1.HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan mengenai ketebalan lapisan pada nata de coco
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan NataKelTinggi Media Awal
(cm)KetebalanPersentase Lapisan (%)
07140714
B1200,3 cm0,8 cm01540
B21,500,5 cm0,6 cm033,3340
B32,900,3 cm0,5 cm010,3417,24
B4200,4 cm0,5 cm02025
B51,500,5 cm0,8 cm033,3353
Berdasarkan tabel pengamatan di atas, dapat diketahui bahwa pada
masing-masing kelompok dalam kloter B, diperoleh tinggi media awal,
ketebalan, dan persentase lapisan yang berbeda-beda. Media awal
tertinggi diperoleh kelompok B3 sebesar 2,9 cm sedangkan media awal
terendah diproleh kelompok B2 dan B5 sebesar 1,5 cm. Pada hari
ke-0, ketebalan dan persentase lapisan nata de coco yang dimiliki
setiap kelompok masih belum terbentuk. Pada hari ke-7 inkubasi,
nata de coco mulai terbentuk di mana kelompok dengan nata de coco
paling tebal adalah kelompok B2 dan B5 sebesar 0,5 cm; sehingga
dihasilkan persentase lapisan sebesar 33,33% untuk kelompok B2 dan
B5. Pada hari ke-14 inkubasi, nata de coco menunjukkan pertambahan
ketebalan, di mana kelompok yang menghasilkan nata de coco paling
tebal adalah kelompok B1 dan B5 yang sama-sama menghasilkan 0,8 cm;
sehingga diperoleh persentase lapisan sebesar 40% untuk kelompok B1
dan B2 serta 53% untuk kelompok B5.16
15
2.PEMBAHASAN
Nata de coco didefinisikan sebagai krim yang berasal dari air
kelapa. Biakan murni Bakteri jenis Acetobacter xylinum merupakan
mikroorganisme yang berperan dalam proses pembuatan nata de coco.
Ciri-ciri makanan ini adalah berbentuk padat dan kokoh, berwarna
putih dan transparan, bertekstur kenyal, serta memiliki rasa mirip
kolang-kaling. Pembuatan nata de coco dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti kandungan gula dalam substrat, pH, dan suhu
(Palungkun, 1996). Mekanisme pembentukan nata terjadi melalui
proses pengambilan glukosa dari larutan gula yang terdapat pada
bahan oleh sel-sel bakteri Acetobacter xylinum, di mana glukosa
tersebut selanjutnya digabungkan dengan asam lemak membentuk
prekursor pada membran sel (Rahman, 1992).
2.1.Pembuatan Nata de CocoPada praktikum Teknologi Fermentasi
kali ini, dilakukan pembuatan nata de coco melalui fermentasi air
kelapa dengan penambahan gula dan urea. Tujuan penambahan gula ke
dalam air kelapa adalah karena gula merupakan salah satu sumber
karbon organik yang dibutuhkan bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum
untuk menghasilkan tenunan selulosa. Sementara itu, tujuan
penambahan urea atau amonium fosfat adalah karena urea merupakan
salah satu sumber nitrogen organik bagi pertumbuhan Acetobacter
xylinum. Asam asetat glasial juga ikut ditambahkan pada pembuatan
nata de coco karena sifat asamnya yang dapat membantu pencapaian pH
optimum bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum, yaitu antara 4 hingga
4,5. Proses pembuatan nata de coco terbagi menjadi dua tahap yaitu
pembuatan media dan fermentasi (Awang, 1991).
2.1.1.Pembuatan MediaMula-mula, sebanyak 1000 ml air kelapa tua
disaring dengan kain saring untuk memisahkan substrat dari kotoran
yang ada. Lalu, air kelapa yang sudah terbebas dari kotoran
dipanaskan. Tujuan dilakukannya pemanasan ini, menurut Palungkun
(1992), adalah untuk membunuh mikroba yang dapat mengkontaminasi
nata de coco yang akan dihasilkan, di mana mikroba ini dapat
mengganggu pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum dalam
mengkonversi gula menjadi selulosa secara langsung maupun tidak
langsung. Gula sebanyak 10% dari berat air kelapa atau sebanyak 100
gram kemudian ditambahkan dan diaduk hingga larut. Berat gula yang
ditambahkan ini sesuai dengan teori Sunarso (1982) yang menyatakan
bahwa konsentrasi optimum gula yang seharusnya ditambahkan pada 100
ml substrat adalah sebanyak 10 gram. Astawan & Astawan (1991)
menambahkan bahwa tujuan pemanasan juga adalah untuk melarutkan
gula di samping mengeleminasi mikroba yang tidak diinginkan. Gula
yang terlarut dengan optimal akan dengan mudah diserap oleh
Acetobacter xylinum sehingga terbentuk selaput tebal di permukaan
larutan yang menandakan pembentukan nata berhasil. Proses pemasakan
air kelapa tua bersama gula dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Proses Pemasakan Air Kelapa Tua Bersama Gula Pasir
Langkah selanjutnya, sebanyak 0,5% ammonium sulfat atau 5 gram
ditambahkan ke dalam larutan dan diaduk sampai rata. Tujuan
penambahan senyawa kimia ini, menurut Pambayun (2002), adalah
sebagai sumber nitrogen yang dapat membantu pertumbuhan aktivitas
bakteri pembentuk nata. Namun, sebenarnya akan terlebih baik
apabila digunakan sumber nitrogen ammonium fosfat (ZA). Hal ini
disebabkan karena ZA dapat menghambat pertumbuhan Acetobacter acesi
yang merupakan bakteri pesaing Acetobacter xylinum. Di samping itu,
Atlas (1984) menambahkan bahwa penambahan urea juga berguna untuk
membantu tercapainya pH optimum awal pada substrat fermentasi. Pada
kisaran pH ini, asam ketoglukonat diubah menjadi selulosa sebagai
bentuk proses fermentasi air kelapa menjadi nata. Proses penambahan
amonium sulfat sebagai sumber urea dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Proses Penambahan Ammonium Sulfat sebagai Sumber
Urea
Usai ditambah dengan ammonium sulfat, larutan kelapa tua ini
kemudian ditambahkan dengan asam cuka glasial hingga pH-nya
mencapai kisaran 4 hingga 5. Pengecekan pH dilakukan dengan
menggunakan alat pH-meter. Menurut Rahman (1992), penambahan asam
cuka glasial ini bertujuan untuk mengkondisikan lingkungan
Acetobacter xylinum menjadi asam, di mana bakteri ini akan tumbuh
dengan optimum pada pH rendah tepatnya pada pH 4,3. Proses
penambahan asam cuka glasial dan pengecekan pH dapat dilihat pada
gambar 3 dan 4 di bawah ini.
Gambar 3. Proses Penambahan Asam Cuka Glasial
Gambar 4. Proses Pengecekan pH dengan Alat pH-meter
Setelah mencapai pH yang diinginkan, larutan kemudian disaring
untuk memisahkan kotoran yang masih terkandung dalam air kelapa
tua. Air kelapa yang telah steril kemudian siap untuk digunakan
pada tahap selanjutnya. Proses penyaringan air kelapa dapat dilihat
pada gambar 5.
Gambar 5. Proses Penyaringan Air Kelapa Tua
2.1.2.FermentasiMedia yang telah dibuat melalui langkah-langkah
di atas berikutnya diambil sebanyak 100 ml dan dimasukkan ke dalam
wadah plastik bersih yang telah disiapkan dan ditutup dengan rapat.
Lalu, sebanyak 10% atau 10 ml biang nata (starter) dimasukkan ke
dalam wadah secara aseptis dan diaduk dengan lembut hingga homogen.
Tujuan dilakukannya metode aseptis dalam percobaan ini, menurut
Hadioetomo (1993), adalah untuk mencegah tercemarnya biakan murni,
di mana biakan jenis ini hanya terdiri dari satu spesies tunggal.
Kemudian, jumlah starter yang digunakan dalam praktikum ini sudah
sesuai dengan teori Rahayu et al., (1993) yang menyatakan bahwa
jumlah inokulum yang ditambahkan untuk membuat nata adalah sekitar
1 hingga 10%. Inokulum yang digunakan untuk proses fermentasi ini
harus memiliki usia yang optimum atau tidak boleh terlalu tua.
Apabila Acetobacter xylinum ditumbuhkan pada substrat yang
mengandung gula, maka gula tersebut akan diubah menjadi selulosa.
Selama proses fermentasi berlangsung, selulosa yang terbentuk ini
akan terakumulasi secara ekstraseluler dalam bentuk follicle yang
memiliki tekstur liat. Proses penambahan biang nata secara aseptis
dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Proses Penambahan Biang Nata Secara Aseptis
Usai dilakukan penambahan biang nata, wadah tersebut ditutup
dengan rapat dan dilapisi dengan kertas coklat untuk kemudian
diinkubasi selama 2 minggu pada suhu ruang. Tujuan penumbuhan
bakteri pada suhu ruang ini, menurut Pambayun (2002) adalah karena
suhu optimal bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum berada pada 28oC.
Apabila suhu ini dinaikkan maupun diturunkan, maka dapat
mengakibatkan pertumbuhan bakteri terhambat. Sementara itu, tujuan
penutupan wadah dengan kertas coklat adalah untuk menghindari
kerapatan yang terlalu tinggi sehingga oksigen masih bisa masuk.
Hal ini disebabkan karena Acetobacter xylinum tergolong bakteri
aerob yang membutuhkan oksigen dalam proses pertumbuhannya.
Penutupan wadah dengan kertas coklat dapat dilihat pada gambar
7.
Gambar 7. Penutupan Wadah dengan Kertas Coklat
Selama masa inkubasi, pada hari ke-0, ke-7, dan ke-14 dilakukan
pengamatan terhadap lapisan di permukaan cairan dan ketebalan
lapisan nata yang terbentuk sebagai hasil dari proses fermentasi.
Persentase lapisan nata dihitung menggunakan rumus di bawah
ini:
2.2.Hasil PercobaanMelalui tabel pengamatan, dapat dilihat bahwa
tinggi awal media masing-masing kelompok dalam kloter B
berbeda-beda. Kemudian setiap minggunya, masing-masing kelompok
dalam kloter B mengalami kenaikan ketebalan nata de coco. Hal ini
membuat persentase lapisan nata yang dihasilkan juga menunjukkan
peningkatan. Pada hari ke-0, ketebalan dan persentase lapisan nata
de coco yang dimiliki setiap kelompok masih belum terbentuk. Pada
hari ke-7 inkubasi, nata de coco mulai terbentuk di mana kelompok
dengan nata de coco paling tebal adalah kelompok B2 dan B5 sebesar
0,5 cm. Pada hari ke-14 inkubasi, nata de coco kembali menunjukkan
pertambahan ketebalan, di mana kelompok yang menghasilkan nata de
coco paling tebal adalah kelompok B1 dan B5 yang sama-sama
menghasilkan 0,8 cm. Kelompok yang menunjukkan hasil yang ganjil
adalah kelompok B1 dan B3, di mana tinggi media awal kedua kelompok
berbeda (2 cm pada B1 dan 2,9 cm pada B2), namun dihasilkan
ketebalan nata yang sama pada hari ke-7 inkubasi, yaitu sama-sama
sebesar 0,3 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok B3,
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum selaku penghasil tenunan
selulosa untuk nata de coco kurang optimal dibandingkan bakteri
Acetobacter xylinum pada substrat kelompok B1. Kurang optimalnya
pertumbuhan bakteri pembentuk nata ini, menurut Pambayun (2002),
dapat disebabkan karena penutupan wadah tempat inkubasi kurang
rapat sehingga mengakibatkan kontaminasi pada media. Selain itu,
menurut Hadioetomo (1993), kejanggalan hasil ini juga dapat
disebabkan oleh tercemarnya biakan murni, di mana biakan jenis ini
hanya terdiri dari satu spesies tunggal yang menyebabkan proses
fermentasi tidak berhasil. Seumahu et al., (2007) menambahkan bahwa
nata de coco yang berkualitas baik merupakan nata yang memiliki
ketebalan antara 1,5 hingga 2 cm. Padahal, ketebalan nata yang
dihasilkan oleh kelompok B1 hingga B5 pada masa inkubasi hari ke-7
maupun ke-14 semuanya di bawah 1,5 cm. Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas nata yang dihasilkan kurang baik.
Proses fermentasi nata de coco dapat dikatakan telah selesai dan
berhasil apabila terdapat lapisan putih di bagian permukaan media
(Rahman, 1992). Terbentuknya lapisan nata yang putih ini dihasilkan
melalui pembentukan miofibril dengan memanfaatkan glukosa dalam
substrat. Pembuatan nata yang berhasil ditunjukkan oleh
terangkatnya nata ke atas cairan sebagai akibat dihasilkannya gas
CO2 (Gunsalus & Staines, 1962). Namun, nata de coco yang
dihasilkan dalam percobaan kloter B kali ini gagal karena tekstur
yang dihasilkan oleh nata tidak liat atau terlalu lembek. Hal ini
menandakan bahwa Acetobacter xylinum yang ditumbuhkan pada media
yang mengandung gula tidak mampu mengubah gula tersebut menjadi
selulosa yang kemudian diakumulasikan secara ekstraseluler dalam
bentuk follicle yang liat secara sempurna (Rahayu et al., 1993).
Arsatmodjo (1996) menambahkan bahwa seharusnya, nata membentuk
tekstur yang kenyal dan bukan lembek karena adanya komponen serat
atau selulosa. Apabila jumlah selulosa semakin banyak, maka tingkat
kekenyalan dan ketebalan nata akan ikut meningkat, sehingga air
yang menuju rongga-rongga selulosa juga menjadi semakin banyak dan
teksturnya menjadi kenyal.
Kegagalan pembuatan nata de coco dalam percobaan ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut di
antaranya kontaminasi akibat penutupan wadah yang kurang rapat
selama inkubasi, prosedur aseptis yang salah, maupun kurangnya
sanitasi praktikan sehingga memungkinkan mikroorganisme lain masuk
dan tumbuh (Hidayat dkk, 2006).
Berdasarkan jurnal pertama yang berjudul Pengaruh Penambahan
Sumber Nitrogen Terhadap Hasil Fermentasi Nata De Coco, dilakukan
penelitian mengenai pengaruh pemberian sumber nitrogen yang
berbeda-beda pada pembuatan nata de coco, meliputi urea, ZA,
amonium sulfat, dan ekstrak yeast. Jenis starter yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Acetobacter xylinum dan jenis asam yang
digunakan adalah asam asetat glasial. Parameter yang diamati pada
penelitian ini adalah yield, ketebalan, dan moisture content.
Hasilnya, nata de coco berbahan dasar urea memiliki yield dan
ketebalan terbaik. Hal ini disebabkan karena karena komposisi
nitrogen di dalam urea paling besar, sehingga urea memberi
kontribusi nitrogen yang lebih banyak dibandingkan sumber nitrogen
lainnya sehingga selulosa yang terbentuk dalam layer juga
memberikan hasil yang lebih besar (Hamad & Kristiono,
2013).
Melalui jurnal kedua yang berjudul Physicochemical Properties
and Characterization of Nata de Coco from Local Food Industries as
a Source of Cellulose atau yang berarti Sifat Fisikokimiawi dan
Karakterisasi Nata de Coco dari Industri Pangan Lokal sebagai
Sumber Selulosa, diadakan penelitian mengenai isolasi selulosa
murni dari nata de coco yang dimurnikan, diekstrak, dan
dikarakterisasi. Pengisolasian selulosa murni dari bakteri
Acetobacter xylinum sangat bermanfaat untuk diaplikasikan pada
membran suara, paper elektronik, hydrogel, serta berbagai
kepentingan medis seperti plester luka, subsitusi kulit, dan
perangkat prostetik vaskular. Penelitian ini dilakukan menggunakan
alat spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) untuk merekam
spektra infrared sampel selulosa yang diisolasi dari nata de coco,
serta alat Thermogravimetric Analysis (TGA) untuk membandingkan
tingkat kemiripan karakteristik sampel dengan karakteristik
selulosa murni. Dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa selulosa
bakteri yang diisolasi dari nata de coco sangat cocok untuk
digunakan bagi penelitian yang membutuhkan selulosa murni (Halib et
al., 2012).
Berdasarkan jurnal ketiga yang berjudul Effects Of Health Food
from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human atau yang
dalam Bahasa Indonesia berarti Efek Makanan Sehat dari Sereal dan
Nata de Coco terhadap Serum Lemak Manusia, dilakukan investigasi
mengenai pengaruh pemberian nata de coco kepada sebanyak 22 pasien
penderita hyperlipidemia (penyakit kelebihan konsentrasi lemak di
dalam darah) dalam menurunkan total kolesterol, total trigliserida,
dan total kolesterol LDL (low density lipoprotein). Penelitian ini
terbagi menjadi 2 periode waktu, yaitu 4 minggu kontrol (tidak
disuplementasikan nata de coco) dan 20 minggu suplementasi nata de
coco. Hasil menunjukkan bahwa selama periode kontrol, tidak terjadi
perubahan terhadap kandungan lemak serum pada pasien. Namun, pada
minggu ke-0, 4, 8, dan 16 periode suplementasi, terjadi perubahan
signifikan terhadap total trigliserida dan kolesterol dalam darah
pasien. Perubahan signifikan ini disebabkan karena nata de coco
mengandung serat tidak larut yang tinggi sehingga terjadi
pengurangan konsentrasi serum trigliserida pada penderita
hyperlipidemia (Mesomya et al., 2006).
Melalui jurnal keempat yang berjudul The Dynamics of Bacterial
Communities During Traditional Nata de Coco Fermentation atau
Dinamika Komunitas Bakteri Selama Fermentasi Nata de Coco
Tradisional, diteliti mengenai dinamika komunitas bakteri selama
proses fermentasi nata de coco yang dipandang sering mengalami
ketidak-konsistenan produksi. Hal ini disebabkan karena banyaknya
varietas genetik mikroba yang berada dalam proses fermentasi ini.
Penelitian ini dilakukan menggunakan alat Amplified 16S-rRNA
(ARDRA) untuk meneliti keragaman bakteri yang ada melalui ekstraksi
DNA. Bakteri-bakteri ini diambil dari media fermentasi nata de coco
baik maupun buruk yang telah melalui masa inkubasi selama 6 hari.
Dari penelitian ini, dapat diketahui bahwa dinamika populasi
bakteri selama fermentasi nata de coco merupakan faktor yang sangat
penting dalam menentukan kualitas nata yang dihasilkan (Seumahu et
al., 2007).
Berdasarkan jurnal terakhir yang berjudul Bacterial Cellulose
Production and its Industrial Applications atau yang berarti
Produksi Bakteri Selulosa dan Aplikasinya dalam Industri, dibahas
mengenai berbagai kegunaan selulosa yang berasal dari mikroba bagi
dunia science. Salah satu peran selulosa mikrobial adalah sebagai
matriks penyusun bahan pangan nata de coco. Hal ini disebabkan
karena selulosa bakterial memiliki tingkat kemurnian dan
hidrofilisitas yang tinggi, berpotensi membentuk struktur, serta
memiliki biokompatibilitas yang baik. Di samping itu, di dalam
jurnal ini juga dibahas mengenai manfaat penting nata de coco yaitu
memiliki efek menurunkan plasma kolesterol melalui penggunaan
G.xylinus (Keshsk, 2014).
3.KESIMPULAN
Nata de coco merupakan makanan berbentuk padat dan kokoh,
berwarna putih dan transparan, bertekstur kenyal, serta dihasilkan
dari proses fermentasi bakteri Acetobacter xylinum pada substrat
air kelapa tua. Keberhasilan pembuatan nata ditunjukkan oleh
terangkatnya nata ke atas cairan sebagai akibat dihasilkannya gas
CO2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan nata
adalah kandungan gula dalam substrat, pH, dan suhu. Tujuan
penambahan gula ke dalam air kelapa adalah karena gula merupakan
salah satu sumber karbon organik yang dibutuhkan bagi pertumbuhan
Acetobacter xylinum untuk menghasilkan tenunan selulosa. Tujuan
penambahan urea atau amonium fosfat adalah karena urea merupakan
salah satu sumber nitrogen organik yang dibutuhkan dalam
pertumbuhan Acetobacter xylinum. Tujuan penambahan asam asetat
glasial adalah membantu pencapaian pH optimum bagi pertumbuhan
Acetobacter xylinum, yaitu antara 4 hingga 4,5. Proses inkubasi
nata de coco dilakukan pada suhu ruang untuk memberikan kondisi
optimum bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan Acetobacter xylinum.
Apabila waktu inkubasi semakin lama, maka semakin tebal nata de
coco yang diperoleh. Kegagalan pembentukan nata de coco pada
percobaan ini disebabkan oleh kontaminasi akibat penutupan wadah
yang kurang rapat selama inkubasi, prosedur aseptis yang salah,
maupun kurangnya sanitasi praktikan.
Semarang, 7 Juli 2015Praktikan,Asisten Dosen,- Nies Mayangsari-
Wulan Apriliana DewiStefany GandasubrataNIM 12.70.0125
4.DAFTAR PUSTAKA
Arsatmodjo, E. (1996). Formulasi Pembuatan Nata de Pina. IPB.
Bogor. [Skripsi]
Astawan, M. & M. W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan
Nabati Tepat Guna Edisi Pertama. Akademika Pressindo. Bogor.
Atlas, R.M. (1984). Microbiology Fundamental and Applications.
Mac Millard Publishing Company. New York.
Awang, S.A. (1991). Kelapa: Kajian Sosial-Ekonomi. Aditya Media.
Yogyakarta.
Gunsalus, I. C. & R. Y. Stainer. (1962). The Bacteri A.
Treatise on Structure & Function. Academic Press.New York.
Hadioetomo, R. S. (1993). Mikobiologi Dasar dalam Praktek,
Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Halib, N.; Mohd, C.I.M.A. and Ishak, A. (2012). Physicochemical
Properties and Characterization of Nata de Coco from Local Food
Industries as a Source of Cellulose. Sains Malaysiana Journal 41(2)
(2012): 205211.
Hamad, A & Kristiono. (2013). Pengaruh Penambahan Sumber
Nitrogen terhadap Hasil Fermentasi Nata De Coco. Momentum, Vol. 9,
No. 1, April 2013, Hal. 62-65.
Keshk, SMAS. (2014). Bacterial Cellulose Production and its
Industrial Applications. Keshk, J Bioproces Biotechniq 2014, 4:2.
Saudi Arabia.
Mesomya, W.; Varapat, P.; Surat, K.; Preeya, L.; Yaovadee, C.;
Duangchan, H.; Pramote, T. and Plernchai, T. (2006). Effects of
Health Food from Cereal and Nata De Coco on Serum Lipids in Human.
Journal Science Technology 28(Suppl. 1): 23-28.
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de Coco.
Kanisius. Yogyakarta.
Rahayu, E.S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M.N.
Cahyanto. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM.
Yogyakarta.
Rahman, A (1992). Teknologi Fermentasi I, Penerbit Arcan,
Jakarta.
Seumahu, C.A; Suwanto. A; Hadisusanto, D; dan Suhartono, M.T.
(2007). The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional
Nata de Coco Fermentation. Microbiology Indonesia, Volume 1, Number
2. August 2007, p 65-68.
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap
Ketebalan Pelikel pada Pembuatan Nata de Coco. UGM. Yogyakarta.
[Skripsi]
5.LAMPIRAN
5.1.PerhitunganRumus:
Persentase Lapisan Nata = Kelompok B1
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 15 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 40 % Kelompok B2
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 33,33 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 40 % Kelompok B3
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 10,34 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 17,24 % Kelompok B4
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 20 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 25 % Kelompok B5
H0 Persentase Lapisan Nata = = 0 %
H7 Persentase Lapisan Nata = = 33,33 %
H14 Persentase Lapisan Nata = = 53 %
5.2.Jurnal5.3.Laporan Sementara