BAB I PENDAHULUAN Banjir Jakarta akibat kerusakan hutan di hulu Ciliwung menjadi sorotan yang tidak pernah padam sampai saat ini. Penelitian Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung memberi gambaran bahwa terdapat 8 daerah aliran sungai (DAS) yang mengalir ke Jabodetabek. Luas kawasan hutan di kedelapan DAS tersebut hanya 12%. Fakta ini menunjukkan bahwa peranan hutan wilayah hulu di 8 DAS termasuk Ciliwung yang membelah Kota Jakarta, dalam pengendalian banjir memang sudah sangat terbatas. Meningkatnya pembangunan di Jakarta mendorong percepatan masuknya penduduk yang berimplikasi pada menjamurnya ribuan perumahan baru untuk pemukiman, pembangunan gedung-gedung pencakar langit, perkantoranm perumahan mewah dan jalan tol. Seluruh faktor tersebut telah mendorong eksploitasi air tanah yang berlebihan, pemukiman kelompok miskin disepanjang bantaran sungai, pembuangan sampah dan limbah pabrik ke sungai, buruknya sistem drainasi dan lain sebagainya. Meluapnya air Ciliwung lebih disebabkan oleh penyempitan dan pendangkalan badan sungai yang disebabkan oleh genangan semua jenis sampah, dan ini merupakan faktor manusia.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Banjir Jakarta akibat kerusakan hutan di hulu Ciliwung menjadi sorotan yang tidak pernah
padam sampai saat ini. Penelitian Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung memberi
gambaran bahwa terdapat 8 daerah aliran sungai (DAS) yang mengalir ke Jabodetabek.
Luas kawasan hutan di kedelapan DAS tersebut hanya 12%. Fakta ini menunjukkan
bahwa peranan hutan wilayah hulu di 8 DAS termasuk Ciliwung yang membelah Kota
Jakarta, dalam pengendalian banjir memang sudah sangat terbatas.
Meningkatnya pembangunan di Jakarta mendorong percepatan masuknya penduduk
yang berimplikasi pada menjamurnya ribuan perumahan baru untuk pemukiman,
pembangunan gedung-gedung pencakar langit, perkantoranm perumahan mewah dan
jalan tol. Seluruh faktor tersebut telah mendorong eksploitasi air tanah yang berlebihan,
pemukiman kelompok miskin disepanjang bantaran sungai, pembuangan sampah dan
limbah pabrik ke sungai, buruknya sistem drainasi dan lain sebagainya. Meluapnya air
Ciliwung lebih disebabkan oleh penyempitan dan pendangkalan badan sungai yang
disebabkan oleh genangan semua jenis sampah, dan ini merupakan faktor manusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Daerah Aliran Sungai
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang teridri atas komponen komponen
yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut
mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang
menyusunnya. Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan non biotis yang saling
berinteraksi membentuk satu kesatuan teratur. Dengan demikian, dalam suatu
ekosistem, tidak ada stu komponenpun yang berdiri sendiri, maleinkan ia memiliki
keterkaitan dengan komponen lain secara langsung maupun tidak langsung, baik
besar maupun kecil.
Aktivitas suatu ekosistem akan memberikan pengaruh kepada ekosistem lainnya.
Manusia adalah faktor penting didalam interaksi ekositem tersebut. Sebagai
komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktifitasnya seringkalo
mengakibatkan dampak bagi komponen ekosistem lainnya, sehingga mempengaruhi
keseluruhan ekosistem tersebut. Selama hubungan timbale balik anatra ekosistem
dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil.
Karenanya, ekosistem harus di lihat bukan secara parsial setiap komponenya tetapi
harus dilihat secara holistic atau menyeluruh, yaitu dengan cara mengidentifikasi
komponen-komponen kunci penyusun ekosistem serta menelaah interaksi antar
komponen-komponen tersebut.
2.1.1. Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran sungai merupakan suatu wilayah daratan yang secara
topografikdibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke kelaut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerahntangkapan air (DTA atau
Catchment Area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsure utamanya
terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia
sebagai pemanfaatan sumberdaya alam.
Menurut UU No. 7/2004 Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan airyang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di daratmerupakan pemisah
topografis dan batas di lautsampai dengan daerah perairan yang masih
terpengaruh aktivitas daratan,
Ekosistem DAS dibagi menjadi 3 daerah yaitu daerah hulu, tengah dan hilir.
Secara biogeofisik ketiganya dapat dicirikan sebagai berikut:
a. Daerah Hulu
Daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan
drainase yang tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan yang besar
yaitu lebih besar dari 15%. Daerah ini bukan merrupan daerah banjir
dengan pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase dean
jenis vegetasi umumnya adalah tegakan hutan.
b. Daerah Hilir
Merupakan daerah pemanfaatan sungai, kerapatan drainase lebih kecil
dengan kemiringan kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%).
Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir atau genangan sehingga
pengaturan dan pemakaian air ditentukan oleh bagunan irigasi, dan jenis
vegetasi di dominasi tanaman pertanian kecuali untuk daerah Estuaria
yang di dominasi bakau/gambut.
c. Daerah Tengah
Merupakan bagian transisi daerah aliran sungai Hulu dan Hilir sehingga
memiliki karakteristik yang lebih mirip persambungan antara kedua bagian
sungai tersebut.
Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai
fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara lain
dari segi fungsi tata air. Hal ini menjadikan ternjadinya aktifitas di daerah hulu
akan mempengaruhi keadaan dan kondisi dari keseluruhan DAS. Perubahan
lanskap termasuk perubahan tataguna lahan dan/atau pembuatan bangunan
konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak hanya dapat memberikan
dampak di daerah dimana kegiatan tersebut berlangsung (di hulu DAS) tetapi
juga di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transpor sedimen
serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya.
Contoh aktifitas lainnya yang dapat memperlihatkan keterkaitan biogeofisik
antra daerah hulu dan hilir adalah Kegiaran Reboisasi dan pembalakan hutan
(logging) atau deforestrasi (pengurangan areal tegakan hutan) di daerah hulu.
Kegitan reboisasi pada luasan tertentu di daerah hulu dapat menurunkan hasil air
(water yield) akan tetapi kegiatan tersebut dapat meningkatkan kuatias air
permukan dan air tanah. Sedangkan aktifitas pembalakan hutan dan deforestasi
dalam luasan tertentu dapat memberikan dampak meningkatkan hasil air serta
menyebabkan peningkatan erosi tanah pada daerah-daerah pembukaan hutan.
Aktifitas aktifitas ini akan menjadi lebih buruk dampaknya jika pada saat
melakukan aktifitas trsebut mengabaikan kaidah-kaidah konservasi di daerah
hulu. Kegiatan-kegiatan di daerah hulu tersebut akan menimbulkan dampak pada
DAS bagian tengah dalam bentuk penurunan kapasitas waduk yang pada
gilirannya akan menurunkan dapat menurunkan kualitas dan kuantitas air irigasi.
2.1.2. Komponen-Komponen Ekosistem DAS
Ekologi sistem DAS bagian hulu umunya memiliki empat komponen utama
yaitu, desa, sawah/ladang, sungai dan hutan. Namun demikian tidak semua
bagian DAS memiliki komponen yang sama. Pada bagian tengan DAS misalnya
terdapat komponen lain seperti perkebunan sementara di hilir terdapat komponen
hutan bakau atau daerah pantai.
Sebagai sebuah sistem, masing masing komponen yang ada dalam ekosistem
DAS memiliki keterkaitan dan hubungan timbal balik antara komponen komponen
pembentunya. Hal ini menjadikan pabila terjadi perubahan pada salahsatu
komponen lingkungan maka ia akan mempengaruhi komponen lainnya.
Perubahan tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi keseluruhan sistem
pada DAS tersebut.
Hasal degradasi lingkungan merupak salah satu masalah lingkungan yang
dapat memperlihatkan hubungan timbal balik yang terjadi antara komponen-
komponen dalam sistem ekologi DAS. Pada dasarnya permasalahan yang terjadi
pada terjadinya degradasi lingkungan berpangkal pada komponen desa.
Pertumbuhan manusia yang cepat menyebabkan perbandingan antara jumlah
pernduduk dan lahan pertanian semakin tidak seimbang. Hal ini menyebabkan
kepemilikan lahan pertanian semakin sempit. Keterbatasan lapangan pekerjaan
dan kendala keterampilan yang terbatas menyebabkan rendahnya nilai
pendapatan petani yang beujung pada terjadinya perambahan hutan dan lahan
tidak produktif lainnya sebagai prluasan daerah pertanian. Lahan yang kebanyakn
marjinal, apabila diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah
konservasi tanah akan rentan terhadap erosi dan tanah longsor. Hal ini kemudian
akan meningkatkan erosi di daerah tangkapan air kemudian akan meningkatkan
muatan sedimen di bagian hilir sungai. Perambahan hutan yang terjadi juga akan
meningkatkan koefisien air larian sehingga meningkatkan debit sungai. Hal ini
juga dapat menyebabkan hilangnya seresah dan humus yang dapat menyerap air
hujan. Dalam skala yang besar dampaknya terlihat pada prilaku aliran sungai,
pada musim hujan debit air sungai meningkat sementara pada musim kemarau
debit air sangat rendah. Dengan demikian resiko banjir pada musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau meningkat.
2.2. Konservasi Daerah Aliran Sungai
Tindakan konservasi daerah aliran sungai tidak terlepas dari tindakan konservasi
terhadap tanah dan air yang merupakan komponen dari sistem ekologi DAS. Tanah
sendiri menurut pengertian sehari-hari ialah tempat berpijak makhluk hidup di darat,
fondasi tempat tinggal, dan sebagainya. Secara ilmiah, tanah merupakan media
tempat tumbuh tanaman. Menurut Simmonson (1957), tanah adalah permukaan
lahan yang kontiniu menutpi kerak bumi kecuali di tempat-tempat berlereng terjal,
puncak-puncak pegunungan, daerah salju abadi. Sedangkan menurut Soil Survey
Staff (1973), tanah adalah kumpulan tubuh alami pada permukaan bumi yang dapat
berubah atau dibuat oleh manusia dari penyusun-penyusunnya, yang meliputi bahan
organik yang sesuai bagi perkembangan akar tanaman.
Menurut Sitanala Arsyad (1989), konservasi tanah adalah penempatan setiap
bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut
dan memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak
terjadi kerusakan tanah. Kerusakan tanah akibat pengabaian kaidah konservasi yang
paling umum terjadi adalah terjadinya erosi. Menurut Hakim et.al. (1986) ada tiga
cara pendekatan dalam mengendalikan erosi di lahan pertanian yaitu:
1. Memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar tahan terhadap penghancuran
agregat dan pengangkutan.
2. Menutup tanah dengan tanaman atau sisa-sisa tanaman agar terlindung dari daya
perusak butir-butir hujan yang jatuh.
3. Memperlambat aliran permukaan sehingga mengalir dengan kekuatan yang tidak
merusak.
Dengan melakukan tindakan konservasi pada suatu lahan maka kita telah
berusaha untuk mengendalikan erosi pada lahan tersebut. Usaha pengendalian erosi
seharusnya didasarkan pada prinsip memperbesar resistensi permukaan tanah
sehingga lapisan permukaan tanah tahan terhadap pengaruh tumbukan butir-butir
hujan dan memperkecil aliran permukaan dengan memperbesar kapasitas infiltrasi
sehingga daya kikis terhadap tanah yang dilalui dapat diperkecil (Kartasapoetra dan
Sutedjo, 1986).
Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air. Tanah
sebagai komponen utama usaha tani yang harus dipelihara, dimodifikasi bila perlu,
sangat mempengaruhi produksi dan penampilan tanaman. Menurut Arsyad (2006)
konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah
untuk pertanian seefisien mungkin dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi
banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Setiap
perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada
tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan
konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali; berbagai tindakan
konservasi tanah adalah merupakan juga tindakan konservasi air.
Usaha konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan menggunakan dua
metode yaitu :
1. Metode vegetatif, menggunakan tanaman sebagai sarana
2. Metode mekanik, menggunakan tanah, batu dan lain-lain sebagai sarana.
Metode vegetaif dapat dilakukan dengan caraa memperbaiki dan menjaga tanah
agar tahan terhadap penghancuran agregat dan pengangkutan dapat dilakukan
dengan menanam tanaman penutup tanah, karena dapat mengendalikan bahaya
erosi, mencegah proses pencucian unsur hara dan mengurangi fluktuasi temperatur
tanah (Sarief, 1986).
Kemiringan lahan dan panjang lereng sangat berpengaruh terhadap laju aliran
permukaan. Makin panjang lereng itu maka lajunya aliran air permukaan akan makin
cepat, daya kikis dan daya angkutnya makin besar sehingga pengikisan dan
penghanyutan tanah akan berlangsung semakin besar pula. Oleh karena itu panjang
lereng harus dibatasi dengan membangun terras-terras atau tanggul-tanggul yang
berbentuk bidang-bidang tanah yang disesuaikan dengan keadaaan tanah dan
kemiringannya (Kartasapoetra, 1985). Hal inilah yang merupakan salah satu metode
mekanik yang dapat dilakukan untuk mengupayakan konservasi tanah.
Pembuatan terras itu sendiri berfungsi untuk mengurangi panjang lereng,
mengurangi lajunya aliran permukaan, mengalirkan air ke saluran pembuangan
dengan mereduksi penghanyutan-penghanyutan lapisan top soil tanah dan untuk
meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah.
Selanjutnya, pengusahaan konservasi air dapat dilakukan dengan cara membuat
evaluasi terhadap neraca air dari suatu tempat menjuruskan pada kesimpulan bahwa
air dapat dimanfaatkan secara lebih efisien dari pada sekarang. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa perubahan cara pengelolaan tanah dan lahan menyebabkan
terjadinya perubahan dalam besarnya bagian air hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah. Penelaahan terhadap neraca air menunjukkan bahwa konservasi
air dapat dilakukan melalui cara-cara mengendalikan evaporasi, transpirasi dan aliran
permukaan. Meskipun demikian konservasi air sulit untuk diterapkan. Oleh karena
konservasi air merupakan komponen yang dinamik dari ekosistem.
2.3. Kondisi Wilayah Penelitian
Daerah Aliran Sungai (DAS) ciliwung merupakan salah satu wilayah yang penting
bagi Ibu Kota Jakarta. Keberadaannya sebagai salah satu penyangga kota dan
sumber air bagi warga kota, saat ini telah banyak dilupakan. Saat ini keberadaan
sungai ciliwung lebih dapat dikatakan sebagai sebuah pembuangan limbah
dibandingkan dengan fungsi DAS sebenarnya yaitu sebagai daerah resapan untuk air
tanah. Karenanya keadaan sungai yang semakin lama semakin menyedihkan,
membuat pengelolaan dan pemanfaatan das dengan kaidah konservasi perlu
dijadikan sebagai agenda penting didalam pembangunan kota Jakarta.
2.3.1. Bentuk dan Wilayah DAS
DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai hilirnya di Teluk Jakarta meliputi areal
seluas 347 km2. Dengan panjang sungai utamanya mencapai 117 km. DAS
Ciliwung dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, yang
pada masing-masing bagian terdapat stasiun pengamatan arus sungai yaitu
terdapat di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai
Jakarta Selatan (Pawitan, 2002). Masing-masing bagian tersebut mempunyai
karakteristik fisik, penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang sedikit
banyak berbeda.
Distribusi penutupan lahan di DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar berikut
yang diperoleh berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat ETM tahun 2001
oleh Fakultas Kehutanan IPB.
Sumber : Citra Landsat RTM, 2001
Gambar 3.1. Keadaan Penutupan Lahan DAS Ciliwung tahun 2001
Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung (dari hulu sampai hilir)
melingkupi Kab. Bogor, Kodya Bogor, Kotif Depok, dan Propinsi DKI Jakarta
dengan deliniasi wilayah sebagai berikut :
Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten
Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil
Kota Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan).
Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor
(Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kota Madya
Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor
Utara, dan Tanah Sareal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan
Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji).
Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah
administrasi pemerintahan Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat,
lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal
Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Madya Jakarta Pusat,
Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
2.3.2. Karakteristik Topografi dan Curah Hujan
Bagian Hulu DAS
Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan
daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian
hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus,
Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu dicirikan oleh sungai
pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi, dengan
kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9 km2), dan sisanya lebih dari
45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada
komposisi litografi dan kelulusan batuan.
Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3.636 mm
dengan
rata-rata hujan bulanan 303 mm. Batas musim kemarau dengan musim
penghujan di bagian hulu tidak jelas, kecuali daerah Citeko dimana musim
kemarau terjadi pada bulan Juni sampai dengan September, dan musim
penghujan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Mei (Antoro dan Fahmiza,
2002).
Bagian Tengah DAS
Bagian tengah mencakup areal seluas 94 km2 merupakan daerah
bergelombang dan berbukit-bukit dengan variasi elevasi antara 100 m sampai
300 m dpl. Di bagian Tengah erdapat dua anak sungai, yaitu: Cikumpay dan
Ciluar, yang keduanya bermuara di sungai iliwung. Bagian tengah Ciliwung
didominasi area dengan kemiringan lereng 2-15%.
Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3.910 mm
dengan rata-rata hujan bulanan 326 mm. Batas musim kemarau dengan musim
penghujan di bagian tengah lebih tidak jelas (Antoro dan Fahmiza, 2002). Hujan di
Depok jauh lebih rendah dibandingkan dengan hujan di tiga stasiun hujan lainnya
yang ada di bagian tengah DAS Ciliwung. Secara umum hujan di bagian tengah
lebih tinggi dibandingkan dengan hujan di bagian hilir, kecuali pada musim
penghujan (Januari-Maret) hujan di hilir lebih tinggi.
Bagian Hilir DAS
Bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai pada elevasi
PP+8 m mencakup areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi
landai dengan elevasi antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi area
dengan kemiringan lereng 0-2 %, dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih
hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase, yang sudah dilengkapi
dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor. Dalam
kondisi demikian batas DAS menjadi tidak tegas.
Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 2.126 mm
dengan rata-rata hujan bulanan 177 mm. Di daerah hilir yang umumnya berada di
Jakarta dan Tangerang batas antara musim kemarau dan musim penghujan
tampak jelas. Musim penghujan mulai jatuh pada bulan Desember dan berakhir
pada bulan Maret. Secara umum hujan di bagian hilir ini paling kering
dibandingkan dengan hujan di bagian tengah dan hulu DAS.
2.3.3. Karakteristik Hidrologi dan Hidrogeologi
2.3.3.1. Hidrologi
Berdasarkan analisis curah hujan deras didapatkan bahwa untuk daerah hilir
Ciliwung terjadi dengan rerata 5 kejadian hujan deras pada bulan Januari dan
hanya 0.2 kejadian pada bulan Juli. Rerata intensitas hujan deras bervariasi
antara 8 mm/jam sampai 20 mm/jam dengan lama kejadian 3 sampai 5 jam.
Sedangkan untuk wilayah Ciliwung Hulu didapatkan bahwa hujan harian lebih dari
50 mm dan hujan 3-harian melebihi 100 mm dapat dikelaskan sebagai hujan
deras yang dapat menghasilkan banjir di daerah hilirnya. Sifat hujan deras ini
dapat dianggap sama untuk wilayah hulu, tengah, maupun hilir DAS Ciliwung.
Hasil analisis frekuensi untuk data hujan maksimum harian untuk stasiun
Katulampa (1972-1997) menghasilkan nilai curah hujan maksimum harian. Untuk
stasiun Katulampa (1972-1997) menghasilkan nilai curah hujan maksimum harian
untuk periode ulang 5-tahunan sebesar 164 mm; 10-tahunan sebesar 189 mm;
25-tahunan sebesar 220 mm; 50-tahunan sebesar 243 mm; dan 100-tahunan
sebesar 266 mm (Pawitan, 2002).
Berdasarkan pengukuran lapang infiltrasi di DAS Ciliwung Hulu dan prediksi
infiltrasi DAS diperoleh dugaan infiltrasi kumulatif tahunan sebesar 70 sampai 74
persen dari total curah hujan. Prediksi erosi di Ciliwung Hulu didapatkan masih
lebih tinggi dari erosi yang diperbolehkan (sebesar antara 20 – 43 ton/ha/tahun)
yang terutama terjadi pada lahan tegalan, semak dan perkebunan, yang meliputi
lebih dari 50 persen dari luas Ciliwung Hulu. Limpasan permukaan dari DAS
Ciliwung juga menunjukkan nisbah yang berlebihan sebagaimana diperoleh untuk
nilai bulanan, harian, maupun jam dengan variasi antara 10 sampai 100 persen.
Diperkirakan andil dari ai rbumi perlu diperhitungkan dengan mempertimbangkan
batas aquifer yang kemungkinan tidak sama dengan batas DAS.
Satu episode banjir dapat dicirikan berlangsung selama 10 sampai 20 hari,
dan dapat terjadi antara Agustus sampai April dengan mode pada Januari-
Februari. Nisbah banjir antara 16% sampai 51 %. Untuk bagian tengah dan hilir
dapat diharapkan bahwa nisbah banjir ini akan lebih tinggi dari bagian hulu
karena terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi di bagian tengah dan hilir DAS
(Pawitan, 1989 dalam Pawitan, 2002). Perhitungan waktu pemusatan juga
menunjukkan variasi yang besar, yaitu: 0,4 sampai 3 jam untuk Ciliwung Hulu; 0,9
sampai 7,1 jam untuk Ciliwung Tengah; dan 1,6 sampai 15,5 jam untuk Ciliwung
Hilir. Waktu pemusatan 10 jam dinilai wajar untuk pintu air Manggarai.
2.3.3.2. Hidrogeologi
Hasil studi terakhir yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta dan
LPM ITB(2001) menunjukkan bahwa batuan-batuan sedimen di daerah DKI Jakarta
dan sekitarnya membentuk sistem akifer yang sangat heterogen dan kompleks
(Hutasoit, 2002). Keheterogenan dan ke-kompleksan sistem akifer di daerah ini
ditandai oleh interfingering antara akifer dan akitar, variasi ketebalan, dan
terdapatnya sesar/patahan. Dari hasil studi tersebut diperoleh beberapa
penemuan penting (Hutasoit, 2002), yaitu:
a. Diketahuinya sistem akifer-akitar di di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Secara umum, untuk penampang utara-selatan, sistem ini menebal ke
utara; untuk penampang barat-timur, sistem ini menebal ke tengah.
Adapun lapisan akifernya, secara umum, untuk penampang utara-selatan,
juga menebal ke utara; untuk penampang barat timur, lapisan akifer ini
menebal ke utara dan tengah. Kedalaman lapisan akifer ini berkisar dari 0
– (-300) m dpl.
b. Terjawabnya pertanyaan mengenai daerah resapan air tanah Jakarta.
Pemahaman umum selama ini adalah daerah Bopunjur merupakan daerah
resapan untuk air tanah di wilayah DKI Jakarta. Daerah-daerah resapan
tersebut adalah:
sebelah selatan : Parung, Depok, Ciangsana/Cileungsir, dan Cibubur
sebelah utara : Tongkol, Kayu Besar (Cengkareng), Muara Angke,
Tongkol, dan Kebonwaru
sebelah tengah : Kuningan, Pekayon, Dukuh Atas, dan Pulomas
sebelah barat : Serpong dan Rawa Bokor (Multi Bintang/Tangerang)
sebelah timur : Bekasi
c. Akifer di daerah ini dapat terkekang atau tidak terkekang.
Untuk Kondisi muka air tanah di DAS ini, berdasarkan hasil studi yang
dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI dan DGTL (1995), Dinas
Pertambangan DKI dan LPM ITB (1996), dan Asseggaf (1998), dalam
Hutasoit (2002) diketahui bahwa kondisi muka air tanah di wilayah DKI
Jakarta dan sekitarnya adalah sebagai berikut:
Akifer pada kedalaman 0 – 40 m dpl
Pada periode sebelum 1950 yang dianggap sebagai kondisi alami, muka
air tanah berada pada kedudukan sekitar 5 mdpl. Pada periode 1992
muka air tanah telah mencapai kedudukan -2,49 m dpl. Periode 1993
menunjukkan bahwa muka air tanah mencapai kedudukan -3,5 m dpl.
Sedangkan hasil pengukuran pada tahun 1994 menunjukkan bahwa
muka air tanah telah mencapai kedudukan -3,9 m dpl.
sumber : Hutasoit, L (2002)
Muka Air Tanah pada Akifer Kedalaman 0 – 40 m Tahun 1994
Akifer pada kedalaman 40 – 140 m dpl
Muka air tanah pada kondisi alami berada pada kedudukan antara 1 – 10
m dpl. Periode 1992 muka air tanah mencapai kedudukan (-18,64) – (-35,
50) m dpl. Pada periode 1994 muka air tanah mencapai kedudukan (-20,
80) – (-43,70) m dpl.
sumber : Hutasoit, L (2002)
Muka Airtanah pada Akifer Kedalaman 40 – 140 m Tahun 1994
Akifer pada kedalaman 140 – 250 m dpl
Muka air tanah pada kondisi alami berada pada kedudukan 2 m dpl,
sementara pada periode 1992 muka air tanah telah berada pada
kedudukan (-20) – (-29,30) m dpl. Periode 1994 muka air tanah
mengalami penurunan lagi sehingga mencapai kedudukan -49.5 m dpl.
Sumber: Hutasoit, L (2002)
Muka Air Tanah pada Akifer Kedalaman 140 - 250 m Tahun 1994
2.4. Karakteristik Lahan dan Tata Ruang Wilayah DAS Ciliwung
2.4.1. Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan
Penguasaan lahan di bagian hulu dapat dikelompokkan menjadi lahan negara,
hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan
dikelola oleh pemerintah c.q Balai Taman Nasional Gede-Pangrango (Kawasan
Taman Nasional), Balai Konservasi Sumberdaya Alam (Kawasan Hutan Cagar Alam
Telaga Warna) Departemen Kehutanan, dan Perum Perhutani (Kawasan Lindung
dan Produksi). Lahan dalam bentuk situ dan badan sungai dikelola oleh Pemda
dan pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman
dan Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya digunakan untuk kebun, sawah
tadah hujan dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi.
Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun (PT
Gunung Mas dan PT Ciliwung). Lahan milik umumnya dimiliki oleh orang yang
bertempat tinggal di luar lahan milik tersebut.
Penguasaan lahan di bagian tengah seperti halnya di bagian hulu dapat
dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan
negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q. Perum
Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk situ dan badan
sungai dikelola oleh Pemda dan pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya
Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya
digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan, dan teknis, tegalan/ladang,
pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha
digunakan sebagai kebun. Penggunaan lahan di bagian hilir didominasi oleh lahan
hunian (build up areas), jaringan jalan, badan sungai dan saluran drainase
lainnya, sedikit lahan hijau dalam bentuk taman (Soetarto, 2002).
Kondisi penggunaan lahan, dalam hal ini tingkat penutupan lahan (land
cover)-merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS.
Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran
permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah
kekeringan saat musim kemarau.
2.4.2. Perubahan Penggunaan Lahan dan Tata Ruang Wilayah DAS
Berdasarkan hasil kajian Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah,
Ditjen RRL, Dephut (1997), pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung
bagian hulu dan bagian tengah secara garis besar dibedakan menjadi 4 (empat)
jenis pemanfaatan lahan yaitu hutan, pertanian, pemukiman (termasuk
diantaranya industri, perdagangan, dll), dan lain-lain (termasuk situ). Baik DAS
bagian hulu maupun bagian tengah masih didominasi oleh kawasan pertanian
yaitu masing-masing sebesar 63,9% dan 72,2%. Akan tetapi, DAS bagian hulu
masih terdapat kawasan hutan sekitar 25 % sedangkan DAS bagian tengah sudah
tidak mempunyai kawasan hutan sama sekali.
Kawasan hutan yang ada di DAS Ciliwung bagian hulu sebagian besar
merupakan hutan lindung yang berstatus hutan negara. Kawasan hutan ini
didominasi oleh vegetasi hasil suksesi alami dan menurut data pada BRKLT
Ciliwung-Cisadane (1986), kerapatan vegetasi pada hutan lindung tersebut makin
lama makin berkurang. Pada wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya
tidak merata, sehingga terdapat daerah gundul (tanah kosong) yang perlu segera
direhabilitasi. Sekitar 30 % kawasan hutan di DAS bagian hulu merupakan hutan
produksi yang didominasi oleh tanaman Pinus sp. yang banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat dan tanpa pengelolaan yang baik sehingga keberadaan
tanaman Pinus makin berkurang, penutupan hutan tersebut sebesar 25 % dari
total DAS bagian hulu.
Kawasan pertanian di DAS Ciliwung bagian hulu, didominasi oleh persawahan
(25,4 %) yang hampir seluruhnya menggunakan sistem pengairan (baik teknis,
maupun pengairan sederhana) dan hanya sekitar 5 % yang menggunakan sistem
tadah hujan. Perkebunan yang ada di wilayah ini (16,2 %) didominasi oleh
perkebunan teh dan cengkeh. Untuk DAS Ciliwung bagian tengah, lahan pertanian
yang paling banyak dijumpai adalah kebun campuran (31 %) yang merupakan
kebun yang dimiliki oleh perorangan yang fungsinya selain untuk pertanian juga
sebagai tempat hunian. Meskipun demikian, lahan pertanian untuk persawahan
juga masih cukup luas (24,8 %).
Data pemilikan/penguasaan tanah pertanian di Ciliwung menunjukkan adanya
kecenderungan ke arah menyempitnya luas lahan yang dikuasai oleh petani.
Perubahan yang paling mencolok dalam hal penggunaan lahan di wilayah hulu
dan tengah adalah pada proporsi lahan yang digunakan untuk kawasan
pemukiman. Areal pemukiman di wilayah tengah mencapai luasan sebesar 29,6
% sedangkan di DAS Ciliwung bagian hulu hanya sekitar 7,4 %. Pola penggunaan
lahan di wilayah DAS Ciliwung hulu dan tengah disajikan pada Tabel berikut ini.
Pola pemukiman di wilayah hulu berbeda dengan pola yang ada di kawasan
tengah. Pola pemukiman di DAS Ciliwung bagian tengah membentuk akumulasi-
akumulasi hunian yang cenderung terpusat di Kotamadya Bogor, di Cibinong
(sebagai ibukota Kabupaten Tk. II Bogor) dan di Kota Administratif Depok (sebagai
pusat kota baru terdekat dengan Jakarta). Pemukiman di kawasan tengah jauh
lebih tertata dan memang berfungsi sebagai tempat tinggal. Selain untuk hunian,
penggunaan lahan pemukiman di wilayah DAS Ciliwung bagian tengah juga
banyak berubah fungsi menjadi kawasan industri dan kawasan perdagangan
maupun perkantoran.
Di wilayah DAS bagian tengah ini terdapat akumulasi industri yang terletak di
sepanjang jalan Raya Bogor dan di sebagian pinggir Sungai Ciliwung. Berbeda
dengan DAS Ciliwung bagian tengah, pemukiman di bagian hulu cenderung
menyebar meskipun ada juga kecenderungan memusat ke arah sepanjang jalan
raya Ciawi - Cisarua.
Kawasan pemukiman di daerah hulu ini cenderung meningkat pesat dari
tahun ke tahun baik jumlah maupun jenisnya, akan tetapi kecenderungan
tersebut mengarah pada berkembangnya daerah ini menjadi kawasan wisata.
Kawasan pemukiman di wilayah DAS Ciliwung bagian hulu tidak hanya berfungsi
sebagai tempat tinggal (hunian) tapi juga berfungsi sebagai tempat peristirahatan
yang hanya dihuni pada saat-saat tertentu saja. Selain itu, sebagian pemukiman
penduduk setempat masih mencerminkan tipe pemukiman pedesaan yaitu
tempat tinggal yang digabung dengan kebun.
Dari pola penggunaan lahannya, dapat dikatakan bahwa DAS Ciliwung tengah
sudah lebih mengalami proses urbanisasi dibandingkan dengan DAS Ciliwung
hulu. Pola penggunaan lahan di Ciliwung hulu masih dapat dikatagorikan wilayah
pertanian dengan fungsi khusus sebagai daerah pariwisata dan konservasi.
Perkembangan ini dapat terjadi karena adanya pengaruh urbanisasi dari Jakarta
ke arah Bogor yang dipercepat oleh jalan tol Jagorawi (hingga Gadok). Selain itu,
adanya akumulasi industry di Ciliwung bagian tengah ini juga mempercepat
terjadinya urbanisasi.
2.4.3. Kecenderungan Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciliwung Hulu
Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung masih didominasi oleh lahan
pertanian dan perkebunan, yaitu 61% dari luas DAS Ciliwung hulu dan 73% dari
luas DAS Ciliwung tengah. Kawasan hutan yang terdapat di DAS Ciliwung hulu
seluas 5.310 ha, sebagaimana disajikan secara lengkap pada Tabel berikut ini
untuk kondisi tahun 1981 dan 1999.
Perbedaan total luas antara dua tahun pengamatan tersebut dikarenakan
pengukuran luas diperoleh dari dua peta yang berbeda, yang masing-masing
diperoleh sebagai hasil interpretasi citra Landsat. Perubahan penggunaan lahan
dari kondisi dua tahun pengamatan ini menunjukkan penurunan luas hutan di
Ciliwung Hulu seluas dua ha, perkebunan seluas 35 ha, sawah seluas 62 ha, dan
lahan tegalan/ladang seluas 152 ha, penurunan penggunaan lahan serupa
didapati juga pada kawasan tengah. Peningkatan yang mencolok terjadi pada luas
kawasan pemukiman, baik di Ciliwung Hulu maupun Tengah, masing-masing
meningkat dari 255 ha menjadi 506 ha untuk Ciliwung Hulu dan dari 1.147 ha
menjadi 1.961 ha untuk Ciliwung Tengah, atau peningkatan masing-masing
sebesar 98% dan 71%, yang diperoleh terutama dari pengurangan luas sawah
dan tegalan, baik di kawasan hulu maupun tengah.
Perubahan mendasar dalam pola penggunaan lahan di bagian hulu selama 10-
15 tahun terakhir terjadi terutama karena kebutuhan lahan untuk pemukiman
termasuk pertumbuhan tempat peristirahatan (hotel, motel, vila dan bungalau)
yang tersebar di kawasan hulu tersebut.
Perbedaan urutan luasan ini menunjukan bahwa telah terjadi perubahan
penggunaan lahan yang relatif cepat dan mengarah ke penggunaan non
pertanian. Hal tersebut jelas akan memberikan pengaruh terhadap kelestarian
dan produktivitas sumberdaya lahan, baik sebagai areal pertanian maupun yang
berkaitan dengan fungsi hidrologis karena merupakan bagian hulu dari DAS
Ciliwung sebagai daerah tangkapan air.
BAB III
PEMBAHASAN
4.1Pengelolaan DAS CiliwungProgram-program pengelolaan DAS Ciliwung seperti salah satunya program
penanggulangan banjir ataupun rehabilitasi lahan/penghijauan sering gagal dan
menghadapi hambatan karena adanya beberapa permasalahan yang dihadapi baik
ditingkat institusi maupun pada tingkat masyarakat, seperti :
a. Kelembagaan pengelolaan DAS Ciliwung lemah
b. Fungsi kontrol tidak berjalan dan penegakan hukun yang lemah dan tidak
konsisten
c. Koordinasi antar lembaga terkait kurang berjalan
d. Kurang sosialisasi program kepada masyarakat
e. Peran serta masyarakat masih relatif rendah.
Pengelolaan DAS Ciliwung merupakan upaya pengelolaan sumberdaya yang
menyangkut berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda-beda, sehingga
keberhasilannya sangat ditentukan banyak pihak, tidak semata-mata oleh pelaksana
langsung di lapangan. Masyarakat merupakan unsur pelaku utama, sedangkan
pemerintah sebagai unsur pemegang otoritas kebijakan dan fasilitator.
Kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS Ciliwung dimasa yang akan datang dapat
dilaksanakan secara swakarsa, swadaya, swadana dan swakelola tanpa mengandalkan
dana dari pemerintah. Untuk itu kegiatan-kegiatan harus digerakkan oleh suatu
mekanisme intensif-disentif agar dapat melibatkan pihak-pihak terkait secara aktif
terutama masyarakat sebagai pelaku utama.
DAS Ciliwung mencakup lebih dari tiga pemerintahan daerah, yang masing-masing
mempunyai otonomi tersendiri sehingga diperlukan koordinasi yang lebih intensif
sehingga pengambilan keputusan tidak hanya parsial saja. Namun, seringkali adanya
kepentingan dan agenda tertentu dari setiap pemerintahan daerah menjadi salah satu
penghambat program pengelolaan DAS Ciliwung.
Permasalahan utama yang sering mengemuka di DAS Ciliwung adalah bagaimana
menanggulangi kelebihan air di badan air yang dapat menyebabkan banjir di DAS
Ciliwung. beberapa pendekatan teknologi yang memungkinkan dilakukan, yaitu :
1. Pendekatan dengan membangun bangunan-bangunan pencegah banjir (structural
measure)
2. Pendekatan dengan tidak membangun bangunan pencegah banjir (non structural
measure)
Upaya teknis yang dilakukan untuk mengatur kelebihan air di badan sungai dapat
dilakukan dengan penerapan prinsip pengaturan jumlah air di badan sungai dan
mencegah air sampai di badan sungai. Pendekatan konservasi air dengan cara
memasukan sebanyak mungkin jumlah curah hujan ke dalam tanah merupakan
pendekatan yang ramah lingkungan dan murah. Konsep pengaturan air di dalam suatu
DAS dapat dilakukan pada 3 tahap proses yaitu:
1. Kelebihan air hujan di tahan oleh pohon/vegetasi (intersepsi, stem flow dan
evapotranspirasi)
2. Kelebihan air hujan di tahan oleh tanah (melalui proses infiltrasi dan perkolasi dan
ditampung di aquifer)
3. Kelebihan air hujan di tahan oleh badan air (mengendalikan jumlah aliran