarbia Nilai: fraktur wajah dapat menyebabkan perdarahan
atau obstruksi jalan nafas Tentukan: apakah ada deviasi trakea Buka
mulut pasien cari adanya abnormalitas seperti: perdarahan dan
pembengkakan (bisa juga dengan menggunakan blade lidah). Tanda
adanya cedera servikal:1) multi-system atau major trauma2) gangguan
kesadaran3) blunt injury di atas klavikula4) nyeri leher, ekimosis
atau deformitas5) defisit neurologisSemua pasien trauma dgn atau
tanpa cedera pada wajah harus dicurigai mengalami cedera servikal
sampai bukti adanya cedera servikal dapat ditemukan atau
disingkirkan.Penanganana. Masalah sering karena lidah sehingga
timbul obstruksi pada pasien dengan posisi supinasi dan tidak sadar
dapat dilakukan manuver seperti Chin-Lift atau Jaw Thrust atau
menggunakan peralatan nasofaringeal atau orofaringeal.b. Resusitasi
dengan BMV (bag-valve mask) = ambu bagc. Intubasi endotrakeald.
Transtracheal jet ventilatione. Krikotiroidostomi2.2.2.Breathing,
menjaga pernapasan dengan ventilasi16,11Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.
Setiap komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Dada penderita
harus dibuka untuk melihat ekspirasi pernafasan. Auskultasi
dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi
dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga
pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding
dada yang mungkin mengganggu ventilasi.Untuk menilai seberapa baik
ventilasi dan oksigenasi pasien: Periksa kesimetrisan suara nafas
dgn auskultasiSuara nafas yg rendah pada salah satu sisi
mengindikasikan adanya pneumothoraks atau hemothoraks Cari tanda
Tension Pneumothoraks seperti: deviasi trakea, distensi vena,
penurunan suara nafas pada sisi yg terkena, dan hipotensi Perkusi
membedakan pneumothoraks dan hemothoraks. Palpasi thoraks temuan
krepitasi akan mengarah pada pneumothorax Jika ada Gerakan Nafas yg
Paradoks curiga ada Flail Chest Jika ada cedera toraks maka dapat
terjadi Tension PneumothoraksPenanganan Pada saat menangani pasien
trauma maka perlu diingat kemungkinan terjadinya keadaan seperti
hipoksia, tension penumothoraks, open pneumothoraks, flail chest,
massive hemothoraks dan tracheo-bronchial tree disruption. Alasan
pemberian oksigen pada pasien trauma jika terdapat kecurigaan
adanya trauma berat serta kecurigaan terhadap syok dan ini
merupakan suatu alasan empiris untuk terapi oksigen Terdapat
beberapa alat yg bisa digunakan dalam pemberian suplai oksigen
diantaranya sebagai berikut:a. Dual-prong nasal cannules, Alat ini
banyak digunakan karena sifatnya yg portable. Penggunaan alat ini
jika pasien akan diberikan terapi oksigen aliran rendah dengan
perkiraan aliran 0,5-1,0 L per menit dengan volume efektif yg dapat
diterima pasien yaitu 0,24 L per menit. Maksimal aliran yg harus
diberikan dengan alat ini yaitu kuran dari 4 L per menit agar udara
yg dialirkan dapat dilembabkan terlebih dahulu.b. Simple oxygen
maskDengan menggunakan alat ini, keefektifannya hanya 0,35-0,50%
dari 5 liter aliran per menitnya. Pemberiannya harus dengan
kekuatan aliran lebih dari 5 liter per menit agar memaksimalkan
saturasi oksigen yg diberikan. c. Mask with reservoir bag/
ambubagDiberikan pada pasien tanpa kemampuan bernapas atau bernapas
parsial. Konsentrasi oksigen yg dihasilkan sekitar lebih dari 0,5
liter tiap kali hembusan.d. Venturi-type maskMemberikan suplai
aliran oksigen tinggi dan dapat mengirimkan konsentrasi oksigen 0,5
liter melalui trakhea.2.2.3.Circulation, dengan kontrol perdarahan
(hemorrhage control)11,17a. Volume darah dan cardiac output.
Terdapat 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat
memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik, yaitu tingkat
kesadaran, warna kulit, dan nadi.1) Tingkat kesadaranBila volume
darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran.2) Warna kulitWarna kulit dapat
membantu diagnosis hipovolemia. Wajah pucat keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.3) NadiNadi yang
cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat
disebabkan oleh keadaan yang lain. Nadi yang tidak teratur biasanya
merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari
arteri besar merupakan pertanda dilakukannya resusitasi segera.b.
Perdarahan. Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada
luka. Spalk udara (pneumatic splinting device) juga dapat digunakan
untuk mengontrol perdarahan. Tourniquet sebaiknya jangan dipakai
karena merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga
tourniquet hanya dipakai bila ada amputasi traumatik.
Penanganan a) Stop PerdarahanPemberian cairan intra vena dapat
dilakukan untuk penggantian cairan, terutama karena perdarahan.
Tipe cairan kristaloid seperti RL dapat dijadikan pilihan terapi.
Bila pasien ditemukan dalam kondisi syok maka dapat diarahkan pada
syok karena perdarahan dan harus dibantu dengan pemberian transfusi
darah.Bila ditemukan indikasi dilakukannya tindakan pembedahan maka
dapat segera dilakukan laparotomy. b) Akses vena untuk cairan,
dllc) Resusitasi cairan
Tabel 2.1. Tabel kelas perdarahan
2.2.4.Disability, status neurologis15,18Menjelang akhir primary
survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat.
Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat (level) cedera
spinal.Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi
atau/ dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma
langsung pada otak.
Tabel 2.2. Glasgow Coma Scale
`Penanganan a) Hal yg perlu diperhatikan adalah timbulnya
keadaan hipoksia dan hipotensi akibat adanya trauma otak.b) Jika
GCS pasien 2 Perfusi perifer menurun t/v kurang TD = tidak terukur
HR = 40 X/I
Syok ec hipovolemik dd neurogenik
Passive leg raising
Pasang 2 IV line 18 G dan diberi cairan R Sol hangat 2000 CC
dalam 60 menit
TD = 170/80HR = 125 X/I
dijumpai perbaikam
D (Dissability)Sens : Unresponsive
Penurunan Kesadaran
Perbaiki delivery oxygen
keep A-B-C clear
Pasien compos mentis
E (Exposure)Pasien Luka berdarah pada (R) wrist joint dan
excoriated wound pada wajahPasien traumaMembuka keseluruhan pakaian
pasien, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung pasien dengan cara log roll. Selanjutnya diselimuti untuk
mencegah hipotermiDitemukan:Excoriated wound pada (L) Shoulder, (R)
Abdomen
3.3.Secondary Survey B1 (Breath): Airway : clear,
gurgling/snoring/crowing: -/-/-, RR: 40 x/mnt , SP: vesikular, ST:
-, Mallampati : 1, JMH (Jarak Mentum Hyoid): >6 cm, GL (Gerakan
Leher) bebas , Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-).
B2 (Blood) : Akral : D/P/B, TD : 170/80 mmHg, HR : 125 x/mnt,
reguler, t/v lemah/kurang. Temp : 37,1C B3 (Brain) : Sens : CM,
Pupil: isokor 3 mm / 3mm, RC +/+, pusing (-), kejang (-), mata
kabur (-) B4(Bladder) :UOP : BAK (-), kateter terpasang B5 (Bowel)
: Abdomen: Inspeksi: simetris, excoriated wound pada (R) abdomen
(+) Palpasi: dinding abdomen soepel, Perkusi: timpani, Auskultasi:
suara usus (+) B6 (Bone) : Fraktur (-), Edema (-)
3.4. Pemeriksaan penunjang1. Laboratorium Darah LengkapHb :
11,30 gr/dlLeukosit : 17.450 /mm3Ht : 32,4%Trombosit : 186.000/mm3
Analisa Gas DarahpH : 7,368pCO2: 13,2 mmHgpO2: 130 mmHgHCO3: 6,2
mmol/LTotal CO2: 6,6 mmol/LKelebihan Basa: -18,9 mmol/LSaturasi 02:
98,1% Faal HemostasisPT: 17,7 (13,50)APTT: 32,2 (34,5)TT: 15,6
(16,9)INR: 1,33 Metabolisme KarbohidratKGD (sewaktu): 179 mg/dL
Fungsi GinjalUreum: 15 mg/dLKreatinin:0,94 mg/dL
ElektrolitNatrium: 135 mEq/LKalium: 3,4 mEq/LKlorida: 110
mEq/L
2. Radiologia. Foto Schedel
Kesimpulan: dalam batas normal
b. Foto Cervical
Kesimpulan: dalam batas normal
c. Foto Thoraks
Kesimpulan: dalam batas normal
d. Foto Pelvis
Kesimpulan: dalam batas normal
e. Foto Antebrachii
Kesimpulan: dalam batas normal
f. Foto Wrist Joint
Kesimpulan: dalam batas normal
3. CT Scan
Kesimpulan: Brain: tidak ditemukan kelainanBone: Intak
4. USG FAST
Kesimpulan: tidak ditemukan adanya collecting fluid
Monitoring Tanda Vital di IGDJamSO2 (%)RR (x/menit)HR
(x/menit)TD (mmHg)Kesadaran
09.3086Napas spontan (-)40Tidak terukurUnresponsive
09.509038140160/80Sopor
09.559230137170/80Sopor
10.009926130170/80CM
10.159937125170/80CM
10.309930120170/80CM
13.00ARREST
3.5.PermasalahanMasalah yang dihadapi dalam kasus ini adalah
seorang laki-laki mengalami kecelakaan lalu lintas dan mendapati
trauma di bagian kepala.3.6.PembahasanPada kasus ini, hal pertama
yang perlu kita nilai adalah kesadaran pasien. Penilaian kesadaran
pada setingan kasus emergensi atau kegawatdaruratan dapat dilakukan
dengan cara : A : allert (sadar penuh)V : verbal (respon bila
dipanggil atau diajak bicara)P : pain (respon bila diberikan
rangsang nyeri)U : unresponsive (tidak respon dengan rangsang
apapun)Pada pasien ini, kesadarannya yaitu U (unresponsive) karena
pasien tidak respon saat diberi rangsang nyeri dengan cara menekan
dada pasien di daerah sternum berkali-kali.Selanjutnya, hal yang
perlu kita lakukan adalah primary survey yang terdiri dari 3
komponen utama yaitu:A : airway, menilai patensi jalan nafas, lihat
apakah ada sumbatan (obstruksi) jalan nafas. Bila ada tentukan
jenis obstruksinya apakah parsial atau total. Pada obstruksi total,
kita tidak dapat mendengar suara nafas, tetapi kita dapat melihat
gerakan dada dan perut naik turun dengan cepat yang disebut
pernafasan jungkat-jungkit (seasaw breathing). Pada obstruksi
parsial, terdapat suara nafas dan suara nafas tambahan seperti
suara orang mengorok (snoring), suara seperti berkumur-kumur
(gurgling), dan crowing akibat oedem laring. Suara seperti orang
mengorok disebabkan oleh jatuhnya pangkal lidah sehingga menutupi
faring, sedangkan gurgling terjadi akibat adanya cairan atau darah
di mulut dan faring. Setelah mengetahui penyebab dari obstruksi
maka kita bebaskan jalan nafas dengan cara triple airway maneuver,
yaitu head tilt, chin lift, dan jaw thrust. Akan tetapi pembebasan
jalan nafas dengan cara di atas hanya bersifat sementara, oleh
sebab itu kita dapat menggantikannya dengan memasang pipa orofaring
atau nasofaring, dan dengan melakukan intubasi. B : breathing,
menilai apakah pasien bernafas spontan atau tidak, pola pernafasan
apakah teratur atau tidak, menilai laju pernafasan apakah cepat
atau tidak. Jika pasien tidak dapat bernafas spontan, maka kita
bantu memberikan nafas bantuan dengan menggunakan resusitasi bag.
Apabila terdapat peningkatan laju nafas (takipnu) maka dapat
diberikan terapi oksigen menggunakan nasal kanul, simple mask,
reservoir mask sesuai dengan kebutuhan pasien.C : circulation,
menilai apakah ada tanda-tanda kekurangan cairan atau volume tubuh.
Penyebab kekurangan cairan tubuh yang utama adalah perdarahan dan
dehidrasi. Jika terdapat perdarahan maka segera hentikan perdarahan
dan ganti kekurangan cairan dengan meresusitasinya dengan cairan
dimulai dari kristaloid, koloid dan darah.Pada kasus ini, pasien
dibebaskan jalan nafasnya dengan triple airway maneuver, lalu
dilakukan pemasangan pipa orofaring dan direncanakan untuk
pemasangan intubasi. Setelah jalan nafas dibebaskan dengan triple
airway maneuver dan pipa orofaring, terdapat peningkatan yang
ditandai dengan saturasi oksigen pasien menjadi 99% dan tindakan
intubasi tidak dilakukan. Pasien juga diberikan terapi oksigen
sebanyak 10-12 liter/menit dengan bag valve mask dan dilanjutkan
dengan non-rebreathing mask 6-8 liter/menit. Untuk cairan diberikan
kristaloid yaitu ringer solution sebanyak 4 flash (2 liter) untuk
mengganti cairan yang hilang akibat trauma.Setelah dilakukan
primary survey, pasien yang mengalami trauma kapitis atau kepala
perlu dilakukan head CT-scan untuk menilai apakah ada perdarahan di
otak dan foto polos kepala untuk menilai apakah ada fraktur
tengkorak yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada pasien.
Jika terdapat perdarahan yang hebat di otak, maka perlu kita
perhatikan apakah ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra
kranial. Adanya peningkatan tekanan intra kranial akan memperburuk
prognosa dan meningkatkan sekuele dari trauma kepala pasien
tersebut.Pada pasien ini, setelah dilakukan head CT-scan, hasilnya
bersifat normal dan tidak dijumpai adanya perdarahan di kepala,
namun pasien masih mengalami penurunan kesadaran. Oleh sebab itu,
kami menduga ini merupakan suatu cedera kepala difus. Cedera kepala
difus biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok
yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran
normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu
yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD)
untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang
buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tobing, HG. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf Departemen Bedah
Saraf FK UI-RSCM. Jakarta: Sagung Seto2. CDC. 2010. Traumatic Brain
Injury in the United States: Emergency Department Visits,
Hospitalizations and Deaths 2002-20063. Karbakhsh M, Zandi NS,
Rouzrokh M, Zarei MR. Injury Epidemiology in Kermanshah: the
National Trauma Project in Islamic Republivc of Iran., East
Mediterr Health J, 15(1): 57-644. CDC. 2005. The CDC Traumatic
Brain Injury Surveillance System: Characteristics of Persons aged
65 years and Older Hospitalized with a TBI. J Head Trauma Rehabil,
20 (3): 215-2285. Akbar. 2008. Distribusi Cedera Kepala di
Instalasi Gawat Darurat RS Cipto Mangunkusumo. Karya Tulis Ilmiah.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 6. Asrini, S.
2008. Peranan Post Traumatic Amnesia (PTA) dan Parameter
Laboratorium sebagai Prediktor Terhadap Outcome pada Penderita
Trauma Kapitis Akut Ringan Sedang. Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik. Available from :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6415. [Accessed 10
Februari 2015]7. Brain Injury Association of Michigan. 2005.
Traumatic Brain Injury Provider Training Manual. Michigan
Department Of Community Health8. Israr, YA., Christopher, AP.,
Julianti R., Tambunan R., Hasriani A. 2009. Cedera Kepala dan
Fraktur Kruris. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Available
from : http://www.Files-of-DrsMed.tk. [ Accessed 10 Februari 2015
]9. Mardjono, M., dan Sidharta, P.,2008. Mekanisme Trauma Susunan
Saraf Pusat. Dalam : Mardjono, M., dan Sidharta, P. Neurologi
Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, 250 - 260.10. Lombardo,
M.C.,2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Dalam : Price, S.A., dan
Wilson,L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta : EGC.11. Japardi, I.,2004. Cedera Kepala. Jakarta : PT
Bhuana Ilmu Populer.12. Greaves, I., and Johnson, G., 2002. Head
And Neck Trauma. Dalam : Greaves, I., and Johnson, G. Practical
Emergency Medicine. Arnold, 233 245.13. Kirby S, Wang SJ ed. 2010.
Headache associated with intracranial neoplasms, preview clinical
summary. Available from : http://www.medlink.com/medlinkcontent.asp
[Accessed : 10 Februari 2015]14. Olson DA. 2014. Head Injury.
Terdapat pada: http://emedicine.medscape.com/article/1163653.
Diakses: 10 Februari 201515. American Collage of Surgeon Committee
on Trauma. Advance Trauma Life Support for Doctors (ATLS). 7th Ed.
Student Course Manual. United State of America. 2004. Hal: 14-2916.
Ariwibowo, Haryo et all, 2008. Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah.
Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta.17. Kluwer
wolters, 2009. Trauma and acute care surgery. Philadelphia:
Lippicott Williams and Wilkins18. Marx JA (ed). Rosens Emergency
Medicine: Concept and Practice 5th edition., St.Louis: Mosby,
200219. American Collage of Surgeon Committee on Trauma. Advance
Trauma Life Support for Doctors (ATLS). 5th Ed. Student Course
Manual. United State of America. 1997. Hal: 14-29
32