Top Banner
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Napas Bawah Akut (ISNBA) masih menjadi masalah kesehatan yang utama terutama di negara-negara berkembang dan menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. ISNBA dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering adalah pneumonia. Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Juga bisa didefinisikan peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat dengan gejala-gejala batuk, demam dan sesak nafas. 1,2,3,5 1
63

Paper Interna

Sep 04, 2015

Download

Documents

arieasmita

pneumonia+ dispepsia
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar BelakangInfeksi Saluran Napas Bawah Akut (ISNBA) masih menjadi masalah kesehatan yang utama terutama di negara-negara berkembang dan menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. ISNBA dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, tersering adalah pneumonia. Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Juga bisa didefinisikan peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat dengan gejala-gejala batuk, demam dan sesak nafas. 1,2,3,5

Gambar 1. Pneumonia

Secara klinis pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain). Secara anatomis pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai pneumonia lobaris, pneumonia segmentalis, dan pneumonia lobularis yang dikenal sebagai bronkopneumonia dan biasanya mengenai paru bagian bawah.1,2Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak didapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir di seluruh dunia. Di Amerika pneumonia mencapai 13% dari semua penyakit infeksi pada anak usia < 2 tahun. Berdasarkan penelitian insidensi pneumonia didapat 4 kasus dari 100 anak prasekolah, 2 kasus dari 100 anak umur 5-9 tahun dan 1 kasus dari 100 anak umur 9-15 tahun. UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena pneumonia setiap tahun. Meskipun penyakit ini lebih banyak ditemukan pada daerah berkembang akan tetapi di negara majupun ditemukan kasus yang cukup signifikan. 2,3Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional ISPA 25,5%, angka morbiditas pneumonia pada bayi 2,2%, balita 3%, angka mortalitas pada bayi 23,8% dan balita 15,5%. 2,3Pemeriksaan foto polos thoraks merupakan salah satu pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis pneumonia. Gambaran yang berbeda dari thorax dapat diperoleh dengan merubah orientasi relatif tubuh dan arah pancaran x-ray.1,2 Dispepsia adalah sindrom atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/ begah. Setiap pasien memliki keluhan yang bervariasi.

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek spesialis merupakan kasus dispepsia.B. Tujuan PenulisanTujuan penulisan dari referat ini adalah agar kita khususnya penyusun dapat lebih memahami tentang pneumonia, anatomi paru, patogenesis, klasifikasi, gambaran klinis, penegakkan diagnosis terutama pemeriksaan penunjang di bidang radiologi yang mendukung diagnosis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA1. PNEUMONIAA. Definisi PneumoniaPneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana asinus terisi oleh cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam interstitium. Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk, sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh penyebab non infeksi (bahan kimia, radiasi, obat-obatan) lazimnya disebut pneumonitis.2,5,6,7,8B. Faktor Resiko

Pneumonia semakin sering dijumpai pada golongan lanjut usia, pasien dengan panyakit menahun serta pada penderita penyakit paru obstruksi kronik. Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes melitus, payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit saraf kronik, dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, keadaan imunodefisiensi, kelemahan atau kelainan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan infasif seperti infus, intubasi, trakeostomi atau pemasangan ventilator.2,5C. Etiologi

Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme : bakteri, virus, jamur dan protozoa. Data dari kepustakaan, pneumoni yang didapat dari masyarakat (community-acquired pneumonia / pneumonia komuniti) banyak disebabkan oleh bakteri gram positif, sebaliknya pneumonia yang didapat di rumah sakit (hospital-aquired pneumonia / pneumonia nosokomial) banyak disebabkan oleh bakteri gram negatif, sedang pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Meskipun demikian, di Indonesia akhir-akhir ini sering dilaporkan dari beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa kuman yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negatif.1,2,3,7,8 Tabel 1. Penyebab tersering Pneumonia yang didapat di masyarakat dan

nosokomial.3LOKASI SUMBERPENYEBAB

MasyarakatStrepcoccus pneumoniae

Mycoplasma pneumoniae

Haemophilus influenza

Legionella pneumophila

Chlamydia pneumoniae

Anaerob oral (aspirasi)

Adenovirus

Rumah SakitEscherichia coliKlebsiella pneumoniaePseudomonas aeruginosa

Staphylococcus aureus

D. Patogenesis

Dalam keadaan sehat pada paru tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Risiko terjadinya infeksi pada paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk mencapai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme untuk mencapai dan merusak permukaan saluran nafas :Inokulasi langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, kolonisasi pada permukaan mukosa. Terbanyak adalah kolonisasi. Predisposisi: influenza, alkoholisme, gizi kurang. Komorbid: diabetes melitus, gagal ginjal , gangguan imunitas, PPOK. 2,5,7,8E. Patologi Anatomi

Terdapat 4 stadium anatomi dari pneumonia lobaris, yaitu:5,6a) Stadium kongesti, terdiri dari proliferasi cepat dari bakteri dengan peningkatan vaskularisasi dan eksudasi yang serius, sehingga lobus yang terkena akan berat, merah penuh dengan cairan. Rongga alveolar mengandung cairan edema yang berprotein, neutrofil yang menyebar dan banyak bakteri. Susunan alveolar masih tampak.

b) Stadium hepatisa si merah terjadi oleh karena rongga udara dipenuhi dengan eksudat fibrinosupuratif yang berakibat konsolidasi kongestif yang menyerupai hepar pada jaringan paru. Benang-benang fibrin dapat mengalir dari suatu alveolus melalui pori-pori yang berdekatan.

c) Stadium hepatisasi kelabu (konsulidasi) melibatkan desintegrasi progresif dari leukosit dan eritrosit bersamaan dengan penumpukan terus-menerus dari fibrin diantara alveoli.

d) Stadium akhir yaitu resolusi, mengikuti kasus-kasus tanpa komplikasi. Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal.

F. Manifestasi KlinisSecara umum manifestasi klinis pneumonia dapat dibagi menjadi:1,2,5,7,8a) Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit kepala, gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan gastrointestinal.

b) Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnu, akspektorasi sputum, napas cuping hidung, sesak napas, merintih, dan sianosis. Penderita pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri.

c) Tanda pneumonia berupa retraksi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah, dan ronki.

d) Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak ekskursi dada tertinggal di daerah efusi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah, suara napas tubuler tepat diatas batas cairan, friction rub, nyeri dada karena iritasi pleura (nyeri berkurang bila efusi bertambah dan berubah menjadi nyeri tumpul), kaku kuduk/meningismus (iritasi meningen tanpa inflamasi) bila terdapat iritasi pleura lobus atas, nyeri abdomen (kadang terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada pneumonia lobus kanan bawah).G. Klasifikasi

Pneumonia diklasifikasikan ke beberapa kelompok, diantaranya:2,5,6,7,8 1. Menurut penyakit bawaan

a) Pneumonia primer : radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunyai faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, juga virus penyebab infeksi pernapasan (Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (atypical) yaitu mikoplasma, chlamydia, dan legionella.

b) Pneumonia sekunder : terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang mempunyai penyakit menahun seperti diabetes melitus, HIV, kanker, dll.2. Menurut tempat asal terjadinya infeksi

a) Community acquired pneumonia (CAP; pneumonia yang terjadi di lingkungan rumah), juga termasuk Pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap 37,80c)

Gejala Minor: 1. sesak napas

2. nyeri dada

3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4. jumlah leukosit >12.000/(LGambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40 C, sakit tenggorokan, nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah. Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah ka sar pada stadium resolusi. Pneumonia pada usia lanjut seringkali memberikan gejala yang tidak khas. Selain batuk dan demam pasien tidak jarang datang dengan keluhan gangguan kesadaran (delirium), tidak mau makan, jatuh, dan inkontinensia akut 2,4,5,7Anamnesis

Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan dengan faktor infeksi :

a) Evaluasi faktor presdiposisi: PPOK (H. influenzae), penurunan imunitas (Pneumocystic carinil, CMV, Legionella, jamur, Mycobacterium), kecanduan obat bius (Staphylococcus)

b) Usia pasien: bayi (virus), muda (M. pneumoniae), dewasa (S.pneumoniae)

c) Awitan; cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S. pneumoniae); perlahan dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae). Pemeriksaan fisis Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan gejala klinis yang mengarah tipe kuman penyebab/patogenitas kuman dan tingkat berat penyakit:

a) Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. pneumoniae, Streptococcus spp. Staphyloccus. Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif. Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua/imunitas menurun misalnya: Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anerob, jamur.

b) Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berua demam, sesak napas, tanda-tanda konsulidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronchial). Bentuk klasik pada PK primer berupa bronkopneumonia, pneumonia lobaris atau pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas dijumpai pada PK sekunder ataupun PN. Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain infeksi paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/hidropneumotoraks. c) Warna, konsistensi, dan jumlah spuum penting untuk diperhatikan.Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri; leukosit normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respons leukosi. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman Gram negatif atau S. aereus pada pasien dengan keganasan dan gangguan kekebalan. Faal hati mungkin terganggu.b. Pemeriksaan Bakteriologis Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi, jarum transtokoral, torakkosentesis, bronkoskopi, atau biopsy. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, Quellung test dan Z. Nielsen. Kuman yang predominan pada sputum yang disertai PMN yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya.I. DIAGNOSIS BANDINGDifferential Diagnosis dari penyakit pneumonia adalah sebagai berikut: Tuberculosis Paru (TB)Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M. tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan. 1,4,5

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

Atelektasis

Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Memberikan gambaran yang mirip dengan pneumonia tanpa air bronchogram. Namun terdapat penarikan jantung, trakea, dan mediastinum ke arah yang sakit karena adanya pengurangan volume interkostal space menjadi lebih sempit dan pengecilan dari seluruh atau sebagian paru-paru yang sakit. Sehingga akan tampak thorax asimetris. 1,4,5

Atelektasis pada foto thorax proyeksi PA

Efusi Pleura

Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air bronchogram. Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan jantung, trakea, dan mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax membesar. Pada edusi pleura sebagian akan tampak meniscus sign, tanda khas pada efusi pleura. 1,4,5

Efusi pleura pada foto thorax posisi PA

Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini foto thorax konvensional dan CT Scan menjadi pemeriksaan yang sangat penting pada pneumonia. Terutama apabila dari pemeriksaan fisik memang menunjukan kelainan di paru dan membutuhkan pemeriksaan peunjang berupa foto thorax. Koordinasi antara pemeriksaan klinis, laboratorium dan radiologi akan dapat menunjang penegakan diagnosis yang tepat. 1,4,5

Gambaran khas pada pneumonia adalah adanya perselubungan dengan adanya gambaran air bronchogram. Namun tidak semua pneumonia memberikan gambaran khas tersebut. Untuk menentukan etiologi pneumonia tidak dapat hanya semata-mata menggunakan foto thorax, melainkan harus dilihat dari riwayat penyakit, dan juga pemeriksaan laboratorium. 1,4,5

Untuk membedakan antara pneumonia, atelektasis, dan efusi pleura dilihat dari adanya penarikan atau pendorongan jantung, trakea dan mediastinum ke arah yang sakit atau sehat. Sementara untuk membedakan pneumonia dengan TB adalah dilihat dari ada atau tidaknya kavitas yang umumnya terdapat pada lobus paru bagian atas. Jadi dalam menegakkan pneumonia, sangat diperlukan gambaran radiologis untuk penegakan diagnosis disamping pemeriksaan laboratorium. 1,4,5J. PENATALAKSANAANDalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diketahui keadaan klinis penderita. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi untuk rawat dapat diobati dirumah. Juga diperhatikan adatidaknya factor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan resiko infeksi dengan mikroorganisme yang spesifik. Penatalaksanaan pneumonia dibagi menjadi: a. Penderita rawat jalan: Pengobatan supportif / simptomatik Istirahat di tempat tidur Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi Bila panas dikompres atau minum obat penurun panas Bila perlu dapat diberikan mukolitik atau ekspektoran Antibiotik diberikan (sesui bagan) kurang dari 8 jam.b. Penderita rawat inap diruang rawat biasa Pengobatan supportif / simptomatik Pemberian terapi oksigen Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit. Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) harus diberikan kurang dari 8 jam. c. Penderita rawat inap di ruang intensif Pengobatan supportif / simptomatik Pemberian terapi oksigen Pemasangan infus untuk rehidrasi dann koreksi elektrolit. Pembeian obat simptomatik anatara lain anti piretik, mukolitik. Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) kurang dari 8 jam. Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik. Penderita pneumonia berat yang datang ke IGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat di ruang rawat inap biasa, bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di ruang intensif.

Bila dengan pengobatan empiris tidak ada perbaikan atau memburuk, maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivity.

K. PROGNOSISPrognosis umumnya baik, tergantung dari factor penderita, bakteri penyebab, dan penggunaan antibiotic yang adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat.82.DISPEPSIAA. Definisi

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/ begah. Setiap pasien memliki keluhan yang bervariasi.(1)

Definisi dispepsia berdasarkan criteria Roma II tahun 2000 dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen.(1)

B. Epidemiologi

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek spesialis merupakan kasus dispepsia.

Dispepsia masih menimbulkan masalah kesehatan karena merupakan masalah kesehatan yang kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga meningkatkan biaya perobatannya. Walaupun gejalanya hanya singkat dan dapat diobati sendiri oleh pasien tanpa berobat ke dokter.

Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%) populasi tiap tahun tetapi tidak semua pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis.

C. Etiologi

Berdasarkan etiologi nya, dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu:

a) Dispepsia fungsional(2) Dalam Konsensus Roma III (2006), definisi nya adalah:

Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.

Tidak ada bukti kelainan structural (termasuk di dalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.

Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu enam bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.

Dalam usaha untuk mencoba ke arah praktis pengobatan, dispepsia fungsional dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Dispepsia tipe seperti ulcus. Yang lebih dominan adalah nyeri epiastric.

2. Dispepsia tipe seperti dismotilitas. Yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang.

3. Dispepsia tipe non-spesifik. Tidak ada keluhan yang dominan.

b) Dispepsia organik(1)Bisa disebabkan karena:

Gangguan penyakit dalam lumen saluran cerna (tukak gaster/duodenum, gastritis kronis, gastritis NSAID, tumor, infeksi Helicobacter pylori)

Obat-obatan (Acarbose, Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid, Colchicine, Digitalis, Estrogen, Gemfibrozil, Glukokortikoid, Preparat besi, Levodopa, Narkotik, Niasin, Nitrat, Orlistat, Potassium klorida, Quinidine, Sildenafil, Teofilin)

Penyakit pada hati, pancreas, system bilier (hepatitis, pancreatitis, kolesistitis, kolelitiasis, disfungsi sfingter Oddi, keganasan)

Penyakit sistemik (diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner, gagal ginjal)

Gangguan fungsional (dyspepsia fungsional, irritable bowel syndrome)

D. Patofisiologi

Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya dapat terjadi sendiri atau kombinasinya. Pembagian dispepsia berdasarkan gejalanya, seperti tercantum diatas, adalah untuk panduan manajemen awal terutama untuk dispepsia yang tidak terinvestigasi. Beberapa hipotesis nya yaitu: (2)

Sekresi asam lambung

Kasus dispepsia fungsional mempunyai tingkat sekresi asam lambung rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

Helicobacter pylori

Peran infeksi Helicobacter pylori belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan Hp pada kelompok orang sehat. Dismotilitas gastrointestinal

Berbagai studi melaporkan pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas visceral. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional, tetapi tidak ada korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat perlambatan pengosongan lambung. Pemeriksaaan manometri antro-duodenal memperlihatkan adanya abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial, di samping juga ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi ini diduga mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola piker pengobatan yang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi lambung biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi lambung pada waktu makan. Pada keadaan normal, waktu makanan masuk lambung, terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Dilaporkan bahwa penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang mendasari adanya pembagian sub grup dispepsia menjadi tipe dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe campuran.

Ambang rangsang persepsi

Dinding usus memiliki banyak reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia mempunyai hipersensitivitas visceral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volum yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi control.

Disfungsi autonom

Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.

Aktivitas mioelektrik lambung

Adanya disaritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa tachygastria, bradygastria pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten.

Hormonal

Peran hormonal belum jelas dalam pathogenesis dispepsia. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesterone estradiol dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

E. Gejala klinis

Keluhan, kuantitas dan kualitas pada setiap pasien sangat bervariasi, maka dispepsia diklasifikasikan berdasarkan keluhan yang dominan(1,2):

Bila nyeri ulu hati yang mendominasi dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)

Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia)

Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non spesifik.F. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal atau peritonitis. (1)

G. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinal loops. (1) Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Selain itu, dapat juga menggunakan Ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan padat intraabdomen, misalnya ada batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hati, dsb.H. DiagnosisUntuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi.

Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak pasien yang dapat ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan sehingga diagnosis secara klinis agak terbatas kecuali bila ada alarm sign. Bila ada salah satu atau lebih ada pada pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan endoskopi. Alarm sign adalah:

Umur 45 tahun (onset baru)

Perdarahan dari rektal atau melena

Penurunan berat badan >10%

Anoreksia

Muntah yang persisten

Anemia atau perdarahan

Massa di abdomen atau limfadenopati

Disfagia yang progresif atau odinofagia

Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas

Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya

Riwayat ulkus peptikum

Kuning (Jaundice)

Radiologi (dalam hal ini pemeriksaan barium meal), dapat mengidentifikasi kelainan structural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif di mana skop endoskopi tidak dapat melewatinya. I. Diagnosis banding (6)Diagnostic categoryApproximate prevalence*

Functional (nonulcer) dyspepsiaUp to 70 percent

Peptic ulcer disease15 to 25 percent

Reflux esophagitis5 to 15 percent

Gastric or esophageal cancer< 2 percent

Abdominal cancer, especially pancreatic cancerRare

Biliary tract diseaseRare

Carbohydrate malabsorption (lactose, sorbitol, fructose, mannitol)Rare

GastroparesisRare

HepatomaRare

Infiltrative diseases of the stomach (Crohn disease, sarcoidosis)Rare

Intestinal parasites (Giardiaspecies,Strongyloidesspecies)Rare

Ischemic bowel diseaseRare

Medication effects (Table 3)Rare

Metabolic disturbances (hypercalcemia, hyperkalemia)Rare

PancreatitisRare

Systemic disorders (diabetes mellitus, thyroid and parathyroid disorders, connective tissue disease)Rare

J. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan optimal dispepsia terutama pasien baru dengan dispepsia yang belum terinvestigasi serta tidak ada gambaran alarm, didominasi oleh pengobatan H pylori secara empiris dengan antibakteri. Pada pengobatan tingkat pertama, terapi antisekretori secara empiris juga masih popular. Penatalaksanaan dispepsia tanpa gambaran alarm meliputi :

1. Supresi asam secara empiris

2. Pemeriksaan H pylori non invasif dengan urea breath test, serologi, pemeriksaan antigen feses dan pemeriksaan endoskopi untuk kasus yang positif

3. Pemeriksaan H pylori non invasif dan eradikasi bila positif

4. Terapi eradikasi empiris H pylori tanpa pemeriksaan

5. Endoskopi dini

Pada dispepsia dengan gambaran alarm, diperlukan manajemen awal dengan pemeriksaan endoskopi. Manajemen selanjutnya tergantung dari hasil endoskopi tersebut. (6,7)Mayoritas pasien dengan dispepsia hasil pemeriksaan endoskopinya normal. Pada penelitian di Kanada dengan pasien dispepsia yang belum dilakukan tindakan endoskopi pada pelayanan kesehatan primer, menyimpulkan bahwa kebanyakan yang ditemukan adalah esofagitis (43%), ulkus peptikum (5%), adekarsinoma lambung dan esophagus ( kiri

- Iktus kordis : tidak teraba

Perkusi

Suara perkusi paru : sonor memendek Batas paru hati :

Batas jantung :

Relatif : ICR V- Atas : ICR II sinistra

Absolut : ICR VI

- Kanan : Linea sternal dextra

Gerakan bebas : 2 cm- Kiri : ICR V 2cm medial linea midclavicula sinistraAuskultasi

Paru-paru

Suara pernafasan: vesikuler Suara tambahan: ya Ronchi basah: ya gel kecil (lapang paru kanan bagian atas); gel besar (lapang paru kanan bagian bawah) Cor

Heart rate : 92 x/menit, reguler, intensitas sedang

Suara katup :

M1 > M2

A2 > A1

P2 > P1

A2 > P2 Suara tambahan :

Desah jantung fungsionil/organis: -

Gesek pericardial/pleurocardial: -

4. Thorax belakang

Inspeksi

Bentuk : Fusiformis

- venektasi : tidak

Simetris/asimetris : simetris kanan=kiri - Benjolan benjolan : tidak

Ketinggalan bernafas : tidak

Palpasi

Nyeri tekan: tidak

- Fremissement : tidak

Fremitus suara : kanan > kiri

- Penonjolan penonjolan : tidak

Perkusi

Suara perkusi paru : sonor memendek

Batas bawah paru :

Kanan : proc. Spin. Vert. Tyh : ICR IX

Kiri : proc. Spin. Vert. Tyh : ICR X

Gerakan bebas : 2 cm

Auskultasi

Suara pernafasan: vesikuler Suara tambahan: ronchi basah dibagian tengah dan bawah paru kanan5. Abdomen

Inspeksi

Bengkak : tidak

- Gembung : tidak

Sirkulasi kolateral : tidak

- Pulsasi : tidak

Venektasi/pembentukan vena : tidak

Palpasi

Defens muskular : tidak

- Lien: tidak teraba

Nyeri tekan : ya, di epigastrium

- Ren: tidak teraba

Hepar : tidak teraba

Perkusi

Pekak hati : Ya

- Pekak beralih: tidak

Auskultasi

Peristaltik usus : (+) Normal

6. Genitalia

Luka

: TDP

- Sikatriks : TDP Hernia

: TDP

- Nanah : TDP

7. Extremitas

a. Atas

Bengkak : tidak

Reflek : Merah : tidak

- Biceps : +

Stand abnormal : tidak

- Triceps : +

Gangguan fungsi : tidak

Tes Rumplelit : tidak

b. Bawah

Bengkak : tidak

Reflex :

Merah : tidak

- KPR

: +

Oedem : tidak

- APR

: +

Pucat : tidak

- Strumple: + Ganguuan fungsi : tidak

Varises : tidak

Pemeriksaan Laboratorium rutin

Darah Rutin

Hb14 g/dL

Hitung Eritrosit4,4x106 /L

Leukosit15.800 /L

Hematokrit39,9 %

Trombosit375.000 /L

Hitung Jenis leukosit :EosinofilBasofilN. StabN. SegLimfositMonosit1%0%0%77%17%5%

8. Resume

Anamnese

Keluhan utama : Sesak nafas

Telaah : Sesak napas sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, yang terasa memberat 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas disertai demam, batuk dan dahak berwarna kuning tanpa darah.

Demam (+) 3 hari SMRS.Keluhan demam disertai dengan batuk dan dahak berwarna kuning.

Batuk berdahak sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit penderita mengeluh batuk disertai dahak yang awalnya berwarna putih dan kemudian menjadi kuning. Anorexia (+); penurunan berat badan (+).

Nyeri epigastrik (+), bersifat hilang timbul. Nausea (+); vomitus (+). RPT: -

RPO: -RPK: -9. Status Present:

Pemeriksaan fisik:

Keadaan umumKeadaan PenyakitKeadaan Gizi

Sensorium : Compos MentisTekanan Darah : 130/80Nadi : 92 x/menitNafas : 33 x/menitSuhu : 38CAnemia : tidakIkterus : tidak

Sianosis : tidak

Dyspnoe : tidak

Edema : tidak

Eritema : tidak

Turgor : baik

Gerakan aktif : ya

Sikap paksa : tidakTB = 155 cmBB = 51 kg

BBW =

BB/(TB-100) x 100%

= 51/ (155-100) x 100% =51/55 x 100% = 92%

Kesan : Normoweight

Kepala

: Dalam Batas Normal

Leher

: Dalam batas normal

Thoraks :Thoraks depan :

Palpasi : Nyeri tekan : tidak

Fremitus suara : Apex : Fremitus mengeras ka > ki

Medial : Fremitus mengeras ka > ki

Basal : Fremitus normal ka > kiSuara perkusi paru : sonor memendekSuara pernafasan: Kanan = Apex : Vesikuler

Medial: Vesikuler Basal: Vesikuler

Kiri = Apex : Vesikuler

Medial: Vesikuler

Basal: Vesikuler

Suara tambahan: Kanan = Apex : -

Medial: Ronkhi basahBasal: Ronkhi basah

Kiri = Apex : -

Medial: -

Basal: -

Thorax belakang :

Suara perkusi paru : sonor memendek dilapangan tengah dan bawah paru kanan

Palpasi : Nyeri tekan : tidak

Fremitus suara : Apex : Fremitus mengeras ka > ki

Medial : Fremitus mengeras ka > ki

Basal

: Fremitus normal ka > ki

Suara pernafasan: Kanan = Apex : Vesikuler

Medial: VesikulerBasal: Vesikuler

Kanan = Apex : Vesikuler

Medial: Vesikuler

Basal: VesikulerSuara tambahan: Kanan = Apex : -

Medial: Ronkhi basahBasal: Ronkhi basah

Kiri = Apex : -

Medial: -

Basal: -

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : Dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang

Darah rutin :

Hb11,4 g/Dl

Hitung Eritrosit4,2x106 /L

Leukosit15.800 /L

Hematokrit35,6 %

Trombosit375.000 /L

Hitung Jenis leukosit :EosinofilBasofilN. StabN. SegLimfositMonosit1 %0%0%81%12 %6%

Diagnosa Banding :

1. Pneumonia + dyspepsia non spesifik2. Tb paru + dyspepsia non spesifik3. Mikosis paru + dyspepsia non spesifikDiagnosa Sementara

Pneumonia + dyspepsia non spesifikTerapi :

1. Aktifitas : Bed rest

2. Medikamentosa

O2 2 liter/menitIVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

Inj. Ranitidine 1 ampul/12 jam

Inj. Ondansentron 1 ampul/12 jam

Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab

Sucralfat syr. 2 x 1 CI

Pemeriksaan Usul : Foto thorax AP Sputum BTA S P S

Endoscopy (gastroscopy)BAB IV

DISKUSI KASUS

NoTinjauan PustakaKasus

1Anamnesa

PNEUMONIA

Gejala Mayor:

1.batuk

2.sputum produktif

3.demam (suhu>37,80c)

Gejala Minor:

1. sesak napas

2. nyeri dadaDISPEPSIA

Nyeri ulu hati yang mendominasi + nyeri pada malam hari digolongkan ke Dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)

Kembung, mual, cepat kenyangyang mendominasi digolongkan ke dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia)

Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, digolongkan ke dispepsia non spesifik.

Sesak napas 4 hari SMRS memberat 1 hari SMRS Batuk berdahak, warna dahak awal putih kemudian menjadi kuning

Riwayat demam (+) (390c) Nyeri ulu hati 1 minggu SMRS

Mual

Muntah

2Pemeriksaan FisikPNEUMONIAThorax :

I : ketinggalan bernapas pada sisi yang terkena

P : fremitus dapat mengeras,

P : perkusi sonor memendekA :suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah. disertai ronkhi halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.DISPEPSIA

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal atau peritonitis. (1)

Thorax depan : I : simetris dex = sin

P : SF dex > sin. Kesan: fremitus mengeras

P : perkusi : sonor memendek di lapang tengah dan bawah paru kanan

A : suara napas : vesikuler; rhonki basah (+) dilapang tengah dan bawah paru. Thorax belakang:

I : simetris dex = sin

P : SF dex > sin. Kesan :fremitus mengerasP : perkusi sonor memendek di lapangan tengah dan bawah paru kanan

A : suara napas : vesikuler; ronkhi basah (+) dilapang tengah dan bawah paru kanan.

Abdomen :

Palpasi : nyeri tekan ad region epigastrium

3Pemeriksaan Penunjangjumlah leukosit >12.000/(L

Leukosit 15.800/(L

4TatalaksanaPNEUMONIAPenderita rawat inap diruang rawat biasa Pengobatan supportif / simptomatik Pemberian terapi oksigen Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit. Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam. DISPEPSIA

Antasida

Penyekat h2 reseptor

Penghambat pompa proton

Sitoproteksi

Prokinetik

Terapi : O2 2 liter/menit IVFD RL 20 gtt/i

Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab Inj. Ranitidine 1 ampul/12 jam Inj. Metoclopramide 1 ampul/12 jam Sucralfat syr. 2 x 1 CI

BAB VKESIMPULAN

Telah dilaporkan suatu kasus pneumonia + dispepsia non spesifik, diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

Regio thorax

Thorax depan :

I : simetris dex = sin

P : SF dex > sin. Kesan: fremitus mengeras

P : perkusi : sonor memendek di lapang tengah dan bawah paru kanan

A : suara napas : vesikuler; rhonki basah (+) dilapang tengah dan bawah paru.

Thorax belakang:

I : simetris dex = sin

P : SF dex > sin. Kesan :fremitus mengeras

P : perkusi sonor memendek di lapangan tengah dan bawah paru kanan

A : suara napas : vesikuler; ronkhi basah (+) dilapang tengah dan bawah paru kanan.

Regio Abdomen :

Palpasi : nyeri tekan ad region epigastrium. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan adanya leukositosis (leukosit : 15.800/mm3). Akan tetapi, masih diperlukan beberapa pemeriksaan anjuran seperti : Foto thorax AP, Sputum BTA S P S, dan Endoscopy (gastroscopy). Penatalaksanaan yang diberikan berupa : Pengobatan supportif / simptomatik; Pemberian terapi oksigen, Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit, Pengobatan antibiotic, Penyekat h2 reseptor, Sitoproteksi, Prokinetik

DAFTAR PUSTAKA1. Rasad, Sjariar. 2008. Radiologi Diagnostik, Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta2. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.3. Price, Sylvia A., Wilso, Loraine M. 2008. Patofisiologi, Konsep klinis Proses-Proses Penyakit, Buku II, edisi keempat. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

4. Palmer, dkk. 2010, Petunjuk Membaca Foto untuk Dokter Umum, EGC, Jakarta

5. Wibisono, Jusuf M. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Balai penerbit FK UNAIR, Surabaya

6. American thoracic society. Guidelines for management of adults with Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit.Care Med 2005; 171: 388-416.7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial.9. Djojoningrat, D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 441-2.10. Djojoningrat, D. Dispepsia Fungsional. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 529-533.11. Lindseth, G. Gangguan Lambung dan Duodenum. In: Patofisiologi. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2006. p. 417-21.12. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi II. Jakarta: EGC; 2001. p. 551-63.43