Top Banner
i PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU DI KOTA SALATIGA Disusun Oleh; Farkhani, S.HI., S.H., M.H NIP.: 19760524 200604 1 002 LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2018
99

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

Mar 28, 2019

Download

Documents

doankiet
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

i

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK

LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN

PELAKSANA PEMILU

DI KOTA SALATIGA

Disusun Oleh;

Farkhani, S.HI., S.H., M.H

NIP.: 19760524 200604 1 002

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

2018

Page 2: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

ii

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN

MASYARAKAT (LP2M)

Jln. Lingkar Salatiga Km. 2 Pulutan Sidorejo Kota Salatiga Telp.

(0298) 323706

PENGESAHAN

Judul :

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK

LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF PEGIAT DAN

PELAKSANA PEMILU

DI KOTA SALATIGA

Peneliti: Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Tema Penelitian: 1. Pendidikan

2. Hukum

3. Ekonomi

4. Budaya

5. Sosial

Salatiga, 30 September 2018

Kepala LP2M

Dr. AdangKuswaya, M.Ag

Page 3: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

iii

ABSTRAK Secara garis besar, sistem pemilihan (pemilu dan pilkada) terbagi dua; secara langsung dan secara tidak langsung atau perwakilan melalui lembaga legislatif. Indonesia sebagai negara demokrasi dan menjunjung kedaulataan rakyat pun menerapkan sistem pemilihan. Dalam hal pemilihan kepala daerah, Indonesia pernah melaksanakan beberapa sistem, pada awal tahun 2018, muncul keinginan dari para elit politik untuk melaksanakan pilkada dengan sistem pemilihan tidak langsung. Untuk kepentingan ini, mengetahui pandangan dan argumentasi pegiat dan pelaksana pemilu daerah (Kota Salatiga) penting untuk diketahui untuk mengukur sebarapa kebernerimaan pada sistem pemilihan yang akan dilakukan.

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengambilan data melalui wawancara mendalam (indept interview) dan observasi lapangan. Obyek yang diteliti adalah para pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga.

Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa

munculnya wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari sistem langsung kepada sistem perwakilan (pemilihan melalui DPRD) adalah; a. dalam pemilihan langsung “energi” yang dikeluarkan dalam perhelatan pesta demokrasi itu tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh, b. ada “luka” yang tidak cepat sembuh dari hasil kontestasi yang melibatkan partisipasi langsung warga negara,

Page 4: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

iv

c. anggaran negara yang sangat terkuras untuk pembiayaan pemilihan kepala daerah langsung di seluruh Indonesia serta pertimbangan untung rugi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan tidak langsung.

Pandangan seluruh pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga seluruhnya tidak sepakat pada wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah lewat perwakilan DPRD. Argumentasi ketidaksetujuan mereka lebih dikarenakan; a. keterbatasan atau ketidaktahuan mereka tentang makna demokrasi dan kedaulatan rakyat yang hanya terbatas pada pengertian leterlijke dengan tidak mengimbangi pada perkembangan makna serta praktiknya di negara-negara modern. b. membatasi pemahaman partisipasi warga negara hanya pada keterlibatan mereka pada pesta demokrasi secara langsung, dalam artian memberikan suara langsung pada kontestan calon kepala daerah yang dipilihnya. c. kekhawatiran yang berlebihan terhadap akibat dari sistem pemilihan perwakilan, seperti politik transaksional antara kontestan dan anggota legislatif, perilaku koruptif yang akan tumbuh subur dan bagi-bagi proyek pembangunan daerah.

Page 5: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman

Penelitian ini mengangkat tema tentang pandangan pegiat dan pelaksana pemilu di Kotas Salatiga terhadap pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Oleh karenanya memahami makna demokrasi dan kedaulatan rakyat dari awal muunculnya ide dan teori itu serta aplikasinya dalam sistem ketatanegaraan harus utuh. Utuh dalam artian tidak sebatas pada makna etimologi kebahasaan tetapi juga pada perkembangan pemaknaanya serta aplikasinya dalam sistem dan bentuk negara modern. Keengganan untuk memahaminya secara baik dan “pemaksaan” paham bahwa demokrasi itu harus sesuai dengan apa yang telah dilaksanakan pada zaman lama dan telah berlalu akan mempersempit cara pandangan dan menutup kontektualitas atas aplikasi ide dan teori pada zaman yang telah berubah.

Pegiat dan pelaksana pemilu wajib memiliki pengetahuan yang holistik terhadap ide dan teori demokrasi dan kedaulatan rakyat, sehingga ia akan dapat memahami dinamika dan variasi penerapannya di berbagai sistem ketatanegaraan yang ada, termasuk di Indonesia.

Akhirnya, peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang membantu terselesaikannya penelitian ini, terutama kepada mahasiswa sebagai asisten peneliti yang bertugas menggali data di lapangan (Alvika,

Page 6: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

vi

Heru dan kawan-kawan) dan semoga penelitian ini bermanfaat.

Peneliti

Farkhani, S.HI., S.H., M.H

Page 7: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

vii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ….……………………………………. i PENGESAHAN PENELITIAN ...……………………….. ii ABSTRAK …………………………………………………. iii KATA PENGANTAR ……………………………………… iv DAFTAR ISI .……………………………………………… v BAB I PENDAHULUAN ………………………………….... 1

A. Latar Belakang Masalah ……………………………. 1 B. Rumusan Masalah …………………………………… 8 C. Tujuan Penelitian…………………………………….... 8 D. Signifikansi Penelitian……………………………….... 9 E. Kerangka Teoritik ......................................................... 11 F. Tinjauan Pustaka ………………………………….... 13 G. Metodologi Penelitian …… .……………………. 15

1. Jenis Penelitian ….………………………….. 15 2. Metode Pengumpulan Data ........................... 16 3. Teknik Analisis ......….……………………….. 16

H. Sistematika Pembahasan………………...……………….. 16

BAB II PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA.................... 18

A. Negara dan Demokrasi …………………………... 18 B. Pemilihan Umum di Indonesia ..........… …………. 29

1. Pemilihan Umum ...................................................... 31 2. Pemilukada ................................................................. 32

C. Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia ....................... 34 1. Sejarah pemilihan kepala daerah ............................. 35 2. Sistem pemilihan kepala daerah ........................... 41

Page 8: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

viii

BAB III PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU DI KOTA SALATIGA DAN PANDANGANNYA TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG…………….. . 45

A. Pegiat dan Pelaksana Pemilu di Kota Salatiga ....... 45 1. JPPR Kota Salatiga .............................................. 47

2. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Salatiga ................................................................ 48

3. Badan Pengawas Pemilu Daerah (bawaslu) Kota Salatiga ................................................................. 53

B. Pandangan Pegiat dan Pelaksana Pemilu Kota Salatiga terhadap Pemilihan Kepala Daerah Secara Tidak Langsung ...................................................................... 59

BAB IV ANALISIS PANDANGAN PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU KOTA SALATIGA TERHADAP PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG .......................... 67

A. Praktik Demokrasi di Indonesia dan Teori Kedaulatan Rakyat.................................................................................... 67 1. Praktik demokrasi di Indonesia ................................ 67 2. Teori kedaulatan rakyat ............................................. 69

B. Analisi Pandangan Pegiat dan Pelaksana Pemilu di Kota Salatiga Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Tidak Langsung ............................................................................ 72 1. Pemilihan kepala daerah langsung dianggap sebagai

manifestasi makna demokrasi dan kedaulatan rakyat .......................................................................................... 73

2. Kekhawatiran terhadap pemilihan perwakilan ..... 82 3. Traumatik pemilihan perwakilan semu ................... 84

BAB V PENUTUP………………………………………… 85 A. Kesimpulan .................................................................. 85 B. Saran .............................................................................. 86

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………… 87

Page 9: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara adi kodrati, manusia disamping sebagai makhluk individu juga mahluk sosial. Manusia sebagai mahluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur jiwa dan raga. Unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut lagi sebagai individu yang hidup. Sebagai makhluk individu memiliki kebebasan yang tidak terbatas pada untuk mengekspresikan kehendak pribadinya dan segala apa yang melakat secara inhern dalam lahiriyah dan batiniyahnya. Sebagai makhluk sosial seseorang individu harus hidup berdampingan dengan orang lain, bahkan makhluk hidup lainnya (Ni Wayan Suarmini, Ni Gusti Made Rai, Marsudi, 2016).

Sebab sebagai makhluk sosial, yang menjadikan individu manusia menjadi bagian dari sebuah sistem sosial. Setiap individu manusia harus menata dirinya, melepaskan atau mengambil, membuang atau menerima dan lain sebagainya dalam tingkah tutur dan tingkah laku dalam komunitas manusia dimana ia menjadi bagiannya.

Dalam kehidupan bermasyarakat inilah individualisme yang menjadi bagian dari hak sebagai makhluk indvidu menjadi terbatasi secara alamiah maupun mengikuti konstruk sosial yang dibangun. Kebebasan individu yang diumbar sedemikian bebasnya akan merusak tatanan sosial yang dibangun dan menjadikan manusia liar seperti hewan yang tidak memiliki tata aturan atau kaidah luhur dalam kehidupan bersama. Aturan dalam dunia

Page 10: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

x

hewan hanya bagaimana tetap survive dan berkembang dengan cara mempergunakan kekuatan yang ada pada dirinya. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa atas segalanya.

Manusia bukanlah hewan, manusia adalah makhluk termulia yang diciptakan Tuhan untuk memakmurkan bumi (QS. al-Tin: 5 dan al- Baqarah: 30). Bekal akal yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa, digunakan untuk memikirkan bagaimana menyeimbangkan antara manusia sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.

Agar terjadi keharmonisan dalam melakukan interaksi antar manusia sebagai makhluk sosial, tingkah laku manusia perlu diatur sedemikian rupa dalam kehidupan sosialnya. Hukum adalah pranata terbaik itu kepentingan itu. Karena hukum adalah aturan-aturan kongkret yang membatasi pola-tingkah individu dalam masyarakat. Awal keberadaan hukum memang tidak dapat diprediksi, namun jika ungkapan klasik ubi societes ibi ius, hukum itu ada sejak masyarakat ada (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41). Dalam al-Qur’an pun menyebutkan bahwa hukum itu untuk manusia ketika manusia (Adam) berdampingan dengan manusia lainnya (Hawa) (QS. al-Baqarah: 35).

Sebagai satu konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial -Plato: zoon politicon, Ibnu Khaldun: al-insanu bi al-thabi’i- keberadaan seorang pemimpin dalam barisan entitas sosial manusia adalah sebuah keniscayaan. Bahkan menjadi persoalan yang paling esensial dan krusial dalam kehidupan mereka. Persoalan ini sesungguhnya telah menjadi bagian dari hukum alam (sunnatullah) pada setiap makhluk hidup ciptaan Tuhan. Perhatikanlah dunia binatang, setiap kali ada sebuah koloni binatang tertentu, niscaya di tengah-tengah mereka ada satu yang menjadi

Page 11: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xi

pemimpinnya. Pempimpin dari mereka biasanya yang paling besar atau paling kuat, paling cantik, paling produktif atau karena sebab-sebab lain yang sesuai dengan/dalam kebiasaan koloni binatang tersebut.

Apalagi manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna dalam penciptaannya, dari awal penciptaannya sudah dilengkapi berbagai perangkat hidup pada dirinya guna menjalankan misinya sebagai pemakmur bumi. Menjadi pemakmur bumi yang begitu luas tidak dapat dilakukan sendiri, butuh kawan, ada menejerial dan yang lebih penting dari itu adalah perlu adanya pemimpin, yang bekerja, mengorganisir dan memenej individu dan masyarakat untuk bekerja, berbuat dalam rangka memakmurkan bumi.

Lain dari pada itu, pada saat kita memperbincangkan sejarah peradaban manusia, bercerita tentang kemajuan budaya, teknologi, ilmu pengetahuan, kekuasaan dan kejayaan sebuah kaum, dinasti, kerajaan, bangsa dan negara atau kegemilangan ekspedisi dan invasi ataupun kolonialisasi, tidak akan pernah lengkap kisah sejarah itu tanpa menyertakan nama-nama pemimpinya. Bila berbicara berkenaan dengan pemimpin maka akan berbicara pula dengan kepemimpinan, cara pemilihannya bahkan sampai berakhir kekuasaannya dan terpilih pemimpin yang baru.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan lahir sebagai suatu konsekuensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang lahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial (Plato: zoon politicon) yang sangat tinggi dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut, manusia kemudian menyusun organisasi dari yang terkecil sampai yang terbesar sebagai media pemenuhan kebutuhan serta

Page 12: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xii

menjaga berbagai kepentingannya. Bermula dari hanya sebuah kelompok, berkembang hingga menjadi suatu bangsa. (Farkhani: 2016).

Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state), semenjak kelahirannya mamandang penting keberadaan pemimpin negara. Oleh karena setelah Proklamasi Kemerdekaan Negara Indonesia, pada hari berikutnya saat sidang BPUPKI, selain berisi pengesahan konstitusi negara (UUD 1945) juga ikut ditunjuk Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden atas usulan Otto Iskandardinata.

Indonesia sebagai negara hukum dan negara demokrasi berasaskan Pancasila dan UUD 1945, mengatur sedemikian rupa sistem dan teknis pemilihan pemimpin negara dan pemimpin daerah. Pada masa-masa awal terbentuknya negara digunakan mekanisme penunjukan sebagai upaya untuk menghindari kondisi facum of power dan untuk memperteguh Indonesia sebagai sebuah negara juga agar roda pemerintahan berjalan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Pada fase berikutnya, pemilihan pemimpin negara dan daerah dilakukan dengan cara perwakilan dalam sidang-sidang parlemen, pada masa reformasi pemilihan kepala negara (presiden dan wakil presiden) dilakukan dengan cara langsung atas amanat Amandemen UUD 1945 dan terealisasi dalam pemilu tahun 2004 (Farkhani, 2011: 31). Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah baru dapat direalisasikan pada bulan Juni 2005.

Sejak bulan Juni 2005 itulah, Indonesia memasuki babak baru berkaitan dengan penyelenggaraan tata pemerintahan ditingkat lokal. Kepala daerah baik bupati/walikota maupun gubernur yang sebelumnya dipilih secara tidak langsung oleh DPRD, mulai Juni 2005

Page 13: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xiii

dipilih langsung oleh rakyat, melalui proses pemilihan kepala daerah yang sering disingkat dengan pilkada langsung. Untuk kepentingan ini, pemerintah telah mensahkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 (Muhammad Asfar: 2005).

Dalam negara demokrasi, sistem pemilihan kepala negara, kepala pemerintahan, senator (wakil rakyat), lembaga atau institusi pemerintahan yang merepresentasikan rakyatnya hanya dikenal dengan dua sistem; pertama sistem pemilihan lewat perwakilan dan kedua, sistem pemilihan langsung.

Tujuan yang hendak dicapai dari dua sistem atau model tersebut adalah pemimpin atau wakil-wakil yang terpilih benar-benar mencerminkan representasi rakyat (pemilih) dan mendapatkan legitimasi yang kuat dari pemilih serta dapat mengatasnamakan rakyat dan mempertanggungjawabkannya pada rakyat. Legitimasi tersebut mencakup legitimasi secara yuridis, artinya keterpilihan wakil-wakil rakyat (eksekutif maupun legislatif) betul-betul berlandaskan pada prosedur dan proses pemilihan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, legitimasi sosiologis, artinya wakil-wakil rakyat itu terpilih dengan prosedur dan tata cara yang memelihara dan mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi dan norma-norma sosial sebagai perwujudan mekanisme partisipasai, kontrol, pendukungan dan penagihan janji rakyat terhadap wakil-wakilnya. Juga legitimasi etis yang mempersoalkan keabsahan wewenang kekuasaan politik dari segi norma-norma moral (Joko J. Prihatmoko, 2005: 101).

Page 14: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xiv

Model pemilukada yang baru ini, menjadi suhu politik di daerah bergairah, dinamis dalam dimensi positif dan negatif perpolitikan di daerah di seluruh wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak hanya suhu politik yang bergairah, sektor ekonomi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada juga ikut terkerek naik, warna dan corak politik pun bermunculan, baik sektarian maupun idelogis sampai pada politik transaksional.

Setelah lebih dari satu dasawarsa penyelenggaraan pilkada langsung dengan ragam gegap gempita, keterlibatan langsung masyarakat pemilih dan para penggembiranya, budaya politik lokal yang bergairah dan berubah, hasil yang diperoleh dari produk pilkada langsung berupa pemimpin daerah yang beragam kapasitas, kapabilitas, dan integritasnya serta hasil pengelolaan otonomi daerah oleh pemimpin kepala daerah hasil pilkada langsung, kini tiba-tiba muncul wacana, diskursus tentang pembelokan kembali pada sistem pemilukada tidak langsung yang telah terkubur 14 tahun yang lalu.

Sistem pemilukada tidak langsung yang diangkat lagi walau baru sebatas wacana ini bukan tanpa sebab. Pengalaman 14 tahun penyelenggaraan pemilukada langsung dengan hasil yang diperolah dari perhelatan tersebut di pandang tidak equivalen dengan “energi’ yang dikeluarkan oleh para penyelenggara negara, partai politik dan masyarakat pemilih. Ongkos, ekonomi, ongkos politik, dan ongkos sosial (budaya) nya terlalu tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dari pagelaran pilkada langsung.

Bila kita memperhatikan diskurus para elit melalui ragam media, dapat disimpulkan beberapa alasan untuk

Page 15: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xv

menggeser sistem pemilihan kepala daerah langsung kepada sistem lama yang pernah dilakukan pada masa Orde Baru dan awal masa Orde Reformasi, sebagai berikut; pertama, dari sisi penyelenggaraan negara; negara menciptan lembaga-lembaga baru yang berkaiatan dengan penyelenggaraan pemilu dari hulu sampai hilir, seperti KPU Daerah, Bawaslu Daerah, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sampai pada Pantarlih dan lain-lain. Keberadaan lembaga-lembaga baru ini jelas membutuhkan energi baik sumber daya manusianya sampai pada sumber daya keuangan yang jelas memberi beban cukup signifikan bagi APBN. Kedua bagi partai politik, pilkada langsung menguras banyak “energi”; pencarian kader yang mumpuni dan memiliki eletablitas tinggi yang tidak mudah, merancang koalisi, merancang kampanye dan lain sebagainya yang membutuhkan banyak waktu, biaya, pikiran, tenaga dan sumber daya lainnya. Ketiga, bagi masyarakat pemilih ikut terkuras “energinya”; terbuang waktu, terganggung oleh hingar bingar kampanye, perbedaan pilihan dalam satu keluarga atau komunitas, terkuras emosi dan bahkan dimanfaatkan oleh partai politik atau kontestan untuk bersitegang dengan lembaga negara penyelenggara pemilu bahkan dengan kawan sedaerah dan lain-lain.

Wacana perubahan sistem pemilihan pemilu dari langsung menjadi tidak langsung, pasti akan berimbas kepada keberadaan para pegiat pemilu, terutama yang berada di daerah-daerah, seperti KPU Daerah, Bawaslu Daerah dan lembaga swadaya masyarakat pengawas dan pemantau pemilu daerah yang independen.

Penelitian ini dibuat untuk menggali bagaimana reaksi para pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga, terutama bagi mereka yang “bergiat” di lembaga-lembaga negara maupun lembaga swadaya masyarakat, terhadap wacana

Page 16: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xvi

pengembalian sistem pemilu kada dari secara langsung menjadi tidak langsung.

B. Rumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang masalah yang disampaikan tersebut di atas, muncul beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan rumusan masalah untuk kepentingan penelitian ini, yaitu;

1. Apakah yang mendorong wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari sistem secara langsung menjadi kembali pada sistem pemilihan secara tidak langsung?

2. Bagaimanakah pandangan para pegiat dan pelaksana pemilukada di Kota Salatiga terhadap wacana perubahan sistem pemilukada dari pemilihan secara langsung mengjadi secara tidak langsung?

C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah;

1. Untuk mengetahui indikasi atau argumentasi apakah yang mendorong wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari sistem secara langsung menjadi kembali pada sistem pemilihan secara tidak langsung?

2. Untuk mengetahui bagaimanakah tanggapan atau reaksi dari para pegiat pemilukada di Kota Salatiga terhadap wacana perubahan sistem pemilukada dari pemilihan secara langsung mengjadi secara tidak langsung?

Page 17: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xvii

D. Signifikansi Signifikansi dari penelitian ini adalah:

1. Teoritik Secara teoritik penelitian ini mengetahui

tentang segala hal yang berkaitan dengan pemilihan umum secara umum dan secara khusus tentang pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pengetahuan tentang hal ini dapat bermula dari pengetahuan tentang negara hukum dan demokrasi model Indonesia, pemilihan umum yang menjadi sebuah keharusan dalam negara demokrasi, pemilihan sistem yang digunakan dalam pemilihan serta perubahan bolak-balik yang mungkin terjadi dalam pemilihan sebuah sistem dalam penyelenggaran pemilihan kepala daerah khususnya.

Dalam penelitian ini juga kita bisa mengetahui bagaimana sesungguhnya kedudukan sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung berhadapan secara biner dengan makna demokrasi, terutama dalam tataran etimologis, serta melihat sejarah dan pemilihan kepala daerah yang pernah berlaku di Indonesia.

Dalam penelitian ini pula, kita bisa melihat ragam argumentasi ilmiah dan/atau unsur-unsur pendorong apa saja yang membuat satu sistem pemilihan dapat berganti-ganti dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia.

2. Praktis: a. Bagi IAIN Salatiga Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan oleh IAIN Salatiga sebagai bukti bahwa para akademisinya tidak henti melakukan salah satu

Page 18: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xviii

tanggung jawab tri darma perguruan tinggi, yakni di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelian ini diharapkan akan menjadi pemicu untuk lahirnya karya-karya baru yang sejenis atau bahkan muncul variasi lain yang akan memperkaya khazanah keilmuan di IAIN Salatiga, memunculkan sifat kritis dalam bentuk falsifikasi, negasi atau bentuk penguatan dari penelitian ini.

Hasil dari penelitian ini bisa juga dijadikan bukti tertulis dan dipublish dalam jurnal hukum yang terakreditasi, sehingga menjadi bukti bahwa di IAIN Salatiga ada dosen yang cukup konsen dan kompeten dalam bidang hukum. Show of force kompetensi keilmuan dari para dosen ini diharapkan dapat dijadikan entry point sebagai pendulang banyaknya masyarakat Salatiga dan sekitarnya atau bahkan seluruh Indonesia tertarik untuk kuliah di IAIN Salatiga.

b. Bagi Masyarakat Masyarakat akan mengetahui, mengerti sistem pemilihan kepala daerah yang menjadi bagian dari kehidupan sosial-politiknya guna mendapatkan pemimpin daerah yang dapat diharapaka kinerja dan kerjanya untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Dari sini juga masyarakat diharap dapat membandingkan apakah perubahan sistem yang nantinya bisa dilaksanakan akan mendapatkan hasil yang sama dengan sistem sebelumnya atau tidak, sehingga ke depan masyarakat dapat memberikan sumbangan dalam bentuk partisipasi pemikiran disertai dengan fakta yang dirasakan di daerah atas

Page 19: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xix

pilihan sistem pemilihan kepala daerah yang berubah-ubah.

E. Kerangka Teoritik Sejak keberhasilan Pemilu tahun 2004 yang berjalan

lancar dan dan damai serta tingkat partisipasinya yang sangat tinggi, dunia internasional menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Puja-puji datang dari seluruh penjuru dunia dan ada keingin belajar demokrasi dengan Indonesia dengan penduduk yang sangat besar dan sangat heterogen dari segi bahasa, adat-istiadat, dan agamanya.

Adanya penyelenggaan pemilu seperti itu sebenarnya sebuah konsekuensi dari deklarasi Indonesia sebagai negara demokrasi dan sekaligus perintah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Para founding fathers negara banyak yang tahu bahwa konsep demokrasi ini selalu diperdebatkan dan perdebatannya tak kunjung berhenti. Walaupun demikian mereka memilih konsep ini sebagai upaya untuk menjadi negara yang baik dan mencapai cita dan tujuan negara. Contoh konsep demokrasi selalu diperdebatkan baik dalam konsep maupun praktik adalah sebagaimana yang pernah dikatakan oleh W.B. Gallie;

“demokrasi merupakan suatu konsep yang pada prinsipnya masih diperdebatkan. Ia memandang bahwa ada perselisihan pandangan menyangkut konsep-konsep semacam itu.....yang benar-benar asli...konsep-konsep yang pemanfaatannya yang mau tak mau mengundang perselisihan tak henti-hentinya di pihak penggunanya. .....Pengakuan bahwa suatu konsep pada dasarnya masih diperdebatkan menyiratkan pula

Page 20: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xx

pengakuan tentang pemanfaatan yang berbeda-beda... (John L. Esposito dan John O. Voll, 1999: 14-15).

Begitu pula dalam memberikan kriteria negara demokrasi, tidak ada yang tunggal dan sama, masing-masing ahli berbeda. Amien Rais memberikan 10 kriteria negara demokratis; (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) persamaan di depan hukum, (3) distribusi pendapat secara adil, (4) kesempatan pendidikan yang sama, (5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik, (8) kebebasan individu, (9) semangat kerja sama dan (10) hak untuk protes (Mahfud MD, 1999: 183-185). Kriteria negara demokrasi yang paling singkat disampaikan oleh John Waterbury, yaitu negara yang menjamin kesetaraan dalam bernegoisasi (a bargained aquilibrium) (Ghassan Salame [Ed.], 1996).

Dari semua sarjana yang memperbincangkan negara demokrasi, semua tak ada yang menolak mempersyaratkan adanya pemilihan umum yang digelar untuk mendapatkan pemimpin negara.

Indonesia dalam perjalanan evolusi demokratisasi, dari mulai edisi demokrasi liberal (1945-1949) sampai Orde Reformasi (Farkhani, 2011) penyelenggaraan pemilu diakui dan dilaksanakan, pelaksanaan pemilu pertama kali pada tahun 1955.

Terhadap penyelenggaraan pemilu daerah ada problem interpretasi terhadap klausul “dipilih secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Perdebatan

Page 21: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxi

dilasnakan dengan sistem pemilihan secara langsung dan secara tidak langsung akhirnya diakhiri dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 24 ayat (5) disebutkan; “kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Akhirnya pilkada pada tahun 2005 dimulai dengan sistem langsung, setelah pada zaman Orde Baru sampai pada awal Orde Reformasi dilaksanakan dengan sistem perwakilan (tidak langsung), di pilih dalam rapat paripurna DPRD.

Kini wacana untuk kembali pada sistem perwakilan (pemilihan tidak langsung) sedang digulirkan dengan ragam argumentasi yang diberikan. Sebab negara Indonesia adalah negara hukum, maka problem hukum seharusnya diselesaikan terlebih dahulu jika secara hukum ada hambatan-hambatan. Misalanya merubah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 khusus pada pasal yang berbicara tentang pemilihan kepala daerah. F. Tinjauan Pustaka

Berkenaan dengan sistem pemilu secara umum ataupun yang berbicara tentang pemilihan kepala daerah cukup banyak dilakukan, diantaranya;

1. Disertasi Siti Hasanah (2018) dengan judul Sistem Pemilu dan Kualitas Produk Legislasi di Indonesia. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa produk ligislasi DPR yang kaitannya dengan penyelenggaraan (sistem) pemilu telah banyak dilakukan sejak rezim Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi yang isinya tentang pengaturan sistem pemilu yang berubah-ubah dari satu sistem ke

Page 22: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxii

sistem yang lain dari satu model ke model lainnya, dan produk legislasi tentang pemilu dari satu rezim bisa mencapai lebih dari 500 produk. Disertasi ini juga memberikan tawaran sistem baru yang disebut Four Sieve Election System (Sistem Pemilu Empat Saringan). Yaitu tawaran sistem pemilu efektif yang terbangun sebagai upaya pemetaan kelemahan sistem pemilu proporsional tertutup dan proporsional terbuka, yang keduanya dapat dikatakan belum sebagai sistem yang baik. Sebab sistem pemilu yang baik adalah sistem pemilu yang terselenggara secara demokratis dan menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas. Four Sieve Election System (Sistem Pemilu Empat Saringan) adalah integrasi dari sistem distrik, sistem proporsional, dan sistem transverable vote, kemudian dipadu-padankan untuk menutupi kelemahan-kelemahan yang ada pada masing-masing sistem.

2. Tesis Farkhani (1999) dengan judul Model Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) (Studi tentang Legal Formal Pilkada Gabungan). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pilkada langsung menemukan praktek dan wacana yang menguat untuk melaksanakan pilkada gabungan dengan cukup berlandasankan aturan hukum pasal 235 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Prakteknya beberapa pilkada gabungan menuai sukses dan ada efesiensi penggunaan anggaran yang cukup signifikan dan mengurangi volumi pemilihan di wilayah Indonesia.

Page 23: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxiii

Penilitian yang dilakukan peneliti ini berbeda dengan penelitian-penelitian dimuka, titik tekannya lebih khusus pada pandangan atau pendapat dari para pegiat pemilu di Kota Salatiga atas kembali menguatnya wacana pengembalian sistem pemilukada pada sistem perwakilan, dipilih oleh para anggota ligislator di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

G. Metodologi

1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kategori

penelitian lapangan (field research), atau penelitian hukum non-doktrinal. Dalam penelitian non doktrinal ini ada dua kemungkinan yang diambil, masuk dalam genre sociolgy of law (sosiologi hukum), basic keilmuannya ilmu sosiologi dan hukum menjadi kajiannya atau sociological jurisprudence (sosiologi jurisprudensi), basic keilmuannya hukum dan obyek yang dikaji adalah masyarakat.

Penelitian non doktrinal yang sedang dilakukan ini termasuk dalam sociological jurisprudence, sebab yang dikaji adalah wacana yang kontennya berkaitan erat dengan norma, dalam hal ini tata aturan dalam peraturan perundang-undangan yang selama ini dijadikan pijakan dalam penyelenggaraan pemilukada dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa pasca reformasi dan melihat bagaimana kebernerimaan, respon atau umpan balik masyarakat terhadap problem yang sedang dihadapi soal wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi secara tidak langsung (sistem perwakilan).

Page 24: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxiv

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara, yaitu dengan jalan menjalin komunikasi melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden). Komunikasi ini dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan ragam media yang mungkin dapat digunakan untuk terkumpulnya data yang diinginkan (Rianto Adi, 2005: 72).

3. Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif dengan model deskriptif-analitis, yaitu data yang diperoleh akan diuraikan dalam penelitian ini dengan memberikan gambaran tentang sistem pemilukada yang berlaku dengan landasan hukum yang menyertainya dan wacana yang sedang tren diperbincangkan kemudian mempertemukannya dengan ragam reaksi, tanggapan atau umpan balik dari para pegiat pemilu di Kota Salatiga (model induktif).

H. Sistematika Pembahasan

Laporan penelitian yang akan disampaikan adalah menurut sistematika sebagai berikut:

Bab pertama tentang pendahuluan, pada bab ini dipaparkan secara argumentatif latar belakang masalah

Page 25: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxv

yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang hal ini. Selanjutnya rumusan masalah yang ada yang menjadi obyek eksplorasi yang urgen untuk dijawab dalam pembahasan penelitian selanjutnya yang harus dijawab, tujuan dan manfaat dari penelitian, kajian pustaka, kerangka penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab dua, pada bab ini akan di bahas mengenai pemilihan umum dalam negara demokrasi Indonesia, sistem pemilukada yang berlaku di Indonesia.

Bab tiga, pada bab ini akan dibahas tentang para pegiat pemilu yang ada di Kota Salatiga seperti para komisoner KPU Daerah, Bawaslu Daerah.

Bab empat, berisi tentang hasil penelitian, pengkajian dan analisis terhadap cara pandang (persepektif) para pegiat pemilu di Kota Salatiga terhadap wacana pemilukada secara langsung, apa akibatnya dan landasan yuridis apa yang mungkin dapat dijadikan pijakan untuk perubahan tersebut.

Bab lima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran penulis berdasar ada hasil penelitian.

Page 26: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxvi

BAB II

PEMILIHAN UMUM DAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH

DI INDONESIA A. Negara dan Demokrasi

Para ahli memberikan gambaran lembaga negara dengan berbagai macam tamsil. Pertama; Plato, sebagai ahli yang diyakini pertama kali memperkenalkan konsep negara dalam kehidupan komunal manusia, menjelakan bahwa organisasi negara tidak berbeda jauh dalam tujuan filosofisnya dengan manusia (naturlijke person), yaitu mengedepankan dan menjunjung tinggi moralitas. Karena moral menjadi sesuatu yang paling hakiki dalam negara, maka menurut Plato, para penguasa negara dan rakyatnya pun harus berada pada posisi menunjung nilai moral dalam bernegara. Nilai moral yang paling dikedapankan Plato adalah kebajikan. Kebajikan akan diperoleh bila para penguasa negaranya mengerti betul tentang nilai-nilai kebajikan. Pengertian tersebut hanya akan diperoleh apabila penguasa itu memiliki ilmu yang luas. Untuk menjembatani ketersedian calon penguasa yang berwawasan luas adalah tersedia lembaga pendidikan yang memadai (Farkhani, 2017: 21-22).

Berkenaan dengan konsep tegas Plato tentang negara, baginya negara ideal adalah komunitas etikal untuk mencapai kebajikan dan kebaikan. Plato pernah mengatakan, “negara ideal hakekatnya adalah suatu keluarga, di dalam negara kamu semua bersaudara, siapapun yang dijumpai seseorang ia akan mengira ia sedang berjumpa dengan saudara lelaki atau saudara

Page 27: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxvii

wanita, atau ayah atau ibu, atau seorang putra atau putri...., karena itu negara tidak terlalu kecil dan tidak terlalu luas.” (J.H. Rapar, 2001: 54-55). Artinya pergaualan dalam menjalankan negara harus dijalan dengan kesadaran etik (moralitas) yang tinggi, baik pemimpin maupun warga negaranya. Dalam keluarga tangung jawab pemimpin keluarga dijalankan dengan kesadaran etik bahwa ia harus dapat menjamin dan memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga dengan keadilan sesuai porsinya, yang dipimpin menghormati dan saling menjaga keadaran etik pula agar kondisi keluarga dalam tenteram dan damai serta bahagia bersama.

Kiranya pandangan Plato tentang negara etik ini, dipengaruhi oleh ajaran luhur gurunya, Socrates. Buktinya adalah cuplikan pembelaan Socrates pada saat ia disidang oleh 500 Juri di Pengadilan Athena yang ditulis sangat baik oleh Plato dalam bukunya yang berjudul Apologia;

“Aku harus mengulang kata-kataku ini kepada siapapun yang kutemui, baik tua ataupun muda, warga di sini atau orang asing, tapi terutama kepada para warga karena merekalah saudara-saudara terdekatku. Bahwa ini adalah perintah Tuhan, dan aku yakin tak ada kebaikan yang lebih baik pada negeri ini selain pengabdianku kepada Tuhan. Yang kulakukan hanyalah mengajak kalian semua, para pemuda dan orang tua, untuk tak hanya memikirkan orang-orangmu atau harta milikmu, namun yang pertama dan paling utama: perhatikanlah nasib jiwamu! Kukatakan kepadamu bahwa kebajikan bukanlah dengan menerima uang dan harta, tapi bahwa dari

Page 28: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxviii

kebajikan itulah — harta dan segala hal yang baik dari diri manusia akan muncul, baik di sisi publik maupun individu. Inilah yang aku ajarkan” (www.islampos.com, diunduh pada tanggal 3 Juni 2014).

Setelah selesai seluruh proses peradilan terhadap Socrates, ia dihukum mati dengan tuduhan meracuni pemikiran kaum muda Yunani. Bila memperhatikan cuplikan pembelaan Socrates tersebut, maka kesadaran etik yang dimaksud Plato adalah berdasar ajaran-ajaran ke-Tuhan-an atau moralitas transendental yang dielaborasi sedemikian rupa kemudian diejawantahkan dalam segala sendi kehidupan bernegara. Jadi bagi Plato, moralitas transendental harus melingkupi setiap relung kehidupan bernegara, baik negara itu kecil ataupun besar.

Tamsil negara menurut Aristoteles mempertegas atau memperjelas cara berfikir Plato yang menginginkan negara yang tidak terlalu kecil tapi tidak juga terlalu besar. Bagi Aristoteles negara itu hendaknya berbentuk polis (negara kota). Karena negara kota adalah negara yang tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Negara yang terlalu kecil akan terlalu sulit untuk mempertahankan eksistensinya, sedangkan negara yang terlalu besar akan terlalu sulit untuk mengelolanya. Namun bagi Aristoteles, negara adalah persekutuan hidup dalam jenjang yang tertinggi, di atas apa yang disebut keluarga dan desa. Negara adalah persekutuan hidup yang paling berdaulat, melingkupi persekutuan-persekutuan hidup yang lebih kecil yang hidup dalam sebuah negara, negara menjadi pengendali, pengayom bagi seluruh manusia yang hidup didalamnya (Farkhani, 2017: 24).

Page 29: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxix

Dari pandangan guru-murid ini terlihat ada pergeseran, dari nilai luhur yang dikedepankan menuju pembentukan birokrasi dari struktur yang terendah sampai yang tertinggi. Walaupun tidak mengatakan bahwa moralitas transendental tersingkir dalam cara pandang Aristoteles dalam memaknai negara.

Ilmuan Islam, al-Farabi memberikan tamsil negara bagaikan tubuh manusia. Tubuh manusia memiliki sistem kerja yang unik yang satu bagian dengan bagian lainnya saling bekerjasama sesuai dengan tugasnya masing-masing, dan jantung menjadi pusat dari segala organ yang ada.

Jantung bertugas menyuplai kebutuhan darah keseluruh anggota tubuh yang ada. Jantung menjadi ibarat sebagai pemimpin sebuah negara, pelayan rakyat yang menjamin kesejahteraan seluruh warga negara. Warga negara sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya menjalankan fungsinya masing-masing, bekerja untuk menjaga keutuhan negara dan agar keadilan tercipta dalam negara itu. Konsep negara utama al-Farabi ini sangat jelas dipengaruhi oleh pandangan Plato, yang membagi warga negara dalam tiga kelas; kepala negara, militer dan rakyat (Farkhani, 2017: 57). Oleh karenanya yang dibutuhkan adalah yang sehat karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur dengan unsur lainnya, sedangkan negara yang buruk adalah ibarat orang yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di negara itu.

Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya negera yang fasik, negara yang bodoh, atau negara yang sesat. Dalam hal ini, al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan negara yang bodoh, ia membagi menjadi lima macam: pertama, negeri darurat (daruriah), yaitu negera

Page 30: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxx

yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, negeri kapitalis (baddalah), yaitu negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga, negeri gila hormat (kurama), yaitub negara yang penduduknya mementingkan kehormatan saja. Ketiga, negeri hawa nafsu (khissah wa syahwah), yaitu negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat, negeri anarkis (jami’iah), yaitu negara yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan keinginan masing-masing (Al-Farabi, tt: 84).

Adapun menurut Ibnu Khaldun, bahwa negara itu ibarat komunitas masyarakat yang terjalin karena hubungan kekerabatan (nashab). Sebab hubungan kekerabatan ini memunculkan sikap ashabiyah (solidaritas golongan). Pada awalnya konsep ashabiyah dimaknai sebagai perasaan nasab, baik karena pertalian darah atau pertalian kesukuan. Perasaan yang demikian akan mengikat mereka dalam sebuah solidaritas kolektif. Menurutnya, proses ini muncul secara alamiah. Dengan adanya ashabiyah dalam komunitas manusia, maka akan timbul rasa cinta (nur’at) dan kepedulian yang tinggi terhadap komunitasnya, bahkan berupaya untuk senantiasa mempertahankannya (Syarif, 1978:541-3). Melalui perasaan cinta dalam komunitasnya tersebut, maka akan tumbuh perasaan senasib sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, dan saling membantu antara satu dengan yang lain. Pertalian ini akan menimbulkan persatuan dan pergaulan yang harmonis antar komunitas yang ada. Pertalian ashabiyah yang demikian pada tahap selanjutnya membentuk nasab umum; perasaan yang mengikat berbagai nasab dalam sebuah persaudaraan atau solidaritas kolektif. Perasaan ini diikat

Page 31: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxxi

oleh kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air, dan bahasa (Khaldun, 1986:128-31).

Karena negara dimaknai sebagai pertalian nashab atau keluarga, maka psikologi dan sosiologi keluarga terbawa menjadi unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah negara, baik dalam bentuk lembaga maupun nilai yang dihormati secara bersama. Sebagaimana keluarga yang memerlukan kepala keluarga, maka negara pun memerlukan pemimpin negara. Gambaran semacam ini dijelaskan secara baik oleh Sayuti Pulungan (1997:278), menurut Khaldun eksistensi al-mulk (kepala negara) diperlukan. Hal ini diwujudkan sebagai konsekuensi terhadap tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya perlindungan, keamanan, dan terpeliharanya berbagai kepentingan masyarakat lainnya. Untuk mewujudkan tuntutan kolektivitas tersebut, seorang kepala negara dituntut untuk memiliki superioritas intelektual dan kepribadian (al-taghalluf) yang lebih dari rakyatnya. Dengnan sikap ini, seorang kepala negara akan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, objektif, adil (dengan melaksanakan supremasi hukum), dan amanah. Jika sikap ini justeru terabaikan pada seorang pemimpin, maka eksistensinya akan menjadi bumerang bagi terlaksananya roda pemerintahan yang seyogyanya mengayomi masyarakat luas.

Gagasan demokrasi sebagai sebuah sistem tata kelola pemerintahan dan negara, diyakini pertama kali muncul dalam sejarah pemikiran filsafat Yunani Kuno, kisaran pada abad 6 sampa 3 SM (Mahfudz MD, 1999: 268) dengan tokoh sentral Plato dan Aristoteles serta Socrates sebagai mentor awal bagi keduanya. Implementasi dari gagasan demokrasi

Page 32: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxxii

ini adalah wujudnya negara polis, negara kota yang tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil, Athena.

Gagasan demokrasi ini sempat terhenti dalam kurun yang lama, dimulai ketika Romawi melakukan pendudukan terhadap Yunani, tepatnya pada abad 1 SM. Tidak lama dari kurun itu, Romawi yang terwarnai oleh ajaran Nasrani memiliki pandangan tersendiri mengenai pengelolaan negara dan pemerintahan. Mulai dari saat itu demokrasi yang berporos pada pemerintahan yang dikelola atas partisipasi rakyat yang dianggap cukup rumit dalam implementasinya pada zaman itu, digantikan oleh pemikiran spiritualisme yang mengharuskan kehidupan sosial harus tunduk pada dominasi gereja dan kehidupan politik rakyat tunduk di bawah kuasa raja.

Masa itu diyakini sebagai awal mula kegelapan di dunia Eropa secara keseluruhan. Gereja dan raja menjadi pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat, para penentang dua otoritas itu tidak memiliki kekuatan untuk melawan bahkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dikontrol sepenuhnya oleh kuasa itu. Kasus Copernicus (1551), Giordano Bruno (1600), dan Galilio Galilei (1642) adalah contoh nyata betapa berkuasanya gereja dan raja. Galilio Galilei dihukum mati setelah dipaksa mengingkari teorinya yang sejalan dengan teori Copernicus di bawah pengadilan iman gereja Roma, atau seperti yang dialami Nicuel Superto (Michael Serfev) penemu peredaran darah dengan menukil dari Abu Hasan Ali ibn an-Nafis (wafat 1288), yang dibakar pada tahun 1553 di bawah reformator Jinkalfin (Poeradisatra, 1986: 13).

Masa kegelapan Eropa (Barat) mulai berakhir oleh munculnya zaman Renaissance (1350-1600) yang menumbuhkan minat pengkajian kembali terhadap sastra

Page 33: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxxiii

dan budaya Yunani Kuno (Mahfudz MD, 1999: 269). Kebangkitan Eropa (Barat) tidak murni berasal dari dalam dirinya, tetapi ada sumbangsih dari perseteruan dunia Barat dan dunia Islam dalam Perang Salib yang sangat panjang dan legendaris, perang berlangsung selama 2 abad (1099-1299).

Terjadinya Perang Salib yang berkepanjangan memaksa Barat bersinggungan dengan Islam yang saat itu sedang pada puncak pencapaian dan kejayaannya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini merujuk pada apa yang ditulis oleh Harun Nasution (1975: 13-14), beliau membagi sejarah peradaban Islam kepada tiga periode. Pertama, Periode Klasik (650-1250) di mana umat Islam mulai membina dan mencapai kemajuan dan kegemilangan peradabannya, Periode Pertengahan (1250-1800) di mana peradaban umat Islam mulai mengalami kemunduran, bahkan sampai pada titik nadir dan Periode Modern (1800- sekarang) di mana umat Islam mulai sadar dan bangkit dari keterpurukan.

Persinggungan selama Perang Salib turut membuka kesadaran Barat untuk berdialog dengan Islam dan melihat aplikasi kehidupan masyarakat Islam yang lebih tertib pada masa itu. Kesadaran untuk memahami kebebasan, hak-hak yang layak dalam kehidupan bermasyarakat dan terkhusus dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan, yang sebelumnya dipahami bahwa ilmu itu adalah sihir. Persinggungan Barat (Eropa) dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang salib.

Page 34: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxxiv

Berawal dari itu muncul gagasan-gagasan baru yang terinspirasi dari cara hidup dan berfikir dunia Islam cepat tersebar di kalangan para pemikir di Eropa (Barat), membuka alam berfikir mereka, menuntut pendobrakan dan pemerdekaan pikiran rakyat dari pembatasan-pembatasan dan hegemoni pikiran dan keyakinan gereja. Pada masa itu pula muncul pemikiran di bidang politik bahwa setiap manusia memiliki hak yang tidak boleh dikangkangi dan diselewengkan oleh pemerintah, dan absolutisme pemerintahan harus segera diakhiri. Perlawanan dan rasionalitas dari kaum tengah (para sarjana) yang mendasari dari perkembangan Barat terlepas dari belenggu kegelapannya yang dalam itu adalah teori social contract (perjanjian masyarakat) yang intinya menyatakan bahwa kekuasaan pemerintah itu ada sebab perjanjian masyarakat yang memberikan wewenang dan kekuasaan kepada sekelompok orang yang dipercaya dan rakyat akan mematuhinya selama hak-hak rakyat dijaga dan tidak disalahgunakan.

Teori social contract itu menjadi katalisator bagi kegiatan pendobrakan atas absolutisme dan kesewenang-wenangan pemerintah dan gereja serta menggantikannya dengan demokrasi. Sebuah sistem yang pada awal perkembangan manajemen pemerintahan dan negara dianggap sebagai sebuah sistem bobrok sebagai penyelewengan dari sistem politea. Menurut Anthony H. Birh, bahwa di mata pemikir Yunani Kuno, termasuk Plato, Aristoteles dan Thucydides, demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan yang ideal. Mereka berpendapat bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dikelola oleh rakyat miskin atau pemerintahan yang dikelola oleh orang-orang dungu (Aidul Fitriciada Azhari, 2004: 2).

Page 35: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxxv

Setelah abad pertengahan, rupanya pengertian demokrasi yang dikembangkan berbeda maksud dari para pemikir awalnya. Makna demokrasi yang diutarakan oleh Plato, Aristoteles dan ilmuan yang sezaman dengannya, dalam terminologi Polybius adalah okhlokrasi, yaitu pemerintahan yang dikelola oleh rakyat yang tidak mengerti bagaimana menjalankan pemerintahan dan mengelola negara untuk kepentingan mereka sendiri, dalam bahasa Plato dan kawan-kawan adalah pemerintahan orang-orang dungu.

Demokrasi sekarang dimaknai sebagai bentuk pemerintahan dari suatu kesatuan hidup yang memerintah diri sendiri, yang sebagian besar anggotanya turut mengambil bagian baik secara langsung maupun tidak langsung, terjamin kemerdekaan rohani dan persamaan bagi hukum dan anggota-anggota telah tersliputi oleh semangatnya (W.A. Bonger dalam Edy Purnama, 2007: 41). Lipset mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem politik yang memasok kesempatan konstitusional reguler untuk mengubah pemerintahan pejabat (Nahla Shahrouri, 2010). Atribut utama dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat (sovereignity), dan ia pula menjadi atribut hukum dari negara. Sebagai atribut negara berarti sovereignity lebih awal keberadaannya dari konsep negara itu sendiri (Fred Isywara, 1964: 92).

Lahirnya pemahaman demokrasi sebagaimana tersebut di atas, bersamaan dengan lahirnya konsep negara hukum. Sebagaimana demokrasi, ide atau konsep negara hukum pernah ada namun hilang dan ditinggalkan orang, kemudian muncul di Barat pada wal abad ke-17. Timbulnya kembali pemikiran tentang negara hukum ini disebabkan karena kondisi dan situasi yang kurang lebih sama dengan

Page 36: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxxvi

kondisi yang ada pada saat Plato dan Aristoteles mengemukakan ide tentang negara hukum, yaitu merupakan reaksi atas kekuasaan yang absolut, sewenang-wenang (Romli Librayanto, 2008: 11). Demokrasi, kedaulatan rakyat dan negara hukum pada kontennya berprinsip sama, yaitu pendobrakakan atas absolotisme negara dan penekanan pada pentingnya pembatasan kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan di dalam negara haruslah di pisah dan dibagi ke dalam kekuasaan yang mengenai bidang tertentu.

Kesamaan muatan dari konsep demokrasi dan negara hukum yang terkandung didalamnya kedaulatan rakyat terlihat nyata dari pendapat para ahli, diantaranya Lyman Tower Sargent (1984) yang menyatakan bahwa kunci atau unsur-unsur yang harus terkandung dalam (negara) demokrasi adalah; 1) keterlibatan warga negara dalam pembuatan putusan politik (kebijakan), 2) kesamaan hak bagi setiap warga negara, 3) jaminan kebebasan dan penguatan warga negara, 4) adanya sistem perwakilan dan 5) adanya pemilihan umum.

Senada dengan Sargent, Hendry B. Mayo (1960: 70) pun menjelaskan demokrasi sebagai sistem politik, “a democratie political system is one in wich public politicies are made in a majority basis, by representatve subject ti effective polpular control at periode elections which are conducted on the principle of political freedom”.

Konsep negara hukum hasil rumusan dari international commission of jurist pada tahun 1965 di Bangkok –Thailand, mencirikan negara hukum secara dinamis sebagai berikut;

1. Perlindungan konstitusional. Artinya menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula

Page 37: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxxvii

menentukan cara prosedural untuk memperoleh cara perlindungan atas hak-hak yang dijamin.

2. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

3. Adanya pemilihan umum yang bebas. 4. Adanya kebebasan menyatakan pendapat. 5. Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan

beroposisi. 6. Adanya pendidikan kewarganegaraan (Moh.

Mahmud MD, 1999: 131-132). Berkenaan dengan konsep negara hukum Indonesia,

Azhary (1995: 144) menyebutkan unsur-unsurnya sebagai berikut;

1. Hukum bersumber pada Pancasila. 2. Kedaulatan rakyat. 3. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi. 4. Persamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan. 5. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan

lainnya. 6. Pembentuk undang-undang Presiden bersama-

sama dengan DPR. 7. Sistem MPR. Dari semua pernyataan tentang demokrasi dan

negara hukum, ada kesepahaman bahwa untuk mencirikan suatu negara bersistem demokrasi dan negara hukum adalah keharusan adanya pemilihan umum secara berkala. B. Pemilihan Umum di Indonesia

Indonesia, dalam konstitusi UUD 1945 secara sadar dan tegas menahbiskan diri sebagai negara demokrasi dan negara berlandaskan hukum (negara hukum). Dalam

Page 38: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxxviii

konstitusi itu dicantumkan pengaturan tentang pemilihan umum sebagai jaminan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum. Samuel P. Hutington (1991: 5-6) menyatakan bahwa satu sistem politik dapat dikatakan demokratis apabila para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui suatu pemilihan umum yang berkala, jujur dan adil, serta dalam sistem tersebut para calon atau kandidat bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suaranya. Maka pemilihan umum dapat dikatakan sebagai wadah ekspresi kedaulatan rakyat dalam rangka menyalurkan aspirasinya dalam rangka memilih kandidat pemimpinya ataupun wakil-wakilnya dalam sebuah sistem pemerintahan yang akan menjalankan negara untuk kepentingan seluruh warga negara.

Dengan sangat detail Indria Samego mengartikan pemilihan umum sebagai political market (pasar politik). Artinya tempat individu/masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial antara peserta pemilhan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak dan elektronik, serta media lainnya yang berisikan pesan mengenai program, platform, asas, ideologi, serta janji-janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih dalam menentukan pilihannya terhadap satu partai politik yang menjadi peserta pemilu untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun eksekutif (A. Rahman H.I, 2007: 147). Secara filosofis Ibnu Tricahyono (2009: 6) mendevinisikan pemilihan umum sebagai instrumen untuk mewujudkan

Page 39: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xxxix

kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Dalam sistem pemilihan umum di Indonesia, ada pemilihan yang lain yang memiliki kesamaan sistem, yang membedakan hanya lingkup atau wilayah pemilihannya dan tujuan yang hendak dicapai dari pemilihan tersebut; Pemilihan Umum disingkat Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah disingkat Pilkada ada pula yang menyebutnya Pemilihan Umum Kepala Daerah disingkat Pemilukada.

1. Pemilihan Umum Dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,

yang dimaksud dengan pemilihan umum adalah pemilihan untuk memilih presiden dan wakil presiden serta wakil-wakil rakyat baik ditingkat Nasional maupun Daerah (pemilihan eksekutif di tingkat pusat dan anggota legislatif pusat dan daerah). Ketentuan pengaturan mengenai pemilu diatur dalam UUD 1945 pada pasal 6A, 18 ayat 4 dan pasal 22E. Model pemilihan umum semacam ini, selepas reformasi telah dijalankan dengan sangat baik oleh penyelenggara pemilu pada tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014. Sedangkan sejarah awal pemilu setelah Indonesia merdeka terlaksana dengan baik pada tahun 1955.

Adapun tujuan Pemilihan Umum di adakan menurut Prihatmoko (2003:19) pemilu dalam pelaksanaanya memiliki tiga tujuan yakni: 1) Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para

pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy).

Page 40: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xl

2) Pemilu sebagai pemindahan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan badan perwakilan rakyat melalui wakil wakil yang terpilihatau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.

3) Pemilu sebagai sarana memobilisasi, menggerakan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.

Sejarah dari satu pemilu ke pemilu berikutnya kontestasi hampir selalu berbeda kecuali pada masa Orde Baru yang hanya diikuti oleh tiga kontestan, 2 (dua) partai politik (PPP dan PDI) serta 1 (satu) Golongan Karya. Sebelum dan setelah masa itu kontestasi selalu di ikuti belasan bahkan puluhan partai politik.

Adapun sistem yang digunakan dalam setiap pemilu hampir selalu berubah dan bolak balik dari satu sistem berganti dan kembali pada sistem yang pernah dilakukan, belum lagi ada variasi-variasi dan bahkan perbedaan yang sama sekali lain yang terjadi pada daerah-daerah tertentu. Namun secara keseluruhan seluruh penyelenggaraan pemilu dapat dikatakan baik dan berjalan lancar, bahkan pasca reformasi (pemilu pada awal reformasi) mendapat pujian internasional dan menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar dan menjadi rujukan bagi pelaksanaan pemilu di beberapa negara.

2. Pemilukada

Reformasi yang digelorakan mahasiswa dan berhasil menumbangkan Penguasa Orde Baru

Page 41: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xli

membawa angin kencang perubahan dalam sistem politik, pemerintahan dan tata negara, juga mengerek keberanian rakyat untuk berserikat dan berpendapat serta cara berfikir untuk mengembangkan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat sampai ke daerah-daerah.

Setelah Pemilu 1999, terbentuknya DPR dan MPR dengan anggotanya hasil pemilu terbaru, terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden yang baru, wacana dan tuntutan agar perubahan sistem yang sentralistik menuju desentralistik di dorong lebih ke depan dengan disertai kebijakan-kebijakan politik, pembangunan dan pijakan hukum sebagai jaminan bagi masyarakat bahwa sistem yang lama telah berubah menuju sistem yang baru (Farkhani, 2011: 38), maka lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam konteks pemilukada, lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen lokal (DPRD), termasuk kekuasaan dalam pemilihan kepala daerah (Pemilukada). Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 merupakan sebuah terobosan yang sangat progresif, desentralisasi yang terjadi sangat signifikan. Namun, desentralisasi berhenti pada tingkatan pemerintahan paling bawah, dan bukan berakhir pada masyarakat. Ini jelas berbeda dengan demokratisasi yang secara substansial mengembalikan kekuasaan negara kepada masyarakat. Dengan kata lain UU No. 22 Tahun 1999 hanya menitikberatkan pada desentralisasi, tetapi tidak disertai dengan demokratisasi (Bungasan

Page 42: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xlii

Hutapea, 2015). Menurut Tommi A. Legowo 2006: 54-55), desentralisasi tanpa demokratisasi cenderung untuk menghasilkan otonomi pemerintahan, dan bukan otonomi masyarakat di daerah. Pada perkembanganya UU No. 22 Tahun 1999 dianggap mempunyai banyak kelemahan dan perlu direvisi.

Disempurnakannya Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada amandemen kedua tahun 2000, semakin mendorong untuk dilakukan pula revisi UU No. 22 Tahun 1999, khususnya mengenai Pilkada secara langsung. Di dalam proses pembahasan. Pasal 18 khususnya ayat (4) UUD 1945 tersebut MPR sepakat membuka ruang kebebasan bagi daerah dalam proses pemilihan kepala daerah, dengan klausul interpretatif : ”Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Menurut Jimly Asshiddiqie (2002: 22) perkataan ”dipilih secara demokratis” itu bersifat luwes, sehingga mencakup pengertian Pilkada langsung ataupun Pilkada secara tidak langsung yang dilakukan oleh DPRD.

C. Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Pasca Indonesia merdeka, roda demokrasi sudah

mulai dipasang dan digerakan dalam porsi kontektualisasi demokratisasi bayi merah di bumi pertiwi. Dalam panjang sejarahnya di Indonesia, demokrasi selalu berbeda interpretasi dan aplikasi. Menurut Farkhani (2011: 11-26) paling tidak ada 5 (lima) tema tentang demokrasi;

Page 43: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xliii

demokrasi liberal, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila dan demokrasi reformasi.

Gerak roda demokrasi yang berubah dalam tiap episode keindonesiaan tidak menghapus ciri negara demokrasi yang digariskan oleh banyak ilmuan, yaitu adanya pemilihan umum. Pemilihan umum di Indoenesia memiliki sejarah panjang, demikian pula pemilihan kepala daerah yang disingkat pilkada ataupun pemilukada.

1. Sejarah pemilihan kepala daerah Sejarah pemilihan kepala daerah di Republik

ini sepanjang tahun 1955 sampai 2004 tidak ada peraturan perundang-undangan yang memberikan legalisasi pemilihan kepala daerah secara langsung. Kondisi demikian dapat dipahami karena tipikal penguasa dan sistemnya dirancang sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasaannya. Structural effeciency model dalam menentukan pemimpin-pemimpin lokal lebih disukai oleh penguasa, disamping karena faktor efesiensi dan efektifitas juga menjadi jalan yang sangat mudah bagi penguasa untuk melakukan intervensi, menentukan dan menjamin loyalitas pemimpin-pemimpin daerah pada pemimpin pusat (Farkhani, 2011: 40). a. Masa penjajahan

Di masa pemerintahan Hindia Belanda berlaku ketentuan Decentralisatie 1903 dan Koninklijk Desluit (Joko J. Prihatmoko, 2005: 38). Pemerintah Belanda saat itu membagi Hindia Belanda ke dalam dua sistem pemerintahan, yaitu daerah administratif dalam rangka dekonsentrasi yang dikenal dengan sebutan

Page 44: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xliv

gewesten, onderafdelingan dan afdelingan yang dipimpin oleh Gubernur, Residen, Asisten Residen, Wedana, Asisten Wedana yang dipilih secara penunjukan oleh Gubernur Jenderal dengan kewajiban pribumi yang menduduki jabatan memberikan upeti.

Rezim pemerintahan Belanda berganti oleh pemerintahan Jepang. Pada Pemerintahan Jepang di Indonesia telah dikeluarkan 3 (tiga) undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 (tiga) osamu sirei 1942/27 yaitu Undang-Undang Nomor 27 tentang perubahan sistem pemerintahan (tertanggal 6-8-2602), Undang-Undang Nomor 28 tentang perubahan syuu (tertanggal 7-8-2602) dan Undang-Undang Nomor 30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1-9-2602). Pemerintahan Jepang membagi daerah menjadi karesidenan yang disebut syuu dan residennya disebut syuutyoo. Setelah karisidenan terdapat dua pembagian daerah yang disebut ken dan si yang dikepalai oleh Kentyoo dan Sityoo. Di tingkat kawedanan, keasistenan dan desa dikenal dengan nama Gunson dan Ko sedangkan kepala daerahnya disebut Guntyoo, Sotyoo dan Kutyoo dimana pengangkatannya ditunjuk oleh Pemerintah Jepang (Bungasan Hutapea, 2015). Pada masa ini semua kepala daerah ditunjuk langsung oleh pemerintah penjajah.

b. Masa awal kemerdekaan

Page 45: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xlv

Pada masa awal kemerdekaan, pemimpin-pemimpin daerah atau kepala daerah masih menggunakan cara yang pernah dijalankan pada masa penjajahan, yakni penunjukan atau pengangkatan langsung oleh pemerintah pusat. Mempertahankan model ini untuk menjaga kepentingan negara yang baru merdeka karena situasi politik, keamanan dan hukum yang belum stabil. Kepentingannya adalah membangun kesatuan dan integrasi seluruh masyarakat Indonesia (Farkhani, 2011: 32).

Ciri utama dari model penunjukkan langsung adalah; 1. Mekanisme pilkada sangat tertutup dan

rakyat tidak memiliki akses informasi dan partisipasi.

2. Kekuasaan dan kewenangan pejabat pusat sangat besar, sebaliknya kekuasaan dan kewenangan kepala daerah sangat kecil dan tergantung.

3. Kepala daerah lebih sebagai alat pemerintah pusat daripada pemerintah daerah.

4. Peranan DPRD sangat kecil bahkan dinafikan.

5. DPRD tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepala daerah atau sebaliknya kepala daerah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Joko J. Prihatmoko, 2005: 72).

c. Masa Orde Baru Model pemilihan kepala daerah pada era

Orde Baru adalah menggunakan sistem

Page 46: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xlvi

perwakilan semu, kepala daerah seolah-olah dipilih oleh DPRD akan tetapi penentunya adalah pemerintah pusat. Pada sistem ini seringkali kandidat hanya satu pasang (kontestan tunggal).

Ciri utama dari sistem perwakilan semu adalah;

1. Mekanisme yang digunakan seolah-oleh demokratis atau bahkan tidak ada mekanisme.

2. Kekuasaan atau wewenang pusat menentukan kepala daerah sangat besar.

3. Kepala daerah bertanggungjawab kepada pemerintah pusat.

4. Peran DPRD sangat terbatas. 5. Partisipasi masyarakat sangat terbatas atau

formalitas saja (Joko J. Prihatmoko, 2005: 73). Sistem perwakilan semu ini berjalan

sepanjang berkuasanya rezim Orde Baru. Pada masa ini sangat banyak kepala daerah diduduki oleh anggota ABRI baik yang masih aktif maupun yang telah purnawirawan (Dwi fungsi ABRI).

d. Masa awal reformasi Setelah reformasi bergulir, ada pergeseran

sistem pemilihan kepala daerah, dari perwakilan semu (pemilihan seolah-olah) menuju sistem perwakilan. Sistem perwakilan membebaskan pemilihan kepala daerah dari intevensi pemerintah pusat. Kepala daerah benar-benar dipilih dalam satu mekanisme yang dijalankan secara murni dan konsekuen

Page 47: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xlvii

oleh anggota DPRD sesuai dengan amanat UU No. 22 Tahun 1999.

Ciri utama dari sistem perwakilan ini adalah;

1. Mekanisme pemilihan (di DPRD) terbuka. 2. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dan

melakukan kontrol terbuka walau terbatas. 3. Partai politik berperan penting, terutama

dalam penjaringan calon. 4. DPRD melakukan pemilihan dan dapat

meminta pertanggungjawaban kepala daerah.

5. Pejabat pusat hanya mengesahkan (Joko J. Prihatmoko, 2005: 75).

e. Masa setelah lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 UU No. 32 Tahun 2004 adalah pengganti

UU No. 22 Tahun 1999. UU No. 32 Tahun 2004 merupakan interpretasi resmi dari bunyi pasal 18 ayat 4 UUD 1945, bahwa yang dimaksud dari klausul “dipilih secara demokratis” adalah dipilih langsung oleh rakyat dalam mekanisme pemilihan kepala daerah.

Atas amanat UU No. 32 Tahun 2004, pemilihan kepala dearah secara langsung dapat dilaksanakan pada bulan Juni 2005. Sejak tahun itu sampai 2018, rakyat Indonesia sering kali disajikan berita tentang perhelatan pemilihan kepala daerah di seluruh negeri dengan berbagai dinamika plus minus yang menyertainya.

Ciri-ciri penting dari model ini adalah;

Page 48: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xlviii

1. Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. 2. Calon kepala daerah tidak tunggal. 3. Akses masyarakat untuk partisipasi dan

melakukan kontrol sangat terbuka. 4. Peran partai politik cukup dominan

terutama dalam penjaringan calon kepala daerah.

5. Kriteria calon kepala daerah lebih terperinci (Farkhani, 2011: 35).

6. Kekuatan figur calon kepala daerah lebih diperhitungkan daripada parti pengusungnya (dengan ada beberapa kasus calon independen menjadi pemenang pilkada).

f. Masa pilkada gabungan dan pilkada serentak Pada era ini sistem yang diterapkan tetap

merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004 –pemilihan secara langsung, hanya saja teknis pelaksanaan yang digabungkan antara pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/walikota. Pilkada gabungan pernah dilaksanakan pada tahun 2010 dan 2011, akan tetapi tidak secara massif dalam arti hanya ada beberapa saja penggabungan atau pembarengan pelaksanaan pilkada gubernur dan bupati/walikota. Adapun pilkada serentak dilakukan dalam periode tahun 2015, 2017 dan 2018. Argumentasi sederhana dari teknis yang berbeda ini adalah karena pelaksanaan pilkada langsung mandiri (tidak serentak) selama ini dipersepsikan telah menghabiskan ongkos politik yang mahal, dan tidak mencerminkan

Page 49: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xlix

prinsip efektifitas dan efesiensi (Muharam, 2015).

Model pemilihannya secara langsung, namun ciri utama sebagaimana tertulis dalam point e terjadi pergeseran yang merubah ciri utama, seperti dalam pilkada serentak tersebut terdapat kasus pasangan calon tunggal dihadapkan dengan kotak kosong (kotak kosong sebagai pemenang) dan figur calon tidak dilihat sebagai faktor dominan penjatuhan pilihan pemilih, tetapi melihat juga partai atau koalisi partai pengusungnya karena sentimen-sentimen tertentu.

2. Sistem pemilihan kepala daerah

Secara umum pemilihan mengenal 2 sistem, langsung dan tidak langsung (perwakilan dan penunjukkan). Dua sistem/model inilah yang menjadi pengalaman Indonesia dalam pemilihan kepala daerah setelah reformasi 1998. Sebelum lahir UU No. 32 tahun 2004, kepala daerah dipilih secara tidak langsung atau dipilih melalui mekanisme perwakilan oleh anggota legislatif di DPRD, setelah Undang-Undang itu lahir kepala daerah dipilih secara langsung dalam sebuah pesta demokrasi berupa pilkada sampai sekarang.

Perubahan sistem dari tidak langsung menjadi secara langsung dalam waktu yang cukup dekat tersebut bukan tanpa sebab. Menurut hemat peneliti paling tidak ada dua alasan;

Page 50: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

l

a. Masih ada sisa-sia traumatik pada sistem pemilihan perwakilan semu yang terjadi pada masa Orde Baru dan

b. Arah perubahan pemahaman makna demokrasi dan kedaulatan rakyat untuk diaplikasikan sedekat-dekatnya dengan daulat rakyat, “suara rakyat suara Tuhan”.

Merujuk pada peristiwa amandemen UUD 1945 yang memberikan tambahan klausul pada pasal 18, pada ayat 4 tertulis kalausul “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provisni, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Klausul “dipilih secara demokratis” menurut Abdul Mukhtie Fajar (2006: 102) dapat dimaknai dipilih secara langsung maupun dipilih secara tidak langsung. Namun menurut Aidul Fitriciada Azhari (2008: 2) yang saat itu sebagai staf ahli dan mengikuti jalannya persidangan di MPR, klausul itu muncul disebabkan karena belum ada kata sepakat pada sistem pemerintahan yang akan dianut, apakah presidensial murni ataukah semi presidensial sebagaimana naskah asli UUD 1945. Disamping itu untuk mengakomodir beberapa daerah yang karena status kedaerahannya, kepala daerah tidak dipilih secara langsung.

Setelah pilkada langsung dengan beberapa pengecualian pada daerah tertentu sesuai dengan undang-undang berjalan, sudah barang tentu disertai dengan pengharapan pada hasil yang lebih baik dan hal-hal yang lainnya (pertimbangan untung rugi), belakang ini mulai diperbincangkan

Page 51: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

li

(wacana) kembali untuk kembali pada sistem lama, pemilihan secara tidak langsung.

Memang ada manfaat dari sistem pemilihan langsung, terutama dari aspek demokrasi prosedural dan lebih dekat pada makna demokrasi secara terminologis. Namun harapan lain di luar itu justru tidak menjadi kenyataan, bahkan menjadi beban bagi negara dan masyarakat; politik transaksional menjadi lebih massif, mahar politik dianggap suatu hal yang wajar, hingar bingar kampanye, beaya politik, sosial, ekonomi bahkan psikologi yang cukup berpengaruh (tinggi) bagi negara dan masyarakat pemilih.

Mempertimbangkan banyak hal negatif, terutama efesiensi dana penyelenggaraan pilkada yang menguras APBN, aspek sosiologis dan psikologis masyarakat, wacana pengembalian pada sistem lama (pilkada tidak langsung) kembali ditawarkan.

Pro-kontra atau tarik menarik antara kembali ke sistem lama dan bertahan dengan model baru terlihat menguat pasca pemilu 2014, antara kubu koalisi pemerintah dan kubu oposisi. Kubu oposisi menghendaki model pemilihan tidak langsung merancang undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota agar dipilih melalui mekanisme perwakilan di DPRD. Dalam sidang paripurna DPR, kubu oposisi yang jumlahnya lebih banyak dari kubu koalisi pemerintah memenangkan voting, maka disahkan rancangan itu menjadi UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Page 52: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lii

Bagi oposisi, lahirnya UU No. 22 Tahun 2014 merupakan koreksi atas kekurangan pelaksanaan pilkada yang dilaksanakan secara langsung. Berdasarkan evaluasi atas penyelanggaran pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota secara langsung sejauh ini menunjukkan fakta bahwa biaya yang dikeluarkan oleh negara dan oleh pasangan calon untuk menyelenggarakan dan mengikuti pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota secara langsung sangat besar dan berpotensi pada peningkatan korupsi. Kementerian Dalam Negeri mencatat sekitar 330 atau sekitar 86,22% kepala daerah tersangkut kasus korupsi (Bungasan Hutapea, 2015).

Undang-undang yang baru disahkan tersebut segera mendapatkan penolakan yang cukup luas yang sejalan dengan pikiran pemerintah, akhirnya pemerintah mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang pada tahun berikutnya menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2015.

.

Page 53: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

liii

BAB III PEGIAT DAN PELAKSANA PEMILU DI KOTA

SALATIGA DAN PANDANGANNYA TERHADAP WACANA PEMILIHAN KEPALA DAERAH

SECARA TIDAK LANGSUNG A. Pegiat dan Pelaksana Pemilu di Kota Salatiga

Salatiga sejak zaman dahulu terkenal dengan sebutan kota Swapraja terindah dan ternyaman di masa penjajahan Belanda, karena udaranya sejuk dan pemandangan alam yang cukup indah. Belanda menjadikannya destinasi wisata dan tempat peristirahatan bagi keluarga pejabat Hindia Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda telah cukup jelas menentukan batas dan status Kota Salatiga, berdasarkan Staatblad 1917 No. 266 mulai 1 Juli 1917 didirikan Stood Gemente Salatiga yang daerahnya terdiri dari 8 desa.

Kota Salatiga adalah Staat Gemente yang dibentuk berdasarkan Staatblad 1923 No. 393 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 17 tahun 1995 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kecil dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Ditinjau dari segi administratif pemerintah dikaitkan dengan kondisi fisik dan fungsi Kotamadya Daerah Tingkat II, keberadaan Daerah Tingkat II Salatiga yang memiliki luas 17,82 km dengan 75% luasnya merupakan wilayah terbangun adalah tidak efektif.

Berdasarkan kesadaran bersama dan didorong kebutuhan areal pembangunan demi pengembangan daerah, muncul gagasan mengadakan pemekaran wilayah yang dirintis tahun 1983. Kemudian terealisir tahun 1992

Page 54: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

liv

dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1992 yang menetapkan luas wilayah Salatiga menjadi 5.898 Ha dengan 4 Kecamatan yang terdiri dari 22 Kelurahan. Berdasarkan amanat Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga berubah penyebutannya menjadi Kota Salatiga (www.kotasalatiga.go.id). Salatiga mendapat jurulukan kota paling tolerans se-Indonesia setelah Pematang Siantar oleh Setara Institute, sebuah organisasi non geverment yang mempromosikan pluralisme, kemanusiaan, demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Setelah mendapatkan predikat kota paling toleran, Pemerintah Kota Salatiga membuat tagline “the city of harmony”. Historisitas dan prestasi kontemporer yang demikian, memberikan gambaran bahwa masyarakat Kota salatiga termasuk masyarakat “bersumbu panjang” kasus-kasus bentrokan antar kelompok massa, demonstrasi yang berujung anarki serta perilaku destruktif yang menghasilkan keributan kelompok dapat dikatakan tidak ada di kota ini. Begitu pula dalam melaksanakan hajat demokrasi baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, belum ada kasus anarkhisme atau kegaduhan lain yang menyertainya. Pegiat pemilu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pegiat berarti yang giat melakukan (bekerja, bertindak dan sebagainya). Pengertian tersebut menunjukkan orang yang melakukan suatu kegiatan atau kerja, dan makna giat menunjukkan kerja atau kegiatan yang dilakukannya membutuhkan waktu yang lama. Jadi pegiat pemilu adalah orang yang bergiat atau bekerja dalam hal yang terkait dengan pemilihan umum atau pemilihan yang lainnya.

Page 55: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lv

Berkaitan dengan tema penelitian ini, di Kota Salatiga dalam pencarian peneliti hanya ada satu organisasi tempat berkumpulnya pegiat pemilu adalah JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) sebuah konsorsium lembaga yang memiliki konsen dan kapasitas pada pendidikan pemilih dalam rangka penguatan politik masyarakat sipil dan sendi-sendi demokrasi di Indonesia (www.jjpr.or.id). Konsorsium JPPR di Kota Salatiga berkumpul di Kampung Percik. Sementara itu, yang dimaksud dengan pelaksana pemilu adalah adalah organ negara yang dibentuk secara independen dalam bekerjanya untuk menjalankan pemilu, baik secara teknis maupun regulasinya demi terjaminnya pelaksanaan pemilu sesuai denga prinsip-prinsip pemilu secara umum. Pelaksana pemilu di Kota Salatiga adalah KPUD Kota Salatiga dan lembaga idependen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan pemilu adalah Bawaslu Derah Kota Salatiga.

1. JPPR Kota Salatiga Sebab JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih

untuk Rakyat) adalah konsorsium lembaga, maka keterlibatan secara inten dengan lembaga-lembaga (aktivis) pemilu akan berjalan ketika pemilu akan dilaksanakan dan selesai setelah pemilu usai dilaksanakan mereka kembali disibukkan melaksanakan kegiatan mereka sendiri-sendiri secara kelembagaan.

LSM Percik (Kampung Percik) hanyalah sebagai wadah untuk berkumpul dari lembaga-lembaga yang menjadi mitra JPPR, atau hanya sebagai sekretariat sementara. Adapun organisasi utamanya JJPR yang berkantor di ibu kota tetap ada

Page 56: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lvi

dengan menjalankan program-program kerja yang telah dirancang menurut konsen dan kapasitas lembaga.

2. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Salatiga

Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang dengan tugas utama sebagai penyelenggara pemilihan umum di semua tingkatan di seluruh Indonesia. Karena daerah-daerah berbentuk provinsi dan kabupaten/kota, maka dibentuklah KPUD-KPUD sejumlah provinsi dan kabuputan/kota.

Kota Salatiga salah satu daerah yang memiliki KPUD. KPUD Kota Salatiga memiliki visi dan misi sebagai berikut; Visi; Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai

penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan, dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Misi: 1. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan

Umum yang memiliki kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum;

2. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara

Page 57: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lvii

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif dan beradab;

3. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien dan efektif;

4. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis.

Adapun tugas dan wewenang KPUD dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah ditentukan sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2007 sebagai berikut; 1. merencanakan program, anggaran, dan jadwal

Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota;

2. menyusun dan menetapkan tata kerja KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi;

3. menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundang-undangan;

4. membentuk PPK, PPS dan KPPS dalam pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi

Page 58: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lviii

serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerjanya;

5. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU dan/atau KPU Provinsi;

6. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukan dan menetapkan data pemilih sebagai daftar pemilih;

7. menerima daftar pemilih dari PPK dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota;

8. menerima daftar pemilih dari PPK dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dan menyampaikannya kepada KPU Provinsi;

9. menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota yang telah memenuhi persyaratan;

10. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari seluruh PPK di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;

11. membuat berita acara penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib

Page 59: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lix

menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi;

12. menerbitkan keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan mengumumkannya;

13. mengumumkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota terpilih dan membuat berita acaranya;

14. melaporkan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota kepada KPU melalui KPU Provinsi;

15. memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PPK, PPS, dan KPPS;

16. menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh Panwaslu Kabupaten/Kota;

17. menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota PPK, PPS, sekretaris KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi Panwaslu Kabupaten/Kota dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

18. melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan/atau yang berkaitan dengan tugas KPU Kabupaten/Kota kepada masyarakat;

Page 60: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lx

19. melaksanakan tugas dan wewenang yang berkaitan dengan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan pedoman KPU dan/atau KPU Provinsi;

20. melakukan evaluasi dan membuat laporan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota;

21. menyampaikan hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Menteri Dalam Negeri, bupati/walikota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota; dan

22. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh KPU, KPUProvinsi dan/atau undang-undang (www.kpudsalatiga.go.id).

Page 61: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxi

3. Badan Pengawas Pemilu Daerah (Bawaslu) Kota

Salatiga Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu

dibentuk berdasarkan perintah Undang - Undang no 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya, Pengawas Pemilu merupakan lembaga adhoc yaitu Panitia Pengawas Pemilu atau Panwaslu.

Tepatnya tahun 1982 undang-undangu memerintahkan pembentukan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu atau Panwaslak Pemilu, yang melekat pada Lembaga Pemilihan Umum atau LPU. Baru pada tahun 2003, Panwaslu dilepaskan dari struktur Komisi Pemilian Umum atau KPU.

Page 62: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxii

Kewenangan utama Pengawas Pemilu adalah mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pidana Pemilu dan kode etik (www.bawaslu.go.id).

Tugas, Wewenang, Pengawas Pemilu berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sebagai berikut :

Bawaslu bertugas: a. Menyusun standar tata laksana pengawasan

Penyelenggaraan Pemilu untuk pengawas Pemilu di setiap tingkatan;

b. Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap: 1. Pelanggaran Pemilu; dan 2. Sengketa proses Pemilu;

c. Mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas: 1. Perencanaan dan penetapan jadwal tahapan

Pemilu; 2. Perencanaan pengadaan logistik oleh KPU; 3. Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu; dan 4. Pelaksanaan persiapan lainnya dalam

Penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

d. Mengawasi pelaksanaan tahapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas: 1. Pemutakhiran data pemilih dan penetapan

daftar pemilih sementara serta daftar pemilih tetap;

Page 63: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxiii

2. Penataan dan penetapan daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota;

3. Penetapan Peserta Pemilu; 4. Pencalonan sampai dengan penetapan

Pasangan Calon, calon anggota DPR, calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

5. Pelaksanaan dan dana kampanye; 6. Pengadaan logistik Pemilu dan

pendistribusiannya; 7. Pelaksanaan pemungutan suara dan

penghitungan suara hasil Pemilu di TPS; 8. Pergerakan surat suara, berita acara

penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;

9. Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU;

10. Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu susulan; dan

11. Penetapan hasil Pemilu; e. Mencegah terjadinya praktik politik uang; f. Mengawasi netralitas aparatur sipil negara,

netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia;

g. Mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan, yang terdiri atas: 1. Putusan DKPP;

Page 64: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxiv

2. Putusan pengadilan mengenai pelanggaran dan sengketa Pemilu;

3. Putusan/keputusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota;

4. Keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; dan

5. Keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia;

h. Menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu kepada DKPP;

i. Menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu kepada Gakkumdu;

j. Mengelola, memelihara, dan merawat arsip serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

k. Mengevaluasi pengawasan Pemilu; l. Mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan m. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Bawaslu berwenang: a. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang

berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengahrr mengenai Pemilu;

b. Memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran, administrasi Pemilu;

Page 65: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxv

c. Memeriksa, mengkaji, dan memuttrs pelanggaran politik uarg;

d.Menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu;

e.Merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan terhadap netralitas aparatur sipil-negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia; '

f. Mengambil alih sementara tugas, wewenang, dan kewajiban Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota secara berjenjang jika Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten Kota berhalangan sementara akibat dikenai sanksi atau akibat lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;

g. Meminta bahan keterangan yang dibuhrhkan kepada pihak terkait dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dugaan tindak pidana Pemilu, dan sengketa proses Pemilu;

h. Mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota apabila terdapat hal yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

i. Membentuk Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, dan Panwaslu LN;

j. Mengangkat, membina, dan memberhentikan anggota Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, dan anggota Panwaslu LN; dan

Page 66: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxvi

k. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana KPU, Bawaslu pun memiliki jaringan struktural sampai ke daerah-daerah seluruh Indonesia. Keberadaan Bawaslu Daerah Kota Salatiga dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 25 Agustus 2017, yang terdiri dari: 1. Agung Ari Mursito (Ketua/Kordiv Penanganan

Pelanggaran) 2. Ahmad Dhomiri (Anggota/Kordiv Pencegahan

dan Hubungan Antar Lembaga) 3. Yesaya Tiluata (Anggota/Kordiv Organisasi dan

SDM) Pemerintah Kota Salatiga memberikan fasilitasi sarana & prasarana serta sekretariat yang terdiri dari: 1. Hery Setianto Wibowo (Kepala Sekretariat) 2. Lambang Parmono (Bendahara Pengeluaran Pembantu) 3. Tri Rubianto (Staf Teknis) Selain itu, staf sekretariat Panwas Kota Salatiga juga terdiri dari tenaga teknis non-pns dan tenaga pendukung, yaitu: 1. Laras Kusumaning Pawestri 2. Tiara Rubiati 3. Ahmad Rosyidi Ainul Yaqin 4. Lilik Mudasir 5. Yohan Adiyanto 6. M. Munasir 7. Harya Hendra 8. Sutrisno (hasil observasi dan wawancara pada

tanggal 15 September 2018)

Page 67: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxvii

B. Pandangan Pegiat dan Pelaksana Pemilu di Kota

Salatiga terhadap Wacana Pemilihan Kepala Daerah Secara Tidak Langsung

Setelah Pemilu Presiden wakil Presiden serta Pemilihan Anggota Legislatif pada pemilu tahun 2014, elit politik di Indonesia terbelah dalam 2 (dua) kubu, koalisi Merah Putih yang dikomandani oleh Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) dan koalisi Indonesia Hebat yang dikomandani oleh PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan).

Di dalam lembaga legislatif, kedua kubu ini bertarung secara fulgar dalam 1) pengisian pimpinan/jabatan dalam lembaga eksekutif (DPR) dan 2) dalam pembuata undang-undang.

Pada awal-awal berjalannya DPR hasil pemilu 2014, koalisi oposisi berjaya dalam “perebutan dan pertarungan”. Ini dibutikan dengan terpilihnya Ketua dan Wakil Ketua DPR dan MPR dari anggota-anggota partai koalisi dan beberapa badan strategis dalam lembaga legislatif. Serta keberhasilan mengundangkan Undang-Undang MD3 yang kontennya lebih banyak dari hasil pemikiran oposisi. Pada persoalan ini, dalam pikiran dan hati masyarakat Indonesia tidak berpengaruh, itu dianggap sebagai persoalan biasa dalam dunia politik dan praktik kelembagaan di lembaga legislatif.

Persoalan menjadi berbeda, ketika DPR mengesahkan UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang isinya merubah sistem pemilihan kepala daerah dari secara langsung menjadi secara tidak langsung. Disinilah pikiran dan hati rakyat Indonesia merasa terusik. Disamping ada ketakutan dari

Page 68: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxviii

partai-partai koalisi pemerintah pemenang pemilu bahwa kepala-kepala daerah akan dikuasai oleh partai-partai oposisi yang memenangkan pemilu kegislatif. Isu itu terus digoreng sedimikian rupa dan diback-up oleh banyak media sehingga pengembalian sistem itu dianggap sebagai kemunduran demokrasi, setelah sekian lama Indonesia terjebak dalam pemilihan kepala daerah secara tidak langsung dan ini dianggap melanggar amanat reformasi. Rakyat bereaksi dan pemerintah meresponnya dengan mengeluarkan Perppu yang isinya bertentangan dengan UU No 22 Tahun 2014, artinya mengembalikan pemilihan kepala daerah tetap dilaksanakan secara langsung.

Perppu No. 1 Tahun 2014 itu didukung oleh partai-partai koalisi pemerintah pemenang pemilu 2014 dan rakyat, walaupun berbagai kontra pemikiran atas terbitnya Perppu tersebut dianggap tidak sejalan dengan syarat-syarat diterbitkannya Perppu. Namun realitasnya Perppu ini terus bertahan dan akhirnya pada tahun 2015 karena terjadi perubahan konstelasi politik Perppu tersebut di sahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015.

Efektifitas Undang-Undang tersebut kemudian terbukti dengan pemilihan kepala daerah pada periode tahun 2015, 2017 dan 2018 dilaksanakan secara langsung.

Setelah Perppu No. 1 Tahun 2014 ditetakan menjadi UU pada tahun 2015, praktis tidak ada perbincangan ataupun pertentangan dengan sistem pemilihan langsung yang dianut dalam sistem pergantian kepemimpinan di Indonesia. Namun tiba-tiba pada awal tahun 2018 muncul lontaran dari beberapa elite politik dan ilmuan yang berharap pemilihan umum dalam memilih kepala daearah dilaksanakan secara tidak langsung.

Page 69: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxix

Lontaran wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah ke DPRD disuarakan oleh orang-orang penting dan kredibel di posisi dan bidangnya. Munculnya wacana tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa banyaknya calon kepala daerah yang terseret kasus korupsi dan kampanye yang kebablasan. Alasan lainnya adalah bahwa pilakda langsung dan serentak dinilai tidak sebanding dengan energi yang dikeluarkan, contoh yang dijadikan sampel adalah Pemilu Presiden 2014 dan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 (https://beritagar.id). Komentar-komentar mereka terekam dalam jejak digital berbagai media on line, diantaranya;

1. Priyo Budi Santoso (Wakil Ketua Umum ICMI); “ternyata Pilkada langsung pemilihan gubernur dan bupati/walikota menyisakan luka yang lama sembuhnya. Lukanya banyak, politik, sosial, ekonomi, energi yang tertumpah besar termasuk uang atau logistik. Seolah-olah tidak sebanding dengan energi yang dikeluarkannya itu. Kegundahannya juga terkait dengan merebaknya berita hoax yang merusak sendi-sendi dan nilai-nilai bangsa” (Republika Online, 28/3/2018).

2. Moh. Mahfud MD (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi); “sistem pilkada seharusnya dikembalikan ke DPRD. Pemilihan kepala daerah lewat DPRD tidak akan bertentangan dengan konstitusi. Pun pelaksanaannya tetap bisa disebut demokratis, pilkada lewat DPRD dapat melokalisir terjadinya politik uang di tengah pilkada” (liputan6.com, 4/4/2018).

Page 70: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxx

3. Jenderal Tito Karnavian (Kapolri), “sistem pilkada langsung yang digunakan saat ini tak efektif, harus ada evaluasi. Hasil evaluasi bisa dipakai untuk menentukan apa yang akan dilakukan. Kalau ternyat banyak manfaatnya, lanjut jalan. Kalau negatifnya banyak, cari solusi yang lain” (JPNN, 31/3/2018).

4. Bambang Soesatyo (Ketua DPR) turut mnyoroti maraknya politik transaksional, “politik transaksional dengan mengandalkan kekuatan uang sudah sangat membahayakan. Betapa banyak kepala daaerah dari mulai Gubernur sampai Bupati ditangkap KPK” (www.kompas.com, 8/3/2018).

Tidak hanya itu, pemerintah pun menanggapi wacana pilkada tidak langsung. Dirjen Otda, Soemarsono mengatakan bahwa yang pro dan kontra terhadap wacana itu berimbang. Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo juga sempat berbincang dengan Bambang Soesatyo (Ketua DPR) membicarakan bentuk pilkada yang ideal. Pertemuan itu menghasilkan wacana revisi UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (www.tirto.id).

Namun tidak lama setelah, kesibukan dalam perhelatan pilkada serentak menenggelamkan wacana pilkada tidak langsung. Para elite politik tiba-tiba berhenti membicarakan hal itu dan sibuk dengan rencana serta berbagai program koalisi untuk pemenangan calon kepala daerah yang didukunya menang dalam perhelatan pilkada, ditambah dengan kesibukan mempersiapkan diri untuk kepentingan pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif.

Page 71: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxi

Wacana yang pernah diperbincangkan oleh tokoh masyarakat, elite politik dan pemerintah tersebut bisa jadi akan muncul kembali ke permukaan dan menggelinding bagai bola salju setelah mereka tidak lagi disibukkan oleh hajat demokrasi yang tengah ada dihadapan, dan perlu perhatian serius dari berbagai aspek. Oleh karenanya penting pula untuk mendengar pendangan para pegiat dan pelaksana pilkada dalam menanggapi isu pilkada secara tidak langsung, sebab mereka ini yang secara langsung akan terimbas bila pemilihan kepala daerah lewat DPRD.

Menurut Dwi Prasetio (wawancara pada tanggal 12 September 2018), salah satu pegiat pemilu dari JPPR Kota Salatiga berpandangan bahwa jika melihat latar belakang sejarah yang pernah berjalan, sebelumnya pimilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, perwujudan sistem perwakilan. Namun reformasi dan semangat yang menjiwainya menyemangati pandangan aktivis demokrasi bahwa pemilu secara langsung dianggap lebih demokratis. Memang pemilihan umum ataupun pilkada model ini membutuhkan biaya yang banyak, contohnya dalam menyiapkan surat suara, kotak suara pembiayaan tiap TPS (Tempat Pemungat Suara) dan gaji para anggotanya, alat peraga, sosialisasi dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan pemilu perwakilan DPRD dari sisi pembiayaan lebih hemat tapi dalam pelibatan masyarakat tidak partisipatif karena masyarakat hanya pasif dalam pilkada melalui DPRD.

Lebih lanjut Dwi Prasetio juga memperkirakan akan terjadi pula gelombang protes dari masyarakat atas ketidakterlibatan mereka dalam memilih pemimpinnya serta sangat mungkin pilkada tidak langsung juga dianggap biaya lebih tinggi, karena kemungkinan akan ada

Page 72: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxii

penyuapan kepada DPRD yang akan memberikan suaranya, dan ini dianggap lebih berpotensi perilaku koruptif lebih tinggi karena adanya pengembalian ongkos untuk DPRD yang telah memilihnya. Kemungkinan yang lebih parah lagi, pemerintah akan berjalan dalam konspirasi kepala daerah yang terpilih dengan anggota legislatif, konspirasinya adalah dalam pembagian proyek pembangunan daerah. Konspirasi ini tidak akan terjadi jika yang memilih rakyat, karena tidak akan ada ongkos yang diberikan oleh kepala daerah untuk anggota legislatif yang memilihnya.

Berkenaan dengan beberap daerah yang tidak melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, seperti Gubernur Yogyakarta, Dwi Prasetio berpendapat bawa Yogyakarata merupakan daerah istimewa yang juga memiliki aturan yang istimewa. Jika hukum tentang pemilu kepala daerah diterapkan di Yogya justru menimbulkan ketidakadilan dan kekacauan sebab hukum keistimewaan Yogyakarta dengan kesultanan yang telah berlangsung lama dan hal itu sebagai penghormatan pemerintah kepada Yogya.

Ketua Bawaslu Kota Salatiga Agung Ari Mursito (wawancara pada tanggal 13 September 2018) berpandanganga, bahwa bila mana pemilihan kepala daerah dikembalikan lagi lewat sistem perwakilan, dipilih oleh para anggota legislatif di DPRD, pasti akan menimbulkan banyak protes dari masyarakat dan berbagai pihak karena undang-undang tentang pemilihan kepala daerah (UU No. 1 Tahun 2015) dengan tegas menyatakan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) dilakukan secara langsung.

Page 73: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxiii

Agung juga menambahkan, bahwa pemilihan tidak langsung akan berakibat pada sikap masyarakat yang pasif dalam partisipasi pemilihan dalam demokrasi dan pendidikan politik yang semestinya dilakukan di masyarakat akan gagal. Perihal adanya kepala daerah yang dilakukan dengan tidak memalui mekanisme pemilihan secara langsung, itu adalah pengecualian dikarenakan status daerahnya yang diatur dalam perundang-undangan.

Agung dalam sesi tanya jawab terakhir, bila wacana pilkada daerah secara tidak langsung itu bergulir lagi, ia (Bawaslu Daerah Salatiga) lebih memilih pilkada secara langsung dengan argumentasi tingkat partisipasi masyarakat lebih tinggi dan jika pilkada itu secara tidak langsung maka yang menikmati pesta demokrasi hanyalah mereka para politisi yang duduk sebagai anggota legislatif daerah.

Putnawati (Ketua KPUD Salatiga) tidak sepakat apabila pilkada dikembalikan lagi dipilih oleh anggota legislatif di DPRD, disamping ia merupakan hak rakyat sepenuhnya dalam demokrasi, yakni pemirintahan yang dibentuk dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi yang seperti itu dalam sistem pemilihan sangat dekat meneguhkan kedulatan rakyat. Dalam pemilihan secara tidak langsung berimpilkasi pada partisipasi masyarakat terhadap demokrasi yang kembali mengecil. Lagi pula, seharusnya wacana ini berhenti karena telah ada undang-undang yang mengatur bahwa pemilihan kepala daerah gubernur, bupati dan walikota dilakukan secara langsung pilkada (wawancara 6 Agustus 2018).

Saemuri, salah seorang komisioner memandang wacana pemilihan kepala daerah secara tidak langsung sebagai sesuatu yang lumrah dalam demokrasi, ia juga

Page 74: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxiv

mengakui bahwa demokrasi dalam manifestsinya pada pemilihan langsung banyak efek negatif yang di dapat. Namun ia berpendapat bahwa pemilhan kepala daerah secara langsung adalah pilihan terbaik, karena ia merupakan implementasi makna demokrasi yang terdekat.

Selanjutnya, ia juga berpendapat sebagai pribadi, saya pasrah saja bila suatu saat ternyata pilkada kembali ke DPRD dan berarti keberadaan KPUD sudah tidak begitu dibutuhkan lagi (wawancara 4 Juli 2018).

Page 75: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxv

BAB IV ANALISIS PANDANGAN PEGIAT DAN PELAKSANA

PEMILU KOTA SALATIGA TERHADAP WACANA PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA

TIDAK LANGSUNG A. Praktik Demokrasi di Indonesia dan Teori Kedaulatan

Rakyat 1. Praktik demokrasi di Indonesia

UNESCO pada tahun 1950 melakukan penelitian yang melibatkan 100 orang sarjana dari Timur dan Barat, hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada negara yang menolak demokrasi, sehingga barangkali, untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi dipandang sebagai pengejawantahan yang paling tepat dan ideal untuk semua sistem organisasi politik dan masyarakat (Amien Rais dalam Mahfud MD, 1999: 49). Padahal dalam sejarah (abad 6-5 SM) demokrasi merupakan sistem terburuk dari semua sistem politik yang ada, bahkan Plato mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh orang dungu. Plato juga menambahkan kemerosatan yang dialami demokrasi akan menciptkan tiranisme (J.H. Rapar, 2001: 64-67). Sedang Aristoteles menyatakan bahwa demokrasi adalah bentuk penyelewengan dari Politea (J.H.Rapar, 2001: 180-183).

Secara umum demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan (kreatos) oleh rakyat (demos). Sesuai dengan pengertian harfiah ini, mayoritas sarjana sepakat bahwa pemerintahan oleh rakyat adalah demokrasi, namun Scumpeter menolak pengertian

Page 76: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxvi

semacam itu, sebab pada hakekat adalah pemerintahan oleh politisi (Sutoro Eko, 2003: 8). Walaupun secara umum demokrasi diagungkan di era modern ini, namun tetap ada orang-orang atau entitas tertentu yang terang-terangan menentang demokrasi sebagai sistem terbaik masa kini. Penentang demokrasi biasanya mewakili sekte atau kelompok marginal dalam spektrum religio-politik yang ekstrim, seperti sekte David Koresh di Waco, Texas atau kelompok Yahudi ultra-ortodoks di Israel. Ada pula kelompok yang merasa demokrasi sebagai satu konsep yang asing dan tidak cocok diterapkan dalam tradisi mereka, sementara masih ada konsep lain yang dianggap bisa mengakomodir partisipasi dan kebebasan rakyat (John L. Esposito dan John O. Voll, 1999: 12).

Indonesia secara sadar mengikuti konsep yang masih debatable dan ambigu itu, namun dengan pemahaman yang berbeda sesuai dengan nilai keindonesiaan. Nilai-nilai demokrasi di Indonesia dikukuhkan dalam konstitusi negara selepas satu hari kemerdekaan. Bahkan menurut Siti Hasanah (2018: 27) nilai-nilai itu telah ada dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat nusantra jauh sebelum negara ini terbentuk. Contohnya, dalam masyarakt nusantara telah mengenal adanya kelompok-kelompok masyarakat seperti Kaum, atau di Bugis disebut Anang, di Tapanuli disebt Marga, yang para anggotanya terikat satu sama lain berdasarkan kekerabatan yang kental. Secara individu warga Kaum adalah merdeka dan wajib menghormati, malahan melindungi kemerdekaan sesama warganya. Prinsip

Page 77: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxvii

kebebasan, persamaan dan persaudaraan sudah menjadi dasar kerakyatan dalam kelangsuangan persekutuan Kaum pada masyarakat nusantara (Mattulada dalam Edy Purnama, 2007: 56).

Setelah demokratisasi berjelan sedemikian lama dan ada perubahan atau periodesasi demokrasi pada masing-masing orde rezim, sekarang hampir semua sepakat bahwa demokrasi secara konseptual merangkum seluruh nilai-nilai Pancasila menjadi landasan mekanisme dan sekaligus tujuan demokrasi Indonesia. Dengan demikian nilai-nilai ketuhanan, kemanusian, persatuan, permusyawaratan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan arahan Demokrasi Indonesia (Hazairin, 1981: 35), sering disebut sebagai Demokrasi Pancasila.

Walaupun demokrasi di Indonesia memiliki nama khas tersendiri, tatapi tidak menjadi berbeda dari ciri uatam dalam implementasi nilai demokrasi, yakni adanya pemilihan umum sebagai perwujudan dari teori kedaulatan rakyat.

2. Teori kedaulatan rakyat

Kedaulatan dalam bahasa Latin “superanus”, dalam bahasa Inggris “souvereignity” yang berarti sepermasi di atas dan menguasai segalanya. Secara terminologi, kedaulatan adalah kekuasaan yang tinggi sebagai atribut bagi organisasi masyarakat yang besar (negara) dan rakyat adalah tempat melahirkan kekuasaan tertinggi itu. Dengan demikian kedaulatan rakyat adalah kekuasaan tertinggi dalam negara terletak di tangan rakyat (Edy Purnama, 2007: 27).

Page 78: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxviii

Kedaulatan merupakan konsep yang biasa dijadikan obyek dalam kajian filsafat politik dan hukum ketatanegaraan. Didalamnya terkandung ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan negara (Jimly Asshiddiqie, 2006: 115).

Jean Bodin, seorang ilmuan berkebangsaan Prancis diyakini sebagai orang yang pertama kali melakukan pembahasan konseptualisasi terhadap istilah kedaulatan rakyat yang ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Six Livres de la Republique pada 1976. Ajaran kedaulatan rakyat merupakan wujud ketidaksepahaman J. Bodin terhadap kekuasaan raja (kepala negara) yang absolut (Edy Purnama, 2007: 28). Sementara ide dasar dari konsep kedaulatan rakyat sebenarnya telah lama diletakkan fondasinya oleh Jean Jacques Rousseau, ilmuan Prancis pula. Pemikirannya yang memperkenalkan teori contract social sebagai awal terbentuknya negara didalamnya terkandung maksud kedaulatan rakyat, sebab menurut teori itu rakyatlah yang mula-mula berkumpul dan melakukan perjanjian dianatar mereka untuk membentuk sebuah negara. Kehendak bersama atau kehendak umum untuk membentuk negara sebagai dasar persetuajuan masyarakat atau kontrak sosial (Aidul Fitrciada Azhari, 2010: 94).

Namun ternyata, ide JJ Rousseau telah didahului oleh Johannes Althusius pada 100 tahun sebelumnya. Gagasan kedaulatan rakyat Johannes Althusius ditulis dalam karyanya yang terbit pada tahun 1610 dengan judul Politica Methodice Digesta. Pada awalnya karya ini tidak diperdulikan dan tenggelam, baru dikenal kembali atas kerja Otto van Gierke pada tahun 1880. Menurut

Page 79: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxix

Johannes Althusius, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan sesuatu yang menuju pada kepentingan jasmani dan rohani warga negara. Kekuasaan tersebut ada di tangan rakyat secara keseluruhan dan tidak dapat dipindahkan atau dialihkan. Kedaulatan itu menjelma menjadi undang-undang yang harus dilaksanakan oleh penyelenggara negara, dan rakyat berjanji untuk mentaati undang-undang (CST. Kansil, 1982: 60).

Pada dekade berikutnya teori kedaulatan rakyat dikembangkan oleh John Austin, baginya bangsa harus memiliki kedaulatan yang tidak terbatas dan tidak terbagi-bagi (Samidjo, 1986: 141). Immanuel Kant menegaskan bahwa tujuan dari negara adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya. Kebebasan yang dimaksudkan Kant adalah kebebasan yang dibatasi oleh undang-undang dan undang-undang adalah jelmaan dari kehendak rakyat. Jadi rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi (Soehino, 2000: 161).

Dari ragam pemahaman tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat sebagaimana yang disampaikan oleh para ahli, kedua terma tersebut sejatinya saling kait mengait. Demokrasi secara singkat berarti pemerintahan atau kekuasaan oleh rakyat sedangkan kedaulatan rakyat bermakna kekuasaan di tangan rakyat.

Tapi satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam tataran praktik tidak bermakna tunggal sebagai mana makna dalam bahasa, ia mengalami diaspora pada masing-masing negara dan sistem ketatanegaraan atau sistem pemerintahan yang dianut. Belum lagi pada tataran

Page 80: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxx

praktik yang bisa berubah sesuai dengan konteks dan situasi yang berubah pada kondisi ekonomi, politik, sosial dan keamanan suatu negara.

B. Analisis Pandangan Pegiat dan Pelaksana Pemilu di

Kota Salatiga Terhadap Wacana Pemilihan Kepala Daerah Tidak Langsung.

Pasca pemilu 2014, perubahan sistem pemilihan kepala daerah langsung menjadi tidak langsung tidak di dahulu oleh pewacanaan, baik dalam bentuk lontaran statemen dari tiga elemen kekuasaan (trias politika), seminar maupun dialog publik di ragam media masa ataupun media sosial. Perubahan sistem itu mengemuka di ranah publik setelah diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang isinya pemilihan kepala daerah dipilih dengan cara tidak langsung atau melalui mekanisme pemilihan sistem perwakilan melalui lembaga legislatif (DPRD).

Setelah itu baru publik ramai memperbincangkannya dengan suara mayoritas kala itu menolak UU No, 22 Tahun 2014. Penolakan yang massif itu, memaksa Presiden Susilo Bambang Yudoyono diakhir menjelang masa akhir jabatannya mengeluarkan Perppu yang isinya bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 2014. Selanjutnya pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Setelah sekian lama, tiba-tiba pada tri wulan pertama tahun 2018 muncul wacana pengembalian pemilihan kepala dearah secara tidak langsung yang dilontarkan para elit politik negeri ini.

Harus diakui dan dipahami bahwa wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah secara tidak langsung pada awal tahun 2018 tidak begitu mendapat

Page 81: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxxi

respon yang memadai dari mayoritas politisi, aparatur pemerintah dan mayoritas masyarakat Indonesia. Berita tentang wacana pergantian sistem pemilihan kepala daerah ini hanya memakan waktu kurang dari satu minggu, setelah itu hilang oleh hingar bingar problem politik, ekonomi dan sosial dalam negeri yang menguras perhatian beragam elemen masyarakat Indonesia. Terutama gaduh politik akibat pesta demokrasi secara serentak dan mendekati tahun politik (pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif dan DPD), mengesampingkan wacana tersebut.

Namun demikian, terpendamnya wacana pemilihan kepala daerah secara tidak langsung tidak dapat dikatakan hilang, hal itu dapat saja muncul kembali pada saat gemuruh politik sudah mulai reda. Melangkah lebih awal, peneliti mencoba menggali pandangan para pegiat pemilu dan pelaksana pemilu di daerah tentang wacana tersebut. Sebab sangat mungkin bila pemilihan kepala daerah ini berubah ke pemilihan secara tidak langsung, mereka inilah yang akan terimbas oleh keberhasilan pengembalian sistem pemilihan kepala daerah.

Dari hasil perbincangan (wawancara) peneliti dengan pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat dianalisis dari sudut pemahaman secara teoritik dan praktik demokrasi dan kedaulatan rakyat sebagai berikut;

1. Pemilihan kepala daerah langsung dianggap sebagai manifestasi makna demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Argumentasi di atas dikemukakan oleh pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga dalam kalimat yang berbeda namun dalam konten yang sama. Mereka semuanya menolak bilamana pemilihan

Page 82: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxxii

kepala daerah dikembalikan memakai sistem perwakilan atau sistem pemilihan tidak langsung.

Ketidaksepakatan atau penolakan mereka terhadap wacana ini, bila peneliti perhatikan ada pada dua aspek; a. Pemaknaan demokrasi dan kedaulatan rakyat

secara leterlijke Semua informan dari pegiat dan pelaksana

pemilu yang berhasil peneliti gali pandangannya satu nada bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung adalah aplikasi demokratisasi yang paling dekat dari segi makna dan menggambarkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Karena dalam model pemilihan semacam ini partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya tinggi dan membuat rakyat aktif dalam berdemokrasi.

Argumentasi semacam itu jelas terlihat membatasi diri dari sisi makna etimologis dari demokrasi dan kedaulatan rakyat. Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, sedangkan kedaulatan rakyat adalah kekuasaan di tangan rakyat. Pemahaman demikian adalah pemaknaan demokrasi lama dan hanya merujuk pada praktik demokrasi pada awal berkembangnya sistem demokrasi pada negara polis yang diinisiasi oleh pemikiran Plato tentang negara.

Memang benar bahwa dalam demokrasi, negara diselenggarakan berdasaran kehendak rakyat, karena rakyalah yang memegang kedaulatan. Istilah demokrasi sendiri memang menunjukkan hal itu, “rakyat berkuasa” atau

Page 83: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxxiii

“goverment or rule by the people”. Menurut bahasa Yunani demos berarti rakyat dan kratos/kratein bermakna kekuasaan atau berkuasa. Jadi demokrasi adalah pemerntahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (the goverment of the people, by the people, and for the people). Jadi, demokrasi adalah suatu pemerintahan yang rakyat ikut serta memerintah, baik secara langsung yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (demokrasi langsung), maupun secara tidak langsung karena rakyat diwakilkan (demokrasi tidak langsung) yang terdapat dalam negara-negara modern (Widayati, 2015: 62).

Pemaknaan demokrasi yang disampaikan oleh Widayati tersebut diperkuat oleh pendapat Henry B. Mayo dalam bukunya berjudul Introduction to Democratic Theory yang mengatakan bahwa, “sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang berdasarkan atas prinsip-prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Mariam Budiardjo, 1985: 61).

Dahlan Thaib (1999: 9) juga menjelas bahwa kadaulatan rakyat atau demokrasi modern adalah demokrasi dengan sistem perwakilan, artinya rakyat memilih seseorang dari dirinya untuk mewakilinya.

Page 84: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxxiv

Pemahaman demokrasi sebagaimana tersebut di atas adalah pemahaman demokrasi modern yang berkembang pertama kali pada abad 18. Jadi telah ada pergeseran yang cukup berbeda dari pemahaman dan praktik demokrasi pada masa-masa awal berkembangnya sistem demokrasi dengan aplikasi pada negara polis (negara kota) yang memiliki wilayah kedaualatan yang relatif kecil, mudah mengikutsertakan partisipasi masyarakat secara langsung, serta makna demokrasi yang kembali dipraktikan pada masa-masa awal setelah Eropa (Barat) meninggalkan masa kegelapan mereka.

Berubahnya pemahaman dan praktik demokrasi berimplikasi pada berubahnya pula pemaknaan dan praktik kedaulatan rakyat pada negara-negara modern. Memang pada awalnya teori kedaulatan rakyat berarti rakyatlah yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi, rakyatlah yang menentukan cara dan corak pemerintahan, dan rakyatlah yang menentukan tujuan apa yang hendak dicapai. Dalam negara modern sekarang ini, dimana penduduknya sudah banyak dan memiliki wilayah yang cukup luas, tidak mungkin meminta pendapat rakyat seorang demi seorang untuk menentukan jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, keadaan menghendaki bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan dengan cara perwakilan (Widayati, 2015: 63).

Aidul Fitriciada Azhari (2010: 99) pun memberikan pemahaman bahwa dalam

Page 85: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxxv

kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dengan sistem perwakilan, atau demokrasi dengan perwakilan (representative democrazy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democrazy), yang menjalankan kedaulatan adalah wakil-wakil rakyat. Wakil-wakil rakyat itu di wadahi dalam satu lembaga atau majlis tertinggi (the souvereign assembly) yang akan membentuk hukum yang adil, yang harus di taati.

Dari pemaparan dimuka, maka seharusnya kini demokrasi tidak lagi dipahami sama persis seperti pada masa awal ide dan praktik demokrasi itu dijalankan. Jadi pemilihan kepala daerah secara tidak langsung dalam wacana yang dilontarkan oleh para elit politik itu tidak dapat dikatakan tidak ddemokratis dan menjauhkan pada prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Apalagi dihadapkan pada kondisi realistis jumlah penduduk dan wilayah kedaulatan Indonesia yang sangat luas serta banyaknya wilayah yang sangat jauh dan sulit dijangkau dari pusat-pusat dijalankannya roda pemerintahan, mempratikan demokrasi dan kedaulatan rakyat secara leterlijke menjadi sangat sulit.

Tidak hanya dilihat dari fakta demografi dan luas wilayah yang sangat besar, dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 juga memberikan landasan bahwa kedaulatan rakyat (dapat dimaknai pula demokrasi) dijalankan dengan sistem perwakilan. Bunyi Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 sebelum amandemen menjelaskan bahwa; “kedaulatan di tangan rakyat dan

Page 86: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxxvi

dilakukan secara sepenuhnya oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat. Setelah UUD 1945 diamandemen, kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tetapi dilaksanakan menurut undang-undang dasar.

Dalam UUD 1945 setelah amandemen, kedaulatan rakyat ternyata dalam pelaksanaan dibagi-bagi dalam kewenangan lembaga-lembaga negara. Kedaulatan rakyat untuk melaksanakan fungsi legislatif diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kedaulatan rakyat dalam urusan eksekutif dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden, dibantu oleh Bank Sentral, Dewan Pertimbangan Presiden dan yang lainnya, sedangkan kedaulatan rakyat di bidang yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, ditunjang oleh Komisi Yudisial.

Menukik lebih dalam pada pelaksanaan demokrasi dan kedaulatan rakyat yang tercantum dalam UUD 1945, terkhusus dalam memilih pemegang kekuasaan di bidang eksekutif (pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah), semacam ada kegamangan untuk tegak disatu sistem. Terbelah, satu sisi memaknai demokrasi dan kedaulatan rakyat pada pemaknaan lama, dan sisi yang lain dalam pemaknaan modern. Hal ini tertera dengan jelas pada Pasal 6A dan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945.

Page 87: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxxvii

Pasal 6A tidak memberikan ruang interprtasi lain selain pemilihan dilakukan secara langsung, tapi pasal 18 ayat 4 “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupatan dan kota dipilih secara demokratis”, memberikan ruang pilihan; pemilihan secara langsung atau pemilihan secara tidak langsung.

Bunyi Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 sampai sekarang tidak ada perubahan, artinya tetap terbuka peluang untuk tidak dimaknai secara langsung. Walaupun ketentuan itu kemudian secara yuridis diperkuat dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/ PUU-II/2004 yang meneggaskan pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dengan memberikan pengecualian pada daerah-daerah tertentu, diperkuat lagi dengan keluarnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Walaupun demikian, ketentuan itu tetap saja membuka peluang. Artinya bilamana arah angin politik berubah dan didukung dengan problematika yang menyertai sistem pemilihan kepala daerah yang sekarang menjadi pilihan, dapat saja lahir undang-undang baru yang akan dijadikan sebagai tafsir otentik terbaru pada sistem pemilihan kepala daerah, yang semula secara langsung menjadi secara tidak langsung sebagaimana yang pernah terjadi pada lahirnya UU No. 22 Tahun 2014 walaupun hanya berlaku dalam satu hari.

Page 88: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxxviii

Menarik apa yang disampaikan oleh Saemuri Komisioner KPUD Kota Salatiga, bahwa ia secara pribadi pasrah saja bilamana terjadi perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari secara laangsung menjadi secara tidak langsung. Pernyataan Saemuri ini menurut hemat peneliti, ia memiliki pemahaman yang baik tentang dinamika politik dan sistem perubahan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang relatif dinamis, karena bisa saja suatu saat aturan baru yang menjadi dasar pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Bila hal ini terjadi, bisa saja lembaga pelaksana pemilu daerah menjadi tidak diperhitungkan lagi keberadaan di daerah-daerah.

b. Partisipasi Rakyat yang terkebiri dan perlawanan Dwi Prasetio anggota lembaga konsorsium

JPPR dan Agung Ari Mursito Ketua Bawaslu Daerah Kota Salatiga dalam nada yang sama mengatakan, bila terjadi pengembalian pemilihan kepada DPRD, maka niscaya akan ada perlawanan dari rakyat karena partisipasi rakyat sangat dibatasi dan pendidikan politik kepada rakyat mendapatkan problem baru.

Merujuk pada tolak ukur keberhasilan demokratisasi diantaranya adalah indikasi partisipasi masyarakat terhadap politik yang meningkat, semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat semikin tinggi pula tingkat keberhasilan demokrasi dan sebaliknya (Mashuri,

Page 89: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

lxxxix

2014). Pemahaman semacam ini tidak salah, namun hanya memandang partisipasi publik dari satu arah, keterlibatan warga negara secara langsung.

Sementara itu para ahli memiliki pandangan yang lebih luas. Partisipasi politik dalam pemahaman Mariam Budiardjo (2004: 36) adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara, secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah. Huntington menyatakan bahwa partisipasi politik dapat terwujud dalam bentuk; kegiatan pemilihan yang juga pemberian sumbangan untuk kampanye dan bekerja dalam satu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon dan lain sebagainya (Arifin, 2003: 140).

Menurut Almond sebagaimana dikutip oleh Mashuri (2014) ada dua bentuk partisipasi politik yang dilakukan masyarakat, yakni partisipasi politik konvensional yang meliputi; pemberian suara, kegiatan kampanye membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan, komunikasi individu dengan pejabat politik dan administratif. Sedangkan partisipasi politik non-konvensional seperti pengajuan potensi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindak kekerasan politik manusia serta perang dan gerilya.

Menurut Wahyudi Kumorotomo (2005: 135-138), partisipasi warga negara dapat

Page 90: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xc

dibedakan menjadi empat macam; 1) partisipasi dalam pemilihan, 2) partisipasi kelompok, 3) kontak antara warga negara dengan pemerintah dan 4) partisipasi warga negara secara langsung di lingkungan pemerintah.

Dari pengertian dan bentuk partisipasi rakyat dalam demokrasi yang begitu luas, maka sungguh naif bila hanya dibatasi pada keterlibatan masyarakat atau warga negara dalam pemilihan pemimpinnya secara langsung saja. Sebab ternyata banyak bentuk kegiatan yang dapat dilakukan oleh warga negara terhadap pemerintahnya sebagai bentuk partisipasi politiknya. Oleh karenanya tidak perlu ada kekahawatiran akan hilangnya atau minimnya partisipasi politik warga negara pada pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara tidak langsung.

Adapun kekhawatiran terhadap perlawanan rakyat, kiranya itu adalah salah satu bentuk partisipasi sebagaimana beberapa pengertian tentang partisipasi politik sebagaimana diterangkan sebelumnya. Jadi tidak perlu khawatir tentang gerakan rakyat itu, karena itu juga merupakan cerminan negara demokrasi, keterlibatan warga negara terhadap hajat masyarakat secara umum.

2. Kekhawatiran terhadap pemilihan perwakilan Kekhawatiran yang dimaksud adalah

munculnya kongkalingkong atau konspirasi antara

Page 91: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xci

wakil-wakil rakyat di DPRD dengan calon kepala daerah. Paling tidak ada dua kekhawatiran; a. Politik uang dan korupsi

Politik uang dan politik transaksional akan tetap terjadi, yang berubah hanya keluasan wilayah dan keterlibatan warga negara secara umum, berpindah ke ruang-ruang rapat lembaga legislatif.

Dalam pandangan Dwi Prasetio, perilaku ini bisa juga memakan mahar politik yang jauh lebih besar dengaan efek destruktif yang besar pula. Sebab politik transaksional ini sangat membuka peluang pelaku koruptif bagi kepala daerah dalam upaya mengembalikan ongkos ekonomis yang dikeluarkan dalam pencalonannya sebagai kepala daerah.

Pandangan demikian menurut hemat peneliti adalah kekahwatiran yang berlebihan dan kurang tepat dalam hitungan matematika. Karena Dwi Prasetio dalam hal ini pun tidak mengingkari bahwa dalam pemilihan langsung juga ada politik transaksional. Justru politik transaksional dalam pemilihan langsung membutuh beaya yang jauh lebih besar karena jumlah pemilih yang sangat bannyak dan akan melibatkan seluruh kontestan. Disamping akan ada mobilisasi masa pemilih bukan didasarkan pada partipasi karena kesadaran politik yang baik, tetapi karena pertukaran hak suara dengan sejumlah uang yang dibayarkan.

Perilaku koruptif justru semakin besar karena ongkos politik dan ekonomi yang jauh

Page 92: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xcii

lebih besar. Perinciannya; mahar politik pada partai atau gabungan partai pengusungnya, pada suara konstituen yang ditukar dengan sejumlah uang, serta biaya kampanye yang tidak sedikit, belum lagi para broker politik yang turut memperbanyak pengeluaran kontestan.

b. Bagi-bagi proyek pembangunan daerah Bagi-bagi proyek pembangunan daerah

tidak hanya ditimbulkan dari pemilihan secara tidak langsung, perwakilan di lembaga DPRD saja. Fakta yang selama ini ada, hasil pemilihan secara langsung juga menghasilkan bagi-bagi proyek dengan cara-cara manipulatif dan mark up anggran. Pemenang tender adalah perusahaan-perusahaan anngota legislatif dan penyumbang dana terbesar pada kontestan kepala daerah.

3. Traumatik pemilihan perwakilan semu

Dari hasil wawancara dengan beberapa sumber itu, peneliti menangkap kesan tersersirat pada traumatik pemilihan kepala daerah pada masa Orde Baru. Sebab keterbatasan partisipasi dalam ikut menentukan calon pemimpin daerah, menyebabkan masyarakat tidak begitu dekat dengan pemimpin daerahnya dan kepala daerah tidak begitu memperdulikan rakyat, lebih sibuk pada relasi antar elit politik dan para pemilik modal.

Page 93: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xciii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari pemilihan secara langsung kepada pemilihan secara tidak langsung atau pemilihan perwakilan lewat lembaga legislatif (DPRD) sangat bisa terulang kembali dalam sistem pemilihan di Indonesia. Apalagi mengingat dunia politik Indonesia yang sangat dinamis dan masih mencari bentuk yang paling ideal untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem penunjukkan langsung pernah terjadi dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, sistem pemilihan model perwakilan semu juga pernah terjadi, setelah reformasi sistem perwakilan pernah dilakukan dan berubah kepada sistem pemilihan langsung.

Setelah 13 tahun pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, awal tahun 2018 ada wacana pengembalian sistem ke perwakilan lagi. Atas dasar ini, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan para pegiat dan pelaksana pemilu dalam menyikapi wacana tersebut.

Kesimpulan atau hasil dari penelitian ini adalah; 1. Bahwa munculnya wacana perubahan sistem pemilihan

kepala daerah dari sistem langsung kepada sistem perwakilan (pemilihan melalui DPRD) adalah; a. dalam pemilihan langsung “energi” yang dikeluarkan

dalam perhelatan pesta demokrasi itu tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.

Page 94: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xciv

b. ada “luka” yang tidak cepat sembuh dari hasil kontestasi yang melibatkan partisipasi langsung warga negara

c. anggaran negara yang sangat terkuras untuk pembiayaan pemilihan kepala daerah langsung di seluruh Indonesia serta pertimbangan untung rugi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan tidak langsung.

2. Pandangan seluruh pegiat dan pelaksana pemilu di Kota Salatiga seluruhnya tidak sepakat pada wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah lewat perwakilan DPRD. Argumentasi ketidaksetujuan mereka lebih dikarenakan;

a. keterbatasan atau ketidaktahuan mereka tentang makna demokrasi dan kedaulatan rakyat yang hanya terbatas pada pengertian leterlijke dengan tidak mengimbangi pada perkembangan makna serta praktiknya di negara-negara modern.

b. membatasi pemahaman partisipasi warga negara hanya pada keterlibatan mereka pada pesta demokrasi secara langsung, dalam artian memberikan suara langsung pada kontestan calon kepala daerah yang dipilihnya.

c. kekhawatiran yang berlebihan terhadap akibat dari sistem pemilihan perwakilan, seperti politik transaksional antara kontestan dan anggota legislatif, perilaku koruptif yang akan tumbuh subur dan bagi-bagi proyek pembangunan daerah.

B. Saran

Page 95: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xcv

Dari hasil penelitian yang diperoleh, kiranya ada sumbang saran dari peneliti terhadap wacana pemilihan kepala daerah secara tidak langsung;

1. Memaknai suatu hal, dalam hal ini demokrasi dan keadaulatan jangan membatasi diri dari pengertian leterlijke dalam kebahasaan dan praktik awal ide itu muncul, tapii hendaknya dibuka luas sampai pada perkembangan pemikiran dan perubahan bentuk negara pada masa modern bahkan post modern.

2. Politik itu ranah yang sangat dinamis yang sangat mungkin berubah dari waktu ke waktu. Peraturan perundang-undangan juga bisa berubah walau tidak sedinamis perubahan politik, memahami mekanismenya dan faktor apa saja yang dapat merubah suatu peraturan perundangan.

3. Pemilihan kepala daerah adalah bentuk penerapan demokratisasi, sistem atau model pemilihannya bisa saja berganti antara satu sistem dengan sistem lainnya, bisa juga kemudian berganti dengan sistem temuan baru yang sangat berbeda dengan sistem-sistem sebelumnya. Maka untuk aplikasinya adalah pengkajian secara mendalam terhadap segala sistem ataupun kondisi yang melingkupi suatu negara dari banyak aspek.

Demikianlah hasil penelitian ini peneliti sampaikan, tak ada gading yang tak retak, kritik dan sumbang saran yang konstruktif untuk penelitian ini selalu ditunggu.

Page 96: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xcvi

Daftar Pustaka

A. Rahman H.I, 2007, Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Aidul Fitriciada Azhari, 2004, Menemukan Demokrasi, Surakarta: UMS Press.

Aidul Fitriciada Azhari, 2010, Tafsir Konstitusi, Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia, Solo: Abdjad.

Al-Farabi, Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo: Maktabat Mathaba’at Muhammad Ali, t.t.

Anwar Arifin, 2003, Komunikasi Politik, Jakarta: Balai Pustaka.

Azhari, 1995, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya, Jakarta: UI Press.

Bungasan Hutapea, “Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia”, Jurnal Rechtsvinding Vol. 4 No. 1, April 2015.

CST. Kansil, 1982: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta.

Dahlan Thaib, 1999, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi, Yogyakarta: Liberty.

Edy Purnama, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-Negara Lain, Bandung, Nusamedia.

Farkhani, 2011, Hukum Pemerintahan Daerah Eksperimentasi Demokratisasi Pasca Reformasi Studi tentang Pemilu Gabungan, Salatiga: STAIN Salatiga Press.

Page 97: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xcvii

Farkhani, 2016, Hukum Tata Negara Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Negara Menurut Konstitusi Indonesia dan Siasah Syar’iyyah, Sukoharjo: Pustaka Iltizam.

Fred Isywara, 1964, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Diwantara.

Ghassam Salame, 1996, Democracy Without Democratas: The Renewal of Politics in The Muslim World, London-New York: I.B. Tauris Publisher.

Hazairin, 1981, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Bina Aksara. Ibn Khaldun, 1986. Muqaddimah Ibn Khaldun, Terj. Ahmadie

Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, Ibnu Tricahyono, 2009, Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan

Pemilu Nasional dan Lokal, Malang: In Trans Publishing.

Jimly Asshiddiqie, 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy terj. Rahmani Astuti, Jakarta: Mizan, 1999.

Joko J. Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, Semarang: LP2I Press, 2003.

J. Suyuthi Pulungan, 1997. Fiqh Siyasah ; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta, LsiK.

Lyman Tiwer Sargent, 1984, Contemporary Political Ideologies, Sixth Editor, Chicago: The Dorsey Press.

Mariam Budiardjo, 1985, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.

Page 98: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xcviii

Mashudi, “Partisipasi Masyarakat Sebagai Upaya Pembangunan Demokrasi”, Jurnal Kewirausahaan Vol. 13 no. 2 Juli-Desember 2014.

Moch. Mubarok Muharam, 2015, Pilkada Serentak dalam Pusaran Arus Perubahan (Harapan Sebuah Kesejahteraan), Surabaya: Letram.

Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media.

Moh. Mahmud MD, 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media.

Nahla Shahrouri, “Dose A Link Exist Between Democracy and Terorisme”, International Journal on World Peace, Vol. XXVII, No. 4 December 2010.

Ni Wayan Suarmini, Ni Gusti Made Rai, Marsudi, “Karakter Anak dalam Keluarga Sebagai Ketahanan Sosial Budaya Bangsa”, Jurnal Sosial Humaniora, Vol 9, No.1, Juni 2016.

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2005.

Romli Librayanto, 2008, Trias Politika dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Makassar: PUKAP.

Samidjo, 1986, Ilmu Negara, Bandung: Amrico. Samuel P. Hutington, 1991, Gelombang Demoktasasi Ketiga,

Jakarta: Grafiti. Soehono, 2000, Ilmu Negara, Jakarta: Liberty. Syarif, Muhammad Jalal dan Ali Abdul Mu‘thi Muhammad.

1978. al-Fikr al-Siyasyi fî al-Islam, Iskandariyah: Dar al-Jami‘at al-Mishriyat.

Page 99: PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA TIDAK LANGSUNG …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4815/1/Pen. Pemilukada.pdfii KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

xcix

Tommi A. Legowo, 2006, ”Pemilihan Langsung Kepala Daerah Kota/Kabupaten Sebagai Wujud Demokrasi Lokal”, dalam Agus Djojosoekarto dan Rudi Hauter, (Ed)., Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi Menuju Demokrasi Lokal, Jakarta: Kerjasama ADEKSI dan Konrad-Adenauer-Stiftung.

Wahyudi Komorotomo, 2005, Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketsa Pada Masa Transisi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widayati, 2015, Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Gentha Publishing.

Internet www.kompas.com www.kpudsalatiga.go.id www.kotasalatiga.go.id