Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013 PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur 1 PENAMPILAN AYAM PEDAGING YANG DIBERI PROBIOTIK (EM-4) SEBAGAI PENGGANTI ANTIBIOTIK Muhammad Syarif Djaya*, M. Ilmi Hidayat* *Staf Pengajar Fakultas Pertanian Unversitas Islam Kalimantan Banjarmasin ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan ayam pedaging yang diberi probiotik (EM-4) sebagai pengganti antibiotik. Percobaan ini menggunakan rancangan lingkungan rancangan acak lengkap (Completely Randomized Design), dengan tiga perlakuan dan lima kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik EM4 memberikan peningkatan terhadap pertambahan berat badan dan memperbaiki tingkat efisiensi pakan. Pertambahan berat badan dan konversi ransum lebih baik pada ayam broiler dengan menggunakan probiotik 1 cc/liter air dibanding menggunakan sulfamix. Kata Kunci : EM-4, broiler, konsumsi ransum, pertambahan berat badan, konversi ransum THE APPEARANCE BROILER GIVEN PROBIOTICS (EM-4) INSTEAD OF ANTIBIOTICS This study aims to determine the performance of broilers fed probiotics (EM-4) as a substitute for antibiotics. This experiment used a completely randomized design (Completely Randomized Design), with three treatments and five replications. The results showed that administration of the probiotic EM4 gives increased weight gain and improve feed efficiency. Weight gain and better feed conversion in broilers by using probiotics 1 cc / liter of water than using sulfamix.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
1
PENAMPILAN AYAM PEDAGING YANG DIBERI PROBIOTIK (EM-4)
SEBAGAI PENGGANTI ANTIBIOTIK
Muhammad Syarif Djaya*, M. Ilmi Hidayat*
*Staf Pengajar Fakultas Pertanian Unversitas Islam Kalimantan Banjarmasin
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan ayam pedaging yang diberi
probiotik (EM-4) sebagai pengganti antibiotik. Percobaan ini menggunakan rancangan
lingkungan rancangan acak lengkap (Completely Randomized Design), dengan tiga perlakuan
dan lima kali ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik EM4 memberikan
peningkatan terhadap pertambahan berat badan dan memperbaiki tingkat efisiensi pakan.
Pertambahan berat badan dan konversi ransum lebih baik pada ayam broiler dengan
menggunakan probiotik 1 cc/liter air dibanding menggunakan sulfamix.
Kata Kunci : EM-4, broiler, konsumsi ransum, pertambahan berat badan, konversi ransum
THE APPEARANCE BROILER GIVEN PROBIOTICS (EM-4) INSTEAD OF
ANTIBIOTICS
This study aims to determine the performance of broilers fed probiotics (EM-4) as a
substitute for antibiotics. This experiment used a completely randomized design (Completely
Randomized Design), with three treatments and five replications.
The results showed that administration of the probiotic EM4 gives increased weight gain and
improve feed efficiency. Weight gain and better feed conversion in broilers by using
probiotics 1 cc / liter of water than using sulfamix.
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
2
PENDAHULUAN
Meningkatnya kebutuhan
masyarakat akan produk peternakan
menyebabkan penggunaan obat-obatan
untuk pencegahan dan
perawatan/perlakuan terhadap penyakit
ternak menjadi semakin penting agar
daging, telur, dan susu dapat diproduksi
secara efisien. Namun, hal ini
menyebabkan sebagian masyarakat di
Indonesia menolak membeli produk
peternakan yang diketahuinya
menggunakan antibiotik atau bahan kimia
dalam proses produksinya. Pemanfaatan
antibiotik pada level sub-terapi atau karena
kurang memperhatikan aturan
penggunaannya telah terbukti
mengakibatkan adanya residu antibiotik
dalam produk peternakan dan
berkembangnya mikroba yang resisten
dalam tubuh ternak maupun tubuh manusia
yang mengkonsumsinya (Jin et al., 1997;
Lee et al., 2001). Untuk mempertahankan
efisiensi produksi ayam pedaging disatu
sisi dan menyediakan produk peternakan
yang aman untuk dikonsumsi, perlu
diusahakan alternatif penggunaan
antibiotik atau obat-obatan dalam industri
peternakan.
Saat ini telah beredar produk
probiotik yang mengandung mikroba
lipolitik, selulolitik, lignolitik, dan mikroba
asam lambung. Beberapa penelitian pada
broiler menunjukkan bahwa penambahan
probiotik dalam ransum dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan,
menurunkan konversi pakan dan
mortalitas. Kim et al. (1988), misalnya,
menunjukkan bahwa penambahan
probiotik yang terdiri atas Lactobacillus
sporegenes ke dalam pakan broiler yang
mengandung jagung yang agak berjamur
meningkatkan pertambahan bobot badan.
Penelitian yang dilakukan oleh
Wiryawan (unpublished) menunjukkan
bahwa suplementasi probiotik Yeast Sac
(Saccharomyces cerevisiae) pada pakan
broiler yang bahan utamanya gandum
menyebabkan peningkatan bobot badan
sebanyak 38.7% pada umur 21 hari dan
18% pada umur 42 hari jika dibandingkan
dengan kontrol. Namun, beberapa
penelitian lain gagal membuktikan
keuntungan pemanfaatan probiotik pada
pakan broiler. Variasi yang ditimbulkan
akibat pemberian probiotik pada broiler
kemungkinan berhubungan dengan
perbedaan strain bakteri atau mikroba yang
diberikan dan konsentrasi mikrobanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka
penelitian ini dilakukan untuk
mengevaluasi apakah pemberian probiotik
(EM-4) dapat memperbaiki performan
ayam pedaging; b) apakah probiotik ini
dapat menggantikan antibiotik dalam
industri ayam pedaging; dan c) apakah
peningkatan dosis probiotik menimbulkan
respon yang lebih baik.
Salah satu upaya dalam mengatasi
masalah ini adalah dengan memanfaatkan
produk probiotik.Produk probiotik yang
mengandung mikroba lipolitik, selulolitik,
lignolitik, dan mikroba asam lambung.
Beberapa penelitian pada broiler
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
3
menunjukkan bahwa penambahan
probiotik dalam ransum dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan,
menurunkan konversi pakan dan mortalitas
sekaligus dapat menggantikan peran
antibiotik dalam membantu pertumbuhan
ternak unggas (ayam pedaging).
Menurut Fuller (1989) yang
disitasi oleh Ramia (2000) probiotik
merupakan pakan tambahan dalam
bentuk mikroba hidup yang dapat
memberikan pengaruh menguntungkan
bagi ternak inang dengan meningkatkan
keseimbangan populasi mikroba dalam
saluran pencernaan ternak. Menurut
Aryogi et al. (1999) probiotik
merupakan kumpulan hasil seleksi
mikrobia proteolytic, lignolytic,
cellulolytic, dan lipolytic yang mampu
menguraikan senyawa organik komplek
dalam suatu bahan pakan menjadi senyawa
organik sederhana yang lebih mudah
diserap oleh alat-alat pencernaan ternak.
Probiotik tergolong dalam makanan
fungsional dimana bahan makanan ini
mengandung komponen-komponen yang
dapat meningkatkan kesehatan ternak
dengan cara memanipulasi komposisi
bakteri yang ada dalam saluran
pencernaan ternak. Probiotik merupakan
mikroorganisme yang dapat
meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi
pakan ternak tanpa mengakibatkan
terjadinya proses penyerapan komponen
probiotik dalam tubuh ternak, sehingga
tidak terdapat residu dan tidak terjadi
mutasi pada ternak (Samadi, 2007).
Manfaat probiotik sebagai bahan
aktif ditunjukkan dengan meningkatkan
ketersediaan lemak dan protein bagi
ternak, disamping itu probiotik juga
meningkatkan kandungan vitamin B
kompleks melalui fermentasi makanan
(Samadi, 2007).
METODE PENELITIAN
Ayam yang digunakan adalah ayam
broiler strain CP 707 umur satu minggu
dengan berat badan homogen dan tidak
membedakan jenis kelamin. Ayam
diperoleh dari Poultry Shop setempat.
Kandang
Kandang yang digunakan adalah
kandang sistem battery colony yang terbuat
dari kawat dan bilah-bilah bambu. Tiap
petak kandang berukuran panjang 1 m,
lebar 0,80 m, dan tinggi 0,50 m. Tiap petak
kandang dilengkapi dengan tempat pakan
dan air minum.
Ransum dan Air Minum
Ransum yang diberikan adalah
ransum komersial yng umum beredar di
pasaran dengan kandungan protein dan
energi yang sama untuk kesemua
perlakuan. Ransum diberikan ad libitum
sepanjang periode penelitian.
Air minum yang diberikan
bersumber dari PAM setempat. Pemberian
air minum secara ad libitum.
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
4
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan
lima kali ulangan. Tiap ulangan (unit
percobaan) menggunakan empat ekor ayam
broiler umur satu minggu dengan berat
badan homogen. Ketiga perlakuan yang
dicobakan, yaitu ayam yang diberi ransum
komersial dengan penambahan antibiotik
Sulfamix (T1), ayam yang diberi ransum
komersial dan 1 cc probiotik/1 liter air
minum (T2), dan ayam yang diberi ransum
komersial dan 2 cc probiotik/1 liter air
minum yang diberikan (T3).
Model umum rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Yij = µ + αi + εij, dimana;
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan
ke-i dan ulangan ke-j
= Nilai tengah umum
i = Pengaruh perlakuan ke-i
ij = kesalahan percobaan (galat)
pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.
Variabel yang diamati untuk
menggambarkan penampilan ayam
pedaging antara lain:
a. Konsumsi Ransum
b. Pertambahan Berat Badan
c. Konversi Ransum
Data yang diperoleh pada setiap
pengamatan yang meliputi konsumsi
ransum, berat badan, dan konversi ransum
diuji kehomogenannya dengan uji Bartlet,
bila data tersebut homogen dilanjutkan
dengan analisis ragam. Apabila hasil
analisis ragam menunjukkan pengaruh
yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan
untuk mengetahui perbedaan antara
perlakuan terhadap variabel pengamatan
serta mengamati kondisi kesehatan ternak
secara fisik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perlakuan tanpa penggunaan
antibiotik pada T1 dan penggunaan
probiotik pada T2 dan T3, berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap konsumsi pakan.
Pemberian probiotik 1 cc/liter air (T2) dan
2 cc/liter air (T3) tidak berbeda satu sama
lain, tetapi kedua perlakuan ini berbeda
nyata dengan yang menggunakan antibiotik
(T1). Rata-rata konsumsi ransum pada
setiap perlakuan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata Konsumsi Ransum
Ayam Pedaging Masing-masing
Perlakuan
Perlakuan Rata-rata (g/ekor)
T1
T2
T3
1808,89a
1939,48b
1950,75b
Adanya pengaruh yang berbeda
nyata ini disebabkan karena ayam yang
diberi probiotik memiliki napsu makan
yang tinggi sehingga jumlah ransum yang
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
5
dikansumsi pun relatif tinggi dibanding
tanpa menggunakan probiotik . Walaupun
dalam hal ini, kandungan energi dan
protein ransum sama satu sama lain.
Pemberian EM4 pada pakan dan air
minun ternak akan meningkatkan nafsu
makan ternak karena aroma asam manis
yang ditimbulkan. EM4 peternakan tidak
mengandung bahan kimiawi, sehingga
aman bagi ternak (Anonimus,1998)
Pemberian probiotik menyebabkan
peningkatan konsumsi pakan sebanyak
7,84% lebih tinggi dari T1 dan diduga
perbedaan ini akan menjadi signifikan jika
jumlah ayam (sampel) yang digunakan
ditingkatkan dan ransum yang digunakan
bukan ransum komersial, sesuai dengan
pendapat Soeharsono (2002) yang
menyatakan bahwa pemberian EM4 dapat
meningkatkan konsumsi pakan pada
ternak.
Pertambahan Berat Badan
Penggunaan probiotik EM4
memberikan kontribusi terhadap
pertambahan berat badan ayam pedaging.
Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis
ragam bahwa penggunaan probiotik
berpengaruh nyata terhadap pertambahan
berat badan ayam. Rata-rata konsumsi
ransum pada setiap perlakuan disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Pertambahan Berat
Badan Ayam Pedaging Masing-
masing Perlakuan
Perlakuan Rata-rata (g/ekor)
T1
T2
T3
1205,84a
1409,64b
1304,02c
Ayam yang diberi probiotik (T2
dan T3) memiliki pertambahan berat badan
16,13 % lebih tinggi dari pada ayam yang
tidak diberi probiotik (T1). Perbedaan
pertambahan bobot badan ini erat
kaitannya dengan lebih tingginya konsumsi
pakan dan kemungkinan karena
peningkatan daya cerna zat gizi akibat
pemberian probiotik. Mikroba lipolitik,
selulolitik, lignolitik, dan mikroba asam
lambung yang terkandung dalam probiotik
diduga telah berperan aktif dalam
meningkatkan kecernaan zat gizi.
Nahashon et al. (1994) menunjukkan
bahwa suplementasi kultur Lactobacillus
pada pakan yang terdiri atas jagung,
bungkil kedelai dan gandum meningkatkan
konsumsi pakan, retensi lemak, protein,
kalsium, cuprum, dan mangan pada ayam
petelur. Peningkatan pertambahan bobot
badan kemungkinan juga disebabkan
karena probiotik yang diberikan dapat
mempertahankan keseimbangan ekosistem
dalam usus seperti yang dilaporkan oleh
Nisbet et al. (1993) dan Corrier et al.
(1994).
Peningkatan dosis pemberian
probiotik dari 1 cc menjadi 2 cc per liter air
minum ternyata berpengaruh (P<0.05)
terhadap pertambahan bobot badan ayam.
Terjadi penurunan berat badan dengan
menaikkan dosis probiotik dari 1 cc
menjadi 2 cc, hal ini diakibatkan karena
dosis probiotik lebih dari 1 cc/liter air
menjadi tidak efektif lagi perannya dalam
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
6
mencerna zat gizi ransum dalam tubuh.
Nampaknya ada batas-batas optimal pada
ayam dalam toleransinya terhadap populasi
mikroba dalam saluran pencernaannya.
Konversi Ransum
Konversi pakan diperlukan untuk
menggambarkan sejauh mana efektivitas
biologis pemanfaatan zat gizi dalam pakan.
Semakin kecil jumlah pakan yang
dibutuhkan untuk menghasilkan tambahan
bobot badan ayam, berarti semakin efisien
pemberian pakan tersebut. Rata-rata
konsumsi ransum pada setiap perlakuan
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Berat
Badan Ayam Pedaging Masing-
masing Perlakuan
Perlakuan Rata-rata
T1
T2
T3
1,50a
1,38c
1,50a
Hasil analisis ragam menunjukkan
bahwa pemberian probiotik 2 cc/liter air
(T3) tidak berbeda dengan tanpa pemberian
probiotik (T3), tetapi kedua perlakuan ini
berbeda nyata dengan pemberian probiotik
EM4 1 cc/liter air (T2). Efisien pakan yang
lebih baik pada pemberian probiotik (T2) 1
cc/liter air ini merupakan indikasi bahwa
pemberian probiotik EM-4 pada peternakan
ayam dalam skala besar akan memberikan
sumbangan yang cukup berarti bagi
peningkatan keuntungan.
Secara umum kondisi kesehatan
ayam pada semua perlakuan baik,
walaupun ada kematian selama penelitian,
tetapi hal ini diyakini itu tidak merupakan
akibat dari perbedaan perlakuan.
Pemberian probiotik EM4
memberikan peningkatan terhadap
pertambahan berat badan dan memperbaiki
tingkat efisiensi pakan. Pertambahan berat
badan dan konversi ransum lebih baik
dengan menggunakan probiotik 1 cc/liter
air dibanding menggunakan sulfamix.
Agar hasil yang diperoleh lebih
meyakinkan, diperlukan penelitian lanjutan
dengan menggunakan sampel yang lebih
besar, tidak menggunakan ransum
komersial, dan dilakukan di tingkat
peternak yang tingkat higienis
pemeliharaannya lebih rendah jika
dibandingkan dengan kondisi di
Laboratorium Terapan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R.,1985. Kemajuan Mutakhir
Ilmu Makanan Ternak Unggas.
Cetakan Pertama. Penerbit
Universitas Indonesia.
Jin, L.Z., Ho,Y.W., Abdullah, N. and
Jalaludin, S. 1997. Probiotics in
poultry Modes of Action. World’s
Poultry Science Journal 53: 351 –
368. 10
Kim, C.J., Namkung, H.An.M.S. and paik,
L.K. 1988. Suplementation of
probiotics to the broiler diets
containing moldy corn. Korean
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
7
Journal of Animal Science 30 : 542-
548.
Soeharsono, H.,2002. Probiotik. Alternatif
Pengganti Antibiotik dalam Bidang
Peternakan. Labolaturium Fisiologi
dan Biokimia. Fakultas Peternakan,
Universitas Padjadjaran.
Rabbani, B. dan H. Susanto, 1997.
Fermentasi, Biotelnologi Alternatif
Meningkatkan Mutu Pakan. Poultry
Indonesia, Jakarta : Edisi Bulan
Februari No. 204 Tahun 1997.
Rahman, I.N., 1999. Penampilan Ayam
Pedaging ISB – 707 diberikan
Tambahan Enzim High Consentrate
dalam Air Minum pada Periode
Awal. Laporan Skripsi Uniska,
Banjarmasin.
Soccol, C.R., Marin, B., Rainbault, M. dan
Sebault, J.M., 1994. Breeding of
Rhizopus in Row Cassava by Solid
State Fermentation. Dalam Agricola
Article AppiMicrobial-Biotech. New
York : Springer International.
Supriyono, 1993. Beternak Jasad Renik.
Majalah ayam dan telur. No 84:39-
41.
Soeharsono, H.,2002. Probiotik. Alternatif
Pengganti Antibiotik dalam Bidang Peternakan. Labolaturium Fisiologi dan Biokimia. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran.
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
8
PENGARUH VARIASI HEATING RATE PROSES PIROLISIS
TERHADAP KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BRIKET CHAR MSW
TERSELEKSI
CAMPURAN DAUN PISANG DAN BAMBU
Sigit Mujiarto* , Teguh Suprianto* dan Murdjani
*
Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Banjarmasin
Jl. Brigjen H. Hasan Basry Banjarmasin 70123
ABSTRAK
Daun pisang dan bambu merupakan biomassa yang limbahnya termasuk sampah kota atau
MSW (municipal solid waste ), yang mempunyai energi density rendah. Limbah daun pisang
mempunyai potensi sebagai bahan baku untuk bahan bakar. Untuk menghasilkan energi
densitas tinggi digunakan proses pirolisis dan dilanjutkan dengan proses densifikasi atau
pembriketan untuk membentuk sebuah briket char (arang) campuran daun pisang dan bambu.
Dalam penelitian ini, akan dipaparkan pengaruh variasi heating rate (laju pemanasan) proses
slow pyrolisis (pirolisis lambat) terhadap karakteristik pembakaran briket char campuran daun
pisangdan bambu. Heating rate pada sampel 20 gram proses pirolisis divariasikan 5º C /
menit, 10 º C / menit dan 20
º C / menit, dengan temperatur akhir 400 ºC dan holding time 30
menit. Char yang terbentuk kemudian dipadatkan dengan proses densifikasi menjadi briket
char daun pisang yang dilakukan secara hidrolik pada tekanan 250 kg/cm2 yang diholding
selama 5 menit dan dikeringkan pada temperatur 105 º C selama 20 menit. Sampel briket
char daun pisang ± 3 gram ditempatkan dalam tungku dengan laju pemanasan 20 ºC/menit
sampai tidak terjadi perubahan massa. Analisis thermogravimetri dilakukan untuk mengetahui
karakteristik pembakaran briket char daun pisang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh heating rate proses slow pyrolisis untuk
pembakaran briket char daun pisang memiliki nilai kalor yang minimun pada Heating rate 10
ºC/menit. Harga karakteristik pembakaran ITVM (Volatile Metter Fixed Carbon Initiation
Temperature) menunjukkan keterkaitan dengan heating rate, dimana semakin lambat heating
rate maka harga ITFC semakin kecil. Untuk karakteristik pembakaran yang lain, yaitu ITFC
(Fixed Carbon Initiation Temperature), PT (Peak Temperature) dan BT (Burning
Temperature) menunjukkan keterkaitan dengan heating rate dengan sifat optimum di Heating
Rate 10 oC/menit. Harga Energi Aktivasi minimum pada Heating rate 10
ºC/menit.
Kata kunci : Daun pisang, bambu , char, briket, heating rate, thermogravimetry.
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
9
PENDAHULUAN
Pohon pisang dan bambu sangat
banyak dijumpai di Indonesia, daun
pisang dan bambu dapat dikatagorikan
sebagai salah satu biomassa yang selama
ini pengolahan limbah pasca
penggunaannya belum dipikirkan dengan
baik. Hal ini terlihat bahwa salah satu
jenis sampah organik yang belum terolah
secara maksimal di tempat pembuangan
akhir (TPA) adalah sampah daun pisang,
sehingga perlu dipikirkan mengenai
pengolahan pasca penggunaannya.
Proses pirolisis merupakan salah satu
alternatif pengolahan daun pisang dan
bambu yang dipandang cukup prospektif
untuk dikembangkan. Beberapa
keuntungan proses pirolisis yang
menjadikannya sebagai salah satu
alternatif pengolahan biomassa yang
cukup prospektif antara lain memiliki
rasio konversi yang tinggi, produk-
produknya memiliki kandungan energi
yang tinggi, produk-produk yang
dihasilkan dapat ditingkatkan menjadi
bahan dasar keperluan lain.
METODE PENELITIAN
Langkah pertama dalam penelitian ini
adalah pengumpulan dan penyiapan
bahan baku. Bahan baku yang
dikumpulkan adalah sampah daun pisang
dan bambu . Sampel kemudian
dikeringkan sehingga memiliki kadar air
maksimal 10 % dan dihaluskan hingga
lolos ukuran 20 mesh. Selanjutnya bahan
baku diuji secara proximate dan uji nilai
kalor, pengujian meliputi nilai kalor
(heating value) sesuai standar ASTM
2015, kadar air dengan standar pengujian
ASTM D-3173, kadar abu sesuai dengan
standar pengujian ASTM D-3174,
kandungan volatile matter dengan
standard ASTM D-3175 dan kadar fixed
carbon sesuai dengan standar pengujian
ASTM D-3172.
Tahap selanjutnya adalah proses pirolisis
sampel penelitian dengan berat sampel ±
20 gram. Proses pirolisis yang dilakukan
adalah proses slow pyrolisis dengan
kenaikan temperatur pirolisis / heating
rate sebesar 5 0C/menit, 10
0C/menit dan
20 0C/menit dengan temperatur akhir
proses slow pyrolisis 400 0C serta lama
proses penghendelan/holding time 30
menit. Setelah menjalani proses pirolisis,
maka dilakukan uji proximate dan uji
nilai kalor terhadap hasil proses slow
pyrolisis untuk mengetahui sifat-sifat
char yang dihasilkan. Selanjutnya
dilakukan pembuatan briket char daun
pisang dan bambu yang dilakukan secara
hidrolis dengan tekanan kerja 250 kg/cm2
yang diholding selama 5 menit dan
dikeringkan pada temperatur 105 0C
selama 20 menit.
Uji karakteristik pembakaran briket char
daun pisang dan bambu dilakukan dengan
menggunakan metode thermogravimetri,
untuk mengetahui karakteristik bahan
bakar yang diuji meliputi temperatur
pembakaran dimana massa briket mulai
berkurang (volatile matter initiation
temperatur {ITVM}) , temperatur ruang
bakar dimana laju pengurangan massa
meningkat selama proses awal
pembakaran (fixed carbon initiation
temperature {ITFC}), temperatur ruang
bakar yang menghasilkan laju penurunan
massa briket terbesar (peak temperature
{PT}) dan temperatur ruang bakar
dimana massa briket konstan pada akhir
tahap pembakaran (burning
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
10
temperature{BT}). Metode ini dilakukan
dengan cara menaikkan temperatur ruang
bakar dari temperatur kamar secara
bertahap dengan besar kenaikan
temperatur konstan tiap waktu sebesar 20 0C / menit sampai sampel bahan bakar
terbakar habis, pada kondisi aliran udara
0,1m/detik.
Gambar 1. Skematik Peralatan Penelitian
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisa Proximate dan Nilai Kalor
Tabel I,
Hasil Uji Proximate dan Nilai Kalor
Sampel Uji Proximate Nilai kalor
(kal/gram) Kadar
Air ( %)
Kadar
Abu ( %)
Volatile
Matter (%)
Daun pisang dan bambu 8,735 10,783 76,692 4.095,366
Char daun pisang dan
bambu heating rate
pirolisis 5 0C /menit
5,665 17,835 67,045 5.607,535
Char daun pisang dan
bambu heating rate
pirolisis 10 0C /menit
6,19 19,63 68,505 5.098,899
Char daun pisang dan
bambu heating rate
pirolisis 20 0C /menit
5,18 20,08 70,865 5.372,116
Dalam tabel I, disajikan hasil uji
proximate dan nilai kalor dari bahan baku
(daun pisang dan bambu tanpa perlakuan
pirolisis) dan char hasil pirolisis bambu
dengan variasi heating rate yang
dilakukan. Dari tabel tersebut , tampak
bahwa proses pirolisis menyebabkan
turunnya kadar air dan kadar volatile
matter yang diikuti oleh naiknya kadar
abu. Proses pirolisis juga mengakibatkan
naiknya nilai kalor char yang dihasilkan.
Sementara itu semakin kecil kenaikan
temperatur pirolisis memberikan
kenaikan nilai kalor char kecuali pada
heating rate 10 0C /menit, hal ini diduga
pada heating rate 10 0C /menit yang
mengindikasikan bahwa char yang
terbakar pada proses pirolisis tersebut
paling banyak yang mengakibatkan
turunnya nilai kalor.
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
12
Analisa Thermogravimetry Daun Pisang dan Bambu
Gambar 2, Grafik Hasil Analisa Thermogravimetry Briket Daun Pisang dan Bambu
Pada gambar 2, disajikan grafik hasil
analisa thermogravimetri dari briket daun
pisang dan bambu. Dalam gambar
tersebut, tampak pembagian zona
pembakaran atas zona drying,
devolalitisasi dan pembakaran char.
Sesuai dengan teori pembakaran bahan
bakar padat bahwa pembakaran biomassa
dibagi menjadi 3 tahap secara berurutan
(Borman dan Ragland, 1998). Tahap
yang pertama adalah pengeringan yang
ditandai dengan penurunan massa yang
berjalan secara lambat. Tahap kedua
adalah devolatilisasi yang ditandai
dengan penurunan massa yang mulai
meningkat. Tahap ketiga adalah
pembakaran arang yang ditandai dengan
penurunan massa yang sangat cepat. Pada
pembakaran briket bahan baku daun
pisang dan bambu mentah laju penurunan
massa maksimum sebesar 0,14
gram/menit tercapai pada temperatur
272,5 °C (PT). sementara ITVM terjadi
pada temperatur 185,7 °C, ITFC pada
temperatur 365,6 °C dan BT pada 410
°C.
Sesuai dengan uraian tersebut untuk
briket daun pisang dan bambu,
temperatur yang dibutuhkan untuk mulai
terjadi pengurangan massa atau
devolatilisasi adalah sebesar 185,7°C.
Pada temperatur 365,6 °C merupakan
awal proses pembakaran dengan ditandai
laju penurunan massa yang semakin
meningkat. Proses pembakaran terus
meningkat ditandai dengan temperatur
yang naik secara signifikan, hal itu
disebabkan karena api telah menyala
disekitar permukaan briket yang mulai
terbentuk pada temperatur 338,3 °C.
Analisa Thermogravimetry Briket
Char Bambu
Pada gambar 3, disajikan grafik hasil
analisa thermogravimetri dari briket char
daun pisang dan bambu. Dalam gambar
tersebut, pembagian zona pembakaran
atas zona drying, devolalitisasi dan
pembakaran char tidak begitu jelas
dibandingkan dengan pembakaran briket
daun pisang dan bambu, terutama zona
drying dan devolatilisasi. Awal zona
pembakaran char tidak begitu jelas,
0100200300400500600700800900
0
20
40
60
80
100
120
0 200 400 600 800 1000 1200Penurunan massa (%)Laju penurunan massa… Waktu
Karakteristik Pembakaran Briket Daun Pisang dan Bambu
mt/
mo
(%)
dm
/dt
(mg
/s)
Tem
per
atu
r (°
C)
mt/
mo
(%)
dm
/dt
(mg
/s)
Tem
per
atu
r (°
C)
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
13
meskipun terdapat lonjakan laju
pembakaran briket. Untuk temperatur
pembakaran briket char tampak bahwa
relatif steady bila dibandingkan dengan
pembakaran briket daun pisang, hal ini
dimungkinkan karena abu hasil
pembakaran tidak begitu banyak
dibandingkan briket daun pisang dan
bambu, dimana abu menyebabkan
perpindahan oksigen ke dalam dan keluar
briket menjadi terhalang.
Kasus Sampel uji Hasil Pirolisis HR (°C/menit)
a RDF bambu 50% - daun pisang
50%
5
b RDF bambu 50% - daun pisang
50%
10
c RDF bambu 50% - daun pisang
50%
20
Ga
Gambar 3, Grafik Hasil Analisa Thermogravimetry Briket Char Daun Pisang dan
Bambu
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
14
Pengaruh heating rate proses pirolisis
terhadap harga ITVM, ITFC, PT dan BT
pada analisa thermogravimetry briket char
daun pisang disajikan dalam tabel 2.
Tabel II, Perbandingan ITVM, ITFC, PT dan BT Pada Analisa Themogravimetry
Pembakaran Briket Char Daun Pisang- Bambu Akibat Variasi Heating Rate Pirolisis
Briket Daun
Pisang dan
Bambu Tanpa
Perlakuan
Briket Char
dengan
Heating Rate
Pirolisis
5 0C/menit
Briket Char
dengan
Heating Rate
Pirolisis
10 0C/menit
Briket Char
dengan
Heating Rate
Pirolisis
20 0C/menit
ITVM ( ºC) 185,7 169,3 201,1 246,5
ITFC ( ºC) 365,6 290,4 428,8 399,5
PT ( ºC) 272,5 231,6 376,1 320
BT ( ºC) 410 479,5 813,3 713,5
Dari tabel II, dapat dilihat bahwa variasi
heating rate selama proses pirolisis
memberikan pengaruh yang cukup
siginifikan pada hasil analisa
thermogravimetry briket char daun pisang
–bambu yang dihasilkan, dimana kenaikan
heating rate akan memberikan pengaruh
pada semakin tingginya harga ITFC.
Untuk harga ITVM, PT dan BT bersifat
optimum pada Heating Rate Pirolisis 10 0C/menit. Dengan semakin rendahnya
ITFC akan mengakibatkan semakin
mudahnya briket tersebut terbakar.
Perbandingan Energi Aktivasi Briket
Char Hasil Pirolisis
Perhitungan energi aktivasi proses
pembakaran briket daun pisang dan briket
char daun pisang yang diteliti didasarkan
dengan menggunakan rumus perhitungan
kinetika reaksi berorde satu atau yang
biasa disebut global kinetic, disajikan
dalam tabel III.
Tabel III, Perbandingan Harga Energi Aktivasi (Ea)
No
Variabel
Ea (kal/mol)
1
Briket Daun Pisang –Bambu Tanpa Pirolisis
47,159
2
Briket Char Daun Pisang dengan heating rate pirolisis 5 ºC
/menit
30,622
3
Briket Char Daun Pisang dengan heating rate pirolisis 10 ºC
/menit
21,809
4
Briket Char Daun Pisang dengan heating rate pirolisis 20 0C/menit
23,825
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
15
Semakin rendah energi aktivasi ( Ea ) briket, maka semakin mudah pula briket tersebut
bereaksi (terbakar).
Dari hasil pengambilan dan pengolahan
data dapat disimpulkan bahwa proses
pirolisis akan menaikkan nilai kalor dari
char yang dihasilkan. Dengan semakin
besarnya heating rate, akan memberikan
pengaruh pada semakin tingginya harga
ITFC akan mengakibatkan semakin
mudahnya briket tersebut terbakar. Namun
demikian pengaruh heating rate terhadap
analisa thermogravimetri pembakaran
briket char daun pisang bersifat optimum,
dimana briket char yang dihasilkan dengan
heating rate 10 ºC /menit memiliki energi
aktivasi pembakaran terendah bila
dibandingkan dengan briket char yang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
ASTM Committee on Standards, 1990,
Standard Method for Chemical
Analysis of Wood Charcoal, D 1762-
84.
Borman,G.L., Kenneth W. Ragland., 1998, Combustion Engineering, Mc Graw-Hill, New York.
Di Blasi, C. ,2008, Modeling Chemical and
Physical Processes of Wood and
Biomass Pyrolisis, Progress in
Energy and Combustion Science 34
, pp. 47-99
Grammelis,P., Basinas, P., Malliopoulou,
A., Sakellaropoulos, G., 2009,
Pyrolisis Kinetics and Combustion
Characteristics of Waste Recovered
Fuels, Fuel 88 (2009), pp. 195-205
Phan, A.N., Ryu, C., Sharifi, V.N.,
Swithenbank, J., 2008,
Characterisation of Slow Pyrolisis
Products from Segregated Wastes
for Energy Production,
J.Anal.Appl.Pyrolisis 81 (2008), pp.
65-71
Kalita,P.,Mohan,G.,Pradeep,K..,Mahanta,P
., “Determination and Comparasion
of Kinetic Parameter of Low Density
Biomass Fuels”, Journals of
Renewable and Sustainable Energy
1, 2009, 023109
Rhen, C., Othman, M., Gref, R.,
Wasterlund, I., 2007, Effect of Raw
Material Composition in Woody
Biomass Pellets on Combustion
Characteristics, Biomass and
Bioenergy 31 (2007) pp. 66-72
Swithenbank, J.,Sharifi,V.N., Ryu,C.,2005,
Waste Pyrolisis and Generation of
Storable Fuel, SUWIC Department
of Chemical and Process
Engineering, The University of
Sheffield
Yang, Y.B., Phan, A.N.,Ryu, C.,Sharifi,
V.,Swithenbank, J., 2007,
Mathematical Modelling of Slow
Pyrolisis of Segregated Solid Waste
in A Packed-Bed Pyroliser, Fuel 86,
pp. 169-180.
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
16
OPTIMASI PROSES DEKOMPOSISI TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (ELAEIS
GUINEENSIS) MENGGUNAKAN AKTIVATOR EM4
Uswatun Chasanah*, Linda Rahmawati* dan Gusti R. Iskarlia*
*Staf Pengajar Program Studi Budidaya Tanaman Perkebunan
Politeknik Hasnur
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kompos dari tandan kosong kelapa sawit
dengan aktivator EM4 dalam waktu yang singkat dan kualitas yang bagus. Untuk mempercepat
proses pengomposan ditambahkan EM4 karena mengandung lebih dari 80% populasi bakteri
asam laktat dan yeast dan sebagian kecil bakteri fotosintetik, bakteri pemfiksasi N dan
aktinomisetes. Sehingga diharapkan dapat membantu mempercepat proses dekomposisi tandan
kosong kelapa sawit. Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) tiga kali
ulangan dengan 3 perlakuan yaitu EM4 0 mL, EM4 10 mL dan EM4 20 mL. Berdasarkan hasil
penelitian, pada uji data statistik menggunakan Uji Jarak Duncan (DMRT), semua perlakuan
menunjukkan tidak berbeda nyata. Namun demikian, bahwa dengan penambahan EM4 sebanyak
20 mL dapat meningkatkan kualitas kompos jika dilihat dari kandungan unsur hara di dalamnya
terutama N, P, K dan rasio C/N 20,78 dengan suhu tertinggi saat pengomposan 350C dan suhu
mencapai stabil pada hari ke 14 dibandingkan dengan tanpa penambahan EM4.
Kata kunci : dekomposisi, tandan kosong kelapa sawit, EM4
PENDAHULUAN
Kelapa sawit di Kalimantan Selatan,
merupakan salah satu komoditas unggulan
yang mendapat prioritas dalam
pengembangannya selain karet, kelapa dalam.
Sejalan dengan perluasan areal perkebunan
kelapa sawit, selain meningkatkan produksi
kelapa sawit dan kegiatan ekspor per
tahunnya, di sisi lain juga menyebabkan
peningkatan jumlah limbah yang
dihasilkannya.
Pabrik kelapa sawit PT Hasnur Citra Terpadu
(HCT) berlokasi di area kebun kelapa sawit Jl
Hauling Km 12 Desa Pandahan Tapin
Kalimantan Selatan. Pabrik kelapa sawit yang
dibangun sejak April 2011 disiapkan mampu
memproduksi 45 ton per jam tandon buah
segar (TBS) dan dalam sehari, pabrik ini
mampu memproduksi 1000 ton TBS (Akhyar,
2013). Menurut data dari Dirjen Perkebunan
tahun (2009), dari setiap ton TBS yang diolah
dapat menghasilkan 140 – 200 kg CPO. Selain
CPO pengolahan ini juga menghasilkan
limbah/produk samping, antara lain: limbah
cair (POME=Palm Oil Mill Effluent),
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
17
cangkang sawit, fiber/sabut, dan tandan
kosong kelapa sawit. Limbah cair yang
dihasilkan cukup banyak, yaitu berkisar antara
600 – 700 kg. Dihasilkan pula serat dan
cangkang yang mencapai 190 kg dan yang
paling besar limbah tandan kosong yaitu
sekitar 20.000 ton.
Secara alami jika tandan kelapa sawit
dibiarkan saja akan mengalami dekomposisi.
Dekomposisi merupakan proses pembusukan
yang terjadi pada bahan organik. Dekomposisi
bahan organik tanpa adanya aktivator akan
berlangsung 2 – 4 bulan, serta dapat
menghasilkan panas dan gas racun yang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman. Agar
proses pengomposan dapat berlangsung lebih
cepat dapat ditambahkan aktivator. Untuk
mengantisipasi hal tersebut dibutuhkan bahan
yang dapat meningkatkan kecepatan
fermentasi bahan organik sehingga
penyediaan dan penyerapan unsur hara oleh
tanaman dapat dipercepat.
Salah satu aktivator yang digunakan
adalah Effective microorganisms 4 (EM4),
karena EM4 mengandung lebih dari 80%
populasi bakteri asam laktat dan yeast dan
sebagian kecil bakteri fotosintetik, bakteri
pemfiksasi N dan aktinomisetes. Sehingga
diharapkan dapat membantu mempercepat
proses dekomposisi tandan kosong kelapa
sawit. Hartono et.al, (2007) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa pembuatan
pupuk organik tanpa adanya perlakuan apapun
memerlukan waktu 2,5 bulan sedangkan jika
diberi penambahan berupa EM-4 memerlukan
waktu 1,5 bulan. Upaya untuk memanfaatkan
kulit buah jarak pagar ini juga dapat mengatasi
terjadinya pencemaran lingkungan akibat
melimpahnya limbah industri pertanian, hal
ini sesuai dengan konsep pengolahan bahan
baku menjadi produk secara menyeluruh
dengan meminimalkan kehilangan material
dan energi yang bertujuan mendapatkan
produk dengan nilai tambah maksimal
(Prihandana et.al, 2007).
Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan kompos dari tandan kosong
kelapa sawit dengan aktivator EM4 dalam
waktu yang singkat dan kualitas yang bagus.
METODE PENELITIAN
Peralatan yang digunakan pada saat
penelitian: bak, mesin pencacah, termometer,
soil tester (pengukur pH dan kelembaban),
peralatan analisa unsur hara N, P dan K.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: tandan kosong kelapa
sawit, starter Effective microorganisms-4
(EM-4), air dan gula merah.
Pembuatan Starter
Sebelum melakukan pembuatan
pupuk, terlebih dahulu dilakukan
pencampuran bahan untuk starter, yaitu 0 ml,
10 ml, dan 20 ml.
Pembuatan Kompos
Metode pengomposan yang digunakan adalah
pengomposan aerobik dengan wadah dari bak
plastik diameter 30 cm.
Menambahkan starter EM4 dan gula merah
yang sudah diencerkan dengan air yang
dimana bahan dasar pembuatan pupuk
organik dalam hal ini adalah tandan kosong
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
18
yang sudah digiling dengan mesin giling
hingga ukuran kulit menjadi kecil. Mengaduk
sampai semua bahan tercampur rata.
Mempertahankan suhu antara 35-50oC, suhu
tersebut dikontrol setiap hari dengan cara
mengaduk-aduk bahan tersebut agar suhunya
tidak terlalu tinggi.
Selain proses pengadukan juga dilakukan
proses penyemprotan air pada masing-masing
bak, proses ini juga dilakukan setiap hari
bersamaan dengan proses pengadukan.
Pengambilan Data
Parameter yang diamati dalam
percobaan ini meliputi:
Analisis C organik, N total, C/N, P, K, pH,
dan kadar air.
Lama proses pengomposan/dekomposisi
Proses pengomposan ini dikatakan
berhasil jika mempunyai ciri-ciri fisik
diantaranya:
1. Jika diraba, suhu tumpukan bahan yang
dikomposkan sudah dingin, mendekati
suhu ruang.
2. Tidak mengeluarkan bau busuk lagi.
3. Bentuk fisiknya sudah menyerupai tanah
yang berwarna kehitaman
4. Strukturnya remah.
Analisis C organik, total N, C/N, P, K, pH,
dan kadar air.
Setelah dilakukan proses pengomposan
dilakukan analisis C organik, total N, C/N, P,
K, pH, dan kadar air kembali untuk
mengetahui hasil akhir dari zat-zat tersebut..
Rancangan Perlakuan
Penelitian ini akan menggunakan
perlakuan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 konsentrasi yaitu 0 ml, 10 ml, dan 20
ml yang diulang sebanyak 3 kali, jadi ada 9
satuan percobaan. Persamaan untuk analisis
rancangan perlakuan ini adalah :
Yij = µ + τi + ɛij
Yij = kadar unsur hara penambahan
konsentrasi EM4 i, ulangan j
µ = rata-rata pengamatan pada
perlakuan ke-i ulangan ke-j
τi = pengaruh perlakuan ke-i
ɛij = pengaruh acak pada perlakuan ke-
i, ulangan j
Variabel yang diamati dalam penelitian ini,
beberapa variabel yang diamati antara lain
suhu, derajat keasaman (pH) dan kadar air
Analisis Data
Data hasil pengamatan untuk
parameter analisis kadar, C organik, total N,
C/N, P, K, dan kadar air sebelum dan sesudah
proses pengomposan dan lama proses
pengomposan dianalisa dengan menggunakan
analisis ragam untuk mengetahui perbedaan
antara masing-masing perlakuan terhadap nilai
kualitas dari hasil pupuk organik yang sudah
jadi, apabila ada beda nyata maka dilanjutkan
dengan Uji Jarak Duncan (DMRT) untuk
mengetahui pada perlakuan yang mana yang
menyebabkan terjadinya perbedaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Pembuatan Kompos
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
19
Pembuatan kompos diawali dengan
menggiling tandan kosong kelapa sawit
menggunakan mesin penggiling hingga
ukurannya lebih kecil dari ukuran semula.
Kemudian menentukan formula campuran
bahan yang akan dikomposkan yaitu tandan
kosong kelapa sawit sebagai bahan utama
sebanyak 1 kg, kotoran kambing 1kg sebagai
sumber N (Nitrogen). Porsi dari masing-
masing bahan tersebut berdasarkan wadah
pengomposan yang digunakan yaitu bak
plastik hitam . Sementara itu, menyiapkan
starter EM4 yang digunakan, perlakuan
pertama sebagai kontrol yaitu 0 mL EM4 atau
tanpa pemberian EM4. Perlakuan kedua yaitu
dengan perbandingan 1:100:5 yang terdiri atas
1000 mL air, 10 mL EM4, dan 200 mL
larutan gula merah. Selanjutnya untuk
perlakuan ketiga menyiapkan starter EM4
dengan perbandingan 1:50:5 yang terdiri atas
1000 mL air, 20 mL EM4, dan 200 mL
larutan gula merah.
Bahan yang sudah dicampur sesuai
dengan porsinya masing-masing, dimasukkan
ke dalam wadah pengomposan ditambahkan
starter EM4 yang sudah sesuai volumenya
berdasarkan perlakuan sebanyak 1000 ml pada
masing-masing perlakuan kecuali kontrol
hanya menggunakan air sebanyak 1000 mL.
Volume 1000 mL ini memenuhi syarat kadar
air untuk memulai pengomposan yaitu dengan
30-40%.
Selain kadar air, juga dilakukan
pengukuran kandungan hara serta rasio karbon
dan nitrogen (C/N). Berikut adalah hasil
pengukuran kandungan hara, kadar air serta
rasio C/N bahan setelah dicampur.
Tabel 1. Kandungan hara dan kadar air bahan dasar pembuatan kompos
No Bahan dasar N
(%) P (%)
K
(%)
C
(%)
Kadar
air
(%)
C/N
1
Tandan
kosong kelapa
sawit
1,45 0,032 0,111 42,12 6,53 24,48
Pentingnya mengetahui kandungan
unsur hara dan kadar air pada bahan dasar
untuk membuat kompos adalah untuk
mengkondisikan berlangsungnya proses
pengomposan yang baik sesuai dengan
persyaratannya. Berdasarkan kandungan hara
pada bahan dasar pembuatan kompos pada
Tabel 1, menunjukkan bahwa kandungan hara
pada tandan kosong tersebut belum memenuhi
syarat untuk dijadikan pupuk, oleh karena itu
pelu ditambahkan bahan lain serta aktivator
yang dapat menambah kandungan hara dan
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
20
mempercepat dalam pengomposan.
Penambahan air dilakukan dengan
penyemporotan pada masing-masing
perlakuan apabila terlihat kering, sehingga
mikroogranisme dapat memanfaatkan bahan
organik apabila bahan organik tersebut larut di
dalam air.
Faktor penentu berjalannya proses
pengomposan yang dianggap penting yaitu
rasio C/N (Samudro and Hermana, 2007).
Menurut Natural Resources Conservation
Service Conservation Practice Standard
(2003), pengomposan akan berjalan baik jika
rasio C/N berada antara 20 : 1. Jika rasio C/N
terlalu rendah atau di bawah 20, maka
dekomposisi akan berjalan lambat karena
ketersediaan karbon tidak mencukupi untuk
pertumbuhan mikroba, selain itu menurut Kuo
et al (2005), karbon tidak dapat menstabilkan
nitrogen yang jumlahnya lebih banyak
sehingga menghasilkan ammonia dan berbau
busuk.
Karbon dan nitrogen adalah nutrisi
penting yang diperlukan oleh mikroorganisme
pada proses pengomposan. Karbon
menyediakan energi untuk pertumbuhan dan
nitrogen digunakan untuk menyusun protein
dan reproduksi. Umumnya, karbon diperlukan
25 kali lebih besar daripada nitrogen bagi
mikroorganisme (Sherman, 1998). Unsur lain
yang perlu diperhatikan adalah kalium yaitu
untuk metabolisme dan katalisator sel mikroba
(Sutedjo et.al, 1991).
Proses Pengomposan dan Pengontrolan
Untuk menjaga kondisi pengomposan,
dilakukan pengontrolan suhu, pH dan
kelembaban. Pengukuran suhu menggunakan
termometer, sedangkan pH menggunakan
kertas lakmus dan kelembaban dengan
menambahkan air dengan membolak-balik
bahan jika terlihat kering. Pengukuran suhu
dilakukan setiap hari untuk pengontrolan.
Pada awal setelah pencampuran, suhu masing-
masing diukur. Suhu awal hampir sama pada
semua perlakuan yaitu antara 30 – 350C.
Gambar 1. Grafik perubahan suhu pengomposan pada masing-masing perlakuan
0
5
10
15
20
25
30
35
40
EM4 0mL
EM4 10mL
EM4 20mL
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
21
Pada hari ketiga saat pengukuran suhu,
semua perlakuan mengalami penurunan yaitu
antara 30 – 310C. Suhu paling rendah terdapat
pada perlakuan EM4 10 mL dan EM4 20 mL
di hari ketiga yaitu 280C. Sedangkan suhu
maksimum adalah 350C terjadi pada perlakuan
EM4 0mL, EM4 10mL, EM4 20mL masing-
masing hari ke 12, 12, dan 14.
Umumnya suhu optimum terjadinya
pengomposan yaitu 50 – 700C, namun pada
penelitian ini, suhu optimum dicapai pada
kurang dari 500C yaitu suhu paling tinggi
mencapai 350C. Hal ini terjadi karena tandan
kosong kelapa sawait (Elais guineensis)
sewaktu dilakukan penggilingan tidak
dihancurkan secara sempurna, hal ini
disebabkan oleh kondisi tandan kosong yang
terlalu kering sehingga sulit untuk
dihancurkan yang mengakibatkan banyak
menyimpan udara dan suhu cepat turun. Selain
itu, karena tumpukan terlalu rendah yaitu 20
cm, dimana pada tinggi tersebut merupakan
syarat minimal ketinggian tumpukan, namun
masih kurang mampu menyimpan panas
dengan baik. Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rochaeni et al (2003) di mana
suhu maksimum tidak mencaapai 500C.
Menurut Isro’i (2007) suhu antara 30-600C
menunjukkan aktivitas pengomposan yang
cepat karena jika suhu di atas 600C akan
membunuh sebagian mikroorganisme dan
hanya mikroorganisme termofilik yang
bertahan hidup. Ketika suhu puncak ini,
dilakukan pengambilan sampel kompos
masing-masing perlakuan untuk analisa
populasi mikroorganismenya.
Tabel 2. Perubahan suhu pada proses pengomposan
No Perlakuan
Suhu rata-rata
Awal
(oC)
Puncak Akhir/stabil
(oC)
Hari
ke- (oC)
Hari
ke-
1 EM4 0mL 33 35 12 31 17
2 EM4 10mL 33 35 12 32 20
3 EM4 20mL 31 35 14 30 17
Perubahan suhu dan lama pengomposan ditunjukkan pada Tabel 2 dan perubahan pH
pada Tabel 3.
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
22
Tabel 3. Perubahan pH selama proses pengomposan
No Perlakuan
pH
Awal
Suhu
puncak
Suhu
turun
Suhu
stabil
1 EM4 0 mL 7 9 7 7
2 EM4 10 mL 6 8 7 9
3 EM4 20 mL 6 9 7 7
Pada hari ke 17, perlakuan EM4 10mL
suhu mulai stabil sekitar 320C dan sudah
menunjukkan penampakan fisik yang lebih
hancur daripada perlakuan yang lain,
warnanya lebih hitam dan bau menyerupai bau
tanah (Anonimous, 2008). Selain itu, jika
diremas akan menyatu kemudian terurai, serta
jika dimasukkan ke dalam kantong plastik
tidak terjadi pengembunan pada permukaan
dalam kantong yang menandakan tidak terjadi
aktivitas mikroorganisme (Wortmann et al,
2006).
Kandungan Hara dan Kadar Air Kompos
Untuk memastikan kompos benar-
benar matang, maka suhu pada semua
perlakuan dibiarkan stabil sampai hari ke 22.
Kemudian dilakukan analisa unsur hara dan
kadar air. Kandungan unsur hara dan kadar air
kompos matang ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh EM4 dan campuran media
terhadap kandungan unsur hara dan kadar air
kompos tandan kosong kelapa sawait (Elais
guineensis.
Perlakuan
Kandungan Unsur Hara (%) Kadar
Air
(%) N P K C C/N
EM4
0mL 2,89 0,05 0,25 54,08 19,16 66,79
EM4
10mL 2,72 0,06 0,23 51,79 19,02 66,59
EM4
20ML 2,68 0,07 0,29 55,53 20,78 69,48
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
23
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT.
Kualitas kompos biasanya diidentikkan
dengan kandungan unsur hara yang ada di
dalamnya. Kualitas kompos sangat bervariasi,
tergantung bahan baku dan lama proses
pengomposannya. Pada Tabel 4, menunjukkan
kandungan unsur hara dan kadar air pada
kompos tandan kosong kelapa sawait (Elais
guineensis.).
Data unsur hara yang diperoleh dari
pengukuran, dianalisa menggunakan
Kolmogorov-Smirnov test untuk
kenormalannya, homogenitas ragam galat
menggunakan Bartlett’s test. Analisa
dilanjutkan dengan uji keragaman (Analyse of
Varian), serta untuk mengetahui perbedaan
dari masing-masing perlakuan diuji
menggunakan uji beda nyata jarak Duncan
(Hanafiah, 1991).
Nitrogen (N)
Nitrogen adalah unsur hara yang esensial
untuk pembentukan protein dan asam-asam
amino (Natural Resources Conservation
Service, 2007). Pada penelitian ini,
pengukuran nitrogen menggunakan metode
Mikro Kjedahl.
Gambar 2. Grafik kandungan nitrogen dalam kompos
Berdasarkan analisa data pada uji beda
nyata Duncan dengan taraf 5%, kandungan
nitrogen tidak berbeda nyata antara tanpa
EM4 dan penambahan EM4. Hal ini,
menunjukkan bahwa tandan kosong kelapa
sawit memang memiliki kandungan nitrogen
yang tinggi yang ditunjukkan dengan analisa
2.55
2.6
2.65
2.7
2.75
2.8
2.85
2.9
EM4 0mL EM4 10mL EM4 20mL
2.89
2.72
2.68 Kan
du
nga
n H
ara
(%)
Perlakuan
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
24
awal dengan kandungan nitrogen 1,45%.
Selain itu, karena adanya penambahan kotoran
kambing yang juga mengandung nitrogen
untuk nutrisi mikroorganisme.
Berdasarkan SNI 19-7030-2004,
nitrogen yang dalam kompos minimal 0,4%.
Pada semua perlakuan menunjukkan
kandungan nitrogen pada kompos sudah
memenuhi standar kualitas kompos.
Fosfor (P)
Fosfor merupakan salah satu unsur
penting untuk diserap tanaman, serta pada
proses pembentukan komponen sel. Fosfor
dibutuhkan tanaman untuk merangsang
pembentukan dan pertumbuhan akar sehingga
tanaman menjadi kokoh, cepat berbunga dan
berbuah. Fosfor juga diperlukan tanaman
untuk pembentukan protein dan enzim serta
untuk proses metabolisme yang menghasilkan
energi panas (Department of Natural
Resources and Parks, 2005).
Gambar 3. Grafik kandungan fosfor dalam kompos
Fosfor dianalisa menggunakan metode
Spectrofotometer. Pada tandan kosong kelapa
sawit, kandungan fosfor 0,032%. Setelah
terjadi pengomposan semua perlakuan
mengalami kenaikan kandungan fosfor.
Kandungan fosfor paling tinggi terdapat pada
perlakuan dengan EM4 20 mL yang tidak
berbeda nyata dengan penambahan EM4 10
mL dan kontrol. Namun yang paling mendekati
dengan standar kualitas kompos yaitu > 0,1
adalah pada perlakuan EM 20 mL dengan
kadar fosfor 0,07.
Kalium (K)
Kalium termasuk dalam unsur hara
makro dalam penentuan kualitas kompos.
Kalium berfungsi untuk memperkuat batang
tanaman, serta meningkatkan pembentukan
hijau daun dan karbohidrat pada buah. Selain
itu, kalium juga berfungsi meningkatkan
kualitas buah dan ketahanan tanaman terhadap
penyakit, merangsang pembentukan bunga dan
buah, dan mengatur keseimbangan hara N dan
P (Department of Natural Resources and
Parks, 2005).
0
0.02
0.04
0.06
0.08
EM4 0mL EM4 10mL EM4 20mL
0.05 0.06
0.07
Kan
du
nga
n H
ara
(%)
Perlakuan
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
25
Gambar 4. Grafik kandungan kalium dalam kompos
Kalium diukur menggunakan metode
Flamefotometer. Kandungan kalium paling
tinggi terdapat pada perlakuan tanpa EM4 20
mL, tidak berbeda nyata dengan semua
perlakuan, hal ini sama dengan kandungan
nitrogen.
Kandungan kalium dalam kompos
sesuai dengan standar kualitas kompos yang
menetapkan kadar kalium minimal 0,2%.
Kalium sangat reaktif terhadap air dan kalium
juga merupakan mineral yang banyak terdapat
di air. Kadar air yang tinggi menyebabkan
transfor K+ semakin banyak sehingga
kandungan kalium masih termasuk tinggi
dalam penelitian ini (Lenntech, 2008).
Karbon (C)
Karbon merupakan sumber energi dan
komponen utama biomassa. Pentingnya unsur
karbon dalam kompos yaitu untuk mengatur
keseimbangan antara kandungan nitrogen. Hal
ini, karena keseimbangan antara karbon dan
nitrogen menentukan cepat tidaknya proses
pengomposan. Karbon diukur menggunakan
metode Walkey-Black.
Karbon adalah unsur penyusun
senyawa lignin dan selulosa yang merupakan
komponen paling banyak dalam tandan
kosong kelapa sawait. Untuk itu, menurunnya
kandungan lignin dan selulosa dapat diketahui
dengan pendekatan karbon. Karbon dalam
tandan kosong kelapa sawit itu sendiri sangat
tinggi, sehingga kurang berpengaruh dalam
penurunan karbon setelah pengomposan.
0.25 0.23 0.29
0
0.1
0.2
0.3
0.4
EM4 0mL EM4 10mL EM4 20mL
Kan
du
nga
n H
ara
(%)
Pelakuan
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
26
Gambar 5. Grafik kandungan karbon (C) pada kompos matang
Karbon pada penambahan EM4 tidak
berbeda nyata satu sama lain, namun pada
perlakuan EM4 10 mL kandungan karbon
paling rendah. Karbon bukan satu-satunya
indikator dalam menentukan kualitas
kompos, karena unsur hara lain seperti
nitrogen merupakan penyeimbang karbon
karena memang karbon dibutuhkan 25 kali
lebih besar daripada nitrogen.
Gambar 6. Grafik rasio C/N pada kompos matang
Rasio antara karbon dengan
nitrogen menentukan kematangan dan
kualitas kompos (rasio C/N). Rasio C/N
pada tandan kosong kelapa sawit (Elais
guineensis.) termasuk tinggi yaitu 24,48%,
namun setelah terjadi pengomposan rasio
C/N mengalami penurunan pada semua
perlakuan. yaitu kontrol 19,16%, pada EM
10 mL rasio C/N paling rendah 19,02%
dan EM4 20 mL 20,78%, hal ini sudah
49
50
51
52
53
54
55
56
EM4 0mL EM4 10mL EM4 20mL
54.08
51.79
55.53
Kan
du
nga
n H
Ara
(%)
Perlakuan
18
18.5
19
19.5
20
20.5
21
EM4 0mL EM4 10mL EM4 20mL
19.16 19.02
20.78
Kan
du
nga
n H
ara(
%)
Perlakuan
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
27
yang memenuhi standar SNI yaitu di
bawah 25.
Nitrogen untuk pertumbuhan
mencukupi sebagai nutrisi sel mikrobia.
Sejalan dengan penelitian Adegunloye
(2007), bahwa C/N lebih rendah setelah
pengomposan karena nitrogen yang tinggi
mengindikasikan bahwa sumber protein
yang bagus untuk pertumbuhan mikrobia.
Kadar Air
Analisa kadar air dilakukan
menggunakan metode oven. Berdasarkan
uji beda nyata Duncan, kadar air tanpa
EM4 tidak berbeda nyata pada semua
perlakuan. Grafik kadar air dapat dilihat
pada gambar 9 berikut.
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur
28
Gambar 7. Grafik kadar air kompos matang
Kadar air yang mendekati kriteria
SNI 19-7030-2004 terdapat pada perlakuan
EM4 10 mL. Nilai ini belum memenuhi
standar kualitas kompos, karena berdasarkan
SNI 19-7030-2004 maksimum kadar air pada
kompos adalah 50%, hal ini karena
penambahan air yang kurang terkontrol pada
saat terakhir pengomposan. Tingginya kadar
air ini, disebabkan tandan kosong kelapa
sawait (Elais guineensis.) yang mudah sekali
dalam mengikat air karena strukturnya
sebagian besar karbon sehingga mudah
mengikat molekul air.
Berdasarkan data dari unsur hara tersebut,
penambahan EM4 sebanyak 20 mL dapat
meningkatkan kualitas kompos jika dilihat
dari kandungan unsur hara di dalamnya
terutama N, P, K dan rasio C/N 20,78 dengan
suhu tertinggi saat pengomposan 350C dan
suhu mencapai stabil pada hari ke 14
dibandingkan dengan tanpa penambahan
EM4.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar. 2013. Peresmian Pabrik Kelapa
Sawit PT. Hasnur Citra Terpadu.
Banjarmasin Post.
Anonimous. 2008. Pedoman Teknis
Pemanfaatan Limbah Perkebunan
menjadi Pupuk Organik. Direktorat
Perlindungan Perkebunan, Ditjen
Perkebunan. Jakarta.
Djaja, W., 2008. Langkah Jitu Membuat
Kompos dari Kotoran Ternak dan
Sampah. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Higa, T and J. Parr. 1995. Beneficial and
Effective Microorganisms For A
Sustainable Agriculture and
Environment.
Bricke, T.B. 2009. Studi Latar Belakang:
Penggunaan Limbah dan Produk
Sampingan Kelapa Sawit Secara
65
65.5
66
66.5
67
67.5
68
68.5
69
69.5
EM4 0mL EM4 10mL EM4 20mL
66.79 66.59
69.48
Kan
du
nga
n H
ara(
%)
Perlakuan
Volume 1, Nomor 2, Oktober 2013
PolhaSains Jurnal Sains dan Terapan Politeknik Hasnur