PROPOSAL STIMULUS PENELITIAN UNIVERSITAS NASIONAL PERJUANGAN PEREMPUAN TERHADAP NILAI-NILAI PATRIARKI PADA EMPAT J-DORAMA JEPANG PENELITI FAIRUZ, M.HUM Universitas Nasional Jl. Sawo Manila No.61, Pejaten, Pasar Minggu Jakarta 12520, 021-7891753 2018
PROPOSAL STIMULUS PENELITIAN
UNIVERSITAS NASIONAL
PERJUANGAN PEREMPUAN TERHADAP NILAI-NILAI PATRIARKI PADA
EMPAT J-DORAMA JEPANG
PENELITI
FAIRUZ, M.HUM
Universitas Nasional Jl. Sawo Manila No.61, Pejaten, Pasar Minggu
Jakarta 12520, 021-7891753
2018
SUBTANSI PROPOSAL PENELITIAN
ABSTRAK
Penelitian ini membahas perjuangan perempuan Jepang melawan nilai nilai patriarki melalui empat J-Dorama Jepang yang berjudul Watashi ga Renai Dekinai Riyuu, Doctor-X Seasonn I, Mondai No Aru Resutoran dan Minshu no Teki. Keempat J Dorama ini menceritakan perjuang perempuan melawan nilai nilai patriarki yang begitu mengakar pada masyarakat Jepang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pekerjaan. Berdasarkan empat j-dorama jepang ini masalah yang akan diangkat adalah sebagai berikut bagaimana bagaimana sikap, pandangan dan perlawanan perempuan jepang melawan budaya patriarki melalui analisis alur, latar tokoh dan penokohan. Penelitian ini dilakukan melalui analisis 2 unsur, yaitu unsur instrinsik yang terdiri dari unsur naratif dan unsur ekstrinsik menggunakan teori Feminis. Dengan menggunakan teori intrinsik dan teori ekstrinsik feminisme ini hasil penelitian diasumsikan sebagai berikut, pada J Dorama Watashi ga Renai Dekinai Riyuu, terlihat perempuan mampu mengatasi hidupnya sendiri tanpa didampingi laki-laki dengan cara hidup bersama teman teman perempuan yang disebut dengan sisterhood, pada J Dorama Doctor-X Seasonn I ditemukan perlawanan terhadap sistem patriarki dalam dunia kedokteran. Daimon Michiko seorang dokter perempuan dianggap tidak mampu dan tidak dapat memimpin ternyata Michiko adalah dokter bedah perempuan lebih bagus dibandingan dengan dokter bedah laki-laki. Sikap pantang menyerah Daimon Michiko mampu menyamakan kedudukannya dengan laki-laki dalam bidang kedokteran spesialisis bedah yang selama ini di dominasi oleh dokter bedah laki-laki. Pada J Dorama Mondai No Aru Resutora, 6 orang perempuan yang mendapatkan ketidakadilan gender ternyata mampu mendapatkan kesetaraan gender dengan lakilaki dalam bidang pekerjaan. Begitu juga dalam J Dorama Minshu no Teki, perempuan mampu melawan tekanan dan ketidak adilan gender dalam dunia politik dan berhasil mematahkan dominasi patriarki dalam dunia politik dengan membuktikan diri sebagai politikus bahkan terpilih menjadi wali kota mengalahkan laki laki.
Kata kunci : Freelance, feminisme, gender, stereotype, patriarkhi, sisterhood
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perempuan disimbolkan sebagai lambang kehalusan, emosional, lemah lembut,
cantik, manja serta anggun. Namun posisi perempuan biasanya lekat dengan keterpurukan,
ketertindasan bahkan terkadang laki-laki menganggap perempuan itu sebagai “objek”
bukan “subjek”. Perempuan selalu dinomorduakan karena adanya anggapan bahwa laki-laki
sebagai makhluk yang superior sedangkan kaum perempuan sebagai kaum yang inferior.
Berasal dari asumsi itu, kaum perempuan selalu diremehkan dan dianggap tidak pantas
untuk disejajarkan dengan kaum laki-laki dalam hal pendidikan, pekerjaan bahkan jabatan.
Terbatasnya posisi perempuan menyebabkan minimnya pengetahuan tentang pendidikan
dalam bidang di luar urusan rumah tangga.
Pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa (1602-1608), wanita tidak dapat
memiliki harta benda, tidak diperbolehkan ikut serta dalam kegiatan bisnis, perempuan
hanya diperbolehkan belajar tulisan hiragana tetapi tidak boleh membaca tentang politik
dan kesusastraan yang biasanya ditulis dengan huruf kanji. Di Jepang perempuan ketika
masih anak-anak harus tunduk kepada ayahnya dan ketika dewasa kepada suaminya. Pada
hakikatnya perempuan berderajat lebih rendah daripada laki-laki, sehingga tugasnya
adalah untuk mengabdi pada laki-laki (Okamura, 1983:1). Hal ini menyebabkan
perempuan Jepang dahulu menganggap sebuah perkawinan adalah salah satu sumber
ekonomi. Perempuan Jepang yang sudah menikah diharapkan memiliki anak laki-laki
karena untuk mempertahankan ie (garis keturunan seorang ayah). Ie merupakan suatu
unit rumah tangga yang kesinambungannya bergantung pada garis keturunan seorang
ayah kepada seorang anak laki-laki (Sudjiman, 2002:29).
Pada tahun 1973 Jepang mengalami krisis yang membuat negara Jepang
mengadakan perubahan dalam dunia kerja maupun perubahan dalam struktur industri
manafaktur, dan jasa. Perubahan tersebut untuk memperbaiki ekonomi negara Jepang
dan dengan adanya perubahan ini, negara Jepang membutuhkan banyak tenaga kerja
bukan hanya laki-laki namun juga tenaga perempuan. Perempuan dibutuhkan dalam dunia
pekerjaan, baik pekerja tetap maupun paruh waktu. Dengan adanya perubahan tersebut
kehidupan perempuan pun berubah, tidak hanya dalam bidang pekerjaan namun dalam
bidang pendidikan. Perempuan Jepang dewasa ini dapat menempuh pendidikan tinggi.
Kesamaan derajat antara perempuan dan laki-laki membuat mereka harus saling
menghargai dan bekerja sama satu sama lain. Selain itu, diterbitkan Undang-Undang
Pokok yang berisi tentang persamaan dalam kesempatan pendidikan untuk semua orang,
melarang deskriminasi, karena suku, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial,
kedudukan ekonomi, dan latar belakang keluarga (Okamura, 1983:55).
Perubahan ini membuat perempuan Jepang dewasa ini bebas untuk belajar dan
mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan dalam sektor pekerjaan perempuan dapat
memilih perkerjaan tanpa adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki sehingga
tidak terlalu memikirkan tentang pernikahan. Pada umumnya di Jepang tahun 1960-an
perempuan Jepang menikah pada usia 23 tahun dan pada umur tersebut layak untuk
menikah, tetapi perempuan Jepang saat ini berpikir bahwa pernikahan tidak begitu
penting, bagi perempuan Jepang pernikahan bukan prioritas pertama. Riset yang
dilakukan pada tahun 1995 oleh surat kabar Nikken Shinbun pada suatu perusahaan
Jepang banyak menemukan bahwa perempuan Jepang tidak ingin menikah walaupun
umurnya sudah 30 tahun, banyak perempuan Jepang memilih hidup melajang dengan
berbagai alasan, hasilnya 44,2 persen menjawab tidak masalah jika tidak menikah
dikarenakan sudah mandiri dalam bidang pekerjaan dan keuangan, dan 2 persen tidak
memiliki keinginan untuk menikah (http://j-cul.com).
Pendidikan perempuan yang tinggi telah membuka wawasan dan pandangan
perempuan Jepang menjadi lebih luas dan terbuka. Kini, perempuan melihat sebuah
perkawinan bukan salah satu sumber ekonomi. Pendidikan perempuan Jepang yang tinggi
menyebabkan mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Menurut
Faneslow dengan mendapat pekerjaan yang baik, maka juga mendapatkan pendapatan
yang tinggi (Faneslow, 1995:305). Ini salah suatu penyebab mengapa perempuan Jepang
tidak mau menikah meskipun usianya sudah cukup untuk menikah. Kehidupan
perempuan Jepang yang tidak menikah ini banyak dijadikan tema dalam drama-drama
Jepang. Seperti “ Watashi ga Renai Dekinai Riyuu “ yang terdiri dari 10 episode
ditayangkan di Fuji TV Jepang pada Desember 2011. Drama ini menceritakan tentang
kehidupan tiga orang perempuan lajang, yaitu Fujii Emi (27 tahun), Saki Ogura (24 tahun),
Mako Hanzawa (22 tahun). Dalam kehidupannya mereka bertiga memiliki permasalahan
yang berkaitan dengan persahabatan, percintaan, pekerjaan dan menikmati kehidupan
mereka yang masih lajang.
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan Jepang sebagai
akibat dari budaya patriarki juga tergambar dalam sebuah drama serial yang berjudul “
Mondai No Aru Resutoran”. Drama karya Sakamato Yuji yang dirilis pada tanggal 15
Januari – 19 Maret 2015 dan ditayangkan di saluran Fuji TV Jepang. Drama yang terdiri
dari 10 episode ini menceritakan tentang kehidupan enam perempuan yang diberi label
“menyedihkan dan gagal” mulai mendirikan restoran. Tanaka bekerja dalam bisnis restoran
yang didominasi oleh laki-laki, tetapi kemudian dipecat dan dibawa ke polisi akibat
membela temannya Fujimura Satsuki yang bekerja di perusahaan yang sama (yang
bergerak di bidang food and beverage) yang mendapatkan pelecehan seksual dari direktur
perusahaannya. Tanaka berniat mendirikan restoran di sebuah bangunan yang terletak tepat
di seberang restoran yang dikelola oleh bekas perusahaannya. Tanaka mengajak lima
temannya yang memiliki masalah dan kepribadian yang berbeda-beda sehingga tak mudah
bagi Tanaka untuk mengelola restoran tersebut. Diskriminasi kerap kali mereka alami
dalam lingkungan kerja, mulai dari hal sepele hingga hal serius. Mereka memutuskan untuk
bergabung dan menciptakan restoran mereka sendiri dan menunjukkan pada orang-orang
khususnya laki-laki yang meremehkan mereka. Mereka berjuang dalam melawan
ketidaksetaraan gender yang dilakukan laki-laki, mereka berusaha untuk menunjukkan
bahwa perempuan bisa sebaik laki-laki.
Pada dunia politikpun jumlah perempuan yang berperan sangat sedikit, padahal
setengah dari populasi penduduk di Asia menjadi penyumbang suara terbanyak, akan tetapi
perempuan hanya menempati peranan dan posisi marginal serta tidak strategis dalam
berbagai tingkatan struktur pemerintahan. Perempuan dipandang sebelah mata dalam dunia
politik oleh para kaum lelaki, apabila perempuan ingin terjun dalam dunia politik, mereka
akan mengalami penindasan dan kesulitan dari para lelaki. Hal ini terlihat pada drama yang
berjudul “Minshu no Teki”. Drama karya Hiro Kanai yang dirilis pada tanggal 23 Oktober –
25 Desember 2017 dan ditayangkan di saluran Fuji TV Jepang. Mishu no Teki merupakan
drama yang diperankan oleh Yuriko Ishida dan Ryoko Shinohara sebagai tokoh utamanya.
Drama yang terdiri dari 10 episode ini menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan
yang bernama Tomoko Sato hanya lulusan SMP. Dia memiliki suami dengan satu anak.
Suaminya bekerja sebagai pekerja paruh waktu karena mengalami pemutusan hubungan
kerja. Tomoko berusaha mencalonkan diri sebagai politikus daerah, dan hal itu banyak
ditentang masyarakat yang tidak yakin terhadap kemampuan Tomoko yang perempuan dan
lulusan SMP, saingannya para laki laki yang mau menjatuhkannya untuk tidak dipilih
sebagai politikus daerah. Namun Tomoko tidak tinggal diam, dia pun berusaha berjuang
untuk haknya sebagai seorang perempuan yang juga dapat ikut dalam pertarungan politik.
pendekatan feminis.
Selanjutnya drama berjudul Doctor-X Season 1. Doctor-X Season 1 karya Naoki
Tamura yang ditayangkan pada 18 Oktober 2012 di stasiun TV Jepang ASAHI. Drama ini
menceritakan Daimon Michiko seorang dokter perempuan yang memiliki spesialisasi
bedah yang melebihi para profesor yang di dominasi laki-laki. Michiko selalu mengatakan
“ aku tidak pernah gagal”. Sehingga dia menjadi musuh para dokter dan profesor yang
memiliki gelar yang lebih tinggi. Apalagi status Michiko di rumah sakit universitas itu
adalah dokter bedah freelance. Disamping itu Michiko tidak mau tunduk pada aturan yang
ditetapkan oleh rumah sakit. Tindakkan yang dilakukan oleh Michiko bertentangan dengan
sistem patriarki yang selama ini diterapkan oleh masyarakat Jepang sehingga hal ini
menarik untuk diteliti dengan menggunakan pendekatan feminis..
1.2 Kerangka Teoritis
Menurut Tong (2006:23), pada abad ke- 18 feminisme muncul dalam bentuk
gagasan tentang masyarakat yang adil dan mendukung pengembangan diri perempuan yang
sama dengan laki-laki. Pada masa kini banyak perempuan yang sudah tidak sesuai dengan
stereotip yang dinyatakan oleh Millett (2002: 26) yaitu tunduk (submissive), bodoh
(ignorant), baik (virtuous), dan tidak efektif. Namun pada kenyataannya perempuan jepang
walaupun sudah mendapat pendidikan tinggi tetapi hanya memiliki sedikit pengaruh dalam
masyarakat bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam
masyarakat. Mereka secara ekonomi, sosial, politik dan psikologi tergantung pada laki-laki.
Menurut Sugihastuti (2007: 53-60), pembagian kerja secara seksual hanya sedikit bahkan
tidak berkorelasi sama sekali dengan aktivitas reproduksi dan ukuran tubuh, eksistensi
pembagian kerja bersifat universal tetapi tidak detail pembagiannya. Masyarakat
memandang laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan. Konstruksi
ini terus berjalan dan terbentuklah kebudayaan yang melestarikan dan melegalkan. Menurut
Muthali’in (2001:24-25), konsep ini menempatkan perempuan pada posisi yang kurang
menguntungkan. Hal ini berakibat pada banyaknya ketidakadilan yang diterima perempuan
selama ini. Ketidakadilan ini membuat perempuan diberi stereotype sebagai makhluk kelas
dua, sehingga perempuan dianggap sebagai anggota masyarakat yang tidak mempunyai
peran utama di segala bidang di ranah publik.
1.3 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan di atas, penulis akan
mengangkat permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk ketidakadilan gender melalui analisis empat drama Jepang
tersebut diatas ?
2. Bagaimana sikap dan pandangan perempuan Jepang dalam memperjuangkan
kesetaraan gender melalui analisis empat drama tersebut di atas ?
1.4 Urgensi Penelitian
Sebuah penelitian seyogyanya dapat memberikan manfaat baik bagi dosen yang
meneliti, pihak perguruan tinggi, maupun bagi masyarakat pada umumnya. Bagi dosen
yang meneliti diharapkan dapat meningkatan keilmuan yang terkait dengan bidangnya serta
menciptakan ruang untuk berpikir kritis terkait dengan masalah sosial dan lingkungan.
Hasil penelitian ini pada akhirnya juga akan memberikan kontribusi pada universitas dan
berimplikasi pada meningkatnya kinerja dosen, kualitas pengajaran, mutu lembaga, dan
kualitas lulusan. Selanjutnya hal yang paling penting adalah melalui penelitian ini
diharapkan dapat menggugah kesadaran masyarakat, khususnya pembelajar bahasa Jepang
mengenai kebangkitan perempuan melalui J Dorama.
1.5 Tujuan
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Mendeskripsikan serta menggali bentuk-bentuk ketidakadilan gender melalui analisis
empat J Dorama tersebut diatas ?
2. Mendeskripsikan dan memperlihatkan sikap dan pandangan perempuan Jepang
dalam memperjuangkan kesetaraan gender melalui analisis empat J Dorama tersebut
di atas ?
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian feminisme dalam dunia sastra sudah banyak dilakukan dalam berbagai
bahasa baik bahasa Indonesia, inggris maupun Jepang, dengan data berasal dari novel, puisi
maupun film atau drama.
Annette Kolodny seperti dikutip Djajanegara (2000:190) mengatakan dalam karya
sastra yang pada umumnya hasil tulisan laki-laki, perempuan ditampilkan secara
stereotype sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti, wanita manja, pelacur, dan wanita
dominan. Padahal perempuan memiliki perasaan-perasaan yang sangat pribadi, seperti
penderitaan, kekecewaan, dan rasa tidak aman yang hanya dapat diungkapkan secara tepat
oleh perempuan itu sendiri.
Kate Millet dalam Jurnal Perempuan Volume 30, (Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 2003: 5) menunjukkan tentang penulisan sastra pada tahun
1830-1930 menunjukkan berbagai pernyataan misoginis tentang perempuan: adanya
paradigma sentimental perempuan yang saleh, ibu yang baik, dan gadis yang malu-malu
proyeksi perempuan sensual dan kuat sebagai si penggoda, perusak rumah tangga, perusak
nilai-nilai
Pada tahun 2002 dalam buku “Sexual Politics”, Kate Milett mengatakan bahwa seks adalah
politik. Artinya hubungan perempuan dalam masyarakat dengan laki-laki adalah hubungan
politik. Politik di sini bukan dalam artian partai atau legislatif, melainkan hubungan yang
didasari pada sturktur kekuasaan, yakni suatu kelompok manusia yang dikendalikan oleh
manusia lain. Lebih lanjut dalam buku tersebut, kelompok manusia yang menguasai adalah
laki-laki. Di mana laki-laki mengontrol perempuan adalah patriarki dan lembaga yang
melegalkannya adalah keluarga
Sugihastuti (2002:18) dalam bukunya berpendapat bahwa feminisme adalah
gerakan persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi,
pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak-hak serta
kepentingan perempuan. Feminisme juga kesadaran akan penindasan dan pemerasan
terhadap perempuan dalam masyarakat, baik di tempat kerja dan rumah tangga.
BAB 2
LANDASAN TEORI
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau
kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Gerakan feminisme lahir dengan diprakarsai oleh
Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condoracet dengan mengusung perjuangan
yang disebut universal sisterhood di negara-negara jajahan Eropa. Istilah feminisme dibuat
Charles Fourier di tahun 1837 yang kemudian dipopulerkan dengan adanya publikasi buku
berjudul The Subjection of Women oleh John Stuart Mill pada tahun 1869.
2.1 Feminisme
Feminisme merupakan suatu gerakan untuk menjujung tinggi kesamaan hak antara
wanita dengan laki-laki. Feminine bermakna wanita, Feminisme dalam (Sugihastuti,
2007:93) menurut Goefe ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di
bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan
hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminis adalah suatu gerakan yang berangkat dari
asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya tertindas dan
tereksploitasi, serta ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut
(Fakih, 2004:31).
Awal mula adanya feminisme adalah pada abad 18 di kota Middleburg negara
Belanda dan pemakarsa Lady Mary Wortly Montangu dan Marquis de Condeceret, tidak
hanya di Belanda namun di Amerika terdapat hal yang menyebabkan munculnya paham
feminisme. Ada beberapa aspek yang menyebabkan adanya gerakan feminis, pertama
aspek politik ketika rakyat Amerika memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun
1776, merupakan salah satu aspek politik munculnya paham feminis ketika Deklarasi
Kemerdekaan Amerika antara lain mencantumkan “all men are created equel” (semua
laki-laki diciptakan sama), tanpa menyebut-nyebut perempuan, para tokoh feminisme
memberontak dan mendeklarasikan proklamasi dengan tipe berbeda yang berbunyi “all
men and women are created equel “ (semua laki-laki dan perempuan diciptakan sama)
(Djajanegara, 2000:1).
Kedua pada aspek agama ada yang mendasari tumbuhnya paham feminisme di
Amerika, yaitu pada Agama Protestan dan Agama Katholik menempatkan perempuan
pada posisi yang lebih rendah daripada kedudukan laki-laki. Menurut ajaran-ajaran Martin
Luther dan John Calvin, walaupun perempuan bisa berhubungan langsung dengan Tuhan,
perempuan tidak layak berpergian, perempuan harus tinggal di rumah dan mengatur
rumah tangganya kemudian kebiasaan kaum Yahudi kuno ketika bersembahyang, yaitu
mereka berterima kasih kepada Tuhan karena mereka tidak dilahirkan sebagai perempuan
(Djajanegara, 2000:2).
Ketiga pada aspek sosialis yang menyebabkan munculnya feminisme bahwa
wanita-wanta Amerika, sebagai kelas tertindas dalam masyarakat kapitalis, tidak memiliki
nilai ekonomis, mengingat pekerjaan mereka sebagai pengurus rumah tangga tidak
berharga dan tidak bisa dibandingkan dengan perkerjaan laki-laki yang menghasilkan uang
(Djajanegara, 2000:3).
Perempuan pada zaman dahulu yang hanya bisa tertindak tidak mendapatkan nilai
ekonomis, pekerjaan mereka sebagai pengurus rumah tangga tidak lagi berharga maka,
sejumlah aktivis feminis membuat usaha-usaha seperti menyelenggarakan dapur umum,
tempat penitipan anak, tempat cuci pakaian umum, dan sebagainya, guna memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada wanita untuk dapat ikut berperan di bidang produksi.
Cara ini sering dinamakan women’s liberation movement, disingkat women’s lib,
atauwomen’s emancipation movement, yaitu gerakan pembebasan wanita (Djajanegara
2000:2-3).
Feminis menginginkan adanya persamaan gender untuk membebaskan perempuan
dari rasisme, steorotype, dan penindasan lainnya. Inti tujuan feminisme adalah
meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan
kedudukan serta derajat laki-laki, perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai
tujuan ini mencakup berbagai cara untuk mendapatkannya, dengan hal tersebut maka
mucullah istilah equal right’s movement (gerakan persamaan hak) (Djajanegara, 2000:4).
2.2 Gender
Feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang
berbeda-beda yang disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang
persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender (Sugihastuti, 2007:96-97).
Gender merupakan salah satu pembeda antara perempuan dan laki-laki. Hal tersebut
merupakan salah satu penyebab perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Gender
dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis
kelamin seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitas masyrakat. Gender
sebagai suatu konsep bertumpu pada aspek biologis. Gender memiliki dua kategori biologi
yang berbeda namun saling mengisi, yaitu pertama kategori laki-laki dan yang kedua
kategori perempuan. Setiap kategori mengandung makna yang pengertiannya bervariasi
dari satu ke lain masyarakat. Setiap aktivitas, sikap, tata nilai dan simbol-simbol diberi
makna oleh masyarakat pendukungnya menurut kategori biologis masing-masing.
Gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir anggapan tentang
peransosial dan budaya antara laki-laki dan perempuan. Bentukan sosial laki-laki dianggap
kuat, rasional, dan perkasa. Sedangkan, perempuan dianggap sebagai makhluk lemah
lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Perbedaan fungsi dan peran antar laki-laki dan
perempuan itu tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis dan
kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peran
masing-masing dan berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani, 2006:5).
2.3. Pembagian Kerja
Dalam bidang pekerjaan adanya perbedaan gender antar perempuan dan laki-laki
sangat terlihat. Pembagian kerja mengarah pada kualitas dan menanamkan kualitas
gender secara oposisional (Sugihastuti, 2007:53). Pada bermacam masyarakat, pembagian
kerja bergender melibatkan kekuatan dan status diferensial. Pembagian kerja bukan
semata-mata pembagian aktifitas (aktifitas mendeterminasi pola asosiasi, pergerakan, dan
penggunaan ruang dan waktu) (Sugihastuti, 2007:53). Pekerjaan laki-laki, pada sebagian
besar budaya, memiliki akses dan posisi publik lebih kuat dibanding perempuan,
sedangkan perempuan lebih condong pada wilayah domestik dan nonpublik (Sugihastuti,
2007:54).
Jika pembagian kerja hanya mengacu pada gender maka perempuan bertugas
mengandung dan mengasuh anak sedangkan laki-laki tidak. Perempuan tentunya, tidak
akan diperbolehkan melakukan pekerjaan lain saat mengandung dan mengasuh.
Perempuan dijauhkan dari pekerjaan tertentu karena dianggap kurang mampu
melakukannya bahkan bila aktifitas itu tidak membutuhkan kekuatan fisik (Sugihastuti,
2007:55). Dalam bukunya Sugihastuti menyampaikan bahwa perempuan masih sering
mendapatkan penolakan ketika berniat kerja sebagai mekanik atau tukang leding
(Sugihastuti, 2007:57). Feminisme juga merupakan perlawanan terhadap pembagian kerja
di suatu dunia yang menetapkan kaum laki-laki sebagai yang berkuasa dalam ruang publik,
sementara perempuan hanya menjadi pekerja tanpa upah di rumah, dan memikul beban
kehidupan keluarga (Rueda, 2007:3).
Perempuan biasanya ditugasi untuk memenuhi kebutuhan harian setiap orang
(seperti sandang, pangan, kebersihan, pemeliharan anak) dan merawat semuanya
(orang-orang dan tempat tinggal). Pekerjaan perempuan tradisional berkutat pada bidang
jasa yang tidak jauh-jauh dari peran sebagai pengasuh, pelayan, pendukung, guru,
perawat, sekertaris, dan pramugari. Disamping itu ada pula pembagian kerja emosional
dimana perempuan mampu mengingat hari ulang tahun, menenangkan anak yang terluka,
dan menunjukkan perhatian ke orang lain daripada laki-laki. Sedangkan laki-laki, lebih
diinginkan untuk dapat menganbil keputusan, keahlian, atau memecahkan problem yang
berhubungan dengan mekanika (Sugihastuti, 2007:56).
Selain perempuan bertugas mengurus suami, anak, dan keluarga. Pembagian
pekerjaan perempuan ada juga memiliki keseimbangan. Hal ini dibutuhkan demi mencapai
apa yang dimaksud dan diinginkan (pekerjaan tertentu yang memerlukan kemampuan
fisik di luar kebiasaan akan dikenakan pada orang-orang kuat, seringkali itu laki-laki, tetapi
ada yang perempuan) (Sugihastuti 2007:55). Kesimpulannya, pembagian kerja secara
seksual hanya sedikit atau bahkan tidak berkolerasi sama sekali dengan aktifitas
reproduksi dan ukuran tubuh. Eksistensi pembagian kerja bersifat universal, jadi apa yang
dapat dikerjakan oleh laki-laki dapat juga dikerjakan bagi sebagian perempuan
(Sugihastuti, 2007:55).
Akibat perbedaan fungsi perempuan dengan laki-laki muncullah stereotype.
Stereotype adalah pembelaan pada pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak
lain dan menimbulkan ketidakadilan (Narwoko, 2009:300). Salah satu stereotype yang
sudah dikenalkan yaitu bersumber pada pandangan gender. Karena itu banyak bentuk
ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang kebanyakan adalah perempuan yang
bersumber pada stereotype yang melekatnya.
2.4 Stereotype Gender
Stereotype adalah pelebelan terhadap pihak atau kelompok tertentu yang selalu
berakibat merugikan pihak lain dan merugikan (Narwoko,2009:322). Stereotype gender
adalah kategori luas yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang apa perilaku yang
tepat untuk pria dan wanita. Semua stereotype, entah itu berhubungan dengan gender,
etnis, atau kategori lainnya, mengacu pada citra dari anggota kategori tersebut. Banyak
stereotype yang bersifat ambigu, misalnya kategori maskulin dan feminim. Memberi cap
stereotype sebagai maskulin dan feminim pada individu dapat menimbulkan konsekuensi
signifikan.
Stereotype gender adalah bentuk keyakinan yang dimiliki seseorang atau suatu
kelompok tentang karakterisitik atribut-atribut peran sosial yang seharusnya dilakukan
oleh suatu jenis kelamin tertentu. Karena adanya stereotypegender muncullah stereotype
pekerjaan adalah dalam bentuk keyakinan yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok
tentang karakteristik atribut-atribut peran sosial yang seharusnya dilakukaan oleh suatu
kelompok pekerjaan tertentu. Misalnya perempuan yang bekerja untuk mengurus rumah
dan tidak melakukan pekerjaan laki-laki yaitu mencari nafkah sekalipun perempuan
bekerja dianggap sebagai pembantu laki-laki atau pekerjaan kedua disamping mengurus
rumah tangga .
2.5 Patriarki
Patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan (Rueda, 2007:120). Hal
tersebut disebabkan oleh pemikiran masyarakat bahwa perempuan selalu terlihat lemah
dibandingkan laki-laki. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan
perempuan. Di semua kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai orang
yang lemah dan tidak berdaya. Kaitan antara Feminisme dan patriarki adalah menghapus
adanya penindasan perempuan, dan tidak lagi memikirkan jika seorang perempuan itu
lemah. Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan
kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan.
Istilah patriarki menurut Bashin menjelaskan bahwa patriarki berarti kekuasaan
bapak atau patriarch (Bashin, 1996:1). Istilah ini secara umum digunakan untuk
menyebutkan kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai
perempuan, dan untuk sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui berbagai
cara. Patriarki membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan
dengan perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya (Sugihastuti, 2007:93).
Perempuan yang normalnya berada di bawah kontrol patriarki. Pertama, daya
produktif atau tenaga kerja perempuan. Laki-laki mengontrol produktivitas perempuan di
dalam dan di luar rumah tangga, dalam kerja bayaran. Di dalam rumah tangga,
perempuan memberikan semua pelayanan untuk anak-anak dan suaminya. Di luar rumah,
laki-laki mengontrol kerja perempuan melalui berbagai macam cara. Salah satunya dengan
pemilihan jenis pekerjaan yang oleh laki-laki dianggap cocok dengan perempuan.
Kedua, laki-laki juga mengontrol daya reproduktif perempuan, dalam artian
perempuan tidak memiliki kebebasan dalam menentukan jumlah anak yang diinginkan,
dan waktu untuk melahirkan anak, hal tersebut menyatakan bahwa laki-laki adalah
sebagai pengambil keputusan.
Ketiga, kontrol laki-laki berlaku atas seksualitas. Perempuan diharuskan memberikan
pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pihak laki-laki.
Perempuan diharuskan untuk membatasi diri ekspresi seksualitas di luar nikah sedangkan
laki-laki tidak.
Keempat perempuan dilarang meninggalkan ruangan rumah tangga, pemisah yang
ketat antara private dan publik.
Kelima, laki-laki juga mengontrol harta milik dan sumber daya ekonomi lain dengan
jalan sistem pewarisan dari laki-laki ke laki-laki. Meskipun perempuan dalam hal ini
memperoleh bagian, jumlahnya tidak sama atau lebih kecil dibandingkan dengan yang
diperoleh laki-laki (Sugihastuti, 2007:94).
Hubungan antara gender, patriarki, stereotype dengan Feminis adalah dengan
adanya ketimpangan gender, hukum patriarki yang menganggap laki-laki di atas
perempuan, stereotype gender yang merugikan perempuan ini yang menyebabkan adanya
feminis sebagai alat untuk menyamakan perempuan dengan laki-laki. Tujuan umun dari
feminisme adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan
berkembang”. Hanya dalam masyarakat seperti itu, perempuan juga laki-laki dapat
mengembangkan diri (Tong: 2006:18). Feminisme menggunakan strategi lobi intensif
terhadap pemerintah dan para pembuat kebijakan dalam rangka memasukkan
undang-undang mengenai kesetaraan hak, seperti affirmativeaction dalam politk,
kesetaraan upah, dan kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki (Rueda,
2007:120-121).
Semua penganut feminis berjuang untuk meningkatkan status perempuan di seluruh
dunia, meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah publik, serta memiliki akses
untuk kekuatan. Artinya, aliran ini menolak segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan. Hal ini diharapkan mampu membawa kesetaraan bagi perempuan dan
institusi publik dan untuk memperluas penciptaan pengetahuan bagi perempuan agar
isu-isu tentang perempuan tidak lagi diabaikan (Sugihastuti, 2007:97). Aliran feminis
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berawal pada rasionalitas dan pemisah
antara dunia private dan publik. Setiap manusia mempunyai kapasitas untuk berfikir dan
bertindak secara rasional, begitu pula perempuan. Perempuan harus mempersiapkan diri
mereka bisa bersaing di dunia dalan kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan
setara dengan laki-laki.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (2013:3):
Penelitian kualitatif merupakan suatu metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna
yang berasal dari suatu individu atau kelompok. Metode kualitatif dapat dilakukan dengan
berbagai pendekatan antara lain: pendekatan etnografi, grounded theory, studi kasus,
fenomenologi, dan naratif. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan studi naratif yang
berfokus pada narasi, cerita, atau deskripsi tentang serangkaian peristiwa terkait dengan
pengalaman manusia yang mencakup banyak. Penelitian ini akan menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata atau kalimat yang dipaparkan secara deskriptif, dengan tujuan
untuk mendeskripsikan, mengambarkan dan menjelaskan secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai perlawanan perempuan terhadap nilai nilai patriarki melalui analisis
empat J-Dorama.
3.2 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data yang diperoleh dari empat J
Dorama dua novel. Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan sumber
data premier dan sumber data sekunder.
Sumber data premier yaitu:
1. Drama Doctor-X Season 1 karya Naoki Tamura dirilis pada tahun 2012 dan
ditayangkan pada 18 Oktober 2012 di stasiun TV Jepang ASAHI.
2. Drama “ Watashi ga Renai Dekinai Riyuu “ yang terdiri dari 10 episode ditayangkan di
Fuji TV Jepang pada Desember 2011. Drama ini menceritakan tiga orang perempuan
lajang, yaitu Fujii Emi (27 tahun), Saki Ogura (24 tahun), dan Mako Hanzawa (22 tahun).
3. Drama “Minshu no Teki” , karya Hiro Kanai yang dirilis pada tanggal 23 Oktober – 25
Desember 2017 dan ditayangkan di saluran Fuji TV Jepang. Drama yang terdiri dari 10
episode ini diperankan oleh Yuriko Ishida dan Ryoko Shinohara sebagai tokoh
utamanya.
4. Drama “ Mondai No Aru Resutoran”, karya Sakamato Yuji yang dirilis pada tanggal 15
Januari – 19 Maret 2015 dan ditayangkan di saluran Fuji TV Jepang. Drama yang terdiri
dari 10 episode ini berdurasi kurang lebih 45 menit di setiap episodenya, di perankan
oleh Tamako Tanaka, Chika Ameki, Kyoko Morimura, Yumi Nitta, Airi Kawana dan
Nanami Karasumori.
Sedangkan sumber data sekunder pada penelitian ini di antaranya buku-buku khusus
yang berkaitan dengan topik pembahasan yang akan penulis teliti. Teknik pengumpulan
data pada penelitian ini menggunakan sarana yang terdapat pada perpustakaan Universitas
Nasional, Perpustakaan Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, buku-buku
bacaan pribadi maupun pinjaman serta media internet untuk mencari data-data dan
informasi.
BAB 4
JADWAL PENELITIAN DAN PEMBIAYAAN
4.1 Jadwal Kegiatan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Bahasa dan
Sastra Universitas Nasional Jakarta (UNAS) selama satu semester yaitu pada Tahun
Akademik Semester Genap Tahun 2019/2020. Penelitian ini dilaksanakan melalui
metode kajian pustaka yang berupa J-Dorama dan ditunjang dengan referensi-referensi
yang relevan dengan penelitian.
Berikut ini adalah tabel jadwal kegiatan penelitian selama satu semester.
Kegiatan Penelitian
Februari – Juli 2020 Feb
Mar Apr
Mei
Jun Jul
Ags Sep
Menonton dan penerjemahan J
Dorama
4.2 Tabel Biaya Penelitian
Pengumpulan dan pengklasifikasian
wacana-wacana yang muncul dalam teks J
Dorama dan menganalisis unsur intrinsik struktur
novel Analisis unsur
ekstrinsik J Dorama dengan menggunakan
teori feminisme Publikasi di seminar dan jurnal nasional
Penulisan laporan
Tahun Jenis Item Biaya (Rp)
2020
Material Pembelian buku referensi dan sumber data 1.000.000,00
Pembuatan
Pembelian 2 buah tinta cartridge deskjet 500.000,00
Laporan penelitian
Pembelian 2 rim kertas A4 80 gram 200.000,00
Biaya dijitalisasi data dan laporan penelitian dalam bentuk CD
200.000,00
Biaya percetakan dan penjilidan laporan penelitian
100.000,00
Biaya publikasi
Biaya seminar dan publikasi jurnal 2.500.000,00
Total 4.500.000,00
DAFTAR PUSTAKA
Bhasin, Kamla. Menggugat Patriarki. Yogyakarta :Yayasan Benteng Budaya, 1996.
Creswell, John W. Research Design Quantitative & Qualitative Approach. London : Sage
Publicatio, 1994.
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra; Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: MedPress (Anggota IKAPI).
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Millett, Kate.2002. Sexual Politics. Columbia: Columbia University Press.
Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Okamura, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Papalia, Diane E, et al. (2002). Adult Development and Aging Second Edition. New York:
Mc.Grow Hill.
Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta : Homerian Pustaka.
Salim, Peter dan Yenny salim. 1995. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Modern English Press.
Sugihastuti dan Suharto. 2010. Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tong, Rosmarie Puthnam.2006. Feminist Thought, Pengantar Paling Komprehensi kepada
Arus utama Pemikiran Feminis, Edisi Cetakan Ketiga, Jalasutra : Hasta Mitra.
Sumber internet:
http://www.berberita.com/2015/11 22 Oktober 2016 pukul 1:28
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-japanology8f67bad8dbfull.pdf
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=103766&val=1378
http://aimizumizu.blogspot.co.id/2011/11/wanita-jepang-dari-zaman-dahulu-hingga.html
diunduh tanggal 05/02/2016, pukul 19.28.