Top Banner
71

PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Mar 27, 2016

Download

Documents

CatatandariTigaDaerah tentangPenguatanProvinsi ProvincialGovernanceStrengtheningProgram DecentralizationandLocalGovernanceTransformationCluster DemocraticGovernanceUnit 2011
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi
Page 2: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Provincial Governance Strengthening ProgramDecentralization and Local Governance Transformation Cluster

Democratic Governance Unit

Desentralisasi, Tatakelola,dan

ProvinsiCatatan dari Tiga Daerah

tentang Penguatan Provinsi

2011

Page 3: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi:ke Arah Penguatan Provinsi

Sebuah laporan studi olehHarry Seldadyo

dengan dukunganAndika Pambudi dan Wahyudi Romdhani.

PGSP ProjectGraha Mandiri Lantai 21Jl. Imam Bonjol No.61, Menteng, Jakarta Pusat 10310IndonesiaTelp : 6221 391 7284, 391 8554Fax : 6221 315 3461PGSP Paper Series No.1—Maret 2011

c©2011 ISBN: 978-602-98635-1-2

Pernyataan: Tulisan ini bukan merupakan pandangan resmi BAPPENAS, UNDP,DSF, maupun mitra-mitra PGSP terkait. PGSP adalah proyek pengembangankapasitas tata pemerintahan yang dikembangkan oleh BAPPENAS dan UNDPdengan dukungan DSF.

Page 4: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Catatan Penghidang dari GM21

Laporan ini memberi kerangka teoritik bagi Project Document ‘Provincial Gover-nance Strengthening Programme’ Pemerintah Indonesia dan UNDP GovernanceUnit, serta justifikasi, konfirmasi, dan akomodasi empirik hasil Technical Assess-ment di Gorontalo, Bangka-Belitung, dan Nusa Tenggara Timur pada November-Desember 2009. Semuanya diorganisasikan dalam satu tema ‘Penguatan Provinsi’.

Ribuan, malahan jutaan, terima kasih dihaturkan kepada seluruh pihak yangikut terlibat hingga Laporan bisa berbentuk seperti sekarang ini. Mengingat pan-jangnya daftar terima kasih itu, ia disajikan dalam bagian yang disediakan khususuntuknya.

Tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan laporan ini.

Jakarta, Maret 2011Penulis

Ucapan Terima Kasih: Tulisan ini tidak akan mungkin terselesaikan tanpa saran, ma-sukkan, dan ide berharga dari Winarni Monoarfa (Kepala Bappeda Prov. Gorontalo),Remi Karaya (Sekretaris Bappeda Prov. Gorontalo), Sagita Wartabone (Kasubag SaranaPerekonomian Setda Prov Gorontalo), Soegarenda (Kepala BPS Prov. Gorontalo), YosefP Koton (Widyaiswara Prov. Gorontalo), Sulastri Husain (Kasubag Program Dinas Pen-didikan, Pemuda, dan Olahraga Prov. Gorontalo), Nazalyus (Kepala Bappeda Prov.Bangka Belitung), Imam Mardi Nugroho (Sekretaris Daerah Prov. Bangka Belitung),Salim (Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov. Bangka Belitung), H.A Fer-nandez (Sekretaris Bappeda Prov. NTT), Daiman (Ketua Sekretariat Bersama BappedaProv. NTT), Marius (Kabid PP II Bappeda Prov. NTT), dan Sony Z Libing (KasubidData, Informasi, dan Analisis Bappeda Prov. NTT).

Page 5: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Daftar Isi

Bab 1 Catatan Pembuka . . . . . . . . . . . . . . . 1• Desentralisasi dalam Konteks 1• Beberapa Konsekuensi 4• Organisasi Laporan 10

Bab 2 Penguatan Provinsi:Sebuah Kerangka Kerja . . . . . . . . . . . . . . . 13• Justifikasi 13• Kerangka Kerja 18? Kerangka Hukum dan Kebijakan 23? Perencanaan dan Penganggaran 23? Inovasi Tatakelola 24

Bab 3 Bangka Belitung:Membangun Sinergi dari Lada . . . . . . . . . . . . . . . 27• Konteks 27• Revitalisasi Lada:Titik Masuk ke Penguatan Provinsi 29

Bab 4 Gorontalo:Integrasi Data untuk Penguatan Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . 35• Konteks 35• Integrasi Data:Menuju Penguatan Provinsi 38

Bab 5 Nusa Tenggara Timur:Tatakelola untuk Penguatan . . . . . . . . . . . . . . . 43• Konteks 43• Pembenahan Tatakelolauntuk Penguatan Provinsi 45

Page 6: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Bab 6 Agenda Lintas-Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . 49• Perundangan dan Peraturan 50• Perencanaan dan Penganggaran 51• Inovasi Tatakelola 53

Bab 7 Catatan Penutup . . . . . . . . . . . . . . . 57

Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . 59

Page 7: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Daftar Tabel

Tabel 2.1.Provinsi: Besaran dan Jarak 2008 . . . . . . . . . . . . . . . 16

Daftar Gambar

Gambar 2.1.Kinerja Kabupaten-Kota dan Jarak terhadap Jakarta . . . . . . . . . . . . . . . 17Gambar 2.2.Relasi Provinsi dan Kabupaten-Kota . . . . . . . . . . . . . . . 19Gambar 2.3.Kerangka Kerja Penguatan Provinsi . . . . . . . . . . . . . . . 26

Page 8: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Bab 1

Catatan Pembuka

Desentralisasi dalam Konteks

Indonesia menandai reformasi politik di akhir 1990-an dan diteruskan di tengah2000-an dengan agenda radikal: desentralisasi.1 Desentralisasi ini mencakup tigaarena sekaligus, yakni administrasi, fiskal, dan politik. Kendati desentralisasi per-nah menjadi agenda tatanegara Indonesia2, format yang radikal seperti ini barudiluncurkan setelah lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka. Dua buah undang-undang (UU 22 tentang relasi administrasi dan politik serta UU 25 mengenai relasifiskal) dikenalkan pada Mei 1999, sedangkan revisinya (UU 32 dan 33) digelin-dingkan lima tahun kemudian pada Oktober 2004. Ini untuk menggantikan UUtentang pemerintahan daerah bernuansa sentralistik yang telah seperempat abadberlaku (UU 5/1974).3 Desentralisasi sendiri, kendati justified bagi tujuan efisiensi

1Beberapa pihak menyebutnya sebagai ‘big bang ’. Hofman dan Kaiser (2002) menggunakanistilah ini untuk perubahan di sektor fiskal. Fitrani, et al (2005) menyebut istilah yang samauntuk menggambarkan transisi ekonomi dan politik. Seldadyo et al. (2009) memakai term iniuntuk peledakan jumlah pembentukan yurisdiksi kabupaten-kota baru. Akan tetapi Kumorotomo(2008) beranggapan bahwa, khusus di sektor fiskal, desentralisasi ini tidak terlalu revolusionerkarena adanya kesinambungan beberapa skema saat ini dengan skema masa lalu.

2Eksperimen tentang bingkai hubungan pusat-daerah melalui federalisme telah dikenal diparuh akhir 1940-an. Walau demikian, eksperimen ini tidak berlangsung lama sejalan denganmenguatnya pandangan kubu republikan relatif terhadap kubu federalis mengenai negara kesa-tuan. Lihat Frinkelstein (1951). Sebuah tanggapan atas artikel ini diterbitkan setahun kemudianoleh Jaquet. Lihat Jaquet (1952).

3Seri UU tentang pemerintahan daerah sejak Proklamasi adalah UU 1/1945, 22/1948, 1/1957,dan 18/1965. Pada masa kolonial sempat pula dikenalkan UU pemerintahan daerah melaluiDecentralisatie Wet 1903.

1

Page 9: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

2

alokasi fungsi-fungsi berbagai lapis pemerintah4 seperti tertuang dalam the decen-tralization theorem (Oates, 1972; 1999), sesungguhnya adalah konsekuensi logisdari suatu negara dengan karakter demografi, etnik, dan geografi yang besar danheterogen (Stegarescu, 2005; Treisman, 2006) seperti Indonesia. Ini berarti bahwadesentralisasi adalah pilihan rasional dengan justifikasi yang kuat.

Desentralisasi ini terhitung fenomenal mengingat perbedaan keadaan yangsiginifikan jika dibandingkan dengan keadaan di masa sebelumnya. Dari sisi ad-ministrasi, desentralisasi membuka ruang wewenang daerah dalam perencanaandan pengambilan keputusan pembangunan yang jauh lebih longgar dibandingkandengan apa yang diberikan oleh rezim sebelumnya. Ruang wewenang itu diberikankepada daerah dengan cakupan keseluruhan urusan pemerintahan, kecuali enamurusan yang berada dalam ruang wewenang pemerintah pusat —politik luar negeri,pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Metodo-logi perencanaan dan pengambilan kebijakan pembangunan dirombak sebagaipenyesuaian bagi kerangka baru hubungan antarpemerintah. Musyawarah Peren-canaan Pembangunan (Musrenbang) yang berjenjang tetapi sekaligus secara nor-matif mengawinkan proses bottom-up dan top-down dikenalkan.5 Organisasipemerintah pusat di daerah —kantor-kantor wilayah dan departemen vertikal— di-likuidasi untuk mengimbangi otonomi yang telah diberikan kepada daerah. Walaudemikian, UU desentralisasi 1999 maupun revisinya tahun 2004 tetap membu-ka celah bagi operasi pemerintah pusat untuk melakukan pelimpahan wewenangmelalui mekanisme dekonsentrasi serta penugasan melalui mekanisme tugas pem-bantuan kepada pemerintah daerah.6

Desentralisasi ini memberi titik tekan berbeda pada pemerintah-pemerintahdaerah. Ruang wewenang yang lebih besar diletakkan pada pemerintah di lingkupkabupaten-kota daripada di provinsi.7 Titik tekan desentralisasi pada kabupaten-

4UU desentralisasi sendiri menetapkan bahwa tujuan desentralisasi adalah untuk mempercepatterwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui (1) peningkatan pelayanan, pemberdayaan, danperanserta masyarakat, serta (2) peningkatan daya saing daerah.

5Dalam skala dan alur perencanaan yang bertingkat, Musrenbang selalu memiliki limitasidalam menampung aspirasi dari bawah. Acapkali dikeluhkan bahwa semakin tinggi jenjang Mus-renbang yang harus ditapaki semakin banyak aspirasi dari bawah yang tidak mampu ditampung.

6Kendati Peraturan Pemerintah (PP) 7/2008 telah mengatur pelaksanaan dekonsentrasi dantugas pembantuan, Ramses M dan Bakry (2008) menilai bahwa masih dibutuhkan formulasiyang lebih tegas lagi bagi pelaksanaannya, karena PP ini tidak secara eksplisit menampakkankedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

7Menarik untuk dicatat bahwa UU Pemerintahan Daerah yang lama, yakni UU 5/1974, jugamemberikan titik tekan yang sama sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat 1, “Titik beratOtonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II.” Hanya saja, dalam bangunan hirarki yangbertingkat menurut UU ini, pemilihan pemimpin wilayah oleh DPRD di tingkat kabupaten-kotaharus mendapatkan persetujuan pemimpin wilayah di tingkat provinsi (Pasal 16 Ayat 1 dan 2).

Page 10: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

3

kota ini merujuk pada penetapan yurisdiksi ini sebagai ujung tombak pelayananpublik seturut dengan argumentasi ‘closer to voters’. Walau juga dicatat bah-wa dalam desentralisasi ini beberapa provinsi mendapat perlakuan tersendiri —Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota (UU 29/2007), Jogjakarta (UU 3/1950,32/2004)8 dan Aceh (UU 44/1999) sebagai Daerah Istimewa, serta Papua, PapuaBarat (UU 21/2001), dan Aceh (UU 11/2006) sebagai Daerah Otonomi Khusus—secara keseluruhan ‘otonomi penuh’ diberikan pada pemerintahan kabupaten-kotadengan teritori yurisdiksi yang lebih sempit, sedangkan ‘otonomi terbatas’ ada pa-da provinsi dengan teritori yurisdiksi yang lebih luas.9

Dari sisi fiskal, penerimaan maupun pengeluaran, pemugaran diarahkan pa-da tujuan-tujuan perimbangan keuangan vertikal antara pusat dan daerah sertahorisontal antara satu daerah dengan daerah lain. Sumber-sumber penerimaan pe-merintah pusat yang berasal dari daerah diorganisasikan ke dalam pos-pos DanaBagi Hasil Pajak (DBH-P) dan Sumber Daya Alam (DBH-SDA). Ini kemudiandipantulkan ke dalam pos-pos pengeluaran ke daerah melalui formula Bagi HasilPajak dan Sumber Daya Alam serta formula dua macam dana alokasi, yakni DanaAlokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada saat yang sama, ru-ang daerah untuk menciptakan sumber-sumber penerimaan sendiri juga diberikanmelalui formula Pendapatan Asli Daerah (PAD).10 Statistiknya mudah dicandrabahwa melalui formula-formula ini penerimaan daerah di masa desentralisasi jauhlebih besar dibandingkan dengan di masa sebelumnya. Malahan, perkembangantahunan total transfer pusat ke daerah sejak desentralisasi digelindingkan memper-lihatkan gelagat yang menaik.11 Ini berarti daerah memiliki ruang gerak anggaranyang lebih longgar, kendati proporsi alokasi antara belanja pembangunan dan be-lanja pegawai masih merupakan persoalan serius.

Di arena politik, berbasis pada pembentukan Komisi Pemilihan Umum Dae-rah (KPUD) yang independen, desentralisasi juga telah mengubah cara bagaimana

Selain itu, dalam menjalankan tugasnya, pemimpin wilayah di tingkat ini bertanggung jawabkepada pemimpin wilayah di tingkat yang lebih tinggi (Pasal 78). Di atas semuanya, perbedaanyang mencolok termaktub dalam spirit sentralisasi yang melekat dalam UU ini.

8Sejauh laporan ini ditulis belum ada pengaturan khusus mengenai keistimewaan Jogjakartaselain yang tertera dalam UU 32/2004 itu.

9Rasyid (2007) menyatakan ‘otonomi penuh’ merujuk pada absennya operasi pemerintahpusat di kabupaten-kota, kecuali melalui sejumlah urusan yang diatur undang-undang. ‘Otonomiterbatas’ mengacu pada peluang yang terbuka bagi operasi pemerintah pusat di provinsi.

10Kumorotomo mencatat bahwa DAU sesungguhnya adalah metamorfosis dari Subsidi DaerahOtonom (SDO), sedangan DAK dari bantuan Inpres yang pernah dikenal pada masa Orde Baru.Dalam konteks ini desentralisasi fiskal tidaklah bersifat radikal. Lihat, Kumorotomo (2008).

11Walau demikian, ini mesti ditelisik lebih teliti lagi mengingat pertambahan belanja daerahper yurisdiksi (provinsi dan kabupaten-kota) menunjukkan kecenderungan penurunan dari waktuke waktu. Lihat Seldadyo et al (2009).

Page 11: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

4

pemimpin pemerintahan daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)dipilih dan ditetapkan. Pemimpin daerah dipilih secara langsung, sedangkananggota DPRD dipilih melalui suatu sistem daftar terbuka. Termasuk dalam halini adalah perombakan mekanisme pertanggungjawaban antara pemimpin atauwakil rakyat terpilih dan konstituen pemilih. Ini berarti gubernur, selazim bu-pati, walikota, dan anggota DPRD, secara politik dipilih oleh dan bertanggungjawab langsung pada konstituen pemilih.12 Dalam format seperti ini, evaluasiatas pencapaian visi-misi akan diuji kembali dalam mekanisme reguler pemilihanlokal itu sendiri. Beberapa pihak menyebut perubahan ini sebagai perbaikan kuali-tas demokrasi di daerah (Marjian, 2006; Mandica, 2008), kendati demokrasi didaerah harus dibaca lebih daripada sekedar pemilihan langsung yang bebas danadil atau partisipasi dalam pengambilan suara (Pratikno, 2005).

Beberapa Konsekuensi

Keleluasaan ruang wewenang pemerintahan daerah di sisi administrasi dan fiskalyang dikombinasikan dengan sistem pemilihan langsung oleh dan pertanggung-jawaban pada konstituten pemilih di sisi politik bukan tanpa konsekuensi orga-nisasional. Pertama, di tingkat empiri setiap entitas pemerintahan daerah prak-tis berdiri relatif independen satu sama lain. Ini bukan hanya terjadi antarakabupaten-kota satu dengan yang lain dalam satu provinsi, bahkan juga antarakabupaten-kota dengan provinsi itu sendiri. Provinsi dan kabupaten-kota menjadientitas-entitas pemerintahan yang terpisah dengan dinamikanya masing-masing.Kendati keduanya bertanggung jawab pada konstituen yang sama (Sudarmo danSudjana, 2009), tidak ada jaminan bahwa gubernur dan bupati-walikota secarapolitik berasal dan ditopang oleh partai yang sama —sebagaimana juga terjadiperbedaan antara partai pemenang Pemilu di lingkup provinsi dan kabupaten-kota. Walhasil, arah gerak pembangunan daerah amat ditentukan oleh visi danmisi —lalu menjadi program kerja— setiap kepala daerah terpilih dan partai pe-menang pemilihan lokal, baik di lingkup provinsi maupun di kabupaten-kota.

Keadaan di atas lebih diperumit lagi oleh kalender pemilihan kepala daerah(Pilkada) provinsi dan kabupaten-kota yang belum tentu berlangsung dalam tem-

12Pengecualian terjadi untuk DKI Jakarta dan DI Jogjakarta yang membentuk dua pola pemil-ihan. Di DKI Jakarta walikota dan bupati serta wakilnya diangkat oleh Gubernur atas pertim-bangan DPRD Provinsi, sedangkan gubernur dan wakil gubernur ditentukan berdasarkan hasilpemilihan langsung (UU 29/2007). Sementara itu, di DI Jogjakarta gubernur diangkat dari garisketurunan Sultan Jogjakarta dan wakilnya dari garis keturunan Paku Alam, sedangkan bupatidan walikota serta wakilnya ditentukan berdasarkan hasil pemilihan langsung (UU 22/2004).

Page 12: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

5

po bersamaan. Ini membuat penyelenggaraan pemerintahan di daerah berjalandalam siklus kalendernya masing-masing. Visi-misi suatu yurisdiksi yang secarapotensial —bahkan juga aktual— berbeda dengan visi-misi yurisdiksi yang laindiimplementasikan dalam siklus pelaksanaan mandat yang berbeda-beda pula.Bahkan, bukan hal aneh jika visi-misi kabupaten-kota digelindingkan dalam in-tensitas dan kecepatan yang berbeda dengan visi-misi provinsi yang menaunginya.Tidak mengherankan jika perbedaan arah gerak pembangunan antarkedua lingkuppemerintahan ini menjadi konsekuensi logisnya. Ini menegaskan lagi kenyataanbahwa masing-masing lingkup pemerintahan berdiri relatif independen satu samalain. ‘Otonomi’ pada kenyataan praktis menjadi ‘independensi’ dalam pengertian‘berjalan tanpa koordinasi’.13

Kedua, khususnya sebelum pemberlakuan PP 19/2010, bangunan hirarkiyang tegas (explicit hierarchy) dalam relasi antara pemerintah provinsi dan pe-merintah kabupaten-kota tidak terbentuk. Sedikitnya, ada ketaksaan (ambiguity)dalam relasi hirarki gubernur dan bupati-walikota itu14 —justru di tengah peranganda yang harus dimainkan oleh gubernur. Di tingkat normatif, pada statusgubernur sebagai kepala wilayah provinsi dengan teritori yurisdiksi yang meliputikabupaten-kota, misalnya, UU 32/2004 (Pasal 2) dengan tegas menyatakan, “Ne-gara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerahprovinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai peme-rintahan daerah.” Tetapi, itu tidak serta-merta menciptakan jenjang tegas di an-tara kedua pemerintah subnasional ini. Dalam kenyataan empirik frasa ‘daerahprovinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai peme-rintahan daerah’ tidak diterjemahkan ke dalam suatu hubungan bertingkat antar-keduanya. Setara itu, status gubernur sebagai ‘wakil pemerintah pusat di daerah’mengalami ketaksaan serupa pula. Undang-undang yang sama (Pasal 37) menye-butkan, “Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pe-merintah di wilayah provinsi yang bersangkutan.” Seharusnya ini berarti peme-rintah kabupaten-kota menjadi subordinat pemerintah pusat melalui ‘wakil’-nyadi provinsi. Walau begitu, ‘wakil pemerintah pusat’ tetap tidak menjadi kenyataanpositif bagi terbentuknya bangunan hirarki di daerah.15

13Pengertian ‘independensi’ ini tidak serupa-sebangun dengan pengertian yang ditemui dalamliteratur tentang seccession —semisal dalam Barktus (1999).

14Ini bermula dari Pasal 4 Ayat 2 UU 22/1999 yang menegaskan ketiadaan hirarki antaraprovinsi dan kabupaten-kota. Kendati UU revisinya tidak lagi secara tegas menyebutkan halitu dan beberapa pasal secara implisit bahkan menyiratkan hubungan hirarkis, di dalam praktek-praktek pemerintahan keseharian spirit kesejajaran hubungan terus terbawa. Kumorotomo (2008)bahkan beranggapan bahwa UU 32/2004 memang mengembalikan hubungan hirarkis provinsi dankabupaten-kota. Lihat diskusi berikutnya pada teks yang dirujuk oleh catatan kaki ini.

15Menarik untuk dicatat bahwa Pasal 122 UU yang sama menyatakan bahwa gubernur —atas

Page 13: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

6

Kerumitan manajerial terjadi ketika gubernur dihadapkan pada tugas (1)pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten-kota, (2) koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah pusat di daerah provinsidan kabupaten-kota, dan (3) koordinasi pembinaan dan pengawasan penyeleng-garaan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten-kota (UU 32/2004,Pasal 38, termasuk turunannya berupa Peraturan Pemerintah 38 dan 50-2007). Disini pembinaan, pengawasan, dan koordinasi ini harus dijalankan di tengah inde-pendensi relatif kabupaten-kota terhadap provinsi dan di dalam ketiadaan relasi hi-rarki provinsi dan kabupaten-kota. Kesulitan gubernur untuk menyertakan bupati-walikota dalam pertemuan-pertemuan tingkat provinsi (Pratikno, 2005) adalahsebuah contoh. Absennya laporan, tembusan laporan, atau bahkan mekanismepelaporan kegiatan bupati-walikota kepada gubernur (Kaloh, 2007) juga meru-pakan contoh kesulitan yang serupa. Kerumitan ini meninggi tatkala gubernurdihadapkan pula pada tugas pemantauan dan evaluasi kegiatan pemerintah pusatyang dilakukan di kabupaten-kota melalui mekanisme Evaluasi PenyelenggaraanPemerintah Daerah (EPPD) berdasarkan perintah PP 6/2008.16

Dapat dikatakan spirit dasar UU desentralisasi itu sendiri telah menciptakanhubungan kesejajaran dan independensi antarlingkup pemerintahan yang selanjut-nya melahirkan kerumitan-kerumitan organisasional di tingkat daerah. Rapat-rapat provinsi yang melibatkan kabupaten-kota bukan hal yang tak lazim terjadi,tetapi ‘daya ikat’ hasil rapat-rapat semacam itu sebagai suatu kekuatan koordinasirelatif longgar. Di Bangka Belitung, sebagaimana pula di provinsi-provinsi lain,rapat-rapat serupa ini merupakan kegiatan reguler tiga bulanan, tetapi efektivitas-nya banyak diragukan. Pertemuan antardinas teknis kedua lingkup pemerintahanpun belum tentu berimplikasi pada pembentukan program kerja yang lebih koordi-natif. Ini terjadi karena kepala-kepala dinas kabupaten-kota harus menghadapkanhasil-hasil pertemuan semacam ini pada otoritas bupati-walikota.

usul bupati-walikota— juga memiliki tugas untuk mengangkat dan memberhentikan sekretarisdaerah kabupaten-kota, tetapi sekretaris daerah ini bertanggung jawab kepada bupati-walikota(Pasal 121). Juga menarik untuk dicatat bahwa sekretaris daerah ini, selain membantu bupati-walikota dalam penyusunan kebijakan, juga memegang tongkat komando koordinasi kerja dinasdan lembaga teknis daerah (Pasal 121) dan tongkat komando koordinasi pembinaan jajaranbirokrasi di daerahnya (Pasal 122). Tetapi, sekali lagi, ini tidak berarti terbangun hubunganhirarkis provinsi dan kabupaten-kota. Ini berbeda dengan sekretaris daerah provinsi yang diangkatoleh presiden dan hubungan hirarkis eksplisit yang terjadi antara pemerintah pusat dan provinsi.

16Selain itu, hal potensial yang segera menjadi aktual adalah tumpah-tindih area kerja. Ditingkat UU, Sudarmo dan Sudjana (2009) mencatat tujuh kesamaan dari 11 urusan wajib dalamUU 32/2004 antara provinsi dan kabupaten-kota yang bermuara pada tumpang-tindih kerjadi tingkat implementasi —kesehatan, pendidikan, lingkungan, kependudukan dan catatan si-pil, pengembangan koperasi dan usaha kecil, pertanahan, serta penanaman modal. Ini terjadimanakala interaksi antara provinsi dan kabupaten-kota minimal.

Page 14: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

7

Secara organisasional tugas-tugas semacam itu akan berjalan jika dua situ-asi dapat terjadi. Pertama, status, peran, wewenang, dan tanggungjawab itudiletakkan dalam bingkai hubungan hirarkis, karena koordinasi, pembinaan danpengawasan, serta pemantauan dan evaluasi yang berbasis hirarki terhitung lebihcost-efficient (Kochen dan Deutsch, 1974). Kedua, peran dan tanggungjawab ituberhimpun dalam kondisi saling-ketergantungan antara pemerintah provinsi dankabupaten-kota, sebab kebutuhan koordinasi, pembinaan dan pengawasan, ser-ta pemantauan dan evaluasi adalah fungsi dari saling-ketergantungan antarunitdi dalam organisasi (Chisholm, 1992). Bagi kepentingan koordinasi, pembinaandan pengawasan, serta pemantauan dan evaluasi, kebutuhan atas hirarki dapatdikatakan sebagai kebutuhan yang bersifat supply-pushed (top-down). Sementaraitu, kebutuhan atas saling-ketergantungan bersifat demand-driven (bottom-up).Saat ini keduanya luput menjadi kenyataan positif dan definitif.

Patut dicatat, dalam perspektif UU 32/2004, status, peran, wewenangdan tanggungjawab provinsi seperti diungkap itu bersifat atributif, sehingga iamelekat pada kedudukan gubernur. Namun, dalam keadaan taksa-jenjang dannir-ketergantungan antara provinsi dan kabupaten-kota, pertanyaan yang laik dike-mukakan ialah bagaimana koordinasi, pembinaan, dan pengawasan, pemantauan,dan evaluasi diimplementasikan? Sejauh ini sejumlah provinsi mengandalkan figurkepemimpinan gubernur yang kuat dan visioner untuk melakukan fungsi-fungsiitu.17 Dalam wacana publik, umpamanya, provinsi Gorontalo acap disebut (per-nah) memiliki gubernur dengan karakter kepemimpinan yang kuat dan vision-er (Lihat, misalnya, Pranadji (2008)). Ini sejalan dengan temuan von Luebke(2009) tentang relasi antara kepemimpinan pemerintah dan mutu tatakelola dae-rah. Ia menunjukkan bahwa mutu tatakelola daerah lebih ditentukan oleh mutukepemimpinan pemerintah (supply-side pressures) daripada tekanan yang munculdari masyarakat (demand-side pressures). Dalam studi itu von Luebke itu me-nerangkan bahwa keadaan ini terjadi karena mutu kepemipinan pemerintah secarapolitik mampu menarik dukungan pemilih.18

Laporan ini tidak memungkiri bahwa karakter kepemimpinan mampu men-jembatani kerumitan-kerumitan organisasional antara provinsi dan kabupaten-kota.Kendati demikian, itu tidak cukup mengingat hingga derajat tertentu kepemim-

17Strategi lain adalah dengan menggunakan kekuatan fiskal. Di sini provinsi menyediakandana khusus bagi kabupaten-kota, khususnya pada sektor-sektor yang mendapat prioritas provin-si. Alokasi dana semacam ini adalah celah yang bisa diterobos untuk membangun harmoniperencanaan dan pelaksanaan pembangunan, yang dimungkinkan oleh Peraturan Menteri DalamNegeri (Permendagri) 13/2006. Melalui alokasi dana ini kesejajaran gerak dan arah pembangunanantara provinsi dan kabupaten-kota dapat dibangun.

18Grindle (2007) untuk kasus di Meksiko juga menjelaskan gelagat serupa mengenai relasikompetisi politik, motivasi kepemimpinan, dan perbaikan mutu tatakelola pemerintah daerah.

Page 15: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

8

pinan galibnya bertumpu pada kapasitas individual sehingga berdayajangkau ter-batas untuk direplikasi antarindividu dan antarwaktu. Replikasi antarindividu akanberhadapan perbedaan karakter antarindvidu. Sementara itu, replikasi antarwaktuberhadapan dengan durasi kewenangan seseorang dalam jabatan pemimpin yangterbatas, sehingga jaminan kesinambungan pada periode kewenangan berikut-nya juga menjadi terbatas. Lagi pula, sifat sebagai issu individual menjadikankepemimpinan bukan sebagai issu struktural-formal —jika tidak dapat dikatakanbersifat ad hoc. Tetapi jika kepemimpinan hendak dijadikan issu yang lebih struk-tural daripada personal, jelas dibutuhkan usaha-usaha yang lebih sistematis —jangka pendek, tengah, dan panjang— untuk melembagakan sistem ke arah pem-bentukan kepemimpinan yang berkarakter kuat dan visioner.

Pertanyaan yang perlu diajukan saat ini adalah ruang apa yang tersediauntuk memaksimumkan status dan peran serta wewenang dan tanggungjawabprovinsi? Inisiatif-inisiatif apa yang bisa dikembangkan di tingkat mikro provinsidan kabupaten-kota selain advokasi bagi revisi UU 32/2004 di tingkat makro?Pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat dikembangkan pula sebagai wacanaantisipasi apabila terjadi revisi dalam aturan yang ada.

Baru-baru ini ada perkembangan menarik tentang respon pemerintah pusatmengenai kedudukan gubernur. Sebuah PP tentang tata cara pelaksanaan tugasdan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, PP 19/2010. Peraturanini dalam banyak hal telah mengakomodasi kerumitan-kerumitan organisasionalyang disebut di depan. Pertama, selain mengatur hubungan koordinatif gubernurdalam penyelenggaraan pemerintahan dengan instansi vertikal dan antarinstasivertikal, PP ini mengatur hubungan koordinatif gubernur dalam penyelenggaraanpemerintahan dengan kabupaten-kota dan antarkabupaten-kota. Kedua, PP jugamengatur hubungan gubernur dalam konteks pembinaan dan pengawasan penye-lenggaraan pemerintahan daerah kabupaten-kota. Ketiga, hubungan gubernurdalam koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuandi provinsi dan kabupaten-kota. Esensi terpenting dalam seluruh hubungan yangdiatur oleh PP ini adalah dinyatakannya bangunan hubungan hirarki yang eksplisitantara provinsi dengan kabupaten-kota. Dalam bangunan hirarki ini, gubernurdiberikan kewenangan untuk memberikan sanksi —dan penghargaan— atas kin-erja serta pelaksanaan kewajiban dan sumpah (janji) bupati-walikota. Mekanismehubungan hirarkis ini mengambil bentuk rapat kerja reguler setiap empat bulanserta rapat kerja yang dijalankan menurut kebutuhan. Rapat kerja reguler di-lakukan bagi kepentingan Musrenbang provinsi serta pemantauan dan evaluasiprogram-program pembangunan. Sementara itu, rapat kerja berbasis kebutuhandiselenggarakan bagi urusan-urusan yang menjadi kewenangan kabupaten-kotaserta issu-issu kerjasama ataupun sengketa antarkabupaten-kota.

Page 16: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

9

Hingga derajat tertentu, PP ini secara potensial mampu memberi sum-bangan pada proses penguatan tatakelola provinsi melalui penegasan status, pe-ran, wewenang, dan tanggungjawab provinsi. Paling sedikit, PP ini terarah padapengembangan sinergi hubungan antarpemerintah dari sisi kebutuhan yang bersi-fat supply-pushed (yakni kebutuhan akan hirarki) dan kebutuhan yang bersifatdemand-driven (kebutuhan berbasis ketergantungan) sebagaimana didiskusikan didepan. Ini mengacu pada apa yang disebut Evans (1996) sebagai ‘kelengkap-an dalam kelekatan’ (complementarity with embeddedness) —suatu hubunganyang saling mendukung melalui pembagian kerja yang jelas dalam bentuk jalinanikatan antarlingkup atau tingkatan pemerintahan yang berbeda. Dalam analo-gi proses produksi, Evans menggambarkan bahwa kelengkapan atau komplemen-taritas adalah dasar bagi interaksi produktif, sementara kelekatan atau embed-dedness berperan sebagai mekanisme untuk merealisasikan potensi bagi keman-faatan bersama (the potential for mutual gain). Dengan perspektif ini penguatantatakelola provinsi dibaca sebagai upaya yang saling mengisi —jadi bukan suaturelasi yang bersifat ‘untung-buntung’ (zero-sum)— antara provinsi dan kabupaten-kota dengan manfaatkan potensi yang ada untuk kemaslahatan bersama. Dalampandangan Ostrom (1996), suatu coproduction synergy lebih dapat tercipta didalam kerangka hubungan yang bersifat komplementaritas daripada substitusi.

Penguatan tatakelola provinsi ini meliputi tiga arena kerja, yakni (1) pem-bentukan kerangka hukum, (2) harmonisasi perencanaan dan penganggaran, ser-ta (3) penciptaan inovasi tatakelola pemerintahan untuk outcome pembangunanyang lebih baik. Dalam pembentukan kerangka hukum, direkomendasikan su-atu seri kebijakan yang lebih mempertegas status dan peran serta wewenang dantanggung jawab gubernur dan pertaliannya dengan pemerintah pusat serta pe-merintah kabupaten-kota. Beberapa varian yang termasuk di dalamnya adalahrevisi UU 32/200419, pembentukan aturan turunannya hingga penyelarasan ketingkat peraturan daerah (Perda), sosialisasi dan advokasi, serta ragam kegiatanterkait. Dalam harmonisasi perencanaan dan penganggaran, integrasi peren-canaan antarlingkup pemerintahan, penguatan partisipasi masyarakat, penetapanorientasi perencanaan pada perbaikan mutu pembangunan manusia dan penu-runan kemiskinan, serta inisiatif-inisiatif yang paralel menjadi rekomendasi lapo-ran ini. Sementara itu, dalam inovasi tatakelola, beberapa ragam inisiatif jugadirekomendasikan, seperti perbaikan kapasitas birokrasi, mutu pelayanan pub-lik, termasuk eksperimen-eksperimen lain yang bisa membangkitkan dan mem-perteguh koordinasi antarlingkup pemerintahan.

19Hingga laporan ini ditulis, proses revisi UU 32/2004 masih berlangsung.

Page 17: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

10

Organisasi Laporan

Spirit laporan ini berada dalam semesta diskusi itu. Ia diarahkan kepada tu-juan untuk mencari, membahas, dan mengusulkan langkah-langkah alternatif yangdapat memaksimumkan status dan peran serta wewenang dan provinsi. Ini di-dasarkan pada kombinasi tiga sumber informasi yang dipakai dalam penyusunanlaporan ini, yaitu (1) lokakarya dan (2) wawancara mendalam dengan pemangku-kepentingan20, serta (3) sumber-sumber sekunder seperti Dokumen Proyek Pe-merintah Indonesia dan UNDP ‘Provincial Governance Strengthening Program’(PGSP), rencana turunannya, dan literatur terpaut.

Secara khusus laporan ini menampilkan deskripsi dan diskusi tentang tigaprovinsi, yakni Gorontalo, Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).Beberapa irisan issu dapat menjelaskan mengapa tiga provinsi ini mendapatkanperhatian tersendiri. Pertama, dari sisi administrasi, Gorontalo dan Bangka Beli-tung adalah provinsi bentukan baru hasil pemekaran di rezim desentralisasi yangdibayangkan menghadapi tantangan manajerial-administrasi yang kurang-lebih seru-pa. Kedua, secara geografis, Bangka Belitung dan NTT adalah ‘provinsi kepu-lauan’21 dengan geografi persoalan pembangunan yang tak jauh berbeda. Keti-ga, dalam perspektif mutu pembangunan manusia, Gorontalo dan NTT beradadi dalam cluster Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang sama. Keempat,provinsi-provinsi ini adalah yurisdiksi yang dekat dengan perbatasan antarnegara—Gorontalo dengan Filipina, Bangka Belitung yang tak jauh dengan Malaysia danSingapura, sedangkan NTT dengan Timor Leste dan Australia— dengan tantang-an geopolitik tersendiri.

Setelah bagian pendahuluan ini, Laporan akan menampilkan perkemban-gan sosial-ekonomi provinsi-provinsi sejak desentralisasi. Ini diikuti diskusi ten-tang ketiga provinsi kasus, sebelum rekomendasi dan lampiran kegiatan untukpenguatan peran provinsi ditampilkan. Sebuah epilog akan menutup laporan ini.

20Lokakarya dan wawancara dilangsungkan pada tanggal 16-20 November 2009 di Gorontalo,30 November 4 Desember 2009 di Bangka Belitung, dan 7-11 Desember di Nusa Tenggara Timur.

21Tentang ‘provinsi kepulauan’ dibahas khusus di bagian-bagian selanjutnya.

Page 18: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

11

Disharmoni Terjadi Sepanjang Masa. . .

Polemik dan konflik antarkepala daerah sering menghantui sepanjang sembilantahun perjalanan Banten menjadi provinsi. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bantenbelum bisa menemukan formulasi yang tepat untuk membina hubungan baik de-ngan kabupaten-kota. Ketidakselarasan itu bisa dilihat dari frekuensi ketidakhadir-an bupati-walikota dalam kegiatan yang dilaksanakan Pemprov Banten. Momentdi mana semua bupati-walikota berkumpul bersama gubernur dalam suatu acarasulit ditemukan, sekalipun dalam sebuah rapat koordinasi.

Hampir setiap tahun, saat penyusunan Rancangan APBD (RAPBD) Banten,polemik antarkepala daerah terjadi. Bupati-walikota kerap mengancam akanmenolak program pemerintah provinsi karena usulan mereka tentang besaran danabantuan tunai tidak terpenuhi. Pertikaian itu terakhir kali terjadi pada Septem-ber 2009 saat Pemprov Banten menyusun RAPBD 2010. Bupati dan wali kotamengancam memboikot semua kebijakan yang dikeluarkan gubernur, karena pem-prov merencanakan menurunkan nilai bantuan keuangan menjadi Rp 5 miliar perkabupaten-kota dari Rp 20 miliar di masa sebelumnya.

Semua kepala daerah yang tergabung dalam Forum Komunikasi Bupati-Walikotase-Banten itu sepakat untuk menolak bekerjasama dengan pemprov dan mem-boikot program pembangunan yang menjadi kebijakannya. Kesepakatan itu dise-rahkan secara resmi dalam bentuk surat kepada gubernur. Selain itu, bupati-walikota pun terkadang tidak segan menunjukkan perlawanan di depan publik.Bupati Serang Taufik Nuriman, misalnya, beberapa kali menolak kebijakan gu-bernur. Pertengahan tahun lalu, dia menolak bantuan keuangan Rp 5 miliar daripemprov untuk pembangunan jalan lingkar Pasar Induk Rau yang pengerjaan di-lakukan tanpa tender.

Lemahnya koordinasi juga terlihat dari banyaknya proyek pembangunan pemerintahpusat ataupun pemprov di kabupaten-kota yang terbengkalai. Selain tak tepatsasaran, proyek pemprov juga sering kali tidak dibutuhkan kabupaten-kota, bahkantak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mantan anggota DPRD Banten asalTangerang, Ansor, membenarkan hal itu. Ia mencontohkan pembangunan RSUDBalaraja yang terbengkalai akibat tarik-menarik kepentingan antara pemprov danPemerintah Kabupaten Tangerang. “Sebenarnya proyek itu didanai pemerintahpusat, tetapi ada tarik-menarik antara provinsi dan kabupaten tetang siapa yangberhak mengerjakan. Tahun 2005 pemerintah provinsi memutuskan membangunproyek itu sendiri, namun akhirnya proyek itu terbengkalai.”

Dicuplik dengan penyesuaian dariKompas, 27 Januari 2010

Page 19: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

12

Senator Bertanya,Kenapa Kepala Daerah ‘Nggak’ Akur

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempertanyakan kurang harmonisnyahubungan gubernur dengan bupati-walikota. “Saat ini hubungan antara pemerin-tah provinsi dan pemerintah kabupaten-kota kurang baik. Para kepala daerahseakan langkah-melangkahi,” kata anggota DPD asal Bangka Belitung (Babel)Tellie Gozeli saat raker dengan Mendagri Gamawan Fauzi di Gedung DPD kemarin.Tellie menduga hubungan tak harmonis antarkepala daerah ini disebabkan olehsistem pemilihan langsung gubernur, bupati, dan walikota. Tellie berharap adalangkah konkret pemerintah pusat untuk menyelesaikan disharmoni ini.

Menanggapi hal itu, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, disharmoni hubungankota itu terjadi karena pemahaman tentang tidak adanya hubungan hirarki antaraprovinsi dengan kabupaten-kota, padahal Pasal 2 Ayat 4 UU 32/2004 menegaskanbahwa adanya hubungan antara provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten-kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Oleh karena pemahamankeliru itu, lanjut Gamawan, pemerintah kabupaten-kota cenderung kurang berke-nan atas pelaksanaan peran Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah dalammelakukan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pe-merintahan kabupaten-kota.

“Kurangnya pemahaman ini mengakibatkan beberapa bupati atau walikotamelakukan hubungan langsung dengan pemerintah pusat tanpa mengindahkanperan koordinasi gubernur. Peran ini seharusnya dilakukan oleh gubernur,” ka-ta bekas Gubernur Sumatera Barat itu. Lebih lanjut dijelaskan, kelemahan utamapelaksanaan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan peme-rintahan kabupaten-kota adalah tidak adanya dukungan anggaran dan perangkatwilayah bagi peran gubernur itu. Untuk mengatasi disharmoni hubungan ini perludilakukan upaya penguatan peran gubernur. Saat ini, katanya, pemerintah tengahmemfinalisasi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaantugas, wewenang dan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayahprovinsi.

Dicuplik dengan penyesuaian darihttp://bataviase.co.id/node/65086

21 Januari 2010

Page 20: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Bab 2

Penguatan Provinsi:Sebuah Kerangka Kerja

Justifikasi

Bab sebelum ini mendiskusikan hal-hal dasar yang terjadi dalam desentralisasidan konsekuensinya. Catatan penting yang diperlihatkan di sana adalah desen-tralisasi telah membawa ruang otonomi yang luas bagi daerah dari segi adminis-trasi, fiskal, dan politik. Ini semua kemudian bermuara pada independensi suatuyurisdiksi atas yang lainnya; tidak hanya antarkabupaten-kota dalam satu provin-si, tetapi juga antara kabupaten-kota dengan provinsi. Seiring itu, desentralisasijuga membawa ketaksaan hirarki antara provinsi dan kabupaten-kota —bahkan se-cara empirik kedua pemerintah subnasional ini memerankan dirinya masih-masingdalam kedudukan yang sejajar. Dengan kata lain, bab lalu mencatat mengapakoordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi oleh provinsisukar terjadi secara optimal. Provinsi berada dalam status, peran, wewenang, dantanggung-jawab yang mengambang, justru di tengah atribusi sebagai wakil peme-rintah pusat di daerah dan kepala wilayah provinsi yang meliputi kabupaten-kota.Hingga tingkat tertentu PP 19/2010 berusaha memperbaiki situasi ini Bab inimemberi justifikasi bagi suatu kerangka kerja mengenai inisiatif untuk penguatanprovinsi.

Sebelum mendiskusikan lebih rinci kerangka kerja penguatan provinsi, bagianawal bab ini lebih dulu membentangkan justifikasi bagi pentingnya suatu status,peran, wewenang, dan tanggung-jawab provinsi yang lebih benderang. Justifikasiini datang dari rentang kendali geografi dan administrasi lebar, yang hampir tidakmungkin dikendalikan oleh satu pengambilan kebijakan yang terpusat. Indone-

13

Page 21: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

14

sia terlalu besar dipandang dari kacamata Jakarta. Dengan luas wilayah yanghampir dua juta km2 dan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, pemerintah pusatharus membagi perhatian berimbang kepada 33 provinsi, yang ibukotanya terben-tang antara 90 hingga hampir 4000 km —atau rata-rata 1259 km— jauhnya dariibukota negara. Ini sulit dilakukan karena satu provinsi melingkupi lima hingga30-an kabupaten-kota, 40 sampai 600-an kecamatan, dan lebih dari 250 hingga8500-an desa. Kata lainnya, pemerintah pusat dituntut untuk membagi perhatianberimbang kepada hampir 500 kabupaten-kota, lebih dari 6000 kecamatan, sertatak kurang dari 75 ribu desa (Tabel 2.1). Kerumitan ini meninggi seturut variasigeografi yurisdiksi subnasional: dataran rendah, pegunungan, dan kepulauan.22

Secara administratif kesulitan juga tak kurang. Kabupaten-kota otonomibaru hasil pemekaran terus terbentuk. Ini meledak dari 314 yurisdiksi saat UU1999 belum dibuat, padahal provinsi yang melingkupinya bertambah sedikit sa-ja. Tambahan pula, pemerintah subnasional memiliki variasi jumlah OrganisasiPerangkat Daerah (OPD) dengan nomenklatur yang juga beragam. Dalam halterakhir ini, kerumitan manajerial terlihat pada implementasi Peraturan Pemerin-tah (PP) 41/2007 tentang OPD. Perumpunan OPD yang berazas ‘miskin struktur,kaya fungsi’ diterjemahkan ke dalam penggabungan beberapa sektor pembangu-nan ke dalam satu dinas daerah. Walau demikian, tidak ada jaminan bahwanomenklatur OPD di kabupaten-kota sama dengan apa yang ada di provinsi.Penting dicatat di sini bahwa perbedaan nomenklatur selalu memiliki implikasimanajemen, administrasi, dan penganggaran searah dengan tugas, pokok, danfungsi (tupoksi) OPD. Dalam limitasi kapasitas birokrasi daerah, situasi ini men-ciptakan kerumitan tersendiri dalam koordinasi.

Rentang kendali yang lebar itu dipersulit oleh fakta ketimpangan antardae-rah yang hampir persisten (Akita dan Alisjahbana, 1995; 2002) dan gelagat kon-vergensi regional tidak terjadi secara siginifikan (Hill et al, 2008; 2009). LuarJawa, lebih khusus lagi di wilayah timur Indonesia, praktis kalah cepat dalamperkembangan sosial-ekonomi dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa atau disisi barat Indonesia. Malahan, empiri menunjukkan bahwa semakin jauh kabupaten-kota dari pusat pengambilan keputusan, semakin buruk kinerja pembangunan yangditampilkannya (Gambar 2.1). Pendapatan per kapita kabupaten-kota relatif ter-hadap pendapatan per kapita domestik (2006) dan IPM (2006) menunjukkangelagat menurun seturut dengan jauhnya jarak dari Jakarta. Tingkat kemiskinan(2006) mencolok ketika ibukota provinsi menjauh dari Jakarta. Sebaliknya, iamemudar saat yurisdiksi kabupaten-kota dekat dengan ibukota negara.

22Dua provinsi yang digambarkan (NTT dan Bangka Belitung) dalam laporan ini menyebutdiri sebagai ‘provinsi kepulauan’.

Page 22: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

15

Situasi di atas diperburuk pula dengan mutu tatakelola ekonomi kabupatendan kota, utamanya kabupaten dan kota yang jauh dari pusat pengambilan kebi-jakan. Panel terakhir Gambar 2.1 memperlihatkan mutu tatakelola ekonomi kabu-paten dan kota yang diukur melalui suatu indeks dalam selang 0-100 (KPPOD,2007) —makin besar indeks, makin baik mutu tatakelola. Indeks ini adalah kom-binasi dari sembilan komponen tatakelola ekonomi, yakni akses lahan usaha dankepastian usaha, izin usaha, interaksi pemda dan pelaku usaha, program pengem-bangan usaha swasta, kapasitas dan integritas bupati-walikota, biaya transaksi,kebijakan infrastruktur daerah, keamanan dan penyelesaian sengketa, serta kua-litas peraturan daerah. Diagram pencar bivariat pada gambar itu menunjukkanbahwa hubungan yang terbalik antara tatakelola dengan jarak dari pusat pengam-bilan kebijakan cenderung terjadi. Ada tanda-tanda bahwa kabupaten-kota yangjauh dari Jakarta tidak mampu menampilkan mutu tatakelola ekonomi yang baik,padahal tatakelola ekonomi merupakan salah satu variabel penting dalam pem-bentukan daya saing daerah.

Dengan juga mengingat faktor lain penentu kinerja daerah,23 fakta ini mem-bawa pesan tentang pentingnya pusat pengambilan keputusan untuk selalu dekatdengan target-target penetapan kebijakan di kabupaten-kota. Seirama dengan ar-gumentasi di atas, ini patut dibaca sebagai upaya memperpendek rentang kendalidari pusat ke kabupaten-kota, karena pemerintah provinsi dapat didudukkan diantara kedua entitas pemerintahan ini. Selain itu, pemerintah provinsi —dilihatsebagai suatu ‘pemerintah di lapis kedua’— dapat memainkan peran sebagai kanalpenghubung antara pemerintah di tingkat pusat dan di kabupaten-kota. Mana-kala ketaksaan hirarki dan independensi provinsi dan kabupaten-kota menjelaskanmengapa koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi tidakberjalan optimal, rentang kendali administrasi dan geografi memberi argumentasibagi pentingnya suatu inisiatif penguatan provinsi untuk menjalankan tugas-tugasitu. Jadi, penguatan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi tidakperlu dipandang dan dirancang sebagai upaya pelemahan atau penggerogotanotonomi kabupaten-kota, tetapi justru harus diteropong sebagai upaya harmo-nisasi relasi provinsi dan kabupaten-kota.

23Ada sejumlah faktor lain yang turut berperan sebagai penjelas capaian daerah. Untuk issuini, lihat, misalnya, Seldadyo, et al (2009).

Page 23: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

16

Tabel 2.1. Provinsi: Besaran dan Jarak 2008Luas JumlahProvinsi Area Kab. Kot. Kec. Desa Pop. Jarak

NAD 57.956 18 5 276 6.424 4.294 1.823Sumatera Utara 72.981 28 8 417 5.855 13.042 1.415Sumatera Barat 42.013 12 7 175 965 4.763 1.067Riau 87.024 9 2 151 1.622 5.189 949Jambi 50.058 9 2 128 1.346 2.788 622Sumatera Selatan 91.592 11 4 217 3.122 7.122 429Bengkulu 19.919 9 1 117 1.438 1.642 531Lampung 34.624 12 2 204 2.365 7.391 191Kep. Bangka Belitung 16.424 6 1 40 360 1.123 458Kep. Riau 8.202 5 2 59 351 1.453 902DKI Jakarta 664 1 5 44 267 9.146 0Jawa Barat 35.378 17 9 620 5.877 40.918 118Jawa Tengah 32.801 29 6 573 8.574 32.626 408DI Yogyakarta 3.133 4 1 78 438 3.469 429Jawa Timur 47.800 29 9 662 8.506 37.095 668Banten 9.663 4 4 154 1.535 9.602 92Bali 5.780 8 1 57 714 3.516 954NTB 18.572 8 2 116 917 4.364 1.054NTT 48.718 20 1 286 2.836 4.534 1.913Kalimantan Barat 147.307 12 2 175 1.868 4.249 747Kalimantan Tengah 153.565 13 1 120 1.51 2.057 1.221Kalimantan Selatan 38.744 11 2 151 1.981 3.447 1.364Kalimantan Timur 204.534 10 4 136 1.42 3.095 1.361Sulawesi Utara 13.852 11 4 150 1.58 2.208 2.131Sulawesi Tengah 61.841 10 1 147 1.733 2.438 1.66Sulawesi Selatan 46.717 21 3 304 2.953 7.805 1.397Sulawesi Tenggara 38.068 10 2 201 2.098 2.075 1.757Gorontalo 11.257 5 1 66 619 972 1.952Sulawesi Barat 16.787 5 0 66 602 1.032 1.658Maluku 46.914 9 2 73 906 1.321 2.845Maluku Utara 31.983 7 2 112 1.062 960 2.614Papua Barat 97.024 9 1 136 1.286 730 3.049Papua 319.036 28 1 368 3.416 2.057 3.773Indonesia 1.910.931 400 98 6579 76.546 228523 1.259Luas (km2). Penduduk (000). Jarak (km; Jakarta-ibukota provinsi; konversi latitude-longitude).Sumber: Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Maret 2009. BPS.

Page 24: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

17

GAMBAR 2.1. Kinerja Kabupaten-Kota dan Jarak terhadap JakartaSumbu tegak pada panel atas kiri dan kanan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dankemiskinan, panel bawah kiri dan kanan adalah nisbah PDRB per kapita kabupaten-kota terhadapPDB per kapita domestik dan tatakelola ekonomi. Sumbu datar adalah logaritma jarak antaraJakarta dengan ibukota kabupaten —diukur dari status latitude dan longitude masing-masing.Berbagai sumber.

Page 25: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

18

Kerangka Kerja

Luasnya rentang kendali administrasi dan geografi memerlukan suatu bangun-an relasi antarentitas pemerintah yang tertentu. Bangunan yang menciptakanhubungan sinergi antara satu entitas pemerintah dengan entitas pemerintah laintampaknya amat relevan. Bangunan ini memetakan status, peran, wewenang, dantanggung jawab setiap entitas pemerintah yang berada di dalamnya, selain jugamenggambarkan bagaimana interaksi antarentitas itu terjadi. Namun demikian,sebelum menapaki diskusi yang lebih jauh tentang bangunan itu, ragam istilahyang dipakai dalam keseluruhan laporan ini, yakni ‘status’ dan ‘peran’ serta ‘wewe-nang’ dan ‘tanggung jawab’, perlu didefinisikan lebih dulu. Laporan ini mendefi-nisikan ‘status’ sebagai posisi relatif suatu entitas pemerintahan yang didiskusikandi antara pelbagai entitas pemerintahan lainnya. Status suatu entitas pemerintah-an dijajarkan dengan ‘peran’ yang dimainkannya, yang dalam hal ini terdefinisisebagai keputusan dan tindakan yang diambil oleh suatu entitas pemerintahandalam posisi relatifnya itu. Jadi, ‘status’ berdimensi statik, sedangkan ‘peran’berdimensi dinamik. Sementara itu, istilah ‘wewenang’ dalam laporan ini dipakaiuntuk menggambarkan kekuasan yang secara legitimate dipegang oleh suatu en-titas pemerintahan, sedangkan ‘tanggung jawab’ adalah beban yang diberikankepada entitas pemerintahan itu yang setimbang dengan kekuasaan legitimate-nya. Berpegang pada pengertian ini, status, peran, wewenang, dan tanggungjawab adalah sebuah frasa tunggal yang tidak terpecah.

Penguatan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi ialahsuatu rancangan inisiatif yang diarahkan bagi pemantapan tugas-tugas koordi-nasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi provinsi yang dipe-rintahkan tegas oleh undang-undang. Apa yang menjadi tantangan dalam inisiatifpenguatan provinsi ini ialah pengembangan suatu sinergi hubungan antarentitaspemerintah. Laporan ini mengikuti Evans (1996) yang membaca sinergi seba-gai suatu ‘kelengkapan dalam kelekatan’ (complementarity with embeddedness)antara pemerintah provinsi dan kabupten-kota —bahkan juga pemerintah pusat.Di sini ‘kelengkapan’ atau ‘komplementaritas’ dikedepankan karena setiap entitaspemerintahan mempunyai tupoksi yang berbeda-beda, tetapi perbedaan ini tidakmenjadikan hubungan antarentitas pemerintah bersifat independen satu sama lain.Sebaliknya, ia justru saling mengisi sehingga satu entitas bergantung dan menjalin-lekat pada entitas yang lain (embedded) untuk mencapai tujuan bersama. Seba-gaimana diungkap sebelumnya, ‘kelengkapan dalam kelekatan’ ini bukanlah suaturelasi yang bersifat ‘untung-buntung’ (zero-sum).

Page 26: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

19

Sketsa Teoritik

Sketsa ini mengadopsi kerangka teori Ostrom (1996) mengenai coproduction—yang bisa dijajarkan dengan complementarity with embeddedness oleh Evans(1996). Berbasis pada teori produksi, Ostrom menyatakan bila sumbangan suatupihak tergantikan sepenuhnya oleh sumbangan pihak lain (strictly substitutable),maka tidak ada potensi apapun untuk membangun suatu hubungan yang sinergis.Sktesa amat sederhana berikut menggambarkan keadaan itu.

Sumbu tegak pada Gambar 2.2 adalah sumbangan provinsi, sementara sumbu datarialah kontribusi kabupaten-kota. Di panel kiri, C1, C2 dan C3 mewakili tiga tingkatcapaian yang dapat direngkuh oleh kombinasi kontribusi provinsi dan kabupaten-kota. Jika kontribusi provinsi seluruhnya dapat digantikan oleh sumbangan darikabupaten-kota, maka tidak ada cara apapun untuk membangun hubungan co-production. Alih-alih, keputusan untuk menghasilkan suatu capaian tertentu akantergantung hanya pada biaya yang dibayar oleh provinsi terbanding dengan biayaoportunitas yang dihadapi oleh kabupaten-kota.

Kabupaten-Kota

Provinsi

A2A1

C1 C2 C3

P2

P1

K1 K2 Kabupaten-Kota

Provinsi

A2A1

C2

C1

(K1,P2)

(K2,P1)

GAMBAR 2.2. Relasi Provinsi dan Kabupaten-Kota

Jika biaya yang dibayar provinsi ini lebih kecil daripada biaya oportunitas yangdihadapi oleh kabupaten-kota —seperti digambarkan oleh garis kendala anggaranA2— maka capaian yang paling efisien terjadi pada saat ia sepenuhnya hanyadigerakkan oleh provinsi. Capaian C2 oleh provinsi diraih dengan mengerahkanseluruh kompetensi dan kapasitasnya.

Page 27: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

20

. . .

Sebaliknya, bila biaya oportunitas yang dihadapi oleh kabupaten-kota lebih mu-rah daripada biaya yang harus dibayar provinsi untuk capaian itu —digambarkanoleh garis kendala anggaran A1— maka capaian yang efisien seluruhnya beradadi tangan kabupaten-kota. Situasi yang digambarkan ini menjadi ‘ini atau itu’(either-or), karena sifat substitusi sumbangan pihak yang satu terhadap yang lain.

Namun, manakala kontribusi provinsi dan kabupaten-kota bersifat saling me-lengkapi (complementary), sebagaimana dipresentasikan oleh panel kanan, capaianterbaik dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumbangan masing-masing pihak,yakni dengan menemukan kombinasi tertentu sumbangan provinsi dan kabupaten-kota. Berbeda dengan keadaan sebelumnya, sekarang potensi untuk melakukansinergi hubungan akan muncul.

Dalam upaya pencapaian C1, menemukan kombinasi sumbangan kedua entitas inilebih dibutuhkan daripada menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada salah satu en-titas semata. Jika biaya oportunitas kabupaten-kota untuk memberikan sumbang-an lebih mahal dibandingkan dengan biaya yang dibayar provinsi —sebagaimanatergambar dalam garis anggaran A1— maka kombinasi sumbangan yang palingefisien yang dapat ditemukan adalah P1 (untuk besaran sumbangan provinsi) danK2 (untuk nilai sumbangan kabupaten-kota). Situasi sebaliknya terjadi untukkombinasi P2 dan K1.

Dalam kondisi seperti tergambarkan itu, hubungan sinergi dalam coproductionatau complementarity with embeddedness tercipta antara provinsi dan kabupaten-kota, karena tidak terjadi kontribusi yang bersifat either-or. Pada saat yang sama,masing-masing entitas memberi sumbangan seturut dengan kapasitas dan kompe-tensinya.

Sumber:Ostrom, Elinor (1996),

‘Crossing the Great Divide:Cooproduction, Synergy, and Development’,

World Development Review, 24(6): 1073-1087.Evans, Peter (1996),

‘Government Action, Social Capital, and Development:Reviewing the Evidence on Synergy’,

World Development, 24(6): 1119-1132.

Page 28: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

21

Pandangan Evans ini sejajar dengan gagasan Ostrom (1996) mengenai ‘co-production’, yang dalam konteks laporan ini diterjemahkan sebagai relasi antaren-titas pemerintahan yang berbeda tetapi masing-masing memberi kontribusi dengantumpuan kompetensi dan kapasitasnya untuk mencapai tujuan yang didefinisikanbersama. Jadi, ‘coproduction’ tidak merujuk pada hubungan di mana setiap en-titas pemerintahan secara terpisah melakukan kegiatan yang sama. Mengambilfondasi dari teori ekonomi mikro, Ostrom menghadapkan konsep komplementari-tas berlawanan dengan substitusi. Dalam hal yang pertama (komplementaritas),terdapat pilihan kombinasi optimum atas sumbangan masing-masing pihak sehing-ga potensi sinergi bisa direalisasikan. Tetapi pada yang kedua (substitusi), situasiyang terjadi bersifat ‘ini atau itu’ (‘either-or ’), sehingga tidak ada manfaat yangbisa dipanen jika coproduction dilakukan. Setara dengan Evans, substitution versiOstrom itu bisa dipandang sebagai peristiwa ‘untung-buntung’. Penting untukdicatat, pilihan atas komplementaritas atau substitusi ini sangat tergantung padasifat atau karakter sumbangan masing-masing pihak, yakni apakah sumbangansetiap pihak tergantikan secara penuh oleh sumbangan pihak lain (strictly subs-titutable) atau tidak. Dalam kenyataan empirik, provinsi dan kabupaten-kotamemiliki kekhasan kompetensi dan kapasitas sendiri-sendiri untuk disumbangkan,sehingga substitusi penuh itu agak mustahil terjadi dan coproduction atau com-plementarity with embeddedness menjadi pilihan efisien.

Pertanyaannya sekarang ialah bangunan organisasi seperti apa yang dapatmengadopsi prinsip-prinsip ini? Sejalan dengan diskusi sebelumnya, sinergi dalamcomplementarity with embeddedness atau coproduction bisa dilakukan melaluipertemuan dua arah antara supply-pushed dan demand-driven. Supply-pushedmerujuk pada kebutuhan pembentukan suatu hirarki antara provinsi dan kabu-paten-kota —jadi ia bernuansa top-down. Hirarki berfungsi untuk memastikanbahwa setiap entitas pemerintahan (provinsi dan kabupaten-kota, bahkan jugapemerintah pusat) berada dalam status, peran, wewenang, dan tanggung jawabmasing-masing. Sebaliknya, setiap status, peran, wewenang, serta tanggung-jawab dipastikan ada pemegang kendalinya. Selazimnya sebuah hirarki, ini semuaberjalan di atas rel yang bersifat commanding, karena suatu entitas pemerintah(dalam hal ini kabupaten-kota) menjadi subordinat yang lain (provinsi). Wal-hasil, relasi yang berbasis hirarki adalah relasi struktural yang di dalamnya provinsimemegang commanding power sebagai atributnya. Walau demikian, mengingatia bernaung di bawah sebuah rezim desentralisasi, commanding power provinsiini tetap tidak dapat menutupi, mendominasi, atau bahkan meniadakan prin-sip otonomi kabupaten-kota.24 Dengan kata lain, di bawah commanding power

24Laporan ini tidak menganggap hirarki dan otonomi sebagai dua istilah yang kontradiktif —kehadiran yang satu meniadakan yang lain— sepanjang commanding power dalam hirarki tidak

Page 29: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

22

provinsi, setiap kabupaten-kota memberi sumbangan bagi pencapaian tujuan yangdidefinisikan bersama sejalan dengan kapasitas otonominya masing-masing.

Sementara itu, demand-drivenmengacu pada kebutuhan saling-ketergantunganantarkedua entitas pemerintahan ini —oleh karenanya ia berwajah bottom-up.Pada relasi yang berdiri di atas kebutuhan saling-ketergantungan, tugas-tugaskoordinasi, pembinaan, pengawasan, serta monitoring dan evaluasi provinsi ataskabupaten-kota tidak dijalankan oleh dorongan yang bersifat commanding, tetapioleh kebutuhan akan pencapaian visi dan tujuan ataupun target bersama di ataskeragaman kapasitas, kompetensi, dan sumber daya. Keragaman kapasitas, kom-petensi, dan sumber daya ini membuat setiap entitas pemerintah saling-tergantung.Ini senada dengan argumentasi Griffin (2008) yang menyebut bahwa semakin tinggisaling-ketergantungan terjadi antarunit organisasi, semakin besar pula kebutuhanakan koordinasi. Jadi alasan pokok bagi kebutuhan akan koordinasi adalah saling-ketergantungan. Jika dalam bangunan hirarkis relasi yang terjadi bersifat struk-tural, dalam bangunan yang bersendi saling-ketergantungan relasi yang terbentukbersifat resiprokal.25 Relasi timbal-balik antarentitas pemerintahan ini tidak lainadalah sebuah bangunan yang didirikan di atas azas complementarity with em-beddedness atau coproduction.

Inisiatif-inisiatif apa yang laik dikembangkan dan eksperimen-eksperimenapa yang bisa dijalankan di atas azas complementarity with embeddedness ataucoproduction adalah pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang penting diajukan bagirancangan penguatan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi ini.Secara keseluruhan inisiatif-inisiatif atau eksperimen-eksperimen kerja yang da-pat diturunkan ke dalam tiga area, yakni (1) pembentukan kerangka hukum dankebijakan bagi penguatan peran provinsi, (2) penguatan proses perencanaan danpenganggaran, (3) penciptaan praktek-praktek tatakelola inovatif. Di dalam tigaarea ini terdapat serangkaian aktivitas yang dijalankan di tingkat nasional dandi tingkat provinsi. Di atas semuanya, pertanyaan paling penting untuk diajukanadalah ke arah mana tiga area penguatan provinsi ini akan berakhir? Sudah barangtentu peningkatan mutu tatakelola provinsi harus terpantulkan secara gamblangpada perbaikan mutu pelayanan masyarakat untuk akhirnya menuju peningkatanmutu pembangunan manusia sebagai ultimate goal-nya.

dipandang dan dijalankan sebagai suatu autocracy.25Teori klasik Thompson (1967) membedakan saling-ketergantungan ke dalam (pooled inter-

dependence), sequential interdependence, dan reciprocal interdependence. Kendati dalam relasiprovinsi dan kabupaten-kota semua bentuk saling-ketergantungan ini dapat terjadi, bentuk yangterakhir —reciprocal interdependence— dipandang lebih sesuai karena setiap unit organisasimemenuhi kebutuhan setiap unit yang lain.

Page 30: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

23

Kerangka Hukum dan Kebijakan

Pembentukan kerangka hukum dan kebijakan dibutuhkan untuk menegaskan ben-tuk relasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten-kota —termasuk juga peme-rintah pusat. Relasi ini paling kurang memuat pembedaan yang tegas dan definitifmengenai status, peran, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing entitaspemerintahan —sehingga tumpang-tindih tentang itu dapat dibawa ke titik ham-pa. Penegasan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab berguna untukmembangun sinergi dengan complementarity with embeddedness atau coproduc-tion antara provinsi dan kabupaten-kota, juga pemerintah pusat. Kerangka hukumdan kebijakan ini mengambil bentuk revisi atas UU 32/2004 dan aturan turunan-nya hingga sinkronisasi dan harmonisasi peraturan daerah di yurisdiksi subnasional.Di antara rangkaian issu yang ada, issu mengenai hirarki eksplisit hubungan antaraprovinsi dan kabupaten-kota relevan ditempatkan sebagai issu sentral dalam revisiitu. Dalam konteks relasi pemerintah pusat dan daerah, kerangka hukum dan kebi-jakan penting untuk mendefinisikan kembali bentuk dan mekanisme dekonsentrasidan tugas pembantuan.

Perencanaan dan Penganggaran

Bersamaan dengan gagasan pembedaan tegas status, peran, wewenang, dan tang-gung jawab provinsi, inisiatif penguatan proses perencanaan dan penganggaranyang mengawinkan prinsip-prinsip top-down dari pusat ke daerah dan bottom-updari daerah ke pusat memiliki justifikasi kuat. Provinsi tidak hanya berperan seba-gai mediating agent, tetapi juga sebagai pemandu dalam koordinasi dan integrasiperencanaan nasional, provinsi, dan kabupaten-kota baik dalam perspektif sektoralmaupun spasial. Tidak pula kalah pentingnya, provinsi menyediakan ruang bagipartisipasi masyarakat sipil dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan.Dipandang sebagai kesatuan pemangku-kepentingan pembangunan yang terinte-grasi, masyarakat sipil —seturut kapasitas dan portofolionya— juga didudukkandalam format sinergi dengan complementarity with embeddedness atau coproduc-tion. Dengan kata lain, integrasi perencanaan dan penganggaran ini diteropongdari tiga sudut: tujuan, proses, dan aktor yang terlibat. Kombinasi relasi berbasishirarki dan relasi berbasis saling-ketergantungan dapat dipakai di sini untuk, mis-alnya, perencanaan dan penanggaran untuk perbaikan pelayanan publik melaluipenetapan standar pelayanan minimum serta peningkatan IPM.

Page 31: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

24

Inovasi Tatakelola

Inisiatif-inisiatif dalam tatakelola mendapat ruang lebar dalam rancangan pe-nguatan provinsi. Ini meliputi pelbagai kerjasama provinsi dengan kabupaten-kotasebagai rangkaian eksperimen untuk membangkitkan relasi saling-ketergantungandi tengah ketaksaan hirarki antarkeduanya di beragam sektor kesejahteraan, ter-masuk pula sektor-sektor prioritas daerah. Sebagai suatu complementarity withembeddedness atau coproduction, eksperimen kerjasama ini ditopang oleh serikegiatan reformasi birokrasi, baik di sisi perangkat lunak (mental-kultural, norma,etika) maupun perangkat keras yang menaunginya (institusi, organisasi). Bersan-dar pada perangkat lunak dan keras ini, reformasi birokrasi ini diletakkan dalamdua perspektif, yakni reformasi yang berorientasi ke dalam (inward orientation)dan yang berorientasi ke luar (outward orientation). Orientasi ke dalam mengacupada tindakan perbaikan efisiensi dan efektivitas kerja di dalam keseluruhan sis-tem organisasi birokrasi, sedangkan orientasi ke luar merujuk pada peningkatanpelayanan birokrasi pada masyarakat luas. Akhirnya, sebagaimana juga di dalamperencanaan dan penganggaran, partisipasi masyarakat sipil menjadi bagian daricomplementarity with embeddedness atau coproduction itu.

Bagian-bagian berikut mendiskusikan ragam usulan kegiatan yang bisa dile-takkan dalam kerangka kerja laporan ini. Usulan-usulan itu dikoleksi dan dipilihdari rangkaian lokakarya provinsi dan wawancara mendalam di tiga provinsi. Ten-tu saja lokakarya provinsi dan wawancara mendalam juga menampilkan ragamusulan kegiatan lain, tetapi di dalam bingkai PGSP —atau juga kerangka kerjalaporan ini— usulan-usulan itu tidak dapat diakomodasi secara memadai. Se-jumlah usulan berada di luar bingkai ini, utamanya karena complementarity withembeddedness atau coproduction antarpihak sukar ditonjolkan. Beberapa yanglain luput untuk masuk dalam rekomendasi akibat kaitan dengan tagline provin-si yang menaunginya gagal didemonstrasikan. Yang lainnya lagi tersingkir sebabia terlalu teknis dan jauh dari issu-issu tatakelola. Dengan demikian, apa yangdisajikan dalam laporan ini adalah rekomendasi yang memenuhi tiga kriteria diatas, yakni (1) berada dalam kerangka complementarity with embeddedness ataucoproduction antarpihak, (2) terpaut kuat dengan prioritas provinsi sehingga iadapat menjadi tagline provinsi, serta (3) bukan kegiatan dengan sifat teknis yangterlalu kental yang membuat bobot tatakelola pudar atau bahkan hilang. Walaubegitu, sebagai bagian dari upaya pendokumentasian, usulan-usulan itu tetap di-inventarisasi di dalam lampiran laporan ini.

Sebagai rangkuman, muara akhir seluruh usulan kegiatan ini adalah tercip-tanya pelayanan masyarakat yang jauh lebih baik dan peningkatan mutu pem-bangunan manusia (Gambar 2.3). Dengan kata lain, penguatan provinsi adalah

Page 32: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

25

jembatan menuju perbaikan pelayanan masyarakat yang berakhir pada perbaikanmutu pembangunan manusia, karena penguatan provinsi patut menghasilkan out-comes yang dapat dirasakan di tingkat masyarakat. Jembatan ini dibangun diatas tiga fondasi, yakni kerangka hukum, perencanaan dan penganggaran, daninovasi tatakelola, yang di dalamnya terdapat untaian kegiatan dua tipe kegiatan,yakni kegiatan-kegiatan yang berlangsung di setiap provinsi dan kegiatan-kegiatanyang menaungi seluruh provinsi sebagai cross-cutting issues. Pendekatan atautitik masuk kegiatan-kegiatan di setiap provinsi bersifat khas yang tergantung pa-da karakeristik provinsi, kendati substansi kegiatan dalam mengambil tema yangserupa sebagaimana dijelaskan di bab-bab setelah ini.

Page 33: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

26

Perbaikan Mutu

(Pembangunan)

Manusia

Peningkatan

Pelayanan

Masyarakat

Penguatan

Peran, Status,

Wewenang, dan

Tanggung Jawab

Provinsi

Kerangka

Hukum

Perencanaan

Penganggaran

Inovasi

Tatakelola

Aktivitas

Tingkat

Nasional

Aktivitas

Tingkat

Nasional

dan Provinsi

Aktivitas

Tingkat

Nasional

dan Provinsi

Gambar 2.3. Kerangka Kerja Penguatan Provinsi

Page 34: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Bab 3

Bangka Belitung:Membangun Sinergi dari Lada

Konteks

Bangka Belitung (Babel) adalah provinsi muda, tapi memiliki sejarah ekonomiyang relatif panjang. Dibentuk oleh UU 27/2000, tak lama setelah reformasipolitik nasional bergulir, Bangka Belitung sejak jaman kolonial diwarnai oleh di-namika ekonomi pertambangan timah dan perkebunan lada. ‘Billiton Maatschap-pij’, sebuah perusahaan Belanda untuk ekplorasi timah, pernah beroperasi di si-ni sejak 1850, sebelum berhenti lebih dari 100 tahun kemudian ketika Indonesiamelakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di akhir 1950-an (Heidhues,1991). Ekonomi lada, kendati awal perkembangannya sukar ditelusuri secara per-sis, juga sering disebut telah menggeliat sejak jaman perdagangan kolonial. Ladaputih Muntok terkenal luas menyaingi lada hitam Lampung dalam perdaganganinternasional selama bertahun-tahun, bahkan mungkin sejak awal abad ke-20.26

Wahid (1996) mencatat bahwa pada tahun 1913 produksi lada dari kedua tempatini memasok sekitar 60 persen produksi lada Indonesia —bahkan, di tahun 1938,pasokan itu mencapat 90 persen.

Ekonomi pertambangan-penggalian dan pertanian-perkebunan —bersamadengan manufaktur dan jasa perdagangan— memang tercatat menjadi penyum-bang utama ekonomi Bangka Belitung. Sejak Bangka Belitung berubah statusmenjadi provinsi, sekitar 40 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di-topang oleh sektor-sektor primer ini, yang di dalamnya juga diisi oleh pendatang

26Ditambah dengan hamparan pantai berpasir putih, Bangka Belitung sering dipandang dalam‘tiga putih’: timah putih, lada putih, dan pasir putih.

27

Page 35: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

28

baru kelapa sawit. Sumbangan sektor manufaktur yang tiap tahun mencapai 20-an persen, tigaperempatnya pun berasal dari sektor logam dasar yang terkait kuatdengan pertambangan-penggalian.27

Namun demikian, lada, sawit, dan timah bukanlah sektor-sektor yang berdiriterpisah. Oleh karena sektor-sektor ini bertumpu pada ketersediaan lahan, dinami-ka di satu sektor bergerak mengikuti perkembangan sektor-sektor lain. Dalamekonomi lada, misalnya, perluasan areal perkebunan sawit maupun penambangantimah harus dibayar dengan penyusutan areal perkebunan lada. Ketika BangkaBelitung baru berdiri sebagai sebuah provinsi, tidak kurang dari 60 ribu hektarlahan dipakai untuk budidaya lada. Tahun 2008, angka ini menyusut setengahnyadengan areal panen yang menciut pula. Produksi pun setali tiga uang. Sekitar 60ribu ton lada mampu diproduksi pada awal 2000-an. Tetapi kemampuan produksiini mengerdil hingga 15 ribu ton menjelang akhir tahun 2000-an. Ekspor jugabegitu. Di awal berdirinya provinsi ini, sekitar 30 ribu ton lada mampu dieks-por. Tahun-tahun berikutnya kemampuan ini menurun cepat hingga ke angka 10ribuan ton. Di tahun 2008, ekspor lada Bangka Belitung hanya 8000-an ton. Dilain pihak, areal sawit rakyat yang di awal 2000-an baru meliputi lahan seluas1000 hektar, di 2008 melonjak begitu tinggi menjadi 24 ribu hektar.28 Ini belummenghitung perkebunan sawit swasta menengah-besar yang juga menunjukkangejala menaik di tengah absennya perkebunan menengah-besar lada.

Beberapa faktor lain juga melincinkan jalan ke arah penyusutan peran lada.Di tingkat pasar, harga komoditas ini berfluktuasi dengan kecenderungan melorotsehingga memberi insentif negatif bagi produksi. Pergerakan tahunannya punbisa berlangsung dalam selang harga yang ekstrim, antara Rp 20.000-100.000 perkilogram.29 Di tingkat produksi, penyakit kuning dan busuk pangkal telah menjadikendala rutin. Monografi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat tentangtanaman lada 14 tahun lalu telah melaporkan dua penyakit yang lazim ditemukan

27Sektor jasa perdagangan juga mengambil porsi besar. Sektor ini memberi andil yang kurang-lebih setara dengan porsi pertanian-perkebunan dalam PDRB. Secara keseluruhan, kendati didalamnya hanya ada satu-dua komoditas dominan, tampaknya ekonomi Bangka Belitung disang-ga oleh tiga kaki yang berdiri relatif imbang: primer, sekunder, dan tersier. Komposisi sedemikianitu sedikit-banyak bisa menjelaskan posisi provinsi ini yang relatif baik dalam dua outcomes pem-bangunan yang paling kentara: mutu pembangunan manusia dan kemiskinan. Indeks Pemba-ngunan Manusia (IPM) tahun 2007 provinsi ini masuk dalam di tersil pertama urutan terakhirdari seluruh provinsi Indonesia dengan 72 poin. Sementara itu, dalam hal kemiskinan BangkaBelitung juga duduk di tersil pertama urutan tengah dengan 16 persen populasi miskin.

28Data sebagaimana dikutip Kompas, 8 Februari 2010, halaman 40. Lihat jugahttp://www.babelprov.go.id/daftar_berita?q=/node/464, dirujuk tanggal 18 Februari2010.

29Kompas, loc.cit.

Page 36: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

29

di Indonesia ini (Mustika, 1996; Manohara dan Kasim, 1996). Kelangkaan tegakanpenopang rambatan tanaman juga menjadi problem lain. Tegakan ini semakinsulit didapat sejalan dengan berkurangnya areal hutan tempat tegakan itu tumbuhdan berkembang. Di tingkat petani, pilihan untuk bergelut menjadi petani ladaharus berhadapan dengan pilihan lain, baik untuk menjadi petani sawit ataupunpenambang timah. Ekonomi sawit memang tengah marak dalam beberapa tahunterakhir ini, sedangkan ekonomi timah menjanjikan kembalian hasil yang jauh lebihcepat.

Bagi Bangka Belitung lada putih Muntok lebih dari sekedar komoditas per-tanian. Jejak sejarahnya yang panjang (dapat) menjadikan lada putih Muntoksebagai ‘flag carrier ’ provinsi ini di kancah internasional. Tampak ada issu po-sitioning —dan bahkan branding— di sini, apalagi jika diingat bahwa BangkaBelitung juga tengah berusaha masuk dalam pasar turisme internasional. Taglineini berperan penting untuk mempertahankan memori pasar. Kendati timah ju-ga dapat memainkan peran yang serupa, ciri alami yang melekat di dalamnyamenjadikan kedua komoditas ini tetap berbeda dalam positioning dan brandingBangka Belitung jangka panjang. Issunya kini adalah melakukan perbaikan, tero-bosan, dan inovasi untuk mengembalikan kejayaan historis lada Bangka Belitung.

Revitalisasi Lada:Titik Masuk ke Penguatan Provinsi

Lada Muntok memang masih ada, tetapi memudar pamornya. Untuk mengatasihal itu, pemerintah provinsi melakukan satu seri kegiatan khusus untuk mengem-balikan pamor lada di bawah tajuk ‘Revitalisasi Lada’.30 Di sisi teknis, ini meliputidistribusi bibit kepada petani di enam kabupaten —Bangka, Bangka Selatan,Bangka Tengah, Bangka Barat, Belitung, dan Belitung Timur. Tetapi ‘Revi-talisasi Lada’ terlalu sempit jika diterjemahkan semata sebagai pembagian bibitgratis kepada petani. Topangan di sisi lain jelas diperlukan. Saat ini, di sisilegal, sebuah tim yang terdiri dari pemerintah provinsi melalui Bappeda serta Di-nas Pertanian dan Perkebunan, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP),Balai Sertifikasi Pengujian Mutu (BSPM), dan Asosiasi Eksportir Lada Indonesia(AELI) tengah menyiapkan dokumen pendukung bagi penerbitan hak paten ataslada putih Muntok. Pematenan lada putih Muntok dapat dibaca sebagai bagiandari geographical indication (GI) mengenai asal, mutu, dan reputasi komoditas,

30‘Revitalisasi Lada’ di Bangka Belitung juga merupakan bagian dari ‘Revitalisasi PembangunanRempah’ di tingkat nasional oleh Departemen Pertanian.

Page 37: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

30

yang dalam kancah perdagangan internasional GI semakna dengan ‘merek-dagang’(trademark) suatu produk buatan.

Masih ada rangkaian kegiatan lain dalam ‘Revitalisasi Lada’ yang tengahdilakukan pemerintah Bangka Belitung, tapi apa yang juga perlu diperkuat di siniadalah penataan sisi kelembagaan (institutional arrangement). Penataan kelem-bagaan adalah upaya memetakan, mendefinisikan, dan menegaskan status, peran,dan tanggung jawab masing-masing pihak, karena setiap pihak memiliki kompe-tensi dan kapasitas berbeda yang secara komplementer dapat dipakai bagi ‘Re-vitalisasi Lada’. Dalam perspektif PGSP, penataan kelembangaan tidak hanyadiletakkan dalam konteks relasi dengan pemangku-kepentingan di ranah swasta(eksportir, pedagang, dan petani), tetapi juga didudukkan dalam konteks siner-gi provinsi dan kabupaten-kota untuk memanggil kembali kejayaan historis ladaMuntok.

Hubungan dengan ranah swasta tidak mungkin diabaikan, karena lada adalahtanaman komersial biasa yang tunduk pada hukum-hukum ekonomi investasi, pro-duksi, dan perdagangan dalam mekanisme pasar. Hubungan semacam ini menun-tut pemerintah untuk siap melakukan debottlenecking atas issu-issu di seputarinfrastruktur kebijakan dan aturan serta infrastruktur fisik. Pada saat yang samadibutuhkan pula pasangan yang sepadan dengan debottlenecking, yakni pencip-taan rangkaian stimulus investasi, produksi, dan perdagangan. Investasi, produk-si, dan perdagangan adalah ranah kompetensi dan kapasitas sektor swasta sejalandengan karakternya. Sementara itu, debottlenecking dan penciptaan stimulusmerupakan ruang kompetensi dan kapasitas pemerintah —karena status, peran,wewenang, serta tanggung jawab yang melekat padanya— untuk melebarkan jalanmasuk bagi investasi, produksi, dan perdagangan.

Di dalam relasi antarjajaran provinsi sendiri ‘Revitalisasi Lada’ bukanlah se-buah area kerja sektor pertanian yang terisolasi, tapi suatu gugus kerja yang sektor-sektor pendukungnya saling melekat dan melengkapi. Bappeda tentu memilikikompetensi dan kapasitas di area pemetaan, penyusunan data, dan perencanaantataruang serta penetapan anggaran. Dinas Perdagangan memiliki kompetensi dankapasitas lain, semisal di area tataniaga pasca produksi dan promosi. Beberapasektor lain tentu tak kurang perannya. Studi-studi kebijakan ke arah penetapanperaturan dan kebijakan daerah tentang lada bisa disebut sebagai contoh lain.Lebih jauh daripada itu, apa yang menarik untuk disimak di sini adalah posisipasar lada putih Muntok di tingkat internasional yang dapat dijadikan sebagaikanal promosi tak langsung bagi pariwisata Bangka Belitung. Ini memperlihatkanbahwa ‘Revitalisasi Lada’ tidak dapat dipandang dan diperlakukan secara soliter,karena kaitan antarsektor amat tegas terlihat di sini.

Page 38: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

31

Dalam relasi provinsi dan kabupaten-kota ‘Revitalisasi Lada’ berhadapandengan soal-soal di tingkat lapangan —di ranah kompetensi dan kapasitas kabupa-ten-kota. Pasokan atau balikan (feed-back) informasi dari dan implementasikebijakan di tingkat lapangan adalah contoh-contoh kompetensi dan kapasitaskabupaten-kota. Bagaimanapun, lada diproduksi dari kabupaten-kabupaten, se-hingga pelibatan kabupaten bukan hanya diperlukan, tapi justru melekat secaraatributif dalam status, peran, wewenang, dan tanggung jawab kabupaten. Se-mentara itu, provinsi pada dirinya juga melekat kapasitas dan kompetensi sendiriyang khas. Provinsi dalam ‘Revitalisasi Lada’ sebagai tagline Bangka Belitung di-tuntut untuk menjalankan tugas-tugas koordinasi, pembinaan, pengawasan, sertamonitoring dan evaluasi. Apa yang sekali lagi terlihat di sini adalah penataankelembagaan membutuhkan penciptaan sinergi atas status, peran, dan tanggungjawab berdasarkan kompetensi dan kapasitas masing-masing pihak.

Diteropong melalui kerangka kerja laporan ini, ‘Revitalisasi Lada’ adalah se-buah model eksperimentasi mengenai penguatan tatakelola provinsi dalam bingkaicoproduction atau complementarity with embeddedness, karena ia melibatkan pel-bagai ragam, sektor, dan tingkatan pemangku-kepentingan —pemerintah provin-si, kabupaten-kota, dan swasta— dengan kompetensi dan kapasitasnya masing-masing. ‘Revitalisasi Lada’ dapat ditilik sebagai sebuah exercise untuk mendefi-nisikan, merencanakan, dan mengorganisasikan tujuan-tujuan yang ditetapkanbersama. Dengan kata lain, ini merupakan noktah masuk ke arah pemantapanfungsi-fungsi provinsi yang lebih luas, seperti koordinasi, pembinaan, dan peng-awasan serta monitoring dan evaluasi.

Lebih dalam lagi, mengingat kaitannya dengan kompetensi dan kapasitas,penataan kelembagaan jelas perlu disokong oleh kegiatan pemetaan dan pengem-bangan dua elemen itu —sebelum penyusunan bentuk dan bangunan relasi orga-nisasional dilakukan. Dalam konteks laporan ini, kompetensi institusional dilihatsebagai area kewenangan dan tanggung jawab yang bersifat atributif pada statusdan peran suatu institusi, baik karena alasan-alasan legal-formal maupun karak-teristik khas inherent yang ada pada suatu institusi. Pada basis legalistik formal,umpamanya, pemerintah secara umum memiliki kompetensi dalam penyusunankebijakan dan menyelenggarakan fungsi-fungsi turunan dari kebijakan itu. Sektorswasta, sebagai contoh lain, karena karakteristik inherent-nya memiliki kompe-tensi dalam investasi, produksi, dan perdagangan. Hal senada secara khusus jugabisa ditelusuri pada kompetensi pemerintah provinsi dan kabupaten-kota ataupunorganisasi masyarakat sipil.

Laporan ini juga memandang kapasitas sebagai kemampuan substansial,manajerial, dan teknikal suatu institusi untuk menjalankan kompetensinya itu. Ini

Page 39: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

32

berarti kompetensi menyaratkan suatu tingkat kapasitas tertentu untuk dipenuhi.Berdasarkan acuan ini, pemetaan kompetensi dan kapasitas institusional diper-lukan untuk mempertelakan institusi-institusi yang terlibat berdasarkan area kewe-nangan dan tanggung jawab serta kemampuan substansial, manajerial, dan teknikalmasing-masing institusi. Jadi, langkah pertama penataan kelembagaan adalahpemetaan kompetensi dan kapasitas institusional setiap pihak yang berpotensiuntuk terlibat.

Dalam banyak keadaan, kekurangan kapasitas untuk menjalankan suatukompetensi merupakan issu-issu riil yang senantiasa muncul. Oleh karena itu, su-atu kegiatan pengembangan kapasitas diperlukan sebagai langkah lanjut dalam pe-nataan kelembagaan. Pengembangan kapasitas adalah suatu cara untuk memper-baiki dan meningkatkan kemampuan substantif, manajerial, dan teknis —juga takkalah penting: mentalitas— untuk menjalankan kompetensi yang melekat dalamorganisasi. Ini dijalankan di bawah rujukan peta kompetensi dan kapasitas yangperlu diproduksi lebih dulu, sehingga anasir kapasitas apa dan di dalam organi-sasi mana secara persis bisa disasar. Walau demikian, pengembangan kapasitastidaklah bersifat statis, karena seturut waktu tantangan kompetensi yang dihadapiberkarakter dinamis. Dalam suatu masa kapasitas tertentu dianggap cukup un-tuk menjawab tantangan kompetensi saat itu. Namun, searah dengan perjalananwaktu, ragam, keluasan, dan kedalaman persoalan pembangunan berubah, sehing-ga tuntutan kompetensi juga berubah. Tahun 2006, misalnya, studi PSKK UGMmemetakan posisi indeks tatakelola keseluruhan Bangka Belitung di kisaran angka0,41 yang sejajar dengan Papua tapi jauh berada di bawah provinsi baru Gorontalo(0,53). Ini meliputi indeks partisipasi, transparansi, pengendalian korupsi, efektiv-itas pemerintah, rule of law, kapasitas menyampaikan aspirasi, kualitas peraturandaerah, dan stabilitas politik.31 Tetapi, saat wawancara dan lokakarya dilakukanpada akhir 2009, sejumlah narasumber melaporkan bahwa telah terjadi perbaikanberarti pada beberapa dimensi tatakelola. Dengan kata lain, pengembangan ka-pasitas bukanlah sebuah one-spot action, tetapi suatu tindakan terencana denganimplementasi yang reguler.32

Selanjutnya adalah pemilihan bangunan relasi antarpihak. Dalam diskusidi muka laporan ini dua pilihan tersedia, yakni apakah suatu bangunan hirarkisperlu dibentuk atau bangunan berbasis saling-ketergantungan yang perlu didirikan.Pilihan-pilihan ini sendiri bersifat lokal. Maksudnya ialah eksperimen-eksperimenapa yang dianggap efektif bagi pencapaian tujuan akan ditentukan secara lokal,

31http://kemitraan.or.id/governance-center/governance-report/launching-governance-assesment-2006/

32Tahun 2008 sebetulnya Kemitraan juga mengeluarkan indeks sejenis, tetapi secara metodolo-gi survey 2006 dan 2008 tidak dapat dibandingkan.

Page 40: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

33

karena pilihan apapun yang diambil prinsip-prinsip coproduction selalu bisa di-terapkan. Pembedanya terletak pada sifat interaksi antarpihak, yakni apakahdiinisiasi oleh suatu commanding power tertentu atau kesadaran akan kebutuhaninteraksi. ‘Dewan Lada’ tampaknya relevan dijadikan titik simpul bangunan relasiantarpihak ini.

Penataan kelembagaan menjadi lebih lengkap manakala masyarakat sipildilibatkan secara aktif. Tujuannya ialah untuk membangun kontrol atas mandatpolitik yang telah diberikan. ‘Revitalisasi Lada’ —atau program apapun— beradadi bawah payung mandat politik yang diberikan oleh publik kepada penyeleng-gara pembangunan. Organisasi masyarakat sipil dapat memainkan peran dalammewakili, menjembatani, dan membuka akses bagi publik untuk memantau, me-nilai, serta memberi pendapat atas proses pembangunan yang tengah berlangsung—salah satu dimensi democratic governance. Tentu saja organisasi masyarakatsipil akan berhadapan juga dengan issu kompetensi dan kapasitas. Oleh kare-nanya, pemetaan —yang lalu diikuti oleh pengembangan— kompetensi dan ka-pasitas masyarakat sipil tetap menjadi bagian penting dalam keseluruhan prosespenataan kelembagaan.

Akhirnya, secara keseluruhan ‘Revitalisasi Lada’ penting dinyatakan bukanhanya sebagai pembangunan agribusiness semata yang mencakup kegiatan-kegiatanteknis di garda pra-produksi, produksi, dan pasca produksi, tetapi mencakup ju-ga kegiatan-kegiatan penataan dan pengembangan di garda kelembagaan. Se-cara khusus, PGSP lebih sesuai untuk memberi perhatian pada hal yang terakhir.Penataan dan pengembangan kelembagaan dalam ‘Revitalisasi Lada’ dalam per-spektif PGSP adalah sebuah noktah eksperimen bagi inisiatif-inisiatif penguatanprovinsi yang lebih luas, seperti koordinasi, pembinaan, pengawasan, serta moni-toring dan evaluasi.

Page 41: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

34

‘Revitalisasi Lada’ untuk Penguatan Provinsi

‘Revitalisasi Lada’ adalah sebuah kegiatan pembangunan agribisnis yang mencakupkegiatan-kegiatan teknis di garda pra-produksi, produksi, dan pasca produksi. Padasaat yang sama, ‘Revitalisasi Lada’ membutuhkan dukungan di sisi kelembagaan,karena ini dapat dijadikan noktah masuk bagi tugas-tugas koordinasi, pembinaan,pengawasan, serta evaluasi dan monitoring yang lebih luas. Dalam perspektifpenguatan provinsi, ‘Revitalisasi Lada’ adalah sebuah eksperimen pengembanganrelasi kelembagaan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten-kotadan pemerintah pusat, termasuk juga dengan kalangan swasta dan masyarakatsipil.

Penataan kelembagaan ‘Revitalisasi Lada’, dalam perspektif penguatan provinsi,didefinisikan dalam tiga kelompok kegiatan:

1. Pemetaan kompetensi dan kapasitasPemetaan kompetensi dan kapasitas adalah upaya untuk mempertelakaninstitusi-institusi yang terlibat dalam ‘Revitalisasi Lada’ berdasarkan areakewenangan dan tanggung jawab serta kemampuan substansial, manajerial,dan teknikal masing-masing institusi.

2. Pengembangan kapasitasPengembangan kapasitas adalah cara untuk memperbaiki danmeningkatkan kemampuan substantif, manajerial, dan teknis untukmenjalankan kompetensi yang melekat dalam organisasi di bawah rujukanpeta kompetensi dan kapasitas yang dihasilkan.

3. Pengembangan aturan dan kebijakanPengembangan aturan dan kebijakan pemerintah adalah tindakan untuk (a)menciptakan rangkaian stimulus dan (b) melakukan debottlenecking atasissu-issu penghambat pergerakan investasi, produksi, dan perdagangan.

Suatu seri kegiatan yang terencana dan definitif perlu disusun untuk menjabarkanpenataan kelembagaan ‘Revitalisasi Lada’ di tingkat praktis. Kelemahan dan keku-atan ataupun kegagalan dan kesuksesan penataan kelembagaan dalam ‘RevitalisasiLada’ kelak dapat dimanfaatkan sebagai pelajaran penting bagi kegiatan multi-stakeholder di sektor lainnya. Perbaikan IPM dan penerapan standar minimumpelayanan publik adalah kegiatan multistakeholder di sektor lain yang dapat di-jadikan contoh.

Page 42: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Bab 4

Gorontalo:Integrasi Datauntuk Penguatan Provinsi

Konteks

Dibentuk lewat UU 38/2000 Gorontalo dengan sigap membangun dan mengem-bangkan sejumlah terobosan kelembagaan melalui beberapa seri kebijakan danpenganggaran. Sebagai yurisdiksi baru, Gorontalo mengelola momentum desen-tralisasi dengan meletakkan tatakelola pemerintahan sebagai salah satu issu sen-tral pembangunan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika capaian indekstatakelola Gorontalo, sebagaimana dilaporkan oleh Kemitraan (2008)33, mampubertengger di atas rata-rata provinsi lain se-Indonesia, yakni 5,5 berbanding den-gan 5,1.

Dipayungi oleh visi sebagai ‘Provinsi Inovasi’, paket-paket pemugaran danpembaruan tata-kelola pemerintahan digelindingkan secara serial. Pembuatan sis-tem insentif (‘Tunjangan Kerja Daerah’, TKD) berbasis kinerja bagi birokrat yangdilengkapi dengan instrumen penilaian kinerja adalah sebuah contoh. Penataanorganisasi pemerintahan dan penghapusan retribusi daerah34 (Muhammad, 2008)bisa disebut sebagai contoh-contoh yang lain.

Apa yang menarik dalam hal ini adalah inovasi-inovasi itu dilakukan di atasdasar observasi dan analisis yang memadai. Tunjangan Kerja Daerah, misalnya,

33http://www.kemitraan.or.id/govindex/34Tak kurang dari 15 jenis retribusi kini ditetapkan bertarif nol rupiah. Tetapi ini tidak berarti

sebagai langkah pencabutan perda, karena substansi aturan yang ditetapkan masih relevan.

35

Page 43: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

36

ditelurkan berdasarkan pengamatan mengenai kinerja birokrasi dan besaran renu-merasi yang ada (Muhammad, 2008).35 Contoh lain adalah penetapan sasaranpembangunan mutu manusia yang mengacu pada peta IPM dengan disagregasikabupaten-kota dan kecamatan. Peta ini berisi status mutu pembangunan manu-sia dengan elaborasinya di dalam sektor pendidikan dan literasi, kesehatan, sertakehidupan yang layak (Bappenas dan Pemprov Gorontalo, 2010). Peta lain menge-nai kapasitas 10 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan provinsijuga telah berhasil dibuat. Peta ini berisi tujuh issu pokok, yaitu sumber dayamanusia, organisasi, keuangan, kepemimpinan, koordinasi, akuntabilitas, sertapengetahuan dan keterampilan, yang dihadapkan pada empat kapasitas fungsionalpemerintah provinsi, yakni perumusan visi atau orientasi kebijakan, perencanaandan penyusunan program, implementasi, serta monitoring dan evaluasi (Surya-ningrat dan Dewi, 2010).

Peta, observasi, dan analisis persoalan pembangunan sebagaimana digam-barkan di atas senantiasa merujuk pada kebutuhan akan ketersediaan, kelengkap-an, dan aksesibilitas, serta mutu data sebagai fondasi penting bagi perencanaandan pengambilan keputusan kebijakan. Kebijakan tanpa data akan kehilangan arahkarena data memainkan empat fungsi. Pertama, data berfungsi untuk menggam-barkan posisi masa lalu dan masa kini, serta kecenderungan pergerakan ke arahmasa depan. Di sini data berperan sebagai tongkat pembimbing yang memberikanarah bagi pengambilan keputusan. Kedua, data bisa dipakai untuk memotret per-soalan dan melihat potensi penyelesaiannya. Ini karena data menyajikan gambaransituasi yang terukur dan dapat dikalkulasi.

Ketiga, sifatnya yang terukur dan dapat dikalkulasi membuat data jugabermanfaat bagi penyedia pegangan atas pilihan-pilihan kebijakan, selain mene-tapkan urutan dan menentukan prioritas kebijakan yang perlu diambil. Pada saatyang sama, keempat, data juga memainkan peran dalam memilih dan memilahsasaran kebijakan. Sasaran kebijakan ini bisa berupa wilayah spasial, wilayahadministratif, ataupun rumah tangga yang berada dalam cluster geografi terten-tu. Dalam konteks inilah data lebih dari sekedar angka-angka, karena ia beradadalam kedudukan penting bagi kegiatan-kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pe-mantauan, dan evaluasi pembangunan.

Di tingkat daerah data dengan spesifikasi tertentu juga menjadi kebutuhanyang tak terelakkan. Di tengah regim tatakelola yang terdesentralisasi,36 dae-

35Tunjangan Kerja Daerah ini memuat dua kelompok komponen, yakni disiplin dan prestasikerja. Sejak dikenalkan pada tahun 2004, bobot komponen prestasi kerja terus ditingkatkanrelatif terhadap komponen disiplin. Pada 2007, misalnya, porsi komponen prestasi kerja telahmengambil porsi 60 persen dalam penilaian kinerja birokrasi. Lihat, Muhammad (2008).

36Hull (2001) mencatat kekhawatiran dalam sistem perstatistikan nasional yang dihadapkan

Page 44: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

37

rah memiliki target-target pembangunan tertentu yang berbeda satu sama lain.Akibatnya, jenis, cakupan, dan kedalaman data serta intensitas pengumpulan dataamat bergantung pada dinamika kebutuhan data dan dinamika pembangunandaerah. Hingga derajat tertentu, spesifikasi seperti itu membuat karakteristikdata di tingkat daerah berbeda dengan karakteristik data di tingkat nasional. Ditingkat nasional jenis, cakupan, dan kedalaman data serta intensitas pengumpulandata harus terbakukan (standardized) dan terbanding (comparable) antardaerah,tetapi di tingkat daerah keunikan bisa dan patut dimunculkan. Walau begitu, initidak dapat dan tidak perlu berarti bahwa pengembangan sistem data di tingkatdaerah mengabaikan kebutuhan data di tingkat nasional, utamanya pada jenisdata yang terbakukan dan terbanding itu.

Lebih lanjut, setara dengan dua kebutuhan di atas itu adalah kebutuhanakan disagregasi data. Data yang terdisagregasi patut menjadi keunggulan sistemdata di tingkat daerah. Sama seperti jenis, cakupan, kedalaman, dan intensitaspengumpulan data, disagregasi ini membedakan karakterisitik data di tingkat dae-rah untuk kebutuhan pembangunan daerah dengan karakterisitik data di tingkatnasional. Ini berarti sistem data di tingkat daerah bukanlah duplikasi dari apayang ada di tingkat nasional. Disagregasi ini dapat disusun menurut strukturyurisdiksi administrasi pemerintahan —kabupaten-kota, kecamatan, hingga desadan dusun— atau menurut struktur spasial tertentu, bahkan rumah tangga byname and by address. Disagregasi data amat membantu proses pengambilankebijakan untuk menetapkan dan menajamkan sasaran ke arah yang jauh lebihspesifik seiring dengan persoalan yang dipresentasikan oleh data itu.

Dari segi permintaan, tiga kebutuhan yang disebut di atas bersifat riil, uta-manya bagi SKPD provinsi dan kabupaten-kota sejalan dengan tupoksinya. Darisegi penawaran, kebutuhan ini bukan tidak bisa dipasok, karena sumber datasesungguhnya ada atau bisa dibangkitkan dari masing-masing SKPD provinsi dankabupaten-kota. Persoalannya saat ini adalah bagaimana mengintegrasikan duakebutuhan yang pertama —yakni (1) ketersediaan, kelengkapan, aksesibilitas, danmutu data dan (2) jenis, cakupan, kedalaman, dan intensitas pengumpulan data—dengan kebutuhan yang terakhir untuk penetapan sasaran kebijakan. Dikawinkandengan sektor yang mendapat prioritas provinsi, inisiatif integrasi data ini menjadisemakin justified.

Di Gorontalo sektor-sektor pertanian dan pendidikan mendapat tempat pen-ting dalam agenda pembangunan daerah. Di sektor pertanian pangan, misalnya,

pada issu desentralisasi khususnya manajemen data Badan Pusat Statistik (BPS) di pusat dandaerah. Tetapi pembangunan sistem data daerah dalam diskusi ini berada di luar konteks itu.Sistem data daerah dalam diskusi ini adalah sistem data yang unik bagi kebutuhan daerah.

Page 45: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

38

suatu sistem data spesifik, umpamanya, tentang kewaspadaan pangan yang meng-integrasikan produksi, konsumsi, surplus atau defisit pangan dengan disagregasiyang rinci hingga unit makro (wilayah) maupun mikro (rumah tangga) merupakan‘peta status pangan’ yang penting bagi pengambilan kebijakan. Pangan memilikitautan kuat dengan kemiskinan —pengeluaran pangan masih mendominasi totalkebutuhan rumah tangga miskin. Di Gorontalo, kendati banyak kemajuan telahdicatat, kemiskinan masih relatif persisten. Provinsi ini masih berada di kuantilbawah provinsi-provinsi dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Di sektor pendidikan Gorontalo juga masih menghadapi masalah serius.Di banyak indikator pendidikan Gorontalo berada di lapis bawah capaian pen-didikan se-Sulawesi atau se-Indonesia. Di dalam Gorontalo sendiri disparitasantarkabupaten-kota dalam hal lama sekolah, partisipasi sekolah, putus sekolah,infrastuktur pendidikan, atau akses pada pendidikan juga terjadi. Informasi sepertiini membutuhkan pemutakhiran yang reguler. Pada saat yang sama, indikator lainataupun indikator baru yang belum pernah ada perlu disusun mengikuti kekhasandan dinamika kebutuhan setempat. Indikator tentang karakteristik, ketersediaan,dan distribusi tenaga pendidik laik mendapat catatan khusus. Informasi tentangtenaga administrasi pendidikan juga tak kalah penting. Bahkan, record mengenaikualitas infrastruktur sekolah yang tidak ditangkap oleh sistem data yang lazimada sekarang perlu mendapat aksentuasi tersendiri. Dengan demikian, suatu sis-tem data yang membeberkan secara rinci kondisi pendidikan amat membantupenyusunan kebijakan di sektor ini. Lokakarya dan wawancara pada November2009 di Gorontalo meletakkan integrasi data sebagai kebutuhan setempat.

Integrasi Data:Menuju Penguatan Provinsi

Gagasan integrasi data ini harus dibaca sebagai hubungan coproduction antarpihakpemegang kompetensi dan kapasitas atas data di sektor-sektor itu —pertanianpangan dan pendidikan. Hubungan ini tercipta dari inisiatif-inisiatif kegiatan untukmencapai tujuan yang didefinisikan bersama. Serupa seperti ‘Revitalisasi Lada’ diBangka Belitung, ini adalah sebuah eksperimen yang dapat dijadikan titik masukbagi tatakelola provinsi yang lebih luas. Di dalam sektor-sektor yang terpetakansecara baik, inisiatif integrasi data adalah miniatur peta hubungan antarpihakdalam konteks penguatan provinsi.

Apa yang dibutuhkan di sini, di tingkat awal, adalah identifikasi para pihakdengan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing. Identi-

Page 46: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

39

fikasi para pihak ini adalah cara untuk memetakan lengkap seluruh pemangku-kepentingan berdasarkan kompetensi dan kapasitasnya. Merujuk pada posisi ataustatusnya, peran, wewenang, dan tanggung jawab didistribusikan dalam formatyang tidak mutually exclusive. Ini artinya satu pihak tidak kehilangan eksistensidan keterlibatannya akibat kehadiran pihak lain, tetapi menjalin-lekat (embedded)sebagai suatu hubungan complementary. Bahasa yang sejajar dengan itu di lapo-ran ini, ialah coproduction dalam kekhasan setiap pihak yang tak tergantikan olehpihak lain.

Sektor yang menjadi pusat perhatian —dalam hal ini pertanian pangan danpendidikan— berdiri di garda depan. Secara organisasional sektor-sektor ini dire-presentasi oleh dinas-dinas terpaut, yakni Dinas Pertanian serta Dinas Pendidikan,Pemuda dan Olahraga. Badan Pusat Statistik sudah barang tentu berada dalamstatus, peran, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda tetapi sama pen-tingnya. Bappeda juga tak kehilangan ruang, karena dirijen perencana kebijakandaerah selalu berkepentingan pada data. Dalam kompetensi dan kapasitasnyamasing-masing, organisasi-organisasi ini tidak hanya bernaung di lingkup yurisdiksiprovinsi, tetapi juga berdiri tegak di lingkup kabupaten-kota. Dengan kata lain,kabupaten-kota adalah juga pemain utama dalam integrasi data yang tak kalahpenting. Dikembalikan pada kerangka kerja yang dibangun sejak awal, ini adalahmodel penguatan provinsi yang mendudukkan kabupaten-kota dalam bangku yangstrategis.

Mengingat sistem data yang digagas bersifat spesifik, identifikasi mengenaistatus, peran, wewenang, dan tanggung jawab para pihak juga harus spesifik. Spe-sifikasi itu tertuang dalam tiga kebutuhan yang disebut di depan, sehingga iden-tifikasi ini perlu dirancang sedemikian rupa untuk mampu menjawab siapa dalamkompetensi dan kapasitas apa berurusan dengan (1) ketersediaan, kelengkap-an, aksesibilitas, dan mutu data, (2) jenis, cakupan, kedalaman, dan intensitaspengumpulan data, serta (3) disagregasi data untuk penetapan sasaran kebijakan.Hasil dari identifikasi ini adalah sebuah peta kompetensi dan kapasitas para pihakyang mampu menjawab tiga kebutuhan itu. Gorontalo diuntungkan karena tin-jauan atas kapasitas umum (10) SKPD pernah diinisiasi (Suryaningrat dan Dewi,2010). Untuk memenuhi kebutuhan aktor-aktor terpaut yang lebih spesifik lagi,aktivitas sejenis dengan penajaman khusus tampak relevan di sini.

Terlepas dari hal-hal teknis —penyiapan infrastruktur pengumpulan danpenyimpanan data— yang berada di luar bingkai PGSP, langkah lanjut pascaidentifikasi spesifik mengenai kompetensi dan kapasitas para pihak adalah pengem-bangan kapasitas. Ada banyak definisi mengenai apa yang disebut pengembangankapasitas (Lusthaus, Adrien, dan Perstinger, 1999). Tetapi, sama seperti pengem-

Page 47: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

40

bangan kapasitas di Bangka Belitung, pengembangan kapasitas di sini didefi-nisikan sebagai upaya mendekatkan kemampuan substantif, manajerial, dan tek-nis —juga mentalitas— setiap pihak dengan kompetensinya masing-masing, baikkarena kompetensi yang tertuang secara legal-formal maupun karena karakteristikyang melekat padanya.

Dalam banyak praktek pembangunan, pengembangan kapasitas cenderungbersifat ad hoc dan minor. Akibatnya, ia tidak masuk dalam circle utama program-program reformasi birokrasi, selain tak bersinambung secara terencana denganukuran-ukuran target yang jelas. Oleh karena itu, ia perlu diimbangi oleh penge-tahuan mengenai dinamika eksternal untuk terus-menerus diakomodasi ke dalamorganisasi di tingkat internal. Dalam perspetif Lusthaus, Adrien, dan Perstingerdi atas, pengembangan kapasitas dibaca sebagai suatu iterative framework. Iniartinya apa yang berubah dapat dipantau dan direspon untuk dilakukan penye-suaian kapasitas secara sinambung.

Berikutnya adalah menetapkan arsitektur hubungan antarpihak. Arsitekturini adalah rupa yang tampak dalam hubungan antarpihak, yang diturunkan daritujuan dan kebutuhan bersama. Sepanjang relasi coproduction bisa dijamin, pili-han arsitektur organisasi yang berbasis hirarki atau berbasis saling-ketergantunganakan tergantung pada perspektif setempat. Tetapi suatu simpul bagi relasi an-tarpihak yang terlibat menjadi bagian kunci dari arsitektur ini, karena di sanalahintegrasi data bermuara. Tentu saja mengingat ini merupakan relasi coproductionantarpihak, dukungan di basis legal senantiasa dibutuhkan untuk menjamin inter-aksi antarpihak dan kelancaran aliran informasi yang digelindingkannya. Walaubegitu, selain bersifat sebagai penjamin, dukungan di basis legal dapat pula bersi-fat imperatif bagi para pihak yang terlibat —yang sudah barang tentu dijajarkandengan kompetensi para pihak itu sendiri.

Di bawah payung tatakelola yang demokratis dan transparan, keterlibatanmasyarakat sipil bukan hanya tak terelakkan tetapi juga menjadi bagian yanginherent. Dalam issu kewaspadaan pangan atau pendidikan, sebagai sektor-sektoryang dipilih bagi eksperimen integrasi data ini, masyarakat sipil adalah watchdog yang cakap. Sebagai narasumber bagi verifikasi data, masyarakat sipil —utamanya dari kalangan akademik (universitas), think tank groups, pengamatdan peneliti, kelompok advokasi, atau bahkan khalayak pengguna umumnya—merupakan watch dog yang mumpuni.

Penting untuk digarisbawahi, apa yang juga krusial di sini sekarang adalahbagaimana membuat data tidak menjadi pasif. Data pasif adalah data dengantingkat kemutakhiran yang kadaluwarsa, tertinggal di belakang pergerakan pem-bangunan yang berjalan. Data pasif seperti ini tidak (bisa) dipakai sebagai infor-

Page 48: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

41

masi bagi penyusunan kebijakan dan pengukuran capaian. Itu sebabnya pemu-takhiran data selalu menjadi issu yang relevan dari masa ke masa, karena pemba-ngunan sistem data perlu diselaraskan dengan perkembangan riil yang terjadi. Jikakeselarasan pengambilan kebijakan dan pemutakhiran data terjadi secara iteratif,birokrasi Gorontalo berarti tengah membangun kebiasaan atau tradisi ‘governingby numbers’. Governing by numbers adalah tatakelola provinsi dengan basis infor-masi yang terukur dan accountable karena checks and balances dilakukan denganrujukan data.

Akhirnya, integrasi data kewaspadaan pangan dan pendidikan memiliki duatombak nilai. Pertama, ia menuntun pembuatan kebijakan ke arah yang terdefinsisecara persis. Kedua, ia memotret capaian kebijakan di sektor-sektor ini. Nilaiyang pertama penting bagi perencanaan pembangunan, sedangkan nilai keduaperlu bagi pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan di sektor-sektoritu. Dalam konteks penguatan provinsi, governing by numbers di sektor pangandan pendidikan adalah sebuah noktah eksperimen coproduction untuk masuk kedalam tugas-tugas provinsi dalam koordinasi, pembinaan, pengawasan, monitor-ing, serta evaluasi yang lebih luas.

Page 49: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

42

‘Integrasi Data’ dalam PGSP

Integrasi data adalah sebuah kegiatan strategis yang merekam fakta-fakta pemba-ngunan ke dalam suatu bank informasi. Ini dapat dikerjakan dari inisiatif-inisiatifsederhana yang secara bertahap dapat dikembangkan ke arah sistem informasipembangunan terpadu. Sifat strategisnya dapat ditilik dari pilihan-pilihan sektoryang diambil, baik karena sektor-sektor itu merupakan prioritas maupun karenaketerlibatan antaranasir pembangunan daerah. Dalam perspektif PGSP, integrasidata adalah sebuah miniatur eksperimen bagi tugas-tugas koordinasi, pembinaan,pengawasan, serta evaluasi dan monitoring yang lebih lebar.

Integrasi data mengandung dimensi penataan kelembagaan. Oleh karenanya, se-turut kerangka PGSP, ia dielaborasi ke dalam tiga kelompok kegiatan:

1. Identifikasi kompetensi dan kapasitas para pihakIdentifikasi ini adalah upaya untuk memetakan kemampuan substansial,manajerial, dan teknikal yang dihadapkan pada area kewenangan dan tang-gung jawab para pihak.

2. Pengembangan kapasitasPengembangan kapasitas bisa diterjemahkan sebagai upaya untukmendekatkan kemampuan substansial, manajerial, dan teknikal para pihakdengan tuntutan kompetensi.

3. Pembangunan arsitektur hubungan para pihakArsitektur ini memberi petunjuk mengenai simpul aliran informasi yangdatang dari para pihak dan dijajarkan dengan status, peran, wewenang,dan tanggung jawab para pihak itu.

Melalui pilihan sektor strategis pertanian pangan dan pendidikan, suatu serikegiatan yang lebih detail perlu dirancang untuk mengelaborasi tatakelola dalaminisiatif integrasi data. Kelemahan dan kekuatan ataupun kegagalan dan kesuk-sesan dalam eksperimen tatakelola ini kelak dapat dipakai sebagai pengalamanempirik penting bagi kegiatan multistakeholder di sektor lainnya.

Page 50: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Bab 5

Nusa Tenggara Timur:Tatakelola untuk Penguatan

Konteks

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang relatif lama berdiri.Bersama dengan dua provinsi lain di Gugus Sunda Kecil —Bali dan Nusa TenggaraBarat (NTB)— ia dibentuk berdasarkan UU 64 yang dikeluarkan pada tahun 1958.Kendati usia pembentukannya relatif tua, tidak serta-merta persoalan-persoalanpembangunan di provinsi ini bisa diselesaikan. Pemerintah, juga masyarakat sipil,NTT menghadapi tantangan-tantangan pembangunan yang amat keras dan serius.Indeks Pembangunan Manusia provinsi ini memang naik cukup berarti dalam 15tahun terakhir ini, tapi NTT tak pernah keluar dari posisi di tiga terbawah liga IPMprovinsi se-Indonesia bersama NTB dan Papua. Pendapatan per kapita provinsiini hanya seperempat dari pendapatan per kapita rata-rata provinsi se-Indonesia.Kemiskinan memang menurun belakangan ini, tapi masih cenderung tinggi —seperempat populasi yang tinggal di NTT masih tergolong miskin. Melalui telaahdata panel, Hill, Resosudarmo, dan Vidyattama (2008, 2009) menempatkan NTTsebagai provinsi dengan kategori ‘sangat miskin’ di antara seluruh provinsi Indone-sia sejak 1975.

Persoalan-persoalan ini berada dalam geografi alami NTT yang tak meng-untungkan. Sumber daya alam NTT tidak selimpah Kalimatan Timur, Riau, atauPapua, karena sektor kehutanan dan penggalian menyumbang sangat terbatassementara migas tidak ada. Tidak banyak arable land yang bisa dieksplorasi lebihintensif. Kendati beberapa jenis tanaman pangan ditemui di dataran rendah,kurang daripada dua persen areal yang dapat ditanami ini bisa dialiri jaringan

43

Page 51: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

44

irigasi.37 Dalam lingkungan semi-arid, curah dan panjang hujan tahunan amatbervariasi, sehingga mempengaruhi produksi pertanian (Fox, 1999). Tidak heranjika wilayah-wilayah kering yang sukar dikultivasi kerap dijumpai —apalagi dengankombinasi ekstrim rugged mixed volcanic dan limestone rock (Fisher, Moeliono,dan Wodicka, 1999). Tambahan pula, banyak wilayah-wilayah yang terisolasi dariinteraksi dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi-sosial. Juga tak ketinggalan, adasejumlah besar pulau-pulau kecil berpenduduk yang tak mudah dirangkai olehsuatu jaringan transportasi fisik.38

Untuk menjawab tantangan-tantangan itu, banyak program pembangunandikembangkan. Ini dijalankan tidak hanya oleh pemerintah dan lembaga swadayamasyarakat setempat, tetapi juga melalui kerjasama bilateral atau multilateral.Malah dikatakan, hampir tidak ada lembaga internasional yang bekerja di Indone-sia tidak mempunyai program kerjasama pembangunan di NTT.39 Bergerak disektor-sektor yang langsung bersentuhan dengan masyarakat —pertanian, peter-nakan, kehutanan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur desa, air bersih, usahakecil atau kredit mikro— tidak sedikit dari lembaga-lembaga itu juga membukakantor-kantor di ibukota provinsi atau kabupaten.40

Ini semua memerlukan topangan kuat tatakelola pemerintahan. Banyakstudi menunjukkan tatakelola pemerintahan yang baik mampu membawa dampakpada penurunan kemiskinan (Chong and Calderón, 1997; Gupta, Davoodi, danAlonso-Terme, 1998), perbaikan tingkat kematian bayi, dan pemulihan tingkatputus sekolah (Kaufmann, Kraay, dan Zoido-Lobaton, 1999; Gupta, Davoodi, danTiongson, 2001), peningkatan pendapatan (Li et al., 2000), promosi pertumbuhanekonomi (Seldadyo, Nugroho, dan de Haan, 1997) —persoalan-persoalan yangsangat relevan dalam konteks NTT. Malahan, tatakelola yang baik dinilai lebihsuperior dalam mengatasi persoalan-persoalan pembangunan daripada geograph-ical endowment (Rodrik, Subramanian, dan Trebbi, 2004). Pemerintah sendiri

37http://www.idrc.ca/imfn/ev-27968-201-1-DO_TOPIC.html38Dalam bentang 4,7 juta hektar, terdapat sedikitnya 560 pulau di provinsi ini yang terbagi

ke dalam tiga kelompok besar, yakni kelompok pulau-pulau Sumba, Flores, dan Timor (Gadas,1999)

39Untuk mendapatkan perbandingan kasar bagaimana NTT mendapat perhatian dalam diskur-sus kebijakan dan penelitian, Google Schoolar —mesin pencari scholarly literature di internet—bisa dipakai. Mesin itu melaporkan 2290 hasil telusur untuk istilah ‘Nusa Tenggara Timur’ dan1570 hasil telusur untuk ‘East Nusa Tenggara’. Bandingkan ini dengan Bangka Belitung (594hasil telusur) dan Gorontalo (1790), walau masih jauh lebih kecil daripada ‘West Papua’ (4020),‘Irian Jaya’ (17.200) atau beberapa kombinasi yang relevan. Penjelajahan tanggal 26 Februari2010.

40Pemerintah Provinsi NTT mengorganisasikan kantor-kantor ini dalam suatu wadah non-struktural ‘Sekretariat Bersama’ —berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 108/Kep/HK/2004,21 April 2004— di Bappeda.

Page 52: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

45

masih memainkan peran dominan secara ekonomi. Dalam lima tahun terakhir inisekitar seperlima pergerakan ekonomi di NTT disangga oleh pemerintah melaluibelanjanya.41 Kata lainnya, tatakelola pemerintahan menemui justifikasinya didalam penguatan provinsi.

Namun demikian, tatakelola pemerintahan yang baik menuntut pemugaranseluruh aspek sektor publik. Grindle (2004) mencatat bahwa pemugaran inimeliputi (1) institusi yang menyusun dan mengelola aturan main, (2) strukturpengambilan keputusan yang menentukan prioritas masalah untuk harus disele-saikan, (3) alokasi sumber daya yang merespon masalah itu, (4) organisasi yangmengelola sistem manajemen dan administrasi, (5) sumber daya manusia yangmenggerakkan manajemen dan administrasi itu, dan (6) interaksi pemerintah-masyarakat dalam arena birokrasi dan politik. Jadi tatakelola dalam sudut pan-dang ini adalah tindakan untuk memadankan aspek-aspek pemerintahan dengantujuan-tujuan pembangunan yang merupakan preferensi masyarakat —yang dalamhal ini dikristalisasi ke dalam visi-misi provinsi. Pemadanan ini berarti mengge-rakkan birokrasi untuk lebih dekat dengan masyarakat yang dilayaninya, sehinggaakuntabilitas pemerintah lebih terjamin. Lokakarya di Kupang pada Desember2009 mencatat aspek-aspek ini untuk dijadikan kegiatan penguatan provinsi.

Pembenahan Tatakelolauntuk Penguatan Provinsi

Dalam konteks NTT, penguatan provinsi dijalankan melalui beberapa seri inisi-atif. Penyusunan institusi —dalam pengertian rules of the game yang dapatberupa peraturan daerah— yang mempertegas relasi provinsi dan kabupaten-kotadipandang sebagai salah satu kegiatan penting. Rules of the game ini secaraprinsip berisi pengaturan tentang status, peran, wewenang, dan tanggung jawab,serta hubungan di antara unit-unit pemerintahan di provinsi dan kabupaten-kota.Untuk itu telaah awal yang seksama mengenai dimensi-dimensi hukum, admin-istrasi, dan manajemen pemerintahan menjadi amat relevan. Alignment denganproduk-produk hukum, administrasi, dan manajemen pemerintahan di tingkat na-sional adalah juga bagian dari telaah ini. Selain itu, rangkaian dialog denganpemangku-kepentingan tertaut juga penting mendahului penyusunan rules of thegame ini, sebelum semuanya diakhiri dengan kegiatan diseminasi dan sosialisasi.

41World Bank, Australian Indonesia Partnership, dan Sofei (2009) melaporkan 30 persen daribelanja pemerintah dipakai untuk administrasi pemerintahan. Sisanya terbagi tak merata untukpendidikan (25 persen), infrastruktur (17 persen), dan kesehatan (sembilan persen).

Page 53: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

46

Di sini suatu policy forum dapat dibangun untuk mewadahi seluruh proses dialog,diseminasi, dan sosialisasi. Tujuannya ialah agar seluruh proses ini berlangsungtransparan dan agar kepentingan setiap pemangku-kepentingan dapat dinegosiasidan diakomodasi.

Setara itu, penataan organisasi pemerintahan ke arah format yang lebihsesuai dengan pencapaian visi-misi provinsi perlu pula diberi ruang memadai. Se-jauh ini visi-misi provinsi diterjemahkan ke dalam pembangunan empat sektor,yakni pertanian (jagung), kehutanan (cendana), peternakan (sapi), dan koperasi.Sudah barang tentu penataan ini membawa implikasi organisasional pada dinas-dinas provinsi dan kabupaten-kota yang bekerja di dalam sektor-sektor itu. Iniberarti sejumlah penyesuaian jelas dibutuhkan. Lingkupnya mencakup penyesu-aian pada (1) arsitektur, ukuran (size), dan fungsi organisasi, (2) alokasi sumberdaya aparatur, dan (3) alokasi anggaran.

Arsitektur, besaran, dan fungsi organisasi dirancang sedemikian rupa un-tuk meraih tujuan pencapaian visi-misi; bukan sebaliknya. Di dalamnya strukturpengambilan keputusan perlu dipertelakan dengan gamblang, karena ini menyangkutapa yang dalam laporan ini dinyatakan sebagai kompetensi. Tentu saja ini mem-butuhkan penetapan dan penjabaran tupoksi yang definitif dan terukur. Dalamkenyataan empirik, tupoksi biasanya terdefinisi dengan baik. Tetapi apakah iaterukur atau tidak —yakni apakah capaiannya (fulfillment) bisa dipantau dandievaluasi secara cermat— adalah issu di tingkat empirik yang perlu mendapatkanjawaban.

Dalam hal alokasi sumber daya aparatur ke dalam setiap unit kerja di empatsektor prioritas provinsi, orientasi pada upaya pencapaian visi-misi adalah normabakunya. Sumber daya aparatur ditampung dan didistribusikan ke dalam orga-nisasi yang arsitektur, ukuran, dan fungsinya sejalan dengan kebutuhan pencapaianvisi-misi provinsi. Jika pada hal di atas fulfillment menjadi issu empiriknya, di sini‘kesesuaian kapasitas’ adalah issu empiriknya. Dalam kerangka kerja laporan ini,upaya menyesuaikan alokasi sumber daya aparatur dengan arsitektur, besaran,dan fungsi organisasi diartikan sebagai upaya mendekatkan kapasitas birokrasi kearah kompetensinya. Manakala kesesuaian itu tidak terpenuhi, senjang yang adaperlu ditimbun oleh kegiatan pengembangan kapasitas sumber daya aparatur —termasuk kapasitas mental dan kultur birokrasi— yang selanjutnya berimplikasipada pengembangan kapasitas organisasi.

Pada saat yang bersamaan, alokasi sumber daya anggaran juga menjadianasir penting dalam keseluruhan proses penataan organisasi yang berorientasipada pencapaian visi-misi. Ini mengingat anggaran adalah energi bagi pencapaianvisi-misi. Program ‘Anggur Merah’ (Anggaran untuk Rakyat Menuju Sejahtera)

Page 54: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

47

yang sekarang ada perlu dikonfirmasi berdasarkan perspektif ini, yakni apakahanggaran dialokasikan sebangun dengan tujuan pencapaian visi-misi provinsi. Ji-ka konfirmasi ini gagal, ‘Anggur Merah’ kehilangan sinergi dengan empat sektorprioritas provinsi. Lebih buruk lagi, ia kehilangan sinergi dengan kabupaten-kota.

Jadi, issu penting yang perlu dijawab dalam penataan organisasi ini adalahbagaimana arsitektur, ukuran, dan fungsi organisasi yang dihadapkan pada alokasisumber daya aparatur dan anggaran bergerak seirama dengan pencapaian visi-misiprovinsi. Organisasi, aparatur, dan anggaran adalah fungsi dari visi-misi organisasi.Artinya, visi-misi yang menentukan bagaimana cara dan alat pencapaiannya dikon-solidasi. Manakala ketiga lingkup penataan organisasi itu tidak terkonsolidasi de-ngan pencapaian visi-misi, penataan organisasi tidak mungkin dapat terkonfirmasisecara riil. Dalam bahasa yang lebih lugas, kegagalan akan terjadi apabila pen-capaian visi-misi provinsi tidak ditransformasikan secara definitif dan terukur kedalam organisasi, aparatur, dan anggaran.

Penting pula untuk dicatat, konfirmasi keberhasilan itu perlu diletakkandalam konteks status, peran, wewenang, dan tanggung jawab kabupaten-kotaserta relasinya dengan provinsi. Ini dibutuhkan untuk menghindari duplikasi wewe-nang dan tanggung jawab, karena status dan peran kedua provinsi dan kabupaten-kota berbeda tegas. Visi-misi provinsi efektif terjelma secara riil jika sinergi dengankabupaten-kota terjadi dalam format hubungan complementary with embedded-ness, karena —sekali lagi— ada status, peran, wewenang, dan tanggung jawabyang unik dalam kabupaten-kota yang tidak bisa diambil sepenuhnya (strictlysubstituted) oleh provinsi, dan sebaliknya.

Akhirnya, senafas dengan argumentasi Grindle yang dicuplik di atas, interak-si pemerintah-masyarakat sipil perlu mendapat ruang dalam keseluruhan tatakelolaprovinsi. Ruang itu tidak dibuka bagi kepentingan formalistik, tetapi tercipta gen-uine dalam seluruh konstruksi hubungan pemerintah-masyarakat sipil. Masyarakatsipil —karena status, peran, wewenang, dan tanggung jawabnya yang khas— ber-ada dalam relasi coproduction dengan pemerintah untuk mencapai visi-misinya.Jadi, partisipasi masyarakat sipil adalah konsekuensi logis dari upaya penerapantatakelola sektor publik yang baik.

Page 55: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

48

‘Pemugaran Tatakelola’ dalam PGSP

Pemugaran tatakelola provinsi adalah kebutuhan untuk pencapaian tujuan-tujuanpembangunan secara efektif. Suatu seri kegiatan perlu disusun sebagai cerminpemugaran itu. Pada prinsipnya, pemugaran ini upaya untuk mencari keselarasanvisi-misi provinsi dengan organisasi, aparatur, dan anggaran. Semuanya diletakkandalam relasi sinergi dengan kabupaten-kota di bawah format complementarity withembeddedness.

Seri kegiatan pemugaran tatakelola provinsi mencakup tiga kelompok besar:1. Penyusunan aturan lokal tentang penguatan peran provinsi.

Ini dimulai dari telaah dimensi hukum, administrasi, dan manajemen peme-rintahan, dialog parapihak, serta diseminasi dan sosialisai hasilnya. Penye-lesaran dengan produk-produk kebijakan di atasnya adalah bagian dari ini-siatif ini. Suatu ‘forum kebijakan’ dapat dibentuk untuk mewadahi seluruhproses ini.

2. Penataan organisasiIni meliputi penyesuaian sisi (1) arsitektur, ukuran, dan fungsi organisasi,(2) alokasi sumber daya aparatur, dan (3) alokasi anggaran dengan sisitujuan pencapaian visi-misi. Senjang di antara tiga sisi ini membutuhkansuatu tindakan pengembangan kapasitas upaya untuk mendekatkan kapa-sitas birokrasi dengan tuntutan kompetensinya. Pengembangan kapasitasini tidak hanya mencakup dimensi substansi, manajemen, dan teknis, tetapijuga meliputi dimensi mental dan kultur birokrasi.

Melalui pilihan empat sektor prioritas provinsi —pertanian (jagung), kehutanan(cendana), peternakan (sapi), dan koperasi— suatu seri kegiatan yang lebih de-tail perlu dibangun untuk menerjemahkan inisiatif pemugaran ini ke dalam ujudyang lebih riil. Kelemahan dan kekuatan ataupun kegagalan dan kesuksesan yangditemui dalam eksperimen tatakelola ini kelak dapat dipakai sebagai pengalamanempirik penting bagi kegiatan multistakeholder lainnya.

Page 56: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Bab 6

Agenda Lintas-Provinsi

Penguatan provinsi pada prinsipnya adalah upaya peningkatan kompetensi dankapasitas provinsi untuk melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan, sertapemantauan dan evaluasi pembangunan. Ini merujuk pada status, peran, kewe-nangan, serta tanggung jawab provinsi yang secara atributif berada di tangannya.Di tengah independensi dan ketaksaan hirarki antaryurisdiksi subnasional yangtercipta dalam desentralisasi, tugas-tugas ini hanya dapat berjalan dalam duakondisi. Pertama, ada relasi yang tercipta dalam format hirarki di antara yuris-diksi subnasional. Kedua, ada relasi yang terbentuk atas dorongan kebutuhanakan saling-ketergantungan antaryurisdiksi subnasional. Kondisi yang pertama da-pat dikategorikan sebagai pendekatan supply-pushed atau top-down, sedangkanyang kedua demand-driven atau bottom-up. Mengingat masing-masing yurisdik-si memiliki status, peran, kewenangan, serta tanggung jawab atributif yang unikdan satu sama lain tidak sepenuhnya saling-tergantikan, kedua relasi ini patutdibingkai dalam kerangka coproduction atau complementary with embeddedness.

Inisiatif tingkat provinsi yang dipresentasikan sebelumnya berada di dalambingkai hubungan itu. Pada pokoknya inisiatif itu adalah eksperimen tatakelolamultipihak yang melibatkan entitas pemerintahan yang berbeda, baik pada arassektoral (dinas, badan, atau satuan perangkat kerja), maupun—yang lebih penting—pada aras ‘tingkatan’ yurisdiksi (provinsi dan kabupaten-kota). Inisiatif itu dimulaidari kasus atau eksperimen tertentu yang dirancang untuk menerjemahkan visi-misi provinsi (common goals) ke dalam prioritas-prioritas kegiatan. Setiap inisiatifitu bersifat khas karena adanya perbedaan latar belakang keadaan, karakterisitikinternal, maupun visi-misi provinsi, kendati tak ditutup kemungkinan akan adanyasuatu cross-learning antara satu provinsi dengan provinsi lainnya.

Berbeda dengan tiga bab terdahulu, bab ini secara khusus menyajikan apayang secara potensial bisa dikerjakan sebagai rekomendasi agenda lintas-provinsi.

49

Page 57: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

50

Term ‘lintas-provinsi’ ini dibaca dalam tiga pengertian. Pertama, agenda itu ber-ada di level makro nasional tetapi mempunyai dampak di tingkat daerah. Kedua,agenda itu berada di level meso yang bersifat ‘antarprovinsi’ dan muncul kare-na persamaan latar belakang dan karakterisitik daerah, serta tujuan yang hendakdigapai. Ketiga, agenda itu berada di level mikro daerah tetapi mengandungmuatan yang sama untuk dikerjakan di daerah-daerah yang berbeda. Seluruhagenda ini dibaca, diletakkan, dan didiskusikan ke dalam tiga arena kerja PGSP,yakni (1) perundangan dan peraturan, (2) perencanaan dan penganggaran, ser-ta (3) inovasi tatakelola pemerintahan. Perundangan dan peraturan berperanpenting dalam menentukan efektivitas tatakelola (Shleifer dan Vishny, 1997). Se-mentara itu, perencanaan dan penganggaran diperlukan untuk menetapkan gu-gus prioritas kegiatan dan meminimumkan pendekatan yang bersifat adhoc dansepotong-sepotong (piecemeal) (Premchand, 1994). Inovasi dibutuhkan sebagairespon pemerintah karena adanya tekanan publik, munculnya issu-issu pemba-ngunan yang makin kompleks, serta usaha penyesuaian kebijakan dan kapasitasdengan perkembangan issu-issu itu (Alberti dan Bertucci, 2006).

Perundangan dan Peraturan

Desentralisasi jelas membutuhkan payung perundangan dan peraturan, baik ditingkat nasional maupun daerah. Sebagaimana disajikan dalam diskusi di muka,eksperimen desentralisasi pasca reformasi politik telah menghasilkan pembentukanseri UU di tahun 1999 yang kemudian direvisi oleh seri UU di tahun 2004. Saatini dinamika empirik menuntut kembali revisi atas seri UU yang dikeluarkan tahun2004. Di antara sejumlah issu yang mengemuka dalam revisi ini, beberapa issudapat dimunculkan sebagai bagian dari penguatan status, peran, wewenang, dantanggung jawab provinsi.

• Penegasan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi dan kabupaten-kota dalam dimensi administrasi, fiskal, dan politik.

Issu ini menyangkut penegasan bangunan relasi administrasi dan fiskalantaryurisdiksi yang dijajarkan dengan agenda desentralisasi politik(pemilihan kepala daerah dan DPRD). Diskusi di bab awal laporan inimenunjukkan ada ketaksaan, kalau tak dapat disebut kekosongan, hi-rarki —dan bahkan tercipta independensi— di antara yurisdiksi subna-sional yang melahirkan kerumitan-kerumitan dalam pelaksanaan tugaskoordinasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi. Duabangunan relasi dapat diambil sebagai opsi, yakni relasi yang berbasis

Page 58: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

51

hirarkis dan relasi yang berbasis kebutuhan akan saling-ketergantungan.Payung besar dari issu ini adalah status, peran, wewenang, dan tang-gung jawab gubernur sebagai kepala wilayah dan wakil pemerintahpusat.

• Penegasan status, peran, wewenang, dan tanggung jawab provinsi dan kabupaten-kota dalam mekansime devolusi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Dalam beberapa keadaan, mekanisme devolusi, dekonsentrasi, dan tu-gas pembantuan yang dijalankan di bawah payung UU sektoral se-ringkali berbenturan dengan mekansime desentralisasi, sehingga penye-larasan perundangan dan peraturan menjadi agenda penting yang da-pat dicatat di sini. Ini meliputi issu-issu yang menyangkut pendirianbadan-badan, komisi-komisi, dan unit-unit pelayanan teknis pemerin-tah pusat di daerah (UU sektoral versus PP 41/2007) serta pendaya-gunaan sumber daya sektoral —kehutanan, pertambangan dan peng-galian, pelabuhan, termasuk penyediaan energi listrik— oleh daerah.

• Penyelarasan UU dengan aturan-aturan di bawahnya.

Agenda ini meliputi pembuatan, peninjauan, sinkronisasi, dan harmo-nisasi atas PP, kepmen, dan perda sebagai turunan UU desentralisasiyang direvisi. Walau begitu, hal penting yang tak dapat diluputkansetelah pengesahan suatu UU baru adalah penyusunan cetak biru aturan-aturan turunannya di tingkat pemerintah pusat agar dapat diresponoleh daerah dan stakeholder terpaut dalam bentuk peninjauan, sinkro-nisasi, dan harmonisasi aturan-aturan di bawahnya. Cetak biru ini se-lazimnya menginformasikan secara terbuka muatan, jadwal (termasukkecepatan dan intensitas penyusunan), sosialisasi, dan implementasipelbagai aturan turunan akibat pengesahan UU baru itu.

Agenda-agenda yang lebih praktis tentang dialog publik, ‘uji sahih’, ataupunsosialisasi dan diseminasi, termasuk studi-studi yang teraut dengan perundangandan peraturan itu, adalah implikasi lanjutan yang juga dapat dikerjakan. Ini dapatdilakukan di tingkat nasional, ‘antarprovinsi’, provinsi, bahkan kabupaten-kota.

Perencanaan dan Penganggaran

Perencanaan dan penganggaran adalah dua proses dalam pembangunan yangsaling bertaut, karena proses yang satu menentukan proses yang lain. Kendati

Page 59: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

52

demikian, perencanaan dan penganggaran tidak dapat berdiri secara soliter. Darisisi aktor pemangku-kepentingan, keduanya menyaratkan keterlibatan dan mem-bawa dampak pada pemangku-kepentingan yang relevan. Dari sisi muatannya,perencanaan dan penganggaran pembangunan penting untuk mengakomodasi issu-issu yang berkembang di tengah masyarakat. Itu sebabnya proses perencanaandan penganggaran menuntut transparansi dan akuntabilitas penyusunnya, baikbagi kepentingan checks and balances maupun peningkatan mutu dan legitimasiperencanaan dan penganggaran itu sendiri. Penguatan provinsi adalah juga pe-nguatan proses perencanaan dan penganggaran yang melibatkan aktor-aktor danmengagendakan muatan yang mengakomodasi issu-issu yang berkembang. Bebe-rapa agenda yang laik mendapat perhatian di tingkat provinsi didaftarkan sepertiberikut.

• Penguatan provinsi sebagai mediator proses perencanaan dan penganggaranuntuk mengakomodasi issu-issu di tingkat masyarakat dan target-targetkabupaten-kota, provinsi, dan nasional.

Sebagai second-tier government provinsi berada dalam kedudukan yangunik. Dalam kedudukan sebagai pemimpin wilayah, provinsi harusmelakukan kristalisasi aspirasi masyarakat konstituen dan menyeleraskan-nya dengan target-target kabupaten-kota. Dalam kedudukan sebagaiwakil pemerintah pusat, provinsi juga harus mengakomodasi target-target nasional untuk juga diintegrasikan ke dalam keseluruhan targetprovinsi. Dalam perspektif inilah status, peran, wewenang, dan tang-gung jawab provinsi sebagai mediator perencanaan dan penganggaranperlu mendapat penguatan yang memadai.

• Peningkatan kapasitas perencanaan dan penganggaran yang mengintegrasikanissu-issu lintas-kabupaten-kota dan lintas-sektor.

Kabupaten-kota dalam status, peran, wewenang, dan tanggung jawab-nya melimitasi perencanaan dan penganggaran dalam area yurisdiksinyasendiri. Limitasi ini memaksa issu-issu antaryurisdiksi berdiri di lu-ar jangkauan kabupaten-kota. Hal serupa juga terjadi ketika peren-canaan dan penganggaran ditilik secara sektoral. Issu-issu lintas-sektorakan terlimitasi untuk diakomodasi oleh sektor-sektor yang terlibat.Dua keadaan ini membentuk ruang kompetensi tersendiri bagi provin-si, karenanya ia harus diisi oleh kapasitas provinsi yang memadai dalamperencanaan dan penganggaran. Suatu ‘forum perencanaan kebijakandaerah’ bagi pembentukan joint planning yang melibatkan para peren-cana pembangunan tampak menarik untuk dijadikan area peningkatan

Page 60: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

53

kapasitas ini, karena di dalam forum ini ada pertukaran pengalamandan pengetahuan.

• Pengembangan mekanisme pelibatan para pihak dalam proses perencanaandan penganggaran,

Selazimnya dalam tatakelola pemerintahan yang transparan dan ac-countable, partisipasi masyarakat sipil menjadi bagian yang tak ter-pisahkan. Partisipasi ini penting bagi kepentingan checks and balancesmaupun peningkatan mutu dan legitimasi perencanaan dan pengang-garan daerah. Mekanisme perencanaan yang ada, seperti Musrenbang,perlu memberi ruang yang lebih longgar lagi bagi partisipasi masyarakatsipil ini di setiap jenjang perencanaan.

• Penajaman muatan perencanaan dan penganggaran yang berorientasi pa-da peningkatan mutu pembangunan manusia dan pencapaian target-targetMGDs.

Perencanaan dan penganggaran bermuara pada peningkatan kesejahte-raan masyarakat baik secara ekonomi maupun secara sosial. Ini da-pat dilihat dari capaian peningkatan mutu pembangunan manusia danpengurangan kemiskinan secara bearti. Identifikasi faktor-faktor pem-bentuk mutu pembangunan manusia dan sumber-sumber penyebabkemiskinan amat menolong perencanaan dan penganggaran untuk mem-perbaiki Indeks Pembangunan Manusia dan menurunkan kemiskinan.Identifikasi ini menajamkan orientasi perencanaan dan penganggaranke arah issu-issu pembangunan yang substansial.

Saat ini pelbagai variasi dokumen perencanaan yang amat bernilai telahdisusun di berbagai tingkatan. Secara siklikal dokumen-dokumen itu dievaluasidan dimutakhirkan melalui proses-proses yang juga telah terjadwal reguler. Apayang dipresentasikan sebagai rekomendasi pada bagian ini bukanlah upaya un-tuk memberikan alternatif baru atas apa yang telah dijalankan, tapi usaha untukmemperkuat seluruh proses penyusunan perencanaan itu melalui tiga cara, yaitu(1) meningkatkan mutu perencanaan, (2) menguatkan legitimasi proses dan hasilperencanaan, serta (3) menajamkan target-target perencanaan.

Inovasi Tatakelola

Inovasi telah menjadi tuntutan tak terelakkan dalam pembangunan daerah. Dae-rah harus mencari pelbagai metodologi untuk membuat perencanaan dan peng-

Page 61: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

54

anggaran pembangunan berlangsung efektif tapi juga efisien —bahkan terkadangdi tengah kekosongan payung hukum yang menaunginya. Terobosan-terobosanmetodologi perlu diagendakan dan diujicobakan. Beberapa di antaranya potensialdilakukan di tingkat provinsi dan beberapa yang lain pada tingkat lintas-provinsi.Semuanya didaftarkan seperti berikut.

• Pengembangan standar layanan minimum

Selain barang-barang publik, pemerintah memproduksi juga jasa-jasapublik. Standardisasi produksi jasa-jasa ini pada prinsipnya memas-tikan bahwa publik terlayani oleh mutu yang sama di kabupaten-kotamanapun di dalam setiap provinsi, bahkan juga hingga ke tingkat yuris-diksi yang terkecil. Ini meliputi sektor pendidikan, kesehatan, dan uti-litas (air, listrik, energi), bahkan juga sektor ekonomi. Pengalamanmemperlihatkan beberapa penyediaan jasa publik dikerjakan atau di-kerjasamakan oleh sektor swasta, tetapi ini tidak berarti bahwa adamutu layanan yang bervariasi secara ekstrim. Apa yang tampaknyadibutuhkan di sini adalah suatu paket kebijakan berbasis riset untukmengalokasikan anggaran, membangun organisasi, menyertakan parapihak, serta menetapkan muatan dan tatacara layanan sektor publik.

• Pengembangan model reformasi pelayanan publik

Ini merupakan suatu intervensi untuk mempengaruhi organisasi, kondisikerja, dan kinerja aparat pelayan publik. Intervensi ini sendiri bukanlahtujuan, tetapi cara untuk mencapai tujuan. Maksudnya ialah tujuanlahyang menentukan bangunan, cara, dan ukuran organisasi bekerja sertakualitas kondisi kerja —yang keduanya lalu tampak dalam ujud kinerjaaparat. Itu berarti tidak ada satu ‘model tunggal terbaik’ yang dapatdirujuk sebagai resep jitu, tetapi alat ukurnya jelas bisa dilihat padadampak yang dihasilkannya, baik secara langsung dalam efektivitas pe-merintahan (output) maupun tak langsung dalam indikator-indikatorkesejahteraan provinsi dan kabupaten-kota (outcome). Setiap provinsi,juga kabupaten kota, penting mengagendakan pengembangan modelini.

• Pengembangan mekanisme pemantauan dan evaluasi

Pemantauan dan evaluasi bukanlah proses residual dalam keseluruhanproses pembangunan, karena dari keduanya status capaian pemba-ngunan dideteksi dan diketahui. Oleh karenanya, suatu mekanisme

Page 62: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

55

pemantauan dan evaluasi yang melibatkan para pihak yang relevanmenempati posisi yang penting. Mekanisme ini juga perlu dilengkapioleh monitoring tools sebagai perangkat bersama yang dapat dipakaioleh para pihak untuk melihat dan menelaah capaian untuk selanjut-nya dipakai bagi perbaikan, perombakan, ataupun penajaman suatukegiatan pembangunan.

• Kerjasama antarprovinsi

Kerjasama bisa lahir dari banyak faktor, yang satu di antaranya ialahtujuan bersama. Tujuan ini mengikat peserta kerjasama untuk meng-organisasikan diri dan menyusun rangkaian kegiatan dengan arah ori-entasi yang terdefinisi jelas. Kerjasama antarprovinsi kepulauan dapatdijadikan ilustrasi mengenai hal ini. Diikat oleh tujuan bersama, yaknimendapatkan pengakuan yuridis pemerintah pusat atas provinsi kepu-lauan, dua provinsi dalam laporan ini —Bangka Belitung dan NTT—bersama lima provinsi lain membentuk sebuah jaringan kerja provinsikepulauan dan melakukan pelbagai kegiatan untuk mencapai tujuanitu.

Page 63: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

56

Provinsi Kepulauan:Kerjasama Berorientasi Tujuan

Daerah-daerah kepulauan secara empirik menghadapi persoalan dalam penyediaansarana pelayanan dasar, layanan pemerintahan, sarana tranportasi laut dan udarayang berdampak pada isolasi wilayah, mahalnya biaya tranportasi, dan aksesibili-tas masyarakat, selain juga dalam ketergantungan fiskal pada pemerintah pusat,disparitas ekonomi antardaerah, serta kualitas sumberdaya manusia.

Berdasarkan itu, pemda tujuh provinsi —Kepulauan Riau, Bangka Belitung, NusaTenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Maluku Utara, danMaluku— bertemu di Ambon pada tanggal 10 Agustus 2005 untuk mengelu-arkan Deklarasi Ambon. Deklarasi ini intinya ‘meminta Pemerintah Indonesiaagar mewujudkan pengakuan yuridis terhadap provinsi kepulauan melalui berbagairegulasi yang dibutuhkan untuk mempercepat proses pembangunan daerah, demiterwujudnya kesejahteraan rakyat’. Provinsi kepulauan di sini didefinisikan sebagai‘provinsi dengan paling sedikit dua kabupaten atau kota kepulauan yang memilikiluas wilayah lautan terluas’.

Deklarasi ini ditindaklanjuti oleh penyelenggaraan Seminar Nasional Provinsi Kepu-lauan di Jakarta Desember 2005. Salah satu kesimpulannya menegaskan tentang‘pentingnya prinsip negara kepulauan untuk diadopsi dan dijabarkan menjadi prin-sip provinsi kepulauan’. Dalam seri rapat kerja gubernur provinsi kepulauan diTernate sejak 18 Maret 2008 hingga Januari 2009, berhasil dilahirkan Kesepa-katan Ternate yang mengubah forum gubernur ini menjadi ‘badan’. Di sampingitu, kesepakatan ini juga meminta penyusunan amandemen terhadap tiga UU,yakni UU 32/2004, 33/2004, dan 27/2007.

Rapat kerja ini dilanjutkan lagi dengan rapat koordinasi di Kupang tanggal 11-12November 2009. Dalam rapat ini ditelurkan Deklarasi Kupang dengan beberapaissu penting, di antaranya adalah mendesak pemerintah pusat untuk mempercepatpembangunan di tujuh provinsi kepulauan di empat bidang (kelautan, pariwisata,energi, dan bidang sosial), merevisi UU 32/2004 dan 33/2004, serta melakukankerjasama bidang perhubungan laut dan pariwisata dalam bentuk paket wisatabersama. Atas dorongan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan, ketujuh provinsisepakat menghapus retribusi perikanan yang dinilai membebani pelaku usaha.

Cara pandang mengenai provinsi kepulauan sesungguhnya adalah penegasan ulangatas cara pandang wilayah laut dan darat sebagai suatu kesatuan. Ini merujuk padaDeklarasi Djuanda mengenai Perairan Indonesia dalam kesatuan wilayah laut dandarat sesuai ‘Prinsip Negara Kepulauan’ (Archipelagic State Principles) dan filosofi‘Tanah-Air’. Dengan Prinsip Negara Kepulauan ini Indonesia mengikuti pelak-sanaan seri Konferensi Hukum Laut Internasional III 1971-1982 yang melahirkanUnited Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Page 64: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Bab 7

Catatan Penutup

Desentralisasi telah melahirkan banyak harapan bagi pembangunan daerah. Tetapi,sejumlah persoalan masih tersisa atau bahkan muncul bersamaan dengan intro-duksi desentralisasi ke dalam sistem tatakelola Indonesia. Laporan ini menun-jukkan kerumitan-kerumitan organisasional yang muncul ketika, dalam desentral-isasi, provinsi dan kabupaten-kota berdiri relatif independen satu sama lain. In-dependensi ini muncul sejalan dengan pemberian ruang otonomi lebih luas yangkepada kabupaten-kota dan penerapan sistem pemilihan umum langsung yangmembuat kepala daerah harus bertanggung-jawab secara langsung kepada pu-la konstituen. Pada saat yang sama, UU Desentralisasi tidak cukup eksplisitmenegaskan relasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten-kota. Pasal-pasalpokok yang berkenan dengan itu hanya menyiratkan, tidak menyuratkan, hubung-an hirarkis antara kedua entitas pemerintahan ini. Akibatnya, dalam praktek ad-ministrasi dan manajemen otonomi daerah, timbul ketaksaan —kalau tak dapatdisebut— kekosongan hirarki.

Gagasan penguatan provinsi berangkat dari fakta-fakta itu. Tetapi kebu-tuhan akan peran provinsi yang lebih kuat juga dijustifikasi secara empirik bahwasuatu pemerintah di level tengah diperlukan untuk menjembatani relasi pemerin-tah pusat dengan pemerintah kabupaten-kota yang terpencar sedemikian luasnya.Lagi pula, bukti-bukti juga menunjukkan adanya kemerosotan kinerja kabupaten-kota ketika ia semakin jauh dari pusat pengambilan keputusan. Oleh karena itu,menghadirkan wakil pemerintah pusat di daerah, yakni pemerintah provinsi, bisadiberi makna sebagai upaya mendekatkan jarak pusat pengambilan keputusan kekabupaten-kota. Dalam perspektif inilah, provinsi membutuhkan topangan untukdikuatkan dalam status, peran, wewenang, dan tanggung-jawabnya. Kebutuhantopangan ini meninggi ketika di saat yang sama pemerintah provinsi adalah jugakepala, koordinator, pembina, pengawas, pemantau, dan penilai pembangunan

57

Page 65: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

58

daerah. Topangan itu datang dari tiga arah, yakni perundangan dan peraturan,perencanaan dan penganggaran, serta inovasi tatakelola, sehingga terbentuk relasisinergis antara pemerintah di tingkat subnasional.

Pertanyaannya sekarang ialah dalam bingkai hubungan seperti apa agarrelasi provinsi dan kabupaten-kota menjadi sinergi? Laporan ini menggunakankerangka coproduction —yang dapat dilihat pula sebagai complementarity withembeddedness— untuk menelaah hubungan itu. Laporan ini memberi bingkaiteoritik bagi inisiatif-insiatif yang digagas oleh tiga provinsi PGSP. Dalam keadaanlain, laporan ini memberi pula justifikasi empirik mengapa suatu eskperimen tata-kelola perlu dikembangkan.

Dari tiga provinsi yang ditelaah, Bangka-Belitung menjadikan program in-tersektoral ‘Revitalisasi Lada’ sebagai inisiatif eksperimen penguatan tatakelolaprovinsi. Selain berdimensi historis, lada juga bisa dieksplorasi untuk dijadikan se-bagai ‘alat pemersatu’ provinsi dan kabupaten-kota mengingat keduanya memilikikepentingan dan tujuan yang sama. Gorontalo menetapkan integrasi data kewas-padaan pangan dan pendidikan sebagai insiatif coproduction bersama kabupaten-kota. Ini sejalan dengan fakta kemiskinan yang masih terlihat jelas di kabupaten-kota sementara konsumsi pangan merupakan komponen utama dalam pengelu-aran masyarakat miskin. Ide yang paralel juga terjadi pada sektor pendidikan,utamanya ketika infrastruktur fisik dan non-fisik pendidikan perlu dipantau dandiintervensi melalui kebijakan yang tersasar dengan baik. Nusa Tenggara Timurmemilih pemugaran tatakelola provinsi. Ini untuk menopang sejumlah programsektoral yang dijalankan di provinsi, kabupaten-kota, kecamatan, hingga ke desaoleh lembaga-lembaga lokal, bilateral, serta multilateral.

Akhirnya, sejumlah agenda juga direkomendasikan untuk dikerjakan di tingkat‘lintas-provinsi’. ‘Lintas-provinsi’ ini mencakup (1) tingkat nasional (makro) de-ngan agenda yang berdampak di tingkat daerah, (2) ‘antarprovinsi’ (meso) denganagenda kerjasama karena persamaan latar belakang dan karakterisitik daerah, ser-ta tujuan kegiatan, juga (3) di dalam setiap provinsi (mikro) dengan muatanagenda yang sama. Dengan menggunakan arena kerja PGSP, agenda-agenda itudikategorisasi ke dalam (1) arena perundangan dan peraturan, (2) arena peren-canaan dan penganggaran, serta (3) arena inovasi tatakelola.

Page 66: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

Daftar Pustaka

Alberti, Adriana dan Guido Bertucci (2006), ‘Replicating Innovations in Go-vernance: An Overview’, dalam Innovations in Governance and Public Ad-ministration: Replicating What Works, Department of Economic and SocialAffairs United Nations, New York.

Akita, Takahiro dan Armida Alisjahbana (2002), ‘Regional Income Inequality inIndonesia and the Intial Impact of the Economic Crisis’, Bulletin of IndonesiaEconomic Studies 38(2): 201-223.

Bappenas dan Pemprov Gorontalo (2010), Pembangunan Provinsi Gorontalo:Perencanaan dengan Indkes Pembangunan Manusia, forthcoming.

Bartkus, Viva Ona (1999), The Dynamic of Secession, Cambridge UniversityPress, Cambridge.

Chisholm, Donald (1992), Coordination Without Hierarchy: Informal Structuresin Multiorganizational Systems, University of California, Berkeley.

Chong, Alberto and Calderón, Cesar (1997), Institutional Change and Poverty,or Why Is It Worth It to Reform the State? Mimeograph, World Bank.

Evans, Peter (1996), ‘Government Action, Social Capital, and Development:Reviewing the Evidence on Synergy’, World Development, 24(6): 1119-1132.

Fisher, Larry, Ilya Moeliono, dan Stefan Wodicka (1999), ‘The Nusa TenggaraUplands, Indonesia: The Multiple-Site Lessons in Conflict Management’,dalam Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in Natural ResourceManagement, Daniel Buckles (ed.), International Development ResearchCentre dan World Bank Insitute, Kanada.

59

Page 67: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

60

Fitrani, Fitria, Bert Hofman, dan Kai Kaiser (2005), “Unity In Diversity? TheCreation of New Local Governments in a Decentralising Indonesia”, Bulletinof Indonesian Economic Studies, 41(1): 57-79.

Fox, Jeff (1999), ‘Land-use and Land-cover Change in Nusa Tenggara Timur, In-donesia’, dalam Fire and Sustainable Agricultural and Forestry Developmentin Eastern Indonesia and Northern Australia, Prosiding International Work-shop Northern Territory University, Jeremy Russell-Smith, Greg Hill, Sili-woloe Djoeroemana and Bronwyn Myers (eds.), Darwin, Australia, 13Ű15April 1999.

Frinkelstein, Lawrence S. (1951), ‘The Indonesian Federal Problem’, Pacific Af-fairs 24(3): 284-295.

Griffin, Ricky (2008), Fundamental of Management, Houghton Mifflin Company,Boston.

Grindle, Merilee Serrill (2007), Going Local: Decentralization, Democratization,and the Promise of Good Governance, Princeton University Press, Princeton.

Grindle, Merilee (2004), ‘Good Enough Governance: Poverty Reduction andReform in Developing Countries’, Governance: An International Journal ofPolicy, Administration and Institutions 17(1): 525-548.

Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, and Erwin Tiongson. 2001, ‘Corruption andthe Provision of Health Care and Education Services’, dalam The PoliticalEconomy of Corruption, Arvind K. Jain (ed.), Routledge Press, New York.

Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, and Rosa Alonso-Terme. 1998, Does Corrup-tion Affect Income Inequality and Poverty?’, IMF Working Paper No 76.

Jaquet, L.G.M (1952), ‘The Indonesian Federal Problem Reconsidered’, PacificAffairs 25(2): 170-175.

Heidhues, Mar F. Somers (1991), ‘Company Island: A Note on the History ofBelitung’, Indonesia 51-April: (1-20).

Hill, Hal, Budy P. Resosudarmo, dan Yogi Vidyattama (2008), ‘Indonesia’sChanging Economic Geography’, Bulletin of Indonesian Economic Studies44(3): 407-435.

Hill Hal, Budy P. Resosudarmo, and Yogi Vidyattama (2009), ‘Economic Geogra-phy of Indonesia: Location, Connectivity, and Resources’, dalam Reshaping

Page 68: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

61

Economic Geography in East Asia, Yukon Huang and Alessandro MagnoliBocchi (eds.), The World Bank, Washington.

Hofman, Bert dan Kai Kaiser (2002), The Making of the Big Bang and its After-math: A Political Economy Perspective. Paper disajikan dalam konperensiberjudul ‘Can Decetralization Help Rebuild Indonesia?’, The InternationalStudies Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia StateUniversity, Atlanta Georgia, Mei.

Hull, Terence H. (2001) ‘Counting for Democracy: Development of NationalStatistical Systems in a Desentralised Indonesia’, Bulletin of Indonesia Eco-nomic Studies 37(1): 253-258.

Kaloh, J. (2007), Mencari bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Men-jawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta.

Kochen, Manfred dan Karl W. Deutsch (1974), ‘A Note on Hierarchy and Coor-dination: An Aspect of Decentralization’, Management Science — TheorySeries 21(1): 106-114.

Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, and Pablo Zoido-Lobaton. 1999, GovernanceMatters, World Bank Policy Research Working Paper No. 2196.

Kumorotomo, Wahyudi (2008), Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Ke-bijakan 1974-2004, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Lusthaus, Charles, Marie-Héléne Adrien, dan Mark Perstinger (1999), CapacityDevelopment: Definitions, Issues and Implications for Planning, Monitoringand Evaluation, Universalia Occasional Paper 35, September.

Mandica, Notrida G.B. (2008), ‘Dampak Pemilihan Kepala Daerah pada ProsesDemokratisasi’, Jurnal Ilmu Pemerintahan 26: 24-37.

Manohara, Dyah dan Rusli Kasim (1996), ‘Tanaman Lada: Penyakit BusukPangkal Batang dan Pengendaliannya’, Monograf 1, Badan Penelitian danPengembangan Pertanian, Bakai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Marijan Kacung (2006), Demokratisasi di Daerah: Pelajaran dari Pilkada SecaraLangsung, Pustaka Eureka dan PusDeHam, Surabaya.

Muhammad, Fadel (2008), Reinventing Local Government: Pengalaman dariDaerah, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Page 69: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

62

Mustika, Ika (1996), ‘Tanaman Lada: Penyakit Kuning Lada dan Pengendalian-nya’, Monograf 1: 1-11, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,Bakai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Oates, Wallace E. (1972), Fiscal Federalism, Harcourt Brace Jovanovich Inc.,New York.

Oates, Wallace E. (1999), ‘An Essay on Fiscal Federalism’, Journal of EconomicLiterature 37(3): 1120-1149.

Ostrom, Elinor (1996), ‘Crossing the Great Divide: Cooproduction, Synergy, andDevelopment’, World Development Review, 24(6): 1073-1087.

Pranadji, Tri (2008), ‘Membedah Gorontalo sebagai Calon “Bintang Timur” Per-tanian’, Analisis Kebijakan Pertanian 6(3): 222-238.

Pratikno, (2005), ‘Exercising Freedom: Local Autonomy and Democracy in In-donesia 1999Ű2001’, in Maribeth Erb, Priyambudi Sulistiyanto dan CaroleFaucher (eds), Regionalism in Post-Suharto Indonesia, RoutledgeCurzon,New York.

Premchand, A (1994), Government Budgeting and Expenditure Controls: Theoryand Practice, IMF, Washington.

Ramses M., Andy dan La Bakry (2008), ‘Pengaturan Kedudukan Gubernur se-bagai Wakil Pemerintah di Daerah.’ Jurnal Ilmu Pemerintahan 26: 83-94.

Rasyid, Ryaas (2007), ‘Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya.’dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desen-tralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah, LIPI Press,Jakarta.

Rodrik, Dani, Arvind Subramanian, and Francesco Trebbi (2004), ‘InstitutionsRule: The Primacy of Institutions Over Geography and Integration in Eco-nomic Development’, Journal of Economic Growth, 9(2): 131-165.

Seldadyo, Harry, Emmanuel Pandu Nugroho, dan Jakob de Haan (2007), ‘Gov-ernance and Growth Revisited’, Kyklos 60(2): 279-290.

Seldadyo, Harry, Deli Sopian, Denny Julian, Retno Handini, Rullan Rinaldi, danWahyudi Romdhani (2009), Creation of New Jurisdictions and People’s Wel-fare: In Search of Alternatives, UNDP, BAPPENAS, DSF.

Page 70: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

63

Shleifer, Andrei and Robert W. Vishny (1997), ‘A Survey of Corporate Gover-nance’, Journal of Finance 52(2): 737-783.

Slamet Riyadhi Gadas (1999), ‘Forest Land and Fire Management in East NusaTenggara’, dalam Fire and Sustainable Agricultural and Forestry Develop-ment in Eastern Indonesia and Northern Australia, Prosiding InternationalWorkshop Northern Territory University, Jeremy Russell-Smith, Greg Hill,Siliwoloe Djoeroemana and Bronwyn Myers (eds.), Darwin, Australia, 13Ű15April 1999.

Stegarescu, Dan (2005), Costs, Preferences, and Institutions: An Empirical Anal-ysis of the Determinants of Government Decentralization, Zentrum f̈r Eu-ropäische Wirtschaftsforschung GmbH, Discussion Paper No. 05-39.

Sudarmo, Sri Probo dan Brasukra Sudjana (2009), ‘The Missing Link: TheProvince and Its Role in Indonesia’s Decentralization’, UNDP Indonesia Pol-icy Issues Paper, Mei.

Suryaningrat, Abdi dan Catur Utami Dewi (2010), Peninjauan Kapasitas/StrategiPengembangan Kapasitas: Tinjauan Kapasitas 10 SKPD Pemerintah Provin-si Gorontalo, Bappenas, Pemprov Gorontalo, dan UNDP, forthcoming.

Thompson, James D. (1967), Organizations in Action: Social Science Bases ofAdministrative Theory, McGraw-Hill, New York.

Treisman, Daniel (2006), ‘Explaining Fiscal Decentralisation: Geography, Colo-nial History, Economic Development and Political Institutions’, Common-wealth & Comparative Politics 44(3): 289-325.

von Luebke, Christian (2009), ’The Political Economy of Local Governance:Findings from an Indonesian Field Study’, Bulletin of Indonesian EconomicStudies, 45(2): 201-230.

Wahid, Pasril (1996), ‘Tanaman Lada: Sejarah Perkembangan dan Daerah Penye-barannya’, Monograf 1: 1-11, Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian, Bakai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

World Bank, Australian Indonesia Partnership, dan Sofei (2009), Analisa Pen-geluaran Publik Nusa Tenggara Timur. Laporan Akhir 2009.

Page 71: PA3_PGSP_Desentralisasi, Tatakelola, dan Provinsi

64