Top Banner
ATH 1 PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN MASYARAKAT GOTONG ROYONG Oleh Ajar Triharso 1 Abstrak Sejak diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terjadi gejolak baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat. Karena UU tersebut tidak lagi memasukkan Pendidikan Pancasila sebagai kelompok mata pelajaran pengembangan kepribadian (MPK) disegala jalur, jenjang dan jenis pendidikan sehingga timbul kekhawatiran kondisi moral dan kepribadian bangsa Indonesia yang selama reformasi telah terjadi degradasi menjadi semakin tanpa arah. Banyak kalangan melakukan upaya agar Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mendapatkan “perlindungan” yang serius termasuk mengembalikan Pendidikan Pancasila masuk ke dalam kurikulum pendidikan dan disosialisasi di masyarakat dengan baik dan benar. Namun karena sudah merupakan keputusan lembaga yang berwenang yaitu DPR dan Eksekutif tentunya memerlukan waktu dan tenaga bahkan perjuangan karena keberadaan UU Sisdiknas merupakan produk situasi dan kondisi kejiwaan bangsa yang sedang mengalami hingar-bingar reformasi sekaligus globalisasi. Tulisan ini membahas masalah perlunya usaha revitalisasi dan implementasi ideologi Pancasila, konsep, dan metode serta strategi apa yang diusulkan untuk diterapkan agar Pancasila menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang paripurna sebagai modal bangsa Indonesia menghadapi globalisasi. Disamping itu juga akan dibahas mengapa pendidikan tinggi (PT) layak untuk menjadi pusat usaha revitalisasi dan implementasi Pancasila. Kata kunci: ideologi nasional, implementasi, sosialisasi, Pendidikan Pancasila 1. Pancasila dan semangat Reformasi Berbagai ketetapan MPR hasil reformasi berkaitan dengan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa dan negara antara lain Tap/MPR/XVIII/1998, Tap/MPR/V/2000, Tap/MPR/VI/2001, Tap/MPR/VII/2001 dengan tegas mengamanatkan agar dalam usaha pembangunan bangsa dan negara secara konsisten menanamkan nilai-nilai Pancasila dan menjadi jiwa pada setiap gerak bangsa dalam memantapkan kesatuan dan persatuan, etika kehidupan berbangsa dan visi Indonesia ke depan. Searah dengan amanat tersebut pada peringatan 61 tahun lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2006, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) meminta pada masyarakat untuk kembali kepada Pancasila serta menyudahi perdebatan ideologis, menempatkan Pancasila sebagai Dasar Negara, menjadikan rujukan dan sumber inspirasi dalam mencari solusi berbagai persoalan bangsa dewasa ini. 1 Penulis adalah Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) dan Koordinator Dosen Pendidikan Pancasila pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas Airlamgga.
26

PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN MASYARAKAT GOTONG ROYONG

Nov 28, 2015

Download

Documents

Alim Sumarno

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : Ajar Triharso,
http://ejournal.unesa.ac.id/
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

1

PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN

MASYARAKAT GOTONG ROYONG

Oleh Ajar Triharso1

Abstrak

Sejak diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas) terjadi gejolak baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat. Karena UU

tersebut tidak lagi memasukkan Pendidikan Pancasila sebagai kelompok mata pelajaran

pengembangan kepribadian (MPK) disegala jalur, jenjang dan jenis pendidikan sehingga

timbul kekhawatiran kondisi moral dan kepribadian bangsa Indonesia yang selama reformasi

telah terjadi degradasi menjadi semakin tanpa arah.

Banyak kalangan melakukan upaya agar Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia

mendapatkan “perlindungan” yang serius termasuk mengembalikan Pendidikan Pancasila

masuk ke dalam kurikulum pendidikan dan disosialisasi di masyarakat dengan baik dan

benar. Namun karena sudah merupakan keputusan lembaga yang berwenang yaitu DPR dan

Eksekutif tentunya memerlukan waktu dan tenaga bahkan perjuangan karena keberadaan UU

Sisdiknas merupakan produk situasi dan kondisi kejiwaan bangsa yang sedang mengalami

hingar-bingar reformasi sekaligus globalisasi.

Tulisan ini membahas masalah perlunya usaha revitalisasi dan implementasi ideologi

Pancasila, konsep, dan metode serta strategi apa yang diusulkan untuk diterapkan agar

Pancasila menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang paripurna sebagai modal

bangsa Indonesia menghadapi globalisasi. Disamping itu juga akan dibahas mengapa

pendidikan tinggi (PT) layak untuk menjadi pusat usaha revitalisasi dan implementasi

Pancasila.

Kata kunci: ideologi nasional, implementasi, sosialisasi, Pendidikan Pancasila

1. Pancasila dan semangat Reformasi

Berbagai ketetapan MPR hasil reformasi berkaitan dengan Pancasila sebagai dasar dan

ideologi bangsa dan negara antara lain Tap/MPR/XVIII/1998, Tap/MPR/V/2000,

Tap/MPR/VI/2001, Tap/MPR/VII/2001 dengan tegas mengamanatkan agar dalam usaha

pembangunan bangsa dan negara secara konsisten menanamkan nilai-nilai Pancasila dan

menjadi jiwa pada setiap gerak bangsa dalam memantapkan kesatuan dan persatuan, etika

kehidupan berbangsa dan visi Indonesia ke depan. Searah dengan amanat tersebut pada

peringatan 61 tahun lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2006, Presiden Susilo Bambang

Yudoyono (SBY) meminta pada masyarakat untuk kembali kepada Pancasila serta menyudahi

perdebatan ideologis, menempatkan Pancasila sebagai Dasar Negara, menjadikan rujukan dan

sumber inspirasi dalam mencari solusi berbagai persoalan bangsa dewasa ini.

1Penulis adalah Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional – Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik (FISIP) dan Koordinator Dosen Pendidikan Pancasila pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB)

Universitas Airlamgga.

Page 2: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

2

Pada seminar Indonesia Menuju tahun 2030 yang ditayangkan oleh SCTV dalam

rangka memperingati Hari Kebengkitan Nasional (19-20 Mei 2006) Prof. Dr. Syafii Maarif

menegaskan bahwa sebagai Ideologi nasional Pancasila harus segera dioperasionalkan untuk

menjadi landasan kehidupan bangsa dan negara Indonesia menuju tahun 2030. Sedangkan

Ketua PB NU KH. Hasyim Muzadi pada seminar di Pondok Pesantren Al-Hikam yang

membahas tentang kehidupan multi kultural, mengatakan: ” Saat ini ada upaya dari kelompok

tertentu untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia .… termasuk di

kalangan legeslatif”. Padahal, keberadaan Pancasila sangat dibutuhkan untuk mempersatukan

kurang lebih 500 (lima ratus) suku bangsa dan 6 (enam) agama yang ada di bumi pertiwi.

Lebih lanjut dikatakan bahwa ”Upaya mengganti ideologi itu terlihat nyata, misalnya: banyak

(munculnya) kelompok ekstrem, baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan” (Jawa Pos, Minggu

25 Juni 2006, hal : 2)

Dalam Simposium memperingati hari lahirnya Pancasila yang diselenggarakan

Universitas Gajah Mada – Lemhanas – LIPI tanggal 14-15 Agustus 2006 disebutkan:

”Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas sudah tidak mewajibkan lagi

Pendidikan Pancasila merupakan bagian tak terpisahkan dari proses “colonization of the mind”

bangsa Indonesia oleh kebudayaan asing yang mengambil manfaat dari euforia reformasi dan

membawa pendidikan bangsa Indonesia semakin ”salah asuhan”. Pendidikan di Indonesia

semakin lebih menghayati paradigma ilmu milik budaya bangsa lain. Setelah dilakukan

diskusi selama dua hari Simposium kemudian menyimpulkan bahwa hal itu terjadi karena

keberhasilan penetrasi global neoliberal yang semakin gencar khususnya setelah berakhirnya

”perang dingin”. Oleh sebab itu perserta sepakat untuk dilakukan revitalisasi dan reaktualisasi

Pancasila”. (Effendy, Nasikun, 2006)

Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) juga

sudah membuat kebijakan dalam rangka menghadapi Ancaman, Gangguan, Tantangan, dan

Hambatan (AGTH) yang semakin besar terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,

sebagai akibat semakin tipisnya nilai-nilai Pancasila sebagai faktor pemersatu dalam

kehidupan masyarakat Indonesia. Serangkaian kegiatan telah dilaksanakan untuk mencari

jalan mengembalikan Pancasila pada fungsinya dan telah diawali pada 27 September 2005

dengan Saresehan Nasional tentang Pancasila. Kemudian pada tanggal 14, 15 dan 28

Desember 2006 dengan melibatkan beberapa PT (dari Jawa Timur diundang Unibraw dan

Page 3: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

3

Unair) melakukan upaya untuk merumuskan pola pendidikan Pancasila yang tidak doktriner

dan bagaimana caranya untuk segera diimplementasikan di masyarakat Indonesia.

Sementara itu Pemerintah dan jajaran DPRD Propinsi Jawa Timur, dengan perilaku

masyarakat yang serba kebablasan selama reformasi antara lain peristiwa Tuban, Banyuwangi,

Sumenep, perilaku “bonek” dan berbagai perilaku masyarakat Jawa Timur yang

memprihatinkan lainnya, merasakan perlunya segera menjabarkan nilai-nilai Pancasila dalam

kehidupan masyarakat. Untuk itu dengan memberi tugas lepada dosen-dosen pengampu

Pendidikan Pancasila dari Public Univeristy Link System of East Java (PULSE) yaitu

paguyuban PTN se Jawa Timur dan PTS se Jawa Timur, melalui Semiloka di DPRD Jawa

Timur tanggal 20 September 2006 dan dilanjutkan dengan Lokakarya tanggal 28 Nopember

2006 di Unesa dalam rangka revitalisasi dan implementasi Pancasila diamanatkan untuk

segera disusun materi dan metode pendidikan Pancasila yang sesuai dengan semangat

reformasi.

Prof. Bambang Rahino Setokoesoemo seorang akademisi senior Jawa Timur dalam

kata pengantar Buku Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa mengatakan Demokrasi kita

masih merupakan demokrasi euforia. Pada era reformasi demokrasi sebagai perwujudan

kebebasan dari rezim masa lalu yang dirasakan sangat mengekang pada implementasinya

dalam banyak hal ternyata menjadi serba kebablasan. Di kalangan mahasiswa dan masyarakat

banyak yang mengartikan demokrasi sama dengan demonstrasi tanpa etika yang jelas.

Reformasi menjadikan nilai-nilai Pancasila memudar dan masyarakat kehilangan kesadaran

tentang budaya pancasila. yaitu kebudayaan yang menggunakan asas kekeluargaan, gotong-

royong dan saling membantu, bersatu, guyup-rukun, saling menghargai seperti tercermin

dalam ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila, suatu pandangan hidup yang dicari, digali,

dan ditemukan dari bumi sendiri, bumi Pertiwi (Suprijadi, 2004:iii-iv).

Pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan merupakan representasi dari semangat agar

Pancasila segera dioperasionalkan sebagai dasar falsafah, ideologi, alat pemersatu serta

menjadi paradigma Ipteks Indonesia. Oleh sebab itu dengan berpedoman pada empat pilar

pendidikan UNESCO yaitu learn to know, learn to do, learn to be dan learn to live

together dalam rangka mengoperasionalkan Pancasila perlu segera disusun materi dan

metode pendidikan Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi baik untuk dunia

Page 4: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

4

pendidikan maupun masyarakat. Untuk itu perlu dijabarkan beberapa masalah yang

mendorong perlunya pendidikan Pancasila di dunia pendidikan maupun masyarakat.

2. Masalah- masalah dalam Pembangunan Ideologi

a. Masalah AGTH terhadap Kesatuan dan Persatuan Bangsa

Tuntutan perlunya segera disusun materi dan pola pendidikan Pancasila yang tepat

Menkopolhukam memberi argumen bahwa kondisi ATHG terhadap kehidupan berbangsa

dan bernegara akibat tidak adanya proses pembudayaan ideologi nasional yang terencana di

masyarakat dikhawatirkan semakin membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa

Indonesia. AGTH terhadap pemecahan masalah bangsa yang disebabkan antara lain oleh

kondisi kemajemukan, korupsi, terorisme, kemiskinan, dan narkoba adalah akibat dari bangsa

Indonesia mengalami krisis kepercayaan terhadap tidak tersosialisaikannya dengan baik

nilai-nilai ideologi nasional yaitu Pancasila.

Diperlukan upaya menyusun kembali pola implementasi Pancasila sebagai ideologi

terbuka yang lebih sesuai dengan semangat reformasi agar dapat mengantar negara dan

bangsa kita dengan sukses menjalani berbagai perubahan. Karena pada waktu yang lalu

usaha implementasi Pancasila menjadikan nilai-nilai Pancasila hanya sebagai hafalan dan

tidak mewujud secara substansial pada perikehidupan sehari-hari masyarakat dan hanya

menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. (Sudharmadi, 2006).

Era pasca perang dingin nilai-nilai liberalisme sekaligis sektarianisme menjadi faktor

utama dalam perubahan-perubahan dan pergolakan-pergolakan di dunia (Rofiqi, 2004 ). Pada

proses reformasi di Indonesia faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh pada konflik-

konflik di masyarakat sehingga sedikit banyak mewarnai AGTH bagi pelaksanan reformasi

khusunya dalam membangun kesatuan dan persatuan bangsa. Penjabaran ideologi Pancasila

ke dalam paradigma baru tentang nilai-nilai demokrasi menjadi serba kebablasan. Produk-

produk kebijakan negara erareformasi seperti UU Sisdiknas dinilai banyak dipengaruhi

paham neoliberalisme (Simposium UGM) juga banyak muncul UU atau perda yang menjurus

pada pelaksanan nilai-nilai primordial dan sektarian serta pengaruh paham neo-komunisme

atau paham kiri-baru. (Noor Syam, 2006; Siswono, 2006).

Page 5: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

5

b. Masalah Kebersamaan (togetherness) dalam Masyarakat

Apa yang dikatakan oleh Prof. Bambang Rahino di muka kiranya sejajar dengan apa

yang dikatakan oleh Siswono Yudho Husodo bahwa nilai utama ideologi Pancasila adalah

kebersamaan dengan bentuk ideal, kebersamaan hidup bermasyarakat sebagai “masyarakat

kekeluargaan” yang lebih dinamis, “kebersamaan hidup antarsejumlah manusia yang

terselenggara melalui interaksi saling memberi”. Suatu kebersamaan yang mampu menjadi

fondasi dan modal sosial dari negara kesejahteraan Indonesia yang mandiri.

Dengan kemandirian akan menumbuhkan kebanggaan pada warga negaranya dan

mendorong mereka berprestasi maksimal bagi kemajuan dirinya sendiri, masyarakat, bangsa

dan negaranya. Salah satu hal wajib dilestarikan adalah pendidikan sejarah yang mampu

membentuk karakter suatu bangsa. Rakyat Indonesia tidak perlu menjadi ahli sejarah, tetapi

harus memahami dan bangga akan sejarah bangsanya. Karena dunia pendidikan di bawah

pengaruh neo-liberalisme sekarang memang semakin a-historis dan perlu strategi

pembangunan masyarakat untuk menjadi subjek Pancasilais yang unggul dan terpercaya

(Siswono, 2006).

Jadi yang harus dilakukan adalah berusaha agar Pancasila dapat bangkit kembali

sebagai ideologi rakyat, bukan sebagai ideologi penguasa atau elite saja. Untuk itu Pancasila

harus menjadi ideologi yang mampu mendasari demokrasi yang lebih bermakna dan

bermanfaat bagi rakyat. Alternatif cara mengembalikan Pancasila sebagai ideologi rakyat,

dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

(1) Apakah Pancaila sudah merupakan kesadaran rakyat untuk bersama-sama mewujudkan

suatu tatanan masyarakat yang diimpikan oleh mereka?

(2) Apakah Pancasila telah menjadi tolok ukur rakyat dalam upaya pengawasan sosial

sebagai wujud kedaulatan mereka?

(3) Apakah Pancasila telah merupakan suatu kesadaran dan kebutuhan rakyat untuk

bersama-sama menjaga keutuhan kehidupan kenegaraan?

(4) Apakah Pancasila telah menjadi suatu pandangan hidup rakyat sehingga menjadi tolok

ukur (akuntabilitas) bersama tentang kepercayaan rakyat pada masa depan negara?

(Sulistomo, 2006).

Page 6: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

6

c. Masalah Pendidikan Pancasila

Pancasila harus menjadi ideologi terbuka, di situ semua orang berhak untuk mengisi,

memahami, dan memberi makna sesuai dengan pemikiran terbaiknya. Hanya dengan

melibatkan dalam proses perumusan dan pemberian makna itulah rakyat akan benar-benar

menghayati Pancasila. Bangsa Indonesia juga membutuhkan proses sosialisasi dan

pembudayaan demokrasi yang berkelanjutan berdasarkan Pancasila.

UU Sisdiknas memang sudah diundangkan dan implementasi dalam muatan dan/atau

kegiatan kurikulum pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pada jalur formal

kurikulum pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) materi pengetahuan tentang muatan

dan/atau kegiatan Pancasila termasuk dalam mata ajar PKn (Pendidikan Kewarganegaraan).

Sedangkan di PT juga sudah dibuat rambu-rambu yang berkaitan dengan pengetahuan

Pancasila dalam Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi yaitu SK Dirjen Dikti No.

43/2006 yang merujuk pada UU No. 20/2003/Sisdiknas pasal 37 ayat 2, PP No. 19 tahun 2005

tentang Standard Nasional Pendidikan (SNP) pasal 9 ayat 2 pada Mata ajar Pendidikan

Kepribadian (MPK) Pendidikan Kewarganegaraan dalam Bab Filsafat Pancasila. Walaupun

demikian dari penjelasan Dr. Hermana dari Depdiknas apabila pada perkembangannya ada

alasan yang kuat tentunya tidak menutup kemungkinan Pendidikan Pancasila menjadi mata

ajar tersendiri (Hermana, 2006).

Oleh sebab itu apabila Pendidikan Pancasila menuntut hasil perilaku konkret sebagai

kepribadian bangsa Indonesia maka perlu digali lebih lanjut peraturan-peraturan yang sudah

berlaku untuk diimplementasikan. Dalam UU No. 20/2003/Sisdiknas tentang dasar, fungsi, dan

tujuan pendidikan nasional disebutkan Pasal 2 Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Pendidikan

nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan UU Sisdiknas Pasal 4 menyebutkan : (1)

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif

dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan

Page 7: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

7

kemajemukan bangsa. ; 2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik

dengan sistem terbuka dan multimakna.; (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses

pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

Tentang kurikulum diatur dalam UU Sisdiknas BAB X Pasal 36 : (1) Pengembangan

kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan

tujuan pendidikan nasional. ; (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan

dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah,

dan peserta didik.; (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan

takwa; (b) peningkatan akhlak mulia; (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta

didik; (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; (e) tuntutan pembangunan daerah dan

nasional; (f) tuntutan dunia kerja; (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan

seni; (h) agama; (i) dinamika perkembangan global; dan (j) persatuan nasional dan nilai-

nilai kebangsaan ; (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 37 ayat (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a)

pendidikan agama; (b) pendidikan kewarganegaraan; (c) bahasa; (d) matematika; (e) ilmu

pengetahuan alam; (f) ilmu pengetahuan sosial; (g) seni dan budaya; (h) pendidikan jasmani

dan olahraga; (i) keterampilan/kejuruan; dan (j) muatan lokal. Ayat (2) Kurikulum

pendidikan tinggi wajib memuat: (a) pendidikan agama; (b) pendidikan kewarganegaraan;

dan (c) Bahasa Indonesia.

Adapun yang terkait dengan pasal 37 ayat 2 UU No. 20/2003/Sisdiknas adalah pasal 9

ayat 2 PP No. 19 tahun 2005 yang berbunyi: Kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi

wajib memuat mata kuliah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa

Indonesia, dan Bahasa Inggris. Kecuali Bahasa Inggris pelaksanaan pasal 9 ayat 2 tersebut

adalah SK Dirjen Dikti No. 43/2006 sebagai rambu-rambu MPK.

Implentasi Pendidikan Pancsila di Kurikulum PT kiranya berpeluang pada pasal 9 ayat 3

PP No. 19 tahun 2005 yang ternyata merupakan ayat yang sangat terbuka. Ayat tersebut

berbunyi: “...kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi program Sarjana dan Diploma wajib

memuat mata kuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, ...” dan hal tersebut kiranya

juga ada pada peraturan kurikulum di pendidikan dasar dan menengah. Dengan keterbukaan

Page 8: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

8

tersebut menyebabkan masyarakat dapat mengisi pendidikan kepribadian dan kebudayaan

menurut selera (sponsor) masing-masing.

Dengan kondisi legalitas demikian khususnya tentang pendidikan kepribadian dan

ideologi nasional kiranya sangat bijaksana bagi dunia pendidikan yang masih tetap

mempertahankan mata kuliah Pendidikan Pancasila dan harus mendapat dukungan dan

difasilitasi untuk diproses menjadi sentuhan terakhir (final touch) terhadap kurikulum

pengembangan kepribadian siswa dan mahasiswa yang kondusif terhadap pembangunan

ideologi nasional.

Hal tersebut harus mendapatkan perhatian dari dunia pendidikan yang mempunyai

peranan strategis di dalam selain membangun kecerdasan juga filsafat dan ideologi sebagai

dasar identitas kepribadian dan jatidiri bangsa. Karena bangsa-bangsa lain sudah sejak awal

sangat serius terhadap pendidikan filsafat dan ideologi masing-masing sebagai dasar

kepribadian bangsanya antara lain bangsa India mendasarkan pendidikan mereka pada Satia

Graha, bangsa China Komunis dengan Konfusianisme-Kumunisme, China Taiwan dengan

Konfusianisme-San Min Cui, Amerika Serikat dengan Liberalisme Amerika Serikat, Australia

dengan Liberalisme Australia, Iran dengan Islamisme Iran, Arab Saudi dengan Islamisme

Arab, Jepang dengan Konfusianisme-Shintosme, dan lain-lain tentunya wajar apabila dunia

pendidikan di Indonesia mengkaji dan mengajarkan secara serius filsafat dan ideologi bangsa

yang telah digali oleh para founding fathernya.

Oleh sebab itu keberadaan Pendidikan Pancasila tidak hanya secara eksplisit perlu

dicantumkan dalam kurikulum di setiap jenjang dan jenis pendidikan sebagai bagian dari

pendidikan dasar kepribadian generasi muda Indonesia namun juga harus selalu di kaji tentang

materi, metode dan pendekatan pendidikanya agar tetap aktual dan kontekstual serta tidak

mengulangi kesalahan masa lalu. Apalagi dengan menjamurnya sekolah-sekolah dan PT di

kota-kota besar berlabel Internasional yang digandrungi golongan kaya dan atau berlabel

agama tertentu yang rentan terhadap pengaruh nilai-nilai sektarian yang berpotensi membawa

masyarakat ke dalam konflik baik vertikal maupun horisontal dan pada gilirannya akan

menambah runyam terhadap perkembangan kepribadian generasi muda Indonesia.

Dengan demikian sebagai ideologi terbuka Pancasila perlu upaya menemukan cara dan

metode dalam pemasyarakatnnya agar dalam pengembangan kepribadian bangsa tidak

menjadikan Pancasila digusur oleh ideologi lain (Noor Syam, 2006). Apa yang sudah menjadi

Page 9: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

9

kewaspadaan dan komitmen terhadap Pendidikan Pancasila dari Saresehan di

Menkopolhukam dan Simposium di UGM serta menjadi dasar semangat Pemerintah dan

DPRD Propinsi Jawa Timur serta komitmen DPRD Jawa Timur dengan eks dosen-dosen

pengampu Pendidikan Pancasila dari Public Universities System of East Java (PULSE) dan

PTS se Jawa Timur harus merupakan kegiatan yang terpadu.

Jadi masalah krusial dalam revitalisasi, implementasi, dan aktualisasi atau usaha

pemberdayaan ideologi Pancasila adalah masalah pembudayaan melalui pendidikan yaitu

materi-materi apa dan proses sosialisasi dan pembudayaan yang bagaimana yang sebaiknya

diterapkan melalui proses pendidikan. Hal itu harus segera disusun dan diwujudkan karena

sudah demikian besarnya ATGH terhadap persatuan dan kesatuan bangsa akibat menipisnya

nilai-nilai Pancasila di dunia pendidikan dan masyarakat akibat kelemahan dalam kebijakan

dan proses globalisasi.

d. Masalah Perjuangan Menyelamatkan Ideologi Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Sebagai kegiatan di bidang pendidikan yang harus diperjuangkan adalah bagaimana

pelaksanaan revitalisasi dan implementasi Pancasila memberi ruang partisipasi pada

masyarakat. Yaitu proses pendidikan yang melibatkan masyarakat dalam penyusunan,

mengisi, memahami dan pemberian makna sesuai dengan pemikiran terbaiknya agar proses

implementasi nilai-nilai Pancasila dapat mencapai hasil yang diidealkan yaitu kehidupan

kebersamaan sebagai landasan Jatidiri bangsa Indonesia (Naya Sujana, 2005).

Seperti telah disinggung di depan tantangan riel bagi ideologi Pancasila sebagai

ideologi besar dan terbuka, seperti sejak Pancasila mulai diimplementasikan tahun 1945,

adalah nilai-nilai negatif dari ideologi-ideologi besar yang lebih dahulu ada terutama

Komunisme, Islamisme, dan Liberalisme dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Pada era

Orde Baru bangsa Indonesia melaksanakan pembangunan nasional dengan mengintegrasikan

diri ke dalam sistem kapitalisme internasional dan di bawah “bimbingan” dari negara-negara

Barat di mana nilai-nilai liberalisme mendapatkan akses yang luas ke dalam kehidupan bangsa

Indonesia.

Komunisme pada waktu yang lalu mengancam melalui peristiwa Madiun dan G 30 S

PKI dan sekarang dengan situasi moral bangsa yang sedang lemah khususnya dengan kondisi

ketimpangan dalam kehidupan ekonomi akibat paham kapitalisme. Sekarang ada tanda-tanda

kebangkitan paham komunisme untuk menjawab kondisi ketimpangan yang terjadi. Islamisme

Page 10: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

10

dulu melalui DI, TII, NII dan sekarang melalui gerakan Al Qaidah dan semacamnya yang

sangat anti Barat melalui aksi-aksi teror juga sedang menggoyang bangsa Indonesia.

Sedangkan paham Liberalisme yang dulu mendasari keberadaan RIS, gerakan-gerakan

separatis seperti RMS, GAM, GPM, dengan akses yang luas sekarang bak virus ganas sedang

berlangsung secara intensif proses liberalisasi lebih kontekstual dalam jiwa bangsa Indonesia

(Triharso, 2006).

Liberalisme adalah ideologi masyarakat Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat di

mana sejak era Orde Baru secara intensif membantu Indonesia dalam pembangunan dan

modernisasi. Pasca perang dingin Liberalisme menjadi ideologi pemenang atas ideologi

Komunisme dan memegang hegemoni dunia. Oleh karena itu apa yang menjadi dasar para

cerdik pandai dari kampus dalam menyusun konsep-konsep reformasi adalah kehidupan

masyarakat liberal dari mana mereka menuntut ilmu khususnya di Amerika Serikat dan

negara-negara Barat lainnya sebagai bagian dari hasil kerjasama pembangunan.

Dalam proses kerjasama pembangunan dengan kemajuan teknologi informasi pengaruh

demonstration effect gaya hidup dunia Barat yang sangat intensif terhadap masyarakat

Indonesia khususnya melalui pendidikan dan media massa. Dengan proses orientasi

kebudayaan Barat kepada setiap pelajar sebelum menuntut ilmu di luar negeri dan buku-buku

bacaan yang mereka bawa pulang walaupun berisi ilmu pengetahuan namun tentunya dikemas

dengan nilai budaya barat.

Proses sosialisasi dan pembudayaan Pancasila pada masa lalu baik pada era Orde Lama

maupun era Orde Baru tak lebih dari hanya proses indoktrinasi untuk membangun dan

mengukur kepatuhan masyarakat terhadap regime. Pada masa Bung Karno melalui Tujuh

Bahan Pokok Indoktrinasi atau TUBAPI dan USDEK dan pada era Jendral Suharto melalui

Ekaprasetia Pancakarsa. Oleh sebab itu bangsa Indonesia ke depan harus mengembangkan

konsep baru yang bertujuan menumbuhkan kembali dan memperkuat akar jiwa Pancasila di

masyarakat Indonesia yang tidak indoktrinatif.

Ibarat sebuah pohon, kepribadian bangsa Indonesia sudah miring hampir tercerabut

akarnya dari tanah akibat dilanda “badai” paham-paham asing yang sangat hebat. Pancasila

harus diberdayakan atau direvitalisasi dengan menyusun konsep-kosep sosialisasi,

operasionalisasi dan implementasi yang kontekstual, menguragi nilai mitosnya dan berusaha

digali lagi lebih dalam nilai etos dari akar budaya bangsa agar dapat menghadapi kekuatan

Page 11: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

11

revolusioner ideologi-ideologi besar yang selalu merongrong untuk menjadi ideologi alternatif

terhadap Pancasila.

Gerakan revitalisasi untuk mempertahankan dan mengembangkan ideologi nasional

dalam kehidupan bangsa saat ini tentunya memerlukan strategi yang berbeda dari pada masa

lalu yang sarat dengan kepentingan politik praktis. Dengan didasari semangat TAP MPR-RI

No. XVIII/MPR/1998 dan beberapa TAP MPR-RI berikutnya yang intinya diamanatkan :

(1) Hak asasi manusia yang diterapkan di Indonesia tidak dibenarkan bertentangan dengan

Pancasila.

(2) Pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia berdasarkan pada

Pancasila.

(3) Pancasila harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

(4) Tujuan nasional dalam pembangunan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa

berdasarkan Pancasila.

(5) GBHN disusun atas dasar landasan idial Pancasila.

(6) Salah satu misi bangsa Indonesia dalam menghadapi masa depan adalah: Pengamalan

Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(7) Pancasila sebagai landasan untuk mempersatukan bangsa.

(8) Menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka.

(9) Pancasila sebagai acuan dasar untuk berfikir, bersikap dan bertingkah laku dalam

kehidupan berbangsa. (Suprapto, 2005: 26)

Dalam rangka membudayakan Ideologi nasional bangsa Indonesia harus ditemukan

konsep dan metode sosialisasi, operasionalisasi dan implementasi yang sesuai dengan tingkat

kemajuan bangsa agar dapat mendukung secara maksimal proses melanjutkan pembangunan

nasional dan menjadi “modal” dan “model” dalam pergaulan antarbangsa. Apabila hal tersebut

dilaksanakan melalui dunia pendidikan tentunya sangat memerlukan dukungan dan kesadaran

semua pihak dan pada tempatnya usaha ini dipelopori oleh masyarakat perguruan tinggi (PT).

Sebagai center of exelent bangsa di bidang SDM dan IPTEK, masyarakat PT

khususnya dan dunia pendidikan umumnya seharusnya diberi tugas membangun pola

implementasi nilai-nilai Pancasila agar semua permasalahan bangsa di bidang moral dan

ideologi dapat terpecahkan. Karena melalui dunia pendidikan generasi muda dan IPTEK

bangsa dipersiapkan lebih sistematis untuk menghadapi tantangan atau AGHT bangsa yang

Page 12: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

12

dilakukan oleh musuh-musuh bangsa yang tidak kalah sistematisnya. Hal tersebut merupakan

tantangan kolektif masyarakat pendidikan di Indonesia untuk menunjukkan produktifitas dan

daya kontemplatifnya terutama dalam mempertahan ideologi Pancasila. Apalagi pada masa

transisi yang lalu beberapa Universitas di Indonesia memperoleh rekomendasi dari pemerintah

untuk melakukan berbagai upaya agar ideologi Pancasila dikembangkan sesuai dengan

tuntutan jaman.

Suatu tantangan berat karena walaupun sudah lebih dari 5 tahun bangsa Indonesia

berusaha melakukan reformasi sebagai akibat dilanda krisis multi dimensi sejak 1997 namun

permasalahan belum bisa dipecahkan secara tuntas dan bahkan menjadi semakin sulit dan

rumit. Beberapa bidang sudah dapat dilakukan reformasi namun masih banyak bidang belum

terjamah dan bahkan serba kebablasan yang dapat membawa bangsa ini ke dalam krisis dan

keterpurukan semakin parah. Pancasila sudah saatnya tidak hanya menjadi sekedar formalitas

dan dimitoskan namun harus ditemukan cara implementasi yang lebih operasional yang

mendasari semangat dan etos kerja bangsa Indonesia sesuai dengan tuntutan jaman.

Dengan kompleksitas permasalahan diperlukan wadah untuk usaha menyelamatkan,

mengembalikan dan menyempurnakan fungsi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara yaitu kelembagaan yang mempunyai tugas untuk melakukan pengkajian, penelitian

sekaligus mengembangkan suatu metode bagaimana Pancasila diimplementasikan atau

dihayati dan diamalkan baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat di era reformasi

dengan menitik beratkan pada mengembangkan etos kerja Pancasila.

3. Krisis Kebudayan yang Mengancam Persatuan Dan Kesatuan

Krisis yang kita derita bukan hanya krisis politik dan ekonomi namun juga

kebudayaan. Salah satu akibat krisis adalah perkembangan lebih ganas “penyakit” yang telah

hidup di tubuh bangsa Indonesia yang berkembang biak pertama kali di birokrasi pemerintah

sebagai sentral pelaksanaan pembangunan dalam system pemerintahan otoriter Orde Baru.

Dalam menjalankan fungsinya ternyata tubuh birokrasi menjadi limbung tidak mampu

mengembangkan koordinasi, integrasi, sinkronisasi (KIS) pada dirinya. Hal tersebut tidak lain

karena pembangunan juga merupakan proses distribusi (dana pembangunan) sekaligus

produksi industri modern sehingga terjadi perubahan nilai yang cenderung materialistis.

Gejala “penyakit” tersebut adalah KKN, arogansi sektoral, golonganisme, materialisme,

individualisme, dan bahkan hedonisme yang mengakibatkan hilangnya saling percaya dan rasa

Page 13: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

13

empati atau tepa selira tidak hanya di antara birokrasi tetapi juga sudah menjalar di seluruh

lapisan masyarakat dan mempengaruhi motivasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan

berbegara sehingga dapat menghambat dalam mengamankan ideologi Pancasila (Abdul Gani,

2000).

Penyakit birokrasi tersebut timbul tak lepas dari proses pembangunan pada era Orde

Baru di mana birokrasi menjadi mesin pelaksanaan pembangunan dalam posisi peranan

pemerintah sangat kuat. Lembaga negara, departemen pemeritah dan agen-agen pembangunan

lainnya termasuk perguruan tinggi khususnya PTN menjadi sangat berorientasi pada proyek

pembangunan dengan ketergantungan hampir di semua bidang pada anggaran pemerintah di

mana salah satu komponen utamanya adalah bantuan dan hutang luar negeri. Akibatnya

berkembang eksklusivisme dan saling tidak percaya antarindividu (ndividualisme), antar

departemen (antarsektor), antarkelompok, antargolongan sebagai salah satu penyebab utama

dari krisis. Padahal menurut Institute of Future Studies for Development di Bangkok saling

percaya adalah kunci untuk menyelesaikan krisis (Asia Week, December 1998). Sedangkan

empati adalah jaringan rasa sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya

kerukunan dan dialog sosial di setiap masyarakat. Dengan saling percaya dan empati orang

akan dapat saling tolong menolong dan bekerja sama. Jadi krisis yang terjadi pada bangsa

Indonesia juga dapat disebut krisis kepercayaan dan empati.

Salah satu cara untuk keluar dari krisis kepercayan dan menemukan rasa empati di

antara masyarakat Indonesia adalah membangun keterbukaan (openess) satu sama lain dengan

mengadakan forum-forum dialog atau kosultasi dengan pendekatan pembangunan masyarakat

berbasis kelompok (community development - comdev.). Karena dengan keterbukaan atau

saling terbuka melalui dialog yang akrab akan terjadi proses saling memberi input berupa

segala sesuatu yang perlu dipikirkan tentang nilai-nilai Pancasila dengan menyerap dan

menyarikan segala pemikiran atau gagasan (yang relevan) beserta nilai-nilai yang terkandung

di dalamnya di antara anak bangsa satu sama lain yang mempunyai perhatian pada kondisi

moral dan ideologi bangsa. Dari sana diharapkan dapat memberi kontribusi model pada

pembangunan masyarakat Pancasila yang sedang terpuruk ini dengan metoda dialektik,

eklektik, dan sinkretik untuk menemukan konsep-konsep yang fungsional.

Forum dialog atau kosultasi yang diselenggarakan harus dalam pola kebersamaan dan

keterbukaan masyarakat madani. Suatu forum dialog yang diselenggarakan secara terstruktur

Page 14: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

14

sebagai wahana komunikasi dan sinergi untuk menumbuhkan saling kenal, saling membuka

diri warga masyarakat yang pada gilirannya menjadi saling percaya dan empati sebagai salah

satu strategi menjadikan masyarakat lebih produktif dan mandiri berjiwa Pancasila. Kegiatan

tersebut kiranya dapat diawali dari masyarakat pendidikan tinggi khususnya mahasiswa

sebagai salah satu stakeholder utama bangsa dan negara untuk memelopori pengembangan

konsep kebersamaan dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Seperti telah dijelaskan bahwa tantangan riel bagi Pancasila adalah justru dari

Liberalisme sedangkan ideologi besar lainnya sebagai pecundang memanfaatkan ruang kosong

yang ada sehingga sangat kondusif terhadap perpecahan bangsa. Karena apa yang menjadi

dasar para cerdik pandai dari kampus dan masyarakat terdidik lainnya dalam menyusun

konsep-konsep reformasi sekarang adalah kehidupan masyarakat liberal dari mana mereka

menuntut ilmu khususnya dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Suatu gaya

hidup yang sangat kuat pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia melalui pendidikan dan media

massa yang sangat intensif menjadi salah satu penyebab bangsa Indonesia nyaris kehilangan

jati dirinya (Sujana, Askandar, 2003) Untuk itu dengan dipelopori oleh masyarakat PT, bangsa

Indonesia ke depan harus mengembangkan konsep yang bertujuan menumbuhkan kembali dan

memperkuat akar jiwa Pancasila di masyarakat Indonesia. Pancasila harus direvitalisasi untuk

menemukan pola kesatuan dan persatuan yang lebih langgeng.

Apa yang dialami oleh Bangsa Indonesia sekarang yaitu krisis kepercayaan dan rasa

empati atau tepa selira dapat dikategorikan ke dalam krisis moral yang didasari kesalahan di

dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Krisis menjadikan bangsa Indonesia

kelihatan bodoh, tidak percaya diri dan mudah diperdaya oleh bangsa lain. Krisis moral

menyebabkan konflik-konflik sosial, sehingga bangsa Indonesia mengalami perpecahan

(disintegrasi), berperilaku ganas dan biadab. Krisis moral juga menyebabkan perilaku korupsi,

kolusi, dan nepotisme (KKN) dan dengan perilaku demikian kekayaan alam yang indah dan

melimpah ruah baik di darat maupun di laut bangsa Indonesia tidak mampu memanfaatkan

secara maksimal. Semuanya belangsung karena bangsa Indonesia sudah tidak memiliki etika

yang benar.

Page 15: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

15

4. Implementasi Pancasila Dengan Membangun Jiwa Gotong-Royong Sebagai Social

Capital

Huntington mengatakan bahwa pada era pasca perang dingin identitas-identitas

budaya dan kebudayaan mampu membentuk pola kohesif atau perekat yang mengakomodasi

adanya pluralitas masyarakat atau juga sebaliknya menyebabkan disintegrasi. Oleh sebab itu

apabila tidak ada kesadaran untuk mengembangkan budaya politik yang kohesif negara

nasional yang plural di bidang etnis dan budaya akan menghadapi kekuatan distruktif

(Huntington, 2000: 5).

Menurut Putnam nilai perekat yang fungsional dalam masyarakat ditunjukkan pada

adanya pola-pola interaksi yang membantu masyarakat dan negara dapat memahami satu sama

lain. Yaitu kondisi masyarakat sebagai social capital yang seharusnya terbangun bersamaan

dengan pembangunan fisical capital dan human capital. Putnam mendefinisakan social capital

sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan nilai, norma-norma dan kepercayaan sosial

yang mendorong pada sebuah kerjasama sosial yang saling menguntungkan untuk kepentingan

bersama yaitu kemampuan untuk membentuk sistem pemerintahan yang bersih, efektif,

efisien, responsif, akomodatif terhadap aspirasi rakyat sebagai prasyarat terbentuknya civil

society. Suatu sistem politik yang mengalami perkembangan negatif atau defisit social

capitalnya rentan terhadap krisis (Putnam, 1995). Artinya sistem politik yang surplus Social

capital akan terintegrasi secara kokoh. Menurut Fukuyama, Social capital dapat ditumbuhkan

(cultivated) dan social capital mempunyai fungsi positif terhadap kehidupan ekonomi dan

politik suatu negara (Fukuyama: 1999, 1).

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas bangsa Indonesia saat ini untuk yang ketiga kalinya

mengalami pasang surut atau surplus - defisit social kapital. Surplus Social capital pertama

bangsa Indonesia adalah kemauan bersama untuk merdeka yang telah menghasilkan

kemerdekaan atau mendeligitimasi pemerintah kolonial bersamaan dengan lahirnya ideologi

Pancasila sebagai konsep perekat kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia merdeka.

Namun setelah kemerdekaan tercapai, implementasi ideologi Pancasila sebagai konsep perekat

dalam mengisi kemerdekaan ternyata tidak begitu saja dapat diimplementasikan dalam

pembangunan masyarakat Pancasila yang dicita-citakan proklamasi. Bangsa Indonesia

kemudian disibukkan oleh konflik-konflik politik baik dalam dimensi domentik yang diwarnai

nilai-nilai budaya tradisional dan sektarian sisa-sisa struktur masyarakat kolonial maupun

Page 16: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

16

dimensi struktural konflik internasional khususnya pengaruh perang dingin. Ancaman

sparatisme, sektarianisme dan persaingan ideologi perang dingin mencapai puncaknya pada

ancaman dari ideologi komunisme terhadap ideologi Pancasila menyusul terjadinya G30S PKI

sebagai titik terendah kadar social capital bangsa Indonesia.

Kedua ancaman dari ideologi komunisme menghasilkan social capital bangsa

Indonesia untuk bersatu padu menyelamatkan ideologi Pancasila dari bahaya ideologi

komunisme. Dengan mengesampingkan perbedaan masyarakat dan negara sepakat untuk

melaksanakan pembangunan dengan semangat mempertahankan sekaligus melaksanakan

ideologi Pancasila secara murni dan konsekuen dengan dukungan dan bantuan dari negara-

negara kapitalis leberal dan ternyata menyebabkan kondisi krisis seperti sekarang ini. Bangsa

Indonesia dapat diibaratkan lepas dari mulut binatang berbisa komunisme sekarang dalam

tubuh bangsa Indonesia penuh dengan bisa liberalisme.

Pada era antara dua social capital pertama tersebut secara alami menempatkan posisi

dominan negara terhadap masyarakat akibat masih lemahnya fisical capital dan human capital

bangsa Indonesia. Pada era ini masyarakat seolah memberi “cek kosong” kepada elite-elite

kedua rezime pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang (semesta) untuk

menjadi bangsa dan negara modern. Dominasi negara dengan paradigma lama yaitu

pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan bersifat sentralistis, birokratis, top down

approach development, dengan mobilisasi masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan

yang otoriter di bawah baik rejim Orde Lama maupun rejim Orde Baru. Dengan paradigma

demikian walaupun kemudian pembangunan telah menghasilkan fisical capital dan human

capital lebih maju dan modern ternyata tidak demikian dengan perkembangan social capital.

Bangsa Indonesia justru mengalami kemerosotan bahkan nyaris kehilangan social capital

dengan indikator perilaku masyarakat yang membahayakan kehidupan nasional dengan

kondisi kesatuan dan persatuan yang rapuh karena dipaksakan dari atas. Oleh sebab itu salah

satu tugas pemerintah ke depan adalah membangun masyarakat Pancasila dalam konsep civil

society dan masyarakat madani berkelanjutan dengan menumbuhkan kesatuan dan persatuan

yang kokoh yang tumbuh dari kesadaran daerah dan masyarakat sendiri sesuai dengan tuntutan

jaman yaitu ketahanan nasional dalam menghadapi era globalisasi.

Pembangunan bangsa ke depan menuntut social capital dengan mengembangkan nilai-

nilai ideologi Pancasila agar kekuatan nasional bangsa Indonesia siap menghadapi globalisasi

Page 17: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

17

dengan mempelajari dan mengembangkan lebih dalam lagi nilai-nilai ideologi negara

Pancasila dengan paradigma baru yang demokratik. Karena dari sudut pandangan studi

ideologi, sistem nilai suatu masyarakat dianggap sebagai ciri yang paling penting. Dalam

beberapa hal sistem niali adalah ideologi dan untuk dapat memahami ideologi, khususnya

sistem nilainya, kita harus memahami dasar teoritis dan filosofinya. Dengan begitu, banyak

analisis ideologi perlu di diberikan dalam suatu uraian bentuk pertanyaan yang biasanya

dianggap sebagai falsafah politik. Karena secara bebas, tujuan-tujuan filosofis politik adalah

pemahaman nilai-nilai politik dan norma-norma politik. Ideologi politik merupakan suatu

sistem nilai atau kepercayaan yang diterima sebagai sesuatu yang benar (Sargent, 1986: 14).

Pemerintah reformasi harus membangun social capital baru dengan masih merujuk

pada nilai-nilai ideologi Pancasila sebagai titik tolak bagi rejim baru untuk melaksanakan

pembangunan. Karena akibat krisis multi dimensi yang dialami bangsa Indonesia ideologi

Pancasila ikut terdeligitimasi bersamaan dengan rejim Orde Baru. Walaupun dalam

pemerintahan reformasi telah mengalami perubahan paradigma khususnya dalam

pembangunan fisical capital dan human capital antara lain dengan menerapkan otonomi

daerah dalam sistem pemerintahan dan pendekatan pembangunan partisipatif, namun belum

ada usaha untuk menggali nilai-nilai ideologi Pancasila sebagai nilai-nilai perekat baru untuk

kehidupan bangsa Indonesia ke depan.

Ideologi Pancasila di era reformasi sekarang masih menjadi slogan kosong yang selalu

disebutkan dalam setiap peristiwa politik namun perilaku apa yang sebenarnya terjadi ternyata

mempunyai dasar nilai-nilai dari kebudayaan asing baik dari barat maupun wilayah dunia

lainya. Dengan pengertian social capital seperti telah diuraikan maka sangat bersesuaian

(appropriate) dengan konsep gotong-royong sebagai konsep Ekasila dari Pancasila. Arti

autentik gotong-royong dalam hal ini terkandung di dalam isi pidato Ir. Sukarno pada sidang

BPUPKI 1Juni 1945 yang antara lain menyebutkan:

“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka

dapatlah saya, satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong

Royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!

Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong!

Gotong-royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”

Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah suatu faham yang statis, tetapi gotong-

royong menggambarkan suatu usaha, suatu amal, suatu pekerjaan, yang dinamakan

anggota yang terhormat Soekarno satu karyo, satu gawe. Marilah kita

menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong

Page 18: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

18

adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan

Bantu-binantu bersama. Amal semua buat semua. Holobis-kontul baris buat

kepentingan bersama! Itulah Gotong –royong!

Prinsip Gotong-royong diantara yang kaya dan yang tidak kaya, antara

yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan

untuk menjadi bangsa Indonesia. Inilah Saudara-saudara yang saya usulkan kepada

Saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila.” (Depen-RI,

1945: 26; LPPKB, 2005: 54-55)

Dengan kata lain ideologi Pancasila sebagai nilai-nilai dasar harus direvitalisasi dan

terus dipertahankan serta dikembangkan adalah sistem nilai yang menjadi dasar prilaku

kebersamaan dalam konsep gotong-royong. Oleh sebab itu untuk mewujudkan sistem

pemerintahan yang baik (good government) dan salah satu tugas sistem pemerintahan adalah

mampu mewujudkan masyarakat gotong-royong. Yaitu sistem pemerintahan yang mampu

mengendalikan dinamika kelompok yang mengandung potensi konflik baik terbuka maupun

tertutup dengan merevitalisasi nilai-nilai Pancasila untuk menjadi dasar Social capital baru

dengan nilai-nilai kerukunan dan saling percaya untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan

bangsa yang sejati (Aminah, 2002).

Karena selama ini, baik dari jaman perjuangan kemerdekaan hingga sekarang

pemikiran atau teori-teori dari PT sangat besar pengaruhnya dalam proses pembangunan

bangsa termasuk dalam penggalian Pancasila sebagai falsafah, dasar dan ideologi berbangsa

dan bernegara sedangkan tuntutan reformasipun juga datang dari mahasiswa dan perguruan

tinggi, maka dari PTlah pada tempatnya dimulai usaha revitalisasi nilai-nilai Pancasila

sekaligus membangun atau merekonstruksi perilaku yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila

yang berwujud perilaku gotong-royong sesuai dengan cita-cita reformasi untuk menjadi model

dalam implementasi di masyarakat luas untuk memberikan perspektif baru dalam menuju

negara kebangsaan modern yang berkelanjutan. (Yudhoyono, 2004: 5).

Salah satu aspek yang kiranya menunjukkan perkembangan secara konsisten pada era

reformasi ini adalah tetap diterimanya Pancasila sebagai ideologi bersama oleh semua pihak

dengan realitas yang diuraian pada awal tulisan ini. Kalau toh masih ada yang belum

menerima kiranya hanya akibat trauma masa Orde Baru yang menjadikan masyarakat

“underestimate” terhadap Pancasila, sehingga banyak yang kembali ke perjuangan lama baik

yang sektartian maupun nostalgia ideologi alternatif bagi Pancasila lainnya. Namun Pancasila

sebagai dasar negara kiranya sudah teruji eksistensinya dan tidak lekang terhadap ruang dan

Page 19: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

19

waktu. Bahkan sekarang dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai sistem pemikiran teoritik

yang dibangun oleh para founding fathers mempunyai kekuatan teleologis yang kuat sudah

siap dioperasionalkan sebagai ideologi modern (Kompas, 2 Juni 2006).

Oleh sebab itu dengan diawali dari masyarakat PT, bangsa Indonesia ke depan harus

mengembangkan konsep yang bertujuan menumbuhkan kembali dan memperkuat akar jiwa

Pancasila di masyarakat Indonesia agar visi, misi dan tujuan berbangsa dan bernegara ke

depan dapat dirumuskan lebih operasional dengan terbangunnya konsep masyarakat gotong-

royong untuk dapat menghadapi tantangan globalisasi.

Untuk itu agar terhindar dari kesalahan berfikir atau fallacy (Yudhoyono, 2004: 11)

diperlukan kegiatan penkajian dengan metode dan pendekatan yang sesuai sebagai proses

penggalian lebih dalam terhadap nilai-nilai yang lebih aplikatif dari ideologi Pancasila yang

berakar pada budaya bangsa yaitu gotong-royong untuk menjadi nilai perekat social capital

agar reformasi mampu membangun civil society dengan pendekatan perencanaan partisipatif

dalam masyarakat di bawah pendampingan masyarakat PT (perform, 2004).

Masalahnya adalah dengan hasil dan pengalaman pembangunan serta ilmu

pengetahuan modern yang diperoleh pada masa lalu bagaimana dapat mewujudkan kehidupan

masyarakat Pancasila dengan nilai-nilai kegotong-royongan yang lebih sesuai dengan tuntutan

jaman. Yaitu bangsa Indonesia yang efektif, efisien dan kompetitif yaitu membangun civil

society dan good government yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Jawabanya adalah

membangun social capital berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang telah dikembangkan. Hal

tersebut searah dengan pemikiran Presiden RI 2004-2009 yang menyebutkan:

“Indonesia masa depan haruslah Indonesia yang tetap memiliki dasar negara Pancasila.

Jadi negara Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negar komunis, negara agama

atau negara apapun. Negara Pancasila yang dimaksudkan itu (baca: Indonesia kedepan)

mampu mewujudkan keinginannya untuk menjadi negara yang stabil, adil, demokratis

dan sejahtera. Negara yang memiliki dan mampu memenuhi kriteria universal, yaitu:

berkembangnya masyarakat yang baik (good society), berkembangnya perekonomian

yang baik (good economy), hadirnya proses-proses politik yang baik (good political

process) dan terpeliharanya lingkungan yang baik (good environment). … dan

Indonesia harus menjadi negara sukses.” (Yudhoyono, 2004: 21)

5. Fungsi Pancasila Sebagai Ideologi Nasional

Ideologi adalah suatu pernyataan dari nilai-nilai dasar dalam bidang politik, ekonomi

dan sosial, sebagai suatu kerangka cita-cita yang dipakai sebagai dasar bagi suatu sistem sosial

Page 20: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

20

atau "way of liefe" yang dicita-citakan. Suatu ideologi dihubungkan dengan semacam sistem

politik, sistem ekonomi dan sistem sosial serta tujuan-tujuan masyarakat. Sebagai suatu dasar

sistem kepercayaan, suatu ideologi tidak hanya berhubungan dengan satu nilai-nilai pokok

kehidupan masyarakat, tetapi ideologi itu sendiri mempunyai nilai lebih tinggi untuk

dipertahankan dan dalam banyak hal berdiri di atas nilai-nilai pokok di atas.

Suatu keistimewaan dari ideologi, keyakinan yang ada dalam ideologi biasanya

berhubungan erat dengan kepercayaan, agama atau "nationalistic sentiment", dimana

masing-masing dapat saling melengkapi (Plano, Olton, 1968: 105). Dalam proses hubungan

antar bangsa, seperti telah disinggung di muka, bahwa Ideologi merupakan salah satu elemen

kekuatan nasional penting bagi setiap negara dalam perjuangan kekuasaan (struggle for

power) (Morgenthau). Karena ideologi suatu negara dapat menjadi gainer ataupun loser dalam

persaingan dunia yang sifatnya cenderung anarchi. Dengan latar belakanng yang berbeda baik

secara cultural, historical maupun natural hal tersebut tergantung pada kreatifitas dan

kecerdasan dari setiap bangsa. setiap negara dalam membentuk atauy membangun ideologi

masing-masing.

Sejak kemerdekaan bangsa Indonesia telah mempunyai ideologi yaitu Pancasila yang

dirumuskan oleh para founding fathers bangsa dalam suatu naskah yang kemudian menjadi

Preambule UUD 1945. Pacasila, adalah perpaduan yang serasi antara nilai tradisi dengan nilai-

nilai modern dan menjadi ideologi resmi sebagai "basic philosophy" atau “philosophische

grondslag” dari seluruh bangsa Indonesia yang sebetulnya telah pula dirumuskan sebagai

nilai-nilai Gotong-royong (Depen RI, 1945: 13).

Sebagai perbandingan, kita melihat contoh keberhasilan usaha modernisasi bangsa

Jepang, yang sejak awal memang sudah menjadi motivator perjuangan para pemimpin bangsa

Indonesia dalam mencapai kemerdekaan, yaitu sebagai satu-satunya bangsa Asia yang tidak

pernah dijajah oleh bangsa-bangsa Barat dan justru berhasil menghadapi arus modernisasi

dengan nilai-nilai kepribadian atau ideologi mereka sendiri yang berbasis pada Shintoisme

yang dirumuskan ke dalam ideologi Kokutai No Hongi yang berintikan mitos (mitologi) kaisar

dan bangsa Jepang sebagai keturunan dewa. Ideologi tersebut dijadikan alat untuk menyokong

kebijaksanaan pemerintah dalam mencapai tujuan internasionalnya yang ekspansionis dan

imperialis (Maxon, 1957: 6).

Page 21: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

21

Namun dengan proses demokratisasi dari pihak sekutu (Amerika Serikat) ideologi

yang sama walaupun tidak secara eksplisit tertuang dalam konstitusi dengan proses

partisipatoris cultural, nilai-nilai ideologi bangsa Jepang dapat direvitalisasi dan

diimplentasikan menjadi dasar semangat perjuangan bangsa Jepang dalam memasuki

persaingan internasional pasca Perang Dunia II (Brace, 1964: 320). Salah satu contohnya

antara lain adalah mengubah konsep Zaibatsu menjadi konsep Keiretsu di bidang kehidupan

ekonomi dalam kerangka besar konsep Japan Incorporated dalam menghadapi persaingan

Internasional Pasca Perang dunia II (Safitri, 2007)

Dalam memahami ideologi Pancasila kiranya bangsa Indonesia dapat merujuk kembali

pengalaman bangsa Jepang. Namun berbeda dan bertolak belakang dengan bangsa Jepang

yang sudah homogen sejak awal di mana ideologi mereka sudah terbangun dalam masyaraat

bersamaan dengan pertumbuhan bangsa Jepang, maka keberadaan Bangsa Indonesia dengan

ideologi Pancasila yang baru merdeka pada tahun 1945 setelah melalui pejuangan yang tak

kenal lelah dari para pahlawannya tentunya memerlukan usaha khusus. Yaitu membagun suatu

bangsa dengan kondisi masyarakat majemuk dan multi cultural dan masih dalam tatanan

masyarakat kolonial. Bangsa Indonesia harus berjuang lagi untuk mewujudkan emagined

community (masyarakat/bangsa yang dibayangkan/dicita-citakan) menjadi realized community

berdasarkan cita-cita dan perjanjian luhur yang terkandung dalam Pembukaan dan Batang

Tubuh UUD 1945 yaitu masyarakat dengan ideologi Pancasila yaitu masyarakat Gotong-

royong.

Sampai dengan era reformasi saat ini di mana bangsa kita mencapai situasi krisis pada

stadium kritis yaitu tingkat krisis motivasi yang menciptakan situasi revolusioner dan

mengancam eksistensi ideologi Pancasila. Sekarang justru perilaku liberal sekaligus radikal

baik dari ekstim kanan (agama) maupun ekstim kiri (komunis) yang sangat nyata merasuki

jiwa masyarakat Indonesia dan justru banyak kaum terpelajar masuk dalam arus negatif yang

sedikit banyak mendapat dukungan dari luar negeri tersebut. Oleh sebab itu ideologi Pancasila

harus segera diselamatkan sekaligus direvitalisasi dan diimplementasikan sebagai proses

pemberdayaan.

6. Pemberdayaan Ideologi Pancasila Sebagai Proses Pendidikan

Dengan pendekatan analisis budaya dalam memahami pembentukan ideologi setiap

negara harus melalui suatu proses pembentukan ide-ide dan nilai-nilai. Di negara-negara bekas

Page 22: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

22

jajahan seperti halnya Indonesia tentunya mempunyai warisan jaman kolonial proses tersebut

dapat dipercepat dengan menekan elemen-elemen pikiran-pikiran rasional ilmiah dari barat

(western) dengan memupuk kedewasaan ontologi. Ideologi rasional ilmiah dengan bias barat

baik dari jaman penjajahan maupun era perang dingin harus dihadapi dengan subkultur

setempat, tradisi kebudayaan basar masyarakat jajahan sebagai unsur pemersatu yang paling

efektif dalam kebudayaan yang mempunyai kemampuan untuk menyatukan semua pihak

yang dapat menyesuaikan diri dengan bahasa, dokomen dan sejarah suatu bangsa. Hal

tersebut sangat terkait dengan keberadaan kaum intelektual yang mempunyai peranan penting

di dalam transformasi lembaga-lembaga dan ideologi politik formal dari Barat dengan

kecerdasan politik mereka untuk dapat diterapkan sesuai dengan kepentingan obyektif untuk

negara mereka (Binder: 1981 131-134).

Ideologi Pancasila, yang dalam hal ini secara operasional telah dipilih konsep Gotong-

royong, lahir dari proses demikian dan ternyata sekarang menghadapi pergeseran nilai dan

kehilangan élan vitalnya untuk kehidupan bangsa Indonesia. Dengan adanya pegeseran nilai-

nilai akibat interaksi lebih lanjut dengan dunia Barat dan untuk menemukan kembali nilai-nilai

mutakhir dari ideologi Pancasila maka kaum intelektual dan dunia PT kembali dihadapkan

pada tanggung jawabnya untuk merevitalisasi ideologi Pancasila agar mampu menjadi perekat

pluralitas masyarakat yang bertambah kompleks akibat pembangunan sekarang ini.

Dari sudut pandang studi ideologi, sistem nilai suatu masyarakat dianggap sebagai

unsur yang paling penting. Dalam beberapa hal, sistem niali adalah ideologi. Untuk dapat

memahami ideologi suatu negara, khususnya sistem nilainya, kita harus memahami dasar

teoritis dan filosofisnya. Dengan begitu, banyak analisis ideologi perlu di diberikan dalam

suatu uraian bentuk pertanyaan yang biasanya dianggap sebagai falsafah politik.

Karena secara bebas, tujuan-tujuan filosofis politik adalah pemahaman nilai-nilai

politik dan norma-norma politik. Ideologi politik merupakan suatu sistem nilai atau

kepercayaan yang diterima sebagai sesuatu yang benar. Di samping itu, akan berusaha dikaji

ide tertentu tentang sikap-sikap terhadap berbagai lembaga dan proses masyarakat yang

terdapat dalam ideologi. Kita dapat menyimak rangkaian masalah apa yang penting bagi setiap

ideologi, dan selanjutnya kita dapat menentukan dasar tertentu untuk saling

membandingkannya.

Page 23: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

23

Sebelum ini dapat dilakukan, dengan memakai parameter Lyman Tower Sargent kita

perlu memahami tentang setiap lembaga yang terkait dengan proses ini yaitu Sistem

stratifikasi sosial, Sistem ekonomi, Sistem politik, Sistem sosialisasi (Sargent, 1986: 14-17).

Jadi terkait dengan proses pendidikan adalah bagaimana sistem sosialisasi ideologi Pancasila

dilaksanakan.

Sistem sosialisasi merupakan bagian proses yang memungkinkan individu

mendapatkan nilai-nilai dari masyarakat sebagai milik mereka sendiri. Sering dianggap bahwa

lembaga-lembaga terpenting yang mempengaruhi cara-cara dan tingkat dengan mana para

individu mendapatkan nilai-nilai ini adalah 1. sistem keluarga, 2. sistem pendidikan, 3. sistem

agama, dan 4. berbagai pengaruh lain seperti media masa, kelompok-kelompok sebaya, dan

sebagainya.

Kita tidak selalu yakin tentang mekanisme dengan mana berbagai lembaga sosialisasi

beroperasi. Harus pula diakui bahwa pandangan seorang anak tentang dunia secara

keseluruhan sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan paling tidak oleh tahun-tahun

awal sekolahnya. Barangkali kurang jelas bagaimana lembaga-lembaga sosialisasi lainnya

mempengaruhi pandangan seorang individu tentang kehidupan. Barangkali kita bisa

menganggap bahwa pesan yang sama yang diulang-ulang dalam lembaga-lembaga yang

mengajarkan individu untuk menghormati, seperti sistem-sistem agama dan pendidikan, bisa

melahirkan akibat yang kumulatif dan akhirnya menjadi bagian dari sistem nilai individu.

Barangkali media massa bekerja dengan cara yang sama (Sargent, 1986: 14-15).

Jadi sesuai dengan uraian di muka sistim sosialisasi yang pertama kali harus

dikembangkan dan dianggap sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia adalah pada system

pendidikan umum (public school). Yaitu sosialisasi implementasi ideologi Pancasila melalui

sistem pendidikan umum yang target utamanya adalah generasi muda baik murid (sekolah

menengah) maupun mahasiswa (PT) dan metode implementasinya terstruktur dalam

kurikulum dan kegiatan belajar mengajar. Dari sana dapat diharapkan proses sosialisasi ke

masyarakat yang lebih luas akan menjadi efektif. Proses sosialisasi ideologi Pancasila dalam

masyarakat dikembangkan melalui semua jalur baik formal, non formal maupun informal

secara terintegrasi sebagai kegiatan masyarakat di dalam merumuskan dan mengejawantahkan

di dalam perilaku sebagai bagian dari jati diri bangsa Indonesia yang difasilitasi oleh

pemerintah.

Page 24: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

24

7. Penutup

Semua sepakat bahwa Pancasila paling tidak sebagai ideologi berbangsa dan bernegara

Indonesia harus diimplementasikan, dioperasionalkan dan disosialisasikan dan salah satu

konsep yang sangat jelas dirumuskan oleh penggali utamanya yaitu Ir. Sukarno adalah konsep

Gotong–royong. Dengan terbangunnya masyarakat gotong-royong dapat diharapkan menjadi

modal sosial (social capital) bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan.

Sedangkan format pendidikan yang bagaimana yang sebaiknya diterapkan baik dunia

pendidikan maupun di masyarakat agar perilaku gotong royong dapat mendarah daging di

masyarakat. Format yang ditawarkan adalah pendidikan yang dapat menumbuhkan saling

percaya dan empati sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya kerukunan

dan dialog sosial di setiap masyarakat. Dengan saling percaya dan empati orang akan dapat

saling tolong menolong dan bekerja sama.

Untuk meumbuhkan saling percaya dan menemukan rasa empati di antara masyarakat

Indonesia adalah membangun keterbukaan (openess) satu sama lain dengan mengadakan

forum forum dialog atau kosultasi dengan pendekatan pembangunan masyarakat berbasis

kelompok (community development - comdev.). Forum dialog atau kosultasi dalam pola

kebersamaan dan keterbukaan yang diselenggarakan secara terstruktur dan dapat diawali dari

masyarakat pendidikan sebagai salah satu stakeholder utama bangsa dan negara untuk

mempelopori mengembangkan konsep kebersamaan dalam menghayati dan mengamalkan

nilai-nilai Pancasila.

Page 25: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

25

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani, Ruslan, “Tantangan dan Ujian terhadap Pancasila”, Surabaya Post, 7 Juni 2000.

Akhmadi, Heri, “Revitalisasi dan implementasi Pancasila dalam proses demokratisasi”,

Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006,

DPRD Propinsi Jawa Timur.

Alfian, 1984, “Ideologi Idealisme dan Integrasi Nasional”. Yahya Muhaimin, Mac Andrews,

Colin, Masalah-masalah Pembangunan Politik. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Aminah, Siti, Social Capital dan Pemberadaban Negara, dalam Masyarakat Kebudayaan dan

Politik, FISIP-UNAIR,Tahun XV, Nomor , Oktober 2002.

Bahar, Safroedin, at al., Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei – 22 Agustus 1945,

Sekretariat Negara RI, Jakarta, 1995.

Binder, Leonard at al. 1971 : Princeton University Press, Princeton, London. Crises and

Sequences in Political Development. Committee on Comparative Politics on the Social

Science Research Council.

Binder, Leonard, 1974. “Ideologi dan Pembangunan Politik”. Weiner, Myron, Ed.,

Modernisa Modernisasi, Dinamika dan Pertumbuhan, Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Brown, Seymon, 1996, International Relations in a Changing Global System, Oxford-UK :

Westview Press.

Departemen Penerangan RI, Naskah Lahirnya Pancasila, 1945.

Fukuyama, Francis, Social Capital and Civil Society, The Institute of Public Policy, George

Mason University. http://www.imf.org/ external/pubs/ ft/seminar/ 1999/reform/

fukuyama.htm

Fukuyama, Francis, Second Thoughts,The National Interest, Summer 1999.

Huntington, Samuel P., 2000, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia,

terjemahan, Qalam, Yogyakarta.

Kaelan, 2005. Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2004.

LPPKB, Pedoman Umum Implementasi Pancasila Dalam Kehidupan Bernegara, Jakarta : PT.

Cipta Prima Budaya.

Mahardika, Timur. 2001. Pendidikan Politik: Pemberdayaan Desa – Sebuah Panduan,

Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.

Maxon, Yale Candee. 1957. Control of Japanese Foreign Policy, A Study of Civil – Military

Rivalry, University of Calofornia Press, Berkeley and Los Angeles.

Menkopolhukam-RI, Saresehan Nasional Pancasila: Memelihara dan Menjaga Kemajemukan

Dalam NKRI, 2005.

Morgenthau, Hans J., Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Alfred A.

Knopf, New York, 1978.

Naya Sujana, I Nyoman, Askandar, Lasmono, (Ed.), 2004. Pembangunan Jatidiri Bangsa

Indonesia, Surabaya : DHD 45 JATIM.

Naya Sujana, I Nyoman. 2004. Pengetahuan Dasar Bagi Mahasiswa Baru Memasuki

Perguruan Tinggi, Surabaya : UPT Mata Kuliah Umum Universitas Airlangga.

Naya Sujana, I Nyoman. 2004. Patologi Nasionalisme, Surabaya : UPT Mata Kuliah Umum

Universitas Airlangga.

Page 26: PEMBANGUNAN IDEOLOGI, PENDIDIKAN PANCASILA DAN  MASYARAKAT GOTONG ROYONG

ATH

26

Naya Sujana, I Nyoman, Pancasila dan Pelembagaan Jatidiri Bangsa Melalui Pendidikan

Tinggi, Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September

2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.

Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pancasila Sebagai Ideologi Nasional, Makalah pada

Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi

Jawa Timur.

Perform, “Program Dasar Pembangunan Partisipatif (PDPP)”, USAID, Research Triangle

Institute, 2004.

Putnam, Robert D., 1995, “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”, dalam

Journal of Democracy, Vol. 6, No. 1, January.

Putnam, Robert D., “Building Social Capital and Growing Civil Society, Paper on Winter

Monday Night Lecture Series, 2001.

RHP, Mason; JG, Caiger. 1977. A History of Japan, Charles E. Tuttle Company, Tokyo.

Richard M. Brace, 1964. The Dynamics of Nationalism, D. Van Nostrand Company, Inc., New

York.

Rofiqi, A. Zaini (Ed.). 2005. Amerika dan Dunia, Jakarta : Yayasan Obor.

Siahaan, Hotman, Gerakan Sosial Politik Rakyat, Ontran-ontran Demokrasi, Pidato

Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Airlangga, 2005.

Sindhunata, “Krisis Kebudayaan Jawa”, Kompas, 10 Mei 1999. Steger, Manfred B. 2005. Globalisasi: Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogyakarta : Lafadl. Sudarmadi, WS., Deputi VI Menkopolhukam, Revitalisasi dan Implementasi Pancasila dalam

rangka Meningkatkan Tannas di bidang ideologi, Makalah pada Semiloka Revitalisasi

dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.

Sulistomo, Bambang, Pancasila, penegakkan hukum dan kedaulatan rakyat, Makalah dalam

Semiloka Revitalisasi dan Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi

Jawa Timur.

Suprijadi, Bambang. Pendidikan Pancasila Untuk Mahasiswa, LP3JATIM – Universitas

Wijaya Kusuma, 2004.

The British Council, 2000, Mewujudkan Partisipasi: 21 Teknik Partisipasi Masyarakat Untuk

Abad 21. Participation Works!, New Economics Foundation, Jakarta.

Triharso, Ajar, “Etika Politik dan Indonesia Baru, dalam Bangsa yang Berdarah: Jawa Timur

dan Potensi Konflik 2004, LP3Jatim, Surabaya, 2004.

Triharso, Ajar, 2006, Menyelamatkan Pancasila Dari “Virus Ganas” Neo Liberalisme, Jurnal

Karakter Bangsa, TPB Universitas Airlangga, Vol. 2, 2006.

UGM, KAGAMA, LIPI, LEMHANAS, Simposium dan Saresehan, Peringatan Hari Lahirnya

Pancasila, Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa,

14-15 Agustus 2006.

Winarno, Budi. Globalisasi dan Krisis Pembangunan: Bagaimana Dengan Indonesia, Pidato

Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Gadjah Mada, 2005.

Yudo Husodo, Siswono, Revitalisasi Pancasila: Kebutuhan Obyektif bagi NKRI ditengah

dunia yang sedang berubah dengan dinamis, Makalah pada Semiloka Revitalisasi dan

Implementasi Pancasila 26 September 2006, DPRD Propinsi Jawa Timur.