Page 1
1
Optimisasi Multi-Objektif Kilang Hayati Ko-Produksi Etanol, Furfural,
Dan Listrik Berbasis Lignoselulosa Terintegrasi Dengan Sistem Generasi
Kukus Tenaga Surya
Zulfa Hudaya1, Widodo Wahyu Purwanto1
1Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI,
Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimumkan konversi TKKS menjadi etanol, furfural, dan listrik yang
terintegrasi dengan sistem generasi kukus agar menghasilkan performa ekonomi dan lingkungan yang optimum.
Performa ekonomi diukur dengan NPV (net present value) sedangkan performa lingkungan diukur melalui emisi
CO2 hasil analisis life cycle. Hasil optimisasi menunjukkan bahwa suhu optimum untuk reaksi hidrolisis adalah
180°C dan pemenuhan fraksi kukus massa dari generasi kukus tenaga surya yang optimum berada pada rentang
0-0,28 yang ditunjukkan oleh kurva Pareto. CSP mampu memenuhi seluruh kebutuhan kukus secara finansial
pada pembangunan unit ke-10 dengan proyeksi learning curve. Split fraksi TKKS untuk objektif optimum
didapatkan pada fraksi massa TKKS sebesar 0.25 ke unit reaktor hidrolisis.
Multi-Objective Optimization of Ethanol, Furfural, and Electricity Co-Production
in a Lignocellulosic Based Biorefinery
Integrated with Solar-Assisted Steam Generation System
Abstract
The purpose of this research is to optimize the conversion process of EFB to ethanol, furfural, and electricity
through co-production principal integrated with solar-assisted steam generation system, to achieve optimum
economic and environmental performances. Economic performance is measured by NPV, while environmental
performance by CO2 emission through life cycle analysis. The multi-objective optimization shows that the
optimum temperature of hydrolisis reaction is 180°C and solar-assisted generation system is applicable for
fulfilling steam need until 0,28 of mass fraction, which are represented by Pareto curve. CSP can fulfill all demand
of steam funancially when the 10th unit established by learning curve projection. Fraction split of EFB into
hydrolisis reactor is optimum at 0,25.
Keywords: multi-objective optimization, biorefinery, lignocellulosic, solar-assisted steam generation
Pendahuluan
Indonesia diperkirakan memproduksi 146,7 juta ton biomassa tiap tahunnya (ZREU,2000)
dimana salah satunya berasal dari tandan kosong kelapa sawit (TKKS). TKKS termasuk ke
dalam biomassa lignoselulosa yang tidak berbenturan dengan kebutuhan pangan. Hal ini karena
TKKS merupakan limbah industri kelapa sawit. Ketersediaan TKKS juga cukup melimpah
karena Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan
produksi lebih dari separuh produksi minyak kelapa sawit dunia (USDA, 2013).
Page 2
2
Komersialisasi kilang hayati terkendala pada faktor seperti rendahnya investasi, sistem pasokan
bahan baku yang tidak baik, serta konversi yang rendah. Beberapa penelitian telah fokus pada
improvisasi kilang hayati dengan cara mengubah konfigurasi struktur dan kondisi operasi
kilang. Pendekatan alternatif adalah dengan mengintegrasikan kilang hayati dengan sumber
daya terbarukan yang lain untuk mendapatkan suatu sistem yang ekonomis dan ramah
lingkungan. (Brunet, dkk., 2013). Selain biomassa, keuntungan posisi geografis pada daerah
ekuator menguntungkan bagi negara Indonesia dimana potensi tenaga surya melimpah dan
berpotensi untuk dimanfaatkan, antara lain: pembangkit listrik, utilitas dingin pada pabrik, dan
lain-lain.
Desain kilang hayati yang akan dirancang pada penelitian ini adalah desain untuk ko-produksi
etanol, furfural, dan listrik yang terintegrasi dengan sistem generasi kukus tenaga surya.
Optimisasi yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan NPV yang maksimum dan emisi CO2
yang minimum, di mana dampak emisi CO2 akan dihitung berdasarkan life cycle assessment
(LCA).
Tinjauan Teoritis
Prinsip utama kilang hayati (biorefinery) adalah mengolah biomassa menjadi berbagai produk
yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Cherubini (2010) mendefinisikan kilang hayati sebagai
fasilitas yang mengintegrasikan alat, dan proses untuk konversi biomassa menjadi bahan bakar
transportasi (biofuels), tenaga (power), dan bahan kimia (chemicals).
TKKS adalah salah satu limbah yang dihasilkan oleh industri minyak kelapa sawit dan
mengandung lignoselulosa. Lignoselulosa adalah material fibrous dengan dinding sel layaknya
tumbuhan. Komponen utama lignoselulosa adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Konversi
lignoselulosa menjadi produk berdaya jual tinggi memerlukan proses seperti deoksigenasi dan
depolimerisasi. Hal ini karena struktur lignoselulosa berbeda dengan struktur bahan bakar dan
bahan kimia. (Lange, 2007)
Dalam perancangan desain kilang hayati ini, produk yang dihasilkan adalah etanol (bahan
bakar/fuel), furfural (bahan kimia/chemical), dan listrik (power). Pemilihan ketiga produk di
atas agar komponen lignoselulosa dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Page 3
3
Gambar 1. Rute Konversi Pemanfaatan Lignoselulosa
(Heeres, 2010)
Umumnya, konversi lignoselulosa terdiri dari dua tahap: pertama, pra-perlakuan secara
termokimiawi, dan kedua, proses konversi menjadi berbagai monomer gula. Lignin merupakan
komponen yang sulit untuk difermentasi karena memiliki struktur ikatan hidrogen yang sangat
kuat dengan selulosa. Namun, lignin memiliki heating value yang tinggi jika digunakan sebagai
bahan bakar secara langsung (heating value lignin 29,45 MJ/kg) sehingga dapat dimanfaatkan
dengan cara dibakar secara langsung agar didapatkan panas untuk pembangkit tenaga listrik.
Setelah mengalami pengolahan primer dengan katalis asam/basa, tiap komponen dalam
lignoselulosa dapat diolah menjadi produk yang diinginkan. Selulosa yang terdiri dari glukosa,
sebagian diproses menjadi etanol melalui proses fermentasi. Hemiselulosa terdiri dari gula C6
dan C5, di mana gula C6 masuk ke dalam jalur produksi selulosa untuk meghasilkan etanol dan
asam levulinat, sedangkan gula C5 seperti xilosa dan arabinosa diproses untuk menghasilkan
furfural.
Secara umum desain ko-produksi etanol, furfural, dan listrik dapat dibagi menjadi beberapa
unit, antara lain: Unit Praperlakuan, Unit Produksi Furfural, Unit Produksi Etanol, dan Unit
Pembangkit Listrik dan Unit Generasi Kukus Tenaga Surya.
Unit Praperlakuan. Unit ini bertujuan untuk mendekonstruksi lignoselulosa ke dalam
komponennya masing-masing dengan cara menghancurkan ikatan selulosa-lignin. Salah satu
metode praperlakuan yang sudah banyak diteliti adalah hidrolisis menggunakan asam sulfat
encer. Kim, dkk (2012) melakukan studi kinetika untuk mengetahui pengaruh waktu reaksi (0-
Page 4
4
40 menit), temperatur reaksi hidrolisis (160-180 oC) dan konsentrasi asam (0,1-0,2%) pada
reaksi hidrolisis TKKS. Temperatur tersebut diperoleh dengan cara memanaskan reaktor
mengggunakan kukus yang dialirkan secara kontinyu dengan perbandingan larutan asam dan
TKKS yang digunakan adalah 7:1. Pada penelitian ini, rentang temperatur yang akan
divariasikan adalah 162-180 oC. Batas bawah 162 oC digunakan karena temperatur ini
merupakan titik didih dari furfural. Pada rentang temperatur tersebut, furfural dapat diperoleh
sebagai produk atas dari reaktor berupa campuran uap furfural dan beberapa senyawa organik,
sehingga proses pemisahan furfural dengan produk hidrolisis lainnya menjadi lebih mudah.
Batas atas 180 oC digunakan karena di atas temperatur ini, glukosa akan terdekomposisi lebih
lanjut menjadi asam levulinat. Konsentrasi asam yang akan digunakan pada penelitian ini
sebesar 0,2 % karena menurut Kim, dkk (2012), konsentrasi asam yang tinggi akan membuat
dekomposisi xilosa menjadi furfural menjadi lebih besar. Asam yang digunakan adalah asam
sulfat (H2SO4). Untuk residence time, pada penelitian ini akan ditetapkan sebesar 1 menit
dimana waktu tersebut sudah cukup untuk mendekomposisi xilosa menjadi furfural, tetapi tetap
menjaga agar sebagian glukosa tidak terdekomposisi menjadi 5-HMF.
Unit Produksi Furfural. Furfural membentuk campuran azeotrop dengan air, yaitu pada
komposisi 35% berat furfural. (Zeitsch, 2000). Proses purifikasi untuk mendapatkan furfural
dengan konsentrasi 99% menggunakan proses ekstraksi cair-cair dengan pelarut toluena karena
kebutuhan energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses distilasi azeotrop.
Unit Produksi Etanol. Sebelum proses fermentasi, dilakukan proses pengenceran dan filtrasi.
Pengenceran dilakukan agar konsentrasi etanol yang dihasilkan <10% agar Saccharomyces c.
dapat tetap hidup (Liu & Qureshi, 2009). Filtrasi dilakukan dengan menambahkan CaOH2 yang
disertai dengan penggelembungan CO2 untuk menghilangkan pengotor. Pada main fermenter,
S.cerevisae mampu mengkonversi sekitar 95% gula menjadi etanol dengan waktu retensi
sekitar 20 jam pada kondisi anaerob (Ogbonna et al., 2000) pada temperatur 33 oC. Etanol yang
dihasilkan main fermenter memiliki konsentrasi di bawah 10%, sedangkan etanol yang akan
diproduksi harus memiliki konsentrasi 99,6%. Namun, pada konsentrasi 95,6% etanol
membentuk campuran azeotrop dengan air. Oleh karena itu, proses purifikasi etanol dibagi
menjadi dua: distilasi biasa hingga mendekati titik azeotrop, dan distilasi ekstraktif dengan
pelarut etilen glikol (EG) untuk mengatasi kondisi azeotrop.
Page 5
5
Unit Pembangkit Listrik. Residu biomassa yang tidak terhidrolisis dibakar secara langsung
untuk mendapatkan panas guna menghasilkan uap air. Selanjutnya, melalui siklus Rankine
(steam-turbine), uap tersebut digunakan untuk menghasilkan listrik.
Unit Generasi Kukus Tenaga Surya. Kebutuhan kukus pada kilang hayati dipenuhi oleh
sistem generasi kukus tenaga surya dengan tipe kolektor surya parabolik. Sinar matahari dapat
dikonsentrasikan dan ditangkap oleh kolektor yang dapat menghasilkan panas untuk
menghasilkan kukus dengan rentang suhu menengah hingga tinggi.
Life Cycle Assessment (LCA) merupakan mekanisme untuk menganalisa dan
memperhitungkan dampak lingkungan total dari suatu produk dalam setiap tahapan daur
hidupnya. LCA memiliki 4 tahapan utama, yaitu: (1) penentuan tujuan dan ruang lingkup, (2)
inventarisasi data, (3) penilaian dampak, dan (4) interpretasi data (IRAM-ISO-14040, 2006).
Optimisasi multi-objektif adalah mengoptimisasi suatu masalah berdasarkan dua atau lebih
tujuan yang saling berlawanan, berdasarkan batasan-batasan tertentu sehingga tidak akan
didapatkan suatu solusi tunggal. Suatu solusi dikatakan efisien jika dan hanya jika tidak ada
solusi lain yang mampu meningkatkan satu fungsi objektif tanpa memperburuk fungsi objektif
lainnya (Pei Liu, 2009). Kumpulan dari semua solusi yang efektif disebut sebagai batas Pareto
(Gambar 2).
Gambar 2. Kurva Pareto
(Noesis Solutions, n.d.)
Page 6
6
Algoritma yang digunakan untuk menyelesaikan optimisasi multi-objektif adalah metode 𝜖-
constraint. Algoritma ini melakukan skalarisasi dengan cara mengubah salah satu fungsi
objektif menjadi batasan (constraint) bagi fungsi objektif lainnya. Metode 𝜖-constraint
menyelesaikan masalah dengan cara membagi spasi dari fungsi objektif menjadi interval-
interval kecil dan mendapatkan solusi optimum pada titik-titik interval tersebut.
Apabila sejumlah data mengenai opsi desain dievaluasi, serta performanya diplot pada bidang
yang terbentuk dari dua sumbu fungsi objektif, maka batas terluar dari sekumpulan titik
menunjukkan batas di mana desain tidak dapat dioptimumkan lebih lanjut. Batas ini disebut
kurva Pareto atau Pareto Frontier yang memisahkan dua daerah, yaitu daerah yang
memungkinkan (feasible region) dan daerah yang tidak memungkinkan (infeasible region).
Daerah di sepanjang kurva Pareto disebut daerah optimum, sedangkan daerah pada feasible
region disebut daerah sub-optimum.
Metode Penelitian
Penelitian dimulai dari sintesis dan simulasi proses hingga mendapatkan neraca massa dan
energi (NME). Selanjutnya, dapat dilakukan estimasi biaya modal (Total Capital
Investment/TCI) dan biaya operasi (Operating and Maintenance Cost/OM), serta parameter
kelayakan lingkungan yang dinyatakan dalam faktor emisi tiap produk, 𝐸𝑖 (kg-CO2/unit
produk). Kemudian dilakukan pengulangan untuk berbagai nilai variabel bebas hingga
didapatkan array data berupa variabel-variabel optimisasi seperti TCI, OM, 𝐸𝑖, dan jumlah tiap
produk yang dihasilkan (𝑞𝑖), pada rentang kapasitas generasi kukus tenaga surya dan
temperatur hidrolisis tertentu. Array data tersebut digunakan untuk melakukan regresi sehingga
didapatkan persamaan-persamaan berupa variabel-variabel optimisasi sebagai fungsi dari
variabel bebas. Persamaan-persamaan tersebut lalu dioptimisasi untuk mendapatkan suatu set
solusi optimum. Lalu dilakukan pula mekanisme perubahan sistem ko-produksi untuk melihat
pengaruhnya terhadap optimisasi multi-objektif untuk mendapatkan solusi optimum.
Sintesis Proses Ko-Produksi. Desain proses ko-produksi etanol, furfural, dan listrik yang
dihasilkan ditunjukkan oleh Gambar 3.
Simulasi Proses Ko-Produksi. Simulasi untuk mendapatkan neraca massa dan energi pada
penelitian ini akan dilakukan dengan simulator software, yaitu Unisim Design dan SuperPro
Page 7
7
Designer. Kedua piranti lunak tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing
yang dapat saling melengkapi untuk simulasi proses ko-produksi. Unisim Design memiliki
banyak set model termodinamika, sehingga model termodinamika dapat dimodelkan secara
akurat. Akan tetapi, Unisim Design tidak memiliki komponen pada industri yang melibatkan
komponen biologi. Di sisi lain, SuperPro memiliki unit operasi yang mampu menangani proses
yang melibatkan komponen biologi. Selain itu, Superpro dilengkapi fasilitas estimasi biaya alat
sehingga perhitungan estimas biaya modal lebih mudah. Namun, SuperPro tidak mempunyai
banyak pilihan model termodinamika sehingga kurang akurat dalam memodelkan suatu proses
yang melibatkan termodinamika yang rumit.
Gambar 3. Proses Ko-produksi Etanol, Furfural, dan Listrik pada Kilang Hayati
(telah diolah dari Alfansyah, 2015)
Mengestimasi Biaya Modal (TCI) dan Biaya Operasi (OM). Estimasi biaya modal
dilakukan menggunakan metode Guthrie, berdasarkan total biaya pembelian dan instalasi alat
(Total Bare Module Cost). Biaya operasi terdiri dari biaya bahan baku (variable cost) dan biaya
administrasi, asuransi, sewa, dll (fixed operating cost) dan biaya pemeliharaan yang besarnya
berdasarkan biaya modal.
Menghitung Parameter Kelayakan Lingkungan. Dilakukan berdasarkan Life Cycle
Assessment, dengan objektif didapatkannya emisi CO2 yang dihasilkan kilang hayatidengan
Page 8
8
batasan cradle-to-gate. Batasan tersebut meliputi kultivasi dan pemanenan, ekstraksi CPO,
hingga kilang hayati. Data yang dibutuhkan berupa faktor emisi tiap material yang diperoleh
dari data sekunder, dan data input material yang diperoleh dari NME hasil simulasi. Persamaan
yang digunakan antara lain:
𝐸𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑗 = 𝐸𝑗 . 𝑚𝑗 (1)
𝐸𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = ∑ 𝐸𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑗𝑗 + ∑ 𝐸𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑘𝑘 (2)
𝑬𝒊 = 𝑬𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍𝒊
𝒒𝒊 (3)
Melakukan Regresi terhadap Variabel Optimisasi. Regresi diperlukan untuk
menghubungkan simulator dengan piranti lunak optimisasi dimana dibutuhkan persamaan
dengan variabel suhu hidrolisis dan kapasitas generasi kukus tenaga surya. Regresi dilakukan
menggunakan fasilitas SFTOOL pada piranti lunak MATLAB dimana didapatkan persamaan
fungsi polinomial dua variabel berorde dua dengan bentuk umum sebagai berikut:
𝑉(𝑥, 𝑦) = 𝑝00 + 𝑝10. 𝒙 + 𝑝01. 𝒚 + 𝑝20. 𝒙𝟐 + 𝑝11𝒙. 𝒚 + 𝑝02. 𝒚𝟐 (4)
Persamaan di atas berlaku pada rentang kapasitas dan temperatur berikut:
162 ≤ Temperatur (oC) ≤ 180 (5)
0 ≤ Fraksi Massa Kukus dari Sistem Tenaga Surya ≤ 1 (6)
Besar pembagian antara kedua sumber tersebut dinyatakan dengan fraksi massa kukus sistem
tenaga surya dengan batasan minimum 0 yang berarti seluruh kukus berasal dari bahan bakar
fosil dan batasan maksimum dimana seluruh kebutuhan kukus kilang hayati berasal dari sistem
generasi kukus tenaga surya.
Optimisasi Multi-Objektif. Persamaan fungsi objektif dan batasan yang digunakan dalam
optimisasi ini antara lain:
𝑅𝑒𝑣 = ∑ 𝑞𝑖 . 𝑝𝑖𝑖 (7)
𝐴𝐺𝑃 = 𝑅𝑒𝑣 − 𝑂𝑀 (8)
𝐴𝑃𝐴𝑇 = (1 − 𝑅𝑡𝑎𝑥) . 𝐴𝐺𝑃 (9)
Fungsi Objektif 1: 𝑁𝑃𝑉 = −𝑇𝐶𝐼 + ∑𝐴𝑃𝐴𝑇
(1+𝑟)𝑡20𝑡=1 (10)
Fungsi Objektif 2: 𝐸𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = ∑ 𝑞𝑖 . 𝐸𝑖𝑖 (11)
Page 9
9
Terdapat tiga model yang akan diselesaikan dengan piranti lunak optimisasi. Tiap model
diselesaikan dengan solver CONOPT komersial yang dijalankan di GAMS. Model 1 untuk
mendapatkan batas atas dengan memaksimumkan NPV sebagai objektifnya. Kemudian Model
2 untuk mendapatkan batas bawah dengan meminimumkan emisi sebagai objektifnya.
Selanjutnya Model 3 diselesaikan dengan memaksimumkan NPV sebagai objektifnya setelah
mengubah fungsi objektif emisi menjadi constraint tambahan dimana NPV dan emisi yang
diperoleh dari Model 1 dan Model 2 dijadikan batas dalam pencarian solusi di Model 3.
Dalam Model 3, fungsi objektif yang diselesaikan adalah fungsi objektif NPV, sehingga fungsi
objektif emisi akan dimodifikasi menjadi batasan menggunakan persamaan linier (skalarisasi)
berikut:
𝑓2 = (𝑓1
− 𝑓1,max 𝑓1)𝑤1(𝑓2,max 𝑓1−𝑓2,min 𝑓2)
𝑤2(𝑓1,min 𝑓2−𝑓1,max 𝑓1)+ 𝑓2,min 𝑓2 (12)
Hasil dan Pembahasan
Simulasi Proses. Performa proses dilihat dari efisiensi karbon dan efisiensi energi.
Penghitungan efisiensi secara tipikal melihat pada desain dengan kapasitas 500 ton/hari dan
temperatur hidrolisis 171 oC. Aliran karbon ditunjukkan oleh Gambar 4 dalam bentuk diagram
Sankey. Efisiensi karbon secara keseluruhan adalah sebesar 14,76% dengan efisiensi 44,99%;
53,96%; dan 0,0% masing-masing untuk unit produksi furfural, unit produksi etanol, dan unit
pembangkit listrik.
Gambar 4. Diagram Sankey untuk Aliran Karbon
Efisiensi energi untuk keseluruhan kilang diperoleh dari nilai energi dari output yang
dihasilkan, yaitu furfural 17,13 MW, etanol 5,69 MW, dan listrik 15,23 MW, dibagi dengan
nilai energi dari input. Input terdiri dari TKKS 89,69 MW, kebutuhan listrik 1,69 MW, dan
Page 10
10
kebutuhan energi kukus 106,58 MW. Efisiensi energi yang dihasilkan adalah sebesar 19,22%.
Siklus Rankine yang ada pada unit pembangkit listrik, efisiensi termalnya sebesar 24,72%
Estimasi Biaya Modal dan Biaya Operasi. Berdasarkan Gambar 5 terlihat unit produksi
etanol dan unit pembangkit listrik merupakan penyumbang terbesar terhadap total biaya
investasi sebesar US$92.500.000. Pada unit produksi etanol, peralatan yang digunakan
meliputi alat untuk produksi etanol, seperti clarifier, fermenter, dan centrifuge, serta alat untuk
purifikasinya seperti kolom distilasi, kolom distilasi azeotrop, dan recovery column.
Gambar 5. Kontribusi Tiap Unit Terhadap Total Bare Module (TBM)
Penyumbang terbesar biaya operasi (Gambar 6) berasal dari unit praperlakuan, yaitu sebesar
74% untuk kebutuhan kukus. Kebergantungan kilang hayati pada kukus sangatlah tinggi untuk
memastikan keberlangsungan reaksi hidrolisis. Jumlah energi yang dibutuhkan sangat besar
dan berpengaruh pada biaya operasi yang besar pula.
Gambar 6. Kontribusi Tiap Unit Terhadap Variable Cost
Page 11
11
Sumber pendapatan terbesar berasal dari produksi listrik (40%), lalu disusul oleh furfural
(35%), dan etanol (20%) dengan total pendapatan sebesar US$40.000.000 per tahun. Net
Present Value untuk kilang hayati didapatkan sebesar US$ 30.000.000 dengan indeks profit
sebesar 1,33.
Analisis Life Cycle. Perhitungan dampak kilang terhadap emisi CO2 ke lingkungan
menghasilkan total emisi CO2 sebesar 660.000.000 kg CO2-ekuivalen di mana mayoritas emisi
berasal dari pembebasan lahan yaitu sebesar 55%. (Gambar7) Kilang hayati TKKS sendiri
menempati tempat kedua dengan persentase 37%. Di dalam kilang hayati, emisi terbesar
berasal dari emisi gas buang pada unit pembangkit listrik dan kukus pada unit reaktor hidrolisis.
(Gambar 8).
Gambar 7. Kontribusi Tiap Tahapan dalam Ruang Lingkup
Terhadap Total Emisi CO2
Gambar 8. Kontribusi Tiap Unit Terhadap CO2 yang Diemisikan di Kilang
Page 12
12
Hasil Optimisasi Multi-Objektif. Gambar 9 menunjukkan kurva Pareto yang dihasilkan pada
penelitian ini. Kurva tersebut dibentuk oleh dua sumbu yang menjadi fungsi objektifnya.
Sumbu X menunjukkan objektif lingkungan yang ditunjukkan dengan emisi pada kilang hayati.
Emisi yang ditunjukkan adalah emisi yang dihasilkan oleh kilang hayati sehingga tidak
termasuk emisi ekstraksi CPO dan alih fungsi lahan karena perubahan variabel bebas hanya
akan mengubah emisi kilang hayati TKKS. Sumbu Y menunjukkan objektif ekonomi yang
ditunjukkan dengan NPV.
Gambar 9. Kurva Pareto sebagai Solusi Optimisasi Multi-Objektif
Set solusi optimum membatasi antara dua area dimana area di bawah pareto frontier
merupakan area desain kilang hayati yang feasible sedangkan area infeasible merupakan area
di atas pareto frontier yang tidak memungkinkan untuk dicapai. Optimisasi menggunakan
GAMS memberikan hasil dimana set solusi optimum dimulai ketika NPV = 0 atau
pembangunan kilang hayati dikatakan impas secara finansial.
Pada kurva pareto yang terbentuk terlihat bahwa set solusi optimum seluruhnya berada pada
suhu 180°C. Hal ini karena seiring bertambahnya suhu, total emisi CO2 dalam kilang akan
semakin turun. Sumber emisi CO2 dalam kilang didominasi oleh emisi dari pembangkit listrik.
Semakin tinggi suhu, aliran menuju unit pembangkit listrik akan semakin berkurang sehingga
emisi kilang akan semakin rendah. Pengurangan emisi juga terjadi pada unit etanol karena
Page 13
13
semakin tinggi suhu, produksi etanol akan semakin sedikit. Kenaikan emisi material pada unit
furfural tak begitu signifikan sehingga keseluruhan emisi pada kilang hayati akan tetap turun
seiring dengan kenaikan suhu hingga 180°C. Begitu pula dengan perubahan fraksi massa kukus
dari sistem generasi kukus tenaga surya. Semakin besar fraksi maka semakin sedikit emisi yang
dihasilkan oleh kilang hayati akibat penggunaan kukus yang lebih eco-friendly.
Semakin tinggi suhu reaksi hidrolisis, jumlah furfural yang terproduksi akan semakin
meningkat dimana komoditas furfural memiliki harga yang mahal. Semakin tinggi suhu, TCI
dan OM juga turun, akibat menurunnya produksi etanol dan unit pembangkit listrik. Padahal
kedua unit ini merupakan unit penyumbang biaya investasi terbesar. Oleh karena itu, NPV akan
maksimum pada suhu 180°C yang dibuktikan dengan didapatkannya set solusi optimum yang
berada seluruhnya pada suhu 180°C. Semakin besar kapasitas sistem generasi kukus tenaga
surya, NPV akan semakin rendah. Hal ini karena biaya investasi sistem generasi kukus tenaga
surya sangat besar sehingga kilang hayati akan rugi bila tak mengindahkan objektif ekonomi,
hanya lingkungan. Set solusi optimum untuk NPV paling minimum adalah saat fraksi kukus
dari CSP adalah sebesar 0,28. Artinya, CSP dapat digunakan untuk mengurangi emisi kilang
hayati namun masih layak secara finansial pada fraksi massa kukus maksimum 0,28 dari
kebutuhan kilang hayati pada suhu 180°C
Gambar 10. Kurva Pareto sebagai Solusi Optimisasi Multi-Objektif
Kurva pareto menunjukkan bahwa CSP belum mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan
kukus kilang hayati karena masih memberikan nilai NPV yang negatif. Oleh karena itu,
dilakukan proyeksi untuk kilang hayati dengan pemenuhan kukus seluruhnya oleh CSP pada
suhu hidrolisis 180°C menggunakan learning curve. Hasil proyeksi learning curve
Page 14
14
menunjukkan bahwa CSP mampu dijadikan sumber pemenuhan seluruh kukus kilang hayati
ketika unit ke-10 kilang hayati telah dibangun. (Gambar 10)
Perbandingan Berbagai Skenario Ko-produksi Kilang Hayati. Didapatkan hasil (Gambar
11) bahwa emisi kilang berkurang hingga 115 juta kg CO2-eq dari titik emisi minimum pada
Pareto frontier. Hal ini karena saat kilang hayati tak memproduksi listrik, terdapat
pengurangan emisi. Pada Subbab 4.3 telah ditunjukkan bahwa emisi kilang hayati mayoritas
berasal dari unit pembangkit listrik. Walau emisi mengalami pengurangan, NPV pada skenario
kilang hayati tanpa produksi listrik turun hingga – USD 22.000.000. Hal ini menunjukkan
bahwa ko-produksi listrik selain berpengaruh pada penambahan emisi juga berpengaruh pada
NPV. Kilang hayati lignoselulosa masih terkendala pada yield yang cukup rendah dan biaya
investasi yang tinggi sehingga opsi ko-produksi dengan listrik dapat meningkatkan
keekonomisan kilang hayati.
Gambar 11. Kurva Pareto sebagai Solusi Optimisasi Multi-Objektif
Skenario kedua merupakan skenario dimana TKKS seluruhnya didedikasikan untuk
pembangkit listrik, tanpa produksi furfural dan etanol. Dapat dilihat bahwa emisi yang
dihasilkan jauh lebih besar, yaitu sebesar 180 juta kg CO2-eq. NPV yang dihasilkan juga jauh
lebih tinggi, yaitu US$76.000.000 karena unit pembangkit listrik memiliki biaya investasi yang
lebih rendah dibandingkan investasi total kilang hayati furfural dan etanol. Skenario kedua
lebih menarik secara finansial namun skenario ini menghasilkan emisi yang lebih tinggi. Selain
itu, skenario initidak memenuhi persyaratan suatu kilang hayati karena sistem ini tidak
Page 15
15
memiliki kedua proses pengolahan baik primer maupun sekunder tidak dapat dikategorikan
menjadi suatu kilang hayati.Selanjutnya dilakukan split fraksi massa TKKS yang masuk ke
reaktor hidrolisis. Titik pertama adalah pada saat suhu 180°C dimana NPV memiliki nilai
maksimum pada set solusi pareto frontier. Pada kondisi ini, 500 ton/hari TKKS akan masuk
seluruhnya ke dalam reaktor hidrolisis. Selanjutnya dilakukan perubahan split fraksi massa
TKKS dimana sebagian fraksi massa TKKS akan langsung masuk unit pembangkit listrik tanpa
melalui reaktor untuk mengurangi kebutuhan kukus.
Terdapat empat nilai fraksi yang diambil, yaitu saat fraksi massa TKKS masuk reaktor 1; 0,75;
0,5; 0,25 dari kapasitas umpan sebesar 500 ton/hari. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
semakin sedikit fraksi massa TKKS masuk reaktor, NPV akan naik dan emisi akan turun. Hal
ini mampu memenuhi kedua objektif yaitu maksimum NPV dan minimum dampak lingkungan.
Hal ini karena pada reaktor hidrolisis, tak seluruh TKKS akan mengalami reaksi sehingga
ketika dilakukan split fraksi, sebagian massa TKKS yang tidak sempat terhidrolisis tidak perlu
masuk reaktor dan langsung masuk ke unit pembangkit listrik. Ini akan menghemat kebutuhan
kukus pada reaktor karena massa TKKS yang masuk akan lebih sedikit sehingga didapatkan
keuntungan yang optimum dan emisi yang minimum. NPV maksimum ada pada kilang hayati
dengan fraksi massa TKKS masuk reaktor sebesar 0,25 dimana nilai NPV adalah sebesar
$84.000.000 dengan emisi sebesar 190.000.000 kg CO2-eq, lebih tinggi dari skenario produksi
listrik karena adanya penambahan emisi untuk produksi etanol dan furfural. Nilai NPV lebih
tinggi dari skenario produksi hanya listrik, namun emisi produksi listrik lebih rendah skenario
produksi hanya listrik yaitu sebesar 180.000.000 kg CO2-eq.
Analisis terhadap Pengambilan Keputusan. Dari kurva pareto yang terbentuk dapat dilihat
bahwa emisi CO2 kilang hayati dapat dikurangi sebesar 10,95% dengan mengorbankan NPV
hingga 98%. Hal ini menunjukkan bahwa NPV sangat sensitif sehingga pengambilan
keputusan disarankan lebih diberatkan pada objektif ekonomi.
Daerah sepanjang kurva pareto menunjukkan bahwa suhu optimum yang dapat memenuhi
kedua objektif adalah 180°C dimana NPV maksimum dan emisi minimum berada pada suhu
ini sedangkan fraksi massa sistem generasi kukus tenaga surya menghasilkan kilang hayati
yang ekonomis berada dalam rentang 0-0.28.
Page 16
16
Saat ini, CSP belum dapat dijadikan solusi untuk pemenuhan seluruh kebutuhan kukus kilang
hayati karena masih memberikan NPV yang negatif. Hasil proyeksi menggunakan learning
curve menunjukkan bahwa ketika unit ke-10 kilang hayati dibangun, barulah CSP mampu
memenuhi kebutuhan kukus kilang hayati dimana didapatkan nilai NPV adalah 0 dan dapat
dikatakan layak secara finansial.
Pada perubahan skenario ko-produksi, solusi yang dapat dipilih adalah kilang hayati dengan
skenario NPV maksimum yaitu pada saat suhu 180°C dengan fraksi split TKKS sebesar 0,25
masuk reaktor. Bila dipilih opsi TKKS untuk produksi listrik, emisi akan mengalami penurunan
sebesar 6,6% namun NPV yang harus dikorbankan sebesar 10,28% sehingga untuk
perbandingan skenario lebih disarankan untuk produksi etanol, furfural, dan listrik dari TKKS
dengan split fraksi massa 25% masuk reaktor..
Kesimpulan
1. Semakin tinggi suhu reaktor hidrolisis dalam rentang 162-180°C, emisi CO2 yang dihasilkan
semakin kecil dan saat pemenuhan kebutuhan kukus dari CSP meningkat maka emisi CO2
yang digenerasi akan berkurang
2. Semakin tinggi suhu reaktor hidrolisis dalam rentang 162-180°C, NPV yang dihasilkan
semakin besar, sedangkan saat pemenuhan kebutuhan kukus dari CSP meningkat maka NPV
akan semakin sedikit
3. Relatif terhadap titik NPV maksimum, emisi CO2 dapat dikurangi sebesar 10,95% dengan
pengorbanan berupa penurunan NPV sebesar 98,9%.
4. Kurva Pareto menunjukkan bahwa suhu reaktor hidrolisis optimum yang mampu memenuhi
kedua objektif untuk kilang hayati kapasitas umpan TKKS 500 ton/hari adalah 180°C
sedangkan fraksi massa sistem generasi kukus tenaga surya menghasilkan kilang hayati
yang layak secara finansial berada dalam rentang 0-0,28.
5. CSP mampu memenuhi seluruh kebutuhan kukus pada pembangunan unit ke-10
menggunakan proyeksi learning curve
6. Pada perubahan skenario ko-produksi, solusi yang optimum adalah kilang hayati dengan
suhu reaktor hidrolisis 180°C dan fraksi split TKKS sebesar 0,25 masuk reaktor dengan
NPV sebesar $84.000.000 dan emisi sebesar 190.000.000 kg CO2-eq.
Page 17
17
Saran
1. Mencoba variasi lain seperti jenis biomassa dan parameter kinetika fermentasi etanol
2. Memasukkan persamaan neraca massa dan energi alat ke dalam GAMS agar proses
optimisasi lebih terintegrasi.
3. Melakukan perhitungan supply demand produk pada tahun mendatang untuk optimisasi
kilang fungsi waktu.
Daftar Notasi
Simbol
𝑓 fungsi objektif
𝑚 laju alir material (kg/tahun)
𝑝 harga produk (USD/unit)
𝑞 jumlah produk yang dihasilkan (unit/tahun)
𝑟 discounted rate (%)
𝑡 tahun ke-
𝑤 bobot optimisasi (%)
𝑥 kapasitas (ton/hari)
𝑦 temperatur hidrolisis (oC)
𝐸 faktor emisi (kg-CO2/kg atau kg-CO2/kWh)
𝐸𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 total CO2 yang diemisikan (kg-CO2)
𝑅𝑡𝑎𝑥 suku bunga pajak (%)
𝑉 variabel optimisasi yang diregresi
Subskrip
𝑖 jenis produk yang dihasilkan
𝑗 jenis material yang digunakan
𝑘 proses yang menghasilkan CO2
𝑚𝑎𝑥 maksimum
𝑚𝑖𝑛 minimum
1 aspek ekonomi
2 aspek lingkungan
Singkatan
𝐴𝐺𝑃 Annual Gross Profit (USD)
𝐴𝑃𝐴𝑇 Actual Profit After Tax (USD)
CSP Concentrating Solar Power
LCA Life Cycle Assessment
NPV Net Present Value (USD)
𝑂𝑀 Operating & Maintenance Cost (USD)
𝑅𝑒𝑣 Annual Revenue (USD)
𝑇𝐶𝐼 Total Capital Investment (USD)
Page 18
18
Daftar Referensi
Alfansyah, L. (2015). Optimisasi Multi-Objektif (Ekonomi Dan Life Cycle) Untuk Desain Ko-
Produksi Etanol, Furfural, Dan Listrik Pada Kilang Hayati Berbasis Lignoselulosa.
Depok: Universitas Indonesia
Brunet, R., Guillen-Gosalbez, G., Jimenez, Laureano. (2013). Minimization of the
Nonrenewable Energy Consumption in Bioethanol Production Processes using a Solar-
Assisted Steam Generation System. AIChe Journal.
Heeres, Erik. (2010). Platform chemicals from lignocellulosic biomass. Presentation.
University of Groningen
IRAM-ISO-14040. (2006). Environmental management-life cycle assessment-principles and
frame work. International Standard: ISO
Kim, J.S., Choi, W.I., Kang, M., Park, J.Y., Lee, J.S., (2012) Kinetic Study of Empty Fruit
Bunch Using Hot Liquid Water and Dilute Acid. Appl. Biochem Biotechnol 167:1527-
1539
Lange, J.P., van der Heide, E., van Buijtenen, J., & Price, R. (2012). Furfural – A promising
platform for lignocellulosic biofuels. ChemSusChem, 5, 150-166.
Liu S. & Qureshi, N. (2009). How microbes tolerate ethanol and butanol. New Biotechnology,
26, 117-121.
Ogbonna, J.C., Mashima, H., & Tanaka, H. (2001). Scale up of fuel ethanol production from
sugar beet juice using loofa sponge immobilized bioreactor. Bioresource Technology,
76(1), 1-8.
Noesis Solutions. (n.d.). Multi-objective optimization. January 8, 2015.
http//www.noesissolutions.com/Noesis/design-ptimization/optimize/multi-objective-
optimization
Pei Liu. (2009). Modelling and optimization of polygeneration energy systems. Thesis. Imperial
College London.
United States Department of Agriculture. (2013). Oilseeds: World markets and trade. April 30,
2014. http://www.fas.usda.gov/psdonline/circulars/oil seeds .pdf
Zeitsch, K.J. (2000). The chemistry and technology of furfural and its many by-products. Sugar
Series, 13, 1-358.