1 Universitas Indonesia Pengelolaan Herbal dalam dari hulu ke Hilir dalam Konteks Saintifikasi Jamu dan Pemanfaatannya dalam Bidang Estetika dr. Richard S.N. Siahaan, M.Si. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obat merupakan komponen pendukung utama dalam pelayanan kesahatan, sehingga upaya pembangunan kesehatan senantiasa memperhatikan pembangunan di bidang kefarmasian. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat essential melalui “Kebijakan Obat Nasional”. Demi menunjang ketersediaan dan pemerataan bahan baku obat maka pengembangan obat tradisional menjadi alternatif karena bahan baku obat itu sendiri berada di sekitar kita. Pemerintah pun dalam salah satu subsistem SKN disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan obat tradisional ditujukan agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun dalam pelayanan kesehatan formal (Kepmenkes 381 Tentang Kebijakan Obat Tradisional, 2007). Pada tahun 2007, total nilai impor bahan farmasi penting mencapai USD 211,7 juta, 59% diantaranya adalah bahan baku antibiotika. Dan Indonesia tercatat mengimpor bahan farmasi dari RRC sebesar USD 76,5 juta, dan dari India sebesar USD 25 juta. Kondisi ini senantiasa mendorong pemerintah untuk berusaha menggapai kemandirian di bidang industri kefarmasian nasional. Indonesia termasuk mega-centre keaneka-ragaman hayati, namun belum banyak dimanfaatkan dan ekspor masih banyak dalam bentuk raw material (bahan mentah dan simplisia kering) yang memiliki nilai ekonomi rendah jika dibanding dengan ekstrak ataupun produk siap pakai (Herbal terstandar, fitofarmaka ataupun sediaan kosmetik). Diperkirakan
45
Embed
Pemanfaatan Herbal Dari Hulu Ke Hilir Dalam Konteks Saintifikasi Jamu
Herbal untuk estetika dalam konteks saintifikasi jamu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Universitas Indonesia
Pengelolaan Herbal dalam dari hulu ke Hilir
dalam Konteks Saintifikasi Jamu dan
Pemanfaatannya dalam Bidang Estetika
dr. Richard S.N. Siahaan, M.Si.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Obat merupakan komponen pendukung utama dalam pelayanan kesahatan,
sehingga upaya pembangunan kesehatan senantiasa memperhatikan pembangunan di
bidang kefarmasian. Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk menjamin
ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat essential melalui
“Kebijakan Obat Nasional”. Demi menunjang ketersediaan dan pemerataan bahan
baku obat maka pengembangan obat tradisional menjadi alternatif karena bahan baku
obat itu sendiri berada di sekitar kita. Pemerintah pun dalam salah satu subsistem
SKN disebutkan bahwa pengembangan dan peningkatan obat tradisional ditujukan
agar diperoleh obat tradisional yang bermutu tinggi, aman, memiliki khasiat nyata
yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan
sendiri oleh masyarakat maupun dalam pelayanan kesehatan formal (Kepmenkes 381
Tentang Kebijakan Obat Tradisional, 2007).
Pada tahun 2007, total nilai impor bahan farmasi penting mencapai USD
211,7 juta, 59% diantaranya adalah bahan baku antibiotika. Dan Indonesia tercatat
mengimpor bahan farmasi dari RRC sebesar USD 76,5 juta, dan dari India sebesar
USD 25 juta. Kondisi ini senantiasa mendorong pemerintah untuk berusaha
menggapai kemandirian di bidang industri kefarmasian nasional. Indonesia termasuk
mega-centre keaneka-ragaman hayati, namun belum banyak dimanfaatkan dan ekspor
masih banyak dalam bentuk raw material (bahan mentah dan simplisia kering) yang
memiliki nilai ekonomi rendah jika dibanding dengan ekstrak ataupun produk siap
pakai (Herbal terstandar, fitofarmaka ataupun sediaan kosmetik). Diperkirakan
2
Universitas Indonesia
40.000 spesies tumbuhan hidup di muka bumi ini, 30.000 di antaranya tumbuh di
Indonesia. Dari jumlah itu, baru sekitar 180 spesies yang dimanfaatkan sebagai bahan
oleh industri obat tradisional dan industri kosmetika.
Perguruan tinggi yang memiliki peranan dalam mengimplementasikan
tridarma perguruan tinggi yaitu fungsi pendidikan, pengajaran dan penelitian serta
pengabdian kepada masyarakat diharapakan dapat mencetak profesional yang bukan
hanya menguasai ilmu secara teoritis saja tetapi mampu juga menguasai ilmu
pengetahuan secara praktis dan aplikatif yang bisa langsung dimanfaatkan atau
dirasakan oleh masyarakat luas. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dapat
dilakukan oleh perguruan tinggi meliputi kegiatan pembinaan dan pendampingan
terhadap Industri Kecil Obat Tradisional. Pembinaan yang dapat dilakukan berupa
sosialisasi Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan penerapan
CPOTB dalam proses produksi obat tradisional. Dengan proses implementasi ilmu
dilapangan maka mahasiswa bisa tahu bagaimana pengembangan obat tradisional
dilapangan yang sesungguhnya.
Dari Penjelasan di atas maka diperlukan suatu kegiatan yang dapat membantu
mahasiswa dalam mengembangkan kelimuannya, serta dapat berfikir tanggap dan
kritis dalam memecahkan persoalan yang timbul di lapangan atau di dunia kerja
nantinya. Bentuk kegiatan tersebut diantaranya Praktek Kerja Lapangan. Praktek
Kerja Lapangan merupakan mata kuliah wajib sebagai mahasiswa Magister Herbal
Universitas Indonesia baik jurusan herbal medik dan estetika yang berbobot 2 SKS.
Dengan melakukan Praktek Kerja Lapangan maka diharapkan mahasiswa dapat
mengetahui dan megerti mengenai pengembangan dan pemanfaat obat tradisional dari
Hulu sampai ke Hilir.
Praktek Kerja lapangan yang dilaksanakan di Jakarta, Jawa Tengah dan
Surabaya berupa kegiatan kunjungan serta mengobservasi kegiatan yang dilakukan
pada masing-masing institusi yang berkaitan dengan pengolahan, pengembangan dan
pemanfaatan obat tradisional untuk kesehatan dan industri kosmetika. Kegiatan
berupa melakukan kunjungan ke B2P2 TO-OT, Pabrik Pengolahan Ekstrak Herbal
PT Borobudur, industri obat herbal PT Deltomed, Pusat Ristek Dan Pendidikan Marta
3
Universitas Indonesia
Tilaar Grup, Serta Klinik saintifikasi jamu Di Tawangmangu dan Poli Obat
Tradisional Indonesia (OTI) RS dr. Soetomo Surabaya. Kegiatan ini diharapakan
dapat membantu mahasiswa dalam menimba pengalaman dan pengetahuan yang
bersifat aplikatif untuk menunjang pendidikan magister Herbal.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan Herbal dari Hulu ke Hilir
Pengembangan obat tradisional di Indonesia tidak terlepas dari cara
pengolahan herbal itu sendiri dari Hulu sampai ke Hilir dan cara pemanfaatannya di
dunia kesehatan dan kecantikan. Cara-cara pengolahan dan standardisasi dari obat
herbal itu mulai dari penanaman, pengolahan, industri dan pemelitian manfaat dan
pemanfaatannya sangat mempengaruhi Kualitas, keamanan, khasiat (Quality, Safety
and Efficacy) obat bahan alam tersebut.
Dalam bab ini akan dibahas mengenai :
1. Pengertian obat tradisional dan Obat Bahan alam,
2. Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka
3. Tinjauan umum Proses Pengolahan herbal dari Hulu ke Hilir.
4. Penyediaan Bahan Baku Obat Herbal (raw material) (penerapan GAP)
5. Pengolahan Raw Material menjadi Herbal terstandar. (Penerapan GMP)
6. Proses Pengolahan Herbal menjadi produk jadi kesahatan (Penerapan GMP)
7. Penelitian Obat Herbal (Penerapan GCP)
8. Pemanfaatan Herbal untuk industri estetik dan Kedokteran Pencegahan.
2.2. Pengertian Obat Tradisional dan Obat Bahan Alam
Menurut Permenkes No 246/Menkes/Per/V/1990 yang dimaksud dengan obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut,
yang secara traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
4
Universitas Indonesia
Sedangkan yang dimakasud dengan Obat Bahan Alam adalah semua jenis sediaan
bahan alam yang belum sampai pada isolate murni. Menurut Keputusan Badan POM
Nomor : HK.00.05.4.2411 tahun 2006, yang termasuk ke dalam obat bahan alam
Indonesia ada 3 kategori yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.
Penggolangan ini dapat dilihat pada gambar 2.1.
Sediaan Berupa Simplisia
dengan Bukti Empiris
Sediaan Berupa Ekstrak
dengan Bukti Ilmiah
secara Pra Klinis
Sediaan Berupa Ekstrak
dengan Bukti Ilmiah
secara Klinis
Jamu
Obat Herbal
Terstandar
(OHT)
Fitofarmaka
Gambar 2.1. Kategori Obat Bahan Alam Indonesia (BPOM, 2006)
2.3. Jamu, Obat Herbal Tersdandar dan Fitofarmaka
Jamu adalah obat bahan alam yang sediannya masih berupa simplisia
sederhana. Khasiat dan keamanannya baru terbukti secara empiris berdasarkan
pengalaman turun temurun. Disebut sebagai jamu bila sudah digunakan di masyarakat
secara turun temurun melewati 3 generasi atau setara dengan 180 tahun. Menurut
BPOM RI jamu harus memenuhi kriteria Aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan, klaim khasiat berdasarakan data empiris, dan memenuhi persyaratan mutu
yang berlaku.
Obat Herbal Terstandar adalah obat bahan alam yang bentuk sediaannya
sudah dalam bentuk ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang
tersdandarisasi. Herbal terstandar juga harus melewati uji praklinis seperti uji
5
Universitas Indonesia
keamanan (toksisitas jangka pendek dan jangka panjang), Uji Manfaat (efek
farmakologinya), dan harus memenuhi kualiatas pembuatan herbal yang terstandar.
Menurut BPOM, Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria Aman sesuai
persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah (uji Praklinik,
dan terlah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku dalam produk jadi.
Fitofarmaka adalah Obat herbal terstandar yang sudah naik kelas menjadi
fitofarmaka karena sudah melalui uji klinis. Dosis pada hewan percobaan
dikonversikan ke dosis aman bagi manusia. Dari uji inilah diketahui keamanan efek
pada hewan percobaan dan manusia. Menurut BPOM fitofarmaka harus memenuhi
kriteria seperti obat herbal terstandar hanya saja ditambahakan dengan bukti khasiat
harus sudah melalui uji klinis.
2.4. Tinjauan Umum Proses Pengolahan Obat Bahan Alam dari Hulu ke Hilir
Pengolahan obat bahan alam harus memenuhi kriteria mutu yang sudah
terstandarisasi, oleh karena itu proses pengolahan yang baik merupakan mulai dari
penananaman sampai pada pemanfaat obat bahan harus memenuhi urut-urutan dan
standar yang sudah ditetapkan demi menjamin reliabilitas dari obat bahan alam
tersebut.
Secara umum tahap-tahapan pengolahan dan pemanfaatan obat bahan alam
adalah sebagai berikut :
1. Proses penyedian bahan baku obat bahan alam yang meliputi proses
penanaman (budi daya), pemanenan, dan penanganan pasca panen yang
harus menerapkan Good Agriculture Practice (GAP) dan Good Colecting
Practice (GCP)
2. Proses Pengolahan bahan alam menjadi obat tersdandar yang meliputi
proses pembuatan simplisia sampai dengan penkekstrakan sampai dengan
produk jadi dalam industri yang harus menerapkan Good Manufacturing
Practice (GMP)
3. Proses pengujian dan penelitian obat bahan alam yang sudah dalam bentuk
formulasi atau sediaan kosmetik untuk mendapatkan data stabilitas dan
6
Universitas Indonesia
toksisitas dari obat bahan alam tersebut, dan peneliti harus sudah
menerapkan Good Clinical Practice (GCP)
4. Proses pemanfaatan obat bahan alam untuk estetika dan kedokteran
(pengobatan). Pemanfaatan di bidang kecantikan harus memenuhi
pengujian manfaat, keamanan dan stabilitas produk. Sedangkan untuk
pemanfaatannya di bidang kedokteran diatur dalam permenkes tentang
saintifikasi jamu dimana dalam saintifikasi jamu ini penelitian dan
pemnafaatan obat herbal dijadikan satu layanan dalam sebuah klinik atau
institusi kesehatan yang sudah ditunjuk.
Tahap-tahapan pengolahan dan pemanfaat obat herbal dari Hulu ke Hilir dapat
dilihat pada gambar 2.3. di bawah ini.
Budidaya
HutanTanaman
Liar
Study
Etnobotani
PengumpulanPasca
Panen
Serbuk
Tingtur
Simplisia
Bahan Baku
Uji Manfaat
Industri
Pemakaian di
bidang
kedokteran
Pemakaian dalam Bidang
Kecantikan dan
Perawatan Tubuh
Ekstrak
Uji
Toksisitas
Uji
Stabilitas
GAP GCP GMP
Saintifikasi Jamu
Good
Clinical
Practice
Gambar 2.3. Pemanfaatan obat Herbal dari Hulu ke Hilir dan Sistem Jaminan Mutu
Obat Herbal
2.5. Penyediaan Bahan Baku Obat Herbal (raw material) (penerapan GAP)
Penyiapan bahan baku obat dimulai dengan Studi etnobotani sampai dengan
penanganan pasca panen.
7
Universitas Indonesia
Etno botani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam
keperluan shari-hari dan adat suku bangsa. Studi ini tidak hanya menyangkut
taksonomi teapi memyangkut pengetahuan botani yang bersifat kedaerahan, berupa
tinjauan interpretasi dan asosiasi yang mempelajari hubungan timbal balik antara
manusia dengan tanaman. Studi etnobotani adalah studi yang bertujuan untuk
mencari bahan-bahan alam dari tumbuh-tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai
bahan alam obat-obatan.
Tahapan-tahapan yang harus dilakukan sesuai dengan penerapan Good
Agriculuture Practice adalah sebagai berikut :
1. Pemilihan Bibit Tanaman Obat
Bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan budidaya tanaman. Budidaya
tanaman sebenarnya telah dimulai sejak memilih bibit tanaman yang baik, karena
bibit merupakan obyek utama yang akan dikembangkan dalam proses budidaya
selanjutnya. Selain itu, bibit juga merupakan pembawa gen dari induknya yang
menentukan sifat tanaman setelah berproduksi. Oleh karena itu untuk memperoleh
tanaman yang memiliki sifat tertentu dapat diperoleh dengan memilih bibit yang
berasal dari induk yang memiliki sifat tersebut.
Pemilihan bibit tanaman obat terdiri dari 2 aspek yaitu pemilihan varietas
unggul untuk tanaman obat yang memliki bahan baku yang unggul dengan
kandungan tertentu dan identitas botani yang memiliki kandungan tertentu yang
memiliki efek farmakologi. Untuk menjaga kwalitas unggul dari tanaman obat maka
perbanyakan dari bibit tanaman obat dapat secara pembenihan dengan biji (generatif),
secara vegetatif dan dengan kultur jaringan.
2. Budidaya Tanaman Obat
Dalam budidaya tanaman obat disini termasuk kedalamnya adalah pemilihan
lahan dan pemupukan, pengairan, pemeliharaan dan pengendalian organisme
pengganggu.
Keragaman jenis tanaman obat mulai dari jenis tanaman dataran rendah
sampai tanaman dataran tinggi menuntut penyesuaian lingkungan untuk kegiatan
8
Universitas Indonesia
budidaya tanaman tersebut. Setiap jenis tanaman obat membutuhkan kondisi
lingkungan tertentu agar dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.
Lingkungan pertumbuhan yang dimaksud meliputi iklim dan tanah. Beberapa
unsur iklim seperti suhu, curah hujan dan penyinaran matahari secara langsung
berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman. Setiap tanaman obat membutuhkan suhu
udara yang sesuai agar proses metabolisme dapat berjalan baik, sedangkan suhu tanah
akan mempengaruhi proses perkecambahan benih. Suhu tanah yang terlalu rendah
dapat menghambat proses perkecambahan, sedangkan suhu tanah yang terlalu tinggi
dapat mematikan embrio yang terdapat pada biji.
Tanaman obat-obatan membutuhkan curah hujan yang cukup dengan
distribusi yang merata. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan budidaya tanaman obat. Apabila jumlah curah hujan tidak dapat
memenuhi kebutuhan air bagi tanaman obat maka harus dilakukan penyiraman atau
pengairan melalui irigasi.
Penyinaran matahari juga sangat penting pada budidaya tanaman obat. Sudut
dan arah datangnya sinar matahari, lama penyinaran dan kualitas sinar merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi proses fotosintesis pada tanaman obat. Jumlah
radiasi matahari yang tidak optimal akan menyebabkan penurunan kualitas dan
kuantitas produksi tanaman obat. Beberapa jenis tanaman obat membutuhkan
pelindung untuk mengurangi jumlah radiasi matahari yang diterima, tetapi jenis
tanaman obat lainnya membutuhkan jumlah radiasi matahari maksimal untuk
berfotosintesis.
Unsur-unsur iklim lain seperti kelembaban, angin dan keawanan juga perlu
diperhatikan dan disesuaikan dengan kebutuhkan tanaman obat yang akan
dibudidayakan. Kesuburan tanah tempat bercocok tanam tanaman obat juga
merupakan penentu keberhasilan budidaya tanaman obat tersebut. Kesuburan tanah
yang harus diperhatikan meliputi kesuburan fisik, kimia dan biologi. Tanah sebaiknya
memiliki perbandingan fraksi liat, lempung dan pasir yang seimbang, gembur,
kandungan bahan organik tinggi, aerase dan drainase baik, memiliki kandungan hara
yang tinggi, pH tanah cenderung netral antara 6,0 – 7,0.
9
Universitas Indonesia
3. Pemanenan
Mengingat produk tanaman obat dapat berasal dari hasil budidaya dan dari
hasil eksplorasi alam maka penanganan atau penentuan saat panen secara tepat sangat
berarti. Tanaman obat haruslah dipanen sepanjang waktu-waktu tertentu (musim yang
optimal) untuk memastikan hasil produksi hasil akhir tanaman obat tersebut memiliki
kwalitas yang terbaik. Waktu untuk pemanenan tergantung dari tanaman dan bagian
tanaman yang akan dipanen, dan biasanya rincian cara pemenenan masing-masing
tanaman obat ada pada pharmacophe, standarisasi, monograf yang ada di masing-
masing negara. Secara umum yang sudah diketahui bahwa konsentrasi dari
kandungan aktif dari tanaman obat berfariasi tergantung dari stadium dari
pertumbuhan dan perkembangannya. Waktu pemanenan haruslah ditentukan
berdasarkan waktu terbaik dimana kualitas dan jumlah dari kandungan zat aktifnya
tinggi pada saat itu. Selama pemanenan perhatian perlu dilakukan untuk memastikan
bahwa tidak ada bahan lain, rumput-rumputan liar, atau tanaman lain yang bercampur
dengan tanaman obat pada saat pemanenan.
Tanaman obat haruslah dipanen pada kondisi yang terbaik, harus menghindari
embun hujan atau kelembaban yang tinggi. Bila pemanenan memerlukan kondisi
yang kering, tanaman yang dipanen haruslah diangkut secepatnya ke dalam fasilitas
pengeringan di dalam ruangan untuk mempercepat pengeringan untuk mencegah
kemungkinan efek yang merusak yang disebabkan oleh karena peningkatan level
kelembaban yang dapat meningkatkan fermentasi dari jasad renik dan jamur.
Alat pemotong, pemanen dan mesin-mesin lainnya haruslah dijaga tetap
bersih untuk mengurangi kerusakan dan kontaminasi dari tanah dan material lainnya.
Mesin haruslah disimpan ditempat yang tidak terkontaminasi dan kering atau fasilitas
yang bebas dari serangga, tikus, burung dan hama lainnya, dan tidak dapat dilalui
oleh ternak dan hewan lainnya. Kontak dengan tanah haruslah dihindarkan untuk
menghindari perluasan kemungkinan adanya perkemangan jasada renik pada material
tanaman obat. Tanaman obat yang dipanen haruslah diangkut dalam keadaan bersih
dan kondisi kering dan harus dimasukan ke dalam keranjang yang bersih, kantong
10
Universitas Indonesia
kering, trailer, gerobak atau container yang lain dan dibawa ke titik penjemputan
untuk dibawa ke fasilitas pemrosesan berikutnya.
Semua kontainer yang digunakan pada pemanenan haruslah dijaga tetap
bersih dan bebas dari kontaminan yang berasal dari tanaman yang dipanen
sebelumnya atau material asing lainya. Jika container sedang tidak digunakan maka
haruslah tetap dijaga dalam kondisi kering dalam area yang terlindung dari serangga,
tikus, burung dan hama lainnya, dan juga tidak bisa dilalui oleh ternak atau hewan
lainnya.
Pada dasarnya tujuan penanganan dan pengelolaan saat panen adalah sebagai
berikut :
a. Untuk memperoleh bahan baku yang memenuhi standar mutu.
b. Menghindari terbuangnya hasil panen secara percuma serta mengurangi
kerusakan hasil panen.
c. Agar semua hasil panen dapat dimanfaatkan sesuai harapan.
4. Penanganan Pasca Panen
Penanganan dan pengelolaan pascapanen adalah suatu perlakuan yang
diberikan pada hasil pertanian hingga produk siap dikonsumsi. Penanganan dan
pengelolaan pascapanen tanaman obat dilakukan terutama untuk menghindari
kerugian-kerugian yang mungkin timbul akibat perlakuan prapanen dan pascapanen
yang kurang tepat. Hal-hal yang dapat mengakibatkan kerugian, misalnya terjadinya
perubahan sifat zat yang terdapat dalam tanaman, perlakuan dan cara panen yang
tidak tepat, masalah daerah produksi yang menyangkut keadaan iklim dan
lingkungan, teknologi pascapanen yang diterapkan, limbah, serta masalah sosial-
ekonomi dan budaya masyarakat.
Pengelolaan pascapanen tanaman obat perlu dilakukan secara hati-hati.
Pengelolaan pascapanen meliputi kegiatan penyortiran, pencucian, pengolahan hasil
(pengupasan kulit serta pengirisan), pengeringan, pengemasan, sampai pada
penyimpanan.
Adapun tujuan pengelolaan pascapanen tanaman obat dapat dirangkum
sebagai berikut :
11
Universitas Indonesia
a. Mencegah kerugian karena perlakuan prapanen yang tidak tepat.
b. Menghindari kerusakan akibat waktu dan cara panen yang tidak tepat.
c. Mengurangi kerusakan pada saat pengumpulan, pengemasan, dan
pengangkutan saatpendistribusian hasil panen.
d. Menghindari kerusakan karena teknologi pascapanen yang kurang tepat.
e. Menekan penyusutan kuantitatif dan kualitatif hasil.
f. Terjaminnya suplai bahan baku produksi tanaman obat meskipun tidak pada
musimnya.
g. Pengolahan limbah yang dapat memberikan nilai tambah bagi produsen
simplisia, contoh sisa-sisa hasil pengolahan simplisia untuk pembuatan
pupuk kompos.
h. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam dan menjamin
kelestariannya.
Kegiatan pengelolaan pascapanen tanaman obat menunjukkan suatu sistem
yang kompleks serta melibatkan banyak faktor, baik teknis, sosial budaya, dan
ekonomi. Melihat hubungan yang saling berkait dan kompleks tersebut maka
diperlukan peran pemerintah danswasta secara aktif dalam membantu meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan tanaman obat.
2.6. Pengolahan Raw Material menjadi Herbal terstandar. (Penerapan GMP)
Proses pengolahan raw material menjadi bahan baku dasar herbal merupakan
hal yang sangat penting untuk menjaga kualitas produk jadi suatu herbal sehingga
jumlah kandungan zat aktif tidak terganggu dan khasiat dari herbal tersebut dapat
terjada. Jenis-jenis bahan dasar herbal dapat berupa simplisia, ekstrak herbal, dan
Minyak Atsiri.
2.6.1. Pembuatan Simplisia
Simplisia merupakan bawan awal pembuatan sediaan herbal. Mutu sediaan
herbal sangat dipengeruhi oleh mutu simplisia yang digunakan, karena itu sumber
simplisia, cara pengolahan dan penyimpanan harus dilakukan dengan baik. Simplisia
12
Universitas Indonesia
adalah bahan alam yang digunakan sebagai bahan sediaan herbal yang belum
mengalami pengolahan bahan yang telah dikeringkan. (BPOM, 2005).
Penanaganan pembuatan simplisia mulai dari pemanenan sampai pasca panen
sudah dijelaskan di atas. Di bawah ini akan dijelaskan mengenai penanganan
pengolahan tanaman obat sesudah dipanen sampai dibentuk simplisia. Prosesnya
adalah sebagai berikut :
1. Penyortiran (Sortir Basah)
Penyortiran basah dilakukan setelah selesai panen dengan tujuan untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang tua dengan yang
muda atau bahan yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Bahan nabati yang baik
memiliki kandungan campuran bahan organik asing tidak lebih dari 2%. Proses
penyortiran pertama bertujuan untuk memisahkan bahan yang busuk atau bahan yang
muda dan yang tua serta untuk mengurangi jumlah pengotor yang ikut terbawa dalam
bahan.
2. Pencucian
Pencucian bertujuan menghilangkan kotoran-kotoran dan mengurangi
mikriba-mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian harus segera dilakukan setelah
panen karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian menggunakan air bersih
seperti air dari mata air, sumur atau PAM. Penggunaan air kotor menyebabkan
jumlah mikroba pada bahan tidak akan berkurang bahkan akan bertambah. Pada saat
pencucian perhatikan air cucian dan air bilasannya, jika masih terlihat kotor ulangi
pencucian/pembilasan sekali atau dua kali lagi. Perlu diperhatikan bahwa pencucian
harus dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larutnya
atau terbuangnya zat yang tekandung dalam bahan. Pencucian bahan dapat dilakukan
dengan beberapa cara antara lain :
a. Perendaman Bertingkat
Perendaman biasanya dilakukan pada bahan yang tidak banyak mengandung
kotoran seperti daun, bunga, buah dan lain-lain. Proses perendaman dilakukan
beberapa kali pada wadah dan air yang berbeda, pada rendaman pertama air
13
Universitas Indonesia
cuciannya mengandung kotoran paling banyak. Saat prendaman kotoran-kotoran yang
melekat kuat pada bahan dapat dihilngkan langsung dengan tangan. Metode ini akan
menghemat penggunaan air, namun sangat mudah melarutkan zat-zat yang
terkandung dalam bahan.
b. Penyemprotan
Penyemprotan biasanya dilakukan pada bahan yang kotorannya banyak
melekat pada bahan seperti rimpang, akar, umbi, dan lain-lain. Proses penyemprotan
dilakukan dengan menggunakan air yang bertekanan tinggi. Untuk lebih meyakinkan
kebersihannya, kotoran yang melekat kuat pada bahan dapat dihilangkan langsung
dengan tangan. Proses ini biasanya menggunakan air yang cukup banyak, namun
dapat mengurangi resiko hilang atau larutnya kandungan dalam bahan.
c. Penyikatan (manual maupun otomatis)
Pencucian dengan menyikat dapat dilakukan terhadap jenis bahan yang
keras/tidak lunak dan kotorannya melekat sangat kuat. Pencucian ini memakai alat
bantu sikat yang digunakan bentuknya bisa bermacam-macam, dalam hal ini perlu
diperhatikan kerbersihan dari sikat yang digunakan. Penyikatan dilakukan terhadap
bahan secara perlahan dan teratur agar tidak merusak bahannya. Pembilasan
dilakukan pada bahan yang sudah disikat. Metode pencucian ini dapat menghasilkan
bahan yanga lebih bersih dibandingkan dengan metode pencucian lainnya, namun
meningkatkan resiko kerusakan bahan, sehingga merangsang pertumbuhan bakteri
atau mikroorganisme.
3. Penirisan/Pengeringan
Setelah pencucian, bahan langsung ditiriskan di rak-rak pengering. Khusus
untuk bahan rimpang penjemuran dilakukan selama 4 – 6 hari. Selesai pengeringan
dilakuakn kembali penyortiran apabila bahan langsung digunakan dalam bentuk segar
sesuai dengan permintaan. Contohnya untuk rimpang jahe, perlu dilakukan
penyortiran sesuai standar perdagangan, karena mutau bahan menentukan harga jual.
Berdasarkan standar perdagangan, mutu rimpang jahe segar dikategorikan sebagai
berikut :
14
Universitas Indonesia
a. Mutu I : Bobot 250 gr/rimpang, kulit tidak terkelupas, tidak
mengandung benda asing dan tidak berjamur.
b. Mutu II : Bobot 150 – 249 gr/rimpang, kulit tidak mengandung benda
asing dan tidak berjamur.
c. Mutu III : Bobot sesuai hasil analisis, kulit yang terkelupas maksimum