Top Banner
PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT DAN KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE Oleh DESMAWARNI F34103005 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
95

oleorisin jahe

Aug 14, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: oleorisin jahe

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT DAN

KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK

MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE

Oleh

DESMAWARNI

F34103005

2007

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: oleorisin jahe

Persembahan untuk ibunda...

The Greatest mother all over the world..

2

Page 3: oleorisin jahe

RIWAYAT HIDUP

Desmawarni dilahirkan pada tanggal 3 Desember

1985 di Jambi. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari

hasil kolaborasi hebat M.Syar’i (Alm) dan Salimah.

Pada tahun 2003 lulus dari Sekolah Menengah

Umum Negeri 3 Kota Jambi dan melanjutkan

studinya di Institut Pertanian Bogor. Melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis

diterima pada Departemen Teknologi Industri

Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama di bangku kuliah penulis pernah menjadi anggota Dewan Keluarga

Masjid Al-Hurriyah pada tahun 2003-2004. Pada tahun selanjutnya penulis

dipercaya menjabat sebagai Pimpinan Perusahaan Buletin Mind, Himalogin. Pada

tahun 2005-2006 penulis berkesempatan untuk berperan aktif sebagai staff

Departemen Public Relation, Biro Infokom, Himpunan Mahasiswa Teknologi

Industri dan di tahun yang sama penulis kembali dipercaya sebagai Pimpinan

Umum Buletin Mind. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Gambar

Teknik pada tahun 2005-2006 dan asisten praktikum Peralatan Industri pada tahun

2006-2007.

Selain itu penulis juga mendapatkan beberapa beasiswa diantaranya dari

YAAB-ORBIT Pusat pada tahun 2003-2005, PPA pada tahun 2005-2007 dan

Yayasan GOODWILL Internasional pada tahun 2007. Kegiatan praktek lapangan

penulis dilakukan di Perusahaan Gula Redjosarie, Magetan dengan fokus bidang

produksi dan pengawasan mutu gula pasir.

Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Komposisi Bahan

Penyalut dan Kondisi Spray Drying Terhadap Karakteristik Mikrokapsul

Oleoresin Jahe” di bawah bimbingan Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc dan Dr.

Ir. Sri Yuliani, MT.

3

Page 4: oleorisin jahe

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT DAN

KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK

MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE

Oleh:

DESMAWARNI

F34103005

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007

4

Page 5: oleorisin jahe

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT

DAN KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK

MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

DESMAWARNI

F34103005

Dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1985

di Jambi

Tanggal lulus: September 2007

Menyetujui,

Bogor, September 2007

Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc Dr. Ir. Sri Yuliani, MT Pembimbing I Pembimbing II

5

Page 6: oleorisin jahe

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul

“Pengaruh Komposisi Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying Terhadap

Karakteristik Mikrokapsul Oleoresin Jahe” adalah hasil karya saya sendiri,

dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor, September 2007

DESMAWARNI

F34103005

6

Page 7: oleorisin jahe

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim,

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas

berkah dan rahmatnya yang tidak pernah meninggalkan penulis sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Pengaruh Komposisi

Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying terhadap Karakteristik Mikrokapsul

Oleoresin Jahe” ini disusun melalui sebuah penelitian di Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu, Bogor.

Ucapan terimakasih penulis tujukan kepada beberapa pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini antara lain adalah sebagai berikut;

1. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc. selaku dosen pembimbing utama yang

senantiasa memberi saran, kritik, semangat, perhatian dan bimbingannya

kepada penulis selama ini.

2. Dr. Ir. Sri Yuliani, MT. selaku dosen pembimbing penelitian di BB

Litbang Pascapanen yang senantiasa memberi saran, kritik, semangat,

perhatian dan bimbingannya kepada penulis selama ini.

3. Dr. Ir. Endang Warsiki, MT. selaku dosen penguji yang banyak

memberikan saran dan kritik terhadap kesempurnaan penulisan ini.

4. Ayahanda yang telah berada disisi-Nya, Ibunda, ayuk dan abang serta

Rafiku atas perhatian, semangat, dukungan lahir batin, cinta, do’a dan

kasih sayang yang tak pernah ada habisnya buat penulis.

5. Seluruh staf dan para laboran Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Pascapanen Pertanian Bogor (Pak Adom, Pak Tri, Pak Yudi, Bu Pia, Mbak

Meli, Mbak Dewi, Mbak Lina, Dani, Pak Danu) yang telah membantu

penulis selama melakukan penelitian.

6. Teman TINers seperjuangan dan sependeritaan di lab BB Litbang

Pascapanen (Mayang, Amet, Windi, Widia, Diani, Ariza, Niken, Riri,

Syahrian, Dina) atas kesabarannya, kerjasamanya dan motivasinya bagi

penulis yang begitu berarti.

7. Teman sebimbingan Mona dan Ika serta teman setim penelitian Mei dan

Dira atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.

7

Page 8: oleorisin jahe

8. Girls Power yang selalu membuat hidup penulis berwarna selama ini, Um-

um, Mamin, Mangnyang, Yu2, Ndah, Ne2y, Ndi, Anna, Dike, Bunda,

Mee-foe, Er2, D3, D-Viem, Be the best always Girls!

9. Teman dan sekaligus saudara-saudara di Boncu dan Wisma rahayu (Tati,

Ani, Arda, Fitri, Nur, Lita, Inggit, Lintang, Tina dan kawan-kawan).

10. Keluarga besar TIN 40, yang telah mengajarkan banyak hal kepada

penulis. Tempat dimana penulis belajar menuntut ilmu, mengenal teman,

sahabat, saudara, musuh, dan cinta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, karena itu

kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga

skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, September 2007

Penulis

8

Page 9: oleorisin jahe

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.............................................................................. iii

DAFTAR ISI............................................................................................. v

DAFTAR TABEL.................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR................................................................................ viii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ ix

I. PENDAHULUAN...............................................................................

A. Latar belakang..............................................................................

B. Tujuan...........................................................................................

1

1

3

II. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................

A. Jahe...............................................................................................

B. Oleoresin jahe.................................................................................

C. Minyak atsiri jahe........................................................................

D. Mikroenkapsulasi...........................................................................

E. Spray drying...................................................................................

F. BAHAN PENYALUT..................................................................

4

4

5

8

8

11

14

III. METODOLOGI................................................................................

A. Bahan dan alat...............................................................................

B. Metode penelitian

1. Ekstraksi oleoresin...................................................................

2. Penelitian pendahuluan............................................................

3. Penelitian utama.......................................................................

19

19

19

19

20

21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................

1. Ekstraksi oleoresin.........................................................................

2. Penelitian pendahuluan..................................................................

3. Penelitian utama.............................................................................

A. Mikrokapsul dengan berbagai komposisi bahan

penyalut..................................................................................

1. Total volatile oil dan oil retention.....................................

2. Surface oil.........................................................................

25

25

27

30

30

31

33

9

Page 10: oleorisin jahe

3. Aktifitas air (aw) mikrokapsul…………………………....

4. Kadar air.............................................................................

5. Kelarutan dalam air............................................................

B. Pengaruh kondisi pengeringan terhadap komposisi bahan

penyalut terpilih......................................................................

1. Total volatile oil dan oil retention.....................................

2. Surface oil..........................................................................

3. Aktifitas air (aw) mikrokapsul……………………………

4. Kadar air.............................................................................

5. Kelarutan dalam air............................................................

6. Struktur bentuk dan ukuran dengan SEM..........................

7. Profil komponen dengan GCMS........................................

36

37

39

40

41

42

45

47

48

49

52

V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 55

LAMPIRAN.............................................................................................. 59

10

Page 11: oleorisin jahe

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Mutu jahe dari berbagai daerah.......................................... 5

Tabel 2. Jenis bahan penyalut proses mikroenkapsulasi..................

15

Tabel 3. Komposisi bahan penyalut.................................................

22

Tabel 4. Karakteristik oleoresin jahe……………………………...

25

Tabel 5. Komposisi bahan penyalut (konsentrasi 20%) dan Viskositasnya (cps)............................................................

29

Tabel 6. Hasil pengujian larutan bahan penyalut pada beberapakondisi spray drying..........................................................

30

Tabel 7. Total volatile oil dan oil retention mikrokapsul padavariasi suhu inlet dan laju alir umpan................................

41

11

Page 12: oleorisin jahe

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur kimia gingerol, zingerone, dan shagaol..................

6

Gambar 2. Proses pengeringan pada spray dryer...................................

13

Gambar 3. Diagram alir ekstraksi oleoresin...........................................

20

Gambar 4. Diagram alir proses mikroenkapsulasi penelitian tahap 2....

24

Gambar 5. Hubungan antara viskositas bahan penyalut dengan konsentrasi penyalut dalam larutan......................................

28

Gambar 6. Total volatile oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut.................................................................................

31

Gambar 7. Oil retention mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut...

33

Gambar 8. Nilai surface oil mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan penyalut......................................................................

34

Gambar 9. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut……...

37

Gambar 10. Kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut.........

38

Gambar 11. Nilai kelarutan dalam air dari variasi komposisi penyalut....

39

Gambar 12. Surface oil mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir umpan.............................................................................

42

Gambar 13. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir bahan.....................................................................................

45

Gambar 14. Proses hidrasi, awal collaps, dan full collaps pada produk flavor terenkapsulasi.............................................................

46

Gambar 15. Kadar air mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir umpan.............................................................................

47

Gambar 16. Kelarutan dalam air mikrokapsul dengan dengan variasi suhu inlet dan laju alir bahan................................................

48

Gambar 17. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 170°C/15ml/menit) dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri)

49

12

Page 13: oleorisin jahe

dan1500X (kanan))...............................................................

Gambar 18. Morfologi mikrokapsul MG dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (kanan))..............

50

Gambar 19. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 190°C dan 15ml/menit) dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (kanan))...............................................................

50

Gambar 20. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 190°C dan 15ml/menit,kiri) dan MG (kanan) dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 1500X)...........................................

51

13

Page 14: oleorisin jahe

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Analisis oleoresin.........................................................

60

Lampiran 2. Analisis mikrokapsul....................................................

62

Lampiran 3. Gambar sampel oleoresin dan mikrokapsul.................

65

Lampiran 4. Data kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut.........................................................................

66

Lampiran 5. Data nilai aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut.........................................................................

67

Lampiran 6. Data surface oil produk mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut..............................................................

68

Lampiran 7. Data total volatile oil produk mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut..................................................

69

Lampiran 8. Data oil retention produk mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut..............................................................

70

Lampiran 9. Data nilai kelarutan dalam air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut..................................................

71

Lampiran 10. Data kadar air mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying..................................................................

72

Lampiran 11. Data nilai aw mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying..................................................................

74

Lampiran 12. Data surface oil mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying..................................................................

76

Lampiran 13. Data total volatile oil mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying.....................................................

78

Lampiran 14. Data oil retention mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying………………………………………

79

Lampiran 15. Data analisa keragaman kelarutan dalam air variasi kondisi spray drying.....................................................

80

Lampiran 16. Data identifikasi GCMS pada minyak atsiri................. 81

14

Page 15: oleorisin jahe

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Jahe (Zingiber officinale) memiliki ruang lingkup penggunaan yang

cukup luas. Rimpang jahe antara lain digunakan untuk bumbu masak, pemberi

aroma dan rasa pada makanan dan minuman, dan juga dimanfaatkan sebagai

bahan obat tradisional maupun obat-obatan modern. Semakin luas penggunaan

jahe dalam industri akan semakin meningkatkan permintaan akan jahe setiap

tahunnya.

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor jahe. Ekspor jahe

Indonesia rata-rata meningkat 32.75 % per tahun sedangkan pangsa pasar jahe

Indonesia terhadap pasar dunia 0,8 % (Depprind, 2005). Walaupun volume

ekspor jahe cukup tinggi, tetapi sebagian besar ekspor jahe masih dalam

bentuk bahan mentah (rimpang jahe segar) dan setengah jadi (jahe asinan dan

jahe kering), sedangkan dalam bentuk yang diolah (produk jadi) sangatlah

sedikit.

Salah satu bentuk olahan jahe yang sangat disukai industri pangan dan

obat-obatan di dunia adalah oleoresin. Nilai ekonomis oleoresin diprediksi

mencapai lima kali lebih tinggi dibandingkan nilai jahe segar dengan kekuatan

flavor 28 kali lebih kuat dibandingkan jahe segar (Purseglove, 1981).

Oleoresin memiliki beberapa keunggulan lain diantaranya adalah (1)

dapat menanggulangi masalah kontaminasi mikroba; (2) mengurangi volume

dan berat sehingga mengurangi biaya transportasi; (3) memudahkan

pengolahan sehingga lebih praktis dalam pembuatan bumbu masak dan

produk-produk pangan; (4) menyeragamkan keawetan dan kelezatan; (5)

menghindari pemalsuan yang sering terjadi pada rempah-rempah (dengan

penambahan kayu dan daun); (6) memungkinkan standarisasi kekuatan flavor;

(7) mengandung antioksidan alami; serta (8) memiliki waktu simpan yang

lama pada kondisi yang ideal (Djubaedah, 1986; Sudibyo, 1989).

Dibalik keunggulan-keunggulan tersebut bentuk olahan jahe berupa

oleoresin ini memiliki beberapa kelemahan. Konsistensinya yang lengket dan

15

Page 16: oleorisin jahe

kental mempersulit penanganan bahan dalam aplikasi di industri sedangkan

penggunaannya di industri hanya dalam konsentrasi yang rendah. Disamping

itu, perubahan kimia dan organoleptik yang bersifat destruktif juga dapat

terjadi pada oleoresin selama penyimpanan. Untuk itu diperlukan suatu cara

agar diperoleh bentuk olahan yang lebih mudah ditangani dan juga dapat

melindungi mutu bahan aktif yang terdapat di dalam oleoresin.

Mikroenkapsulasi dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah-

masalah di atas.

Radwick et al. (2002) mendefinisikan mikroenkapsulasi merupakan

proses penyalutan suatu bahan aktif baik itu padatan, cairan ataupun gas dalam

sebuah bahan polimer penyalut. Mikroenkapsulasi dilakukan untuk

melindungi komponen flavor (oleoresin) dari perubahan destruktif dan dapat

meningkatkan stabilitas komponen flavor, serta mengubahnya menjadi bubuk

free-flowing sehingga dapat menekan kerugian selama penyimpanan dan

pendistribusian. Pada penelitian ini dilakukan mikroenkapsulasi oleoresin jahe

dengan metode spray drying. Bahan penyalut yang akan digunakan adalah

gum arab, maltodekstrin dan natrium kaseinat.

Penelitian enkapsulasi flavor dengan menggunakan gum arab telah

banyak dilakukan. Krishnan et al. (2005) juga telah melakukan penelitian

menggunakan gum arab, maltodekstrin dan pati termodifikasi yang telah

komersil (Hi-cap) sebagai bahan penyalut enkapsulasi oleoresin kapulaga.

Kemudian Sootitanwat et al. (2003) menggunakan kombinasi maltodekstrin

dan gum arab sebagai bahan penyalut d-limonen, begitu pula Thevenet (1988)

menggunakan kombinasi gum arab dan maltodekstrin sebagai penyalut

minyak jeruk.

Hasil penelitian terdahulu ini menunjukkan bahwa kombinasi bahan

penyalut gum arab dan maltodekstrin lebih efektif melindungi bahan aktif

dibandingkan dengan bahan penyalut lainnya. Gum arab memiliki

kemampuan retensi yang tinggi dengan sifat emulsifikasi yang baik sedangkan

maltodekstrin tidak memiliki kemampuan emulsifikasi namun dapat

menurunkan viskositas emulsi dan memiliki ketahanan oksidasi yang tinggi.

Maltodekstrin juga mudah diperoleh dan terjangkau dari segi biaya.

16

Page 17: oleorisin jahe

Sebaliknya penggunaan gum arab cukup berkendala dikarenakan harganya

yang mahal dan persediaan terbatas (Trubiano et al., 1988). Oleh karena itu

diperlukan adanya bahan penyalut pengganti gum arab atau bahan

pendamping gum arab yang dapat digunakan sebagai campuran bahan

penyalut yang lebih efektif dengan kemampuan emulsifikasi yang lebih baik

daripada penggunaan gum arab murni.

Natrium kaseinat adalah salah satu jenis protein susu yang potensial

sebagai bahan penyalut. Keunggulan bahan ini yaitu sifat emulsifikasinya

yang sangat baik sehingga bahan aktif atau flavor dapat tersaluti dengan lebih

baik di dalam bahan penyalut. Banyak penelitian telah menelaah penggunaan

natrium kaseinat sebagai penyalut. Pada penelitian minyak jeruk, retensi

flavor yang diperoleh tinggi dengan kadar minyak pada permukaan yang

rendah (Kim dan Morr, 1996).

Faktor lain yang menentukan keberhasilan mikroenkapsulasi dengan

metode spray drying adalah kondisi spray drying (suhu inlet dan laju alir

umpan). Ketidaksesuaian kondisi pengeringan dengan kestabilan bahan

penyalut terhadap panas dapat menyebabkan penurunan retensi dan kerusakan

struktur mikrokapsul.

B. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mempelajari pengaruh komposisi bahan penyalut (tiga jenis bahan

penyalut yakni gum arab, maltodekstrin dan natrium kaseinat dalam

beberapa komposisi) terhadap karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan

meliputi nilai total volatile oil, surface oil, oil retention, nilai aw dan

kadar air, struktur mikrokapsul, serta kelarutan mikrokapsul tersebut

dalam air.

2. Mempelajari pengaruh kondisi spray drying (laju alir umpan dan suhu

inlet) terhadap karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan.

17

Page 18: oleorisin jahe

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAHE

Jahe merupakan tanaman herba tahunan yang termasuk ke dalam Divisi

Spermatopyhta, Kelas Angiospermae, Subkelas Monocotyledone, Famili

Zingiber, Species Zingiber officinale. Kata Zingiber sendiri berasal dari

bahasa Sanskerta singibera yang berarti berbentuk tanduk karena bentuk

percabangan rimpangnya yang mirip bentuk percabangan tanduk rusa,

sedangkan officinale yang berarti digunakan dalam farmasi atau pengobatan

(Jansen, 1981).

Bagian jahe yang banyak dimanfaatkan adalah rimpangnya. Rimpang

atau rhizoma jahe merupakan batang yang tumbuh dalam tanah dan dipanen

jika batangnya berubah warna dari hijau menjadi kuning dan kering (umur 9-

10 bulan) atau sampai warna agak cokelat (umur 12 bulan). Bentuk rimpang

jahe bercabang-cabang tidak teratur dengan daging berwarna kuning atau

jingga, berserat dan berbau harum. Panjang rimpang mencapai 7-15 cm

dengan lebar 3-6 cm dan tebal 1-2 cm (Koswara, 1995).

Menurut Burkill (1935), jahe dikelompokkan menjadi dua macam

berdasarkan ukuran rimpangnya, yaitu jahe besar dan jahe kecil, sedangkan

berdasarkan warna dikenal dua macam jahe, yaitu jahe merah dan jahe putih.

Di Indonesia jahe dikelompokkan menjadi tiga klon jahe berdasarkan ukuran

dan warna rimpang yaitu jahe putih besar, jahe merah dan jahe putih kecil. Di

Jawa Barat jahe putih besar dikenal dengan nama jahe badak atau jahe gajah,

jahe merah dikenal dengan nama jahe sunti dan jahe putih kecil dikenal

dengan nama jahe emprit.

Jahe emprit berwarna putih sampai kuning, mempunyai rimpang relatif

kecil, rasa lebih pedas, kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi

dibandingkan dengan jahe badak dan lebih rendah bila dibandingkan dengan

jahe sunti. Jahe emprit terutama digunakan untuk bumbu dapur dan bahan

baku minyak atsiri serta oleoresin. Kandungan minyak atsiri pada jahe adalah

1.5-3.5% berdasarkan berat kering (dry basis). Jahe kering yang diolah

18

Page 19: oleorisin jahe

menjadi minyak atsiri dan oleoresin berasal dari jahe yang sudah tua, yang

dipanen pada umur 9 bulan atau lebih (Yuliani et al., 1991). Tabel 1 dibawah

ini akan memperlihatkan mutu jahe dari berbagai daerah dan standar mutu

perdagangan. Dari tabel terlihat jahe merah memiliki kadar minyak atsiri

tertinggi, dan jahe putih besar memiliki kadar atsiri terendah.

Tabel 1. Mutu jahe dari berbagai daerah

Jenis Daerah asal

Kadar air (%)

Kadar minyak atsiri

(ml/100gr)

Kadar abu (%)

Jahe putih kecil Jahe putih kecil Jahe putih kecil Jahe putih kecil Jahe putih besar Jahe putih besar Jahe kuning Jahe kuning Jahe merah Jahe merah Standar Perdagangan

Bengkulu Sukabumi Cipanas Bali Bogor Cianjur Jambi Madiun Bengkulu Kalimantan

6.70 12.6 10.6 11.8 8.60 13.9 19.4 12.2 6.50 7.80 12.0

2.14 3.05 3.22 2.71 1.12 1.62 2.12 1.60 3.92 3.96 1.50

10.5 7.20 8.90 7.80 9.70 6.60

- 9.00 15.9 7.40 8.00

Sumber : Koswara (1995)

B. OLEORESIN JAHE

Oleoresin adalah gabungan dari resin dan minyak atsiri. Oleoresin dapat

diperoleh dari ekstraksi bagian tanaman tertentu dengan mempergunakan

pelarut organik misalnya oleoresin dari rempah-rempah. Oleoresin berbentuk

padat atau semi padat dan biasanya konsistensinya lengket. Selain

mengandung resin dan minyak atsiri, oleoresin juga mengandung bahan lain

seperti senyawa aromatik, zat warna, vitamin, dan lainnya yang penting dari

rempah tersebut (Whitteley et al., 1952). Bentuk oleoresin jahe berupa cairan

pekat berwarna coklat tua dan mengandung minyak atsiri 15-35% (Koswara,

1995).

Secara umum, oleoresin jahe tersusun oleh komponen-komponen

gingerol dan zingerone yang merupakan senyawa fenol dan ketofenol, shogaol

(senyawa homolog zingerone), minyak atsiri dan resin. Kandungan oleoresin

jahe segar antara 0,4-3,1%, tergantung umur panen dan tempat tumbuhnya.

19

Page 20: oleorisin jahe

Semakin tua umur jahe, semakin besar kandungan oleoresinnya. Komposisi

kuantitatif oleoresin jahe tergantung pada suhu dan jenis pelarut, jenis jahe

dan komposisi pelarut yang digunakan (Koswara, 1995).

Menurut Purseglove (1981), komponen utama pemberi pedas adalah

gingerol, yaitu 1-(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)-5-hydroxyalkan-3-one) yang

merupakan deret homolog alkil keton. Senyawa ini mempunyai rantai cabang

yang berbeda-beda panjangnya. Sesuai dengan jumlah atom C pada rantai

cabangnya, dikenal (3)-, (4)-, (5)-, (6)-, (8)-, dan (10)-gingerol. Gingerol

terdapat pada jahe yang masih segar. Dalam pengolahan dan bila dikeringkan,

gingerol dapat berubah menjadi shogaol yaitu 1-(4-hidroksi-3-metoksi fenil)-

4-dekana-3-one yang merupakan senyawa dengan gugus beta tak jenuh.

Gingerol dapat terdegradasi lebih lanjut menjadi zingerone dan aldehid pada

suhu tinggi.

Struktur kimia gingerol, zingerone, dan shogaol seperti yang terdapat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia gingerol, zingerone, dan shagaol (Darsana, 1995)

20

Page 21: oleorisin jahe

Oleoresin mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan bentuk

olahan jahe lainnya, karena mempunyai rasa dan aroma seperti aslinya.

Keunggulan oleoresin adalah (1) dapat menanggulangi masalah kontaminasi

mikroba; (2) mengurangi volume dan berat sehingga mengurangi biaya

transportasi; (3) meningkatkan nilai ekonomi jahe; (4) memudahkan

pengolahan sehingga lebih praktis dalam pembuatan bumbu masak dan

produk-produk pangan; (5) menyeragamkan keawetan dan kelezatan; (6)

menghindari pemalsuan yang sering terjadi pada rempah-rempah (dengan

penambahan kayu dan daun); (7) memungkinkan standarisasi kekuatan flavor;

(8) mengandung antioksidan alami; serta (9) memiliki waktu simpan yang

lama pada kondisi yang ideal (Djubaedah, 1986; Sudibyo, 1989).

Menurut Farrel (1985) kelemahan oleoresin adalah (a) flavor-nya

bervariasi tergantung dari flavor rempah aslinya dan jenis pelarut yang

digunakan; (b) wujudnya berupa cairan kental sampai semipadat sehingga

sulit ditangani dan dicampurkan pada makanan tanpa pemanasan; (c)

mengandung tanin kecuali bila diperlakukan secara khusus.

Oleoresin diperoleh dengan cara mengekstrak rempah-rempah dengan

menggunakan pelarut organik tertentu. Bahan rempah-rempah berbentuk

bubuk halus dicampur dengan pelarut dan diekstraksi. Larutan dipisahkan

dengan penyaringan pelarut dan pelarutnya disuling. Oleoresin yang

dihasilkan mengandung aroma dan flavor (Djubaedah, 1986).

Persiapan bahan baku mencakup pengeringan bahan sampai kadar air

tertentu dan penggilingan, yang dimaksudkan untuk mempermudah proses

ekstraksi yang akan dilakukan. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan

oleoresin yang terekstrak mengandung komponen larut air seperti pati dan

gula sehingga menyebabkan perubahan aroma dan rasa (Purseglove et al.,

1981).

Menurut Djubaedah (1986), perlakuan terbaik dalam ekstraksi oleoresin

jahe adalah ekstraksi bertahap dengan cara perkolasi pada suhu 40°C, selama

2 jam dengan pelarut etanol. Partikel berukuran 30-40 mesh sudah cukup

sesuai untuk ekstraksi. Derajat kehalusan lebih dari 40 mesh tidak menaikkan

21

Page 22: oleorisin jahe

daya ekstrak oleoresin dari bahan, karena minyak atsiri dapat menguap selama

penggilingan.

C. MINYAK ATSIRI JAHE

Kandungan minyak atsiri merupakan salah satu kualitas yang sering

diujikan pada oleoresin rempah-rempah, karena sebagian besar rempah-

rempah digunakan terutama karena kandungan minyak volatil yang sangat

menentukan flavornya. Jumlah minyak atsiri yang dalam oleoresin

mempengaruhi kualitas oleoresin. Semakin banyak kandungan minyak atsiri

dalam oleoresin maka kualitas oleoresin semakin baik (Sutianik, 1999).

Menurut Purseglove (1981), minyak atsiri mengandung komponen

volatil diantaranya adalah komponen seskuiterpen dan monoterpen.

Sesquiterpen pada jahe terdiri dari seskuiterpen hidrokarbon dan alkohol.

Seskuiterpen hidrokarbon terdiri dari alpha-zingiberen, beta-zingiberen,

kurkumin, beta-bisabolen, beta-farnesen, beta-seskuiphelandren, dan

seskuitujen. Seskuiterpen alkohol terdiri dari zingiberol (cis-beta-eudesmol-

dan trans-beta-eudesmol), nerediol, cis-beta-seskuiphelandrol, cis-sabinen.

Monoterpen pada jahe antara lain d-champen, 4-3-karen, p-simen, mirsen, d-

beta-phelandren, alphapinen, dan sabinen. Pada golongan teroksidasi

teridentifikasi d-borneol, bornil asetat, 1-8-sineol, sitral, sistronelil asetat,

geraniol dan linalool.

D. MIKROENKAPSULASI

Mikroenkapsulasi adalah proses penyalutan atau pembungkusan suatu

bahan baik itu padatan, cairan ataupun gas dalam sebuah bahan polimer

penyalut (Radwick et al., 2002). Bahan yang disalut tersebut umumnya

disebut sebagai bahan–bahan inti atau bahan aktif. Struktur yang meyelimuti

bahan inti disebut dinding, film pelindung atau penyalut yang berguna

melindungi inti dari kerusakan dan pelepasan inti dari penyalut (Young et al.,

1993).

Menurut Balasa dan Fanger (1971), ukuran mikrokapsul dapat berkisar

dari 0.2-5000μm dan memiliki beragam bentuk. Sedangkan King (1995)

menyatakan bahwa, apabila ukuran partikel >5000μm disebut makrokapsul,

22

Page 23: oleorisin jahe

ukuran partikel antara 0.2-5000μm disebut mikrokapsul, dan apabila ukuran

partikelnya antara <0.2μm (2000Å) disebut nanokapsul. Struktur dan ukuran

mikrokapsul yang dihasilkan tergantung dari teknik pembuatannya, jenis

bahan inti dan polimer (bahan penyalut) yang digunakan (Jackson dan Lee,

1991).

Mikroenkapsulasi memiliki beberapa bidang aplikasi yang pada

umumnya pada industri makanan. Risch dan Anderson (1995) menyatakan

bahwa mikroenkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavor,

asam, lipid, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air,

bahan pengembang, warna dan garam. Proses enkapsulasi flavor dapat

diterapkan untuk berbagai flavor alami, seperti minyak atsiri dan oleoresin,

maupun flavor buatan. Salah satu yang terpenting dalam penerapannya ialah

mengubah bahan cair atau pasta menjadi padatan sehingga dihasilkan produk

yang kering dan dapat melindungi bahan tersebut dari penguapan, oksidasi,

dan reaksi kimia (Rosenberg et al., 1988).

Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dengan proses

mikroenkapsulasi ini antara lain adalah flavor terlindungi dari perubahan

destruktif (penguapan) dalam masa penyimpanan yang lama, mudah dalam

pengolahan lanjutan, mudah digunakan dalam pencampuran produk, bebas

dari mikroba dan serangga (higienis) dan berkadar air rendah serta dapat

menghasilkan produk dengan kualitas flavor yang distandarisasi (Koswara,

1995). Kerugian proses ini ialah penampakan flavor yang mungkin akan

berbeda dari bahan alaminya dan biaya proses yang relatif mahal (Heath,

1986).

Metode–metode proses enkapsulasi yang sudah dievaluasi dan

dikomersialkan untuk penggunaan pada bahan makanan yaitu dengan metode

spray drying, penyalutan dengan suspensi udara, extrusion, dan spray

cooling/spray chilling (Dziezak, 1988). Proses enkapsulasi dapat pula

dilakukan dengan teknik enkapsulasi lain seperti koaservasi (Soottitantawat et

al., 2005) dan kokristalisasi (Jackson dan Lee, 1991).

Extrusion adalah metode mikroenkapsulasi yang dapat dikategorikan

sebagai metode yang baru dan masih terus dikembangkan. Pada proses

23

Page 24: oleorisin jahe

ekstrusi, bahan inti didispresikan pada karbohidrat cair yang kemudian bahan

inti akan ditangkap dan dikeraskan oleh bahan penyalut selama kontak terjadi.

Metode ini pertama kali dilakukan oleh Schultz (1956) yang mencoba

mendispersikan minyak kulit jeruk pada dekstrosa cair dengan sedikit

ditambahkan maltodekstrin. Stabilitas bahan yang terenkapsulasi dapat

mencapai 6 bulan lamanya. Kelemahan metode ekstrusi antara lain biaya

operasinya yang mahal dan diperkirakan dua kali lipat dibandingkan dengan

metode spray drying.

Pada metode suspensi udara, partikel padatan yang akan disaluti ada

pada suatu kolom udara panas dan disemprot dengan bahan penyalut dari atas

melalui sebuah nozzel. Proses ini dapat menghasilkan butiran yang seragam

dan sebagian besar proses ini masih bersifat batch (Dziezak, 1988).

Spray cooling/spray chilling adalah dua metode mikroenkapsulasi yang

memang relatif sama dengan metode spray drying. Perbedaan kedua metode

ini dengan metode spray drying terletak pada suhu udara yang digunakan pada

ruangan pengering dan aplikasi penyalutan. Pada metode spray drying

menggunakan udara panas untuk menguapkan solvent dari dispersi penyalut

sedangkan metode spray cooling/spray chilling menggunakan udara dingin

untuk menurunkan suhu yang dipertimbangkan di bawah titik pembekuan dari

lemak cair yang digunakan sebagai penyalut (Bakan dan Anderson, 1978).

Metode spray cooling umumnya menggunakan bahan penyalut berupa

minyak nabati dengan titik leleh berkisar 45-122°C sedangkan pada metode

spray chilling menggunakan bahan penyalut berupa minyak nabati dengan

titik leleh 32-42°C. Aplikasi kedua metode ini umumnya terbatas untuk

enkapsulasi bahan inti yang berbentuk padat seperti vitamin dan mineral

(Risch dan Anderson, 1995).

Koaservasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menerangkan

fenomena pemisahan fase dalam sistem koloid. Pemisahan fase erat kaitannya

dengan pengendapan atau flokulasi zat koloid. Menurut Komari (1994),

terdapat dua jenis metode koaservasi, yaitu koaservasi sederhana dan

koaservasi kompleks. Koaservasi sederhana hanya menggunakan satu jenis

polimer sebagai bahan penyalut, sedangkan koaservasi kompleks

24

Page 25: oleorisin jahe

menggunakan lebih dari satu jenis polimer. Terbentuknya dinding/koaservat

yang menyelaputi bahan inti pada metode ini disebabkan oleh netralisasi dari

koloid yang mempunyai muatan yang berlawanan pada pH tertentu. Magdasi

dan Vinetsky (1996) menyatakan bahwa koaservasi kompleks telah digunakan

untuk mengkapsulkan beberapa jenis bahan inti seperti minyak makan,

vitamin E, vitamin C, minyak parfum, minyak kedelai, dan minyak atsiri yang

diaplikasikan untuk obat-obatan, kosmetika dan makanan.

Kokristalisasi merupakan metode yang menggunakan sukrosa sebagai

bahan penyalut, hal ini dapat merujuk penelitian mikroenkapsulasi oleoresin

pala (Chandrayani, 2002). Dalam kokristalisasi, enkapsulasi terjadi akibat

kristalisasi spontan dari sukrosa yang menghasilkan bentuk yang

mengelompok dengan jarak ukuran 3-300μm yang diantaranya akan tersalut

bahan inti. Proses enkapsulasi ini lebih mudah namun pemilihan bahan

penyalut terbatas dan produk yang dihasilkan tidak seperti produk enkapsulasi

metode lainnya yang berbentuk kristal kecil dan halus.

Dari berbagai metode diatas, spray drying adalah metode yang paling

umum untuk proses enkapsulasi komponen flavor. Keuntungan penggunaan

metode ini antara lain adalah ketersediaan peralatan yang sederhana, biaya

proses relatif rendah, pilihan yang luas dalam penggunaan bahan penyalut,

kemampuan retensi bahan volatil yang baik, dan stabilitas flavor yang

dihasilkan juga sangat baik (Reineccius, 1988). Keuntungan lain dari metode

spray drying adalah teknologinya sudah banyak dikuasai sehingga mudah

diaplikasikan, mampu memproduksi kapsul dalam jumlah banyak, bahan

penyalut yang cocok untuk spray drying juga layak sebagai bahan makanan,

dan bahan penyalut yang digunakan larut dalam air sehingga dapat

melepaskan bahan inti tanpa adanya bahan penyalut yang mengendap (Thies,

1996).

E. SPRAY DRYING

Pengeringan semprot atau spray drying merupakan metode enkapsulasi

yang paling tua dalam industri pangan dan ditemukan pada tahun 1930

(Dziedzak, 1988). Faktor yang mempengaruhi jumlah minyak yang terkapsul

25

Page 26: oleorisin jahe

diantaranya adalah bahan penyalut, bahan pengemulsi dan kondisi proses

pengeringan (Thies, 1996).

Mikroenkapsulasi dengan metode spray drying terdiri dari tiga tahap,

yaitu persiapan bahan emulsi, homogenisasi, dan penyemprotan emulsi ke

dalam chamber (atomisasi massa pada tempat pengeringan). Masalah yang

biasanya muncul pada penggunaan spray drying adalah adanya bahan inti

yang melekat pada permukaan dinding kapsul yang dapat teroksidasi dan

menyebabkan perubahan flavor pada produk (Dziezak, 1988).

Secara umum proses yang terjadi di dalam spray dryer meliputi

atomisasi atau penyemprotan bahan melalui penyemprot (atomizer), kontak

antara bahan dengan udara pengering, evaporasi dan pemisahan partikel

kering dan udara (Masters, 1979). Fungsi utama atomizer adalah untuk

menghasilkan droplet yang berukuran kecil, sehingga luas permukaan menjadi

lebih besar yang mengakibatkan proses penguapan akan lebih cepat.

Disamping itu, atomizer bertindak sebagai alat pengatur kecepatan aliran

produk pada proses pengeringan. Atomizer mendistribusikan cairan pada

aliran udara dan menghasilkan droplet dengan ukuran tertentu sesuai dengan

yang diinginkan. Ukuran droplet berkorelasi positif dengan kecepatan aliran

bahan dan mempunyai korelasi negatif dengan kecepatan putaran atomizer

(Heldman et al., 1981). Tahapan pengeringan pada spray dryer disajikan pada

Gambar 2.

26

Page 27: oleorisin jahe

Gambar 2. Proses pengeringan pada spray dryer (Heldman et al., 1981)

Evaporasi terjadi karena adanya kontak antara droplet dengan udara

pengering, sehingga terjadi transfer panas dari udara pengering ke droplet dan

air yang terdapat dalam droplet akan menguap. Evaporasi terjadi pada masing-

masing droplet yang bersinggungan dengan udara pengering. Kecepatan

evaporasi dipengaruhi oleh komposisi bahan, terutama kandungan total

padatan, semakin tinggi total padatan bahan, maka proses evaporasi akan

berlangsung lebih cepat (Heldman et al., 1981).

Suhu pengeringan tergantung dari produk yang dikeringkan. Suhu

pengeringan dapat mempengaruhi mikrokapsul. Suhu inlet yang tinggi

digunakan untuk meningkatkan aliran penguapan dari membran

semipermeabel pada permukaan droplet. Rentang suhu inlet yang umumnya

aman digunakan dan menghasilkan retensi yang baik adalah 160-210°C

(Rennecius et al., 1988).

Kondisi pengeringan sangat bergantung pada bahan penyalut yang

digunakan dan bahan intinya. Ketidaksesuaian antara bahan penyalut dan

kondisi pengeringan dapat mengakibatkan kebocoran atau terjadinya efek

“balooning” dan dapat menurunkan retensi (Rennecius et al., 1988). Beberapa

penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa suhu inlet 180°C dan laju alir

27

Page 28: oleorisin jahe

20ml/menit efektif digunakan pada penelitian mikroenkapsulasi pada minyak

kedelai (soy oil) dengan bahan penyalut natrium kaseinat (Hogan et al., 2001).

Selain itu suhu inlet 178±2°C, dengan laju alir umpan 5ml/menit juga efektif

digunakan pada enkapsulasi oleoresin lada dengan penyalut maltodekstrin dan

gum arab (Shaikh et al., 2006).

Menurut Rulkens dan Thijsen (1972), bahan aktif dapat tetap tertahan di

dalam kapsul karena adanya suatu mekanisme difusivitas selektif walaupun

suhu yang digunakan tinggi selama pengeringan. Dinyatakan bahwa

difusivitas bahan volatil akan menurun secara drastis jika berada dalam

konsentrasi yang rendah seiring dengan menurunnya konsentrasi air di dalam

emulsi. Saat air mencapai titik konsentrasi kritis, lapisan bahan penyalut yang

melingkupi droplet bahan aktif akan bertindak sebagai membran yang bersifat

tidak permeabel terhadap bahan volatil sehingga hanya air yang teruapkan.

F. BAHAN PENYALUT

Bahan penyalut adalah bahan-bahan yang berfungsi sebagai penyalut

bahan inti (bahan aktif) dalam proses enkapsulasi (Masters, 1979). Menurut

Young et al. (1993), bahan penyalut yang digunakan dalam spray drying harus

memiliki kemampuan kelarutan yang tinggi dan kemampuan mengemulsi,

serta harus dapat membentuk lapisan film, dan menghasilkan larutan

berkonsentrasi tinggi dengan viskositas rendah. Selain itu, bahan penyalut

harus mampu antara lain: (1) melindungi bahan aktif dari oksidasi, panas,

cahaya, kelembaban, dan lain-lain; (2) mencegah penguapan dari komponen

volatil; (3) membuat bahan aktif menjadi a free flowing powder untuk

mengurangi penanganan dan pencampuran dalam sistem makanan kering

(King et al., 1976).

Beberapa bahan penyalut yang biasa digunakan dalam proses

mikroenkapsulasi disajikan pada Tabel 2.

28

Page 29: oleorisin jahe

Tabel 2. Jenis bahan penyalut proses mikroenkapsulasi

Kelas Jenis

Gum Gum arab, agar, natrium alginat, karagenan

Karbohidrat Pati, dekstrin, sukrosa, sirup jagung, CMC

(Carboymethylcellulose), ethyl selulosa, metil

selulosa, nitro selulosa, asetil selulosa, asetat

butilat phitat selulosa.

Lemak Lilin, paraffin, tristearin, asam stearat,

monogliserida, lilin tawon

Bahan anorganik Kalsium fosfat, silikat

Protein Gluten, kasein, gelatin, albumin

Sumber: Jackson dan Lee (1991)

Karbohidrat seperti pati-pati terhidrolisis dan emulsifying starches, serta

dari jenis gum (terutama Gum acacia atau gum arab) paling umum digunakan

sebagai bahan penyalut (Reineccius, 1988). Krishnan et al. (2005), juga telah

melakukan penelitian menggunakan tiga jenis bahan penyalut yakni gum arab,

maltodekstrin dan pati termodifikasi yang telah komersil (Hi-cap) sebagai

bahan penyalut oleoresin kapulaga. Hasilnya menunjukkan gum arab lebih

efektif sebagai bahan penyalut dibandingkan bahan lainnya.

Selain itu, penelitian terhadap penggunaan campuran protein dengan

karbohidrat juga telah dilakukan diantaranya penggunaan gum arab, isolat

protein kedelai dan isolat protein gandum untuk minyak jeruk (Kim et al.,

1996), dan penggunaan campuran isolat protein gandum dan laktosa untuk

lemak susu (Moreau dan Rosenberg, 1996). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa bahan penyalut dari jenis protein maupun kombinasi protein dengan

polisakarida adalah lebih efektif sebagai bahan penyalut.

Menurut Zhao dan Whistler (1994), pati dapat berinteraksi dengan

komponen-komponen lain seperti protein membentuk granula (sphere) dalam

proses spray drying. Granula ini dapat membawa sejumlah komponen bahan

pangan seperti minyak dan flavor untuk mengontrol pelepasannya dari

struktur poros granula.

29

Page 30: oleorisin jahe

1. Gum Arab

Gum arab (gum Acacia) merupakan gum alami yang paling dikenal.

Gum arab berasal dari getah yang dihasilkan dari berbagai spesies pohon-

pohon Acacia. Dari banyak spesies Acacia yang ditemukan, hanya tiga jenis

yang dimanfaatkan secara komersial yaitu, Acacia senegal, Acacia seyal, dan

Acacia laeta. Secara fisik, gum arab merupakan molekul bercabang banyak

dan kompleks. Bentuk struktur yang demikian menyebabkan gum arab

memiliki kekentalan yang rendah (Fardiaz, 1989).

Komponen penyusun gum arab antara lain adalah gula-gula sederhana

seperti D-galaktosa, L-arabinosa, L-rhamnosa, dan unit asam glukoronat

(Thevenet, 1988). Gum juga tersusun atas protein (2%, wt/wt) yang terikat

kovalen dalam komponen penyusun molekuler (Anderson et al., 1985).

Gum arab mudah larut ketika diaduk dalam air. Gum ini sifatnya unik

jika dibandingkan dengan gum lain dikarenakan kemampuannya yang dapat

membentuk larutan dengan kekentalan yang rendah sehingga dapat

membentuk larutan dengan konsentrasi sampai 50% (Glicksman dan Sand,

1973). Gum lain akan membentuk larutan yang sangat kental pada konsentrasi

rendah (1-5%), sedangkan gum arab baru mencapai kekentalan maksimum

pada konsentrasi 40-50 %. Rendahnya sifat kekentalan ini berhubungan

dengan sifat molekul globular yang bercabang banyak dan kompleks dari gum

arab.

Selain kelarutannya yang tinggi, karakteristik utama gum arab adalah

bersifat pembentuk tekstur, pembentuk film, pengikat dan juga pengemulsi

yang baik dengan adanya komponen protein di dalam gum arab. Gum arab

dapat mempertahankan flavor dari makanan yang dikeringkan dengan metode

spray drying karena gum ini dapat membentuk lapisan yang dapat melindungi

dari proses perubahan dekstruktif. Meski begitu gum arab memiliki kelemahan

yakni harganya yang cukup mahal dan ketersediaannya terbatas serta

ketahanan oksidasinya rendah. Untuk itu biasanya penggunaan gum arab

dicampur dengan dekstrin seperti maltodekstrin (Thevenet, 1988).

30

Page 31: oleorisin jahe

2. Maltodekstrin

Maltodekstrin (C6H12O5)n H2O didefinisikan sebagai produk hidrolisat

pati (polimer sakarida tidak manis) dengan panjang rantai rata-rata 5-10

unit/molekul glukosa. Maltodekstrin secara teori diproduksi dengan

menggunakan hidrolisis terkontrol melalui enzim (α-amilase) atau asam

(Kennedy et al.,1995).

Maltodekstrin tidak memiliki kemampuan sebenarnya dalam

emulsifikasi (lipofil atau hidrofil). Maltodekstrin tersusun dari unit glukosa,

dan tidak efektif untuk menstabilkan minyak atau flavor dalam larutan

berviskositas. Untuk itu biasanya maltodekstrin dikombinasi dengan bahan

seperti gum arab atau pati termodifikasi lainnya untuk keperluan stabilitas

emulsi (Kenyon dan Anderson, 1988). Menurut Bang dan Reinecius (1985),

maltodekstrin atau pati termodifikasi dengan DE (dekstrosa equivalen) yang

rendah (kurang dari 20) efektif untuk mikroenkapsulasi flavor.

Maltodekstrin adalah senyawa yang non-hygroscopic. Maltodekstrin

dapat larut dalam air dingin dengan sempurna sehingga dapat melepaskan

flavor secara cepat dalam penggunaannya pada aplikasi tertentu. Flavor dan

rasa manis pada maltodekstrin sangat rendah sehingga dapat cepat hilang

dalam penggunaannya. Maltodekstrin juga terjangkau dari segi biaya dan

mudah diperoleh (Kenyon dan Anderson, 1988).

3. Natrium Kaseinat

Natrium kaseinat (Na-Kas) salah satu contoh senyawa protein susu yang

merupakan bahan penyalut yang potensial. Natrium kaseinat dilaporkan

mempunyai stabilitas panas yang cukup baik (~140°C), bersifat tidak (sulit)

larut dalam air dan aman untuk digunakan sebagai produk pangan (Singh,

1995).

Ruis (2007) menyatakan, kemampuan fungsional natrium kaseinat atau

juga dikenal sebagai sodium kaseinat ini mencakup beberapa fungsi seperti

emulsifikasi, water-fat binding, agen pengeras, dan pengental (gelation).

Sebagai penstabil emulsi, natrium kaseinat dapat menurunkan tegangan

permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter ampifilik yang kuat

dari komponen utama kasein yakni αS1- dan β-kasein. Kasein tipe αS1- lebih

31

Page 32: oleorisin jahe

bersifat hidrofilik sehingga dapat mengikat komponen polar, sedangkan tipe

β-kasein lebih bersifat hidrofobik yang dapat mengikat komponen non-polar

(Swaisgood, 1982).

Banyak penelitian telah menelaah penggunaan natrium kaseinat sebagai

penyalut. Seperti pada penelitian minyak jeruk, retensi flavor yang diperoleh

cukup baik dengan kadar minyak pada permukaan yang rendah (Kim dan

Morr, 1996).

32

Page 33: oleorisin jahe

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN

1. Bahan

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jahe putih

kecil dari wilayah Jawa Barat dan tiga jenis bahan penyalut (gum arab,

maltodekstrin, dan natrium kaseinat). Bahan kimia yang digunakan meliputi

etanol sebagai pelarut ekstraksi oleoresin, dan pelarut untuk analisis (heksan,

toluen) dan bahan-bahan lainnya.

2. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray dryer Lab

Plant Sd 05 (Inggris), disc mill, rotary vacum evaporator (Buchi Rotavapor

R114), homogenizer (Brabender Kinematika, Switzerland), alat kromatografi

gas, SEM (Scanning Electron Microscope JSM-5310LV), alat distilasi

cleavenger, piknometer, timbangan analitik, peralatan gelas (gelas piala,

erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi), termometer, desikator, hot plate stirer,

dan peralatan lainnya untuk keperluan analisis.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu mulai April 2007

hingga Juli 2007 di Laboratorium Kimia Balai Penelitian dan Pengembangan

Pascapanen Pertanian Bogor.

C. TAHAPAN PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan. Masing-masing

tahapan dirancang untuk mencapai tujuan khusus yang diinginkan.

1. Ekstraksi oleoresin jahe

Tahap ini bertujuan untuk mengekstraksi oleoresin dari bahan baku

utama (jahe putih kecil). Metode ekstraksi mengadopsi metode ekstraksi

oleoresin Djubaedah (1986) dan Koswara (1995).

33

Page 34: oleorisin jahe

2. Penentuan komposisi bahan penyalut dan konsentrasi penyalut

Tahap ini bertujuan menentukan komposisi bahan penyalut dan

konsentrasi penyalut yang akan digunakan dalam tahapan penelitian

selanjutnya, yaitu tahap mikroenkapsulasi. Penetapan komposisi dan

konsentrasi penyalut dilakukan secara trial and error dengan beberapa

pertimbangan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan juga dari

pustaka mengenai sifat penyalut dan ketersediaannya. Penyalut yang

digunakan yaitu maltodekstrin, gum arab dan natrium kaseinat.

3. Penentuan kondisi spray drying

Tahap ini bertujuan menentukan kondisi pengeringan yang akan

digunakan pada penelitian pembuatan mikrokapsul. Variasi suhu inlet dan

laju alir umpan dipilih karena variasi kedua perlakuan tersebut

berdasarkan penelitian terdahulu memberikan pengaruh terhadap

karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan dan merupakan kondisi operasi

yang mudah dikendalikan. Percobaan dilakukan secara trial and error

dengan mencoba rentang suhu inlet dan laju alir umpan pada kisaran

tertentu.

4. Mikroenkapsulasi dengan variasi komposisi bahan penyalut

Tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi bahan

penyalut yang telah ditetapkan pada tahapan penelitian kedua terhadap

karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe yang dihasilkan. Metode

mikroenkapsulasi oleoresin jahe yang digunakan diadopsi dari beberapa

literatur seperti pada penelitian mikroenkapsulasi oleoresin kapulaga dan

lada hitam (Krishnan et al., 2005; Shaikh et al., 2006). Konsentrasi

penyalut yang digunakan adalah 20% (berdasarkan tahapan penelitian

kedua), dan konsentrasi bahan aktif (oleoresin) yang digunakan 10% (w/w

dari konsentrasi bahan penyalut).

34

Page 35: oleorisin jahe

5. Pengaruh kondisi pengeringan (spray drying) terhadap mikrokapsul

berkomposisi bahan penyalut terpilih

Tahap ini bertujuan mengetahui pengaruh kondisi pengeringan (spray

drying) terhadap karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe yang dihasilkan.

Variasi suhu inlet serta laju alir umpan yang digunakan adalah hasil

tahapan penelitian ketiga.

D. PROSEDUR PENELITIAN

Rincian prosedur adalah sebagai berikut:

1. Ekstraksi oleoresin jahe

Jahe segar yang telah disortasi, diiris 5-10 mm dan kemudian dicuci

bersih. Irisan jahe dikeringkan di oven pada suhu 50-60°C selama ±20 jam

sehingga kadar air jahe mencapai 8-10 %. Jahe kering digiling menjadi serbuk

yang berukuran 30-40 mesh. Selanjutnya serbuk jahe dicampurkan dengan

etanol dalam perbandingan 1:6 dan diaduk selama 2 jam. Campuran jahe dan

pelarut dimaserasi selama 24 jam dan dilanjutkan dengan pemisahan ampas

dan ekstrak. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya diuapkan dengan

menggunakan rotary vacum evaporator pada suhu 50–60°C. Penguapan

bertujuan memisahkan oleoresin dengan pelarut etanol. Analisis yang

dilakukan terhadap oleoresin meliputi rendemen oleoresin, bobot jenis, sisa

pelarut, dan kadar minyak atsiri. Diagram alir ekstraksi oleoresin dapat dilihat

pada Gambar 3.

35

Page 36: oleorisin jahe

Rimpang Jahe

Pengirisan (5-10 mm)

Pengeringan ±20jam (50-60°C)

Penggilingan (30-40 mesh)

Pengadukan (± 2jam) dan Maserasi (24jam)

Serbuk Jahe

Pemisahan Padatan dan Penguapan Pelarut

Etanol

Ampas Oleoresin

Gambar 3. Diagram alir ekstraksi oleoresin

2. Penentuan komposisi penyalut dan konsentrasi bahan penyalut

Komposisi penyalut ditentukan berdasarkan studi pustaka dan metode

trial and error. Gum arab yang biasanya digunakan pada enkapsulasi flavor

sebagai penyalut tunggal dikurangi proporsi penggunaannya. Maltodekstrin

yang memiliki ketahanan oksidasi yang baik dan dapat menurunkan viskositas

emulsi dikombinasikan dengan gum arab dengan proporsi penggunaan yang

lebih besar. Bahan penyalut ketiga yang dicoba dikombinasikan adalah

natrium kaseinat yang memiliki sifat emusifier yang tinggi. Dari pertimbangan

diatas diperoleh tiga komposisi yang akan digunakan pada tahapan penelitian

berikutnya yaitu (1) komposisi maltodekstrin-gum arab (2:1), (2) komposisi

maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0,5:0,5), dan (3) komposisi

maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1).

36

Page 37: oleorisin jahe

Konsentrasi bahan penyalut dapat ditentukan dengan mengukur

viskositas suspensi tiap bahan penyalut pada beberapa konsentrasi. Kemudian

masing-masing suspensi dikeringkan dengan alat spray dryer guna

mengetahui kemampuan spray dryer dalam memompa bahan penyalut ke

dalam sistem pengeringan. Hasil pengujian ini dihubungkan dengan viskositas

suspensi bahan penyalut sehingga dapat menjadi acuan kisaran viskositas

larutan yang masih aman untuk dipompakan ke spray dryer dan tidak

mempersulit proses atomisasi. Dari kisaran viskositas suspensi ini, maka

konsentrasi bahan penyalut dapat ditentukan dan disesuaikan dengan

komposisi bahan penyalut.

3. Penentuan kondisi spray drying

Kondisi spray drying ditentukan dengan cara menguji pengeringan

suspensi bahan penyalut tanpa bahan aktif di dalam spray dryer dengan

rentang suhu inlet 150-200°C dan laju alir umpan 15-20 ml/menit. Dari hasil

uji pengeringan ini diamati konsistensi produk yang dihasilkan dan kestabilan

aliran selama di spray dryer (kemudahan atomisasi). Kondisi pengeringan

yang menghasilkan konsistensi produk yang kering (tidak banyak loss) dan

aliran bahan yang stabil akan digunakan pada penelitian tahap berikutnya.

4. Mikroenkapsulasi dengan variasi komposisi bahan penyalut

Mikroenkapsulasi dengan metode spray drying terdiri dari tiga tahap,

yaitu persiapan bahan emulsi, homogenisasi bahan aktif, dan penyemprotan

emulsi ke dalam chamber (atomisasi massa pada tempat pengeringan)

(Dziezak, 1988). Pada tahapan persiapan emulsi, penyalut dilarutkan ke dalam

air dengan komposisi dan konsentrasi bahan penyalut sesuai hasil tahapan

penelitian kedua.

Tahapan berikutnya adalah homogenisasi bahan aktif. Oleoresin 10%

(w/w dari konsentrasi bahan penyalut) diemulsikan ke dalam masing-masing

komposisi bahan penyalut. Bahan penyalut dan bahan aktif (oleoresin)

dicampur hingga menjadi campuran homogen dengan alat homogenizer pada

kecepatan 6000 rpm selama ±30 menit (ukuran droplet emulsi 1-2 μm).

Emulsi tersebut lalu dikeringkan dengan spray dryer pada suhu inlet 170°C

37

Page 38: oleorisin jahe

dan laju alir umpan 15 ml/menit yang mana kondisi ini dipilih berdasarkan

penelitian tahapan ketiga. Komposisi yang menunjukkan karakteristik

mikrokapsul terbaik akan digunakan pada penelitian tahap selanjutnya.

Analisis yang dilakukan pada mikrokapsul meliputi surface oil (oleoresin

pada permukaan kapsul), total volatile oil (total minyak atsiri pada produk),

oil retention (perbandingan % minyak atsiri sebelum dienkapsulasi dan setelah

dienkapsulasi), kadar air dan nilai aw, struktur mikrokapsul dengan SEM serta

kelarutannya dalam air.

5. Pengaruh kondisi pengeringan (spray drying) terhadap mikrokapsul

berkomposisi bahan penyalut terpilih

Komposisi penyalut terpilih dari tahap 4 yang menunjukkan karakteristik

mikrokapsul terbaik akan digunakan pada pengamatan terhadap pengaruh

kondisi pengeringan spray dryer yang bervariasi, yakni variasi suhu inlet (160,

170, 180, dan 190°C) dan laju alir umpan (15 dan 20 ml/menit). Rentang suhu

inlet dan laju alir umpan yang digunakan sesuai hasil penelitian pendahuluan.

Diagram alir tahapan proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Analisis yang dilakukan pada mikrokapsul meliputi surface oil (oleoresin

pada permukaan kapsul), total volatile oil (total minyak atsiri pada produk),

oil retention (perbandingan % minyak atsiri sebelum dienkapsulasi dan setelah

dienkapsulasi), kadar air dan nilai aw, struktur mikrokapsul dengan SEM serta

kelarutannya dalam air.

38

Page 39: oleorisin jahe

Suspensi

Pencampuran

Pengeringan di Spray Dryer (Suhu Inlet 160, 170, 180 dan 190°C dan laju alir

umpan 15 dan 20 ml/menit)

Homogenisasi (30 menit, ± 6000 rpm)

Emulsi

Bubuk Kapsul

Komposisi Bahan Penyalut Terpilih Tahap 4

(konsentrasi 20% dalam larutan)

Oleoresin (10% dari konsentrasi bahan penyalut)

Aquades

Analisis mikrokapsul

Gambar 4. Diagram alir proses mikroenkapsulasi dengan variasi kondisi pengeringan.

E. RANCANGAN PERCOBAAN DAN ANALISIS DATA

Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial

dengan satu faktor (komposisi bahan penyalut) pada tahap mikroenkapsulasi

dengan variasi komposisi bahan penyalut dan dua faktor (suhu inlet dan laju

alir umpan) pada tahap mikroenkapsulasi dengan variasi kondisi spray drying

(suhu inlet dan laju alir umpan).

Faktor perlakuan komposisi penyalut terdiri dari tiga taraf. Faktor

perlakuan suhu inlet diragamkan dalam empat taraf, 160, 170, 180, dan 190°C,

39

Page 40: oleorisin jahe

seda

- i (i = 1,

kuan komposisi bahan penyalut

τi = han penyalut

pa efek acak dalam pengamatan ke-j utk taraf

Model un kelima:

ijk = μ + τi + βj + (βτ)ij + εijk

(k = 1, 2, .., n) untuk taraf ke - i (i = 1,

2, .., a) perlakuan A (suhu inlet) dan taraf ke - j (j = 1, 2)

μ =

τi = n A (suhu inlet)

ntuk perlakuan B (laju alir umpan)

k utk taraf

t) dan taraf ke - j perlakuan B

ngkan faktor perlakuan laju alir umpan diragamkan dalam dua taraf, 15

dan 20 ml/menit. Data hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan

grafik. Pengolahan data menggunakan bantuan software SPSS (2000) dan

Microsoft excel (XP, 2003).

Model untuk satu perlakuan pada tahapan penelitian keempat :

Yij = μ + τi + εij

Yijk = nilai pengamatan ke - j ( j = 1, 2, .., n) untuk taraf ke

2, .., a) perla

μ = rata-rata umum

efek taraf ke - i untuk perlakuan komposisi ba

εij = kekeliruan, beru

ke-i perlakuan komposisi bahan penyalut

tuk dua perlakuan pada tahapan penelitian

Y

Yijk = nilai pengamatan ke - k

perlakuan B (laju alir umpan)

rata-rata umum

efek taraf ke - i untuk perlakua

βj = efek taraf ke - j u

(βτ)ij = efek interaksi antara τi dan βj

εijk = kekeliruan, berupa efek acak dalam pengamatan ke -

ke - i perlakuan A (suhu inle

(laju alir umpan)

40

Page 41: oleorisin jahe

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

. Ekstraksi Oleoresin Jahe

Ekstraksi oleoresin jahe yang dilakukan merujuk pada penelitian

ara (1995). Oleoresin jahe yang dihasilkan pada

pene

Karakteristik Oleoresin

A

Djubaedah (1986) dan Kosw

litian ini memiliki karakteristik seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik oleoresin jahe

Parameter Analisis

nelitian Pustaka Hasil Pe

P cairan ken erwarna coklat gelap a

enampakan tal coklat cairan kental bhingga coklat tua

Aroma bau dan flavor seperti khas jahe, sangat kuat jahe a

Rendemen 16,06 % 3,5-10 % b

Kadar sisa pelarut 1,74 % 30 ppm atau 0,003% c

Kadar minyak atsiri 27,1% (v/w) atau 23,8% (w/w)

18-35% (v/w) a

Bobot Jenis 1,0486 1,026-1,045 d

S 243 da al., 19 uliani et al., 199 DA dalam Pruthi, 19

iki penampakan berupa cairan kental

dari dua lapisan yakni minyak dan resin atau zat

pada

etas, kondisi dan ukuran

umber : a (EOA No. lam Purseglove et 1)

81) b (Y

c (F 80) d (Koswara, 1995)

Oleoresin yang diperoleh memil

berwarna coklat tua dan terdiri

t. Aroma dari oleoresin ini sangat kuat dan khas jahe. Rendemen yang

diperoleh dapat dikategorikan tinggi yakni 16,06 %. Nilai ini lebih tinggi dari

pada rendemen oleoresin Yuliani et al. (1991) dan juga lebih tinggi dari pada

rendemen oleoresin yang umumnya diekstraksi menggunakan pelarut etanol

yakni berkisar 5-11% terhadap bahan awal kering (Koswara, 1995). Namun

demikian pada penelitian Lestari (2006) dengan menggunakan metode yang

sama, dapat menghasilkan rendemen sebesar 20,1%.

Menurut Pruthi (1980), ada beberapa faktor yang mempengaruhi

rendemen dan mutu oleoresin yaitu meliputi vari

41

Page 42: oleorisin jahe

serbu

%. Menurut Anton (2001) pelarut harus dihilangkan

deng

enurut Arsyad (2001)

meru

ut, maka ekstraksi oleoresin

dapa

berada pada rentang standar EOA. Apabila dibandingkan

deng

k, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi dan proses penguapan pelarut. Jahe

emprit yang digunakan dalam penelitian ini berusia tua (berkisar 8-9 bulan)

sehingga kandungan kadar atsirinya tinggi dan memungkinkan diperoleh

rendemen yang tinggi.

Rendemen yang tinggi juga berkaitan dengan nilai residu atau sisa pelarut

yang tinggi yakni 1,74

an sisa residu ± 0,1 % dan dengan pertimbangan yaitu tidak bersifat

memabukkan dan kandungan maksimal 1% (untuk bahan pangan). Nilai residu

pelarut yang terdapat pada oleoresin ini memang belum memenuhi standar

mutu seperti yang terlihat pada Tabel 4. Hal ini dapat terjadi karena proses

pemisahan pelarut yang dilakukan kurang sempurna.

Pemisahan yang kurang sempurna dikarenakan sulitnya menghilangkan

titik aziotropik pelarut. Campuran aziotropik m

pakan campuran zat cair dan gas tertentu dengan perbandingan tertentu

sehingga selama distilasi titik didihnya tetap. Komposisi fase uapnya sama

dengan fase cair dan menyebabkan komposisi uapnya tidak berubah meski

dalam keadaan mendidih. Campuran ini dapat dipisahkan secara penyulingan

dengan memberi larutan ketiga, adsorpsi atau dengan pengkristalan bertingkat.

Pemakaian suhu pemisahan yang lebih tinggi dari pada titik didih pelarut dapat

memisahkan pelarut yang lebih banyak namun tidak dapat dihindari akan

terjadinya kehilangan atsiri yang lebih besar pula.

Somaatmaja (1981) juga menyarankan bahwa untuk mengurangi

kehilangan minyak atsiri selama pengambilan pelar

t dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penyulingan minyak atsiri, kemudian

dilanjutkan dengan ekstraksi oleoresin terhadap sisa penyulingan, dan

mencampurkan kembali minyak atsiri dan resin yang sudah terbebas dari

pelarut organik.

Kadar minyak atsiri pada oleoresin yang diperoleh pada penelitian ini

27,1%. Nilai ini

an kadar atsiri oleoresin komersial di pasaran 25-30% (Koswara,1995),

nilai kadar atsiri oleoresin yang diperoleh juga masih memenuhi standar.

Kehilangan minyak atsiri sebenarnya dapat terjadi sejak saat bahan baku

42

Page 43: oleorisin jahe

dipersiapkan. Titik kritis kehilangan atsiri pada persiapan bahan baku yakni

saat perajangan, pengeringan jahe, dan proses penggilingan jahe kering.

Bobot jenis oleoresin yang dihasilkan adalah sebesar 1,0486. Nilai ini

lebih tinggi dari pada nilai bobot jenis yang dihasilkan oleh penelitian-

pene

B. Penentuan Komposisi Bahan Penyalut dan Konsentrasi Bahan Penyalut

Menurut Young et al. (1993), bahan-bahan penyalut yang digunakan

i

kem

atrium kaseinat. Komposisi bahan penyalut

diten

enggunaan gum arab di dalam komposisi penyalut lebih besar dari

pada

a penentuan konsentrasi bahan penyalut

litian sebelumnya yaitu berkisar antara 1,026-1,045 (pada Tabel 4). Nilai

bobot jenis suatu oleoresin ditentukan oleh komposisi kimia penyusun oleoresin

tersebut. Semakin tinggi kadar komponen fraksi berat dalam suatu oleoresin

maka bobot jenisnya akan semakin tinggi (Ketaren, 1980).

dalam spray drying harus memiliki kelarutan yang tinggi dan memilik

ampuan membentuk emulsi. Selain itu, bahan penyalut juga harus dapat

membentuk lapisan film dan menghasilkan larutan dalam konsentrasi yang

tinggi dengan viskositas rendah.

Bahan penyalut yang digunakan pada penelitian ini ada tiga jenis yaitu

gum arab, maltodekstrin, dan n

tukan berdasarkan sifat dari bahan penyalut dan ketersediaannya. Gum

arab dapat menghasilkan mikrokapsul yang memiliki retensi tinggi namun

ketahanan oksidasi rendah. Oleh karena itu penggunaan gum arab dapat

dikombinasikan dengan maltodekstrin yang memiliki ketahanan oksidasi yang

tinggi. Kendala lain adalah harga gum arab yang mahal dan ketersediaannya

terbatas.

Pada penelitian sebelumnya seperti pada penelitian Thevenet (1988),

proporsi p

proporsi maltodekstrin. Oleh karena itu, pada penelitian ini diujikan

komposisi penyalut dengan proporsi penggunaan maltodekstrin yang lebih

besar dari pada proporsi gum arab. Penelitian ini juga mencoba menggunakan

natrium kaseinat yang dikenal memiliki sifat emulsifier sebagai pengganti

peran gum arab yang juga dikenal baik sebagai pengemulsi. Komposisi

penyalut dapat dilihat pada Tabel 4.

Hal lain yang perlu ditentukan adalah konsentrasi bahan penyalut.

Reineccius (2004) menyatakan bahw

43

Page 44: oleorisin jahe

44

16 26.4 47.2141.2

3873.2

181.6

738

201.6

0

100

200

300400

500

600

700

800

9001000

10 20 30 40

Konsentrasi penyalut (%)

sVi

kosi

tas

(cps

)

Natrium kaseinat

Gum Arab

Maltodekstrin

yang

gal bahan penyalut.

Hasi

ditentukan. Kenyon

dan

Gambar 5. Hubungan antara viskositas bahan penyalut dengan konsentrasi penyalut dalam larutan

tepat sangat penting untuk memberikan perlindungan bahan aktif secara

efektif. Dijelaskan pula bahwa meningkatnya konsentrasi penyalut dalam

larutan akan meningkatkan retensi bahan aktif (flavor) karena dapat

mempercepat terbentuknya kulit atau pengerasan film yang melingkupi droplet

bahan aktif. Namun demikian ada titik optimum dimana konsentrasi bahan

penyalut akan menurunkan retensi dan menghambat proses pengeringan pada

spray dryer. Pemilihan konsentrasi bahan penyalut sebaiknya disesuaikan

dengan kemampuan operasi spray dryer yang digunakan.

Untuk mendapatkan konsentrasi bahan penyalut yang sesuai, maka pada

tahap awal dilakukan pengujian viskositas larutan tung

l penelitian menunjukkan bahwa larutan maltodekstrin memiliki viskositas

terendah dibandingkan larutan bahan penyalut lainnya pada konsentrasi yang

sama. Hal ini dapat diamati pada Gambar 5. Pada konsentrasi 10%,

maltodekstrin memiliki viskositas 16,0 cps sedangkan gum arab memiliki

viskositas yang lebih tinggi (38,0 cps). Viskositas tertinggi dimiliki oleh larutan

natrium kaseinat (201,6 cps) pada konsentrasi 10% (w/w).

Hasil tersebut yang turut mendasari pemilihan maltodekstrin sebagai basis

terbesar di dalam larutan komposisi penyalut yang telah

Anderson (1988) menyatakan bahwa maltodekstrin dapat larut dalam air

dingin dengan sempurna sehingga dapat melepaskan flavor secara cepat dalam

penggunaannya pada aplikasi tertentu.

Page 45: oleorisin jahe

Selanjutnya, larutan tunggal bahan penyalut yang telah diukur

visko

tajam dengan peningkatan

kons

jian viskositas larutan tunggal bahan penyalut ini dihubungkan

pula

suspensi penyalut.

sitasnya dikeringkan dengan spray dryer. Berdasarkan pengujian

kemampuan dan kelancaran pemompaan aliran bahan khususnya dengan

melihat kelancaran dan kemudahan proses atomisasi di spray dryer, dapat

diketahui bahwa larutan maltodekstrin yang berviskositas lebih rendah lebih

mudah dipompakan ke dalam spray dryer dan alirannya lebih stabil

dibandingkan larutan natrium kaseinat dan gum arab. Larutan maltodekstrin

40% (141,2 cps) masih dapat dipompakan meskipun tidak selancar larutan

maltodekstrin yang konsentrasinya lebih rendah.

Viskositas larutan gum arab meningkat

entrasi. Hal ini menyebabkan pemompaan larutan cenderung menjadi lebih

sulit dengan peningkatan konsentrasi. Larutan gum arab 30% (181,6 cps) sudah

sangat kental dan sulit untuk dipompakan ke dalam spray dryer. Demikian pula

halnya dengan larutan natrium kaseinat 10% (201,6 cps). Viskositas yang

terlalu tinggi pada larutan dapat menyebabkan kerusakan pada nozzle dan

menghambat proses atomisasi sehingga dapat terjadi ketidakstabilan pada aliran

di dalam spray dryer. Oleh sebab itu, berdasarkan hubungan viskositas dengan

kestabilan aliran di dalam spray dryer maka rentang aman viskositas larutan

yang dapat dipompakan adalah kurang dari 141,2 cps (viskositas larutan 40%

maltodekstrin).

Hasil pengu

dengan komposisi bahan penyalut yang akan digunakan pada penelitian

tahap selanjutnya (proses mikroenkapsulasi). Adanya natrium kaseinat dalam

larutan akan meningkatkan viskositas yang lebih tajam dibandingkan penyalut

lainnya. Komposisi penyalut maltodekstrin-natrium kasienat (MSc:2:1)

diprediksi memiliki viskositas tertinggi. Oleh sebab itu, konsentrasi bahan

penyalut dicoba 20% (w/w) dijadikan basis pada tahapan penelitian

mikroenkapsulasi. Pada konsentrasi penyalut 20 %, komposisi MSc memiliki

viskositas tertinggi (101,6 cps). Nilai ini masih dalam rentang aman (kurang

dari 141,2 cps) sehingga diduga sesuai dengan kemampuan spray dryer yang

digunakan. Tabel 4 menyajikan komposisi bahan penyalut dan viskositas

45

Page 46: oleorisin jahe

Tabel 4. Komposisi bahan penyalut* dan Viskositasnya

Kode Gum Arab

Maltodekstrin Natrium Kaseinat

Viskositas (cps)

MG 1 2 0 64,0

MSc 0 2 1 101,6

MGSc 0.5 2 0.5 68,8

Ket: MG = Maltodekstrin-gum arab MGSc = Maltodekstrin-gum arab-natrium seinat c = ltodekstrin trium kaseinat *Komposisi dinyatakan dalam perbandingan berat

C

let dan laju alir umpan

merujuk pada beberapa penelitian terdahulu (Hogan et al., 2001; Krishnan et

an juga berdasarkan pada pengujian spray

dryer

yang lengket pada bagian dinding

°

ka MS Ma -na

. Penentuan Kondisi Spray Drying

Penentuan kondisi spray drying yang berupa suhu in

al., 2005; Rennecius et al., 1988) d

terhadap larutan penyalut tanpa bahan aktif (dapat dilihat pada Tabel 6).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada suhu 160°C dengan laju alir 15

atau 20 ml/menit, produk yang dihasilkan memiliki konsistensi yang kering

walaupun masih ada larutan yang hilang atau tidak teruapkan (loss) dan produk

chamber. Berbeda dengan hasil dari kondisi

pengeringan pada suhu 170°C laju alir 15 ml/menit yang mana hasilnya lebih

kering dan aliran bahan lebih stabil. Kondisi ini (suhu 170°C laju alir 15

ml/menit) digunakan pada tahapan penelitian mikroenkapsulasi variasi

komposisi bahan penyalut dan suhu 160-190 C dengan laju alir 15 dan 20

ml/menit digunakan pada tahapan mikroenkapsulasi dengan variasi kondisi

pengeringan (spray drying). Hasil tahapan ini disajikan pada Tabel 5.

46

Page 47: oleorisin jahe

Tabel 5. Hasil pengujian larutan bahan penyalut pada beberapa kondisi spray drying

Inlet Umpan 20 ml/menit

Suhu Laju Alir Umpan

15 ml/menit Laju Alir Keterangan

(°C) 150 agak basah, lengket agak basah, kisaran suhu keluaran masih

sangat rendah, pengeringan lengket tidak optimal, (60-70°C)

160 kering, masih ada yang lengket ,

kering, ada bagian yang lengket

kisaran suhu keluaran masih berada pada rentang standar(75-85°C)

170 kering, pengeringan sudah cukup baik dari segi fisik produk dan kestabilan aliran (95-100°C)

kering, bagian yang melekat didinding tidak banyak, (85-100°C)

180 kering elekat di dinding tidak banyak,

kering bagian yang m

(85-105°C) 190 kering kering bagian yang melekat di

banyak, dinding tidak(90-115°C)

200 kering kering suhu pengeringan yang terdapat tinggi, sudah

produk yang berubah wasuhu keluaran tinggi (11125°C)

rna, 0-

D. Mikroenkapsulasi Dengan Variasi Komposisi Bahan Penyalut

Pada tahapan penelitian ini akan dipelajari mikroenkapsulasi oleoresin

terha

jahe dengan menggunakan tiga komposisi bahan penyalut dan pengaruhnya

dap karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan. Komposisi bahan penyalut

yang digunakan sesuai dengan hasil tahapan penelitian kedua, yaitu komposisi

maltodekstrin-gum (MG:2:1), maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat

(MGSc:2:0.5:0.5) dan maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1) dengan

konsentrasi bahan penyalut 20%. Konsentrasi bahan aktif yang diemulsikan

10% (dari konsentrasi bahan penyalut) dan emulsi dikeringkan pada kondisi

spray drying, suhu inlet 170°C dan laju alir umpan 15 ml/menit. Penampakan

47

Page 48: oleorisin jahe

warna mikrokapsul secara visual bervariasi dari kuning-hingga kuning muda,

dapat dilihat pada Lampiran 3.

1. Total Volatile Oil dan Oil Retention

Total volatile oil atau total kadar minyak atsiri adalah total jumlah dari

minyak atsiri yang terdapat di mikrokapsul (baik di dalam maupun yang

melekat dipermukaan). Total volatile oil yang dihasilkan dari mikrokapsul pada

tahapan penelitian ini bervariasi untuk setiap komposisi bahan penyalut. Total

kadar minyak atsiri tertinggi dihasilkan mikrokapsul MSc (2,19%), sedangkan

mikrokapsul MGSc menghasilkan total kadar minyak atsiri 1,93% dan

mikrokapsul yang menghasilkan kadar atsiri terendah adalah mikrokapsul MG

(1,75%). Hasil total kadar minyak atsiri mikrokapsul jika dibandingkan dengan

total kadar minyak atsiri bahan aktif semula menunjukkan nilai retensi bahan

aktif (oil retention). Pada Gambar 6 terlihat variasi total kadar minyak atsiri

dan oil retention mikrokapsul.

MG : maltodekstrin-gum arab (2:1)

Oil Retention (%)

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

MG MGSc MSc

Komposisi Penyalut

Tota

l Vol

atile

oil

(%)

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1 2 3

Oil

Ret

entio

n (%

)

MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) Total Volatile Oil (%) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)

Gambar 6. Total volatile oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

48

Page 49: oleorisin jahe

Dari hasil analisis ragam terhadap total kadar minyak atsiri (pada

Lampiran 9), diketahui adanya pengaruh yang nyata dari variasi komposisi

bahan penyalut pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan

memperlihatkan bahwa total kadar minyak atsiri mikrokapsul berbeda nyata

satu sama lain. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan

kemampuan bahan penyalut dalam melindungi bahan aktif dan

mempertahankannya.

Mikrokapsul MSc memiliki total kadar minyak atsiri yang tertinggi. Ini

berkaitan dengan kemampuan natrium kaseinat sebagai penstabil emulsi

minyak dalam air yang sangat baik. Natrium kaseinat dapat menurunkan

tegangan permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter ampifilic

yang kuat dari komponen utama kasein yakni αS1-Kasein (lebih hidrofilik)

dan β-Kasein (lebih hidrofobik) (Ruis, 2007) sehingga minyak yang

terdispersi di dalam larutan bahan penyalut akan teremulsi dengan lebih baik

dan kehilangan minyak selama proses pengemulsian maupun proses

pengeringan dapat diminimalkan. Hasil penelitian terdahulu juga

menunjukkan bahwa bahan penyalut dari jenis protein maupun kombinasi

protein dengan polisakarida adalah lebih efektif sebagai bahan penyalut. (Kim

dan Morr, 1996; Moreau dan Rosenberg, 1996; Lien et al., 1995).

Menurut Zhao dan Whistler (1994), pati dapat berinteraksi dengan

komponen-komponen lain seperti protein membentuk granula (sphere) dalam

proses spray drying. Granula ini dapat membawa sejumlah komponen bahan

pangan seperti minyak dan flavor dan dapat mengontrol pelepasannya dari

struktur poros granula.

Komposisi bahan penyalut maltodekstrin-gum arab tidak seefektif kedua

komposisi penyalut lainnya dalam mengemulsikan minyak (bahan aktif) di

dalam larutan bahan penyalut. Kemampuan emulsifkasi gum arab yang hanya

memiliki kandungan protein 2% (Anderson et al., 1985) tidak sebaik

kemampuan emulsifikasi protein susu seperti natrium kaseinat. Emulsi minyak

(bahan aktif) dalam larutan yang tidak stabil sangat rentan akan kehilangan

bahan aktif selama proses homogenisasi dan proses pengeringan.

49

Page 50: oleorisin jahe

Berdasarkan hasil total kadar minyak atsiri, oil retention tertinggi dimiliki

mikrokapsul MSc (92,17%), bahan aktif yang hilang selama proses pada

mikrokapsul MSc hanya 7,83%, sedangkan pada mikrokapsul yang komposisi

maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (MGSc) kehilangan bahan aktif

mencapai 19%. Kehilangan terbesar dimiliki oleh mikrokapsul berbahan

penyalut maltodekstrim-gum (MG) yang mencapai lebih dari 25%. Kehilangan

bahan aktif dapat terjadi saat pengeringan di spray dryer berlangsung. Sifat

emulsi yang tidak sempurna dapat menyebabkan bahan aktif tidak tersaluti

dengan baik sehingga mudah menguap selama proses pengeringan.

2. Surface Oil Mikrokapsul

Persentase Surface oil pada penelitian ini merupakan parameter yang

menunjukkan besarnya oleoresin yang tidak terkapsulkan atau yang melekat di

permukaan kapsul. Nilai surface oil ini sangat penting diketahui untuk melihat

seberapa efisien dan efektif bahan aktif dapat tersalutkan di dalam kapsul.

Surface oil akan lebih mudah mengalami kerusakan dan teroksidasi sehingga

dapat menurunkan kualitas bahan aktif yang disalut. Gambar 7 menyajikan

hasil analisis surface oil dari mikrokapsul yang memiliki komposisi bahan

penyalut yang berbeda-beda.

50

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

MG MGSC MSC

Kom

MG : maltodekstrin-gum arab (2:1) MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)

pos isi Penyalut

Sur

face

oil

(%)

Gambar 7. Surface oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

Page 51: oleorisin jahe

Berdasarkan grafik dapat diamati bahwa mikrokapsul MSc memiliki

persentase surface oil terendah (0,1522%). Sebaliknya mikrokapsul MG

memiliki surface oil tertinggi (0,5463%) dan nilai ini juga lebih tinggi

dibandingkan dengan nilai surface oil mikrokapsul MGSc (0,2746%). Semakin

tinggi nilai surface oil semakin rentan akan kerusakan dan akan dapat

menurunkan kualitas bahan aktif yang disalutkan.

Dari hasil analisis ragam terhadap nilai surface oil diketahui bahwa

komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat

kepercayaan 95%. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 6. Uji

lanjut Duncan menunjukkan adanya perbedaan nyata antara surface oil

mikrokapsul MSc dengan MGSc dan MG.

Beberapa hal yang mempengaruhi jumlah minyak yang terkapsul

diantaranya adalah kemampuan bahan penyalut, bahan pengemulsi dan kondisi

pengeringan (Thies, 1996). Komposisi bahan penyalut maltodekstrin-natrium

kaseinat (MSC:2:1) menghasilkan produk yang memiliki nilai surface oil

terendah. Sama halnya dengan penyebab tingginya total volatile oil, rendahnya

nilai surface oil ini juga dapat disebabkan karena kemampuan natrium kaseinat

sebagai emulsifier dan penstabil emulsi yang sangat baik.

Menurut Vega dan Ross (2006), natrium kaseinat menunjukkan

kemampuan surface active yang superior atau sangat baik. Sifat emusi natrium

kaseinat (seperti yang telah dikemukakan di parameter sebelumnya)

berhubungan erat dengan adanya gugus αS1-Kasein yang lebih bersifat

hidrofilik yang dapat berikatan dengan air yang polar. Sebaliknya gugus β-

Kasein yang bersifat hidrofobik akan mengikat bagian yang non-polar.

Pada penelitian ini terlihat emulsi oleoresin di dalam suspensi bahan

penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat lebih stabil dibandingkan dengan

emulsi oleoresin di dalam komposisi lainnya. Saat oleoresin dihomogenkan ke

dalam larutan bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat, oleoresin dapat

teremulsikan dengan sempurna lebih cepat dari pada komposisi lainnya.

Kemampuan bahan penyalut mengemulsi bahan aktif dengan lebih baik akan

lebih efektif dalam menjaga dan mempertahankan bahan aktif sehingga minyak

dan resin yang melekat dipermukaan dapat diminimalkan.

51

Page 52: oleorisin jahe

Beberapa literatur juga menunjukkan kemampuan natrium kaseinat

sebagai bahan penyalut sekaligus emulsifier. Pada penelitian minyak jeruk,

retensi flavor yang diperoleh cukup baik dengan kadar minyak pada permukaan

yang rendah (Kim dan Morr, 1996). Sementara itu Lien et al. (1995) juga

melaporkan penggunaan natrium kaseinat bersama dengan gelatin dan

maltodekstrin sebagai bahan penyalut menghasilkan efisiensi mikroenkapsulasi

yang tinggi.

Komposisi maltodekstrin dan gum arab tidak efektif mempertahankan

minyak dan resin di dalam kapsul dengan tingginya persentase Surface oil yang

diperoleh (0,5463%). Banyak penelitian sebelumnya menyatakan keefektifan

gum arab sebagai bahan penyalut dalam mempertahankan minyak di dalam

kapsul (Krishnan et al., 2005; Shaikh et al., 2006). Hal ini disebabkan adanya

2% protein penyusun gum arab yang memiliki kemampuan emulsifikasi

(Anderson et al., 1985). Namun demikian kemampuan emulsifier yang dimiliki

gum arab tidak sebaik natrium kaseinat. Saat oleoresin didispersikan ke dalam

larutan bahan penyalut maltodekstrin-gum arab, emulsi tidak dapat terbentuk

sempurna dengan cepat dan cenderung tidak stabil. Hal ini mengakibatkan

bahan penyalut tidak dapat mempertahankan kestabilan minyak dan resin di

dalam kapsul dan pelepasan bahan aktif lebih mudah terjadi.

3. Aktivitas air (aw) mikrokapsul

Nilai aw menunjukkan derajat keberadaan air pada produk saat kelembaban

relatif equilibrium/jenuh. Pada produk pertanian dan pangan, nilai aw menjadi

salah satu parameter kestabilan produk terhadap kerusakan akibat mikroba

selama proses penyimpanan. Menurut Labuza et al (1970), stabilitas produk

akan optimal pada rentang aw 0,2-0,3.

Pada mikrokapsul, nilai aw juga mempengaruhi pelepasan flavor. Menurut

Whorton dan Reinecius (1995), nilai aw yang tinggi akan menyebabkan

molekul-molekul air yang berada di sekitar produk flavor terenkapsulasi

berpenetrasi ke dalam partikel-partikel matriks. Produk flavor terenkapsulasi

mengalami hidrasi dan pelepasan flavor atau bahan aktif akan lebih mudah

terjadi.

52

Page 53: oleorisin jahe

Nilai aw mikrokapsul yang dihasilkan dari tiap-tiap jenis komposisi

penyalut menunjukkan data yang bervariasi. Variasi nilai aw disajikan pada

Gambar 8. Nilai aw tertinggi adalah mikrokapsul MGSc (0,377). Mikrokapsul

MG nilai aw-nya relatif lebih rendah (0,361) sedangkan mikrokapsul MSc

memiliki nilai aw terendah (0,313).

53

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0.30

0.35

0.40

0.45

MG MGSc MSc

Komposisi Penyalut

Nila

i aw

MG : maltodekstrin-gum arab (2:1) MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)

Gambar 8. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

Analisis ragam menunjukkan bahwa komposisi bahan penyalut

berpengaruh nyata terhadap nilai aw pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut

Duncan juga memperlihatkan bahwa aw mikrokapsul MSc:2:1 berbeda nyata

dengan kedua komposisi bahan penyalut lainnya. Disisi lain, dari uji lanjut

diketahui pula bahwa tidak adanya perbedaan nyata antara nilai aw mikrokapsul

MGSc dan MG.

Nilai aw yang rendah dari mikrokapsul berbahan penyalut maltodekstrin-

natrium kaseinat akan lebih stabil menjaga bahan aktif di dalam kapsul selama

penyimpanan dibandingkan dengan produk berbahan penyalut MG dan MGSc.

Ini sesuai dengan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tingginya nilai

aw dapat memacu terjadinya “reenkapsulasi” atau pelepasan flavor yang tidak

diinginkan selama penyimpanan.

Page 54: oleorisin jahe

4. Kadar Air Mikrokapsul

Kadar air menjadi salah satu parameter utama yang menentukan kualitas

produk kering seperti pada mikrokapsul yang berbentuk kering. Kadar air yang

rendah dapat mencegah tumbuhnya bakteri atau jamur yang dapat

menyebabkan kerusakan produk. Hasil pengukuran kadar air pada ketiga

komposisi bahan penyalut dapat dilihat pada Gambar 9.

54

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

MG MGSc MSc

Kompo

MG : maltodekstrin-gum arab (2:1) MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)

si si Penyalut

Kada

r air

(%)

Gambar 9. Kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

Dari gambar 9 dapat dilihat bahwa mikrokapsul MSc memiliki kadar air

terendah. Kadar air tertinggi dimiliki oleh mikrokapsul MGSc (2,55 %) dan

diikuti mikrokapsul MG (2,30%). Berdasarkan uji ragam yang dilakukan,

komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air

mikrokapsul pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan menunjukkan

kadar air mikrokapsul MSc berbeda nyata dengan kadar air mikrokapsul MGSc

dan mikrokapsul MG. Sebaliknya kadar air mikrokapsul MGSc tidak berbeda

nyata dengan mikrokapsul MG.

Kadar air yang rendah pada mikrokapsul MSc berhubungan dengan

tingkat viskositas larutan bahan penyalut MSc yang lebih tinggi dari pada

viskositas dua komposisi bahan penyalut lainnya. Dengan viskositas larutan

yang tinggi, aliran bahan saat pengeringan di dalam spray dryer (kondisi laju

alir dan suhu inlet spray dryer yang konstan) akan menjadi lebih lambat dan

Page 55: oleorisin jahe

kontak bahan dengan udara pengering akan lebih lama sehingga air yang

diuapkan akan lebih banyak.

Viskositas larutan mikrokapsul komposisi maltodekstrin-gum arab (MG)

dan larutan mikrokapsul dengan komposisi maltodekstrin-gum arab-natrium

kaseinat (MGSc) relatif sama besarnya namun lebih rendah daripada viskositas

larutan bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1). Kontak

bahan dengan udara kering di spray dryer berjalan lebih singkat pada

komposisi penyalut yang viskositasnya rendah, sehingga pengeringan tidak

seoptimal pada MSc. Uji lanjut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang

nyata antara kadar air mikrokapsul MG dan MGSc.

5. Kelarutan Dalam Air

Flavor yang dienkapsulasi sangat efektif digunakan dalam makanan

olahan, proses pengisian, pencampuran kering, permen, makanan formula,

bumbu-bumbuan, makanan penutup (desert), produk-produk susu dan lain-lain

(Koswara, 1995). Penggunaannya pada beberapa aplikasi tersebut

membutuhkan suatu kemampuan melepas bahan aktif yang baik, sehingga

mikrokapsul yang dihasilkan sebaiknya memiliki kelarutan dalam pelarut yang

baik. Dalam hal ini pelarut yang banyak digunakan dalam apliksi industri

adalah air.

Hasil penelitian terhadap nilai kelarutan dalam air mikrokapsul disajikan

pada Gambar 10. Uji ragam menunjukkan adanya pengaruh yang nyata yang

diberikan oleh ketiga komposisi bahan penyalut terhadap nilai kelarutan dalam

air pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut menunjukkan bahwa ketiga

komposisi penyalut berbeda nyata terhadap nilai kelarutan dalam air. Hasil uji

ragam dan uji lanjut disajikan pada Lampiran 11.

55

Page 56: oleorisin jahe

85

87

89

91

93

95

97

MG MGSC MSc

Kel

arut

an D

alam

Air

(%)

MG : maltodekstrin-gum arab (2:1) MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)

Gambar 10. Nilai kelarutan dalam air dari variasi komposisi penyalut

Nilai kelarutan tertinggi adalah mikrokapsul MG (95,80%), sedangkan

mikrokapsul MGSc memiliki nilai kelarutan dalam air sebesar 94,77%.

Kelarutan dalam air terendah dihasilkan oleh mikrokapsul MSc (94,16%).

Maltodekstrin dapat larut dalam air dingin dengan sempurna sehingga

dapat melepaskan flavor secara cepat dalam penggunaannya pada aplikasi

tertentu (Kenyon et al., 1988). BeMiller dan Whistler (1996), menerangkan

bahwa gum arab juga memiliki kelarutan yang tinggi di dalam air sehingga

kombinasi keduanya dapat menghasilkan produk mikrokapsul yang nilai

kelarutan dalam airnya tinggi.

Sebaliknya Singh (1995) mengatakan bahwa natrium kaseinat tidak

memiliki nilai kelarutan yang tinggi seperti dua bahan penyalut lainnya. Namun

dengan mengkombinasikan natrium kaseinat dengan maltodekstrin yang dapat

larut sempurna dalam air maka nilai kelarutan produk dalam air akan menjadi

lebih tinggi. Dapat dilihat bahwa tingkat kelarutan mikrokapsul yang berbahan

penyalut kombinasi natrium kaseinat dengan maltodekstrin bernilai tinggi

mencapai lebih dari 90%. Mikrokapsul yang tingkat kelarutannya tidak tinggi

biasanya dapat diaplikasikan pada produk yang menggunakan pemanasan yang

tinggi dalam prosesnya seperti produk baking atau produk yang dalam

prosesnya membutuhkan pengadukan yang kontinyu.

56

Page 57: oleorisin jahe

Berdasarkan penelitian tahap ini, komposisi bahan penyalut yang efektif

dalam melindungi bahan aktif (oleoresin jahe) adalah kombinasi protein

(natrium kaseinat) dan polisakarida (maltodekstrin) dengan perbandingan 2:1

(MSc). Mikrokapsul yang dihasilkan memiliki nilai surface oil terendah dan

total kadar minyak atsiri serta oil retention tertinggi dibandingkan dengan

mikrokapsul dengan komposisi lainnya yakni MG dan MGSc. Nilai aw dan

kadar air yang diamati juga menunjukkan hasil yang paling baik. Hasil ini juga

menunjukkan kemampuan natrium kaseinat sebagai bahan penyalut cukup

efektif dan mampu menggantikan peran gum arab sebagai bahan penyalut pada

proses enkapsulasi dengan mengkombinasikannya bersama maltodekstrin.

E. Pengaruh Kondisi Pengeringan Terhadap Mikrokapsul Komposisi Bahan

Penyalut Terpilih (Maltodekstrin-Natrium Kaseinat:2:1)

Thies 1996 menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi

jumlah minyak yang terkapsul adalah kondisi pengeringan. Ketidaksesuaian

antara kondisi pengeringan dengan stabilitas bahan penyalut dapat

menyebabkan kerusakan struktur fisik mikrokapsul dan mempengaruhi kualitas

bahan aktif. Oleh karena itu, pada penelitian tahap kedua ini, perlakuan yang

akan diujikan pada komposisi MSc (maltodekstrin-natrium kaseinat) adalah

variasi kondisi pengeringan mencakup laju alir umpan dan suhu inlet. Variasi

suhu inlet dan laju alir umpan ditentukan berdasarkan penelitian-penelitian

sebelumnya dan penelitian pendahuluan yang hasil uji awalnya dapat dilihat

pada Tabel 6. Rentang suhu inlet 160-190°C dan laju alir umpan 15 dan 20

ml/menit dipilih karena pada kondisi tersebut kondisi fisik produk dan kondisi

operasi pengeringan cukup baik dan stabil. Penampakan warna mikrokapsul

secara visual yakni kuning hingga kuning muda (Lampiran 3).

57

Page 58: oleorisin jahe

1. Total Volatile Oil Dan Oil Retention

Dari Tabel 6 dapat diamati bahwa nilai total volatile oil mikrokapsul

2.19% untuk semua taraf perlakuan suhu inlet dan laju alir umpan. Oil retention

juga menunjukkan nilai yang sama yaitu 92.1%. Suhu inlet dan laju alir umpan

tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai total volatile oil dan oil

retention mikrokapsul. Reineccius et al. (1988) menyatakan penurunan nilai

total volatile oil dan oil retention dapat terjadi karena kondisi pengeringan yang

tidak sesuai dengan stabilitas ketahanan bahan penyalut terhadap panas. Suhu

pengeringan yang tinggi dan kontak bahan dengan udara kering yang lebih

lama (laju alir umpan rendah) dapat menguapkan fraksi-fraksi minyak yang

ringan pada proses pengeringan. Lebih lanjut kondisi pengeringan yang cukup

ekstrim memungkinkan terjadinya keretakan pada permukaan kapsul akibat

tekanan uap air di bahan yang terlalu besar dan akhirnya dapat memacu

kebocoran bahan aktif. Namun pada parameter ini dapat diamati tidak adanya

pengaruh nyata dari perlakuan suhu inlet dan laju alir umpan terhadap nilai

total volatile oil dan oil retention. Hal ini dapat disebabkan stabilitas panas

natrium kaseinat relatif baik (Singh, 1995).

Tabel 6. Total volatile oil dan oil retention mikrokapsul pada variasi suhu inlet dan laju alir umpan

Suhu inlet (°C)/ laju alir umpan (ml/menit)

Total volatile oil (%) Oil retention (%)

160/15 2,19 92,1

160/20 2,19 92,1

170/15 2,19 92,1

170/20 2,19 92,1

180/15 2,19 92,1

180/20 2,19 92,1

190/15 2,19 92,1

190/20 2,19 92,1

58

Page 59: oleorisin jahe

0.1833

0.1550.1593 0.1573

0.1865

0.1714 0.17180.1685

0.10.110.120.130.140.150.160.170.180.190.2

160 170 180 190

Suhu inlet (Celcius)

ure

oi)

fac

l (%

Laju alir 15Laju alir 20

S

2. Surface Oil

Surface oil atau oleoresin yang berada dipermukaan kapsul menjadi

parameter penting untuk melihat efektifitas pertahanan bahan aktif di dalam

kapsul. Surface oil sangat rentan kerusakan dan mudah teroksidasi. Oleh

karena itu semakin rendah nilai surface oil maka mutu produk akan semakin

baik. Nilai surface oil yang diperoleh dari mikrokapsul dengan perlakuan suhu

inlet dan laju alir dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Surface oil mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir umpan

Berdasarkan uji keragaman diketahui bahwa perlakuan suhu inlet dan laju

alir bahan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai surface oil.

Sebaliknya tidak ditemukan adanya pengaruh yang nyata dari interaksi kedua

perlakuan tersebut terhadap nilai surface oil. Secara lengkap disajikan pada

Lampiran 14.

Dari data penelitian yang disajikan pada Gambar 11 dapat diketahui bahwa

peningkatan laju alir bahan akan menyebabkan kecenderungan nilai surface oil

meningkat dan menunjukkan pula adanya perbedaan yang nyata antara taraf

laju alir 15 dan 20 ml/menit. Pada suhu inlet 160°C, taraf laju alir 15 ml/menit

surface oil-nya sebesar 0,1833%, dan pada taraf laju alir bahan 20 ml/menit

surface oil mengalami peningkatan menjadi 0,1865% dan nilai ini merupakan

nilai surface oil tertinggi dari semua perlakuan. Sementara itu pada kondisi

59

Page 60: oleorisin jahe

suhu inlet 170°C taraf laju alir 15 ml/menit surface oil-nya sebesar 0,1550%

dan meningkat lebih tajam menjadi 0,1714% pada taraf laju alir 20 ml/menit.

Peningkatan surface oil juga terlihat pada kondisi suhu 180°C dan suhu 190°C

taraf 15 ke taraf 20 ml/ menit.

Disisi lain dengan peningkatan suhu inlet, nilai surface oil cenderung

mengalami penurunan pada taraf laju alir yang sama. Pada laju alir 15

ml/menit, taraf suhu inlet 160°C nilai surface oil yang diperoleh sebesar 0,1833

dan mengalami penurunan yang cukup tajam pada taraf suhu inlet 170°C yaitu

0,1550. Kemudian pada taraf 180°C surface oil meningkat kembali namun

tidak terlalu tajam yaitu sebesar 0,1593 dan pada taraf 190°C sebesar 0,1573.

Demikian halnya pada perlakuan laju alir 20 ml/menit, peningkatan suhu inlet

akan menurunkan nilai surface oil meskipun pada taraf 170°C-190°C

penurunannya tidak begitu besar. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan yang nyata antara suhu inlet 170, 180, dan 190 °C terhadap nilai

surface oil. Sebaliknya ada perbedaan yang nyata antara taraf suhu 160°C

dengan taraf suhu inlet 170, 180, dan 190°C.

Komposisi bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat seperti yang

telah diketahui dari penelitian tahap sebelumnya, menunjukkan efektifitas

pertahanan bahan aktif yang baik dengan nilai surface oil yang rendah.

Besarnya nilai surface oil juga dapat dipengaruhi oleh kondisi pengeringan.

Rulkens dan Thijsen (1972) menerangkan mekanisme tertahannya bahan

aktif di dalam kapsul melalui suatu mekanisme difusivitas selektif. Dinyatakan

bahwa difusivitas bahan volatil akan menurun secara drastis jika dalam

konsentrasi yang rendah seiring menurunnya konsentrasi air di dalam emulsi.

Saat air mencapai titik konsentrasi kritis, lapisan bahan penyalut yang

melingkupi droplet bahan aktif akan bertindak sebagai membran yang bersifat

tidak permeabel terhadap bahan volatil sehingga hanya air yang teruapkan.

Dihubungkan pada teori diatas, semakin cepat air mencapai kondisi konsentrasi

kritis maka pembentukan kulit dari lapisan penyalut yang melingkupi droplet

bahan aktif akan lebih cepat terbentuk dan flavor yang lepas sewaktu

pengeringan akan dapat diminimalkan. Suhu inlet yang tinggi akan

mempercepat tercapainya kondisi air kritis dan terbentuknya kulit yang

60

Page 61: oleorisin jahe

melingkupi droplet bahan aktif. Disisi lain laju alir umpan yang tinggi yang

berarti kontak bahan dengan udara kering lebih singkat mengakibatkan kondisi

air kritis sulit tercapai dengan cepat yang mengakibatkan pembentukan kulit

lebih lambat dan tidak sempurna dalam melingkupi droplet bahan aktif

sehingga memungkinkan difusi bahan aktif yang volatil selama proses

pengeringan. Akibatnya minyak dan resin tidak tertahan di dalam penyalut

namun masih mungkin lengket pada permukaan kapsul.

Nilai surface oil tertinggi dihasilkan oleh kombinasi perlakuan suhu inlet

160°C dan laju alir 20 ml/menit. Sedangkan pada produk yang dikeringkan

pada suhu inlet 170°C dan laju alir 15 ml/menit nilai surface oilnya paling

rendah. Hal ini menunjukkan pada kombinasi perlakuan tersebut pembentukan

kulit yang cukup baik dapat mengontrol pelepasan bahan aktif di dalam kapsul

selama proses pengeringan terjadi.

Faktor lain yang dapat menyebabkan pelepasan flavor adalah

ketidaksesuaian kondisi pengeringan dengan stabilitas panas bahan penyalut.

Ketidaksesuaian antara bahan penyalut dan kondisi pengeringan dapat

mengakibatkan kebocoran atau terjadinya efek “balooning” dan dapat

menurunkan retensi (Reineccius, 1988). Hal ini yang dapat menyebabkan

peningkatan surface oil pada produk yang dikeringkan pada suhu 180 dan suhu

190°C taraf laju alir bahan 15 ml/menit. Dari kombinasi interaksi suhu

pengeringan yang tinggi dan laju umpan yang rendah, laju pengeringan akan

lebih tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan fisik bahan penyalut. Namun

peningkatan nilai surface oil memang tidak tajam, hal ini mengingat stabilitas

panas natrium kaseinat cukup baik.

3. Aktifitas air (aw) Mikrokapsul

Nilai aw dari mikrokapsul yang dihasilkan berkisar antara 0,276-0,436.

Pada Gambar 12 terlihat pengaruh dari perlakuan suhu inlet dan laju alir umpan

terhadap nilai kadar air dimana peningkatan suhu inlet akan menyebabkan

penurunan nilai aw dan peningkatan laju alir umpan akan menyebabkan

peningkatan nilai aw.

61

Page 62: oleorisin jahe

0.000.050.100.150.200.250.300.350.400.450.50

160 170 180 190

Suhu Inlet (Celcius)

Nila

i aw Laju Alir 15

Laju Alir 20

Gambar 12. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir bahan

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan suhu inlet, laju alir

bahan dan interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang nyata

terhadap nilai aw pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan

menunjukkan perlakuan suhu inlet untuk setiap taraf berbeda nyata, dapat

dilihat pada Lampiran 13. Demikian halnya dengan perlakuan laju alir dimana

taraf 15 dan 20 ml/menit menghasilkan nilai aw yang berbeda nyata.

Nilai rata-rata aw yang tertinggi dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu

inlet 160°C dan laju alir bahan 20 ml/menit (0,432). Sebaliknya nilai aw

terendah dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu inlet 190°C dan laju alir

bahan 15 ml/menit (0,276). Nilai aw produk ini akan sangat berhubungan

dengan kemampuan penyalut mempertahankan bahan aktif tetap di dalam

kapsul atau menjadi suatu indikasi pelepasan bahan aktif yang lebih dikenal

dengan istilah “reenkapsulasi” seperti yang dikemukakan oleh Whorton dan

Reineccius (1995). Mereka menyatakan bahwa nilai aw yang tinggi menjadi

indikator adanya pelepasan bahan aktif yang jumlahnya lebih besar dari pada

nilai aw yang relatif lebih rendah. Mekanismenya dapat terlihat pada Gambar

13.

62

Page 63: oleorisin jahe

Gambar 13. Proses hidrasi, awal collaps, dan full collaps pada produk

flavor terenkapsulasi (Whorton dan Reineccius, 1995)

Nilai aw yang tinggi akan menyebabkan molekul-molekul air yang berada

di sekitar produk flavor terenkapsulasi berpenetrasi ke dalam partikel-partikel

matriks. Produk flavor terenkapsulasi mengalami hidrasi. Permukaan dinding

matriks menjadi “stress” dan membentuk kerak. Kondisi seperti ini disebut

sebagai awal dari collaps yang menyebabkan stabilitas dan retensi flavor

terenkapsulasi menurun serta flavor terlepas dari dinding matriks. Partikel-

partikel produk flavor terenkapsulasi saling berdekatan dan teraglomerasi

membentuk fully collaps. Kondisi ini yang dinyatakan sebagai kondisi yang

efektif untuk terjadinya proses “reenkapsulasi” flavor.

4. Kadar Air

Berdasarkan hasil penelitian terhadap komposisi penyalut terpilih

diperoleh kadar air mikrokapsul yang dihasilkan berkisar antara 1,30% hingga

3,30%. Kadar air mikrokapsul dapat terlihat pada Gambar 14.

63

Page 64: oleorisin jahe

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

160 170 180 190

Suhu Inlet (Celcius)

Kad

ar A

ir (%

)Laju Alir 15Laju Alir 20

Gambar 14. Kadar air mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir umpan

Hasil analisis keragaman seperti yang disajikan pada Lampiran 12

menunjukkan bahwa perlakuan suhu inlet memberikan pengaruh yang nyata

terhadap kadar air mikrokapsul pada tingkat kepercayaan 95%. Demikian pula

dengan perlakuan laju alir umpan dan interaksi kedua perlakuan tersebut juga

memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air mikrokapsul.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu inlet taraf 180 dan

190°C berbeda nyata dengan taraf suhu inlet 170°C dan juga berbeda nyata

terhadap suhu 160°C terhadap nilai kadar air mikrokapsul. Laju alir 15 dan 20

ml/menit juga berbeda nyata terhadap nilai kadar air.

Kadar air tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu inlet 160°C

dan laju alir bahan 20 ml/menit (3,27%), sedangkan kadar air terendah

dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu inlet 190°C dan laju alir bahan 15

ml/menit (1,40%). Pada Gambar 14 dapat diamati penurunan kadar air akibat

adanya peningkatan suhu inlet dan peningkatan kadar air akibat adanya

peningkatan laju alir umpan.

Semakin tinggi suhu inlet maka semakin rendah kadar air produk yang

dihasilkan. Hal ini disebabkan karena suhu pengeringan yang tinggi akan

menguapkan air dalam jumlah yang lebih besar. Sebaliknya semakin tinggi laju

aliran bahan, maka jumlah air yang diuapkan akan lebih kecil. Hal ini karena

aliran bahan yang berjalan lebih cepat akan menyebabkan kontak bahan

64

Page 65: oleorisin jahe

dengan udara kering akan berlangsung lebih singkat sementara jumlah total air

dalam larutan sama jumlahnya. Akibatnya jumlah air yang diuapkan akan lebih

kecil daripada jika laju alir umpan yang digunakan lebih rendah.

5. Kelarutan Dalam Air

Hasil kelarutan dalam air dari perlakuan variasi suhu inlet dan laju alir

tidak begitu besar perbedaannya. Dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai kelarutan

dalam air mikrokapsul berkisar antara 94,04-94,80%. Uji ragam pada tingkat

kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata yang

diberikan oleh variasi suhu inlet dan laju alir terhadap tingkat kelarutan dalam

air. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 15.

Tabel 7. Kelarutan dalam air mikrokapsul dengan dengan variasi suhu inlet dan laju alir bahan

Suhu inlet (°C)/ laju alir umpan (ml/menit)

Nilai kelarutan dalam air (%)

160/15 94.04

160/20 94.25

170/15 94.34

170/20 94.19

180/15 94.80

180/20 94.48

190/15 94.66

190/20 94.32

Nilai kelarutan dalam air sangat ditentukan oleh kemampuan kelarutan

bahan penyalut dalam air. Kelarutan bahan penyalut dalam air yang tinggi dapat

mempermudah pelepasan flavor atau bahan aktif pada aplikasinya. Pada

penelitian ini bahan penyalut yang digunakan berkomposisi sama yakni

maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1) sehingga kemampuan kelarutan dalam air

yang dimiliki mikrokapsul cenderung sama. Pengaruh suhu inlet dan laju alir

umpan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kelarutan bahan

penyalut dalam air.

65

Page 66: oleorisin jahe

6. Struktur Mikrokapsul

Morfologi mikrokapsul mempengaruhi sifat mikrokapsul lainnya seperti

laju pelepasan flavor, surface oil, retensi dan lain-lain. Pada studi ini digunakan

teknik Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui struktur

mikrokapsul. Mikrokapsul yang diamati adalah mikrokapsul dengan komposisi

penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1: suhu inlet 170/15ml/menit)

dan mikrokapsul maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1: suhu inlet

190/15ml/menit). Selain itu juga diamati mikrokapsul berkomposisi

maltodekstrin-gum arab (MG:2:1) yang memiliki oil retention terendah pada

penelitian tahap 1. Gambar 15, Gambar 16, dan Gambar 17 menyajikan foto

hasil SEM.

Gambar 15. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 170°C/15ml/menit) dengan

menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (kanan))

66

Page 67: oleorisin jahe

Gambar 16. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 190°C dan 15ml/menit) dengan

menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (kanan))

Ukuran mikrokapsul berkisar antara 2 sampai 38.6 μm. Dapat diamati

pada Gambar 15 dan Gambar 16, mikrokapsul MSc hasil pengeringan suhu

inlet 170°C dengan laju alir 15ml/menit dan mikrokapsul MSc hasil

pengeringan suhu inlet 190°C dengan laju alir 15ml/menit memiliki bentuk

yang relatif sama seperti bola. Dari gambar tampak pula bahwa pada

mikrokapsul dengan suhu inlet 190°C dengan laju alir 15ml/menit telah

terdapat keretakan pada mikrokapsul. Keretakan ini dapat terjadi karena suhu

pengeringan yang tinggi. Keretakan mikrokapsul dapat memacu tingkat

pelepasan bahan aktif sehingga nilai surface oil meningkat dan dapat

mempengaruhi stabilitas retensi. Meskipun demikian, dari hasil uji lanjut

Duncan kenaikan surface oil tidak terlalu siginifikan sehingga tidak tampak

nilai surface oil yang berbeda nyata dengan mikrokapsul MSc yang dihasilkan

pada kondisi pengeringan suhu inlet 170°C dan laju alir 15ml/menit.

Gambar 17 memperlihatkan struktur mikrokapsul MG yang bentuknya

juga relatif sama seperti bola. Pada mikrokapsul MG telah terlihat adanya

mikrokapsul yang berkerut dan pecah. Kerutan dapat menjadi awal adanya

keretakan dan pecahnya mikrokapsul akibat suhu yang tinggi. Dengan

67

Page 68: oleorisin jahe

morfologi yang demikian akan memacu pelepasan flavor yang lebih besar

(indikasi nilai surface oil tinggi dan oil retention rendah).

Gambar 17. Morfologi mikrokapsul MG dengan menggunakan SEM (20kv,

perbesaran 100X (kiri) dan1500X (tengah dan kanan))

7. Profil Komponen Minyak Atsiri Jahe Dengan GCMS (Gas

Chromatography Mass Spectometric)

Salah satu tujuan utama enkapsulasi adalah melindungi bahan aktif dari

kerusakan-kerusakan. Pada studi ini dilakukan pengidentifikasian komponen

pada fraksi minyak atsiri atau komponen volatil sebelum dienkapsulasi dan

setelah dienkapsulasi dengan menggunakan Kromatografi Gas-Spektometri

Massa atau GCMS.

Komponen utama minyak atsiri jahe umumnya adalah (-)-α-zingiberen

(20-30%), β-bisabolene (sekitar 12%), farnesen (sekitar 10%) dan zingiberol

serta β-sesquiphelandren. Kemungkinan senyawa lain yang dapat mumcul

seperti senyawa sitral, monoterpen hidrokarbon seperti d-limonen, mycrene,

sabinen, dan lain-lain. Komponen yang teridentifikasi tergantung jenis jahe

sebagai bahan baku. Minyak jahe sensitif terhadap panas terutama pada suhu di

atas 90°C sehingga memungkinkan terjadinya perubahan komponen. Perubahan

komponen juga dapat terjadi selama distilasi dan penyimpanan karena cahaya

dan oksigen (Purseglove, 1981). Salzer (1975) menyatakan bahwa (-)-α-

zingiberen dan β-sesquiphelandren dapat menurun persentasenya dengan

68

Page 69: oleorisin jahe

adanya perubahan kondisi di atas, sebaliknya ar-curcumen akan terbentuk lebih

banyak.

Dari hasil GCMS diketahui bahwa komponen atsiri pada oleoresin

sebelum dienkapsulasi didominasi oleh komponen utama alpha-zingiberen

(50,73%). Komponen lain yang cukup dominan adalah beta-seskuiphellandren

(19.06%), farnesen (14.51%), beta-bisabolen dan beta-eudesemol/zingiberol

(0.77%). Terdapat pula sejumlah kecil monoterpen seperti borneol, sitral,

geraniol, linalool dan lain-lain.

Pada komponen volatil dari hasil enkapsulasi mikrokapsul berbahan

penyalut MSc dengan kondisi spray drying suhu inlet 170°C dan laju alir

umpan 15ml/menit juga dapat diketahui bahwa alpha-zingiberen merupakan

komponen utama dengan persentase area terbesar (52.58%) dari keseluruhan

komponen yang teridentifikasi. Komponen lain yang cukup besar jumlahnya

adalah beta-seskuiphellandren (19.48%), farnesen (14.89%), dan beta-bisabolen

serta beta-eudesemol/zingiberol (1.03%). Dari hasil identifikasi diketahui pula

bahwa pada atsiri hasil enkapsulasi sudah terdapat kehilangan sejumlah kecil

fraksi-fraksi ringan seperti L-linalool, borneol dan sejumlah sitral.

Pada indentifikasi komponen volatil dari hasil enkapsulasi mikrokapsul

MSc kombinasi suhu inlet 190°C dan laju alir umpan 15ml/menit diketahui

alpha-zingiberen juga mendominasi susunan komponen volatil keseluruhan

dengan perolehan 46.59%. Komponen lain yang teridentifikasi dengan jumlah

yang besar adalah beta-sesquiphellandren (18.88%), farnesen (17.31%), dan

beta-eudesemol/zingiberol (0.7%). Kehilangan komponen volatil juga tampak

terjadi dan banyak pula terbentuknya golongan senyawa yang teroksidasi.

Tabel 9 menjabarkan perbandingan beberapa komponen di dalam minyak atsiri

jahe dari oleoresin dengan minyak atsiri jahe dari hasil enkapsulasi.

69

Page 70: oleorisin jahe

Tabel 8. Profil komponen yang teridentifikasi pada minyak atsiri jahe hasil enkapsulasi dan sebelum dienkapsulasi (oleoresin)

Komponen Oleoresin Enkapsulasi suhu inlet 170°C

laju alir 15 ml/menit

Enkapsulasi suhu inlet 190°C

laju alir 15 ml/menit Alpha-Zingiberen + + +

Beta-

Sesquiphellandren

+ + +

Farnesen + + +

Beta-Bisabolen + + +

Beta-Eudesemol + + +

Farnesol + + +

Nerolidol + + +

L-Linalool + + +

Borneol + + +

Geraniol + + +

Sitral + + +

Geranil asetat - + +

Citronellol + + +

Citronellil asetat - + +

Bornil asetat + + +

Terpineol + + +

Ar-Curcumene - + +

Caryophyllene + + +

Caryophyllene-

oxide

- + +

Keterangan: + : teridentifikasi

70

Page 71: oleorisin jahe

F. APLIKASI PRODUK

Flavor yang dienkapsulasi sangat efektif digunakan dalam makanan

olahan, proses pengisian, pencampuran kering, permen, makanan formula,

bumbu-bumbuan, makanan penutup (desert), minuman, produk-produk susu

dan lain-lain (Koswara, 1995). Enkapsulasi dapat dikategorikan sebagai usaha

peningkatan nilai tambah flavor khususnya oleoresin sehingga penggunaannya

diindustri akan lebih diminati. Shelf life yang relatif lebih lama dengan

pengaplikasian yang lebih mudah semakin meningkatkan nilai tambah dari

mikrokapsul. Diprediksi nilai ekonomis mikrokapsul 13 kali lebih tinggi

dibandingkan nilai ekonomis oleoresin pada kuantitas bahan aktif yang sama.

Hasil analisis ekonomi sederhana dapat dilihat pada Lampiran 17.

71

Page 72: oleorisin jahe

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh yang nyata pada

semua variabel respon karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe pada tingkat

kepercayaan 95%. Komposisi bahan penyalut yang menghasilkan surface oil

terendah (0,1522%) dan total volatile oil (2,19%) serta oil retention (92,2%)

tertinggi adalah komposisi penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc)

dengan perbandingan 2:1. Mikrokapsul MSc juga memiliki nilai kadar air

(0,154) dan aw terendah (0,313) yang diduga lebih stabil dalam menjaga

produk dari kerusakan selama penyimpanan. Selain itu komposisi ini

menghasilkan mikrokapsul yang memiliki kelarutan dalam air (94,16%) yang

terendah dibandingkan mikrokapsul komposisi lainnya.

Dengan hasil ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan penyalut

protein (natrium kaseinat) yang dikombinasikan dengan polisakarida efektif

untuk melindungi oleoresin jahe. Komposisi penyalut ini dapat menjadi

alternatif penyalut yang dapat mengurangi dan menggantikan peran gum arab

sebagai bahan penyalut yang dalam prakteknya cukup berkendala saat ini.

Suhu inlet dan laju alir umpan pada spray drying serta interaksi

keduanya memberikan pengaruh yang nyata pada kadar air dan nilai aw

mikrokapsul. Peningkatan suhu inlet menyebabkan penurunan kadar air dan aw

sebaliknya peningkatan laju alir umpan menyebabkan peningkatan kadar air.

Suhu inlet dan laju alir umpan juga memberikan pengaruh yang nyata

terhadap surface oil mikrokapsul. Uji lanjut menunjukkan perbedaan nyata

hanya terjadi antara suhu 160°C dengan suhu 170-190°C sedangkan suhu 170,

180 dan 190°C tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai surface oil.

Peningkatan suhu inlet menyebabkan penurunan surface oil dan sebaliknya

peningkatan laju alir umpan menyebabkan peningkatan surface oil

mikrokapsul. Pada suhu 180 dan suhu 190°C pada taraf laju alir yang sama

yaitu 15 ml/menit terdapat peningkatan surface oil kembali meski hanya

dalam jumlah yang kecil.

72

Page 73: oleorisin jahe

Disisi lain, suhu inlet dan laju alir umpan tidak memberikan pengaruh

yang nyata terhadap total volatile oil dan oil retention. Demikian pula halnya

dengan nilai kelarutan dalam air mikrokapsul. Suhu inlet dan laju alir umpan

tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kelarutan dalam air.

Kondisi pengeringan yang menghasilkan surface oil terendah untuk

komposisi bahan penyalut MSc (2:1) pada mikroenkapsulasi oleoresin jahe

adalah pada kondisi suhu inlet 170°C dan laju alir umpan 15 ml/menit. Pada

kondisi ini dicapai nilai surface oil 0,1550% dan total volatile oil 2,19% serta

oil retention sebesar 92,1%. Kondisi ini juga menghasilkan nilai aw (0,319)

dan kadar air mikrokapsul yang rendah (1,85%) dan diduga lebih stabil untuk

mengendalikan pelepasan bahan aktif yang disalut dan kerusakan-kerusakan

pada mikrokapsul selama penyimpanan.

B. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kombinasi komposisi

penyalut maltodekstrin dan natrium kaseinat dengan memperbesar

proporsi penggunaan maltodekstrin.

2. Perlu adanya penelitian mengenai shelf life mikrokapsul agar dapat

diketahui stabilitas bahan aktif.

73

Page 74: oleorisin jahe

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D. M. W., J. F. Howlett dan C.G. A. Mc Nab. 1985. The amino acid

compositions of the protein aceous component of gum arabic. Food Audit. Contam. 2: 159-164.

Bakan, J. A, dan J. L. Anderson, 1978. Microencapsulation. Di dalam L.

Lachman, H.A.Lieberman dan J.L. Kanig (Eds). The Theory and Practise of Industrial Pharmacy, 2nd edition. Philadelphia, PA: Lea dan Febiger. 384.

Balasa, L. L., dan Fanger, G.O. 1971. Microencapsulation in food industry. CRC

Critical Reviews in Food Technology. 2 : 245-265. Bang, E.W. dan Reinecius G.A. 1985. Prediction of flavor retention during spray

drying: An empirical approach, J. of Food Sci. 55 (6) : 1683-1685. Bhandari, B.R, dan T.Howes.1999. Implications of glass transition for the drying

and stability of dried foods. J. Food Eng. 40 : 71-79. Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of The Economics. Product of Malay Peninsula.

The Crown Agents for the colonies, London. Chandriyani, Ernita. 2002. Mikroenkapsulasi Oleoresin Biji Pala dengan

Menggunakan Sukrosa Sebagai Bahan Penyalut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, IPB, Bogor.

Darsana, L., Wijaya, H., dan Zakaria, F. 1995. Aktifitas Proliferasi Limfosit dari

Ekstrak Jahe (Zingiber Officinale Rosc.) Segar dan bertunas Pada Limpfosit Mencit. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor IPB, Bogor.

Djubaedah. E. 1986. Ekstraksi oleoresin dari jahe (Zingiber officinale, Roscoe).

Media Teknologi Pangan. 2(2) : 10-19. Dziezak, J.D. 1988. Microencapsulation and encapsulated ingredients. Food

Technology. 28(4):138. Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Lab Kimia dan Biokimia Pangan, PAU Pangan

dan Gizi, IPB, Bogor. _________. 1989. Gas Khromatografi. Lab Kimia dan Biokimia Pangan, PAU

Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

74

Page 75: oleorisin jahe

Farrel, K.T. 1985. Spice, Condiments and Seasoning. The AVI Book Published by Nostrand Reinhold Co., NewYork.

Glicksman, M., dan R. E. Sand. 1973. Gum arabic. Di dalam BeMiller, J. N dan

Whistler, R.L (eds). Industrial Gums Polysaccharides and Their Derivates. Academic Press, New York.

Heath, H.B. 1986. Flavor Chemistry and Technology. AVI Van Wostrand

Reinhold Company.Inc, Westport, Connecticut. Heldman, R.Dennis dan R.P. Singh. 1981. Food Process. Engineering. AVI

Publ.Co.Inc., Wesport, Coneccticut. Hogan, S. A., B. F. McNamee, E. D. O’Riordan, dan M. O’Sullivan. 2001.

Microencapsulating properties of sodium caseinate. J. Agric. Food Chem. 49 : 1934-1938.

Jackson, L.S, dan Lee, K. 1991. Microencapsulation and the food industry.

Lebensm-Wiss-Technol. 24 : 289-297. Jansen, J. 1981. Report of ginger. Journal of The Association of Officinal

Agriculture Chemist 20 (3): 3. The Association of official Agricultural Chemist, Menasha, Wisconsin.

Khrisnan, S., A.C. Kshirsagar, dan R. S. Singhal. 2005. The use of gum arabic dan

modified starch in the microencapsulation of food flavoring agent. Carbohydrate Polymer. 62:309-315.

Kennedy, J. F., C. J. Knil dan D.W. Taylor. 1995. Maltodextrins. Di dalam M. W.

Keasley dan S.Z. Dziedzic. (Eds). Handbook of Hydrolisis Product and Their Derivates. Blackie Academic and Professional, London.

Kenyon, M.M dan R.J. Anderson. 1988. Maltodextrin dan low-dextrose-

equivalence corn syrup solids. Di dalam Risch S. J dan G. A. Reineccius (Eds). Flavour Encapsulation. American Chemical Society, Washington, D.C. 7-10.

Ketaren, S. 1988. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta. Kim, Y.D dan C.V. Morr. 1996. Microencapsulation properties of gum arabics

and several food proteins : spray dried orange oil emulsion particles. J. Agric. Food Chem. 44(5) : 1314-1320.

Komari. 1994. Mikroenkapsulasi minyak ikan untuk fortifikasi asam lemak

omega-3 dalam makanan. Majalah Gizi Indonesia 19 (1-2): 90-100. Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

75

Page 76: oleorisin jahe

Labuza. 1970. Water contents and stability of low and intermediate moisture foods. Food Tech. 24:53

Lien, C.C., Lis, S.J., dan Hwang, L. S. 1995. Microencapsulation of squid oil with

hydrofilic macromolecules for oxidative and thermal stabilization. J. of Food Sci. 60(1) : 36-39.

Lestari, Wina. 2006. Pengaruh Nisbah Rimpang dengan Pelarut dan Lama

Ekstraksi Terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, IPB, Bogor.

Masters, K. 1979. Spray Drying Handbook. John Wilegard Sons, New York. Magdasi, S dan Y. Vinetsky.1996. Microencapsulation of oil in water emultions

by proteins. Di dalam Simon, B.(ed). Microencapsulation Methode and Industrial Application. Marcel Dekker Inc., New York.

Nuraini. 2001. Mikroenkapsulasi Beta-karoten dari Buah dan Tepung Labu

Kuning. Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta. Pruthi, J. S. 1980. Spices and Condiments, Chemistry, Microbiology, Technology.

Academic Press, New York. Purseglove, J.W, E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. J. Robbins. 1981. Spices.

Vol 2. Longman Inc, New York. Reineccius,G.A. 1988. Spray drying of food flavours. Di dalam G. A. Reineccius

dan S. J. Risch (Eds). Flavour Encapsulation, 55-66. American Chmeical Society. Washington, D.C.

Reineccius, G.A. 2004. The spray drying of food flavors. Drying Technology. 22

(6) :1289-1324, Minesota. Risch,S.J., dan G. A. Reineccius.1995. Encapsulations and controlled release of

food ingredients. ACS Symposium Series, Vol.590. American Chemical Society, Washington, D.C.

Rosenberg,M., Kopelman, J dan Talman, Y. 1990. Factors affecting retention in

spray drying microencapsulation of volatile materials. Israel Institut of Technology, Haifa, Israel.

Ruis, H.G.M. 2007. Structure rheology relations in sodium caseinate in containing

systems. Tesis. Wengenigen University, Netherland. Rulkens, W.H dan Thijsen H.A. 1972. The retention of organic volatiles in drying

aqueous carbohydrate solutions. Food Technology. (7): 186-191.

76

Page 77: oleorisin jahe

Singh, H. 1995. Heat induced changes in casein, including interactions with whey proteins. Heat Induced Changes in Milk. P. F. Fox. Brussels, International Dairy Federation: 86-104.

Shaikh, J., R. Bosale, dan R. Singhal. 2006. Microencapsulation of black pepper

oleoresin. Journal Food Chemistry. 94 : 105-110. Soomaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Oleoresin di Indonesia.

Komunikasi No. 21. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor. Soottitantawat, A.,F. Bigeard, H.Yoshi, T.Furuta, M. Ohkawara dan P. Linko.

2005. Microencapsulation of l-menthol by spray drying and its release characteristics. Innovative Food Sci. and Emerging Tech. 6: 163-170

Schultz, I.H. 1956. Incorporation of natural fruit flavors into fruit juice powders.

Food Tech. 10: 57. Sudibyo, A. 1989. Prospek Pengembangan Industri Minyak Atsiri dan Rempah.

Bul. Ekon. Bapindo XIV. (05) : 48-53. Sutianik, 1999. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Ukuran Bahan Terhadap

Rendemen dan Mutu Oleoresin Jahe (Zingiber officinale, Roscoe). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Swaigood, H. E. 1982. Chemistry of Milk Protein. Di dalam P. F. Fox (Eds.).

Developments in Dairy Chemistry-4. Proteins. London: Applied Science Publishers. 1-59.

Thevenet, F. 1988. Acacia gums stabilizers for flavor encapsulation. Di dalam

American Chemical Society. 37: 44. Thies, C. 1996. A survey of microencapsulation process. Di dalam S. Benita

(Ed.). Microencapsulation methods and industrial applications. New York: Marcel Dekker, 1-19.

Vega, C dan Ross.Y. H. 2006. Invited Review: Spray-dried dairy and dairy-like

emulsions compositional considerations. J. Dairy Sci. 89:383-401 Whiteley, M.A., and A. J. E. Welch., Owen, L. N. 1952. Thorpe’s Dictionary of

Applied Chemistry. Volume V. 4 th Edition Longmans., Green and Co., London.

Whorton, C dan G.A. Reineccius. 1995. Evaluation of the mechanism associated

with the release of encapsulated flavor materials from maltodextrin matrices. Di dalam Risch, S.J. dan G.A. Reineccius (Eds). Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients. ACS, Washington.

77

Page 78: oleorisin jahe

Young. S. L., Sarda. X., Rosenberg. M. 1993. Microencapsulating properties of whey protein with carbohidrat. J. Dairy Sci. 76:2678-2885.

Yuliani, S. Hernani dan Anggraeni.1991. Aspek Pasca Panen Jahe. Edisi Khusus

Litro. VII (I): 30-37. Zhao, J dan Whistler, R.L. 1994. Spherical aggregates of starch granules as flavor

carrier. Food Tech. 48 (7): 104-105.

78

Page 79: oleorisin jahe

79

Page 80: oleorisin jahe

Lampiran 1. Analisis Oleoresin

1. Rendemen Oleoresin

Rendemen oleoresin ditentukan berdasarkan perbandingan berat oloresin

yang diperoleh (A) terhadap bahan yang diekstraksi (B). Rendemen

dinyatakan dalam persen.

Rendemen oleoresin = ×BA 100%

2. Bobot Jenis (SNI 06-2388-1998 dalam Koswara, 1995)

Prinsip :

Bobot jenis adalah perbandingan bobot dari suatu volume contoh pada

suhu 25°C dengan bobot air pada suhu dan volume yang sama. Cara ini biasa

digunakan untuk semua minyak dan lemak yang dicairkan.

Prosedur:

Piknometer dibersihkan dan dikeringkan, kemudian diisi dengan air

destilata. Air destilata ini diisikan ke dalam piknometer sampai meluap dan

tidak terbentuk gelembung udara, kemudian piknometer ditutup. Setelah itu,

piknometer direndam dalam bak air bersuhu 25 ± 0.2°C dan dibiarkan pada

suhu konstan selama 30 menit. Piknometer diangkat dari bak air dan

dikeringkan dengan kertas penghisap, kemudian ditimbang dengan isinya.

Bobot air (a) adalah selisih bobot piknometer dengan isinya dikurangi bobot

piknometer kosong. Contoh oleoresin kemudian diperlakukan sama dengan air

destilata yang mana bobot oleoresin (b) adalah selisih bobot piknometer

dengan oleoresin dikurangi bobot piknometer kosong.

Bobot Jenis= ×ab 100%

3. Kadar Minyak Atsiri (Metode Hidrodestilasi Clevenger dalam Rennecius et

al., 1988)

Prinsip:

Analisis ini pada dasarnya merupakan penyulingan minyak atsiri dari

oleoresin.

80

Page 81: oleorisin jahe

Prosedur:

Sampel sebanyak 2-3 gram ditimbang (W) dan dimasukkan ke dalam

labu 1 liter, lalu ditambahkan 500 ml air dan dihubungkan dengan alat

penyuling minyak atsiri dan didistilasi selama 6 jam. Volume minyak atsiri

yang tertampung dicatat (Vo). Bobot minyak (Wo) dihitung dengan cara

mengalikannya dengan bobot jenis minyak atsiri. Kadar minyak atsiri basis

bobot ditentukan sebagai berikut:

Kadar minyak atsiri = ×WWo 100%

Keterangan: Wo = Bobot minyak yang diperoleh (gram)

W = Berat contoh oleoresin (gram)

4. Kadar sisa pelarut (Ketaren, 1988)

Prinsip:

Sisa pelarut dalam oleoresin dihitung berdasarkan volume pelarut yang

diuapkan dari setiap satuan berat bahan (oleoresin) yang diuapkan.

Prosedur:

Oleoresin 2-3 gram (a) ditimbang di dalam labu, dimasukkan ke labu

rotary vacum evaporator. Alat ini dioperasikan pada suhu 50°C, tekanan

dibawah 1 atmosfer selama 1 jam. Setelah itu bobot labu ditimbang sehingga

diperoleh bobot pelarut (b) yang terdapat dilabu.

Perhitungan:

Sisa pelarut = ×ab 100%

81

Page 82: oleorisin jahe

Lampiran 2. Analisis Mikrokapsul

1. Penentuan oleoresin yang tidak terkapsul atau Surface Oil (Kombinasi

Bhandari et al., 1999 dengan Ketaren, 1986)

Sampel sebanyak 10 gram ditimbang (Ws) kemudian dimasukkan ke

dalam gelas erlenmeyer 250 ml. Sampel kemudian dicuci (selama 1 menit

dilarutkan) dengan menggunakan heksan sebanyak 20 ml. Hasil pencucian

disaring dengan kertas saring dan hasil saringan ditampung dalam labu

penguapan yang telah diketahui bobot tetapnya (Wlb1). Selanjutnya dilakukan

pencucian hingga tiga ulangan dengan membilas bagian sampel yang ada pada

kertas saring dengan heksan sebanyak 10 ml tiap pencucian.

Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotary vaccum evaporator

hingga semua pelarut menguap. Bobot labu akhir ditimbang (Wlb2). Minyak

yang terdapat pada labu dihitung sebagai surface oil atau kadar oleoresin tak

terkapsul.

Kadar Oleoresin Tak Terkapsul = ×−

WsWlbWlb 12 100%

2. Penentuan Total Volatile Oil (Metode Hidrodestilasi Clevenger dalam

Rennecius et al. , 1988)

Sampel 15 gram (a) dicampurkan dengan air destilata 500 ml dalam

sebuah labu 1 liter. Kemudian ditambahkan batu didih. Sampel didistilasi

selama 3 jam. Bobot minyak (b) diperoleh dari hasil perkalian volume minyak

yang terukur dari distilasi dengan bobot jenis minyak atsiri.

Total volatile oil (%) = ×ab 100%

3. Kadar Air Toluen (Metode AOAC)

Sampel (10gram) mikrokapsul ditambahkan dengan toluene (100ml) ke

dalam sebuah labu. Kemudian labu dididihkan di hot plate. Distilasi dilakukan

selama 2-3 jam. Hasil distilasi didinginkan sebelum dilakukan pembacaan.

82

Page 83: oleorisin jahe

Nilai kadar air dinyatakan sebagai perbandingan antara volume air yang

terukur hasil distilasi dengan bobot sampel awal dan dikalikan 100%.

4. Kelarutan Dalam Air (Nuraini, 2001)

Sampel (a gram) dilarutkan dalam air bersuhu 40°C dengan konsentrasi

5%. Diaduk secara kontinyu selama 20 menit. Larutan tersebut kemudian

disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobot tetapnya. Kertas

saring dan bagian sampel yang tidak tersaring dioven selama satu jam pada

suhu 105°C. Bobot sampel yang tidak tersaring (b gram) diperoleh dari

selisih bobot kertas saring akhir dengan bobot kertas saring awal.

Kelarutan dalam Air = ×−a

ba )( 100%

5. Analisis dengan Kromatografi Gas-Spektometri Massa (Fardiaz, 2000)

Prinsip:

Dasar pemisahan secara kromatografi gas adalah penyebaran cuplikan

contoh diantara dua fase. Salah satu fase yaitu fase diam, mempunyai

permukaan yang relatif luas. Fase yang lain adalah fase yang bergerak berupa

gas. Pemisahan komponen dalam suatu senyawa dengan menggunakan

kromatografi gas didasarkan pada perbedaan laju gerak komponen yang

dipisahkan tersebut.

Kromatografi gas merupakan metode yang umum digunakan untuk

pemisahan, deteksi, dan perhitungan dari kuantitatif dari komponen-

komponen dalam suatu campuran yang kompleks. Penggunaan kromatografi

gas untuk mengidentifikasi minyak atsiri dalam suatu bahan tumbuhan dapat

dipadukan dengan sistem analitik lain, yaitu gabungan antara kromatografi gas

dan spektometri massa yang dihubungkan dengan suatu interfase.

83

Page 84: oleorisin jahe

Spesifikasi Alat Kromatografi Gas :

Instrument : Agilent Technologies 6890 Gas Chromatograph with

Auto sampler dan 5973 Mass Selective Detector and

Chem Station data system

Ionisasi mode : Electron Impact

Electron energy : 70 ev

Kolom : HP Ultra 2.Capilary coulumn, Panjang (m) 17 X 0.2

(mm)I.D X 0.33 (μm) Ketebalan film

Oven temperature : Awal 65°C (ditahan 1 menit), meningkat 5°C/menit

sampai 170°C ditahan 1 menit, meningkat 3°C/menit

sampai 215°C ditahan 1 menit, meningkat 40°C sampai

240°C ditahan selama 20 menit.

Injection Port temperature : 250°C,

Ion source temperature : 230°C

Interface temperature : 280°C

Quadrupole temperature : 140°C

Carier gas : Helium

Column mode : Constant flow

Flow column : 0.6 μl/menit

Injection volume : 1,0μl

Split : 100:1

6. Analisis dengan SEM (Scanning Electron Microscope JSM-5310LV, Jepang)

Prinsip kerja:

Pancaran cahaya elektrón dengan fokus yang sangat tajam disapukan

pada objek sehingga menghasilkan elektrón skunder, elektronnya terpental

kembali lalu menyebar dan karakteristik sinar x. Sinyal-sinyal ini dideteksi

terus menerus selama pancaran cahaya elektrón bergerak menyapu permukaan

objek. Sinyal elektrón skunder menghasilkan gambar permukaan morfologi,

elektrón yang terpental kembali menghasilkan distribusi komposisi dan

karakteristik sinar x menghasilkan distribusi elemen terdapat pada objek.

84

Page 85: oleorisin jahe

Preparasi sampel dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, cara basah dan

kering.

Preparasi cara basah terdiri dari beberapa tahap yakni cleaning,

prefixation, postfixation, dehidrasi dan t-butanol freeze drying. Pada tahapan

cleaning, sampel di awetkan dalam alkohol dan dicuci dengan garam fisiologis

(± 2jam) pada T=4°C, dan diagitasi dalam ultrasonication selama ± 5menit.

Tahapan selanjutnya, sampel yang telah bersih dimasukkan ke dalam 2.5%

glutaraldehyde sol beberapa jam pada Kemudian pada tahapan postfixation

sampel direndam dalam 2% tannic acid s/d 6jam (T=4°C), dicuci dengan

buffer selama 15 menit (T=4°C, 4× ). Lalu dicuci kembali dengan 1% OsO4sol

(2-4 jam, T=4°C) dan terakhir dicuci dengan air destilata selama 15menit.

Pada tahapan dehidrasi, sampel dicuci dengan alkohol 5% (5menit, 4°C, 4× ),

75% (20menit, 4°C), 85% (20menit, 4°C), 94% (20menit, suhu ruang), dan

absolut (10menit, suhu ruang, 2× ) secara berurutan. Tahap akhir, sampel

direndam di dalam t-butanol selama 10menit pada suhu ruang (2× ) dan

kemudian di freeze di suhu -3°C atau -20°C sampai t-butanol hilang (±2jam).

Sebaliknya, preparasi secara kering lebih mudah yaitu hanya dengan

menjatuhkan sampel serbuk di atas preparat yang telah ditempel di sebuah

tubs logam setipis mungkin.

Sampel yang telah di siapkan dicoating dengan lapisan gold selama ±

30 menit. Sampel yang telah dicoating siap diamati dengan SEM voltase

akselerasi sebesar 20 kv.

85

Page 86: oleorisin jahe

Lampiran 3. Gambar sampel oleoresin dan mikrokapsul

Oleoresin Jahe

• Mikrokapsul MG (2:1) Mikrokapsul MGSc Mikrokapsul MSc (2:1)

(2:0.5:0.5)

• Mikrokapsul MSC Variasi Suhu Inlet dan Laju alir umpan

160/15 160/20 170/15 170/20

180/15 180/20 190/15 190/2

86

Page 87: oleorisin jahe

Lampiran 6a. Hasil analisis keragaman kadar air mikrokapsul dengan

variasi bahan penyalut

ANOVA Source of Variation SS df MS F Hit P-value F crit

Komposisi Penyalut 1,6602 2 0,8301 16,6798 0,003542 5,1432Eror 0,2986 6 0,0498 Total 1,9588 8

Komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kadar air

produk mikrokapsul (FHit >Fcrit)

Lampiran 6b. Uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar air (Alpha = 5%)

Kelompok

Komposisi Penyalut

1

2

Duncan(a,b) MSc (A)1,54 MG (B)2,30 MGSc (B)2,55

Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Lampiran 7a. Hasil analisis keragaman aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Komposisi Penyalut 0,006561 2 0,00328 26,12655 0,001093 5,143253Eror 0,000753 6 0,000126 Total 0,007314 8

Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aw

mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 7b. Uji lanjut Duncan terhadap nilai aw (Alpha = 5%)

Subset Komposisi Penyalut 1 2

MSc 0,314 (A) MG 0,361 (B)

Duncan(a,b) MGSC 0,377 (B)

Page 88: oleorisin jahe

Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Lampiran 8a. Hasil analisis keragaman surface oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Komposisi Penyalut 0,244206 2 0,122103 97,7474

2,64E-05 5,143253

Eror 0,007495 6 0,001249 Total 0,251701 8 Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai surface oil

mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 8b. Uji lanjut Duncan terhadap surface oil (alpha=5%)

Komposisi_Penyalut Subset 1 2 3 Duncan(a,b) MSC 0,1522 MGSC 0,2746 MG 0,5463

Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Lampiran 9a. Hasil analisis keragaman total volatile oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

ANOVA Source of Variation SS df MS Fhit P-value F crit

Komposisi Penyalut 0,293283 2 0,146641 20,17354 0,00217 5,143253Eror 0,043614 6 0,007269 Total 0,336897 8

Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai total volatile

oil mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 9b. Uji Lanjut Duncan terhadap total volatile oil (alpha :5%)

Komposisi Penyalut Subset 1 2 3

MSC 1,75 MGSC 1,93

Duncan(a,b) MG 2,19

2

Page 89: oleorisin jahe

Lampiran 10a. Hasil analisis keragaman oil retention mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

ANOVA Source of Variation SS df MS FHit P-value F crit

Komposisi Penyalut 518,2381 2 259,119 20,15494 0,002175 5,143253Eror 77,13813 6 12,85636 Total 595,3762 8

Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai oil retention mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 10b. Uji lanjut Duncan terhadap oil retention (alpha :5%)

Komposisi_Penyalut Subset 1 2 3

MSC 73,7

MGSC 81,0 Duncan(a,b) MG 92,2

Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Lampiran 11a. Hasil analisis keragaman kelarutan dalam air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

ANOVA Source of Variation SS df MS FHit P-value F crit

Komposisi Penyalut 4,266422 2 2,133211 28,9358 0,000829 5,143253Eror 0,442333 6 0,073722 Total 4,708756 8

Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kelarutan dalam air (FHit >F crit).

Lampiran 11b. Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan dalam air

Komposisi Penyalut Subset

1 2 3 MSc 94,16

MGSc 94,77 Duncan(a,b)

MG 95,83 Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

3

Page 90: oleorisin jahe

Lampiran 12a. Hasil analisis keragaman kadar air mikrokapsul variasi kondisi spray drying

ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Suhu Inlet 3,532969 3 1,177656 77,70103 2,94E-06 4,066181Laju alir 2,520156 1 2,520156 166,2784 1,24E-06 5,317655Interaksi 0,292969 3 0,097656 6,443299 0,015804 4,066181Eror 0,12125 8 0,015156 Total 6,467344 15

Perlakuan suhu inlet, laju alir dan interaksinya memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar air mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 12b. Uji lanjut Duncan kadar air Alpha =0,05

Subset

Suhu_inlet 1 2 3 190 1,875 180 2,075 170 2,325

Duncan(a,b) 160 3,113

Lampiran 13a. Hasil analisis keragaman aw mikrokapsul variasi kondisi spray drying

ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Suhu Inlet 0,024283 3 0,008094 520,1111 1,66E-09 4,066181 Laju alir 0,017096 1 0,017096 1098,51 7,49E-10 5,317655 Interaksi 0,002069 3 0,00069 44,31995 2,49E-05 4,066181 Eror 0,000125 8 1,56E-05 Total 0,043572 15

Perlakuan suhu inlet, laju alir dan interaksinya memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aw mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 13b. Uji lanjut Duncan aw (alpha =5%)

Suhu Inlet Subset 1 2 3 4

190 0,314 180 0,334 170 0,354

Duncan(a,b)

160 0,418

Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

4

Page 91: oleorisin jahe

Lampiran 14a. Hasil analisis keragaman surface oil variasi kondisi spray drying

Perlakuan suhu inlet, laju alir memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai Surface Oil mikrokapsul (FHit >F crit).

ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Suhu Inlet 0,001344 3 0,000448 14,9047 0,001224 4,066181Laju Alir 0,000467 1 0,000467 15,51773 0,0043 5,317655Interaksi 9,16E-05 3 3,05E-05 1,015258 0,43516 4,066181Eror 0,000241 8 3,01E-05 Total 0,002143 15

Lampiran 14b. Uji lanjut Duncan Surface_Oil ( Alpha =5%)

Suhu_Inlet Subset 1 2 Duncan(a,b) 190 0,1629 180 0,1632 170 0,1656 160 0,1849

Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Lampiran 15. Hasil analisa keragaman kelarutan dalam air variasi kondisi spray drying

ANOVA Source of Variation SS df MS FHit P-value F crit

Suhu Inlet 0,58535 3 0,195117 1,61973 0,260027 4,066181Laju Alir 0,093025 1 0,093025 0,772232 0,405148 5,317655Interaksi 0,192925 3 0,064308 0,533845 0,671867 4,066181Eror 0,9637 8 0,120462 Total 1,835 15

Perlakuan suhu inlet dan laju alir tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap

nilai kelarutan dalam air (Fhit<Fcrit).

5

Page 92: oleorisin jahe

Lampiran 16a. Hasil GCMS minyak atsiri oleoresin jahe

Alpha -zingiberene

Komponen % area

Alpha-zingiberene 50.73

Farnesene 14.51

Beta-Sesquiphelandrene 19.06

Beta-eudesemol 0.77

Lampiran 16b. Hasil GCMS minyak atsiri flavor terenkapsulasi (MSc:170:15)

farnesene

Beta -sesquiphelandreden

Alpha -zingiberene

Beta -sesquiphelandreden

farnesene

Komponen % area

Alpha-zingiberene 52.58

Farnesene 14.89

Beta-Sesquiphelandrene 19.48

Beta-eudesemol 1.03

6

Page 93: oleorisin jahe

Lampiran 16c. Hasil GCMS minyak atsiri flavor terenkapsulasi

(MSc:190:15)

Alpha -zingiberene

Beta -sesquiphelandren

farnesene

Komponen % area

Alpha-zingiberene 46.59

Farnesene 17.31

Beta-Sesquiphelandrene 18.88

Beta-eudesemol 0.70

7

Page 94: oleorisin jahe

Lampiran 17. Analisis nilai ekonomis oleoresin dan mikrokapsul

1. Harga jahe emprit di pasaran bervariasi tergantung kualitas.

Asumsi harga jahe standar ekspor = Rp.7000-10.000,-/kg

(Depperind, 2005)

Konversi 60-75% hilang Jahe : 10 kg

Jahe kering 2.5 kg

Harga jahe : (kadar air 5-10%) ( = Rp. 100.000,-) 000.1010 ×

Oleoresin 250 gram*

(*rendemen pada produk ekspor = 10 %, harga Rp. 500.000/250 gram,

dengan kadar atsiri 35%, www.essentialoil.com )

Harga jual 250 gram oleoresin ≈ Rp. 500.000,-

Dari hasil perbandingan kasar harga keduanya maka dapat disimpulkan;

• Nilai ekonomis oleoresin diprediksi mencapai 5 kali lebih

tinggi dibandingkan nilai jahe segar.

2. Asumsi :

I. Oleoresin 10 gram (kadar atsiri : 35%) : Rp. 20.000,

II. Dienkapsulasi dengan bahan penyalut Maltodekstrin-Natrium kaseinat

(MSC (2:1))

III. Rendemen mikrokapsul 85%, emulsi 1,5 liter (20% penyalut)

menghasilkan 255 gram mikrokapsul.

Biaya variabel produksi :

• Bahan aktif 30 gram oleoresin≈ Total volatile oil (35%)

Rp. 60.000, -

( Rp. 5.714/ gram volatile oil)

• Maltodekstrin (200 gram) Rp. 15.000, -

• Na-Kas (100 gram) Rp. 25.000, -

Rp.100.000,-

8

Page 95: oleorisin jahe

Biaya pengolahan dan operasi:

Spray drying, Homogenizer Rp 250.000,00-/operasi,

Operator Rp 40.000,00-/hari ________+

Jumlah total biaya produksi Rp. 390.000,00-

Mark up harga 60 %, sehingga harga jual 255 gram mikrokapsul:

−=−+−× ,000.624.,000.390.),000.390.100/60( RpRpRp

Oil retention 92.1 %, sehingga total volatile oil adalah 3,22%.

Total volatile oil dari 255 gram mikrokapsul = 8.211 gram oil

Jadi, harga jual : Rp. 75.995.6,-/gram volatile oil

Jadi, nilai ekonomis mikrokapsul dibandingkan dengan oleoresin adalah :

714.5.,6.995.75.

RpRp − = 13.2, atau

13 kali lebih tinggi dibandingkan dengan oleoresin jahe.

9