Top Banner

of 42

Onkologi Emergency

Oct 29, 2015

Download

Documents

taru_airiqu5741

2013
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

Gawat darurat adalah keadaan yang memerlukan perhatian/tindakan dengan segera,jika ditunda dianggap dapat mengancam jiwa, jarigan atau organ tubuh. Penyebab kegagalan organ adalah trauma, infeksi, keracunan, degenerasi,asfiksia, kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar, shock, perdarahan akut, tumor/kanker. Kegagalan sistem organ susunan saraf pusat, kardiovaskular, pernapasan dan hipoglikemia dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (4-6 menit) sedangkan kegagalan pada sistem organ yang lain dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang lama.

Keadaan gawat darurat yang terjadi pada pasien onkologi adalah suatu hal yang kompleks, sehingga memerlukan penanganan multi disipliner. Kedaruratan dalam Onkologi dapat disebabkan oleh (Oncologic Emergency) :1,2 Proses infiltrasi tumor (biasanya pada stadium lanjut) Tumor lysis syndrome Terapi tumor yang diberikan Operasi Khemoterapi Sangat penting dalam menegakan diagnosis dan menentukan terapi yang cepat dan tepat adekuat. Penatalaksanaan gawat darurat penderita di bidang onkologi dipengaruhi oleh ketepatan, umur penderita, keadaan umum, tipe tumor, ekstensi, staging, harapan hidup dari penderita sendiri dan keluarganya.1,2BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Penyebab kegawatan dalam bidang onkologi disebabkan Proses extensi tumor (biasanya pada stadium lanjut) dan terapi tumor yang diberikan ( Operasi atau Chemotherapy).2Berbagai kondisi oncologic emergency:21. Vena cava superior syndrome

2. Kompresi Medula Spinalis

Peningkatan Tekanan Intrakranial

3. Kedaruratan Traktus Respiratorius

Pleural Effusion

Obstruksi 4. GIT / Emergency abdominal

Obstruksi

Perforasi

Ascites (massive)

5. Metabolic Emergency

Hiperkalsemia

Tumor lysis syndrome

2.1 Vena Cava Superior Syndrom

Sindroma Vena Cava Superior (SVCS) adalah kumpulan gejala (sulit bernafas/nafas pendek, batuk, pembengkakan muka wajah, leher, bagian atas tubuh dan lengan) yang dapat terjadi akibat akibat pelebaran pembuluh darah vena yang membawa darah dari bagian tubuh atas menuju ke jantung, Penghambatan aliran darah (oklusis) melewati vena ini dapat menyebabkan sindrom vena cava superior (SVCS).3,4Epidemiologi dan etiologi4,5,6a. Keganasan (78% - 86%)

Kanker paru (65%). Paling sering adalah small cell carcinoma (38%), squamous cell carcinoma (14%), lain-lain (9%).

Limfoma maligna, sekitar 10% penyebab obstruksi. Paling sering kasus high grade histologi.

Keganasan mediastinal primer lainnya (10%) seperti thymoma dan germ cell tumor, metastase (terutama dari ca mammae).

b. Lesi jinak (12%)

Fibrosis mediastinum

Fibrosis mediastinum idiopatik

Histoplasmosis, actinomycosis

Infeksi tuberculosa dan pyogenic

Riedels throiditis, retroperitoneal fibrosis, sclerosing cholangitis dan Peyronies disease

Setelah radioterapi di mediastinum

PATOFISIOLOGI SINDROM VENA CAVA SUPERIOR

Kompresi dari luar terhadap VCS dapat terjadi karena vena ini mempunyai dinding tipis dan tekanan intravaskuler yang rendah. Vena cava superior dikelilingi oleh bagian/struktur kaku sehingga relatif mudah terjadi kompresi. Tekanan intravaskuler yang rendah memudahkan pembentukan trombus, misalnya trombus yang terjadi akibat kateterisasi (catheter-induced thrombus).1 Obstruksi dan aliran yang lambat menyebabkan tekanan vena meningkat dan inilah yang menyebabkan timbulnya edem interstisial dan aliran darah kolateral membalik ( retrograde collateral flow). 4Obstruksi pada Vena cava superior atau vena yang berhubungan dengan aliran darah dari kepala dan leher menyebabkan terjadinya SVCS. Obstruksi dapat disebabkan oleh proses dari luar yang menyebabkan terjadinya penekanan (kompresi) terhadap vena tetapi dapat juga terjadi karena proses di dalam vena, misalnya munculnya trombosis. Pada obstruksi tekanan VCS biasanya meningkat menjadi 20 sampai 40 mm Hg (kisaran normal, 2 sampai 8 mm Hg). Kasus SVCS akibat proses dari dalam meningkat seiring dengan semakin sering dilakukan intervensi pada vena sentral seperti tindakan kateterisasi. Proses di dalam vena berupa Trombosis VCS sering terjadi saat ini, obstruksi dari vena cava superior disebabkan oleh trombosis atau kondisi nonmalignant menyumbang sekitar 35% kasus, yang mencerminkan peningkatan penggunaan perangkat intravaskuler seperti kateter dan pacemakers.4Kompresi VCS mungkin akibat adanya massa di tengah atau anterior mediastinum (umumnya di sebelah kanan garis tengah): Tumor paru kanan, pembesaran kelenjar getah bening paratrakeal kanan, limfoma, thymoma, proses inflamasi, atau aneurisma aorta.4Diagnosis

Umumnya berdasarkan penemuan klinis dan adanya massa di mediastinum.

Gejala4Muncul 2 minggu sebelum didiagnosis pada 20% kasus dan lebih dari 8 minggu pada 20% kasus lainnya.1. Gejala tersering adalah mengeluh sesak napas (63%), wajah dan leher bengkak (50%), badan dan ekstemitas bengkak (18%), batuk (24%), rasa penuh dan tertekan di kepala serta nyeri kepala walaupun jarang timbul, nyeri dada (15%), lakrimasi, nyeri menelan (9%), halusinasi dan kejang jarang terjadi.2. VCS sindroma obstruksi mungkin berhubungan dengan kompresi sumsum tulang belakang, biasanya meliputi daerah vertebra cervical bagian bawah dan vertebra thoracal bagian atas. VCS sindroma dengan compresi spinal cord harus dipikirkan pada pasien yang mengeluh nyeri punggung atas.

Pemeriksaan fisik

Umumnya ditemukan distensi vena di dinding thorak (65%), distensi venavena leher dan edema wajah (55%), tachypneu (40%), plethora wajah dan sianosis (19%), edema ekstremitas superior (10%), paralisis pita suara dan Horners sindroma (3%). Vena fossa cubiti tidak collaps jika lengan diletakan lebih tinggi dari jantung. Pada funduscopy vena retina mungkin dilatasi. Dullnes di atas sternum mungkin ada, stridor dan koma merupakan tanda lebih lanjut.3

Gambar 2.1 Gejala klinis sindrom vena cava superior3 Radiografi

1. Foto thoraks tampak pelebaran mediastinum superior (64%), efusi pleura (26%), massa di hillus kanan (12%), infiltrat difuse bilateral (7%), kardiomegali (6%), kalsifikasi paratrakeal (5%), massa di mediastinum anterior (3%), normal (16%).7

Gambar 2.2 Foto Rontgen thoraks penderita sindrom vena cava superior82. CT scan dada dengan kontras akan terlihat daerah pin point obstruksi, derajat oklusi dan adanya kolateral.

3. Superior venocavogram menunjukan letak obstruksi secara tepat

4. MRI daerah vertebra cervical dan thoracal atas harus diplanning pada pasien dengan VCS dan nyeri punggung atas.

Diagnosis histologis

Terapi41. Suportif

Koreksi obstruksi, oksigenasi pada hipoksia, pemberian kortikosteroid untuk mengurangi edema otak dan mengurangi obstruksi karena reaksi inflamasi karena tumor atau karana radioterapi tahap awal. Pemberian diuretik mungkin membantu.

2. Stenting

Penempatan self expanding metal endoprotesis secara percutaneus mengurangi obstruksi secara nyata

3. RadioterapiTotal dosis bervariasi antara 3000-5000 cGy, tergantung dari kondisi pasien dan beratnya gejala, letak anatomi serta tipe histologis tumor Respon. Kebanyakan 3-7 hari, respon komplit pada 75% pasien limfoma dan 24% pada carcinoma paru.4. Antikoagulan dan anti fibrinolitik jarang, kecuali diberikan stent

5. Dekompresi secara bedah pada kasus VCS akut obstruksi dan inkompeten katup jugulovenous yang dilakukan rekonstruksi atau bypass dengan menggunakan v.saphena graft atau saphenoaxillary graft yang dapat dilakukan dengan anestesi lokal.

Gambar 2.3 Alur penatalaksanaan sindrom vena kava superior (SVKS) berdasarkan pedoman diagnosis dan penatalaksanaan kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK).72.2 KOMPRESI MEDULA SPINALIS

Medula spinalis tersusun dalam kanalis spinalis dan diselubungi oleh sebuah lapisan jaringan konektif, dura mater. Tumor medula spinalis merupakan suatu kelainan yang tidak lazim, dan hanya sedikit ditemukan dalam populasi. Namun, jika lesi tumor tumbuh dan menekan medula spinalis, tumor ini dapat menyebabkan disfungsi anggota gerak, kelumpuhan dan hilangnya sensasi.9,10Tabel 2.1 distribusi anatomi tumor medula spinalis

Gambar 2.4 letak tumor medula spinalis, ed= ekstradural, ie= intradural ekstramedular, ii=intradular intramedular.

Gamar 2.5 kompresi epidural dengan teknik pemeriksaan MRI11Tabel 2.2 distribusi insidensi tumor medula spinalis

Tabel 2.3 distribusi insidensi berdasarkan lokasi

GEJALA KLINIS

Manifestasi klinik berupa nyeri punggung yang diikui gejala radikulopati dan myelopati. Nyeri lokal dirasakan beberapa minggu atau bulan. Gejala radikuler jika keadaan berlanjut tetapi masih awal. Setelah kompresi nyata maka gejala menjadi semakin cepat memberat. Midline atau paravertebra back pain merupakan keluhan utama pada 90% kasus. Nyeri tumpul dan nyeri tulang belakang biasanya ada. Radikulopati, nyeri pada dermatom, juga sensasi dan motorik pada daerah roots saraf yang terkena. Mielopati akibat progresi penyakitnya tergantung level yang terkena, bilateral mielopati bisa menyebabkan kelamahan atau kekakuan dari ekstremitas bawah, kehilangan fungsi berkemih dan BAB.Tabel 2.4 Tanda dan Gejala Tumor Medula Spinalis10LokasiTanda dan Gejala

Foramen MagnumGejalanya aneh, tidak lazim, membingungkan, dan tumbuh lambat sehingga sulit menentukan diagnosis. Gejala awal dan tersering adalah nyeri servikalis posterior yang disertai dengan hiperestesia dalam dermatom vertebra servikalis kedua (C2). Setiap aktivitas yang meningkatkan TIK (misal ; batuk, mengedan, mengangkat barang, atau bersin) dapat memperburuk nyeri. Gejala tambahan adalah gangguan sensorik dan motorik pada tangan dengan pasien yang melaporkan kesulitan menulis atau memasang kancing. Perluasan tumor menyebabkan kuadriplegia spastik dan hilangnya sensasi secara bermakna. Gejala-gejala lainnya adalah pusing, disartria, disfagia, nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan muntah, serta atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Temuan neurologik tidak selalu timbul tetapi dapat mencakup hiperrefleksia, rigiditas nuchal, gaya berjalan spastik, palsi N.IX hingga N.XI, dan kelemahan ekstremitas.

ServikalMenimbulkan tanda-tanda sensorik dan motorik mirip lesi radikular yang melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga menyerang tangan. Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian atas (misal, diatas C4) diduga disebabkan oleh kompresi suplai darah ke kornu anterior melalui arteria spinalis anterior. Pada umumnya terdapat kelemahan dan atrofi gelang bahu dan lengan. Tumor servikalis yang lebih rendah (C5, C6, C7) dapat menyebabkan hilangnya refleks tendon ekstremitas atas (biseps, brakioradialis, triseps). Defisit sensorik membentang sepanjang tepi radial lengan bawah dan ibu jari pada kompresi C6, melibatkan jari tengah dan jari telunjuk pada lesi C7, dan lesi C7 menyebabkan hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari tengah.

TorakalSeringkali dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parestesia. Pasien dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan pada dada dan abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri akibat gangguan intratorakal dan intraabdominal. Pada lesi torakal bagian bawah, refleks perut bagian bawah dan tanda Beevor (umbilikus menonjol apabila penderita pada posisi telentang mengangkat kepala melawan suatu tahanan) dapat menghilang.

LumbosakralSuatu situasi diagnostik yang rumit timbul pada kasus tumor yang melibatkan daerah lumbal dan sakral karena dekatnya letak segmen lumbal bagian bawah, segmen sakral, dan radiks saraf desendens dari tingkat medula spinalis yang lebih tinggi. Kompresi medula spinalis lumbal bagian atas tidak mempengaruhi refleks perut, namun menghilangkan refleks kremaster dan mungkin menyebabkan kelemahan fleksi panggul dan spastisitas tungkai bawah. Juga terjadi kehilangan refleks lutut dan refleks pergelangan kaki dan tanda Babinski bilateral. Nyeri umumnya dialihkan keselangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal bagian bawah dan segmen-segmen sakral bagian atas menyebabkan kelemahan dan atrofi otot-otot perineum, betis dan kaki, serta kehilangan refleks pergelangan kaki. Hilangnya sensasi daerah perianal dan genitalia yang disertai gangguan kontrol usus dan kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai daerah sakral bagian bawah.

Kauda EkuinaMenyebabkan gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tnda-tanda khas lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum atau perineum, yang kadang-kadang menjalar ke tungkai. Paralisis flaksid terjadi sesuai dengan radiks saraf yang terkena dan terkadang asimetris.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Radiologi9,10,11Modalitas utama dalam pemeriksaan radiologis untuk mediagnosis semua tipe tumor medula spinalis adalah MRI. Alat ini dapat menunjukkan gambaran ruang dan kontras pada struktur medula spinalis dimana gambaran ini tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan yang lain.Tumor pada pembungkus saraf dapat menyebabkan pembesaran foramen intervertebralis. Lesi intra medular yang memanjang dapat menyebabkan erosi atau tampak berlekuk-lekuk (scalloping) pada bagian posterior korpus vertebra serta pelebaran jarak interpendikular.Mielografi selalu digabungkan dengan pemeriksaan CT. Tumor intraduralekstramedular memberikan gambaran filling defect yang berbentuk bulat pada pemeriksaan myelogram. Lesi intramedular menyebabkan pelebaran fokal pada bayangan medula spinalis.

Gambar 2.6 Gambaran MRI tumor intradular ekstramedular.b. CSF

Pada pasien dengan tumor spinal, pemeriksaan CSS dapat bermanfaat untuk differensial diagnosis ataupun untuk memonitor respon terapi. Apabila terjadi obstruksi dari aliran CSS sebagai akibat dari ekspansi tumor, pasien dapat menderita hidrosefalus. Punksi lumbal harus dipertimbangkan secara hati- hati pada pasien tumor medula spinalis dengan sakit kepala (terjadi peninggian tekasan intrakranial).Pemeriksaan CSS meliputi pemeriksaan sel-sel malignan (sitologi), protein dan glukosa. Konsentrasi protein yang tinggi serta kadar glukosa dan sitologi yang normal didapatkan pada tumor-tumor medula spinalis, walaupun apabila telah menyebar ke selaput otak, kadar glukosa didapatkan rendah dan sitologi yang menunjukkan malignansi. Adanya xanthocromic CSS dengan tidak terdapatnya eritrosit merupakan karakteristik dari tumor medula spinalis yang menyumbat ruang subarachnoid dan menyebabkan CSS yang statis pada daerah kaudal tekal sac.TERAPI11Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular maupun ekstramedular adalah dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan tumor secara total dengan menyelamatkan fungsi neurologis secara maksimal. Kebanyakan tumor intraduralekstramedular dapat direseksi secara total dengan gangguan neurologis yang minimal atau bahkan tidak ada post operatif. Tumor-tumor yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat dan agresif secara histologist dan tidak secara total di hilangkan melalui operasi dapat diterapi dengan terapi radiasi post operasi.

Terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla spinalis adalah :

a. Deksamethason: 100 mg (mengurangi nyeri pada 85 % kasus, mungkin juga menghasilkan perbaikan neurologis).b. Penatalaksanaan berdasar evaluasi radiografik

Bila tidak ada massa epidural: rawat tumor primer (misalnya dengan sistemik kemoterapi); terapi radiasi lokal pada lesi bertulang; analgesik untuk nyeri.

Bila ada lesi epidural, lakukan bedah atau radiasi (biasanya 3000-4000 cGy pada 10x perawatan dengan perluasan dua level di atas dan di bawah lesi); radiasi biasanya seefektif seperti laminektomi dengan komplikasi yang lebih sedikit.c. Penatalaksanaan darurat (pembedahan/ radiasi) berdasarkan derajat blok dan kecepatan deteriorasi bila > 80 % blok komplit atau perburukan yang cepat: penatalaksanaan sesegera mungkin (bila merawat dengan radiasi, teruskan deksamethason keesokan harinya dengan 24 mg IV setiap 6 jam selama 2 hari, lalu diturunkan (tappering) selama radiasi, selama 2 minggu.

bila < 80 % blok: perawatan rutin (untuk radiasi, lanjutkan deksamethason 4 mg selama 6 jam, diturunkan (tappering) selama perawatan sesuai toleransi.d. Radiasi

Terapi radiasi direkomendasikan umtuk tumor intramedular yang tidak dapat diangkat dengan sempurna. Dosisnya antara 45 dan 54 Gy.

e. PembedahanTumor biasanya diangkat dengan sedikit jaringan sekelilingnya dengan teknik myelotomy. Aspirasi ultrasonik, laser, dan mikroskop digunakan pada pembedahan tumor medula spinalis. Indikasi pembedahan: Tumor dan jaringan tidak dapat didiagnosis (pertimbangkan biopsi bila lesi dapat dijangkau). Catatan: lesi seperti abses epidural dapat terjadi pada pasien dengan riwayat tumor dan dapat disalahartikan sebagai metastase. Medula spinalis yang tidak stabil (unstable spinal). Kegagalan radiasi (percobaan radiasi biasanya selama 48 jam, kecuali signifikan atau terdapat deteriorasi yang cepat); biasanya terjadi dengan tumor yang radioresisten seperti karsinoma sel ginjal atau melanoma. Rekurensi (kekambuhan kembali) setelah radiasi maksimal.2.3 KEDARURATAN TRAKTUS RESPIRATORIUSEFUSI PLEURAEfusi pleura dapat terjadi pada penyakit tumor ganas intratoraks, organ ekstratoraks maupun keganasan sistemik. Efusi pleura ganas (EPG) sering menimbulkan masalah di bidang diagnostik maupun penatalaksanaan. Masalah yang perlu ditanggulangi adalah mencari dan mengobati tumor primer, serta mengatasi gangguan pernapasan akibat akumulasi cairan pleura, yang mungkin dapat mengancam hidup penderita.13

Obstruksi limfatik lebih sering dianggap sebagai patofisiologi abnormalitas primer terjadinya EPG. Cairan pleura didrainase keluar dari rongga pleura terutama melalui stomata limfatik parietal yang berada diantara sel-sel mesotelial parietal. Jumlah limfatik parietal paling banyak di diafragma dan mediastinum. Stomata stomata tersebut bergabung kedalam saluran kecil limfatik yang selanjutnya menuju pembuluh limfe yang lebih besar dan akhirnya didrainase melalui limfe node mediastinal. Jika terdapat gangguan seperti terjadinya blokade limfatik yang menyebabkan penurunan pembersihan (clearance) cairan pleura ataupun obstruksi oleh deposit sel tumor di sepanjang jaringan limfatik yang rumit maka akan menyebabkan efusi pleura. Mekanisme atas terakumulasinya cairan pleura telah dikonfirmasi oleh pemeriksaan postmortem dimana menunjukkan keterlibatan limfe node regional yang biasanya dihubungkan dengan kejadian efusi pleura.13,14,15Tumor primer paru atau metastasis tumor di paru yang menginfiltrasi pleura viseralis dan pleura parietalis menyebabkan reaksi inflamasi sehingga permeabilitas pembuluh darah akan meningkat. Studi posmortem menyebutkan bahwa metastasis tumor lebih banyak ke permukaan pleura viseral daripada parietal. Hanya pada kasus tumor dengan perluasan langsung, tumor ditemukan pada pleura parietal tetapi tidak pada viseral. Berdasarkan hasil itu disimpulkan bahwa implikasi sel ganas di pleura viseral terjadi akibat emboli tumor ke paru sedangkan pada pleura parietal adalah akibat kelanjutan proses yang terjadi di pleura viseral.13,14,15Mekanisme lain yang mungkin adalah invasi langsung tumor yang berdekatan dengan pleura. Pada adenokarsinoma paru, sel tumor menyebar ke pleura parietal dari pleura viseral di sepanjang tempat perlengketan pleura. Hal ini didahului dengan bermigrasinya sel-sel tumor ke pleura viseral dari kapiler paru yang mendasarinya, disebut sebagai penyebaran hematogen. Metastasis sel tumor ke pleura dari lokasi primernya selain paru maka penyebarannya berlangsung secara hematogen ataupun limfatik.13,14,15

Teori lain yang dapat menimbulkan EPG menyebutkan terjadinya peningkatan permeabilitas pleura. Bagaimana mekanisme pastinya belum jelas diketahui. Namun diduga penjelasannya berkaitan dengan dihasilkannya vascular endotelial growth factor (VEGF) oleh tumor. VEGF merupakan agent yang paling berpengaruh terhadap peningkatan permeabilitas vaskular sehingga terjadi ekstravasasi cairan. Terjadi gangguan fungsi beberapa sitokin antara lain tumor necrosing factor- (TNF-), tumor growth factor (TGF-) dan VEGF tersebut. Tumor ganas juga dapat menyebabkan efusi pleura dengan adanya obstruksi duktus torasikus yang disebut chylothorax. Chylothorax yang penyebab terjadinya tidak traumatik maka kemungkinan penyebabnya adalah proses keganasan yang melibatkan duktus torasikus, dengan 75% berupa limfoma.13,14,15Terjadinya EPG juga dikaitkan dengan adanya gangguan metabolisme, menyebabkan hipoproteinemia dan penurunan tekanan osmotik yang memudahkan perembesan cairan ke rongga pleura.Gejala klinik Seperti pada penderita efusi pleura lain, EPG memberikan gejala sesak napas, napas pendek, batuk, nyeri dada dan isi dada terasa penuh. Gejala ini sangat bergantung pada jumlah cairan dalam rongga pleura. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gerakan diafragma berkurang dan deviasi trakea dan/atau jantung kearah kontralateral, fremitus melemah, perkusi redup dan suara napas melemah pada sisi toraks yang sakit.12Pada kanker paru, infiltrasi pleura oleh sel tumor dapat terjadi sekunder akibat perluasan langsung (inviltrasi), terutama tumor jenis adenokarsinoma yang letaknya perifer. Dapat juga terjadi akibat metastasis ke pembuluh darah dan getah bening. Bila efuasi pleura terjadi akibat metastasis, cairan pleuranya banyak mengandung sel tumor ganas sehingga pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat diharapkan memberi hasil positif.12Diagnosis

Diagnosis EPG dapat ditegakan bila didapat sel ganas dari hasil pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi pleura. Meski terkadang sulit didapatlkan dan dugaan/suspek EPG berdasarkan sifat dan produktifiti cairan yang dihasilkan. Menegakkan diagnosis EPG serta menetapkan tumor primer yang menjadi penyebabnya merupakan langkah pertama penanggulangan EPG. Seperti penyakit lain, anamnesis yang sistematis dan teliti dapat menuju ke pencarian tumor primer. Pemeriksaan jasmani perlu untuk menentukan lokasi dan tingkat berat ringannya keluhan dan perlu tidaknya tindakan segera untuk mengurangi keluhan dan terkadang untuk menyalamatkan nyawa penderita.12Pemeriksaan fisik

menyeluruh perlu dilakukan untuk mencari tumor primer. Pemeriksaan laboratorium cairan pleura dapat memastikan cairan adalah eksudat. Pemeriksaan sitologi cairan pleura adalah hal yang tidak boleh dilupakan jika kita menduga EPG. Pemeriksan radiologik dengan foto toraks PA/Lateral untuk menilai masif tidaknya cairan yang terbentuk, juga kemungkinan melihat terdapatnya tumor primer. Untuk mendapatkan data yang informatif, pemeriksaan CT-Scan toraks sebaiknya dilakukan setelah cairan dapat dikurangi semaksimal mungkin. Pemeriksaan penunjang lain seperti biopsi pleura akan sangat membantu. Tindakan bronkoskopi, biopsi transtorakal, USG toraks, dan torakotomi eksplorasi adalah prosedur tindakan yang terkadang perlu dilakukan untuk penegakan diagnosis.12,16Penatalaksanaan

Efusi pleura ganas mempunyai 2 aspek penting dalam penatalaksaannya yaltu pengobatan lokal dan pengobatan kausal. Pengobatan kausal disesuaikan dengan stage dan jenis tumor. Tidak jarang tumor primer sulit diternukan, maka aspek pengobatan lokal menjadi pilihan dengan tujuan untuk mengurangi sesak napas yang sangat mengganggu, terutama bila produksi cairan berlebihan dan cepat. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, punksi pleura, pemasangan WSD dan pleurodesis untuk mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang dapat dipakal, antara lain talk, tetrasikiin, mitomisin-C, adriamisin dan bleomisin. Bila tumor primer berasal dari paru dan dari cairan pleura diternukan sel ganas maka EPG termasuk T4, tetapi bila diternukan sel ganas pada biopsi pleura termasuk stage IV. Bila setelah dilakukan berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak diternukan, dan tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat dibuktikan, maka EPG dianggap berasal dari paru. Apabila tumor primer diternukan di luar paru, maka EPG ini termasuk gejala sisternik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya.13,14,15,16

Gambar 2.7 Alur diagnosis efusi pleura ganas12

Gambar 2.8 alur penatalaksanaan efusi pleura ganas12OBSTURKSI JALAN NAFAS BAGIAN ATAS

Sumbatan saluran napas atas adalah salah satu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Sumbatan dapat bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Pada sumbatan ringan dapat menyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih berat namun masih ada sedikit celah dapat menyebabkan sianosis (berwarna biru pada kulit dan mukosa membran yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah), gelisah bahkan penurunan kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan segera dapat menyebabkan kematian .2,12Disebabkan Pertumbuhan tumor:2,12 - pendorongan

- infiltrasi

- tumbuh primer

Komplikasi operasi:

- Tracheomalacia, sering pada: Lymphoma Malignum

- Thymus

- Ca thyroid

- Ca larynx

- Haematoma, pada operasi besar daerah leher.Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah :

Serak (disfoni) sampai afoni

Sesak napas (dispnea)

Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.

Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.

Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)

Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.

Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan kriteria Jackson.121. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis.

2. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah.

3. Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas.

4. Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas.

Pemeriksaan penunjang: Foto leher AP / LL

EndoscopyTherapy:

Bersihkan jalan nafas: - mukolitik

- O2

Intubasi

Crucotyroidektomie

Tracheiostomie

Problem Tracheostomie:

Timing

Tracheostomie terpaksa menembus masa tumor

Perawatan post operasi di ruangan2.4 GIT / EMERGENCY ABDOMINAL

OBSTRUKSI

Obstruksi intestinal merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai dan merupakan 60% - 70% dari seluruh kasus gawat abdomen.17Penyebab

Tumor primer pada saluran cerna termasuk limfoma

Metastasis peritoneal, misal: Ca Ovarium menyebabkan perlekatan perlekatan (peritoneal carcinomatosis)

Patofisiologi obstruksi mekanik pada usus berhubungan dengan perubahan fungsi dari usus, dimana terjadi peningkatan tekanan intraluminal. Bila terjadi obstruksi maka bagian proksimal dari usus mengalami distensi dan berisi gas, cairan dan elektrolit. Bila terjadi peningkatan tekanan intraluminal, hipersekresi akan meningkat pada saat kemampuan absorbsi usus menurun, sehingga terjadi kehilangan volume sistemik yang besar dan progresif. Awalnya, peristaltik pada bagian proksimal usus meningkat untuk melawan adanya hambatan. Peristaltik yang terus berlanjut menyebabkan aktivitasnya pecah, dimana frekuensinya tergantung pada lokasi obstruksi. Bila obstruksi terus berlanjut dan terjadi peningkatan tekanan intraluminal, maka bagian proksimal dari usus tidak akan berkontraksi dengan baik dan bising usus menjadi tidak teratur dan hilang. Peningkatan tekanan intraluminal dan adanya distensi menyebabkan gangguan vaskuler terutama stasis vena.18,19Dinding usus menjadi edem dan terjadi translokasi bakteri ke pembuluh darah. Produksi toksin yang disebabkan oleh adanya translokasi bakteri menyebabkan timbulnya gejala sistemik. Efek lokal peregangan usus adalah iskemik akibat nekrosis disertai absorpsi toksin -toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik. Pada obstruksi mekanik sederhana, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang tertelan, sekresi usus dan udara akan berkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian proksimal dari usus mengalami distensi dan bagian distalnya kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi membran mukosa usus menurun dan dinding usus menjadi edema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa serta meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi, iskemik, nekrosis, perforasi, peritonitis dan kematian. 19Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual, muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal maka gejala yang dominant adalah nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal usus menjadi sangat dilatasi.19Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut sekitar umbilikus atau bagian epigastrium. Pasien dengan obstruksi partial bisa mengalami diare. Kadang kadang dilatasi dari usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih ringan dibanding obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang berakhir pada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah jarang terjadi. Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul gejala muntah. Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik turun. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus (jejenum dan ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap. Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan kehilangan cairan dan elektrolit, maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi postural. Suhu tubuh biasanya normal tetapi kadang kadang dapat meningkat.17,18,19Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya demam, takikardi, hipotensi dan gejala dehidrasi yang berat. Demam menunjukkan adanya obstruksi strangulate. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi dan peristaltic meningkat (bunyi Borborigmi). Pada tahap lanjut dimana obstruksi terus berlanjut, peristaltic akan melemah dan hilang. Adanya feces bercampur darah pada pemeriksaan rectal toucher dapat dicurigai adanya keganasan dan intusepsi.17,18,19Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya dan membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda tanda shock, dehidrasi dan ketosis.18,19Radiologik Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran step ladder dan air fluid level pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya suatu obstruksi. Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon.18

Pada foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran step ladder dan air fluid level terutama pada obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak tampak gas. Jika terjadi stangulasi dan nekrosis, maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya muosa yang reguler dan adanya gas dalam dinding usus. Udara bebas pada foto thoraks tegak menunjukkan adanya perforasi usus. Penggunaan kontras tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan peritonitis akibat adanya perforasi. 18

Gambar 2.9 gambaran radiologi tampak dilatasi pada usus halus karena adanya obstruksi akibat kanker ovarium.18CT scan kadang kadang digunakan untuk menegakkan diagnosa pada obstruksi usus halus untuk mengidentifikasi pasien dengan obstruksi yang komplit dan pada obstruksi usus besar yang dicurigai adanya abses maupun keganasan.

Gambar 2.10 gambaran ct-scan tampak dilatasi pada usus halus karena adanya obstruksi akibat kanker ovarium.18PENATALAKSANAAN 17,18,19Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.Resusitasi

Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda tanda vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen.Farmakologis

Pemberian obat obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah.

Operatif

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi.

Release obstruksi dengan operasi dapat berupa: - kolostomi

- by pass atau

- operasi definitif

Tergantung: - keadaan penderita

- jenis tumor

- stadium

- persiapan peralatan waktu itu

Therapy definitive untuk kankernya dilakukan sekaligus jika memungkinkanPERFORASI

Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen. Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal.20,21Penyebab perforasi pada keganasan

Perforasi usus dapat terjadi karena keganasan didalam perut atau limphoma

Radiotherapi dari keganasan cervik dan keganasan intra abdominal lainnya dapat berhubungan dengan komplikasi lanjut, termasuk obstruksi usus dan perforasi usus. Gejala klinik Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan disertai nausea, vomitus, pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil.20,21Pemeriksaan fisik 20,21 Pemeriksaan pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti papan.

Palpasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan suatu peritonitis. rasa kembung dan konsistensi sperti adonan roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal.

Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum

Pada auskultasi : bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu peritonitis difusa.

Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis : pemeriksaan ini dapat membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba ovarian yang ruptur dan divertikulitis acuta yang perforasi.

Terapi20,21 Perbaiki keadaan umum

Melakukan operasi berupa reseksi bagian perforasi dengan berikut tumornya yang umumnya bersifat paliatif saja.Jenis operasinya tergantung dari: jenis tumor stadium lokasi sumbatanASITES

Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori itu misalnya underfilling, overfilling, dan peripheral vasodilatation. Menurut teori underfilling asites dimulai dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravascular menurun. Akibat volume cairan intravascular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal.22,23Sindroma hepatorenal terjadi bila penurunan cairan intravaskuler sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hati terjadi vasodilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume cairan intravaskuler dan curah jantung. Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspamsi cairan plasma akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktivitas hormone anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktivitas hormone natriuretik karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan kelanjutan asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites. Evolusi dari kedua teori itu adalah teori vasodilatas perifer. Menurut teori ini, factor patogenesis pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi portal yang sering disebut sebagai factor local dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut factor sistemik.22Pada karsinoma Ovari, cairan asites diproduksi oleh ovarium yang akan mensekresikan cairan yang dapat bersifat serous atau musin. Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan system portal dan terjadi hipertensi portal. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi portal menjadi menetap. Hipertensi portal akan meningkatkan tekanan transudasi, terutama di sinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan antara lain : glukagon , nitric oxide ( NO), calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, factor natriuretik atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF). Vasodilatasi endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik; terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling relative. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas system saraf simpatik, sisten renninangiotensin- aldosteron dan arginin vasopressin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal dan peningkatan indeks jantung.22,23Asites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :

istirahat

diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus dirawat.

Diuretik

Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresisnya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid. Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 -10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Childs C, Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm 3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam.22,232.5 METABOLIC EMERGENCY

HIPERKALSEMIA

Merupakan keadaan yang paling sering mengancam kehidupan pada penderita kanker dengan angka kejadian 15-30 kasus per 100.000 penderita. Insidensi bervariasi tergantung dari jenis kankernya, tertinggi pada myeloma dan kanker payudara, jarang pada kanker colon, prostat, dan small cell ca paru. Dibedakan antara HK primer dan sekunder (akibat penyakit kanker). Pada yang primer terjadi secara kronis dan lama tidak timbul gejala, sedangkan yang sekunder gejala timbul lebih cepat dan disertai penurunan berat badan. Pada umumnya peningkatan kadar immunoreactive parathyroid hormone (PTH) terutama peningkatan kadar PTH related protein dapat untuk menyingkirkan HK primer.1,2,24Gejala klinik

Penderita HK dapat menyingkirkan gejala klinik yang sangat bervariasi tergantung dari organ yang terlibat dan tidak berhubungan dengan kadar kalsium serum. Contoh pasien yang mengalami peningkatan kadar kalsium serum ringan (12-13 mg/dl) dapat terjadi gejala yang cukup hebat bilaterjadi secara akut. Sedangkan pasien dengan carcinoma paratiroid dapat toleran terhadap kadar kalsium serum >14 mg/dl dengan gejala yang minimal. Faktor lain yang mempengaruhi beratnya gejala seperti umur, keadaan umum, tempat metastase dan fungsi ginjal atau hepar. Gejala awal yang paling sering timbul adalah fatique, konstipasi, nausea dan poliuria. Sedangkan gejala yang lebih lanjut dapat terjadi stupor bahkan koma.24,25

Patofisiologis

Pendapat lama mengatakan hiperkalsemia sekunder pada kanker dihubungkan dengan ada tidaknya destruksi pad tulang oleh sel kanker (lokal osteolitik hiperkalsemia) dan ditandai dengan mekanisme mediator humoral. Namun bukti sekarang menunjukan bahwa hiperkalsemi terjadi akibat adanya mediasi oleh faktor yang dilepaskan oleh sel kanker yang menyebabkan resorbsi kalsium tulang. Faktor ini juga merangsang responsi kalsium di tubulus ginjal.1,2,24

Penatalaksanaan

Meskipun terapi terbaik adalah menangani penyakit dasarnya, hiperkalsemia paling sering timbul pada pasien dengan kanker lanjut yang mengalami kegagalan terapi sitostatik. Terapi secara langsung ditujukan untuk menurunkan kadar kalsium serum dengan cara meningkatkan ekskresi kalsium melalui urine atau menurunkan resorbsi kalsium tulang dengan cara menghambat osteoclast. Bila memungkinkan, immobilisasi harus diminimalisasi karena akan meningkatkan kadar kalsium serum.1,2,24

Obat-obatan yang menghambat ekskresi kalsium melalui urine dan yang menurunkan renal blood flow, diet dan obat yang mengandung kalsium tinggi, vitamin D, vitamin A atau retinoid harus dihentikan. Penderita hiperkalsemia dapat digolongkan menjadi 2 yaitu pasien yang tidak memerlukan dan yang memerlukan penanganan segera dirumah sakit.1,2,24Penanganan penderita di rumah sakit

Penderita diberikan rehidrasi melalui infus. Furosemid diberikan bila diuresis kurang atau bila terdapat retensi cairan. Kebanyakan pasien hiperkalsemia ( 12 mg/dl) tidak mendapatkan reaksi yang memuaskan dengan terapi cairan intravena saja. Pamidronate, first line therapy harus diberikan segera setelah rehidrasi dimulai dan diuresis adekuat tercapai. Pasien yang tidak memberikan respon terhadap pemberian dua pamidronat infus (diberikan terpisah 48-72 jam) dapat diberikan terapi tambahan gallium nitrat. Untuk pasien dengan kadar kalsium 15 mg/dl atau dengan gejala yang berat dapat diberi tambahan calcitonin (8 u/kg i.m. tiap 6 jam selama 2-3 hari) untuk menghasilkan suatu hipokalsemia akut. Kortikosteroid dapat diberikan bila penyakit dasarnya respon terhadap steroid. Mithramycin dapat diberikan pada pasien (tanpa adanya gangguan fungsi ginjal, hepar, trombositopenia) yang tidak berespon terhadap pamidronat dan gallium nitrat. Hemodialisis secepatnya dipertimbangkan pada pasien hiperkalsemia dengan gagal ginjal (terutama pada penderita myeloma).1,2,24Tumor Lysis Syndrome (TLS)

Terjadi sebagai hasil dari pelepasan isi intraseluler ke dalam aliran darah dengan akibat meningkatkan ancaman terhadap kehidupan. Sindroma ini ditandai dengan hiperuricemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan hipocalsemia. Hiperkalemia menyebabkan aritmia cordis yang mematikan. Hiperfosfatemia mungkin mengakibatkan gagal ginjal. Kadar fosfor dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan selanjutnya penurunan ekskresi kalium dan fosfat. Hipokalsemia yang merupakan hasil dari hiperfosfatemia dapat menyebabkan kram, aritmia cordis dan tetani.25,26TLS umumnya terjadi pada kanker dengan tumor burden besar dan high proliferatif fraction yang sensitif terhadap terapi sitotoksik. Kelainan ini terjadi seperti pada high grade limfoma, leukemia dengan leukosit yang tinggi dan solid tumor (jarang).25,26Terapi

Penderita yang mempunyai resiko harus diidentifikasi sebelum dimulai kemoterapi. Bila mungkin hidrasi intravena diberikan 24-48 jam sebelum kemoterapi dan kelainan asam basa serta gangguan elektrolit dikoreksi. Kadar elektrolit, asam urat, fosfor, kalsium dan kreatinin harus dipantau selama 3-4 hari setelah kemoterapi. Hiperkalemia (serum K 5 mg/dl)harus diterapi dengan sodium potasium exchange resin oral (kayexalat 15 gr per oral/6 jam) atau harus diterapi dengan kombinasi terapi glukosa dengan insulin. Bila fungsi ginjal menurun secara akut, dapat dipertimbangkan hemodialisa untuk mengkontrol kadar kalium, kalsium, fosfat, dan asam urat. Dosis obat anti neoplastik mungkin membutuhkan modifikasi (diturunkan) ada gagal ginjal.25,26BAB III

KESIMPULAN

Dalam perjalanan penyakit kanker dan penatalaksanaannya, dapat terjadi keadaan yang dinamakan kedaruratan dalam onkologi Perlu kecermatan dalam menegakkan diagnosis kedaruratan dalam onkologi ini dan memerlukan terapi yang cepat, tepat dan adekuat dalam upaya life saving dan prevent disability .DAFTAR PUSTAKA

1. Halfdanarson TR, Hogan WJ, Moynihan TJ. oncologic emergencies: diagnosis and treatment. Mayo Clin Proc. 2006. 81(6):835-848.2. Cervantes A, Chirivella I. Oncological emergencies. Annals of Oncology 2004: 299306.3. Wilson LD, Detterbeck FC and Yahalom J. Superior Vena Cava Syndrome with Malignant Causes. N Engl J Med 2007;356:1862-9.4. Shabir Bhimji, MD, PhD. Superior Vena Cava Syndrome. Hospital Physician 1999. 4 2 46.

5. Wipa Reechaipichitkul, Suchart Thongpaen. Etiology and outcome of superior vena cava (svc) Obstruction in adults. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2004: 35;2; 453-7 6. Bacheri R, Rahim M, Rezatalab F, Akbari H, Reza S. Malignant superior vena cava syndrom. Is this a medical emergency. Ann Thorac Cardiovas Surg. 2009.15:2:89-92.

7. Syahrudin E. Sindrom vena kava superior. Makalah. Jakarta : Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran universitas Indonesia RS Persahabatan, 2005.8. Ronald W.Kartika, Ismid D.I. Busro, Agung Wibawanto, Frans B.Busro, Marsono Tabrani. Peran Pembedahan Pada Sindroma Vena Cava Superior Akibat Tumor Mediastinum. J Kardiol Ind 2007; 28:211-214.9. Kar M,Biswas S. Oncological Emergencies. JIACM 2008; 9(2): 120-6.10. Floundersan JA, Barbara D. Oncology Emergency Modules: Spinal Cord Compression. FLOUNDERS 2003.30:1; 17-23.11. Mark L, Jennifer A. Treatment of Oncologic Emergencies. American Family Physician 2006. 74;11: 1873-1880.12. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003. Kanker Paru Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. 13. Soe Z, Aung Z,Tun KD. A Clinical Study on Malignant Pleural Effusion. International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public Health 2012. 4;5:761-779. 14. Antunes G,Neville E, Duffy J,Ali N. BTS guidelines for the management of malignant pleural Effusions. Thorax 2003.58:2938.15. Musani AI. Treatment options for malignant pleural effusion. Current Opinion in Pulmonary Medicine 2009.15:380387.16. Muduly DK, Deo SVS, Subi TS, Kallianpur AA, Shukla NK. An pdate in themanagement of malignant pleural effusion. Indian Journal of Palliative Care 2011.17:98-104.

17. Hospice Palliative Care Program. Malignant Bowel Obstruction. Hospice Palliative Care 2006.18. Soriano A, Davis Mp. Malignant bowel obstruction: Individualized treatment Near The End Of Life. Clevelad Clinic Journal Of Medicine 2011. 78;3:197-206. 19. Ripamonti CI, Easson AM ,Gerdes H. Management of malignant bowel obstruction. Europe An Journal Of Cancer 2008.44:1105 1115.20. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 : Lambung dan Duodenum, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC : Jakarta, 2004. Hal. 541-59. 21. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif., Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000 22. Stefanie M. Rosenberg, PA. Palliation of Malignant Ascites. Gastroenterol Clin N Am 2006.35:189199.23. Sangisetty SL,Miner TJ. Malignant ascites: A review of prognostic factors, pathophysiology and therapeutic measures. World J Gastrointest Surg 2012; 4(4): 87-95.24. Kar M. Oncological Emergencies. Journal of Indian Academy of Clinical Medicine 5 ;1:32-37.25. Tiu RV,Mountantonakis SE, Dunbar AJ,Schreiber MJ. Tumor Lysis Syndrome. Seminars In Thrombosis And Hemostasis 2007.33;4:397-407.26. Toro GD,Morris E,Cairo MS. Tumor Lysis Syndrome: Pathophysiology, Definition, and Alternative Treatment Approaches. Clinical Advances in Hematology & Oncology 2005.3;1:54-61