PEMILIKAN HARTA DALAM ISLAM Adalah fitrah manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya baik secara lahiriah maupun batiniah. Hal ini mendorong manusia untuk senantiasa berupaya memperoleh segala sesuatu yang menjadi keperluannya. Pemenuhan keperluan lahiriah ialah apabila terpenuhinya keperluan dasar (basic needs) Tapi manusia tidak berhenti sampai disitu, bahkan cenderung terus berkembang keperluan-keperluan lain yang ingin dipenuhi. Segala keperluan itu seolah-olah boleh diselesaikan dengan dikumpulkannya Harta sebanyak-banyaknya. Maka apa sebenarnya hakikat harta dan bagaimana pandangannya dalam Islam? A. PENGERTIAN HARTA Istilah HARTA, atau al-mal dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu berkembang. Kriteria harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : pertama,memiliki unsur nilai ekonomis.Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang. Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf (kebiasaan/ adat) yang berlaku di tengah masyarakat.As-Suyuti berpendapat bahwa istilah Mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan, dan dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau melenyapkannya.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PEMILIKAN HARTA DALAM ISLAM
Adalah fitrah manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya baik secara
lahiriah maupun batiniah. Hal ini mendorong manusia untuk senantiasa berupaya
memperoleh segala sesuatu yang menjadi keperluannya. Pemenuhan keperluan
lahiriah ialah apabila terpenuhinya keperluan dasar (basic needs) Tapi manusia tidak
berhenti sampai disitu, bahkan cenderung terus berkembang keperluan-keperluan
lain yang ingin dipenuhi. Segala keperluan itu seolah-olah boleh diselesaikan
dengan dikumpulkannya Harta sebanyak-banyaknya. Maka apa sebenarnya hakikat
harta dan bagaimana pandangannya dalam Islam?
A. PENGERTIAN HARTA
Istilah HARTA, atau al-mal dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak dibatasi dalam
ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu
berkembang.
Kriteria harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : pertama,memiliki unsur nilai
ekonomis.Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang.
Nilai ekonomis dan manfaat yang menjadi kriteria harta ditentukan berdasarkan urf
(kebiasaan/ adat) yang berlaku di tengah masyarakat.As-Suyuti berpendapat bahwa
istilah Mal hanya untuk barang yang memiliki nilai ekonomis, dapat diperjualbelikan,
dan dikenakan ganti rugi bagi yang merusak atau melenyapkannya.
Dengan demikian tempat bergantungna status al-mal terletak pada nilai ekonomis
(al-qimah) suatu barang berdasarkan urf. Besar kecilnya al-qimah dalam harta
tergantung pada besar ekcilnya anfaat suatu barng. Faktor manfaat menjadi patokan
dalam menetapkan nilai ekonomis suatu barang. Maka manfaat suatu barang
menjadi tujuan dari semua jenis harta.
Pengertian Harta Milik:
Menurut para ulama pengertian harta milik ialah suatu yang dapat dikuasai atau
dimiliki dan dapat dimanfaatkan sesuai syari’ah dalam kondisi normal
Dalam hal konsep harta dalam pandangan syari’at harus memiliki tiga unsur;
1. Dapat dimiliki atau di kuasai. Batasan yang diberikan Islam sangat jelas
tentang kepemilikan dan penguasaan terhadap harta. Islam telah
mengajarkan agar manusia dalam berusaha dan bekerja mencari harta harus
sesuai dengan syari’at atau dengan cara yang halal, karena harta yang
diperoleh dari cara yang haram sesungguhnya harta tersebut adalah bukan
miliknya dan tidak bisa dimilikinya. Islam juga telah mengajarkan agar
manusia itu berusaha atau .
2. Dapat dimanfaatkan. Bahwa harta yang dimiliki itu dapat dimanfaatkan,
terkadang manusia cenderung membeli suatu benda yang itu sedikit pun tidak
bermanfaat dan menjadi mubadzir. Sifat mubadzir ini sangat dibenci oleh
ajaran Islam, artinya harta itu akan terdefinisi (hak kepemilikan) dalam
pandangan Islam apabila harta atau kekayaan tersebut tidak berubah fungsi
menjadi mubadzir.
3. Dalam memanfaatkannya harus sesuai dengan syari’at. Syari’at Islam tidak
saja menetapkan di saat mencari harta harus menghindarkan dari hal yang
melanggar syari’at tetapi dalam hal memanfaatkannya pun harus sesuai
dengan ketentuan syari’at. Berarti syarat harta itu menjadi milik seseorang
adalah apabila digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at, dan
apabila dimanfaatkan untuk kepentingan yang bertentangan syari’at maka
harta tersebut menyebabkan siksa di akhirat.
Disimpulkan kepemilikan terhadap harta dalam pandangan Islam adalah mulai
dari cara mencari harta, jenis harta yang dimiliki (harus dapat dimanfaatkan) dan
pemanfaatannya harus sesuai dengan koridor syari’at Islam dan apabila
bertentangan dengan syarat tersebut sesungguhnya harta itu tidak dapat
didefinisikan sebagai miliknya.
Harta Milik dan Hak Asasi
Usahakan sendiri atau yang diwarisi atau diterima dari orang lain, tidak
menghilangkan kenyataan bahwa bumi ini pada awalnya diberikan kepada seluruh
umat manusia. Bahwa harta benda ditentukan untuk semua manusia, tetap tinggal
prioritas pertama, juga apabila kesejahteraan umum menuntut untuk menghormati
hak atas milik pribadi dan penggunaannya.
Pemilik-pemilik barang-barang pakai dan konsumsi harus mempergunakannya,
dengan tahu batas, dan menyisihkan bagian terbaik untuk para tamu, penderita
sakit, dan kaum miskin.
Pemerintah mempunyai hak dan kewajiban mengatur penggunaan hak milik secara
halal demi kesejahteraan umum.
Harta Milik Orang lain
Pencurian yang bererti mengambil harta milik orang lain dengan melawan kehendak
pemiliknya. Bukanlah pencurian, kalau orang dapat mengandaikan persetujuan
pemilik, atau kalau penolakannya bertentangan dengan akal budi atau dengan
peruntukan barang-barang untuk semua orang. Jadi seorang haruslah bersikap baik
dan sopan dimana pun dia berada, karena seorang muslim harus menjadi contoh
dan suri teladan bagi semua umat.
B. PANDANGAN ISLAM MENGENAI HARTA
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah
ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk
melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya
(QS al_Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
‘Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya
untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana
didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan’’.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut :
1. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang
amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya
dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup
harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-
Alaq: 6-7).
3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
4. harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan
melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan
sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134).
Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) atau mata
pencaharian (Ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)
‘’Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja
keras mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di
jalan Allah’’ (HR Ahmad).
‘’Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain’’(HR Thabrani)
‘’jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan
sempat mencari rezki’’ (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-
Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan
sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok
orang kaya saja (al-Hasyr: 7)
Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-
Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91),
mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-
Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan
melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
C. KEPEMILIKAN HARTA
Di atas telah disinggung bahwa Pemilik Mutlak adalah Allah SWT. Penisbatan
kepemilikan kepada Allah mengandung tujuan sebagai jaminan emosional agar
harta diarahkan untuk kepentingan manusia yang selaras dengan tujuan penciptaan
harta itu sendiri.
Namun demikian, Islam mengakui kepemilikan individu, dengan satu konsep khusus,
yakni konsep khilafah. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi
kekuasaan dalam mengelola dan memanfaatkan segala isi bumi dengan syarat
sesuai dengan segala aturan dari Pencipta harta itu sendiri.
Harta dinyatakan sebagai milik manusia, sebagai hasil usahanya. Al-Qur’an
menggunakan istilah al-milku dan al-kasbu (QS 111:2) untuk menunjukkan
kepemilikan individu ini. Dengan pengakuan hak milik perseorangan ini, Islam juga
menjamin keselamatan harta dan perlindungan harta secara hukum.
Islam juga mengakui kepemilikan bersama (syrkah) dan kepemilikan negara.
Kepemilikan bersama diakui pada bentuk-bentuk kerjasama antar manusia yang
bermanfaat bagi kedua belah pihak dan atas kerelaan bersama. Kepemilikan Negara
diakui pada asset-asset penting (terutama Sumber Daya Alam) yang
pengelolaannya atau pemanfaatannya dapat mempengaruhi kehidupan bangsa
secara keseluruhan.
D. KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
1. Pengertian Kepemilikan dalam Islam
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka"
yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang
terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya
baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan
dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai
kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya
menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun
kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang
dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda
motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk
memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya
dalam menikmati sepeda motornya.
Para fukoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai
ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal
adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan
khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk
memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama
tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang
mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh
syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan
orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang
memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan
mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang
hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu
kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si
empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan
apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang
serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh
saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila
tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka
terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak
dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali,
washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
2. Jenis-jenis Kepemilikan
Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan
memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain.
Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut.
Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki
manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real)
sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah
Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang
sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah
yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka,
sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan
kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam
konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap
melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan
dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan
penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan
ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang
bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang
yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan
sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini
mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik
suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau
nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan
seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan
kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-
dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda
ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan
lain-lain.
3. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan Sempurna.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada
empat macam yaitu:
(1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan,
(2) akad,
(3) penggantian dan
(4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.
Penjelasan (1) Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan.
Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang
(dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan
tidak ada larangan syara' untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di
padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut :
a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap
suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
b) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan
seperti dalam akad.
Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di
bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i
yaitu
(i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk
memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, " Siapa yang lebih
dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka
barang itu miliknya."
(ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk
memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu
kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang
dikandungnya.
Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada
empat macam yaitu : a) kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
b) kepemilikan karena berburu atau memancing
c) rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara
yang tidak ada pemiliknya.
d) kepenguasaan atas barang tambang.
Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha
terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak
kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah
kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut
madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya
atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.
Sumber: Tazkiaonline. Oleh : Ikhwan Abidin Basri, MA
http://www.ekonomisyariah.org/
Fungsi Harta Milik
Tiap-tiap masyarakat mempunyai sistem ekonominya sendiri, yang tergambar di
dalamnya falsafah, aqidah, sistem nilai dan pandangannya terhadap individu dan
masyarakat, terhadap harta dan fungsinya, persepsinya tentang agama dan dunia,
kekayaan dan kemiskinan. Sehingga semua itu mempengaruhi produktivitas,
kekayaan dan berkaitan dengan cara untuk memperoleh, pendistribusian dan
penyimpanannya.
Untuk mengambil suatu pemikiran tentang kaidah-kaidah utama. Di antara sebagai
berikut:
1. Harta dinilai sebagai suatu kebaikan dan kenikmatan jika berada ditangan
orang-orang shalih.
2. Harta adalah milik Allah, sedangkan manusia hanyalah dipinjami dengan
harta itu.
3. Dakwah untuk menumbuhkan etos kerja yang baik adalah merupakan ibadah
dan jihad.
4. Haramnya cara kerja yang kotor.
5. Diakuinya hak milik pribadi dan perlindungan terhadapnya.
6. Dilarang bagi seseorang untuk menguasai benda-benda yang sangat
diperlukan oleh masyarakat.
7. Dilarangnya pemilikan harta yang membahayakan orang lain.
8. Pengembangan harta tidak boleh membahayakan akhlaq dan mengorbankan