Top Banner

of 52

ormas2 pesantren

Jul 12, 2015

Download

Documents

Muhammad Anis
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

0

PENDAHULUAN Fungsi dan peranan guru yang utama adalah mentransfer ilmu kepada siswa dalam proses belajar mengajar di ruang kelas, dan partisipasinya dalam pengembangan sekolah. Pengembangan sekolah yang dimaksud dalam makalah ini adalah segala upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan di sekolah. Definisi yang pendek ini tentunya mengandung banyak makna dan interpretasi. Tetapi pendidikan sekolah yang saya maksud adalah pendidikan yang berorientasi kesiswaan atau saya sebut sebagai pendidikan tiga dimensi. Yaitu pendidikan yang memfokuskan pengembangan tubuh, otak dan jiwa/pribadi siswa. Pendidikan yang selama ini kita terapkan masih bertumpu pada pendidikan yang berorientasi kenegaraan. Pendidikan yang memiliki obsesi menjadikan bangsa sebagai bangsa yang terhormat dalam bidang pendidikan di tengah kompetisi anak-anak pandai di dunia. Yang karenanya, hanya kemampuan akademik yang didorong habis-habisan pengembangannya, sementara pengembangan kejiwaan dan atau keragaan siswa tidak diperhatikan dengan baik. Tujuan pendidikan nasional yang ada di dalam UU Sisdiknas 2003 pada dasarnya tidak jelas menyebutkan tentang aspek pengembangan tubuh, jiwa dan otak, demikian pula beberapa kebijakan dalam bidang pendidikan tidak mendukung kea rah pengembangan tubuh, jiwa dan otak peserta didik. Dengan berpedoman kepada pendidikan berorientasi kesiswaan seperti di atas saya ingin menguraikan bagaimana pengembangan sekolah harus direncanakan dan bagaimana melibatkan guru dalam misi tersebut. Lalu bagaimana manajemen sekolah berperan dalam hal ini dan bagaimana manajemen pendidikan di daerah mendorong kelancaran proses tersebut ? Peningkatan kompetensi guru dalam makalah ini akan difokuskan pembicaraannya dalam dua level kebijakan yaitu kebijakan yang terkait dengan manajemen sekolah dan kebijakan yang terkait dengan manajemen pendidikan di daerah. Makalah ini akan menguraikan beberapa poin yaitu : A. Peningkatan kompetensi guru di level sekolah melalui penerapan manajemen sekolah yang efektif1. Pengembangan sekolah sebagai sebuah organisasi dan kaitannya dengan peningkatan kompetensi guru 2. Pengembangan sekolah berbasis orientasi kesiswaan dengan melibatkan partisipasi aktif siswa dan guru

B. Peningkatan kompetensi guru di level daerah melalui manajemen pendidikan daerah

1

A.1. PROSES BELAJAR GURU DALAM ORGANISASI SEKOLAH Sekolah adalah sebuah organisasi yang di dalamnya terdiri dari orang yang mengurus atau mengelola dan atau dikelola. Sekolah dalam era privatisasi pendidikan sering juga disamakan dengan perusahaan dengan kepala sekolah sebagai managernya. Dalam sebuah organisasi (mis : sekolah ) disadari atau tidak, ada sebuah siklus yang terbentuk melalui proses yang panjang. Siklus itu berupa antisipasi terhadap permasalahan yang muncul di sekolah dan kepekaan terhadap problem atau error yang terjadi dalam proses pelaksanaan kegiatan pendidikan di sekolah. Chris Argyris dan Schon, dua ahli proses belajar dan teori aksi dalam organisasi mencetuskan konsep baru di tahun 1978, yaitu dalam sebuah organisasi, anggota organisasi harus memiliki kemampuan mendeteksi dan memperbaiki masalah yang muncul (detection and correction the error). Melalui proses ini setiap pelaku organisasi akan memetakan sebuah siklus belajar yang tertanam dengan baik dalam dirinya. Kedua ahli tersebut menyebut siklus belajar ini sebagai single loop dan double loop learning . Dalam proses belajar single loop, seorang pelaku organisasi hanya menjalankan semua prinsip/norma dan guidance (governing variable) melalui sebuah aksi (action strategy) yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah dampak (consequences), tanpa mempertanyakan atau mengkritisi hal yang sudah ditetapkan. Sementara double loop adalah siklus belajar yang memungkinkan pelaku organisasi untuk tidak sekedar melaksanankan tetapi juga mempertanyakan prinsip/kebijakan/norma yang ada. Dengan siklus ini norma/misi & visi sebuah organisasi dapat diubah karena kekritisan pelaku organisasi.

Gambar 1. Skema proses belajar bagi pelaku organisasi (Sumber : http://www.infed.org/thinkers/argyris.htm.) Proses belajar dalam organisasi secara double loop sudah diterima secara luas sebagai sebuah metode yang lebih baik dalam kemajuan sebuah organisasi. Bagaimana dengan sekolah ? Guru sebagai salah satu komponen penggerak di dalam organisasi sekolah akan lebih berkembang kemampuan dan kompetensinya jika melaksanakan proses belajar double loop. Sebagai ilustrasi :

2

Sekolah A mempunyai rutinitas yaitu guru mengevaluasi pemahaman siswa secara periodik. Setiap guru di sekolah A juga diwajibkan untuk membuat rekapitulasi atau gambaran tentang prestasi siswa yang diajarnya, yang kemudian diperoleh data urutan rangking siswa berdasarkan score yang didapatnya. Penyebaran nilai biasanya mengikuti kurva distribusi normal, yaitu siswa pandai sekitar 1/4 dari total siswa, siswa rata-rata adalah separuh dari jumlah semua murid dan 1/4-nya lagi adalah siswa yang kurang. Proses penilaian selesai sampai di sini dan selanjutnya guru kembali mengajar, melanjutkan pelajaran bab demi bab. Proses ini berulang dari tahun ke tahun, tanpa ada upaya untuk mempertanyakan bagaimana dengan anak-anak yang berada di bawah sebaran normal ? Bagaimana memacu potensi belajar siswa-siswa itu ? Jika siklus double loop diterapkan, maka setiap guru berkewajiban untuk memikirkan upaya untuk melejitkan prestasi siswa yang ada di bawah rata-rata. Rekap yang dibuat setiap semester atau setiap tahun adalah data berharga untuk melakukan analisa. Selanjutnya guru dengan bekerja sama dalam sebuah team kerja guru membuat formulasi bagaimana meningkatkan prestasi anak-anak di bawah rata-rata. Formulasi ini diterapkan dan diuji secara berulang. Dengan melakukan proses itu saja, seorang guru telah membentuk dirinya menjadi seorang pribadi yang kritis, yang merupakan salah satu karakter dari seorang peneliti. Dengan menjadi peneliti bukankah seorang guru terlatih untuk peka terhadap permasalahan yang muncul, terbiasa dengan cara berfikir sistematis, dan bahkan akan lebih menjiwai peranannya sebagai guru. Sebagai kesimpulan, menjadi bagian dari organisasi sekolah, guru harus memegang prinsip bahwa proses belajar itu tak mempunyai ujung. Setiap mendapatkan sesuatu ilmu baru, maka akan lahir ilmu yang lebih baru. Setiap ada pemecahan masalah, maka akan lahir masalah baru yang menunggu penyelesaian. Dengan latihan kepekaan semacam ini guru akan semakin meningkat keahlian dan kepekaannya. Proses belajar dalam sebuah organisasi seperti diungkap di atas tidak akan berjalan jika kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi di sekolah tidak memahami perlunya proses ini dan dia menerapkan gaya diktator. Selain itu pemerintah daerah juga harus memberikan otonomi yang luas kepada sekolah agar pelaku dalam lembaga sekolah juga senantiasa berdifat kritis. Kekritisan yang dilatih dalam lembaga sekolah tidak sama dengan demonstrasi/protes guru/siswa/orang tua terhadap kebijakan sekolah/pemerintah, tetapi sifat kritis yang dibarengi dengan analisa tajam, mengapa sebuah konsep perlu diprotes, dandisertai dengan solusi yang lebih baik. A.2. PENDIDIKAN TIGA DIMENSI DAN UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI ILMU MURNI GURU

3

Pendidikan yang berorientasi kesiswaan saya sebut dengan pendidikan tiga dimensi karena ada tiga aspek yang ingin dipantau perkembangannya dengan proses pendidikan di sekolah, yaitu pendidikan tubuh, otak dan jiwa. Pelatihan dan perkembangan jasmani atau raga siswa tidak sekedar melalui pelajaran olah raga tetapi yang lebih utama adalah memberikan pemahaman kepada siswa bagaimana memelihara agar raganya sehat, asupan gizi dan kebersihan makanan yang seharusnya dikonsumsi, dan sekaligus pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip hidup sehat. Kesemuanya hanya bisa tersampaikan dengan baik jika seorang guru juga paham dengan ilmu perkembangan tubuh, pengukuran kesehatan, dan pengenalan pola-pola hidup sehat, atau perkembangan keilmuan di bidang ini. Setelah pelajaran tentang hal ini disampaikan di ruang kelas oleh para guru, langkah selanjutnya adalah mengecek apakah siswa-siswa kita melaksanakannya dalam kehidupan hariannya. Saya berikan contoh bagaimana ilmu murni tentang olah raga demikian berharga mengembangkan perolahragaan di Jepang dari level sekolah. Di Jepang dalam pelajaran olahraga, anak-anak SD diajari dasar-dasar atletik, yaitu mereka harus bisa melompat, berlari dan berjalan dengan benar. Suatu hari di sebuah sekolah diadakan lomba lari antar siswa SD. Seorang anak selalu saja berada di nomor terbelakang. Gurunya kemudian mendatangi seorang ahli olah raga dari perguruan tinggi, dan pada akhirnya diketahui bahwa si anak selalu berlari tanpa mengayunkan tangan. Dengan pengamatan yang seksama, guru dapat melihat bahwa anak yang berlari sambil mengayunkan tangan akan berlari di jalur yang lurus dan cenderung lebih cepat sampai di garis finish dan sebaliknya, anak yang berlari tidak dengan mengayunkan tangan, jalur lari yang dibentuk melengkung. Ini salah satu contoh bagaimana pelajaran olahraga dilaksanakan dan dipahami dengan baik. Yang karenanya tidak heran jika banyak atlit Jepang meraih prestasi gemilang di dunia internasional. Pendidikan otak adalah fokus dari banyak sistem pendidikan di dunia. Sekolah seakan dibuat hanya untuk mencetak siswa berotak cemerlang tanpa ada perhatian khusus kepada anak yang mengalami keterlambatan berfikir. Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak mengalami keterlambatan dalam berfikir, seperti makanan yang dimakannya, kebiasaan hidup di rumahnya, masalah yang ada dalam keluarganya, atau cara guru yang belum pas dengan metode belajarnya. Seorang guru ibaratnya seorang detektif, harus menganalisa dan menyelidiki permasalahan ini. Tentu saja guru tidak bisa bekerja sendiri, guru hendaknya pandai-pandai menjalin komunikasi dengan orang tua siswa. Perhatian orang tua akan lebih baik jika guru pun gencar mengajak orang tua terlibat dalam perkembangan anaknya. Hal yang sangat penting dalam pembelajaran di ruang kelas adalah bahwa tidak ada anak yang bodoh. Yang ada adalah anak-anak yang memiliki keterlamabatan dalam penyesuaian belajar. Oleh karena itu guru dituntut untuk memahami

4

ilmunya dengan baik sehingga semua anak termotivasi belajar sesuatu yang sulit, misalnya matematika. Saya sering menyaksikan di acara TV NHK di Jepang bagaimana kepandaian seorang guru matematika di sebuah SD menyajikan pelajaran demi pelajaran dengan sangat menarik. Pelajaran matematika bukanlah pelajaran yang hanya ada di kertas dan tidak bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi guru mengajak anak belajar matematika sambil mempraktekkannya. Bahkan guru tersebut tidak mengajarkan anak rumus-rumus, tapi menagajak mereka untuk mempraktekkan dengan cara menggunting atau melipat, dan lain-lain cara kreatif lainnya, lalu kemudian anak-anaklah yang menemukan rumusnya. Anak-anak sangat bersemangat bahwa mereka ternyata bisa, tidak hanya yang berotak cemerlang tetapi juga yang rata-rata. Pendidikan di Jepang selama hampir 30 tahun menerapkan konsep yutori kyouiku, yaitu prinsip pendidikan yang memberikan keleluasaan kepada siswa untuk berkembang. Dengan prinsip ini, stress dan tekanan terhadap siswa ditekan misalnya dengan mengurangi PR. Anak-anak lebih bebas di sekolah dan tidak tertekan dalam belajar. Tetapi sekalipun konsep ini dianggap gagal, karena siswa cenderung santai dalam belajar dan tidak terbiasa dengan kompetisi dan pressure secara alami, tetapi konsep inilah sebenarnya yang sejalan dengan pendidikan tiga dimensi. Sayang sekali prinsip ini mulai dihapuskan per 2006 Menteri Pendidikan (monbukagakusho) juga menambah jam pelajaran untuk siswa pada tahun 2008, setelah selama 30 tahun tak ada penambahan jam pelajaran untuk siswa SD. Kebijakan ini tentu saja membiaskan konsep pendidikan tiga dimensi, sebab para guru dari mulai level SD terfokus kembali dengan pendidikan otak saja. Pendidikan otak tidak sama dengan pendidikan menghafalkan rumus. Guru yang hanya menuliskan rumus/teori di papan tulis kemudian menghabiskan satu jam pelajaran hanya dengan pelajaran salin menyalin saja, membuat kemampuan siswa hanya terbatas kepada hafalan mati saja, tanpa dapat menganalisa permasalahan secara benar. Pembelajaran yang baik adalah jika guru menjadi pandai karena mengajar dan siswa menjadi pandai karena diajar oleh guru yang cerdas dalam mengajar. Cerdas dalam mengajar hanya dimiliki oleh guru yang menguasai apa yang akan diajarkannya dan senantiasa mengajak siswa untuk berfikir bersama. Pengajaran yang efektif adalah jika guru tidak mendominasi pembicaraan di dalam kelas. Oleh karenanya tak ada jalan lain untuk meningkatkan kompetensi guru atau memperbaiki proses belajar mengajar di kelas kecuali guru harus meningkatkan diri melalui pendidikan/pelatihan ilmu murni sesuai dengan bidang yang diajarkannya. Pendidikan jiwa/pribadi secara umum termuat dalam semua bidang studi, tetapi lebih dikhususkan dalam tiga bidang studi berikut yaitu, pendidikan moral, pendidikan agama dan pendidikan sejarah.

5

Di antara semua unsur pendidikan tiga dimensi, pendidikan akhlaq/pribadi/budi pekerti adalah yang paling sulit untuk diukur. Pengembangan tubuh dapat diukur dengan pengukuran tinggi/berat badan siswa, sedangkan pengembangan otak diukur dengan nilai ujian dan kemampuan siswa mengungkapkan pendapatnya. Tetapi bagaimana menilai bahwa seorang siswa berperilaku baik ? Anak yang pendiam belum tentu bisa dikatakan berperilaku baik, atau anak yang punya keingintahuan yang besar dan terus mencecer guru dengan pertanyaan, pun tidak bisa dikatakan bahwa dia tak bermoral. Pendidikan akhlaq tidak cukup jika hanya diajarkan di ruang kelas, tetapi orang tua terutama ibu yang lebih banyak berinteraksi dengan anak-anaknya, juga bertanggung jawab terhadap pendidikan akhlaq. Oleh karena itu seorang guru perlu memiliki kemampuan bicara, pendekatan kepada orang tua demi pengembangan kepribadian si anak. Pendidikan kepribadian tidak saja mengajarkan siswa terhadap konsep-konsep hukum, atau mengenalkan siswa terhadap norma-norma dalam masyarakat, tetapi harus ditekankan kepada melatih kepekaan/empati siswa melalui praktek pembiasaan. Pendidikan agama sering menjadi polemik di kalangan pakar pendidikan tentang perlu tidaknya diajarkan di sekolah. Polemik itu muncul bukan karena content pelajaran sebab tidak ada agama yang menagajarkan hal yang salah, tetapi polemic muncul karena cara mengajar pendidikan agama di sekolah tidak berhasil menjadikan siswa paham akan agamanya, tetapi hanya sekedar menghafal doktrin-doktrin agama. Selain karena terbatasnya jam pelajaran agama di sekolah, pembelajaran agama belum menyentuh kepada praktek ilmu sehari-hari berdasarkan pemahaman. Pendidikan sejarah saya masukkan sebagai pendidikan kepribadian, sebab sejarah tidak saja mengajarkan knowledge, tahun kejadian, peristiwa, tetapi sejarah harus dijadikan pelajaran yang mengajarkan tentang sikap/prinsip, kerja keras, dan berbagai norma yang dianut manusia yang telah mengukir sejarah sebelumnya. Sejarah harus diajarkan secara benar dan mengajarkan fakta, apakah fakta itu membawa kebanggaan suatu bangsa/suku ataupun justru membawa kerendahan martabatnya. Orang akan menjadi besar dengan memahami sejarahnya. Dan seorang guru sejarah pun tentunya adalah orang yang paling paham mendorong orang lain untuk mencintai sejarahnya karena dialah yang paham akan hal ini. Sekarang bagaimana melatih guru agar mampu menerapkan pendidikan tiga dimensi ? Konsep managemen PDCA/PDSA (Plan-Do-Check/See-Action) cycle approach yang dikenalkan oleh Walter Shewhart di tahun 1930-an yang kemudian dikembangkan oleh muridnya yaitu W. Edwards Deming, patut untuk diterapkan dalam hal mengantarkan guru untuk lebih menjiwai pendidikan tiga dimensi.

6

Gambar 2. PDCA Cycle Sumber : http://leadershipchamps.files.wordpress.com/2008/03/pdca.png Proses PDCA diawali dengan plan (perencanaan) yang dikembangkan dari permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan action. Selanjutnya rencana yang sudah disusun diterapkan dalam step do lalu dilakukan evaluasi untuk memeriksa apakah program sukses dilaksanakan atau ada kendala baru. Langkah selanjutnya adalah menyusun action baru berdasarkan hasil evaluasi. Proses evaluasi ini yang sangat jarang dilakukan di sekolah-sekolah kita. Evaluasi yang biasa dilakukan adalah tes untuk mengecek kemampuan akademik siswa, sedangkan evaluasi/survey terhadap kebiasaan siswa, seperti kebiasaan makan, kebiasaan membaca, dan pemanfaatan waktu luang yang merupakan data mendasar untuk mengembangkan proses belajar mengajar tiga dimensi di sekolah, belum dilaksanakan di Indonesia. B. PENINGKATAN KOMPETENSI GURU DI LEVEL DAERAH MELALUI MANAJEMEN PENDIDIKAN DAERAH Bagaimana manajemen pendidikan di level daerah harus dikelola agar guru-guru di daerah memiliki kompetensi yang standar dan senantiasa diperbaharui ? Pendidikan di daerah harus dikelola dengan mempertimbangkan potensi dan karakter daerah. Sekolah-sekolah dibangun dengan pertimbangan kapasitas siswa yang masuk dan kualitas guru yang memadai. Sekolah-sekolah juga harus dibangun dengan fasilitas yang minimum sama. Kebijakan pendidikan di daerah pun harus disusun berdasarkan survey yang akurat tentang fakta di lapang. Namun sayang, di negara kita banyak kebijakan yang lahir tidak dengan survey yang menyentuh level pelaksana. Kebijakan sertifikasi guru dikembangkan dengan dasar guru-guru kita tidak terstandardisasi dengan baik. Pejabat menyebut-nyebut tentang kompetensi yang harus dicapai guru, tetapi apakah survey sudah pernah diadakan tentang pemetaan kompetensi guru-guru kita ? Data yang kita punya barangkali hanya bahwa sekian persen guru kita lulusan Diploma, sekian persen lulusan S1, sehingga perlu dilakukan sertifikasi. Tetapi apakah ada pengamatan yang intens dari pejabat tentang bagaimana fakta di sekolah-sekolah tentang kemampuan mengajar guru ?

7

Selain survey yang akurat terhadap kondisi guru-guru, pemerintah daerah juga perlu merancang evaluasi guru. Berdasarkan data survey/evaluasi, pemerintah dapat memetakan siapa saja yang harus mengikuti pelatihan, siapa saja yang perlu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pelatihan/pendidikan yang perlu disiapkan untuk para guru bukanlah pendidikan tentang konsep-konsep mendidik, tetapi yang lebih utama adalah pendidikan ilmu murni. Oleh karenanya kerjasama dengan universitas perlu dikembangkan untuk membuat sebuah link peng-update-an keilmuan guru. Lalu apa fungsi IKIP/UP atau LPTK ? Lembaga-lembaga pendidikan guru adalah lembaga untuk calon guru, yang bertujuan untuk mempersiapkan calon guru dengan bekal-bekal ilmu kependidikan untuk menjalankan profesinya sebagaimana mestinya. Sedangkan Universitas adalah lembaga yang seharusnya dipercaya untuk mendidik guru dari segi keilmuan yang diajarkannya. Selain memberikan peluang belajar dan berkembang kepada guru di daerah, pemerintah daerah juga perlu mempelopori forum ilmiah guru. Forum yang akan memberikan kesempatan kepada guru-guru daerah untuk saling bertukar metode mengajar, keilmuan baru dan sekaligus melatih guru untuk menyampaikan idenya secara ilmiah. Dalam forum ilmiah ini, sangat perlu pula mengundang pakar/ilmuan/praktisi untuk menambah keluasan keilmuan para guru. Saya menghadiri secara rutin forum guru yang diselenggarakan di sebuah provinsi di Jepang, yaitu prefektur Nagano. Setiap tahun pada bulan Oktober, guru-guru seNagano berkumpul di sebuah kota kemudian mereka melaporkan hasil penelitiannya, baik itu berupa action research, survey sekolah, atau penerapan manajemen baru di sekolah. Pakar-pakar pendidikan dari Univeristas terkenal diundang untuk menjadi komentator dan sekaligus mereka juga dilibatkan sebagai penasehat proyek penelitian guru. Apa yang dipresentasikan para guru tak sedikit yang dimuat dalam jurnal-jurnal ilmiah atau bahkan terbit menjadi buku. Semua kegiatan itu tak akan berjalan jika pemerintah setempat tak mendukungnya dengan baik, dan para guru juga bersemangat untuk menjadi maju. Semua guru yang hadir di forum tersebut, datang dengan kerelaan, karena sekolah tidak pernah mewajibkan. Mereka pun secara mandiri membayar uang pendaftaran atau biaya akomodasi. Karena menariknya forum ini, dan pelaksanaanya yang selalu di hari Sabtu dan Minggu, memungkinkan semua guru hadir, tidak hanya guru-guru Nagano, tetapi guru-guru di belahan Jepang yang lain pun hadir. Peranan pemerintah yang lainnya yang menurut saya sangat perlu dilaksanakan adalah menyiapkan mediator yang memadai bagi para guru untuk saling berkomunikasi. TV daerah misalnya dapat dijadikan sebagai alat untuk memacu prestasi mengajar guru. Dengan menyediakan slot acara pendidikan seperti metode mengajar guru sekolah A, bagaimana menangani anak nakal atau bermasalah di sekolah B, dll, dapat menjadi sarana efektif untuk pengembangan pendidikan di daerah.

8

EKSISTENSI PESANTREN DI MASA KINI(Peran Pesantren dalam Perubahan Sosial di Indonesia) (makalah)

Oleh Nama NPM Jurusan Mata Kuliah : M. Anis Mudzakkir : 1000241 : Kependidikan Islam : Sejarah Sosial Pemikiran dan Kelembagaan Pendidikan Islam Dosen Pengampu : DR. Jamal Fakhri, M.Ag.

PROGRAM PASCA SARJANA (PPs) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWOMETRO - LAMPUNG

2010

9

EKSISTENSI PESANTREN DI MASA KINI(Peran Pesantren dalam Perubahan Sosial di Indonesia) 1 M. Anis Mudzakkir2

A.PendahuluanPesantren adalah lembaga sosial-kemasyarakatan tertua di bumi Nusantara. keberadaan pesantren memiliki peran yang sangat besar dalam mobilitas masyarakat Nusantara. Tidak hanya pada peran keilmuan, keagamaan, tetapi pada peran sosial -kemasyarakatan, seperti; mobilisasi pemberdayaan ekonomi mikro, peran kenegaraan dan kebangsaan, bahkan di daerah tertetu menjadi sangat dengan dekat kehidupan mobilisasi politik. Sebagai bagian dari kekayaan khazanah sosial masyarakat Nusantara, pesan tren dengan segala peran yang sangat mengakar, tidaklah heran jika pesantren me lalui alumni dan santrinya sampai hari ini masih memiliki peran yang signifikan bagi perubahan sosial, terutama di level graas rood. Apalagi ditengah kondisi bang sa yang dituntut untuk selalu bebas-terbuka karena pengaruh globalisasi. Sejarah mencatat bahwa kebangkitan bangsa ini tidak lepas dari peran serta pe santren, terutama dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Pesantren telah membuktikan kiprahnya dalam dunia pendidikan di Indonesia mulai zaman pra kemerdekaan sampai saat ini. Pesantren juga mampu menjaga eksistensinya, bah kan mampu beradaptasi dengan tantangan pola hidup globalisasi bangsa ini. Pesantren sebagai salah satu perintis lembaga pendidikan Islam nusantara, te lah membuktikan keberhasilannya dalam membangun kualitas sumber daya manu sia ( human resources development ) di Indonesia. Misalnya pesantren yang dulu cikal bakalnya hanya tempat mengaji Al-Qur an, kini telah berubah menjadi tem pat kajian mamahami Al-Qur,an, sains dan lainya, sehingga SDM yang dikeluar

1

. Makalah Sejarah Sosial, Pemikiran dan Kelembagaan Pendidikan Islam PPs STAIN Jurai Siwo Metro dipresentasikan 21 Desember 2010 2 . Mahasiswa PPs. STAIN Jurai Siwo Metro

1

10

kan dari pesantren pun akan memiliki kemampuan yang mampu menjawab tanta ngan globalisasi, baik dari segi intlektual maupun sepiritualnya. Sejarah pun membuktikan bahwa komunitas pesantren juga telah mampu mela hirkan pemimpin bangsa dan tokoh besar masyarakat yang kemampuannya tidak diragukan lagi, sebut saja KH . Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari, Gus Dur, serta masih banyak lagi tokoh-tokoh revolusioner bangsa ini yang memiliki latar belakang pesantren, dan mereka mampu menjadi pelopor dalam setiap perubahan mendasar rakyat. Tidak kalah pentingnya adalah peran pesantren secara istiqomah dalam mempo sisikan dirinya sebagai benteng pertahanan menjaga kemurnian, kesejukan dan kedamaian ajaran Islam. Hal itu bisa kita amati bagaimana aktifitas interaksi kehi dupan sosial pesantren. Pada tingkatan mikro masyarakat sekitar pesantren missal nya, SDM pesantren mampu mewarnai corak dan pola kehidupan sekitarnya de ngan kesejukan dan kedamaian nilai-nilai ajaran Islam. Kemudian pada aktifitas kehidupan persantren sendiri, dapat disaksikan bahwa pesantren mampu mengim plementasikan pola dan corak kehidupan yang inklusif, moderat, pluralis dan de mokratis. Hal itu sesuai dengan syair yang biasa didengungkan dikalangan pesan tren menjaga agama, jiwa, harta, keluarga akal sehat dan kehormatan adalah ke wajiban setiap yang beriman. Sebagian realitas tersebut menyimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga yang memiliki banyak fungsi (multi fungsi), mulai sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga dakwa Islam, benteng pertahanan ajaran Islam, sampai lembaga penjaga nilai inklusifisme, demokratisisme, dan pluralisme. Serta tidak kalah pen tingnya juga adalah nilai-nilai kemandirian yang ditanamkan dalam jiwa kader pe santren. Sehingga kondisi itu juga berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat kader pesantren. Pada kondisi bangsa yang seperti sekarang ini, dimana hampir seluruh aspek ke hidupan tidak menentu akibat percepatan global, pesantren sebagai basic kultur masyarakat Indonesia harus mengambil peran dalam menuntaskan problem ke bangsaan, kemandirian bangsa, pertahanan dan keamanan, serta ekonomi politik.

11

Peran strategis pesantren ini penting, karena dalam sejarah perkembangan masya rakat Indonesia, tidak terlepas dari kekuatan potensi pesantren. Pada saat inilah optimalisasi peran alumni dan santri menjadi sangat penting, sehingga penguatan kapasitas kompetensi berdasarkan talenta yang dimiliki sangat diperlukan, baik dari keilmuan, kemadirian, kematangan kiprah di lapangan, dan kepekaan terhadap respon perubahan sosial lainnya. Berangkat dari asumsi di atas, identitas dan potensi pesantren sebagai salah satu soko guru dalam perubahan mendasar rakyat, terutama bagi masyarakat kelas bawah (graas rood) perlu untuk mendapatkan apresiasi dari semua elemen masya rakat Indonesia, hal itu karena mengingat besarnya potensi pesantren dalam membangun mobilisasi perubahan dan kemajuan masyarakat nusantara.

B. Pembahasan1. Pengertian Pesantren (Aspek kebahasaan).Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan keagamaan Islam. Istilah pondok diperkirakan berasal dari bahasa Arab, yaitu funduk yang berarti rumah penginapan atau hotel. Dalam konteks masyarakat Jawa, pemaha man tentang pesantren serupa dengan padepokan yang di dalam lingkungannya terdapat komplek perumahan untuk tempat tinggal para santri (murid). Perumahan itu biasanya berupa petak-petak kamar selayaknya asrama. Pada umumnya kom plek pesantren terdiri dari rumah kiai, masjid, pondok tempat tinggal santri, dan ruangan belajar. Zamakhsyari Dhofier menjelaskan bahwa pesantren berasal dari kata santri. Awalan pe- dan akhi ran -an pada kata pesantren bermakna tempat tinggal para santri. Sementara itu, istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Pengertian lain tentang istilah santri berasal dari bahasa In dia, yaitu shastri yang mengacu pada orang yang tahu buku-buku suci agama Hin du. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku ilmu dan pengetahuan. Dua pengertian tentang pesantren

12

dari bahasa Tamil dan India itu berasal dari ilmuwan asing, yaitu Profesor Johns dan C.C. Berg.3 Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, pesantren merupakan lingkungan ke hidupan yang unik secara lahiriah. Di lingkungan pesantren biasanya berdiri bebe rapa buah bangunan, yaitu rumah pengasuh, surau atau masjid, tempat belajarmengajar atau madrasah yang berkonotasi sekolah, dan asrama tempat tinggal santri. Istilah pengasuh di Jawa disebut kiai; di Sunda disebut aje ngan; di Madura disebut nun atau bendara yang disingkat ra; di Aceh disebut tengku, di Sumatera Utara atau Tapanuli disebut syaikh, di Minangkabau disebut buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, atau Kalimantan Tengah disebut tuan guru, dan beragam sebutan lagi di berbagai daerah di Nusantara. Sementara itu, kata santri dipinjam dari bahasa Sansekerta dengan perubahan pengertian. Berdasar pola kehidupannya sehari-hari yang sangat berbeda dengan pola hidup masyarakat di luarnya, pesantren dapat dikatakan sebagai subkultur. Misalnya komunitas pesantren menandai waktu tidak dengan istilah pagi, siang, sore atau malam seperti dipakai masyarakat umum, tetapi dengan istilah berdasarkan siklus shalat lima waktu seperti subuh dhuhur, ashar, dan maghrib.4

Simpulnya, keunikan pesantren sebagai subkultur yang dimaksud Abdurrahman

Wahid tersebut menyangkut tata nilai, cara dan pandangan hidup, serta hirarki ke kuasaan tertentu diantara santri (murid) dan pengasuh (kiai/guru) serta masyara kat sekitarnya. Namun, tidak berarti komunitas pesantren terpisah atau memisahkan diri dari lingkungan masyarakat di sekitarnya. Pesantren merupakan sumber penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan. Tidak sebagaimana

istana, pesantren dapat menjadi pusat kegiatan atau kreatifitas masyarakat. Tra disi pesantren di Jawa, misalnya, yang memiliki bentuk tersendiri merupakan sebuah subkultur dalam ke budayaan Jawa. Pola ini tentunya tidak jauh berbeda3

M. Ridlwan Nasir, 2005, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 80-82. Zamakhsyari Dhofier, 1982, Tradisi Pesantren. Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, hlm. 18.4

Abdurrahman Wahid, 1985, Pesantren sebagai Subkultur, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, hlm. 39-40. Lihat pula Mujamil Qomar, 2007, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm. 16-22.

13

dengan tradisi pesantren di luar Jawa. Apalagi, usia tradisi pesantren setara dengan usia masuknya Islam ke Indonesia. Oleh sebab itu, pesantren menjadi bagian dari mata rantai pendidikan Islam universal. Selain dari sumber-sumber lokal, pesantren juga mendapat pasokan ilmu dan pengetahuan dari sumbersumber asing.5 Istilah pondok, pesantren, dan santri sendiri masih banyak diperdebatkan oleh kalangan peneliti pesantren, tetapi polemik itu berkisar masalah definisi dan asalusul kata. Substansi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Nusantara yang bersifat konsentrasi atau spesial tidak menjadi keraguan.

2. Karakteristik dan Peran Sosial PesantrenPesantren dengan segala kemajemukan sistem pendidikan dan

institusionalisasinya telah membuka ruang belajar yang luas bagi rakyat saat pendidikan hanya dapat dinikmati kalangan elit. Eksistensi pesantren terbukti dalam rentang sejarah yang cukup panjang. Sebagai lembaga pendidikan pesantren dapat menembus ruang-masa yang berat, yaitu zaman penjajahan yang kejam dan zaman kemerdekaan yang penuh konflik. Pengalaman itulah yang membentuk karakter atau ciri khas pesantren yang tidak dimiliki lembaga pendidikan nonpesantren. Dalam sepanjang masa perjalanannya pesantren tetap diminati dan menjadi pilihan utama bagi generasi muda muslim.Pesantren telah membentuk citra tersendiri karena ketahanan karakternya. Karakteristik pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier 6] dapat dilihat dari pola umum pendidikan Islam tradisional, tradisi rihlah (perjalanan mencari ilmu), dan sistem pengajaran. Karakter yang lain dari pesantren yang disebut sebagai great traditions atau tradisi yang agung, seperti barokah dan pahala-pahala. Fenomena lain dari pesantren yang menjadi5

Kuntowijoyo, 2006, Budaya dan Masyarakat. Edisi Paripurna, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 55-56.6

Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit., hlm. 18-43.

14

khas adalah jiwanya, yaitu ruh yang mendasari dan meresapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh segenap civitas akademika pesantren. Ruh tersebut terumus dalam prinsip yang disebut panca jiwa7

pesantren, yaitu 1) keikhlasan; 2)

kesederhanaan; 3) persaudaraan; 4) mandiri; dan 5) merdeka atau otonom. Selain itu, terdapat elemen-elemen yang harus dimiliki sebuah pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, kiai sebagai pendiri dan pimpinan, dan tentu saja santri sebagai siswa penuntut ilmu. Khusus istilah kiai terdapat banyak makna, antara lain 1) sebutan untuk alim ulama atau cerdik pandai dalam agama Islam; 2) sebutan untuk guru ilmu ghaib atau dukun; 3) sebutan untuk kepala distrik di Kalimantan Selatan; 4) sebutan untuk benda-benda bertuah, seperti senjata, gamelan, kereta, dan lain-lain; dan 5) sebutan untuk hewan-hewan bertuah, seperti harimau, buaya, dan lain-lain. Dalam bahasa Jawa, istilah kiai digunakan sebagai gelar kehormatan untuk benda-benda keramat, untuk panggilan hormat pada orangtua umumnya, dan gelar untuk orang yang ahli agama Islam atau pemimpin pesantren. Namun, ada pula orang yang ahli dalam agama Islam dan memiliki amalan-amalan ibadah yang kuat serta berpengaruh di masyarakat juga disebut kiai, meski tidak meminpin pesantren, seperti KH. Ali Yafie, KH. Muchith Muzadi, KH. Yasin Yusuf, atau Kiai Zainuddin MZ.8.Menurut Hanun Asrohah,9karakter utama pesantren Indonesia terletak pada pembelajaran kitab kuning yang kebanyakan merupakan karya ulama Nusantara. Kecuali pembelajaran kitab kuning, keempat elemen yang terdapat di lingkungan pesantren di atas juga terdapat di lembaga pendidikan sejenis di Timur Tengah.

7

Wahib Wahab, 2006, Pendidikan Pesantren: Antara Tantangan dan Harapan (Ikhtiar Pemberdayaan Pendidikan Pesanten), makalah tidak diterbitkan, disampaikan pada acara Silaturahmi dan Mudzakarah Pesantren se-Jatim Kantata Research Indonesia di PP. Ar-Raudloh Paserpan, Pasuruan, Jawa Timur, 18 Februari 2006. 8.Mujamil Qomar, Op. Cit., hlm. 27-28.9.Hanun Asrohah, 2002, Pelembagaan Pesantren: Asal-usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa, Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, hlm. xii.

15

Sedangkan dilihat dari perannya di tengah masyarakat, pendidikan pesantren setidaknya dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu : (1)Pendidikan Alternatif, (2)Pendidikan Partisipatif, dan (3)Pendidikan Komplementer.

Pendidikan alternatif, karena keberadaannya berperan sebagai alternatif dari lembaga pendidikan formal pada umumnya. Pesantren yang masuk kategori ini adalah pesantren salaf. Bentuk pendidikan salaf memang benar-benar berbeda dari lembaga pendidikan umum, baik menyangkut aspek sejarah kelahirannya, metodologi pengajaran, manajemen, kepemimpinan dan lain-lainnya. Pendidikan partisipatif, maksudnya pesantren yang sekalipun tanpa menghilang kan ciri khas pesantren pada umumnya, maka dalam beberapa aspeknya telah me ngikuti lembaga pendidikan modern. Pesantren seperti ini, selain masih menerap kan tradisi pendidikan pesantren, misalnya melakukan kajian kitab kuning dengan system weton, sorogan dan bandongan, juga telah menerapkan system madrasah atau klasikal. Selain itu di pesantren ini telah memiliki kurikulum, proses belajar mengajar dengan system klasikal, melakukan penilaian atau evaluasi hasil belajar, dan lainnya sebagaimana yang diterapkan pada lembaga pendidikan modern pada umumnya. Sebagai pesantren partisipatif, pendidikan khas Indonesia ini membuka lembaga pendidikan formal, baik yang bersifat umum, seperti SD, SMP, SMA, SMK, atau yang bernuansa keagamaan seperti MI, MTs, MA, dan MAK. Selain itu, ada sejumlah pesantren yang masuk kategori ini membuka lembaga pendidikan yang agak berbeda dengan pendidikan modern pada umumnya. Sementara ini, pesantren yang mengambil peran partisipatif oleh Kementrian Agama, melalui Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam, diberikan status sebagai Pesantren Muadalah. Status ini sebenarnya sudah mencukupi, tetapi oleh sebagian pesantren dianggap belum memiliki sandaran hukum yang kuat. Status sebagai pesantren Muadalah hanya berlaku untuk beberapa tahun lamanya secara terbatas. Sementara pesantren yang bersangkutan menghendaki agar status itu berlaku tetap. Untuk memenuhi aspirasi itu, Pemerintah dalam hal ini kementerian agama perlu menerbitkan Surat Keputusan Menteri Agama.

16

Sedangkan pesantren yang berperan sebagai komplementer, adalah pesantren yang keberadaannya sebagai penyempurna dari lembaga pendidikan formal yang ada. Di beberapa tempat lembaga pendidikan umum menyempurnakan pendidikan nya dengan pendidikan agama, dengan cara menyelenggarakan pendidikan dini yah atau untuk di beberapa perguruan tinggi agama Islam (STAIN, IAIN, UIN) dengan mendirikan apa yang disebut dengan Mahad al Jamiah. Keberadaan pe santren diniyah dan Mahad al Jamiah adalah sebagai penyempurna dari pendidi kan formal yang diselenggarakan. Pendidikan pesantren yang bersifat takmili atau komplementer ini tidak memerlukan pengakuan pemerintah, oleh karena para lulu sannya sudah mendapatkan ijazah dari lembaga pendidikan formalnya.

3. Sejarah dan Perkembangan PesantrenPesantren sebagai bagian intrinsik dari mayoritas muslim Indonesia dapat ditelusuri dari aspek historis pesantren yang keberadaannya relatif cukup lama.Penelitian tentang pesantren menyebutkan, pesantren sudah hadir di bumi nusantara seiring dengan penyebaran Islam di bumi pertiwi ini. Ada yang menyebutkan, pesantren sudah muncul sejak abad akhir abad ke-14 atau awal ke15, didirikan pertama kali oleh Maulana Malik Ibrahim yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Sunan Ampel.10 Pendapat ini diperkuat oleh

Muhtarom yang menyatakan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang dikenal sebagai Syeikh Maghribi dari Gujarat, India, sebagai pendiri pertama pesantren di Jawa. Muhammad Said dan Junimar Affan menyebut Sunan Ampel atau Raden Rahmat sebagai pendiri pesantren pertama di Kembang Kuning, Surabaya. Menurut Kiai Machrus Aly, selain Sunan Ampel atau Raden Rahmat di Surabaya, ada ulama yang menganggap Sunan Gunung Jati atau Syeikh Syarif Hidaya tullah di Cirebon sebagai pendiri pesantren pertama.11

10 11

Marwan Saridjo et. al., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1982.P.22

Muhtarom, Op. Cit., hlm. 106 dan Mujamil Qomar, Op. Cit., hlm. 7-9.

17

Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya, Mujamil Qomar12

mengaju kan analisis yang diurainya dari laporan Lembaga

Research Islam (LRI) Pesantren Luhur. Menurutnya, riset dari LRI tersebut cukup cermat dan dapat dipegang sebagai pedoman. Dalam riset itu dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya pesantren, sedangkan Imam Rahmatullah (Raden Rahmat atau Sunan Ampel) adalah wali pembina pesantren pertama di Jawa Timur. Sementara itu, Sunan Gunung Jati mendirikan pesantren sesudah Sunan Ampel, bukan dalam waktu bersamaan. Alasannya, tahun wafat Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati berjarak 103 tahun. Rentang waktu itu cukup memberikan gambaran tentang siapa pendahulu dan siapa pelanjut kehidupan dunia pesantren. Namun berdasarkan data yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, pesantren dalam pengertiannya yang sesungguhnya tumbuh-kembang sejak akhir abad ke18. Dalam hal ini, Tegalsari dianggap sebagai pesantren tertua. 13 Senada dengan pendapat Martin Van Bruinessen tersebut, menurut Hanun Asrohah14

dalam di

sertasinya, bahwa pendirian dan pelembagaan pesantren pertama kali baru muncul pada pertengahan abad ke-18 M. Dari pesantren-pesantren kuno yang terlacak, pe santren Tegalsari Ponorogo yang didirikan tahun 1742 adalah pesantren paling tua Pada akhir abad 18 M, lembaga pesantren di Jawa semakin bertambah dan menga lami perkembangan pesat. Hal itu terjadi pada rentang abad ke-19 M. Dengan de mikian, dapat disimpulkan bahwa pesantren muncul pada abad ke-18 M dan me lembaga pada abad ke-19 M. Dalam penelitian Hanun Asrohah tersebut juga dikemukakan bahwa sistem pendidikan pesantren merupakan perpaduan antara elemen-elemen dari tradisi pendidikan Islam di Timur Tengah dan Hindu-Budha di Jawa. Dalam kaitannya

12

Mujamil Qomar, I b i d., hlm. 9

13

Martin van Bruinessen, `Traditionalist and Islamist Pesantren in Contemporary Indonesia Makalah pada workshop tentang Madrasah di Asia, ISIM, 23-24 Mei 2004.)14

Hanun Asrohah, Op. Cit., hlm. 299 dan 303.

18

dengan tradisi pendidikan Islam di Timur Tengah, pesantren memiliki tradisi yang sama dengan madrasah dan zawiyah, seperti model asrama, pengajaran kitabkitab, rihlah ilmiyah, hubungan guru-murid, dan metode pembelajaran.Selain itu, pesantren juga memiliki tradisi yang sama dengan sistem pendidikan HinduBudha, yaitu model asrama, hubungan guru-murid, tradisi pengembaraan, dan sis tem kepemimpinan. Akan tetapi, tradisi-tradisi dari sistem pendidian Islam di Ti mur Tengah dan tradisi Hindu-Budha tersebut sifatnya telah berubah sehingga menjadi khas sebagai unsur-unsur kebudayaan. Pada awal rintisannya pesantren tidak hanya menekankan misi pendidikan, me lainkan juga dakwah. Bahkan, misi dakwah ini justru lebih menonjol. Lazimnya, baik pesantren yang berdiri pada awal pertumbuhannya maupun pada abad ke-19 dan ke-20, pada awal perjuangannya masih terus menghadapi kerawanan-kerawa nan sosial dan polemik keagamaan. Terlepas kapan pertama kali muncul, tapi pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam Indonesia pertama yang indigenous. Sebagai misal, pendidikan yang dikembangkan sangat mengapresiasi, tapi sekaligus mampu mengkritisi bu daya lokal yang berkembang di masyarakat luas. Karena itu, meskipun kurikulum pendidikan yang dikembangkan ditekankan pada pola yang mirip dengan dunia Islam lain yang menganut fiqh mazhab Shafii,15 namun pola ini dikem bangkan se cara terpadu dengan warisan keislaman Nusantara yang telah muncul dan berkem bang sebelumnya, yaitu (mistisisme) tasawuf. Amalgamasi keilmuan ini melahir kan intelektualitas dengan nuansa fiqh-sufistik.16 yang sangat akomodatif terhadap tradisi dan budaya Nusantara yang ada saat itu. Kurikulum ini kemudian dirumus

15

Martin van Bruinessen. Op.citAbdurrahman Wahid, Asal Usul Keilmuan Pesantren dalam Jurnal Pesantren (No. Perdana Oktober-Desember

16

1984),P. 7-9.

17.Lihat Oxford Islamic Studies Online dalam http://www.oxfordislamicstudies.com /article/opr/t236/e0632)

19

kan dalam visi pesantren yang sangat sarat dengan orientasi kependidikan dan sosial. Fiqh-sufistik yang dianut pesantren tersebut sangat berwatak transformatif yang menjadikan pesantren memiliki kemampuan untuk menyandingkan nilai-ni lai universal Islam dengan kehidu pan nyata. Dalam bahasa lain, bermula sekali pesantren menyebarkan ajaran Islam, lembaga ini telah berupaya untuk melaku kan kontekstualisasi Islam dengan realitas kehidupan yang ada. Islam normatif yang absolut dan meta-historis didialogkan dengan ruang dan waktu yang berkem bang saat itu. Melalui pendekatan semacam itu, pesantren pada satu pihak menekankan kepa da kehidupan akhirat serta kesalehan sikap dan perilaku, dan pada pihak lain pe santren memiliki apresiasi cukup tinggi atas tradisi-tradisi lokal.17 Keserba-ibada han, keikhlasan, kemandirian, cinta ilmu, apresiasi terhadap khazanah intelektual muslim klasik dan nilai-nilai sejenis menjadi anutan kuat pesantren yang diletak kan secara sinergis dengan kearifan budaya lokal yang berkembang di masyarakat. Berdasar pada nilai-nilai Islam yang dipegang demikian kuat ini, pesantren mam pu memaknai budaya lokal tersebut dalam bingkai dan perspektif keislaman. Dengan demikian, Islam yang dikembangkan pesantren tumbuh-kembang sebagai sesuatu yang tidak tidak asing di bumi Nusantara. Islam bukan sekadar barang tempelan, tapi menyatu dengan kehidupan masyarakat. Pola dan pendekatan itu tampaknya sangat menjanjikan bukan hanya bagi per kembangan Islam di Nusantara, tapi juga bagi keberadaan Nusantara yang nanti nya memetamorfosis menjadi Indonesia. Memodifikasi pernyataan A. H. John, se bagaimana dikutip Dhafier, pesantren memiliki peran sangat menentukan dalam membentuk watak keislaman kerajaan-kerajaan Nusantara dan dalam penyebaran

20

Islam ke pelosok-pelosok negeri.18Perkembangan Islam Nusantara menjadi tidak terlepaskan dari peran pesantren dan santri. Berdasar pada keislaman pesantren itu, masyarakat santri pada masa-masa awal dan pertengahan memunculkan diri sebagai pious-transformative communi ty; masyarakat yang mengedepankan kesalehan yang selalu melakukan transforma si sosial. Terlepas dari kekurangan dan kelemahan yang mereka alami, mereka se lalu berupaya berada dalam garis depan untuk melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat lingkungan mereka, dan mengembangkan kehidupan di manapun me reka berada. Pesantren sampai batas tertentu mampu mengantarkan masyarakat Muslim Nusantara (dan nantinya Indonesia) sebagai khalifah Allah yang bekomit men untuk mengem bangkan kehidupan sebaik mungkin di mana dan kapan saja mereka hidup. Maka, pandangan semacam di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung menjadi anutan kuat santri, masyarakat muslim hasil pendidikan pesan tren. Pada sisi ini, peran mereka dalam melawan penjajahan, pembentukan negara Indonesia, dan mengisi kemerdekaan menjadi tinta emas yang menghiasi sejarah Nusantara dan Indonesia.

4. Perkembangan Pesantren Menjelang dan Pasca Kemerdekaana.Peran Sosial Pesantren Masa Kolonial (Pra Kemerdekaan) Pada periode penjajahan, pesantren berhadapan dengan kolonialis Belanda yang sangat membatasi ruang gerak pesantren. Pemerintah Belanda mengeluar kan kebijakan politik-pendidikan dalam rupa Ordonansi Sekolah Liar (Widle School Ordonanti). Melalui kebijakan itu pihak Belanda ingin membunuh madra sah dan sekolah yang tidak memiliki izin. Selain itu, kebijakan formal Belanda ter sebut juga bertujuan melarang pengajaran kitab-kitab Islam yang menurut pihak penjajah berpotensi memunculkan gerakan subversi atau perlawanan di kalangan santri dan kaum muslim pada umumnya. Setidaknya, tercatat empat kali pihak Be

18

Zamakhsari Dhafier.1982. Tradisi Pesantren,Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:LP3ES)ftn.6 hal.17-18

21

landa mengeluarkan peraturan yang bertujuan membelenggu perkembangan pesan tren di Indonesia, yaitu pada tahun 1882, 1905, 1925, dan 1932.19 Akan tapi, pada era ini pula perjuangan pesantren dalam merebut kemerdeka an memperoleh kekuatan melalui kepemimpinan karismatik kiyainya dan keikhla san para santrinya. Pada sisi lain, muncul pula kekuatan massal Islam dalam ben tuk organisasi ekonomi dan kemasyarakatan, seperti Serikat Dagang Islam, Persya rikatan Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama. Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alter natif Masa Depan (Gema Insani Press, 1997) seperti dikutip Asyuri (2004), masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangakauan kolonial. Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di desa-desa yang bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan keserakahan. Kedua, bersikap nonkooperatif dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah kitab kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk mem bela Islam dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya untuk memakai pakaian yang berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang memakai celana panjang, dasi sebagainya. Sikap seperti ini didasari atas sebuah qaidah: sepatu dan

Man Tasyabbaha biqoumin, fahuwa minhumBarangsiapa yang menyerupai suatu kaum atau golongan, maka dia termasuk golongan itu Ketiga, memberontak dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pesantren sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita19

Mujamil Qomar, Ibid., hlm. 24.

22

kenal nama Pangeran Antasari, Sultan Hasanu din, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara lain adalah pemberontakan kaum Padri di Sumatara Barat (1821-1828) yang di pelopori kaum santri di bawah pimpinan tuanku Imam Bonjol; pemberontakan Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah (1828-1830); Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 yang dikenal dengan pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan masuk ke Aceh. Pada masa penjajahan Jepang, pesantren berhadapan dengan kebijakan Saikere yang dikeluarkan pemerintah Jepang. Melalui kebijakan itu setiap orang bumipu tra diharuskan membungkuk sembilan puluh derajat ke arah Tokyo setiap pagi jam 07.00 guna menghormati atau memuja Kaisar Jepang, Tenno Haika, yang di yakini sebagai keturunan Dewa Amaterasu. Di sinilah peran ka rismatik K.H Ha syim Asyari terbukti ampuh. K.H Hasyim Asyari sangat menentang dan meno lak melakukan ritual yang diatur pemerintah Jepang itu sehingga ia ditangkap dan dipenjara selama delapan bulan. Di luar dugaan pihak Jepang, penangkapan dan pemenjaraan kiai karismatik tersebut justru melahirkan gelombang perlawanan di kalangan santri. Terjadilah demonstrasi besar-besaran yang melibatkan ribuan ka um santri untuk menuntut pembebasan K.H Hasyim Asyari dan menolak kebija kan Saikere.20 Sejak itulah pihak Jepang tidak pernah mengusik dunia pesantren, walau kekejamannya terhadap kaum bumiputra lebih menyakitkan dibanding pen jajah Belanda. Namun, watak penjajah tetaplah serupa di manapun, walau berbeda warna kulit dan bahasa, yaitu menghisap dan membunuh.

b.Peran Sosial Pesantren Masa Kemerdekaan (Pasca Merdeka)

20

Mujamil Qomar, I b i d., hlm. 13.

23

Pada awalnya kalangan pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang sendiri-sendiri dalam melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai terkoordinir melalui peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. Meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak semua negara di dunia mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Belanda dan sekutunya termasuk yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Belum genap satu bulan sejak diproklamirkan, terdengar berita bahwa Indonesia sudah mulai diserang kembali oleh Belanda dan Sekutunya. Pada 10 Oktober 1945 Belanda dan Sekutunya telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Bandung setelah melalui pertempuran sengit. Menghadapi kenyataan ini, kalangan kiai pesantren segera merencanakan pertemuan diantara para pimpinan pesantren. Sebagaimana diceritakan K.H. Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Al-Maarif, Bandung 1981), KH Hasyim Asy ari memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul semua. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan Jihad fi Sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad. Ada tiga poin penting dalam Resolusi jihad itu. Pertama, setiap muslim tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada.

24

Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu). Fatwa jihad itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio disertai dengan teriakan Allahu Akbar sehingga berhasil membangkitkan semangat juang kalangan santri untuk melawan penjajah. Para kiai dan santrinya kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah yang terbentuk sebagai respon langsung atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok ini kemudian banyak berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan tertinggi Sabilillah sendiri adalah K.H. Masykur dan Komandan Tertinggi Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang dipimpinan langsung oleh Kiai Wahab Hasbullah. Segera setelah itu, pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan nonregu lar Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Pada detik-detik ini pesantren-pesantren juga didatangi oleh para pejuang dari berbagai kalangan untuk minta kesakten kepada para kiai. Tanpa itu para pejuang merasa tidak akan mampu menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan senjatasenjata berat mereka. Seperti ditulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, Jakarta, 2005), seruan jihad itu berhasil menggugah dan membangkit kan semangat juang kaum santri. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah mengalir ke Surabaya. Perang yang menewaskan Jenderal Mallaby itu dikenang sebagai salah satu momentum dari perjuangan kaum santri melawan penjajah.

c. Refleksi Keindonesiaan Pasca Kemerdekaan

25

Peran besar kalangan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan tentu patut menjadi refleksi bagi kita semua. Refleksi ini penting karena di tengah gegap gempita perayaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, kiprah pesantren bagi kemerdekaan Indonesia makin hari makin dilupakan orang, bahkan oleh kalangan pesantren sendiri. Ini tentu menyedihkan karena perjuangan kalangan pesantren terhadap eksistensi Negara Republik Indonesia tidak hanya berhenti setelah pro klamasi, tetapi terus dilanjutkan di masa-masa kemudian. Dalam pemberontakan DI/TII misalnya, kalangan pesantren tidak memberikan dukungan meskipun yang pemberontakan itu dilakukan oleh orang Islam dan ditujukan untuk mendirikan negara Islam. Pondok Pesantren Cipasung misalnya, yang didirikan tahun 1931 oleh KH Ruhiat, beberapa kali bentrok dengan kelom pok DI/TII karena menolak mendukung dan bergabung dengan pemberontak terse but. Padahal DI/TII lahir di wilayah yang sama dengan Pesantren Cipasung. Sebagai organisasi yang memayungi kalangan pesantren, NU juga dengan gigih menolak pemberontakan DI/TII, PRRI dan Permesta, karena NKRI sudah diang gap final. Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi kebangsaan Indonesia mulai mendapat tantangan serius ketika muncul kalangan Islam garis keras yang mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi penyelesaian berbagai krisis di Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang antara membawa gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan karena ka langan pesantren sangat kental dengan ciri moderat, menghargai keberagaman, memandang wahyu dan akal sebagai acuan kebenaran yang saling membutuhkan serta menghagai nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Sementara Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini. Pasca reformasi, eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak tantangan serius. Dengan modal sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan kemerdekaan, pesantren mestinya bisa berbuat banyak untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah kebangsaan. Sayangnya, para pemimpin pesantren yang belakangan marak terlibat dalam politik praktis tidak banyak yang memiliki

26

visi kebangsaan seperti para pendahulu mereka. Kita berharap, pesantren melalui para kiai, santri dan alumninya di masa-masa mendatang dapat memainkan lagi peran kebangsaan seperti yang dilakukan oleh para pendahulu mereka. Pada era setelah kemerdekaan, pendidikan nasional berjalan kondusif dan berkembang. Sebaliknya, pesantren justru tidak banyak lagi menjalankan tugasnya seiring perkembangan madrasah yang sangat pesat. Dalam kurun ini, seperti yang ditulis Mujamil Qomar,21 pesantren menga lami semacam musibah karena peme rintah terus melakukan penyeragaman atau pemusatan sistem pendidikan nasional. Hanya pesantren-pesantren besarlah yang mampu menghadapi itu dengan berba gai penyesuaian atau adaptasi terhadap sistem pendidikan nasional.Musibah itu pun dapat dielakkan. Pada era Orde Baru, bersamaan dengan dinamika politik umat Islam dan nega ra, Golongan Karya (Golkar) sebagai kontestan pemilihan umum selalu membu tuhkan dukungan pesantren. Atas kebutuhan itulah pemerintah yang dikuasai Gol kar menaruh sedikit perhatian pada dunia pesantren. Dari kalangan pesantren sen diri muncul intelektual-santri yang secara sadar berusaha memperoleh pembeaya an pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berbagai gagasan mulai muncul dalam rangka mengajarkan keterampilan di pesantren, se perti peternakan, pertanian, kerajinan, dagang, dan lain-lain. Suasana pun tampak kondusif hingga terbit kebijakan SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama Men teri Agama, Menteri Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri) tentang penyetaraan madrasah dengan sekolah umum. Bila dibagi berdasarkan kurun waktu secara be bas, maka pesantren periode 1959-1965 dapat disebut sebagai agen revolusi. Era 1970-an dan 1980-an, pesantren menjadi benteng ideologi Islam karena harus menghadapi gempuran sekularisasi atau demoralisasi akibat kemajuan zaman. Tahun 1990-an, pesantren dapat dikatakan sebagai media pembangunan umat Islam, baik dalam konteks pendidikan Islam maupun peran para kiai dan santri dalam masyarakat. Simpul umum, sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo yang

21

Mujamil Qomar, Ibid., hlm. 13-14.

27

dikutip Mujamil Qomar,22 bahwa sesudah tahun 1965 Islam ditampakkan sebagai ilmu. Namun, anggapan Kuntowijoyo ini jelas tidak berlaku linear. Ajaran Islam ti dak terpisah dari politik sehingga pada masa-masa tertentu terus terjadi ketega ngan politik antara umat Islam dan negara. Situasi itu terjadi secara fluktuatif hingga kini. Kini, jumlah pesantren di Indonesia berdasarkan data Dirjen Lembaga Islam Kementerian Agama jumlah pesantren kurang ideal dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 230 juta jiwa. Namun, perkembangan pesantren cukup prospektif. Pesantren di Indonesia sedang berbenah dan mencoba menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Selain pesantren yang sudah ada, sekarang banyak muncul tren pesantren spesifik, tematis, atau modern. Pesantren-pesantren gaya baru itu memiliki manajemen pendidikan yang baik dan memiliki spesialisasi pada kompetensi berwirausaha dalam berbagai bidang, seperti pertanian, peternakan, kerajinan, atau industri kecil. Tujuannya agar santri segera mandiri dan mampu bersaing di sektor riil. Akan tetapi, perkembangan pesat pesantren gaya baru tersebut tidak sebanding dengan perkembangan pesantren dengan kompetensi spesifik pada bidang Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Ushul Fiqh, dan sebagainya. Kondisi ini menjadi ironi mengingat pesantren bukan lembaga pendidikan umum, tetapi lembaga pendidikan Islam. Pada era reformasi, potret pesantren semakin menarik dicermati dan diperta nyakan. Apakah pesantren nan masyhur di masa lalu, mulai dari gaya kepemimpi nan kiai yang karismatik hingga peran penting santri di arena publik, masih terus berkembang hingga kini? Masihkah pesantren mengadopsi sistem pendidikan ter dahulu ataukah telah memodifikasi model pendidikan umum? Pertanyaan-perta nyaan ini tentu memerlukan riset mendalam. Apalagi, pesantren berada dalam pu saran kekuatan lembaga pendidikan umum yang terus eksis sebagai referensi keil muan.

22

Mujamil Qomar, Op. Cit., hlm. 14.

28

C. PenutupDalam dunia pesantren, kepemimpinan kiai sangat strategis. Kiai menentukan arah dan kebi jakan sebuah pesantren. Kepemimpinan kiai yang biasanya bersifat karismatik membuat posisi individu sanga kiai menjadi tokoh atau figur publik, baik dalam lingkungan kehidupan pesantren maupun di tengah masyarakat umum. Walaupun tiap pesantren memiliki pola yang khas dan mungkin berbeda, namun karisma kiai sangat memberi corak dalam gaya hidup pesantren dan santri serta model pendidikan Islam. Sangat menarik mendiskusikan kepemimpinan kiai dan peran publik pesantren pada era sekarang yang ditandai dengan ambiguitas kehidupan dan perkembangan pesat ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Kiai sebagai figur sangat dibutuhkan da lam masyarakat modern yang haus bimbingan ruhani. Karisma kiai menjadi modal kultural dalam proses transaksi atau transformasi nilai bagi umat. Di sini, posisi sang kiai serupa konsultan atau tenaga ahli sebagaimana berlaku dalam masyara kat industri. Beratnya persoalan yang diakibatkan globalisasi ekonomi, misalnya, membuat masyarakat memerlukan fatwa-fatwa keagamaan agar tidak jatuh ke jurang keru sakan. Fatwa keagamaan tersebut akan menjadi panduan yang mirip kiat-kiat prak tis dalam dunia bisnis atau karir. Fatwa tentang sesuatu yang halal atau haram da lam konteks keagamaan, umpamanya, menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Islam di Indonesia. Apalagi, Indonesia tidak bisa berkelit dari kekua tan globalisasi yang menyediakan banyak ragam gaya hidup. Di sinilah peran kiai dan dunia pesantren menjadi manifes. Namun, sejauhmana peran itu dilakukan dan seberapa besar tantangannya perlu ditilik serius.

29

DAFTAR PUSTAKA-Asrohah,Hanun. 2002. Pelembagaan Pesantren:Asal-Usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa. Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidaya tullah. - Dhafir,Zamakhsari.1982. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta:LP3ES) -Kuntowijoyo, 2006. Budaya dan Masyarakat. Edisi Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana. -Martin van Bruinessen.2004. `Traditionalist and Islamist Pesantren in Con temporary Indonesia Makalah pada workshop tentang Madrasah di Asia, ISIM, 23-24 Mei 2004.) ., Oxford Islamic Studies Onlinedalamhttp://www.oxford Islamic stu dies.com /article/opr/t236/e0632) -Nasir.M. Ridlwan. 2005, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -Qomar,Mujamil. 2007, Pesantren dan Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Penerbit Erlangga. -Saridjo,Marwan et. Al.1982. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti -Wahab,Wahib. 2006, Pendidikan Pesantren: Antara Tantangan dan Harapan (Ikhtiar Pemberdayaan Pendidikan Pesanten), makalah tidak diterbitkan,

30

disampaikan pada acara Silaturahmi dan Mudzakarah Pesantren se-Jatim Kantata Research Indonesia di PP. Ar-Raudloh Paserpan, Pasuruan, Jawa Timur, 18 Februari 2006. -Wahid,Abdurrahman , Asal Usul Keilmuan Pesantren dalam Jurnal Pesantren (No. Perdana Oktober-Desember 1984) -Wahid,Abdurrahman , 1985, Pesantren sebagai Subkultur, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES.

ARTI LAMBANG NUNahdlatul Ulama merupakan jamiyyah diniyah ijtimaiyyah (Organisasi Sosial Keagamaan) yang didirikan di Kertopaten, Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. Pertemuan itu, dihadiri oleh ulama se Jawa dan Madura dan diprakarsai oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang sekaligus sebagai tuan rumah. Dalam Anggaran Dasar NU, Pasal 4, disebutkan Lambang Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkari di atas n-u-lambanggaris katulisitiwa, yang terbesar diantaranya terletak di tengah atas, sedang 4(empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah katulisitiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau. ARTI/MAKNA LAMBANG NU

31

a.Gambar bola dunia melambangkan tempat hidup, tempat berjuang, dan beramal di dunia ini dan melambangkan pula bahwa asal kejadian manusia itu dari tanah dan akan kembali ke tanah. b. Gambar peta pada bola dunia merupakan peta Indonesia melambangkan bahwa Nahdlatul Ulama dilahirkan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara Republik Indonesia. c. Tali yang tersimpul melambangkan persatuan yang kokoh, kuat, Dua ikatan di bawahnya merupa kan lambang hubungan antar sesama manusia dengan Tuhan, Jumlah untaian tali sebanyak 99 buah melambangkan Asmaul Husna. d. Sembilan bintang, yang terdiri dari : Lima bintang di atas garis katulistiwa dengan sebuah bintang yang paling besar terletak paling atas, melambangkan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat manusia dan Rasulullah; Empat buah bintang lainnya melambangkan kepemimpinan Khulaur Rasyi din yaitu Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Empat bintang di garis katulisitiwa melambangkan empat madzab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Jumlah bintang sebanyak 9 (sembilan) melambangkan sembilan wali penyebar agama Islam di pulau Jawa. e. Tulisan Arab Nahdlatul Ulama Menunjukkan nama dari organisasi, yang berarti kebangkitan ulama. Tulisan

32

Arab ini juga dijelaskan dengan tulisan NU dengan huruf latin sebagai singkatan Nahdlatul Ulama. f. Warna hijau dan putih Warna hijau melambangkan kesuburan tanah air Indonesia dan warna putih melambangkan kesucian.Sumber : 1) Anggaran Dasar NU 2) Pendidikan Aswaja/Ke-NU-an Jilid I, Lembaga Pendidikan Maarif NU Jatim

Riwayat Perjuangan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'Sejarah Lahirnya Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'disusun oleh KH. Ahmad Masduqi Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah na ma negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka mengadakan perombakan-peromba kan secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan kea gamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan merata kannya dengan tanah. Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah de ngan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar. Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional,ka rena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlra

33

tus syaikh KH. Hasyim Asy'ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa di Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang di beri nama Comite Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para to koh muda. Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan tele gram kepada raja Ibnu Sa'ud. Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di la wang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama "JAM'IYYAH NAHDLATUL ULAMA" dengan susunan pengurus HB (Hoof Bestuur) sebagai berikut: Ra'is Akbar : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari Wakil Ra'is : KH. Said bin Shalih Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz 1. KH. Abdul Halim (Leuwimunding) 2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU) 3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang. A'wan : 4. KH. Said. 5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya. 6. KH. Nahrawi Thahir, Malang. 7. KH. Amin, Surabaya. 8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng Musytasyar : 1. KH. Asnawi, Kudus

34

2. KH. Ridlwan, Semarang. 3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan. 4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan. 5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. 6. KH. Hambali, Kudus. Presiden Penulis Bendahara : H. Hasan Gipo : H. Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo : H. Burhan H. Saleh Syamil H. Ihsan Komisaris : H. Nawawi H. Dahlan Abd. Qohar Mas Mangun

Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dimaksudkan sebagai suatu organi sasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan bu kan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu memberi kan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia. Periode 1926-1929 Setelah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas Comite Hejaz yang be lum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada Jam'iyyah NU. Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan oleh Comite Hejaz, maupun

35

tugas yang diharapkan oleh ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain: 1. Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam se lain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara keputu san kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu: H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga mengirim kan utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utu san ini berhasil dengan baik. Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud ke Indone sia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang dianutnya. 2. Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai: 1. Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukumhukum yang dibawa Belanda dari Eropa. 2. Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam. 3. Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri. 4. Dan lain-lainnya. Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal politik.

36

Periode 1929-1942 Pada tanggal 5 September 1929 Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA" untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926. Hoofbestuur (Pe ngurus Besar) Nahdlatul Ulama' juga berusaha membuat lambang NU dengan ja lan meminta kepada para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata Almar hum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau me lihat gambar lambang itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa me ngetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut satupersatu . Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama' mendapat sambutan dari selu ruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah ter bentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain: 1. Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari. 2. Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar. Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan masyara kat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938, atas pra karsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan kon ferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah, disamping sistem pendi

37

dikan pondok pesantren. Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:

Madrasah Umum, yang terdiri dari:o o o o o

Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun. Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun. Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun. Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun. Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.

Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:o o o o o o

Madrasah Qudlat (Hukum). Madrasah Tijarah (Dagang). Madrasah Nijarah (Pertukangan). Madrasah Zira'ah (Pertanian). Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir). Madrasah Khusus.

Kelahiran Al Majlis Al Islamiy Al A'la (MIAI) Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda, disamping penghinaan-penghi naan yang dilakukan oleh golongan di luar Islam kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi hal tersebut, maka Nahdla tul Ulama' memandang perlu untuk mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia. Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama' telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI), dengan susunan dewan sebagai berikut: Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU

Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII

38

Sekretaris (ketua) Penulis

: H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah : S.A. Bahresy, dari PAI 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad

Bendahara

: 2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah 3. Dr. Sukiman, dari PII

Adapun tujuan perjuangan yang akan dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:

Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.

Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung dalam MIAI maupun belum.

Merapatkan hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.

Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya. Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.

Periode 1942-1952 Kelahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:

Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.

Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur'an. Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama' atau kyai yang terkenal.

39

Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.

Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.

Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama' dari seluruh Indonesia yang di panggil ke istana Gambir Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedu dukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cu kup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama' tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indone sia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari segala ma cam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan. Pembentukan laskar rakyat Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama' di Indonesia. Dari informasi yang diberi kan oleh para senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebe um masuk ke Indonesia (mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui bah wa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam serta menganut paham Ah lus Sunnah Wal Jama'ah, semuanya ta'at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama'. Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama' untuk memu kul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai macam da lih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada para ulama' agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.

40

Sedang Nahdlatul Ulama' sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa un tuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan senjata dan berpe rang. Untuk itu Nahdlatul Ulama' berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama' tidak melupakan untuk membentuk Barisan Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan Jepang adalah meng gunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI. Masyumi menjelma sebagai Partai Politik Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang dibu barkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh um mat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru sa ja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan meram pas kemerdekaan Indonesia. Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama', Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela ke merdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya. Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arekarek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November 1945. Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak penjajah yang akan menyeng keramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di Indonesia. Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa penja jahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat

41

agamis,sedang hal-hal yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu disalurkan dengan nama Masyumi. Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari orga nisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sebagai tulang punggung nya. Adapun susunan Dewan Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut: Majlis Syura (Dewan Partai) Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo 1. RHM. Adnan. 2. H. Agus Salim. Anggota : 3. KH. Abdul Wahab Hasbullah. 4. KH. Abdul Halim. 5. KH. Sanusi. 6. Syekh Jamil Jambek Pengurus Besar Ketua : Dr. Sukirman

Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono Ketua Muda II : Wali Al Fatah

42

Sekretaris I Sekretaris II Bendahara

: Harsono Tjokreoaminoto : Prawoto Mangkusasmito : Mr. R.A. Kasmat

Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri dari Masyumi Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama'. Sebab Nahdlatul Ulama' selalu menyadari betapa pen tingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai cita-citanya. Itulah yang men dorong Nahdlatul Ulama' yang dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Po litik. Bahkan Nahdlatul Ulama' adalah modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama' pada konggresnya di Purwokerto yang meme rintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bah kan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama' juga di perintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam Indo nesia). Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyu mi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat kece patan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menghalal kan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan hubungan an tara ulama'/kyai dengan golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para

43

pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian PSII men jadi partai. Pengunduran diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 - 19 Desember 1949, telah diputuskan peruba han Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan. Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama' tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama'. Namun PBNU masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama' meminta kepada pimpi nan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organi sasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari ma sing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama' untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai. Nahdlatul Ulama' membentuk Liga Muslimin Setelah Nahdlatul Ulama' keluar dari Masyumi, Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indo nesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama' mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk memben tuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengam bil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari Nahdlatul Ulama', PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.

44

Dekade 1965 Selama Nahdlatul Ulama' menjadi Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama' muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama' pada saat itu be tul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain NU. Keberhasilan Nahdlatul Ulama' dalam menumbangkan PKI dapat diakui oleh Nahdlotul Ulama'. Nahdlatul Ulama' sebagai Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas pembe rontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatul Ulama' dihadap kan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama' sendiri dalam hal rencana perjuangan nya yang terperinci, mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepenti ngan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama' yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebab kan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya. Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama' menghadapi Pemi lihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama' harus mempunyai anggauta secara rea lita, terdaftar dan bertanda anggauta secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul Ulama', kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama' membutuhkan anggauta sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Akibat dari pergeseran nilai ini lah yang membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana.Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama' harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwa kilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan program da

45

lam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan dan juga ka rena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan. Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama' mencapai puncak keber hasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama' sudah mulai terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama' yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah politik. Penyederhanaan Partai-Partai Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama' keluar sebagai pemenang no mor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama' adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI, yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk menyederhanakan partaipartai politik. Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya me mang bukan dari Nahdlatul Ulama'. Akan tetapi Nahdlatul Ulama' menyambut de ngan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama' tidak mem bentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan pun terja di, karena memang masing-masing pihak yang berfusi mempunyai tata-nilai sen diri-sendiri. Bagaimanakah kenyataannya? Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan elit telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' ke dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama'.

46

Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama'. Maka timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sejak mula pertama didirikan sebagai jam'iyyah.

Nahdlatul Ulama' Kembali Kepada Khittah An Nahdliyah Selama Nahdlatul Ulama' berfusi dalam tubuh Partai Persatuan Pembangu nan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama' sendiri terdapat banyak ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul Ulama' telah menjadi kurang pe ka dalam menanggapi dan mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah ke telibatan N