7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
1/31
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti, luka, inflamasi, atau
kanker. Nyeri juga dapat dikatakan sebagai perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak
dan yang berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan
pribadi dimana ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Ambang nyeri
didefinisikan sebagai tingkat (level) dimana nyeri dirasakan untuk pertama kali.
Sasaran terapi nyeri dengan menggunakan antagonis opioid yaitu reseptor opioid,
dengan cara berikatan dengan reseptor opioid untuk menghalangi pelepasan neurotransmiter
sehingga respon nyeri tidak muncul. ujuannya adalah untuk mengobati nyeri tersebut
dengan cara menghilangkan gejala yang muncul. Strategi terapi untuk nyeri terdiri dari terapi
non farmakologis dan terapi farmakologis.
erapi non farmakologis untuk nyeri dapat berupa terapi stimulasi atau dengan
inter!ensi psikologi. erapi stimulasi dilakukan dengan meggunakan Transcutaneus
Electrical Nerve Stimulation("NS) yang telah terbukti berhasil dalam terapi nyeri akibat
pembedahan atau sesudah operasi, traumatik, nyeri oral-facial. #alaupun efek samping
akibat pengguanaan obat-obat opioid dapat dicegah dengan metode ini, namun metode ini
kurang dapat diterima untuk pengobatan nyeri akut. $nter!ensi psikologi jarang digunakan
secara luas untuk terapi nyeri. $nter!ensi sederhana seperti memberi informasi kepada pasien
mengenai sensasi rasa yang akan muncul, dapat mengurangi stress yang dialami pasien
setelah tindakan pengobatan (misal setelah operasi). eknik psikologi lain yang berhasil
dilakukan untuk terapi nyeri antara lain dengan latihan relaksasi, melukis, atau dengan
menghipnotis pasien.
Sedangkan terapi farmakologis untuk nyeri yaitu dapat menggunakan obat-obat
analgesik baik non-opioid (NSA$%) analgesik (golongan salisilat, parasetamol, fenamat,
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
2/31
asam piranokarboksilat, asam propionat, asam karboksil piroli&in, serta inhibitor '-*)
maupun opioid analgesik (opioid agonis dan opioid antagonis).
pioid merupakan senyawa alami atau sintetik yang menghasilkan efek seperti
morfin. Semua obat dalam kategori ini bekerja dengan jalan mengikat reseptor opioid
spesifik pada susunan saraf pusat untuk meghasilkan efek yang meniru efek neurotransmiter
peptida endogen, opiopeptin (misal endorfin dan enkefalin). pioid analgesik penggunaan
utamanya adalah untuk menghilangkan nyeri yang dalam dan ansietas yang menyertainya,
baik karena operasi atau sebagai akibat luka atau suatu penyakit misal kanker.
+eseptor opioid secara luas terdistribusi dalam sistem saraf pusat yang
dikelompokkan menjdi tipe utama yaitu -, -, dan /-reseptor. -reseptor memiliki jumlah
yang paling banyak di otak dan merupakan reseptor yang paling berinteraksi dengan opioid
analgesik untuk mengasilkan efek analgesik. Sedangkan - dan /-reseptor menunjukkan
selekti!itas terhahap enkefalin dan dinorfin secara respektif. Akti!asi -reseptor juga dapat
menghasilkan efek analgesik, namun berlawanan dengan -agonis, yang dapat menyebabkan
euforia. 0eberapa opioid analgesik mengahsilkan efek stimulan dan psikomotorik dengan
beraksi pada /-reseptor. Akti!asi pada - dan /-reseptor dapat menyebabkan hiperpolarisasi
pada saraf dengan cara mengakti!asi 12chanel melalui proses yang melibatkan 3-protein.
Sedangkan akti!asi -reseptor dapat menghambat membran 'a*2 chanel. Sehingga dapat
merintangi peletuoan neuronal dan pelepasan transmitter.
Nalo4one dan Naltre4one merupakan antagonis opioid murni yang disintesis melalui
perubahan yang relatif minor pada struktur morfin. Alterasi substituen pada piperidin
nitrogen dari kelompok metil menjadi ikatan samping yang lebih panjang merubah sifat obat
dari agonis menjadi antagonis. Antagonis opioid mengikat reseptor opioid dengan afinitas
tinggi. Namun Nalo4one tidak memblok efek dari opioid pada -reseptor. Semua antagonis
opioid akan mempercepat penyembuhan pada pasien ketergantungan opioid.
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
3/31
BAB II
NYERI
II.1. Definisi
%efinisi nyeri menurut he $nternational Association for the Study of 5ain adalah
pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh
kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu
yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (non-noksius, epikritik)
misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan. 6) Nyeri dirasakan apabila
reseptor-reseptor nyeri spesifik terakti!asi. Nyeri dijelaskan secara subjektif dan objektif
berdasarkan lama atau durasi, kecepatan sensasi dan letak.*)
II.2 Mekanisme Nyeri
7ekanisme terjadinya nyeri melewati 8 tahapan yaitu 9
6. ransduksi
erjadi perubahan patofisiologis karena mediator-mediator nyeri mempengaruhi
juga nosiseptor diluar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya
terjadi proses sensitisasi perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor
karena pengaruh mediator-mediator tersebut di atas dan penurunan p: jaringan.
Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsang yang sebelumnya tidak menimbulkan
nyeri misalnya rabaan. Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi
sentral yaitu hipereksitabilitas neuron pada korda spinalis, terpengaruhnya neuron
simpatis dan perubahan intraseluler yang menyebabkan nyeri dirasakan lebih
lama.+angsangan nyeri diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang kemudian
menjadi impuls syaraf.
*. ransmisi
ransmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer
melewati kornu dorsalis, korda spinalis menuju korteks serebri. ransmisi sepanjang
akson berlangsung karena proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca
sinaps melewati neurotransmitter.
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
4/31
. 7odulasi
7odulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat meningkatkan
atau mengurangi penerusan impuls nyeri. :ambatan terjadi melalui sistem analgesia
endogen yang melibatkan bermacam-macam neurotansmiter antara lain golongan
endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di korda spinalis. $mpuls ini
bermula dari area peria;uaductuagrey (5A3) dan menghambat transmisi impuls pre
maupun pasca sinaps di tingkat korda spinalis. 7odulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor
perifer medulla spinalis atau supraspinalis.
8. 5ersepsi
5ersepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri yang
diterima. +ekonstruksi merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris, informasi
kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala).
5ersepsi menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan.)
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
5/31
BAB III
FARMAKOLOGI OPIOD
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. pium
yang berasal dari 5apa!er somniferum mengandung sekitar *< jenis alakaloid dianataranya
morfin, kodein, tabain, papa!erin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperhatikan berbagai efek farmakodinamik yang
lain. $stilah analgesik narkotik dahulu sering digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi
karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau
menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat. 8)
=ang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, deri!at semisintetik alkaloid
opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. bat yang
mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid.
Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui kerjanya di daerah otak yang
mengandung peptida yang memiliki sifat farmakologik menyerupai opioid. $stilah umum yang
dewasa ini digunakan untuk senyawa endogen tersebut adalah peptida opioid endogen,
menggantikan istilah endorfin yang digunakan sebelumnya. elah diidentifikasi jenis peptida
opioid yaitu enkefalin, endorphin dan dinorfin. 5eptida opioid yang didistribusi paling luas dan
memiliki akti!itas analgesik, adalah pentapeptida metionin- enkefalin ( met- enkefalin ) atau
leusin- enkefalin ( leu- enkefalin ). Salah satu atau kedua pentapeptida tersebut terdapat di dalam
ke protein prekursor utama yaitu prepro- opiomelanokortin, preproenkefalin ( proenkefalin A ),
dan preprodinorfin ( proenkefalin 0 ). 5rekursor opioid endogen terdapat pada daerah di otak
yang berperan dalam modulasi nyeri, dan juga ditemukan di medulla adrenal dan pleksus saraf di
usus. 7olekul prekursor opioid endogen dapat dilepaskan selama stres seperti adanya nyeri atau
usaha antisipasi nyeri.
5enelitian akhir- akhir ini juga menunjukkan bahwa beberapa opioid fenantren ( morfin,
kodein ) dapat juga ditemukan sebagai senyawa endogen pada kadar yang sangat rendah
( pikomolar ) pada jaringan mamalia, akan tetapi peranannya belum diketahui secara pasti.
Ada jenis utama reseptor opioid yaitu mu ( > ), delta ( ? ), kappa ( @ ). 1etiga jenis
reseptor ini termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein 3, dan memiliki
subtipe 9 mu6, mu*, delta6, delta*, kappa6, kappa*, dan kappa. +eseptor opioid sebenarnya
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
6/31
tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah
yaitu di sistem limbik, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem akti!asi reticular dan di
korda spinalis yaitu substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. 7olekul
opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan
reseptor morfin dan menghasilkan efek. 1arena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi
yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu jenis
reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opiod dapat memiliki efek
farmakologik yang beragam.
+eseptor > memperantarai efek analgetik mirip morfin, euphoria, depresi nafas, miosis,
berkurangnya motilitas saluran cerna, +eseptor @ diduga memperantarai analgesia seperti yang
ditimbulkan pentaso&in, sedasi serta miosis dan depresi nafas tidak sekuat agonis >. Selain itu
di susunan saraf pusat juga didapatkan reseptor ? yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor
epsilon yang sangat selektif terhadap beta- endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap
enkefalin. erdapat bukti- bukti yang menunjukkan bahwa reseptor ? memegang peranan dalam
menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. %ari penelitian pada tikus didapatkan
bahwa reseptor ? dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi nafas, sedangkan reseptor >
dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. +eseptor > ada * jenis yaitu reseptor >6 yang
hanya didapatkan di susunan saraf pusat dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal,
penglepasan prolaktin hipotermia dan katalepsia sedangkan reseptor >* dihubungkan dengan
penurunan tidal volume dan bradikardia. Analgesik yang berperan pada tingkat spinal
berinteraksi dengan reseptor ? dan reseptor @.
5ada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia grisea, yaitu di
peria;uaduktus dan peri!entrikular, sedangkan pada sistem spinal tempat kerjanya di substansia
gelatinosa korda spinalis. 7orfin (agonis) terutama bekerja di reseptor > dan sisanya di reseptor
, maka analgesik opioid menghilangkan nyeri dengan cara bekerja pada mekanisme terjadinya
nyeri pada tahap modulasi sehingga menyebabkan tidak terbentuknya persepsi nyeri.6)
0erdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opiod dibagi menjadi 9
6. Agonis penuh ( kuat )
*. Agonis parsial ( agonis lemah sampai sedang ). 'ampuran agonis dan antagonis
8. Antagonis.
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
7/31
pioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat
menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya
pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya. pioid yang merupakan campuran agonis dan
antagonis adalah opioid yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai
suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya. 0erdasarkan rumus
bangunnya obat golongan opiod dibagi menjadi deri!at fenantren, fenilheptamin, fenilpiperidin,
morfinan, dan ben&omorfan.
a!e" 1. KLA#IFIKA#I OBA GOLONGAN OPIOID
Struktur %asar Agonis 1uat Agonis lemahsampai sedang
'ampuran agonis antagonis
Antagonis
Benantren 7orfin:idromorfon
ksimorfon
1odeinksikodon
:idrokodon
Nalbufin0uprenorfin
NalorfinNalokson
Naltrekson
Benilheptilamin 7etadon 5ropoksifen
Benilpiperidin 7eperidin
Bentanil
%ifenoksilat
7orfinan Ce!orfanol 0utorfanol
0en&omorfan 5entaso&in
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
8/31
III. 1. MORFIN DAN ALKALOID OPIUM
1.1. Asa" $an #%r&k%&r Kimia
pium atau candu adalah getah 5apa!er somniferum C yang telah dikeringkan.
Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan yaitu golongan fenantren, misalnya
morfin dan kodein. %an satu golongan lainnya adalah golongan ben&ilisokinolin, misalnya
noskapin dan papa!erin. %ari alkaloid deri!at fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai
deri!at semisintetik.
+6 pada morfin berupa gugus :, yang bersifat fenolik, sehingga disebut sebagai
: fenolikD sedangkan : pada +*- bersifat alkoholik sehingga disebut sebagai :
alkoholik. Atom hidrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh berbagai gugus membentuk
berbagai alkaloid opium.
"fek farmakololgik masing- masing deri!at secara kualitatif sama tetapi berbeda secara
kuantitatif dengan morfin. 3ugus : fenolik bebas berhubungan dengan efek analgetik,
hipnotik,depresi napas dan obstipasi. 3ugus : alkoholik bebas merupakan lawan efek gugus
: fenolik. Adanya kedua gugusan : bebas disertai efek kon!ulsif dan efek emetik yang tidak
begitu kuat. Substitusi +6 mengakibatkan berkurangnya efek analgetik, efek depresi nafas dan
efek spasmodik terhadap ususD sebaliknya terjadi penambahan efek stimulasi SS5 . Substitusi
pada +*mengakibatkan bertamabahnya efek opioid dan efek depresi napas. Substitusi pada +6
dan +*bersamaan, mengakibatkan bertambahnya efek kon!ulsif dan berkurangnya efek emetik.
1.2. Farmak'$inamik
"fek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin
bekerja sebagai agonis pada reseptor >. Selain itu morfin juga mempunyai afinitas lebih lemah
terhadap reseptor @ dan ?.
"fek morfin pada terhadap SS5 berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan
opioid lain sudah timbul sebelum pasien tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur.
7orfin dosis kecil ( E-6< mg ) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang menderita nyeri,
sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan
disforia berupa perasaan khawatir atau takut disertai mual dan muntah. 7orfin menimbulkan
pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, akti!itas motorik berkurang,
ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
9/31
gatal dan mulut terasa kering, depresi napas, dan miosis. +asa nyeri berkurang, rasa lapar hilang
dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. %alam lingkungan yang tenang orang
yang diberikan dosis terapi ( 6E-*< mg ) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi,
napas lambat dan miosis.
"fek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid
pada reseptor >. +eseptor @ dan reseptor dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan
analgesia terutama pada tingkat spinal. 7orfin juga bekerja melalui reseptor ? dan @, namun
belum diketahui besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini dapat menimbulkan
analgesia. 5entaso&in terutama bekerja pada resptor @, tetapi juga mempunyai afinitas pada
reseptor >.
pioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opiod yang
terutama didapatkan di SS5 dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi
nyeri.
1etiga jenis reseptor utama yaitu reseptor >,@, dan ? banyak didapatkan pada kornu
dorsalis medulla spinalis. +eseptor didapatkan baik pada saraf yang mentransmisi nyeri di
medulla spinalis maupun pada aferen primer yang menyalurkan rasa nyeri. Agonis opioid
melalui reseptor >,@, dan ? pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi
penglepasan transmitter, dan selanjutnya menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu
dorsalis medulla spinalis. %engan demikian opioid memiliki efek analgetik yang kuat melalui
pengaruh pada medulla spinalis. Selain itu > agonis juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps
melalui reseptor > di otak.
5emberian agonis opioid ke medulla spinalis akan menimbulkan analgesia setempat,
sedangkan efek samping sistemik karena pengaruh supraspinal minimal. pioid yang diberikan
secara sistemik umumnya bekerja baik pada tingkat spinal maupun supraspinal sehingga
meningkatkan khasiat analgesiknya.
5englepasan opioid endogen ikut berperan dalam menimbulkan analgesia oleh pemberian
opioid. 7eskipun agonis opioid terutama bekerja pada reseptor >, akan tetapi selanjutnya hal ini
menyebabkan terjadinya penglepasan opioid endogen yang bekerja pada reseptor @ dan ?.
"fek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya
fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar ( !ibrasi ), penglihatan dan pendengaranD bahkan
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
10/31
persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. =ang
terjadi adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri ituD pasien sering mengatakan
bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi.
5engaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam ( dull pain ) dan
berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin terhadap nyeri tajam dan
intermitten. %engan dosis terapi, morfin dapat meredakan nyeri kolik renal atau kolik empedu.
Nyeri mendadak yang menyertai tabes dorsalis ( tabetic crise), tidak dapat dihilangkan dengan
sempurna oleh morfin. 0erbeda dengan salisilat, morfin dapat mengatasi nyeri yang berasal dari
alat dalam maupun yang berasal dari integumen, otot dan sendi.
7orfin dan opioid lainnya sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium
dan kon!ulsi lebih jarang timbul. Baktor yang dapat mengubah eksitasi morfin ialah
iodosinkronasi dan tingkat eksitasi refleks ( reflex excitatory level ) SS5. 0eberapa indi!idu,
terutama wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang
mendahului depresi, tetapi delirium dan kon!ulsi jarang timbul. 1emungkinan timbulnya eksitasi
menyebabkan depresi progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi,
sedangkan heroin menimbulkan eksitasi sentral. 7orfin dan obat kon!ulsan sentral mengadakan
sinergisme, maka morfin tidak cocok untuk terapi kon!ulsi.
5ada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. 7isalnya pada kucing,
morfin akan menimbulkan mania, midriasis, hipersali!asi, dan hipertermi, kon!ulsi tonik dan
klonik yang dapat berakhir dengan kematian. Benomena ini juga timbul pada kucing tanpa
korteks serebri ( decorticated cat), maka efek ini tidak dapat disamakan dengan eksitasi yang
terjadi pada stadium $$ anestetik umum.
7orfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor > dan @ menyebabkan
miosis. 7iosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulomotor.
7iosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. 5ada intoksikasi morfin, pin point pupil
merupakan gejala yang khas. %ilatasi berlebihan hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi
morfin, yaitu jika sudah ada asfiksia. 7eskipun toleransi ringan dapat terjadi akan tetapi pasien
adiksi dengan kadar opioid dalam sirkulasi yang tinggi akan selalu mengalami miosis. 7orfin
dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurukan tekanan intraokuler, baik pada
orang normal maupun pada pasien glaukoma.
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
11/31
7orfin menimbulkan depresi napas secara primer dan berkesinambungan berdasarkan
efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. 5ada dosis kecil morfin sudah menimbulkan
depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. %osis toksik dapat
menyebabkan frekuensi napas - 8 kaliF menit dan kematian pada keracunan morfin hampir
selalu disebabkan oleh depresi napas. 5ada depresi napas, terjadi penurunan frekuensi napas,
!olume semenit dan tidal exchange, akibatnya 5 '*dalam darah dan udara al!eolar meningkat
dan kadar *dalam darah menurun. 1epekaan pusat napas terhadap '*berkurang. 1adar '*
EG tidak lagi menimbulkan peninggian !entilasi pulmonal.
7orfin dan analgesik opioid lain berguna untuk menghambat refleks batuk. %epresi
refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejajar dengan depresi napas . "fek depresi napas ini
lebih besar pada morfin dan efek depresi batuknya lebih lemahD sedangkan efek depresi batuk
kodein kuat dan efek depresi napasnya tidak begitu kuat. "fek dionin terhadap napas mirip efek
kodein. bat yang menekan refleks batuk tanpa disertai depresi napas misalnya noskapin.
"fek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic chemotic receptor
trigger zone ( 'H ) di area postrema medulla oblongata, bukan oleh stimulasi pusat emetik
sendiri. Apomorfin menstimulasi 'H paling kuat. "fek emetik kodein, heroin,
metilhidromorfinon dan mungkin juga dihidromorfin lebih kecil daripada efek emetik morfin.
bat emetik lain tidak efektif setelah pemberian morfin.
%eri!at fenotia&in, yang merupakan bloker dopamin kuat dapat mengatasi mual dan
muntah akibat morfin.
%engan dosis terapi ( 6E mg morfin subkutan ) pada pasien yang berbaring, jarang terjadi
mual dan muntah, tetapi 8< G pasien berobat jalan mengalami mual dan 6E G pasien mengalami
muntah. "fek mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi !estibuler, sebaliknya
analgetik opioid sintetik meningkatkan sensiti!itas !estibuler. bat- obat yang bermanfaat untuk
motion sicknesskadang- kadang dapat menolong mual akibat opiod pada pasien berobat jalan.
7orfin mempunyai efek langsung pada saluran cerna bukan melalui efeknya pada
susunan saraf pusat.
7orfin menghambat sekresi :'l, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin
menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya
berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke
duodenum diperlambat. 5erlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum.
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
12/31
5emotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi efek terhadap lambung ini. 5ada
manusia peninggian tonus otot polos lambung oleh morfin sedikit diperkecil olek atropin.
7orfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan
makanan di usus halus. 5ada manusia, morfin akan mengurangi kontraksi propulsif, meninggikan
tonus dan spasme periodik usus halus. "fek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum.
5enerusan isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorpsi air menyebabkan isi usus menjadi
lebih padat. onus !al!ula ileosekalis juga meninggi. Atropin dosis besar tidak lengkap melawan
efek morfin ini.
7orfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus
dan menyebabkan spasme usus besarD akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja
menjadi lebih keras. %aya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak
merasakan kebutuhan untuk defikasi. #alaupun tidak lengkap efek morfin pada kolon dapat
diantagonis oleh atropin. "fek konstipasi kodein lebih lemah daripada morfin. 5ecandu opioid
terus menerus menderita episode konstipasi dan diare secara bergantian, karena tidak terjadi
toleransi terhadap efek konstipasi opioid.
%osis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metilhidromorfinon menimbulkan
peninggian tekanan dalam duktus koledokusD dan efek ini dapat menetap selama * jam atau
lebih. 1eadaan ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat.
7enghilangnya nyeri setelah pemberian morfin pada pasien kolik empedu disebabkan oleh efek
sentral morfin, namun pada beberapa pasien justru mengalami eksaserbasi nyeri. 5ada
pemeriksaan radiografis terlihat konstriksi sfingter ddi. Atropin menghilangkan sebagian
spasme ini. 5emberian nalorfin, amilnitrit secara inhalasi, nitrogliserin sublingual dan aminofilin
$I akan meniadakan spasme saluran empedu oleh morfin.
5emberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun
irama denyut jantung 5erubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat !agus dan
pusat !asomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. ekanan darah turun akibat hipoksia yang
terjadi pada stadium akhir intoksikasi morfin. :al ini terbukti dengan dilakukannya napas buatan
atau dengan memberikan oksigenD tekanan darah naik meskipun depresi medulla oblongata
masih berlangsung.
7orfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardio!askuler untuk bereaksi
terhadap perubahan sikap. 5asien mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan dapat jatuh
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
13/31
pingsan, terutama akibat !asodillatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek langsung terhadap
pembuluh darah kecil. 7orfin dan opioid lain melepaskan histamin yang merupakan fackor
penting dalam timbulnya hipotensi.
"fek morfin terhadap miokard manusia tidak berartiD frekuensi jantung tidak dipengaruhi
atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak konstan. 3ambaran
elektrokardiogram tidak berubah.
7orfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati hati pada keadaan hipo!olemia
karena mudah timbul hipotensi. 5enggunaan opioid bersama deri!at fenotia&in menyebabkan
depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. 7orfin harus digunakan dengan sangat hati- hati
pada pasien kardiopulmonale, sebab dapat menyebabkan kematian.
7orfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo, serta kontraksi ureter dan kandung
kemih. "fek ini dapat dihilangkan dengan pemberian
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
14/31
pioid dapat memodulasi sistem imun dengan mempengaruhi proliferasi limfosit,
pembentukan antibodi, dan kemotaksis.
1.( Farmak'kine%ik
7orfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalui kulit luka.
7orfin juga dapat menembus mukosa. %engan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin kecil
sekali. 7orfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih
rendah daripada efek analgetik yang timbul yang timbul setelah pemberian parenteral dengan
dosis yang sama. 7ula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan $I sama cepat, sedangkan
setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda- beda. Setelah pemberian
dosis tunggal, sebagian opioid mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian
dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 6< G tidak diketahui nasibnya. 7orfin dapat melintasi
sawar uri dan mempengaruhi janin. "kskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil
morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. 7orfin yang terkonyugasi ditemukan dalam
empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
1odein mengalami demetilasi menjadi morfin dan '*. '* ini dikeluarkan oleh paru-
paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Krin mengandung bentuk bebas dan bentuk
konyugasi dari kodein, narkodein, dan morfin.
1.). In$ikasi
7orfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non- opioid. Cebih hebat nyerinya makin
besar dosis yang diperlukan. Kntunglah pada nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang
terjadi, sebab nyeri merupakan antidotum fisiologis bagi efek depresi napas morfin.
7orfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai 9
6. $nfark miokad
*. Neoplasma. 1olik renal atau kolik empedu
8. klusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal, atau koroner
E. 5erikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontanJ. Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pascabedah.
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
15/31
Sebagai medikasi preanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan pada pasien yang
sedang menderita nyeri. 0ila tidak ada nyeri dan obat preanestetik hanya dimaksudkan untuk
menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan pentobarbital atau dia&epam.
5enghambatan refleks batuk dapat dipertanggungjawabkan pada batuk yang tidak
produktif dan tidak iritatif. 0atuk demikian mengganggu tidur dan menyebabkan pasien tidak
dapat beristirahat dan mungki sekali disertai nyeri. Akan tetapi dewasa ini penggunaan analgesik
opioid untuk mengatasi batuk telah banyak ditinggalkan karena telah banyak obat- obat sintetik ,7orfin yang diberikan secara intra!ena dapat dengan jelas mengurangi atau
menghilangkan seasak napas akibat edema pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.
7ekanismenya tidak jelas, mungkin dapat mengurangi persepsi pendeknya pernapasan dan
menguarangi kecemasan pasien, serta mengurangi beban hulu dan beban hilir jantung.
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan efek langsung terhadap
otot polos usus. 5ada pengobatan diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan atau
intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus didahului pemberain garam katartik untuk
mengeluarkan penyebab. %osis alkaloid morfin yang menyebabkan sembelit dan menghambat
refleks batuk kira- kira sama. Akan tetapi dewasa ini telah tersedia senyawa senyawa sintetik
yang bekerja lebih selektif pada saluran cerna misalnya difenoksilat dan loperamid.
1.*. Efek #am+in,
7orfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita berdasarkan
idiosinkrasi. 0entuk idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang- jarang
deliriumD lebih jarang lagi kon!ulsi dan insomnia. 0erdasarkan reaksi alergik yang dapat timbul
gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
0ayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asal saja dosis
diperhitungkan berdasarkan berat badan. etapi orang usia lanjut dan pasien penyakit berat
agaknya lebih peka terhadap efek morfin. 7orfin dan opioid lain juga harus digunakan dengan
hati- hati bila daya cadangan napas ( respiratory reserve ) telah berkurang, misalnya pada
emfisem, kifoskoliosis, korpulmonale kronik dan obesitas yang ekstrim. 7eskipun pasien
dengan keadaan seperti ini tampaknya dapat bernapas normal, sebenarnya mereka telah
menggunakan mekanisme kompensasi, misalnya berupa frekuensi napas yang lebih tinggi. 5ada
pasien tersebut kadar '*plasma tinggi secara kronik dan kepekaan pusat pernapasan terhadap
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
16/31
'* telah berkurang. 5emberian lebih lanjut dalam bentuk depresi oleh morfin dapat
membahayakan.
$ntoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau
pada takar lajak. 5asien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi berat. Brekuensi napas
lambat, *-8 kaliF menit, dan pernapasan mungkin berupa Cheyne Stokes. 5asien sianotik, kulit
merah tidak merata dan agak kebiruan. ekanan darah yang mula- mula baik akan menurun
samapi terjadi syok bila napas memburuk, dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen.
5upil sangat kecil (pin point pupil), kemudian midraisis jika telah terjadi anoksia. 5embentukan
urin sangat berkurang karena terjadi penglepasan A%: dan turunnya tekanan darah. Suhu badan
rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan relaksasi dan
lidah dapat menyumbat jalan napas. 5ada bayi mungkin dapat timbul kon!ulsi. 1ematian
biasanya disebabkan oleh depresi napas.
1.-. '"eransi a$iksi $an abuse
erjadinya toleransi dan ketergantungan fisik setelah penggunaan berulang ulang
merupakan gambaran spesifik obat- obat opioid. 1emungkinan untuk terjadinya ketergantungan
fisik tersebut merupakan salah satu alasan utama untuk membatasi penggunaannya.
5ada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut 9
6. :abituasi, yaitu perubahan psikik emosional sehingga pasien ketagihan akan morfinD
*. 1etergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia tubuh tidak
berfungsi lagi tanpa morfinD
. Adanya toleransi
oleransi ini timbul terhadap efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. oleransi silang
dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. oleransi timbul
setelah *- minggu. 1emungkinan timbulnya toleransi lebih besar bila digunakan dosis besar
secara teratur.
Lika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba- tiba timbullah gejala putus
obat atau gejala abstinensi. 7enjelang saat dibutuhkan morfin, pecandu tersebut akan merasa
sakit, gelisah dan iritabelD kemudian tertidur nyenyak. Sewaktu bangun ia akan mengeluh
seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. 5ada fase ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi,
berkeringat, menguap, bersin, mual, midriasis, demam dan napas cepat. 3ejala ini makin hebat
disertai timbulnya muntah, kolik dan diare. Brekuensi denyut jantung dan tekanan darah
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
17/31
meningkat. 5asien merasa panas dingin disertai dengan hiperhidrosis. Akibatnya timbul
dehidrasi, ketosis, asidosis dan berat badan pasien menurun. 1adang- kadang timbul kolaps
kardio!askular yang bisa berakhir dengan kematian.
Addiction liability atau daya untuk menimbulkan adiksi berbeda- beda untuk masing -
masing obat. 0ahaya terbesar didapat pada heroin sebab heroin menimbulkan euforia yang kuat
yang tidak disertai mual dan konstipasi. 1odein paling jarang menimbulkan adiksi karena
kodein sedikit sekali menimbulkan euforia. Kntuk menimbulkan adiksi terhadap kodein
diperlukan dosis besar. %engan dosis besar ini gejala tidak menyenangkan sudah timbul
sebelum timbul adiksi.
1./. In%eraksi O!a%
"fek depresi SS5 beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang fenotia&in,penghambat monoamin oksidase dan antidepresi trisiklik. 7ekanisme supraaditif ini tidak
diketahui dengan tepat, mungkin menyangkut perubahan dalam kecepatan biotransformasi opioid
atau perubahan pada neurotransmitter yang berperan dalam kerja opiod. 0eberapa fenotia&in
mengurangi jumlah opioid yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. etapi
efek sedasi dan depresi napas akibat morfin akan diperberat oleh fenoia&in tertentu, dan selain itu
ada efek hipotensi fenotia&in.
1.0. #e$iaan $an P's'"',i
Sediaan yang mengandung campuran alkaloid dalam bentuk kasar beraneka ragam dan
masih dipakai. 7isalnya pul!us opii mengandung 6
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
18/31
1odein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam :'l atau fosfat. Satu
tablet mengandung 6. bat lain yang
mirip dengan meperidin ialah piminodin, ketobemidon, dan fenoperidin.
Seperti morfin, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi napas
dan efek sentral lain.
"fek analgetik meperidin serupa dengan efek analgetik morfin. "fek analgetik
meperidin mulai timbul 6E menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam *
jam. "fek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan atau $7 yaitu dalam
6< menit, mencapai puncak dalam waktu 6 jam dan masa kerjanya -E jam. "fekti!itas
meperidin ME- 6
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
19/31
7eperidin dalam dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas sama kuat
dengan morfin dan mencapai puncaknya dalam 6 jam setelah suntikan $7. 1edua obat
ini menurunkan kepekaan pusat napas terhadap ' *dan mempengaruhi pusat yang
mengatur irama napas dalam pons. 0erbeda dengan morfin, meperidin terutama
menurunkan tidal volume, sedangkan frekuensi napas kurang dipengaruhi. Sebaliknya,
morfin terutama menimbulkan penurunan frekuensi napas. 5erubahan frekuensi napas
lebih mudah dilihat daripada perubahan tidal volume, sehingga efek depresi napas oleh
meperidin tidak disadari. %epresi napas oleh meperidin dapat dilawan oleh nalokson dan
antagonis opioid lain.
5emberian meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia kornea, dengan
akibat menghilangnya refleks kornea. 0erbeda dengan morfin, meperidin tidak
mempengaruhi diameter pupil dan refleks pupil. Sperti morfin dan metadon, meperidin
meningkatkan kepekaan alat keseimbangan yang merupakan dasar timbulnya mual,
muntah, dan pusing pada mereka yang berobat jalan. Seperti morfin dan metadon,
meperidin tidak berefek antikon!ulsi. 7eperidin menyebabkan penglepasan A%:.
7eperidin merangsang 'H, sehingga menimbulkan mual dan muntah.
5emberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring tidak
mempengaruhi sistem kardio!askular, tidak menghambat kontraksi miokard dan tidak
mengubah gambaran "13. 5asien berobat jalan mungkin menderita sinkop disertai
penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika pasien berbaring. Sinkop
timbul pada penyuntikan meperidin $I karena terjadi !asodilatasi perifer dan
penglepasan histamin. Seperti morfin, meperidin dapat menaikkan kadar '* darah
akibat depresi napasD kadar ' *yang tinggi ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah
otak sehingga timbul kenaikan tekanan cairan serebrospinal.
"fek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah
daripada morfin. 1ontraksi propulsif dan nonpropulsif saluran cerna berkurang, tetapi
dapat timbul spasme dengan tiba- tiba serta peninggian tonus usus. Seperti morfin,
kodein dan metadon, meperidin menimbulkan spasme saluran empedu. 7eperidin lebih
lemah daripada morfin, tetapi lebih kuat daripada kodein dalam menimbulkan spasme
saluran empedu. 7eperidin tidak menimbulkan konstipasi sekuat morfin, sehingga
meperidin tidak berguna untuk pengobatan simtomatik diare.
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
20/31
7eperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan metakolin,
namun pemberian dosis terapi meperidin tidak banyak mempengaruhi otot bronkus
normal. %alam dosis besar obat ini justru menyebabkan bronkokonstriksi.
Setelah pemberian meperidin dosis terapi, peristaltik ureter berkurang. :al ini
disebabkan oleh berkurangnya produksi urin akibat dilepaskannya A%: dan
berkurangnya laju filtrasi glomerulus.
7eperidin sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. Adanya uterus
hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh meperidinD dan pada uterus yang hiperaktif
kontraksi uterus. Lika meperidin diberikan sebelum pemberian oksitosin, obat ini tidak
mengantagonis efek oksitosik. %osis terapi meperidin yang diberikan sewaktu partus
tidak mempengaruhi kelangsungan partus dan tidak mengubah kontraksi uterus.
7eperidin tidak menganggu kontraksi atau in!olusi uterus pascapersalinan dan tidak
menambah frekuensi perdarahan pascapersalinan.
2.(. Farmak'kine%ik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi
kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan $7. 1adar puncak dalam
plasma biasanya dicapai dalam 8E menit dan kadar yang dicapai sangat ber!ariasi antar
indi!idu. Setelah pemberian secara oral, sekitar E< G obat mengalami metabolisme
lintas pertama dan kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam 6-* jam. Setelah
pemberian meperidin $I, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 6-* jam
pertama, kemudian penurunan berlangsung dengan lambat. 1urang lebih J< G
meperidin dalam plasma terikat protein. 7etabolisme meperidin terutama berlangsung
di hati. 5ada manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang
kemudian sebagian mengalami konyugasi. N- demetilasi menghasilkan normeperidin,
yang kemudian dihidrolisis menjadi asam normeperidinat dan seterusnya asam ini
dikonyugasi pula. 7asa paruh meperidin 2 jam. 5ada pasien sirosis, bioa!aibilitas
meningkat sampai < G dan masa paruh meperidin dan normeperidin memanjang.
7eperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 6F dari
satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk deri!at N-demetilasi.
2.). In$ikasi
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
21/31
7eperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. 5ada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya lebih pendek daripada
morfin. 7isalnya untuk tindakan diagnostik seperti sistoskopi, pielografi retrogard,
gastroskopi, dan pneumoensefalografi. 5ada bronkoskopi, meperidin kurang cocok
karena efek antitusifnya jauh lebih lemah daripada morfin.
7eperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai
obat preanestetik. Kntuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin,
meperidin kurang menyebabkan depresi napas pada janin. etapi sebagai medikasi
preanestetik masih dipertanyakan perlunya suatu analgesik opioidpada pasien yang
tidak menderita nyeri.
2.*. Efek #am+in, K'n%rain$ikasi $an In%'ksikasi
"fek samping meperidin dan deri!at fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,
berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah, gangguan
penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. 5ada pasien berobat jalan reaksi ini
timbul lebih sering dan lebih berat. bstipasi dan retensi urin tidak begitu sering timbul
seperti pada morfin tetapi efek sedasinya sebanding morfin. 5asien yang mual dan
muntah pada pemberian morfin mungkin tidak mengalami hal tersebut bila morfin
diganti dengan meperidinD hal sebaliknya juga dapat terjadi.
1ontraindikasi penggunaan meperidin menyerupai kontraindikasi terhadap morfin
dan opioid lain.
5ada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena
terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu, dosis meperidin perlu dikurangi bila
diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat- obat lain penekan susunan
saraf pusat. 5ada pasien yang sedang mendapat 7A ( 7ono Amin ksidase ) inhibitor
pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan, gejala eksitasi dan demam.
akar lajak meperidin dapat mengakibatkan timbulnya tremor dan kon!ulsi
bahkan juga depresi napas, koma dan kematian. %epresi napas oleh meperidin dapat
dilawan oleh nalorfin atau nalokson. 5ada pecandu meperidin yang telah kebal akan efek
depresi, pemberian meperidin dalam dosis besar akan menimbulkan tremor, kedutan
otot, midriasis, refleks hiperaktif dan kon!ulsi. "fek perangsangan SS5 tersebut
disebabkan oleh akumulasi metabolit aktifnya yaitu normeperidin pada penggunaan
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
22/31
jangka panjang, terutama pasien gangguan fungsi ginjal atau anemia bulan sabit.
0eratnya gejala perangsangan SS5 nampaknya sebanding baik dengan kadar absolut
normeperidin maupun rasio perbandingan normeperidin terhadap meperidin. Nalokson
dapat mencetuskan kon!ulsi pada pasien yang mendapat dosis besar meperidin secara
berulang. 0ila terjadi gejala perangsangan terhadap meperidin obat dihentikan dan
diganti dengan opioid lain misalnya morfin untuk mengatasi nyeri, dan ditambahkan
antikon!ulsan ben&odia&epin bila diperlukan. Nalorfin mengadakan antagonisme
terhadap efek depresi tetapi tidak terhadap efek stimulasi meperidin.
2. -. A$iksi $an '"eransi
oleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat dibanding dengan
morfin. imbulnya toleransi lambat bila inter!al pemberian lebih dari - 8 jam. oleransi
tidak terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropin.
3ejala putus obat pada penghentian tiba- tiba penggunaan meperidin timbul lebih
cepat tetapi berlangsung lebih singkat daripada gejala setelah penghentian morfin
dengan gangguan sistem otonom yang lebih ringan.
2. /. #e$iaan $an P's'"',i
7eperidin :'l tesedia dalam bentuk tablet E< mg dan 6
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
23/31
larut dalam air, sehingga obat ini sukar disalahgunakan secara suntikan. ersedia dalam
bentuk tablet dan sirop yang mengandung *,E mg difenoksilat dan *E >g atropin sulfat
tiap tablet atau tiap E ml sirop. %osis yang dianjurkan untuk pengobatan diare pada
orang dewasa *< mg per hari dalam dosis terbagi.
Coperamid seperti difenoksilat, obat ini memperlambat motilitas saluran cerna
dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. bat ini berikatan dengan
reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan loperamid
dengan reseptor tersebut. bat ini sama efektifnya dengan difenoksilat untuk
pengobatan diare kronik. "fek samping yang sering dijumpai ialah kolik abdomen,
sedangkan toleransi terhadap efek konstipasi jarang sekali terjadi. 5ada sukarelawan
yang mendapat dosis besar loperamid, kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu
8 jam sesudah makan obat. 7asa laten yang lama ini disebabkan oleh penghambatan
motilitas saluran cerna dan karena obat mengalami siklus enterohepatik. #aktu
paruhnya adalah M-68 jam. Coperamid tidak diserap dengan baik melalui pemberian per
oral dan penetrasinya ke dalam otak tidak baikD sifat- sifat ini menunjang selekti!itas
kerja loperamid. Sebagian besar obat diekskresi bersama tinja. 1emungkinan
disalahgunakannya obat ini lebih kecil dari difenoksilat karena tidak menimbulkan
euforia seperti morfin dan kelarutannya rendah. Copramid tersedia dalam bentuk tablet *
mg dan sirup 6 mgF E ml dan digunakan dengan dosis 8- mg per hari.
Bentanil dan deri!atnya yaitu sulfentanil, alfentanil dan remifentanil merupaka
opioid sintetik dari kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor >.
Bentanil adalah sebuah analgesik opioid yang potent. Nama kimiawinya adalah N-
5henyl-N-(6-*-phenylethyl-8-piperidyl) propanamide.
5ertama kali disintesa di 0elgia pada akhir tahun 6OE
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
24/31
Saat ini, Bentanil digunakan untuk anestesi dan analgesik. Sebagai contoh,
%uragesicP adalah Bentanil transdermal dalam bentuk koyo yang digunakan untuk
terapi nyeri yang kronis, dan Acti;P adalah Bentanil yang larut perlahan-lahan di dalam
mulut, di mana obat ini efektif untuk terapi nyeri pada pasien yang menderita kanker.
'arfentanil (#ildnilP) adalah analog dari Bentanil dengan potensi analgesik 6
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
25/31
operasi kardio!askuler atau untuk operasi pada pasien dengan fungsi jantung yang
buruk.
0eberapa indikasi penggunaan Bentanil, yakni9
Nyeri hebat karena luka bakar.
5asien-pasien yang alergi dengan 7orfin.
Nyeri hebat karena fraktur tulang.
Nyeri non-traumatik seperti batu pada ginjal.
5asien-pasien yang menderita kanker.
0eberapa kontra indikasi penggunaan Bentanil, yaitu 9
Adanya gangguan atau depresi pernafasan.
:ipotensi yang tidak terkoreksi.
Alergi terhadap &at-&at narkotik.
5asien-pasien dengan curiga klinis cedera kepala, dada, atau cedera perut.
II. (. MEADON
Kimia
7etadon adalah di-8,8 difeni-J- dimetil- amino-- heptanon. l- 7etadon
merupakan analgesik yang -E< kali lebih kuat dibanding d- metadon. "fek depresi
napas d- metadon lemah dan bahaya adiksinya juga kecil, tetapi isomer ini berefek
antitusif. %eri!at yang serupa dengan metadon tidak lebih baik dari metadon sendiri,malah dekstromoramid lebih banyak menimbulkan efek samping dan menyebabkan
depresi napas lebih berat daripada morfin jika diberikan dalam dosis ekuianalgetik.
Farmak'$inamik
"fek analgetik M,E- 6< mg metadon sama kuat dengan 6< mg morfin. %alam dosis
tunggal, metadon tidak menimbulkan hipnosis sekuat morfin. Setelah pemberian
metadon berulang kali timbul efek sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi.
%osis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas yang sama kuat dengan morfin dan
dapat bertahan lebih dari *8 jam setelah dosis tunggal. Seperti morfin, metadon berefek
antitusif, menimbulkan hiperglikemia, hipotermia dan penglepasan A%:.
Seperti meperidin, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan menghambat
efek spasmogenik asetilkolin atau histamin. "fek konstipasi metadon lebih lemah
daripada morfin. Seperti morfin dan meperidin, metadon menimbulkan spasme saluran
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
26/31
empedu pada manusia dan hewan coba. Kreter mengalami relaksasi, mungkin karena
terjadi antidiuresis. Kterus manusia aterm tidak banyak dipengaruhi metadon.7iosis yang ditimbulkan metadon lebih lama daripada miosis oleh morfin. 5ada
pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat.
7etadon menyebabkan !asodilatasi perifer sehingga dapat menimbulkanhipotensi ortosatatik. 5emberian metadon tidak mengubah gambaran "13 tetapi
kadang- kadang timbul sinus bradikardia. bat ini merendahkan kepekaan tubuh
terhadap ' * sehingga timbul retensi ' * yang dapat menimbulkan dilatasi
pembuluh darah serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal.
Farmak'kine%ik
Setelah suntikan metadon subkutan ditemukan kadar plasma yang tinggi selama6< menit pertama. Sekitar O< G metadon terikat protein plasma. 7etadon diabsorpsi
secara baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma setelah < menit pemberian
oralD kadar puncak dicapai setelah 8 jam. 7etadon cepat keluar dari darah dan
menumpuk dalam paru, hati, ginjal dan limpaD hanya sebagian kecil yang masuk otak.
1adar maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 6-* jam setelah pemberian
parenteral dan kadar ini sejajar dengan intensitas dan lama analgesia. 7etadon
mengalami pengikatan erat pada protein jaringan. 0iotransformasi metadon terutama
berlangsung di hati. Salah satu reaksi penting ialah dengan cara N-demetilasi. Sebagian
besar metadon yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil
biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. 1urang dari 6< G mengalami ekskresi dalam
bentuk asli. Sebagian besar diekskresi bersama empedu. 7asa paruhnya 6- 6 Q hari.
In$ikasi
Lenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat
dipengaruhi oleh morfin. %osis ekuianalgetik metadon kira- kira sama dengan morfin,
tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. "fek
analgetik mulai timbul 6
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
27/31
menyebabkan depresi napas pada janin sehinnga tidak dianjurkan sebagai analgesik pada
persalinan. 7etadon digunakan sebagai pengganti morfin atau opioid lain ( misalnya
heroin ) untuk mencegah atau mengatasi gejala- gejala putus obat yang ditimbulkan oleh
obat- obat tersebut. 3ejala putus obat yang ditimbulkan metadon tidak sekuat dari yang
ditimbulkan morfin atau heroin tetapi berlangsung lebih lama, dan timbulnya lebih
lambat.
7etadon merupakan antitusif yang baik. "fek antitusif 6,E * mg per oral sesuai
dengan 6E *< mg kodein, tetapi kemungkinan timbulnya adiksi pada metadon jauh
lebih besar daripada kodein. leh karenanya dewasa ini penggunaannya sebagai antitusif
tidak dianjurkan atau telah ditinggalkan.
Efek #am+in,
7etadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk,
fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah. Seperti pada morfin
dan meperidin, efek samping ini lebih sering timbul pada pemberian oral daripada
pemberian parenteral dan lebih sering timbul pada pasien berobat jalan. "fek samping
yang jarang timbul adalah delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik. 0ahaya
utama pada takar lajak metadon ialah berkurangnya !entilasi pulmonal. 1epekaan
seseorang terhadap metadon dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi kepekaan
terhadap morfin. erapi intoksikasi akut metadon sama dengan terapi intoksikasi akut
morfin.
'"eransi $an Kem&n,kinan A$iksi
oleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia, miotik,
sedasi, depresi napas dan efek kardio!askuler, tetapi tidak timbul terhadap konstipasi.
oleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin.imbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik dapat
dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin.
1emungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya adiksi morfin.
#e$iaan $an P's'"',i
7etadon dapat diberikan secara oral maupun suntikan, tetapi suntikan subkutan
menimbulkan iritasi lokal. 7etadon tersedian dalam bentuk tablet E dan 6< mg serta
sediaan suntikan dalam ampul atau !ial dengan kadar 6< mgF ml. %osis analgetik
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
28/31
metadon oral untuk dewasa berkisar anatara *,E- 6E mg, tergantung dari hebatnya
nyeri dan respons pasien, sedangkan dosis parenteral ialah *,E 6< mg.
II. ). PROPOK#IFEN
Kimia
$somer dekstro- dari propoksifen, yaitu dekstro- propoksifen bersifat analgetik.
Farmak'$inamik
5ropoksifen berefek analgetik karena kerja sentralnya. 5ropoksifen terutama
terikat pada reseptor > meskipun kurang selektif dibandingkan morfin. 5ropoksifen JE-
6
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
29/31
sama dengan kodein. %osis toksik biasanya menimbulkan depresi SS5 dan depresi
napas, tetapi jika lebih besar lagi timbul kon!ulsi.
A$iksi
imbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil kemungkinannya daripada
terhadap kodein. 5enghentian tiba- tiba pada terapi dengan propoksifen akan
menimbulkan gejala putus obat ringan. %osis oral propoksifen yang besar (
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
30/31
jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dimana ambang toleransi nyeri berbeda-
beda bagi setiap orang. Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) dimana nyeri
dirasakan untuk pertama kali.
0iasanya digunakan analgetik opioid untuk nyeri hebat dan golongan anti inflamasi
non steroid ( NSA$%, non steroidal anti inflammatory drugs ) untuk nyeri sedang atau
ringan. 7etode menghilangkan nyeri dapat dengan cara sistemis ( oral, rectal, transdermal,
sublingual, subkutan, intramuscular, intra!ena, atau per infus ).
pioid ialah semua &at baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. pioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam
anestesi untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. 7alahan
kadang kadang digunakan untuk anestesia narkotik total pada pembedahan jantung.
Nalo4one dan Naltre4one merupakan antagonis opioid murni yang disintesis melalui
perubahan yang relatif minor pada struktur morfin. Alterasi substituen pada piperidin
nitrogen dari kelompok metil menjadi ikatan samping yang lebih panjang merubah sifat obat
dari agonis menjadi antagonis. Antagonis opioid mengikat reseptor opioid dengan afinitas
tinggi. Namun Nalo4one tidak memblok efek dari opioid pada -reseptor. Semua antagonis
opioid akan mempercepat penyembuhan pada pasien ketergantungan opioid.
4HO PAIN LADDER
7/26/2019 Nyeri Tatalaksana
31/31