Date post: | 13-Jun-2020 |
Category: | Documents |
View: | 3 times |
Download: | 0 times |
2 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
REFLEKSI 2019
Pemilihan Umum Serentak Tahun 2019 telah terselenggara. Pemilu sebagai bentuk
demokrasi prosedural, telah menghasilkan pemerintahan baru, yakni Presiden dan Wakil
Presiden, DPR, DPD, dan DPRD diseluruh wilayah Indonesia. Namun Pemilu 2019 masih
menyisakan pekerjaan rumah yang belum usai, juga memberikan tantangan baru bagi
pemerintahan terpilih dalam penyelenggaraan negara yang demokratis dan konstitusional.
Pertama, Pemilu 2019 masih menyisakan residu penegakan hukum pemilu.
Dilantiknya Anggota DPR dan DPRD periode 2019 – 2024, tidak serta merta menjadi
penanda pemilu telah usai sepenuhnya. Muncul sengketa hukum yang mestinya tuntas
sebagai bagian dari proses penegakan hukum pemilu. Seperti penentuan caleg terpilih
(PAW PDIP) dan kasus pergantian caleg terpilih (Gerindra – Mulan Jamela dkk),
seharusnya diselesaikan dalam perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi yang merupakan
penanda telah berakhirnya pemilu. Akan tetapi, justru muncul sempalan sempalan
mekanisme diluar prosedur hukum yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.
Atas kondisi penegakan hukum pemilu itu, KODE Inisiatif melakukan assessment awal,
atas penerapan electoral justice system di Indonesia. Assesment yang menggunakan
istrumen panduan International IDEA ini, secara menyeluruh melingkupi 40 pertanyaan
mengenai prinsip penegakan hukum, kelembagaan, waktu penanganan, dan lainnya.
Hasilnya, ada 6 persoalan yakni sebagai berikut:
1. Tumpang Tindihnya Kewenangan Lembaga Penegakan Hukum Pemilu
Seperti kewenangan Bawaslu menangani pelanggaran administrasi dalam
proses rekapitulasi hasil pemilu dengan kewenangan MK menyelesaikan
perselisihan hasil pemilu. Penanganan sengketa pencalonan (kasus OSO), antara
MK, MA, dan PTUN. Sengketa hasil pemilu antara MK dengan Mahkamah Partai dan
Pengadilan Negeri (Mulan Jamela cs). Batasan kewenangan masing-masing mesti
dipertegas sehingga persinggungan kewenangan semakin jelas dan tidak tumpang
tindih. Komitmen kelembagaan yang memang akan sulit jika masing-masingnya
merasa memiliki kewenangan untuk menyelesaikan.
2. Minimnya Pendidikan Keahlian bagi Bawaslu sebagai Lembaga EJS
Pejabat Bawaslu (keanggotaan maupun pendukung) diberbagai tingkatan belum
mendapatkan pendidikan secara berkelanjutan dan intensif terkait dengan tugas
dan fungsinya. Umumnya setelah terpilih, pejabat Bawaslu langsung dibebankan
dengan pelaksanaan tugas rutin dalam penanganan pelanggaran dan menjadi
pemutus (hakim) dalam sengketa pemilu. Karena itu, kedepan perlu dibangun
pendidikan secara intensif bagi pejabat Bawaslu dalam penegakan hukum pemilu.
3 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
3. Penegakan Etika Penegak Hukum Pemilu oleh DKPP dan majelis etik lainnya.
Penegakan etik lembaga penegak hukum pemilu (EJS) yakni Bawaslu dan KPU
telah berjalan, melalui DKPP untuk tingkat kabupaten hingga pusat. Namun proses
penanganan kode etik cenderung tidak memiliki batasan waktu yang jelas bahkan
cenderung lama. Begitu juga penanganan etik oleh kelembagaan lainnya yang
terlibat dalam penegakan hukum pemilu seperti MK, PN, PT, PTUN, MA, serta
penegak hukum lainnya. Karena itu, kedepan perlu penataan penangaan etik
kelembagaan EJS agar sesuai sifat penyelenggaraan pemilu yang cepat dengan
limitasi waktu terbatas.
4. Proses Penegakan Hukum Murah dan Aksessibel
Prinsip pengajuan laporan dan permohonan tidak dipungut biaya, baik di
Bawaslu, DKPP maupun Mahkamah Konstitusi. Lembaga EJS juga sudah
melaksanakan prinsip pelayanan yang sama untuk semua pihak. Hal ini ditunjukkan
dengan diperlakukannya para pihak secara adil tanpa memandang suku, agama, ras
dan kelompok gender tertentu. Seluruh proses penegakan hukum pemilu juga dapat
diakses dengan mudah oleh public.baik itu melalui siaran langsung, online bahkan
public dapat menyaksikan ditempatnya secara langsung. Putusan atas proses
seperti Putusan DKPP dan MK dapat langsung diakses. Namun pekerjaan rumah
bagi Bawaslu, belum memiliki system publikasi putusan sengketa yang terintegrasi
dan cepat untuk seluruh jenjang.
5. Transparansi Proses namun Belum Mampu Memberikan Perlindungan Bagi
Pemilih
Sistem pelaporan pelanggaran dan sengketa, tidak memiliki sistem perlindungan
dan kerahasiaan pelapor. Sistem yang dibangun tidak didesain untuk memberikan
perlindungan dan mengakomodir kerahasiaan pelapor, namun baru sebatas
berorientasi pada upaya meningkatkan partisipasi untuk melaporkan dugaan
pelanggaran.
6. Akuntabilitas vs Timeliness
Penegakan hukum pemilu berorientasi pada kecepatan proses. Namun juga
menuntut akuntabilitas baik proses maupun mekanisme penanganan, serta sangat
rigit dan kaku.
4 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
575
135
2206
17610
DPR RI
DPD RI
DPRD Prov
DPRD Kab/Kota
Sumber: Data KPU, diolah KODE Inisiatif
Kedua, konteks pelaksanaan demokrasi substansial, muncul harapan bahwa
pemerintahan baru mampu menerjemahkan kehendak publik melalui penyelenggaraan
Negara yang demokratis dan konstitusional. Pemilu 2019, telah menghasilkan 1 orang
pasang calon Presiden dan Wakil Presiden, 575 Anggota DPR, 135 Anggota DPD, serta
2.206 Anggota DPRD di 34 Propinsi, dan 17.610 Anggota DPRD di 512 Kabupaten/Kota.
Namun tantangannya, Pemilu
2019 telah menghasilkan peta koalisi
partai politik yang tidak berimbang,
tersentralisasi pada kekuatan pendukung
pemerintah terpilih. Sentralisasi partai
politik pada satu kekuatan, bisa menjadi
tantangan sendiri.
Satu sisi, kebijakan pemerintahan
akan sangat efektif dan mudah untuk
dibangun. Namun disisi lainnya,
pengambilan kebijakan tanpa kontrol
yang berimbang justru dapat
menjerumuskan pemerintahan dengan
menghasilkan kebijakan yang tidak
responsif (Philippe Nonet dan Philip
Selznick, Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law (New York:
Harper and Row, 1978). Kasus
perubahan UU KPK, dan pembahasan
RUU KUHP memperlihatkan bagaimana
respon publik yang sangat kuat atas
kebijakan yang nirpartisipasi.
PDIP, 128
Golkar, 85
Gerindra, 78
Nasdem, 59
PKB, 58
Demokrat 54
PKS, 50
PAN, 44 PPP, 19
PEROLEHAN KURSI PARTAI DI DPR
Koalisi Pemerintah
74%
Oposisi 9%
Tidak Menentukan Sikap 17%
PETA KEKUATAN DI PARLEMEN 2020 - 2024
Sumber: diolah KODE Inisiatif dari berbagai sumber
Sumber: Data KPU, diolah KODE Inisiatif
5 |P e m i l u d a n P e m b e n t u k a n K e b i j a k a n N e g a r a K o n s t i t u s i o n a l
PROYEKSI 2020
Ada beberapa momentum penting di Tahun 2020 yang perlu dicermati. Pertama, akan
diselenggarakan rangkaian terakhir pilkada serentak sebelum keserentakan secara
nasional 2024. Kedua, Konteks pengambilan kebijakan, pemerintahan telah menyiapkan
sejumlah rancangan undang-undang dalam program legislasi nasional sepanjang 5 tahun.
Terlihat bahwa pemerintah sedang memberikan prioritas untuk penataan regulasi,
khususnya dalam bidang ekonomi (33 RUU), sumber daya alam (27 RUU), kesejahteraan
sosial (11 RUU), penegakan hukum (5 RUU), dan paket politik (4 RUU).
A. Pilkada Serentak 2020
Pilkada Serentak 2020 akan diselenggarakan di 270 daerah, yakni 9 Pemilihan
Gubernur, 224 Pemilihan Bupati, dan 37 Pemilihan Walikota. Tantangannya, praktik
penyelenggaraan pemilu (2019) berkembang sangat pesat bahkan meninggalkan
pengaturan dan praktik pilkada. Pengaturan Pilkada dan Pemilu menggunakan undang-
undang berbeda, sehingga pemilih, peserta pemilu, dan penyelenggara harus melakukan
penyesuaian. Pendaftaran pemantau pemilu tidak lagi kepada Bawaslu dan kembali ke
KPU. Kewenangan penanganan pelanggaran administrasi oleh Bawaslu tidak lagi
menghasilkan Putusan namun Rekomendasi. Bawaslu Kabupaten/Kota kembali menjadi
lembaga adhoc, serta syarat pencalonan akan berbeda beda.
Sedangkan bagi Partai Politik, Pilkada 2020 merupakan pondasi awal menyusun
kekuatan menghadapi Pemilu Serentak 2024. Memenangkan pilkada, menjadi modalitas
pemenangan Pemilu 2024 dengan menggunakan kekuatan kepala daerah dan potensinya.
Berdasarkan itu, ada beberapa isu krusial yang perlu diantisipasi:
1. Demokrasi Partisipatif
Kasus operasi tangkap tangan salah satu Komisioner KPU, akan berdampak
terhadap kinerja, moralitas dan semangat, serta kepercayaan terhadap penyelenggara.
Namun tantangan lebih besar justru pada kepercayaan pemangku kepentingan
terhadap sistem demokrasi yang telah dibangun.
Pasca kasus itu, penyelenggara pemilu mesti lebih kuat untuk melakukan penataan
di internal penyelenggara. Juga m