P U T U S A N Nomor 024/PUU-III/2005 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh; Drs. H. Muhammad Madel, M.M., beralamat di Jl. Merdeka No. 53, Kelurahan. Pasar Sarolangun, Kabupaten. Sarolangun, Provinsi Jambi yang berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 19 Nopember 2005 memberi kuasa kepada 1. Suhardi Somomoeljono, S.H., 2. Erman Umar, S.H., 3. Dominggus M. Luitnan, S.H., 4. Vasco Hendrik F. Siregar, S.H., masing-masing sebagai Advokad yang tergabung pada Kantor Law Office Suhardi Somomoeljono, S.H & Associates yang beralamat di Gedung Golden Centrum Jl. Majapahit No. 26 AF Jakarta Pusat, yang bertindak untuk dan atas nama Drs. H. Muhammad Madel, M.M; selanjutnya disebut sebagai --------------------- PEMOHON; Telah membaca surat permohonan Pemohon; Telah mendengar keterangan Pemohon; Telah mendengar keterangan lisan Pemerintah; Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah, Telah mendengar keterangan lisan Dewan Perwakilan Rakyat; Telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat;
46
Embed
P U T U S A Nhukum.unsrat.ac.id/mk/mk_24_2005.pdf · Drs. H. Muhammad Madel, M.M., beralamat di Jl. Merdeka No. 53, Kelurahan. ... yang terdiri atas asas kepastian hukum; asas tertib
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
P U T U S A NNomor 024/PUU-III/2005
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara
permohonan Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945) yang diajukan oleh;
Drs. H. Muhammad Madel, M.M., beralamat di Jl. Merdeka No. 53, Kelurahan.
Pasar Sarolangun, Kabupaten. Sarolangun, Provinsi
Jambi yang berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 19
Nopember 2005 memberi kuasa kepada 1. Suhardi Somomoeljono, S.H., 2. Erman Umar, S.H., 3. Dominggus M. Luitnan, S.H., 4. Vasco Hendrik F. Siregar, S.H., masing-masing sebagai Advokad yang
tergabung pada Kantor Law Office Suhardi
Somomoeljono, S.H & Associates yang beralamat di
Gedung Golden Centrum Jl. Majapahit No. 26 AF Jakarta
Pusat, yang bertindak untuk dan atas nama Drs. H. Muhammad Madel, M.M;selanjutnya disebut sebagai --------------------- PEMOHON;
Telah membaca surat permohonan Pemohon;
Telah mendengar keterangan Pemohon;
Telah mendengar keterangan lisan Pemerintah;
Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah,
Telah mendengar keterangan lisan Dewan Perwakilan Rakyat;
Telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat;
Telah mendengar keterangan para ahli dari Pemohon;
Telah membaca keterangan tertulis ahli dari Pemohon;
Telah membaca dan memeriksa bukti-bukti surat dari Pemohon;
DUDUK PERKARA
Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonannya bertanggal 22 Nopember 2005 yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Rabu tanggal 23 Nopember 2005 dan telah
diregistrasi pada hari Selasa tanggal 29 Nopember 2005 dengan Nomor
024/PUU-III/2005 yang telah diperbaiki dan telah disampaikan melalui
Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa, tanggal 24 Januari 2005;
Menimbang bahwa Pemohon didalam permohonannya mengemukakan
hal-hal sebagai berikut:
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Perubahan
Ketiga UUD 1945 juncto Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UUMK), dinyatakan
bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final, yang salah satunya adalah
berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang
Dasar.
Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga
dengan demikian Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan
a quo.
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
Bahwa Pemohon adalah Warga Negara Indonesia yang juga selaku
pejabat Bupati Sarolangun, yang secara demokratis telah dipilih oleh
rakyat.
Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, menyatakan Pemohon adalah pihak yang
2
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yaitu perorangan warga negara Indonesia;
Bahwa dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa "yang dimaksud
dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945";
Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005, telah pula
memberi 5 (lima) kriteria kerugian konsitusional, yaitu adanya kerugian
konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang,
menurut Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat, sebagai berikut: adanya hak
konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, bahwa hak
konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan
oleh suatu undang-undang yang diuji;
Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi:
a. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
b. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan,
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
Bahwa berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, Pemohon merupakan
pihak yang memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji,
oleh karena Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 telah dijadikan
dasar oleh Gubernur Provinsi Jambi dalam pengusulan pemberhentian
sementara Pemohon sebagai Bupati Kepala Daerah TK. II Kabupaten
Sarolangun, Propinsi Jambi, dimana Pemohon adalah selaku Warga
Negara Indonesia yang menjabat sebagai Bupati Kepala Daerah TK. II
Kab. Sarolangun, Propinsi Jambi. Oleh karenanya Pemohon berpendapat,
bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai
pihak dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
3
III. POKOK-POKOK PERMOHONAN
Bahwa Gubernur Kepala Daerah TK. I Jambi pada tanggal 29
Oktober 2005, telah mengajukan surat kepada Menteri Dalam Negeri
perihal "usul pemberhentian sementara Bupati Sarolangun atas nama
Drs. H. Muhammad Maddel., M.M. (Pemohon)", dengan dasar hukum
Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang isinya sbb: " ...... Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD
karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme,
makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara .......... ".
Bahwa dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa "yang
dimaksud dengan "didakwa" dalam ketentuan ini adalah berkas
perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan dalam proses penuntutan",
berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 a quo, kemudian
dalam surat usulannya kepada Menteri Dalam Negeri tersebut, telah pula
dijadikan dasar argumentasi hukum oleh Gubernur Jambi adalah dengan
melampirkan surat dari Kejaksaan Tinggi Jambi yang intinya adalah
mengenai surat keterangan bahwa Pemohon selaku terdakwa
perkaranya sudah diperiksa di Pengadilan Negeri Bangko.
Bahwa adalah sangat tidak adil, seseorang yang belum memiliki
kepastian hukum dalam arti belum adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijde) yang menyatakan
bersalah atau tidak, tetapi sudah diusulkan untuk diskorsing
(pemberhentian sementara) dari jabatannya sebagai Bupati Sarolangun,
sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 tentang
Pemerintahan Daerah;
Bahwa usul pemberhentian sementara tersebut telah melanggar
azas hukum praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence) dan juga
asas persamaan dan kedudukan dalam hukum (equality before the law)
sebagaimana yang berlaku umum yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945, yaitu: “ ….. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya …..”
4
Bahwa dengan berlakunya Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun
2004, hak konstitusional Pemohon dirugikan, karena hanya dengan
didakwa saja seseorang sudah dapat diberhentikan sementara dari
jabatannya, dalam hal ini Pemohon sebagai Bupati Sarolangun, tanpa
adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
Bahwa ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 a quo
telah menimbulkan kerugian baik moril maupun materiil terhadap diri
Pemohon, karena telah terbangun image di masyarakat bahwa Pemohon
telah bersalah, akankah masyarakat begitu cepat percaya secepat
membalikkan telapak tangan, kalau seandainya tidak terbukti Pemohon
melakukan apa yang telah didakwakan kepadanya;
Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, berbunyi “…… Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum …..”,
dengan berlakunya ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004,
telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon, oleh karena
dakwaan yang ditujukan kepada Pemohon belum mempunyai kekuatan
hukum tetap, akan tetapi Pemohon sudah diusulkan untuk diberhentikan
sementara oleh Gubernur Provinsi Jambi, yang menerapkan Pasal 31 ayat
(1) UU a quo;
Bahwa Surat Usulan Gubernur tersebut, oleh Menteri Dalam Negeri
telah ditindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 131-25-1016 Tahun 2005, tanggal 18 Nopember 2005,
tentang Pemberhentian Sementara Bupati Sarolangun Provinsi Jambi,
dengan demikian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon telah
dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun
2004 tersebut;
Bahwa apabila ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004
a quo dikaitkan dengan Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi “……..
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
dipersidangan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum kesalahannya
dinyatakan dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap …….. ”, maka terasa sangat tidak sejalan
5
dan terdapat adanya ketidakpastian hukum, demikian pula halnya apabila
dikaitkan dengan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang berbunyi “Setiap orang yang ditangkap, ditahan,
dituntut, karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap
tidak bersalah, sarnpai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam
suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang
diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan".
Bahkan sejak tahun 1010 didalam dekrit dari Bishop (Pendeta)
Burchard van Worm, bagian XVI-C6, dengan menunjuk kepada dekrit dari
Paris Hodrianus yang isinya menyatakan “ ……. Tidak seorangpun dari
pihak yang berperkara dapat dituduh sebagai orang yang merugikan,
sebelum terlebih dahulu ada pemeriksaan yang membuktikannya bersalah,
berdasarkan pengakuannya dan pernyataan para saksi yang cukup kuat
untuk membuktikan kesalahannya, sehingga dihasilkan keputusan yang
tetap yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah …….. ” (hal. 245
DR. Mien Rukmini, S.H.,M.S. tahun 2003, Perlindungan HAM pada sistim
Peradilan Pidana Indonesia).
Bahwa sendainya Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tetap diberlakukan, maka berpotensi terjadinya
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Penguasa,
karena tanpa menunggu adanya putusan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, seorang Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
dapat diberhentikan sementara hanya karena Kepala Daerah dan/atau
Wakil Kepala Daerah tersebut di dakwa melakukan tindak pidana korupsi,
tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap
keamanan negara;
Bahwa sangat ironis ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang tidak mereferensi UUD 1945 dan UU lain,
karena jelas-jelas telah mengintrodensir perlunya asas praduga tidak
bersalah dalam menjalankan suatu keputusan dalam bentuk apapun
terutama bentuk-bentuk keputusan yang terkait dengan tata negara/tata
pemerintahan;
Bahwa pemberhentian sementara bagi seorang Bupati dari
6
Jabatannya adalah merupakan bagian dari sanksi yang secara langsung
telah merugikan baik moril/materiil terhadap hak-hak konstitusi seseorang,
karena sanksi berupa pemberhentian sementara tersebut bertentangan
pula dengan asas hukum Presumption Of Innocence (praduga tak
bersalah), pemberhentian sementara bagi seseorang yang belum memiliki
drajat kepastian hukum dari pengadilan adalah merupakan bagian dari
tindakan yang mengintrodensir asas hukum Presumption Of Guilt
(praduga bersalah), dan bukan zamannya lagi hukum dipolitisir dan/atau
hukum dijadikan bagian dari permainan/kepentingan politik;
Bahwa Pemohon baik selaku perorangan WNI maupun selaku
Bupati Kepala Daerah mempunyai kewajban untuk merealisasikan tugas
dan tanggung jawabnya dalam merealisasikan pembangunan di
daerahnya, sebagaimana telah diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 19 ayat (2) yang berbunyi
"Penyelenggara pemerintahan daerah adalah Pemerintah Daerah dan
DPRD", sementara Pasal 20 ayat (1) berbunyi: “Penyelenggaraan
pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara
yang terdiri atas asas kepastian hukum; asas tertib penyelenggara negara;
asas kepentingan umum; asas keterbukaan; asas proporsionalitas; asas
profesionalitas; asas akuntabilitas; asas efisiensi dan .asas efektivitas".
Bahwa Pemohon beranggapan pemberlakuan Pasal 31 ayat (1)
dalam UU No. 32 Tahun 2004 menyebabkan Pemohon sebagai Kepala
Daerah TK. II Kabupaten Sarolangun, tidak independen, tidak demokratis,
dan konsekwensinya, potensial terjadi kesewenang-wenangan baik yang
dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah TK. I, Menteri Dalam Negeri
maupun Presiden dalam menggunakan kekuasaannya sehingga Pemohon
merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya;
Bahwa berdasarkan dalil-dalil sebagaimana uraian di atas,
Pemohon berkesimpulan bahwa Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah bertentangan dengan
terhadap keamanan negara adalah dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip
penyelenggaraan pemerintahan, yaitu antara lain prinsip akuntabilitas, efisiensi
dan efektifitas (sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi
dan Nepotisme). juga didasari pemikiran agar roda pemerintahan di daerah
22
tetap berjalan sebagaimana mestinya tanpa terganggu jalannya proses
peradilan yang panjang dan melelahkan. Karena itu Pemerintah meminta
kepada Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
menjelaskan dan membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar
Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan. Pemerintah beranggapan bahwa tidak terdapat dan/atau telah
timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
atas keberlakuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, karena itu kedudukan hukum (legal standing)
Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana tercantum pada Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pemerintah memohon agar
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain, berikut ini disampaikan penjelasan Pemerintah tentang
materi pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
I I I . PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.
Sehubungan dengan anggapan Pemohon yang menyatakan bahwa
ketentuan: Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang menyatakan : " Kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui
usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak
pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan
negara".
Bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (1) menyatakan : " Segala warga negara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,.
23
Pasal 28D ayat (1) menyatakan : " Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum".
Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, Pemerintah dapat
menyampaikan penjelasan sebagai berikut :
1. Bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang diberhentikan
sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak
pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan
negara (Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah),adalah dalam rangka menjaga wibawa hukum dan
persamaan di muka hukum (equality before the law), sehingga aparat
penegak hukum (khususnya Hakim) tidak ewuh-pakewuh dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana tersebut.
2. Bahwa pemberhentian sementara dari jabatan Kepala Daerah dan/atau
Wakil Kepala Daerah sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 31
ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang menyatakan "yang dimaksud dengan "didakwa" dalam
ketentuan ini adalah berkas perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan
dalam proses penuntutan" menunjukkan bahwa pemberhentian sementara
kepala daerah dimaksud dapat dilakukan setelah perkara yang diperiksa
tersebut, telah sampai di pengadilan untuk selanjutnya dilakukan proses
pemeriksaan di persidangan, sehingga kepala daerah yang telah
diberhentikan untuk sementara waktu dapat mengikuti/menghadiri proses
persidangan, tanpa adanya halangan/rintangan dalam pelaksanaan tugas
sebagai Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.
3. Bahwa mengingat Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah sebagai
pejabat negara mempunyai kesibukan yang sangat padat, maka
pemberhentian sementara Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
tersebut dimaksudkan agar proses pemeriksaan di pengadilan sampai
pembacaan putusan Hakim tidak mengganggu kesibukan/tugas-tugas
keseharian penyelenggaraan pemerintahan daerah utamanya dalam
rangka pelayanan kepada masyarakat.
4. Bahwa Pemerintah menjunjung tinggi dan menghargai asas praduga tak
24
bersalah (presumption of innocence) sebagaimana tertuang dalam
ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : " Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap". Karena itu Pemerintah berpendapat bahwa
pemberhentian sementara Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah yang didakwa melakukan tindak pidana adalah rangka
menghormati dan menjunjung tinggi asas presumption of innocence
tersebut, yang pada gilirannya bila Kepala Daerah dan/atau Wakil
Kepala Daerah dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan maka yang
bersangkutan harus dipulihkan nama balk dan jabatannya.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut diatas, maka ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak merugikan
hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dan tidak bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut diatas, Pemerintah
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat
memberikan putusan sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal
standing);
2. Menolak permohonan pengujian Pemohon (void) seluruhnya atau setidak-
tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
onvankelijke verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan: Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
25
Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan: Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetap mempunyai kekuatan
hukum mengikat dan tetap berlaku diseluruh Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian apabila Ketua/
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya
(ex aequo et bono) dengan menjunjung tinggi sikap kenegarawanan.
Menimbang bahwa pada tanggal 06 Maret 2006, Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi telah menerima keterangan tertulis dari DPR RI yang
menguraikan sebagai sebagai berikut :
MENGENAI POKOK MATERI PERMOHONAN :
Di dalam permohonannya, Pemohon menyatakan bahwa :
Pada Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan ketentuan Pasal 31 ayat (1)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 khususnya ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1).
Terhadap permohonan tersebut disampaikan keterangan sebagai
berikut:
1. Pemberhentian sementara yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan
untuk menghindari terhambatnya proses pemerintahan di daerah, karena
proses hukum memakan waktu yang cukup lama mulai dari penyidikan,
penuntutan, dan atau peradilan.
2. Pemberhentian sementara juga dimaksudkan untuk memudahkan urusan
penyelenggaraan pemerintahan dimana tugas-tugas Bupati yang dialihkan
kepada pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah tidak akan terpengaruh atas proses hukum yang
dikenakan pada Bupati yang berstatus sebagai terdakwa.
3. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat diberhentikan tanpa melalui
DPRD, pengaturan ini merupakan bentuk penegasan adanya supervisi
Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah.
26
4. Tidak diikutsertakannya DPRD dalam proses pemberhentian sementara,
mengacu pada definisi pemerintahan dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikatakan bahwa “Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam hal itu maka bupati bertanggung
jawab atas perbuatannya sendiri sebagai pemangku jabatan dan oleh
karena itu dalam hal melakukan perbuatan pidana sebagaimana dalam
Pasal 31 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa bupati bertanggung
jawab untuk dan atas nama dirinya sendiri. Dengan demikian
pemberhentian sementara oleh Presiden untuk kepentingan pemeriksaan
harusnya tidak memerlukan pertimbangan DPRD.
5. Untuk menjamin kepastian hukum serta memudahkan aparat penegak
hukum dalam melakukan proses peradilan terhadap terdakwa yang telah
dibebastugaskan dari jabatan publik. Dengan dibebastugaskannya pejabat
tersebut, maka ia tidak dapat melakukan intervensi dan menyalahgunakan
kewenangannya sebagai pejabat publik menyangkut kasus yang
didakwakan kepadanya.
6. Dalam kaitannya dengan proses hukum pemberhentian sementara
dilakukan pada terdakwa selama ia masih menjabat sebagai Bupati agar
tidak menimbulkan kekhawatiran (konflik kepentingan) bahwa terdakwa
dapat merusak dan/atau menghilangkan barang bukti.
7. Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
a. Semangat perumusan Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan ketentuan 31
ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah adalah untuk menjamin kepastian hukum dan tidak mengganggu
proses hukum yang sedang dilaksanakan.
b. Undang-undang ini memberi sanksi yang tegas kepada pejabat
khususnya kepala daerah dan yang terlibat tindak pidana korupsi bahkan
memberikan kewenangan bagi presiden sebagai penyelenggara
pemerintahan Negara yang tertinggi untuk memberhentikan pejabat yang
korupsi tersebut.
27
c. Pada waktu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dibuat, sedang
gencarnya pemberantasan tindak pidana korupsi atau yang disebut
extra ordinary crime dengan semangat itulah Undang-Undang ini
memberikan wewenang sepenuhnya kepada presiden untuk secara
langsung memberhentikan pejabat-pejabat publik yang didakwa
melakukan tindak pidana tersebut dalam rangka meningkatkan
kepercayaan publik terhadap pemerintah.
d. Menghindari konflik kepentingan yang dilakukan oleh terdakwa selaku
Bupati agar tidak mengganggu proses penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Berdasarkan hal tersebut, maka materi muatan Pasal 31 ayat (1) dan
Penjelasan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya
ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Karena dalam
permohonan Pemohon menekankan presumption of innocence yang
tidak berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menimbang bahwa untuk menyingkat uraian putusan ini maka segala
sesuatu yang terjadi dalam persidangan ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah
sebagaimana diuraikan di atas;
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut materi
permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah)
terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
• Pertama, apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo;
• Kedua, apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo;
28
Terhadap kedua permasalahan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
1. Kewenangan Mahkamah
Menimbang bahwa, tentang kewenangan Mahkamah, Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 menyatakan antara lain bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan
tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);
Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian
undang-undang, in casu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438) terhadap UUD
1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan
a quo.
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan, “Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara”.
Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima
sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945, maka orang atau pihak tersebut terlebih dahulu harus menjelaskan:
a. kualifikasinya dalam permohonan a quo, apakah sebagai perorangan warga
negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat (yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) huruf b di atas),
badan hukum (publik atau privat), atau lembaga negara;
29
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang;
Menimbang bahwa berdasarkan 2 (dua) ukuran dalam menilai dimiliki
atau tidaknya kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dalam
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 tersebut di atas, telah menjadi
yurisprudensi Mahkamah bahwa syarat-syarat kerugian konstitusional yang
harus diuraikan dengan jelas oleh Pemohon dalam permohonannya, yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah
dirugikan oleh undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon dimaksud bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya telah menjelaskan
kualifikasinya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UUMK, yaitu
sebagai perorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Bupati
Sarolangun, Provinsi Jambi;
Menimbang bahwa dalam kualifikasi demikian, Pemohon menganggap
telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 31 ayat (1) UU
Pemda karena pada saat permohonan a quo diperiksa Mahkamah, Pemohon
telah diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Bupati Sarolangun oleh
Menteri Dalam Negeri atas usul Gubernur Jambi, yaitu dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131-25-1016 Tahun 2005
bertanggal 18 November 2005 tentang Pemberhentian Sementara Bupati
Sarolangun Provinsi Jambi yang menjadikan Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan
Pasal 31 ayat (1) UU Pemda tersebut sebagai dasar pemberhentian sementara
dimaksud;
30
Menimbang, berdasarkan uraian di atas, sesuai dengan ketentuan Pasal
51 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUMK, maka Mahkamah
berpendapat Pemohon memiliki kualifikasi untuk mengajukan permohonan
a quo;
Menimbang lebih jauh bahwa hak-hak yang oleh Pemohon dijadikan
dasar untuk mengajukan permohonan a quo, yaitu hak untuk diperlakukan tak
bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hak
untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif, dan hak atas kepastian hukum adalah hak-hak yang
merupakan bagian dari hak-hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945;
Menimbang bahwa, menurut anggapan Pemohon, hak-hak konstitusional
Pemohon itulah yang secara aktual telah dirugikan oleh pemberhentian
sementara terhadap diri Pemohon dari jabatan Bupati Sarolangun dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131-25-1016
Tahun 2005 bertanggal 18 November 2005 tentang Pemberhentian Sementara
Bupati Sarolangun Provinsi Jambi;
Menimbang bahwa, sebagaimana dijelaskan oleh Pemohon dalam
permohonannya, terbitnya Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dimaksud
adalah karena Pemohon didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan
dakwaan tersebut, pada saat permohonan a quo diperiksa oleh Mahkamah,
telah sampai pada tahap proses penuntutan di pengadilan, sebagaimana
dimaksud oleh Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda, yang atas dasar itu
Gubernur Jambi kemudian mengusulkan pemberhentian sementara Pemohon
dari jabatannya sebagai Bupati Sarolangun kepada Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat keputusan sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, telah nyata terdapat hubungan
kausal antara anggapan Pemohon tentang kerugian hak konstitusional yang
dideritanya dan berlakunya Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1)
UU Pemda;
Menimbang, berdasarkan seluruh anggapan Pemohon sebagaimana
diuraikan di atas, telah nyata pula bahwa kerugian hak-hak konstitusional
Pemohon dimaksud tidak akan terjadi lagi seandainya permohonan a quo
dikabulkan;
31
Menimbang, dengan berdasar pada seluruh uraian di atas, Mahkamah
berpendapat bahwa syarat kerugian konstitusional telah terpenuhi. Sementara
itu, Pemohon telah jelas pula kualifikasinya dalam permohonan a quo, sehingga
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku
Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan
Pasal 31 ayat (1) UU Pemda;
Menimbang, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo dan
oleh karena permohonan a quo diajukan oleh pihak yang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon, maka selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan pokok atau substansi permohonan.
3. Pokok Permohonan
Menimbang bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Pemda dan Penjelasan Pasal
31 ayat (1) UU Pemda, yang oleh Pemohon didalilkan bertentangan dengan
UUD 1945, masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31 ayat (1), “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan
sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa
melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar dan/atau
tindak pidana terhadap keamanan negara”, sedangkan Penjelasan Pasal 31
ayat (1) UU Pemda tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ‘didakwa’
dalam ketentuan ini adalah berkas perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan
dalam proses penuntutan”;
Menimbang, oleh karena Pemohon mendasarkan dalilnya bahwa Pasal
31 ayat (1) UU Pemda dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 karena
ketentuan tersebut melanggar asas praduga tak bersalah, asas persamaan di
muka hukum, dan asas kepastian hukum, dan bersifat diskriminatif maka yang
menjadi permasalahan utama yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah
dalam permohonan a quo adalah apakah benar ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU
Pemda dan Penjelasannya dimaksud bertentangan dengan:
• asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) karena terhadap diri
Pemohon belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap yang menyatakannya bersalah;
• asas persamaan di muka hukum (equality before the law) sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 UUD 1945 karena Pemohon merasa tidak
32
diperlakukan sama dibandingkan dengan perkara Ir. Akbar Tanjung yang
didakwa melakukan tindak pidana korupsi pada saat menjabat sebagai
Ketua DPR dan Mayor Jenderal Sriyanto yang didakwa melakukan tindak
pidana pelanggaran HAM berat pada saat menjabat sebagai Danjen
Kopassus tetapi keduanya tidak diberhentikan sementara dari jabatannya,
sehingga Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda
dimaksud, menurut Pemohon, juga bersifat diskriminatif;
• asas kepastian hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pangakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum” karena dakwaan yang ditujukan kepada Pemohon belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi Pemohon sudah diberhentikan
sementara oleh Menteri Dalam Negeri, sehingga Pemohon menganggap
tidak ada kepastian hukum;
Menimbang bahwa dalam memeriksa permohonan a quo, di samping
telah mempelajari secara seksama keterangan serta bukti-bukti yang diajukan
Pemohon, Mahkamah telah pula membaca keterangan tertulis dan mendengar
keterangan lisan Pemerintah, membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), mendengar keterangan para ahli yang diajukan Pemohon, yang
uraian selengkapnya telah dikemukakan pada bagian Duduk Perkara;
Menimbang bahwa Pemerintah dalam keterangan tertulisnya bertanggal
22 Februari 2006 dan ditandatangani oleh Hamid Awaludin (Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia) dan H. Moh. Ma’ruf (Menteri Dalam Negeri), selaku kuasa
hukum pemerintah, pada intinya menyatakan bahwa pemberhentian sementara
Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah oleh Presiden tanpa melalui
usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang didakwa melakukan