Top Banner

of 36

Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis

Oct 18, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA RESIDIVISBERDASARKAN PRINSIP PEMASYARAKATAN

    DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II.A BIARO(Tinjauan Mengenai Prinsip Pemasyarakatan Tentang Perlindungan Negara)

    ARTIKEL

    OLEH :

    AZRIADI0921211108

    PROGRAM PASCA SARJANAILMU HUKUM

    UNIVERSITAS ANDALAS PADANG2011

  • ABSTRAKFungsi hukum sebagai salah satu alat untuk menghadapi kejahatan

    melalui rentetan sejarah yang panjang mengalami perubahan-perubahan danperkembangan, dari satu cara yang bersifat pembalasan terhadap orang-orangyang melakukan kejahatan, yang berubah menjadi alat untuk melindungi individudari gangguan individu lainnya, dan perlindungan masyarakat dari gangguankejahatan akan terus berubah sebagai wadah pembinaan narapidana untukpengembalian ke dalam masyarakat. Lembaga pemasyarakatan adalah muaradari sistem peradilan pidana yang berwenang dan diberi tugas oleh negara untukmelakukan pembinaan dan memberikan pengayoman, kadangkala pembinaanyang diberikan tidak sesuai dengan porsi dan aturan yang seharusnya dan initerkadang dianggab enteng oleh petugas sehingga hasil pembinaan tidak optimaldan akan menjadikan benih suatu perbuatan yang berulangkali dilakukansehingga akhirnya mereka akan kembali kedalam wadah pembinaan untuk keduakalinya. Pembinaan bagi para pelaku yang berulangkali dijatuhi pidana olehhakim (residivis) seharusnya dibedakan baik pembinan maupun penempatannyadi dalam lembaga pemasyarakatan hal ini juga sesuai dengan prinsippemasyarakatan, namun pada prakteknya hal itu belum terlaksana. Dalampenulisan tesis ini yang menjadi permasalahan adalah: (1) BagaimanaKedudukan Dan Landasan Hukum Pembinaan Narapidana Residivis Di LembagaPemasyarakatan Kelas II A Biaro?, (2) Alasan Lembaga Pemasyarakatan KelasII A Biaro Menyatukan Pembinaan Narapidana Residivis Dengan NarapidanaBaru? dan (3) Bagaimana Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis danEfektifitas nya Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Biaro?. Untuk itu penulisdalam penyusunan penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridissosiologis (empiris) penelitian berupa penelitian hukum yang dikaitkan aspekhukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian dihubungkandengan kenyataan atau fakta yang terjadi di dalam masyarakat, penelitian inidalam membahas permasalahan dengan mengadakan teknik wawancara, studidokumen serta dengan studi kepustakaan. Pada kasus ini kedudukan danlandasan hukum pembinaan narapidana residivis di lembaga pemasyarakatankelas IIA Biaro didasari prinsip pemasyarakatan dan Undang-undang Nomor 12tahun 1995 sebagai peraturan pelaksanaannya. Dalam pelaksanaannya dilapangan ternyata jauh dari prinsip dasar pemasyarakatan yang seharusnyamemisahkan pembinaan dan penempatan bagi narapidana klasifikasi ini, dalampelaksanaanya ternyata banyak alasan dari pihak lembaga untuk dapatmenggabungkan pembinaan narapidana berstatus residivis ini tentunya hal initidak dapat dibenarkan adanya. Akibat ataupun efek dari penyatuan ini tentu sajabesifat negatif karena dapat meransang narapidana untuk kembali melakukanperbuatan bertentangan dengan hukum dan pastinya narapidana ini akanmempengaruhi para narapidana yang baru pertama kali untuk berbuat kembalidan akhirnya lembaga pemasyarakatan dapat dicap sebagai sekolah tinggikejahatan yang difasilitasi oleh negara. Pada kasus ini dapat di sarankanlembaga pemasyarakatan supaya dapat kembali melaksanakan tugas sesuaidengan peraturan dan dasar pendirian lembaga pemasyarakatan, supayalembaga pemasyarakatan untuk tidak mengkambinghitamkan kekurangan yangada akan tetapi setiap pimpinan lembaga harus dapat menemukan solusi yang

  • baik, supaya efek dari penggabungan pembinaan kepada kedua klasifikasinarapidana ini tidak berlarut-larut maka sitem pembinaannya harus kembalimenerapkan prinsip-prinsip dasar pemasyarakatan.A. Latar Belakang Masalah

    Fungsi hukum sebagai salah satu alat untuk menghadapi kejahatanmelalui rentetan sejarah yang panjang mengalami perubahan-perubahan danperkembangan, dari satu cara yang bersifat pembalasan terhadap orang-orangyang melakukan kejahatan, yang berubah menjadi alat untuk melindungi individudari gangguan individu lainnya, dan perlindungan masyarakat dari gangguankejahatan akan terus berubah sebagai wadah pembinaan nara pidana untukpengembalian ke dalam masyarakat.1

    Melihat tentang kepenjaraan, di Indonesia sudah berkembang sejak zamankolonial Belanda dapat dilihat pada Reglement tentang penjara tahun 1917 dalampasal 28 ayat (1) sebagai berikut:

    penjara adalah tempat pembalasan yang setimpal atau sama atas suatuperbuatan atau tindak pidana yang di lakukan oleh si pelaku tindak pidanadan juga sebagai tempat pembinaan terhadap narapidana atau pelakutindak pidana

    Dalam pembinaan di penjara keberhasilan pembinaan tidak dapat dipungkirijuga tergantung kepada pegawai yang ada dalam penjara tersebut, dalamreglement di atas dalam penjelasannya bahwa pegawai penjara diwajibkan untukmemperlakukan narapida secara berpri kamanusiaan dan berpri keadilan dengantujuan yang di cita-citakan agar narapidana dapat berubah kepada yang lebih baik.Akan tetapi dengan adanya kesungguhan yang patut serta hanya dengan tujuantidak dibolehkan adanya suatu ikatan persahabatan antara terpidana denganpegawai penjara untuk senantiasa mempertahankannya, yang berartimempertahankan sifat dari pidana itu sendiri.2

    Penjara dijadikan sebagai tempat pembalasan dendam dan itu dianggabsesuai dengan fungsinya maka itu membutuhkan para petugas yang benar-benarkuat dalam semua hal terutama mental untuk menjalankan tugas sebagai petugas

    1 Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sejarah Dan Azaz Penologi, Armico, Bandung, hlm 112 Bachtiar Agus Salim, 2003, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 Hingga

    Lahirnya Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini, Medan: Pustaka Bangsa, PemikiranHukum Guru Besar Dari Masa ke Masa. hlm. 129

  • kepenjaraan terutama untuk membuat jera para terpidana dan tentunya hubunganyang terlalu dekat dengan narapidana menjadi halangan tercapainya tujuan daripemenjaraan.

    Terjadinya perkembangan atau pergeseran nilai dari tujuan atau inti pidanapenjara tersebut atau disebut dengan eksistensi sebelum menjadi LembagaPemasyarakatan, yang dimulai dari tujuan balas dendam (retalisation) kepadapelaku tindak pidana kemudian berubah menjadi pembalasan yang setimpal(retribution) bagi sipelaku tindak pidana yang selanjutnya diikuti dengan tujuanuntuk menjerakan (deterence) sipelaku tindak pidana dan kemudian diikuti jugapada awal abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke-20, tujuan tersebut tidaklagi bersangkutan dengan memidana (punitive) melainkan bertujuan untukmemperbaiki terpidana (rehabilitation) dengan jalur resosialisasi.3

    Berbagai macam pengertian tujuan dari pidana penjara tersebut terdapatbanyak perbedaan. Namun demikian di Indonesia menurut Sudarto, melalui KitabUndang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) ke dalam ReglementPenjara Tahun 1917 memang masih ada yang beranggapan bahwa tujuan daripidana penjara tersebut adalah pembalasan yang setimpal denganmempertahankan sifat dari pidana penjaranya yang harus diutamakan. Akan tetapipada akhir tahun 1963 yang dinyatakan bahwa pidana penjara adalahpemasyarakatan dan hal tersebut lebih mengarah atau mengutamakan pembinaan(re-educatie and re-socialisatie).4

    Dalam perkembanganya di Indonesia konsepsi Pemasyarakatan dinyatakanpertamakali pada tahun 1963 oleh Sahardjo, pada saat beliau menerima gelarDoctor Honoris Causa (Pidato Pohon Beringin Pengayoman):5

    1. Pemasyarakatan berarti kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap yangbersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan sekaligusmengayomi para narapidana yang tersesat jalan dan memberi bekalhidup bagi narapidana setelah kembali ke dalam masyarakat.

    3 Ibid hlm 134 Sudarto, 1974, Suatu Dilema dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia , Semarang:

    Pusat Studi Hukum dan Masyarakat, hlm. 325 Soedjono Dirjosisworo, Op cit, hlm 199

  • 2. Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang denganputusan hakim untuk menjalani pidananya yang ditempatkan dalamlembaga kemasyarakatan maka istilah penjara di rubah menjadi lembagapemasyarakatan.

    3. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas asas pancasila dan memandang terpidana sebagai makluktuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus.

    Bertolak dari pandangan Sahardjo di atas tentu membuka jalan perlakuanterhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidanapenjara. Konsep pemasyarakatan tersebut kemudian di sempurnakan olehkeputusan konferensi dinas para pimpinan kepenjaraan, konferensi kepenjaraan diLembang Bandung Tanggal 27 April 1964 ini mengatakan bahwa sistem pidanapenjara di lakukan dengan sistem pemasyarakatan. Dengan demikian sistemPemasyarakatan, telah memperkenalkan treatment kedalam sistem kepenjaraanIndonesia. Konferensi tersebut juga telah menerima 10 prinsip dasar dariPemasyarakatan sebagai berikut:6

    1. Orang yang tersesat di ayomi juga, dengan memberikan kepadanyabekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakatyang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanyaberupa finansial dan material, tetapi lebih penting adalah mental, fisik,keahlian, keterampilan hingga orang mempunyai kemauan dankemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga yangbaik, tidak melanggar hukum dan berguna dalam pembangunannegara.

    2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara, terhadapnarapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan,cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita hanyadihilangkan kemerdekaannya.

    3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan denganbimbingan. Kepada narapidana harus ditanamkan pengertianmengenai norma-norma kehidupan, serta diberi kesempatan untuk

    6 Romli Atmasasmita, 1982, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam KonteksPenegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni, hlm 12

  • merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapatdiikutsertakan dalam kegiatana-kegiatan sosial untuk menumbuhkanrasa hidup kemasyarakatan.

    4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahatdaripada sebelum ia masuk lembaga, karena itu harus diadakanpemisahan antara:

    - Yang residivis dengan yang bukan;- Yang telah melakukan tindak pidana berat dan ringan;- Macam tindak pidana yang diperbuat;- Dewasa, dewasa-muda dan anak-anak;- Orang terpidana dan orang tahanan.

    5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh di asingkan darinya kinimenurut sistem Pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan darimasyarakat dalam arti kultural. Secara bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhandalam proses Pemasyarakatan. Sistim Pemasyarakatan didasarkankepada pembinaan yang community centered dan berdasarkaninteraktivitas dan inter disipliner aproach antara unsur-unsur pegawai,masyarakat dan narapidana.

    6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifatmengisi waktu atau hanya di peruntukkan kepentingan jawatan ataukepentingan negara saja.

    7. Bimbingan dan didikan harus sesuai dengan Pancasila.8. Tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia,

    meskipun telah tersesat.9. Nara pidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru dan

    sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program-program pembinaandan memindahkan lembaga-lembaga yang berada di tengah-tengahkota ke tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses Pemasyarakatan.

  • Dalam hal pembiaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dantidak mengulangi tindakan yang bertentangan dengan hukum, seperti yang digagaskan oleh Sahardjo diatas, lembaga pemasyarakatan bukan hanya sebagaitempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempatmembina juga untuk mendidik orang-orang terpidana, agar mereka setelah selesaimenjalankan pidana, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengankehidupan di luar lembaga pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dantaat kepada aturan hukum yang berlaku. Dengan Adanya sekian banyak modelpembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamikayang tujuannya supaya warga binaan mempunyai bekal dalam menyongsongkehidupan setelah menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan.

    Narapidana bukan saja sebagai objek, melainkan juga subjek yang tidakberbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahanatau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga harus diberantas ataudimusnahkan. Sementara itu, yang harus diberantas adalah faktor-faktor yangdapat menyebabkan narapidana tersebut berbuat hal yang bertentangan denganhukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban-kewajiban sosial lainnya yang dapatdikenakan pidana.7

    Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan WargaBinaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga bertujuan untukmelindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana olehWarga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tidakterpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila8

    Pelaksanakan sistem Pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga partisipasiatau keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerjasama dalampembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga BinaanPemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya.9

    7 C.I. Harsono Hs, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana , Jakarta: Djambatan, hlm.18-19

    8 Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia Mandiri,Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, hlm. 21.

    9 Ibid hlm 22-23

  • Salah satu hal yang merusak sistim masyarakat adalah adanya penjahatkambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis para penjahat ini biasanyamengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi hukuman.Sebagai contoh seseorang telah melakukan pembunuhan terhadap orang laindikenai pelanggaran Pasal 338 KUHP dan di kenai hukuman 10 tahun setelah 10tahun dia menjalani hukuman, dia kembali melakukan pembunuhan.10

    Terhadap seseorang melakukan tindak pidana, seperti contoh diatas dapatdianggap mengulangi kejahatan yang sama (residivis) dan dapat dijadikan dasarpemberat hukuman nya berdasar kan ketentuan Pasal 486 KUHP ia dapat diancamhukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman yang normal dengancatatan bahwa perbuatan yang jenis nya sama tersebut ia lakukan dalam kurangdari waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman yang dijatuhkan.

    Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dantelah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukumtetap (inkracht van gewijsde) ,kemudian melakukan tindak pidana lagi.11 samaseperti dalam concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidananamun dalam recidive taklah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukumtetap.

    Peraturan substansial yang ada dalam Undang-Undang Pemasyarakatan inidi jadikan landasan berpijak bagi warga binaan pemasyarakat dan pembina secaraterintegrasi pada satu sitem pemasyarakatan di Indonesia, maka undang-undangpemasyaraktan adalah sebagai kerangka berpijak perilaku yang pantas dan standaruntuk bertindak.12

    Dilatar belankangi oleh semangat reformasi hukum dan hari kebangkitannasional banyak terdapat kejanggalan yang selama ini mungkin belum terungkapdan bukan tidak mungkin hal ini adanya unsur kesengajaan menutup-nutupikenyataan yang seharusnya sangat mencemar kan kehidupan hukum masyarakat

    10 Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta: Raja GrafindoPersada, hlm 104

    11 Hand Out Hukum Pidana, Pengulangan Tindak Pidana (resedivis),http://syariah.Uinsuka, ac.id/file_ilmiah/7.%20Recedivis. Pdf. Di kunjungi 3 Januari 2011 Pukul 19:05

    12 Soejono Soekanto, 2004. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,Jakarta: Raja Gravindo, hlm 2

  • dalam hal ini pemasyarakatan sebagai muara dari proses hukum peradilan pidanadi Indonesia

    Salah satu mungkin yang terlupakan tersebut adalah yang berkaitan eratdengan kata-kata yang penulis ungkapkan di atas yaitu maslah yang terdapatdalam lembaga pemasyarakatan yang merupakan suatu pempat yang dapatmemberikan masyarakayat suatu harapan untuk dapat lebih baik dari sebelumnyadengan permasalahan yang ada disana akan dapat mengurangi kesempurnaanreformasi hukum kita.

    Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah selakupembuat keputusan selama ini terhadap permasalahan di dalam sistempemasyarakatan Indonesia belum terasa efeknya secara positif. Sebenarnya,pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan di Indonesia bukanhanya memiliki efek jera terhadap pelaku kejahatan melainkan melihat kegunaanefek penghukuman tersebut sebagai hukuman itu sebagai kontrol sosial yangmempunyai dasar mencegah kejahatan yang diperbuat tidak terulang kembali,sebagai penopang moral masyarakat yang taat pada hukum, dan memberi bekalhidup kepada pelaku tindak kejahatan.

    Dalam hal perlakuan dan bahkan pembinaan terhadap nara pidana jelasmempunyai perbedaan yang digolongkan terhadap kepada kriteria yang telahdicantumkan dalam hasil konferensi pemasyarakatan di atas dan sudah disepakatikonsep tersebut menjadi sebuah Sistem Pemasyarakatan ini merupakan tolakukur utama dalam menjalankan Undang-undang pemasyarakatan agar benar-benartercapai, terutama terhadap narapidana residivis yang belakangan ini tujuan daripembinaan tersebut agar warga binaan dapat kembali menjadi manusia yangberguna dan bermamfaan bagi masyarakat masa mendatang. Dalam pembiananyang dilakukan secara teliti dan matang akan menjadikan serta menjamin integrasisistem pemasyarakatan.B. Rumusan Masalaha. Bagaimana Kedudukan Dan Landasan Hukum Pembinaan Narapidana

    Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Biaro?b. Alasan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Biaro Menyatukan Pembinaan

    Narapidana Residivis Dengan Narapidana Baru?

  • c. Bagaimana Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Resedivis dan Efektifitasnya Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Biaro?

    C. Tujuan PenelitianAdapun tujuan dari penelitian ini adalah :

    a. Untuk menjelaskan landasan hukum pembinaan narapidana residivis diLembaga Pemasyarakatan kelas II A Biaro.

    b. Untuk menjelaskan bagaimanakah pembinaan narapidana residivis diLembaga Pemasyarakatan kelas II A Biaro.

    c. Untuk menjelaskan apa yang mendasari lembaga pemasyarakatan kelas II ABiaro menyatukan pembinaan narapidana residivis dengan narapidana biasa.

    d. Untuk mengungkapkan apakah pembinaan narapidana residivis di LembagaPemasyarakatan kelas II A Biaro telah memenuhi prinsip pemasyarakatan.

    D. Manfaat Penelitian1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam

    bentuk sumbang saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnyadan untuk bidang Hukum Pidana pada khususnya yang berhubungan denganPembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

    2. Secara prakteknya sangat bermanfaat dan membantu bagi semua pihak, baikitu para Narapidana yang dilakukan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatandan masyarakat pada umumnya supaya dapat menerima para Narapidanayang telah menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan.

    E. Kerangka Teoritis dan Konseptual1. Kerangka Teoritis

    Untuk mendukung suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritisseagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H Soemitro bahwa untuk memberikanlandasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah di sertai denganpemikiran teoritis.13 Berbagai pemikiran muncul mengenai maamfaat pidana,sehingga muncul beberapa teori dan konsep pemidanaan antara lain14

    1. Teori Retributif (Retribution Theory) atau Teori Pembalasan

    13 Ronny H Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia. Hlm 3714 Petrus Irwan Panjaitan dan Samuel Kikilaitety, 2007, Pidana Penjara Mau Kemana

    (Jakarta: CV. Indhill Co), hlm. 6-27.

  • Pidana penjara yang dikenal di Indonesia sekarang ini terdapatdalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yangmerupakan wujud dari berbagai teori-teori yang menyakini akanmanfaat dari suatu hukuman. Hukuman sebagai suatu derita yangsengaja diberikan kepada pelaku tindak pidana ternyatamempunyai manfaat yang berbeda-beda.15

    2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doel theorien)Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutanabsolutdari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilaitetapi hanya sebagai saran untuk melindungi kepentinganmasyarakat dan mengurangi frekuensi kejahatan.Karena tujuan yang bermamfaat ini maka teori relatif disebut jugateori tujuan (utilitarian theory) dimana pidana di jatuhkan bukankarena orang itu telah membuat kejahatan (quia peccatum est)tetapi supaya orang itu janagn melakukan kejahatan itu lagi(nepeccetur).16 Jadi menurut teori relatif tujuan pidana adalahuntuk mencegah agar ketertiban dalam masyarakat tidak terganggudengan kata lain pidana yang dijatuhkan kepada sipelaku kejahatanbukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untukmemelihara kepentingan umum.

    3. Teori PencegahanMenjatuhkan hukuman sebagai upaya membuat jera gunamencegah terulangnya kembali tindak kejahatan merupakan idedasar dari deterrence (pencegahan kejahatan), maksudnya tujuanhukuman tersebut sebagai sarana pencegahan.

    4. Teori RehabilitasiDijatuhkannya hukuman kepada pelaku kejahatan, tidak saja dilihatsebagai suatu balasan atas perbuatan yang merugikan ataupenjeraan semata, tetapi ada suatu kegunaan tertentu yaitu dalam

    15 J.E. Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadapPembunuhan Berencana , Jakarta Rajawali, hlm. 201.

    16 Muladi dan Barda Nawawi Arief , Op cit, teori-teori dan kebijakan pidana,

  • pelaksanaannya bukan pidana badan, tetapi pidana hilangkemerdekaan, dengan demikian dapat dikatakan bahwapenempatan seseorang disuatu tempat tertentu dengan maksudmembatasi kemerdekaan seseorang, maka tujuannya adalahmemperbaiki pelaku kejahatan agar dapat berprilaku sewajarnyadan pantas dengan menanamkan norma-norma yang berlakudimasyarakat, atau dapat juga dikatakan dijatuhinya hukumanuntuk seseorang pelaku tindak kejahatan bertujuan untukmerehabilitasi perilakunya.

    5. Teori Integratif (Teori Gabungan)Muladi mengkatagorikan tujuan pemidanaan ke dalam 4 (empat)tujuan, antara lain17:a) Pencegahan (umum dan khusus).b) Perlindungan masyarakat.c) Memelihara solidaritas masyarakat.d) Pidana bersifat pengimbalan/pengimbangan.

    6. Tori PrismatikSuatu konsep yang mengambil segi-segi yang baik dari suatukonsep yang bertentangan yang kemudian disatukan sebagaikonsep tersendiri sehingga dapat selalu diaktualisasikan dengankenyataan masyarakat. Menurut Fred W.Riggs dima suatu konsepprismatik itu mempunyai ciri-ciri utama:18a. Heterogenitas yaitu perbedaan dan pencampuran yang nyata

    antara sifat-sifat tradisional dan modernb. Formalisme menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam

    kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telahditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata dilapangan.

    c. Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakanantara berbagai struktur formal yang belum dideferensiasikan

    17 Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat (Bandung: Alumni), hlm. 81-86.18 http://lutfi-wahyudi.blogspot.com/ di kunjungi 03 Agustus 2011 pukul 06:40

  • dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikandan dispesialisasikan.

    2. Kerangka Konseptuala. Residivis adalah suatu pengulangan tindak pidana atau melakukan

    kembali kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelahdijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya19.

    b. Pemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor12 tahun 1995 adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan WargaBinaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan carapembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaandalam tata peradilan pidana.

    c. Sistem Pemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-UndangNomor 12 tahun 1995 adalah suatu tatanan mengenai arah dan batasserta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkanPancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, danmasyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga BinaanPemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dantidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembalioleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalampembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yangbaik dan bertanggungjawab

    d. Lembaga Pemasyarakatan atau yang biasa disebut dengan LAPASmenurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995tentang Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakanpembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

    e. Pembinaan menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995tentang Pemasyarakatan adalah suatu sistem yang terdapat dalampemasyarakatan. Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakanberdasarkan asas, yaitu1) pengayoman;2) persamaan perlakuan dan pelayanan;

    19 Gerson W Bawengan, 1997, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana DidalamTeori Dan Praktik, Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm 70

  • 3) pendidikan;4) pembimbingan;5) penghormatan harkat dan martabat manusia;6) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;

    dan7) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan

    orang-orang tertentu.f. Narapidana menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12

    Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah Terpidana yangmenjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.

    F. Metode Penelitian1. Pendekatan, Jenis dan Sifat PenelitianPenelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang

    dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis sertasempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikanatau menjawab problemnya.20 Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifatdeskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta sertamenganalisa permasalahan yang ada sekarang21 berkaitan dengan bentukpelaksanaan pembinaan narapidana residivis

    2. Pengolahan dan Analisa DataTerhadap suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang

    berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisisdata dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian denganmenggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas ataufenomena sosial yang bersifat unik dan komplek padanya terdapat regularitas ataupola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).22

    20 Joko P. Subagyo, 1997, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta RinekaCipta, hlm. 2

    21 Winarno Surakhmad, 1978, Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito, hlm. 13222 Burhan Bungi, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan

    Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta Raja Grafindo Persada, hlm. 53.

  • Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.23 Sedangkan metode kualitatifmerupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.24A. Residive, Residivis dan Pengaturannya

    1. ResidivePengulangan atau residive terdapat dalam hal seseorang telah melakukan

    beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdirisendiri, diantara perbuatan mana satu atau lebih telah di jatuhi hukuman olehpengadilan.25 Suatu hal yang juga sangat berhubungan dengan perbuatan iniadalah gabungan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidanamempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkanhukuman.

    Perbuatan yang berhubungan dengan hal di atas diatur oleh undang-undangkita yaitu Kitap Uundang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal yang berkenaandengan hal perbuatan diatas adalah : Pasal 486, 487 dan 488. Kita semuamengetahui akan tujuan dari peng hukuman adalah :26

    a. Prevensi hukum (pencegahan untuk terjadinya sesuatu)b. Prevensi khusus yang ditujukan terhadap mereka yang telah

    melakukan perbuatan kejahatan dengan pengharapan agar merekatakut mengulang kembali melakukan kejahatan setelah mengalamihukuman.

    Menurut sifatnya perbuatan yang merupakan sebuah pengulangan dapatdibagi menjadi dua jenis: 27

    a. Residive umum1) Seseorang yang telah melakukan kejahatan.2) Dimana perbuatan yang telah dilakukan sudah dijatuhi

    hukuman yang telah di jalani.

    23 Lexy J. Moleong, 2004, Metode Kualitatif , Bandung: Remaja Rosdakarya,), hlm. 10324 Ibid. hlm. 325 Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers, hlm 12126 J.C.T. Simorangkir, 2008, Kamus Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm 13227 Teguh Prasetyo, Op.cit hlm 123

  • 3) Kemudia ia kembali melakukan kejahatan setiap jeniskejahatan.

    4) Maka pengulangan ini dapat dipergunakan sebagai dasarpemberatan hukum.

    b. Residive khusus1) Seseorang yang telah melakukan kejahatan.2) Yang telah di jatuhi hukuman.3) Setelah ia menjalani hukuman kembali melakukan

    kejahatan.4) Kejahatannya yang dilakukan kembali adalah sejenis.

    Dari perbuatan yang dilakukan diatas perbuatan yang sejenis hal untukdilakukan pemberatan akan hukumannya.

    2. ResidivisSistem yang dipergunakan KUHP adalah sistem antara, berhubung

    penggolongan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki sifat yangsama dengan kejahatan yang dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa pasalyang disebutkan dalam KUHP yaitu mengatur tentang terjadinya sebuah tindakanpengulangan (recidive). Ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatanpengulangan yaitu:

    a. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentudengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya.Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP.

    b. Diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 486 sampai 488, KUHP jugamenentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadipengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), Pasal 489 ayat (2), Pasal495 ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3)28

    Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat digolongkanmenjadi;

    28 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta, Raja GrafindoPersada, hlm 81

  • 1. Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalampenggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan yaitu;29a. Pelanggaran hukum bukan residivis (mono deliquent/pelanggar

    satu kali/first offenders) yaitu yang melakukan tindak pidanahanya satu kali saja.

    b. Residivis yang di bagi menjadi:1) Penjahat yang akut meliputi para pelanggar yang bukan

    residivis dan mereka telah berulangkali melakukan tindakpidana dan telah dijatuhi pidana umum namun rentangwaktu melakukan tindak pidana itu jauh, atau perbuatanpidana berbeda-beda sehingga ada hubungan kriminalitasatau dengan kata lain dalam jarak waktu tersebut misalnya 5tahun menurut Pasal 486,487 dan 488 KUHP Indonesia.

    2) Penjahat kronis, adalah golongan pelanggar hukum yangtelah mengalami penjatuhan pidana yang berlipat gandadalam waktu singkat dari selang masing-masing putusan.

    3) Penjahat berat, yaitu mereka yang paling sedikit telahdijatuhi pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan-bulandan lagi mereka yang karena kelakuan anti sosial sudahmerupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetapbagi mereka.

    4) Penjahat sejak umur muda tipe ini ia melakukan kejahatansemenjak dia kanak-kanak berawal dari kenakalan anak.

    2. Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindakpidana dibedakan 3 (tiga) jenis, yaitu:a. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan

    cakupannya antara lain:1) Pengertian yang luas yaitu meliputi orang-orang yang

    melakukan suatu rangkaian kejahatan tampa diselingi suatupenjatuhan pidana/comdemnation.

    29 Friedrich Stumpl di kutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi SansuranNy.L. Moeljatno, hlm 161.

  • 2) Dalam pengertian yang lebih sempit yaitu bila sipelaku telahmelakukan kejahatan yang sejenis (homologus recidivism)artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangiperbuatan itu lagi dalam rentang waktu tertentu misalnya 5(lima) tahun semenjak terpidana menjalani semua atausebagian hukuman yang telah dijatuhkan padanya.

    b. Selain kepada bentuk di atas, pengulangan tindak pidana jugadapat dibedakan atas;1) Accidentale recidive, yaitu pengulangan tindak pidana yang

    dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa danmenjepitnya.

    2) Habituele recedive, yaitu pengulangan tindak pidana yangdilakukan karena sipelaku memang sudah mempunyai innercriminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatanmerupakan perbuatan yang biasa baginya.

    B. Faktor Penyebab Timbulnya ResidivisResidivis merupakan seseorang hasil dari suatu gejala sosial yang dapat

    timbul dari prilaku jahat nya dan menjadi kebiasaan dari pelaku suatu tindakpidana itu, dalam pembinaan narapidana salah satu tujuan nya adalah untukmenekan tingkat angka residivis setelah mereka kembali ketengah-tengahmasyarakat. Selain dari kesalahan penerapan pembinaan narapidana ada banyakfaktor yang menjadi pendukung terjadinya pengulangan perbuatan pidanadiantaranya dari lingkungan masyarakat tempat kembalinya.

    1. Lingkungan MasyarakatDidalam masyarakat orang yang kelakuannya menyimpang atau

    menyalahi norma yang telah disepakati maka akan menimbulkan akibatyang beragam ada yang berakibat positif dan ada juga akibat yang negatif.Diantara akibat itu kalau yang berbentuk positif maka akan menimbulkansuatu perubahan dan gejala sosial dan ini dapat memancing timbulnyakreatifitas manusia untuk menanggulanginya dan mencari penyelesaianyang sesuai dengan norma yang dilanggar itu, sedangkan dampak negatifyang ditimbulkan dari prilaku yang menyimpang itu akan menyebabkan

  • terancamnya ketenangan dan ketentraman serta akan menimbulkan tidakterciptanyan ketertiban dalam masyarakat dan ini jelas akan menimbulkanrespon dari masyarakat yang beragam karena mereka merasa terancam akanpenyimpangan itu.

    Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenanganlingkungan dan ketertiban masyarakat kemudian menimbulkan stigmatisasiterhadap individu yang melakukan perilaku yang menyimpang tersebut.Stigmatisasi sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakanproses pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yangdilakukan dalam proses peradilan bahwa ia adalah orang yang jahat. Lebihlanjut dan lebih dalam lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukumyang bersangkutan, lebih besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagaibenar-benar pelanggar hukum yang jahat dan pada gilirannya yang lebihbesar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagaianggota masyarakat yang tidak dapat di percaya.30Pada dasarnya jika kita lihat stigmatisasi ini muncul disebabkan karena rasa

    ketakutan dari masyarakata terhadap mantan terpidana karena ada kekhawatiran iaakan mempengaruhi orang lain dan membawa orang itu untuk juga melakukanperbuatan melanggar hukum

    2. Dampak dari PrisonisasiPrisonisasi bukanlah hal yang baru dalam sisitem pemasyarakatan

    yang diartikan sebagai sesuatu hal yang buruk menjadi pengaruh negatifterhadap narapidana dimana pengaruh itu berasal dari nilai dan budayapenjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan pada tahun 1963oleh Sahardjo salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa negaratidak berhak membuat orang lebih buruk atau jahat sebelum dan di penjara,asumsi ini secara langsung menunjukkan pengakuan terhadap pemenjaraansecara potensial dapat menimbulkan dampak negatif, sebagaimana yangdinyatakan dalam Poin 53, Implementasi The Standar Minimum Rules ForThe Treatment Of Prisoners (Implementasi SMR) yang berbunyi ;tujuan-

    30 Didin Sudirman, 2006, Masalah-Masalah Actual Tentang Pemasyarakatan, PusatPengembangan Kebijakan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok,hlm 52

  • tujuan pembinaan dalam rangka pemasyarakatan cenderung berbelok kearahyang menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusakdan terdapat di dalam hubungan para penghuni.31

    C. Pembinaan Narapidana dan Pengaturannya1. Pembinaan Narapidana

    Pembinaan narapidana merupakan salah satu upaya yang bersifat UltimumRemidium (upaya terakhir) yang lebih tertuju kepada alat agar narapidana sadarakan perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam masyarakat ia akanmenjadi baik, baik dari segi keagaman, sosial budaya maupun moral sehinggaakan tercipta keserasian dan keseimbangan di tengah-tengah masyarakat.

    Pemasyarakatan membentuk sebuah prinsip pembinaan dengan sebuahpendekatan yang lebih manusiawi hal tersebut terdapat dalam usaha-usahapembinaan yang dilakukan terhadap pembinaan dengan sistem pemasyarakatanseperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentangpemasyarakatan. Hal ini mengandung artian pembinaan narapidana dalam sistempemasyarakatan merupakan ujud tercapainya reintegrasi sosial yaitu pulihnyakesatuan hubungan narapidana sebagai individu, makhluk sosial dan makhlukTuhan.32

    Kemudian dirumuskan dalam konfrensi dinas kepenjaraan yangmenghasilkan sepuluh prinsip dasar pembinaan dan bimbingan bagi narapidanayaitu:33

    1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanyabekal hidup sebagai warganegara yang baik dan berguna dalammasyarakat.

    2. Penjatuhan pidana bukan merupakan tindakan pembalasan dendamoleh negara.

    3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan denganbimbingan.

    4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk dan jahatdaripada sebelum ia masuk lembaga.

    31 Didin Sudirman, Op cit hlm 6032 Op.cip Undang-undang Nomor 12 Tahun 199533 Loc.cit R.Achmad S.Soema di Pradja, hlm 15

  • 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harusdikenalkan kepada masyarakat dan tidak bolehdi asingkan daripadanya.

    6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifatmengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan ataukepentingan negara sewaktu saja.

    7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila.8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia

    meskipun telah tersesat.9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru dan

    sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program-pembinaanpemasyarakatan.

    2. Pengaturan Pembinaan NarapidanaDalam mencapai sistem pembinaan yang benar-benar baik dan partisifatif

    bukan hanya hal ini datang dari petugas akan tetapi semua pihak masyarakatsebagai muara kembalinya narapidana termasuk diri pribadi narapidana itu. Dalamupaya pemberian partisipatifnya para petugas pemasyarakatan senantiasabertindak sesuai dengan prinsip-prinsip pemasyarakatan. Seorang petugas barudianggap berpartisipasi apabila ia sanggup menunjukkan sikap, tindakan dankebijaksanaannya dalam mencerminkan pengayoman baik terhadap masyarakatmaupun terhadap nara pidana.

    Untuk pelaksanaan pidana penjara yang berdasarkan kepada sistempemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu kepada Undang-undang Nomor 12Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Serta penjelasan Umum Undang-undangPemasyarakatan yang merupakan dasar yuridis filosofi tentang pelaksanaan sistempemasyarakatan di Indonesia dinyatakan bahwa:34

    1. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedarpenjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasisosial warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu sitem

    34 Dwidja Priyatno, Loc. cit, hlm 102

  • pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dinamakansistem pemasyarakatan.

    2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel)pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP),pelepasan bersyarat (Pasal 15KUHP), dan pranata khusus penentuanserta penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47 KUHP), namunpada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistempemenjaraan. Sitem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balasdendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagaitempat pembinaan adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumahpendidikan negara bagi anak yang bersalah.

    3. Sistem pemenjaraan sangat menekankan kepada unsur balas dendamdan penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjara secaraberangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidaksejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agarnarapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untukmelakukan tindak pidana dan menjadi warga masyarakat yangbertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.

    D. Prinsip Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana1. Prinsip Pemasyarakatan

    Pemasyarakatan yang berarti: memasyarakatkan kembali terpidana sehinggamenjadi warga yang baik dan berguna35. Jadi sebagai mana yang telahdiungkapkan di depan bahwa dalam prinsip-prinsip pemasyarakatan bukan hanyasebagai suatu tujuan pidana penjara, melainkan merupakan Sistim PembinaanNarapidana.

    Konsep dari prinsip pemasyarakatan bukan hanya semata-mata merumuskantujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan suatu sistim pembinaan, suatumethodologi dalam bidang Treatment of Offenders, yang multi lateral oriented,dengan pendekatan yang berpusat pada potensi-potensi yang ada, baik itu ada

    35 Romli Atmasasmita, 1982, kepenjaraan dalam suatu bunga rampai, bandung, armico,hlm 44

  • pada individu yang bersangkutan, maupun yang ada di tengah-tengahmasyarakat, sebagai suatu keseluruhan.36

    Dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan prinsip sistem pemasyarakatansangat jauh berbeda dengan sistem sebelumnya yang menjurus kepada rehabilitasidan di titik beratkan kepada treatment-focusnya terhadap individu yangbersangkutan.

    2. Pembinaan Narapidana Dengan Prinsip PemasyarakatanPembinaan narapidana yang berkembang tidak hanya rehabilitasi

    narapidana, semakin berkembang pesatnya sehingga dalam seminar internasionalmengenai kriminologi dan tentang Social Defence yang selalu mencantumkandalam setiap item nya The Treatment Of Offenders yang berpangkal padapembinaan, sehingga terbentuk Standar Minimum Rules dalam pembinaannarapidana dan merupakan titik terang dalam perkembangan selanjutnya di bidangpembinaan narapidana yang sebaik-baiknya. Standar Minimum Rules (SMR)ini antara lain menyangkut tentang bangunan penjara (lembaga), kapasitaspenampungan para tahanan (narapidana) dan pedoman pembinaan atau pedomanperlakukan.37

    Untuk mencapai suatu pembinaan yang berlandaskan kepada prinsippemasyarakatan yang menjadi suatu bentuk proses pembinaan yang baru akansempurna dalam pelaksanaannya jika didukung oleh fasilitas yang mempunyaistandar yang baik dan jelas. Fasilitas pembinaan yang dimaksud adalah fasilitasyang disediakan oleh lembaga pemasyarakatan dalam usaha mengembalikannarapidana untuk menjadi manusia seutuhnya dan anggota masyarakat yang baik.

    Fasilitas dalam upaya pembinaan ini adalah berbentuk fasilitas pembinaanfisik dan nonfisik atau mental. Tampa adanya fasilitas tersebut mustahil cita-citaserta harapan dari sistem pemasyarakatan yang sesuai dengan prinsip-prinsippemasyarakatan akan tercapai. Adapun fasilitas itu berupa:38

    a. Fasilitas pembinaan fisikb. Fasilitas non fisik atau mental

    36 R.Achmad S.Soema di Pradja, Loc.cit, hlm 1937 Widiada Gunakaya. Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan, Bandung, Armico, hlm 9438 Ibid hlm 96

  • Disamping tersedia fasilitas pembinaan selama narapidana berada diLembaga Pemasyarakatan, juga harus dipikirkan fasilitas pembinaan narapidanayang sudah menjelang lepas (pre release treatment) dan fasilitas pembinaannarapidana sesudah lepas (post release treatment).A. Kedudukan Dan Landasan Hukum Pembinaan Narapidana Residivis Di

    Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Biaroa. Kedudukan Pembinaan Narapidana Residivis Di Lembga

    Pemasyarakatan Kelas IIA BiaroLembaga pemasyarakatan adalah suatu wadah oleh pemerintah yang

    diperuntukkan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang melakukan perbuatanmenyimpang dibidang hukum pidana, kalau dimasa sebelum pemasyarakatan adanama tempat bagi orang-orang yang menyimpang itu dinamakan penjara. Antarapenjara dengan pemasyarakatan secara umum sama akan tetapi perbedaannyaselain sebutannya terdapat perbedaan lain yang bersinggungan dengan arah tujuandari tempat bagi orang menyimpang ini, dimana lembaga pemasyarakatan adalahtempat dilakukannya pembinaan dan pengayoman bagi orang-orang yangdinyatakan bersalah oleh pengadilan.

    Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana sama begitu juga narapidanaresidivis yang tidak mempunyai kedudukan khusus atau berbeda denganpembinaan narapidana lain, hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan kepalalembaga pemasyarakatan kelas IIA Biaro bahwa semua pembinaan yangdilakukan terhadap semua narapidana sama sesuai dengan tingkatan waktu dantahap-tahap yang diberlakukan kepada setiap narapidana, seperti halnyapembinaan narapidana yang baru dengan yang sudah lama tentu saja berbedakarena disesuaikan dengan tahap yang di berlakukan.39

    b. Landasan Hukum Pembinaan Narapidana Residivis Di LembagaPemasyarakatan Kelas IIA Biaro

    Secara singkat oleh KA.LAPAS mengungkapkan sistem pamasyarakatanyang dijalankan di LAPAS Kelas IIA Biaro pada dasarnya sejalan denganpendapat Adi Sujatno dalam bukunya Sistem Pemasyarakatan Indonesia bahwasitem pemasyarakatan adalah sebuah konsekwensi yang merupakan bagian dari

    39 Wawancara dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Biaro, 18 April 2011

  • pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan.40 Dalam perkembanganselanjutnya pelaksanaan sistem pemasyarakatan diperkokoh oleh diundangkannyaUndang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Termuat dalamPasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor.12 Tahun 1995 disebutkan bahwa SitemPemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta carapembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan Pancasila yangdilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untukmeningkatkan kualitas pembinaan.41

    Pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan tentunyamembutuhkan banyak upaya, serta program yang mumpuni bagi setiap petugasdan narapidana bahkan program asimilasi yang teratur dapat mengandung manfaattidak saja bagi narapidana tetapi juga bagi masyarakat, program itu berupa;

    1) Program pelatihan bagi petugas dan narapidanaUntuk menjamin dapat terlaksananya program yang diterapkan oleh

    lembaga pemasyarakatan sebagai pengayoman maka para petugas jugadihadapkan kepada tantangan yaitu dituntutnya supaya mengikuti pelatihanyang sudah menjadi keharusan untuk menjawab tugas mereka yangberhubungan langsung dengan narapidana. Dalam hal ini akan terciptanyaketerampilan dari narapidana tergantung juga kepada keterampilan parapetugas, seperti yang diungkapkan beberapa petugas mereka sangatmembutuhkan keterampilan dalam bercocok tanam, beternak, pertukangandan kebugaran untuk kesehatan narapidana. Keterampilan semacam inisangat dibutuhkan oleh petugas dikarenakan untuk memenuhi sebagianbesar dari narapidana residivis yang memiliki latar belakang ekonomi lemahdimana kegiatan sehari harinya bertani, beternak dan sebagainya.

    Pembinaan yang diberikan kepada petugas diberikan sesuai dengankebutuhan dan yang dapat didanai oleh lembaga pemerintah lain yangbersangkutan dan hal ini juga tentunya sesuai dengan proposal yangdiajukan oleh lembaga pemasyarakatan akan tetapi ada juga pembinaan

    40 Wawancara dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Biaro, 18 April 201141Wawancara dengan Kepala Seksi Pembina dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan

    Kelas IIA Biaro, 18 April 2011

  • diberikan secara berkala dimana sudah menjadi kegiatan rutin daridepartemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.422) Asimilasi

    Negara yang telah mengambil kemerdekaan seseorang dan yang padawaktunya akan mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyaikewajiban dan tanggungjawab terhadap masyarakat. Negara tidak berhakmembuat seseorang lebih buruk dan lebih jahat dari pada ia sebelumdipenjara. Dalam mendidik terpidana untuk menjadi seorang anggotamasyarakat yang berguna, maka Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Biaromelakukan hal-hal sebagai berikut dan ini sesuai dengan pendapat yangdikemukakan oleh A.Widiada Gunakaya dalam bukunya Sejarah DanKonsepsi Pemasyarakatan:43

    a) Selama ia kehilangan kemerdekaan bergerak ia harus dikenalkandengan masyarakat, dan tidak boleh di asingkan daripadanya;

    b) Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan; tidak ada orang yanghidup di luar masyarakat; narapidana harus kembali kemasyarakatsebagai warga yang berguna; dan sedapat-dapatnya tidakterbelakang.

    Asimilasi dapat menjadi tolak ukur dari proses penerimaanmasyarakat terhadap narapidana dengan adanya kegiatan di luar lembagapemasyarakatan tentunya mempunyai tujuan dan hal itu dijamin olehundang-undang seperti mengunjungi keluarga atau pun karena hal tertentuseperti pemenuhan kebutuhan biologis semata, menurut Kepala SeksiPembinaan proses asimilasi seperti ini sengaja tidak dijalankan karena halini sangat berisiko tinggi untuk kelangsungan pembinaan karena ditakutkannantinya narapidana dapat berkomunikasi dengan teman-temannya yangtidak baik di luar lembaga pemasyarakatan dan kemungkinan-kemungkinanyang tidak baik lainnya.44

    42 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di LembagaPemasyarakatan Kelas IIA Biaro, 18 April 2011

    43 A.Widiada Gunakaya, 1988, Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan, Bandung,Armico, hlm 60-61

    44 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di LembagaPemasyarakatan Kelas IIA Biaro, 18 Mei 2011

  • Bagi narapidana asimilasi sangat dibutuhkan menurut keterangannarapidana dengan adanya asimilasi mereka dapat beradaptasi kembalidengan lingkungan tempat ia tinggal sebelumnya, selanjutnya menurutmereka dengan asimilasi seperti dikunjungi oleh lembaga-lembagapemerintah maupun LSM mempunyai mamfaat tersendiri terlebih untukkejiwaan mereka karena adanya kunjungan itu mereka merasa sangatterhibur dari semua rutinitas lembaga yang menjenuhkan dengan kunjungantersebut tentunya ada kegiatan-kegiatan seperti ceramah agama danpemberian keterampilan dan sebagainya.45

    B. Alasan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Biaro MenyatukanPembinaan Narapidana Residivis Dengan Narapidana Bukan ResidivisMenurut kepala pembinaan dan pendidikan di lembaga pemasyarakatan

    kelas IIA Biaro, adanya persamaan penempatan dan pembinaan kepada keduaklasifikasi ini disebabkan oleh banyak hal dan ini merupakan tugas lembaga yangharus lebih ekstra sehingga pembinaan sesuai dengan sasaran dan skedjul yangsudah di tetapkan. Ada banyak hal yang menjadi alasan dari lembagapemasyarakatan kelas IIA Biaro menyatukan pembinaan terhadap keduaklasifikasi narapidana selain dari faktor interen/dalam lembaga ada juga faktoryang berasal dari luar/exteren lembaga, faktor-faktor tersebut:1. Alasan yang berasal dari dalam lembaga pemasyarakatan

    Pelaksanaan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan adalahproses terakhir dari proses peradilan pidana yang didasarkan kepada KitapUndang-undang Hukum Acara Pidana dan sebagai pedoman proses dan pelaksanadari putusan hakim yang berakhir pada pembinaan kepada narapidana adalahUndang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Lembagapemasyarakatan berfungsi sebagai wadah dan tempat pembinaan narapidana dananak didik pemasyarakatan. Semua pembinaan tentunya harus didasarkan kepadabakat dan minat yang dimiliki oleh narapidana, pembinaan antara narapidanaresidivis dan non residivis tentulah berbeda serta kebutuhanya tidak sama sebab

    45 Wawancara dengan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Biaro, Mei2011

  • narapidana residivis adalah bentuk kegagalan penerapan pembinaan pada saat iapertama masuk atau menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan.46

    Secara umum faktor yang mempersulit untuk adanya pembedaan perlakuanpembinaan kepada narapidana baru dengan yang sudah residivis sebagaimanatermuat dalam prinsip-prinsip pemasyarakatan, di lembaga pemasyarakatan kelasIIA Biaro dapat di kategorikan:47

    1. Faktor pendanaanKeuangan merupakan hal utama yang mempengaruhi segala sesuatu apa

    yang akan kita lakukan begitupun dalam pembinaan di pemasyarakatan dalampelaksanaan dibutuhkan peralatan dan bahan-bahan sebagai pendukung.

    2. Sikap/serta pemahaman petugasDalam proses pebinaan, petugas adalah kunci yang tidak dapat tidak

    mempunyai peran utama, hal dasar yang mempengaruhi cara dan tindakan dalammenjalankan tugas semua itu berkaitan dengan pengalaman dan pengetahuan daripetugas terutama yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan.

    3. Perlengkapan dan prasarana PemasyarakatanPelaksanaan pembinaan tentusaja membutuhkan tempat dan alat sebagai

    sarana penunjang, perlengkapan tidak cukup hanya sekedar ada akan tetapi setiapsarana dan perelengkapan harus memenuhi standar yang telah ditentukan, sepertihalnya ruangan atau sel bagi narapidana, makanan, sarana kesehatan dan tempatolahraga semua itu adalah fasilitas yang tidak boleh tidak ada tampa semua itumaka pembinaan tidak akan berjalan dengan baik

    4. NarapidanaLancar atau tidaknya pembinaan tidak selalu didasarkan kepada petugas

    dengan kurangnya minat dari narapidana untuk berubah ke arah yang lebih baikmerupakan faktor utama sehingga jika mereka dipisahkan menurut mereka akanterjadi diskriminasi pembinaan. Namun mereka tidak memahami bahwa itu akanmerugikan dia untuk jadi lebih baik.

    5. Sumber daya manusia46 Didik Budi Waluyo, Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Narapidana

    Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan, http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/metadatapdf.jsp?id=100235

    47 Wawancara dengan kepala seksi pembinaan dan pendidikan lembaga pemasyarakatankelas IIA Biaro Mei 2011

  • Kurang terampilnya sumberdaya manusia yang memberikan pengertiankepada narapidana sehingga mereka tidak paham akan pentingnya pemisahan darikedua klasifikasi narapidana itu

    6. Kurangnya pengawasanSetiap kegiatan membutuhkan pengawasan sehingga apa dilakukan dapat

    berjalan dengan baik dan dan sesuai aturan begitu juga dengan pembinaan yangdilakuakn di lembaga pemasyarakatan pengawasan yang berasal dari pucukpimpinan kepada bawahan baik itu yang berhubungan dengan pembinaannarapidana ataupun berkaitan dengan kebijakan yang dibutuhkan tampa adapengawasan dimunkinkan akan keluar dari aturan yang telah di tetapkan.2. Alasan yang berasal dari luar lembaga pemasyarakatan dan peranan

    hakim pengawas dan pengamat (WASMAT) dalam proses pembinaan dilembaga pemasyarakatanPengawasan oleh hakim dalam pelaksanaan pembinaan di pemasyarakatan

    sangat berpengaruh akan kinerja para petugas dan pembinaan yang akanditerapkan kepada narapidana. Konsep hakim wasmat yang kurang berjalansebagaimana harusnya adalah salah satu penyebab tidak berjalannya pembinaanyang baik itu.48 Sebagai orang yang menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindakpidana, hakim tidak berhenti tugasnya. Hakim juga dapat ditugaskan sebagaipengawas dan pengamat, sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang No 48Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Kitap Undang-undang HukumAcara Pidana, Bab XX dalam Pasal 277 sampai Pasal 283 KUHAP mengenaipengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan dan surat edaranmahkamah agung R.I. No 7 Tahun 1985 Tentang Petunjuk Pelaksanaan TugasHakim Pengawas dan Pengamat yang menghendaki adanya tanggung jawab moralHakim yang mewajibkannya mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana didalam penjara.

    Hakim Pengawas dan Pengamat mempunyai tugas dan kewenangan untukpengawasan dalam semua hal diantaranya mengenai hak-hak narapidana sepertimendapatkan remisi, assimilasi, cuti, lepas bersyarat, integrasi, pelayanankesehatan, apabila hakim pengamat berpendapat adanya kekurangan dalam

    48 Wawancara dengan KA LAPAS kelas IIA Biaro tanggal 27 Mei 2011

  • pembinaan maka ia dapat memberikan usul-usul untuk dilakukan perbaikan. Salahsatu yang juga jadi tugas hakim ini adalah menghindari terjadinya pelanggaranatas hak-hak terpidana. Sesuai surat edaran MA No.7 Tahun 1985 tugas itu harusdilakukan paling sedikit tiga bulan sekali. Berdasarkan wawancara dengan kepalalembaga pemasyarakatan kelas IIA Biaro selama tahun 2011 ini belum adaterdapat pengawasan yang dilakukan oleh hakim wasmat secara langsung kepadaterpidana yang telah mereka putus di pengadilan.49

    Tidak adanya pengawasan kedalam lembaga pemasyarakatan oleh hakimpengawas dan pengamat menimbulkan suatu kinerja para petugas lembagapemasyarakatan cenderung jalan ditempat bahkan mundur, pada dasarnya tentangpengawasan yang dilakukan oleh hakim pengawas dan pengamat telah diaturdalam kitap Undang-undang hukum acara pidana No.8 Tahun 1981 yangdiundangkan pada tanggal 31 Desember 1981C. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis Dan Efektivitas nya Di

    Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Biaro1. Pelaksanaan pembinaan narapidana residivis di lembaga

    pemasyarakatan kelas IIA BiaroPembinaan dengan sistem pemasyarakatan dimulai dari menerima nara

    pidana dan penyelesaian pencatatan secara administratif, yang disusul denganobservasi/identifikasi mengenai pribadinya secara lengkap oleh dewanpemasyarakatan.50

    Secara umum sekarang pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan(WBP) pembinaan dilakukan semenjak penitipan tahanan oleh jaksa untukkepentingan penyidikan dan penuntutan sampai nantik pada proses persidangan dipengadilan, salah satu dari pembinaan yang dilakukan adalah merawat paratahanan dan memberikan siraman rohani akan tetapi pembinaan berbeda denganmereka yang sudah menjadi terpidana dan tentunya para tahanan mempunyairuangan khusus, sampai akhirnya di vonis oleh hakim.51

    49 Wawancara dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Biaro Mei 201150 Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sejarah dan Azaz-azaz Penologi, Bandung, Armico,

    hlm 18851 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembina dan Pendidikan di Lembaga

    Pemasyarakatan Kelas IIA Biaro, 18 April 2011

  • Setiap narapidana mempunyai hak dan kewajiban sama semenjak ia divonisoleh hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan diregister oleh lembagapemasyarakatan maka semua hal yang dilakuan oleh narapidana secara umumsama namun perbedaan terletak hanya pada pengawasan dan pembinaan yangbergiliran karena narapidana untuk mendapatkan pembinaan mempunyai tahap-tahap yang sudah di tentukan.52

    2. Efektivitas pelaksanaan pembinaan narapidana residivis olehlembaga pemasyarakatan kelas IIA Biaro

    Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwa pembinaan narapidanaresidivis di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Biaro sama adanya denganpembinaan narapidana bukan residivis tentunya hal ini tidak memberikan efekyang berarti kepada narapidana tersebut, karena setiap klasifikasi narapidana ituberbeda kebutuhan pembinaannya terkhusus narapidana yang berstatus residivismereka sudah barang tentu merasa biasa dengan semua pembinaan yang samasebelumnya dan ini akan membuat mereka malah semakin jenuh dan padaakhirnya mereka malah membuat narapidana lain yang bukan residivis mengikutimereka.

    Dengan disatukannya pembinaan kedua klasifikasi narapidana ini efek yangakan timbul bukannya mengurangi tingkat kejahatan dalam bentuk pengulanganakan tetapi malah dengan adanya penyatuan ini akan lebih cepat meransang parapelaku tindak pidana residive untuk berbuat yang sama karena tidak ada yanglebih dari sekedar pemberatan hukuman yang didapatkannya.

    Menurut sebagian narapidana resedivis dan mantan narapidana residivisyang sempat penulis wawancarai, bahwa pembinaan yang diberikan kepadamereka pada polanya tidak ada perbedaan apapun walaupun para narapidanadengan status ini sudah sering mendapatkan pembinaan dalam banyak bentuk baikitu pembinaan secara berkelompok maupun secara bersama-sama mereka merasapembinaan itu hanyalah sebagai formalitas pada kenyataannya sama sajasemuanya.

    Dengan tingginya tingkat residivis yang terjadi di lembaga pemasyarakatanmembuktikan dengan penggabungan pembinaan ini bukan mengurangi atau

    52 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di LembagaPemasyarakatan Kelas IIA Biaro, 18 Mei 2011

  • membuat seseorang berpaling untuk tidak mengulangi perbuatannya malahsebaliknya mereka terpanjing untuk mencaci kawan dan melakukan perbuatanyang lebih berbahaya dari perbuatan awalnya karena seakan-akan mereka didalam lembaga pemasyarakatan mereka difasilitasi untuk berkumpul sesamaorang-orang yang tidak baik dengan berbagai latar belakang kejahatan yangdilakukan dan dari sinilah perbutan pengulangan tindak pidana berawal sehinggasetelah keluar mereka dapat melakukan kejahatan yang lebih tinggi.

    Jadi jelaslah disini bahwa pemisahan pembinaan dan penempatan baginarapidana residivis dengan narapidana yang bukan sangat dibutuhkan untukbenar-benar tercapainya pembinaan anak didik pemasyarakatan yang sesuaidengan prinsip-prinsip pemasyarakatan dan dengan pemisahan ini diharapkanangka residivis dapat dipangkas bahkan bukan tidak mungkin residive tidakmendapat ruang di tengah-tengah kehidupan setiap mantan narapidana.

    BAB IVPENUTUP

    A. KesimpulanDari pembahasan pada BAB III diatas yang menjadi pokok masalah dalam

    penulisan ini dapat kita tarik beberapa kesimpulan sebagai mana berikut:1. Bahwa kedudukan serta landasan hukum dalam pembinaan terhadap

    narapidana residivis dalam lembaga pemasyarakatan pada intinya samayaitu pembinaan yang didasari oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar1945 serta prinsip-prinsip dasar pemasyarakatan yang di sepakati menjadisistem pemasyarakatan yang tujuan pemberlakuan dari sistempemasyarakata adalah mengayomi para terpidana, sebagai peraturanpelaksananya digunakan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 yangmengatur semua bentuk pelaksanaan sistem pemasyarakatan tersebutsehingga kedudukan yang seharusnya berjalan dengan baik.

    2. Persamaan perlakuan pembinaan yang diterapkan kepada kedua spepikasinarapidana yaitu narapidana resedivis dengan yang umum atau baru pertamakali di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Biaro tentunya mempunyai alasan

  • tersendiri, diantara alasan yang sangat menonjol dan jika ditelaah bisa diterima adalah sarana dan prasarana dari lembaga, tidak sebandingnya jumlahpetugas dengan narapidana, kemampuan para petugas yang kurang, tidakadanya pengawasan dari atasan maupun instansi yang terkait masalahkinerja para petugas dan hal-hal lain sesuai pembahasan di atas namunsangat penting bahwa setiap permasalan yang timbul tetapi bertentangandengan aturan yang ada ini pun tetap tidak dapat di terima atau dibenarkantapi setiap pimpinan dan petugas harus dapat berpikir dan bertindakbijaksana mengatasi hal tersebut.

    3. Pelaksanaan pembinaan narapidana di lapangan yang di terapkan olehlembaga pemasyarakatan kelas IIA Biaro secara umum cukup baik, namunyang menjadi pokok pembahasan yaitu pembinaan terhadap narapidanaresidivis pada proses pembinaanya dilakukan persis tampa ada perbedaandengan pembinaan narapidana umum yang seharusnya mempunyai pembedayang secara perlakuan sebagai narapidana yang menjadi kan kejahatansebagai kebiasaan, hal ini jelas mempunyai efek yang tidak baik secarakasat mata jika kedua spespikasi ini digabungkan akan menimbulkan halyang tidak baik bagi pembinaan, sebagaimana data dan pandangan matapenulis melihat setiaptahunya bukannya angka residivis menurun tetapimalah sebaliknya terjadi peningkatan yang siknifikan sehingga menambahdaftar orang yang menjadi penjahat kambuhan (residivis)

    B. Saran-saran1. Supaya dapat setiap kebijakan yang di ciptakan dalam hal ini kebijakan

    pengayoman yang menjadi tugas dari negara kepada masyarakatnya yangtersesat benar-benar bertujuan dan sesuai dengan cita-cita pengayomantampa mengenyampingkan hak-hak terpidana dan Hak Asasi Manusia.

    2. Agar pelaksanaan perlakuan kepada setiap narapidana itu dilakukan sebagaimana mestinya sesuai dengan amanat undang-undang dan setiap kekurangandari segi apapun sepaya tidak menjadikan halangan itu sebagai jalan untukmelakukan hal-hal yang tidak di atur oleh aturan yang ada.

    3. Dalam pembinaan narapidana secara baik hendak nya para praktisi hukumatau penegak keadilan dalam hal ini petugas, pembina dan para pimpinan

  • lembaga pemasyarakatan sebagai muara dari Sistem Peradilan Pidana harusbenar-benar sesuai dengan yang menjadi dasar pembentukan dari instansipembinaan narapidana ini. Sehingga apa yang di cita-citakan para pembuatgagasan tentang pembinaan narapidana dengan Sistem Pemasyarakatanbenar-benar tercapai dan tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkanseperti peningkatan angka residivis.

    DAFTAR PUSTAKAA. Buku-bukuAbidin Zainal Farid, 1995. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar GrafikaAdi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Membangun Manusia

    Mandiri, Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukumdan HAM RI

    Adami Chazawi, 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta: RajaGrafindo Persada

    A.Widiada Gunakaya, 1988, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan , BandungArmico

    Bachtiar Agus Salim, 2003, Tujuan Pidana Penjara Sejak Reglemen 1917 HinggaLahirnya Sistem Pemasyarakatan di Indonesia Dewasa ini, Medan:Pustaka Bangsa, Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa

    Burhan Bungi, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofisdan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta RajaGrafindo Persada

    C.I. Harsono Hs, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana , Jakarta: DjambatanD. Schaffmeister, et al, 1995, Hukum Pidana editor penerjemah J,E sahetapi,

    Yogyakarta: LibertyDavid J. Cooke, Pamela J. Baldwin dan Jaqueline Howison, 2008, Menyikap

    Dunia Gelap Penjara , Jakarta, Gramedia Pustaka UtamaDwidja Prayatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia,

    Bandung, Refika AditamaFriedrich Stumpl di kutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi

    Sansuran Ny.L. MoeljatnoGerson W Bawengan, 1997, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana

    Didalam Teori Dan Praktik, Jakarta: Pradnya Paramitha

  • J.E. Sahetapy, 1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Matiterhadap Pembunuhan Berencana , Jakarta Rajawali

    Joko P. Subagyo, 1997, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, JakartaRineka Cipta

    J.C.T. Simorangkir, 2008, Kamus Hukum, Jakarta, Sinar GrafikaLexy J. Moleong, 2004, Metode Kualitatif , Bandung: Remaja RosdakaryaMuladi dan barda nawawi arif , 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana,

    Bandung: AlumniMuladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Hukum

    Pidana, AlumniMuladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: AlumniSahardjo, Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan

    pada tanggal 3 Juli 1963Mardjono Reksodiputro, 1997, hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana,

    jakarta: pusat pelayanan keadilan dan pengabdian hukum UniversitasIndonesia

    Petrus Irwan Panjaitan dan Samuel Kikilaitety, 2007, Pidana Penjara MauKemana Jakarta: CV. Indhill

    Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum , Jakarta: Kencana PranadaMedia Group

    Rusli Muhammad, 1999. Reformasi Sistem Pemasyarakatan, dalam jurnal hukumius quia iustum, No. Volume6, Yokyakarta

    Romli Atmasasmita, 1982, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam KonteksPenegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni

    Romli Atmasasmita, 1982, Kepenjaraan Dalam Suatu Bunga Rampai, bandung,armico

    Ronny H Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum dan juri metri, Jakarta:Ghalia

    R. Achmad S. Soema di Pradja, 1979, sistim pemasyarakatan di indonesia,Bandung, Bina Cipta

    Soejdono Dirdjosisworo, 1984, Sejarah Dan Azaz Penologi, Bandung, Armico.

  • Sudarto, 1974, Suatu Dilema dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia ,Semarang: Pusat Studi Hukum dan Masyarakat

    Soejono Soekanto, 2004. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,Jakarta: Raja Gravindo

    Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum , Jakarta UI PressTeguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali PersTopo Santoso. 2004, Kriminologi, Jakarta, PT Raja Grafindo PersadaUtrecht E. 1987, Hukum Pidana II Sari Kuliah, Pustaka Surabaya, Tinta MasWinarno Surakhmad, 1978, Dasar dan Teknik Research, Bandung: TarsitoWidiada Gunakaya. Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakatan, Bandung, ArmicoB. Jurnal dan Makalahfile:///D:/jurnal%20sistem-pemasyarakatan-indonesia-belum%20baik.htmlhttp://lutfi-wahyudi.blogspot.com/Didin Sudirman, 2006, Masalah-Masalah Actual Tentang Pemasyarakatan, Pusat

    Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia,Gandul Cinere Depok,

    C. Per Undang-undanganUndang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang PemasyarakatanKitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan

    Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 3845

    Departeman Kehakiman RI dan Hak Asasi Manusia, Kebijaksanaan Strategi DanPola Implementasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Jakarta, BadanPembinaan Hukum Nasional , 1999

    D. WebsitesHand Out Hukum Pidana, Pengulangan Tindak Pidana

    (resedivis),http://syariah.Uinsuka,ac.id/file_ilmiah/7.%20Recedivis. Pdf.http://www.nicic.org.