BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Riba merupakan pendapatan yang di peroleh secara tidak adil. Riba telah berkembang sejak zaman jahiliyah hingga sekarang ini. Sejak itu banyaknya masalah-masalah ekonomi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi tradisi bangsa arab terhadap jual beli maupun pinjam- meminjam barang dan jasa. Sehingga sudah mendarah daging, bangsa arab memberikan pinjaman kepada seseorang dan memungut biaya jauh di atas dari pinjaman awal yang di berikan kepada peminjam akibatnya banyaknya orang lupa akan larangan riba. Sejak datangnya Islam di masa Rasullullah saw. Islam telah melarang adanya riba. Karena sudah mendarah daging, Allah SWT melarang riba secara bertahap. Allah SWT melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu adanya pemahaman yang luas, agar tidak terjerumus dalam Riba. Karena Riba menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. 1.2. Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini agar mahasiswa mengerti pengertian dari riba dan dampaknya dalam perspektif islam 1.3. Rumusan Masalah 1. Pengertian riba secara umum dan khusus 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Riba merupakan pendapatan yang di peroleh secara tidak adil. Riba telah
berkembang sejak zaman jahiliyah hingga sekarang ini. Sejak itu banyaknya masalah-
masalah ekonomi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi tradisi bangsa arab
terhadap jual beli maupun pinjam-meminjam barang dan jasa. Sehingga sudah
mendarah daging, bangsa arab memberikan pinjaman kepada seseorang dan memungut
biaya jauh di atas dari pinjaman awal yang di berikan kepada peminjam akibatnya
banyaknya orang lupa akan larangan riba.
Sejak datangnya Islam di masa Rasullullah saw. Islam telah melarang adanya
riba. Karena sudah mendarah daging, Allah SWT melarang riba secara bertahap. Allah
SWT melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu adanya
pemahaman yang luas, agar tidak terjerumus dalam Riba. Karena Riba menyebabkan
tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini agar mahasiswa mengerti pengertian dari riba
dan dampaknya dalam perspektif islam
1.3. Rumusan Masalah
1. Pengertian riba secara umum dan khusus
2. Jenis-jenis dan macam-macam riba
3. Faktor penyebab diharamkannya riba
4. Larangan-larangan riba dalam Al-Quran
5. Dampak dan hikmah pelarangan riba
1
BAB II
ISI
2.1. Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah),
berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (alirtifa'). Sehubungan dengan
arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai
berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain
jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in
lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih
dari apa yang diberikan).
Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah
satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering juga diterjemahkan dalam
bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan
cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan
jumlah tambahan banyak.
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-
tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente dan
riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga,
maka hukumnya sama yaitu haram.
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas
jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif,
sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan
yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank)
maupun debitor (nasabah) samasama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak
bank.
Timbulah pertanyaan, di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk
menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga sebagai
terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya
dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Jadi uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa riba "usury" dan bunga "interest" pada hakekatnya sama, keduanya sama-
sama memiliki arti tambahan uang.
Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba
bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk
2
konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna
keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya
atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat
umum.
Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa tambahan atas
sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu 'iwadh
(imbalan) adalaha riba. Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam
penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu
penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta segala macam komoditi
yang disetarakan dengan komoditi tersebut.
Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana dalam
perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai konsep bunga,
berbeda dengan perbankan yang berbasis syari'ah yang memakai prinsip bagi hasil
(mudharabah) yang belakangan ini lagi marak dengan diterbitkannya undang-undang
perbankan syari'ah di Indonesia nomor 7 tahun 1992.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman
adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : “...padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba... .” Adapun dalil yang terkait dengan
perbuatan riba, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di antara ayat tentang riba adalah
sebagai berikut:
كم تفلحون ه لعل لل قو ت ا مضعف و بو أضع لر لذين ءامنو ال تأكلو ها ٱيأي ا� ٱ � �� ة � ة ا� ٱ ا� ا� ٱ“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. QS Ali Imran : 130.
*ع لبي م*ا هم ق*الو إن *أن لمس ذلك ب يطن من لش طه ذى يتخب ل بو ال يقومون إال كما يقوم لر ٱلذين يأكلون ا� � ٱ ٱ ٱ ا� ٱ ٱه لل نتهى فله ما سلف وأمره إلى ه ف ب بو فمن جآءه موعظ من ر لر م لبيع وحر ه لل بو وأحل لر �مثل ٱ ۥ ۥ ٱ ۦ �� ة ۥ � ا� ٱ ٱ ٱ � ا� ٱ ار هم فيها خلدون لن لئك أصحب �ومن عاد فأ ٱ ا�“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang
yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka
mereka kekal di dalamnya”. QS:2: 275
3
Sejarah Pelarangan Riba Sebelum Islam
Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksi-transaksi perekonomian oleh
masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi pada zaman itu riba yang berlaku
adalah merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan hutang. Dengan
demikian, riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dalam transaksi jual beli
maupun hutang piutang secara batil atau bertentangan dengan kaidah syari'at Islam.
Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (non-Islam) riba
telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan riba telah
ada sejak sebelum Islam datang menjadi agama.
1. Masa Yunani Kuno
Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan memungut
bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan Aristoteles yang sangat
membenci pembungaan uang:
2. Masa Romawi
Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan
mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga melalui
undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang menerapkan peraturan
guna melindungi para peminjam.
3. Menurut Agama Yahudi
Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab sucinya, menurut kitab suci
agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab keluaran ayat 25 pasal 22:
"Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah
kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan
padanya untuk pemilik uang". Dan pada pasal 36 disebutkan: "Supaya ia dapat hidup di
antaramu janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan
engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup diantaramu". Namun
orang Yahudi berpendapat bahwa riba itu hanyalah terlarang kalau dilakukan dikalangan
sesama Yahudi, dan tidak dilarang dilakukan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka
mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkannya kalau pada pihak yang lain.
Dan inilah yang menyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak selain
kaumnya. Berkaitan dengan kedhaliman kaum Yahudi inilah, Allah dalam al-Qur'an
surat an-Nisa' ayat 160-161 tegas-tegas mengatakan bahwa perbuatan kaum Yahudi ini
4
adalah riba yaitu memakan harta orang lain dengan jalan BATHIL, dan Allah akan
menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.
4. Menurut Agama Nasrani
Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram dilakukan bagi
semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama apapun, baik dari
kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. Menurut mereka (tokoh-tokoh Nasrani)
dalam perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23 pasal 19 disebutkan: "Janganlah
engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik uang maupun bahan makanan
atau apapun yang dapat dibungakan". Kemudian dalam perjanjian baru di dalam Injil
Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau
harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah
kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembalinya, karena
pahala kamu sangat banyak".
Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. pada akhir abad
ke-13 timbul beberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang dianggap masih
sangat konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab baru, maka piminjaman
dengan dipungut bunga mulai diterima masyarakat. Para pedagang berusaha menghilangkan
pengaruh gereja untuk menjastifikasi beberapa keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada
beberapa tokoh gereja yang beranggapan bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan
administrasi dan kelangsungan organisasi dibenarkan karena bukan keuntungan dari hutang.
Tetapi sikap pengharaman riba secara mutlak dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan
oleh Martin Luther, tokoh gerakan Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu baik
sedikit atau banyak, jika harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba.
Pada masa jahiliyah istilah riba juga telah dikenal, pada masa itu (jahiliyah) riba
mempunyai beberapa bentuk aplikatif. Beberapa riwayat menceritakan riba jahiliyah.
Bentuk pertama: Riba Pinjaman, yaitu yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa
jahiliyah: "tangguhkan hutangku, aku akan menambahkanya". Maksudnya adalah jika ada
seseorang mempunyai hutang (debitor), tetapi ia tidak dapat membayarnya pada waktu jatuh
tempo, maka ia (debitor) berkata: tangguhkan hutangku, aku akan memberikan tambahan.
Penambahan itu bisa dengan cara melipat gandakan uang atau menambahkan umur sapinya
jika pinjaman tersebut berupa bintang. Demikian seterusnya.
Menurut Qatadah yang dimaksud riba adalah orang jahiliyah adalah seorang laki-laki
menjual barang sampai pada waktu yang ditentukan. Ketika tenggat waktunya habis dan
5
barang tersebut tidak berada di sisi pemiliknya, maka ia harus membayar tambahan dan boleh
menambah tenggatnya.
Abu Bakar al-Jashshash berkata: seperti dimaklumi, riba dimasa jahiliyah hanyalah
sebuah pinjaman dengan rentang waktu, disertai tambahan tertentu. Tambahan itu adalah
ganti dari rentang waktu. Allah SWT menghapusnya.
Menurut Mujahid (meninggal pada tahun 104 Hijriah), menjelaskan tentang riba yang
dilarang oleh Allah SWT, "di zaman Jahiliyah, seseorang mempunyai piutang dari orang lain.
Orang itu berkata kepadamu seperti itulah anda menangguhkannya dari saya, maka diampuni
menangguhkannya."
Bentuk kedua: Pinjaman dengan pembayaran tertunda, tetapi dengan syarat harus
dibayar dengan bunga. Al-Jassash menyatakan, "Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh
masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara
tertunda dengan bunganya dengan jumlah sesuai dengan jumlah hutang dan sesuai dengan
kesepakatan bersama.
Bentuk ketiga: Pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar perbulan. Ibnu
hajar al-Haitsami menyatakan, "riba nasi'ah adalah riba yang populer di masa Jahiliyah.
Karena biasanya seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dengan pembayaran
tertunda, dengan syarat ia mengambil sebagian uangnya tiap bulan sementara jumlah uang
yang dihutang tetap sampai tiba waktu pembayaran, kalau tidak mampu melunasinya, maka
diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.
2.2. Jenis-Jenis dan Macam-Macam Riba
6
Mayoritas ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang
(dain) dan dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang
(riba duyun)dan riba jual-beli (riba buyu’). Mari kita tinjau satu persatu:
1. Riba Dalam Utang
Dikenal dengan istilah riba duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap utang. Riba
ini terjadi dalam transaksi utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi tak tunai selain
qardh, semisal transaksi jual-beli kredit (bai’ muajjal). Perbedaan antara utang yang
muncul karena qardhdengan utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang qardh
muncul karena semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam harta orang lain untuk
dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena
harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.
Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan
utang sebesar Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya telah
menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka
tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Termasuk riba duyun adalah, jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan
apabila pihak yang berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai
tambahan, namun jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka
temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut.
Contoh yang kedua inilah yang secara khusus disebut riba jahiliyah karena banyak
7
dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi qardh (utang-
piutang).
Sementara riba utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam) contohnya adalah
apabila si X membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas
dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi maka tempo akan
diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%, misalnya.
Perlu diketahui bahwa dalam konteks pinjaman, riba atau tambahan diharamkan
secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi
pada segala macam barang. Jika si A meminjam dua liter bensin kepada si B, kemudian
disyaratkan adanya penambahan satu liter dalam pengembaliannya, maka tambahan
tersebut adalah riba yang diharamkan. Demikian pula jika si A meminjam 10 kg buah apel
kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar 1kg, maka tambahan
tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, “kaum muslimin telah bersepakat
berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya
tambahan dalam pinjam meminjam (qardh) adalah riba, meski hanya berupa segenggam
makanan ternak”.
Bahkan, mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang meminjam
harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi pinjaman, maka hadiah dan
jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah, “setiap qardh yang menarik manfaat maka ia
adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia memberi pinjaman uang kepada si A
dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya kepada si B selama satu bulan,
maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan riba.
2. Riba Dalam Jual-beli
Dalam jual-beli, terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba nasi’ah.
Keduanya akan kita kenal lewat contoh-contoh yang nanti akan kita tampilkan. Berbeda
dengan riba dalam utang (dain) yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam
jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh
Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda:
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar
dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma
dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau
timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau
8
meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no.
1584)
Dalam riwayat lain dikatakan:
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut
dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan
semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan
(kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke
tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).
Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:
Pertama, Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya
menyebutkan enam komoditi saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan
garam. Maka ketentuan/larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam
komoditi ini saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain.
Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.
Kedua, Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar
dengan emas atau garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus
dipenuhi, yaitu:pertama takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua
keduanya harus diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.
Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10
gram dengan gelang emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali
lipat lebih tinggi dari nilai kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma kualitas
jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan kurma harus
setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang
disebut riba fadhl.
Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus
dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara
tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini
tergolong riba nasi’ahatau ada sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan
penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.
Ketiga, Pertukaran tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya
boleh dilakukan dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita boleh
9
menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak sesuai kerelaan
keduabelah pihak. Kita juga boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg gandum atau
dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-masing. Itu semua boleh asalkan tunai alias
kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi. Jika salah satu pihak menunda
penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak boleh dilakukan. Para ulama
menggolongkan praktek penundaan penyerahanbarang ribawi ini kedalam jenis riba
nasi’ah tapi ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama
riba yad.
Keempat, Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak
ditukar dengan ke kayu, maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak
disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang ribawi.
Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh
menukarkannya satu sama lain meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita
juga boleh menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar
10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan karena kelapa dan kedelai bukan
barang ribawi.
Memahami Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah
Fadhl secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan nasii’ah secara
bahasa maknanya adalah penundaan atau penangguhan. Sekarang mari kita mencoba untuk
memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama dengan istilah riba fadhl dan riba nasi’ah,
meskipun sebenarnya, setelah kita memahami fakta tentang jenis-jenis riba, bukan suatu hal
yang wajib untuk mengenal nama-namanya. Hanya saja, karena istilah riba fadhl dan nasi’ah
ini sangat sering kita baca atau kita dengar, maka kita akan menemukan kesulitan untuk
memahami tulisan atau pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.
Silahkan cermati kembali poin dua dan poin tiga pada penjelasan hadits yang baru
saja kita lewati, setelah itu insyaallah kita bisa memahami apa yang disebut dengan riba fadhl
dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar
barang-barang ribawi yang sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram.
Sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena penundaan, sebab, nasi’ah sendiri
maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Semua riba utang (riba duyun) yang telah kita bahas sebelumnya tergolong riba
nasi’ah, karena semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, riba nasi’ah berupa
tambahan sebagai kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan. contohnya utang dengan
tempo satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%,
10
misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana
keberadaan tambahan telah disepakati sejak awal, semisal ada ketentuan untuk
mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama
ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi bahwa ia merupakan
pertukaran barang sejenis dengan penambahan).
Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa
tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang
sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis.
Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau membeli perak
dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak
merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus
kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam
riba nasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang
ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.
2.3. Faktor Penyebab Diharamkannya Riba
Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi
kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Berikut merupakan sebab – sebab haramnya Riba yaitu :
1. Nas-nas dari Al-Quran dan Hadis tentang pengharaman Riba.
2. Mencerobohi kehormatan seorang Muslim dengan mengambil berlebihan tanpa ada
pertukaran/iwadh.
3. Memudharatkan orang miskin/lemah kerana mengambil lebih daripada yang sepatunya.
4. Membatalkan perniagaan, usaha, kemahiran pengilangan dan sebagainya ini adalah
karena cara mudah mendapatkan uang yang menyebabkan keperluan asasi yang lain
akan terabaikan dan terbengkalai.
5. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab
kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan
uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari
penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha,
dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
6. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia
dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang
akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga.
11
Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap
berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua
dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan.
7. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah
orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan
jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai
tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh
rahmat Allah.
8. Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri. Orang yang melakukan riba akan selalu
menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang yang meminjam
uang kepadanya. Pikiran dan angan–angan yang demikian itu akan mengakibatkan
dirinya selalu was–was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat
kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar. Jika orang yang melakukan
riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi
manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya
karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.
9. Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain. Orang yang meminjam uang kepada
orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan
lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima
pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa
mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat
mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya
bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan
menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.
10. Pemakan riba akan dihinakan dihadapan seluruh makhluk, yaitu ketika ia dibangkitkan
dari kuburnya, ia dibangkitkan bagaikan orang kesurupan lagi gila.
11. Ancaman bagi orang yang tetap menjalankan praktik riba setelah datang kepadanya
penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan dalam syari’at islam, akan
dimasukkan keneraka.
12. Allah ta’ala mensipati pemakan riba adalah sebagai’’ orang yang senantiasa berbuat
kekafiran atau ingkar, dan selalu berbuat dosa.
13. Allah menjadikan perbuatan meninggalkan riba sebagai bukti akan keimanan
seseorang, dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang tatap memekan riba
berarti iman nya cacat dan tidak sempurna.
12
2.4. Larangan-Larangan Riba dalam Al-Qur’an
Adapun dalil yang terkait dengan perbuatan riba, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Di antara ayat tentang riba adalah sebagai berikut: